You are on page 1of 6

Olahan Rosela

1. Cuci kelopak hasil panen dengan air bersih.


2. Belah kelopak rosela dan keluarkan bijinya.
3. Tempatkan kelopak yang telah dikupas di nampan atau alas yang bersih, lalu kering-
anginkan selama kurang lebih sehari hingga layu.
4. Masukkan kelopak rosela ke dalam oven hingga temperatur maksimal 800C selama 45
menit.
5. Keluarkan rosela dari oven lalu tiriskan hingga dingin. Periksa tingkat kekeringan
dengan meremasnya. Jika kelopak tidak hancur, berarti rosela belum kering. Oleh sebab
itu, masukkan kembali rosela ke dalam oven dengan suhu dan waktu sama. Setelah
pengeringan kedua selesai, periksa kembali dengan cara sama. Jika sudah hancur, berarti
rosela sudah benar-benar kering dan siap olah.
6. Masukkan rosela kering ke dalam mesin penghancur sehingga berbentuk serbuk.
7. Setelah digiling, keringkan kembali serbuk rosela dengan suhu 700C selama 3 jam
untuk menghilangkan kadar air akibat lembap saat disimpan. Agar serbuk rosela tahan
lama, kadar air maksimal 4%.
8. Kemas serbuk rosela ke dalam kantong celup masing-masing berisi 2,5 g serbuk rosela.
9. Agar higienis, masukkan setiap kantong celup ke dalam plastik berukuran 5 cm x 7 cm,
lalu rekatkan hingga kedap.
10. Kemas kantong-kantong rosela celup ke dalam kotak karton. Rosela celup pun siap
dinikmati konsumen.

Keuntungan dari Tanaman Rosela

rosella
Berikut ini adalah artikel tentang laba dari tanaman perkebunan rosela, saya
mengumpulkannya dan membuat menjadi suatu kliping hasil dari penelusurah oleh mbah
google. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda yang sedang membutuhkan informasi
tentang rosela ini. –

Artikel Rosela 1 -

Judul: Rosela Laba di Balik Kesegarannya

Sumber: Trubus

Selama empat tahun Bambang Irwanto bersusah-payah memperbanyak benih rosela asal
Sudan. Jerih payah itu kini berbalas manis. Setiap bulan ia berhasil menjual rata-rata 750
kg rosela kering. Dengan harga jual Rp500.000 per kg, setidaknya Rp225-juta mengalir
ke rekeningnya setiap bulan. Bambang menjualnya dalam bentuk kemasan berisi 40 g.
Harga jual per kemasan di tingkat konsumen Rp20.000 atau Rp500.000 per kg. Ia
memasarkan dengan sistem keagenan. Para agen memperoleh diskon 40% dari harga jual.
Setelah dikurangi potongan harga agen dan biaya produksi lain, Bambang meraup untung
15% atau Rp75.000 per kg. Dengan jumlah penjualan rata-rata 750 kg rosela kering per
bulan, laba bersih yang dikutip Bambang Rp56-juta per bulan.

Meraih pendapatan sebesar itu tak sedikit pun terlintas dalam benak Bambang pada 4
tahun silam. Maklum, ketika itu ia hanya mengenal carcade-sebutan rosela di Timur
Tengah-sebagai pelengkap pengobatan. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai herbalis
itu mengenal rosela dari salah seorang kolega di Sudan. Benih asal Sudan itu diperbanyak
di lahan 1.000 m2 miliknya di Gunungkidul, Yogyakarta. Laba tinggi Kian bertambahnya
pengguna rosela membawa secercah harapan bagi Bambang. Di benaknya lantas terbersit
untuk berbisnis rosela. Pada 2005, ia getol mengajak pekebun yang bersedia menanam
rosela yang kelak menjadi pemasok.

Dari sekian banyak yang ditemui, Bambang hanya berhasil menghimpun beberapa
pekebun karena belum paham budidaya intensif. Padahal berkebun rosela menjanjikan
keuntungan menggiurkan. Dari sehektar lahan, pekebun memanen 2-2,5 ton segar.
Setelah dikeringkan, diperoleh 200-250 kg. Dengan harga beli di tingkat pekebun
Rp175.000- Rp200.000 per kg, pekebun meraup omzet Rp35-juta-Rp50-juta per 6 bulan
atau Rp5,8-juta-Rp8,3-juta per bulan. Sedangkan biaya penanaman hanya Rp5-
juta/ha/musim tanam atau Rp833.000 per bulan. Artinya, pekebun bisa meraup laba
bersih Rp5-juta-Rp7,5-juta per bulan. Keuntungan setinggi itu tentu saja menggiurkan.
Akhirnya, hingga 2006, 50 orang pekebun bergabung menjadi plasma dengan areal tanam
100 ha.

Manisnya berbisnis rosela tak hanya dirasakan Bambang. Kus Yulianto, di Yogyakarta,
turut mencecap laba dari rosela. Ia memproduksi rosela kering yang diolah menjadi
rosela celup. Namun, yang dibudidayakan adalah cranberry. Meski bernama latin sama-
Hibiscus sabdarifa-sosok kelopak cranberry berbeda. Bentuk kelopak menyerupai kotak,
tidak menguncup seperti rosela yang kerap dibudidayakan di Indonesia. Benih cranberry
diperoleh ketika mengunjungi pameran Floriade di Rotterdam, Belanda. Setiap bulan,
Kus Yulianto setidaknya menjual 5.000 dus cranberry isi 20 g. Harga per kotak
Rp30.000. Total omzet yang diraup mencapai Rp150-juta per bulan. Setelah dikurangi
biaya produksi, Kus memperoleh laba bersih Rp50-juta per bulan. Untuk memenuhi
kebutuhan produksi, Kus menanam cranberry di lahan 6-7 ha. Lokasi kebun tersebar di
Purwodadi dan Trenggalek, Jawa Timur. Menjanjikan Prospek bisnis rosela cukup
menjanjikan, kata Bambang. Itu terlihat dari permintaan yang terus melonjak. Bahkan ia
terpaksa menepis permintaan seorang pengusaha asal Jakarta yang meminta pasokan 15
ton rosela kering per tahun. Permintaan itu membuat Bambang kewalahan. Kapasitas
produksi saya baru 5 ton rosela kering per tahun, katanya. Pada 2007, Bambang
berencana menambah kapasitas produksi hingga 15 ton/tahun.
Permintaan rosela celup meningkat dari bulan ke bulan, kata Kus Yulianto. Jumlah
permintaan ketika pertama kali memproduksi hanya 500 dus. Bulan berikutnya
meningkat menjadi 1.000 dus, 2.000 dus, dan 3.000 dus. Sekarang dibatasi 5.000 dus per
bulan, kata pria kelahiran Kediri 40 tahun silam itu. Kus juga terpaksa menolak
permintaan dari Jakarta yang meminta 5.000 dus per bulan. Permintaan lain: Bob Sadino
(10.000 dus per minggu) dan Yunani (1 kontainer per bulan), juga ditolak. Peluang itulah
yang mendorong Kus untuk memperluas penanaman. Awal 2006 ia menambah lahan 10
ha. Medio 2006, bertambah lagi 40 ha. Lokasi kebun meluas ke berbagai daerah seperti
Tulungagung, Kediri, Jember, dan Banyuwangi. Harga beli ke pekebun pun melonjak
tajam. Pada 2005, harga rosela kering yang semula Rp20.000 per kg, kini Rp100.000.
Permintaan impor salah seorang kolega di Arab Saudi juga mendorong KH Abdussalam
Masduqie, di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, untuk menggeluti rosela. Rekan saya minta
dikirim 1 kontainer rosela celup per bulan, kata Abdussalam. Pada November 2005,
mantan anggota DPRD Jawa Timur itu pun mulai memproduksi rosela celup. Untuk
memenuhi pasokan bahan baku, ia menanam rosela di kebun miliknya di Bangil dan
Nongkojajar. Anggota famili Malvaceae itu ditumpangsarikan dengan mangga dan apel.
Hasil panen kemudian diolah dan dikemas mirip teh celup. Karena baru memulai, ia tidak
mengolahnya sendiri tetapi bekerjasama dengan produsen teh celup di Bangil. Rosela
celup dikemas dalam dus berisi 25 kantong. Masing-masing kantong berisi 2 g atau setara
50 g per dus. Setiap bulan Abdussalam menjual 800 dus. Dengan harga jual Rp12.500 per
dus, omzetnya Rp10-juta per bulan. Dari jumlah itu, laba bersihnya Rp1.500 per dus atau
Rp1,2-juta per bulan. Pendapatan saya masih kecil. Jadi hanya untuk sampingan saja,
ujarnya. Meski begitu, Abdussalam berencana akan membuat pabrik pengolahan sendiri
dan juga memperluas areal tanam rosela. Kendala Berniaga rosela tak selamanya
menyegarkan. Keliru dalam pengolahan kerap menjadi batu sandungan. Itu dirasakan
betul oleh Kus Yulianto. Pada 2004 ia sempat berhenti menjual rosela dalam bentuk
kemasan. Banyak yang komplain. Pengolahan kami belum sempurna, kata Cuk
Himawan, rekan kerja Kus Yulianto. Oleh sebab itu, ia bekerjasama dengan Unit
Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonsesia (UPT BPPTK LIPI), Yogyakarta, untuk memperbaiki teknik
pengolahan dan budidaya. Membuka jejaring pasar rosela pun tak semudah membalikkan
tangan. Pengetahuan masyarakat yang masih awam tentang rosela membuat pemasaran
tersendat. Hendri Sutrisno, ditributor salah satu merek rosela di Jakarta, mesti tekun
mengikuti pameran-pameran untuk menciptakan pasar. Pasokan rosela yang terbatas
membuat Ir Eri Pramono, produsen rosela di Surabaya, Jawa Timur, lebih memilih impor
ketimbang membina plasma. Sulit mengajak pekebun agar menanam rosela karena masih
asing. Kecuali bila diiming-imingi keuntungan tinggi, katanya. Oleh sebab itu, Eri
mengimpor rosela dari Timur-Tengah. Beragam kerikil tajam itu tak menyurutkan
langkah para produsen. Saya yakin, dengan memberi penjelasan kepada konsumen
tentang manfaat rosela, peluang pasar akan tetap terbuka, kata Bambang. -

• Artikel Rosela 2 -

• Judul: Dari Ladang hingga Secangkir Rosela

• Sumber: Trubus
Inilah ritual Abdussalam Masduqie menjelang petang. Sambil duduk santai di serambi
depan rumah, ia membuka stoples berisi kelopak rosela kering. Tiga kelopak rosela yang
dipetik di halaman dimasukkan ke dalam gelas. Ia menyeduhnya dengan air hangat dan
menambahkan 2 sendok teh gula. Setelah dingin, teh rosela-sebutan air seduhan rosela-itu
ia teguk hingga tandas. Rasa penat setelah seharian beraktivitas pun lepas sudah.

Kebiasaan itu ia lakukan sejak 2002. Kegemarannya menikmati teh rosela bermula ketika
mengunjungi sebuah kedai di Hongkong. Di sana ia memesan segelas teh rosela. Saya
suka dengan rasa kecut dan aromanya yang segar, katanya. Itulah sebabnya ketika
kembali ke tanahair ia menanam rosela di halaman rumah. Bibit rosela diperoleh dari
seorang pedagang tanaman hias yang lewat di depan rumahnya di Kersikan, Bangil,
Pasuruan, Jawa Timur. Ketika itu si pedagang menjajakan 2 pot kerabat kembang sepatu
itu. Ia pun memborong keduanya.

Dari setiap tanaman, Abdussalam memanen 50-100 kelopak rosela. Ia mencuci kelopak
hasil panen itu dengan air bersih, lalu membelah dan mengeluarkan bijinya. Kelopak itu
kemudian dijemur 3 hari hingga benar-benar kering. Rosela pun siap diseduh dan
dinikmati. Begitulah cara Abdussalam mengolah rosela.

Sebetulnya kelopak rosela dapat dinikmati langsung tanpa diolah. Namun, lantaran
rasanya yang masam, konsumen enggan menikmati rosela segar. Kalau diseduh bisa
ditambahkan gula. Jadi rasanya lebih enak, kata Abdussalam. Tanaman buah yang dapat
dikonsumsi langsung dan berasa segar seperti rosela adalah buah nasi-nasi. Disebut
demikian karena buah itu mungil dan berwarna putih. Karena sekali berbuah banyak dan
bergerombol seperti tumpukan nasi, tanaman itu disebut nasi-nasi. Trubus menemukan
buah itu di salah satu hutan di Provinsi Bangka Belitung.
Celup

Mulanya Abdussalam tak melirik bisnis rosela. Saya hanya mengkonsumsi sendiri,
katanya. Namun, lama-kelamaan pesanan mengalir dari rekan-rekannya. Mereka
menyukai teh rosela setelah saya suguhi ketika bertamu, kata aktivis sebuah organisasi di
Bangil itu.

Sejak itulah Abdussalam menanam rosela di lahan 0,5 ha di dekat rumahnya di Bangil.
Benih rosela diperoleh dari biji yang ia kumpulkan. Dengan jarak 1 m x 1 m, total
populasi 5.000 tanaman. Bila setiap tanaman menghasilkan 2-3 kg per 6 bulan atau 300-
500 g per bulan, total hasil panen mencapai 1,5-2,5 ton per 6 bulan atau 250-400 kg per
bulan.

Kali ini rosela tidak hanya dikeringkan dari kelopak utuh. Lantaran tuntutan konsumen,
rosela kering itu diolah mirip teh celup. Konsumen inginnya praktis, katanya. Rosela
kering dihancurkan hingga berbentuk serbuk dan dikemas mirip teh celup. Namun, cara
pengeringan sama: dijemur. Saat musim hujan Abdussalam justru kewalahan. Bila
kemarau, rosela cukup dijemur 3 hari, ketika hujan 7 hari. Akibatnya, produksi rosela
terhambat lantaran pasokan rosela kering seret. Padahal, pesanan pelanggan deras
mengalir.
Oven

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, Abdussalam memesan 100 kg rosela kering dari
seorang pemasok di Jawa Tengah. Sayang, maksud hati meraup untung, Abdussalam
malah merugi. Dari 100 kg rosela kering yang dipesan, hanya 25 kg yang lolos sortir
untuk bahan baku rosela celup. Padahal, harga beli rosela kering itu mencapai Rp100.000
per kg. Artinya, mantan anggota DPRD Kabupaten Pasuruan itu rugi hingga Rp7,5-juta.

Rosela kering dari pemasok itu dikeringkan dengan oven. Namun, kualitasnya tak
sesuai harapan. Warna kelopak kecokelatan. Ketika diseduh, air seduhannya pun
berwarna sama. Bahkan, rasa kecut yang menjadi khas teh rosela hilang. Sedangkan
rosela hasil pengeringan dengan sinar matahari tetap berwarna merah. Begitu juga bila
diseduh air panas, warna air seduhan tetap merah dan kecutnya tetap terasa. Sejak itulah
Abdussalam enggan mengeringkan rosela dengan oven meski musim hujan sekalipun.

Menurut Ir Eri Pramono, manager pemasaran PT Demaco Indotama, produsen rosela


celup di Surabaya, pengeringan dengan oven tak selamanya menghasilkan teh rosela
berkualitas jelek. Agar tidak gosong, pengeringan dilakukan bertahap, katanya. Hal
senada dilontarkan Kus Yulianto, produsen rosela celup di Sleman, Yogyakarta.

Menurut Dr Astu Unadi MEng, perekayasa Balai Besar Pengembangan Mekanisasi


Pertanian, pengeringan dengan oven sah-sah saja dilakukan. Namun, karena rosela
mengandung vitamin C, pemanasan tidak boleh lebih dari 100oC agar tidak hilang.

• Artikel 3
• Judul : Cara Mengolah Rosela siap Makan

Olahan Rosela
1. Cuci kelopak hasil panen dengan air bersih.
2. Belah kelopak rosela dan keluarkan bijinya.
3. Tempatkan kelopak yang telah dikupas di nampan atau alas yang bersih, lalu kering-
anginkan selama kurang lebih sehari hingga layu.
4. Masukkan kelopak rosela ke dalam oven hingga temperatur maksimal 800C selama 45
menit.
5. Keluarkan rosela dari oven lalu tiriskan hingga dingin. Periksa tingkat kekeringan
dengan meremasnya. Jika kelopak tidak hancur, berarti rosela belum kering. Oleh sebab
itu, masukkan kembali rosela ke dalam oven dengan suhu dan waktu sama. Setelah
pengeringan kedua selesai, periksa kembali dengan cara sama. Jika sudah hancur, berarti
rosela sudah benar-benar kering dan siap olah.
6. Masukkan rosela kering ke dalam mesin penghancur sehingga berbentuk serbuk.
7. Setelah digiling, keringkan kembali serbuk rosela dengan suhu 700C selama 3 jam
untuk menghilangkan kadar air akibat lembap saat disimpan. Agar serbuk rosela tahan
lama, kadar air maksimal 4%.
8. Kemas serbuk rosela ke dalam kantong celup masing-masing berisi 2,5 g serbuk rosela.
9. Agar higienis, masukkan setiap kantong celup ke dalam plastik berukuran 5 cm x 7 cm,
lalu rekatkan hingga kedap.
10. Kemas kantong-kantong rosela celup ke dalam kotak karton. Rosela celup pun siap
dinikmati konsumen.

You might also like