Professional Documents
Culture Documents
A.Latief Aziz
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSU Dr. Soetomo
Surabaya
PENDAHULUAN
Renjatan adalah diagnosis klinis yang terjadi karena berbagai sebab. Renjatan
merupakan gawat darurat medik dengan morbiditas dan mortalitas tinggi ( > 20% ) yang
membutuhkan penanganan segera ( 1 ).
Kelambatan penanganan dapat menyebabkan kematian atau terjadinya gejala sisa.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai batasan yang tepat dari renjatan, namun
para sarjana pada umumnya sependapat bahwa renjatan adalah sindroma klinis akibat
kegagalan sistim sirkulasi dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan baik
pasokan maupun penggunaannya dalam metabolisme selluler jaringan tubuh ( 1,2,3,4,5,6,7 ).
Gejala awal renjatan pada anak tidak sama dengan dewasa karena fungsi organ dan
kemampuan kompensasi tubuh yang relatif berbeda sesuai perkembangan usia ( 1,6,7 ).
Renjatan hipovolemik terjadi sebagai akibat berkurangnya volume darahintravaskular.
Jenis renjatan ini merupakan yang paling banyak dijumpai dan merupakan penyebab
kematian utama anak diseluruh dunia ( 6 – 20 juta kematian tiap tahun ), meskipun penyebab
hipovolemia diberbagai negara berbeda beda ( 1,2,7 ).
Di negara berkembang penyebab utama hipovolemia adalah diare akut dan demam
berdarah dengue, sedang dinegara maju penyebab utama hipovolemia adalah perdarahan
akibat trauma ( 2,7 ). Di IRD RSUD dr Sutomo 6 – 8% dari sekitar 5000 - 6000 kunjungan
penderita anak setiap tahunnya mengalami renjatan hipovolemik dengan penyebab utama
adalah diare akut dan demam berdarah dengue.
Kehilangan cairan yang cepat dan banyak menurunkan preload ventrikel sehingga
terjadi penurunan isi sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi penurunan hantaran
oksigen kejaringan tubuh. Pada renjatan karena perdarahan selain terjadi penurunan cardiac
output juga terjadi pengurangan hemoglobin sehingga transport dari oksigen kejaringan makin
berkurang.
2. Perdarahan :
Perdarahan internal : Ruptura hepar/lien
Trauma jaringan lunak
Fraktura tulang panjang
Perdarahan saluran cerna
( Ulkus peptikum,Divertikulum Meckel,
sindroma Mallory Weis dsb )
Kelainan hematologis
1
Perdarahan eksternal : Trauma
Penyebab lain dari renjatan hipovolemi adalah kebocoran kapiler ( capillary leak syndrome ),
cairan intravaskular keluar kejaringan seperti luka bakar, sepsis, penyakit-penyakit
keradangan lain, pada keadaan ini anak nampak sembab meski sebenarnya anak ini
kekurangan cairan intravaskular ( 2,7).
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer penyebab renjatan. Namun secara
umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk
mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat organ-organ vital melalui refleks
neurohumoral. ( 1,2,5,6,7,8 ).
Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus pembuluh darah dan
sistim pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya renjatan.
Bila terjadi hipovolemi maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah melalui ( 1,2,6,7 ) :
1. Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh darah. Bila
terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun,
sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor kepusat juga berkurang sehingga akan
terjadi :
- Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibitory centre.
- Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor
Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia.
Baroreseptor ini terdapat di sinus caroticus, arcus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel
kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus caroticus merupakan baroreseptor perifer
yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.
2. Kemoreseptor
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai 60
mm Hg. Bila tekanan darah menurun dibawah 60 mm Hg maka yang bekerja adalah
kemoreseptor yang terangsang bila terjadi hipoksia dan asidosis jaringan. Akibat
rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang luas dan rangsangan
pernafasan.
4. Respon Humoral
Bila terjadi hipovolemia/hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon stres
seperti epinefrin,glukagon,kortisol yang merupakan hormon yang mempunyai efek kontra
2
dengan insulin.Akibat dari pengeluaran hormon ini adalah terjadi takikardia,
vasokonstriksi dan hiperglikemia. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan
darah perifer dan preload, volume sekuncup dan curah jantung.Sekresi ADH oleh hipofise
posterior juga meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
Volume sirkulasi
Preaload
Volume sekuncup
Curah jantung
Ginjal
Angiotensin, Vasopressin, Aldosteron
6. Autotransfusi
3
antara jumlah cairan intravaskular yang keluar ke ekstravaskular atau sebaliknya.Hal ini
tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik
intravaskular dan ekstravaskular serta pada keadaan dinding pembuluh darah.Pada
keadaan hipovolemi maka tekanan hidrostatik intravaskular akan menurun maka akan
terjadi aliran cairan dari ekstra ke intravascular sehingga tekanan darah dapat
dipertahankan.Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya
cairan tubuh cepat maka proses ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah.
4
terjadi kegagalan organ multipel ( multiple organ failure ) dan renjatan yang
irreversibel
DIAGNOSIS
Renjatan adalah diagnosis klinis jadi tidak ada diagnosis bandingnya, diagnosis banding
hanya terhadap penyebab renjatan( 2,6,7 ). Diagnosis renjatan pada stadium dini sangat penting
untuk berhasilnya suatu pengobatan, namun sering kali hal ini tidak mudah. Karena itu sangat
penting adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya renjatan pada penderita
dengan resiko tinggi.
Pada penderita dengan resiko tersebut kita lakukan pemantauan yang lebih ketat sehingga
dapat dilakukan tindakan lebih dini bila terdapat tanda-tanda renjatan.
Diagnosis renjatan pada bayi dan anak kadang-kadang sulit, tanda-tanda renjatan berat
dengan gejala yang jelas seperti nadi yang lemah atau tidak teraba, akral dingin dan sianosis
mudah dikenal, tapi pada compensated shock dimana tekanan darah sentral masih dapat
dipertahankan seringkali diagnosis renjatan sulit ditegakkan ( 2,6,7 ).
Pengambilan anamnesis yang baik dan benar sangat penting untuk menegakkan diagnosis
etiologis dari renjatan, seperti adanya muntah dan diare akan mengarahkan kita pada
renjatan hipovolemik, trauma atau pasca operasi kemungkinan menjadi penyebab renjatan
hipovolemik karena perdarahan.
Pada neonatus, panas pada ibu waktu melahirkan, ketuban pecah prematur ( KPP ),
perdarahan intrapartum atau distres fetal dapat membantu memperkirakan penyebab syok
pada bayi.
Stadium renjatan
Secara klinis perjalanan renjatan dapat dibagi dalam 3 fase yaitu ( 1,5,6,7,9 ) :
1. Fase kompensasi
2. Dekompensasi
3. Ireversibel
Fase kompensasi
Pada fase ini fungsi organ-organ vital masih dapat dipertahankan melalui mekanisme
kompensasi tubuh dengan meningkatkan aktivitas simpatik yaitu meningkatkan tahanan
sistemik, terjadi distribusi selektif aliran darah dari organ perifer yang tidak vital ke organ vital
seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal, sedang tekanan darah
diastolik meningkat akibat meningkatnya tahanan arteriol dan tekanan nadi menyempit. Untuk
memenuhi curah jantung maka frekuensi denyut jantung juga meningkat. Selain itu terjadi
kompensasi hormonal dengan pengeluaran vasopressin, renin-angiotensin dan aldosteron
akan mempengaruhi ginjal menahan pengeluaran natrium dan air.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ( 5,6,7 8 ) :
- Nadi cepat.
- Anak tampak pucat, dingin dan kulitnya lembab
- Suhu permukaan tubuh menurun
5
Perbedaan antara suhu tubuh sentral (core temperature) dengan suhu kulit meningkat
> 2oC
- Pengisian kembali kapiler ( Capillary refill time ) memanjang.
Cara pengukurannya adalah dengan menekan ujung kuku atau jaringan lunak lain
selama 5 detik, kemudian dilepas maka daerah yang pucat akan segera merah
kembali dalam waktu kurang dari 2 detik. Pada renjatan fase kompensasi CRT
memanjang tidak > 3 detik.
- Anak menjadi gelisah atau apatis
Fase dekompensasi
Pada fase ini mekanisme kompensasi tubuh mulai gagal mempertahankan curah jantung dan
sistem sirkulasi menjadi tidak efisisen lagi. Jaringan tidak mendapat oksigen yang cukup,
metabolisme berlangsung secara anaerobik, sehingga terjadi pembentukan asam laktat dan
asam asam lain sehingga terjadi asidosis metabolik. Asidosis semakin berat dengan
terbentuknya asam karbonat intraselular akibat ketidak mampuan sirkulasi mengeluarkan CO2
( 5,6,7 ) .
Asidosis akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan resisten terhadap katekolamin.
Selain dari itu asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy dependent Na-K
pump ditingkat selular, sehingga integritas membran sel terganggu, fungsi mitokondria dan
lisosom memburuk sehingga akhirnya akan menyebabkan kematian sel.
Aliran darah yang lambat dan kerusakan reaksi rantai kinin dan sistem koagulasi dapat
memperberat renjatan dengan timbulnya agregasi trombosit dan pembentukan trombus
disertai tendensi perdarahan.
Juga terjadi pelepasan mediator vaskular seperti histamin, serotonin, sitokin ( TNF = tumor
necrosis factor dan interleukin 1 ), xanthin oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal
serta PAF ( platelets activating factors ).
Sesungguhnya pelepasan mediator ini adalah reaksi normal tubuh terhadap stress atau injury,
pada renjatan yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena akan menyebabkan
vasodilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler dengan akibat makin
berkurangnya cairan yang kembali ke jantung ( preload ) disertai depresi miokard. Manifestasi
klinis yang timbul adalah :
- Takikardia bertambah
- Tekanan darah anak menurun dibawah harga normal.
- Perfusi perifer memburuk, kulit/akral dingin, biru/mottled, capillary refill makin lama.
- Oliguria sampai anuria.
- Asidosis, pernafasan cepat dan dalam ( Kusmaull ).
- Kesadaran makin menurun.
Renjatan Ireversibel
6
Tabel 1. Manifestasi klinis renjatan ( 5,6 )
7
Tabel 4. Tekanan Darah
Umur Sistolik Diatolik
Neonatus 85 – 100 51 – 65
Bayi ( 6 bulan ) 87 – 105 53 – 66
Todler ( 2 tahun ) 95 – 105 53 – 66
Sekolah ( 7 tahun ) 97 – 112 57 – 71
Remaja ( 15 tahun ) 112 – 128 66 – 80
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
2. Urin
Produksi urin menurun, lebih gelap dan pekat.
Berat jenis urin meningkat > 1,020
Sering didapat adanya proteinuria dan toraks.
8
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah ( 12,5,6,7,8,9,10,11 ) :
Tatalaksana
1. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen, kalau perlu bisa diberikan ventilatory support
2. Pasang akses vaskular secepatnya ( dalam 60 - 90 detik ) untuk resusitasi cairan,
berikan cairan secepatnya.
Hampir pada setiap jenis renjatan terjadi hipovolemia baik hipovolemia absolut atau
relatif sehingga terjadi penurunan preload, karena itu terapi cairan pada renjatan
sangat penting.
Anak lebih jarang mengalami overload cairan dibanding dewasa sehingga terapi
renjatan paling tepat adalah pemberian cairan dengan cepat dan agresif yaitu
pemberian kristaloid atau koloid 20 ml/kg BB dalam 15– 20 menit secara intravena.
Pemberian cairan ini dapat diulang 2 – 3 kali, kalau masih belum berhasil bisa diberi
plasma atau darah( 6,7,10,).
Bila akses intravena sulit didapat pada anak balita bisa dilakukan pemasangan akses
intraosseous didaerah pretibia. Pemberian secara intra osseus ini cukup baik dan
selain untuk pemberian cairan bisa digunakan juga untuk pemberian obat-obatan.
Kesulitannya adalah cairan kadang - kadang tidak bisa dengan cepat masuk, dalam
keadaan seperti ini untuk mempercepat masuknya cairan dapat diberikan tekanan.
Pada renjatan yang berat atau sepsis pemberian cairan bisa mencapai > 60 ml/kg BB
dalam 1 jam pertama. Carcillo dalam penelitiannya pada renjatan septik mendapatkan
bahwa kelompok penderita yang mendapat cairan > 65 ml/kg BB dalam 1 jam pertama
mempunyai survival rate yang lebih baik disbanding kelompok yang mendapat cairan
40 ml/kg BB dalam 1 jam ( 10 ).
Pengecualian terhadap pemberian cairan agresif ini adalah penderita-penderita
dengan renjatan kardiogenik.
Bila resusitasi cairan sudah mencapai 2 – 3 kali dimana jumlah cairan yang diberikan
sudah mencapai 40-60% dari volume darah telah diberikan tapi belum ada respon
yang adekuat, maka dilakukan tindakan intubasi dan bantuan ventilasi. Evaluasi hasil
analisis gas darah dan koreksi asidosis metabolik yang terjadi bila pH < 7,15.
Bila masih tetap hipotensi atau nadi tidak teraba sebaiknya dipasang kateter vena
sentral (CVP) untuk pemberian resusitasi dan pemantauan status cairan tubuh.
Evaluasi kembali kenaikan CVP setelah pemberian cairan secara berhati-hati.
3. Inotropik
Inotropik mempunyai efek kontraktilitas dan efek terhadap pembuluh darah yang
bervariasi terhadap tahanan vaskular, sebagian menyebabkan vasokonstriksi
(epinefrin, norepinefrin) sebagian lainnya menyebabkan vasodilatasi ( dopamine,
dobutamin, melrinon ).
Meskipun banyak digunakan tetap harus diingat bahwa penggunaan yang tidak tepat
bisa memperjelek keadaan karena penggunaan inotropik dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard yang dapat memperberat fungsi miokard dengan perfusi
yang sudah terbatas.
Efek vasokonstriksi juga akan memperberat ischemia mikrovaskulatur dan akan
memperjelek perfusi organ-organ perifer.
Indikasi pemberian inotropik :
9
- Renjatan kardiogenik
- Renjatan refrakter terhadap pemberian cairan
Dopamin :
Mempunyai efek campuran yaitu sebagai inotropik dan vasodilatsi pada end organ
pada dosis rendah ( 2 – 5 µg/kg BB/ menit ).
Pada dosis 5 - 10 µg/kg BB/ menit meningkatkan kontraktilitas miokard dan curah
jantung, dan meningkatkan konduksi jantung ( meningkatkan rate ).
Pada dosis > 10 - 20 µg/kg BB/ menit mempunyai efek terhadap reseptor alfa (α
agonis) sehingga dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah
sentral.
Epinephrine :
Mempunyai efek terhadap reseptor α dan β, meningkatkan kontraktilitas otot jantung
dan menyebabkan vasokonstriksi perifer, ini akan meningkatkan tekanan darah sentral
tapi aliran darah perifer berkurang.
Dosis : 0,1 µg/kg BB/ menit IV, dosis bisa ditingkatkan secara bertahap sampai efek
yang diharapkan, pada kasus-kasus berat bisa sampai mencapai 2-3 µg/kg BB/ menit
Dobutamin :
Efek utama adalah β1-agonis yaitu meningkatkan kontraktilitas miokard.
Juga mempunyai sedikit efek β2 agonis yaitu vasodilatasi sehingga bisa menurunkan
resistensi vascular dan afterload dan memperbaiki fungsi jantung, karena itu
dobutamin sangat cocok pada renjatan kardiogenik.
Dosis 5 µg/kg BB/ menit IV, dapat ditingkatkan bertahap sampai mencapai 20 µg/kg
BB/ menit
Norepinephrine
Terutama mempunyai efek α agonis ( menyebabkan vasokonstriksi ) dan sedikit efek
β1-agonis,
Dosis : 0,1 µg/kg BB/ menit IV dosis dapat ditingkatkan sampai efek yang diharapkan
tercapai ( dosis seperti epinephrine )
Kortikosteroid : ( 7,10 )
Penggunaan kortikosteroid padn renjatan masih merupakan kontroversi.
Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan berat yang resistance terhadap
cathecolamine dan kecurigaan adanya insuffisiensi adrenal atau pada anak dengan
penyakit yang mendapat steroid dalam waktu lama atau pada anak yang menderita
kelainan hipofise atau adrenal.
Walaupun penggunannya masih dalam perdebatan ,dari penelitian - penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada renjatan memberikan
10
hasil yang cukup baik. Kortikosteroid yang diberikan adalah hidrokortison dengan dosis
tinggi yaitu 25 kali dosis stress. Dosis hidrokortison untuk renjatan ( shock dose ) adalah
50 mg/kg BB IV bolus dilanjutkan dengan dosis yang sama dalam 24 jam secara
continous infusion ( 10 )
Kortikosteroid pada renjatan dapat memperbaiki fungsi sirkulasi melalui :
1. Bekerja sebagai adrenergic blocking agent sehingga bisa menurunkan tahanan
perifer
2. Mencegah aktivasi komplemen dan proses koagulasi
3. Mencegah pengeluaran mediator vasoaktif
4. Mempunyai efek inotropik
5. Menstabilisasi dinding sel dan membran lisosom
ABC
RL/Kolloid 20 ml/kg BB/ 10 menit
Dapat dinaikkan sp mencapai
60 ml/kgBB dalam 1 jam
Koreksi hipoglikemi,hipokalsemia
Respon + Pasang C V P
Dopamin
T normal
Capillary refill < 2 dtk
Urine > 1 ml/kg/jam
Akral hangat
Respon -
Hidrokortison + Hidrokortison -
11
Pemantauan
Kepustakaan
1. Kline JA. Shock. In: Marx JA, Hockberger RS, Wall RM eds. Rosen’s Emergency
Medicine : Concepts and clinical practice 5 th ed.St Louis : Mosby, 2002; 34-47
2. Tobin JR,Wetzel R C . Shock. In : Rogers MC, ed. Textbook of Pediatric Intensive
Care. Baltimore: William & Wilkins, 1996; 555-605
3. Beckman RA, Hafkel AJ. Shock. In : Grossman H, Dieckman RA eds. Pediatric
Emergency medicine. Philadelphia: JB Lippincott, 1991; 47 – 52.
4. Hinds CJ. Shock. In : Hind CJ ed. Intensive Care a Concise textbook. Eastbourne,
Eastsussex : Balliere Tidall,1987; 128 – 59
5. Advance pediatric life support, the practical approach : shock ( chapter 10 ) 2 nd ed.
Advance life support group, BMG Publisher, London, 1997.
6. Shinsa KS, Donn S. Shock and Hypotension in the Newborn. Updated June 6, 2002.
http://www.emedicine.com/ped/topic2768.htm
12
7. Schwarz A, Hilfiker ML. Shock. Updated October 19,2004
http://www.emedicine.com/ped/topic3047.htm
8. Sendel J, Scherung A, Salzberg D. Shock. In : Crain EF, Gershel JC. Clinical Manual
of Emergency Pediatrics, 4th ed. NewYork : McGraw-Hill, 2003; 18-22.
9. Gould SA, Sehgal LR, Sehgal HL, Moss GS. Hypovolemic shock. Crit Care Clin
1993;9 (2): 239-49
10. Carcillo JA, Fields AI. Clinical practice parameters for hemodynamic supports of
pediatrics and neonatal patients in septic shock. Crit Care Med 2002, 30 ( 6 ): 1365 -
78
11. Carcillo JA. Management of pediatric septic shock. In : Holbrook PR.ed.
Textbook of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders, 1993; 114 – 42
13