You are on page 1of 13

RENJATAN HIPOVOLEMIK PADA ANAK

A.Latief Aziz
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSU Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN

Renjatan adalah diagnosis klinis yang terjadi karena berbagai sebab. Renjatan
merupakan gawat darurat medik dengan morbiditas dan mortalitas tinggi ( > 20% ) yang
membutuhkan penanganan segera ( 1 ).
Kelambatan penanganan dapat menyebabkan kematian atau terjadinya gejala sisa.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai batasan yang tepat dari renjatan, namun
para sarjana pada umumnya sependapat bahwa renjatan adalah sindroma klinis akibat
kegagalan sistim sirkulasi dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan baik
pasokan maupun penggunaannya dalam metabolisme selluler jaringan tubuh ( 1,2,3,4,5,6,7 ).
Gejala awal renjatan pada anak tidak sama dengan dewasa karena fungsi organ dan
kemampuan kompensasi tubuh yang relatif berbeda sesuai perkembangan usia ( 1,6,7 ).
Renjatan hipovolemik terjadi sebagai akibat berkurangnya volume darahintravaskular.
Jenis renjatan ini merupakan yang paling banyak dijumpai dan merupakan penyebab
kematian utama anak diseluruh dunia ( 6 – 20 juta kematian tiap tahun ), meskipun penyebab
hipovolemia diberbagai negara berbeda beda ( 1,2,7 ).
Di negara berkembang penyebab utama hipovolemia adalah diare akut dan demam
berdarah dengue, sedang dinegara maju penyebab utama hipovolemia adalah perdarahan
akibat trauma ( 2,7 ). Di IRD RSUD dr Sutomo 6 – 8% dari sekitar 5000 - 6000 kunjungan
penderita anak setiap tahunnya mengalami renjatan hipovolemik dengan penyebab utama
adalah diare akut dan demam berdarah dengue.
Kehilangan cairan yang cepat dan banyak menurunkan preload ventrikel sehingga
terjadi penurunan isi sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi penurunan hantaran
oksigen kejaringan tubuh. Pada renjatan karena perdarahan selain terjadi penurunan cardiac
output juga terjadi pengurangan hemoglobin sehingga transport dari oksigen kejaringan makin
berkurang.

Penyebab renjatan hipovolemi adalah :


1. Kehilangan cairan dan elektrolit : Diare, Muntah
Diabetes Insipidus
Heat stroke
Renal loss
Luka bakar

2. Perdarahan :
Perdarahan internal : Ruptura hepar/lien
Trauma jaringan lunak
Fraktura tulang panjang
Perdarahan saluran cerna
( Ulkus peptikum,Divertikulum Meckel,
sindroma Mallory Weis dsb )
Kelainan hematologis

1
Perdarahan eksternal : Trauma

3. Kehilangan plasma : Luka bakar


Sindroma nefrotik
Obstruksi ileus
Demam berdarah dengue
Peritonitis

Penyebab lain dari renjatan hipovolemi adalah kebocoran kapiler ( capillary leak syndrome ),
cairan intravaskular keluar kejaringan seperti luka bakar, sepsis, penyakit-penyakit
keradangan lain, pada keadaan ini anak nampak sembab meski sebenarnya anak ini
kekurangan cairan intravaskular ( 2,7).

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer penyebab renjatan. Namun secara
umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk
mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat organ-organ vital melalui refleks
neurohumoral. ( 1,2,5,6,7,8 ).
Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus pembuluh darah dan
sistim pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya renjatan.

Bila terjadi hipovolemi maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah melalui ( 1,2,6,7 ) :

1. Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh darah. Bila
terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun,
sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor kepusat juga berkurang sehingga akan
terjadi :
- Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibitory centre.
- Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor
Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia.
Baroreseptor ini terdapat di sinus caroticus, arcus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel
kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus caroticus merupakan baroreseptor perifer
yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.

2. Kemoreseptor
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai 60
mm Hg. Bila tekanan darah menurun dibawah 60 mm Hg maka yang bekerja adalah
kemoreseptor yang terangsang bila terjadi hipoksia dan asidosis jaringan. Akibat
rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas dan rangsangan
pernafasan.

3. Cerebral Ischiemic Receptor


Bila aliran darah ke otak menurun sampai < 40 mm Hg maka akan terjadi symphathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari respon reseptor perifer.

4. Respon Humoral
Bila terjadi hipovolemia/hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon stres
seperti epinefrin,glukagon,kortisol yang merupakan hormon yang mempunyai efek kontra

2
dengan insulin.Akibat dari pengeluaran hormon ini adalah terjadi takikardia,
vasokonstriksi dan hiperglikemia. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan
darah perifer dan preload, volume sekuncup dan curah jantung.Sekresi ADH oleh hipofise
posterior juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.

5. Retensi air dan garam oleh ginjal


Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran renin oleh yuxtaglomerular
aparatus yang merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I.Angiotensin I ini oleh
Angiotensin convertizing enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat :
- Vasokonstriktor kuat.
- Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium di
tubulus ginjal.
- Meningkatkan sekresi vasopresin

Gb. 1. Refleks kardiovaskular pada hipotensi

Volume sirkulasi

Preaload

Volume sekuncup

Curah jantung

Baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischemic receptor

Cardio inhibitory center dihambat Aktivasi cardiostimulatory center

Output simpatetik meningkat


Output parasimpatik menurun

Heart rate , kontraktilitas otot jantung


Vasokonstriksi

Ginjal
Angiotensin, Vasopressin, Aldosteron

6. Autotransfusi

Autotransfusi adalah suatu mekanisme didalam tubuh untuk mempertahankan agar


volume dan tekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan

3
antara jumlah cairan intravaskular yang keluar ke ekstravaskular atau sebaliknya.Hal ini
tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik
intravaskular dan ekstravaskular serta pada keadaan dinding pembuluh darah.Pada
keadaan hipovolemi maka tekanan hidrostatik intravaskular akan menurun maka akan
terjadi aliran cairan dari ekstra ke intravascular sehingga tekanan darah dapat
dipertahankan.Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya
cairan tubuh cepat maka proses ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah.

Gb.2. Proses autotransfusi pada renjatan.


1. Tekanan darah turun, terjadi vasokonstriksi
2. Kontraksi sphincter pre dan post kapiler
3. Volume darah berkurang, aliran darah yang lewat lebih cepat
4. Cairan interstitial dihisap masuk kembali kedalam sirkulasi

Akibat dari semua ini maka akan terjadi :


Vasokonstriksi yang luas
Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada pembuluh darah skeletal, sphlanchnic dan
kulit,sedang pada pembuluh darah otak dan coronaria tidak terjadi vasokonstriksi, bahkan
aliran darah pada kelenjar adrenal meningkat sampai 300% sebagai usaha kompensasi
tubuh untuk meningkatkan respon katekolamin pada renjatan ( 2 Vasokonstriksi ini
menyebabkan suhu tubuh perifer menjadi dingin dan kulit menjadi pucat.Sebagai akibat
vasokonstriksi maka tekanan diastolik akan meningkat pada fase awal, sehingga tekanan
nadi menyempit, tapi bila proses berlanjut keadaan ini tidak dapat dipertahankan dan
tekanan darah akan semakin menurun sampai tidak terukur.
Takikardia
Iskemia jaringan akan menyebabkan metabolisme anaerobik dan terjadi asidosis
metabolik.
Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat sehingga kesempatan
pertukaran O2 dan CO2 dari dan kedalam pembuluh darah lebih lama dan
akibatnya terjadi perbedaan yang lebih besar antara tekanan O2 dan CO2 arteri
dan vena.Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi kejaringan maka
metabolisme menjadi metabolisme anaerobik yang tidak efektif dan hanya
menghasilkan 2 ATP dari setiap 1 molekul glukosa. Pada metabolisme aerobik
dengan oksigen dan nutrisi yang cukup tiap pemecahan 1 molekul glukosa akan
menghasilkan 36 ATP. Akibat dari metabolisme anerobik ini adalah terjadi
penumpukan asam laktat dan pada akhirnya metabolisme tidak mampu lagi
menyediakan energi yang cukup untuk mempertahankan homoeostasis selluler,
terjadi kerusakan pompa ionik dinding sel, natrium masuk kedalam sel dan kalium
keluar sel dan terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi udema dan
kematian sel. Pada akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ organ tubuh atau

4
terjadi kegagalan organ multipel ( multiple organ failure ) dan renjatan yang
irreversibel

DIAGNOSIS

Renjatan adalah diagnosis klinis jadi tidak ada diagnosis bandingnya, diagnosis banding
hanya terhadap penyebab renjatan( 2,6,7 ). Diagnosis renjatan pada stadium dini sangat penting
untuk berhasilnya suatu pengobatan, namun sering kali hal ini tidak mudah. Karena itu sangat
penting adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya renjatan pada penderita
dengan resiko tinggi.
Pada penderita dengan resiko tersebut kita lakukan pemantauan yang lebih ketat sehingga
dapat dilakukan tindakan lebih dini bila terdapat tanda-tanda renjatan.
Diagnosis renjatan pada bayi dan anak kadang-kadang sulit, tanda-tanda renjatan berat
dengan gejala yang jelas seperti nadi yang lemah atau tidak teraba, akral dingin dan sianosis
mudah dikenal, tapi pada compensated shock dimana tekanan darah sentral masih dapat
dipertahankan seringkali diagnosis renjatan sulit ditegakkan ( 2,6,7 ).
Pengambilan anamnesis yang baik dan benar sangat penting untuk menegakkan diagnosis
etiologis dari renjatan, seperti adanya muntah dan diare akan mengarahkan kita pada
renjatan hipovolemik, trauma atau pasca operasi kemungkinan menjadi penyebab renjatan
hipovolemik karena perdarahan.
Pada neonatus, panas pada ibu waktu melahirkan, ketuban pecah prematur ( KPP ),
perdarahan intrapartum atau distres fetal dapat membantu memperkirakan penyebab syok
pada bayi.

Manifestasi klinis renjatan tergantung pada :


- Penyakit primer penyebab renjatan
- Kecepatan dan jumlah cairan yang hilang
- Lama renjatan serta kerusakan jaringan yang terjadi
- Tipe dan stadium renjatan

Stadium renjatan
Secara klinis perjalanan renjatan dapat dibagi dalam 3 fase yaitu ( 1,5,6,7,9 ) :
1. Fase kompensasi
2. Dekompensasi
3. Ireversibel

Fase kompensasi

Pada fase ini fungsi organ-organ vital masih dapat dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi tubuh dengan meningkatkan aktivitas simpatik yaitu meningkatkan tahanan
sistemik, terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ perifer yang tidak vital ke organ vital
seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal, sedang tekanan darah
diastolik meningkat akibat meningkatnya tahanan arteriol dan tekanan nadi menyempit. Untuk
memenuhi curah jantung maka frekuensi denyut jantung juga meningkat. Selain itu terjadi
kompensasi hormonal dengan pengeluaran vasopressin, renin-angiotensin dan aldosteron
akan mempengaruhi ginjal menahan pengeluaran natrium dan air.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ( 5,6,7 8 ) :
- Nadi cepat.
- Anak tampak pucat, dingin dan kulitnya lembab
- Suhu permukaan tubuh menurun

5
Perbedaan antara suhu tubuh sentral (core temperature) dengan suhu kulit meningkat
> 2oC
- Pengisian kembali kapiler ( Capillary refill time ) memanjang.
Cara pengukurannya adalah dengan menekan ujung kuku atau jaringan lunak lain
selama 5 detik, kemudian dilepas maka daerah yang pucat akan segera merah
kembali dalam waktu kurang dari 2 detik. Pada renjatan fase kompensasi CRT
memanjang tidak > 3 detik.
- Anak menjadi gelisah atau apatis

Fase dekompensasi

Pada fase ini mekanisme kompensasi tubuh mulai gagal mempertahankan curah jantung dan
sistem sirkulasi menjadi tidak efisisen lagi. Jaringan tidak mendapat oksigen yang cukup,
metabolisme berlangsung secara anaerobik, sehingga terjadi pembentukan asam laktat dan
asam asam lain sehingga terjadi asidosis metabolik. Asidosis semakin berat dengan
terbentuknya asam karbonat intraselular akibat ketidak mampuan sirkulasi mengeluarkan CO2
( 5,6,7 ) .
Asidosis akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan resisten terhadap katekolamin.
Selain dari itu asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy dependent Na-K
pump ditingkat selular, sehingga integritas membran sel terganggu, fungsi mitokondria dan
lisosom memburuk sehingga akhirnya akan menyebabkan kematian sel.
Aliran darah yang lambat dan kerusakan reaksi rantai kinin dan sistem koagulasi dapat
memperberat renjatan dengan timbulnya agregasi trombosit dan pembentukan trombus
disertai tendensi perdarahan.
Juga terjadi pelepasan mediator vaskular seperti histamin, serotonin, sitokin ( TNF = tumor
necrosis factor dan interleukin 1 ), xanthin oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal
serta PAF ( platelets activating factors ).
Sesungguhnya pelepasan mediator ini adalah reaksi normal tubuh terhadap stress atau injury,
pada renjatan yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena akan menyebabkan
vasodilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler dengan akibat makin
berkurangnya cairan yang kembali ke jantung ( preload ) disertai depresi miokard. Manifestasi
klinis yang timbul adalah :

- Takikardia bertambah
- Tekanan darah anak menurun dibawah harga normal.
- Perfusi perifer memburuk, kulit/akral dingin, biru/mottled, capillary refill makin lama.
- Oliguria sampai anuria.
- Asidosis, pernafasan cepat dan dalam ( Kusmaull ).
- Kesadaran makin menurun.

Renjatan Ireversibel

Kegagalan mekanisme tubuh menyebabkan renjatan terus berlanjut sehingga terjadi


kerusakan/ kematian sel dan disfungsi organ-organ lain ( disfungsi multi organ ), cadangan
fosfat energi tinggi ( ATP ) akan habis terutama di jantung dan hati, sedang sintesa ATP
baru hanya 2 %/ jam, sehingga tubuh akan kehabisan energi. Pada keadaan ini kematian
akan terjadi meskipun sistem sirkulasi dapat diperbaiki. Diagnosis renjatan irreversible adalah
retrospektif, artinya diagnosis dibuat sesudah penderita meninggal akibat kerusakan yang
ekstensif dari organ-organ tubuh yang menyebabkan kerusakan multi organ dan kematian.
Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba, koma dalam, anuria
dan tanda-tanda kegagalan organ-organ lain.

6
Tabel 1. Manifestasi klinis renjatan ( 5,6 )

Tanda klinis Kompensasi Dekompensasi Ireversibel


Blood loss ( % ) sampai 25 25 - 40 > 40
Heart rate takikardia + Takikardia ++ Taki/bradikardia
Tek. Sistolik Normal Normal/menurun tdk terukur
Nadi ( volume ) Normal/menurun Menurun + Menurun ++
Capillary refill Normal/meningkat 3-5 detik Meningkat > 5detik Meningkat ++
Kulit Dingin, pucat Dingin/mottled dingin+/deadly pale
Pernafasan takipneu takipneu + sighing respiration
Kesadaran gelisah lethargi reaksi – atau hanya
bereaksi thd nyeri

Tabel 2. Frekuensi jantung dan nafas pada anak normal

Umur Frekuensi jantung Frekuensi jantung Frekuensi nafas


( bangun ) ( tidur )

Bayi 120 – 160/ menit 80 – 180/ menit 30 – 60/ menit


1 - 3 tahun 100 - 140 70 – 120 24 – 40
Prasekolah ( 3 – 6 th )80 - 110 60 - 90 22 – 34
Sekolah ( 6 – 12 th )75 - 100 60 - 90 18 – 30
Remaja 60 - 90 50 - 90 12 – 16

Tabel 3. Curah jantung pada anak

Umur Curah jantung ( l/m ) Freq (kali/ ) Volume sekuncup ( ml/kali )


Baru lahir 0,8 – 1,0 145 5
6 bulan 1,0 – 1,3 120 10
1 tahun 1,3 – 1,5 115 13
2 tahun 1,5 – 2,0 115 18
4 tahun 2,3 – 2,75 105 27
5 tahun 2,5 – 3,0 95 31
8 tahun 3,4 – 3,6 83 42
10 tahun 3,8 – 4,0 75 50
15 tahun 6,0 70 85

7
Tabel 4. Tekanan Darah
Umur Sistolik Diatolik
Neonatus 85 – 100 51 – 65
Bayi ( 6 bulan ) 87 – 105 53 – 66
Todler ( 2 tahun ) 95 – 105 53 – 66
Sekolah ( 7 tahun ) 97 – 112 57 – 71
Remaja ( 15 tahun ) 112 – 128 66 – 80

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Hemoglobin dan hematokrit ( 1, 2, 7 )


Pada fase awal renjatan karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masih tidak
berubah,kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan berlangsung
lama,karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah
yang terjadi. Pada renjatan karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada
demam berdarah dengue atau diare dengan dehidrasi akan terjadi hemokonsentrasi.

2. Urin
Produksi urin menurun, lebih gelap dan pekat.
Berat jenis urin meningkat > 1,020
Sering didapat adanya proteinuria dan toraks.

3. Pemeriksaan gas darah


PH, PaO2 ,PaCO2 dan HCO3 darah menurun.
Bila proses berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan
mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin menurunnya pH dan PaO2 dan
meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang lebih jelas antara PO 2 &
PCO2 arterial dan vena.

4. Pemeriksaan elektrolit serum


Pada renjatan seringkali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti
hiponatremia, hiperkalemia dan hipokalsemia terutama pada penderita dengan
asidosis.

5. Pemeriksaan fungsi ginjal


Pemeriksaan BUN dan kreatinin serum penting pada renjatan terutama bila ada tanda-
tanda gagal ginjal.

6. Pemeriksaan mikrobiologi yaitu pembiakan kuman dilakukan hanya pada penderita


penderita yang dicurigai.

7. Pemeriksaan faal hemostasis

8. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan untuk menentukan penyakit primer


penyebab.

8
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah ( 12,5,6,7,8,9,10,11 ) :

- Optimalisasi perfusi jaringan dan organ vital


- Mencegah dan memperbaiki kelainan metabolik yang timbul sebagai akibat
hipoperfusi jaringan

Tatalaksana
1. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen, kalau perlu bisa diberikan ventilatory support
2. Pasang akses vaskular secepatnya ( dalam 60 - 90 detik ) untuk resusitasi cairan,
berikan cairan secepatnya.
Hampir pada setiap jenis renjatan terjadi hipovolemia baik hipovolemia absolut atau
relatif sehingga terjadi penurunan preload, karena itu terapi cairan pada renjatan
sangat penting.
Anak lebih jarang mengalami overload cairan dibanding dewasa sehingga terapi
renjatan paling tepat adalah pemberian cairan dengan cepat dan agresif yaitu
pemberian kristaloid atau koloid 20 ml/kg BB dalam 15– 20 menit secara intravena.
Pemberian cairan ini dapat diulang 2 – 3 kali, kalau masih belum berhasil bisa diberi
plasma atau darah( 6,7,10,).
Bila akses intravena sulit didapat pada anak balita bisa dilakukan pemasangan akses
intraosseous didaerah pretibia. Pemberian secara intra osseus ini cukup baik dan
selain untuk pemberian cairan bisa digunakan juga untuk pemberian obat-obatan.
Kesulitannya adalah cairan kadang - kadang tidak bisa dengan cepat masuk, dalam
keadaan seperti ini untuk mempercepat masuknya cairan dapat diberikan tekanan.
Pada renjatan yang berat atau sepsis pemberian cairan bisa mencapai > 60 ml/kg BB
dalam 1 jam pertama. Carcillo dalam penelitiannya pada renjatan septik mendapatkan
bahwa kelompok penderita yang mendapat cairan > 65 ml/kg BB dalam 1 jam pertama
mempunyai survival rate yang lebih baik disbanding kelompok yang mendapat cairan
40 ml/kg BB dalam 1 jam ( 10 ).
Pengecualian terhadap pemberian cairan agresif ini adalah penderita-penderita
dengan renjatan kardiogenik.
Bila resusitasi cairan sudah mencapai 2 – 3 kali dimana jumlah cairan yang diberikan
sudah mencapai 40-60% dari volume darah telah diberikan tapi belum ada respon
yang adekuat, maka dilakukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi. Evaluasi hasil
analisis gas darah dan koreksi asidosis metabolik yang terjadi bila pH < 7,15.
Bila masih tetap hipotensi atau nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter vena
sentral (CVP) untuk pemberian resusitasi dan pemantauan status cairan tubuh.
Evaluasi kembali kenaikan CVP setelah pemberian cairan secara berhati-hati.

3. Inotropik
Inotropik mempunyai efek kontraktilitas dan efek terhadap pembuluh darah yang
bervariasi terhadap tahanan vaskular, sebagian menyebabkan vasokonstriksi
(epinefrin, norepinefrin) sebagian lainnya menyebabkan vasodilatasi ( dopamine,
dobutamin, melrinon ).
Meskipun banyak digunakan tetap harus diingat bahwa penggunaan yang tidak tepat
bisa memperjelek keadaan karena penggunaan inotropik dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard yang dapat memperberat fungsi miokard dengan perfusi
yang sudah terbatas.
Efek vasokonstriksi juga akan memperberat ischemia mikrovaskulatur dan akan
memperjelek perfusi organ-organ perifer.
Indikasi pemberian inotropik :
9
- Renjatan kardiogenik
- Renjatan refrakter terhadap pemberian cairan

Dopamin :
Mempunyai efek campuran yaitu sebagai inotropik dan vasodilatsi pada end organ
pada dosis rendah ( 2 – 5 µg/kg BB/ menit ).
Pada dosis 5 - 10 µg/kg BB/ menit meningkatkan kontraktilitas miokard dan curah
jantung, dan meningkatkan konduksi jantung ( meningkatkan rate ).
Pada dosis > 10 - 20 µg/kg BB/ menit mempunyai efek terhadap reseptor alfa (α
agonis) sehingga dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah
sentral.

Epinephrine :
Mempunyai efek terhadap reseptor α dan β, meningkatkan kontraktilitas otot jantung
dan menyebabkan vasokonstriksi perifer, ini akan meningkatkan tekanan darah sentral
tapi aliran darah perifer berkurang.
Dosis : 0,1 µg/kg BB/ menit IV, dosis bisa ditingkatkan secara bertahap sampai efek
yang diharapkan, pada kasus-kasus berat bisa sampai mencapai 2-3 µg/kg BB/ menit

Dobutamin :
Efek utama adalah β1-agonis yaitu meningkatkan kontraktilitas miokard.
Juga mempunyai sedikit efek β2 agonis yaitu vasodilatasi sehingga bisa menurunkan
resistensi vascular dan afterload dan memperbaiki fungsi jantung, karena itu
dobutamin sangat cocok pada renjatan kardiogenik.
Dosis 5 µg/kg BB/ menit IV, dapat ditingkatkan bertahap sampai mencapai 20 µg/kg
BB/ menit

Norepinephrine
Terutama mempunyai efek α agonis ( menyebabkan vasokonstriksi ) dan sedikit efek
β1-agonis,
Dosis : 0,1 µg/kg BB/ menit IV dosis dapat ditingkatkan sampai efek yang diharapkan
tercapai ( dosis seperti epinephrine )

Phosphodiesterase inhibitor : ( Inamrinone / amrinone dan Melrinone ) ( 7,10 )


Bekerjanya dengan cara meningkatkan c AMP sehingga dapat meningkatkan level
kalsium intrasel yang pada akhirnya akan memperbaiki kontraktilitas otot jantung dan
vasodilatasi perifer.
Bermanfaat pada penderita renjatan dengan volume intravaskular cukup, tapi
kontraktilitas otot jantung dan perfusi perifer jelek.
Dosis :
Inamrinone: 0,075 mg/kg/m dalam 2–3 menit, dilanjutkan d 5-10 mg/kgBB/menit IV.
Melrinone : 25 - 50 µg/kg BB dalam 10 menit dilanjutkan 0,375 -0,75 µg/kg/menit IV

Kortikosteroid : ( 7,10 )
Penggunaan kortikosteroid padn renjatan masih merupakan kontroversi.
Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan berat yang resistance terhadap
cathecolamine dan kecurigaan adanya insuffisiensi adrenal atau pada anak dengan
penyakit yang mendapat steroid dalam waktu lama atau pada anak yang menderita
kelainan hipofise atau adrenal.
Walaupun penggunannya masih dalam perdebatan ,dari penelitian - penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada renjatan memberikan

10
hasil yang cukup baik. Kortikosteroid yang diberikan adalah hidrokortison dengan dosis
tinggi yaitu 25 kali dosis stress. Dosis hidrokortison untuk renjatan ( shock dose ) adalah
50 mg/kg BB IV bolus dilanjutkan dengan dosis yang sama dalam 24 jam secara
continous infusion ( 10 )
Kortikosteroid pada renjatan dapat memperbaiki fungsi sirkulasi melalui :
1. Bekerja sebagai adrenergic blocking agent sehingga bisa menurunkan tahanan
perifer
2. Mencegah aktivasi komplemen dan proses koagulasi
3. Mencegah pengeluaran mediator vasoaktif
4. Mempunyai efek inotropik
5. Menstabilisasi dinding sel dan membran lisosom

Renjatan T Nadi cepat-lemah


Akral dingin
Capillary refill time > 3 dtk
Kesadaran

ABC
RL/Kolloid 20 ml/kg BB/ 10 menit
Dapat dinaikkan sp mencapai
60 ml/kgBB dalam 1 jam
Koreksi hipoglikemi,hipokalsemia

Respon - ( Fluid refractory shock )

Respon + Pasang C V P
Dopamin
T normal
Capillary refill < 2 dtk
Urine > 1 ml/kg/jam
Akral hangat
Respon -

Fluid refractory - Dopamin resistant shock


Epinephrine
Observasi I C U Norepinephrine
Vasodilator
SaO2
Glukosa darah, Ca++
Gas darah Cathecolamine resistance shock
ECG monitor

Resiko insufisiensi Adrenal + Resiko insuf Adrenal -

Hidrokortison + Hidrokortison -

11
Pemantauan

Nilai respon penderita terhadap pemberian cairan dengan memantau status


kardiovaskular, tanda vital dan perfusi perifer. Dengan meningkatkan preload
diharapkan kontraktilitas otot jantung meningkat, curah jantung bertambah sehingga
sirkulasi dapat diperbaiki kembali.
Pasang kateter urin untuk menilai respon perbaikan sirkulasi dengan memantau
produksi urin.
Ambil pemeriksaan urin dan darah untuk menilai gambaran darah tepi, analisis gas
darah, kadar glukosa dan elektrolit.
Evaluasi apakah efek inotropik negatif yang terjadi pada renjatan sudah dikoreksi,
sebelum pemberian inotropik dimulai. Obat-obat vasoaktif diberikan bila diyakini sudah
tidak ada lagi hipovolemi dan oksigenasi telah adekuat.
Bila kadar Hb kurang dari 5 g/dl, koreksi dengan pemberian PRC ( 10 ml/kgBB ).
Usahakan agar kadar Hb lebih besar dari 10 g/dl.
Cari penyebab renjatan lainnya yang mungkin terjadi ( perdarahan akibat trauma
tumpul abdomen, pneumotoraks, renjatan kardiogenik, tamponade jantung dll ). Foto
torak dilakukan secepatnya bila kondisi klinis stabil, konsultasi bedah bila diperlukan.
Setelah restorasi cairan dilakukan, berbagai kemungkinan komplikasi yang bisa terjadi
akibat renjatan perlu dievaluasi untuk tatalaksana lanjutan.
- Gagal ginjal akut : periksa kadar ureum kreatinin dan fraksi ekskresi natrium.
- ARDS ( acute respiratory distress syndrome/ shock lung ):
Udema dan kerusakan jaringan paru dapat terjadi pasca renjatan, bantuan
ventilasi mekanik dengan pemberian PEEP mungkin diperlukan.
- Depresi miokard – gagal jantung
- Gangguan koagulasi/pembekuan
Akibat lanjut renjatan dapat timbul DIC ( Disseminated intravascular coagulation),
keadaan ini perlu dicermati bila timbul kecenderungan perdarahan. Untuk
menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan gangguan pembekuan/masa
perdarahan ( BT/CT, PT/PTT, FDP, trombosit, D-Dimer )
- SSP dan Organ lain
Evaluasi gejala sisa SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif
terhadap hipoksia yang dapat terjadi pada renjatan berkepanjangan ( prolonged
shock ).
Demikian pula organ-organ lainnya seperti hati dan saluran cerna harus juga
dipantau.
- Renjatan irreversible.

Kepustakaan
1. Kline JA. Shock. In: Marx JA, Hockberger RS, Wall RM eds. Rosen’s Emergency
Medicine : Concepts and clinical practice 5 th ed.St Louis : Mosby, 2002; 34-47
2. Tobin JR,Wetzel R C . Shock. In : Rogers MC, ed. Textbook of Pediatric Intensive
Care. Baltimore: William & Wilkins, 1996; 555-605
3. Beckman RA, Hafkel AJ. Shock. In : Grossman H, Dieckman RA eds. Pediatric
Emergency medicine. Philadelphia: JB Lippincott, 1991; 47 – 52.
4. Hinds CJ. Shock. In : Hind CJ ed. Intensive Care a Concise textbook. Eastbourne,
Eastsussex : Balliere Tidall,1987; 128 – 59
5. Advance pediatric life support, the practical approach : shock ( chapter 10 ) 2 nd ed.
Advance life support group, BMG Publisher, London, 1997.
6. Shinsa KS, Donn S. Shock and Hypotension in the Newborn. Updated June 6, 2002.
http://www.emedicine.com/ped/topic2768.htm

12
7. Schwarz A, Hilfiker ML. Shock. Updated October 19,2004
http://www.emedicine.com/ped/topic3047.htm
8. Sendel J, Scherung A, Salzberg D. Shock. In : Crain EF, Gershel JC. Clinical Manual
of Emergency Pediatrics, 4th ed. NewYork : McGraw-Hill, 2003; 18-22.
9. Gould SA, Sehgal LR, Sehgal HL, Moss GS. Hypovolemic shock. Crit Care Clin
1993;9 (2): 239-49
10. Carcillo JA, Fields AI. Clinical practice parameters for hemodynamic supports of
pediatrics and neonatal patients in septic shock. Crit Care Med 2002, 30 ( 6 ): 1365 -
78
11. Carcillo JA. Management of pediatric septic shock. In : Holbrook PR.ed.
Textbook of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders, 1993; 114 – 42

13

You might also like