You are on page 1of 5

GANDRUNG BANYUWANGI

Gandrung Banyuwangi berasal dari kata “gandrung”, yang berarti ‘tergila-gila’ atau ‘cinta habis-habisan’
dalam bahasa jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di jawabarat,tayub di jawa
tengah dan jawa tengah bagian barat, lengger di wilayah banyumas dan joged bumbung di bali, dengan
melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan
iringan musik (gamelan).

Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah banyuwangi yang
terletak di ujung timur Pulau jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika
Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota
Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan
dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut
kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh
(sekitar pukul 04.00).

Sejarah

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti
perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang
ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat
laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala
bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar
lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang
waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi
menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga
kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken
Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).
Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan
ditarikannya gandrung oleh wanita.

Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan
menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus
berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya
boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai
banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya
sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak
akhir abad ke-20.

Tata Busana Penari

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada
pengaruh Bali (kerajaan blambangan) yang tampak.

Bagian Tubuh

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen
kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada,
sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-
ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-
masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta
diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Bagian Kepala

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang
disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh antensa, putra bima]
yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung.
Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas
seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada
omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang
penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya.
Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

Bagian Bawah

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang
paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-
tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun
1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung
selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

Lain - Lain

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun
kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam
pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

Musik Pengiring

Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing
(triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan
tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang
bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak
dapat diambil oleh pemain kluncing.

Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan
diiringi electone.

Tahapan -Tahapan Pertunjukan

Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:

• jejer
• maju atau ngibing
• seblang subuh

Jejer

Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan
beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya
menyaksikan.

Maju

Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada
tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya
para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah.
Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-
gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.

Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk
memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang
tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan
ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk,
sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.
Seblang Subuh

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai
melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan
penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan
menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih
seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih
terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan
(meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh
kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.

Perkembangan Terakhir

Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang
dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan
mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian
Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari
pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat
terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti
dangdut dan campursari.

TARIAN GANDRUNG

Jika dibanding dengan masyarakat lain di Jawa Timur, tampaknya komunitas Using memiliki seni tradisi
yang lebih banyak dan beragam. Sebut saja beberapa diantaranya; Gandrung, Jinggoan, Mocoan,
Kuntulan, dan Angklung. Masing-masing jenis seni ini pun memiliki maknanya sendiri-sendiri. Dari
semuanya mungkin Gandrung menempati posisi yang istimewa. Begitu istimewanya, sehingga pemerintah
Kabupaten Banyuwangi mengukuhkan Gandrung sebagai maskot Kabupaten yang terletak di ujung timur
Propinsi Jawa Timur itu, menggantikan lambang sebelumnya; ular berkepala Gatot Kaca. Pengukuhan itu
diprakarsai sendiri oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, bertepatan dengan hari jadi Kabupaten
Banyuwangi, 18 Desember 2002 yang lalu. Soal penetapan Gandrung sebagai maskot Banyuwangi
tidaklah tanpa kontroversi. Anggota DPRD dari PPP menolak dengan keras keputusan ini, karena menurut
mereka, gandrung tidak sesuai dengan Islam, padahal mayoritas masyarakat Banyuwangi pemeluk Islam.
Pandangan politisi dari PPP ini mendapat tanggapan serius dari kalangan budayawan yang menganggap
bahwa Gandrung tidak melanggar norma-norma Islam, dan justru kesenian inilah yang khas Banyuwangi.
Para budayawan juga menganggap bahwa Gandrung mengandung nilai-nilai simbolis perjuangan wong
Blambangan sekaligus identik dengan jati diri orang Using dan juga merepresentasikan karakter orang
Using yang berakhlak aclak, ladak, dan bingkak (sok tahu, arogan dan tak mau tahu urusan orang lain).

Sebagai tari pergaulan, gandrung tentu saja sangat popular, walaupun dalam beberapa hal mirip dengan
tayub, gambyong, jogged, lengger, teledhek, dan ketuk tilu di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura
Pendalungan. Secara historis, Gandrung tak dapat dilepaskan dari Seblang, sebuah kesenian yang sarat
ritual yang keberadaannya terbatas hanya di dua tempat yang terletak di sebelah barat Banyuwangi, yakni
desa Bakungan dan desa Olehsari. Pentas Seblang diselenggarakan setahun sekali sebagai upacara ritual
bersih desa atau selamatan desa dalam rangka menolak bala, keselamatan warga desa, penyembuhan,
kesuburan, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman warga desa. Meskipun unsur
hiburan dalam gandrung tampak menonjol, namun di dalamnya terdapat muatan kepercayaan kolektif yang
sangat kuat.

Sandi

Kekhasan Gandrung Banyuwangi tampak pada lirik lagunya yang berbahasa Using. Sementara tari-
gamelan mengesankan perpaduan Jawa-Bali adalah tampilan yang membedakan dari kesenian kesenian
Jawa dan Sunda. Gending-gending yang dinyanyikan berkarakter perjuangan. Lirik lagu-lagu tersebut
menggambarkan etos perjuangan rakyat Blambangan sejak zaman VOC. Di dalamnya banyak
menggunakan simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi.

Menurut cerita lisan, kesenian gandrung muncul bersamaan dibangunnya kota Banyuwangi pada saat
pemerintahan Mas Alit. Antara lain dikisahkan: Setelah perang Bayu usai, Jaksanegara mengundurkan diri
sebagai bupati. Atas usul patih Blambangan yang mendapat sebutan Ki Juru kunci, kompeni menunjuk Mas
Alit yang ada di Bangkalan sebagai bupati pada tanggal 7 Desember 1773. Sebelum Mas Alit dilantik
sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Wiraguna pada tanggal 1 Februari 1774, ia mengusulkan
agar ibukota Blambangan dipindahkan. Kompeni menyetujui dengan menawarkan tiga tempat, yaitu Kotta,
Ulupangpang, dan Pakusiram. Namun Mas Alit menolak dan menawarkan membuat kota baru di sebelah
utara dengan membabad hutan Purwaganda. Setelah dilantik Mas Alit mulai mengerahkan tenaga
membabat hutan Purwaganda yang kemudian dikenal dengan nama kota Banyuwangi. Bersamaan dengan
dibangunnya kota Banyuwangi muncul kesenian yang diberi nama gandrung.

Sejarah mencatat peristiwa puputan (perang habis-habisan) yang heroik itu terjadi di Bayu, Kecamatan
Songgon Banyuwangi. Peristiwa ini amat bersejarah sehingga dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten
Banyuwangi (meski masih menjadi kontroversi hingga sekarang). Peperangan ini pulalah yang
melegendakan nama Sayu (Mas Ayu) Wiwit sebagai tokoh pejuang wanita dari Banyuwangi yang menjadi
inspirasi munculnya Tarian Seblang. Bahkan oleh sebagian masyarakat, arwah Sayu Wiwitlah yang
dipercaya telah menuntun penari Seblang, terutama pada bagian puncaknya ketika penari Seblang sedang
melantunkan gending Sukma Ilang.

Perang Bayu sendiri terjadi ketika VOC berkeinginan untuk menancapkan dominasinya di bagian timur
Pulau Jawa sebagai upaya untuk merebut Bali. Watak imperialis yang diperlihatkan oleh VOC tentu saja
membangkitkan perlawanan dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati alias Rempeg.
Tetapi akhirnya Blambangan jatuh ke tangan VOC setelah benteng pertahanan di Bayu berhasil dikuasai.
Episode inilah yang dilukiskan oleh Hasan Ali sebagai satu tragedi bagi sejarah rakyat Blambangan.

“Peperangan ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 orang rakyat dari jumlah keseluruhan
masyarakat Blambangan yang waktu itu tidak sampai 65.000 orang” tulis Hasan Ali dalam Sekilas Puputan
Bayu: Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi.

“Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang
memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura
yang diperalat oleh VOC,” tambah Hasan Ali yang juga ayah artis Emilia Contessa dan kakek artis Denada
ini. “Karena itu,” sambung Hasan Ali, “Kekecewaan masyarakat Using sempat membuat suku Using
menutup diri terhadap komunitas luar. Bahkan dari kekecewaan sejarah itulah nama ‘Using’ dipergunakan
untuk mengidentifikasi masyarakat Blambangan.”

Konon, akibat perang Bayu, sebagian besar pasukan melarikan diri ke hutan atau menyingkir ke
pedalaman. Dalam jangka waktu yang lama, mereka bertahan di hutan, melakukan perang gerilya.
Komunikasi diantara para gerilyawan dapat terjalin berkat partisipasi gandrung lanang yang pada awal
pemunculannya digunakan sebagai media perjuangan. Para gandrung lanang menari sambil membawakan
lagu-lagu perjuangan (bahasa sandi) mendatangi tempat-tempat yang dihuni rakyat Blambangan untuk
memberi informasi tentang keberadaan tentara Belanda. Selain itu mereka juga mempengaruhi dan
menganjurkan rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan, keluar dari tempat persembunyiannya untuk
segera membentuk masyarakat baru.

Pada masa pemerintahan Mas Alit, kesenian Gandrung banyak mengalami perubahan baik dalam tata
busana, instrumen musik, maupun lagu-lagu (gending-gending) paju untuk mengiringi tari dan seni pencak
silat. Perubahan juga terjadi pada primadona gandrung, yang semula diperankan oleh pria kemudian
diganti perempuan. Pola pementasan gandrung terdiri atas: Jejer, Paju, Seblang-seblang. Musik iringan
gending jejer yang semula gegap-gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan
tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga
puluh dua baris. Biasanya gending dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris
berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Dalam gending selingan banyak dipadati
pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan.

Gending Padha Nonton sebenarnya puisi yang menggambarkan perjuangan untuk membangkitkan
semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan. Meskipun demikian, keindahan syairnya
juga mampu menciptakan ritme vokal untuk mengiringi tari penghormatan sebagai ucapan selamat datang
bagi para tamu, seperti halnya tarian gambyong pada awal pertunjukan tayub atau Kidung Salamat pada
pertunjukan jaipong. Pesan perjuangan penuh makna simbolis ini dituangkan melalui kata-kata sandi.
Makna pesan inilah yang kemudian menjadi dasar perwatakan masyarakat Using dalam menciptakan
identitasnya.

Perlawanan

Kesenian Gandrung, tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat. Perlawanan
terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi
dalam kesejarahan masyarakat Using. Dalam konteks pencitraan, misalnya tampak bagaimana sejarah
nasional menggambarkan sosok Ronggolawe yang memberontak karena menjadi korban intrik internal di
lingkaran Prabu Wijaya, Raja Majapahit pertama. Nasib Ronggolawe berakhir sebagai pemberontak di
bumi Sadeng. Padahal, masyarakat setempat mencatat nama Ronggolawe sebagai tokoh yang berperan
sangat besar dalam membantu Prabu Brawijaya mendirikan kerajaan Majapahit. (Dan nasib serupa pun
dialami oleh tokoh-tokoh Majapahit sejamannya: Lembu Sora dan Nambi).
Masyarakat dan budaya Using secara historis adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan di wilayah
ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan lahirnya kota Banyuwangi, sebagai nama kabupaten erat kaitannya
dengan kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Tapi
daerah yang dikenal subur bahkan merupakan lumbung padi Majapahit, kemudian menjelma menjadi pusat
kekuatan oposisi yang dalam versi Majapahit maupun kerajaan Jawa Kulon sesudahnya selalu
dikategorikan sebagai “konsentrasi pemberontak” dan memuncak dalam peperangan Paregreg (1401-
1404). Perang Paregreg sendiri mengilhami penulis cerita perang antara Damarwulan dan Menakjinggo
yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Ketropak Mataram dan Jinggoan Banyuwangi dalam
versi yang berlawanan. Jika dalam Ketropak Mataram Menakjinggo ditampilkan sebagai pemberontak,
penindas rakyat, bertubuh cacat, maka di Jinggoan Banyuwangi ia ditampilkan sebagai pahlawan, gagah
berani, tampan, dan memeperdulikan nasib rakyatnya.

Semua gambaran negatif tentang Minak Jinggo (Bre Wirabumi) itu ditolak keras oleh Budayawan
Banyuwangi, Hasan Ali. “Itu tidak benar. Salah besar kalau Bre Wirabumi dikatakan buruk muka. Dia
ngganteng, hanya saja memang ada goresan-goresan luka di wajahnya. Itupun karena pertempurannya
dengan Kebo Marcuet. Dan ia berangkat ke Majapahit bukan dengan maksud memberontak, tapi sekedar
ingin menagih janji Majapahit.”

Senada dengan Hasan Ali, Andang CY, seorang seniman kawakan Banyuwangi menuturkan, ”Menak
Jinggo sesungguhnya adalah pahlawan masyarakat Banyuwangi. Pertama, ketika dia menumpas Kebo
Marcuet yang lalim. Kedua, ketika ia mengangkat senjata melawan Majapahit yang menurutnya telah
mengingkari janji untuk menghadiahinya Putri Kencono Wungu setelah mengalahkan Kebo Marcuet.”
Nyatanya, Menak Jinggo dikalahkan oleh Damarwulan, seorang anak bekel (tukang kuda) yang kemudian
memperistri Putri Kencono Wungu. Bahkan, kekalahan Menak Jinggo inipun berlanjut sampai pada
penulisan sejarah tentangnya.

Hikmah

Sebagai satu daerah strategis untuk berinteraksi dengan Nusantara bagian timur, sejak dulu Blambangan
tidak lepas dari incaran kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Mataram Islam. Tercatat beberapa kali
Sultan Agung melancarkan ekspedisinya untuk menaklukkan Blambangan, bersaing dengan Kerajaan
Buleleng Bali. Meskipun gagal, usaha penaklukan ini toh telah menyakitkan perasaan masyarakat
Blambangan.

Bisa jadi, letak Banyuwangi sebagai perlintasan antar kebudayaan –yang menjadikannya menjadi ajang
klaim dan perebutan wilayah geografis– membawa hikmah tersendiri bagi pengembangan kebudayaan
Using. Pergesekan kebudayaan sebagai implikasi dari pertarungan perebutan geografis telah
mendewasakan produk kebudayaan Using sehingga menjadi sangat fleksibel terhadap unsur-unsur
kebudayaan dari luat. Maka corak produk kebudayaan masyarakat Using—sebagaimana juga halnya
kebudayaan Jawa—sesungguhnya kental dengan nuansa “sinkretik” dan “akulturatif”.

Orang tentu dapat melihat bagaimana maskot Kabupaten Banyuwangi sebelum Gandrung adalah ular naga
berkepala Gatotkaca. Ular Naga adalah makhluk dalam mitologi Cina. Sementara Gatotkaca adalah adopsi
yang dilakukan seniman wayang era Demak (Sunan Kudus dan Kalijaga) terhadap cerita Mahabarata dari
India. Atau hadrah Kuntulan, Barongan Using, Angklung Caruk dan masih sangat banyak lagi.

Adakah ini semacam olok-olok kebudayaan dengan bungkus sanepan yang sangat halus? Bahwa
siapapun –dan apapun– yang melintasi wilayah kebudayaan Using harus menerima kenyataan bahwa
dirinya sedang dipribumikan oleh masyarakat Using. Seperti Segitiga Bermuda atau Lubang Hitam (Black
Hole) di antariksa yang akan menyedot setiap materi yang melintasinya?

You might also like