You are on page 1of 36

NEO AL-MAUN:

TAUHID SOSIAL UNTUK PEMIHAKAN DAN PEMBERDAYAAN


DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Zakiyuddin Baidhawy

Pendahuluan
Jumlah kaum dhuafa dan mustadh`afin dalam satu dekade
terakhir terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis
ekonomi yang meluas. Reformasi tanpa arah jelas menambah ruwet
penyelenggaraan negara untuk menyejahterakan warganya. Keadaan
semacam ini membuat populasi kaum tertindas dan termiskinkan terus
meluas. Orang-orang miskin di perkotaan maupun pedesaan semakin
tertekan dan tidak punya cukup kemampuan untuk melompati
gerbang harapan (treshold of hope) yang membawa mereka lepas dari
jurang kemelaratan dan penindasan struktural. Dominasi dan
hegemoni sistem ekonomi-politik neo-kapitalis sama sekali tidak
memberi kesempatan bagi mereka untuk menentang ketidakadilan
sekaligus melakukan perubahan. Nasib mereka makin terjepit.
Kesengsaraan dan deprivasi sistemik semakin terasa setidaknya
dalam beberapa hal berikut ini.

Pertama, Orang-orang miskin dibuat mati menyedihkan karena


kelaparan dan gizi buruk justru terjadi "di lumbung padi" sendiri. Ada
"busung lapar di pusat penghasil padi terbesar" di wilayah Indonesia
bagian tengah. Pada saat yang sama, penyakit "lapar korupsi" juga
terus menjangkiti para pejabat di Nusa Tenggara Timur, di mana angka
penderita gizi buruk dan busung lapar sangat tinggi. Kematian satu
jiwa adalah tragedi. Sayangnya, di negeri ini kematian banyak jiwa
lebih dipandang sebagai angka statistik, meminjam Stalin. Akankah
kemiskinan dan kematian akibat kelangkaan kebutuhan dasar dan
pelayanan kesehatan yang mendera sebagian saudara kita, dibiarkan
seperti adanya? Tidak ada jaminan dari negara atas pemenuhan

1
kebutuhan hidup minimum bagi orang miskin. Mereka yang hidup
dibawah garis subsistens ini "harus" terus sehat. Jangan sakit, karena
obat mahal, jasa dokter setinggi langit. Kartu jaminan kesehatan bagi
kaum miskin bukan jaminan atas pelayanan medis yang memadai.
Boleh jadi, justru merupakan pangkal diskriminasi.
Kedua, situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada
urusan perut dan kesehatan. Untuk jadi orang melek huruf sekalipun
mereka sulit setengah hidup. Kasus-kasus siswa-siswi gantung dan
bunuh diri karena malu menunggak SPP, tidak mampu bayar iuran
ketrampilan sekolah, belakangan makin kerap terjadi. Negara seolah
lari dari tanggung jawab "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai
bagian dari tujuan luhur negara ini diproklamirkan. Banyak orang
miskin tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak.
Angka putus sekolah dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam pada
itu, sekolah-sekolah unggulan, terpadu, internasional, berbiaya mahal
terus tumbuh bagai jamur. Sebuah paradoks yang mencolok mata.
Pendidikan inklusi berbasis pada filosofi education for all. Sayangnya,
pendidikan ini tidak termasuk terbuka bagi mereka papa. Pendidikan
inklusi bukan untuk orang kere yang berat bayar uang gedung dan
SPP. Alhasil, sudah miskin bodoh lagi. Dijamin indeks pembangunan
sumberdaya insani negeri ini makin menurun.
Ketiga, orang-orang miskin dibuat nelangsa oleh keadaan dan
struktur karena mereka tidak punya pekerjaan, kehilangan pekerjaan,
atau menjadi setengah pengangguran. Padahal pekerjaan merupakan
sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup setiap warga.
Kewajiban negara menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap
orang dan membuka lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Namun,
karena demi pertumbuhan ekonomi, bahan bakar minyak (BBM)
dinaikkan dalam prosentasi cukup drastis (tahun 2005 dan 2008)
disusul kenaikan TDL (2010), jumlah pekerjaan menjadi semakin
berkurang. PHK tak terelakkan. Sementara jumlah penduduk usia

2
produktif mesti bertambah. Ratusan ribu sarjana baru lahir tiap
tahunnya. Pengangguran intelektual otomatis meningkat. Jumlah
pendaftar pegawai negeri membludak. Bursa kerja dikerumuni insan-
insan pencari lowongan kerja.
Berbekal ijazah sarjana jauh dari cukup untuk memperoleh
pekerjaan bagus dengan gaji bagus pula. Ijazah hanya syarat
administratif. Selanjutnya sistem koneksi berlaku. Jaringan jauh lebih
efektif untuk mengisi lowongan. Nah, mereka yang sekolah tinggi saja
sulit dapat kerjaan, lebih-lebih orang miskin sekaligus bodoh dan sakit-
sakitan. Mereka tidak punya cukup kapasitas, apalagi otoritas. Bekal
pengetahuan dan ketrampilan yang minim membuat mereka terus
tergilas. Partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan dan
mengontrol jalannya implementasi kebijakan jauh panggang dari api.
Orang miskin harus puas dengan pekerjaan kasar, dengan upah
rendah, jongos yang selalu siap jadi "keranjang sampah" sumpah
serapah para majikan kapitalis.
Keempat, beribadah menuntut syarat "kemampuan", baik fisik,
material, dan psikis. Berpuasa di bulan Ramadan hukumnya wajib bagi
Muslim. Di beberapa daerah yang memberlakukan syariat Islam, razia
atas orang tidak berpuasa sering dilakukan. Mereka yang tertangkap
kebanyakan pekerja kasar, buruh bangunan, kuli panggul, dan tentu
saja miskin. Akhirnya Pemda melepaskan mereka. Mereka hutang
puasa. Batal puasa harus diganti pada hari lain. Di bulan Ramadan saja
mereka sulit berpuasa, apalagi harus bayar puasa di luar Ramadan.
Mana tahan. Puasa di lain hari hampir mustahil karena tantangannya
jauh lebih berat. Kalau tidak mengganti dengan puasa, bisa diganti
fidyah. Namun mana mungkin bayar fidyah, buat makan sehari-hari
saja susah minta ampun. Membayar zakat juga ibadah. Tapi apa yang
akan dizakati dari orang miskin. Kebutuhan minimal sehari-hari pun
sudah senin-kamis. Memberi infak dan sedekah rasanya juga jauh dari
kenyataan. Bahkan mereka hidup dari uluran tangan orang lain.

3
Demikian juga menunaikan haji ke tanah suci. Wah, yang ini persis
seperti mimpi di siang bolong.
Nelangsanya menjadi orang miskin. Sudah jatuh tertimpa tangga,
sengsara murakab (berlapis-lapis). Inilah “rukun Islam kaum dhuafa
dan mustadh`afin”: harus selalu sehat karena sakit biayanya mahal;
siap menjadi "manusia bodoh" karena pintar ongkosnya selangit;
menerima kerja kasar dengan upah pas-pasan, karena kerja bagus
butuh kolusi dan uang suap; dan marjinal dalam perebutan "kapling
surga" karena ibadah butuh modal.
Dalam situasi dan kondisi semacam ini, tepat kiranya
membincangkan kembali suatu visi al-Maun yang menjadi basis
teologis perjuangan sosial yang memihak dan memberdayakan
masyarakat akar rumput agar dapat mengentaskan diri dari
ketertindasan. Tulisan ini hendak mengapresiasi tentang suatu
pandangan betapa pentingnya tauhid sosial berhadap-hadapan
dengan tantangan globalisasi yang berhasil melahirkan banyak
pecundang dan penindasan sistemik-struktural; juga bagaimana tauhid
sosial mampu merespon tantangan tersebut dengan suatu visi
keberpihakan baru yang lebih lugas, cerdas, dan bernas.

Tauhid Sosial: Asal-usul dan Perluasannya


Tauhid sosial merupakan perluasan makna dari tauhid dalam
pengertian tradisional, yang terbatas pada dimensi uluhiyah,
rububiyah, mulkiyah, dan ubudiyah. Empat dimensi tauhid di muka
melukiskan hubungan vertikal antara hamba dan Tuhannya.
Karenanya bersifat pribadi dan individual. Hubungan vertikal ini mulai
dari keyakinan bahwa Allah ada satu-satunya yang pantas di-Tuhan-
kan, tiada Tuhan Selain Dia. Tuhan dalam tauhid juga dipercaya
sebagai al-Khaliq, Sang Pencipta dan Pemelihara (rabb) seluruh
makhluk yang ada di alam semesta. Karena Dia Pencipta seluruh yang
ada dan mungkin ada, maka Dia berhak memiliki sekaligus menguasai

4
seluruhnya. Pada akhirnya atas segala keagungan dan kebesaran-Nya
sebagai Tuhan, Pencipta dan Pemelihara, serta Penguasa jagat raya,
maka Dia adalah Tuhan yang patut dan layak disembah dan menerima
puja-puji dari semua makhluk. Inilah yang disebut sebagai hablullah
(QS. Ali Imran 3: 103), mengikat dan menyandarkan diri kepada tali
Allah, yang juga sering dikenal dengan istilah hablun min Allah (QS. Ali
Imran 3: 112).
Tauhid sosial sebagai sebuah konsep dan istilah diperkenalkan
dan dipopulerkan oleh M. Amien Rais, salah seorang Ketua PP
Muhammadiyah, pada muktamar ke-45 di Aceh (1995). Tauhid sosial
dipandang sebagai upaya mereformulasi apa yang selama ini menjadi
komitmen pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, yakni komitmen
dan aktualisasi Islam dalam berbagai domain kehidupan masyarakat
dalam bentuk amal salih sosial. Tauhid sosial dapat dijadikan sebagai
energi baru, pemaknaan baru, dan kesadaran baru untuk
mengembangkan ijtihad dan langkah-Iangkah monumental untuk
pembaruan Islam dalam merespon tantangan-tantangan baru
kehidupan umat dan bangsa kini dan mendatang (Nashir, 2007).
Benih-benih pemahaman tauhid sosial sebenarnya bisa dirunut
dari pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (tth., vol. 2: 55).
Guru-murid ini kali pertama memperkenalkan konsep “dosa sosial” (al-
dhunub al-ijtima`iyah) ketika mereka menafsirkan sebuah ayat dalam
surat Ali Imran 3: 108: “Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat
itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk
menganiaya (penghuni) alam semesta”.
Penafsiran tentang dosa sosial ini lahir dari pemahaman tentang
pembedaan antara dua wilayah moralitas. Yang pertama berkaitan
erat dengan “moralitas individual” (al-akhlaq al-fardiyyah), moralitas
yang berkaitan dengan realitas hubungan vertikal manusia dengan
Allah. Bentuk-bentuk pelanggaran atas moralitas individual ini
merentang dari perbuatan syirik, tidak menjalankan amanat-Nya,

5
mendustakan ayat-ayat-Nya, dan tidak bersyukur terhadap nikmat-
nikmat-Nya serta kealpaan dalam mengurus dan menghargai diri
sendiri. Yang kedua berkenaan dengan “moralitas publik” (al-akhlaq
al-ijtima`iyyah), yaitu hubungan horizontal. Bentuk-bentuk tindakan
pelanggaran atas moralitas ini mencakup antara lain kekerasan
terhadap sesama manusia, seperti memakan harta anak yatim,
melakukan manipulasi dan penipuan, memberikan kesaksian palsu,
dan kezaliman terhadap seluruh makhluk yang ada di alam semesta.
Seluruh bentuk penyimpangan dan pertentangan atas moralitas
individual akan berdampak buruk terhadap individu yang
bersangkutan, dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta bersifat
pribadi dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Sementara
kejahatan atas moralitas publik berarti kejahatan atas seluruh
manusia. Akibat buruknya akan dirasakan oleh seluruh manusia
termasuk mereka yang tidak berbuat kejahatan sekalipun. Inilah dosa
sosial yang juga disebut dalam ayat lain sebagai fitnah (QS. Al-Anfal 8:
25).
Al-Alusi (1994, vol. 5: 180-182) mendefinisikan fitnah sebagai
musibah yang ditimpakan oleh Allah melalui sunnatullah yang berlaku
di alam semesta, kepada orang-orang yang berbuat aniaya sekaligus
berlaku umum untuk lainnya. Sebab keberlakuan yang diperluas ini
karena mereka yang tidak berbuat aniaya secara langsung, tidak
berupaya mencegah dan atau menghentikan “kemunkaran sosial”
sehingga harus menanggung risiko atas kelalaian tersebut. Untuk
menguatkan penafsirannya ini, ia mengutip sebuah hadis berikut:
َ ‫ أ َمر الله تعاَلى ال ْمؤ ْمن ِي‬:‫ل‬
‫ن‬
ْ ‫نأ‬ َ ْ ِ ُ ََ ُ َ َ َ ‫ه صلعم َقا‬ ِ ‫ل الل‬ َ ْ ‫سو‬ُ ‫ن َر‬ ّ َ‫س ا‬ ٍ ‫ن ع َّبا‬ ِ ْ ‫ن اب‬ ِ َ‫ع‬
ّ ْ َ ْ
‫م َو غ َي َْر‬
َ ِ ‫ب الظال‬
ُ ْ ‫صي‬
ِ ُ‫ب ي‬ َ َ‫ه ب ِع‬
ٍ ‫ذا‬ ُ ‫م الل‬ ّ ُ‫م فَي َع‬
ُ ُ ‫مه‬ ْ ِ ‫ن أظهَرِه‬ َ ْ ‫من ْك ََر ب َي‬
ُ ‫قّروا ال‬ ِ َ‫ل َ ي‬
ّ
ِ ‫الظال ِم‬
"Dari Ibnu `Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda: Allah
memerintahkan orang-orang Mukmin agar tidak mendiamkan
kemunkaran yang tampak di depan mereka karena (sekiranya itu

6
terjadi) Allah akan menimpakan siksa kepada orang yang berbuat
aniaya maupun tidak berbuat aniaya" (HR. Turmudhi).1

Tafsir tentang “dosa sosial” dan “fitnah” di atas pada dasarnya


mengintrodusir tentang pentingnya kepedulian Muslim atas problem-
problem bersama, masalah-masalah yang terkait dengan kepentingan
publik (maslahah `ammah) yang menjadi tanggung jawab sosial.
Meskipun penafsiran ini tidak secara khusus (tematik, mawdhu`i)
berada di bawah entri akidah atau tauhid karena tafsir mereka itu
bersifat tahlili (analitik), namun pemahaman tersebut telah
berkontribusi memperluas paham tauhid dalam kerangka hubungan
horizontal – manusia dengan sesamanya (hablun min al-nas).
Sejatinya apa yang dilakukan oleh Amien Rais ialah reinterpretasi
dan revitalisasi teologi al-Maun yang diintrodusir oleh pendiri
Muhammadiyah KHA. Dahlan awal abad 20. Amien Rais (1998)
menyatakan bahwa yang disebut tauhid sosial ialah dimensi sosial
dalam arti seluas-Iuasnya dari "tauhidullah". Tauhid yang memancar
dan mengaktual dalam sistem dan proses sosial secara keseluruhan
kehidupan umat. Aktualisasi Untuk pemberdayaan jika ditarik ke dalam
wilayah kepentingan tauhid sesungguhnya mempunyai banyak
dimensi aktual, salah satunya adalah dimensi pemerdekaan atau
pembebasan.
Di tengah-tengah rutinitas amal usaha dan kejumudan estafet
kepempinan nasional di penghujung abad 20, M. Amien Rais (1998)
berupaya membumikan tauhid sosial dalam konteks perjuangan

1 Hadis diriwayatkan oleh Turmudzi. Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Qays bin
Hazim dari Abu Bakar berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:
‫إن الناس إذا رأوا الظالم فلم يأخذوا على يده أو شك ان يعمهم الله تعلى بعقاب‬
“Sesungguhnya manusia apabila melihat orang berbuat aniaya, lalu mereka tidak menghentikan
dengan tangannya atau merasa bimbang, niscaya Allah akan menimpakan siksa kepada mereka semua”.
Hadis lain yang agak serupa maknanya diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Jarir bahwa Rasulullah
bersabda:
ّ ‫م لم يغيروه إل ّ ع‬
‫مهم الله بعقاب‬ ّ ‫مامن قوم يعمل فيهم بالمعاصي هم أعّز وأكثر ممن يعملون ث‬
“Tidaklah suatu kaum yang berbuat kemaksiatan di antara mereka, lalu mereka mendukung dan
memperbesar kelompok yang berbuat kemaksiatan, kemudian mereka tidak mencegahnya, melainkan
Allah membinasakan mereka semua” (Ahmad bin Hanbal, al-Musnad cetakan al-Halabi, jilid 4 no. 361).

7
politik. Karena itu, sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu,
tauhid sosial memperoleh momentum dalam bentuk perjuangan
praksis membongkar kebobrokan regim orde baru yang telah bercokol
selama tiga dekade. Dengan menghela gerbong Muhammadiyah, ia
mengasah keberanian membuka muka bopeng di balik topeng orde
baru. Di saat-saat semua orang tiarap dan diam seribu bahasa
menyaksikan kezaliman pemerintahan Soeharto, melalui sidang Tanwir
Muhammadiyah di Surabaya, muncul gagasan cerdas perlunya
menggulirkan kepemimpinan nasional.
Amien Rais menangkap problem krisis kepemimpinan yang diikuti
krisis multidimensi. Kejatuhan dan kebebalan bangkitnya
perekonomian nasional menjadi semakin haru biru oleh kebobrokan
moral yang hampir sempurna, meminjam Syafii Maarif. Kejahatan
kerah putih berupa korupsi dan kolusi penguasa-pengusaha lebih
terbuka dan terang-terangan. Nepotisme merajalela. Dalam situasi
semacam ini dan tarikan politik praktis yang menguat di seputar
pergantian rezim, ia memaknai doktrin tauhid sosial sebagai
penegasan gerakan purifikasi jilid II. Isu takhayul, bid'ah, dan khurafat
(TBC) ditafsir menjadi kultus individu dan KKN. Kultus individu adalah
bentuk khurafat dan syirik. Karenanya harus dienyahkan. Korupsi,
kolusi dan nepotisme adalah bid’ah bagi penegakan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa (clean government) dan tata kelola yang
baik (good governance), yang ciri-cirinya adalah bersendikan hukum,
akuntabel, demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di
sinilah kemudian Amien membawa orientasi politik Muhammadiyah
berpegang pada perjuangan politik adiluhung (high politic) yang tidak
karut marut dalam perebutan jejaring kekuasaan.
Doktrin tauhid sosial dari Amien Rais, bagi penulis, menampilkan
kesan Faruqian. Karena cara Amien Rais menafsir sejalan dengan
gagasan-gagasan Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai
termaktub dalam karyanya Al-Tawhid: Its Implication for Thought and

8
Life (1992). Tauhid mengandung lima prinsip: kesatuan Tuhan (the
unity of Godhead), kesatuan makhluk (the unity of creature), kesatuan
kemanusiaan (the unity of mankind), kesatuan petunjuk (the unity of
guidance), dan kesatuan tujuan hidup (the unity of purpose of life).
Kini, kita berada di awal abad 21. Tantangan kemanusiaan yang
digaungkan oleh PBB melalui Millenium Development Goals, bertautan
erat dengan isu perubahan iklim (climate change) dan pemanasan
global (global warming). Yang terakhir hakikatnya memperhadapkan
kita pada tantangan ekologis yang semakin berat. Tentu saja, sebagai
bagian dari umat manusia, kita membutuhkan energi baru untuk
memperluas pemaknaan tauhid sosial dengan mempertimbangkan
spesies non-manusia (non-human species) dalam kerangka pikir dan
kerangka tindaknya.
Spesies non-manusia meliputi sumber daya alam dan lingkungan.
Keduanya secara kasat mata kini menghadapi tantangan eksploitasi
untuk memenuhi kebutuhan dan utamanya keinginan manusia tanpa
batas. Pada asalnya bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan
keinginan tidak membahayakan kelangsungan (sustainability)
masyarakat manusia, serta spesies lainnya yang juga mempunyai hak
hidup (QS. Al-Rahman 55: 10).
Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan tidak semata
berorientasi duniawi dan jangka pendek. Namun juga untuk
memastikan kehidupan jangka panjang dan bekerja untuk
kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan
dalam pemborosan dan eksploitasi yang tidak penting.
Tauhid sosial, karena itu, perlu menetapkan sejumlah prinsip
keselamatan ekologis yang berpijak pada sustainability dan investasi
masa depan. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut. Pertama,
visi masa depan dan kesinambungan generasi.2 Sumber daya yang
2 "Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan
perbuatannya untuk kepentingan masa depan, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu perbuat" (QS. Al-Hasyr 59: 18).

9
berlimpah dapat disimpan dan pada saatnya dapat dialihkan untuk
menambah produksi dan distribusi guna memenuhi kebutuhan barang-
barang. Keyakinan pentingnya masa depan dan pertanggung jawaban
Hari Akhir, dapat mencegah seseorang untuk memperkaya diri melalui
sarana-sarana yang haram dan merugikan, dan ini berarti membantu
orang lain dengan tidak menyembunyikan batas-batas peluang mereka
dan tidak mencabutnya dari mata pencaharian mereka.
Prinsip ini mengedepankan suatu perspektif jangka panjang
untuk tindakan produktif dan konsumtif manusia terhadap sumber
daya tersebut. Tauhid tidak menghendaki individu melupakan
kepentingan mereka sendiri, namun karena sumber daya itu terbatas,
sebagai khalifah manusia tidak layak bertindak ekstrem untuk menjadi
homo economicus dan mengabaikan kelangsungan hidup ekologis dan
kemanusiaan secara individual maupun sosial.
Kedua, prinsip konservasi lingkungan alam (non-human) dan
manusia (human). Prinsip konservasi ini tercermin dalam ungkapan
larangan, yakni fasad fi al-ardh dan al-`ayth fi al-ard. Ungkapan fasad
fi al-ardh bicara dalam dua konteks: pertama, membincang tentang
perlunya proteksi dan jaminan terhadap kehidupan kemanusiaan:

“Barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena orang


itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan
di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh semua
manusia. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang
manusia maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan semua
manusia” (QS. al-Ma’idah 5:32).

Membunuh jiwa bi ghayr nafs adalah menghilangkan kehidupan


seorang manusia tanpa sebab yang mewajibkan qisas atau tanpa
sebab berbuat kerusakan di muka bumi yang dapat mengganggu
keamanan dan ketentraman (al-Zuhaily, 1998, vol. 6: 156).
Pembunuhan semacam itu layak dipandang sebagai membunuh semua
orang karena di hadapan Allah tidak ada perbedaan antara orang

10
perorang, musuh bagi satu orang adalah musuh bagi masyarakat
manusia secara menyeluruh. Demikian juga dengan perusak alam dan
lingkungan hidup, mereka adalah “pembunuh” kehidupan ini.
Sebaliknya orang yang menghidupkan manusia lain adalah mereka
yang mengharamkan pembunuhan atas manusia atau mencegah
terjadinya pembunuhan. Tindakan mereka itu merupakan wujud
pemberian kehidupan bagi semua manusia dengan cara memperluas
jaminan keamanan dan ketentraman. Demikian pula para pejuang
lingkungan adalah para “mujahid” yang telah menyelamatkan
kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi. Jadi ada dua manifesto
yang dapat disebutkan di sini: perlindungan atas hak asasi manusia --
jaminan atas kebebasan setiap individu manusia untuk hidup (hifz al-
nafs)-- sekaligus jaminan atas kehidupan bersama semua masyarakat
manusia.
Kedua, membincang jaminan kesinambungan lingkungan alam.
"Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan
manusia supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari akibat
perbuatannya, agar mereka kembali ke jalan yang benar" (QS. Al-Rum
30: 41). Berbuat kerusakan di muka bumi itu banyak macamnya, mulai
dari perbuatan syirik, membunuh sesama manusia tanpa alasan yang
benar, penguasa tiran yang suka merampas harta rakyatnya, dan
seluruh tindakan yang membuat kehidupan di desa-desa dan kota-kota
tidak nyaman dan aman bagi penghuninya (al-Qurtubi, 2002, vol. 7:
364-365).
Ungkapan al-`ayth fi al-ardh mengemukakan konsep yang juga tak
kurang komprehensifnya berkenaan dengan apakah manusia
mempunyai otoritas tak terbatas dalam menangani sumber daya alam
dan lingkungan.
"Dan Syu`aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia
terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu berbuat kejahatan
di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS. Hud 11: 85-86).

11
Al-Asfahani (tt.: 333) menjelaskan larangan berbuat kerusakan
dalam dua pengertian. Ungkapan wa la ta`thaw dapat dimaknai
sebagai al-`ayth, yang artinya segala tindakan yang dapat
menyebabkan kerusakan di muka bumi dan perbuatan tersebut dapat
ditangkap secara inderawi atau de facto. Dengan kata lain, meskipun
belum ada aturan hukum yang secara eksplisit menyatakan suatu
tindakan dapat dikategorikan dalam perbuatan merusak, namun jika
pada kenyataannya menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan
di muka bumi, maka tindakan tersebut harus dicegah/dilarang. Lebih
jauh dapat pula ditafsirkan bahwa suatu tindakan yang secara de jure
memperoleh legitimasi, namun bila dari segi dampaknya de facto
merugikan, maka tindakan itu juga harus dicegah/dilarang. Ungkapan
itu juga dipahami sebagai al-`athi, yakni perbuatan-perbuatan yang
jelas dapat dikategorikan dapat menyebabkan kerusakan dan secara
de jure termasuk dalam tindakan pelanggaran atas aturan hukum
yang ada.
Pentingnya menjaga sustainability generasi masa depan, dan
proteksi atas lingkungan manusia dan alam, memperoleh penguatan
al-Qur’an berupa perjuangan untuk menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan di muka bumi: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi
dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud 11: 61).
Dengan demikian, tauhid sosial juga memiliki kepedulian untuk
menjaga lingkungan secara menyeluruh –kemanusiaan dan alam–
demi terpeliharanya kesinambungan generasi dan menyelamatkan
masa depan melalui tindakan pemakmuran bumi dan mencegah
kerusakan baik secara de facto maupun de jure.

Tauhid Sosial: Ancangan Paradigmatik


Menurut penulis, tauhid sosial kontemporer terlebih dahulu
memerlukan pembaruan epistemik. Kerangka epsitemik yang

12
sistematik dan jelas dapat memandu untuk mengadaptasi tauhid sosial
berhadapan dengan isu-isu yang berkembang. Karena itu, penulis
mengusulkan penggunaan nalar profetik-transformatif (al-`aql al-
nubuwwah wa al-taghyir) dan model tafsirnya yang menggabungkan
pendekatan bawah-atas secara emansipatif-reflektif.
Tauhid sosial bersandar pada paradigma profetik. Karena itu Nabi
Muhammad adalah modelnya. Penamaan paradigma ini sudah
diperkenalkan oleh M. Iqbal, intelektual dan cendekiawan Muslim
Pakistan. Ia membedakan antara kesadaran profetik (prophetic
consciousness) dan kesadaran mistik (mystical consciousnes).
Berpangkal pada pengalaman mi’raj, Nabi tidak menenggelamkan
dirinya sebagai mistikus yang hanyut dalam asyik masyuk perjumpaan
dengan Tuhannya dan tidak kembali ke bumi. sebaliknya, dengan
kesadaran penuh beliau kembali ke bumi untuk melakukan perubahan
sosial guna mengubah jalannya sejarah (Iqbal, 1981: 124). Tampaknya
Kuntowijoyo (1991: 288-289) menyetujui paradigma ini. Menurutnya,
Nabi Muhammad telah memulai suatu transformasi berdasarkan cita-
cita profetik. Ia juga menyebut ilmu sosial Islam sebagai ilmu sosial
profetik dengan metodologi ilmuisasi Islam, bukan islamisasi ilmu
pengetahuan sebagaimana ditawarkan oleh al-Faruqi, yang diikuti
oleh M. Amien Rais.
Penulis memahami bahwa pada hakikatnya nabi dan rasul
merupakan teorisi sekaligus praktisi tauhid sosial. Mereka
mengajarkan tentang (dan memberi teladan) ketidaktakutan untuk
mengkritik masyarakat di zamannya; sekaligus memberikan visi
tentang masyarakat masa depan yang adil, rasional, dan sejahtera;
dan mereka terlibat menjadi agent of social change par excellent.
Secara garis besar dapat disebutkan tiga ajaran sosial profetik
sebagai berikut: Pertama, mereka menentang penindasan,
ketidakadilan dan eksploitasi orang miskin, mustadh’afin, minoritas,
dan kelas pekerja dalam berbagai bentuk dan motif. Kedua, secara

13
normatif mereka mengartikulasikan teori masyarakat yang benar
sebagai alternatif dan jawaban realistik untuk zamannya. Ketiga,
mereka terlibat dalam kehidupan masyarakat dan berpartisipasi dalam
aksi sosial yang bertujuan mengubah masyarakat. Menurut kacamata
posmodernisme, mode of thinking semacam ini disebut sebagai
dekonstruksi kreatif.
Tiga ajaran sosial di muka disebut sebagai paradigma profetik
yang merupakan kesatuan dari: teori kritik sosial (naqd al-ijtima`iy),
yakni kritik yang konsisten, sistematik, komprehensif dan koheren
terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat dalam
lapisan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik; teori normatif
sosial mengartikulasikan dan menawarkan suatu model masyarakat di
mana penyakit-penyakit sosial dapat dieliminasi; dan transformasi
praksis sebagai strategi aksi sosial yang bertujuan untuk mengubah,
mereformasi, dan atau mentransformasi masyarakat secara rasional,
adil dan benar.
Paradigma profetik mendorong tauhid sosial menjadi tauhid yang
“memihak”. Karena itu tauhid sosial tidak netral, selalu terkait dengan
nilai-nilai. Maka penting untuk dipahami bahwa gerak spiral tauhid
sosial mesti dimulai dengan teori kritik yang kritis – bukan tradisional --
atas tatanan masyarakat yang sedang berjalan. Meminjam penjelasan
Horkheimer (1968), teori kritis memiliki perbedaan karakter dari teori
tradisional.3 Teori kritis menggunakan metode dialektika terbuka yang
3 Dalam pemahaman tradisional teori adalah perumusan prinsip-prinsip umum dan akhir yang
melukiskan dan menginterpretasikan realitas. Maka teori tidak lain adalah keseluruhan proposisi tentang
sesuatu. Ada keterpaduan di antara proposisi-proposisi itu yang terdiri dari beberapa proposisi dasar dan
turunan. Horkheimer mengkaitkan lahirnya teori tradisional ini dengan Descartes yang berusaha mencapai
proposisi-proposisi umum dengan cara kerja deduktif berdasarkan metode ilmu pasti. Metode ilmu pasti ini
hendak digunakan dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Teori tradisional memisahkan fakta dari nilai
dan hanya menganalisis fakta dengan hukum-hukum dan metode-metodenya. Teori tradisional netral
terhadap fakta di luar dirinya. Oleh karena itu teori tradisional itu bersifat ideologis: Pertama, sikap netral
melestarikan keadaan yang ada. Kenetralan berarti tidak mempertanyakan realitas, tetapi hanya
menerima dan membenarkannya. Maka toeri tradisional berlaku sebagai ideologi yang melestarikan
kenyataan itu. Kedua, sifat teori tradisional itu a-historis: dengan memutlakkan ilmu pengetahuan universal,
teori tradisional melupakan masyarakat dalam proses historisnya. Dengan cara ini teori merupakan
penipuan ideologis karena menutupi kenyataan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah salah satu aktivitas
dalam masyarakat. Ketiga, teori tradisional memisahkan teori dengan praksis. Tidak dipikirkan implikasi

14
mempunyai kekuatan kritis karena pemikiran dialektis mencari
kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat konkret. Teori Kritis
hendak memberi kesadaran bagi pembebasan manusia. Fungsinya
emansipatoris.
Sesuai dengan karakter teori kritis, maka kritik sosial dalam tauhid
sosial bercirikan: pertama, kesadaran kritis terhadap masyarakat
aktual. Dengan kacamata ini, tauhid sosial perlu melakukan
pembongkaran atas topeng-topeng sosial yang digunakan untuk
menutup-nutupi manipulasi, ketimpangan dan kontradiksi-kontradiksi
dalam masyarakat. Kedua, berpikir secara historis dan berpijak pada
proses masyarakat yang historis. Tauhid sosial berakar pada situasi
pemikiran dan situasi sosial tertentu. Ketiga, bersifat kritis terhadap
dirinya sendiri. Maksudnya, tauhid sosial menyadari risiko bahwa
setiap kritik sosial yang dikemukakannya sangat mungkin jatuh ke
dalam salah satu bentuk kecenderungan ideologis, karenanya ia perlu
mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi
terhadap dirinya sendiri. Terakhir, teori dengan maksud praksis.
Artinya tauhid sosial merupaka serangkaian teori – kritik sosial dan
normatif sosial -- yang tidak memisahkan dirinya dari praksis. Karena
itu tauhid sosial dibangun justru untuk mendorong transformasi
masyarakat dan transformasi masyarakat itu dilakukan hingga ke
tahap praksis. Jadi, tauhid sosial merupakan komitmen praksis pemikir-
pemikir kritis di dalam sejarahnya.

Paradigma profetik dan tiga ajaran sosial di muka memandu arah


perubahan sosial dalam sistem masyarakat. Masyarakat sebagai
sebuah sistem terdiri dari lima sub sistem yang menopangnya: sub
sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, dan personalitas. Yang
termasuk ke dalam sistem politik ialah negara, pemerintahan, partai

sosial dari teori. Maka teori tradisional tidak bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo
masyarakat.

15
politik, dewan perwakilan, peradilan, birokrasi, pemilihan umum, dsb.
Sistem ekonomi mencakup pembagian kerja, dunia kerja bisnis
enterprise, sistem perbankan, finansial publik, organisasi perusahaan,
distribusi kekayaan dan pendapatan nasional, dst. sosial melingkupi
keluarga, hubungan dan jaringan kekeluargaan, persahabatan dan
sebagainya. Sistem budaya meliputi institusi keagamaan, institusi
pendidikan, organisasi ilmiah, organisasi seni, dll. Dan sistem
personalitas mencakup tipe personal yang dilahirkan oleh
masyarakatnya, pola-pola akulturasi, sosialisasi dan motivasi yang
diinginkan oleh masyarakat terhadap individu anggotanya untuk
menginternalisasi dan menerimanya dengan tujuan agar setiap diri
setia untuk merealisasikan nilai-nilai dan tujuan masyarakatnya.

Gambar 1: Paradigma Profetik

NABI SEB
Berpijak pada tiga ajaran sosial di atas, nyata bahwa tauhid sosial
pertama sekali berpijak pada situasi konkret eksploitasi, pemiskinan,
dan penindasan (burhani). Dalam situasi semacam ini, para eksponen

MODE 16
tauhid sosial menemukan bahwa perjuangan aktual demi keadilan
(jihad) sebagai kacamata untuk “membaca ulang” dan
“memperdengarkan kembali” kitab suci (al-Qur’an) dan tradisi
(sunnah) yang membuat mereka mempu melihat dan mendengar
sesuatu yang sebelumnya tersembunyi (unthinkable, meminjam M.
Arkoun). Praksis bukan semata petunjuk bahkan menyatakan
pemahaman, keterlibatan aktif dan setia dengan perjuangan demi
keadilan dan kesejahteraan kemanusiaan dan ekologis. Jadi, komitmen
atas praksis sosial yang profetik-transformatif senantiasa mendahului
refleksi teologis (bayani), dan menjadi obyek dari refleksi teologis, dan
sekaligus menilai refleksi teologis. Praksis sosial ini, baik sebagai titik
berangkat maupun sebagai realitas yang terus berjalan menjadi
fondasi bagi tauhid sosial.
Tauhid sosial tidak memulai dari percakapan atau wacana tentang
doktrin atau ritual, bukan doa atau meditasi, meskipun upaya-upaya
akademik dan spiritual merupakan komponen integral di dalamnya.
Manifestasi tauhid sosial dimulai pada level pembebasan (liberasi,
nahy `an al-munkar). Upaya ini bermaksud untuk menemukan realitas
dan contoh-contoh konkret dari penderitaan sebagai akibat penindasan
kemanusiaan dan ekologis yang dihadapi oleh eksponen, baik sebagai
manusia biasa atau orang beriman. Secara partisipatoris mereka
berusaha membuat penekanan mengenai realitas kemiskinan,
kelaparan, eksploitasi kemanusiaan dan kebinasaan lingkungan. Ini
merupakan pekerjaan yang kompleks. Meski membutuhkan berbagai
analisis dan pembacaan ulang, namun pasti ini akan menghasilkan
suatu konteks dan atmosfer, sensitivitas baru sebagai basis untuk
memahami korban sekaligus diri sendiri dengan cara baru.
Penganjur tauhid sosial membutuhkan prasyarat dalam tindakan
memahami realitas, yakni empati. Empati adalah syarat yang
memungkinkan untuk memulai perjumpaan dengan orang-orang dari
berbagai komunitas yang menjadi korban penindasan dan merasa haru

17
terhadap mereka yang menderita atau bumi yang merana. Merasa
demi orang lain, dan bangkit humanitasnya, suatu kebangkitan yang
diwarnai oleh pengalaman dan keyakinan agamanya. Empati ini akan
mempertemukan dua pihak – antara aku yang merasa terharu dengan
korban yang menderita—dan sekaligus juga bertemu dengan mereka
yang memiliki empati serupa. Empati membuat mereka bersaudara
dan membawa kepada solidaritas komunitas (ihsan).
Untuk dapat merasa bersama dan untuk orang lain yang
tertindas, dibutuhkan perasaan yang mendalam dan sejati (‘irfani).
Perasaan ini bukan hanya menyentuh sensitivitas namun juga respon
kita. Merasa dengan sungguh-sungguh akan mendorong konversi,
yaitu pengalaman bahwa kehidupan ini mesti berputar dan berubah.
Konversi ini memanggil nurani kita untuk melakukan sesuatu terhadap
penindasan dan ketidakadilan yang dipikul korban secara bersama-
sama. Pada tahap ini empati telah mendorong kita untuk merasa
terkonversi sebagai korban dari ketidakadilan dan bagaimana menjadi
korban langsung. Inilah yang membuat pertemuan pikiran dan hati
untuk bicara dan terpanggil untuk melakukan perubahan, melakukan
sesuatu untuk mengatasi kelangkaan sandang pangan, kekurangan
obat-obatan, ketidakpastian masa depan dan harapan,
keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan.

Gambar 2: Metode Pembacaan Tauhid Sosial

18
Empati dan konversi membuat kita dapat berhubungan dengan
kebutuhan orang lain/korban dan ini sejatinya berhubungan dengan
panggilan dari Tuhan Yang Maha Adil. Inilah yang dalam Islam disebut
sebagai salah satu manifestasi ‘irfani. Merasa empati terhadap dan
konversi atas penderitaan korban adalah sama nilai dan efektifitasnya,
jika tidak dapat dikatakan lebih efektif, dengan pengalaman
keagamaan melalui doa, ritual, dan meditasi.
Dua sikap di atas pada akhirnya menuntun kepada kolaborasi
antara penganjur dan korban untuk lebih banyak terlibat dan bergairah
dalam mengatasi problem kemanusiaan dan ekologis. Singkatnya,
tauhid sosial untuk pembebasan (pemihakan dan pemberdayaan)

l
menghendaki titik berangkat dari fakta untuk dapat menyimpulkan
berbagai adanya kemungkinan jalan keluar yang manusiawi dan

ni
beradab.
e
Al-Maun sebagai Option for Mustadh’afin M
Globalisasi dan perubahan iklim menengarai dimulainya suatu
masa penuh kekacauan. Keduanya bersumber dari sistem ekonomi

19
dan sistem politik yang gagal. Kita kini hidup dalam suatu masa yang
paling “menakjubkan” sepanjang pengalaman manusia. Sebagai
suatu spesies, kita sedang menghadapi ancaman bagi seluruh spesies
manusia dan non-manusia, peluang sekaligus keniscayaan untuk
menerima tanggung jawab dan peran dalam membawa dunia ini agar
bekerja untuk semua manusia dan alam semesta.
Ada tantangan bersama yang dihadirkan oleh tatanan ekonomi
global dan anak kandungnya berupa disintegritas lingkungan dan
ketidakadilan. Lebih tepatnya dapat dikatakan ada hubungan antara
globalisasi kapital dengan kehancuran lingkungan hidup dan
ketidakadilan.
Kejahatan-kejahatan globalisasi perlu secara terus-menerus
diperbincangkan dan disebarluaskan kepada seluruh penduduk dunia
agar mereka melek tentang sisi hitam dari ideologi ini. Globalisasi
tanpa arah merupakan kejahatan kemanusiaan karena ia telah
merusak tatanan kehidupan melalui pelipatgandaan kemiskinan dan
pemiskinan. Ketidakadilan global semacam ini sepertinya merupakan
representasi kontemporer dari empat gembong kriminal yang pernah
diilustrasikan oleh al-Qur’an: Qarun, Fir`aun, Haman, dan Samiri.
Qorun adalah wajah dari rejim neo-liberalisme yang merupakan
corong dari kekuatan-kekuatan ekonomi global hegemonik dan
menindas banyak penduduk dunia. Fir`aun adalah gambaran
penguasa-penguasa politik yang korup dan dipaksa korup untuk
melahirkan sejumlah deregulasi-deregulasi yang memenangkan
kepentingan-kepentingan kekuatan-kekuatan ekonomi global di atas,
melalui forum-forum pertemuan atau konferensi tingkat tinggi kepala-
kepala negara; juga rejim-rejim nasional dan lokal yang diperalat untuk
mendahulukan kepentingan mereka dengan tumbal kepentingan
rakyat dan kemaslahatan publik umumnya. Mereka adalah penguasa
”penyembelih” yang kemaruk harta/uang walau harus mengkhianati
amanah rakyat yang telah memilihnya.

20
Haman merupakan kaum intelektual ”begundal” dan teknokrat
tukang yang digaji besar dan diberi kedudukan terhormat oleh para
Qarun dan Fir`aun. Tugas suci mereka adalah membuat rasionalisasi
dan justifikasi atas segala kepentingan dan kebijakan yang
menguntungkan rejim ekonomi dan elit penguasa. Mereka juga
menciptakan teori-teori pembenaran yang melegitimasi perampasan,
perampokan, pencurian atas aset-aset negara, menindas warga
negaranya, dan mengeruk keuntungan sebesar-besar di atas
penderitaan penduduknya. Karakter kaum intelektual dan teknokrat
tukang ini mudah dikenali: mereka suka membuat penyataan
dukungan atas kebijakan penguasanya yang sudah pasti
menyesengsarakan rakyatnya; kerja intelektual dan teknokrasinya
ialah melanggengkan kemiskinan dan pemiskinan.
Samiri adalah agamawan ”bandit” yang cenderung pro status quo.
Mereka suka berdalil, mengutip firman-firman suci namun tujuannya
untuk memanipulasi doktrin-doktrin dan hukum-hukum agama untuk
eksploitasi terhadap kaum fakir miskin dan mustadh`afin. Melalui cara
ini mereka memperoleh keuntungan finansial dan material dari Qarun,
Fir`aun dan Haman yang menjadi patronnya. Inilah tipikal agamawan
candu, sebagaimana disitir oleh Karl Marx, agama adalah opium bagi
masyarakat karena ia meninabobokan mereka dalam kesadaran palsu
dan membuat mereka lemah, letih dan lesu gairahnya untuk bangkit
melawan kemiskinan, pemiskinan dan penindasan.
Upaya memahami kemiskinan-pemiskinan-penindasan dan cara-
cara manusiawi untuk mengatasinya adalah pekerjaan besar. Karena
itu, penting pembahasan tentang beberapa aspek penting terkait
dengan perlunya transformasi kebudayaan dan institusi-institusi
dominasi yang bukan hanya merupakan imperatif moral bahkan suatu
prasyarat yang harus ada bagi survival bersama. Pemahaman ini
sangat mendasar jika kita hendak menjadi agen Islam transformatif
yang efektif, beritikad baik untuk menjadi “pejuang anti-kemiskinan”

21
sekaligus “pembela orang-orang miskin”.

Pendusta Agama: Ekonomi Kemaruk


Ada pertarungan sengit antara Libertarianisme dan Keynesianisme
mengenai seberapa besar alam semesta ini memiliki kemampuan
untuk menyediakan sumber daya bagi penduduk planet bumi. Kaum
libertarian mengklaim bahwa dalam alam ini terkandung sumber daya
yang tanpa batas untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan
manusia. Mereka, karena itu, tidak mempertimbangkan sumber daya
alam dan lingkungan sebagai satu faktor untuk menentukan
pendapatan nasional dan pembangunan berkesinambungan.
Sementara itu, kaum Keynesian memandang sumber daya yang
tersedia dalam alam ini terbatas untuk memuaskan kebutuhan dan
keinginan manusia. Paradoksnya, mereka juga tidak memasukkan
faktor sumber daya alam dan lingkungan dalam memperhitungkan
pendapatan nasional dan pembangunan berkelanjutan. Intinya dua
sistem ekonomi kontemporer ini sama-sama mendukung terjadinya
eksploitasi dan konsumsi tanpa batas atas sumber daya alam dan
lingkungan, yang berakibat pada kelaparan dan kekurangan gizi bagi
ratusan juta umat manusia.
Konsumsi manusia modern telah menghabiskan kapital alam, baik
kapital yang tidak dapat diperbarui (non-renewable capital), seperti
bahan bakar minyak fosil, dan kapital yang dapat diperbarui
(renewable capital), seperti hutan, perikanan, tanah, air, dan sistem
iklim. Sekitar 85% dari kapital yang tersisa telah diambil alih oleh 20%
orang yang beruntung dari penduduk dunia untuk mendukung pola
konsumsi yang seringkali boros dan berlebihan. Sekitar 20% penduduk
dunia yang tidak beruntung harus berjuang keras untuk tetap survival
dengan kapital lebih dari 1%.
Sayang sekali, kebanyakan orang lupa tentang implikasi yang
sesungguhnya dari kesenjangan dan ketidakadilan karena mereka

22
mabuk oleh cara berpikir tentang uang sebagai kekayaan. Uang adalah
klaim tentang kekayaan. Hanya angka yang ada dalam otak sebagian
besar penduduk dunia sekarang ini. Gambaran berikut menunjukkan
suatu sistem ekonomi kemaruk yang beraliansi dengan kepentingan-
kepentingan korporasi, daripada aliansi dengan kepentingan
kemanusiaan dan lingkungan alam.
Trio lembaga-lembaga Bretton Woods – World Bank, IMF, WTO --
adalah pemain utama dalam menuliskan aturan-aturan ekonomi
global yang sesuai dengan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan.
Ketiganya mengklaim berdedikasi untuk menghilangkan sebab-sebab
kemiskinan. Namun, coba perhatikan kebijakan-kebijakan dan aksi-aski
mereka yang keblinger, memandang suatu negara ideal adalah
negara yang aset-aset dan sumber dayanya dimiliki oleh korporasi
asing yang memproduksi untuk ekspor dengan tujuan untuk
memperoleh foreign exchange guna membayar hutang-hutang
internasional. Negara ideal menurut mereka adalah yang tidak
memiliki jasa layanan publik. Energi listrik, air, pendidikan, pelayanan
kesehatan, jaminan sosial dan jasa keuangan semuanya dimiliki dan
dijalankan oleh korporasi asing untuk mengeruk profit atas dasar
bayaran berbasis layanan. Makanan dan barang-barang lain untuk
konsumsi domestik semuanya diimpor dari luar dan membayarnya
dengan uang yang dipinjam dari bank-bank asing.
Apa yang ada dalam otak trio Bretton Woods kemaruk ini bukan
tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penduduk, apalagi orang-
orang miskin. Otak mereka hanya bicara mengenai konsentrasi
kekuasaan secara leluasa di tangan-tangan lembaga-lembaga
keuangan global yang mengendalikan korporasi-korporasi yang terus
memonopoli sumber daya dunia, pasar, pekerjaan, informasi, uang,
dan politik untuk tujuan-tujuan mereka sendiri.
Sistem semacam ini tak dapat dimungkiri telah merampas
kekayaan dan kekuasaan dari mayoritas ke minoritas; menciptakan

23
konsentrasi kekayaan dan kekuasaan yang terus meningkat, sehingga
mendorong gaya hidup extravagan yang mubadzir, boros dan sia-sia
pada sebagian kecil orang, dan pada saat yang sama melahirkan
deprivasi dan perbudakan bagi bilyunan orang; dan mempercepat
kehancuran kekayaan alam yang telah merampas kehidupan bilyunan
penduduk bumi. Kecenderungan semacam ini akan menjegal nasib
umat manusia jika dibiarkan terus berlanjut.

Shalat yang Memihak


Gambaran seperti di atas menyerupai, meski dengan representasi
yang lebih sederhana, konteks historis turunnya surat al-Maun.
Sebagaimana trio Bretton Woods, symptom masyarakat Mekkah pra
Islam mengenal “trio jahiliyah” – Abu Sufyan, Abu Jahl, dan al-`Ash Ibn
Walid (Shihab, 2002: vol. 15, 545). Mereka adalah tokoh-tokoh yang
memiliki sifat kemaruk harta dan kekayaan dan gemar berfoya-foya
secara mencolok di hadapan mayoritas penduduk yang miskin dan
serba kekurangan. Mereka juga tidak memiliki kepekaan sama sekali
atas ketertindasan kaum papa.
Kutukan sebagai “pendusta agama” ditujukan kepada individu,
kelompok, dan sistem yang apatis dan tidak memiliki solidaritas sosial
atas kaum mustadh`afin. Karakteristik yang mudah dikenali pada diri
mereka adalah suka menghardik, menakut-nakuti, mengancam,
menindas individu, kelompok, masyarakat dan negara “yatim” yang
tidak berdaya secara sosial, ekonomi dan politik; mereka juga tidak
peduli kepada kemiskinan dan pemiskinan; bahkan mereka sendiri
pelaku pemiskinan dan penindasan atau kompradornya; melakukan
“pembiaran” (yutm) atas kemiskinan dan pemiskinan; serta tidak
berdiri dalam posisi memihak kepada kaum dhuafa.
Hal serupa berlaku bagi kaum agamawan, kaum Muslim yang rajin
melakukan shalat lima waktu sehari semalam. Shalat mereka tidak
menyelamatkan diri mereka sendiri dari api neraka pada hari akhir,

24
karena toh mereka juga tidak berbuat apa-apa, tidak menyelamatkan
orang lain yang yatim dan miskin selama hidup di dunia. Ini
merupakan sifat “shalat yang mencelakakan” sebagai akibat mereka
“lalai, abai” terhadap problem kemiskinan dan penindasan yang kasat
mata di hadapan mereka. Kaum agamawan dan para penegak shalat
yang celaka adalah juga mereka yang “menghalangi, menghambat”
individu, kelompok, atau sistem yang berusaha memberikan bantuan,
pertolongan dan pemberdayaan kepada kaum miskin.
Oleh karena itu, perlawanan atas sistem yang rakus dan menindas
hanya dapat muncul dari kesadaran keagamaan dan “shalat yang
memihak”, yakni shalat yang memihak keadilan dan demokrasi – hak
setiap orang untuk bicara dan hak atas sarana-sarana kehidupan dan
penghidupan. Siapa yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan
dari regim perompak, memberikan bantuan karitas, dan
pemberdayaan kapasitas dan otoritas kepada kaum miskin, itulah dia
yang “shalatnya menyelamatkan” kemanusiaan, ia mujahid anti-
pemiskinan dan pembela kaum miskin; ia juga siap mati syahid dalam
membela hak-hak kaum miskin dari para begundal kapitalis-
neoliberalis dan kaki tangannya yang “jahil murakab” (triple idiots).

Al-Takathur: “Kapitalisasi” untuk Pemihakan dan


Pemberdayaan
Visi keberpihakan terhadap kaum duhafa dan mustadh`afin
sebagaimana tersurat dalam al-Maun berhubungan erat dengan al-
Takathur. Pertama, karena surat al-Maun itu sendiri secara kronologis
turun sesudah surat al-Takathur. Kedua, secara substantif ada
kesamaan pesan yang menegaskan larangan bersikap dan bertindak
“abai, lalai, dan lengah, leha-leha” dalam hal kapital dan kepedulian
terhadap sesama yang membutuhkan.
Al-Takathur sendiri secara harfiah bermakna “menumpuk,
memperbanyak, menimbun” sesuatu. Secara maknawi mengandung

25
beberapa hal antara lain: al-takathur secara alamiah merupakan sifat
manusiawi oleh karena setiap individu memiliki kecenderungan untuk
menumpuk harta/kekayaan sebanyak-banyaknya; secara hukum,
menumpuk harta dan kekayaan adalah diperkenankan (mubah),
karena dianjurkan agar setiap orang berkecukupan secara ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, dan tidak meminta-
minta; al-takathur secara sistem merupakan aktivitas “kapitalisasi”
melalui proses dan prosedur yang berlaku dan terjaga keadilannya.
Ketika prasyarat ketiga ini tidak terpenuhi, maka al-takathur telah
menjerumuskan diri pada regim “kapitalisme”, yang cirinya antara
lain: selalu suka “menumpuk dan menimbun” harta/kekayaan untuk
kepentingan sendiri bahkan dalam situasi krisis dan kelangkaan,
termasuk di dalamnya tindakan memonopoli barang dan atau jasa;
senantiasa senang “menghitung-hitung” harta/kekayaan dan untung
rugi dari bisnisnya dari perspektif materialistik semata; dan percaya
bahwa harta/kekayaan itu abadi dan mengekalkan sehingga abai
terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dibayarkan kepada mereka
yang berhak menerimanya (QS. Al-Humazah 104:2-3). Ciri lain yang
tak kalah pentingnya adalah bahwa kapitalisme yakin terhadap
“persaingan bebas” antara dua atau lebih patron melalui cara-cara
yang tidak manusiawi dan tidak beradab.
Al-Takathur yang dibenci dan harus dilawan adalah regim yang
membuat banyak orang – terutama kaum miskin dan papa –
tersungkur, merasakan penderitaan yang mendalam, sampai-sampai
banyak di antara mereka menemukan ajal dan terkubur (maqabir,
terpinggirkan, termajinalkan) baik secara sosial, ekonomi, maupun
politik. Regim semacam ini merupakan manifestasi dari al-Takathur
yang “bego, lengah” atas kesengsaraan dan deprivasi yang dirasakan
sebagian besar umat manusia.
Oleh karena itu, sejalan dengan visi keberpihakan dari al-Maun, al-
Takathur yang rasional-bertujuan adalah kapitalisasi yang peduli

26
kepada kemiskinan dan ketertindasan, serta diabdikan untuk membela
dan memberdayakan kaum miskin dari kemiskinan karitas, kapasitas
dan otoritas mereka, dan bukan semata-mata kapitalisasi untuk pelipat
gandaan modal itu sendiri.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa visi al-Takathur adalah
kapitalisasi atau penumpukan modal dalam kerangka filantropi
ekonomi, sosial, dan politik. Filantropi ekonomi di sini merujuk pada
upaya pengumpulan modal dari berbagai donasi wajib dan sukarela –
zakat, infak, sedekah, dan wakaf – yang bertujuan untuk
mengembangkan kemandirian, keswadayaan, dan swakelola
kehidupan perekonomian kaum miskin dan tertindas, serta
meningkatkan ketrampilan hidup dan kapasitas mereka. Filantropi
sosial merupakan kapitalisasi dalam kerangka pengentasan kaum
mustadh`afin dari marjinalisasi sosial, seperti pengucilan di mana
mereka mengalami diskriminasi dan stigma, dan dipaksa untuk terlibat
dalam aktivitas ekonomi dan relasi sosial yang memelihara mereka agar
tetap miskin. Sedangkan filantropi politik adalah upaya kapitalisasi yang
bermaksud untuk membebaskan kaum miskin dari marjinalisasi
partisipasi, marjinalisasi hak-hak asasi, dan marjinalisasi perlindungan
hukum.
Inilah yang dimaksud dengan kapitalisasi untuk pemihakan; al-
takathur untuk menegakkan visi al-Maun. Visi semacam ini hendaknya
tergambar dalam setiap amal usaha dan layanan sosial yang dibangun
oleh komunitas keagamaan, komunitas Muslim. Artinya, sebuah amal
usaha dan layanan sosial – baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan
kemaslahatan publik lainnya – bukan berorientasi profit. Lembaga-
lembaga ini perlu dikelola dengan manajemen yang baik agar tetap dapat
survival dan sustainable. Sustainabilitas lembaga ini di samping ditopang
dengan pemanfaatan donasi filantropi, juga keuntungan dari layanan
yang diberikan. Marjin keuntungan yang diperoleh disisihkan untuk
membantu mereka yang kurang beruntung. Dengan cara ini, lembaga-

27
lembaga amal usaha dan layanan sosial tetap bertahan hidup dengan
tetap teguh memegang visi pemihakan, pembelaan, dan pemberdayaan
kepada kaum miskin. Dengan kata lain, al-Takathur hanya dapat
terselamatkan bila ia melandaskan diri pada solidaritas dan keberpihakan
al-Maun; “keuntungan mengabdi kepada kebajikan”.

Ummah Wasath: Pejuang Keadilan dan Kemanusiaan


Ide tentang pemihakan dalam kerangka tauhid sosial juga ditunjukkan
melalui ungkapan ummah wasath. Secara bahasa wasath adalah
sesuatu yang terletak diantara dua ujung. Kata ini tertulis sebanyak 5
kali dalam al-Qur’an. Merujuk pada makna yang dikandung dalam
ayat-ayat al-Qur’an, wasath mencakup tiga pengertian yaitu: Pertama,
tengah-tengah (QS.Al-Baqarah 2:238). Kedua, adil (QS.Al-Baqarah
2:143): “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat yang
adil dan terpilih agar kamu menjadi pejuang atas nama kemanusiaan
dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”
Wahbah al-Zuhayli (1998: vol. 2, 14-15) menjelaskan al-wasath
dalam ayat ini dengan menyatakan bahwa umat Muslim adalah umat
yang adil dan cinta keadilan, yang pada hakekatnya melukiskan suatu
keadaan yang terbaik dan terpuji dalam hal anugerah, ciptaan, syariat,
hukum, ibadah, keistimewaan dan fitrah. Umat muslim disebut sebagai
ummah wasath karena mereka mengutamakan prinsip
equilibrium/keseimbangan (al-tawazun) antara kebutuhan jasmani dan
rohani, antara kemaslahatan dunia dan akhirat; mereka juga
berlomba-lomba untuk menjadi kaum yang moderat dan tawassut
dalam arti memberikan hak kepada yang berhak menerima,
melaksanakan segala hak dan kewajiban dalam suatu konstruk
kehidupan sosial baik untuk kepentingan yang berjangka pendek
maupun berjangka panjang. Karena sifat al-wasath dan al-‘adl itulah
umat Muslim disebut sebagai ummat wasath (al-Maraghi, 1994.: vol. 2,

28
5-6).
Sementara Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
dalam al-Manar (tt., vol. 2, 4-5) memaknakan wasath sebagai keadilan
dan keterpilihan. Lafaz wasath digunakan karena mencakup pilihan
dan keadilan; dan kaum Muslim tidak suka berlebihan maupun
minimalis dalam persoalan-persoalan keagamaan, etika dan praksis
sosial. Pendapat yang serupa dengan al-Manar juga dikemukakan oleh
Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya.
Pengertian ketiga dari wasath adalah terbaik (QS. Al-Maidah 5:89):
“maka kaffarat melanggar sumpah itu adalah memberi makan sepuluh
orang miskin dari makanan terbaik yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak”. Ditegaskan pula dalam sebuah
adagium Arab:”Perkara yang terbaik adalah yang tengah-tengah”.
Dari paparan di atas, serta memerhatikan kelengkapan ayat al-
Baqarah 2:143, nyata bahwa Muslim yang memegang teguh tauhid
(sosial) adalah manusia yang memiliki karakter jelas sebagai pejuang
radikal untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan (syuhada’ ‘ala
al-nas) dengan cara-cara nirkekerasan/moderat. Memperjuangkan
keadilan dan kemanusiaan dengan kesabaran (upaya sistematik)
adalah tanda Muslim transformatif. Ketika diperlukan, mereka harus
berjuang menegakkan hukum dan kondisi sosial yang sepadan dengan
martabat kemanusiaan. Orang beriman tidak punya pilihan. Dalam
menghadapi ketidakadilan dan penindasan, ia harus berdiri di hadapan
Tuhan untuk menjadi penentang abadi ketidakadilan dan penindasan.
Pelanggaran atas hak-hak Tuhan harus dikutuk, dan semua orang yang
berkehendak baik harus terlibat dalam memegang dan memelihara
hak-hak tersebut sebagai tugas suci. Karena itu pula, keyakinan ini
harus mampu membangkitkan para pengikut agama-agama untuk
menjadi pelindung aktif terhadap hak-hak individu. Para pejuang
militan demi martabat manusia bisa menentang kejahatan dengan

29
kekerasan, tetapi kekerasan-kekerasan dengan batasan-batasan yang
sangat ketat, daripada menggunakannya atas nama keistimewaan
taqwa dan sebagai sarana suci untuk mencapai tujuan politik.

Qaryah Thayyibah: Membangkitkan Daulat Komunitas


Pertanyaan penting selanjutnya yang mesti dijawab ialah
darimana pembumian neo al-Maun harus dimulai? Tentu saja jawaban
atas pertanyaan ini dapat mencakup beberapa level pendekatan, baik
level negara, komunitas, dan keluarga. Tulisan ini tidak akan
mengemukakan pendekatan semua level di atas, namun mencoba
sedikit mengelaborasi pendekatan kedua, komunitas, yang dalam
bahasa Muhammadiyah disebut dengan ranting.
Komunitas merupakan basis sekaligus sasaran gerakan
penyadaran dan politik keberpihakan yang dapat dimainkan. Mereka
dapat diarahkan menuju basis pengembangan aksi-aksi kemandirian
dan anti-penindasan yang dilakukan oleh quartet kriminal – Fir’aun,
Qarun, Haman dan Samiri – dengan berbagai bentuk dan
manifestasinya.
Mempertimbangkan konteks di atas, tentu saja mengagas peran
komunitas sebagai basis pemihakan dan pemberdayaan civil society
sangat relavan, apalagi bila dikaitkan dengan reformasi politik,
ekonomi dan sosial-kultural di negeri ini yang belum menentu arah dan
langkahnya. Gagasan penyadaran politik dan aksi-aksi keberpihakan
komunitas dalam kerangka civil society memperoleh tempat yang
layak.
Bila civil society merupakan terjemahan dari visi Islam tentang
khayr ummah, yang dulu pernah ditegaskan oleh salah satu kekuatan
terbesar civil Islam di Indonesia Muhammadiyah sebagai “masyarakat
utama” misalnya, tentu saja ini mencerminkan bahwa gagasan
tersebut terikat dengan nilai-nilai keberpihakan kepada mereka yang
menjadi korban.

30
Pertama kali perlu disadarkan kepada kekuatan-kekuatan sipil
dalam masyarakat bahwa organisasi dan gerakan mereka sudah pasti
bukan merupakan masyarakat politik dan bukan pula pasar atau
masyarakat ekonomi. Mereka adalah pelaku dari civil society yang
bermain dalam ruang interaksi sosial-kultural di antara politik dan
ekonomi. Dalam ruang ini mereka hadir dalam bentuk organisasi
sukarela sekaligus gerakan sosial yang bekerja mulai dari tingkat
keluarga (usrah), komunitas (qaryah), dan jika memungkinkan hingga
masyarakat/negara (baldah). Walaupun bekerja di antara ruang politik
dan ekonomi, bukan berarti mereka identik dengan seluruh kehidupan
sosial di luar administrasi negara dan proses ekonomi dalam
pengertian sempit. Misalnya, menurut definisi ini, organisasi politik,
partai politik dan parlemen, sekaligus organisasi produksi, dan
distribusi barang, seperti perusahaan, bentuk-bentuk kerjasama dan
kemitraan adalah bukan bagian dari civil society. Mereka tetap
memiliki peran politik dan peran ekonomi sebagai pelaku dari civil
society itu. Peran itu tidak berhubungan langsung dengan kontrol atas
kekuatan politik dan ekonomi, namun lebih muncul sebagai kekuatan
yang memengaruhi politik dan ekonomi melalui kehidupan asosiasi
demokratis dan diskusi di ruang publik kultural. Patut dicatat bahwa
civil society tak terelakkan melalui satu cara atau lainnya dapat
memberikan kontribusi terhadap ruang politik dan ekonomi.
Dalam aras politik, aktualisasi gerakan neo al-Maun
membangkitkan komunitas basis yang sadar akan pentingnya
moderasi, yaitu menegakkan pluralisme dan menghargai
multikulturalitas dalam kehidupan bersama, serta memelihara
keadaban dalam proses kehidupan bersama. Pluralisme adalah suatu
keniscayaan yang tak terelakkan pada tingkat realitas, dan karenanya
pada tingkat komunitas dan masyarakat, pluralitas itu niscaya pula
menjadi manajemen kehidupan bersama.
Dalam aras ekonomi, gerakan neo al-Maun mengaktualisasikan

31
kemampuan komunitas untuk membangun kemandirian, menegakkan
keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Komunitas basis bukanlah pasar,
namun mereka ia dapat hadir dengan misi-misi ekonomi antara lain:
Pertama, merintis, memantapkan serta memelihara keswadayaan bagi
dirinya sendiri serta lingkungan sekitar di mana mereka berkiprah.
Kedua, menegakkan keadilan bagi masyarakat dan memihak kepada
mereka yang dhuafa dan mustadh`afin. Jelas bahwa penindasan dan
pemiskinan kontemporer lebih karena problem dan kebijakan-
kebijakan struktural. Karena itu, komunitas dapat berfungsi lebih tegas
sebagai protektor bagi warganya yang menjadi korban. Ketiga,
membantu mewujudkan kesejahteraan, baik pada tingkat keluarga
maupun komunitas.
Untuk memanifestasikan misi tersebut, gerakan neo al-Maun mesti
diarahkan untuk mendorong komunitas mampu membangun: 1)
lembaga filantropi yang piawai dalam hal manajemen pengumpulan
donasi dan voluntarisme, dan pemanfaatan atau distribusinya secara
transparan dan akuntabel, baik dalam jangka pendek maupun panjang;
2) bangkit sebagai artikulator dan advokator bagi kepentingan-
kepentingan kaum mustadh`afin yang menjadi korban pemiskinan dan
penindasan struktural, sesuai dengan spirit al-Maun sebagaimana
diintrodusir dan dijalankan oleh tokoh-tokoh semacam KHA. Dahlan
dan Muhammad Yunus misalnya; dan 3) mereka boleh membangun
bisnis yang sehat dan bertanggung jawab secara sosial dan
lingkungan, dan bukan untuk tujuan semata-mata kapitalisasi.
Dalam aras kultural, gerakan neo al-Maun bermain dalam ruang
intelektual dan moral, dan menguatkan ideologi keberpihakan. Karena
itu misi yang dijalankan dapat meliputi: Pertama, menggali nilai-nilai
yang hidup dalam komunitas dalam kerangka pencerahan intelektual
dan pencerahan moral (tanwir al-`uqul wa al-qulub) di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa yang makin tergerus moralitasnya dan
mengalami degradasi/krisis spiritual. Komunitas perlu disadarkan akan

32
tanggung jawab untuk mendedah virus korupsi dan kolusi yang telah
meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bersama, mengamputasinya
sekaligus menggantinya dengan moralitas baru yang segar dan
bercahaya. Kedua, gerakan neo al-Maun sangat diharapkan untuk
memberanikan komunitas untuk menciptakan resistensi atas
penindasan atau membuat alternatif sebagai counter bagi hegemoni.
Misalnya, mereka dapat membangun aktivitas-aktivitas ekonomi
informal yang membuat mungkin terjadinya produksi, distribusi dan
pertukaran barang dan jasa.

Al-Maun: Masjid untuk Kaum Miskin


Masjid biasanya dikenal sebagai tempat ibadah dan hal-hal yang
lekat dengan ritual. Dalam konteks tauhid sosial, mestikah masjid
tetap dengan fungsi-fungsi konvensionalnya itu? Bagaimana mesjid
harus dimaknai dalam lingkaran hermeneutis patologi sosial dan
ekologis?
Masjid adalah epitome Kerajaan Surgawi Tuhan di muka bumi.
Membangun masjid berarti menegakkan tiang-tiang penyangga
Singgasana Tuhan di atas dunia. Karena itu, bangunan masjid berarti
mewujudkan rumah/surga Allah dalam kehidupan kini dan di sini.
Kepemimpinan profetik-transformatif memanifestasi diri dalam bentuk
solidaritas komunitas sosial-keagamaan. Masjid untuk orang miskin
bukan untuk mendramatisir kesengsaraan orang-orang miskin dan
tunawisma atas nama agama dan khutbah-khutbahnya, namun untuk
memberdayakan mereka dalam proses membangun komunitas yang
peduli orang miskin.
Sejalan dengan semakin bertambahnya saudara-saudara kita
jatuh dalam kemiskinan dan pengangguran, kita sebagai penganut dan
pemilik iman harus merengkuh mereka. Hanya dengan mencelupkan
diri (sibghah) dalam perjuangan atas kemiskinan bahwa kita benar-
benar dapat memahaminya dari dalam. Di tengah-tengah kegalauan

33
dan krisis, komunitas dan perlawanan dapat terlahirkan dari sini.
Masjid bukan direduksi sekadar tempat ibadah, dzikir individu
maupun dzikir massal yang mengeksploitasi air mata, memanjatkan
doa-doa, dan pertobatan spiritual. Reduksi fungsional atas masjid
semacam ini justru sangat merugikan para ahli ibadah, karena ibadah
mereka ibarat fatamorgana, bayang-bayang tanpa pahala nyata,
karena ibadah mereka digerogoti oleh ketidakpedulian dan nir-
solidaritas atas kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Bahkan sebaliknya
ibadah tanpa kepedulian atas masalah kemiskinan justru
mencelakakan, menciptakan neraka di dunia (wayl).
Masjid adalah payung bagi komunitas iman yang harus secara
aktif menjelaskan “tanda-tanda zaman” dalam pengertian teologis dan
menerjemahkan tanda-tanda itu secara konkret dalam dakwah agama
dan komunitas. Jadi, tauhid sosial harus mencoba secara aktif
merespon panggilan Allah melalui proses menjadi tanda dan rumah
tinggal Allah (baytullah, masjid) di muka bumi.
Rumah tinggal atau masjid sebagai tanda menghendaki gerakan
dan intervensi Allah di dunia dan bahwa gerakan ini dapat dijelaskan
oleh kita. Allah mempertemukan orang-orang di mana mereka hidup
dan berjuang. Komunitas dipersatukan dalam perjuangan dan
solidaritas dengan dan untuk orang-orang miskin dan tertindas. Masjid
untuk orang-orang miskin tidak hanya mengidentifikasi diri dengan
orang-orang miskin dan tertindas, namun juga termasuk partisipasi
mereka, pembebasan dan humanisasi, yang dengan cara ini ia dapat
menjadi tanda dan benih Rumah Allah di muka bumi.
Misi masjid harus mempertimbangkan tantangan-tantangan
konkret yang dipaparkan oleh sejarah panjang penderitaan dan
penindasan, sembari tidak meniadakan kebutuhan akan keselamatan.
Pada hakekatnya ini berarti bahwa kehidupan Muslim berpusat pada
komitmen konkret dan kreatif untuk pelayanan bagi orang lain dan
refleksi atas makna transformasi dunia. Penyelamatan semacam ini

34
tidak dapat bersifat individualistik dan eksklusif perhatian pada
kehidupan setelah mati, bahkan ia harus muncul dari solidaritas dan
“terealisasi dalam bentuk pembebasan dan humanisasi” (amr ma`ruf
nahy munkar) dalam ruang dan waktu konkret.

Penutup
Neo al-Maun adalah sebuah upaya menafsir kembali teologi al-Maun
KHA. Dahlan dan tauhid sosial M. Amien Rais. Disebut neo karena
interpretasi ini berupaya mencari ranah baru dalam
mengaktualisasikan wacana dan praksis keduanya yang belum
memperoleh penekanan; karena dalam penafsiran ini penulis
mencoba menawarkan suatu paradigma dan metode pembacaan atas
al-Maun dan tauhid sosial. Cara ini memungkinkan kita untuk
melakukan proses pembacaan sesuai dengan konteks ruang dan
waktu, serta kebutuhan dan isu-isu kontemporer yang dihadapi.
Dengan paradigma dan metode pembacaan itu, siapa pun dapat
mencoba membuat tafsiran-tafsiran pada tingkat diskursus, sekaligus
perwujudan-perwujudan praksis sosialnya dalam gerakan. Pembacaan
itu juga dapat dilakukan sesuai dengan fokus yang hendak
dibicarakan, apakah menyangkut persoalan sistem sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan personalitas.

Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-
Fikr, tt.
Al-Alusi, Abu al-Fadl Shihab al-Din. Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al-
`Azhim wa al-Sab` al-Mathani. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah,
1994.
Al-Faruqi, Ismail Raji. Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life.
Herndon: IIIT, 1992.
Al-Asfahani, Al-Raghib. Mu`jam Mufradat Alfazh al-Qur'an. Beirut: Dar
al-Fikr, tt.
Iqbal, M. Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab
Bhavan, 1981.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam. Bandung: Mizan, 1991.

35
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Nashir, Haedar. “Perspektif Tauhid Sosial Untuk Pemberdayaan
Masyarakat”, Suara Muhammadiyah,
http://www.muhammadiyah.or.id, 09 September 2007.
Al-Qurtubi. al-Jami` li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadith, 2002.
Rais, M. Amien. Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan.
Bandung: Mizan, 1998.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Tafsir al-Munir fi al-`Aqidah wa al-Shariah wa al-
Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

36

You might also like