You are on page 1of 157

1

UJI TANAH UNTUK MENILAI KEMAMPUAN


TANAH MENDUKUNG PRODUKSI TANAMAN

PENDAHULUAN

Tanah dapat didefinisikan sebagai material mineral yang tidak


padu yang berada di permukaan bumi dan yang berfungsi sebagai
medium alami bagi pertumbuhan tanaman darat (Anon, 1975). Akan
tetapi kalau praktek pengelolaan tanah dilibatkan dan dengan demikian
di-pengaruhi oleh faktor gentik dan lingkungan, maka akan banyak
terjadi modifikasi pada tanah. Efek-efek modifikasi terhadap lengas
tanah, temperatur, oksigen, aspek-aspek kimiawi dan kekurangan atau
keracunan hara dapat muncul dan terlibat dengan interaksi-interaksi
yang terjadi di antara parameter-parameter ini. Selain hal-hal tersebut,
uraian berikut ini akan dibatasi pada modifikasi zone perakaran terutama
yang berkaitan dengan penyembuhan kekurangan (stress) unsur hara.
Sistem pengolahan tanah seringkali memodifikasi zone perakaran
secara nyata. Operasi pengolahan ta-nah ini dilakukan karena beberapa
alasan seperti untuk menggemburkan tanah sehingga memudahkan
penetrasi akar, mengubur residu tanaman sebelumnya, menyediakan
lingkungan yang sesuai bagi benih, mengendalikan gulma. Tradisi,
estetika, dan manfaat-manfaat tertentu lainnya telah memotivasi
petani untuk mempraktekkan praktek pengolahan dan budidaya
tanaman, yang pada akhirnya akan memodifikasi zone perakaran.
Praktek-praktek seperti ini dianggap lebih layak kalau sumber enerji,
terutama yang berasal dari bahan bakar fosil, tersedia berlebihan dan
lebih ekonomis. Konsep penggunaan enerji telah berubah secara drastis
pada akhir-akhir ini, terutama dalam proses produksi pertanian. Semakin
terbatasnya enerji fosil dan dengan de-mikian semakin meningkatnya
biaya serta minat terhadap konservasi tanah, telah mendorong
semakin banyaknya perhatian terhadap minimum-tillage (Adams et al.,
1973; Mock dan Erbach, 1977). Sistem ini mempengaruhi modifikasi
zone perakaran dan mungkin juga akan berpengaruh terhadap cekaman
(kekurangan) hara.
Data yang sahih tentang pengaruh modifikasi zone perakaran
terhadap cekaman hara relatif sulit dan mahal diperoleh. Heterogenitas
di antara dan di dalam lokasi serta interaksi yang kompleks di antara
faktor-faktor telah mengakibatkan kesulitan interpretasi data terutama
2

kalaureplikasi waktu tidak dilakukan. Walaupun demikian masih


dimungkinkan untuk mengubah dan mengatasi kekurangan hara yang
diakibatkan oleh ada-nya modifikasi zone perakaran.

Dalam rangka memperkenalkan teknik-teknik yang tersedia


untuk memperbaiki rezim kesuburan tanah dan menyembuhkan
kekurangan hara, maka dianggap perlu untuk terlebih dahulu
memahami sifat dan karakteristik dari permasalahan yang dihadapi.
Untuk ini maka ha-rus memahami berbagai pengetahuan tentang
fenomena kesetimbangan dalam tanah yang mengendalikan suplai hara
ke akar tanaman. Kalau informasi ini telah dikuasai, maka perlu
mengevaluasi presisi dan nilai prognostik dari metode-metode yang
tersedia untuk menjelaskan status kesuburan tanah. Hal ini
memungkinkan kita untuk menentukan realibilitas dengan mana
kekurangan hara dapat di-diagnosa dalam suatu kasus tertentu. Setelah
itu berbagai pendekatan untuk me-nyembuhkan kekurangan hara
tersebut dapat dirancang untuk memaksimumkan respon tanaman
terhadap perlakuan penyembuhan.
Ada banyak problem dan kendala dalam diagnosis sifat dan
keparahan problem yang ada dan pada akhir nya akan menimbulkan
kesulitan dalam upaya menyembuhkan sesuatu problem kekurangan
hara. Banyak aturan-aturan dan kaidah-kaidah telah ditulistentang
subyek kesuburan tanah dan diagnosis kekurangan hara.

1. Hubungan Tanah-Tanaman

Disamping sebagai tempat tegaknya tanaman, ta-nah juga


mensuplai unsur hara esensial yang diperlukan oleh tanaman kecuali
CO2 dan O2 yang berasal dari atmosfer. Interaksi antara fase padatan
dan cairan dalam mensuplai unsur hara esensialdari tanah ke akar
tanaman, diabstraksikan dalam Gambar 1. Karena secara umum
tyelah disepakati bahwa tanaman menyerap sebagian besar haranya
secara langsung dari larutan tanah, maka komponen ini akan menjadi
fokus pembahasan. Konsentrasi larutan tanah selalu encer, jarang yang
melampaui 10 mM kecuali pada kondisi saline. Larutan tanah berada
dalam kondisi kesetimbangan dinamik dengan fase padatan tanah yang
mencerminkan cadangan hara. Hal ini dilukiskan dalam Tabel 1 yang
hanya menunjukkan kecilnya persentase kation tersedia dalam fase
larutan tanah.

2. Suplai dan Ketersediaan Hara


3

Untuk dapat lebih memahami kesetimbangan-ke-setimbangan


yang dilukiskan dalam Gambar 1, maka perlu untuk mengkaji konsep-
konsep ketersediaan dan suplai hara kepada tanaman. Istilah
"ketersediaan" itu sendiri masih belum terdefinisikan secara baik,
tetapi telah diartikan sebagai kondisi dimana tanaman mampu
mendapatkan hara. Misalnya, ion-ion dalam larutan tanah mudah
tersedia tetapi jumlah totalnya sedikit. Oleh karena itu kesinambungan
penyerapan hara dari larutan tanah tergantung kepada laju
pembaharuan konsentrasinya dari cadangan hara yang berada pada
fase padatan. Oleh karena itu pada umumnya dianggap benar bahwa
tambahan pertama dari hara yang diambil akan lebih mudah tersedia
dibandingkan dengan tambahan-tambahan berikutnya karena enerji
ikatannya kepada fase padatan semakin besar.

FAKTOR - FA KTOR YANG MEMPENGA R U HI


KETERSEDI A A N HAR A BA GI TA NA M A N

Ketersediaan hara bagi tanaman ditentukan oleh faktor-faktor


yang mempengaruhi kemampuan tanah mensuplai hara dan faktor-
faktor yang mempengaruhi kemampuan tanaman untuk menggunakan
unsur hara yang disediakan. Tujuan dari uji tanah adalah mengukur
faktor-faktor ini dan menginterpretasikan hasil-hasilnya dalam konteks
perlakuan penyembuhan yang mungkin diperlukan. Beberapa faktor
dapat ditentukan melalui pekerjaan laboratorium. Sedangkan faktor la-
innya seperti kandungan oksigen udara tanah, suhu tanah dan lainnya
harus ditentukan di lapangan.
Dalam menyarankan suatu prosedur untuk mengukur
ketersediaan unsur hara atau menginterpretasikan hasil-hasilnya,
pengetahuan tentang berbagai reaksi yang berlangsung dan dialami
oleh unsur hara dalam tanah sangat penting. Oleh karena itu dalam
pembahasan kali ini akan dipusatkan pada faktor-faktor yang terlibat
dengan suplai hara pada permukaan akar.

1. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi larutan tanah

Unsur hara yang melarut dalam larutan tanah berasal dari


beberapa sumber seperti pelapukan mineral primer, dekomposisi
bahan organik, deposisi dari atmosfer, aplikasi bahan pupuk,
rembesan air tanah dari tempat lain, dan lainnya.
4

Nitrat dan khlorida sangat soluble dan lazimnya tidak mem-


bentuk senyawa yang tidak-melarut dengan komponen tanah. Akibatnya
nitrat dan khlorida yang ditamabahkan ke tanah akan tetap berada
dalam larutan tanah hingga diserap oleh akar tanaman atau jasad re-nik,
tercuci, dan denitrifikasi. Anion sulfat dalam tanah-tanah netral dan
alkalis mempunyai perilaku yang serupa dengan nitrat, tetapi dalam
tanah-tanah masam cenderung untuk dijerap.Kebanyakan unsur hara
lainnya membentuk beberapa tipe senyawa yang kurang melarut yang
cenderung mempertahankan konsentrasi kesetimbangan dalam larutan
tanah. Dengan demikian kation-kation larut air akan berkesetimbangan
dengan kation tukar; kation-kation seperti Cu dan Zn mempunyai ciri-
ciri asam Lewis (sebagai aseptor elektron) dapt membentuk kompleks
dengan bahan organik tanah; ion ferri dan Al membentuk hidroksida atau
oksida hidrous yang tidak melarut; fosfor membentuk senyawa Fe-, Al-
dan Ca-fosfat yang tidak melarut.

Kondisi pH tanah merupakan faktor penting yang menentukan


kelarutan unsur yang cenderung berkesetimbangan dengan fase
padatan (Tabel 1). Kelarutan oksida-oksida hidrous dari Fe dan Al secara
langsung tergantung pada konsentrasi hidroksil (OH) dan menurun kalah
pH meningkat. Kation hidroen (H+) bersaing secara langsung dengan
kation-kation asam Lewis lainnya membentuk tapak kompleksi, dan oleh
karenanya kelarutan kation kompleks seperti Cu dan Zn kan me-ningkat
dengan menurunnya pH. Konsentrasi ion hidrogen menentukan
besarnya KTK tergantung muatan dan dengan demikian akan
mempengaruhi aktivitas semua kation tukar. Kelarutan Fe-fosfat, Al-
fosfat dan Ca-fosfat sangat tergantung pada pH, demikian juga kelarutan
anion molibdat (MoO4) dan sulfat yang terjerap. Anion molibdat dan
sulfat yang terjerap, dan fosfat yang terikat Ca kelarutannya akan
menurun kalau pH meningkat. Selain itu, pH juga mengendalikan
kelarutan karbonat dan silikat, mempengaruhi reaksi-reaksi redoks,
aktivitas jasad renik, dan menentukan bentuk-bentuk kimia dari fosfat
dan karbonat dalam larutan tanah. Pengasaman mineral silikat dapat
menggeser "muatan patahan" dari negatif menjadi positif. Beberapa
reaksi penting yang terpengaruh oleh pH disajikan dalam Tabel 2.
5

Tabel 2. Pengaruh kemasaman terhadap beberapa re-aksi yang


berlangsung dalam tanah

N Gugusan Reaksi-reaksi umum


o. yang
terpengar
uhi
1. Hidroksid xAl3+ + 3xOH- === AlxOH(3x-y)y+ + yOH-
a dan === xAl(OH)3
Oksida xFe3++ 3xOH- === FexOH(3x-y)y+ + yOH-
====
xFe(OH)3 === 0.5xFe2O3 + 3x H2O
2. Karbonat CaCO3 + 2H+ === Ca++ + CO2 + H2O
3. Kompleks CuCh + 2H+ === Cu++ + H2Ch
*)
4. Fosfat Fe(OH)2H2PO4 + OH- === Fe(OH)3 + H2PO4-
Al(OH)2H2PO4 + OH- === Al(OH)3 + H2PO4-
Ca10(PO4)6(OH)2 +14H+ === 10Ca++ +
6H2PO4- + 2H2O
5. Silikat Mg2SiO4 + 4 H+ === 2Mg++ + Si(OH)4
SiO2 +H2O +OH- === OSi(OH)3-
6. KTK M+X- + H+ === M+ + HX (**)
(tergan-
tung pH)
7. Muatan Si Si
pada
0.5- 0.5+
patahan O + H+ ==== OH
silikat
Al Al
Al-OH0.5- + H+ ==== Al-OH2 0.5+
8. Sistem Mn2+ + H2O + O2 === 2H+ + MnO2
redoks
2Fe2+ +5H2O + O2 === 4H+ +2Fe(OH)3
H2S + 2O2 === 2H+ + SO4=
NH4+ + 2O2 === 2H+ + NO3- + H2O
9. Ion dalam HPO4= + H+ === H2PO4-
larutan H2CO3 === HCO3- + H+ === CO3= + 2 H+
Cu++ + OH- ==== CuOH+
Keterangan: *) Ch adalah khelat, mencerminkan elektron donor. (**) X
merupakan tapak muatan yang tergantung pH, terutama karboksilat dan
fenolat, M+ merupakan kation tukar.
6

Faktor lain yang sangat penting dalam menentukan konsentrasi hara


dalam larutan tanah adalah potensial redoks. Faktor ini berhubungan
dengan keadaan aerasi tanah yang selanjutnya sangat tergantung pada
laju respirasi jasad renik dan laju difusi oksigen. Ia mempengaruhi
kelarutan unsur hara mineral yang mempunyai lebih dari satu bilangan
oksidasi (valensi). Unsur-unsur ini adalah C,H,O,N,S,Fe,Mn, dan Cu.
Kan-dungan air yang mendekati atau melebihi kondisi ke-jenuhan
merupakan sebab utama dari buruknya aerasi karena kecepatan difusi
oksigen melalui pori yang terisi air jauh lebih lambat daripada pori yang
berisi udara. Ikhtisar beberapa reaksi redoks yang penting disajikan
dalam Tabel 3. Informasi dalam tabel ini menyatakan bahwa kalau
tanah yang semula dalam kondisi oksidasi menjadi lebih reduksi mka
akan dapat terjadi reaksi-reaksi berikut ini.

(a). denitrifikasi nitrat, kombinasi reaksi 1 dan 4


(b). reduksi MnO2 menjadi Mn++, reaksi no. 5
(c). reduksi Cu++ menjadi Cu+, reaksi no. 7
(d). reduksi oksida hidrous Fe+++ menjadi Fe++, no. 8
(e). reduksi SO4= menjadi H2S, reaksi no. 9
(f). produksi CH4, reaksi no. 10
(g). produksi H2, reaksi no. 12

Tabel 3. Beberapa reaksi oksidasi-reduksi yang penting dalam tanah

No. Eh (mV) Reaksi

1. 968 2NO3- + 8H+ + 6e === N2 + 4H2O

2. 815 O2 + 4H+ + 4e 2H2O

3. 771 Fe3+ + e Fe++

4. 421 NO3- + 2H+ + 2e NO2- + H2O

5. 401 MnO 2 + 4H+ + 2e Mn++ + 2H2O

6. 345 NO2- + 8H+ + 6e === NH4+ + 2H2O

7. -135 Cu++ + e === Cu+

8. -185 Fe(OH)3 + 3H+ + e === Fe++ + 3H2O


7

9. -214 SO4= + 10H+ + 8e === H2S + 4H2O

10. -245 CO2 + 8H+ + 8e === CH4 + 2H2O

11. -278 N2 + 8H+ + 6e === 2NH4+

12. -414 2H+ + 2e === H2


Sumber: Garrels dan Christ (1965)

Reaksi-reaksi lainnya berhubungan dengan batas atas stabilitas air


(reaksi no.2), nisbah Fe+++ dengan Fe++ dalam larutan tanah (reaksi
no.3), proses nitrifikasi (reaksi no.4 dan 6), dan proses fiksasi nitrogen
(reaksi no.11). Denitrifikasi dan reduksi Mn masih dapat berlangsung
dalam tanah yang basah tetapi tidak jenuh air. Reaksi lainnya
umumnya memerlukan kondisi jenuh dan tergenang. Reduksi feri
oksida akan menghasilkan pelepasan fosfat yang terfiksasi oleh
oksida, yang dapat memberikan sumbangan kepada nutrisi tanaman
seperti padi yang dapat tumbuh pada kondisi tergenang. Potensial baku
pada Tabel 3 hanya menjelaskan apa yang mungkin terjadi secara
termodinamika. Laju aktual dari reaksi sangat tergantung pada sistem
ensim jasad renik. Akan tetapi pentingnya pengaruh potensial redoks
tanah terhadap komposisi larutan tanah sangatlah jelas.

Faktor lain, seperti suhu dan kekuatan ionik la-rutan juga dapat
mempengaruhi reaksi-reaksi yang mengendalikan konsentrasi hara
dalam larutan tanah.

2. Pergerakan Unsur Hara menuju Permukaan Akar

2.1. Intersepsi akar


Kalau akar tanaman tumbuh berkembang dalam ta-nah,
mereka enempati ruang yang semula ditempati oleh unsur hara yang
dapat diserap. Oleh karena itu permukaan akar harus kontak dengan
unsur hara ini selama proses penggantian ruang tersebut. Estimasi
sumbangan intersepsi akar terhadap kebutuhan hara tanaman dapat
dilakukan atas dasar tiga asumsi berikut:
8

(1). Jumlah maksimum hara yang di-intersep adalah jumlah yang


diperkirakan tersedia dalam volume tanah yang ditempati oleh
akar
(2). Akar menempati rata-rata 1% dari total volume tanah
(3). Sekitar 50% dari total volume tanah terdiri atas pori; oleh
karenanya akar menempati sekitar 2% dari total ruang pori.

Atas dasar asumsi-asumsi ini, nilai-nilai dalam Tabel 4 telah dapat


dihitung oleh Barber (1966) untuk tanah lempung-debu fertil. Unsur hara
yang dapat disuplai secara lengkap oleh intersepsi adalah Ca,
sedangkan sumbangan yang cukup besar dijumpai pada unsur Mg, Mn,
dan Zn. Perlu diketahui bahwa nilai-nilai ini merupakan batas
maksimum yang mungkin bagi intersepsi akar karena beberapa bagian
dari akar dapat meningkatkan volumenya tanpa menyerap hara dari
volume tanah yang digantikannya, dan sebagian massa tanah yang
terdesak akan menyingkir tanpa kontak dengan permukaan akar.

Tabel 4. Estimasi jumlah hara yang disuplai oleh tiga mekanisme kepada
akar jagung yang tumbuh dalam tanah lempung-debu yang
dipupuk dosis tinggi dan pH tanah 6.8.

Unsur Total Jumlah yang disuplai oleh:


hara serapan Intersepsi Aliran massa Difusi
.......... ........... kg/ha ....... .........
Ca 23 66 175 -
Mg 28 16 105 -
K 135 4 35 96
P 39 1 2 36
Mn 0.23 0.1 0.05 0.08
Zn 0.23 0.1 0.53 -
Cu 0.16 0.01 0.35 -
B 0.07 0.02 0.70 -
Fe 0.80 0.10 0.53 0.17
Sumber: Barber (1966).

Walaupun nilai-nilai absolut tidak dapat ditentukan, tampak


bahwa intersepsi akar akan menyediakan lebih banyak kebutuhan hara
kalau tanaman mempunyai sistem perakaran yang ekstensif dan kalau
konsentrasi hara tersedia dalam zone perakaran cukup tinggi.

2.2. Aliran massa


9

Air secara konstan bergerak mendekati atau menjauhi


permukaan akar. Sejumlah air kontak dengan permukaan akar kalau ia
diserap untuk menggantikan kehilangan transpirasi. Sejumlah air
lainnya kontak dengan permukaan akar kalau ia bergerak dalam
responnya terhadap gradien potensial air dalam tanah. Air tanah ini
mengandung unsur hara terlarut dan jumlah unsur hara tertentu yang
diangkut ke prmukaan akar oleh salah satu dari proses ini disebut
sebagai hara yang diangkut oleh aliran massa.
Persentase kebutuhan hara yang dapat dipenuhi oleh aliran
massa tergantung pada (a) kebutuhan ta-naman akan unsur hara, (b)
konsentrasi hara dalam larutan tanah, (c) jumlah air yang ditrans-
pirasikan per unit bobot jaringan, dan (d) volume efektif air, yang
bergerak karena gradien potensial dan yang kontak dengan permukaan
akar.
Kontribusi proses yang terakhir ini sulit ditentukan, sehingga
estimasi kontribusi hara dari aliran massa biasanya didsarkan atas
konsentrasi hara dan jumlah air transpirasi per satuan bobot jaringan.
Estimasi seperti ini disajikan dalam Tabel 4. Tampak bahwa aliran
massa dapat menjadi kontributor dominan untuk hara Ca, Mg, Zn, Cu,
B dan Fe. Demikian juga, akurasi hasil estimasi masih dapat
dipertanyakan karena asumsi-asumsi yang terlibat.

2.3. Difusi
Dari estimasi dalam Tabel 4 tampak bahwa kebutuhan P dan K
biasanya tidak dapat dipenuhi dari intersepsi dan aliran massa. Oleh
karena itu harus dipenuhi oleh proses difusi. Persamaan berikut ini
melukiskan faktor-faktor penting yang menentukan kecepatan difusi
unsur hara menuju ke permukaan akar:

dq/dt = DAP(C1 - C2)/L

dimana:

dq/dt=mencerminkan laju difusi ke permukaan akar


D = koefisien difusi unsur hara dalam air
A = luas penampang yang diasumsikan mencerminkan total
permukaan penyerapan dari akar tanaman untuk maksud difusi
ini.
P= fraksi dari volume tanah yang ditempati oleh air (juga termasuk
faktor tortuosity)
10

C1= konsentrasi hara terlarut pada suatu titik yang berjarak L dari
permukaan akar
C2 = konsentrasi hara terlarut pada permukaan akar
L = jarak dari permukaan akar ke titik tertentu C1.

Persamaan ini tidak akan berlaku secara tepat untuk sistem


tanah, akan tetapi ia mampu menunjukkan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi kecepatan difusi unsur hara seperti P dan K ke
permukaan akar, yaitu:
(1). Faktor P. Ini mencerminkan fraksi dari total volume tanah-
yang mengandung air. Laju difusi akan tergantung pada kadar air tanah,
dan tanah yang bertekstur halus diharapkan akan memungkinkan difusi
yang lebih cepat pada kondisi konsentrasi larutan yang sama
dibandingkan dengan tanah yang teksturnya kasar karena ia mempunya
kapasitas menahan air yang lebih besar pada potensial air tanah yang
setara.
(2). Besarnya gradien konsentras9 (C1-C2)/L. Konsentrasi yang
tidak sama akan menyediakan gaya dorong bagi difusi. Kalau C1
merupakan konsentrasi larutan tanah dan C2 konsentrasi pada
permukaan akar, laju difusi akan lebih tinggi kalau C1 semakin besar
dan C2 semakin kecil dan L konstan. Sehingga kemampuan tanaman
untuk menyerap hara menurunkan konsentrasi C2 hingga sangat rendah
dan hal ini akan meningkatkan laju difusi yang tinggi karena konsentrasi
hara dalam larutan (C1) menjadi tinggi. Faktor jarak L akan dipengaruhi
oleh adanya faktor kapasitas dalam kesetimbangan dengan larutan
tanah karena reaksi kesetimbangan akan cenderung mempertahankan
konsentrasi yang relatif tinggi di dekat permukaan akar.
(3). Faktor A. Mencerminkan total luas permukaan akar yang
tersedia untuk penyerapan dan menjadi fakor yang sangat penting.
Sejumlah hara yang sama dapat diserap dengan laju yang lebih lambat
per satuan luas permukaan kalau total luas permukaan penyerapan lebih
besar. Oleh karena itu, luasnya sistem perakaran merupakan faktor
penting yang mempengaruhi serapan yang dikendalikan oleh difusi.
Distribusi akar dalam kaitannya dengan distribusi spasial unsur hara
tersedia dan air tersedia sangat penting. Unsur hara, baik alami
maupun yang ditambahkan, cen-derung terkonsentrasi dalam tanah
lapisan olah. Akan tetapi lapisan tanah ini cenderung untuk mengering
selma periode kekeringan dan ketersediaan hara tersebut menurun
secara drastis. Sehingga ketersediaan hara pada tahun-tahun kering
akan banyak ditingkatkan kalau ada suplai hara dan air dalam subsoil
dan kalau distribusi akar dalam subsoil memadai jumlahnya. Operasi
11

pengolahan tanah dapat mempengaruhi distribusi spasial dan ke-


tersediaan hara (Siemens, Walker dan Peck, 1971).

3. Pembaharuan Hara dalam Larutan Tanah

Kalau unsur hara diambil dari larutan tanah, akan terjadi ke-
cenderungan untuk menggantikan defisit hara dari fase padatan tanah.
Konsentrasi hara dalam larutan tanah sering disebut sebagai faktor
intensitas dan sumber hara pada fase padatan tanah yang mensuplai
kembali larutan tanah disebut sebagai faktor kapasitas.
Faktor kapasitas dapat dibagi-bagi secara sembarangan menjadi
tiga kategori, yaitu:
(1). bentuk-bentuk yang berkesetimbangan secara cepat dengan
larutan tanah.
(2). bentuk-bentuk yang berkesetimbangan secara lambat hingga
agak lambat (kesetimbangan semu) dengan larutan tanah
(3). bentuk-bentuk yang tidak berkesetimbangan dengan larutan tanah,
karena tidak ada reaksi balik (unsur hara dibebaskan tetapi tidak
dijerap kembali).

Teladan bentuk-bentuk yang kerkesetimbanagn se cara cepat


dengan larutan tanah akan berupa K-tukar, Ca-tukar atau Mg-tukar dan
P-permukaan. Teladan bentuk-bentuk yang lambat berkesetimbangan
dengan larutan tanah adalah K-terfiksasi dan P yang terdifuse ke bawah
permukaan mineral penyerap atau ke dalam interior agregat tetapi masih
dapat terdifusi kembali ke permukaan dalam jangka waktu yang cukup
panjang kalau gradien aktivitasnya menjadi sesuai. Teladan bentuk
yang tidak berkesetimbangan atau reaksi satu arah adalah pelepasan
hara seperti N, P, dan S oleh dekomposisi bahan organik, dekomposisi
mineral yang semula dibentuk dalam sistem bersuhu tinggi, dan input
dari atmosfer. Beberapa mineral primer dapat menunjukkan
kecenderungan untuk mengalami reaksi balik kalau laju dekomposisinya
dikendalikan oleh konsentrasi produk dekomposisi dalam larutan tanah.
Akan tetapi kalau akan ada kesetimbangan sejati.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan


Tanaman Menyerap Hara

Faktor-faktor tanah yang mempengaruhi kemampuan


tanaman menyrap hara adalah:
12

(1). Konsentrasi oksigen dalam udara tanah. Energi yang diperlukan


untuk serapan hara berasal dari proses respirasi dalam akar
tanaman. Untuk se-mua tanaman akuatik ternyata proses
respirasi ini tergantung pada suplai oksigen dalam udara tanah.
Oleh karena itu aerasi yang buruk akan menghambat proses
penyerapan unsur hara (Grable, 1966; Bolt, 1966) disamping
mempengaruhi tingkat oksidasi beberapa macam unsur hara.

(2). Temperatur tanah. Penyerapan unsur hara berhubungan


dengan aktivitas metabolik yang selanjutnya sangat tergantung
pada suhu. Konsentrasi hara dalam larutan tanah yang lebih
besar seringkali diperlukan untuk mencapai laju pertumbuhan
maksimum dalam kondisi tanah dingin dibandingkan dengan
tanah-tanah yang hangat. Hal ini telah terbukti dengan unsur hara
P (Sutton, 1969).

(3). Reaksi-reaksi antagonistik yang mempengaruhi serapan hara.


Walaupun konsentrasi hara pada permukaan akar bisa menjadi
faktor paling kritis yang mempengaruhi laju serapan pada kondisi
lingkungan normal, reaksi-reaksi anatgonistik antara ion-ion juga
dapat menjadi penting. Kurva baku respon hasil tanaman terhadap
penambahan unsur hara tunggal pertama kali menunjukkan
daerah respon pertumbuhan, kemudian daerah ha-sil maksimum
yang mendatar, dan akhirnya zone depresi hasil kalau konsentrasi
mendekati tingkat toksik.
Kisaran hasil maksimum di daerah yang mendatar tergantung
pada hara (sempit untuk unsur mi-kro, lebar untuk unsur makro)
dan pada konsentrasi relatif unsur hara lainnya. Suatu teladan
kondisi yang terakhir ini adalah terjadinya depresi hasil akibat
penambahan K pada tanah-tanah yang miskin Mg. Efek
antagonistik K terhadap serapan Mg dapat mengakibatkan depresi
hasil karena defisiensi Mg.

(4). Substansi toksik. Suatu substansi yang mengganggu proses


metabolisme tanaman juga dapat mempengaruhi serapan hara.
Substansi toksik seperti ini di antaranya adalah konsentrasi Mn
atau Al yang tinggi dalam tanah masam, konsentrasi garam terlarut
yang sangat tinggi, jumlah B yang berlebihan, dan lainnya.
13

M-atmosfer

Penguapan panen

M-pupuk M-tanaman M-
ternak

Bentuk M yg
Cepat berke- M-larutan tanah M-bahan organik
setimbangan

Bentuk M mineral
M lambat- primer
medium

pencucian

Kehilangan erosi
14

Gambar 2. Bagan ketersediaan hara secara umum. M menyatakan


unsur hara.

5. Faktor yang mempengaruhi ketersedian hara dan


metode uji tanah

Bagan umum ketersediaan unsur hara disajikan dalam Gambar


2. Tujuan dari bagan ini adalah memvi-sualkan berbagai input hara ke
dalam larutan tanah darimana ia dapat diekstraks oleh tanaman.
Pemahaman tentang besaran relatif setiap input untuk setiap unsur hara
tertentu dan variabilitas selama musim pertumbuhan akan sangat
berguna dalam mengembangkan atau mengevaluasi uji tanah untuk
unsur hara tersebut. Misalnya saja, permasalahan manakah yang
terbaik menganalisis faktor intensitas atau faktor kapasitas.
Secara teori penggunaan faktor intensitas lebih sesuai kalau
faktor kapasitas mampu mempertahankan konsentrasi larutan tanah
secara seragam (konstan) sepanjang musim. Kondisi ini biasanya
ditemukan pada unsur hara P, Ca, dan Mg dan kadangkala juga K.
Dalam kasus-kasus dimana uji P tanah telah diperbandingkan pada
berbagai tanah, maka P larut air biasanya berkorelasi lebih baik
daripada faktor kapasitasnya dengan serapan tanaman. Tujuan utama
mengadopsi metode ini untuk penggunaan rutin uji tanah disebabkan
oleh kenyataan bahwa konsentrasi P sangat rendah (kadangkala
kurang dari 0.1 ppm) sehingga mempersulit teknik analitiknya.

Tabel 5. Penahanan Ca dan NH4 dalam bentuk dapat ditukar


oleh berbagai material setelah pen-cucian dengan larutan 0.05N
Ca-asetat dan 0.05N amonium asetat.

Material Posisi pertukaran yang ditempati oleh


Ca++ NH4+
............... % ............
Asam humat 92 8
Montmorilonit 63 37
Kaolinit 54 46
Muskovit 6 94
Sumber: Schachtschabel (1940).
15

Dalam beberapa situasi dimungkinkan untuk me-nurunkan faktor


kapasitas cukup besar dalam satu musim pertumbuhan sehingga
ukuran faktor kapasitas sangat diperlukan untuk mendukung informasi
faktor intensitas (misalnya K). Kalau pengukuran faktor kapasitas
diperlukan maka biasanya akan lebih banyak ditemukan masalah
interpretasinya karena hubugan antara kedua faktor ini berbeda-beda
di antara individu tanah. Hal ini dilukiskan oleh adanya variasi afinitas
relatif berbagai material pertukaran kation terhadap Ca dan NH4 (Tabel
5).
16

Tapak fiksasi Ion tukar pada koloid tanah

Liat Alofan, karbonat Bahan organik Ca++, Mg++,Na+,K+,NH4+


K,Mg,NH4 Al, Fe-oksida N,S,P,Cu Al+++, H+, Mn++,
H2PO4-,SO 4=

cepat
lambat lambat lambat

Pupuk Larutan tanah Lapukan


cepat NO3-, SO4=, Cl-, H3BO3 lambat mineral
ion-ion yang membentuk khelat

difusi C difusi
aliran massa E
pertumbuhan akar P
A
T

Permukaan akar tanaman

Penyerapan aktif Ekskresi


dan pasif H+, OH- dan HCO3-
C
E
P
A
T

Interior akar tanaman

Gambar 1. Kesetimbangan yang terlibat dalam suplai hara kepada akar


tanaman

Tabel 1.Pembandingan jumlah kation dalam kompleks jerapan dan


larutan tanah pada beberapa order tanah
17

Orde Kation tukar Kation larutan (Larutan/Tukar)x


r 100

Tana Ca Mg K Na Ca Mg K Na C M K Na
h a g
................... me/100 g ......... ........ % ..........

Oksi 1. 1. 0.5 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0. 0. 2. 7.0


sol 3 7 09 16 10 07 7 9 0
Ultis 3.8 3.9 0.3 0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0. 0. 1. 7.5
ol 11 28 05 15 3 7 7
Alfis 8.7 5.9 1.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0. 0. 1. 14.
ol 16 24 16 14 2 4 6 0
Verti 13. 10. 0.4 0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0. 0. 0. 13.
sol 5 4 36 57 03 26 3 6 8 0
Sumber: Roux (1966).

Situasi ini analog dengan hubungan antara enerji potensial atau


enerji bebas air dalam tanah (ketersediaan) dan jumlah air yang ada
(suplai). Telah diketahui bahwa kalau jumlah air dalam tanah berkurang
maka ketersediaannya juga berkurang. Hal yang serupa juga berlaku
bagi unsur hara. Oleh karena itu dalam rangka untuk mendeskripsikan
secara tepat status hara dalam tanah maka diperlukan karakterisasi
hubungan antara potensial kimia atau tingkat enerji bebas dari hara
dalam larutan tanah (faktor intensitas) dan jumlah yang ada pada fase
padatan (faktor kuantitas). Kemampuan suatu sistem untuk
memperbaharui larutan tanah diukur dari faktor kapasitasnya yang
merupakan nisbah antara perubahan faktor kuantitas dengan unit
perubahan faktor intensitas. Karakterisasi ini seringkali memerlukan
banyak kerja dan paling tidak memerlukan dua analisis setiap sampel
tanah; diperlukan pengukuran terpisah konsentrasi larutan dan jumlah
hara yang labil.
18

DIAGNOSIS DEFISIENSI UNSUR HARA

1. Pendahuluan
Tujuan uji tanah telah dijelaskan oleh Tisdale dan Nelson (1966)
dan oleh Melsted (1967) adalah: (1) untuk mengevaluasi status
kesuburan sebidang lahan tertentu, (2) meramalkan peluang untuk
mendapatkan respon yang menguntungkan terhadap penggunaan ka-
pur dan pupuk, (3) menyediakan landasan untuk rekomendasi
pengapuran dan pemupukan, dan (4) mengevaluasi status kesuburan
tanah suatu wilayah.
Dengan kata lain, uji tanah dapat digunakan un-tuk diagnosis,
untuk pendugaan dosis pupuk, atau un-tuk pemupukan tanaman (Pizer,
1965a). Diagnosis defisiensi unsur hara dalam tanaman dapat
dilakukan atas dasar analisis daun atau analisis tanah. Pemisahan dua
macam pendekatan ini semata-mata hanya bersifat "keyakinan" saja,
karena keduanya tidak "mutually exclusive".
Memang, sebagaimana yang dijelaskan oleh Andrews (1968)
dan Leece (1968), analisis daun merupakan metode yang dalam
banyak kondisi lingkungan harus digunakan dalam kaitannya dengan
analisis kimia tanah, dan juga percobaan pot dan lapangan.
Secara umum ada empat fase dalam uji tanah, ya-itu (1)
sampling tanah, (2) analisis tanah, (3) penyusunan rekomendasi, dan (4)
interpertasi rekomendasi bagi petani.
Petani adalah pengguna akhir dari informasi uji tanah, meskipun
informasi tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum sampai
kepadanya.

2. Sampling tanah

2.1. Banyaknya sampel


Pada umumnya telah diketahui bahwa kesalahan yang cukup
besar melekat dalam pengambilan contoh tanah dari lapangan. Dalam
memutuskan berapa jumlah sampel yang harus diambil, harus
dilakukan permufakatan antara jumlah yang banyak yang diperlukan
oleh kaidah statustuk dengan jumlah yang lebih sedikit yang dikendalai
oleh biaya. Reduksi biaya sampling dapat dikurangi kalau petani sendiri
mampu mengambil sampel tanah.
Beckett (1967), McIntyre (1967), Vimpany (1967) During dan
Mountier (1967), Mountier dan During (1967), Smith dan Storrier (1966)
dan Skene (1960) telah melaporkan adanya variasi spasial dalam tanah.
19

Variasi ini dapat cukup besar; Harper (1965) hanya menemukan 40%
analisis P dari contoh tanah duplo termasuk ke dalam kategori yang sama,
dan 48% berbeda satu kategori.

2.2. Waktu sampling

Kandungan hara tersedia dalam tanah beragam sepanjang tahun


(Rixon dan Melville, 1969; Ahmad, 1967; Childs dan Jeneks, 1967;
Semb, 1966; Mountier dan During, 1966; Smith dan Storrier, 1966).
Karena adanya variasi musiman inilah maka semua tanah harus diambil
contohnya pada waktu yang sama dalam setahun. Akan tetapi untuk
efisiensi kerja laboratorium rutin maka diharuskan ada contoh tanah
secara kontinyu. Ke dua hal ini menjadi persyaratan yang tidak saling
menenggang.

2.3. Kedalaman sampling

Kalau unsur hara dalam tanah bersifat tidak mobil, seperti fosfat,
maka secara teoritis tidak sulit untuk mendapatkan kedalaman sampling
yang memuaskan. Akan tetapi kalau unsur hara dalam tanah bersifat
mobil maka diperlukan kompromi antara apa yang seharusnya dan apa
yang mungkin dilakukan.

2.4. Penyiapan dan penyimpanan sampel tanah

Pengeringan contoh tanah sebelum preparasi dan


penyimpanannya akan mengubah ketersediaan fosfat (Ghosh dan
Wiklander, 1968; Wiklander dan Koutler-Anderson, 1966) dan nitrogen
(Storrier, 1966). Pengaruh pengeringan terhadap ketersediaan kalium
juga cukup besar sehingga seringkali analisis kalium tanah dilakukan
dengna menggunakan lumpur yang disiapkan di lapangan.

2.5. Frekuensi sampling tanah


Mountier dan During (1967) menyimpulkan bahwa jalan pintas
untuk mereduksi ragam ialah mengulang setiap sampling, tetapi hal
inisulit untuk dipraktekkan. Sampling tahan setiap tahun mungkin telah
dapat dianggap ideal kalau variasi di antara ulangan dalam suatu tahun
jauh lebih rendah dibandingkan dengan variasi di antara tahun. Hal
yang sering terjadi ialah bahwa variasi antar ulangan lebih besar daripada
variasi antar tahun, sehingga dalam kondisi seperti ini akan diperoleh
nilai hara tersedia yang lebih rendah setelah aplikasi pupuk.
20

3. Analisis contoh tanah


Metode analisis apapun yang digunakan, tampaknya
kesalahan analitik masih jauh lebih kecil daripada kesal;ahan sampling.
Di New Zealand, variasi antar laboratorium jauh lebih besar daripada
variasi di dalam suatu laboratorium (Mountier et al., 1966). Analisis
tanah yang paling sering dilakukan adalah pH, P-tersedia, Nitrogen, dan
bahan organik.

Khusus dalam hal nitrogen, analisis tanah dilakukan untuk


memantau perilakunya dalam tanah, kehilangan dari tanah dan
mengestimasi kemampuan tanah untuk mensuplai nitrogen bagi
tanaman. Shankaracharya dan Mehta (1969) telah mencoba
mengevaluasi kehilangan N-tanah akibat penguapan ammoniak.
Kehilangan ini ternyyata meningkat pada kondisi pH tinggi, suhu tinggi,
tekstur kasar, KTK rendah dan pengeringan tanah yang dipupuk dengan
urea. Kehilangan ammonia menurun dengan semakin dalamnya
penempatan/penugalan pupuk urea, kehilangan ini praktis sama dengan
nol kalau penugalan pupuk sekitar 5 cm atau lebih. Sterilisasi tanah
ternyata tidak efektif mereduksi kehilangan N-tanah dengan cara ini.
Dalam hubungannya dengan suplai N-tanah, Fox dan Piekielek (1978)
mengkaji dua macam indeks ketersediaan N-tanah, yaitu ekstraksi 0.01
M NaHCO3 dan ekstraksi 0.01M CaCl2. Hasil ekstraksi ini ternyata
berkorelasi nyata dengan kemampuan delapan macam tanah dari
Pennsylvania untuk menyediakan N bagi tanaman jagung. Ternyata
absorpsi UV oleh ekstraks 0.01 M NaHCO3 pada 260 nm berkorelasi
nyata dengan kemampuan tanah menyediakan nitrogen. Dalam
penelitiannya yang lain (Fox dan Piekelek, 1978b) ditemukan bahwa N-
NH4 ekstraks autoklaf dan N-total berkorelasi nyata dengan kemampuan
tanah menyediakan nitrogen.

4. Penyusunan rekomendasi

Untuk menyusun rekomendasi dari suatu analisis maka


beberapa hubungan harus ditetapkan antara kandungan hara dalam
tanah dan respons tanaman. Dengan unsur hara mikro ternyata
rekomendasi merupakan taraf aplikasi yang akan menyembuhkan
defisiensi; sedangkan unsur hara makro selain untuk menjamin suplai di
atas tingkat kritis, juga diarahkan pada dosis optimum berdasarkan
korelasi dengan respon tanaman.
Ris (1978) menemukan bahwa hubungan antara kandungan N
tanah denga hasil tanaman gandum, kentang, beet dan beberapa
tanaman ubi-ubian lainnya beragam dengan musim. Rekomendasi
21

pemupukan dilakukan berdasarkan kandungan N-tanah pada bulan


tertentu (Maret dan Juni).
Stanford (1977) mengemukakan bahwa penggunaan pupuk N
yang efektif apabila jumlah pupuk yang diberikan (Nf) ditentukan
berdasarkan kebutuhan N tanaman untuk mencapai hasil optimum
secara ekonomis (Nc). Disamping itu juga harus memperhatikan jumlah
N yang tersedia dalam tanah (Ns) dan efisiensi atau recovery N (E).
Sehingga Nf = (Nc-Ns)/E. Nilai Nc untuk tanaman tahunan pada
umumnya dapat diestimasi dengan baik. Penghitungan Ns menghadapi
banyak masalah karena jumlah N-tersedia dalam tanah tergantung pada
jumlah N-organik yang dapat dimineralisasikan selama satu musim
pertumbuhan (Nm) dan jumlah N-mineral yang tersedia bagi tanaman
(ammonium dan nitrat) (Na). Nilai Na ini dipengaruhi oleh praktek
pengelolaan, faktor iklim, dan sifat-sifat tanah. Pendugaan Na sangat
ditentukan oleh waktu (frekuensi) dan sampling lapangan yang cukup.
Dalam penyusunan rekomendasi pupuk harus diperhatikan
tingkat efisiensi yang diinginkan, dan hal ini selanjutnya akan
berhubungan erat dengan kemungkinan kehilangan hara pupuk dari
tanah sebelum dapat diserap oleh tanaman. Khusus dalam aplikasi
pupuk urea, Purushothaman dan Joseph (1975) telah mempelajari
kehilangan N-NH3. Hasil penelitiannya emenunjukkan bahwa kalau
urea diberikan ke tanah yang teksturnya liat hingga berpasir,
kehilangan N-NH3 berkisar dari 8%-80%, terutama terjadi sebagai akibat
dari penguapan ammonia. Ternyata juga dapat ditemukan hubungan
eksponensial negatif antara penguapan N-NH3 dengan KTK tanah.
Dalam rangka untuk mengendalikan kehilangan ini, Matzel dan Heber
(1979) telah mengkaji aplikasi inhibitor urease (p-benzoquinone,
acetohydroxamic acid dan phosphoric acid phenyl ester diamide
(PPDA).
Ternyata PPDA merupakan penghambat urease yang efektif dan
sangat mereduksi kehilangan ammonia. Pada tanah-tanah yang
teksturnya ringan penguapan ammonia dapat dicegah sampai 10 hari,
dan pada kondisi tertentu dapat mencapai 15 hari.

4.1. Tingkat kritis


McKenzie (1966) menetapkan tingkat kritis bagi Cu dan Zn. Ia
menemukan hubungan yang baik antara Cu dan Zn larut EDTA dengan
respon tanaman, tingkat kritis unsur hara ini bergaam dengna pH tanah.
Spencer dan Barrow (1963) menemukan respon hasil pasture
yang baik tidak terjadi dari aplikasi fosfat kalau ekstraks Bray-2 dalam
topsoil (0-6 inchi) lebih dari 8 ppm. McLachlan (1965) menemukan
bahwa respon tidak terjadi kalau ekstraksi Bray-2 atau modifikasi Olsen
22

dalam lapisan tanah 4 inchi lebih dari 30 ppm. Para peneliti ini tidak
bekerja dengan tanah yang sama, tetapi Spencer et al. (1969) yang
bekerja di daerah yang sama dengan McLachlan, menemukan tigkat
kritis 25 ppm P dengan ekstraksi modifikasi Olsen untuk lapisan tanah
0-3 inch.
Kebanyakan estimasi ketersediaan unsur hara diperoleh dengan
menggunakan larutan pengekstraks. Akan tetapi penelitian tentang
hubungan respon tanaman dengan metode-metode yang secara teoritis
lebih baik juga diteruskan. Beckwith (1965) menunjukkan bahwa nilai
sorpsi fosfat daat digunakan untuk kalibrasi terhadap percobaan
lapangan sebagai suatu estimasi konvensional fosfat tersedia. Ozzane
dan Shaw (1968) menyimpulkan bahwa fosfor yang diserap pada
konsentrasi supernatan standar harus digunakan untuk estimasi
kebutuhan fosfat tanah. Mereka menemukan bahwa potensial fosfat dan
konsentrasi kesetimbangan ternyata berkorelasi sangat erat (r = 0.999),
dan mereka menunjukkan bahwa tidak perlu menggunakan metode
yang lebih mahal. Kemudian Ozzane dan Shaw (1968) juga
membandingkan uji sorpsi dengan metode ekstraksi lainnya. Mereka
menemukan bahwa walaupun fosfat larut bikarbonat menunjukkan
relasi yang bermanfaat dengan kebutuhan fosfat tanaman, namun
hubungannya dengan produksi pastur yang mendekati maksimum sangat
beragam dengan tipe-tipe tanah yang daya bufernya sangat berbeda-
beda. Interaksi antara fosfat larut bikarbonat dengan kapasitas buffer ini
juga telah ditemukan oleh Barrow (1967), dan efek kaapsitas buffer tanah
terhadap serapan P oleh White (1968).
White dan Haydock (1967, 1968) membandingkan potensial
fosfat kesetimbangan tanah dengan metode-metode ekstraksi, dan
berkesimpulan bahwa walaupun metode konvensional dapat dipilih mana
yang korelasinya terbaik dengan kebutuhan fosfat atau hasil relatif
tanaman, namun tidak satupun yang berkorelasi secara baik dengan
kedua krieteria tersebut. Pada sisi lain, pengukuran hubungan Q/I akan
menyediakan informasi tentang kuantitas dan intensitas yang
diperlukan untuk prediksi.
Holford (1966) menentukan tingkat kritis 51-150 ppm K-larut
asam asetat bagi tanaman tebu di Fiji; ia juga menetapkan tingkat kritis
fosfat ekstraksi Truog. Barrow et al. (1967) dalam penelitiannya tentang
potensial dan kapasitas hara menetapkan nilai minimum potensial
kalium bagi tanaman clover dalam media kultur larutan hara dan media
tanah. Dalam penelitian ini clover ditanam dalam berbagai kondisi
tanah hingga suplai kaliumnya dihabiskan, kemudian potensial
kaliumnya diukur.
23

4.2. Korelasi-korelasi

Pada tanaman tebu di Queensland, Yates (1965) menemukan bahwa


respon fosfat berkorelasi dengan fosofor yang terekstraks
dalam 0.01 N H2SO4, tetapi korelasi dengan K-tanah larut
HCl jelek. Bruce (1966) menyatakan bahwa 0.01 N H2SO4
merupakan pengekstraks yang cocok untuk penggunaan
rutin.
Bradley dan Fitzsimmons (1964) mengklasifikasikan tanah-
tanah gandum menjadi "tinggi", "medium", dan "rendah" atas dasar
analisis Bray-1. Mereka menunjukkan bahwa tanah-tanah yang
tergolong "tinggi" tidak menunjukkan respon dengan tanaman gandum,
sedangkan tanah-tanah yang tergolong "rendah" menunjukkan respon
yang baik, meskipun belum tentu signifikan, terhadap pemupukan
superfosfat. Pendekatan yang serupa juga dilakukan oleh Whitehouse
(1966) di Queensland dengan tanaman gandum, dan untuk tanaman padi
terjadi di NSW oleh Polhill (1967).
Storrier et al. (1970) dalam surveinya tentang indeks N-tanah
tersedia berkesimpulan bahwa uji kimia umumnya superior terhadap
metode biologis; Chalk dan Waring (1970) melaporkan bahwa C-
organik merupakan uji terbaik untuk menduga ketersediaan N pada
tanah-tanah gandum.
Dalam suatu pelayanan uji tanah, suatu keputusan harus diambil
apakah mendasarkan rekomendasi pada kategori unsur hara atau pada
fungsi kontinyu. Cooke (1965) menyatakan bahwa "dengan
pengetahuan yang ada sekarang ternyata tidak ada justifikasi untuk
megklasifikasikan tanah ke dalam lebih dari dua kelompok, yaitu
"defisien" dan "kecukupan" fosfat tanah untuk suatu tanaman tertentu.
Para peneliti telah mencoba menggunakan model-model matematika
untuk menghubungkan hasil, atau hasil relatif, atau persentase hasil
dengan status hara dalam tanah dan juga dengan faktor lain seperti
curah hujan, pH dan kandungan liat.
Tujuan dari perlakuan matematika tersebut adalah untuk
meminimumkan variasi yang tidak dapat dijelaskan, dan ukuran baku
untuk keputusan adalah koefisien determinasi.
Davidson (1965) dengan menggunakan tanaman tebu, Davidson
dan Martin (1965) dengan tanaman la-innya, telah menunjukkan bahwa
nisbah hasil usahatani dengan hasil eksperimental menurun kalau
rataan luas usahatani tanaman meningkat. Telah disepakati bahwa
hasil usahatani lebih rendah dibandingkan dengan ha-sil-hasil
percobaan. Kalibrasi uji tanah dilakukan pada petak-petak lapangan.
Dalam perhitungan rekomendasi ekonomis, titik pada kurva dimana
24

slope sama dengan nisbah output/input, akan menentukan dosis pupuk


(Gambar 3a).
25

Hasil Hasil

1a 1b

Pupuk Pupuk

Hasil Hasil

1c 1d

Pupuk Pupuk

Gambar 3. Representasi diagramatik determinasi dosis pupuk optimal


secara eksperimental (1a), dan hubungan dengan kondisi
usahatani kalau hasil pada skala usahatani lebih rendah akibat
pergeseran kurva respon vertikal ke bawah (1b) atau pergeseran
horisontal (1c, 1d).

Kita tidak mengetahui apakah hasil lebih rendah yang diperoleh


pada skala usahatani disebabkan oleh alterasi bentuk kurva respon atau
26

pergantian tempatnya. Kalau rataan hasil yang lebih rendah sebagai


akibat dari pergeseran vertikal ke bawah kurva res-pon eksperimental,
maka dosis pupuk yang ditentukan secara eksperimental akan dapat
diterapkan di lahan petani (Gambar 3b). Akan tetapi kalau lebih
rendahnya rataan hasil usahatani adalah sebagai akibat dari alterasi
bentuk kurva atau pergeseran lateral, maka dosis pupuk yang
ditentukan secara eksperimental ti-dak dapat dibenarkan untuk situasi
usahatani (Gambar 3c, 3d).
Hoffnar dan Johnson (1966) menemukan bahwa plot-plot besar
yang dipilih secara acak di lapangan akan menghasilkan data yang lebih
baik daripada petak-petak kecil. Cooke (1966) menunjukkan bahwa
efek "scaling up" dalam hortikultura harus dikaji.
Barker, Maynard dan Mills (1974) telah menemukan adanya
korelasi yang erat antara pemupukan nitrogen, kadar nitrat daun dan
hasil tanaman spinach. Kultivar yang daunnya halus ternyata
mempunyai kadar nitrat lebih endah dibandingkan dengan kultivar
yang daunnya berbulu kasar (savoyed).

Tabel 6. Konsentrasi nitrat daun dari beberapa kultivar spinach yang


dipupuk nitrogen

Kultivar dengan Dosis pupuk N; lb/ac


tipe daun 50 150 250
% N-NO3 helai daun
Berbulu kasar 0.08 0.09 0.12
Berbulu sedang 0.06 0.07 0.08
Halus 0.04 0.06 0.07
% N-NO3 tangkai daun
Berbulu kasar 0.49 0.83 0.97
Berbulu sedang 0.39 0.60 0.73
Halus 0.20 0.53 0.63

Tabel 7. Hasil beberapa kultivar spinach yang dipupuk nitrogen

Kultivar dengan Dosis pupuk N; lb/ac


50 150 250
27

Berat segar; lb/ac


Berbulu kasar 4.95 5.79 6.36
Berbulu sedang 5.31 6.21 6.75
Halus 6.00 7.76 8.37

Maynard dan Barker (1974) mengkaji lebih lanjut tentang


akumulasi nitrat akibat pemupukan nitrogen dalam kaitannya dengan
berbagai tipe daun melalui percobaan dengan media kultur pasir dengan
konsentrasi nitrat beragam dari 0.187 hingga 48 meq/l. Ternyata
konsentrasi kritis nitrat dalam daun bervariasi di antara kultivar spinach,
yaitu 0.045% hingga 0.17%. Hubungan antara kadar nitrat dalam media
kultur dengan kadar nitrat tanaman dan pertumbuhan tanaman dilukiskan
dalam Gambar 4 dan 5.

Kadar nitrat tanaman, %

0.7

0.4

0.1
3 6 9 12 18 24 48

Konsentrasi nitrat dalam media, meq/l

Gambar 4. Pengaruh konsentrasi nitrat dalam medua tumbuh terhadap


akumulasi nitrat daun spinach

Berat kering tanaman, g

4 Tingkat kritis N-NO3 = 0.17 %


28

0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Kadar N-NO3 daun, %

Gambar 5. Pertumbuhan dan akumulasi nitrat dalam tanaman


spinach.

5. Menginterpretasikan Rekomendasi bagi Petani


Interpretasi rekomendasi oleh suatu lembaga penyuluhan barang-
kali menjadi kemungkinan yang terbaik (Bradley, 1966; Hawkins, 1967;
Sedl, 1967). Barber (1967) menyatakan bahwa meskipun interpretasi
dan rekomendasi dilakukan oleh laboratorium dapat melibatkan semua
informasi mutakhir, kontak personal dengan petani dan usahataninya
akan terabaikan dan faktor-faktor seperti tipe manajer, situasi finansial,
dsb tidak dapat dipertimbangkan. Iowa State University (1968)
merekomendasikan dosis hara "tinggi" atau "medium" untuk setiap area
yang diuji; dosis "tinggi" digunakan kalau pengelolaannya baik dan
kelengasan subsoil-nya juga sesuai. Hal ini menekankan fakta bahwa
kemungkinan untuk mendapatkan manfaat ekonomis pada dosis
"tinggi" jauh lebih rendah kalau tingkat pengelolaan, kondisi tanah atau
iklim tidak sesuai. Smith dan Spence (1969) telah menunjukkan bahwa
peluang untuk mendapatkan respons terhadap tambahan 50 lb
superfosfat menurun secara tajam kalau curah hujan berkurang.
Jelinek, Hermanova dan Skorpil (1975) mengungkapkan
bahwa respon hasil tanaman akibat pemupukan fosfat sangat
ditentukan oleh cadangan fosfat dalam tanah. Pemupukan dengan dosis
70 kg P2O5/ha menjamin hasil tanaman yang tinggi dan pada saat
yang sama juga meningkatkan cadangan hara dalam tanah. Ca-
dangan P-tanah yang lebih tinggi dapat menurunkan keragaman hasil
dan dapat meningkatkan efisiensi pupuk N. Kalau cadangan P dalam
29

tanah meningkat, kapasitas cropping suatu tanah akan meningkat.


Metode yang disarankan untuk penentuan dosis pupuk fosfat tahunan
adalah atas dasar kandungan hara efektif dalam tanah. Rekomendasi uji
tanah seringkali keliru, yaitu ada nya resiko bagi petani untuk dapat
mengikutinya. Para petani harus diberitahu apa saja hal-hal yang dapat
menjadi resiko tersebut.
30

MODEL EVALUASI KESUBURAN TANAH DAN


REKOMENDASI PEMUPUKAN

Secara historis, berbagai sistem produksi tanaman telah


dilakukan dan dikembangkan berdasarkan pada pemanfaatan unsur hara
yang telah tersedia dalam tanah. Dalam konteks ini, kemampuan tanah
sangat beragam dalam mendukung pertumbuhan dan produktivitas
tanam an secara memuaskan. Berbagai teknik diagnostis, termasuk
identifikasi gejala defisiensi unsur hara, uji tanah dan analisis jaringan
tanaman, sangat membantu dalam menentukan kapan waktu
penambahan unsur hara sangat diperlukan.
Penentuan dosis unsur hara yang tepat dipengaruhi oleh
pengetahuan mengenai kebutuhan unsur hara tanaman dan
kemampuan tanah untuk mensuplai unsur hara. Kalau tanah tidak
mampu menyediakan sejumah unsur hara yang cukup untuk
pertumbuhan tanaman yang normal, maka diperlukan tambahan unsur
hara dalam bentuk pupuk atau bentuk lainnya. Keadaan seperti ini
mendorong upaya penemuan metode-metode yang dapat digunakan
untuk menentukan defisiensi unsur hara.

1. Pendekatan yang Digunakan

Kajian masalah peramalan kebutuhan unsur hara tanaman telah


dilakukan sejak lama. Pada tahun 1813 Sir Humphrey Davy menyatakan
bahwa kalau suatu tanah tidak produktif maka sebab-sebab dari
sterilitas tersebut dapat dilacak dengan menggunakan teknik analisis
kimia.
Analisis tanah secara kimiawi ini sangat tergantung kepada
pereaksi-pereaksi kimia untuk menentukan jumlah unsur hara yang
tersedia. Selain itu juga ada metode biologis yang melibatkan tanaman
sebagai agen pengekstraks unsur hara, cara ini sering digunakan untuk
menduga jumlah unsur hara yang tersedia dalam tanah. Secara umum
ternyata uji tanah secara biologis ini ada dua tipe, yaitu (i) menggunakan
tanaman tinggi, dan (ii) menggunakan tanaman rendah, seperti bakteri
dan fungi.
Empat macam teknik yang lazim digunakan untuk menduga
status kesuburan suatu tanah adalah:
1. Gejala defisiensi unsur hara tanaman
2. Analisis jaringan tanaman yang sedang tumbuh
31

3. Uji biologis dimana pertumbuhan tanaman tinggi atau


mikroorganisme tertentu digunakan sebagai ukuran status
kesuburan tanah
4. Uji tanah secara kimiawi.

2. Gejala Defisiensi Unsur Hara

Banyak metode untuk mengevaluasi kesuburan tanah didasarkan


pada observasi atau pengukuran parameter pertumbuhan tanaman yang
sedang tumbuh. Metode-metode seperti ini mempunyai banyak
keunggulan karena tanaman berfungsi sebagai integrator dari semua
faktor pertumbuhan dan merupakan produk yang dituju oleh petani
penanamnya.
Suatu wujud yang tidak normal dari tanaman yang sedang
tumbuh mungkin dapat disebabkan oleh defisiensi satu atau lebih unsur
hara tanaman. Kalau tanaman kekurangan unsur hara tertentu, maka
gejala defisiensi yang spesifik akan muncul. Metode visual ini sangat
unik karena tidak memerlukan perlengkapan yang mahal dan banyak
serta dapat digunakan sebagai penujang bagi teknik-teknik diagnostik
lainnya.

2.1. Terjadinya Gejala


Gejala defisiensi unsur hara pada umumnya dapat dikelompokkan
menjadi (1). Kegagalan tanaman secara lengkap pada fase kecambah,
(2). Pertumbuhan tanaman sangat kerdil; (3). Munculnya gejala spesifik
pada daun selama periode waktu yang berbeda-beda dalam musim
pertumbuhan; (4). Abnormalitas internal, seperti tersumbatnya jaringan
pembuluh; (5). Penangguhan kemasakan atau kemasakan tidak normal;
(6). Perbedaan hasil, dengan atau tanpa gejala pada daun; (7). Kualitas
tanaman yang buruk, termasuk penyimpangan komposisi kimia,
seperti kadar protein, minyak, pati, daya awet atau daya simpan; (8).
Perbedaan hasil yang hanya dapat dideteksi melalui percobaan yang
serius.
Disamping itu, defisiensi unsur hara juga sangat berpengaruh
terhadap perkembangan dan tipe pertumbuhan perakaran tanaman.
Defisiensi unsur hara tidak secara langsung menimbulkan gejala
defisiensi. Kalau terjadi kekurangan unsur hara maka proses-proses
metabolisme tanaman yang normal menjadi tidak seimbang, sehingga
terjadi akumulasi senyawa organik tertentu dan kekurangan yang
lainnya. Hal ini mengakibatkan kondisi tidak normal yang dikenal
32

sebagai 'gejala' dan mempunyai hubungan yang definit dengan


kekurangan unsur hara. Misalnya, persenyawaan diamine-putrescine
terbentuk dalam beberapa tanaman yang kekurangan kalium dan
menyebabkan gejala-gejala yang khas. Sebenarnyalah tanaman yang
kecukupan kalium juga akan menunjukkan gejala yang sama kalau
diinjeksi dengan senyawa ini.
Setiap 'gejala defisiensi' mesti berhubungan dengan beberapa
fungsi metabolis dari unsur hara yang bersangkutan. Akan tetapi suatu
unsur hara bisa mempunyai beberapa fungsi metabolis, dan hal ini
menimbulkan kesulitan dalam menjelaskan alasan fisiologis untuk
menerangkan terjadinya gejala defisiensi. Misalnya, kalau terjadi
defisiensi nitrogen, daun-daun tanaman akan cenderung menjadi
berwarna hijau pucat atau kuning terang. Kalau kuantitas nitrogen
terbatas, produksi khlorofil akan direduksi, dan pigmen kuning seperti
karotin dan xantofil akan muncul. Akan tetapi gejala defisiensi unsur
hara tertentu lainnya juga dapat berupa daun-daun yang pucat atau
kekuningan, dan kesulitan juga akan dihadapi sehubungan dengan pola
lokasi dan posisi daun dalam tanaman.
Defisiensi sebenarnya bersifat relatif, dan gejala defisiensi suatu
unsur hara akan menyatakan kekurangan atau kelebihannya unsur
yang lain. Misalnya defisiensi Mn dapat dipacu oleh penambahan
banyak Fe, asalkan ketersediaan Mn berada di sekitar tingkat kritis.
Disamping itu, suplai hara yang cukup pada suatu kondisi bisa menjadi
defisien kalau unsur lainnya menjadi berlebihan. Pada kondisi suplai
nitrogen yang terbatas mungkin tanaman jagung tidak memerlukan
banyak fosfor, tetapi kalau suplai nitrogen ditingkatkan maka
ketersediaan fosfor bisa menjadi kritis. Dengan kata lain, kalau faktor
pembatas pertama dieliminir maka akan segera muncul faktor pembatas
ke dua berikutnya.

2.2. Perhatian Khusus


Di lapangan seringkali sulit untuk dapat membedakan di antara
gejala-gejala defisiensi unsur hara. Tidak jarang bahwa gangguan
hama dan penyakit menyerupai defisiensi unsur hara mikro tertentu.
Misalnya gangguan oleh belalang daun dengan defisiensi boron pada
tanaman alfalfa. Defisiensi boron diikuti oleh kolorasi merah pada daun
di dekat titik tumbuh kalau tanaman mendapatkan cukup kalium.
Sebaliknya kalau suplai kalium terbatas maka daun-daun tanaman
alfalfa akan menguning.

Suatu gejala mungkin juga merupakan efek sekunder dan dapat


pula diakibatkan oleh lebih dari satu macam penyebab. Misalnya, gula
33

yang terakumulasi dalam tanaman jagung dapat berkombinasi dengan


flavon membentuk anthosianin (pigmen ungu, merah dan kuning).
Akumulasi gula tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti
kurangnua suplai fosfor, suhu malam yang rendah dan suhu udara
siang-hari yang panas, gangguan hama pada akar, defisiensi nitrogen,
atau sebab lainnya.
Gejala defisiensi unsur hara sebagai sarana untuk mengevaluasi
kesuburan tanah dapat diibaratkan sebagai "menutup pintu kandang
setelah kudanya lepas".
Gejala defisiensi hanya muncul setelah suplai unsur hara
begitu rendah sehingga tanaman tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana
mestinya. Dalam kasus seperti ini maka pupuk akan lebih
menguntungkan kalau diberikan jauh sebelum gejala defisiensi muncul.
Kalau gejala defisiensi diamati lebih awal maka ia dapat
dikoreksi selama musim pertumbuhan tanaman. Hal seperti ini dapat
terjadi dalam hal nitrogen, kalium, dan beberapa macam unsur mikro.
Memang tujuan utamanya ialah memberikan unsur yang kekurangan
ke tanaman secepat mugkin. Hal ini pada kondisi tertentu dapat
dilakukan dengan melalui penyemprotan daun, atau penugalan pupuk di
sekitar akar. Biasanya hasil tanaman masih akan lebih rendah
dibandingkan dengan kalau suplai unsur hara kecukupan sejak awal
tanam.
Akan tetapi kalau bahaya defisiensi tersebut dapat didiagnosa
secara tepat maka defisiensi dapat dikoreksi pada tahun berikutnya.

3. Kelaparan Tersembunyi

'Kelaparan tersembunyi' ("hidden hunger") menyatakan situasi


dimana tanaman memerlukan lebih banyak unsur hara tertentu,
meskipun belum menunjukkan gejala defisiensi tertentu (Gambar 6).
Kadar unsur hara masih di atas zone defisiensi tetapi berada di bawah
batas yang diperlukan untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi
tanaman yang paling menguntungkan.
34

Jaminan terhadap kelaparan tersembunyi

optimum fisiologis

Hasil
Tanaman top yield
dosis sure'

kelaparan
tersembunyi optimum
ekonomis

gejala

dosis pupuk

Gambar 6. Kelaparan tersembunyi merupakan istilah ang digunakan


untuk melukiskan tanaman yang tidak menunjukkan gejala
defisiensi yang jelas, namun kandungan haranya tidak cukup
untuk memproduksi hasil yang paling menguntungkan.
Pemupukan dengan dosis "sure", meskipun masih sedikit di
bawah dosis optimum ekonomis, setiap tahun akan membantu
mendapatkan hasil yang paling menguntungkan (Tisdale dan
Nelson, 1975).
35

Dalam sistem pertanian yang berorientasi kepada keuntungan


maka para petani akan berupaya untuk menghindari defisiensi
tanamannya. Akan tetapi ia mungkin tidak menambahkan cukup banyak
unsur hara untuk mendapatkan hasil yang paling menguntungkan.
Dalam banyak hal, respon yang signifikan dapat diperoleh meskipun
tidak diketahui adanya gejala defisiensi.
Dalam fase-fase permulaan dari penggunaan suatu unsur hara di
suatu area, gejala defisiensi mengarahkan kepada pengenalan bahaya.
Akan tetapi kalau penggunaan unsur hara harus ditingkatkan untuk
mendapatkan hasil yang lebih tinggi, maka gejala defisiensi menjadi
kurang penting dan dapat dikelompokkan sebagai masalah bagi petani
marjinal.
Permasalahan yang kemudian dihadapi adalah bagaimana cara
terbaik untuk mengeliminir kelaparan tersembunyi (Gambar 7). Uji
tanaman akan membantu ke arah perencanaan program pemupukan
tahun berikutnya, dan uji tanah akan membantu mengeliminir problem
tanaman yang sedang tumbuh. Dalam kedua macam pendekatan ini
harus senantiasa diperhatikan praktek pengelolaan sebelumnya.

3.1. Efek-efek Musiman

Kekurangan unsur hara dalam tanah dapat diperparah oleh


kondisi cuaca yang tidak normal. Unsur hara dapat tersedia dalam
jumlah yang cukup pada kondisi ideal, tetapi dalam kondisi kekeringan,
kelebihan air, atau suhu yang ekstrim tanaman mungkin tidak mampu
menyerap dalam jumlah yang cukup. Misalnya pada suhu dingin akan
lebih sedikit N, P, dan K yang dapat diserap oleh tanaman tomat (Tabel
8).
36

Memerangi kelaparan tersembunyi secara kimiawi

Uji lapangan Analisis jaringan

Analisis tanaman Nilai gizi pakan

Analisis organ morfologi

Uji tanah Penyerapan akar

air, aerasi, suhu

Gambar 7. Melacak kelaparan tersembunyi dalam tanaman menjadi


masalah yang semakin sulit kalau sasaran hasil yang
lebih tinggi dan keuntungan yang lebih besar harus
dicapai.

Di daerah yang tidak menunjukkan gejala defisiensi maka kita


harus menggunakan lebih banyak diagnostik kimiawi untuk
mengevaluasi kebutuhan unsur hara tanaman secara lebih tepat (Tidale
dan Nelson, 1975)

Tabel 8. Efek Suhu terhadap Kadar N, P,K Daun Tomat


37

Umur Bahan kering; %


tanaman 12oC 20oC
(hari) N P K N P K
36 3.27 0.15 2.12 4.92 0.38 4.23
50 4.11 0.37 3.11 4.78 0.44 4.40
60 4.62 0.35 1.70 6.05 0.47 3.12
110 4.40 0.43 4.95 4.15 0.62 4.20
Sumber: Zurbicki (dalam Tisdale dan Nelson, 1975)

Demikian juga, stress air akan mempengaruhi serapan hara.


Kalau stress air semakin parah maka konsentrasi NPK pada daun
jagung menurun (Tabel 9). Pemupukan akan mampu mengurangi efek
buruk stress air, tetapi konsentrasinya masih di bawah optimum
dalam periode stress. Dalam rangka untuk mengeliminir faktor pembatas
unsur hara maka kadar unsur hara tanaman harus ditingkatkan hingga
batas aman dan bukan hanya sampai optimum ekonomis (Gambar
8). Memupuk hingga taraf ini akan membantu memanfaatkan kondisi
musim yang baik dan mensisakan unsur hara dalam tanah untuk
dimanfaatkan oleh tanaman berikutnya.

Tabel 9. Pengaruh N,P, dan K serta Stress Air terhadap Kadar N,P,K
Daun Jagung

Pupuk Konsentrasi NPK:


N P K Hari tanpa Stress maksimum
stress
..kg/ha.. .............. %N .................
0 78 47 2.0 1.5
179 78 47 2.9 2.2
.............. %P .................
179 0 47 0.26 0.12
179 78 47 0.32 0.18
.............. %K ................
179 39 0 1.10 0.70
179 39 93 1.60 1.20
Sumber: Voss (dalam Tisdale dan Nelson, 1975).

4. Analisis Jaringan Tanaman


38

Ada dua tipe analisis tanaman yang telah sering digunakan.


Tipe pertama adalah uji jaringan dengan menggunakan bahan jaringan
segar di lapangan, dan tipe ke dua adalah analisis total yang dilakukan
di laboratorium dengan teknik-teknik analisis yang lebih teliti.
Analisis tanaman mempunyai keuntungan pokok yaitu bahwa ia
mengintegrasikan pengaruh tanah, tanaman, iklim dan peubah-peubah
pengelolaan. Dengan cara ini maka hasil analisis tanaman dipandang
sebagai ukuran akhir dari ketersediaan unsur hara. Akan tetapi
kelemahan yang pokok dari cara ini adalah berkaitan dengan "waktu",
seringkali sudah terlambat untuk menyembuhkan kekurangan hara
tanpa mengalami kehilangan hasil.
Lazimnya analisis tanaman digunakan untuk tiga maksud
penting, yaitu (i) identifikasi problematik unsur hara tanaman dan
mengkuantifikasikan koreksinya melalui penetapan tingkat kritis unsur
hara, (ii) menghitung nilai serapan hara untuk menunjang program
pemupukan, dan (iii) memonitor status hara tanaman permanen, atau
yang secara praktis disebut "crop logging".
Analisis tanaman didasarkan atas anggapan bahwa jumlah
unsur hara dalam tanaman merupakan indikasi suplai unsur hara tertentu
dan dengan demikian secara langsung berhubungan dengan kuantitas
dalam tanah. Karena kekurangan unsur hara akan membatasi
pertumbuhan tanaman, maka unsur hara lainnya dapat terakumulasi
dalam cairan sel dan menunjukkan nilai uji yang tinggi, tanpa
memperhatikan suplainya. Misalnya kalau jaringan tanaman jagung
miskin nitrat maka uji fosfor bisa menunjukkan nilai yang tinggi. Akan
tetapi hal ini bukan merupakan indikasi bahwa kalau cukup nitrogen
diberikan ke tanaman jagung berarti suplai fosfor juga akan mencukupi.
Tingkat kritis telah berhasil diidentifikasikan untuk bberapa unsur
hara dalam berbagai jenis tanaman. Banyak definisi tentang tingkat kritis
telah diusulkan, tetapi salah satu definisi yang bermanfaat bagi petani
ialah "kadar unsur hara di bawah mana hasil tanaman atau
penampilannya menurun di bawah optimum". Akan tetapi pada
kenyataannya agak sulit memilih taraf yang spesifik karena kadar unsur
hara lainnya dalam tanaman dapat mempengaruhi tingkat kritis sesuatu
unsur hara. Pada tanaman jagung ternyata tingkat kritis N, P atau K
ternyata mempunyai kisaran yang agak luas, tergantung pada
keseimbangan unsur hara lainnya dan taraf hasil yang diinginkan.
Tingkat kritis boron akan lebih tinggi kalau kadar kalsium tanam,an sangat
tinggi.

4.1. Analisis jaringan Tanaman


39

Uji cepat untuk menentukan unsur hara dalam cairan sel dari
jaringan tanaman segar ternyata mempunyai posisi penting dalam
diagnosis kebutuhan tanaman. Dalam uji ini hasilnya disajikan dalam
bentuk "sangat rendah", "rendah", "medium", atau "tinggi". Tujuannya
adalah untuk menduga taraf umum unsur hara tanaman.
Akar tanaman menyerap unsur hara dari tanah dan unsur
hara ini diangkut ke organ tanaman lainnya. Konsentrasi hara dalam
cairan sel biasanya merupakan indikasi yang baik tentang suplai hara
pada saat pengujian.

4.1.1. Bagian Tanaman yang Diuji


Hal penting yang harus diperhatikan adalah bagian tanaman
mana yang akan memberikan indikasi terbaik bagi status hara tanaman.
Kalau suplai nitrogen menurun, bagian pucuk tanaman tempat
digunakannya nitrogen dalam proses metabolisme akan menunjukkan
nilai uji nitrat yang rendah. Dalam hal P dan K akan terjadi hal yang
sebaliknya, dimana bagian tanaman sebelah bawah akan defisien lebih
dahulu. Beberapa contoh bagian tanaman untuk keperluan analisis
jaringan disajikan dalam Tabel 10. Daun-daun muda tidak boleh untuk
bahan analisis.

Tabel 10. Bagian Tanaman yang Digunakan untuk Analisis Jaringan


Tanaman

Tanaman Nitrogen Fosfor Kalium


Jagung Batang utama Tulang daun Helai atau tu
atau tulang daun dekat tongkol lang daun de-
kat tongkol
Kedelai Tangkai daun Tangkai daun
bagian atas
Kentang Batang atau tang Tangkai daun Tangkai daun
kai daun bagian bawah
Tomat ..................... " ...................
Sumber: Ohlrogge (dalam Tisdale dan Nelson, 1975)

4.1.2. Waktu Analisis


Fase kemasakan merupakan hal yang sangat penting dalam
analisis jaringan tanaman. Rata-rata tanaman budidaya tumbuh selama
periode 100 - 150 hari, dan status haranya akan berubah selama periode
tersebut.
Tanaman muda yang cukup hara mungkin saja akan
kekurangan pada akhir pertumbuhannya. Akan tetapi kalau diperkirakan
40

akan terjadi defisiensi dan tanaman diuji lebih awal maka akan ada
peluang untuk mengoreksinya.
Pada umumnya fase pertumbuhan yang paling kritis untuk
analisis jaringan ialah pada saat pembungaan hingga awal fase
pembuahan. Selama periode ini penggunaan unsur hara mencapai
tingkat maksimumnya. Misalnya pada tanaman jagung seringkali diambil
daun di dekat tongkol pada saat muncul bunga jantan. Hasil analisis ini
hanya dapat dimanfaatkan untuk program pemupukan tanaman
berikutnya.
Waktu dalam seharian juga berpengaruh terhadap kadar nitrat
jaringan tanaman, pagi hari biasanya kandungan nitrat lebih tinggi
dibandingkan dengan siang hari, terutama kalau suplai nitrogen
terbatas. Nitrat terakumulasi pada malam hari dan digunakan pada siang
hari pada saat karbohidrat disintesis. Oleh karena itu uji nitrat jaringan
tanaman tidak boleh dilakukan pada saat terlalu pagi atau terlalu sore
hari. Beberapa hal penting adalah:
(1). Idealnya ialah mengikuti serapan unsur hara sepanjang
musim dengan melakukan uji lapangan lima atau enam kali.
Kadar hara seharusnya lebih tinggi pada awal musim
kalau tanaman tidak mengalami stress.
(2). Kebutuhan tanaman akan unsur hara umumnya mencapai
maksimumnya pada saat fase pembungaan. Kalau uji
lapangan hanya dapat dilakukan sekali selama musim
pertumbuhan tanaman, maka pada saat pembungaan inilah
waktu yang paling tepat.
(3). Pembandingan tanaman di lapangan sangat bermanfaat.
Tanaman dari daerah defisiensi diuji dan dibandingkan
dengan tanaman dari daerah normal.
(4). Tanaman sangat beragam, sehingga harus diuji 10-15
tanaman dan hasilnya dirata-ratakan.

4.1.3. Kegunaan
Uji jaringan tanaman dan analisis tanaman dilakukan karena
alasan-alasan berikut ini:
(1). Untuk membantu menentukan kemampuan tanah dalam
mensuplai unsur hara. Mereka digunakan bersama-sama dengan
hasil uji tanah dan informasi tentang sejarah pengelolaan lahan.
(2). Untuk membantu mengidentifikasikan gejala defisiensi dan
menentukan saat-saat kekurangan unsur hara sebelum muncul
gejala defisiensi.
(3). Untuk membantu menentukan efek perlakuan kesuburan terhadap
suplai unsur hara dalam tanaman. Hal ini akan sangat berguna
41

untuk mengukur efek tambahan pupuk meskipun tidak ada


informasi tentang respon hasil. Dalam beberapa kasus ternyata
unsur hara yang ditambahkan ke tanah tidak diasimilir karena
penempatannya yang salah, cuaca kering, pencucian, fiksasi atau
aerasi yang buruk.
(4). Untuk mengkaji hubungan antara status unsur hara tanaman dan
penampilan tanaman
(5). Untuk mensurvei daerah yang luas.

4.2. Interpretasi
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam kaitannya
dengan interpretasi diagnosis status hara tanaman adalah:
(1). Penampilan dan kesuburan tanaman secara umum
(2). Kadar hara-hara lain dalam tanaman
(3). Gangguan hama dan penyakit
(4). Kondisi tanah, aerasi dan kelembaban yang buruk
(5). Kondisi iklim, dan
(6). Waktu dalam seharian.

Kalau tanaman menunjukkan perubahan warna atau


pertumbuhan kerdil dan menunjukkan kadar N, P, dan K yang tinggi,
maka belum tentu bahwa unsur hara ini mencukupi kebutuhan tanaman.
Akan tetapi hal seperti ini menunjukkan bahwa beberapa faktor lain telah
membatasi pertumbuhan tanaman hingga taraf tersebut. Pada
umumnya nilai hasil uji N, P, atau K yang medium hingga rendah pada
awal musim pertumbuhan tanaman berarti bahwa tanaman tersebut akan
menghasilkan produk di bawah tingkat optimumnya. Pada periode
pembungaan nilai uji medium hingga tinggi pada kebanyakan tanaman
telah dianggap memadai.

4.2.1. Tingkat kritis unsur hara


Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, istilah
"tingkat kritis" biasanya berhubungan dengan ambang batas defisiensi
dan kecukupan. Tingkat kritis pada analisis tanaman ini mengikuti
hukum minimum, dan pada hakekatnya menggunakan pendekatan
yang sama dengan konsepsi yang dikembangkan oleh Cate dan
Nelson. Beberapa contoh tingkat kritis unsur hara tanaman disajikan
dalam Tabel 11.

Tabel 11. Tingkat kritis yang memisahkan keadaan defisiensi


dan kecukupan unsur hara dalam beberapa tanaman.
42

Unsur hara Tebu Padi Jagung Kedelai


Nitrogen %N 1.5 2.5 3.0 4.2
Fosfor %P 0.05 0.10 0.25 0.26
Kalium %K 2.25 1.00 1.90 1.71
Kalsium %Ca 0.15 0.15 0.40 0.36
Magnesium %Mg 0.10 0.10 0.25 0.26
Belerang %S 0.01 0.10 0.00 0.00
Boron ppm 1.00 3.40 10.00 21.00
Tembaga ppm Cu 5.00 6.00 5.00 10.00
Besi; ppm Fe 10.00 70.00 15.00 51.00
Mangan; ppm Mn 10-20 20.00 15.00 21.00
Molibdenum; Mo - - 0.1 1.00
Seng; ppm Zn 10.00 10.00 15.00 21.00
Silika; %Si - 5.00 - -
Sumber: Sanchez (1976).

4.2.2. Serapan hara sebagai sarana penduga


Kekurang-akuratan uji tanah untuk menangani problematik
nitrogen telah mendorong berkembangnya pendekatan lain dalam
mengestimasi dosis pupuk nitrogen. Bartholomew (1972)
mengungkapkan adanya hubungan yang konstan antara hasil biji serealia
dengan total serapan nitrogennya (termasuk serapan akar). Hubungan
seperti ini pada tanaman jagung, gandum dan padi disajikan dalam
Gambar 8. Slope dari kurva-kurva gambar ini menunjukkan bahwa
rata-rata kenaikan hasil jagung dan padi untuk setiap tambahan 1 kg
nitrogen adalah 30-35 kg biji, sedangkan gandum hanya 15-20 kg.
Kalau diketahui hasil tanaman tanpa pupuk (hasil ambang) dan batas
hasil konstan maksimum, maka dengan bantuan grafik ini dapat
ditentukan jumlah pupuk nitrogen yang diperlukan untuk meningkatkan
hasil tanaman hingga mencapai maksimumnya.

Hasil biji, ton/ha

12

padi
10 jagung
43

gandum
4

0 40 100 140 200 300 400

Total serapan N, kg N/ha

Gambar 8. Prosedur untuk menduga dosis pupuk N dari data serapan N


(Bartholomew, 1972).

Hubungan antara serapan N dengan hasil biji disajikan dalam


Gambar 8. Kalau misalnya hasil ambang tanaman jagung sebesar 4
ton/ha dan diketahui pula hasil tanaman jagung dengan pemupukan N
dan pengelolaan yang baik mampu mencapai 6 ton/ha, maka
tanaman akan menyerap ekstra nitrogen sebanyak 60 kg N/ha (100 -
40) untuk mencapai hasil 6 ton/ha.
Gambar 9 menunjukkan perbedaan efisiensi pemupukan nitrogen
pada jagung, padi dan gandum.

Hasil biji, ton/ha

12 REKOMENDASI PUPUK

10

8 padi jagung
44

4 gandum

60 100 200 300 400 500

Kebutuhan pupuk N, kg N/ha

Gambar 9. Prosedur untuk menduga dosis pupuk N dari data serapan


N (Bartholomew, 1972).

4.3. Analisis Total

Analisis total dilakukan pada keseluruhan tanaman atau pada


bagian-bagian tanaman. Teknik-teknik analisis yang tepat digunakan
pengukuran berbagai unsur setelah material tanaman dikeringkan,
dihaluskan, dan diabukan. Spektrograf dapat menentukan beberapa
unsur secara simultan dan "Atomic Absorption" menjadi semakin penting.
Dengan menggunakan metode kuantitatif seperti itu dapat
dideteksi perbedaan-perbedaan yang lebih kecil dibandingkan dengan uji
jaringan tanaman. Unsur hara yang telah diasimilasikan dan yang
belum diasimilasikan dapat dideteksi. Dengan teknik analisis total ini
dapat diukur berbagai macam unsur hara seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Mn,
Fe, Zn, Cu, B, Mo, Co, Si, dan Al.
Ada beberapa informasi yang menyatakan bahwa ada beberapa
jenis tanaman tertentu ternyata hubungan antara kadar kalium pada
daun di bagian bawah dengan kadar kalium dalam daun di bagian atas
merupakan indikasi defisiensi atau kecukupan. Kalau kadar kalium pada
daun bagian bawah lebih rendah dari kadar kalium pada daun di
bagian atas maka tanaman defisiensi kalium. Akan tetapi kalau kadar
45

kalium daun di bagian bawah sama atau lebih besar maka tanaman
tidak defisiensi kalium.
Untuk maksud-maksud tertentu ternyata uji jaringan tanaman
yang berwarna hijau ternyata lebih bermanfaat daripada analisis total.
Misalnya kalau suplai unsur hara dalam keadaan baru saja kekurangan,
maka masalah ini akan lebih mudah diketahui dengan uji jaringan.
Akan tetapi uji jaringan dan analisis total telah lazim digunakan dengan
berhasil untuk melacak status hara tanaman selama musim
pertumbuhannya.

4.3.1. Hasil Tanaman vs Kadar Hara dalam Tanaman


Hingga taraf tertentu, peningkatan dosis hara tanaman (seperti
misalnya nitrogen), akan meningkatkan kadar unsur dalam tanaman
dan hasil tanaman. Suatu teladan disajikan dalam Gambar 9, dimana
pemupukan nitrogen meningkatkan kadar N daun jagung sebanding
dengan peningkatan hasil.
Hubungan antara hasil jagung dengan kadar kalium daun jagung
disajikan dalam Gambar 10. Tampaknya zone kritis kadar kalium
berada di sekitar nilai kadar K sebesar 2%.
46

Peningkatan hasil, bu/ac

40

*
30 Y = 1.20 + 31.88 X * *
r = 0.96 * * * *
* *
* * * *
20 * * *
* * *
* * * * *
* * * * *
10 * * *
* *
*

0
Peningkatan % N

Gambar 10. Hubungan antara Kadar N daun jagung dengan hasil jagung
(Hanway, 1962).

4.3.2. Keseimbangan Unsur Hara

Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam


menginterpretasikan analisis tanaman adalah keseimbangan di antara
unsur hara. Pada kondisi lingkungan yang seragam tanaman akan
cenderung untuk menyerap jumlah yang konstan kation-kation hara,
termasuk ammonium, atas dasar kesetaraan. Demikian juga jumlah
anion-anion umumnya juga konstan. Misalnya kalium dalam tanaman
ditingkatkan, maka kalsium dan magnesium akan cenderung menurun,
dan sebaliknya (Gambar 11). Pemupukan dengan unsur hara tunggal
(misalnya N) juga mempengaruhi keseimbangan hara dalam tubuh
tanaman (Tabel 12).
47

Hasil jagung, kw/ha

1.2

0.6

o.0
0.2 0.6 1.0 1.4 1.8 2.2 2.6

Kadar K dalam daun, %K

Gambar 11. Hubungan antara kadar K daun pada saat pembungaan


jantan dengan hasil biji jagung (Loue, 1963, Dalam
Tisdale dan Nelson, 1975).

Tabel 12. Kadar N, P, dan K tanaman tebu sebagai akibat dari


pemupukan nitrogen

Dosis pupuk Internode 8-10


Nitrogen Nitrogen Fosfor Kalium
(lb/ac) .................. ppm ................
0 229 131 1160
300 463 57 340
Sumber: Burr, 1960 (Dalam Tisdale dan Nelson, 1975)

Kadar Ca atau Mg dalam daun, %


48

1.2 -

Ca

0.9 -

0.6 -

Mg
0.3 -

0.0

0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0

Kadar daun jagung, %

Gambar 12. Keseimbangan antara kadar K, Ca dan Mg dalam tanaman


(Loue, 1963, Dalam Tisdale dan Nelson, 1975).

4.3.3. Waktu Sampling


Kadar beberapa macam unsur hara dalam tubuh tanaman
dapat menurun dengan cepat dari periode awal musim hingga akhir
musim pertumbuhan tanaman (Gambar 13). Dengan demikian fase
pertumbuhan untuk sampling harus dipilih dan diidentifikasikan dengan
hati-hati.
49

Kadar K tanaman, %
14
300 hasil

12 - q/Ac 200
400
100
10 -

0
8 - 0 100 200 400
lb K2O/Ac

6 - 200

4 - 100

2 - 0

0 Awal Tengah Akhir


0 60 70 80 90 100
120

Hari setelah tanam

Gambar 13. Kadar kalium tangkai daun menurun dengan cepat sejalan
dengan pertumbuhan kentang (Tyler et al., 1960 Dalam
Tisdale dan Nelson, 1975).

4.3.4. Survei

Pengumpulan sampel-sampel tanaman dari banyak lapangan,


dengan analisis selanjutnya dengan spektrograf, akan memberikan
indikasi umum tentang kadar unsur hara. Memang untuk
memungkinkan interpretasi atas kadar-kadar hara ini harus
50

dibandingkan dengan tingkat kritis yang diperoleh dari petak-petak


(daerah) yang terkontrol. Metode ini sangat berguna untuk
mendapatkan informasi pendahuluan tentang unsur hara seperti Zn, B,
Co, dan Cu.

4.3.5. Penggunaan Rutin (Crop logging)


Analisis tanaman secara kuantitatif telah banyak digunakan
dalam penelitian untuk mendapatkan ukuran-ukuran lain dari efek
perlakuan. Akan tetapi tanaman-tanaman komersial seperti perkebunan
tebu, cengkeh, kopi, dan lain-lainnya dianalisis secara periodik. Dalam
hal seperti ini analisis tanaman harus dibarengi dengan analisis tanah dan
informasi tentang praktek budidaya tanaman.
Suatu sistem sampling tanaman secara intensif telah
dikembangkan oleh Clements (1960) untuk memonitor status unsur hara
dan air pada kebun tebu sebagai arahan bagi praktek pemupukan dan
irigasi. Setiap petak kebun tebu diambil sampelnya secara periodik
setiap 35 hari selama 6 bulan pertama musim pertumbuhannya, dan hasil
analisisnya digambarkan pada grafik-grafik "berputar" (running graphs).
Peta hara menunjukkan kadar N helai daun dan kadar P, K pelepah
daun. Informasi curah hujan, irigasi, temperatur dan tinggi tanaman
dicatat, demikian juga praktek pemupukan dan irigasinya. Kalau analisis
jaring-an tanaman dapat dilakukan secara cepat di laboratorium,
maka teknik "crop logging" ini mampu memberikan informasi yang
sangat baik tentang pertumbuhan tanaman dan dapat membantu
meningkatkan efisiensi pemupukan dan irigasi.

4.3.6. Teknik A-Value

Teknik analisis radio-kimia menggunakan material tanaman yang


ditanam pada tanah-tanah yang diperlakukan dengan pupuk yang
mengandung unsur radioaktif (seperti P) dapat digunakan untuk
menghitung suplai fosfor yang berasal dari tanah (A = tersedia). Hal ini
didasarkan atas kenyataan bahwa kalau tanaman diberi dua macam
sumber fosfor, yaitu P-tanah dan P-pupuk, maka mereka akan menyerap
dari masing-masing sumber tersebut sebanding dengan jumlah yang
tersedia. Hubungan ini dapat diformulasikan:

B (1-y)
A = ----------
y
51

dimana A adalah jumlah P-tanah yang tersedia (kg/ha), B adalah jumlah


pupuk P (kg/ha), dan y adalah fraksi P dalam tanaman yang berasal
dari pupuk. Kalau misalnya dosis pupuk yang diberikan sebesar 50
kg/ha dan sebanyak 20% unsur dalam tanaman berasal dari pupuk,
maka nilai A adalah 200 kg/ha.

5. Uji Biologis
Penggunaan tanaman yang sedang tumbuh telah menjadi
semakin menarik dalam kajian-kajian kebutuhan pupuk, dan telah
banyak perhatian yang diberikan terhadap penggunaan metode ini
untuk mengukur status kesuburan tanah.

5.1. Uji Lapangan


Metode petak-lapangan merupakan salah satu uji biologis yang
paling banyak dikenal. Serangkaian perlakuan yang dicobakan
tergantung pada permasalahan penelitian yang akan dikaji jawabannya.
Perlakuan-perlakuan ini dicobakan di lapangan dengan menggunakan
Rancangan Percobaan yang sesuai.
Percobaan-percobaan lapangan seperti ini berguna untuk
memformulasikan rekomendasi umum. Kalau banyak pengujian telah
dilakukan pada tanah-tanah yang telah diketahui karakteristiknya, maka
rekomendasi yang didasarkan pada kajian-kajian seperti itu dapat
diekstrapolasikan ke tanah-tanah lainnya yang mempunyai karakteristik
serupa. Percobaan lapangan sangat mahal dan memerlukan banyak
waktu, dan tidak dapat mengendalikan faktor-faktor iklim dan faktor
lainnya secara penuh. Akan tetapi metode percobaan lapangan ini
sangat bermanfaat dan banyak dilakukan oleh Kebun-kebun
Percobaan, meskipun mereka masih menghadapi beberapa kendala
serius dalam penentuan status hara dari banyak tanah

5.2. Petak Uji di Lahan Petani


Sebagian lahan milik petani diperlakukan dengan dosis pupuk
tertentu dalam rangka untuk menguji rekomendasi yang disusun
berdasarkan uji tanah dan analisis tanaman. Uji multi-lokasi seringkali
sangat diperlukan. FAO pernah menggelar program evaluasi
kesuburan tanah di daerah tropika dengan melalui percobaan
pengujian pupuk secara sederhana. Program ini bertujuan untuk
mengenalkan pupuk sebagai sarana untuk meningkatkan hasil tanaman
di daerah tropika (Mukerjee, 1963; Hauser, 1974).
Program ini menggunakan metode Mukerjee "method of
dispersed experiments". Asumsi dasarnya ialah bahwa kebutuhan pupuk
52

diestimasi dengan melakukan banyak percobaan pupuk tanpa ulangan


pada lahan petani yang dipilih secara acak. Individu-individu
percobaan yang terletak pada daerah (tipe tanah) yang seragam
dianggap sebagai ulangan. Individu percobaan melibatkan perlakuan
kombinasi perlakuan NPK faktorial 2x2x2. Dosis pupuk yang
digunakan agak rendah (20 dan 40 kg/ha) karena tujuannya adalah untuk
mencapai efisiensi maksimum dari investasi pupuk.

Tabel 13. Hasil-hasil percobaan pemupukan sederhana pada tanaman


jagung

Dosis pupuk (kg/ha) Hasil jagung (ton/ha)


N P2O5 K2O Isabela Luzon Tengah Bicol Peninsula
(20 percob.) (35 percob.) (14 percob.)
0 0 0 1.0 2.0 2.1
45 0 0 1.4 2.9 2.5
90 0 0 1.6 3.2 3.2
0 45 0 1.0 2.2 2.6
45 45 0 1.9 3.2 3.1
90 45 0 1.8 3.1 2.9
45 90 0 1.6 3.2 2.9
45 45 90 1.9 3.2 3.1

Salah satu dari hasil pengujian disajikan dalam Tabel 13. Pada
umumnya hasil hasiul percobaan ini menunjukkan bahwa peningkatan
hasil moderat dicapai pada dosis pupuk yang moderat. Metode seperti ini
mempunyai daya prediksi yang sangat terbatas karena mengabaikan
variabilitas lokal kondisi tanah, oleh karena itu tidak dapat disusun
rekomendasi yang sifatnya spesifik untuk suatu lokasi.

5.3. Uji Laboratorium dan Tumah Kaca

Teknik biologis yang lebih sederhana dan lebih cepat telah


dikembangkan dengan melibatkan tanaman dan jumlah tanah yang lebih
sedikit dalam percobaan di rumah kaca.
Salah satu pendekatan yang pernah dikembangkan adalah
didasarkan pada identifikasi defisiensi unsur hara dengan menggunakan
teknik “missing element” atau “minus one test”, atau “plus one test”.
Pada “minus one test” , perlakuan lengkap dianggap sebagai kontrol,
53

sedangkan perlakuan-perlakuan lainnya merupakan perlakuan lengkap


dikurangi satu macam unsur hara secara berturut-turut.
Menurut Chaminade (1972) , percobaan pot dengan teknik ‘minus
one test” ini dapat memberikan tiga macam informasi, yaitu (I) unsur hara
apa yang defisiensi, (ii) kepentingan relatif defisiensi, (iii) laju penurunan
kesuburan tanah pada panen yang berturutan kalau digunakan indikator
tanaman rerumputan (pasture). Dalam banyak kasus ternyata tahapan
yang dianggap masih lemah adalah penentuan dosis pupuk untuk
perlakuan lengkap. Kesalahan yang serius daat terjadi kalau dosis ini
ditetapkan secara sembarangan. Oleh karena itu diperlukan uji tanah
sebelum pelaksanaan percobaan rumah kaca.

5.3.1. Kultur Pot Mitscherlich

Dalam metode ini tanaman ditanam dalam pot hingga panen


dengan menggunakan sejumlah tanah tertentu. Perlakuan pupuk
dissuaikan dnegan tujuan percobaan, dan dapat dipilih rancangan
percobaan yang sesuai. Perlakuan kombinasi faktorial sering digunakan
dalam metode pengujian ini.

5.3.2. Metode Perkecambahan Neubauer


Metode ini berdasarkan kepada serapan unsur hara oleh banyak
tanaman yang ditumbuhkan pada sedikit tanah. Akar tanaman
menembus tanah secara intensif, menguras unsur hara tersedia dalam
waktu singkat. Unsur hara yang diserap tanaman ditentukan secara
kuantitatif dengan analisis kimiawi di laboratorium. Dalam beberapa hal
disarankan untuk memisahkan bagian tanaman di atas tanah dari akar
dan menganalisa secara terpisah. Cara ini sering digunakan dalam
mengevaluasi ketersediaan P, k, Ca dan unsur mikro dalam tanah.

5.3.3. Metode Kilat


Metode ini membantu untuk menjembatani kesenjangan antara
metode ekstraksi kimiawi dengan metode percobaan pot di rumah kaca.
Tanaman yang defisien unsur hara tertentu ditanam pada media pasir
dalam wadah yang bagian dasarnya berlubang. Akar yang tumbuh di
bagia dasar pada umur dua atau tiga minggu disinggungkan dengan
tanah atau tanah plus pupuk. Waktu penyerapan unsur hara dari tanah
ditetapkan selama satu minggu, kemudia tanaman dipanen dan dianalisis.
Serapan unsur hara dengan cara ini lazimnya berkorelasi dengan serapan
hara dalam percobaan pot di rumah kaca.

5.5. Metode Mikrobiologis


54

Winogradsky adalah salah satu orang pakar yang pertama kali


mengamati perilaku mikroorganisme yang serupa dengan perilaku
tanaman tinggi kalau mengalami kekurangan hara. Pertumbuhan
azotobacter ternyata dapat digunakan sebagai indikator keterbatasan
unsur hara dalam tanah, terutama kalsium, fosfor dan kalium. Indikator
ini ternyata lebih peka dibandingkan dengan metode kimiawi. Metode ini
relatif sederhana , cepat dan memerlukan sedikit ruangan.

5.5.1. Teknik Sackett dan Stewart


Teknik ini disusun berdasarkan hasil kerja Winogradsky dan
digunakan untuk mengkaji ketersediaan P dan K tanah-tanah di Colorado.
Suatu kultur dipersiapkan untuk masing-masing tanah, dibagi menjadi tiga
bagian untuk perlakuan P, K, dan PK. Kultur ini kemudian diinokulasi
dengan azotobacter dan kemudian diinkubasi selama 72 jam. Kemudian
tanah diklasifikasikan menjadi sangat efisien hingga tidak efisien,
berdasarkan jumlah pertumbuhan koloni.

5.5.2. Teknik Aspergilus niger


Untuk menentukan status P dan K maka sedikit tanah
diinkubasikan selama empat hari dalam gelas yang mengandung larutan
hara yang sesuai. Bobot miselium atau jumlah kalium yang diserapnya
digunakan sebagai ukuran defisiensi unsur hara. Mehlich menyarankan
suatu teknik yang lebih bagus dimana miselium jamur dianalisis
kaliumnya. Teladan kriterianya disjaikan dalam Tabel 14.
55

Tabel 14. Kriteria defisiensi kalium

Bobot empat Kalium yang diserap Derajat defisien si


buah "pad" (g). A. niger per 100 g tanah kalium
(mg)

< 1.4 < 12.5 Sangat defisien


1.4 - 2.0 12.5 - 16.6 Defisiensi ringan hingga
moderat
> 2.0 > 16.6 Tidak defisien
Sumber: Tisdale dan Nelson, 1975

Suatu modifikasi dari uji A. niger ini telah dilakukan oleh Mulder
untuk menentukan status Cu dan Mg dalam tanah. Suatu cara yang unik
ialah menentukan derajat defisiensi dengan menggunakan warna miselia
dan spora sebagai ukuran jumlah Cu atau Mg yang tersedia dalam
tanah. Organisme ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi
ketersediaan hara lain seperti Mo, Ca, dan Mn.

5.5.3. Metode Mehlich


Tanah dicampur dengan larutan hara dan dibuat menjadi struktur
pasta, kemudian ditaburkan pada cawan khusus, diinokulasi di
permukaan pasta tepat ditengah-tengahnya, kemudian diinkubasi selama
4-5 hari. Diameter pertumbuh-an miselium digunakan sebagai dugaan
ketersediaan fosfor.

6. Uji Tanah

Uji tanah merupakan metode kimiawi untuk mengestimasi


kemampuan tanah mensuplai unsur hara. Meskipun metode-metode
biologis untuk mengevaluasi kesuburan tanah mempunyai keuntungan-
keuntungan tertentu, namun kebanyakan dari metode ini memerlukan
banyak waktu, sehingga akan terdapat kesulitan kalau diterapkan pada
banyak contoh tanah. Sebaliknya uji tanah secara kimiawi, jauh lebih
cepat dan mempunyai keuntungan dibandingkan dengan gejala defisiensi
dan analisis tanaman karena metode ini dapat menentukan dugaan
kebutuhan hara sebelum tanaman ditanam.
Uji tanah mengukur sebagian dari total suplai hara dalam tanah.
Untuk dapat menggunakan hasil evaluasi ini untuk menduga kebutuhan
56

unsur hara suatu tanaman maka harus dikalibrasikan dengan percobaan


pemupukan di lapangan dan di rumah kaca.

6.1. Tujuan Uji Tanah


Informasi yang diperoleh dari uji tanah digunakan dalam banyak
hal.
(1). Untuk mempertahankan status kesuburan tanah di suatu bidang
lahan. Suatu usaha dilakukan untuk mengekstraks sebagian unsur
hara yang akan dikalibrasikan dengan kapasitas tanaman untuk
menyerap unsur hara dari tanah.
(2). Untuk memperkirakan peluang respon yang menguntungkan
terhadap kapur dan pupuk. Meskipun respon terhadap tambahan
hara tidak selalu dapat diperoleh pada tanah-tanah yang miskin
karena adanya faktor pembatas lainnya, namun peluang responnya
masih lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang nilai uji
tanahnya tinggi (tanah kaya).
(3). Untuk memberikan landasan bagi rekomendasi dosis kapur dan
pupuk.
(4). Untuk mengevaluasi status kesuburan tanah di suatu wilayah.

Dengan demikian secara sederhana tujuan uji tanah adalah untuk


mendapatkan "suatu nilai" yang akan membantu meramalkan jumlah
unsur hara yang diperlukan untuk menunjang suplai unsur hara dalam
tanah. Misalnya, tanah yang menunjukkan nilai uji tanah "tinggi" tidak
akan memerlukan banyak tambahan pupuk (Gambar 14).
57

Hasil Uji Proporsi sumber unsur hara tanah pada berbagai


Tanah nilai uji tanah

Sangat tinggi Tanah Pupuk

Tinggi Tanah Pupuk

Medium Tanah Pupuk

Rendah Tanah Pupuk

Sangat rendah Tanah Pupuk

Unsur hara Unsur hara dari pupuk


tersedia
dari tanah

Gambar 14. Keterkaitan antara hasil uji tanah dengan rekomendasi dosis
pupuk (Tisdale dan Nelson, 1975)

6.2. Pengambilan Contoh Tanah

Salah satu asek yang sangat penting dari uji tanah adalah cara
mendapatkan contoh tanah yang dapat mewakili daerah yang diuji.
Biasanya contoh tanah komposit sebanyak 500-1000 g diambil dari suatu
bidang lahan. Dengan demikian prosedur pengambilan contoh tanah
harus benar-benar diikuti. Analisis kmiawi di laboratorium menggunakan
contoh tanah. Kalau contoh tanah yang diambil tidak mewakili kondisi
lapangan maka hasil rekomendasinya juga akan keliru. Pada umumnya
kesalahan sampling tanah di lapangan lebih besar dibandingkan dengan
kesalahan di laboratorium.
58

6.2.1. Peralatan Sampling Tanah


Ada dua persyaratan penting bagi peralatan sampling, yaitu
(a). Dapat 'mengiris dan mengambil contoh' tanah secara seragam mulai
dari permukaan hingga kedalaman tertentu; dan (b). Dapat mengambil
sejumlah contoh tanah yang sama dari setiap area. Salah satu peralatan
yang lazim digunakan adalah bor tanah.

6.2.2. Daerah Sampling


Luas daerah yang dapat diwakili oleh satu contoh tanah sangat
beragam, sangat dipengaruhi oleh keragaman kondisi wilayah dan tujuan
evaluasi.

6.2.3. Banyaknya Sub-sampel


Setiap contoh tanah merupakan contoh komposit yang terdiri atas
tanah dari hasil pemboran yang dilakukan di beberapa titik. Satu contoh
tanah komposit untuk mewakili area tertentu disarankan terdiri atas 15 -
20 titik pemboran. Sanchez (1976) merekomendasikan suatu contoh
(sampel) tanah yang representatif harus terdiri atas 10-20 sub-sampel
daeri daerah perakaran tanaman di wilayah (lahan) yang tidak
menunjukkan variasi slope, drainase, warna dan sejarah pemupukan
yang mencolok.

6.2.4. Kedalaman Sampling


Untuk tanaman budidaya secara umum, contoh tanah biasanya
diambil hingga kedalaman olah yaitu 15-25 cm. Akan tetapi dalam
beberapa hal kedalaman pengolahan tanah hingga 30 cm, sehingga hal
ini juga harus diperhatikan dalam sampling tanah. Pengambilan contoh
subsoil disarankan untuk tanaman yang perakarannya cukup dalam,
seperti tebu dan teh (Wong, 1971)

6.2.5. Waktu Pengambilan Contoh


Contoh tanah dapat diambil setiap saat asalkan kondisi tanahnya
memungkinkan. Ada kalanya contoh tanah diambil pada saat tanaman
sedang tumbuh.

6.2.6. Menganalisis Contoh Tanah


Suatu uji tanah secara kimiawi harus dirancang untuk
memungkinkan perkiraan jumlah unsur hara yang berhubungan dengan
fraksi pertukaran kation, fraksi yang mengikat fosfat, dan dalam kondisi
tertentu diharapkan juga mampu memperkirakan unsur hjara yang
berhubungan dengan dekomposisi bahan organik. Sebagian besar kation
59

unsur hara yang tersedia bagi tanaman ditahan dalam bentuk kation-
tukar. Sedangkan di antara anion-anion hara ternyata fosfat paling kuat
diikat tanah, sulfat kurang kuat dan nitrat tidak ditahan oleh partikel-
partikel tanah.
Beberapa macam larutan pengekstraks telah banyak
digunakan dalam rangka untuk mengkorelasikan hasil uji tanah dengan
pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, perlu disadari bahwa larutan
pengekstraks mengadakan kontak dengan tanah hanya beberapa menit,
sedangkan tanaman menyerap hara dari tanah selama musim
pertumbuhannya. Menurut Bray (1948), tingkat kehandalan metode
ekstraksi ini ditentukan oleh tiga hal, yaitu (i) harus mampu mengekstraks
semua atau sebagian bentuk unsur hara tersedia dalam tanah yang
cirinya berbeda-beda, (ii) prosedur ekstraksinya harus cepat dan akurat,
(iii) jumlah unsur hara yang terkestraks harus berkorelasi dengan
pertumbuhan dan respon tanaman terhadap unsur hara yang terkait pada
berbagai kondisi.
Bahan organik tanah juga terlibat dalam penyediaan unsur hara.
Fraksi-fraksi tertentu dari bahan organik tanah mampu menahan kation
dalam bentuk dapat dipertukarkan; sedangkan fraksi lainnya dapat
terdekomposisi dan termineralisasi dengan melepaskan nitrogen, fosfat
dan sulfat. Kemasaman tanah juga merupakan karakteristik penting dan
seringkali mampu menjadi indeks yang baik untuk menggambarkan
beberapa kondisi tanah. Ia merupakan indikator kejenuhan basa,
kemungkinan keracunan atau defisiensi unsur-unsur tertentu.

(a). Kation
Prinsip dasar yang melandasi penentuan kation adalah
penggantian seluruh atau sebagian kation dari kompleks pertukaran
koloid tanah. Ammonium asetat merupakan pengekstraks yang lazim
digunakan untuk penentuan kalium, kalsium dan magnesium dalam
tanah. Umumnya contoh tanah dikeringkan lebih dahulu sebelum
ekstraksi untuk analisis kimia. Akan tetapi beberapa bukti penelitian
menunnjukkan bahwa serapan kalium oleh tanaman berkorelasi lebih
baik dengan kalium-tukar yang ditentukan dari contoh tanah yang tidak
dikeringkan. Hal ini diduga ada kaitannya dengan pelepasan atau fiksasi
kalium selama proses pengeringan tanah.
Persentase kejenuhan basa menunjukkan persentase dari
kapasitas tukar kation tanah yang ditempati oleh basa-basa tukar
termasuk ammonium, tetapi tidak termasuk H+ dan Al+++. Pentingnya
kejenuhan basa ini karena adanya kenyataan bahwa ketersediaan kation
tertentu bagi tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi kation lainnya.
60

(b). Fosfor
Larutan pengekstraks, mulai dari air, alkalin, hingga asam-asam
lemah yang dicampur dengan asam-asam yang relatif kuat dan
ammonium fluorida telah banyak digunakan untuk ekstraksi fosfat.
Metode ekstraksi Bray I yang menggunakan 0.025 N HCl + 0.03N NH4F
menunjukkan korelasi yang baik dengan A-value dalam percobaan rumah
kaca dan dengan respon tanaman. Metode Olsen yang menggunakan
0.5N NaHCO3 cukup baik pada tanah-tanah alkalin. Beberapa metode
ekstraksi P-tanah yang lazim digunakan di daerah tropis disajikan dalam
Tabel 15.

Tabel 15. Korelasi antara hasil uji P-tanah dengan fraksi P-anorganik
dalam tanah dari Bangladesh.

Uji tanah Pengekstraks Ca-P Al-P Fe-P


Olsen 0.5M NaHCO3 pH = 8.5 0.55 0.62 0.78*
Truog 0.002N H2SO4 pH = 3 0.90* 0.59 0.09
North Car. 0.025N H2SO4+0.05N HCl 0.88* 0.65* 0.06
HCl 0.3 N HCl 0.95* 0.70* 0.23
Bray 1 0.03 N NH4F+0.025N HCl 0.72* 0.73* 0.46
Bray 2 0.3 N NH4F+0.025N HCl 0.78* 0.74* 0.38
Schoefield 0.01M CaCl2 0.06 0.05 0.03
Morgan NaOAc + HOAc 0.79* 0.56 0.18
EDTA 0.02N Na2-EDTA 0.77* 0.95* 0.41
Sumber: Ahmed dan Islam (1975) Dalam Sanchez, 1976.

Setelah unsur hara diekstraks dari tanah, selanjutnya diperlukan


peralatan kuantitatif seperti Flame Photometer, Atomic Absorption dan
Spectronic untuk mengukur jumlah unsur hara yang terdapat dalam
ekstraks tanah.

(c). Unsur Mikro

Beberapa macam larutan pengekstraks digunakan untuk


ekstraksi unsir mikro dari tanah, tetapi yang sangat populer adalah agensi
khelat seperti DTPA, terutama untuk ekstraksi Zn, Cu, Mn dan Fe.
Kondisi pH dari ekstraksi dapat dikendalikan sehingga gangguan
terhadap kapur dan fraksi mineral dapat diminimumkan. Dua masalah
penting yang dihadapi oleh uji tanah untuk unsur mikro ini adalah
interpretasi hasil uji dan kendali laboratorium. Dalam kaitan ini, Cox dan
Kamprath (1971) mengemukakan beberapa faktor tanah yang
mempengaruhi interpretasi hasil analisis unsur mikro (Tabel 16).
61

Tabel 16. Metode uji tanah, faktor-faktor tanah yang mempengaruhi


interpretasinya, dan kisaran kritis unsur mikro.

Uns Faktor yang Metode Ekstraksi Kisaran


ur berpengaruh tingkat
hara
Esensia Probable kritis (ppm)
l
B Tekstur Kapur H2O panas 0.1-0.70
; pH
Cu B.O. Fe NH4C2H3O2 (pH 0.20
4.8)
0.5 M EDTA 0.75
0.43N HNO3 3-4.00
Biologis 2-3.00
Fe pH; Kapur NH4C2H3O2(pH 4.8) 2.00
DTPA+CaCl2(pH7.3) 2.5-4.5
Mn pH B.O. 0.05N HCl+0.025N 5-9
H2SO4
0.1N H3PO4 dan 3N 15-20
NH4H2PO4
Hydroquinone+ 25-65
NH4C2H3O2
H2O 2
Mo pH Fe, P, S (NH4)2C2O4 pH=3.3 0.04 – 0.2
Zn pH; P 0.1N HCl 1-7.5
kapur Dithizone+NH4C2H3O 0.3-2.3
2
EDTA+(NH4)2CO3 1.4-3.0
DTPA+CaCl2 pH 7.3 0.5-1.0

Sumber: Sanchez, 1976.

(d). Bahan Organik dan Nitrogen


Pengetahuan tentang kandungan bahan organik tanah sangat
penting untuk memperkirakan besarnya kapasitas tukar kation dan
kemampuan tanah untuk mensuplai nitrogen. Bahan organik tanah
biasanya ditetapkan dengan metode pembakaran basah dimana contoh
tanah diperlakukan dengan asam sulfat dan kalium dikhromat. Dengan
62

demikian fraksi yang tidak resisten, yang dikenal sebagai 'bahan organik
mudah dioksidasi' akan dapat dioksidasi.
Nitrogen tersedia juga ditentukan dengan oksidasi kimiawi
dimana tanah dicerna dengan natrium karbonat dan kalium permanganat
selama beberapa menit untuk mereduksi nitrogen menjadi ammonium.
Bartholomew (1972) mengelompokkan uji N-tanah menjadi tiga kategori:
(i) determinasi N-organik atau fraksi N-organik yang dapat diekstraks
secara kimiawi, (ii) metode inkubasi untuk mengevaluasi laju mineralisasi,
dan (iii) pengukuran langsung N-anorganik. Sayangnya tidak satupun dari
metode-metode ini yang memenuhi ketiga persyaratan yang dikemukakan
oleh Bray (1948).
Hasil-hasil yang konsisten dari uji nitrogen diperumit oleh
kenyataan bahwa ketersediaan nitrogen tergantung pada dekomposisi
bahan organik.
Kondisi lingkungan, terutama kelembaban dan suhu tanah,
mempengaruhi kecepatan dekomposisi bahan organik. Oleh karena itu
pada umumnya hasil uji nitrogen tanah tidak cukup handal untuk
memprediksi respon nitrogen. Matode lain, terutama percobaan lapang
dan serapan tanaman, lebih sering digunakan untuk mengevaluasi
kebutuhan pupuk nitrogen.
Uji nitrifikasi di laboratorium juga sering dilakukan. Tanah
diinkubasi pada kondisi kelembaban dan suhu optimum selama dua
minggu, pada akhir inkubasi ini nitrat dicuci dan diukur.

(e). Belerang
Penentuan kebutuhan belerang dengan menggunakan uji tanah
agak rumit karena adanya berbagai bentuk dan cara pengikatan belerang
oleh komponen-komponen tanah. Bahan organik tanah mengandung
belerang, sehingga ketersediaan belerang dalam tanah juga dikendalikan
oleh dekomposisi bahan organik. Sementara itu pengikatan sulfat pada
fraksi anorganik tanah dipengaruhi oleh banyak faktor. Dua macam
larutan pengekstraks belerang tanah yang lazim digunakan adalah air dan
Ca(H2PO4)2. Teknik pengukuran BaSO4 secara turbidimetri lazim
digunakan.
Pada umumnya uji tanaman untuk menduga kebutuhan belerang
tanaman agak lebih berhasil di62bandingkan dengan uji tanah. Pada
banyak tanaman seringkali digunakan indikator rasio N:S untuk
menyatakan kebutuhan tanaman akan belerang. Nilai rasio N:S sebesar
14:1 hingga 16:1 dianggap sebagai nilai yang "baik", sedangkan nilai rasio
lebih dari 17:1 menunjukkan perlunya pemupukan belerang.

(f). Kemasaman Tanah dan Kebutuhan Kapur


63

Penetapan kemasaman tanah (pH) dilakukan dengan peralatan


baku berupa pH-meter. Nilai pH tanah, bersama dengan kandungan
bahan organik, jumlah dan tipe liat menjadi bahan pertimbangan pokok
dalam menyusun rekomendasi kebutuhan kapur.

6.3. Korelasi dan Kalibrasi Uji Tanah

Aspek-aspek yang sulit dalam proses evaluasi kesuburan tanah


adalah korelasi, interpretasi dan rekomendasi, karena melibatkan
fenomena yang rumit. Nilai uji tanah itu sendiri belum mampu
memberikan banyak informasi, ia hanya merupakan nilai empiris yang
bisa atau tidak bisa mencerminkan ketersediaan unsur hara. Nilai ini akan
menjadi lebih bermakna kalau mempunyai korelasi yang baik dengan
respon tanaman. Kajian korelasi seperti ini biasanya dilakukan pada dua
tingkat, yaitu tingkat kajian di rumah kaca yang melibatkan berbagai
kondisi tanah, dan kajian lapangan yang lebih definit dengan melibatkan
lokasi (lapangan) yang dipilih secara hati-hati.
Pada hakekatnya tujuan pokok dari kajian korelasi di rumah kaca
adalah untuk membandingkan berbagai metode ekstraksi dan
menentukan tingkat kritis "tentatif". Sedangkan kajian lapangan bertujuan
untuk menetapkan tingkat kritis yang "definit" untuk suatu metode
ekstraksi yang terpilih.
Walaupun analisis tanah secara kimiawi masih dibayangi oleh
berbagai kesulitan, namun masalah terbesar dalam program uji tanah
adalah kalibrasi hasil uji. Pada hakekatnya hasil uji tanah dikalibrasikan
dengan respon tanaman terhadap pemupukan di lapangan. Respons
pertumbuhan dan hasil tanaman dari berbagai dosis pupuk dapat
dihubungkan dengan jumlah unsur hara yang tersedia dalam tanah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pertumbuhan dan hasil
tanaman merupakan fungsi dari banyak peubah, selain ketersediaan
unsur hara. Fitts (1955) mengelompokkan peubah-peubah ini menjadi
empat kategori, yaitu tanah, tanaman, iklim, dan pengelolaan. Apabila
hasil tanaman berkorelasi dengan suatu peubah tertentu, misalnya P-
tersedia dalam tanah, maka hal ini berarti bahwa P-tersedia tersebut
merupakan faktor pembatas yang lebih penting dibandingkan ppeubah-
peubah lainnya yang tidak dikendalikan dalam suatu kajian korelasi
(Gambar 15). Sebagai suatu teladan dapat dikemukakan hasil penelitian
Hauser (1973) tentang korelasi hasil analisis P-tanah dengan respon
kapas (Gambar 15).
Pengelompokkan hasil analisis P-tanah dikelompokkan menjadi
tiga kategori, yaitu rendah, medium dan tinggi. Dosis rekomendasi
64

didasarkan pertimbangan jumlah pupuk yang diperlukan untuk menaikkan


nilai analisis P-tanah menjadi kategori "tinggi".
Suatu pendekatan lain ialah menggambarkan hubungan antara
persentase hasil (hasil relatif) dengan nilai uji tanah. Tingkat kritis
seringkali ditetapkan sekitar 75% hasil relatif.
65

Respon hasil kapas, kg/ha

200-

* * r = - 0.61
* *
* * * * *
100-
* * *
* * * * *

* * * * * *

0.0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 22

Hasil analisis tanah, ppm P

200 -

150 -

100 - Garis biaya

50 -

Rendah Medium Tinggi

2 4 6 8 10 12 14 16 18 22

Hasil analisis tanah, ppm P

Gambar 15. Korelasi antara hasil analisis P-tanah dekategori hasil uji
tanah
66

Cate dan Nelson (1965) mengemukakan suatu metode plotting


hasil relatif (persen dari hasil maksimum) sebagai fungsi dari nilai-nilai
analisis tanah (Gambar 16). Diagram pencar titik-titik dibagi menjadi
empat kuadran oleh garis vertikal dan horisontal. Kedua garis ini digeser-
geser sedemikian rupa sehingga banyaknya titik-titik yang berada pada
kuadran kiri bawah dan kanan atas mencapai maksimum, dan titik-titik
yang berada pada kuadran kiri atas dan kanan bawah mencapai
minimum.

Persentase hasil tebu

100 -
* * * * *
* * * *
* * * *
75 - * * * * * * * *
* * *
* * * *
*
* *
50 - * * * *
* *
*
* *

25 - *
*
Tingkat kritis
*
*
0.0
0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
P - Bray I (ppm)

Gambar 16. Analisis data tebu dari Pernambuco, Brazil dengan metode
Cate dan nelson. Setiap titik mencerminkan suatu petak
kebun tebu (Sumber: ISFEIP, 1967. Dalam Sanchez, 1976).

Pada situasi seperti ini maka titik perpotongan antara garis


vertikal dengan sumbu horisontal (hasil analisis tanah) dianggap sebagai
"titik kritis" untuk hasil analisis tanah yang bersangkutan.
67

Sedangkan titik perpotongan antara garis horisontal dengan


sumbu vertikal (hasil relatif) merupakan pembatas antara tanah-tanah
yang respon tinggi dengan tanah-tanah yang respon rendah. Oleh
karena itu tingkat kritis membagi titik-titik data menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok respon hasil sangat besar dan kelompok yang mungkin
tidak respon.
Keuntungan dari metode Cate dan Nelson ini ialah karena ia
sejalan dengan keterbatasan uji tanah, metode ini hanya memisahkan
tanah-tanah yang respon terhadap penambahan pupuk dari tanah-tanah
yang tidak respon. Selain itu metode ini juga mampu menunjukkan tanah-
tanah yang tidak sesuai dengan metode ekstraksi yang digunakan (yaitu
titik-titik yang berada dalam kuadran kiri atas dan kanan bawah).
Berbagai laboratorium uji tanah mengklasifikasikan tingkat
kesuburan tanah (empris) menjadi sangat rendah, rendah, medium,
tinggi, atau sangat tinggi, berdasarkan atas hasil-hasil uji kimiawi.
Beberapa pakar yang berwenang lainnya juga telah mengembangkan
suatu indeks kesuburan tanah. Indeks ini pada hakekatnya merupakan
kecukupan relatif yang dinyatakan sebagai persentase dari jumlah yang
diperlukan untuk mencapai hasil maksimum. Nilai-nilai persentase
tersebut dapat dikonversi menjadi kg/ha. Suatu teladan disajikan dalam
Tabel 17.

Tabel 17. Teladan Indeks Kesuburan Tanah

Tingkat kesuburan Indeks kesuburan; %

Sangat rendah 0 - 50
Rendah 60 - 70
Medium 80 - 100
Tinggi 110 - 200
Sangat tinggi 210 - 400
Ekstrim tinggi > 400

Peluang respon tanaman terhadap pemupukan pada berbagai


macam kondisi tanah yang mempunyai hasil uji tanah berbeda-beda telah
banyak dibicarakan para pakar. Konsepsi umum disajikan dalam Gambar
17. Seringkali kalibrasi uji tanah juga dipersulit oleh adanya kenyataan
bahwa banyak faktor selain kesuburan tanah juga mempengaruhi respon
tanaman. Varietas tanaman sangat menentukan responnya terhadap
pemupukan, perbedaan sangat jelas dapat diketemukan antara varitas
unggul dan lokal (Tabel 18).
68

Peluang tambahan hasil


yang menguntungkan

1.00 -

0.85

0.60

0.40

0.15

0.0

Sgt rendah Rendah Medium Tinggi Sgt Tinggi


Tingkat kesuburan tanah

Gambar 17. Hubungan antara tingkat kesuburan tanah dengan besarnya


peluang untuk mendapatkan respon tanaman yang
menguntungkan (Fitts, 1955. Dalam Tisdale dan Nelson,
1975).
69

Tabel 18. Respon padi unggul dan lokal terhadap pupuk kalium

Hasil tanaman pada perlakuan:


Varietas Tanpa kalium Pupuk 300 kg K2/ha
............. ton/ha .................
Varietas lokal 1.7 1.9
Varietas 1.4 4.8
unggul
Sumber: Tisdale dan Nelson, 1975.

6.4. Interpretasi dan Rekomendasi

6.4.1. Filosofi Interpretasi Uji Tanah


Banyak perkembangan telah terjadi dalam bidang pengukuran
jumlah unsur hara yang tersedia dalam tanah. Akan tetapi masalah
besar yang masih tetap dihadapi ialah bagaimana menginterpretasikan
hasil-hasil uji dalam rangka menentukan kebutuhan pupuk. Derajat
ketelitian ditentukan oleh banyak faktor, termasuk pengetahuan tentang
tanah, tingkat hasil yang diharapkan, taraf pengelolaan, dan cuaca.
Konsepsi tentang persentase hasil didasarkan pada gagasan
bahwa hasil yang diharapkan (sebagai persentase dari hasil
maksimum) diramalkan dari analisis P dan K tanah (Gambar 18). Pupuk
ditambahkan secukupnya untuk meingkatkan hasil hingga mencapai
hasil relatif 95% atau lebih. Konsepsi ini dapat diterapkan pada
berbagai kondisi, tetapi interaksi-interaksi di antara unsur hara dapat
menyebabkan penyimpangan. Ketika konsepsi ini dikembangkan oleh
Bray, ia menyatakan bahwa konsep ini hanya berlaku kalau populasi
dan model jarak tanamnya sama dan pada kondisi tanah dan fluktuasi
musiman yang sama. Perbedaan populasi tanaman akan
mengakibatkan perbedaan respon tanaman terhadap pupuk (Tabel 19).

Tabel 19. Respon tanaman jagung terhadap pemupukan

Populasi tanaman Respon terhadap pemupukan:


per Acre 100 lb P2O5 200 lb K2O
......... bu/Acre ...........
15 700 2 21
24 500 22 39
Sumber : Tisdale dan Nelson, 1975
70

6.4.2. Model-model matematik

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tingkat kritis


memisahkan tanah-tanah yang respon pupuk dengan tanah-tanah
yang tidak respon pupuk. Akan tetapi konsepsi tingkat kritis ini belum
mampu memberikan informasi tentang rekomendasi pupuk.
Tujuan dari interpretasi uji tanah ialah untuk menetapkan
berapa banyak unsur hara harus diberikan untuk mencapai respon hasil
tertentu di dalam kategori tanah-tanaman yang diperkirakan (Waugh et
al., 1973).
Suatu kategori tanah-tanaman menyatakan bahwa interpretasi
harus dibedakan antara tanah-tanah yang terletak di atas dan di bawah
tingkat kritis, dan juga harus dibedakan antar jenis tanaman.
Dalam kajian-kajian korelasi uji tanah, ada dua model
matematik yang lazim digunakan, yaitu (i) model kontinyu (kurvilinear)
dan model diskontinyu (linear).
Model-model kontinyu klasik berdasarkan pada hukum
tambahan hasil yang semakin menurun; dimana suatu fungsi kurvi-linear
yang cocok digunakan untuk mendekati data respon hasil. Fungsi-fungsi
yang lazim digunakan adalah kuadratik, fungsi akar kuadrat, logaritmik,
dan Mitscherlich. Dosis pupuk optimum sesuai dengan suatu titik pada
kurva dimana revenue-marjinal sama dengan biaya-marjinal. Titik ini
dapat ditentukan secara matematik atau secara grafik dengan jalan
menggambarkan garis rasio harga/biaya dalam diagram respon hasil.
Hasil optimum terjadi pada titik dalam kurva yang slope garis
singgungnya sama dengan slope garis biaya (Gambar ). Persamaan
respon hasil juga dapat dikembangkan sesuai dengan
pengelompokkan tanah selama kajian korelasi uji tanah. Persamaan
respon hasil dapat dikembangkan untuk tanah-tanah yang berada dalam
kategori "uji tanah rendah". "uji tanah medium" dan "uji tanah tinggi"
(Gambar 19).
71

% hasil maksimum

100 -
kedelai

75 jagung gandum, clover, alfalfa

50 -

25 -

0.0
0 20 30 40 50 60

Hasil uji P-tanah, lb/ac.

Gambar 18. Kebutuhan tanaman akan unsur hara fosfor beragam di


antara jenis tanaman dan tingkat hasil (Bray, 1961. Dalam
Tisdale dan Nelson, 1975)

Gambar 19 ini juga menyajikan suatu modifikasi penting, yaitu


kisaran optimum dan bukannya titik optimum. Kisaran A dan C
menyatakan rekomendasi untuk mencapai profit per hektar yang
tertinggi; sedangkan kisaran B dan D mencerminkan biaya pemupukan
lebih rendah dan keuntungan per satuan pupuk lebih tinggi.
72

Respon tanaman, kg/ha

300 -
uji tanah rendah

225 -

150 - garis biaya


uji tanah medium

uji tanah tinggi


75 -

o.0
0 1 2 3 4
Dosis pupuk

Gambar 19. Grafik interpretasi, menggunakan fungsi respon kurvilinear


kontinyu. Tanda panah menyatakan dosis optimum
secara ekonomis (Sumber: Sanchez, 1976)

Model "linear response and plateau" telah dikembangkan oleh


Waugh, Cate, dan Nelson. Model ini berdasarkan pada hukum minimum
Liebig dan model korelasi Cate-Nelson. Model respon ini pada
hakekatnya terdiri atas dua garis lurus (Gambar 20).

Hasil tanaman
73

Batas genetik

Hasil yang dibatasi


oleh unsur hara D

Hasil konstan untuk B


Hasil ambang Hasil yang dibatasi
untuk unsur B oleh unsur hara C

Hasil konstan untuk A

Hasil yang dibatasi


oleh unsur hara B
Hasil ambang
untuk unsur A

A AB ABC ABCD

Dosis pupuk meningkat


Unsur hara A, B, C, dan D ditambahkan

Gambar 20. Model respon linear dan mendatar (Linear Response


and Plateau, LRP) yang didasarkan pada hukum minimum
Liebig (Sumber : Waugh et al., 1973).

Garis pertama mencerminkan daerah respon tinggi, dan


garis ke dua yang mengikutinya mencerminkan daerah tidak
respon (garis horisontal). Hasil ambang adalah hasil tanaman yang
tidak diberi pupuk (misalnya unsur hara X), sedangkan hasil-
konstan menyatakan hasil tanaman dimana unsur hara (unsur X)
tidak lagi menjadi faktor pembatas. Hasil-relatif adalah hasil-
ambang dibagi dengan hasil-konstan.
Dosis rekomendasi adalah dosis pupuk yang diperlukan untuk
mencapai hasil-konstan. Kalau unsur hara X tidak lagi menjadi faktor
pembatas, maka unsur lainnya mungkin menjadi faktor pembatas. Hasil-
74

ambang terakhir mencerminkan efek faktor pembatas genetik dan peubah


lain.

6.4.3. Rekomendasi untuk Berbagai Tingkat Hasil

Interpretasi hasil-hasil uji tanah melibatkan evaluasi ekonomi


tentang hubungan antara nilai uji tanah dengan respon pupuk. Akan
tetapi pada kenyataannya respon potensial beragam dengan faktor
tanah, cuaca, dan kemampuan pengelolaan budidaya oleh petani
(Gambar 21).
Sehubungan dengan hal tersebut, rekomendasi pupuk bisa
beragam sesuai dengan tingkat hasil yang diinginkan (Tabel 20). Dosis
rekomendasi pupuk N tergantung pada polatanam sebelumnya dan
sasaran hasil.
Kalau teknologi dan praktek pengelolaan tanaman menjadi lebih
baik atau insentif ekonomis meningkat, maka potensial hasil dan
rekomendasi pupuk dapat ditingkatkan. Bagi para petani komersial
biasanya sasarannya ialah mempertahankan unsur hara pada tingkat
yang mampu mempertahankan keuntungan maksimum setiap hektar
lahan. Hal ini berarti bahwa unsur hara tidak boleh menjadi faktor
pembatas selama pertumbuhan tanaman, mulai dari perkecambahan
hingga panen.
75

Hasil

160 -

140 D

120 C

100 -

80 B

60
A

40 -

0 1 2 3 4 5
Dosis pupuk yang ditambahkan

Gambar 21. Respon hasil tanaman terhadap pemupukan tergantung


pada tingkat hasil potensial. A. Potensial paling rendah; D.
Potensial paling tinggi (Barber, 1971. Dalam Tisdale dan
Nelson, 1975)

Tabel 20. Rekomendasi pupuk N dan P untuk jagung


76

Uji tanah; P1 Sasaran hasil; bu/Acre


(lb/P/Acre) 100-124 125-149 150-174 > 175
..... Dosis pupuk tahunan P2O5; lb/Ac
0- 9 70 80 90 100
10-19 60 70 80 90
20-29 50 60 70 80
30-59 40 50 60 70
60-99 30 40 50 60
> 100 20 20 25 30
....... Dosis pupuk N ...........
Jagung terus- 140 180 220 260
menerus
Sumber: Tisdale dan Nelson, 1975.

6.4.2. Tipe-tipe Rekomendasi

Pada umumnya ada empat macam alternatif tindakan kalau


tanah miskin P atau K.

(1). Pupuk Dasar.


Pemupukan dengan maksud korektif dilakukan untuk
meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah hingga taraf
tertentu. Misalnya, tambahan pupuk 10 kg P2O5 akan meningkatkan
nilai uji P1 sebesar satu kg, dan penambahan sekitar 3 kg K2O akan
emningkatkan nilai uji tanah K sebesar satu kg. Akan tetapi seringkali
jumlah pupukyang harus ditambahkan sangat beragam tergantung
pada tekstur tanah. Tanah diuji kembali dalam 2-3 tahun untuk
melihat apakah koreksi pemupukan diperlukan lagi. Kemudian
penambahan dosis pupuk dilakukan untuk menggantikan kehilangan
hara dari tanah, melalui panen, erosi, pencucian dan fiksasi.

(2). Pemupukan musiman


Pupuk N, P dan K dapat ditambahkan kepada setiap musim
tanam dalam sistem rotasi tanaman. Praktek seperti ini mungkin dapat
mengakibatkan peningkatan ketersediaan hara dalam tanah atau paling
tidak mempertahankan tingkat ketersediaan unsur hara dalam tanah.
Pendekatan pemupukan seperti ini mungkin lebih sesuai kalau kapital
petani terbatas, lahan yang dipupuk masih baru diusahakan, atau
lahan sewaan. Hasil tanaman akan tidak terlalu tinggi, dan keuntungan
per hektar lahan lebih rendah, tetapi keuntungan per satuan biaya akan
lebih tinggi dibandingkan dengan metode pemupukan dasar.
77

(3). Rotasi Tanaman


Dalam suatu sistem rotasi, misalnya jagung-kedelai, umumnya
petani hanya memupuk tanaman jagung. Akan tetapi harus diingat
bahwa setiap tanaman dalam sistem rotasi menyerap sejumlah unsur
hara dari tanah. Teladan untuk jagung dan kedelai disajikan dalam
Tabel 21.

Tabel 21. Jumlah unsur hara dalam hasil biji

Hasil biji N P2O5 K2O

150 bu biji jagung 135 60 40


50 bu biji kedelai 200 40 70
Total 335 100 110
Sumber: Tisdale dan Nelson, 1975.

Dalam program pemupukan sistem rotasi tanaman harus


diperhatikan beberapa hal berikut:

(a). pupuk diberikan sebelum tanaman yang paling responsif dan


menguntungkan,
(b). pupuk fosfat diberikan di dekat tanaman jagung
(c). tanaman hijauan pakan menyerap banyak kalium, sehingga
pemupukan musiman diperlukan untuk mempertahankan hasil
(d). Kedelai lebih respon terhadap tingkat kesuburan tanah yang tinggi
daripada pemupukan langsung. Akan tetapi pada tanah-tanah
yang kurang subur diperlukan pemupukan langsung pada kedelai.

(4). Sistem Penggantian


Kalau ketersediaan P dan K tanah ditingkatkan hingga taraf yang
dibutuhkan, maka rekomendasi pupuk selanjutnya dilakukan dengan
tujuan untuk menggantikan kehilangan unsur hara sesuai dengan
tingkat hasil yang diharapkan. Misalnya kalau thasil biji kedelai
sebesar 50 kg dan mengambil 3/4 kg P2O5 dan 1.4 kg K2O per ha,
maka dosis pupuk yang mungkin dapat disarankan adalah 40 kg P2O5
dan 70 kg K2O.

Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam sistem seperti di


atas, yaitu:
(a). Pada tanah-tanah yang mempunyai kemampuan besar untuk
mensuplai unsur hara, maka rekomendasi pupuk hanya 50% dari
kehilangan hara
78

(b). Berapa tingkat ketersediaan unsur hara dalam tanah yang


dianggap cukup?
(c). Apakah petani masih ingin meningkatkan dosis pupuk kalau
potensial hasil tanamannya meningkat?
(d). Kandungan P, K, dan unsur hara lain dalam hasil tanaman
beragam
(e). Apakah pemupukan hanya ditujukan untuk menggantikan jumlah
hara yang hilang agar tingkat kesuburan tanah dapat
dipertahankan? Hal ini akantergantung pada fiksasi dan
pelepasan unsur hara dalam tanah dan kehilangan-kehilangan
lainnya.
(f). Kalau sejumlah pupuk ditambahkan ke tanah apakah dapat
diharapkan tanaman mampu 100% efisien menyerap unsur
haranya?
(g). Dalam beberapa kondisi tanah tertentu, jumlah pupuk yang diper-
lukan setara dengan jumlah kehilangan ditambah 10-25%-nya.

Konsekwensi dari strategi pemupukan yang bertumpu kepada


penggantian unsur hara yang hilang adalah bahwa tanah harus
dipantau secara periodik. Pemantauan ini dilakukan untuk menentukan
apakah tingkat kesuburan tanah menurun atau meningkat.

6.4.3. Nitrogen

Rekomendasi pemupukan nitrogen sangat tergantung pada


banyak faktor termasuk jumlah nitrat dalam profil tanah, jenis tanaman
musim sebelumnya, sasaran hasil, dan pemupukan yang dilakukan
pada musim sebelumnya. Kalau hasil potensial meningkat, kebutuhan
nitrogen juga sangat meningkat karena unsur ini bersifat mobil.

6.4.4. Metode Resep


Metode resep untuk menyusun rekomendasi pupuk pada
hakekatnya didasarkan pada gagasan bahwa tanaman dapat hidup
'aman' dengan memanfaatkan jmlah tertentu N, P, dan K yang
terkandung dalam tanah, rabuk, dan pupuk. Kalau jumlah unsur hara
yang diperlukan untuk mencapai tingkat hasil tertentu dapat diketahui,
maka jumlah tambahan lewat pupuk dan/atau rabuk dapat
diperhitungkan. Prinsip yang melandasi metode ini ialah
memformulasikan rekomendasi pupuk yang sesuai dengan kebutuhan.
Kebutuhan ini ditentukan oleh sistem rotasi tanaman, pengelolaan
tanaman, analisis tanah, dan tanaman yang akan ditanam.
79

Beberapa metode telah banyak dipraktekkan. Suatu teladan


pendekatan yang lazim dipraktekkan memberikan hasil seperti Tabel
22. Perhitungan yang serupa juga telah dapat dilakukan untuk tanaman
lain seperti serealia, legume, kentang, tomat, dan beet.
Pengalaman membuktikan bahwa metode ini mempunyai
banyak keterbatasan. Keterbatasan ini berkaitan dengan metode
pengukuran ketersediaan unsr hara dalam tanah, prosedur uji tanah
bergaam antar daerah sehingga resep harus terkait dengan prosedur
ini; ketersediaan unsur hara dari pupuk dan rabuk sangat ditentukan
oleh tanaman, tanah dan iklim.

Tabel 22. Estimasi persentase N, P, dan K dalam tanah, rabuk dan


pupuk yang terseia bagi suatu tanaman (misalnya jagung)
selama satu musim

Sumber Persentase yang diperoleh selama satu musim:


Nitrogen Fosfor Kalium
Tanah (tersedia) 40 40 40
Rabuk (Total) 30 30 50
Pupuk (tersedia) 60 30 50
Sumber: Berger, 1954 (Dalam Tisdale dan Nelson, 1975)
80

UJI pH TANAH DAN KEBUTUHAN KAPUR

1. Uji pH Tanah

1.1. Faktor Intensitas Kemasaman Tanah

Salah satu atribut penting dari sumberdaya tanah adalah pH nya.


Apakah reaksi tanah bersifat masam, netral atau alkalis, banyak berkaitan
dengan kelarutan berbagai senyawa dalam tanah, kekuatan ikatan ion
pada tempat pertukaran, dan aktivitas jasad renik. Thomas (1957)
mengemukakan bahwa tiga kisaran pH tanah mempunyai makna
informatif sangat khusus, yaitu pH kurang dari 4.0 menyatakan adanya
asam-asam bebas yang biasanya berasal dari oksidasi sulfida; pH di
bawah 5.5 menyatakan adanya Al-tukar, dan pH 7.8 hingga 8.2
menyatakan adanya CaCO3. pH tanah merupakan faktor intensitas
analog dengan tekanan udara dalam suatu tabung. Kebutuhan kapur
(kemasaman total) merupakan faktor kapasitas seperti total isi udara
dalam wadah tersebut.

1.2. Definisi pH

Konsep pH didasarkan atas hasil kali ion dari air murni. Air
berdisosiasi sangat sedikit:

H2O ====== H+ + OH-

Kw = [H+][OH-] = 10-14 pada suhu 23oC.

Simbol Kw dan [ ] menyatakan hasil kali ion air dan konsentrasi


masing-masing komponen ion dalam mole per liter larutan. Karena [H+] =
[OH-] dalam air murni suhu 23oC, masing-masing sama dengan û10-14 =
10-7.
Kalau dalam suatu larutan [H+] lebih besar dari [OH-] maka ia
bersifat masam, dan kalau sebaliknya akan bersifat alkalis. pH suatu
larutan didefinisikan sebagai suatu logaritma negatif (basis 10) dari
konsentrasi ion hidrogen, atau logaritma kebalikan konsentrasi ion
hidrogen:

pH = -log [H+] = log 1 / [H+]


81

Dengan demikian pH air murni pada suhu 23oC adalah 7,


sedangkan larutan masam pHnya kurang dari 7 dan larutan alkalis
mempunyai pH lebih dari 7. Pada suhu 100oC pH air murni 6.0,
sedangkan pada suhu 0oC pH nya 7.5. Dengan demikian disarankan
untuk melakukan pengukuran pH pada suhu kamardan menyesuaikan pH
meter dengan suhu larutan yang akan diukur.
Hanya ion hidrogen yang terdisosiasi saja (H+) yang mampu
mempengaruhi elektrode sensor, sehingga hidrogen yang tidak
terdisosiasi tidak termasuk dalam pengukuran pH.

1.3. Signifikansi pH tanah


Kalau konsep pH diterapkan ke dalam sistem koloidal seperti
tanah masam, fraksi hidrogen yang terdisosiasi kurang dari satu dan
beragam dengan tipe liat dan komponen bahan organik. Dengan demikian
biasanya tidak mungkin dapat dihitung total kemasaman dari pH. Akan
tetapi dengan bekal pengetahuan yang memadai tentang tanah yang
diamati maka dapat diperkirakan tingkat kemasaman tanah berdasarkan
nilai pH nya. pH tanah dapat mengisyaraktan hal-hal penting seperti
persentase kejenuhan basa yang tergantung pada dominasi tipe liat
(Gambar 22, diadopsi dari Mehlich, 1943). pH juga dapat
menginformasikan derajat disoasiasi ion H dari tapak jerapan atau tingkat
pembentukan ion H+ dari hidrolisis Al. Karena kebanyakan hara esensial
dalam tanah ketersediaannya mencapai maksimum pada kisaran pH 6-7
dan menurun di luar kisaran ini, maka pH tanah juga merupakan indikasi
ketersediaan relatif unsur hara.
82

pH

8.0 -

7.0 -

6.0 - Kaolinit Beidellite

5.0

Bentonite
4.0

0 20 40 60 80 100

Kejenuhan basa, %

Gambar 22. Pengaruh mineral liat terhadap pH pada berbagai kondisi


kejenuhan basa.

1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pH

Beberapa faktor mempengaruhi pH tanah. Sebagian dari faktor ini


dapat dengan mudah divariasikan sedangkan faktor lainnya tidak dapat
divariasikan.

1.4.1. Derajat disosiasi H+


Berbagai koloid tanah mengandung jumlah gugusan hidroksil
yang berbeda-beda. Setiap gugusan OH ini melepaskan atau
mendisosiasikan ion H+ nya pada kisaran pH tertentu. Kalau base
ditambahkan untuk menaikkan pH melampaui kisaran tertentu, ion H+
yang terionisasi akan dinetralkan dan kation basis terjerap kepada
muatan yang terbentuk. Tetapi fraksi H+ yang terdisosiasi pada pH
tertentu sangat beragam dan tergantung pada tipe dan jumlah gugusan
OH yang ada dalam tanah (Jackson, 1958). Demikian juga, karena pH
adalah logaritmik, maka jumlah ion H+ pada pH 5 sebesar 10 kali dari
jumlahnya pada pH 6. Dengan demikian kalau peningkatan kapur secara
83

sekuensial menyebabkan peningkatan linear pH tanah antara 4.8 dan 6.2


(Jackson, 1958; Shoemaket et al., 1962), persentase disoasiasi H+ tentu
mendekati 10 kali lebih besar pada pH 5 dibandingkan dengan pH 6.

1.4.2. Tipe kemasaman

Walaupun jumlah ion H yang dijerap kepada ikatan elektrostatis


tidak terlalu banyak (Jackson, 1960), namun keberadaannya
membayangkan kecenderungan yang besar untuk berdisoasiasi
dibandingkan dengan gugusan OH. Demikian juha Al3+ mengalami
hidrolisis menjadi Al(OH)2+ plus H+ (Al3+ + H2O > Al(OH)2+ +H+) pada
nilai pH yang lebih tinggi daripada ikatan elektrostatika. Demikian juga
Al(OH)2+ atau Al(OH)2+ mengalami hidrolisis membentuk H+ pada nilai
pH yang masih lebih tinggi (Jackson, 1960).

1.4.3. Nisbah tanah-larutan

Kalau semua kondisi sama, semakin banyak air yang


ditambahkan ke contoh tanah, akan semakin tinggi pH nya (efek
pengenceran). Memang dalam kebanyakan tanah kondisinya tidak sama,
sehingga pengenceran H+ akibat penambahan air akan diimbangi oleh
adanya disoasiasi Hµ+µ. Barangkali nisbah tanah:larutan yang paling
lazim digunakan untuk pengukuran pH tanah adalah 1:1; akan tetapi
nisbah 1:2 juga sering digunakan.

1.4.4. Kandungan garam atau elektrolit


Disamping ion-ion hidrogen yang terdisosiasi dari tapak jerapan
atau yang terlepaskan dari reaksi hidrolisis seperti yang dijelaskan di
atas, ion-ion hidrogen juga dapat berasal dari garam-garam yang terdapat
dalam tanah. Garam-garam ini juga dapat mengakibatkan meningkatkan
hidrolisis ion Al da Fe yang pada akhirnya juga menambah ion hidrogen
dalam larutan tanah (Coleman et al., 1964). Akibat dari proses-proses ini
adalah menurunnya pH. Garam-garam dalam tanah dapat berupa residu
dari pupuk, air irigasi, atau dekomposisi bahan organik oleh jasad renik.
Di daerah yang beriklim basah garam-garam tersebut dapat tercuci, tetapi
seringkali juga dapat mengalami akumulasi karena adanya penghalang
drainase. Dalam kondisi seperti ini (kandungan garam tinggi) disarankan
penggunaan larutan 0.01 M CaCl2 atau 1N KCl untuk mengukur pH tanah
(Woodruuf, 1967).

1.4.5. Kandungan CO2


84

Karbon dioksida dapat dianggap sebagai garam atau elektrolit


khusus. Respirasi akar tanaman dan jasad renik tanah dapat
meningkatkan konsentrasinya CO2 dalam udara tanah. Sumber CO2
lainnya adalah yang dilepaskan kalau kapur bereaksi dengan asam-asam
dalam tanah. CO2 melarut dalam air membentuk H2CO3, sehingga
berlaku hubungan berikut ini:

Kadar CO2 udara tanah, % pH

0.03 5.72
0.30 5.22
1.00 4.95
10.00 4.45
100.00 3.95

Tampak dari data ini bahwa CO2 melarut secara langsung dari
udara tanah dapat menurunkan pH air tanah. Air tanah dalam suatu pori
yang berisi 100% CO2 akan mempunyai pH 3.95, kalau tidak dibuffer oleh
tanah atau dinetralkan oleh senyawa-senyawa basis. Kapasitas buffer
tanah terletak pada kemampuannya untuk menjerap ion H pada tapak
jerapannya pada kondisi pH rendah atau sebaliknya pada pH tinggi. Asam
karbonat dalam tanah melarutkan berbagai senyawa dan H+
menggantikan kation lain dari tapak jerapan. Dengan demikian asam
karbonat ini juga mampu berpengaruh terhadap pH melalui efek garam
yang dibentuknya.
Dalam pengukuran pH tanah secara aktual, tanah dan air diaduk
atau dikocok sehingga mereka saling berkesetimbangan dengan CO2
dalam udara pada konsentrasi aktualnya di laboratorium. Karena ta nah
masam mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk mensuplai ion
hidrogen daripada yang disuplai oleh CO2 dalam udara, maka CO2 ini
praktis tidak berpengaruh terhadap pH yang diukur. Hanya dalam tanah
yang sangat miskin H+ atau pH di atas 7, konsentrasi CO2 udara
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pH tanah.

1.5. Pengukuran pH

1.5.1. pH meter elektrode gelas


Banyak laboratorium menggunakan elektrode gelas yang
berpasangan dengan elektrode kalomel (Hg / Hg2Cl2) untuk mengukur
pH tanah. Elektrode biasanya dirancang dalam bentuk pH meter
komersial. Dengan standardisasi yang tepat dengan larutan buffer yang
85

diketahui pHnya, meter ini mampu menyatakan pH suspensi tanah dari


milivolt potensial yang berkembang kalau dua elektrode dimasukkan ke
dalam suspensi tanah. Elektrode gelas merupakan elektrode sensor H+
yang mengembangkan perubahan potensial (voltage) sebanding dengan
logaritma perubahan aktivitas H+. Sehingga ia sering disebut elektrode
indikator. Elektrode kaloml (i) mengandung jembatan KCl jenus yang
kontak dengan suspensi tanah, dan (ii) mempunyai potensial khas yang
relatif bebas dari pengaruh aktivitas H+.
Dengan demikian ia disebut sebagai elektrode referensi. Setiap
laboratorium mempunyai detail tersendiri prosedur pengukuran tanah dan
air atau larutan, nisbah tanah/air atau taah/larutan, larutan pengekstraks,
metode pengocokan atau pencampuran, waktu pengocokan, waktu
isirahat sebelum pengukuran, diaduk atau tidak selama pengukuran, dan
lainnya. Ada laboratorium yang menimbang bobot material tanah, dan
laboratorium lainnya mengukur volume tanah. Sebagian laboratorium
menggunakan 5 g contoh tanah dan 5 g (ml) air, sebagian lainnya
emenggunakan 0.01 M CaCl2 sebagai pengganti air. Ada laboratorium
yang mengukur pH tanah dalam air dan kemudian menambahkan
secukupnya larutan pekat CaCl2 untuk mengubah air menjadi 0.01M
CaCl2 dan mengukur pH nya kembali.

(a). Perawatan elektrode

(a.1). Elektrode gelas.


Seringkali elektrode menjadi "malas" dalam operasinya sehingga
respon perubahan pH pada saat pengukuran berlangsung sangat lambat.
Gangguan seperti ini dapat disebabkan oleh lapisan kering liat atau
endapan karbonat pada bola gelas yang tidak dapat diusir oleh pencucian
dengan air. Gangguan seperti ini juga dapat disebabkan oleh karena
sudag "aus"nya permukaan bola gelas. Rejuvinasi permukaan gelas
dapat dilakukan dengan jalan perendaman dalam larutan encer asam
hidro-florat selama 10-15 detik.

(a.2). Elektrode Calomel


Seringkali sumber kesalahan dengan elektrode ini disebabkan
oleh gangguan aliran elektrolit. Walaupun instrumen dapat mengkalibrasi
dengan baik dalam larutan yang dipakai untuk tujuan ini, namun tidak
dapat memberikan nilai pH yang tepat dalam sistem tanah. Kesalahan
cenderung ke arah nilai-nilai pH tanah yang terlalu rendah, dan nilai-nilai
pH tinggi dalam campuran tanah dan larutan buffer yang dipakai untuk
mengukur kebutuhan kapur. Harus diperhatikan bahwa elektrode Calomel
harus dioperasikan dengan cairan "penghubung" yang tepat.
86

Sumber kesalahan lainnya dalam hubungan ini terjadi kalau


elektrode Calomel dipaksa masuk ke dalam tanah pada dasar tudungnya
pada saat dilakukan penukuran, akibatnya akan terjadi penghentian
gerakan bebas garam dari cairan penghubung.

(b). Pengukuran pH tanah

(b.1). Standardisasi pH meter.


Penetapan pH meter pada pH 7 dilakukan dengan menggunakan
larutan standar buffer pH 7. Pengujian dilakukan dengan pembacaan pH
4 dengan menggunakan larutan standar bufer pH 4. Kegagalan pada
kedua pengukuran ini mengisyaratkan adanya gangguan pada instrumen.

(b.2). Pengukuran dan pembacaan nilai pH tanah


Prosedur pengukuran dan pembacaan pada pH meter secara
detail dapat dikaji pada berbagai buku petunjuk analisis tanah.

1.5.2. Metode lainnya


Sebagai basis diagnostik untuk merekomendasikan kapur atau
pupuk, pH tanah kadangkala juga dapat ditentukan dengan metode lain.
Akan tetapi kalau peralatan-peralatan tidak tersedia, dapat digunakan soil
test kits yang mengandung indikator yang sesuai yang mengalami
perubahan warna pada kisaran pH tertentu. Woodruff (1960)
mengusulkan suatu metode untuk menentukan pH tanah dalam 0.01 M
CaCl2 menggunakan brom-cresol-purple dengan warna-warna definitif
yang mencakup kisaran pH 5.0 - 6.7. Indikator lainnya, brom-thymol-blue,
yang berwarna hijau pada nilai kritis pH 6.9 akan berubah menjadi lebih
biru klau pH meningkat mendekati 8.7. Selain itu juga tersedia kertas
indikator komersialyang dibuat dengan mencelupkannya ke dalam
berbagai indikator atau campuran indikator. Kertas ini kalau kontak
dengan tanah basah akan mampu menyatakan nilai pH tanah. Barangkali
uji kimiawi pertama untuk kemasaman tanah didasarkan pada kertas
lakmus (Wheeler et al., 1896).

2. Uji Kebutuhan Kapur

2.1. Faktor kapasitas dari kemasaman tanah


Tanah masam memerlukan sejumlah basa untuk menetralkan
kemasaman yang dikandungnya supaya pH nya meningkat hingga nilai
tertentu. Ini merupakan faktor kapasitas dari kemasaman tanah, berbeda
dengan pH yang merupakan faktor intensitas. Suatu tanah masam
mungkin semula jenuh dengan basa dan kemudian mengalami pencucian
87

Atau barangkali ada juga tanah masam yang tidak pernah mengandung
sejumlah besar kation basis selama periode pelapukannya.

2.2. Pengertian kebutuhan kapur suatu tanah


Kebutuhan kapur taah masam merupakan jumlah kapur atau
basa lain yang diperlukan untuk menetralkan kemasaman terdisosiasi dan
tidak terdisosiasi dalam kisaran dari kondisi masam intial hingga menjadi
kondisi tertentu yang kurang masam atau netral. Biasanya dasar
pemilihan batas sampai dimana tanah harus dinetralkan ialah nilai pH
yang paling sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Akan tetapi dapat juga
didasarkan pada kriteria lain seperti in-aktivasi Al-tukar dan kadang-
kadang juga berdasarkan pertimbangan ekonomis. Di berbagai daerah
ternyata ada sedikit manfaat ekonomis dari pengapuran tanah di atas pH
6.0 untuk tanaman jagung dan kedelai, sedangkan legume seperti alfalfa
umumnya respon baik terhadap pengapuran hingga mencapai pH 6.5
atau lebih. Di daerah-daerah tropis dan sub-tropis diperlukan nilai-nilai pH
yang masih lebih rendah lagi. Demikian juga tanah-tanah gambut
umumnya tidak menghasilkan lebih banyak pada pH di atas 5.2 (McLean,
1978).
Kebutuhan kapur dinyatakan sebagai ekuivalen CaCO3 dalam meq per
100 g tanah (atau ton per 2000 000 pound). Kebutuhan kapur diartikan
dalam bentuk kapur (CaCO3) karena pertimbangan ekonomi dan
kualitasnya dalam memperbaiki pertumbuhan tanaman.

2.3. Signifikansi kebutuhan kapur suatu tanah


Mempertahankan pH (kejenuhan base) yang sesuai dalam suatu
tanah dapat diibaratkan seperti menjaga pelumas pada mobil. Kapur dan
pelumas mempunyai fungsi yang serupa yaitu memperlancar pekerjaan.
Kapur membantu respon tanah terhadap pupuk seperti halnya pelumas
membantu respon mobil terhadap bahan bakar.
Tanah masam seringkali mempunyai konsentrasi Al, Fe, atau Mn
yang cukup tinggi untuk bersifat toksik bagi tanaman. Sejumlah kapur
yang ditambahkan umumnya akan menurunkan kelarutan dan dengan
demikian mengurangi keracunan unsur-unsur ini. Terlalu banyak kapur
yang ditambahkan akan mengakibatkan berkurangnya ketersediaan Fe
dan Mn hingga defisiensi. Dengan demikian ukuran yang tepat jumlah
kapur yang diperlukan untuk meningkatkan pH tanah hingga nilai tertentu
atau kejenuhan basa tertentu merupakan sarana pengelolaan taah yang
sangat penting. Karena hidrohen yang terionisasi merupakan fraksi yang
relatif kecil terhadap total asam yang ada, dan karena fraksi ini sangat
beragam dari satu tanah ke tanah lainnya, maka umumnya pH bukan
indikasi yang baik dari kebutuhan kapur suatu tanah.
88

2.4. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan kapur


Total kemasaman tanah beragam dengan derajat pelapukannya,
banyaknya tapak jerapan (kandungan bahan organik dan liat), bentuk
kemasaman yang ada, dan sejarah praktek pengapuran dan pemupukan.
Kebutuhan kapur tidak banyak dipengaruhi oleh faktor yang
mempengaruhi pH melalui penggantian atau disosiasi ion H+.

2.4.1. Derajat pelapukan


Apabila tidak ditambah kapur, suatu tanah cenderung menjadi
lebih masam karena penanaman, pencucian dan erosi akan
mengambil/menghilangkan kation-kation basa dalam jumlah yang lebih
banyak daripada jumlah yang dilepaskan dalam proses pelapukan
mineral. Kalau kation basa hilang, dan tidak cukup digantikan oleh hasil
pelapukan mineral basa maka kation-kation asam akan menbggantikan
posisinya. Sumber utama Hµ+µ adalah berbagai reaksi pelapukan seperti
disosiasi asam karbonat yang terbentuk sewaktu karbon dioksida melarut
dalam air, atau oksidasi pirits menjadi asam sulfat. Semakin lama umur
tanah di daerah yang beriklim humid umumnya akan mengakibatkan
semakin besar akumulasi kemasaman tanah dan semakin besar pula
kebutuhan kapurnya.

2.4.2. Kandungan mineral liat


Semakin tinggi kandungan liat dalam tanah, semakin banyak
kation masam yang dapat dijerap pada tapak jerapannya. Demikian juga,
semakin banyak tapak jerapan maka semakin banyak polimer ion Al-
hidroksil yang terakumulasi di antara lapiran-lapisan kristal liat (Jackson,
1960). Karena lebih sedikit air perkolasi yang dapat menembus tanah
yang terksturnya halur, maka biasanya tanah ini mempunyai kejenuhan
basa lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang teksturnya kasar. Akan
tetapi, tanah bertekstur halus yang telah sangat tua umurnya dan tingkat
pelapukannya telah sangat lanjut biasanya juga miskin kation basis.

2.4.3. Kandungan bahan organik


Semakin banyak kandungan bahan organik dalam tanah,
semakin banyak pula kation masam yang dapat terakumulasi pada tapak
jerapan tanah. Sehingga tidak mengherankan bahwa kandungan bahan
organik tanah dan kebutuhan kapur sangat berkorelasi dengan erat
(Keeney dan Corey, 1963). Bahan organik tanah tidak hanya menjerap
kation masam dalam bentuk dapat ditukar tetapi juga membentuk
substansi kompleks atau khelate dengan kation-kation masam dalam
bentuk yang tidak mudah digantikan oleh kation lain melalui reaksi-reaksi
89

pertukaran biasa (Clark dan Nichol, 1966). Feµ+++µ, Alµ+++µ, dan ion-
ion kompleks Al-hidroksi dan Fe-hidroksi melibatkan gugusan karboksil
dari bahan organik sehingga menyebabkan bahan organik berfungsi
sebagai asam lemah (Martin, 1960).

2.4.4. Bentuk-bentuk kemasaman yang ada


Beberapa macam bentuk kemasaman, selain H+ , dapat
ditemukan dalam tanah. Pada kenyataannya, walaupun ion-ion H
menggantikan kation basis selama pelapukan asam, mereka tidak akan
terakumulasi tanpa batas. Kalau konsentrasi tertentu telah terjadi dalam
tanah, ion H bereaksi dengan kristal liat, menjadi terjerap secara internal
dan secara simultan membebaskan Alµ+++µ. Pengambilan ion H dari
larutan akan meningkatkan pH dan menyebabkan netralisasi parsial ion
Alµ+++, dengan membentuk ion Al-hidroksi, Al(OH)µ++µ dan Al(OH)2+.
Ion-ion yang terakhir ini tidak dapat membentuk kompleks dengan bahan
organik, tetapi mereka dapat mengalami polimerisasi pada permukaan liat
membentuk lapisan kontinyu atau "pulau-pulau" kemasaman tidak dapat
ditukar (deVilliers dan Jackson, ヘ
1967).
Sifat kationik (muatan positif) dari polimer Al menetralisir tapak
jerapan kation pada lat dan bahan organik, sedangkan ukurannya yang
besar mengakibatkan sulitnya pertukaran dengan kation lain sehingga
menurunkan KTK efektif dari tanah masam (de Villiers dan Jackson,
1967). Fe-hidroksi ternyata memainkan peranan yang sama seperti Al-
hidroksi dalam tanah masam, kecuali pada pH sangat rendah (Coleman
dan Thomas, 1964). Berbagai bentuk polimer dan kompleks dari Fe- dan
Al-hidroksi hanya dinetralisir partial dan menjadi kation masam, sehingga
sangat meningkatkan kebutuhan kapur. Meskipun kation-kation masam
seperti ini mempunyai akses yang rendah terhadap buffer yang dipakai
dalam uji kebutuhan kapur, namun ia dapat menyebabkan hasil
penentuan kebutuhan kapur agak berbeda dengan kebutuhan aktual.
Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan modifikasi buffer yang digunakan
dalam uji kebutuhan kapur (Shoemaker et al., 1962).
Banyak tipe gugusan OH dalam bahan organik dan mineral liat
yang mengionisasi H dari ikatan koordinat kovalen kalau pH ditingkatkan
dengan jalan penambahan kapur. Muatan-muatan darimana ion H
berdisosiasi disebut pH-dependent, karena mereka efektif untuk menjerap
kation lain hanya pada pH yang lebih tinggi, yaitu derajat ionisasi Hµ+µ
merupakan fungsi pH. Mereka menjerap Ca dan Mg dari bahan kapur
kalau H+ dinetralkan secara simultan (CaCO3 + H2O > Ca++ + HCO3-
+OH-; OH- + H+ > H2O). Sedikit penurunan pH akan membalik proses
sedemikian rupa sehingga ion H dijerap kembali ke muatan-muatan yang
90

menyukai-H, muatan tergantung pH dan kation basa secara simultan


dibebaskan ke dalam larutan tanah (McLean, 1970).

2.4.5. Sekuens netralisasi

Bentuk-bentuk kation masam yang dominan dalam tanah


tergantung pada pH tanah. Tanah sangat masam, pH=4.0, dapat
mempunyai sedikit hidrogen ionik (H+ atau H3O+) dalam larutan tanah
dan yang dijerap pada tapak jerapannya. tetapi tanah-tanah seperti ini
akan mengandung banyak Alµ+++µ dan sedikit Al-hidroksi yang dijerap
pada tapak jerapannya. Tanah lain yang pH nya agak lebih tinggi mungkin
mempunyai dominasi Al-hidroksi. Kalau kapur ditambahkan dan dicampur
secara merata dengan tanah yang pH-nya 4.0 dalam jumlah yang cukup
untuk menaikkan pH nya menjadi 7.0, maka berbagai bentuk kation
masam akan dinetralkan secara sekuensial dalam urutan: H+, Al+++,
Al(OH)2µ+µ, dan kation tergantung pH lainnya (Coleman dan Thomas,
1967). Kalau kapur tidak dicampur secara merata dengan tanah, maka
mikrovolume tanah dapat mengalami proses netralisasi sedangkan
volume tanah lainnya tetap seperti semula.

2.5. Pengukuran kebutuhan kapur

2.5.1. Studi lapangan dosis kapur


Total kemasaman dan kebutuhan kapur suatu tanah pada kondisi
alamiah berbeda-beda tergantung pada derajat pelapukan yang
dialaminya dan kapasitasnya menahan kation masam. Sebelum
perkembangan uji tanah untuk menentukan kebutuhan kapur individu
tanah, jumlah kapur untuk suatu kondisi tanah, tanaman atau pola tanam,
didasarkan atas percobaan lapangan yang dilakukan pada kondisi yang
serupa. Kajian-kajian seperti ini masih penting untuk mengkorelasikan
data uji tanah dengan respon lapangan. Disamping itu, juga penting untuk
memisahkan pengaruh langsung status pH tanah terhadap tanaman dari
pengaruh tidak langsung yang tercermin dalam tanaman berikutnya.
Misalnya, peningkatan kejenuhan basa mungkin hanya sedikit
berpengaruh langsung terhadap hasil tanaman pada tanah yang subur,
tetapi pada tanah yang miskin nitrogen kemungkinan pengaruh
peningkatan kjenuhan basa tersebut sangat besar terhadap fiksasi N oleh
legume dan selanjutnya sangat berpengaruh terhadap hasil tanaman
jagung berikutnya.

2.5.2. Inkubasi tanah-kapur


91

Perlunya metode yang lebih cepat untuk menentukan kebutuhan


kapur telah mendorong berkembangnya metode inkubasi. Metode ini
terdiri atas pencampuran kapur dengan aliquot tanah, menyeimbangkan
dengan tanah basah, dan mengukur pH tanah sehingga jumlah kapur
yang diperlukan untuk membawa tanah mencapai pH tertentu dapat
ditetapkan. Karena aktivitas jasad renik sangat intensif pada kondisi
inkubasi, maka garam (terutama nitrat dari Ca, Mg, K, dll) akan
terakumulasi dalam tanah. Dengan demikian mereka harus dicuci karena
mereka dapat menurunkan pH tanah.

2.5.3. Titrasi basa-tanah


Kation masam dalam tanah dapat dititrasi dengan basa seperti
halnya asam yang dapat dititrasi dengan basa. Akan tetapi kebanyakan
kemasaman tanah tidak akses terhadap reaksi dengan basa. Dengan
demikian titrasi langsung biasanya sangat lambat. Titrasi dapat
dipercepat dengan mencampur tanah dengan larutan yang relatif pekat
seperti 1N KCl. Titrasi yang lebih lambat tetapi lebih memuaskan dapat
dilakukan dengan jalan (1) menyeimbangkan aliquot tanah dengan larutan
standar basa seperti Ca(OH)2, (2) mengukur pH tanah setelah perlakuan
karbon, aerasi, dan diistirahatkan beberapa hari (Bradfield dan Allison,
1933).

2.5.4. Keseimbangan tanah-penyangga

Dilemma yang dihadapi dalam titrasi langsung kemasaman tanah


ialah bagaimana melengkapi titrasi dalam waktu yang diinginkan dan
menambahkan basa secara bertahap sehingga mereka dinetralkan tanpa
mengakibatkan perubahan pH tanah yang tidak drastis. Sehingga
berbagai metode keseimbangan buffer dikembangkan yang
memungkinkan netralisasi kemasaman pada nilai pH yang relatif rendah
dan hampir konstan.
Beberapa metode tersedia untuk menambil buffer dari tanah, dan
mentitrasinya dengan basa kembali ke pH buffer sebelum bereaksi
dengan tanah (Schofield, 1933; Mehlich, 1939). Metode lainnya semata-
mata mengukur perubahan pH buffer yang disebabkan oleh asam-asam
dalam tanah, perubahan pH buffer ini merupakan ukuran kebutuhan
kapur tanah (Adams dan Evans, 1962; Shoemaker, Mclean dan Pratt,
1962; Woodruff, 1948). Metode-metode SMP, Adams dan Evans, dan
Woodruff banyak digunakan di laboratorium sebagai dasar untuk
merekomendasikan aplikasi kapur pada tanah masam.
92

Metode Woodruff umumnya underestimate kebutuhan kapur tanah-tanah


yang mempunyai kebutuhan kapur 2242 kg/ha (1 ton/acre) atau lebih dan
dapat menyetakan kurang dari separuh kebutuhan kapur aktual pada
tanah-tanah yang kebutuhan kapurnya sangat tinggi (McLean, et al.,
1966). Metode SMP sesuai untuk tanah-tanah yang kebutuhan kapurnya
lebih dari 4482 kg/ha (2 ton/acre), mempunyai pH kurang dari 5.8,
mengandung bahan organik < 10%, dan banyak mengandung Al-larut
(McLean et al., 1966).

2.5.5. Al-dapat ditukar (Aldd)


Kalau digunakan sebagai indeks kebutuhan kapur, Aldd
umumnya diekstraks dari sampel tanah dengan larutan gharam tidak
dibuffer seperti 1N KCl. Ekstraks ini dititrasi dengan standar basa, dan
kebutuhan kapur dihitung sebagai kelipatan 1.5, 2.0 atau 3.3 dari Aldd
yang dinyatakan sebagai meq per 100 g tanah (Kamprath, 1970; Reeve
dan Sumner, 1970; Baker, 1970).

2.6. Landasan bagi Rekomendasi Kapur

2.6.1. Netralisasi hingga pH tertentu


Secara tradisional pada agronomis telah mengapur untuk
mencapai hasil tanaman yang optimal. Biasanya mereka melakukannya
dengan memperhatikan pH tertentu. Mereka telah mempertimbangkan
kelarutan atau ketersediaan berbagai hara pada tingkat maksimum atau
berusaha meminimumkan konsentrasi unsur Al atau Mn yang dapat
bersifat toksik pada tanah masam. pH yang lebih tinggi diperlukan untuk
mencapai hasil maksimum suatu spesies tanaman seringkali tidak berlaku
untuk tanaman lainnya. Demikian juga pH tanah untuk fiksasi N
maksimum oleh jasad renik simbiotik dalam bintil akar legume mungkin
lebih tinggi daripada pH untuk hasil maksimum tanaman berikutnya
seperti jagung. Selanjutnya, sifat tanah juga mempengaruhi pH yang
optimum bagi suatu jenis tanaman. Misalnya, tanah Oksisol atau Ultisol
yang pelapukannya telah lanjut secara fisik dapat terpengaruh secara
buruk oleh pengapuran hingga kondisi netral. Dengan demikian pilihan pH
untuk pengapuran sangat tergantung pada tanaman dan kondisi tanah.

2.6.2. Persentase kejenuhan basa


Bear dan Toth (1948) mendefinisikan "tanah ideal" sebagai tanah
yang mempunyai KYK yang dijenuhkan oleh 65% Ca, 10% Mg, 5% K,
dan kira-kira 20%H. Kemudian Graham (1955) mengusulkan 75%Ca,
10%Mg, dan 2.5-5% K sebagai yang terbaik, tetapi hasil tanaman hanya
93

sedikit terpengaruh kalau Ca berkisar 65-85%, Mg berkisar 6-12%, dan K


berkisar 2-5%. Kalau kisaran kejenuhan basa ini telah tercapai, pH tanah
akan berada dalam kisaran yang sesuai dan sejumlah kation basa akan
tersedia dengan cukup, dan seimbang satu sama lain.

2.6.3. Inaktivasi Aldd


Karena Aldd umumnya merupakan komponen kemasaman yang
utama dalam tanah yang kejenuhan basanya sangat rendah, dan
merupakan sebab utama toksisitas bagi tanaman dalam banyak taanah,
maka masuk diakal untuk mengasumsikan bahwa bentuk Al ini dapat
dipakai sebagai indeks kebutuhan kapur. Hasil-hasil penelitian telah
menunjukkan bahwa lebih banyak kapur yang diperlukan untuk
menetralkan Aldd dari pada jumlah Al yang ada. Untuk Oksisol dan
Ultisol, Kamprath (1970) mengusulkan faktor 1.5 untuk kebanyakan
tanaman dan 2.0 untuk tanaman yang sangat peka Al. Reeve dan
Sumner (1970) melaporkan hanya 0.3 meq penurunan indeks Aldd per
meq CaCO3 yang ditambahkan ke Oksisol. Baker (1970) juga telah
menghitung kebutuhan lebih banyak kapur di lapangan daripada setara
Aldd karena tidak sempurnanya pencampuran tanah dengan kapur.
94

INTERPRETASI HASIL UJI TANAH

Sasaran uji tanah adalah untuk menyediakan pedoman bagi


pengelolaan kesuburan tanah dengan memanfaatkan hubungan-
hubungan yang ditetapkan secara eksperimental antara ciri-ciri kimia
tanah dengan pertumbuhan tanaman. Hubungan-hubungan seperti ini
harus didefinisikan secara cukup luas untuk dapat diaplikasikan ke
banyak kondisi lapangan, namun harus cukup spesifik untuk diaplikasikan
ke individu lapangan. Proses penetapan hubungan tanah-tanaman
lazim disebut dengan istilah "kalibrasi" nilai-nilai uji tanah. Nilai uji tanah
yang dikalibrasikan untuk sesuatu unsur hara tertentu akan menyatakan
derajat defisiensi unsur hara tersebut dan jumlah hara yang harus
digunakan sebagai pupuk untuk mengoreksi defisiensi.
Pedoman akhir untuk produksi tanaman akan berasal dari
persamaan hasil kuantitatif untuk semua faktor yang menentukan
pertumbuhan tanaman. Pekerjaan menyusun rekomendasi pupuk dari uji
tanah memerlukan pengetahuan yang komprehensif tentang disiplin
ilmu tanah dan ilmu tanaman. Keputusan yang terlibat dalam menyusun
rekomendasi pupuk atas dasar uji tanah memerlukan pemahaman
tentang kimia tanah, kesuburan tanah, mineralogi, klasifikasi dan sifat
fisika tanah serta respon tanaman terhadap pupuk dan aspek ekonomi
yang terlibat.

1. Informasi riset yang diperlukan untuk kalibrasi uji tanah

Agar supaya suatu pengekstraks tanah sesuai untuk


mendapatkan data kalibrasi, jumlah hara yang diekstraks harus
proporsional dengan yang diserap tanaman. Nilai-nilai kimiawi yang
diperoleh dengan ekstraksitidak mempunyai makna absolut tentang
suplai hara yang tersedia bagi sistem perakaran tanaman.
Mereka hanya mempunyai makna karena berhubungan dengan
perbedaan pertumbuhan atau serapan hara.
Pengaruh berbedaan karakteristik tanaman dan ciri tanah
terhadap hubungan antara nilai-nilai uji tanah dan respon tanaman
terhadap hara hanya dapat diekspresikan secara kuantitatif oleh
tanaman tertentu pada kondisi lingkungan dimana tanaman tumbuh.
Misalnya, perbedaan tanaman yang menjadi ciri spesies atau varietas
dan yang mempengaruhi hubungan ini termasuk (i) laju serapan hara
pada berbagai fase pertumbuhan tanaman, (ii) luas dan intensitas
perkembangan akar, dan (iii) kapasitas tanaman untuk menyerap haradari
95

berbagai level suplai hara dan mentranslokasikannya ke daerah


pertumbuhan. Efek-efek tersebut hanya dapat tercermin dalam kalibrasi
hanya apabila mereka dimungkinkan untuk berkembang degan cara yang
sama seperti di lapangan. Oleh karena itu evaluasi nilai-nilai uji tanah
yang didasarkan atas faktor kimiawi, seperti persentase kejenuhan
kation yang tidak memperhatikan perbedaan tanaman bukanlah
merupakan landasan yang sesuai bagi kalibrasi. Demikian juga, kajian-
kajian yang didasarkan atas pertumbuhan kecambah tanaman atau jasad
renik pada kondisi tanah artifisial, seperti dalam pot, tidak kan
memungkinkan perbedaan tanaman dapat diekspresikan seperti di
lapangan. Oleh karena itu mereka juga tidak valid sebagai dasar bagi
kalibrasi nilai uji tanah yang akan digunakan sebagai pedoman produksi
tanaman.
Percobaan lapangan dierlukan karena adanya pengaruh dari
perbedaan mineralogis yang mungkin mempengaruhi pertumbuhan
tanaman tetapi tidak berpengaruh terhadap nilai uji tanah. Perbedaan-
perbedaan ini meliputi aktivitas ionik atau laju transfer hara dari bentuk
tersedia menjadi bentuk lainnya. Percobaan lapang juga diperlukan
untuk memantau pengaruh ciri-ciri fisika dan kimia tanah lapisan bawah.
Oleh karena itu percobaan lapangan merupakan suatu sarana dimana
pengrauh integral dari semua faktor dapat dicerminkan dalam kalibrasi uji
tanah.
Kalibrasi uji tanah memerlukan data yang banyak dari lapangan
dan laboratorium. Karina luasnya kisaran karakteristik tanah dan banyak
macam tanaman yang harus direkomendasi.maka penelitian yang rinci
dan detail pada semua kondisi tidak mungkin dilakukan. Oleh karena
itu baik tanah dan tanaman harus dikombinasikan kedalam kelompok-
kelompok yang dapat dikelola atas dasar data yang tersedia.

1.1. Percobaan lapangan jangka pendek

Percobaan-percobaan yang perlakuannya ditempatkan pada


petak-petak lahan selama setahun dapat berguna untuk
menginterpretasikan hubungan antara nilai uji tanah dan kecukupan
hara untuk mencapai hasil maksimum. Pengujian seperti itu tidak
perlu melibatkan banyak perlakuan (Hanway, 1967), tidak memerlukan
banyak ulangan pada satu lokasi, tetapi harus banyak diulang di lokasi
yang berbeda. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan hasil
tanaman akibat pemupukan yang cukup dan hasil relatif tanaman yang
tidak dipupuk. Nilai-nilai uji tanah kemudian dapat dinilai dalam bentuk
hasil relatif. Sejumlah besar pengujian seperti ini dapat digunakan untuk
menunjukkan hubungan antara berbagai tanah dengan jalan
96

menggambarkan nilai uji tanah versus hasil relatif. Data ini juga
dapat berfungsi sebagai dasar untuk membagi tipe-tipe tanah ke dalam
beberapa kelompok.
Percobaan jangka pendek harus dilakukan pada tanah-tanah
dengan tingkat kesuburan yang berbeda-beda. Mereka akan
menunjukkan derajat respon yang dapat diantisipasi pada berbagai
level uji tanah dan berfungsi sebagai kendali yang sangat bagus
terhadap penilaian yang sedang digunakan. Karena pengujian seperti
ini tidak menyediakan ukuran bagi efek komulatif perlakuan terhadap
hasil tanaman atau perubahan tanah maka mereka mempunyai
keterbatasan untuk menentukan dosis pupuk yang harus
direkomendasikan untuk mencapai produktivitas yang lestari. Hal ini
telah dibuktikan oleh hasil-hasil pengujian yang dilaporkan oleh Rouse
(1968) pada tanaman kapas dan oleh Hartzog dan Adams (1971) pada
kacangtanah. Pada tanah-tanah yang tingkat ketersediaan P atau
K "medium" atau "tinggi" ternyata respon pemupukan hanya sedikit
atau tidak ada respon.

1.2. Percobaan lapangan jangka panjang

Percobaan yang perlakuannya diulang pada petak lahan yang


sama selama beberapa tahun menyediakan data yang bagus untuk
menentukan dosis pupuk yang direkomendasikan. Percobaan yang
dilaporkan oleh Rouse (1968) dan Cope (1970) mensuplai data respon
selama musim pertumbuhan dimana unsur hara yang diteliti menjadi
faktor kendali utama yang menentukan hasil tanaman. Percobaan
seperti ini memungkinkan pengukuran pengaruh perlakuan terhadap
perubahan ketersediaan hara dalam tanah. Perlakuan musim yang lalu
menjadi faktor utama dalam menentukan jumlah hara yang tersedia
bagi tanaman atau jumlah yang dapat diekstraks dalam uji tanah.
Percobaan-percobaan dimana sumber dan dosis yang sama digunakan
pada suatu petak lahan selama beberapa tahun memberikan data yang
sesuai untuk menghubungkan nilai uji tanah dengan hasil tanaman.
Percobaan yang identik pada tanah-tanah yang berbeda selama periode
beberapa tahun memberikan informasi terbaik untuk mengelompokkan
tanah guna kepentingan interpretasi uji tanah. Percobaan seperti ini
menyediakan dasar untuk mengevaluasi pengaruh dosis dan sumber
hara terhadap kesuburan tanah.
Percobaan lapangan jangka panjang yang diulang mampu
menyediakan peluang bagi kajian yang detail tentang banyak faktor
yang berhubungan dengan kalibrasi uji tanah. Karena ulangan juga
menurut tahun, maka perbedaan hasil yang kecil juga dapat dievaluasi.
97

Percobaan seperti ini juga menyediakan teladan yang bagus untuk


menghubungkan analisis tanaman dengan nilai uji tanah dan dengan
hasil tanaman. Setelah level-level hara dalam tanah dapat ditetapkan
dalam percobaan jangka panjang, kajian residu yang menunjukkan
pengaruh level-level ini terhadap hasil tanaman akan memberikan sarana
untuk mengevaluasi level-level uji tanah (Ensminger, 1960; Rouse,
1960). Dengan membelah petakan yang besar maka pengaruh dosis
pupuk pada berbagai level uji tanah dapat dievaluasi.

1.3. Penelitian Laboratorium

Contoh tanah harus diambil dari semua percobaan lapangan dan


dianalisis sebelum perlakuan digunakan untuk menentukan apakah
lokasi mempunyai peluang yang baik untuk menjawab tujuan percobaan.
Prediksi respon yang harus dilakukan berdasarkan pada uji akan
berfungsi sebagai koreksi terhadap kalibrasi musim yang lalu. Contoh
initial dan contoh selanjutnya harus diambil dari setiap petak untuk
menentukan pengaruh perlakuan terhadap nilai uji tanah.
Contoh tanah dari percobaan lapangan jangka pendek dan
jangka panjang harus dikenakan prosedur laboratorium yang sedang
dikaji. Mereka berfungsi sebagai dasar untuk membandingkan hasil
tanaman dengan unsur hara yang diambil oleh uji tanah. Contoh tanah
yang respon lapangannya telah diketahui diperlukan untuk
membandingkan nisbah tanah-larutan, waktu pengocokan, dan larutan
pengekstraks.

2. Perbedaan persyaratan kesuburan tanah di antara


tanaman.

Para ahli ekologi dan agronomi telah lama mengetahui bahwa


persyaratan kesuburan tanah bagi tanaman sangat beragam. Beberapa
spesies tanaman mampu bertahan pada tanah-tanah tertentu
sedangkan jenis tanaman lainnya gagal karena infertilitas. Bray (1961)
menunjukkan bahwa tanaman gandum dan oats mempunyai kebutuhan
P lebih tinggi daripada jagung. Sebaliknya, jagung memerlukan lebih
banyak K daripada gandum dan oat. Perbedaan-perbedaan ini
mengisyaratkan bahwa nilai-nilai kimiawi tanah harus dievaluasi menurut
hasil relatif dari setiap tanaman.
Adams (1968) melaporkan hasil relatif untuk 13 tanaman yang
ditanam pada tanah lempung berpasir Norfolk (Tabel 22). Hasil-hasil
relatif tanaman yang ditanam pada petak-petak yang berdampingan
98

yang kesuburannya seragam tanpa pemupukan P beragam dari 70%


(untuk sorghum) hingga 104% (untuk ryegrass). Kurva-kurva yang
digambar dari data yang disajikan oleh Rouse (1968) menunjukkan
bahwa kebutuhan K tanaman kapas lebih besar daripada tanaman
jagung, sedangkan kedelai intermedier (Gambar 23).
Untuk tujuan praktis evaluasi nilai-nilai kimia tanah, tanaman
Alabama dikelompokkan menjadi tiga kategori atas dasar kebutuhan K
dan menjadi dua kategori atas dasar kebutuhan P. Kategori dengan
kebutuhan K terendah termasuk rumput pasture tahunan, biji-bijian
kecil, rumput summer, jagung, tebu, dan sorghum. Tanaman dalam
kategori kebutuhan K medium adalah kapas, legume annual dan
perennial, dan tanaman pohon seperti pecan, peach, dan apel.

Tabel 22. Hasil relatif dan tingkat kesuburan tanah untuk


berbagai jenis tanaman (Adams, 1968)

Tanaman Tanah Uji tanah Uji tanah


pH =5.1 P = 34 ppm K = 32 ppm
Hasil Kesubur Hasil Kesubur Hasil Kesubura
an an n
relati relati relati
f f f
Sorghum 66 Rendah 86 Medium 41 Sgt
rendah
Jagung 97 Medium 95 Medium 57 Rendah
Oats 94 Medium 98 Medium 59 Rendah
Sorghum 37 Sgt 70 Rendah 53 Rendah
almum rendah
Sorghum 38 Sgt 75 Rendah 59 Rendah
Sudan rendah
Browntop 83 Medium 88 Medium 65 Rendah
millet
Kedelai 76 Medium 102 Tinggi 82 Medium
Ball clover 44 Sgt 83 Medium 28 Sgt
rendah rendah
Vetch 95 Medium 75 Medium 60 Rendah
Crimson 65 Rendah 88 Medium 65 Rendah
clover
Oats 93 Medium 86 Medium 64 Rendah
Ryegrass 93 Medium 104 Tinggi 81 Medium
99

Tingkat kesuburan tanah: Tinggi = 100% atau lebih hasil relatif;


Medium = 75-99% hasil relatif; Rendah = 50-74% hasil
relatif; Sangat rendah = kurang dari 50% hasil relatif.

Kemiripan kebutuhan P tanaman kapas dan jagung


didemonstrasikan oleh data (Tabel 2) dari percobaan pada tujuh
lokasi yang dilakukan pada petakan yang sama dari tahun 1954 hingga
1964. Nilai uji tanah untuk P menjadi indikasi yang bagus bagi respons
hasil tanaman. Pembandingan respon terhadap P oleh kedua jenis
tanaman pada setiap lokasi menunjukkan bahwa mereka menghasilkan
respon relatif terhadap P yang hampir sama.
100

Hasil relatif, %

100 - A = 100% hasil dari K


y = % hasil dari K=0
b = nilai uji tanah K
c = konstante

80 - Jagung: Log(A-y) = Log A-c(b-10)

Tanah kelompok I c = 0.085


Tanah kelompok II c = 0.064
Tanah kelompok III c= 0.042
60 -
Kedelai : Log(A-y) = Log A-c(b-12)
Tanah kelompok I c = 0.078
Tanah kelompok II c = 0.054
Tanah kelompok III c= 0.036
40 -

Kapas : Log(A-y) = Log A-c(b-15)

20 - Tanah kelompok I c = 0.041


Tanah kelompok II c = 0.031
Tanah kelompok III c= 0.020

0.0
10 20 30 40 50 60 Kelompok I
15 30 45 60 75 90 Kelompok II
20 40 60 80 100 120 Kelompok III

Uji tanah K, ppm

Gambar 23. Hubungan antara uji tanah K dan hasil relatif tanaman
jagung, kapas, dan kedelai (Rouse, 1968).

Data dalam Tabel 22 tentang respon terhadap K menunjukkan


mengapa tanaman dikelompokkan ke dalam dua kategori atas dasar
kebutuhan K. Kapas lebih responsif terhadap K daripada jagung
dan harus menerima dosis tinggi pada level K tanah "rendah" dan
"medium" untuk menghasilkan hasil maksimum. Kedelai dan
101

kacangtanah menunjukkan kebutuhan K intermedier antara tanaman


legume dan rumput-rumputan.
Tanam-tanaman sangat beragam tingkat responnya terhadap
kapur pada kondisi pH tanah tertentu. Hal ini ditunjukkan oleh datan
dalam Tabel 23 dimana hasil relatif tanaman pada pH 5.1 beragam dari
kurang 40% (sorghum) hingga 97% (jagung). Berdasarkan data-data
respon tanaman terhadap kapur, maka tanaman dibagi menjadi empat
kelas atas dasar pH minimum dimana mereka menghasilkan hasil
maksimum (Tabel 24).

Tabel 23. Hasil relatif kapas dan jagung akibat pemupukan P


dan K

Dosis Bend Dotha Luceda Lucedal Hartsell Savana(


pupuk ale(I) n (I) le-M(II) e-P(II) e (II) II)
P dan K Jg K Jg Kp Jg Kp Jg Kp Jg Kp Jg
K p p s s s s
s s
(ppm) ................................ % ..........................................

Fosfor:
0 87 83 92 1* 82 87 1* 95 57 52 93 88
9 95 97 94 9 95 95 96 100 78 8 96 97
8 2
18 97 95 93 9 94 87 95 95 87 94 96 96
6
26 1* 99 95 9 98 100 93 95 94 1* 99 100
8
44 99 1* 1* 9 1* 89 95 86 1* 96 100 9
5 5
Ujitana 18 79 29 93 16 58
hP
Jenjang R R T M T T R T T
T M R

Kalium:
0 32 81 56 88 22 73 72 81 55 71 84 98
17 6 9 85 98 53 94 77 82 82 93 94 95
0 5
33 81 1* 94 98 73 86 96 92 92 98 100 96
50 85 1* 95 97 93 1* 99 1* 1* 99 99 99
66 1* 9 99 1* 94 96 1* 98 96 1* 98 100
9
83 98 1* 1* 96 1* 98 1* 94 98 98 10 99
0
102

Ujitana 34 68 22 175 67 13
hK 8
Jenjang R M M S R M T R M T
R R M
Keterangan : 1* = 100. Uji tanah dilakukan dengan ekstraksi
0.05N HCl + 0.025N H2SO4

Tabel 24. Klasifikasi tanaman berdasarkan atas pH optimum dan


kebutuhan kapur

Kelas Kapur kalau Pengapuran Jenis tanaman


Tnaman pH di bawah hingga pH
A 5.0 5.5-5.7 Kentang; azalea; tembakau
B 5.5 6.2-6.5 Rumput; hay; dll
C 5.8 6.2-6.5 Kapas; legume; jagung; dll
D 6.0 6.5-7.0 Alfalfa

3. Kapasitas tanah mensuplai hara pada tingkat uji tanah tertentu

Jumlah P dan K yang diekstraks dari tanah oleh larutan


pengekstraks dan oleh tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
jumlah liat, tipe liat, bahan organik, kandungan total P atau K, dan
sejarah pemupukan serta pertanaman. Volk (1942) menemukan bahwa
derajat respon terhadap K pada nilai uji tanah tertentu berhubungan
dengan KTK. Ia pertama kali menunjukkan bahwa tanah-tanah dari
Alabama dibagi menjadi tiga kelompok KTK atas dasar responnya
terhadap K. Winters (1945) juga melaporkan bahwa tanah-tanah yang
KTK nya rendah di Tennessee, Georgia, dan Mississippi lebih kaya K-
tersedia dari tanah-tanah bertekstur halus pada jenjang uji K-tanah
yang sama.
Penelitian lain menunjukkan bahwa adanya perbedaan respon
di antara tanah telah mendorong perlunya penggolongan tanah
menjadi dua golongan P dan tiga golongan K dalam rangka untuk
mendeskripsikannya atas dasar respon hasil tanaman. Kelompok-
kelompok yang digunakan adalah:

Kelompok I. Tanah bertekstur kasar dengan KTK < 5 me/100g


103

Kelompok II.Tanah bertekstur medium dengan KTK 5 - 10


me/100g
Kelompok III.Tanah bertekstur halus dengan KTK lebih besar 10
me/100g.

Kelompok I dan II digabung menjadi satu kelompok untuk P.


Mereka melepaskan lebih banyak P dalam ekstraks asam encer
daripada tanah-tanah kelompok III. Tanah-tanah Kelompok III
menghasilkan hasil maksimum pada jenjang uji P tanah yang lebih
rendah daripada tanah-tanah Kelompok I dan II. Mereka juga mengalami
peningkatan nilai uji P tanah yang lebih sedikit pada dosis pemupukan
yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh data dalam Tabel 25 yang diambil
dari hasil percobaan pemupukan P dan K pada tanaman kapas dan
jagung. Peningkatan nilai uji P-tanah berhubungan erat dengan dosis
pupuk, tetapi peningkatan ini lebih besar pada tanah-tanah yang KTK
nya rendah daripada tanah-tanah Kelompok III.

Tabel 25. Pengaruh dosis pupuk P dan K terhadap nilai uji tanah

Periode Dosis Tahun Tanah Tanah Tanah Kelompok III


Kelompok I Kelompok II
P dan K samplingBendal DothanHartselLucedaLucedaleDewey Decatur
e ls le
(ppm) fsl fsl fsl (M) fsl (P) scl sil sil

Uji P-tanah, ppm


- - 1929 29M 66T 32M 30M 63T 15R 10R
1929- 0 1971 28M 52T 19R 24R 44M 15R 11R
71
1958- 26 1957 87T 149 68T 91T 172S 77ST 70ST
71 T T
1929- 26 1971 98T 134 81T 75T 150S 51T 34T
71 ST T
1929- Tambah 69 68 49 45 87 36 24
71 an
1929- 48 1957 189 312 177 196 202S 119 158
57 ST ST ST ST TS ST STS
1957- 26 1971 150 181 129 136 195 87 75
71 ST ST ST ST ST ST ST
1929- Tambah 121 115 97 106 132 72 65
71 an

Uji K-tanah, ppm


- - 192 40 90M 100 85M 120 242T 160M
104

9 R M M
1929- 0 1971 58R 64M 64R 70 61R 145M 149M
71 R
1929- 16 1957 42R 123 107 81M 229T 253T 236M
57 T M
1958- 50 1971 118 124 154 166 172M 310T 260T
71 M T M T
1929- Tambaha 78 34 54 81 52 68 100
71 n
1929- 32 1957 67M 144 133 154 325T 273T 344T
57 T M T
1958- 100 1971 144 146 204 216 248T 373T 350T
71 T T T T
1929- Tambaha 104 5 104 131 128 131 190
71 n 6
Keterangan:
105

HASIL BIJI KAPAS

lb/acre lb/acre

3000 ST 3000
T
2600 M T 2600

2200 2200

1800 1800

1400 1400 M

1000 Lucedale (P) 1000 Dothan

0 25 50 75 100 0 25 50 75
100
Pound K/acre Pound K/acre

lb/acre lb/acre
2600 2600

2200 M T 2200 T

1800 1800 M

1400 1400

1000 R Benndale 1000 Decatur

600 600

0 25 50 75 100 0 25 50 75
100
Pound K/acre Pound K/acre
106

lb/acre lb/acre

2600 T 2600
M
2200 2200 T

1800 1800 M

1400 1400

1000 Dewey 1000 Lucedale (M)

0 25 50 75 100 0 25 50 75
100

Pound K/acre Pound K/acre

Gambar 24. Respon kapas terhadap K dalam rotasi dua tahun. Huruf
pada garis hasil menyatakan tingkat uji K-tanah pada
atahun 1967 setelah pemupukan selama 14 tahun (Cope,
1970b).

Uji K tanah orisinal (Tabel 4) sangat beragam di antara tanah,


dan secara langsung berhubungan dengan KTK. Tanah-tanah dari
Kelompok I yang semula "Rendah" atau "Medium" kandungan K nya
tidak banyak berubah kalau ditanami tanpa pemupukan K. Mereka
memberikan hasil yang rendah pada dosis rendah dimana mereka
melepaskan K ke tanaman yang sedang tumbuh atau ke pengekstraks
uji tanah. Kalau pupuk K ditambahkan maka akan terjadi peningkatan
hasil tanaman dan nilai uji K tanah yang cukup besar. Tanah-tanah
yang KTKnya tinggi dan kaya K menghilangkan lebih banyak K kalau
ditanami tanpa pemupukan kalium. kalau dipupuk kalium, nilai uji K
tanah meningkat lebih cepat dan jenjangnya lebih tinggi daripada
tanah-tanah berpasir. Tanah-tanah Kelompok III setelah 42 tahun tanpa
pemupukan kalium, mempunyai nilai uji K tanah hampir sama dengan
tanah-tanah Kelompok I yang telah dipupuk 2300 ppm K selama
periode tersebut. Data hasil tanaman dari percobaan ini (Gambar 24)
menunjukkan bahwa tanah "Medium" respon terhadap 25K sedangkan
tanah "Rendah" respon terhadap 50K.
107

Hubungan antara respon terhadap K dan nilai uji K tanah untuk


tiga kelompok tanah disajikan dalam Gambar 25. Data untuk menyusun
kurva ini berasal dari percobaan jangka panjang yang disajikan dalam
Tabel 23 dan 24. Kurva-kurva ini menunjukkan mengapa harus
dilakukan pemisahan tanah ke dalam kelompok-kelompok untuk
mejenjangkan nilai-nilai uji tanah. Uji K tanah dalam tanah-tanah
kelompok III tidak dapat direduksi di lapangan hingga tingkat yang akan
memberikan respon pada tanah-tanah Kelompok I. Kurva-kurva dalam
Gambar 25 dapat dibuat bersama-sama dengan memvariasikan skala
nilai-nilai uji tanah pada sumbu horisontal menurut kelompok tanah
seperti yang telah didemonstrasikan oleh Rouse (1968).
Penggunaan pengelompokkan tanah sangat penting guna
menyusun rekomendasi yang didasarkan atas nilai-nilai uji tanah. Hal ini
menuntut pentingnya klasifikasi contoh-contoh tanah yang masuk ke
laboratorium. Hal ini dapat dilakukan secara cukup akurat oleh
seseorang yang telah terbiasa dengan tipe-tipe tanah di wilayah yang
diteliti. Pemeriksaan contoh tanah sebelum diseleksi dan pemberian
notasi daerah asal akan mempermudah klasifikasinya.
Rekomendasi kapur yang didasarkan atas uji tanah
merupakan bagian integral dari jasa-jasa yang diberikan oleh
laboratorium uji tanah. Kebutuhan kapur dan pengaruh pengapuran
beragam di antara tanah-tanah, bahkan pada pH yang sama. Nilai
pH kritis untuk suatu jenis tanaman juga dapat beragam hampir satu
unit pH di antara tanah-tanah. Hal ini didemonstrasikan dalam Gambar
26 (Adams, 1971). Nilai pH kritis bagi kapas pada tanah lempung
berpasir halus (fsl, fine sandy loam) Norfolk dan Magnolia adalah
sekitar 5.8, sedangkan pada tanah lempung liat berpasir (scl, silty clay
loam) sekitar 5.0.
108

Hasil relatif kapas

100

80 Kelompok III

60 -

Kelompok II

40 -

Kelompok I

20 -

0
40 80 120 160 200 240
Uji K-tanah, ppm

Gambar 25. Hubungan antara uji K-tanah dan respons tanaman kapas
terhadap K pada tanah-tanah yang KTK nya berbeda-beda.
109

Hasil biji kapas, kg/ha

2250

1800 -

1350 : lempung berpasir halus

----: lempung berpasir halus


- - -: kempung liat berpasir

5.0 5.4 5.8 6.2 6.6 7.0


pH tanah

Gambar 26. Pengaruh pH tanah terhadap hasil biji kapas (1971).


110

Banyak uji laboratorium dapat digunakan untuk menentukan


kebutuhan kapur. Prosedur ini mengevaluasi pengaruh bahan organik
dan macam serta jumlah liat terhadap jumlah kapur yang diperlukan
untuk mengubah pH tanah hingga taraf yang diinginkan. Prosedur ini
harus dikalibrasikan dengan respon tanaman terhadap kapur di
lapangan. Hasil-hasil uji kebutuhan kapur biasanya diinterpretasikan
untuk rekomendasi kapur mendekati 0.5 ton. Tidak ada upaya untuk
menjenjangkan tanah-tanah berdasarkan atas pentingnya pengapuran
seperti yang dilakuakn untuk P dan K. Laporan uji tanah biasanya hanya
menunjukkan pH dan jumlah kapur yang direkomendasikan.

4. Penjenjangan Nilai Uji Tanah dan Penggunaan Indeks


Kesuburan

Kebanyakan laboratorium menggunakan beberapa macam


sistem penjenjangan untuk mengevaluasi nilai-nilai uji tanah.
Penggunaan ukuran deskriptif seperti "rendah", "medium", dan "tinggi"
dalam kalibrasi uji tanah mempunyai keterbatasan yang serius.
Berbagai konsep telah dikaitkan dengan istilah-istilah ini. Morgan (1935)
mengusulkan skala 1 hingga 10, dimana nilai 8 sama dengan titik tidak
ada respon. Bray (1945) menggunakan hasil relatif tanaman atau
persentase kecukupan untuk mendeskripsikan derajat defisiensi
dengan angka 100 menyatakan titik tidak ada respon. ヘ
Rouse (1968) mengusulkan penggunaan kombinasi
penjenjangan yang didefinisikan dalam bentuk hasil relatif dan indeks
kesuburan yang diekspresikan sebagai persentase kecukupan. Sistem
seperti ini digunakan di laboratorium Universitas Auburn seperti yang
dijelaskan oleh Cope (1970). Ini mempunyai konotasi yang diinginkan
untuk menyatakan hasil relatif yang diharapkan tanpa penambahan
unsur hara. Indeks di bawah 100 mengikuti hubungan kurvi-linear
antara nilai-nilai uji tanah dan hasil tanpa penambahan pupuk. Di atas
100, indeks merupakan hubungan garis lurus yang menyatakan marjin
kecukupan relatif atau mendekati tingkat berlebihan. Untuk
mengeliminir tanda persen maka nilai-nilainya disebut sebagai "Indeks
Kesuburan". Mereka ini dilaporkan sebagai kelipatan 10, mulai dari 0
hingga 990.
Hubungan antara penjenjangan uji tanah, nilai indeks
kesuburan dan hasil relatif tanaman disajikan dalam Tabel 26.
111

Tabel 26. Pembandingan penjenjangan uji tanah, indeks kesuburan, hasil


relatif dan rekomendasi yang didasarkan atas uji tanah.

Jenjan Indeks Hasil Rekomendasi


g relatif
uji kesubur tanpa pupuk;
tanah an %
Sanga 0-50*) < 50 Pemupukan dosis tinggi untuk
t tu-
renda juan perbaikan tanah.
h
Renda 60-70 50-75 Aplikasi musiman untuk
h menghasil kan respon
maksimum dan meningkatkan
kesuburan tanah
Mediu 80-100 75-100 Aplikasi musiman dosis normal
m un tuk menghasilkan hasil
maksimum.

Tinggi 110-200 100 Aplikasi dosis rendah untuk


mem pertahankan kandungan
tanah
Dosis dapat dilipat-duakan dan
diberikan dua tahun sekali
Sanga 210-400 100 Tidak perlu dipupuk hingga
t menurun menjadi kisaran
tinggi "tinggi".
Jenjang ini memungkinkan
petani;
Sanga 410- 100? Tanpa resiko kehilangan hasil;
t 990 mendapatkan manfaat
tinggi ekonomis dari dosis ting gi
sekali pada tahun-tahun sebelumnya.
Keterangan: Indeks kesuburan atalah % kecukupan.

Nilai-nilai uji P dan K tanah dikelompokkan menjadi "sangat


rendah" hingga "sangat tinggi" sesuai dengan nilai-nilai yang disajikan
dalam Tabel 27. Penjenjangan ini didasarkan atas tiga kategori
tanaman dan tiga kelompok tanah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kalau nilai uji tanah telah ditentukan dalam ppm di laboratorium,
penjenjangan P dan K dilakukan berdasarkan nilai-nilai dalam tabel
ini. Kemudian penjenjangan digunakan dalam menyusun
rekomendasi pupuk.
112

Tabel 27. Kadar P dan K yang digunakan pada penjenjangan uji tanah

Kelo Fosfor Kalium


mpo
k
tana SR R M T ST STS SR R M T ST
h
................ ppm P .................. ........... ppm K ..............

Jagung dan rerumputan


I 0- 13- 26- 51- 101 0- 21- 41- 81- 161
12 25 50 100 + 20 40 80 160 +
II 0- 13- 26- 51- 101 0- 31- 61- 121 241
12 25 50 100 + 30 60 120 - +
240
III 0- 7 8- 16- 31- 61+ 0- 41- 81- 161 321
15 30 60 40 80 160 - +
320

Kapas dan legume


I 0- 13- 26- 51- 101 0- 31- 61- 121 241
12 25 50 100 + 20 60 120 - +
240
II 0- 13- 26- 51- 101 0- 46- 91- 181 361
12 25 50 100 + 45 90 180 - +
360
III 0- 7 8- 16- 31- 61+ 0- 61- 121 241 481
15 30 60 60 120 - - +
240 480

Kebun; lapangan; semak-belukar


I 0- 26- 51- 101 201 401 0- 41- 81- 161 321
25 50 100 - - + 40 80 160 - +
200 400 320
II 0- 26- 51- 101 201 401 0- 61- 121 241 481
25 50 100 - - + 60 120 - - +
200 400 240 480
III 0- 16- 31- 61- 121 241 0- 81- 161 321 641
15 30 60 120 - + 80 160 - - +
240 320 640
Keterangan: ekstraksi tanah dengan 0.05N HCl + 0.025N H2SO4
113

Tabel 28. Tabel konversi untuk mengubah ppm nilai uji P dan K tanah
menjadi indeks kesuburan untuk kapas dan legume pada
kelompok tanah yang berbeda-beda.

Inde Kelompok tanah Kelompok tanah


ks
kesu I & II III I II III
bura
n
....P-tanah; ppm .. ...... K-tanah; ppm ....
Jenjang sangat rendah:
0 0 0 0-20 0-30 0-40
10 1-2 1 21-22 31-34 41-46
20 3-4 2 23-24 35-38 47-52
30 5-7 3 25-26 39-42 53-58
40 8-10 4-5 27-28 43-46 59-64
50 11-12 6-7 29-30 47-50 65-70
Jenjang rendah
60 13-19 8-11 31-45 51-70 71-95
70 20-25 12-15 46-60 71-90 96-120
Jenjang Medium
80 26-34 16-21 61-80 91-120 121-166
90 35-43 22-26 81-100 121-150 167-212
100 44-50 27-30 101-120 151-180 213-240
Jenjang Tinggi
110- 51-100 31-60 121-240 181-360 241-480
200
Jenjang Sangat Tinggi
210- 101-200 61-120 241-480 361-720 481-960
400
Jenjang Ekstrim Tinggi
410 - 201+ 121+ 481+ 721+ 961+

Nilai-nilai indeks kesuburan yang disajikan pada laporan uji


tanah untuk semua lapangan dan tanaman forage didasarkan pada
kebutuhan kesuburan tanaman kapas dan legume. Data yang digunakan
untuk mengkonversi nilai-nilai uji tanah menjadi nilai indeks disajikan
dalam Tabel 28. Nilai-nilai indeks untuk tanaman rumput tidak digunakan
degan alasan untuk menyederhanakan saja. Indeks untuk tanaman
kapas dapat dikonversi menjadi indeks yang lebih akurat untuk
tanaman jagung dan jenis rumput lainnya pada tanah-tanah yang
114

tergolong "Rendah" atau "Medium" dengan memperbesar indeks yang


ada dengan angka sebesar 20. Untuk tanah-tanah "Tinggi" atau
"Sangat tinggi" indeks yang ada harus ditingkatkan 50%.
Indeks kesuburan tanah merupakan nilai khusus untuk
menyimpan informasi tentang kesuburan tanah. Indeks ini lebih tepat
dibandingkan dengan penjenjangan saja, ia dapat menyatakan derajat
perubahan kesuburan tanah sebagai akibat dari program pengelolaan
selama bertahun-tahun. Karena indeks dinyatakan dalam persen,
maka lebih mudah dipahami daripada nilai uji tanah yang beragam
dengan prosedur ekstraksinya dan harus diinterpretasikan untuk jenis
tanaman dan tanah yang berbeda-beda. Nilai indeks ini dapat
mengeliminir “kekaburan” tentang jumlah ppm atau kg per hektar hara
yang dapat diekstraks atau perbedaan jumlah P dan K yang ditemukan
dalam uji tanah. Indeks ini sangat berguna bagi petani untuk mengambil
contoh tanah dari lahan yang telah dipupuk. Nilai-nilai indeks yang tinggi
untuk contoh-contoh tanah dalam kisaran “sangat tinggi" dan "sangat
tinggi sekali" akan membantu menjelaskan permasalahan akibat
pemupukan yang berlebihan.
115

METODE KALIBRASI UJI TANAH

1. Pendahuluan

Prinsip implementasi uji tanah untuk menyusun rekomendasi


pemupukan adalah ketergantungan hasil tanaman pada jumlah unsur
hara yang tersedia dalam tanah. Ketersediaan hara dalam tanah ini
didekati dan diukur dengan uji tanah. Walaupun ketergantungan seperti
ini memang ada, namun banyak faktor yang mem-pengaruhi keeratan
hubungan ketergantungan tersebut. Faktor-faktor tersebut bisa
berupa kesalahan sederhana dalam menentukan data yang
diperlukan, kesalahan-kesalahan teknis, dan faktor-faktor pertumbuhan
lainnya yang juga berpengaruh terhadap respon tanaman.
Tahapan penting yang juga menjadi sumber kesalahan ialah
tahapan analisis laboratorium. Dalam tahapan ini dilakukan berbagai
metode ekstraksi dan analisis contoh material tanah untuk menentukan
ketersediaan unsur hara dalam tanah. Prinsip dasar dari analisis ini
adalah mensimulasi aktivitas akar tanaman dengan suatu prosedur
ekstraksi kimiawi, menggunakan pengekstrak asam-asam lemah, larutan
garam atau air murni. Ada dua alasan utama mengapa simulasi ini
tidak dapat sempurna. Pertama karena kemampuan untuk
mengekstraks unsur hara dari tanah sangat beragam di antara jenis
tanaman. Ke dua, ekstraksi di laboratorium dilakukan hanya beberapa
menit atau beberapa jam saja, sedangkan tanaman mempunyai
kesempatan selama satu musim tanam penuh untuk menyerap unsur
hara dari tanah. Pengaruh waktu ini sangat penting sekali kalau unsur
hara dalam tanah "dilepaskan secara lambat" selama musim
pertumbuhan tanaman, seperti misalnya mineralisasi nitrogen dari
bahan organik tanah; atau kalau unsur hara difiksasi oleh tanah menjadi
bentuk yang kurang tersedia bagi tanaman. Misalnya fiksasi kalium
oleh mineral liat tertentu dalam tanah. Unsur hara terfiksasi seperti ini
dapat diekstraks oleh akar tanaman secara lambat, tetapi tidak dapat
diekstraks dengan prosedur kimiawi di laboratorium yang lazim
digunakan. Oleh karena itu simulasi kegiatan akar tanaman dengan
ekstraksi secara kimia merupakan suatu pendekatan yang cukup baik.
Ekosistem tanaman-tanah-iklim merupakan suatu kompleksi
dengan berbagai peubah yang saling berinteraksi, yang kesemuanya
akan menentukan pertumbuhan tanaman dan produktivitasnya. Oleh
karena itu metode analisis yang sesuai untuk mendekati masalah ini
116

adalah analisis multivariate, dimana beberapa parameter berupaya


mengkuantifikasikan pengaruh unsur hara tanah sebagaimana yang
ditentukan oleh uji tanah. Hasil uji tanah lazimnya dapat dikalibrasikan
dengan jalan mengkorelasikannya dengan hasil-hasil percobaan
lapangan. Untuk keperluan ini percobaan harus dirancang secara
khusus.

2. Beberapa Kesalahan Dalam Uji Tanah

Dalam prosedur kerja uji tanah yang lazimnya dimulai dari


pengambilan contoh tanah di lapangan hingga perhitungan kandungan
unsur hara yang tersedia dalam tanah tentu mengandung berbagai
kesalahan. Salah satu sumber kesalahan yang serius adalah pada
contoh tanah, biasanya mencapai 80-85% dari total kesalahan
(Truog, 1954). Kesalahan lainnya bersumber dari kegiatan laboratorium
yang bersupa sub-sampling untuk analisis, kesalahan dalam proses
analisis termasuk perlengkapan dan instrumen yang digunakan.

2.1. Kesalahan dalam Contoh Tanah

Material tanah bersifat heterogen dan ciri-cirinya sangat beragam


antara satu titik dengan titik lainnya. Variasi ini lebih kecil untuk
beberapa sifat tanah seperti pH, dan lebih besar untuk sifat lainnya,
termasuk kandungan unsur hara tersedia.
Schuffelen et al. (1945) telah menentukan heterogenitas tanah di
dalam area satu meter persegi dalam hal kandungan kalium. Kesalahan
sampling mencapai sebesar 40% setiap contoh tanah. Ciri khas dari
heterogenitas tanah ini ialah bahwa pada kenyatannya hanya sedikit saja
perbedaannya antara petak sempit dengan petak yang luas. Variasi
kandungan hara di dalam satu meter persegi tanah hampir sama dengan
satu hektar. Hal ini berarti bahwa kalau perbedaan kesuburan di
antara dua bidang lahan harus diukur maka perlu banyak titik contoh
dari setiap bidang lahan.
Dalam praktek pengambilan contoh tanah dari sebidang lahan
biasanya diambil banyak titik anak contoh dan dicampur menjadi contoh
komposit. Banyaknya anak contoh yang dianjurkan berkisar antara 15
hingga 40 yang tersebar secara merata di lapangan. Dapat
diperhitungkan bahwa presisi maksimum yang praktis dapat dicapai
dengan 40 anak contoh untuk suatu contoh tanah komposit (Vermeulen,
1960). Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 27. Ragam kesalahan untuk
satu anak contoh ditetapkan 100% pada sumbu vertikal. Dengan
bertambah banyaknya anak contoh ( n pada sumbu horisontal) maka
117

persentase ragam kesalahan menurun dengan faktor 1/ûn. Dengan


empat anak contoh maka persentase ragam adalah 100/û4 = 50%;
dengan 15 anak contoh maka persentase ragam kesalahan tersebut
menjadi 26%, dan dengan 40 anak contoh persentase ragam
kesalahan menjadi 15.8%. Selanjutnya penambahan jumlah anak contoh
tidak mampu menurunkan persentase ragam kesalahan secara nyata.

% ragam orisinal
50 -

25 -

0
0 15 40 60 80 100
Banyaknya anak contoh setiap contoh komposit

Gambar 27. Hubungan antara banyaknya anak contoh dengan besarnya


ragam kesalahan

Kalau kesalahan dalam uji anah untuk satu anak-contoh sebesar


40% dari nilainya, maka kesalahan ini direduksi menjadi 26% dari 40
menjadi sebesar 10.4% dari nilai uji tanah kalau 15 anak contoh diambil
di lapangan. Kalau anak contoh sebanyak 40 maka kesalahan dalam uji
tanah direduksi menjadi 0.158 kali 40 atau 6.3% dari nilai uji tanah.
118

Kesalahan sebesar 6% dari nilai-nilai uji tanah tidak terlalu


tinggi untuk maksud kalibrasi uji tanah. Pada tanah yang heterogen perlu
diambil 40 anak contoh untuk setiap contoh tanah yang komposit.
Karena heterogenitas tanah sulit diketahui dalam uji lapangan maka
supaya aman disarankan diambil 40 anak contoh untuk maksud-maksud
kalibrasi. Untuk keperluan praktis disarankan banyaknya anak contoh
berkisar 15-25.

2.1.1. Duplikat contoh tanah versus ulangan analisis

Berdasarkan pada distribusi kesalahan antara contoh tanah


dan kerja laboratorium sepereti yang diuraikan di atas, maka hanya
sedikit sekali tambahan presisi kalau analisis laboratorium dilakukan
pada contoh tanah yang sama sebanyak 3 atau 4 kali dibandingkan
dengan hanya dua kali. Demikian juha hanya ada sedikit keuntungan
dengan mengambil lebih dari 40 anak-contoh untuk satu contoh tanah
komposit. Kalau presisi yang lebih tinggi harus diperoleh maka
disarankan untuk mengumpulkan dua atau tiga contoh tanah komposit.
Dengan cara ini ragam kesalahan dapat direduksi menjadi sekitar 11%
dan 9%.
Untuk maksud korelasi uji tanah/hasil disarankan bahwa satu
contoh tanah yang baik terdiri atas 40 anak -contoh untuk setiap ulangan
dari percobaan lapangan diambil pada saat tanam, sebelum pupuk
diberikan.

2.1.2. Kedalaman pengambilan contoh tanah

Lapisan tanah dari mana akar tanaman mengambil unsur


haranya harus diambil contohnya untuk uji tanah. Pengambilan contoh
dari suatu lapisan yang lebih tebal atau lebih tipis akan mereduksi presisi
hasil interpretasinya. Bagi lahan tanaman pangan biasanya kedalaman
pengambilan tontoh tanah adalah lapisan olah, karena perakaran
tanaman berkembang secara leluasa dalam lapisan ini, demikian juga
pupuk dicampur dengan lapisan tanah setiap kali pengolahan tanah.
Perubahan kandungan hara, efek perlakuan tanah dan pertanaman
akan paling jelas pada lapisan olah ini yang biasanya tebalnya 15-25
cm.

2.2. Kesalahan di Laboratorium


119

Beberapa pedoman yang memuat prosedur dan instruksi


mengenai prosedur analisis contoh tanah di laboratorium. Instrumentasi
yang sederhana dan peralatan yang ringan umumnya lebih disenangi
dan tentu saja akan ikut menentukan ketelitian hasil analisis.

3. Pembandingan Prosedur Uji Tanah

Prosedur ujitanah yang baik ialah yang mampu mencerminkan


serapan hara dari berbagai jenis tanaman dan tidak peka terhadap tipe
tanah. Pembandingan ekstraktan (pengekstraks), atau metode uji tanah
biasanya dapat dilakukan di rumah kaca dengan tanaman pot. Dengan
cara sepeeti ini banyak faktor pengganggu dapat dieliminir, dan korelasi
yang lebih persis dan signifikan dapat dicapai dan ini diperlukan untuk
pembandingan yang absah berbagai metode yang diuji. Kelemahannya
ialah bahwa hasil-hasil percobaan rumah kaca tidak absah untuk
lapangan terbuka, sehingga hasil-hasil percobaan rumah kaca tidak
boleh digunakan untuk landasan rekomendasi lapang, tetapi hanya untuk
membandingkan uji-uji kimiawi. Pengekstraks yang ditemukan
berkorelasi sangat baik dengan hasil tanaman di rumah kaca tampaknya
juga akan baik puula korelasinya dengan contoh-contoh lapangan.
Kalau pembandingan dilakukan dengan petak-petak lahan di
lapangan, maka lebih banyak data yang diperlukan untuk mengimbangi
ragam yang lebih besar, untuk dapat membedakan di antara metode-
metode kimiawi yang diuji. Banyak macam tanah yang harus dicakup
dalam penelitian uji-tanah sehingga perlu adanya pengelompokkan.
Kriteria pengelompokkan bisa bermacam-macam, misalnya pH tanah
untuk kepentingan uji korelasi fosfat , atau tipe mineral liat yang dominan
untuk uji korelasi kalium. Dalam setiap kelompok ini kandungan unsur
hara yang diuji akan bergaam dari rendah hingga tinggi. Dengan cara ini
hasil-hasilnya akan menunjukkan tingkat kesesuaian berbagai metode
analisis untuk berbagai macam tanah atau hanya sesuai untuk tipe tanah
tertentu saja.
Beberapa pakar hanya menggunakan satu macam tanah dan
memvariasikan taraf hara dengan menggunakan pupuk (Lakanen dan
Ervio, 1971). Keseragaman tanah seperti ini mampu mengakibatkan
korelasi yang lebih baik, tetapi untuk maksud konsultasi praktis, di
mana banyak macam tanah harus ditangani maka prosedur ini tidak
dapat direkomendasikan.

Tanaman indikator untuk penelitian semacam ini disarankan


untuk dipilih jenis tanaman yang dominan di lokasi penelitian. Tanaman
120

biji-bijian sangat cocok untuk uji pot. Tanaman dalam uji pot tidak
boleh dipanen terlalu awal. Unsur hara tanaman diperlukan lebih
banyak oleh tanaman dalam beberapa fase pertumbuhannya
dibandingkan dengan yang lain. Kalium terutama diambil pada awal
periode pertumbuhan, fosfor dan nitrogen banyak diperlukan untuk
pembentukan biji. Soper (1971) menunjukkan hubungan-hubungan ini
secara jelas dalam studi korelasinya de-ngan uji-uji tanah. Oleh karena itu
disarankan untuk tidak memanen sebelum bulir berkembang secara
penuh. Dengan demikian jumlah tanah (ukuran pot) harus cukup untuk
mendukung tanaman hingga dewasa penuh.
Disamping penentuan hasil tanaman setiap pot, maka
kandungan unsur hara dalam material tanaman yang dipanen juga
harus ditentukan untuk mengetahui total serapan setiap pot. Serapan
hara ini merupakan indikasi langsung dari ketersediaan unsur hara
dalam tanah. Tanaman akan menyerap unsur hara tersedia meskipun
ada faktor luar lainnya yang menghambat penggunaan unsur hara
tersebut dalam proses produksi hasil tanaman. Oleh karena itu nilai
serapan hara oleh tanaman ini seringkali dapat menjadi indikator dan
dapat digunakan sebagai ukuran yang lebih dapat diandalkan untuk
mengetahui tingkat ketersediaan hara dalam tanah.
Beberapa peneliti lebih senang menggunakan kandungan hara
tanaman yang dinyatakan sebagai persentase dari bahan kering
tanaman dan bukannya total serapan hara. Mereka berargumentasi
bahwa total serapan hara yang diperoleh dengan mengalikan
persentase (kadar) dalam bahan tanaman dengan total berat bahan
tanaman sebagian tergantung kepada hasil tanaman dan oleh karena
itu lebih tergantung kepada kondisi pertumbuhan secara umum
dibandingkan dengan persentase kadarnya. Akan tetapi hal seperti ini
tidak selalu benar. Pertumbuhan tanaman yang buruk yang tidak
disebabkan oleh defisiensi unsur hara yang diuji biasanya akan
menghasilkan nilai kadar hara yang tinggi, sehingga hal ini akan dapat
menyebabkan kekeliruan dalam menyatakan "serapan hara yang tinggi".
Padahal sesungguhnya serapan hara yang riil rendah karena
pertumbuhan tanaman buruk.

3.1. Prosedur
Uji tanah pendahuluan seringkali dapat membantu untuk
menyeleksi contoh tanah yang tepat. Pot berukuran 10 liter diisi dengan
contoh tanah dan ditanami tanaman uji. Tiga dari enam pot diberi
semua unsur hara kecuali unsur yang diuji; ini merupakan "kontrol". Tiga
pot lainnya diberi unsur hara yang sama dan ditambah unsur hara
yang diuji, ini merupakan pot yang dipupuk. Bahan pupuk harus
121

dicampur secara baik dengan tanah, tidak boleh diberikan dalam bentuk
laruta karena akan dapat mengakibatkan distribusi hara yang tidak
merata dalam tanah.
Setelah panen berat kering total tanaman ditentukan setiap pot
dan analisis dilakukan untuk mengukur total serapan hara. Data hasil
percobaan ini disajikan dalam Tabel 29. Tanaman ujinya adalah padi
jenis unggul, sedangkan perlakuan kontrolnya adalah 120-0-80 kg/ha dan
perlakuan pemupukannya adalah 120-80-80. Empat kolom data uji
tanah menyatakan nilai-nilaiyang diperoleh dengan setiap metode
ekstraksi. Empat kolom berikutnya menunjukkan data tanaman
absolut dan kolom terakhir menyatakan nilai persentase hasil yang
diperoleh dengan jalan : hasil tanaman kontrol dibagi hasil tanaman
yang dipupuk lalu dikalikan 100%.
Ternyata ekstrak Bray dan Truog tidak memberikan data yang
berkorelasi nyata dengan data hasil tanaman. Pengekstrak yang agak
alkalin Na-bikarbonat dengan pH 8.5 lebih superior karena tidak peka
terhadap perubahan tipe tanah dan lebih sesuai untuk tanah sawah.
Nilai-nilai hasil analisis contoh tanah untuk setiap macam pengekstrak
dikorelasikan dengan lima tipe data tanaman dan koefisien korelasinya
disajikan dalam Tabel 30.
122

Tabel 29. Pembandingan korelasi ekstraksi fosfat dengan hasil tanaman


dan serapan hara.

Data uji tanah Data tanaman (biji+jerami)


Pengekstrak Tanah g/pot mg/pot 1)
Tana Bray Bray Olse Hasil Resp Serap Tamb %
h no 1 2 n kontr on an ahan Has
ol hasil P0 serap il
an
Bn 1 6.6 9.0 7.3 57.9 17.7 59 48 77
Bn 2 1.2 6.0 8.0 39.8 37.2 40 73 52
Db 3.0 6.9 4.6 60.6 13.6 65 76 81
Sb 1 6.1 12.8 9.9 74.9 1.4 176 -27 98
Cn 2.3 8.8 13.1 59.9 2.0 143 -15 9
7
Hd 2.3 7.2 5.5 52.9 14.6 56 59 78
Ok 2 10.7 29.5 6.6 58.4 9.6 68 35 86
Sb 2 3.3 8.4 3.2 43.2 36.8 49 61 54
Pb 15.7 53.2 9.6 58.0 9.0 93 25 87
Juml 83.2 225. 102. 857. 273. 273. 681 12
ah 2 1 0 9 9 03
Rata 5.2 14.0 6.38 53.5 17.1 17.1 42.6 75.
an 8 6 2 2 2

Keterangan: 1) Serapan P0 = serapan P oleh tanaman kontrol Tambahan


serapan = serapan P oleh tanaman yang dipupuk minus serapan P oleh
tanaman kontrol
123

Tabel 30. Nilai koefisien korelasi untuk membandingkan pengesktrak


tanah

Pengekstr Hasil Respo Serap Tambaha %


ak n an n
kontrol hasil P205 Hasil Hasil
Bray 1 + -0.25 +0.099 -0.156 +0.238
0.162 2
Bray 2 + -0.30 +0.182 -0.265 +0.284
0.207 1
Truog + -0.54 +0.438 -0.422 +0.503*
0.437 5*
Olsen + -0.60 +0.73 -0.736** +0.512*
0.388 6* 3**
Signifikan pada taraf 5%; **) signifikan pada taraf 1%.

Teladan di atas melukiskan proses pembandingan metode


ekstraksi dalam kaitannya dengan kesesuaiannya untuk meramalkan
respon hasil tanaman. namun demikian tidak boeh dilupakan bahwa
grafik korelasi akan sangat membantu. Grafik ini akan menunjukkan
bagaimana interpretasi yang benar, misalnya tanah mana yang
menyimpanng dari kecenderungan umum untuk suatu pengekstraks.

3.2. Menanami Kembali Tanah-tanah dalam Pot

Setelah panen tanaman pertama seperti yang dijelaskan di atas,


tanaman ke dua atau bahkan ke tiga dapat ditanam pada tanah yang
sama. Hal ini akan memberikan informasi tambahan tentang kemampuan
tanah mensuplai hara dan juga akan menambah data dan pengetahuan
tentang mekanisme korelasi uji tanah - hasil tanaman.
Sebelum penanaman yang ke dua maka tanah dalam tiga pot
yang digunakan sebagai ulangan sebelumnya harus dicampur secara
merata dan sisa-sisa perakaran tanaman diayak. Selama proses
pencampuran dan pengayakan tanah tidak boleh dikering udarakan
tetapi harus dibiarkan pada kondisi "kelembaban lapangan". Jenis
tanaman ke dua bisa sama dengan yang pertama atau jenis lainnya.
Pada pertanaman ke dua ini tidak boleh diberi unsur hara apapun.
Analisis hasil tanaman dan dan kandungan unsur hara sama
dengan tanaman pertama. Informasi penting yang dapat diperoleh dari
pertanaman ke dua adalah:
124

(1). Pada tanah kontrol: berapa besar nilai uji tanah telah
menurun sebagai akibat serapan hara oleh tanaman pertama. Nilai ini
harus berhubungan dengan jumlah aktual unsur hara uji yang diambil
oleh tanaman. Kemampuan untuk mensuplai unsur hara tersedia
mungkin saja beragam di antara tanah yang satu dengan tanah lainnya.

(2). Pada tanah yang sebelumnya telah dipupuk: uji tanah


setelah tanaman pertama akan menunjukkan peningkatan unsur hara
tersedia yang akan berhubungan dengan efek residu. Unsur hara yang
semula ada dalam tanah, pemupukan, dan serapan oleh tanaman
pertama dan nilai uji tanah yang baru akan memberikan pengertian
tentang keseimbangan hara yang mungkin saja berbeda untuk tanah-
tanah yang berbeda.
Informasi tambahan dari pertanaman ke dua atau ke tiga dan
seterusnya seperti di atas sangat penting bagi penelitian tentang kalium
karena dinamika keseimbangan kalium dalam tanah sangat spesifik.

3.3. Korelasi Uji Tanah dengan Data Hasil Tanaman

A. Nitrogen

Uji tanah tentang nitrogen tersedia tidak pernah sepopuler uji


tanah untuk fosfat dan kalium walaupun bagi banyak tanaman dan
terutama sekali varietas unggul baru ternyata nitrogen merupakan
merupakan persyaratan pertama di antara unsur hara utama lainnya.
Kebutuhan nitrogen biasanya direkomendasikan berdasarkan hasil
percobaan lapangan dan relasi-relasi hara, tetapi jarang melalui
determinasi langsung.
Alasan bagi kondisi yang agak mengherankan ini ialah karena
adanya kenyataan bahwa proses mikrobiologis dalam tanah dapat
mengakibatkan mineralisasi senyawa nitrogen organik tanah menjadi
ammonium dan nitrat yang tersedia bagi tanaman. Beberapa
laboratorium menentukan nitrogen ter-sedia dan analisis yang lebih
umum adalah:
(1). determinasi N anorganik setelah inkubasi
(2). determinasi dengan cara yang sama setelah proses
oksidasi lemah
(3). estimasi pelepasan nitrogen berdasarkan atas kandungan
bahan organik dan tekstur tanah
(4). determinasi langsung NO3- bebas.
125

Disamping itu, semua laboratorium uji tanah telah menggunakan


informasi tentang tanaman sebelumnya terutama berkenaan dengan
nitrogen karena tanaman legume akan meninggalkan banyak nitrogen
dalam tanah. Dengan diketemukannya suatu elektrode yang mampu
mengukur secara langsung konsentrasi nitrat maka determinasi nitrat ini
menjadi semakin penting. Dua peneluan ilmiah penting dalam hal ini
adalah: (a) bahwa untuk uji nitrat tersedia dalam tanah maka
pengambilan contoh tanah harus lebih dalam dari lapisan olah. Di USA
dan Kanada kedalaman contoh tanah ini sekitar 60 cm. (b) dengan
meningkatnya kedalaman titik pengambilan contoh tanah dan
pengeringan-udara contoh tanah ternyata kandungan nitrat tanah
berkorelasi nyata dengan hasil dan respons tanaman.
Dengan demikian jelas bahwa nitrat yang bersifat sangat mobil
tidak bertahan di dalam lapisan olah melainkan bergerak ke arah
bawah bersama dengan air perkolasi. Nitrat ini juga diambil bersama
dengan air oleh akar-akar tanaman. Hal ini menyatakan bahwa
kedalaman sampling yang optimum akan terpengaruhi oleh kondisi iklim.

B. Fosfor

Banyak macam pengekstraks yang telah dikembangkan untuk


menentukan jumlah fosfat yang tersedia dalam tanah. Belakangan ini
banyak pembandingan tentang pengekstrak telah menunjukkan sesuatu
yang semakin konsisten bahwa korelasi terbaik dengan respon hasil
dan serapan fosfor oleh tanaman yang ditemukan pada berbagai
kondisi tanah dan pertanaman melibatkan tiga macam pengekstraks.
Posisi pertama adalah ekstraksi Na-bikarbonat oleh Olsen et
al. (1954), dan dua pengekstraks lainnya dikembangkan oleh Bray dan
Kurz (1945) dan larutan-larutan lemah dari amonium-fluorida (0.03 N
untuk mengkompleksikan ion Fe dan Al) dan dua konsentrasi lemah
asam hidrokhlorida (0.025 N dan 0.10 N HCl). Larutan yang lebih
lemah biasanya diberi nama "Bray I" dan pengekstraks dengan 0.10 N
HCl diberi nama "Bray II".
Semula diperkirakan bahwa ekstraksi Na-bikarbonat dari Olsen
cocok untuk tanah-tanah alkalin dan ekstraksi Bray untuk tanah-tanah
masam. Akan tetapi kemudian terbukti pula bahwa ekstraksi Olsen juga
sesuai untuk kondisi tanah lainnya, termasuk juga untuk tanah-tanah
sawah.
Satu metode ekstraksi penting lainnya dikembangkan oleh para
pakar dari Jerman (Sissingh, 1969). Ini merupakan ekstraksi dengan
menggunakan air secara sederhana tetapi dengan rasio tanah : air
yang sangat luas, yaitu 1:60 atas dasar volumenya.
126

C. Kalium

Fraksi kalium tanah yang secara langsung tersedia bagi


tanaman adalah kalium yang terlarut dalam larutan tanah dan yang
terjerap pada koloid tanah. Bagian dari kalium tanah yang tidak
tersedia bagi tanaman berada pada posisi yang terbelenggu dalam
kisi-kisi mineral liat. Oleh karena itu kandungan kalium tersedia ditentukan
dengan pencucian tanah menggunakan larutan garam netral atau asam-
asam lemah. Pengekstrak yang digunakan seringkali adalah
ammonium asetat normal pH 7 (FAO, 1970), tetapi pengekstraks
larutan garam lainnya juga dapat digunakan.
Limitasi yang sangat parah dari uji kalium tanah adalah
berkenaan dengan tanah-tanah muda yang akan mampu melepaskan
kalium tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia selama proses
pengeringan udara contoh tanah. Hal seperti ini akan
mengakibatkan tingginya nilai uji tanah. Masalah lain yang tidak kalah
pentingnya ialah fiksasi kalium pupuk oleh mineral liat tertentu, terutama
tipe illitik. Kalau kisi-kisi dari mineral liat ini belum jenuh dengan kalium,
maka kalium dari pupuk akan dijerap pada epermukaan liat dan
selanjutnya dapat memasuki kisi-kisi mineral dan tidak tersedia bagi
akar tanaman. Proses ini bersifat "slowly reversible".
Di daerah-daerah dimana pupuk kalium telah digunakan secara
reguler selma beberapa tahun, maka semula tanah yang memfiksasi
kalium akan mengalami kejenuhan dan fenomena fiksasi tidak penting
lagi. Di negara-negara sedang berkembang yang belum melakukan
pemupukan kalium secara reguler, maka tanah-tanah ini masih akan
memfiksasi kalium sehingga akan dapat mengganggu korelasi antara uji
tanah dengan respons tanaman. Akan tetapi problem ini juga
berhubungan langsung dengan tipe tanah, sehingga dapat dilokalisir
dengan bantuan peta tanah.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka lazimnya uji kalium
tersedia melibatkan K-larut air dan K-dapat ditukar.
127

4. Faktor Pertumbuhan dan Analisis Multivariate

4.1.Analisis Multivariate

Tanaman dapat tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh


berbagai faktor lingkungan yang secara bersama-sama akan menentukan
hasil akhir tanaman. Tiga dari faktor-faktor ini adalah jumlah N, P dan K
tersedia dalam tanah yang ditentukan dengan uji tanah. Faktor lainnya
adalah suplai air, cahaya mentari, suhu, populasi tanaman, kompetisi
dengan gulma, salinitas tanah, kedalaman lapisan olah, saat tanam, dll.
Semua faktor-faktor ini mempunyai pengaruh tertentu terhadap
hasil tanaman dan dengan metode eksperimen yang tepat ternyata
masing-masing faktor tersebut dapat diukur dan dinyatakan dalam
gradien hasil atau garis regresi, yang mana slopenya menunjukkan
berapa banyak perubahan hasil dengan perubahan faktor pertumbuhan
tertentu. Untuk beberapa faktor pertumbuhan tanaman ternyata kurva
responnya berupa garis lengkung.
Oleh karena itu secara ideal harus dimungkinkan untuk
mengekspresikan keseluruhan sistem produksi tanaman dalam
persamaan matematika seperti:

y = b1x1 + b2x2 + .........

y adalah hasil tanaman, dan x1, x2, .... adalah faktor


pertumbuhan sedangkan b1, b2, .... adalah slope regresi untuk masing-
masing faktor. Model seperti ini merupakan prinsip dan landasan bagi
analisis multivariate yang semakin banyak digunakan dalam masalah
biologis seperti produksi tanaman (Ferrari dan Vermeulen, 1955).
Eksekusi penelitian seperti itu pada dasarnya juga sederhana,
yaitu terdiri atas percobaan lapangan dimana semua faktor pertumbuhan
yang dapat diketahui akan diukur. Ini akan melibatkan banyak
karakteristik tanah termasuk unsur hara tersedia, suplai air, kondisi iklim
dan faktor pengelolaan seperti saat taam, populasi tanaman, dll. Data
dari percobaan ini dianalisis dengan menggunakan model seperti di
atas. Bagian yang rumit dari proses komputasi bagi analisis
multifaktor tersebut ialah perlakuan simultan dari semua faktor dalam
semua eksperimen dalam rangka untuk mendapatkan hasil (koefisien
regresi) yang "fit" dengan data yang ada.
Ada cara lain, yaitu metode grafis yang sangat sederhana
dimana pengaruh setiap faktor pertumbuhan terhadap korelasi
128

ujitanah/hasil tanaman dapat diukur satu demi satu, dan untuk setiap
faktor korelasinya dapat dikoreksi tahap demi tahap, bahkan juga untuk
faktor-faktor yang pengaruhnya terhadap hasil tanaman kurvilinear.
Prinsip dari metode koreksi secara grafis ini pada dasarnya
sama dengan analisis multivariate yang lebih komprehensif. Hasil-hasil
yang diperoleh bukanlah koefisien regresi yang terbaik dari faktor-
faktor pertumbuhan lainnya tetapi merupakan estimasinya, yang
secara efektif mampu memperbaiki korelasi uji tanah/hasil tanaman.
Keuntungannya ialah bahwa dengan menggunakan kertas grafik dan
kalkulator sederhana maka pengaruh sesuatu faktor pertumbuhan
terhadap korelasi uji tanah/hasil tanaman dapat diperiksa dengan mudah.

4.2. Faktor Pertumbuhan yang Mempengaruhi Hasil

Semua faktor yang terlibat dalam analisis harus dapat


dikuantifikasikan secara numerik, sehingga memungkinkan untuk
menentukan gradien atau slope regresi yang menyatakan berapa besar
hasil atau respon tanaman akan mengalami perubahan sebagai akibat
dari perubahan satu unit faktor penyebabnya. Kalau misalnya respon
tanaman direduksi dengan menurunkan pH tanah, maka analisis akan
menunjukkan berapa besar perubahan respon tersebut untuk setiap
perubahan satu unit pH.
Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dengan
hasil tanaman ternyata tidak dapat dikuantifikasikan secara numerik,
misalnya varietas tanaman, tipe tanah, atau pola hujan. Dalam
percobaan kalibrasi di lapangan maka faktor-faktor seperti ini harus
dijaga konstan untuk seluruh percobaan, atau kalau tidak demikian
maka percobaan harus dipisahkan menjadi kelompok-kelompok. Dalam
setiap kelompok ini harus dilakukan uji korelasi tersendiri antara uji tanah
dengan hasil tanaman.
Dalam rangka untuk menghindari pengelompokkan data seperti
di atas, maka harus diupayakan untuk mengekspresikan faktor-faktor
non numerik tersebut dengan faktor lain yang terkait yang dapat
dinyatakan secara numerik. Misalnya kalau respon tanaman
beragam dengan tipe tanah di suatu lokasi maka sifat tanah yang paling
mungkin menjadi penyebab timbulnya perbedaan tersebut dapat
digunakan untuk analisis faktor. Sifat tanah ini mungkin saja berupa
tekstur, kandungan bahan organik, pH , kedalaman efektif tanah,
salinitas dan beberapa sifat lain yang dapat dinyatakan secara
numerik. Dalam hal pola hujan, misalnya dapat digunakan jumlah
129

presipitasi selama masa kritis tanaman dapat digunakan untuk


mengoreksi korelasi.
Dalam hal varietas tanaman biasanya sulit untuk mencari faktor
penggantinya, sehingga percobaan kalibrasi di lapangan harus
dilakukan dengan varietas yang sama.

4.3. Faktor-faktor Pertumbuhan Tanaman

Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori,


yaitu: (a) faktor tanah, (b) faktor iklim, dan (c) faktor pengelolaan.

4.3.1. Faktor Tanah

(a). pH tanah.
Nilai-nilai pH yang sangat tinggi dalam tanah berhubungan
dengan salinitas dan sodisitas yang lazimnya dinyatakan sebagai ESP
= Exchangeable Sodium Percentage dan SAR = Sodium Adsorption
Ratio (FAO, 1970). Dalam kisaran pH medium, tanaman mempunyai
preferensi tertentu. Pada tanaman serealia preferensi init tidak
menonjol, sedangkan pada tanaman lain seperti tanaman clover dan
teh ternyata preferensinya terhadap kondisi pH tanah sangat besar.
Nilai pH yang rendah berhubungan dengan Al dan Fe yang aktif
dalam tanah, keduanya mampu memfiksasi fosfat, dan berhubungan
erat dengan rendahnya Si tersedia yang penting bagi padi.

(b). Pengapuran
Penggunaan kapur untuk mengoreksi kemasaman tanah
mempunyai pengaruh yang besar terhadap tanaman dan efek pupuk.
Untuk menyusun rekomendasi pupuk berdasarkan uji tanah, maka
praktek pengapuran yang pernah dilakukan sebelumnya merupakan
faktor pertumbuhan penting yang harus dipertimbangkan.

(c). Salinitas
Kondisi-kondisi saline, yang lazimnya dinyatakan sebagai
konduktivitas elektrik, dapat menekan pertumbuhan tanaman dan
mempunyai efek negatif terutama terhadap serapan nitrogen, dan juga
agak berpengaruh terhadap serapan P dan K. Hal ini barangkali ada
kaitannya dengan kenyataan bahwa penggunaan N sangat tergantung
pada air tersedia dan bahwa salinitas menyebabkan stress air fisiologis
dalam tubuh tanaman. Dalam hubungan ini harus diperhatikan bahwa
konduktivitas hidraulik merupakan ukuran yang lebih baik dari efek
130

garam terhadap tanaman daripada nilai-nilai persentase garam yang


ditentukan secara gravimetrik. Hal ini karena tipe-tipe garam yang
berbahaya bagi tanaman mempunyai konduktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan garam-garam yang tidak berbahaya.

(d). Kapasitas Tukar Kation (KTK)


Nilai ini merupakan karakteristik penting untuk kepentingan
klasifikasi tanah dan dengan demikian akan beragam dengan tipe tanah.
KTK biasanya tidak berpengaruh banyak terhadap korelasi antara uji
tanah dengan respons tanaman. Akan tetapi kalau nilai ini menunjukkan
variasi yang besar di antara lokasi peng-ujian maka pengaruhnya
terhadap korelasi harus di-koreksi.

(e). Karbonat bebas


Persentase karbonat bebas dalam tanah biasanya juga sedikit
berpengaruh terhadap perkembangan tanaman. Akan tetapi dalam
kisaran karbonat yang lebih tinggi, seperti dalam tanah-tanah di daerah
arid, pengaruh yang tidak langsung ialah terhadap ketersediaan unsur
mikro. Kapur merangsang defisiensi Fe dan hingga batas-batas
tertentu juga defisiensi Mn yang dapat berdampak negatif terhadap
pertumbuhan tanaman.

(f). Tekstur, struktur, kandungan bahan organik


Karakteristik fisika tanah ini dapat mempengaruhi perkembangan
tanaman seperti halnya juga karakteristik kimia tanah. Tanaman
mempunyai preferensi tertentu terhadap kelas tekstru tanah tertentu
dalam hubungannya dengan sistem perakarannya. Selain itu, struktur
dan aerasi tanah di daerah perakaran tanaman juga berpengaruh
terhadap kesehatan tanaman. Kandungan bahan organik yang lebih
tinggi dalam tanah biasanya memperbaiki struktur tanah dan karena
struktur tanah tidak dapat dengan mudah dikuantifikasikan maka nilai-
nilai tekstur tanah, persentase kejenuhan air, dan kandungan bahan
organik seringkali digunakan untuk mencirikan kondisi fisik tanah.
Faktor-faktor seperti tekstur, struktur, dan bahan organik
berhubungan erat dengan kapasitas menahan air. Simpanan air ini
sangat penting bagi pertumbuhan tanaman di musim kering.

(g). Mineral liat


Tipe mineral liat dalam tanah merupakan faktor yang sangat
penting dalam uji tanah untuk ketersediaan kalium. Namun demikian
minral liat ini tidak dapat diselidiki dalam kegiatan rutin uji tanah dalam
setiap contoh tanah.
131

(h). Karakteristik Subsoil


Karakteristik fisika dan kimia subsoil biasanya juga berpengaruh
terhadap hasil dan respons tanaman. Data tentang subsoil ini dapat
diperoleh dari hasil survei tanah yang melibatkan deskripsi profil tanah.

4.3.2. Faktor Iklim

(1). Suplai Air


Suplai air bagi tanaman seringkali menjadi kendala penting bagi
pertumbuhan tanaman di kebanyakan lokasi. Di daerah kering, jumlah
hujan dan banyaknya irigasi dapat menjadi ukuran yang bermanfaat
untuk mengetahui pengaruh air tersebut. Distribusi suplai air sepanjang
musim sangat penting dan untuk maksud-maksud praktis ternyata hal
ini dapat dikuantifikasikan dengan jalan mencatat jumlah hujan atau
banyaknya irigasi selama beberapa haru tertentu atau selama masa
kritis pertumbuhan tanam-an, selain total suplai air bagi tanaman.

(2). Temperatur dan Cahaya


Dua faktor ini seringkali dievaluasi dalam hubungannya dengan
tanaman padi sawah, dan menjadi bahan pertimbangan penting lainnya
dalam interpretasi hasil uji tanah.

4.3.3. Faktor Pengelolaan Usahatani

Faktor penting ialah waktu yang tepat bagi pekerjaan lapangan


seperti pembajakan, penyiapan bedengan pada saat kondisi lengas tanah
yang tepat, pemupukan, penaburan benih, penyiangan, irigasi dan
penyemprotan pestisida.

Beberapa faktor pengelolaan usahatani yang penting dalam


memberikan rekomendasi akhir adalah:

(1). Sejarah lahan: jenis tanaman sebelumnya dan hasilnya, praktek


pemupukan yang pernah dilakukan, termasuk rabuk kandang dan
bahan perbaikan tanah
(2). Jenis tanaman
(3). Populasi tanaman dan model jarak tanam
(4). Suplai air tersedia
(5). Tingkat produktivitas tanaman
(6). Kesulitan yang dialami dalam memelihara tanaman.
132

5. Metode Grafis Untuk Mengoreksi Korelasi Ujitanah

5.1. Koreksi Pengaruh Faktor Pertumbuhan

5.1.1. Prinsip Dasar


Empat macam tipe data yang dapat diperoleh dari uji tanah dan
percobaan lapangan adalah: (1) data hasil uji tanah dari semua lokasi
percobaan, (2) data hasil tanaman untuk setiap perlakuan di setiap
lokasi, (3) data serapan unsur hara dari semua perlakuan di setiap
lokasi percobaan, dan (4) data tentang faktor-faktor pertumbuhan
lainnya untuk setiap lokasi percobaan.
Tujuan dari kalibrasi uji tanah ialah untuk mendapatkan korelasi
antara nilai uji tanah (kandungan hara tersedia dalam tanah) dan
respon tanaman terhadap pemberian unsur hara yang dilakukan di
lokasi percobaan. Perlakuan percobaan dapat melibatkan satu
perlakuan kontrol dan empat macam perlakuan dosis pupuk. Dengan
demikian terdapat empat perangkat nilai rerspons tanaman, masing-
masing untuk satu macam dosis, yang dapat dikorelasikan dengan nilai-
nilai ujitanah dari lokasi percobaan. Ini akan menghasilkan empat
grafik korelasi dasar yang akan sering disebut dalam bagian-bagian
berikut.

5.1.2. Metode Grafis

Kalau respons hasil terhadap penggunaan unsur hara tertentu


dipetakan melawan nilai-nilai uji tanah, maka dapat dihasilkan suatu
diagram yang mirip dengan Gambar 28. Dalam gambar ini data dipilih
dari respon kapas terhadap pemupukan fosfat 45 kg P2O5 per hektar
di lahan irigasi yang dipetakan lawan data uji tanah ekstraksi P dengan
Na-bikarbonat menurut metode Olsen.
Diagram menunjukkan kecenderungan tertentu penurunan respon
tanaman dengan meningkatnya nilai uji P-tanah. Hal ini dibuktikan
dengan analisis regresi, yang menghasilkan persamaan regresi
seperti pada gambar. Karena luasnya pencaran titik-titik yang ada maka
koefisien korelasi yang diperoleh relatif rendah, yaitu sebesar -0.61.
Faktor pertumbuhan yang sangat berpengaruh adalah suplai air
yang dinyatakan sebagai jumlah irigasi yang berkisar dari 4 hingga 11
selama musim pertumbuhan. Dalam rangka untuk memeriksa apakah
faktor irigasi bertanggung jawab atas besarnya pencaran titik-titik dalam
Gambar 29, dan untuk mengukur besarnya pengaruh tersebut, maka
simpangan vertikal dari setiap titik terhadap garis regresi dipetakan lawan
133

banyaknya irigasi. Ini akan menghasilkan Gambar 29, yang lazim


disebut "grafik koreksi".
Untuk dapat membuat grafik koreksi maka data harus
diurutkan, seperti dalam Tabel 31. Kolom pertama menunjukkan hasil
uji P-tanah, kolom ke dua menunjukkan respons tanaman dalam
satuan kg/ha. Dari kedua kolom ini disusun analisis regresi seperti
Gambar 29. Kolom ke tiga adalah jarak vertikal simpangan d) (yang
juga dinyatakan sebagai kg/ha ) setiap titik dari garis regresi dalam
Gambar 29, dan kolom ke empat menunjukkan banyaknya irigasi (w).
Grafik koreksi digambar dari data dalam kolom 3 dan 4, da garis regresi
untuk hubungan ini dihitung dan disajikan dalam Gambar 29.
Grafik koreksi ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
simpangan dalam Gambar 29 dan banyaknya irigasi dengan koefisien
korelasi r = + 0.83. Slope garis regresi menyatakan bahwa secara rata-
rata penambahan satu unit irigasi akan meningkatkan respon terhadap
45 kg/ha P2O5 sebesar 13.7 kg kapas per hektar.
Dengan menggunakan dua macam informasi yang penting ini
maka dapat dilakukan dua hal, yaitu (1) grafik korelasi orisinil (Gambar
29) dapat dikoreksi, dan (2) saran kepada petani dapat divariasikan
sesuai dengan air irigasi yang tersedia. Kedua proses ini dapat
dijelaskan berikut.

(a). Koreksi grafik orisinil


Dengan menghitung di setiap titik (lokasi) respon apa yang akan
terjadi kalau 8 irigasi telah dilakukan dan dengan menggambarkan nilai-
nilai baru ini (nilai respon yang terkoreksi) melawan hasil uji tanah,
maka dapat diperoleh suatu grafik dengan semua respon terhadap 8
irigasi. Nilai irigasi sebanyak 8 ini dipilih karena mendekati rataan area
yaitu sebesar 7.55 (Tabel 31).
Nilai-nilai yang harus ditambahkan atau dikurangkan dari
respons orisinal dalam rangka untuk mereduksinya hingga menjadi 8
irigasi adalah:

Nilai koreksi = (8-w) . 13.7 kg/ha

Nilai ini harus ditambahkan kepada respon orisinal. Nilai-nilai


koreksi ini ditunjukkan dalam kolom 5 Tabel 31, sedangkan respon
terkoreksinya disajikan dalam kolom 6. Kalau nilai-nilai respon terkoreksi
ini dipetakan lawan nilai-nilai uji tanah maka akan diperoleh Gambar
29. Ternyata grafik yang terkoreksi ini menunjukkan adanya
perbaikan korelasi terbukti dari lebih besarnbya nilai koefisien
korelasinya r = -0.82.
134

Respon tanaman,
kg/ha

150 - * * Y = 156.5 – 6.2 X


* r = - 0.61
** * ** * *
** * *
100 - * ** * * **
** * *
** * * * * *
* * *
50 - * *

0
2 4 6 8 10 12

Hasil uji P-tanah

Gambar 28. Hubungan antara hasil uji P-tanah dengan respon tanaman P
135

Tabel 31. Koreksi secara grafis terhadap korelasi antara hasil uji tanah
dengan respon tanaman

1 2 3 4 5 6
Uji-P Respon- Simpangan Banyak Koreksi respon

tanaman regresi nya irigasi untuk w terkoreksi


kg/ha kg/ha (8-w).13.7 kg/ha
x y1 d w y2
4.0 115 -17 7 +14 129
2.0 140 -4 8 0 140
16.5 100 +45 10 -27 73
8.0 80 -27 8 0 80
1.0 110 -40 4 +55 165
3.0 180 +42 11 -41 139
12.5 130 +51 10 -27 103
10.0 80 -15 4 +55 135
4.5 150 +21 5 +41 191
0.5 180 +27 8 0 180
17.0 30 -22 6 +27 57
7.0 170 +57 11 -41 129
5.5 100 -23 8 0 100
2.5 215 +74 12 -55 160
14.5 60 -7 9 -14 46
6.0 60 -59 5 +41 101
12.0 30 -53 5 +41 71
8.0 135 +28 9 -14 121
4.0 60 -72 4 +55 115
11.5 80 -6 7 +14 94
150.0 2205 0 151 2329
7.5 110.2 7.55 116.45
136

d, kg/ha

+50 Grafik koreksi:


d = -103.2 + 13.7 w

-50 -

4 5 6 7 8 9 10 11 12

Irigasi

Gambar 29. Hubungan antara banyaknya irigasi dengan simpangan

Teladan di atas dapat melukiskan bagaimana korelasi orisinal


dapat dikoreksi terhadap pengaruh suatu faktor pertumbuhan penting.

(b). Grafik Koreksi dan Rekomendasi Pupuk


Dalam grafik yang terkoreksi (Gambar 29), garis horisontal
patah-patah digambar untuk menunjukkan respon tanaman yang
diperlukan untuk membayar kembali biaya pupuk. Suatu respon tanaman
yang lebih rendah dari garis ini mengakibatkan petani mengalami
kerugian finansial. Garis regresi yang menunjukkan penurunan respon
tanaman dengan meningkatnya hasil uji tanah pada perlakuan 8 irigasi
memotong garis patah-patah marjinal ekonomi pada titik antara nilai uji
tanah 14 dan 15. Kalau nilai uji tanah lebih rendah dari ini maka biaya
pupuk 45 kg/ha P2O5 dapat terbayar, asalkan 8 kali irigasi dapat
dilakukan.
137

Respon tanaman,
kg/ha
200

y2 = 165.0 – 6.5 X
r = - 0.82

100 -

Garis biaya

0
2 4 6 8 10 12 14 16

Hasil uji P-tanah

Gambar 30. Hubungan antara hasil uji P-tanah dengan respon tanaman
dan garis biaya

Kalau petani mengetahui bahwa ia hanya akan mempunyai air


untuk 6 atau 7 kali irigasi maka respon tanaman akan menurun sebesar
13.7 kg/ha kapas per irigasi dan garis regresi Gambar 31 akan menurun
dengan laju yang sama. Ini ditunjukkan dalam Gambar 31, dimana
untuk setiap jumlah irigasi diperoleh garis regresi yang terpisah. Sesuai
dengan grafik tersebut maka unit lahan yang nilai uji tanahnya 10 dan
diberi irigasi 6 kali hanya mampu mengembalikan biaya pupuk dan tidak
memberi keuntungan, sedangkan unit lahan yang sama dengan 10 kali
irigasi akan menghasilkan hampir dua kali biaya pemupukan.
138

Respon tanaman,
kg/ha

200 -

100 -

0.0
2 4 6 8 10 12 14 16
Hasil uji P-tanah

Gambar 31. Hubungan antara hasil uji P-tanah dengan respon tanaman
pada berbagai irigasi

5.2. Interaksi dan Korelasi Faktor Pertumbuhan Interaksi-


interaksi

Kalau suatu faktor meningkatkan efek yang ditimbulkan oleh


faktor lain maka kedua faktor ini dikatakan berinteraksi secara positif .
Teladan yang sering dikemukakan ialah peningkatan respons nitrogen
akibat pemupukan fosfat. Peningkatan hasil yang disebabkan oleh
pemupukan P saja dan oleh pemupukan N saja apabila ditambahkan
masih lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan hasil akibat
pemupukan NP dengan dosis yang sama.
Kalau misalnya ada interaksi positif antara suplai air (w) dan P-
tanah (x) (Tabel 3), maka garis-garis dalam Gambar 5 tidak akan
sejajar tetapi garis di bagian atas akan mempunyai slope lebih kecil
dan semakin rendah nilai w akan semakin besar slopenya, sehingga
139

membentuk semacam kipas dengan tangkai di sebelah kiri. Sedangkan


interaksi negatif akan menghasilkan kondisi yang sebaliknya.
Secara matematika interaksi dinyatakan dengan satu anggota
dari fungsi. Dalam teladan Tabel 3 maka fungsi respon hasil akan
terbaca y = a + bx + cw + dxw, dimana dxw menyatakan interaksi.
Untuk maksud-maksud praktis, interaksi antara faktor pertumbuhan
seperti w tersebut di atas dapat dikoreksi dengan jalan menghitung satu
korelasi ujitanah/repon tanaman untuk kisaran rendah (misalnya 4-6
irigasi), dan korelasi lainnya untuk kisaran yang lebih tinggi misalnya 9-
12.
Kalau hal ini dilakukan pada Tabel 3, maka slope garis regresi
untuk sedikit irigasi adalah b = -5.5, sedangkan untuk banyak irigasi
adalah b = -6.4. Perbedaan di antara ke dua slope ini tidak nyata
sehingga disimpulkan bahwa tidak ada interaksi. Kalau perbedaan
antara slope-slope nyata maka kisaran faktor yang berinteraksi harus
dibagi menjadi dua atau tiga kelas, misalnya rendah, sedang dan tinggi,
kemudian masing-masing kisaran dihitung garis regresinya.

5.2.1. Korelasi di antara Faktor Pertumbuhan


Kalau faktor pertumbuhan lainnya berkorelasi dengan faktor
hara tanah (uji tanah), maka koreksi grafis dan analisis multifaktorial
akan menghasilkan garis regresi yang keliru. Kalau kita gunakan teladan
kapas dalam Tabel 3, maka korelasi antara uji tanah (x) dan banyaknya
irigasi (w) maka posisi dan slope garis regresi dalam Gambar 4 tidak
benar.
Koreksi atas terdapatnya korelasi seperti itu dapat dengan
mudah dilakukan dengan menghitung korelasi dengan cara yang lazim.
Dalam teladan di atas, korelasi w/x mempunyai koefisien r = 0.04. Nilai
yang kecil ini menyatakan bahwa tidak ada korelasi dan dengan
demikian interpretasi yang ditunjukkan dalam Gambar 5 adalah benar.
Akan tetapi kalau ada korelasi maka cara yang praktis untuk
mengatasinya ialah membagi kisaran w menjadi dua atau tiga kelas dan
kemudian menghitung korelasi ujit tanah/respon tanaman untuk setiap
kelas secara terpisah dengan menggunakan data respon tanaman
yang asli. Dengan demikian kita akan mendapatkan tiga macam garis
regresi yang berbeda masing-masing untuk setiap kelas.

5.2.2. Koreksi suksesif berbagai faktor pertumbuhan

Proses yang dijelaskan di atas untuk menentukan pengaruh suatu


faktor pertumbuhan dan koreksi grafik korelasi dapat diulangi lagi untuk
faktor pertumbuhan lainnya. Dalam praktek biasanya ekerjaan tidak
140

lebih dari dua atau tiga faktor yang mempengaruhi korelasi dan untuk
uni sangat di[perlukan koreksi. Hal ini dapat dilakukan dengan mem-
plot-kan simpangan d dari Tabel 3 dengan berbagai faktor yang
dikehendaki, atau dengan menghitung regresi b. Kalau regresi ini
menunjukkan slope yang nyata maka koreksi sangat diperlukan. Akan
tetapi kalau faktor tidak mempunyai pengaruh yang jelas maka slope
regresi (b) mendekati nol. Faktor yang dicurigai paling berpengaruh
harus dikoreksi lebih dahulu.
Perbaikan korelasi uji tanah/respon tanaman melalui
serangkaian koreksi yang berturut-turut akan menghasilkan
peningkatan koefisien korelasi r, karena sebagian pengaruh yang
menyebabkan terpencarnya titik-titik telah disingkirkan.

5.2.3. Pola Kurvilinear


Ada kalanya penggambaran respon hasil lawan nilai uji tanah
dalam diagram pencar menunjukkan tatanan regresi lengkung seperti
Gambar 6. Dalam hal seperti ini koreksi grafis dengan garis regresi
linear tidak memberikan hasil yang baik.
Pada dasarnya metode koreksi grafis seperti yang dijelaskan di
atas dapat selalu digunakan asalkan garis regresinya yang diperoleh
mampu mendekati sebaran titik-titik sedekat-dekatnya. Dalam bagian
berikut ini akan dijelaskan tiga metode untuk mendapatkan garis regresi
lengkung.
Cara pertama adalah pembagian diagram pencar asli menjadi
dua bagian seperti Gambar 6 dan Tabel 4.
Asumsinya ialah bahwa di dalam setiap bagian dapat ditarik
garis regresi linear. Cara ke dua merupakan transformasi sederhana,
yaitu mengganti data asli dengan hasil logaritmanya, sehingga sumbu
X mempunyai skala log. Hal ini biasanya akan mengubah hgaris
lengkung menjadi garis lurus sehingga memungkinkan penerapan
koreksi grafis linear seperti yang dijelaskan di atas. Metode logaritma ini
biasanya ememang lebih efisien. Cara ke tiga tidak menggunakan fungsi
matematik, tetapi posisi kurva rewgresi diestimasi dan ditarik dengan
tangan. Kalau pencaran titik-titik tidak terlalu luas maka garis regresi
dapat dengan mudah dibuat, tetapi kalau pencaran titik sangat luas
maka dapat dikalukan pembagian atau menggunakan titik-titik gravitasi.

(a). Pemilahan Grafik

Dalam diagram-diagram korelasi yang mencakup kisaran nilai


uji tanah yang luas maka sisi kiri dari diagram akan menyatakan
regresi yang lebih curam, sedangkan pada sisi kanan dimana uji tanah
141

menunjukkan nilai tinggi dan sangat tinggi biasanya respon tanaman


rendah. Dengan memisahkan menjadi dua bagian seperti ini regresi
yang diperoleh akan lebih baik.
Cara praktis untuk menentukan pada nilai uji tanah yang mana
grafik harus dibagi menjadi dua bagian, adalah mengestimasi posisi
dua garis regresi, garis yang lebih curam di sebelah kiri dan yang
landai di sebelah kanan. Pada titik potong dari dua garis regresi tersebut
dibuat garis vertikal. Untuk Gambar 26, garis vertikal melalui nilai ujitanah
= 10.
Sekarang tabel data dapat disusun untuk mengurutkan nilai-nilai
uji tanah seperti Tabel 24. Persamaan regresi dihitung untuk dua
bagian dari grafik. Setelah garis regresi diperoleh maka dapat dilakukan
koreksi grafis secara linear seperti yang telah dijelaskan.

(b).Perpotongan garis regresi dan "titik kritis".


Dua garis regresi berpotongan di sekitar nilai uji tanah 12.
Beberapa pakar menyebut titik ini sebagai "Tingkat kritis uji tanah",
karena pada nilai uji tanah yang lebih rendah respon tanaman sangat
besar, sedangkan pada nilai uji tanah yang lebih besar di-harapkan
respon tanaman relatif kecil atau bahkan nol. Titik potong ini akan
selalu ditemukan pada atau di sekitar tingkat uji tanah yang membagi
kisaran "tinggi" dan "medium". Untuk maksud penyusunan rekomendasi
pupuk yang aktual ternyata pengetahuan tentang titik ini saja masih
belum memadai. Informasi tentang kisaran uji tanah yang lebih
rendah diperlukan terutama kalau kemampuan ekonomi untuk
melakukan pemupukan sangat terbatas. Sebenarnya keputusan untuk
melakukan pemupukan dan berapa dosisnya tidak berhubungan dengan
titik potong dua regresi tetapi dengan perpotongan antara garis biaya
dan regresi uji tanah /respon tanaman seperti Gambar 28 dan 29.

(c). Regresi logaritmis


Nilai numerik dari hasil uji tanah ditransformasikan ke dalam skala
logaritma, sehingga kurva regresi dapat dilinearkan. Kalau tersedia
kertas grafik semi-logaritmis, penggambaran titik-titiknya akan lebih
mudah tetapi tidak untuk menghitung garis regresinya. Oleh akrena itu
disarankan untuk menambah kolom data dalam Tabel 31 dengan satu
kolom yang berisi Log X. Kemudian log X ini digunakan untuk
menggantikan data X dalam proses perhitungan regresi. Setelah tahap
akhir diselesaikan dan sampai kepada grafik terkoreksi seperti
Gambar 28 dan 29, maka garis regresi akhir dikonversikan kembali ke
dalam skala numerik X, dengan menggunakan kolom X dan kolom log
142

X dari Tabel 31 dan garis-garis lurus sekarang akan tampak sebagai


kurva logaritmis.
Teladan proses konversi disajikan dalam Gambar 29. Titik-titik
pada Gambar 29 diplotkan lawan log X yang merupakan logaritma nilai
uji tanah. Tatanan lengkung titik-titik seperti Gambar 29 telah berubah
menjadi karakteristik garis lurus. Garis regresi dihitung dengan cara
yang lazim, dengan menggunakan log X sebagai pengganti X, dan
kemudian digambar.
143

Persamaan garis regresi ditunjukkan dalam Gambar 25. Sekarang grafik


ini dapat dikoreksi dengan cara seperti yang dijelaskan dalam Bagian
2. Garis regresi Gambar 31 dikonversi menjadi skala X numerik dan
kurva regresi logaritmik yang dihasilkannya ditunjukkan dalam Gambar
32. Tampak bahwa kedua tipe garis regresi perbedaannya tidak
nyata.

Respon tanaman
(kg/ha)

150 -

100 -

50 -

0
5 10 15 20 25 30

Uji tanah

Gambar 31. Hubungan antara nilai uji tanah dengan respons tanaman,
pendekatan regresi logaritmis dan regresi bersegmen. 143
144

5.2. Memperbaiki korelasi ujitanah/respon tanaman, dengan


menggunakan nilai serapan unsur hara

Dalam uraian sebelumnya telah disinggung bahwa jumlah unsur


hara yang diserap oleh tanaman seringkali berkorelasi secara lebih baik
dengan data uji tanah daripada dengan hasil. Alasannya ialah bahwa
tanaman akan menyerap unsur hara kalau mereka memang tersedia
meskipun ada pengaruh-pengaruh dari luar yang mengakibatkannya
tidak mampu memanfaatkan unsur hara yang telah diserap untuk
memproduksi biomasa.
Kalau korelasi antara ujitanah dengan respon tanaman
ternyata lebih lemah dibandingkan dengan korelasi antara ujitanah
dengan serapan hara tanaman, maka data serapan hara ini dapat
digunakan untuk memperbaiki data respon.

Respon tanaman

(kg/ha)

200 -
* *
*
150 - * * * *
* *
* * *
100 - * * *

* ** *
50 - * * * * *
*
* *
0
5 10 15 20 25 30
Uji tanah

Gambar 32. Hubungan antara nilai uji tanah dengan respons


tanaman, nilai uji tanah di transformasi menjadi bentuk
logaritmis.
145

Regresi dengan skala X linear:

y = 165 - 9.8 x y = 60 - 0.8 x

Regresi dengan semua data, menggunakan skala log x:

y = 174 - 98.9 log x

Dalam Gambar 8 disajikan tiga macam grafik yang diturunkan


dari data Tabel 32. Grafik di sebelah atas (A) menunjukkan korelasi
yang tidak terkoreksi antara respon hasil tanaman dengan nilai
ujitanah. Persamaan garis regresinya juga ditunjukkan, dengan koefisien
korelasinya r = -0.606 (signifikan).

Tabel 32. Tabulasi data uji tanah dan respons tanaman untuk
keperluan analisis regresi

Bagian I Bagian II
Ujitanah Respons Log. Ujitanah Respons Log.
Tanaman tanaman
x y log x x y log x
1 180 0.000 12 50 1.079
2 100 0.301 14 30 1.146
3 130 0.477 14 80 1.146
4 60 0.602 18 60 1.255
4 200 0.602 19 30 1.279
5 160 0.699 20 10 1.301
7 80 0.845 25 70 1.398
8 40 0.903 26 20 1.415
9 110 0.954 28 50 1.447
30 30 1.477
43 1060 5.383 206 430 12.943
Rt 4.78 117.8 0.598 20.6 43 1.294

Grafik ke dua (B) menunjukkan korelasi antara respon tanaman


dengan tambahan serapan hara (sumbu x) dengan persamaan
regresinya. Koefisien regresi (slope) sebesar +0.268 dalam persamaan
ini menyatakan bahwa secara rata-rata hasil tanaman akan meningkat
0.268 g/pot kalau serapan P oleh tanaman bertambah 1 mg. Kalau hal
146

ini diterapkan pada Gambar 34B dengan respon terkoreksinya maka y


= 5.70+(0.268)*48 = 18.6 g/pot sebagai pengganti dari respon orisinalnya
sebesar 17.7 g/pot. Kalau perhitungan semacam ini dilakukan untuk
semua titik maka akan diperoleh data respon tanaman yang
didasarkan atas hubungan respons/serapan.
Korelasi antara nilai respons terkoreksi dengan nilai uji-tanah
disajikan dalam Grafik C Gambar 34 Ternyata korelasi respon tanaman
yang terkoreksi dengan nilai ujitanah lebih baik, koefisien korelasinya
menjadi -0.737 (sangat signifikan).
Hasil penelitian Loneragan dan Asher (1967) tentang respon
tanaman terhadap konsentrasi fosfat dalam media larutan kultur
menunjukkan bahwa respon tanaman dapat diukur dari pertumbuhan
akar, pertumbuhan tajuk, serapan hara P dan juga Zn. Proporsi relatif
akar terhadap pertumbuhan tanaman secara keseluruhan akan
meningkat kalau konsentrasi P dalam media larutan menurun. Sehingga
pada kondisi suplai P yang rendah ternyata nisbah berat akar akan
tinggi. Dalam hubungannya dengan serapan Zn tampaknya ada
mekanisme yang unik. Pemberian pupuk P dosis tinggi dapat memacu
terjadinya defisiensi Zn. Akan tetapi penambahan pupuk P dosis
rendah biasanya mampu memacu serapan Zn oleh tanaman. Pengaruh
P terhadap serapan Zn ini lazim disebut "physiological effect". Menurut
kedua peneliti ini tampaknya pengaruh ini ada kaitannya dengan
distribusi Zn di antara akar dan batang. Rendahnya mobilitas Zn
dalam tanaman akan mendorong tanaman mempertahankan distribusi
tersebut dalam tubuh tanaman.
Inkubasi meningkatkan jumlah P tanah yang dapat diekstraks
dengan Bray-I dari tanah yang diperlakukan dengan batuan fosfat (Chien,
1978). Pada dosis 800 ppm P, jumlah P-Bray I yang berasal dari batuan
fosfat yang tidak bereaksi beragam dengan sumber batuan fosfat,
berkisar 9.6-93.7 ppm. Meskipun nilai ini hanya 1.1-11.6% dari total P
yang ditam,bahkan ke tanah, namun kontribusinya sangat penting
terhadap total P-Bray I dalam tanah yang diinkubasi pada suhu 50oC
selama 3 minggu.

3. Persentase Hasil versus respon Absolut

Dalam banyak publikasi ilmiah tentang kalibrasi uji tanah,


ternyata ujitanah berkorelasi dengan nilai-nilai relatif seperti "persentase
hasil". Kalau misalnya P merupakan unsur hara yang diteliti, maka
yang dimaksud dengan "persentase hasil" adalah hasil tanaman yang
diperlakukan pupuk NK dibagi dengan hasil tanaman pada pemupukan
NPK, atau (NK/NPK) x 100.
147

Alasan utama dari penggunaan persentase hasil atau nilai-nilai


relatif lainnya untuk menggantikan respon absolut adalah karena
korelasinya dengan ujitanah lebih baik (Bray, 1948). Hal ini karena
sebagian dari pengaruh lokasi dapat dieliminir dengan menggunakan
bentuk-bentuk hasil relatif dari petak-petak di lokasi yang sama.
Untuk kalibrasi uji-tanah yang ditujukan bagi saran praktis
pemupukan maka data hasil relatif tidak dapat digunakan secara efektif
meskipun mereka berkorelasi lebih baik dengan hasil ujitanah
dibandingkan dengan respons absolut tanaman. Alasannya adalah
jelas. Saran pupuk didasarkan pada pertimbangan eko nomis.
Peningkatan tertentu dari "persentase hasil" bisa berkaitan dengan hasil
absolut yang tinggi atau rendah, sehingga tidak dapat digunakan
sebagai landasan perhitungan benefit. Kelemahan ini tidak dapat
ditutupi dengan korelasi yang lebih baik. Dalam hubungan ini juga harus
diingat bahwa pencaran titik yang luas dalam suatu grafik korelasi tidak
berarti bahwa di antara unsur hara yang tersedia dan hasil tanaman tidak
ada korelasi atau korelasinya sangat lemah. Akan tetapi pencaran titik-
titik tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh faktor pertumbuhan
lainnya. Dengan demikian tujuan utamanya ialah mengidentifikasikan
dan mengukur pengaruh ini dan menggunakan pengetahuan yang ada
untuk memperbaiki rekomendasi pupuk.
Nilai relatif persentase hasil dapat bermanfaat untuk
membandingkan respon berbagai jenis tanaman terhadap perlakuan
tertentu. Atau dapat digunakan untuk membandingkan pengekstrak-
pengekstrak tanah.
Akhirnya, berikut ini adalah teladan yang cukup menarik.
Tigaratus percobaan pupuk dengan tanaman gandum irigasi di Iran
dikelompokkan seperti Tabel 33. Dosis pupuk adalah 30 kg per hektar
masing-masing N dan P2O5. Kalium tidak diperlukan untuk tanah-tanah
percobaan.
148

Tabel 33. Respon gandum terhadap pupuk di Iran

Kelompok Rataan Rataan Rataan tambahan % hasil


Hasil kontrol kontrol hasil hasil karena pupuk
kg/ha kg/ha dipupuk kg/ha %
< 700 506 988 482 95 51
700 – 1200 968 1620 652 67 60
1200- 1700 1453 2165 712 49 67
1700- 2200 1973 2618 645 33 75
2200- 2700 2437 3006 569 23 81
> 2700 3234 3649 415 13 89

Kalau dilihat peningkastan hasil absolut, kolom 4, tampak bahwa


respon hasil akan rendah kalau hasil pada kondisi hasil kontrol yang
rendah. Respons tanaman akan meningkat hingga krelompok ke tiga
dan kemudian menurun lagi. Alasan dari perubahan respon tanaman ini
ialah bahwa kondisi pertumbuhan tanaman yang menyebabkan sangat
rendahnya hasil kontrol juga akan mengakibatkan rendahnya efisiensi
pemanfaatan hara pupuk. Kalau kondisi pertumbuhan tanaman menjadi
lebih baik maka kekurangan hara menjadi lebih penting dibandingkan
dengan faktor pertumbuhan lainnya sehingga respon tanaman terhadap
pupuk mencapai puncaknya pada kelompok ke tiga. Kalau dosis
pupuk ditingkatkan lagi maka akan terjadi efek "diminishing return" dan
efek pupuk akan berkurang.
Pemupukan dengan dosis yang berlebihan dapat
mengakibatkan rendahnya efisiensi pupuk dan bahkan dapat
mengakibatkan penurunan hasil tanaman. Penelitian Soemarno (1989a)
pada sistem tumpangsari Ubijalar dengan kacang-kacangan menunjukkan
dosis pupuk 100 kg N/ha menghasilkan umbi paling banyak, sedangkan
dosis yang lebih tinggi (120 kg N/ha) menghasilkan umbi lebih sedikit.
Hal yang serupa juga ditemukan dalam sistem tumpangsari antara
ubijalar dengan jagung (Soemarno, 1989b).
Rendahnya efisiensi pupuk pada dosis tinggi tersebut
tampaknya berkaitan dengna perilaku unsur hara pupuk dalam tanah
dan kehilangan yang mungkin dapat terjadi. Penelitian Connell, Meyer,
Meyer, dan Carlson (1979) pada tanah-tanah lempung berpasir dan
pasir berlempung menunjukkan bahwa rezim lengas tanah dan siklus
kering-basah akan merangsang kehilangan N-pupuk dari tanah,
terutama pada dosis yang tinggi. Kehilangan N-pupuk akibat
penguapan gas nitrogen seperti ini dapat dikurangi dengan
membenamkan pupuk N ke dalam tanah. Pada kondisi lengas tanah
149

yang tinggi dan air tanah yang cukup banyak ternyata kehilangan N-
pupuk yang disebar di permukaan tanah relatif kecil, kurang dari 5%.

Respon tanaman
g/pot

y=31.4-2.25 x; r=-0.606*
30 -

20 -

10 -

0
2 4 6 8 10 12 14
Hasil Ujitanah

Respon tanaman, g/pot

20 - y = 5.70 + 0.268 X

10 -

0
40 -20 0 20 40 60 80 mg/pot

Tambahan serapan

Gambar 33. Hubungan-hubungan antara ujitanah dengan respon


tanaman.

Respon tanaman
150

g/pot

y=29.1-1.88 x; r = - 0.737**
30

20 -

10

0 2 4 6 8 10 12 14

Hasil Ujitanah

Gambar 34. Hubungan-hubungan antara ujitanah dengan respon


tanaman (Lanjutan)

Hasil penelitian Destain (1978) membuktikan pentingnya


ketersediaan kalium dalam tanah bagi pertumbuhan dan produksi
tanaman. Percobaan lapangan selama delapan tahun dilakukan pada
tanah lempung. Kandungan K-tukar, K-terfiksasi dalam tanah sangat
dipengaruhi oleh pemupukan K, dan selanjutnya akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman serealia, beet, dan
kacang buncis. Perimbangan K-tanah yang melibatkan hasil uji tanah,
input pupuk, dan serapan tanaman sangat menentukan produksi
tanaman.
Penelitian korelasi yang lebi rinci antara pemupukan kalium
dengan K-tanah dan respon tanaman dilakukan pula oleh Chang, Tu,
Ma, Chen, Chia dan Hsieh (1978). Hasil penelitian pada beberapa
jenis tanah menujukkan kisaran K-tanah tersedia (ekstraks 1N NH4OAc)
sebesar 4.8-32.0 me K2O/100 g tanah, K-lambat tersedia (ekstraksi 1N
HNO3 mendidih) 20.9-145.1 mg/100 g tanah, dan total K2O sebesar 1.41-
2.67%. Bahan induk tanah, tingkat pelapukan dan tekstur tanah
merupakan faktor-faktor yang menyebabkan keragaman kandungan K-
tanah. Dalam percobaan di rumah kaca diketahui bahwa jumlah K
151

yang diambil oleh tanaman jagung berkorelasi nyata dengan


kandungan K-tersedia pada saat awal (r = 0.94). Direkomendasikan
pula bahwa pemupukan K harus dilakukan pada tanah-tanah yang
kandungan kaliumnya rendah.
Kandungan kalium dalam tanah sangat membatasi produksi
tanaman dan kekurangannya harus dikoreksi sebelum muncul gejala
defisiensi (Gollifer, 1972). Dalam beberapa percobaan pemupukan yang
dilakukan diketahui bahwa respon hasil tanaman lombok rata-rata
sampai 76% dengan adanya pemupukan kalium, 86% pada ubijalar, dan
50% pada tanaman taro. Pada tanaman jahe ternyata pemupukan N
dan K mampu meningkatkan hasil sebesar 17%, pada tanaman jagung
perlakuan pupuk K mampu meningkatkan hasil rata-rata 41% dan pada
tanaman Cucurma domestica hanya sebesar 16%.

INTERPRETASI DAN PENGGUNAAN KORELASI UJITANAH vs


RESPON TANAMAN UNTUK REKOMENDASI PUPUK

1. Grafik Interpretasi
Teladan penggunaan kalibrasi ujitanah untuk penyusunan
rekomendasi pupuk disajikan dalam Gambar 37. Tiga kurva
menunjukkan respon tanaman pada tanah-tanah dengan nilai
ujitanahnya yang rendah, medium, dan tinggi. Pada tanah-tanah yang
kaya unsur hara uji maka akan terjadi respon tanaman yang rendah
sedangkan pada tanah yang miskin hara tentu saja akan sangat respon
terhadap pupuk.
Garis lurus dalam model ini menunjukkan berapa besar respon
tanaman yang diperlukan untuk dapat membayar kembali biaya
pemupukan. Bagian grafik di atas garis biaya ini merupakan wilayah
profit, dan bagian di bawah garis biaya adalah kerugian moneter.
Tanda-tanda panah menunjukkan titik-titik pada dua kurva yang di atas
dimana jarak vertikal dari kurva ke garis biaya adalah maksimum dan
ini menyatakan dosis pupuk yang menghasilkan manfaat ekonomis
tertinggi dan sering disebut dosis optimum. Dalam teladan ini ternyata
tanah-tanah yang hasil ujitanahnya tinggi akan mengalami peningkatan
hasil akibat pemupukan, tetapi tidak ekonomis.
Kalau harga pupuk menurun relatif terhadap harga tanaman,
atau kalau harga tanaman naik, maka garis biaya akan menjadi lebih
datar seperti ditunjukkan oleh garis patah-patah. Dalam kasus ini semua
dosis optimum meningkat dan bahkan pada tanah yang nilai
ujitanahnya tinggi masih ekonomis untuk menggunakan pupuk dengan
dosis yang terbatas.
152

2. Interpretasi Grafis dari data Percobaan


Prosedur yang akan dijelaskan berikut ini terutama ditujukan
untuk "pemulusan" data yang cukup terpencar dalam rangka untuk
mendapatkan interpretasi yang jelas dan selanjutnya menentukan (kalau
mungkin) pengaruh faktor pertumbuhan lain. Pengetahuan ini
selanjutnya akan digunakan untuk memperbaiki saran pupuk.
Tahap pertama ialah mendapatkan kurva respon hasil tanaman
untuk setiap lokasi percobaan. Untuk keperluan ini dapat disusun seperti
Gambar 35. Grafik yang kecil lebih mudah dibandingkan dengan
grafik yang besar. Hasil rataan untuk setiap perlakuan juga digambar
dalam grafik (tanda x). Kemudian kurva hasil ditarik melalui titik-titik ini,
sambil dimuluskan simpangannya. Kemudian ditarik garis Ch (hasil
kontrol) secara horisontal dari titik awal kurva hasil. Jarak vertikal dari
garis kontrol ke arah kurva hasil, yaitu sebesar R1, R2, R3, dan R4
merupakan rataan respon tanaman terhadap empat macam dosis
pupuk.
Untuk mengestimasi variabilitas yang ada maka diperlukan
kisaran ujitanah yang cukup luas dan ini dibagi menjadi tiga kelas
(Gambar 36), kemudian kurva dikelompokkan mengikutinya. Kalau
perbedaan di antara kelompok tidak nyata maka kurva dapat disatukan.
Pendekatan ke dua adalah apabila kurva-kurva dalam tiga
kelompok tidak dapat disatukan. Variasi seperti ini menyatakan bahwa
ada faktor pertumbuhan lain yang berpengaruh terhadap hasil tanaman
sehingga diperlukan untuk mengeliminirnya. Nilai ujitanah dimana garis
bagi vertikal ditarik tampaknya dapat dipilih secara bebas, walaupun
demikian posisi dan bentuk garis regresi yang ada mungkin dapat
memberi petunjuk untuk keerluan ini. Dalam kelas-kelas ujitanah ini
titik-titik tengah pada garis regresi, yang diberi tanda lingkaran kecil
Gambar 37, menyatakan rataan respon tanaman untuk kelompok
ujitanah rendah, medium dan tinggi. Kelas ujitanah tertinggi tidak
mempunyai batas atas. Untuk mengestimasi rataan respon dari kelas
tersebut mka nilai ujitanah yang diambil sebagai batas atas (batas
kanan)adalah yang mempunyai respon sangat kecil. Dalam Gambar
36 ternyata nilai ujitanah 20 diambil sebagai batas atas untuk kelas
tertinggi.

Nilai-nilai respon rataan yang diperoleh dari empat grafik


korelasi yang dijelaskan sebelumnya akan digunakan untuk menyusun
grafik interpretasi seperti Gambar 37. Dari grafik korelasi yang pertama
ada tiga nilai respon terhadap dosis ppuk terendah dan ada tiga titik di
atas dosis 1 dalam Gambar 37.
153

Grafik korelasi ke dua yang mengkorelasikan uji tanah dengan


respon terhadap dosis P2 akan menyediakan tiga titik di atas dosis 2
dalam grafik interpretasi Gambar 37, dst. Kalau semua titik diplotkan
dengan cara ini akan diperoleh kurva yang tidak mulus dan jelas
mempersulit interpretasinya. Cara lain ialah dengan mencari
persamaan regresinya dengan teknik analisis regresi. Grafik regresi
yang diperoleh dapat digunakan untuk keperluan interpretasi.

3. Dasar-dasar Rekomendasi Pupuk


Agar supaya reomendasi pupuk dapat diandalkan, maka harus
didasarkan pada hasil-hasil percobaan minimal dua atau tiga musim.
Kerja korelasi yang dijelaskan di atas akan sama untuk setiap musim
dan grafik interpretasi musiman menyediakan sarana yang sangat
berguna untuk membandingkan tahun-tahun dan untuk memahami
fluktuasi musiman efek faktor pertumbuhan yang penting serta mengkaji
kurva-kurva interpretasi. Hasil-hasil tahunan ini digabungkan untuk
memberikan rataan yang merupakan penduga terbaik bagi peramalan
respon.
154

Respon tanaman, kg/ha

R1 R2 R3 R4

0 1 2 3 4

Dosis pupuk

Gambar 35. Kurva respon hasil tanaman terhadap pemupukan.


155

Respon tanaman, kg/ha

*
*
* *
* * *
*
* * *
*
100- * *
*
garis biaya

* *
*

RENDAH MEDIUM TINGGI

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Nilai uji tanah

Gambar 36. Pengelompokkan respons tanaman terhadap pemupukan


menurut nilai ujitanahnya.
156

Respon tanaman, kg/ha

300
Uji tanah rendah

250

200

Uji tanah
medium

150

100
Uji tanah rendah

50 garis biaya

0 1 2 3 4

Kode dosis pupuk

Gambar 37. Hubungan antara dosis pupuk dengan respon tanaman.


Grafik interpretasi respon tanaman untuk rekomendasi
pupuk.

Kalau gabungan grafik interpretasi telah tersedia, maka dasar


rekomendasi pupuk untuk suatu wilayah mudah dapat disusun. Proses
ini didemonstrasikan seperti dalam Gambar 37. Untuk rekomendasi
pupuk bagi tanah-tanah yang nilai ujitanahnya sangat rendah maka
digunakan kurva respon hasil yang tertinggi. Pada kurve ini titik yang
diberi tanda panah menyatakan dosis pupuk optimum. Tidak ada
rekomendasi pupuk di atas titik ini. Dosis pupuk yang lebih rendah
dibolehkan dan mereka akan menghasilkan benefit yang lebih rendah
setiap hektar namun mempunyai B/C rasio yang lebih tinggi. Atas dasar
ini maka dipilih dua area A dan B dalam grafik, dimana A menyatakan
area dengan profit per hektar tertinggi, dan B menyatakan area dengan
biaya pupuk lebih rendah dan B/C rasio meningkat. Titik-titik pusat dari
157

dua area ini (tidak digambarkan) menyatakan dosis pupuk untuk


tanah-tanah miskin hara yang dianjurkan kepada petani yang bertujuan
mencapai profit tertinggi (A), dan bagi petani yang ingin mencapai
manfaat moneter tertinggi (B).
Rekomendasi untuk tanah-tanah yang nilai ujitanahnya medium
adalah yang dinyatakan oleh titik pusat dari area C dan D dalam grafik.
Untuk tanah-tanah yang kaya hara tidak dianjurkan untuk melakukan
pemupukan menurut grafik ini.

4. Filosofi Rekomendasi Pupuk


Nilai ujitanah hanya merupakan ukuran bagi tingkat ketersediaan
unsur hara dalam tanah. mereka tidak secara langsung menyatakan
berapa banyak pupuk yang harus digunakan. Ini tergantung pada
jenis tanaman, tigkat hasil yang diinginkan dan manfaat ekonomisnya.
Dalam kondisi harga pupuk murah dibandingkan dengan harga
tanaman, dan kalau biaya pemupukan hanya merupakan sebagian kecil
dari biaya produksi, maaka ada beberapa rekomendasi pupuk yang
dapat dibuat, semuanya berdasarkan atas hasil uji tanah yang sama.
Kemungkinan-kemungkinan ini adalah:

(1). Menggunakan sedikit pupuk untuk mendapatkan hasil moneter


setinggi mungkin dari uang yang dibelanjakan untuk pupuk. Hal ini
sangat sesuai bagi petani miskin (area B dan D dalam Gambar
37).
(2). Menggunakan dosis pupuk yang lebih tinggi yang diharapkan akan
menghasilkan manfaat setinggi-mungkin dari setiap hektar lahan.
Ini merupakan dosis optimum (area A dan C Gambar 37).
(3). Menggunakan dosis pupuk yang lebih tinggi lagi untuk
meningkatkan kandungan hara tanah yang dapat dimanfaatkan
bagi tanaman berikutnya.
(4). Menggunakan pupuk untuk tanaman tertentu saja dalam sistem
rotasi.

You might also like