You are on page 1of 12

Macam-macam Ateisme dan Tokohnya

(Ateisme Kuno & Modern) dan (Ateisme Teoritis & Praktis)


Oleh : Mochamad Ak. Dhoni

Etimologi dan Beberapa Konsepsi dari Ateisme1

Ateisme (Inggris: atheism) berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan)—a
(tidak) dan theos (Tuhan). Jadi ateisme adalah sebuah paham yang mengingkari
bahwa Tuhan ada, atau paham yang menolak eksistensi Tuhan. Secara konseptual,
ateisme dibagi dalam beberapa kategori. Minimal ada tiga (3) kategori konsepsional
dari ateisme, yakni: ateisme teoritis, ateisme praktis, dan ateisme postulatori; dengan
penjelasan masing-masing sebagai berikut:

1. Ateisme Teoritis.2 Pemeluk ateisme teoritis berkeyakinan bahwa Tuhan tidak


ada sehingga menyangkal Tuhan dengan akal budinya. Ateisme teoritis, terbagi
dalam dua macam konsepsi, yakni:

a. Ateisme teoritis negatif.3 Seorang ateis teoritis negatif tidak


mengetahui apa-apa mengenai Tuhan atau memiliki gagasan yang kacau
mengenai Tuhan. Sikap pikiran semacam ini, dianggap tidak akan bertahan
lama dalam diri seorang dewasa yang normal, sebab kecenderungan seluruh
kodrat manusia terarah kepada Tuhan.

b. Ateisme teoritis positif.4 Penganut pandangan ini menyangsikan bahwa


adanya Tuhan dapat dibuktikan secara memuaskan; segala penegasan

1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000, hlm. 94-96., & dlm., Louis Leahy, Filsafat
Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, & Jakarta: BPK-GM, 1993, hlm. 297-299.
2
Ibid., hlm. 95.
3
Ibid., hlm. 95.
4
Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Op. cit., hlm. 298., & dlm., Lorens Bagus, Op. cit.,
hlm. 95.
mengenai Tuhan, menurut mereka tidak mungkin, sebab setiap penegasan
semacam itu melampaui pengetahuan manusia, yang selalu dibatasi oleh
pengalaman (agnostisisme).

2. Ateisme Praktis. Seorang penganut ateisme praktis mempunyai keyakinan


akan adanya Tuhan, tetapi menolak Tuhan lewat cara hidupnya. Dalam hidupnya
ia bertingkah-laku seolah-olah Tuhan tidak ada.
3. Ateisme Postulatori. Ateisme model ini menunjuk kepada mereka yang
menolak adanya Tuhan, karena Tuhan diandaikan mengancam nilai-nilai
manusiawi atau nilai-nilai moral.

Dari tiga (3) konsepsi di atas, ada pula konsepsi lainnya yang dapat dicatat, yakni
ateisme materialistis dan positivistis.5 Ateisme materialistis dan positivistis adalah
bentuk ateisme yang secara radikal dapat ditemukan dalam materialisme dan
positivisme. Penganut paham ini, menolak adanya keberadaan dari yang rohani dan
yang transenden.6

Tokoh-tokoh Ateisme

A. Ludwig Andreas Feuerbach

Tuhan sebagai Proyeksi dan Agama sebagai Alienasi

Sebagai seorang filsuf, Feuerbach dikenal sangat radikal dalam mengkritik


agama (tepatnya agama Kristen). Bukunya yang berjudul The Essence of Christianity,
banyak memuat kritik-kritik keras terhadap teologi Kristen, yang menurut Feuerbach,
telah mengasingkan manusia dari esensinya. Pemikirannya itu dapat diringkas dalam
satu tesis, teologi menjadi antropologi. Melalui tesis ini, kita dapat menyelidiki posisi
kritis Feuerbach.

5
Lorens Bagus, Op. cit., hlm. 95 & 96.
6
Ibid., hlm. 96.
Sebagai sebuah tesis, teologi menjadi antropologi hendak mengatakan, ketika
manusia berbicara tentang realitas ketuhanan, sebenarnya ia sedang membicarakan
dirinya sendiri; tidak ada perbedaan antara kualitas-kualitas Tuhan dengan hakikat
manusia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa Feuerbach sampai
mengeluarkan tesis seradikal itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama
penulis akan menguraikan pandangan atau gagasan Feuerbach tentang manusia.

Menurut Feuerbach, alam material adalah kenyataan terakhir.7 Manusia


menjadi sadar diri, ketika ia mulai membedakan dirinya dari dasar terakhir itu. Hal ini
berarti, bahwa selain mampu membedakan dirinya dari alam, manusia pun mampu
merefleksikan hakikatnya sendiri. Untuk menjadi diri sendiri manusia harus menjadi
objek bagi dirinya. Manusia mesti memproyeksikan diri ke luar dari dirinya, supaya
ia dapat melihat hakikatnya.8 Itulah sebabnya, Feuerbach mengatakan, bahwa tanpa
objek manusia bukan apa-apa. Melalui objek yang ia proyeksikan, manusia barulah
dapat mengenali dirinya sendiri; kesadarannya tentang objek, adalah kesadaran
dirinya atas hakikatnya sendiri. Menurut Feuerbach, hakikat manusia adalah rasio,
kehendak dan perasaannya.9

Melalui konsepsinya tentang manusia, Feuerbach kemudian menganalisis


fenomena keagamaan. Menurutnya, rasio, kehendak, dan perasaan, sebagai hakikat
manusia tadi, bila diproyeksikan sampai tak terhingga, maka, proyeksitisasi yang tak
berhingga itulah yang kemudian disebut “Tuhan”.10

Dalam agama, sekurang-kurangnya agama Kristen, idealisasi itu jelas: Tuhan


dipahami sebagai Yang Maha tahu (rasio sempurna), Yang Maha baik (kehendak
sempurna) dan Maha kasih (hati sempurna).11 Apa yang disebut sebagai hakikat

7
F. B. Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006., hlm. 229.
8
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006., hlm. 67.
9
F. B. Hardiman, Op. cit., hlm. 229.
10
Ibid., hlm. 229.
11
Ibid., hlm. 229.
Tuhan itu, bagi Feuerbach, tidak lain daripada hakikat manusia sendiri. Lebih jelas
lagi, Feuerbach mengatakan bahwa, hakikat Tuhan tidak lain daripada hakikat
manusia yang sudah dibersihkan dari berbagai keterbatasan atau ciri individualnya,
lalu dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia.12

Dengan mengasalkan hakikat Tuhan pada hakikat manusia, sebagaimana telah


di kemukakan di atas, Feuerbach lalu menarik kesimpulan, bahwa teologi tak lain
adalah antropologi. Menurut Franz M. Suseno, Feuerbach dalam pemikirannya ini,
bukan hanya mengkritik agama Kristen, tetapi juga idealisme Hegel, yang baginya,
merupakan pembuktian rasional bagi agama Kristen.13 Dari uraian di atas, menjadi
jelas bahwa menurut Feuerbach, Tuhan adalah hasil proyeksi diri dari manusia.
Maksudnya ialah, manusia memiliki potensi-potensi hakiki seperti, berpikir tentang
kesempurnaan, menghendaki kebaikan, dan mengalami cinta. Semua potensi hakiki
manusia ini, serba terbatas dan tidak sempurna, maka manusia membayangkan
adanya sebuah kenyataan lain yang memiliki kesemuanya itu, secara tak terbatas.

Proyeksi diri itu adalah sebuah alienasi.14 Ini berarti, bahwa bagi Feuerbach,
proyeksi diri adalah sesuatu yang negatif. Dikatakan negatif, karena hasil proyeksi
diri itu, oleh manusia, dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berada di
luar dirinya dan menghadapi dirinya. Manusia merasakan bahwa hasil proyeksinya
itu menghadapi dirinya sebagai objek.15 Manusia kemudian meletakkan dirinya lebih
hina daripada hasil proyeksinya sendiri, contohnya: manusia itu lemah, sedang Tuhan
mahakuasa, manusia itu berdosa, sedangkan Tuhan itu suci, dst. Alienasi diri inilah
yang terjadi di dalam agama.
12
Ibid., hlm. 229., & lih., juga dlm., Franz M. Suseno, Op. cit., hlm. 66-67.
13
Lih. Franz M. Suseno, Op. cit., hlm. 65-66. Yang dikritik oleh Feuerbach dari Hegel, menurut Franz
M. Suseno, adalah filsafat Roh Hegel. Di mana Hegel memberi kesan bahwa yang nyata itu adalah
Tuhan (Roh Semesta yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah wayangnya.
Menurut Feuerbach Hegel memutarbalikkan kenyataan. Menurut Feuerbach, yang nyata itu justru, dan
bahkan tak terbantah adalah manusia. Bagi Feuerbach, bukan manusia itu pikiran Tuhan, melainkan
Tuhan adalah pikiran manusia. Manusia indrawi, menurut Feuerbach, tidak dapat dibantah, sedangkan
roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia.
14
F. B. Hardiman, Op. cit., hlm. 230.
15
Ibid., hlm. 230.
Melalui agama, potensi-potensi yang seharusnya direalisasikan oleh manusia,
hilang daripadanya, karena manusia lebih memilih untuk mengharapkan hal itu
datang dengan sendirinya dari Tuhan. Itulah sebabnya, sebagaimana yang dikatakan
oleh Franz M. Suseno, Feuerbach yakin bahwa kepercayaan kepada Tuhan
menghalangi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan dan kebebasan
manusia.16 Karena itu, Feuerbach memandang agama sebagai sebuah kenyataan
negatif yang harus diatasi oleh manusia.17 Caranya, adalah dengan meniadakan agama
agar manusia dapat secara utuh merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya.

B. Karl Marx

Agama Sebagai Candu Rakyat

Dalam mengkritik agama, Marx dikenal melalui ucapannya bahwa “agama


adalah candu rakyat”.18 Ucapan Marx ini hendak mengatakan bahwa agama, dengan
menjanjikan “surga”, membuat orang miskin dan tertindas menerima begitu saja
nasib mereka dari pada mengubahnya. Dalam arti, agama dilihat sebagai sebuah
“lingkaran setan” yang sengaja diciptakan oleh kaum-kaum berkuasa untuk
menenangkan rakyat tertindas.19 Tetapi sebelum menelusuri lebih jauh kritik Marx
terhadap agama, penting melihat kembali korelasi antara kritik Marx itu, dengan
kritik Feuerbach terhadap agama.

Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa kritik agama dari Feuerbach


menyatakan, di dalam agama manusia mengasingkan dirinya. Pada dasarnya Marx
sepakat dengan asumsi Feuerbach itu. Marx menyetujui Feuerbach dengan
mengatakan; “manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat

16
Ibid., hlm. 68.
17
F. B. Hardiman, Op. cit., hlm. 231.
18
Franz M. Suseno, Menalar Tuhan, Op. cit., hlm. 72.
19
Ibid., hlm. 72.
manusia.”20 Pemikiran kritis Feuerbach membuat Marx terbebas dari ke-
terpesonaannya terhadap Hegel (1770-1831).

Sekalipun Marx bersepakat dengan Feuerbach, tetapi, menurut Marx,


Feuerbach tidak cukup konsisten. Manusia yang dalam pembicaraan Feuerbach,
menurut Marx, adalah manusia yang abstrak.21 Bagi Marx, manusia hanyalah orang-
orang yang konkret (spesies) yang hidup pada zaman tertentu sebagai warga
masyarakat tertentu.22 Marx menekankan bahwa manusia jangan dilepaskan dari
masyarakat dan negara, di mana ia hidup.23

Berangkat dari analisisnya mengenai gejala keterasingan itu, Marx


menemukan dasar atas kritiknya, yakni:

“agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya. Keterasingan


manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama
hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri.
“Agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia
tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh”...Jadi, agama adalah sekaligus
ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang
sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan mahluk yang tertekan, perasaan dunia
tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu
rakyat...”24

Karena itu, Marx melihat bahwa agama bukanlah gejala primer dari
keterasingan manusia.25 Sebab itu, kritik tidak boleh berhenti pada agama. Kritik
terhadap agama mesti menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja tidak memadai,
sebab tidak mengubah apa yang justru melahirkan agama. Bukan agama yang harus
20
Ibid., hlm. 72..
21
Franz M. Suseno, Pemikiran Karl Marx, Op. cit., hlm. 72.
22
Ibid, hlm. 72 & 73.
23
Ibid., hlm. 73.
24
Ibid., hlm. 73.
25
Ibid., hlm. 73.
dikritik, melainkan masyarakat; kritik terhadap surga mesti berubah menjadi kritik
pada dunia, kritik agama menjadi kritik terhadap hukum, kritik terhadap teologi mesti
menjadi kritik terhadap politik.26

C. Friedrich Wilhelm Nietzsche

Kematian Tuhan dan Asketisme Agama

Nietzsche dikategorikan sebagai filsuf eksistensialisme-ateistis, yang dengan


lantang memproklamirkan ke-matian Tuhan.27 Mengapa Nietzsche berkeras untuk
mematikan Tuhan? Sederet argumentasi yang cukup kuat akan dibahas, tetapi ada
baiknya bila dipaparkan terlebih dahulu sebuah pengumuman terang-terangan dari
ateisme Nietzsche. Pengumuman terang-terangan itu tampil dalam ceritanya tentang
“orang gila”, yang membawa sebuah lentera yang menyala, ke tengah-tengah pasar
dan berseru terus-menerus:

“Aku mencari Allah! Aku mencari Allah! Orang-orang di pasar itu


menertawakannya. Tapi si gila itu malah melompat ke tengah-tengah mereka dan
menatap mereka sambil berteriak: “ke manakah Allah? Aku memberitahu kalian. Kita
sudah membunuhnya—kalian dan aku. Kita semua pembunuh. Tetapi bagaimana kita
melakukan ini? Bagaimana kita dapat meneguk habis lautan? Siapa yang memberi
kita spons untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah yang kita lakukan bila kita
melepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke manakah bumi bergerak sekarang? Ke
manakah kita bergerak? Menjauh dari segala matahari? Tidakkah kita tenggelam
terus-menerus? Mundur, ke samping, maju, ke segala arah? Masih adakah naik atau
turun? Tidakkah kita tersesat ke ketiadaan tak terhingga? Tidakkah kita menghirup
ruang kosong? Allah sudah mati—dan kita telah membunuhnya—bagaimana kita—
pembunuh para pembunuh (Allah maksudnya)—merasa terhibur? Dia yang maha
kudus dan maha kuasa yang dimiliki dunia kini telah mati karena kehabisan darah
26
Ibid., hlm. 74.
27
Franz M. Suseno, Menalar Tuhan, Op. cit., hlm. 77
karena pisau-pisau kita—siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita?
Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Perayaan tobat apa,
pertunjukan kudus apa yang harus kita adakan? Bukankah kedahsyatan tindakan ini
terlalu dahsyat bagi kita? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sebagai Allah
supaya tindakan itu kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar
dan siapa saja yang lahir setelah kita—demi tindakan ini—akan termasuk ke dalam
sejarah yang lebih besar daripada seluruh sejarah sampai sekarang ini—sesudah itu, si
gila diam, menatap para pendengarnya. Mereka pun membisu. Si gila melemparkan
dan meremukkan lenteranya, lalu pergi sambil berkata: saya datang terlalu dini.
Waktuku belum sampai. Peristiwa luar biasa ini masih sedang menjelang!”28

Dalam perumpamaan di atas, F. Budi Hardiman menyimpulkan apa yang


hendak dikatakan oleh Nietzsche:

“Nietzsche melukiskan dirinya sebagai orang gila tersebut, dan dia bukan hanya
mengumumkan ateisme, melainkan juga meramalkan datangnya zaman ateistis.
Kegilaan di sini adalah kehilangan Allah, dan orang-orang zaman itu tidak
memahaminya, sampai datang zaman kegilaan universal, yakni penemuan kesadaran
bahwa manusia telah kehilangan Allah. Nietzsche menyambut datangnya zaman itu
sebagai zaman kreativitas dan kemerdekaan, sebab dengan ‘kematian Allah’
terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang
penuh. Tidak ada lagi larangan atau perintah dan kita tidak lagi menoleh ke dunia
transenden. Ide Allah dalam agama Kristen, menurut Nietzsche, memusuhi dan
memerangi kehidupan dan alam, mengebiri daya vital kita. Dalam arti ini, Nietzsche
menganggap agama Kristen sebagai vampirisme. Dengan ‘kematian Allah’ manusia
tidak lagi dibatasi atau diarahkan oleh dunia transenden. Dia tidak lagi berlindung di
bawah naungan Allah karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia ini.”29

28
F. Budi Hardiman, Op. cit., hlm. 279.,
29
Ibid., 279 & 280.,
Nietzsche kemudian mengkritik moralitas Kristen, yang dilihatnya sebagai
bentuk yang paling nyata dari ideal asketisme. Untuk mempertegas posisi kritisnya,
Nietzsche lalu melakukan genealogi moral, untuk menelusuri nilai-nilai moral.
Dengan melakukan “genealogi moral”, Nietzsche akhirnya menemukan dua macam
moralitas, yakni moralitas tuan (kaum aristoskrat) dan moralitas budak (kaum
budak).30

Kaum budak, dalam perspektif Nietzsche, bukanlah kaum tertindas,


melainkan sekawanan orang-orang yang tidak berbakat dan lemah—miskin dalam
stamina, kesehatan, energi, vitalitas, keberanian, serta tidak menarik secara fisikal
dan seksual. Hidup dalam segala kekurangan itu, membuat kaum budak menderita
dan marah terhadap kemuraman hidup mereka sendiri. Mereka juga kemudian benci,
cemburu, dan dendam terhadap kaum aristokrat, yang memiliki apa-apa yang tidak
mereka miliki (vitalitas, berani, independen, unggul, jenius, dll.). 31 Karena itu,
mereka memandang para aristokrat sebagai orang yang berbahaya dan jahat bagi
kelompoknya.32

Tetapi, kebencian riil mereka terhadap kaum aristokrat, tidak menghasilkan


apa-apa. Kaum budak akhirnya menggunakan senjata terakhir mereka, yakni
pembalikan nilai-nilai. Mereka membalik nilai-nilai kaum aristokrat, yang tadinya
mereka anggap tinggi, menjadi nilai-nilai yang rendah. Mereka merasa telah
menguasai kaum aristokrat, tetapi tidak di dalam dunia nyata, melainkan dalam dunia
fiktif, di mana balas dendam itu tidak dilaksanakan oleh mereka, melainkan oleh
Tuhan.33 Dendam mereka terhadap kaum aristokrat terlampiaskan dengan mematok
nilai-nilai aristokrat sebagai “jahat” dan menciptakan Tuhan sebagai eksekutor agung
terhadap nilai-nilai aristokrasi itu. Karena itu, bagi Nietzsche, kaum budak akhirnya
berdamai dengan kegagalan, kelemahan, dan ketidakberdayaan dengan meluhurkan

30
Ibid., hlm. 269.,
31
Ibid., hlm. 15.
32
Ibid., hlm. 269.
33
Ibid., hlm. 269.,
semua nilai-nilai tersebut. Mereka lalu meletakkan semua yang berada di luar dari
nilai-nilai mereka, sebagai “jahat”. Nietzsche menganggap, bahwasanya, nilai-nilai
kaum budak itu mempermiskin kemanusiaan.34 Karenanya, nilai-nilai tersebut, bagi
Nietzsche, mestilah didekonstruksi.

Langkah pertama dari dekonstruksi itu adalah, membunuh Tuhan sebagai


idealisasi rasa benci (ressentiment) atau dendam ketidakberdayaan kaum budak
dalam menghadapi kaum aristokrat. Tuhan mesti dibunuh, karena Tuhan telah
dijadikan sebagai pelipur lara kaum budak. Tuhan menjamin pelampiasan dendam
kaum budak, dengan menghukum yang jahat di dunia fiktif. Tuhan adalah jaminan
bagi kaum budak untuk berdamai dengan kegagalan, kelemahan, dan
ketidakberdayaan, karena semua itu akan terkompensasikan oleh hadiah surgawi.35
Kaum budak ini, menurut Nietzshe, merasa telah melakukan kebajikan dengan jalan
menyerah saja pada apa yang dipujanya.

Kedua, setelah membunuh “Tuhan”, Nietzsche kemudian melakukan


transvaluasi semua nilai dan memunculkan manusia atas.36 Manusia atas adalah
manusia yang lebih afirmatif terhadap hidup dan mengakomodasi kehendak untuk
berkuasa sebagai nilai tertinggi.

Manusia atasnya Nietzsche, akan menggantikan posisi Tuhan, karena ia


sendiri menentukan apa yang baik bagi dirinya.

Prinsip utama dari manusia atas adalah amor fati (cinta nasib). Amor fati
adalah kecintaan akan hidup ini, dan ke-tidaksudian untuk melarikan diri ke dunia
akhirat, sebagai kompensasi dari penderitaan di dunia. Konsekuensi dari amor fati
ialah, tidak adanya akhirat sebagai keabadian sejati, yang mendegradasikan hidup di

34
Ibid., hlm. 270.
35
Ibid., hlm. 16.
36
Ibid., hlm. 275-276.
dunia, sebagai kesementaraan tanpa makna; akhirat di mana Tuhan akan
mengeksekusi yang jahat (versi kaum budak tentunya).

Dengan tidak adanya Tuhan dan akhirat, Nietzsche menggagas sebuah


konsepsi tentang kembalinya segala sesuatu secara sama.37 Bahwa dunia menjadi
bernilai ketika Tuhan sudah lenyap: apa pun yang pergi akan kembali lagi, apa pun
yang kering akan merekah lagi. Dunia ini, adalah abadi bagi Nietzsche. Itulah
sebabnya, Nietzsche memandang Tuhan dari orang beragama, sebagai absurd,38
karena telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tuhan dalam agama
(khususnya agama Kristen), dipandangnya sebagai penyebab yang membuat manusia
takut terhadap tubuh, hasrat, seksualitas, dan yang mempromosikan moralitas belas
kasih yang membuat manusia lemah.

Bagi Nietzsche, Tuhan telah lama digunakan untuk mengasingkan manusia


dari kemanusiaannya, melalui tindakan menolak dunia (asketisme). Moralitas dan
mentalitas agama, adalah sentimen dari orang-orang yang kalah dalam kehidupan,
maka mereka mengharapkan bahwa setelah hidup ini, mereka akan dimenangkan oleh
kekuatan di akhirat.39 Karenanya, bagi Nietzsche, Tuhan mesti “dibunuh”!

DAFTAR PUSTAKA

• Leahy, Louis, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis,Yogyakarta:


Kanisius, & Jakarta: BPK-GM, 1985.

37
F. Budi Hardiman, Op. cit., hlm. 277.,
38
Tuhan sebagai absurditas merupakan pandangan filosofis yang ditawarkan oleh eksistensialisme
ateis. Absurditas dalam pengertian ini berarti sama dengan kemustahilan untuk mencari jawaban pada
yang transenden. A. Camus sangat mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan “Allah
sudah mati”, supaya manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche mencari jawaban pada yang
transenden mengenai persoalan-persoalan manusia dan dunia ini merupakan tindakan orang malas
yang hanya mau mencari sesuatu tanpa kesungguhan. Dikutip dlm., Lorens Bagus, Op. cit., hlm. 10.
39
Franz M. Suseno, Menalar Tuhan, Op. cit., hlm. 77.
• Budi, F. Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
• Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Jakarta: Gramedia, 2000.
• Smith, Linda dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan
Sekarang,Yogyakarta: Kanisius, 2000.

You might also like