You are on page 1of 34

BAB I

PENDAHULUAN

Radang usus besar (kolitis) adalah suatu peradangan kronis dari usus besar (colon). Colon adalah
bagian dari sistim pencernaan dimana sisa-sisa materi disimpan. Rektum adalah ujung (akhir)
dari colon yang berbatasan pada dubur (anus). Pada pasien-pasien dengan radang usus besar
terdapat gejala-gejala dari sakit perut, diare, dan perdarahan rektum.

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik,
kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.
b. Kolitis non-infeksi, misalnya : kolitis ulseratif, penyakit Crohn’s kolitisradiasi,
kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simplecolitis)

Kolitis iskemik paling sering terjadi pada usia lanjut. Pada lesi transmural timbul nyeri abdomen
mendadak, sering melebihi tanda fisik yang diperlihatkan. Kadang-kadang nyeri disertai diare
berdarah. Onset nyeri cenderung mendadak pada embolus mesenterium dibandingkan pada
trombosis arteri atau vena. Karena penyakit ini dapat berkembang sehingga menyebabkan shock
dan colaps vaskular dalam beberapa jam diagnosis harus cepat ditegakkan, sehingga diperlukan
indeks kecurigaan yang tinggi dalam situasi yang sesuai. Angka kematian pada infark usu
mendekati 90 %, terutama karena jeda waktu antara onset gejala dan perforasi akibat gangren
yang sangat singkat.

Sebaliknya iskemia mural dan mukosa mungkin bermanifestasi hanya sebagai nyeri abdomen
yang tidak jelas sebabnya atau rasa tidak nyaman di abdomen yang muncul perlahan atau
perdarahan saluran cerna yang disertai nyeri dan rasa tidak nyaman. Kecurigaan muncul apabila
pasien pernah mengalami keadaan yang memungkinkan hipoperfusi usus, misalnya serangan
gagal dekompensasi kordis berat atau syok. Infark mukosa dan mural itu sendiri tidak mematikan
dan apabila penyebab hipoperfusi dapat diatasi dan lesi dapat sembuh.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

FISIOLOGI DAN ANATOMI KOLON

Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses
yang padat dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian
proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan setengah distal kolon berhubungan dengan
penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya
masih seperti usus halus yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong.

Gerakan Mencampur “Haustrasi”.

Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm otot sirkular
akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat yang sama, otot
longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian
usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas
puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60 detik berikutnya, kadang juga lambat
terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh
karena itu bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan
feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat
terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.

Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”.

Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang lambat tapi
persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari sekum sampai
sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi
satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.

Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus (sel
epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh
rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus
Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang membawa persarafan
parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon. Mucus juga berperan dalam
melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket
untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas
bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida
sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai
ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat
meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat

Absorpsi dalam Usus Besar

Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan elektrolit
di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses.
Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian
distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat
(kolon penyimpanan)

Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air.

Mukosa usus besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif natrium
yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus besar lebih erat
dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi ketika aldosteron
teraktivasi. Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di sepanjang
mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air

Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti penjelasan
diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam usus besar

Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar

Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari sehingga bila
jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah
ini akan terjadi diare.

Kerja Bakteri dalam kolon.

Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi.
Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi), vitamin (K, B₁₂,
tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂,
H₂, CH₄)

Komposisi feses.

Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20% anorganik, 2-
3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering dari pencernaan (pigmen
empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin
yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat
masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari
karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0). Bau feses
disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja
relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses
bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka
panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.

Defekasi

Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang lemah ±20
cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut tajam yang
menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke rectum, kontraksi
rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang
terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani
eksternus

Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18
mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas dan
isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem
saraf enteric dalam dinding rectum.

Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar
melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon descendens,
sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltic mendekati anus,
sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani
eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter
melemas sewaktu rectum teregang

Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat
dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot
abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang dengan
sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau
melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.
Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi, sehingga
diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Bila
ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian
secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut
parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan
merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses
defekasi yang kuat

Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas
dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun
ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus
mengeluarkan feses.

KLASIFIKASI KOLITIS BERDASARKAN PENYEBABNYA

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik,
kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.
b. Kolitis non-infeksi, misalnya : kolitis ulseratif, penyakit Crohn’s kolitisradiasi,
kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simplecolitis)

KOLITIS INFEKSI

1. KOLITIS AMEBIK (AMEBIASIS KOLON)


Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.

Epidemiologi.
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi.
Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan
dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual
anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi
individual mempermudah penularannya.

Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya.
Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan
infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun
bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.

Gejala klinis.
Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat dengan
gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah
sebagai berikut :
1. Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya
keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan
puluh persen pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10 %) berkembang
menjadi kolitis ameba.
2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan
dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.

3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegalidengan


nyeri spontan.
4. Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.

5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan
periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau
makanan yang sukar dicerna.

Penatalaksanaan.
1. Karier asimtomatik.
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol
(diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3
kali sehari selama 10 hari.
2. Kolitis ameba akut.
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 – 10 hari, ditambah dengan obat luminal
tersebut di atas.

3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba).


Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal
tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti
lebih efektif dari satu macam obat.

2. DISENTRI BASILER (SHIGELLOSIS)


Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genusShigella

Epidemiologi.
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat , sanitasi jelek, kurang air dan tingkat
kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 %
penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera
dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan
penyakit relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah
terjadi penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan
minuman yang terkontaminasi.

Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di
mana S.flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negera-negara Eropa dan
Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di
negera tersebut telah menurun sehingga saat ini S.Sonnei adalah yang terbanyak

Gejala klinis.
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala
klinisShigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat
berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung
lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah,
rasa panas rektal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang
tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada
anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang,delirium, nyeri kepala,
kaku kuduk dan letargi.

Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang
terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses
selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami
gejala shifellosis yangintermiten.
Penatalaksanaan
1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien
disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai
dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral
harus dilakukan rehidrasiintravena.
2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya
penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta
perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik
yang dianjurkan adalah:

• Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau

• Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau

• Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari

Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten
dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan kuinolon
dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat

1. Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitasusus


seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan
memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat simtomatikyang lain diberikan sesuai
dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi.

3. ESCHERICHIA COLI (PATOGEN)


Infeksi kolon oleh serotie Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang menyebabkan diare
berdahak/tidak.

Epidemiologi.
Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.Coli patogen jarang dilakukan, maka angka
kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang
terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat,E.Coli (O157:H7) lebih sering
diisolasi pada pasien diare dibandingkan denganShigella demikian juga pada pasien diare kronik
di Jakarta.

E.Coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia
sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging yang
terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling dan kurang baik
dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum yang tercemar, tempat
berenang yang tercemar dan antar manusia.

Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1 – 8 hari. E.Colipatogen dapat
ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada
orang sehat (bukan flora normal pada manusia).

Gejala klinis.
Manifestasi klinis enfeksi E.Coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa : infeksi asimtomatik,
diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis),SHU, purpura trombositopenik sampai
kematian.
Gejala klinis adalah nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp), diare yang kemudian
diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea(mual) dan vomiting (muntah).
Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan
sebagai kolitis non infeksi. Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun
sebagian pasien tindak mengandung darah sama sekali.

Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU (sekitar 6 % dari
pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia hemolitik
mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal dan gejala saraf sentral. Komplikasi neurologik
berupa kejang , koma, hemiparesis terjadi pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Prediktor
keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah lekosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat
timbul anuria, usia di bawah 2 tahun. Mortalitas antara 3-5 %

Penatalaksanaan.
Pengobatan infeksi E.Coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan simtomatik.
Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat antibiotik dan obat
yang menghambat motilitas. Di samping itu pemberian kontrimoksazol dilaporkan tidak
mempunyai efek yang signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme
dan komplikasiSHU.

4. KOLITIS TUBERKULOSA
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.

Epidemiologi.
Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberculosis yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat.

Gejala klinis.
Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat
terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi, demam ringan,
penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan
kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja
mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum.

Penatalaksanaan.
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada pengobatan
tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu
tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai
adalah :
• INH 5 – 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari

• Etambutol 15 – 25 mg/kgBB atau 900 – 1200 mg sekali sehari

• Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 – 600 mg sekali sehari

• Pirazinaidid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 – 2 g sekali sehari

5. KOLITIS PSEUDOMEMBRAN

Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan
terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaaan mukosa kolon.
Kolitis pseudomembran ditandai dengan plak pseudomembran dengan ukuran bervariasi antara 2
sampai 5 mm dan seringkali bergabung membentuk pseudomembran berwarna putih
kekuningan. Pada beberapa kasus lokasi penyakit ini di sekum dan kolon bagian proksimal.
Kolitis pseudomembran digambarkan pertama kali pada abad 19 kemudian dikenal sebagai
penyakit gastrointestinal dengan frekuensi meningkat dan dapat mengakibatkan kematian.

Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik oleh karena sering timbul akibat pertumbuhan
Clostridium difficile (C. difficile) akibat pemakaian antibiotika. Kolitis pseudomembran pertama
kali dilaporkan pada tahun 1893 disebabkan oleh karena Staphylococcus aureus, tetapi pada
tahun 1978 banyak kasus kolitis pseudomembran diakibatkan oleh toksin C. difficile. C. difficile
ditemukan 15-25% pada penderita dengan gejala asimptomatik, mendapat terapi antibiotika
sebelumnya dan orang dewasa yang MRS. 10% kasus antibiotika berhubungan diare adalah
kolitis pseudomembran. Usia lanjut mempunyai resiko tinggi untuk menderita kolitis
pseudomembran.

Kolitis pseudomembran berhubungan dengan pembentukan pseudomembran pada mukosa kolon.


Kolitis pseudomembran dapat terjadi pada minggu pertama pemakaian antibiotika atau terjadi
lebih 6 minggu setelah pemakaian antibiotika dihentikan. Pemakaian oral lebih sering
menimbulkan kolitis pseudomembran dibanding perenteral. Walaupun clindamysin dan
lincomycin berhubungan dengan kolitis pseudomembran, sebenarnya semua antibiotika dapat
mengakibatkan kolitis pseudomembran antara lain cephalosporin dan ampicillin oleh karena
pemakaian yang luas. Mortality rate penderita kolitis pseudomembran 1.1-3.5%

Etiologi
Kolitis pseudomembran sering dihubungkan dengan penggunaan antibiotika yang
mengakibatkan perubahan keseimbangan flora normal usus dan memungkinkan pertumbuhan
beberapa organisme, termasuk C. difficile yang akan melepaskan toksin. Banyak kasus
dilaporkan kolitis pseudomembran akibat penggunaan antibiotika tanpa memperhatikan jumlah
dosis maupun cara pemberian antibiotika. Pemberian antibiotika jangka panjang dan penggunaan
lebih dari 2 macam meningkatkan resiko terkena kolitis pseudomembran. C. difficile adalah
suatu bakteri gram positif, bentuk spora, anaerob dapat diisolasi pada hampir semua kasus kolitis
pseudomembran. Sebagian besar kasus disebabkan C. difficile ditandai dengan diare dan akan
membaik jika antibiotik penyebab dihentikan dan kolitis pseudomembran merupakan komplikasi
khusus. C. difficile merupakan patogen pada hampir semua kasus kolitis pseudomembran,
meskipun sebagian besar penderita diare oleh karena antibiotika menunjukkan hasil toksin
negatif. Pada beberapa kasus ditemukan Staphylococcus aureus, Salmonella species, Clostridium
perfringens, Yersinea species, Shigella species, Campylobacter species, cytomegalovirus,
Entamoeba histolytica dan Listeria species. Faktor resiko kolitis pseudomembran yang
disebabkan C. difficile akibat pengguanaan antibiotika adalah iskemia kolon, operasi kolon yang
baru, uremia, perubahan diet, perubahan motilitas kolon, malnutrisi, kemoterapi, syok dan
Hirschsprung disease. Kolitis pseudomembran dapat juga terjadi tanpa riwayat pemakaian
antibiotika sebelumnya.
Patofisiologi
Faktor yang ikut berperan pada patogenesis C. difficile berhubungan dengan penyakit usus
adalah :
1)Sumber organisme dapat dari flora normal atau berasal dari lingkungan
2) mengubah flora normal (peran antibiotika)
3) produksi toksin, bersamaan flora normal ditekan
4) umur yang berkaitan dengan kepekaanan
5) kepekaan imunologik

Penggunaan antibiotika spektrum luas mengakibatkan perubahan flora normal usus dan
mengganggu mekanisme kontrol dari populasi flora usus sehingga memungkinkan C. difficile
menetap dan mengadakan proliferasi terutama jika penggunaan antibiotika secara oral..
Disamping itu juga menekan resistensi kolonisasi terhadap C. difficile dan antibiotika sisa tidak
aktif melawan C. difficile. Pemberian C. difficile pada binatang coba tanpa antibiotika tidak
mengakibatkan kolitis tetapi pemberian antibiotika mengakibatkan kolitis. Hal ini dikarenakan
hilangnya kemampuan untuk menghalangi efek toksin C. difficile dan bakteri lain. Perubahan
bakteri anaerobik tampaknya juga memegang peranan penting. Kuman tesebut menetap di kolon
dan menghasilkan toksin yang merusak mukosa, inflamasi dan sekresi
cairan. Host ikut berperan pada manifestasi gejala klinik.

Kolitis diakibatkan oleh sejumlah toksin yang dihasilkan bakteri. Toksin A dan B yang
diproduksi akan mengakibatkan kerusakan jaringan usus dan mengganggu hubungan antar sel.
Toksin yang berperan adalah toksin A (enterotoksin) dengan aktivitas sitotoksik lemah dan
toksin B (sitotoksin) mengakibatkan perubahan kultur jaringan. Enterotoksin terutama
bertanggung jawab pada gejala klinik yang berhubungan dengan infeksi C.difficile tetapi
memiliki efek sitotoksik lebih lemah dibandingkan sitotoksin.

Enterotoksin mengakibatkan sekresi cairan dan kerusakan mukosa dengan akibat diare dan
inflamasi. Toksin melekat dan menyerang mukosa serta mikrofilamen dari sel mukosa dan
kemudian menghasilkan kontraksi sitoplasma, perdarahan, inflamasi, nekrosis sel dan kehilangan
protein. Toksin juga mengganggu sintesa protein, stimulasi kemotaksis granulosit dan
meningkaktkan permeabilitas kapiler dan respon mioelektrik usus serta mengganggu peristaltik.
Kerusakan awal oleh toksin A memungkinkan toksin B masuk ke dalam sel dan memungkinkan
kedua toksin menyebabkan trauma pada sel.

Toksin A mengakibatkan produksi TNF a, IL-1b dan leukotriene serta menstimulasi neutrofil
sehingga mengakibatkan inflamasi. Pada awalnya tampak eksudasi polimorfonuklear dan fibrin
ke dalam lumen dan merupakan tanda spesifik. Akumulasi sel PMN di jaringan usus pada kolitis
pseudomembran oleh karena toksin A mengakibatkan kerusakan jaringan. Replikasi patogen,
produksi toksin dan pengerahan neutrofil mengakibatkan kerusakan dan apoptosis, nekrosis lokal
dan terbentuk pseudomembran. Toksin B sangat bermanfaat untuk deteksi penyakit sedangkan
toksin A bertanggung jawab pada ekspresi klinik dari penyakit. Ig G terhadap toksin A
berhubungan dengan perlindungan terhadap penyakit asimptomatik dan juga mencegah relaps.

Gejala Klinis
Pada umumnya gejala tampak setelah 3 sampai 9 hari pemakaian antibiotika. Gejala dapat
asimptomatik sampai berat. Gejala yang sering adalah diare cair atau mukoid dapat profus,
berbau busuk dan dapat disertai dengan sedikit darah, dengan frekuensi sering (10-20 kali/hari),
dan dapat terjadi ileus tetapi sangat jarang. Dapat disertai kram perut, demam dengan temperatur
tidak lebih dari 38°C. Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi ekstraintestinal yaitu
oligoartritis dan iridosiklitis.

Diagnosis
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu dipikirkan
terjadinya kolitis pseudomembran. Pemeriksaan laboratorium non spesifik berhubungan C.
difficile sebagai penyebab kolitis adalah lekositosis 15.000/mm3, hipoalbumin dan lekosit pada
feses. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dibuat dengan mendeteksi toksin dalam
feses, hasil kultur positif dan melakukan pemeriksaan endoskopi. Karena pemeriksaan kultur C.
difficile kurang spesifik dikembangkan pemeriksaan enzyme immunoassay (EIA), latex
agglutination dan polymerase chain reaction. EIA dapat mendeteksi toksin A atau toksin A dan
B, banyak ahli menyukai test yang mendeteksi kedua toksin oleh karena beberapa kasus C.
difficile memproduksi hanya toksin A. Test sitotoksin feses memiliki sensitivitas 94-100% dan
spesivisitas 99%. Sebagai gold standard untuk diagnosis secara laboratorium adalah pemerikasan
sitotoksin, dengan mendeteksi toksin B pada feses. Test ini akan memberikan hasil positif jika
didapatkan sel pada kultur jaringan tampak pada feses cair, mengalami perubahan sitopatik.

Rekomendasi dari Society for Hospital Epidemiology and Infection Control (SHEA) untuk
deteksi C. difficile:
1) Test hanya feses diare kecuali jika ada ileus
2) jangan melakukan pemeriksaan atau mengobati kecuali jika ada penelitian epidemiologi
3) pemeriksaan feses hanya pada usia diatas 1 tahun
4) pemeriksaan yang disukai adalah kultur
5) EIA cocok sebagai alternatif pemeriksaan sitotoksik tetapi kurang sensitif

Plak pada kolitis pseudomembran tampak pada pemeriksaan endoksopi dan patologi anatomi.
Pada sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan pemeriksaan
sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%, pada sebagian kecil penderita jika
penyakit terbatas pada proksimal kolon memerlukan pemeriksaan kolonoskopi. Inspeksi
langsung dengan endoskopi sebagian besar penderita dengan diare yang berhubungan dengan
pemakaian antibiotika ditemukan mukosa kolon dan rektum tampak normal atau menunjukan
inflamasi ringan. Penemuan ini dapat berupa perubahan nonspesifik berupa eritema, friability
dan edema sampai menunjukkan kelainan kolitis pseudomembran. Kolitis pseudomembran
merupakan suatu plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5 mm dan seringkali bergabung
menjadi bentuk besar, berupa pseudomembran putih kekuningan. Gambaran histologi dari lesi
bervariasi tergantung beratnya penyakit juga pada saat pengambilan biopsi dari jaringan, tapi
tidak berkorelasi dengan beratnya gejala klinik. Gambaran histologi dari biopsi kolitis
pseudomembran terdiri eksudat inflamatori berupa mukoid terdiri dari infiltrasi neutrofil
polimorfonuklear, eosinofil dan inti-inti. Pada lamina propria Menurut Price dan Davies ada 3
tipe lesi : Volcano, Glandular dan Mucosa necrosis.

Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium enema dan CT scan abdomen dapat
dilakukan untuk mendukung diagnosis kolitis pseudomembran. CT scan menunjukkan gambaran
cap jempol dari mukosa kolon yang menunjukkan edema mukosa tetapi perubahan ini tidak
spesifik untuk kolitis pseudomembran oleh karena C. difficile. Meskipun hasil CT scan tidak
berhubungan dengan beratnya penyakit dan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis, tetapi
CT scan abdomen penting untuk penderita dengan kecurigaan kolitis pseudomembran
oleh karena peningkatan mortalitas akibat diagnosis yang ditegakkan dalam jangka waktu lama.

Komplikasi
Meningkatnya kesadaran penggunaan antibiotika penyebab kolitis pesudomembran dan
pemberian terapi awal kasus yang dicurigai kolitis pseudomembran mengakibatkan penurunan
komplikasi dan mortalitas. Akibat diare berkepanjangan mengakibatkan dehidrasi, gangguan
keseimbangan elektrolit, hipotensi dan protein loss dengan akibat hipoalbuminemia. Komplikasi
serius tapi jarang terjadi dari kolitis pseudomembran adalah kolitis fulminan dengan toksik
megakolon. Perforasi merupakan komplikasi yang mengakibatkan kematian tertinggi dari
komplikasi lainnya, terutama jika menyangkut beberapa lokasi, tetapi jarang terjadi.

Penatalaksanaan
Terapi pada kolitis pseudomembran meliputi: antibiotika yang diduga menjadi penyebab
dihentikan, terapi suportif non spesifik dan beberapa kasus diberikan antibiotika terhadap C.
difficile. Terapi suportif diberikan pada kasus ringan dan sedang. Terapi awal yang penting
adalah menghentikan penggunaan antibiotika yang diduga menyebabkan kolitis pseudomembran
atau minimal mengganti dengan antibiotika yang kecil kemungkinan untuk pertumbuhan C.
difficile, menghindari penggunaan obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan
antidiare), mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada kasus berat penderita perlu
dirawat untuk rehidrasi secara intravena. Pada penderita tua dan kolitis pseudomembran yang
berat antibiotika empiris harus dimulai setelah dicurigai kolitis pseudomembranous. Pada kasus
gagal dengan terapi suportif dan antibiotika penyebab tidak dapat dihentikan, bisa
dipertimbangkann pemberian antibiotika khusus 7 sampai 10 hari bersama-sama pemberian
terapi suportif dan antibiotika penyebab dapat diganti lainnya jika memungkinkan. Terapi
spesifik didasarkan 3 pendekatan : penggunaan antibiotika efektif terhadap C difficile,
membersihkan toksin dari lumen kolon dengan pengikat resin atau menghidupkan kembali flora
normal.
Vancomycin dan metronidazole sering digunakan dan memberikan respon baik pada hampir
seluruh kasus. Metronidazole secara oral merupakan obat pilihan untuk terapi awal dengan dosis
250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari. Vancomycin direkomendasikan sebagai second
line therapy dengan dosis 125 mg 4 kali sehari, kedua antibiotika tersebut diberikan selama 10-
14 hari. Pemberian vancomycin secara oral memberikan kadar dalam kolon tinggi dan sensitif
terhadap semua strain C. difficile. Tetapi penggunaan metronidazole lebih disukai mengingat
harganya 20 kali lebih murah dibandingkan vancomycin. Pada penderita yang tidak
memungkingkan pemberian secara oral pemberian metronidazole intravena menjadi pilihan
dibandingkan vancomycin, hal ini disebabkan vancomycin tidak dapat diekskresikan ke dalam
kolon. Metronidazole intravena diberikan 500 mg tiap 6 jam. Cholestyramine dapat diberikan
untuk pengikatan toksin A dan B dari C. difficile, dengan maksud membersihkan toksin dari
lumen kolon. Cholestyramine dapat mengikat vancomycin sehingga diberikan 2 sampai 3 jam
sebelum atau sesudah pemberian vancomycin. Lactobacilli juga telah digunakan secara luas pada
penyakit diare seperti kolitis pseudomembran. Tindakan pembedahan diindikasikan pada
penderiita yang tidak respon dengan terapi medik atau kecurigaan perforasi kolon atau toxic
megacolon. Pembedahan diperlukan kurang lebih 0.4% kasus. Dua pertiga penderita dengan
toxic megacolon memerlukan tindakan pembedahan . Diare akan berkurang, suhu tubuh turun
dan perbaikan gejala klinis dalam 24-48 jam dan diare akan berhenti total dalam waktu 5 sampai
7 hari. Kultur C. difficile dan pemeriksaan toksin tetap positif dalam beberapa minggu dan
jangan disalahartikan sebagai kegagalan terapi jika diare membaik. Penderita yang tidak
membaik secara cepat perlu dipertimbangkan untuk diagnosa lain

Pencegahan
Paling penting untuk mencegah penyakit usus yang berhubungan dengan penggunaan antibiotika
adalah dengan menghindari penggunaan antibiotika jika tidak diperlukan. Jika telah terkena
penyakit tersebut dengan meminimalkan penyebarannya. Penyebaran secara nosokomial
merupakan hal serius sehingga isolasi tepat dan tindakan pencegahan harus diperhatikan
terutama pada penderita dengan diare. Disarankan pemakaian sarung tangan dan mencuci tangan
pada seseorang yang terlibat dalam perawatan penderita.
Sumber penularan C. difficile mungkin secara endogen jika penderita sebagai karier atau paling
sering didapat secara eksogen didapat secara nosokomial. Rekomendasi SHEA untuk mengontrol
C. difficile di rumah sakit dan perawatan yang lama :
1) Membatasi penggunaan antibiotika dedngan perhatian khusus untuk clindamycin
dan cephalosporin
2) cucitangan dengan sabun
3) memakai sarung tangan
4) membersihkan lingkungan terutama pada daerah dengan kasus infeksi C. difficile
5) isolasi pada penderita simptomatik khususnya yang inkontinensia feses pada ruangan khusus
6) menghindari penggunaan termometer rektal

Prognosis
Prognosis penderita kolitis pseudomembran adalah baik. Kecurigaan secara klinik dan
pengenalan tepat dari penyakit mendorong penghentian penggunaan antibiotika dan memulai
memberikan terapi spesifik jika merupakan indikasi. Progonis pada penderita dengan komplikasi
toxic megacolon dan perforasi kurang baik.

KOLITIS NON-INFEKSI

1. Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi secara intermiten dan remisinya gejala
klinik. Etiologi dari kolitis ulseratif meliputi faktor genetik (lebih sering mengenai orang kulit
putih daripada kulit hitam), infeksi, imunologik (manifestasi ekstraintestinal yang dapat
menyertai kelainan ini), dan psikologik (adanya stres psikologis mayor).

Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen , seringkali dengan
demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan bisa ada satu
atau dua feses yang setengah mengandung sedikit darah tanpa manifestasi sistemik. Derajat
klinik dapat dibagi menjadi ringan, sedang, berat berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya
demam, derajat beratnya anemia yang terjadi, dan laju endap darah.
Gambaran klinis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat distensi abdomen atau
nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik umum akan normal.
Demam, takikardi dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih
berat. Manifestasi ekstrakolon dapat dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular (iritis, uveitis,
episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma gangrenosum), atralgia, kolangitis
skeloris primer jarang dijumpai.

Gambaran laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya


perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta
defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran kekiri dan laju
endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat, kelainan elektrolit terutama
hipokalemia mencerminkan derajat diare, hipoalbumin umum terjadi pada penyakit yang
ekstensif.

Diagnosis pasti dari kolitis dengan barium enema in loop yang akan didapatkan hasil berupa
hilangnya haustra seperti pada gambar di bawah ini :

Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa pada Colitis ulseratif
Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat hampir menyeluruh di
semua colon.

Gambaran penyakit Crohn dimana terlihat hilangnya arsitektur mukosa sigmoid.

Gambaran colitis ulsertatif cronic

Gambaran colitis iskemik


2. Kolitis iskemik

Arteri yang memasok darah ke usus besar adalah seperti arteri lain di dalam tubuh. Mereka
memiliki potensi untuk sempit akibat aterosklerosis (seperti pembuluh darah di jantung, yang
dapat menyebabkan angina , atau menyempit pembuluh di otak dapat menyebabkan stroke ).
Ketika arteri sempit, usus besar kehilangan suplai darah dan menjadi meradang.

Kolon juga bisa kehilangan suplai darah dengan penyebab mekanik. Beberapa contoh termasuk
volvulus dan hernia di mana sebagian dari usus besar akan terjebak dalam outpouching dinding
perut. Kolitis iskemik dapat terjadi jika tekanan darah turun. Hal ini dapat terjadi dengan
dehidrasi , anemia , atau shock .

Kolitis iskemik adalah gangguan yang berkembang ketika aliran darah ke suatu bagian dari usus
besar (kolon) berkurang. Hal ini dapat menyebabkan peradangan pada daerah usus besar dan,
dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan kerusakan usus permanen. Kolitis iskemik dapat
mempengaruhi setiap bagian dari kolon, tapi kebanyakan orang yang terkena rasa sakit
berkembang di sisi kiri perut. Buang air besar yang mengedan dan diare berdarah juga umum
terjadi pada kolitis iskemik.Kebanyakan kasus kolitis iskemik adalah ringan dan dapat sembuh
sendiri dalam beberapa hari.

Gejala
Tanda-tanda umum dan gejala kolitis iskemik meliputi:
• Nyeri abdomen, nyeri atau kram, biasanya terlokalisasi ke sisi kiri bawah perut, dapat
tiba-tiba atau bertahap
• Feses berwarna merah terang atau merah darah, suatu ketika dapat keluar darah sendiri
tanpa feses
• Perasaan ingin mengedan
• Diare
• Mual
• Muntah

Risiko komplikasi berat dari kolitis iskemik meningkat ketika tanda-tanda dan gejala
mempengaruhi sisi kanan abdomen. Hal itu dikarenakan arteri yang memberi nutrisi sisi kanan
usus juga member nutrisi pada bagian dari usus halus. Ketika aliran darah tersumbat di sisi kanan
usus besar, kemungkinan bahwa bagian dari usus halus juga tidak menerima suplai darah yang
cukup.

Nyeri cenderung lebih parah dengan jenis kolitis iskemik. Terhambatnya aliran darah ke usus
halus dengan cepat dapat mengakibatkan kematian jaringan usus (infark atau nekrosis). Jika
situasi ini terjadi dapat mengancam jiwa, akan memerlukan pembedahan untuk membersihkan
sumbatan dan untuk menghilangkan bagian dari usus yang telah hancur.Diagnosis dini dan
pengobatan dapat membantu mencegah komplikasi serius dari kondisi ini.

Penyebab
Kolitis iskemik melibatkan suplai darah yang tidak memadai mencapai kolon. Pada kasus akut,
penyebab paling sering adalah bekuan darah dalam arteri yang memasok darah ke usus.
Sedangkan pada kasus kronis biasanya berhubungan dengan penumpukan simpanan lemak
(aterosklerosis) dalam pembuluh darah yang menuju ke usus.

Pada beberapa orang, kolitis iskemik dapat disebabkan oleh atau berhubungan dengan kondisi
medis lainnya, termasuk:

• peradangan (vaskulitis) pembuluh darah


• penonjolan organ atau jaringan ke jaringan sekitarnya (hernia), berhubungan dengan
suplai darah arteri serta suplai darah vena ke usus
• peningkatan gula (glukosa) dalam darah (diabetes)
• mudah terjadi pembekuan darah (hiperkoagulasi)
• radiasi abdomen
• kanker colon
• pembedahan perut, terutama ketika menyangkut perbaikan dinding arteri yang
menggembung (aneurisma) di wilayah tersebut
• infeksi, seperti shigella, Escherichia coli 0157: H7 dan Clostridium difficile
• dehidrasi

Peran obat

Obat-obatan tertentu juga jarang menimbulkan kolitis iskemik sebagai efek samping, seperti:

• obat anti-inflamasi steroid

• obat pengganti estrogen

• obat golongan ergotamint

• obat penurun tekanan darah

• obat-obatan antipsikotik tertentu

• pseudoefedrin (dekongestan yang ditemukan di banyak obat flu dan obat alergi)

• obat iritasi bowel syndrome (Lotronex)

Faktor risiko

Faktor risiko untuk kolitis iskemik meliputi:

• Umur. Kondisi ini terjadi dengan frekuensi terbesar pada orang dewasa yang lebih tua.
Jika itu terjadi pada orang dewasa muda, mungkin menjadi tanda kelainan pembekuan
darah atau suatu peradangan pembuluh darah (vaskulitis).

• Faktor risiko penyakit jantung. Pengurangi aliran darah yang memberi respon untuk
kolitis iskemik, lebih cenderung terjadi pada orang yang memiliki sifat-sifat atau kondisi
yang umumnya terkait dengan penyakit jantung, seperti penggunaan tembakau dan
tingkat kolesterol tinggi.
• Kondisi medis tertentu. Beberapa gangguan dianggap faktor predisposisi yang
menempatkan pada risiko yang lebih besar berkembangnya kolitis iskemik, atau mereka
dapat memperburuk kolitis iskemik saat kondisi itu terjadi. Hal ini termasuk operasi
abdomen sebelumnya, gagal jantung, tekanan darah rendah dan syok.

Komplikasi
Dalam kebanyakan kasus, kolitis iskemik sembuh sendiri dalam waktu satu sampai dua hari.
Dalam kasus yang lebih lanjut dari kolitis iskemik, komplikasi dapat mencakup:

• Gangren. Kolitis iskemik tidak diobati bisa mengakibatkan kematian jaringan (gangren)
di kolon. Gangren dapat berkembang setelah penurunan awal aliran darah ke kolon dan
dapat mengakibatkan kematian jika tidak menerima pengobatan tepat waktu.

• Perforasi dan Perdarahan. Kolitis iskemik juga dapat menyebabkan sebuah lubang
(perforasi) pada usus atau perdarahan persisten.

• Nyeri dan obstruksi. Bahkan saat penyembuhan terjadi, kolitis iskemik dapat
menyebabkan jaringan parut pada dan penyempitan pada usus. Hal ini dapat
menyebabkan nyeri perut kronis dan obstruksi.

Tes dan diagnosis

Mendiagnosis penyebab gejala colitis iskemik adalah dengan cara sebagai berikut:

• Pemeriksaan fisik dan Riwayat penyakit.

• Colonoscopy. Kolonoskopi dianggap uji definitif untuk mendiagnosa kolitis iskemik.


Dalam prosedur ini, tabung berlampu fleksibel dimasukkan ke dalam rektum dan
didorong ke dalam kolon. Sebuah kamera kecil di ujung lingkup mengirimkan gambar
usus ke layar video. Kita dapat melihat lapisan interior kolon dan mendeteksi adanya
jaringan inflamasi dan abses.

• Biopsi. Kadang-kadang, sebagai bagian dari kolonoskopi, kita dapat mengambil sebuah
sampel jaringan kecil (biopsi) dari kolon untuk analisis laboratorium. Pada kolitis
iskemik, pembengkakan dan perdarahan dapat hadir di bawah lapisan usus (lapisan
mukosa), dan dapat dideteksi di laboratorium. Kolonoskopi dapat mengesampingkan
penyebab lain dari peradangan di usus, termasuk infeksi tertentu, penyakit inflamasi usus,
radang dinding usus (diverticulitis) dan kanker usus besar. Jika peradangan berat, kita
mungkin tidak dapat melihat seluruh usus besar dengan baik atau mendapatkan biopsi
memadai.Jika hal ini terjadi, mungkin harus colonoscopy perlu diulangi sekali lagi
setelah peradangan telah mereda. Hal ini memungkinkan kita untuk memastikan bahwa
tidak ada peradangan persisten, jaringan parut atau kanker kolon.

Pemeriksaan penunjang lainnya

• X-ray abdomen dan pelvis. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi barium enema.
Dalam proses ini, bahan kontras (barium cair) dimasukkan ke dalam kolon melalui anus.
Setelah kolon dilapisi dengan barium, radiolog mengambil gambar X-ray dari kolon.
Gambar-gambar ini, yang dapat dilihat pada monitor video, dapat mendeteksi kelainan-
kelainan dalam usus besar dan membantu membedakan kolitis iskemik dari kondisi
peradangan lainnya. Gambar yang menunjukkan kolitis iskemik bisa menunjukkan
penebalan (thumbprinting) dari dinding kolon.

• Abdomen arteriogram. Ini adalah X-ray dari arteri di abdomen. Cara ini dapat
menunjukkan penyempitan atau penyumbatan dalam pembuluh, yang mengindikasikan
adanya kolitis iskemik. Sebuah pewarna kontras disuntikkan ke arteri sebelum X-ray
diambil untuk membantu menghasilkan gambar yang jelas.
• USG. Tes pencitraan menggunakan gelombang suara untuk menyediakan gambar kolon.
Alat ini dapat membantu dalam mengesampingkan gangguan lain, seperti penyakit
inflamasi usus. Untuk prosedur, alat yang disebut transduser yang memancarkan
gelombang suara disepanjang abdomen. Informasi yang ditangkap oleh transduser
tersebut dikirim ke komputer yang menghasilkan gambar.

• Abdomen Computerized Tomography (CT) scan. Terkadang CT-Scan digunakan


untuk menyingkirkan kondisi-kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala yang mirip
dengan kolitis iskemik. Tes ini menggunakan teknologi canggih X-ray untuk
menghasilkan gambar penampang kolon, dan mungkin dapat mendeteksi penebalan
dinding kolon.

• Tes darah. Orang dengan kolitis iskemik mungkin memiliki jumlah sel darah tinggi
putih (WBC) yang terjadi bila ada peradangan atau tubuh memerangi infeksi. Jika
mencurigai adanya masalah pembekuan darah, mungkin dilakukan pemeriksaan darah
yang lebih spesifik.

• Sampel Feses. Analisis contoh feses di laboratorium dapat mengungkapkan infeksi


bakteri dan mikroorganisme lain yang terkait dengan kolitis iskemik.

Gambaran X-Ray kolitis iskemik


Gambaran PA Kolitis iskemik

Perawatan dan pengobatan

Pilihan pengobatan untuk kolitis iskemik tergantung pada derajat keparahan. Bila kolitis iskemik
ringan, dapat diberikan obat untuk menjaga tekanan darah pada tingkat normal, yang akan
membantu memperlancar aliran darah ke usus. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi.
Dengan langkah-langkah konservatif tersebut, gejala sering berkurang dalam 24 hingga 48 jam
dalam kasus-kasus ringan, tanpa perlu rawat inap.

Namun, jika pasien mengalami dehidrasi, perlu diberikan cairan dan nutrisi melalui pembuluh
darah, mungkin juga perlu pembatasan asupan makanan selama beberapa hari untuk
mengistirahatkan usus. Pada kasus ringan, penyembuhan dapat terjadi dalam dua minggu atau
kurang. Dalam kasus yang lebih parah, pemulihan dapat memakan waktu lebih lama, dan
kekambuhan dapat terjadi.

Jika kolitis iskemik berkembang sebelum usia 50 atau pada pasien yang memiliki riwayat
hiperkoagulable atau gangguan yang meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku
(faktor V Leiden) dapat diberi warfarin (Coumadin), yang dapat membantu mencegah episode
kolitis iskemik.

Operasi
Beberapa orang dengan kolitis berat atau iskemik berkepanjangan memerlukan tindakan bedah
untuk mereseksi bagian kolon yang terkena. Indikasi perlunya pembedahan untuk kolitis iskemik
jika kondisinya dikaitkan dengan:

• Kram abdomen dan demam yang berat dan persisten, bahkan setelah pengobatan awal
dengan cairan dan obat-obatan.

• Perforasi pada kolon

• Gangren dan sepsis. Pengobatan untuk komplikasi yang berat ini juga mencakup
antibiotik spektrum luas dan penggantian darah.

Pencegahan
Karena penyebab kolitis iskemik tidak selalu jelas, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah
gangguan tersebut. Tetapi mayoritas dari mereka yang memilikinya pulih dengan cepat dan tidak
pernah memiliki episode lain. Menghindari obat yang mungkin telah menyebabkan kolitis
iskemik di masa lalu. Dan jika memiliki faktor risiko colitis iskemik termasuk penyakit jantung
dan tekanan darah tinggi hendaknya :

• Berhenti merokok
• Minum obat penurun kolesterol
• Kontrol penyakit kronis, seperti diabetes
• Olah raga teratur

3. Kolitis Gangrenosa

Adalah merupakan komplikasi dari kolitis iskemik yang tidak diobati yang mengakibatkan
kematian jaringan (gangren) di kolon. Gangren dapat berkembang setelah penurunan awal aliran
darah ke kolon dan dapat mengakibatkan kematian jika tidak menerima pengobatan tepat waktu.

Gangren adalah kematian jaringan di bagian tubuh. Gangren terjadi ketika sebuah bagian tubuh
kehilangan suplai darah. Hal ini bisa terjadi dari cedera, infeksi, atau penyebab lainnya. Faktor
risiko lebih tinggi untuk gangren jika:

• Kolitis iskemik yang tidak diobati


• Cedera serius
• Penyakit pembendungan darah (seperti arteriosklerosis, juga disebut pengerasan
pembuluh darah, di lengan atau kaki)
• Diabetes
• Sistem kekebalan tubuh menurun (misalnya, dari HIV atau kemoterapi)
• Pembedahan

Gejala
Gejala tergantung pada lokasi dan penyebab gangren tersebut. Jika kulit yang terlibat, atau
gangrene ini dekat dengan kulit, gejala dapat mencakup:

• Perubahan warna
• Berbau busuk discharge
• Hilangnya rasa di daerah (yang mungkin terjadi setelah sakit parah di daerah tersebut)
Jika daerah yang terkena adalah di dalam tubuh (seperti gangren dari kantong empedu, gangrene
usus), gejala dapat mencakup:

• Gelisah
• Demam
• Gas pada jaringan di bawah kulit
• Umumnya merasa sakit
• Tekanan darah rendah
• Persisten atau sakit parah

Diagnostik

Selain dari pemeriksaan fisik, mendiagnosa gangren dapat digunakan prosedur sebagi berikut:

• Arteriogram (khusus x-ray untuk melihat penyumbatan dalam pembuluh darah) untuk
membantu rencana pengobatan penyakit pembuluh darah
• Darah rutin (sel darah putih [WBC] hitung mungkin tinggi)
• CT scan untuk memeriksa organ internal
• Kultur dari jaringan atau cairan dari luka untuk mengidentifikasi infeksi bakteri
• Memeriksa jaringan di bawah mikroskop untuk mencari sel mati
• Operasi untuk menemukan dan mereseksi jaringan mati
• X-ray

Pengobatan
Gangren memerlukan evaluasi darurat dan perawatan. Secara umum, jaringan yang mati harus
dibuang untuk memungkinkan penyembuhan jaringan hidup di sekitarnya dan mencegah infeksi
lebih lanjut. Tergantung pada daerah yang memiliki gangren, kondisi secara keseluruhan orang
itu, dan penyebab gangren, pengobatan dapat mencakup:

• Mengamputasi bagian tubuh yang telah gangrene


• Suatu operasi darurat untuk menemukan dan membuang jaringan mati
• Sebuah operasi untuk meningkatkan suplai darah ke daerah tersebut
• Antibiotik
• Operasi berulang untuk membuang jaringan mati (debridement)
• Pengobatan di unit perawatan intensif (bagi pasien sakit parah)

Outlook (Prognosis)
Apa yang akan terjadi tergantung pada di mana gangren yang ada di dalam tubuh, berapa banyak
gangren ada, dan kondisi secara keseluruhan orang itu. Jika pengobatan tertunda, gangren sangat
luas, atau orang yang memiliki masalah kesehatan lain yang signifikan, mereka mungkin dapat
meninggal.

Komplikasi
Komplikasi tergantung di mana gangrene berada dalam tubuh, berapa banyak gangren ada,
penyebab gangren, dan kondisi secara keseluruhan orang itu. Komplikasi dapat termasuk:

• cacat dari amputasi atau pengangkatan jaringan mati


• penyembuhan luka yang berkepanjangan atau kebutuhan untuk rekonstruksi bedah,
seperti pencangkokan kulit
Pencegahan
Gangren bisa dicegah jika dirawat sebelum kerusakan jaringan tidak dapat diubah. Luka harus
diperlakukan dengan baik dan mengawasi dengan cermat untuk tanda-tanda infeksi (seperti
penyebaran kemerahan, pembengkakan, atau drainase) atau kegagalan untuk menyembuhkan.

Penderita dengan diabetes atau penyakit pembuluh darah secara rutin harus memeriksa setiap
tanda-tanda cedera, infeksi, atau perubahan warna kulit dan mencari perawatan yang diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Moore, Keith L.2002.Anatomi Klinis Dasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Fleshman, James W.Schwartz’s. 1999. Principles of Surgery ed.7th. New York :
Mc Graw-Hill
Ariestina, Dina Aprilia.2008. Kolitis Ulseratif ditinjau dari aspek etiologi, klinik,
dan patogenesa. Universitas Sumatra Utara : Medan
Http//: www. digilib-usu.ac.id
Colitis Ischemic ( http://www.mayoclinic.com/health/ischemic-colitis/)
Colitis (www.e-medicine.com/colitis/article_em)
Sudoyo, Aru W.dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FKUI : Jakarta
Way, Laurance W, Gerard M. Doherty. 2003. Current Surgical Diagnosis &
Treatment, Eleventh Edition. McGraw-Hill Companies : USA
Sabbiston, David C. 1995. Essentials of Surgery. Philadelphia
Kumar, Cotran, Robin. 2004. Buku ajar patologi edisi 7. Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta.
Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.
Bartlett JG. (2002). Pseudomembranous enterocolitis and antibiotic associated diarrhea. In :
Gastrointestinal and liver disease Pathophysiology. Diagnosis/Management. Ed. Feldman M,
Friedman LS, Sleisenger MH. 7th ed. WB Saunders, Philadelphia, p 1914.
Bartlett JG. (2002). Antibiotic-Associated Diarrhea. NEJM 346 (5),334.
Borriello SP. (1998). Pathogenesis of Clostridium difficile in infection. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy 41 (Suppl. C), 13.
Brazier JS. (1998). The diagnosis of Clostridium difficile-associated disease. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 41 (Suppl.C), 29
Fasano A. (2002). Toxins and the gut : role in human disease.Gut 50 (Suppl III), iii9.
Gronczewski CA, Katz JP. (2003). Clostridium Defficile Colitis. E Medicine J
http//www.eMedicine.com/med/htm.
Kawamoto. (1999). Pseudomembranous Colitis : Spectrum of Imaging Findings with Clinical
and Pathologic Correlation. Radiographics 19, 887.
Kyne L, Kelly CP. (2001). Recurrent Clostridium difficile diarrhoea. Gut 49, 152.
LaHatte LJ, Tedesco FJ, Schuman BM. (1995). Antibiotic-Associated Injury to the gut. In :
Gastroenterology. Ed. Haubrich WS, Schaffner F, Berk JE. 5th ed. WB Saunders,
Philadelphia, p 1657.
Lee Joseph. (2002). Pseudomebranous Colitis. E Medicine http//www.eMedicine.com/med/htm
Limaye AP, Turgeon DK, Cookson BT, Fritsche TR. (2000). Pseudomembranous Colitis Caused
by a toxin A-B+ Strain of Colstridium difficile. J. Clin. Microbiol 38 (4), 1696.
Louie TJ, Meddings J. (2004). Clostridium difficile infection in hospitals : risk factors and
responses. CMAJ 171 (1), 45.
Macfarlane GT, Cummings JH. (1999). Probiotics and prebiotics : can regulating the activities of
intestinal bacteria benefit health?. BMJ 318,999.
Oesman N. (2001). Kolitis Infeksi. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor : Suyono S.
Edisi ketiga. Jakarta, hlm. 213.
Yassin. (2002). Pseudomembranous Colitis. E Medicine J http//www.eMedicine.com/med/htm.

You might also like