You are on page 1of 10

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI BALIKPAPAN 2010

PEREKONOMIAN INDONESIA
BAB 5. PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN

Kelompok III :

Rusdiansyah (08.11.312.401101.000154)

Risnani (08.11.312.401101.000166)

Intan Sulistyowati (08.11.312.401101.000140)

Titi Dwidjayanti (09.11.312.401101.000210)


PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN

A. REVOLUSI HIJAU

Selama periode orde baru, industri dan pertanian merupakan dua sektor prioritas. Untuk
mendukung pembangunan pertanian, pemerintah pada waktu itu melaksanakan modernisasi
atau intensifikasi, dikenal dengan sebutan ‚revolusi hijau‘, yang di Indonesia diterjemahkan
menjadi Bimbingan Massal (Bimas) sebagai strateginya. Motivasi dibelakang strategi ini
sederhana: kompleksitas masalah jumlah penduduk, kemiskinan, dan penyediaan pangan
adalah tantangan paling besar yang dihadapi Soeharto sejak memulai Pembangunan Lima
Tahun (Pelita) I tahun 1969. Waktu itu jumlah penduduk Indonesia sekitar 120 juta jiwa dengan
pertumbuhan rata-rata 2.3% per tahun, dan sebagian besar di Jawa, yang merupakan pusat
produksi beras nasional.

Untuk melaksanakan pembangunan pertanian, khususnya program revolusi hijau tersebut,


pemerintahan Soeharto mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak kecil, yang sebagian
didukung oleh bantuan atau pinjaman luar negri. Booth (1998) mencatat bahwa akhir dekade
1960-an, sektor tersebut, terutama subsektor beras, mendapat alokasi dana 30% dari
pengeluaran pemerintah, termasuk untuk pembangunan irigasi dan prasarana yang diperlukan
untuk meningkatkan produksi. Selain itu, dana 20% dianggarkan untuk membangun jalan
sehingga petani memiliki akses ke sarana produksi, terutama pupuk, dan juga akses untuk
menjual hasil pertanian mereka.

Satu hal yang menarik yang menunjukkan keseriusan pemerintah orde baru waktu itu
membangun sektor pertanian, adalah keputusan Soeharto membangun pabrik pupuk di dalam
negeri, walaupun waktu itu tidak disetujui oleh bank Dunia, lembaga yang sangat berperan
dalam membantu pendanaan revolusi hijau di Indonesia.

Keseriusan Soeharto membangun petanian juga dapat dilihat dari pembangunan jangka
panjang (PJP) I (1969-1994) yang menekankan pada pembangunan sektor itu dengan menjaga
harga pangan (lahirnya badan logistik nasional atau Bulog), untuk menjamin ketahanan
pangan. Yang diyakini oleh pemerintah waktu itu bahwa ketahanan pangan sebagai prasyarat
utama bagi kelangsungan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Data historis dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penggunaan lahan pertanian dan
pemakaian pupuk dan input-input lainnya di Indonesia pada umumnya tidak akurat. Data dari
dekade 70-an dan lebih awal tidak bisa sepenuhnyadibandingkan banyak data paling akhir.
Akan tetapi, ini bukan hanya masalah Indonesia. Juga di banyak bagian dari Asia dan Afrika,
statistik-statistik pertanian nasional terus-menerus direvisi dan diperbaiki, yang menciptakan
masalah komparabilitas. Oleh karena itu, banyak studi sebelumnya juga memakai data dari
Organisasi pertanian Dunia (FAO). Namun, data FAO juga bermasalah sejak data tersebut
didapat, sebagian, merupakan estiamsi-estimasi sendiri. Database dari FAO mengenai
penggunaan lahan pertanian di Indonesia sangat berbeda dengan estimasi BPS. Estiamsi BPS
menunjukkan bahawa lahan pertanian meningkat dari 17 juta hektar (ha) sebelum revolusi hijau
dilaksanakan ke lebih

dari 37 juta ha di dekade 90-an. Data FAO, sebaliknya, menunjukkan bahwa luas lahan yang
digunakan untuk pertanian naik dari 38.4 juta ha dalam dekade 70-an ke 44,88 juta ha tahun
2002, atau lahan siap/sudah ditanami bertambah dari sekitar 18 juta ha pada era 70-an ke 20.5
juta ha tahun 2002. Bagian dari lahan pertanian yang teririgasi selama periode 60-an hingga
70-an rata-rata per tahun 10% dan pernah mencapai 11% pada dekade 80-an.

Dengan memakai data BPS dan FAO, hasil penelitian dari Fuglie (204) memberikan suatu
gambaran mengenai pemakaian lahan dari input-input modern di sektor pertanian di Indonesia
yang dibagi dalam tiga periode : sebelum revolusi hijau di dekade 60-an, selama revolusi hijau
dari dekade 70-an hingga 90-an (saat revolusi hijau dapat dikatakan mati suri).

B. PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN

1. Kontribusi PDB

Mungkin sudah merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses industrilisasi,
dimana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif menurun, sedangkan dari industri
manufaktur dan sektor-sektor sekunder lainnya dan sektor tersier meningkat. Perubahan
struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Selama periode 1990-an pangsa PDB
dari pertanian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) mengalami penurunan (atas
harga konstan 1993) dari sekitar 17.9% tahun 1993 menjadi 19.6% tahun 1999, sedangkan
pangsa PDB dari industri manudaktur selama kurun waktu yang sama meningkat dari 22.3%
menjadi 26.0% . Dari tahun 2000 hingga 2006, pangsa PDB dari pertanian leih rendah lagi,
sekitar 15%, sedangkan dari industri naik ke sekitar 27% hingga 28%. Sedangkan atas harga
yang berlaku, pangsa PDB dari pertanian menurun dari 19.4% pada awal dekade 90-an
menjadi 13.6% pada tahun 2006 dan pada kuartal I 2007 tercatat sebesar hampir 14% (Tabel
5.4)

Distribusi PDB menurut Tiga Sektor besar, 1968-2007 (%)

Sektor 196 1988 1990 1995 2000 2002 2003 2004 2005 2006 2007
8

Pertanian 51. 24.1 19.4 17.1 15.6 15.5 15.2 14.3 13.1 13.6 13.9
0

Industri 8.5 18.5 39.1 41.8 45.9 44.5 43.7 44.6 46.8 47.0 27.6
Jasa-jasa 36. 45.2 41.5 41.1 38.5 40.1 41.1 41.0 40.2 40.1 49.4
3

2. Pertumbuhan Output dan Produktivitas

Dari sisi output, kebijakan revolusi hijau menekankan pada pertumbuhan output atau
maksimalisasi produktivitas dari faktor-faktor produksi utama, yaitu tenaga kerja, lahan, dan
modal. Untuk mencapai tujuan ini, maka di Indonesia pada era tersebut diperkenalkan pola-
pola penanaman yang padat karya, tetapi produktif dengan menggunakan teknologi-teknologi
yang menghasilkan panen tinggi, terutama di wilayah-wilayah dimana lahan merupakan
sumber yang terbatas relatif terhadap tenaga kerja, seperti di Pulau Jawa.

Di sektor pertanian pertumbuhan output terjadi bersamaan dengan peningkatan


kesempatan kerja. Sangat jelas pada waktu itu bahwa teknologi-teknologi yang digunakan
atau pola-pola penanaman yang diterapkan di pertanian mempunyai andil yang sangat besar
dalam mengurangi kemiskinan di pedesaan (atau Indonesia pada umumnya).

Produksi pertanian di Indonesia mulai meningkat sejak akhir 1960-an atau awal dekade
70-an dan terus berlangsung dingga pertengahan periode 1990-an. Terutama antara 1980-an
hingga tahun 1995 merupakan periode yang sangat bagus bagi pertanian Indonesia, dengan
tingkat pertumbuhan output-nya rata-rata antara 4.6% hingga 5.2%.

Khusus di subsektor padi/beras, bahkan sebelum revolusi hijau dimulai, produksinya


sudah mulai meningkat, yakni dari 10.4 juta ton tahun 1967 menjadi13.72 juta ton tahun 1971.
Persediaan beras per kapita pada periode yang sama juga meningkat, dari 91 kg menjadi 110 kg
per kapita.

C. KETAHANAN PANGAN

1. Pentingnya Ketahanan Pangan


Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian di suatu negara harus tercerminkan oleh
kemampuan negara tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan.
Di Indonesia, ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting, bukan saja
dilihat dari nilai-nilai ekonomi dan sosial, tetapi masalah ini mengandung konsekuensi politik
yang sangat besar. Ketahanan pangan bertambah penting lagi terutama akarena saat ini
Indonesia merupakan salah satu anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Artinya,
di satu pihak, pemerintah harus memerhatikan kelangsungan produksi pangan di dalam negeri
demi menjamin ketahanan pangan, tetapi, di pihak lain, Indonesia tidak bisa menghambat
impor pangan dari luar. Dalam kata lain, apabila Indonesia tidak siap, keanggotaan Indonesia di
dalam WTO bisa membuat Indonesia sangat bergantung pada impor pangan, dan ini dapat
mengancam ketahanan pangan di dalam negeri.

2. Konsep Ketahanan Pangan

Konsep ketahanan pangan yang di anut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU)
No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa „Ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau“.

Konsep ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.17 tersebut memberi
penekanan pada akses setiap RT terhadap pangan yang cukup, bermutu, dan harganya
terjangkau, meskipun kata-kata RT belum berarti menjamin setiap individu di dalam RT
mendapat akses yang sama terhadap pangan karena di dalam RT ada relasi kuasa.

3. Faktor-faktor Utama Penentu Ketahanan Pangan di Indonesia

Beberapa faktor yang diduga sangat berpengaruh selama ini terhadap kinerja pertanian
Indonesia pada umumnya dan ketahanan pangan di dalam negeri pada khususnya antara lain :

a. Ketersediaan dan kualitas lahan


Menurut staf khusus dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Herman Siregar, lahan
sawah terancam semakin cepat berkurang, walaupun sebenarnya lahan yang secara potensial
dapat digunakan, misalnya, tetapi belum digunakan masih banyak. Alasannya, pencetakan
sawah baru menemui banyak kendala, termasuk biayanya yang mahal, sehingga tambahan
lahan pertanian setiap tahun tidak signifikan ketimbang luas areal yang terkonversi untuk
keperluan non pertanian. Ironisnya, laju konversi lahan pertanian tidak bisa dikurangi, bahkan
terus meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan pesatnya urbanisasi (yang didorong oleh
peningkatan pendapatan per kapita dan imigrasi dari pedesaan ke perkotaan), dan
industrialisasi.

b. Infrastruktur khususnya irigasi

Lambannya pembangunan infrastruktur boleh jadi ikut berperan mengapa pertanian


di Indonesia kurang kokoh dalam mendukung ketahanan pangan. Menurut Khomsan
(2008) dalam tulisannya di Kompas, pembangunan infrastruktur pertanian menjadi syarat
penting guna mendukung pertanian yang maju. Ia mengatakan bahwa di Jepang, survei
infrastruktur selalu dilakukan untuk menjamin kelancaran distribusi produk pertanian.
Perbaikan infrastruktur di negara maju ini terus dilakukan sehingga tidak menjadi kendala
penyaluran produk pertanian, yang berarti juga tidak mengganggu atau mengganggu arus
pendapatan ke petani.

Irigasi (termasuk waduk sebagai sumber air) merupakan bagian terpenting dari infrastruktur
pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang baik, dalam pengertian tidak hanya kuantitas tetapi juga
kualitas, dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian, terutama tanaman
pangan, secara signifikan. Jaringan irigasi yang baik akan mendorong peningkatan indeks
pertanaman (IP) (Damardono dan 12 Prabowo, 2008).13Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan
Lahan dan Air Departemen Pertanian, Hilman Manan (dikutip dari Damardono dan Prabowo, 2008),
rata-rata IP lahan sawah di Indonesia hanya 1,57 kali, yang artinya, dalam satu tahun rata-rata lahan
pertanian di Indonesia ditanami kurang dari 2 kali musim tanam. Di pulau Jawa, IP rata-rata di atas 2,
tetapi di luar pulau Jawa umumnya 1 hingga 1,3 kali

c. Teknologi dan kualitas petani dan buruh tani

Teknologi dan sumber daya manusia (SDM), bukan hanya jumlah tetapi juga kualitas, sangat
menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan. Bahkan dapat dipastikan
bahwa pemakaian teknologi dan input-input modern tidak akan menghasilkan output yang optimal
apabila kualitas petani dalam arti pengetahuan atau wawasannya mengenai teknologi pertanian,
pemasaran, standar kualitas, dll. rendah. Lagipula, teknologi dan SDM adalah dua faktor produksi
yang sifatnya komplementer, dan ini berlaku di semua sektor, termasuk pertanian.
Seperti di banyak negara berkembang lainnya, di Indonesia kualitas SDM di pertanian sangat
rendah jika dibandingkan di sektor-sektor ekonomi lainnya seperti industri manufaktur, keuangan,
dan jasa. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari
jumlah petani adalah dari kategori berpendidikan rendah, kebanyakan hanya sekolah dasar (SD).
Rendahnya pendidikan formal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kemampuan petani Indonesia
mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk menggunakan traktor dan mesin pertanian lainnya
secara efisien. Seperti dalam kasus Malaysia yang dibahas sebelumnya di atas, petani-petani
tradisional dengan pendidikan rendah akan cepat mengatakan bahwa memakai traktor terlalu sulit,
dan oleh karena itu mereka akan cenderung tidak merubah cara kerja mereka dari tradisional ke
modern.

Tabel 9: Persentase dari Petani menurut Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia, 2003
Tingkat Pendidikan Jawa Di luar Jawa Indonesia
Tidak ada pendidikan 34,44 28,83 31,62
Hanya primer 48,07 41,93 44,98
Sekunder 15,8 27,56 21,71
Tersier 1,69 1,68 1,69
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS (NAC 2003)

d. Energi terutama listrik dan bahan bakar minyak

Energi sangat penting untuk kegiatan pertanian lewat dua jalur, yakni langsung dan tidak
langsung. Jalur langsung adalah energi seperti listrik atau BBM yang digunakan oleh petani dalam
kegiatan bertaninya, misalnya dalam menggunakan traktor. Sedangkan tidak langsung adalah energi
yang digunakan oleh pabrik pupuk dan pabrik yang membuat input-input lainnya dan alat-alat
transportasi dan komunikasi.

Yang sering diberitakan di media masa mengenai pasokan energi yang tidak cukup atau
terganggu yang mengakibatkan kerugian bagi petani sejak reformasi adalah, misalnya, gangguan
pasokan gas ke pabrik-pabrik pupuk, atau harga gas naik yang pada akhirnya membuat harga jual
pupuk juga naik. Selain itu, kenaikan harga BBM selama sejak dimulainya era reformasi membuat
biaya transportasi naik yang tentu sangat memukul petani, yang tercerminkan dalam menurunnya
nilai tukar petani (NTP).

e. Permodalan

Penyebab lainnya yang membuat rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia adalah


keterbatasan dana. Diantara sektor-sektor ekonomi, pertanian yang selalu paling sedikit mendapat
kredit dari perbankan (dan juga dana investasi) di Indonesia. Berdasarkan SP 2003, tercatat hanya
sekitar 3,06% dari jumlah petani yang pernah mendapatkan kredit bank, sedangkan sisanya
membiayai kegiatan bertani dengan menggunakan uang sendiri.

Pada tingkat makro, lintas sektoral, Tabel 10 dengan sangat jelas menunjukkan bahwa
pertanian bukan merupakan sektor besar dalam penerimaan kredit. Ada dua alasan utama kenapa
selama ini perbankan enggan memberikan kredit kepada petani, terutama petani-petani makanan
pokok seperti padi/beras. Alasan pertama adalah karena pertanian padi bukan merupakan suatu bisnis
yang menghasilkan keuntungan besar, dan ini berarti bukan jaminan bagi perbankan bahwa
pinjamannya bisa dikembalikan.19Sedangkan alasan kedua adalah tidak adanya aset yang bisa
digunakan sebagai agunan seperti rumah atau tanah. Pada umumnya petani di Indonesia, berbeda
dengan rekannya di negara-negara kaya seperti AS, Kanada, Australia dll., tidak memiliki rumah
yang mempunyai nilai komersial dari sudut pandang perbankan dan tidak memiliki sertifikat tanah.

f. Cuaca

Tidak diragukan bahwa pemanasan global turut berperan dalam menyebabkan krisis pangan,
termasuk di Indonesia. Pertanian, terutama pertanian pangan, merupakan sektor yang paling rentan
terkena dampak perubahan iklim, mengingat pertanian pangan di Indonesia masih sangat
mengandalkan pada pertanian sawah yang berarti sangat memerlukan air yang tidak sedikit
(Samhadi, 2007).Secara per kapita, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia memang masih lebih
sedikit jika dibandingkan dengan China dan India, apalagi dibandingkan dengan negara-negara maju
seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan Jepang, Namun, secara nasional, Indonesia berada di
urutan ketiga negara paling polutif di dunia, setelah AS dan China.21Menurut berita di Kompas,
sekitar 85% emisi tahunan GRK Indonesia berasal dari sektor kehutanan, terutama akibat
penebangan liar, pembersihan lahan, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, dan
kebakaran hutan.
Karena Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia
sangat dirugikan dengan pemanasan global. Selain kemarau berkepanjangan, meningkatnya frekuensi
cuaca ekstrim, naiknya risiko banjir akibat curah hujan yang tinggi, dan hancurnya keanekaragaman
hayati mengakibatkan beberapa pulau kecil dan kawasan pantai yang produktif terancam tenggelam.
Dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan
produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air karena perubahan pola
hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim yang mengakibatkan pergeseran waktu,
musim, dan pola tanam (Samhadi, 2007). Hal ini sudah beberapa kali dialami oleh Indonesia dengan
El Nino dan La Nina. El Nino selama periode 1997-1998 mengganggu secara serius panen di
berbagai wilayah di tanah air, dan menurut Samhadi (2007), ini adalah yang terburuk dalam setengah
abad terakhir. Bencana ini melanda Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa dan Indonesia bagian timar.
Daerah-daerah ini mengalami kekeringan yang sangat parah di luar musim kemarau. Musim hujan
mundur dari September menjadi November. Tanah di banyak tempat di wilayah-wilayah yang
terkena dampak El Nino tersebut banyak yang retak-retak seperti umum dijumpai di wilayah sangat
kering di Afrika Sub-Sahara.

Menurut hasil penelitian Samhadi (2007), kekeringan di wilayah-wilayah tersebut berdampak


pada 426.000 hektar tanaman padi dan mengakibatkan gagal panen di sebagian wilayah Jawa Barat,
Jawa Timar, dan sejumlah wilayah lumbung padi lainnya. Selain padi, kekeringan tersebut juga
berpengaruh negatif terhadap tanaman-tanaman lainnya seperti kopi, coklat, dan karet di berbagai
daerah. Samhadi mengutip sebuah laporan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) yang
mengatakan bahwa sebagai akibat dari perubahan iklim curah hujan akan meningkat sebesar 2%-3%
per tahun dan musim hujan akan lebih singkat, dan kedua perubahan ini akan menambah risiko
banjir. Tambahan curah hujan ini ada positifnya, tetapi juga ada negatifnya. Positifnya, pasokan air
irigási tentu akan bertambah. Negatifnya, aliran air yang sangat deras juga bisa mengurangi masa
guna reservoir dan saluran irigási, dan mempercepat proses erosi tanah. Sebagai akibatnya,
kesuburan dan productivitas tanah, terutama di daratan tinggi, juga akan turun, persis seperti akibat
kekeringan yang berkepanjangan. Penurunan tingkat kesuburan tanah ini akan mengurangi hasil
panen tanaman di dataran tinggi.
Mahalnya pengairan karena iklim bisa dilihat dari kutipan berikut ini: saya harus bayar air Rp
170.000 per tiga bulan untuk mengairi sawah. Biaya untuk air sama saja menambah utang. Sebab,
petani kecil seperti saya harus mengutang sebelum menanam padi”, kata Maryono (50-an).
Sawahnya hanya terletak 10 meter dari tepi Sungai Bengawan Solo, tetapi harus berjuang untuk
memperoleh air (Damardono dan Prabowo, 2008, halaman 21). Menurut tulisan mereka itu, untuk
mendapatkan air, Maryono dan warga Desa Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, masih harus
mengoperasikan pompa-pompa dengan bahan bakar solar, yang sudah relatif tua sehingga sering kali
mati. Alasan mereka memakai pompa, karena pintu air di Desa mereka tidak dapat berfungsi untuk
mengalirkan air ke sawah karena elevasi air di Bengawan Solo lebih rendah daripada ketinggian
lahan sawah mereka akibat musim kering yang panjang. Namun, bila elevasi air meninggi karena
hujan di hulu, pintu air tersebut juga tidak bisa dibuka begitu saja karena air akan membanjiri sawah.
Jadi, pintu air tersebut tidak dapat digunakan semaksimal mungkin.
Menurut salah satu berita di Kompas,28luas tanaman padi yang kebanjiran sampai akhir Desember
2007 akibat La Nina sudah mencapai 83,8% atau seluas 56.034 ha dibandingkan total luas tanaman
padi yang 29 Menurut studi tersebut, akibat semua itu (penurunan hasil panen), kerugian petani padi akan mencapai
10-17 dollar AS per tahun, sedangkan yang akan dialami petani kedelai mencapai 22-72 dollar AS, dan petani
jagung lebih tinggi lagi sekitar 25-130 dollar AS per tahun. Selain itu, penurunan hasil panen tersebut akan
mengakibatkan 43.000 petani kehilangan pekerjaan di daerah Subang dan 81.000 petani di daerah-daerah lainnya.

kekeringan (El Nino) pada musim tanam 2006-2007 seluas 66.900 ha. Sementara dibandingkan
luas banjir rata-rata lima tahunan seluas 69.300 ha sudah mencapai 80,9%.
Selain masalah-masalah tersebut di atas, Samhadi (2007) juga menegaskan bahwa pemanasan global
akan menaikan permukaan air laut, yang dengan sendirinya akan menenggelamkan daerah pesisir
yang produktif dan berdampak pada penciutan lahan pertanian subur di sepanjang pantai, tidak hanya
di Jawa, tetapi juga di daerah-daerah lain, terutama Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan. Bahkan diperkirakan bahwa di daerah-daerah seperti
Kerawang dan Subang, yang hingga saat ini masih merupakan salah satu gudang beras Indonesia,
akan terjadi penurunan pasokan beras lokal hingga 95%. Tidak hanya padi/beras, juga lainnya seperti
jagung diperkirakan akan turun 10.000 ton (setengahnya akibat naiknya permukaan air laut), dan
produksi ikan dan udang juga akan berkurang sebanyak 7.000 ton di Kerawang dan 4.000 ton di
Subang.
Selain itu, masih menurut studi dari Bank Dunia tersebut, kenaikan permukaan air laut akan
menaikan sungai Citarum, yang selanjutnya akan menenggelamkan sekitar 260.000 ha kolam dan
10.000 ha lahan pertanian disekitar bagian hilir daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Ini akan
menurunkan produksi ikan dan udang hingga 15.000 ton dan sekitar 940.000 produksi padi.29
Selain studi Bank Dunia tersebut, lainnya, seperti Sutardi (2006) 30juga.membuat perkiraan dampak
kekeringan terhadap produktivitas pertanian. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 11, total penurunan
produktivitas pada dekade 1990-an sekitar 556.130 ha dan meningkat menjadi hampir 875 ribu ha
pada dekade 2000-an.

Tabel 11: Dampak Kekeringan terhadap Penurunan produktivitas Kegagalan panen (ha)
Produktivitas Pertanian Tahun (ha)
1990-an 489.178 150.319
1994 18.462 3.385
1995 48.490 11.458
1996 556.130 165.162
Total 145.545 11.344
2000-an 298.678 30.694
2001 430.258 82.690
2002 874.481 124.728
2003
Total

You might also like