Professional Documents
Culture Documents
Ateisme (Inggris: atheism) berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan)—a
(tidak) dan theos (Tuhan). Jadi ateisme adalah sebuah paham yang mengingkari
bahwa Tuhan ada, atau paham yang menolak eksistensi Tuhan. Secara konseptual,
ateisme dibagi dalam beberapa kategori. Minimal ada tiga (3) kategori konsepsional
dari ateisme, yakni: ateisme teoritis, ateisme praktis, dan ateisme postulatori; dengan
penjelasan masing-masing sebagai berikut:
1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000, hlm. 94-96., & dlm., Louis Leahy, Filsafat
Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, & Jakarta: BPK-GM, 1993, hlm. 297-299.
2
Ibid., hlm. 95.
3
Ibid., hlm. 95.
4
Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Op. cit., hlm. 298., & dlm., Lorens Bagus, Op. cit.,
hlm. 95.
mengenai Tuhan, menurut mereka tidak mungkin, sebab setiap penegasan
semacam itu melampaui pengetahuan manusia, yang selalu dibatasi oleh
pengalaman (agnostisisme).
Dari tiga (3) konsepsi di atas, ada pula konsepsi lainnya yang dapat dicatat, yakni
ateisme materialistis dan positivistis.5 Ateisme materialistis dan positivistis adalah
bentuk ateisme yang secara radikal dapat ditemukan dalam materialisme dan
positivisme. Penganut paham ini, menolak adanya keberadaan dari yang rohani dan
yang transenden.6
Tokoh-tokoh Ateisme
5
Lorens Bagus, Op. cit., hlm. 95 & 96.
6
Ibid., hlm. 96.
Sebagai sebuah tesis, teologi menjadi antropologi hendak mengatakan, ketika
manusia berbicara tentang realitas ketuhanan, sebenarnya ia sedang membicarakan
dirinya sendiri; tidak ada perbedaan antara kualitas-kualitas Tuhan dengan hakikat
manusia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa Feuerbach sampai
mengeluarkan tesis seradikal itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama
penulis akan menguraikan pandangan atau gagasan Feuerbach tentang manusia.
7
F. B. Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006., hlm. 229.
8
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006., hlm. 67.
9
F. B. Hardiman, Op. cit., hlm. 229.
10
Ibid., hlm. 229.
11
Ibid., hlm. 229.
Tuhan itu, bagi Feuerbach, tidak lain daripada hakikat manusia sendiri. Lebih jelas
lagi, Feuerbach mengatakan bahwa, hakikat Tuhan tidak lain daripada hakikat
manusia yang sudah dibersihkan dari berbagai keterbatasan atau ciri individualnya,
lalu dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia.12
Proyeksi diri itu adalah sebuah alienasi.14 Ini berarti, bahwa bagi Feuerbach,
proyeksi diri adalah sesuatu yang negatif. Dikatakan negatif, karena hasil proyeksi
diri itu, oleh manusia, dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berada di
luar dirinya dan menghadapi dirinya. Manusia merasakan bahwa hasil proyeksinya
itu menghadapi dirinya sebagai objek.15 Manusia kemudian meletakkan dirinya lebih
hina daripada hasil proyeksinya sendiri, contohnya: manusia itu lemah, sedang Tuhan
mahakuasa, manusia itu berdosa, sedangkan Tuhan itu suci, dst. Alienasi diri inilah
yang terjadi di dalam agama.
12
Ibid., hlm. 229., & lih., juga dlm., Franz M. Suseno, Op. cit., hlm. 66-67.
13
Lih. Franz M. Suseno, Op. cit., hlm. 65-66. Yang dikritik oleh Feuerbach dari Hegel, menurut Franz
M. Suseno, adalah filsafat Roh Hegel. Di mana Hegel memberi kesan bahwa yang nyata itu adalah
Tuhan (Roh Semesta yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah wayangnya.
Menurut Feuerbach Hegel memutarbalikkan kenyataan. Menurut Feuerbach, yang nyata itu justru, dan
bahkan tak terbantah adalah manusia. Bagi Feuerbach, bukan manusia itu pikiran Tuhan, melainkan
Tuhan adalah pikiran manusia. Manusia indrawi, menurut Feuerbach, tidak dapat dibantah, sedangkan
roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia.
14
F. B. Hardiman, Op. cit., hlm. 230.
15
Ibid., hlm. 230.
Melalui agama, potensi-potensi yang seharusnya direalisasikan oleh manusia,
hilang daripadanya, karena manusia lebih memilih untuk mengharapkan hal itu
datang dengan sendirinya dari Tuhan. Itulah sebabnya, sebagaimana yang dikatakan
oleh Franz M. Suseno, Feuerbach yakin bahwa kepercayaan kepada Tuhan
menghalangi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan dan kebebasan
manusia.16 Karena itu, Feuerbach memandang agama sebagai sebuah kenyataan
negatif yang harus diatasi oleh manusia.17 Caranya, adalah dengan meniadakan agama
agar manusia dapat secara utuh merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya.
B. Karl Marx
16
Ibid., hlm. 68.
17
F. B. Hardiman, Op. cit., hlm. 231.
18
Franz M. Suseno, Menalar Tuhan, Op. cit., hlm. 72.
19
Ibid., hlm. 72.
manusia.”20 Pemikiran kritis Feuerbach membuat Marx terbebas dari ke-
terpesonaannya terhadap Hegel (1770-1831).
Karena itu, Marx melihat bahwa agama bukanlah gejala primer dari
keterasingan manusia.25 Sebab itu, kritik tidak boleh berhenti pada agama. Kritik
terhadap agama mesti menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja tidak memadai,
sebab tidak mengubah apa yang justru melahirkan agama. Bukan agama yang harus
20
Ibid., hlm. 72..
21
Franz M. Suseno, Pemikiran Karl Marx, Op. cit., hlm. 72.
22
Ibid, hlm. 72 & 73.
23
Ibid., hlm. 73.
24
Ibid., hlm. 73.
25
Ibid., hlm. 73.
dikritik, melainkan masyarakat; kritik terhadap surga mesti berubah menjadi kritik
pada dunia, kritik agama menjadi kritik terhadap hukum, kritik terhadap teologi mesti
menjadi kritik terhadap politik.26
“Nietzsche melukiskan dirinya sebagai orang gila tersebut, dan dia bukan hanya
mengumumkan ateisme, melainkan juga meramalkan datangnya zaman ateistis.
Kegilaan di sini adalah kehilangan Allah, dan orang-orang zaman itu tidak
memahaminya, sampai datang zaman kegilaan universal, yakni penemuan kesadaran
bahwa manusia telah kehilangan Allah. Nietzsche menyambut datangnya zaman itu
sebagai zaman kreativitas dan kemerdekaan, sebab dengan ‘kematian Allah’
terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang
penuh. Tidak ada lagi larangan atau perintah dan kita tidak lagi menoleh ke dunia
transenden. Ide Allah dalam agama Kristen, menurut Nietzsche, memusuhi dan
memerangi kehidupan dan alam, mengebiri daya vital kita. Dalam arti ini, Nietzsche
menganggap agama Kristen sebagai vampirisme. Dengan ‘kematian Allah’ manusia
tidak lagi dibatasi atau diarahkan oleh dunia transenden. Dia tidak lagi berlindung di
bawah naungan Allah karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia ini.”29
28
F. Budi Hardiman, Op. cit., hlm. 279.,
29
Ibid., 279 & 280.,
Nietzsche kemudian mengkritik moralitas Kristen, yang dilihatnya sebagai
bentuk yang paling nyata dari ideal asketisme. Untuk mempertegas posisi kritisnya,
Nietzsche lalu melakukan genealogi moral, untuk menelusuri nilai-nilai moral.
Dengan melakukan “genealogi moral”, Nietzsche akhirnya menemukan dua macam
moralitas, yakni moralitas tuan (kaum aristoskrat) dan moralitas budak (kaum
budak).30
30
Ibid., hlm. 269.,
31
Ibid., hlm. 15.
32
Ibid., hlm. 269.
33
Ibid., hlm. 269.,
semua nilai-nilai tersebut. Mereka lalu meletakkan semua yang berada di luar dari
nilai-nilai mereka, sebagai “jahat”. Nietzsche menganggap, bahwasanya, nilai-nilai
kaum budak itu mempermiskin kemanusiaan.34 Karenanya, nilai-nilai tersebut, bagi
Nietzsche, mestilah didekonstruksi.
Prinsip utama dari manusia atas adalah amor fati (cinta nasib). Amor fati
adalah kecintaan akan hidup ini, dan ke-tidaksudian untuk melarikan diri ke dunia
akhirat, sebagai kompensasi dari penderitaan di dunia. Konsekuensi dari amor fati
ialah, tidak adanya akhirat sebagai keabadian sejati, yang mendegradasikan hidup di
34
Ibid., hlm. 270.
35
Ibid., hlm. 16.
36
Ibid., hlm. 275-276.
dunia, sebagai kesementaraan tanpa makna; akhirat di mana Tuhan akan
mengeksekusi yang jahat (versi kaum budak tentunya).
DAFTAR PUSTAKA
37
F. Budi Hardiman, Op. cit., hlm. 277.,
38
Tuhan sebagai absurditas merupakan pandangan filosofis yang ditawarkan oleh eksistensialisme
ateis. Absurditas dalam pengertian ini berarti sama dengan kemustahilan untuk mencari jawaban pada
yang transenden. A. Camus sangat mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan “Allah
sudah mati”, supaya manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche mencari jawaban pada yang
transenden mengenai persoalan-persoalan manusia dan dunia ini merupakan tindakan orang malas
yang hanya mau mencari sesuatu tanpa kesungguhan. Dikutip dlm., Lorens Bagus, Op. cit., hlm. 10.
39
Franz M. Suseno, Menalar Tuhan, Op. cit., hlm. 77.
• Budi, F. Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
• Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Jakarta: Gramedia, 2000.
• Smith, Linda dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan
Sekarang,Yogyakarta: Kanisius, 2000.