You are on page 1of 45

BAB I

PENDAHULUAN

Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena


metabolisme tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap
stressor fisiologis dan lingkungan.1,2 Keseimbangan cairan adalah esensial bagi
kesehatan. Dengan kemampuannya yang sangat besar untuk menyesuaikan diri, tubuh
mempertahankan keseimbangan, biasanya dengan proses-proses faal (fisiologis) yang
terintegrasi yang mengakibatkan adanya lingkungan sel yang relatif konstan tapi
dinamis.1
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari
air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan
elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka
akan berpengaruh pada yang lainnya.
Gangguan cairan dan elektrolit adalah hal yang sangat sering terjadi dalam
masa perioperatif maupun intraoperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering
dibutuhkan untuk mengkoreksi kekurangan cairan dan elektrolit serta
mengkompensasi hilangnya darah selama operasi. Oleh karena itu, ahli anestesi harus
mempunyai pengetahuan yang baik tentang fisiologi normal cairan dan elektrolit serta
gangguannya. Gangguan yang besar terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit
dapat secara cepat menimbulkan perubahan terhadap fungsi kardiovaskular,
neurologis, dan neuromuscular. 4
Dengan alasan tersebut, maka dibuatlah refrat ini yang diharapkan dapat
memberi informasi mengenai fisiologi normal cairan dan elektrolit, gangguan cairan
elektrolit, terapinya, transfusi darah serta implikasi-implikasi anestesinya.

1
BAB II
FISIOLOGI CAIRAN DAN ELEKTROLIT

2.1 Definisi Cairan Tubuh


Tubuh manusia sebagian besar terdiri atas cairan, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia <
1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki
dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan5, tabel
dibawah menunjukan estimasi total cairan tubuh manusia berdasarkan usia.5

Tabel 2.1 Perubahan cairan tubuh total sesuai usia

Usia Total Cairan per kilogram BB (%)

Bayi premature 80
3 Bulan 70
6 Bulan 60
1-2 tahun 59
11-16 tahun 58
Dewasa 58-60
Dewasa dengan obesitas 40-50
Dewasa kurus 70-75

Sumber:.............................................................................................................

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi
cairan intravaskular dan intersisial.4,5

2
Diagram 2.1 Persentase Cairan Tubuh

Tissue (40%)

Human
bb body Intracellular (40%)
Fluid (60%)

Ekstracellular
(20%)

Interstitial (15%) Intravascular (5%)

Sumber:.........................................

2.1.1 Cairan intraselular


Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang
dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar
27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram),
sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan
intraselular.5

2.1.2 Cairan ekstraselular


Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif
cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar
setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun,
jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini
sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.5

Cairan ekstraselular dibagi menjadi :5


Cairan Interstitial

3
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12
liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif
terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa.
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Hingga saat ini belum ada alat yang tepat/pasti untuk mengukur jumlah
darah seseorang, tetapi jumlah darah tersebut dapat diperkirakan sesuai dengsan jenis
kelamin dan usia, komposisi darah terdiri dari kurang lebih 55% plasma, dan 45%
sisanya terdiri dari komponen darah seperti sel darah merah, sel darah putih dan
platelet.
Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar.1,4
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi
cairan intravaskular dan intersisial.

2.2 Definisi Elektrolit


Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non
elektrolit.
Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan
arus listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion).
Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam
miliekuivalen).

2.2.1 Kation
4
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa
terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135 -155
mEq/liter. Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
- Atrial natriuretic factor
- Sistem renin angiotensin
- Sekresi ADH
- Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana kurang lebih 70% atau
40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter,
faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15
gram NaCl).7
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial
maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium
(muntah, diare) sedangkan asupan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi
disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti
dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus
berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak
dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.7
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan
penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium
dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang
tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel.7
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.
Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler.

5
Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10
mEq/liter.7,8
Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%
dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini
tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium
sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da
hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan
ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.7
Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk
pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.7

2.2.2 Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat,
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat. Karena kandungan
elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit
plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan
komposisi cairan intraseluler.7,8

Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil
akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali
bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru
dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.

Klorida
Kadar ion klorida berlebih di ruang ekstrasel, dan merupakan komponen
utama dari sekresi kelenjar gaster. Berfungsi dalam membantu proses keseimbangan
natrium. Sumber ion klorida banyak terdapat dalam garam dapur.
Fosfat
Fosfat merupakan bagian dari fosfat buffer system. Berfungsi untuk menjadi
energi pad metabolisme sel dan bersama dengan ion kalsium meningkatkan kekuatan

6
dan kekerasan tulang. Fosfat juga masuk dalam struktur genetik yaitu: DNA dan
RNA.

2.3 Definisi Non Elektrolit


Non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi
dalam cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.5,8

Gambar 1. Susunan Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler 6

Sumber:…………….

2.4 Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan
energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis
adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan
dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.5,7,8
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membrane
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan

7
berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler
permeable terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen
sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun
tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.5,7,8
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan
tekananosmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer
laktat).Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades),
sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan
hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori
tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan
hidrostatik.5,7,8
Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium
dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah
keadaan hiperosmolar di dalam sel.5,7,8

8
BAB III
GANGGUAN HOMEOSTASIS CAIRAN DAN
ELEKTROLIT

3.1 Asupan dan Kehilangan Cairan dan Elektrolit

Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah
oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera
pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-
2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan
cairan ratarata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml
kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.9
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme
oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari, cairan
yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat
sekitar 800-100 ml tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin
(rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg
untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-
rata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada keadaan demam
yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di atas
37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari tingkatan dan
jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible
loss), traktus gastrointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6
L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.9

9
Tabel 2. Keseimbangan Cairan Harian Dewasa Sehat 2
Input Cairan (dalam ml) Output Cairan (dalam ml)
Minum 1100 – 1400 Air Kemih 1200
Makan 800 – 1000 Tinja 100 -200
Hasil Oksidasi 300 Paru 400
Keringat 500 – 600
Total 2200 – 2700 ml Total 2200 – 2700 ml
Sumber……………………………

3.2 Perubahan Volume

3.2.1 Defisit volume


Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang
paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah kehilangan
cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase
fistula.
Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak,
infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut,
kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf
pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai
defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.9

3.2.2 Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus.10
Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama
dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya
relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara
garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular

10
berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravascular.10
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis
besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang.
Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke
kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume
intravascular.

3.2.3 Kelebihan Volume


Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air
dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan
air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis,
ataupun gagal jantung kongestif. Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi
kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang

3.3 Perubahan Konsentrasi

3.3.1 Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L
maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh
euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare,
muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau
NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi
hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahan-lahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus :9,10

Na= (Na1 – Na0) x TBW

Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)


11
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

3.3.2 Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan
mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan
cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air
kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan
dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140

3.3.3Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut
kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar
total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung,
perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural,
kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat
berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus
potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus
potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk
hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).
Rumus untuk menghitung defisit kalium :9,10

K = (K1 – K0) x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan


K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)

3.3.4 Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal
atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin,
12
diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia,
kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.9,10

3.3.5 Hipokalsemia
Hipokalsemia harus didiagnosis berdasarkan konsentrasi ion kalsium plasma.
Bila pemeriksaan [Ca] plasma secara langsung tidak dapat dilakukan, konsentrasi
kalsium total tetap harus dikoreksi untuk menurunkan konsentrasi albumin plasma.
Hipokalsemia yang berhubungan dengan keadaan hipoparatiroid relatif sering
menyebabkan hipokalsemia simptomatik. Hipoparatiroid dapat terjadi karena surgical,
idiopatik, bagian dari kelainan endokrin multipel (paling sering insufisiensi adrenal),
atau berhubungan dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium dikatakan dapat
menggagalkan sekresi PTH dan mengantagonis efeknya pada tulang. Hipokalsemia
yang terjadi pada saat sepsis berhubungan dengan supresi pelepasan hormone
paratiroid. Hiperfosfatemia juga merupakan penyebab yang relatif sering dari
hipokalsemia terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Hipokalsemia yang
berhubungan dengan defisiensi vitamin D kemungkinan terutama disebabkan karena
reduksi intake (nutrisional), malabsorbsi vitamain D, atau abnormalitas metabolisme
vitamin D.9,10

3.3.6 Hiperkalsemia
Hiperkalsemia dapat timbul akibat berbagai kelainan. Terutama adalah
hiperparatioid dimana sekresi paratiroid hormon akan meningkat dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh [Ca]. Sebaliknya pada keadaan hiperparatiroid skunder (gagal ginjal
kronik atau malabsorbsi) peningkatan jumlah hormon paratiroid adalah merupakan
respon dari keadaan hipokalsemia kronik. Hiperparatiroid skunder yang berlarut
kadang-kadang akan menyebabkan sekresi PTH secara otonom yang mengakibatkan
[Ca] berada dalam kadar normal atau meningkat (hiperparatiroid tersier).
Pasien dengan kanker dapat memberikan gambaran hiperkalsemia baik apakah
itu dengan metastase pada tulang ataupun tidak. Destruksi tulang yang terjadi secara
langsung atau sekresi mediator humoral pada hiperkalsemia (PTH like substance,
sitokin,, atau prostaglandin) kemungkinan bertanggung jawab pada sebagian besar
pasien. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan peningkatan pengeluaran kalsium
13
dari tulang dapat pula terjadi pada pasien dengan penyakit yang tidak ganas seperti
Paget`s disease dan imobilisasi yang kronis. Peningkatan absorbsi kalsium oleh
intestinal dapat menimbulkan hiperkalsemia pada pasien dengan milk-alkali syndrome
(ditandai dengan peningkatan intake kalsium), hipervitaminosis D, atau penyakit
granulomatosa (memperkuat sensitivitas terhadap vitamin D). Mekanisme lain
terjadinya hiperkalsemia belum banyak diketahui.9,10

3.3.7 Hipofosfatemia
Hipofosfatemia merupakan akibat dari keseimbangan fosfor yang negatif atau
ambilan selular tehadap fosfor ekstraselular (pergeseran interkompartemen).
Pergeseran fosfor interkompartemen dapat terjadi pada keadaan alkalosis, dan setelah
memakan sejumlah karbohidrat atau pemberian insulin. Pemberian dosis besar antasid
yang mengandung alumunium atau magnesium, luka bakar berat, suplementasi fosfor
yang tidak adekuat selama hiperalimentasi, ketoasidosis diabetic, alkohol withdrawal,
dan alkalosis respiratorik yang memanjang dapat menyebabkan keseimbangan fosfor
yang negative dan dapat menjadi hipophosfetemia berat (<0,3 mmol/dL atau <1.0
mg/dL). Sebaliknya pada alkalosis metabolik jarang menyebabkan terjadinya
hipofosfatemia.

3.3.8 Hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia dapat terjadi pada intake fosfor yang meningkat
(penyalahgunaan laksatif fosfor atau pemberian potassium fosfat yang berlebihan ),
penurunan ekskresi fosfor (pada insufisiensi renal), atau lisis sel yang massif (setelah
kemoterapi pada limfoma atau leukemia).9,10

3.3.9 Hipomagnesemia
Hipomagnesemia adalah masalah yang umum dan sering terjadi,terutama pada
pasien dengan sakit kritis. Sering kali terdapat hubungan dengan defisiensi komponen
intraselular yang lain seperti potassium dan fosfor. Defisiensi magnesium biasanya
dikarenakan intake yang tidak adekuat, penurunan absorbsi gastrointestinal, atau
peningkatan ekskresi renal. Agonis beta adrenergic dapat menyebabkan
hipomagnesemia melalui pengambilan ion oleh jaringan. Obat-obatan dapat
meningkatkan pembuangan magnesium oleh ginjal yaitu ethanol, teofilin, diuretic,

14
sisplatin, aminoglikosid, siklosporin, amfoterisin B, pentamidin, dan granulocyt
colony stimulating factor.

3.3.10 Hipermagnesemia
Peningkatan [Mg] plasma hampir selalu berhubungan dengan intake yang
berlebihan (antasid atau laksatif yang mengandung magnesium), kegagalan ginjal
(GFR<30ml/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenic dapat terjadi selama
terapi dengan magnesium sulfat pada hipertensi gestasional yang terjadi baik pada ibu
maupun dengan fetus. Penyebab yang lebih jarang antara lain insufiensi adrenal,
hipotiroid, rhabdomyolisis, dan pemberian lithium.

3.4 Perubahan Komposisi

3.4.1 Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)


Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk
menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat
dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis,
pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan
penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang
adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu.
Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat
penting.9

3.4.2 Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)


Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi
yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis
terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk
mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia,
penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang
terjadi.9

3.4.3 Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)

15
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus
kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,
diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol.
Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah
kompensasi alkalosis respirasi digunakan.9

3.4.4 Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)


Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan
bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien
bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi
yang digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan
potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran
pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.9

16
BAB IV
PENATALAKSANAAN CAIRAN

4.1 Terapi Cairan Intravena

Infus cairan intravena (intravenous fluids drip) adalah pemberian sejumlah


cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh
balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan
infus adalah: 1) Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah); 2) Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah); 3) Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur
(paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponendarah); 4) Kehilangan cairan tubuh
pada dehidrasi (karena Heat stroke, demam dan diare); 5) Semua trauma kepala, dada,
dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).8,9
Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral
Venous Cannulation): 1) Pemberian cairan intravena (intravenous fluids); 2)
Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas;
3) Pemberian kantong darah dan produk darah; 4) Pemberian obat yang terus-menerus
(kontinyu); 5) Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya
pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk
persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat); 6) Upaya
profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi
(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps
(tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.
Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur
Pembuluh Darah Vena: 1) Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi
pemasangan infus; 2) Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini
akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan
hemodialisis (cuci darah); 3) Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh
vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan
kaki).8,9

17
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus: 1)
Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh
darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat
memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah; 2) Infiltrasi, yakni
masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi
akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah; 3) Tromboflebitis atau bengkak
(inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau
secara ketat dan benar; 4) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi
darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh
darah; 5) Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus; 6)
Rasa perih/sakit; 7)Reaksi alergi.8,9

4.1.1 Jenis Cairan Infus 8,9

Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum,
dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh
darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah
ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada
keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam
terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba
cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya
adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh,
sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload
(kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.

18
Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam
fisiologis (NaCl 0,9%).

Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi
edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya
Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%
+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

4.1.2 Pembagian Cairan

Kristaloid
Kristaloid bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume
cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat
(relatif sebentar di intravaskuler), dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan
segera. Misalnya Ringer-Laktat dan NaCl 0,9%.4,8
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau
syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-
30 menit.4
Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan
paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di
medan perang Vietnam turut memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman,
yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema
paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan
edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
19
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan
lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang
sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat
mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan
menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

Tabel 3. Daftar Cairan Kristaloid


Larutan Tonisitas Na+ Cl- K+ Ca2+ Glukosa Laktat
(mosml/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
D5 Hipotonis - - - - 50 -
(253)
Normal Isotonis 154 154 - - - -
Saline (308)
D5 ¼ Isotonis 38,5 38,5 - - 50 -
NS (330)
D5 ½ Hipertonis 77 77 - - 50 -
NS (407)
D5 NS Hipertonis 154 154 - - 50 -
(561)
Ringers Isotonis 130 109 4 3 - 28
Laktat (273)
D5 RL Hipertonis 130 109 4 3 50 28
(525)

Koloid
Koloid ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan
keluar dari membran kapiler, dan tetap berada lama dalam pembuluh darah, maka
sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya
adalah albumin dan steroid.
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.

20
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama
pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

Tabel 4. Daftar Cairan Koloid


Jenis Produksi Tipe BM Waktu Indikasi
Koloid rata-rata paruh
Plasma Human Serum consered 50.000 4-5 a. Pengganti
protein plasma human albumin hari volume
b.Hiponatremia
c. Hemodilusi
Dextran Leuconostoc D 60/70 60.000 – 6 jam a. Hemodilusi
mesenteroid 70.000 b. Gangguan
B 512 mikrosirkulasi
(stroke)
Gelatin Hidrolisis - Modifien 35.000 2-3 Substitusi volume
dari kolagen gelatin jam
binatang - Urea linked
- Oxylopigelatin
hydroxy ethyl
Starch Hidrolisis Hydroxy ethyl 450.000 6 jam a. Substitusi
asam dan volume
ethylen b. Hemodilusi
oxyde
treatment
dari kedelai
dan jagung
Polyvinyl Sintetik - Subtosan 50.000 Substitusi volume
pyrrolidone polimer - Periston 25.000
vinyl
pyrrolidone
Sumber.....................

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
Koloid alami
Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan
2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat dalam

21
fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.4

Koloid sintesis
Dextran8
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran
70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40,
tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena
dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek
anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor
VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500
ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang
besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.

Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
22
modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell), urea linked gelatin, oxypoly
gelatin.Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea
linked gelatin.

4.2 Terapi Cairan Perioperatif

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang


umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
perioperatif dan postoperatif.
Faktor-faktor preoperatif:9
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh
stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek
diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan
elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit
dari traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita
demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.

Faktor Perioperatif:9
1. Induksi anestesi
23
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan
vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka
operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.
Faktor postoperatif:5
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif
adalah :
1. Hiperkalemia
2. Asidosis metabolik
3. Alkalosis metabolik
4. Asidosis respiratorik
5. Alkalosis repiratorik

4.2.1 Dasar-dasar Terapi Cairan Perioperatif


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :9,10
Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan
tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air
lebih banyak dibandingkan elektrolit).
Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai
24
penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan
pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss
akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan
pra bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.
Kehilangan cairan saat pembedahan
a. perdarahan9
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : 1) Botol penampung darah yang
disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump); 2)Kasa yang digunakan
sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm)
mengandung ± 10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat
menyerap darah ± 10-100 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bias
ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan
klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin
dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah
perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan
cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja
operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan
internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada
pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan
cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara
masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan
sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa
(ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang
ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan
cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam
kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang
ekstraseluler.

25
Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan: Laju Filtrasi
Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun, reabsorbsi Na+ di tubulus
meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kadar aldosteron,
meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air
dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat, Ginjal tidak
mampu mengekskresikan “free water” atau untuk menghasilkan urin hipotonis.

4.2.2 Pengganti defisit Pra bedah


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement)
harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah
sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama
pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya.8,9
Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis
seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena
penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi
enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan
mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam lama puasa.
Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi)
yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan
resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.8

4.2.3 Terapi cairan selama pembedahan


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan,
translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan
tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.

Tabel 5. Perkiraan Jumlah Cairan Berdasarkan Jenis Operasi.


Jenis Operasi Kebutuhan Cairan
(sampai dengan)
Minor (Tendon repair, 3 mL/KgBB/Jam
Tympanoplasty

26
Moderate (Histrektomi, 6 mL/KgBB/Jam
Inguinal Hernia
Major (Total hips 9 mL/KgBB/Jam
replacement, peritonitis)
Sunber:.............................................

4.2.4 Terapi Penggantian Darah


Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood Volume
= taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan
penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada seseorang
yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali
tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif.

Tabel 6. Perkiraan Volum Darah

Usia Volume Darah


Prematur Neonatus 90 Kg/BB
Fullterm Neonatus 85 Kg/BB
Bayi 80 Kg/BB
Laki-laki 70-75 Kg/BB
Wanita 60-65 Kg/BB
Sunber:………………….

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan


kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan
berdasarkan: 1) Keadaan umum penderita ( kadar Hb dan hematokrit) sebelum
pembedahan; 2) Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi; 3) Sumber perdarahan
yang telah teratasi atau belum; 4) Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi); 5) Jumlah
cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan; 6) Kalau mungkin hasil serial
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit; 7) Usia penderita.
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:
- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin
sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

27
- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr%
Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya sehingga diuresis
± 1 ml/kgBB/jam

4.2.5 Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50
ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian
kalium karenaadanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses
katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan
aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh
sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita
dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian
karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori
dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus
dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan
cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini
berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C
suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan
yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya
diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan
nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

28
BAB V
TRANSFUSI DARAH

5.1 Definisi Transfusi Darah


Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari
donor ke sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena.4 Berdasarkan
sumber darah atau komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yaitu:
1. Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan
darah dari orang lain;

2. Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah


resipien itu sendiri yang diambil sebelum transfusi dilakukan.

5.2 Golongan Darah

Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenik
berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, tanda dari
masing-masing adalah di bawah kontrol genetik dari kromosom loci. Kebetulan,
hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada transfusi darah. Setiap orang biasanya
menghasilkan antibody (alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-
reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas
sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.11

5.2.1 Sistem ABO


Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua allel: A dan B. Masing-
masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu
permukaan sel glycoprotein, menghasilkan antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada
berbagai varian A dan B.) Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B "
natural" yang menghasilkan antibodi (sebagian besar immunoglobulin M) melawan
antigens di dalam tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah precursor dari system
ABO tetapi diproduksi oleh suatu kromosom tempat berbeda. Tidak adanya antigen

29
H (hh genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau
B; individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A, anti-B, dan
anti-H antibodi.4,8
Bila sel darah merah (SDM) yang ditransfusikan tidak kompatibel, antibodi
dalam plasma resipien akan mengikat reseptor khusus di dinding SDM donor. Hal ini
akan mengaktifkan jalur komplemen yang akan menyebabkan lisis dinding SDM
(intravaskular hemolisis). Jalur komplemen ini akan melepaskan anafilatoksin C3a
dan C5a yang akan membebaskan sitokin seperti TNF, IL1 Dan IL8, dan
menstimulasi degranulasi sel mast dengan mengsekresikan mediator vasoaktif. Semua
substansi ini bisa menyebabkan inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan
hipotensi yang akan mengarah ke shock dan gagal ginjal. Mediator juga akan
menyebabkan agregasi platelet, oedema paru peribronchial, dan kontraksi otot kecil.

Tabel 7. Daftar Golongan Darah

Golongan Antigen di Antibodi dalam Golongan donor yang


RBC plasma kompatibel
A Antigen A Anti-B A, O
B Antigen B Anti-A B, O
AB Antigen A & B Tidak ada A, B, AB, O
O Tidak ada Anti- A & B O
Sumber:...................................

5.2.2 Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada sekitar
46 Rh-berhubungan dengan antigen, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D,
C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan antibody.
Biasanya, ada atau tidak alel yang paling immunogenik dan umum, D antigen,
dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai
antigen D. Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya
antibodi akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi
sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).

5.2.3 Sistem Lain

30
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy,
Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan
beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini
jarang menyebabkan reaksi hemolytic serius.

5.3 Tes Kompatibilitas


Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-
antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah
harus di periksa adanya antibody yang tidak baik.11

Tabel 9. Golongan darah ABO

TIPE Adanya antibodi dalam serum Insidensi*


A anti– B 45%
B anti – A 8%
AB - 4%
O anti A, anti–B 43%
* angka rata-rata pada orang di Eropa

5.3.1 Tes ABO-Rh

Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan


inkompatibilitas ABO. antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan
antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan
hemolisis intravaskular. Sel darah merah pasien diuji dengan serum yang dikenal
mempunyai antibody melawan A dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena
prevalensi secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah kemudian
dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan antigen yang
dikenal.4,8
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan
Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan
mencampur serum pasien dengan sel darah merah Rh (+). Kemungkinan
berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-
70%.

5.3.2 Crossmatching

31
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari
5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain , dan ( 3) mendeteksi
antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir
memerlukan sedikitnya 45 menit.

5.3.3 Screening Antibodi

Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang
biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga
Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum
pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik,
membran sel darah merah dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin
menghasilkan aglutinasi sel daraah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor
darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch.4

5.4 Komponen Darah


5.4.1 Whole blood
Darah lengkap segar digunakan pada perdarahan akut, syok hemovolemik, dan
bedah mayor dengan perdarahan >1500 mL. Darah lengkap segar hanya untuk 48
jam, baru untuk 6 hari, dan biasa untuk 35 hari. Sekarang produk ini sudah jarang
digunakan, para klinisi lebih senang menggunakan produk komponen darah saja.11

5.4.2 Sel darah merah


Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat
eritrosit dari whole blood yang disentrifugasi atau dengan metode apheresis.
Kandungan yang terdapat dalam PRC: hematokrit sekitar 50-80%, +50 mL plasma,
42,5-80 hemoglobin (128-240 mL eritrosit murni), 147-dan 278 mg besi. Transfusi
PRC mempunyai waktu paruh sekitar 30 hari.11
Dosis: pada dewasa tergantung kadar hemoglobin sekarang dan yang akan
dicapai. Satu kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1 g/dL. Pada
neonatus, dosisnya 10-15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL.

32
Kadar hemoglobin akhir dapat diperkirakan dengan rumus = volume darah x
hematokrit x 0,91.
Indikasi: hanya pada pasien dengan gejala klinis gangguan hemodinamik
seperti hipoksia, transfusi pengganti misal pada bayi dengan penyakit hemolitik,
thalasemia. Biasanya bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL dengan target akhir
10 g/dL.11

5.4.3 Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010 platelet
per kantong, dan 50 mL plasma.
Dosis: pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar
platelet biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet sekitar
50-100.000/mm3.
Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan
fungsi platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000
pada dewasa, dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.11
Kontraindikasi: autoimun trombositopenia, trombotik trombositopeniapurpura.

5.4.4 Frozen plasma


Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 kantong berjumlah sekitar 250 mL
yang dibekukan pada suhu -180C dalam 6-8 jam. FFP dalam 24 jam mengandung
Faktor V dan Faktor VIII.11
Indikasi: perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan kuagulopati pada
penyakit hati, trombotik trombositopenia purpura.
Dosis: 10-20 mL/kg.

5.4.5 Cryoprecipitated AHF


Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor. Didapatkan dengan
mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor
VIII:C, faktor VIII:vWF (von Willebrand factor), faktor XIII, fibronectin, dan 5-20
mL plasma.
Dosis: kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1
kantong per 7-10 kgBB.

33
Indikasi: perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII, pasien
dengan hemofili A atau von Willebrand’s disease.11

5.4.5 Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada
pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik.
Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek,
sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010 granulosit pada umumnya diperlukan.
Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya reaksi graft-versus-host ,
kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan
berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah), tetapi mempengaruhi fungsi
granulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating faktor, atau G-
CSF) dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau
GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.4

5.5 Komplikasi Transfusi Darah


5.5.1 Reaksi Hemolisis
Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah
merah yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolisis
sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah.
Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting factor, atau cryoprecipitate
berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B (atau kedua-duanya)
alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis
intravaskular.4
Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed
(extravascular).4
1. Reaksi hemolisis akut

Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan


Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi.
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah,
atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal
terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin,
demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu

34
reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan,
hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi.
Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat
berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa
banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat
terjadi setelah transfusi 10 – 15 ml darah yang ABO inkompatibel.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;
• Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan
segera.
• Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
• Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
• Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam
pembuluh darah.
• Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
2. Reaksi hemolisis lambat
Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular
biasanya ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel
asing di sistem lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi
ABO dan Rh D-kompatibel, pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk
antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat itu sejumlah antibody ini sudah
terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi sel darah telah
dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak
terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel
darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini
dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe lambat terjadi 2-
21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice,
dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan
hemoglobin.4
Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh
antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel
darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membran antibodi resipien pada sel
darah merah dengan membran antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini

35
memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua
spesimen : pasien dan donor.4
Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi
transfusi hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan
( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-
tibodies pada seldarah merah.
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct
antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis. Fungsi
ginjal harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja
pada transfusi selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening golongan
darah dan atibodi.4
3. Reaksi imun nonhemolisis
Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari
resipien ke donor lekosit, platelet, atau protein plasma.4

5.5.2 Reaksi Febris


Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi
febris. Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu
peningkatan temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris
berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat
leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.4

5.5.3 Reaksi Urtikaria


Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik
merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1%
tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien terhadap
transfusi protein plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin ( H,
dan mungkin H2 blockers) dan steroid.4

5.5.4 Reaksi Anafilaksis


Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi).
Reaksi ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara
khas pada IgA pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang
berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang
36
umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1, dan
H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA perlu menerima Washed Packed Red Cells,
deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .4
Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema,
mual & muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri
abdomen.
Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit.
Untuk menghilangkan gejala berikan antihistamin, misalnya chlorpheniramine 10 mg.
Berikan chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.4

5.5.5 Edema Pulmoner Nonkardiogenik


Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])
merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi
antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel
darah putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner. Tranfusi sel darah putih dapat
berinteraksi dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan
Acute Respiratory distress syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam
dengan terapi suportif.
Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid.

5.5.6 Graft versus Host Disease


Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel
darah berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit
khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus-host. Iradiasi
(1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif
menginaktifasi limfosit tanpa mengubah efikasi dari transfusi.4

5.5.7 Purpura Posttransfusi


Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan
dengan berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas,
antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu
setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.4

5.5.8 Imunosupresi
37
Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi.
Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah
preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi
menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada
pasien yang menerima transfusi darah selama pembedahan. Dari kejadian yang ada
juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit allogenik dapat mengaktifkan virus laten
pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi
yang serius setelah pembedahan atau trauma.4

5.6 Komplikasi Infeksi


5.6.1 Infeksi Virus Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya
hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah
dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab
1:63,000 dan 1:1,600,000, 75% tentang kasus ini adalah anikterik, dan sedikitnya
50% berkembang menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok
yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.4

5.6.2 Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)


Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2
antibodi. Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu
kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi
1:1.900.000 tranfusi.4

5.6.3 Infeksi Virus Lain


Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan
penyakit sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan, pada
beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari
donor dapat menularkan virus. Pasien immunosupresif dan Immunocompromise
(misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi
CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, pasien - pasien menerima hanya CMV negatif.
Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari
transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV
38
negatif. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara
klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan
II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah
dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan
myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor
pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasien
immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi
tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.4

5.6.4 Infeksi Parasit


Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.4

5.6.5 Infeksi Bakteri


Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi.
Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai
1/7000 untuk RBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari
1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk RBC. Angka-angka ini secara relatif
besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta.
Baik bakteri gram-positif (Staphylococus) dan bakteri gram-negatif (Yersinia dan
Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk
mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor
meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam
rickettsia.4
Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik
sesuai bakteri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut
dapat dipertimbangkan:
- Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari;
atau meropenem 1 g tds iv.
- Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.11

5.6.6 Overload Cairan

39
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung
ventrikel kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering,
peningkatan JVP, ronki basal paru, hipertensi, dan takikardi.11
Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.

5.6.7 Iron Overload


Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya
bergantung pada transfusi darah seperti talasemia dan sickle cell. Komplikasi ini
terjadi bila transfusi sudah mencapai 10-50 kantong.11
Manajemen: dilakukan iron chelation therapy dengan desferoxamine 30-50
mg subkutan atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.11

5.7 Transfusi Darah Masif


Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi
satu sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa,
equivalent dengan 10-20 unit.4

5.7.1 Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada
pasien normal. Pelajari koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya
menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa viskoelastis dari pembekuan
darah (thromboelastography dan Sonoclot Analyze) juga bermanfaat.4

5.7.2 Keracunan Sitrat


Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi
penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia
penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal
kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat
terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar (dan kemungkinan
pada pasien hipotermi) memerlukan infus kalsium selama transfusi masif.4

5.7.3 Hipotermia

40
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua
produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Aritmia
Ventrikular dapat menjadi fibrilasi, sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C.
Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat
dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan transfuse.4

5.7.4 Kelainan Asam Basa


Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan
antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah
(karbondioksida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme asidosis metabolik
yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam
basa setelah tranfusi darah masif adalah alkalosis metabolik postoperatif. Ketika
perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan alkalosis metabolik
progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah
menjadi bikarbonat oleh hepar.4

5.7.5 Perubahan Konsentrasi Kalium Serum


Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat
dengan waktu. Jumlah kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masing-msaing
kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan
umur darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui
sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolik.4

5.8 Strategi Alternatif Penanganan Kehilangan Darah


5.8.1 Transfusi Autologus
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu
kemungkinan tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk
digunakan selama operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum
operasi. Pasien diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang
hematokrit kurang lebih 34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian
darah minimum 72 jam antara mendonorkan darah dan membuat volume plasma
kembali normal. Dengan suplementasi besi dan terapi eritropoetin rekombinan ( 400

41
U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit pada umumnya dikumpulkan sebelum
operasi.4
Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak
mempunyai efek tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang
mengalami operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autologous mungkin
mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidaklah dengan sepenuhnya
bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang berhubungan dengan
kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label, pencemaran, dan
gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan
dengan alergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat
pengumpulan dan gudang penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative
autologous dilakukan dengan frekuensi berkurang.4

5.8.2 Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang


Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vaskular dan bedah
tulang. Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah
pembekuan darah (heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup
dikumpulkan, sel darah yang merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan
dari kotoran dan zat pembeku kemudian di transfusikan kembali ke dalam pasien.
Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai hematokrit 50-60%. Untuk
digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah lebih besar dari
1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang busuk dan tumor
malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi sel
malignan via teknik ini tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana
memungkinkan reinfusion darah tanpa centrifuge.4

5.8.3 Normovolemik Hemodilusi


Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika
konsentrasi sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat
dikurangi apabila darah dalam jumlah besar ditumpahkan. Lebih dari itu, cardiac
output tetap normal sebab volume intravaskular terkontrol. Darah umumnya
dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter intravena yang besar dan digantikan
dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap normovolemic tetapi dengan
hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu
42
sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit. Darah di transfusikan kembali ke
pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.4

5.8.4 Donor – Transfusi Langsung


Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang
mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan hal ini
dan umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk
memproses darah dan mengkonfirmasikan kompatibilitas.
Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan donor
secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih aman.4

43
BAB VI
KESIMPULAN

Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air (pelarut) dan zat tertentu (zat
terlarut). Cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama yang
dipisahkan oleh membran sel menjadi: cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler
(cairan intravaskuler dan interstisial). Sedangkan elektrolit adalah zat kimia yang
menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam
larutan. Elektrolit yang terdapat di dalam tubuh mencakup natrium, kalium, kalsium,
magnesium, Klorida, bikarbonat, fosfat, dan sulfat. Keseimbangan Cairan dan
elektrolit tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: usia, jenis kelamin, sel-sel
lemak, stres, kondisi sakit, diet, temperatur lingkungan, pengobatan, tindakan medis,
dan pembedahan. Cairan tubuh normalnya berpindah antara kedua kompartemen
utama untuk mempertahankan keseimbangan nilai cairan. Pertukaran cairan antar
kompartemen dapat dilakukan dengan osmosis, difusi dan pompa natrium kalium.
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari
air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan
elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka
akan berpengaruh pada yang lainnya. Masing-masing gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit mempunyai manifestasi klinis yang berbeda sehingga menyebabkan
penatalaksanaannya pun berbeda. Selain itu, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga berpengaruh terhadap pertimbangan anestetik.
Penggantian cairan tubuh baik kristaloid, koloid maupun darah sangat vital
dalam keadaan tertentu, penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis
darah yang digantikan tepat dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan
mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi dalam reaksi transfusi darah
penggantian darah ataupun komponen-komponen darah merupakan suatu tindakan
yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama transfusi yaitu
memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan biologis
darah atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan
volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah).
mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi
jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital


Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm
2. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J.
2004; 80; 1-6.
3. Nutrition Committee, Canadian Paediatric Society. Oral Rehydration Therapy
and Early Refeeding in the Management of Childhood Gastroenteritis. The
Canadian Journal of Paediatrics 1994; 1(5): 160-164.
4. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada
pembedahan. Edisi Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.
2002
5. Banks JB, Meadows S. Intravenous Fluids for Children with Gastroenteritis.
Clinical Inquiries, American Family Physician, January 1 2005. American
Academy of Family Physicians.
6. D Payne J, Elliot E. Gastroenteritis in Children. Clin Evid 2004; 12: 1-3. BMJ
Publishing Group Ltd 2004.
7. Eliason BC, Lewan RB. Gastroenteritis in Children: Principles of Diagnosis
and Treatment. American Family Physician Nov 15 1998. American Academy
of Family Physicians.
8. Morgan G.E, et al. Clinical Anesthesiology. Fourth edition. New York: Lange
Medical Books – McGraw Hill Companies. 2006: 662-689
9. Martin S. Intravenous Therapy. Nova Southeastern University PA Program.
10. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online]
2006 Mar URL:http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.
11. McClelland, DBL. Handbook of transfusion medicine ed. 4. 2007. United
kingdom blood service.

45

You might also like