You are on page 1of 5

MAKALAH

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Oleh : Buherah, SH

TERJADINYA KORUPSI DI BERBAGAI DAERAH


DAN STRATEGI PENANGGULANGANNYA

Program Pasca Sarjana

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2008
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Di era reformasi ini tuntutan terhadap paradigma good governance dalam
seluruh kegiatan di era globalisasi dewasa ini sudah tidak dapat diletakkan lagi.
Tuntutan tersebut menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai,
maka terciptalah suatu negara yang bersih dan responsif (Clean and Responsif State),
semaraknya masyarakat sipil (vibrant Civil Society) dan kehidupan bisnis yang
bertanggung jawab (Good Corporate Governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi
sebuah impian.
Berkaitan tuntutan terselanggaranya Good Governance ini, maka lembaga-
lembaga donor seperti Bank Dunia, IMF dan ADB bahkan secara tegas telah meminta
di tegakkannya pradigma Good Governance di negara-negara yang memperoleh
bantuan dari mereka, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, untuk mewujudkan Good
Governance bagi Indonesia, merupakan suatu keharusan yang harus diupayakan.
Dalam rangka perwujudan Good Governance, sebagaimana telah menjadi
tuntutan masyarakat maupun lembaga-lembaga donor Internasional tersebut, antara lain
yang sangat penting harus terpenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan
akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, balik sosial, politik maupun ekonomi. Dari aspek
ekonomi, yang menjadi indikator adanya transparansi dan akuntabilitas tersebut adalah
rendahnya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Berarti, semakin tinggi
tingkat transparansi dan akuntabilitas, maka semestinya semakin rendah pula
kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tetapi, realita dari berbagai penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh
beberapa lembaga berbeda, justru menunjukkan kecenderungan yang semakin
memprihatinkan, serta pada umumnya penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan,
bahwa “Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia”.
Kelemahan yang sangat menonjol dalam proses pencapaian Good Governance
di Indonesia ini adalah tingginya korupsi yang bahkan telah merambat hampir seluruh
lapisan masyarakat, baik di sektor publik maupun swasta dan sering pula terjadi di
kedua sektor tersebut secara simultan/bersamaan. Korupsi juga telah berkembang dan
mengakar di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat (DPR dan
DPRD), ironisnya lagi hal ini juga terjadi di lembaga peradilan sendiri. Seharusnya
kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan menjadi ujung tombak bagi upaya
pemberantasan korupsi justru pandangan oleh banyak kalangan merupakan institusi-
institusi publik yang korup dan banyak melakukan penyalahgunaan wewenang. Dalam
artian, bahwa korupsi telah merajalela terutama di kalangan birokrasi pada institusi
publik atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen. HS. Dillon
misalnya, mengungkapkan bahwa jaksa merupakan aparat penegak hukum yang paling
banyak menerima suap (51,8%), hakim (42,2%), kejaksaan (38,8%), panitera (23,1%),
pengacara (7,7%), polisi (7,7%) dan aparat-aparat penegak hukum lainnya (2,6%).
Dari uraian diatas mengindikasikan bahwa korupsi benar-benar telah menjadi
permasalahan yang serius dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan
negara maupun masyarakat, khususnya di negara kecil dan berkembang seperti halnya
Indonesia. Padahal masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa
korupsi telah mencederai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang
seharusnya diperuntukkan terhadap pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi
juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan
kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan
kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah
meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan
memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya
terhadap keamanan masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi
asing. Oleh sebab itu, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan
kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia,
serta merupakan salah satu faktor penghambat yang utama bagi pembangunan dan
upaya pengentasan kemiskinan
BAB II
PERMASALAHAN KORUPSI DI DAERAH

a. Faktor Penyebab Korupsi


Faktor penyebab korupsi yang sangat mendasar di daerah adalah faktor politik
dan kekuasaan, yang berarti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para
pemegang kekuasaan (Eksekutif maupun Legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan
dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun
untuk kepentingan kelompok dan golongannya. Sekitar 85% dari kasus-kasus korupsi
yang terjadi di daerah ternyata dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, terutama di
lembaga pemerintahan (Eksekutif) dan lembaga Legislatif. Dengan modus yang
dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas yang fiktif,
penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri, kelompok maupun golongan, dengan menggunakan dan
menyalahgunakan uang negara.
Faktor yang kedua adalah masalah ekonomi. Faktor ekonomi ini tidak terlalu
mendasar jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun
cenderung masih konvensional, artinya tidak seimbangnya penghasilan dengan
kebutuhan hidup yang harus terpenuhi.
Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Karena masih kentalnya semangat
nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, terutama di daerah-daerah dalam
penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan
kewenangan, khususnya yang berhubungan dengan keuangan negara.
Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi kontrol /
pengawasan yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti BPKP serta Bawasda
terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif dan
legislatif) merupakan faktor penting yang menumbuhkembangkan budaya korupsi di
berbagai daerah. Fungsi kontrol yang seharusnya dilaksanakan oleh lembaga legislatif
pada kenyataannya acap kali tidak efektif, hal ini disebabkan karena lembaga legislatif
itu sendiri yang sering kali terlibat dalam penyimpangan serta penyalahgunaan
keuangan negara yang dilakukan oleh legislatif.
Untuk mengakses dan mendownload tugas kuliah ini selengkapnya
anda harus berstatus Paid Member

You might also like