You are on page 1of 19

LAPORAN INDIVIDU

BLOK XII RESPIRASI

SKENARIO 1

GANGGUAN SISTEM RESPIRASI DENGAN

GEJALA AWAL BATUK DAN SESAK NAFAS


OLEH :

1. HERRY PRASETYANTO G0008105

2. IKE PRAMASTUTI G0008107

3. IMAM RIZALDI G0008109

4. IRA RISTINAWATI G0008111

5. IZZATUL MUNA G0008113

6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115

7. NURSANTY S. G0008231

8. REDYA AYU T. G0008233

9. RESCHITA ADITYANTI G0008235

10. RIESKA WIDYASWARI G0008237

11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9

NAMA TUTOR : dr. Suyatmi, MBiomedSc

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2009
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Fungsi utama paru adalah mengeluarkan karbon dioksida dari darah dan mengganti
oksigen. Dinding dada dan diafragma berfungsi sebagai pompa untuk menggerakkan udara
masuk-keluar paru sehingga dapat terjadi pertukaran gas di sepanjang membran
alveolokapiler. Sehingga, kesempatan timbulnya penyakit di sistem oragan penting ini
sangat banyak. Pendekatan yang lazim dalam studi tentang patologi paru, adalah dengan
mengelompokkan panyakit paru menjadi penyakit yang mengenai saluran napas,
interstitium, dan sistem vaskular paru. Pembagian menjadi kompartemen terpisah ini, jelas
bersifat artifisial karena dalam kenyataannya, penyakit pada satu kompartemen umumnya
disertai perubahan morfologi dan fungsi pada kompartemen yang lain.
Paru sebagai organ dengan permukaan yang luas, aliran darah yang cepat dan epitel
alveolar yang tipis merupakan tempat kontak yang penting dengan substansi yang berasal
dari lingkungan. Penyakit paru yang ada saat ini dapat disebabkan oleh banyak factor. Dan
salah satu perhatian atas dampak pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja dan
lingkungan terhadap kesehatan sejak beberapa dekade terakhir tampak makin meningkat
karena peranannya terhadap gangguan fungsi paru. Penyakit paru kerja penting dikenali
karena disebabkan oleh paparan debu, asap, atau zat-zat kimia yang nantinya dapat
menggangu fungsi normal paru. Pajanan bahan berbahaya di tempat kerja dapat
menyebabkan atau memperburuk penyakit seperti asma, bronkiektasis, Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK), kanker paru, atau tuberkulosis..
Skenario: Seorang laki-laki usia 18 tahun merasakan batuk yang tidak berkurang sejak 3
hari yang lalu. Batuk yang dirasakan mula-mula tidak disertai dahak, akan tetapi sejak
tadi pagi mulai batuk berdahak, bahkan sekarang mendadak menjadi sesak napas. Selain
itu, penderita juga mengalami demam. Sebelumnya penderita membersihkan rak-rak buku
lama ayahnya yang penuh dengan debu. Penderita segera datang ke dokter keluarganya,
disana dokter memeriksa pasien untuk mendapatkan gejala dan tanda respirasi lainnya.
Pada pemeriksaan auskultasi penderita ditemukan wheezing yang jelas. Dokter tersebut
ingat, kakak penderita juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya
menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing.
Selanjutnya dokter memberi obat pada penderita tersebut 2 macam obat yang berbeda
fungsinya.
Pada umumnya, penyakit paru dapat menimbulkan tanda-tanda dan gejala umum maupun
tanda dan gejala pernapasan. Tanda dan gejala pernapasan mencakup batuk, sputum yang
berlebihan, atau abnormal, hemoptisis, dispnea, dan nyeri dada. Sedangkan yang termasuk
tanda dan gejala umum adalah sianosis, jari tabuh, dan osteoartropati hipertrofik, serta
manifestasi lain yang berkaitan dengan pertukaran gas yang tidak adekuat.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana anatomi, dan fisiologi dari sistem pernafasan?
Bagaimana patofisiologi terjadinya batuk, dahak, sesak napas, demam dan wheezing?
Mengapa batuk yang awalnya tidak berdahak bisa menjadi batuk berdahak dan sesak
napas?
Apakah terdapat keterkaitan antara penyakit pasien dengan penyakit kakaknya?
Apakah batuk yang diderita pasien disebabkan oleh debu?
Bagaimana mekanisme timbulnya honeycomb appearance? Penyakit apa saja yang
terkait?
Dua macam obat apa yang diberikan dokter pada pasien?
TUJUAN
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem pernafasan
2. Mengetahui patofisiologi terjadinya batuk, dahak, sesak nafas, demam dan wheezing
3. Mengetahui penyebab terjadinya sesak nafas yang bermula dari batuk
4. Mengetahui keterkaitan penyakit kakak pasien dengan pasien sendiri
5. Memahami mekanisme batuk karena alergen
6. Memahami mekanisme terjadinya honeycomb appearance
7. Mengetahui penatalaksanaan penyakit dalam skenario
MANFAAT
1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi system respirasi
2. Mahasiswa dapat mencari dan mengerti patologi pada penyakit respiratorik khususnya
asma bronkhiale
3. Mahasiswa dapat mengetahui kalsifikasi, kausa, diagnosis, penatalaksanaan,
prognosis, dan rehabilitasi penyakit asma bronkhiale

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN
1. Anatomi Sistem Pernapasan
a. Jalan Napas
Jalan napas atau sistem konduksi terdiri atas rongga hidung, faring, laring, trakea,
bronkus, dan bronkiolus berfungsi menghantarkan udara dari atmosfer ke dalam alveolus.
Bronkus terbagi secara dikotomi, lambat laun mengecil dan berdinding lebih tipis pada
saat udara melintas dari hilum menuju perifer. Bila dinding-dinding tersebut sudah tidak
bertulang rawan, jalan napas ini dinamakan bronkiolus. Bronkiolus berdiameter 2 mm,
memiliki dinding-dinding otot polos, dan berakhir pada alveolus. Epitel pelapis adalah
kolumner bersilia di dalam jalan napas besar dan kuboid bersilia di dalam bronkiolus
distal. Sel-sel goblet penghasil mukus juga ada, khususnya di dalam bronkus besar.
Sebaran sel-sel granul kecil juga terdapat pada membran basal diantara sel-sel epitel
dalam bronkus. Sel-sel ini merupakan sel neuroendokrin yang mengandung serotonin,
bombesin, dan polipeptida lainnya. Sel-sel klara kecil berbentuk kubah di dalam
bronkiolus terminal menyekresi protein yang melapisi jalan napas kecil.
b. Parenkim paru
Terdapat dua unit parenakim paru yaitu lobulus paru dan asinus paru. Lobulus paru
ditunjukkan oleh struktur yang berasal dari bronkiolus kecil terdiri atas 5-7 bronkiolus
terminal dan struktur-struktur yang lebih distal. Sedangkan asinus paru merupakan
struktur yang muncul dari bronkiolus terminal tunggal dan terdiri atas bronkiolus
respiratorik dan alveolus. Bronkiolus respiratorik dilapisi oleh epitel kuboid yang ikut
berperan dalam pertukaran gas. Bronkiolus respiratoris tersebut menuju ke dalam duktus
alveolus. Sakus alveolus timbul sebagai kantung-kantung luar sakular dari duktus
alveolus dan bronkiolus respiratorik. Dinding alveolus memiliki tebal 5-10 mikron dan
dilapisi oleh sel pneumosit tipe II yang merupakan penghasil surfaktan dan berproliferasi
cepat bila terjadi cedera alveolus.
c. Pleura
Paru dikelilingi oleh sel-sel mesotel yang membentuk pleura visceralis dan nantinya
akan bersambung dengan batas dalam dinding dada (pleura parietalis) pada hilum paru.
Rongga pleura dilumasi oleh lapisan tipis cairan pleura yang memungkinkan gerakan
paru sesuai dinding dada.
d. Pasokan darah
Paru memiliki pasokan darah ganda. Cabang-cabang arteriola bronkus mengikuti
pohon bronkus dan memiliki fungsi nutritif. Arteri paru terbagi untuk menghasilkan
jejaring kapiler, suatu fungsi primer tempat terjadinya pertukaran gas.
2. Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan atau sistem respirasi memiliki peran/ fungsi untuk menyediakan
oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi
penyediaan oksigen adalah sebagai sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok terus
menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus segera dikeluarkan dari
tubuh. CO2 ini bila tertumpuk dalam darah akan menurunkan pH sehingga menimbulkan
keadaan asidosis yang dapat mengganggu faal badan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Proses respirasi berlangsung beberapa tahap yaitu:
a. Ventilasi, merupakan proses pergerakan udara kedalam dan keluar paru. Proses ini
terdiri atas inspirasi dan ekspirasi.
- Inspirasi
Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi bila tekanan
intrapulmonal lebih rendah dari tekanan udara luar. Dan tekanan ini berkisar antara -1
mmHg sampai dengan -3 mmHg. Proses ini diawali dengan kontraksi otot diafragma dan
interkostalis eksterna. Kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan rongga toraks
mengembang dan volume rongga membesar. Akibatnya, tekanan intra pleura menurun
dan paru mengembang. Karena pada inspirasi, terjadi penurunan tekanan intraalveol,
maka udara di atmosfer akan masuk ke dalam paru.
- Ekspirasi
Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru. Ekspirasi terjadi bila
tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari tekanan udara luar. Ekspirasi merupakan suatu
proses pasif yang disebabkan oleh sifat elastisitas dinding dada dan elastic coil paru.
Proses ini diawali dengan relaksasi otot diafragma dan kontraksi otot interkostalis interna.
Hal ini akan menyebabkan volume rongga toraks mengecil. Akibatnya, tekanan intra
pleura meningkat dan paru mengecil. Karena pada ekspirasi, terjadi peningkatan tekanan
intraalveol, maka udara dalam paru bergerak keluar paru.
b. Pernapasan Luar, merupakan proses pertukaran gas di dalam alveol dan darah
c. Transportasi gas dalam darah
d. Pernapasan Dalam, merupakan proses pertukaran gas antara darah dengan sel-sel
jaringan
e. Pernapasan Seluler, merupakan proses metabolisme penggunaan oksigen di dalam
sel serta pembuatan karbondioksida
B. MANIFESTASI PENYAKIT RESPIRATORIK
1. Manifestasi Pulmoner
Berupa keluhan atau tanda penyakit, baik akibat langsung (primer) maupun akibat
tidak langsung (sekunder) dari proses yang ada di paru. Manifestasi ini dapat berupa:
a. Manifestasi pulmoner primer, merupakan keluhan/ tanda yang ditimbulkan langsung
oleh proses setempat.
- Keluhan, merupakan ha-hal yang dirasakan oleh penderita serta dapat disampaiakan
pada dokter pada waktu melakukan anamnesa. Keluhan ini pada dasarnya dapat berupa
batuk dengan atau tanpa dahak/ darah; sesak napas dengan/tanpa berbunyi; dan nyeri dada
- Tanda penyakit, merupakan perubahan-perubahan jaringan paru, pleura atau dinding
dada yang ditimbulkan oleh penyakit yang dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik.
Tanda penyakit meliputi perubahan pada bentuk/ besarnya toraks, pergerakan pernapasan,
dan penghantaran getaran suara
b. Manifestasi pulmoner sekunder, merupakan perubahan akibat kelainan paru yang
dapat menimbulkan gangguan dalam pertukaran gas, dan peningkatan pembuluh darah
2. Manifestasi ekstrapulmoner
Berupa perubahan-perubahan atau kelainan yang terjadi di luar paru akibat dari penyakit
yang ada di paru
- Metastasis, merupakan penyebaran penyakit paru ke luar paru seperti kanker paru
menyebar ke tulang, hati, otak, dan organ tubuh lainnya.
- Non metastasis, merupakan gejala sistemik yang dapat berupa gejala umum (panas,
anoreksia, rasa lelah) dan gejala khusus (jari tabuh, osteoartropati).
C. PATOFISIOLOGI
Refleks Batuk
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut
saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang
terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di
pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil,
dan sejumlah besar reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan
bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus
paranasalis, perikardial, dan diafragma.
Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang
dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui
cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus
paranasalis, nervus glosofaringeus, menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus
menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.
Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di
dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut afferen
nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus, nervus
fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot-
otot laring, trakea, bronkus, diafragma,otot-otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah
efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya mekanisme batuk dapat
dibagi menjadi empat fase yaitu :
Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau
serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk
juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran
telinga luar dirangsang.
Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor
kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan
cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga
bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada
membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru
dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi
sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga
menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago
aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi
sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi
selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena
otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap
terbuka.
Fase ekspirasi/ ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi,
sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi
disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis,
otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase
mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat
bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.
2. Sesak Napas
Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seorang yang menderita penyakit paru.
Keluhan ini mempunyai jangkauan yang luas, sesuai dengan interpretasi seseorang
mengenai arti sesak napas tadi. Pada dasarnya, sesak napas baru akan timbul bila
kebutuhan ventilasi melebihi kemampuan tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan
kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti aktivitas jasmani
yang bertambah atau panas badan yang meningkat. Patofisiologi sesak napas akut dapat
dibagi sebagai berikut:
- Oksigenasi jaringan menurun
- Kebutuhan oksigen meningkat
- Kerja pernapasan meningkat
- Rangsangan pada sistem saraf pusat
- Penyakit neuromuskuler
3. Wheezing
Wheezing merupakan suara napas tambahan yang bersifat continue, musical, nada
tinggi, dan durasinya panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara cepat
melewati saluran napas yang mendatar atau menyempit/ hampir tertutup. Wheezing
secara umum disebabkan oleh obstruksi parsial atau penyempitan jalan napas. Wheezing
yang terdengar menyeluruh di lapangan paru disebabkan oleh asma, bronkitis kronik,
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), dan penyakit jantung kongestif. Pada asma,
wheezing hanya terdengar pada ekspirasi atau di antara dua fase siklus napas. Wheezing
yang terdengar hanya pada lokasi tertentu menandakan terdapat obstruksi parsial pada
bronkus, misalnya benda asing atau tumor. Wheezing ini bisa terjadi pada saat inspirasi,
ekspirasi, atau keduanya.
D. DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkiektasis
Pengertian
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran bronkus
yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muscular
dinding bronkus. Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih lagi dari
bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis berulang dan memanjang,aspirasi
benda asing, atau massa ( mis. Neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan
obstruksi. Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah satu atau lebih
cabang-vabang bronkus yang besar.
Etiologi
Infeksi
Kelainan heriditer atau kelainan konginetal
Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi
Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai komplikasi campak, batuk rejan,
atau penyakit menular lainnya semasa kanak-kanak.
Tanda dan Gejala
Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama pada pagi hari,setelah tiduran
dan berbaring.
Batuk dengan sputum menyertai batuk pilek selama 1-2 minggu atau tidak ada gejala
sama sekali ( Bronkiektasis ringan )
Batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak kurang lebih 200 - 300 cc, disertai
demam, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura, dan
lemah badan kadang-kadang sesak nafas dan sianosis, sputum sering mengandung
bercak darah,dan batuk darah.
Gambaran radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil
dengan fluid level, mirip seperti gambran sarang tawon (honey comb appearance).
2. PNEUMONIA
Pengertian
Pneumonia adalah infeksi akut jaringan (parenkim) paru yang ditandai dengan
demam, batuk dan sesak napas. Pneumonia dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-
tanda klinis lainnya dan pemeriksaan penunjang (Rontgen, Laboratorium).
Etiologi
Sebagian besar penyebab Pneumonia adalah mikroorganisme (virus, bakteri). Dan
sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau
sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi lambung ke dalam saluran
pernapasan (aspirasi).
Berbagai penyebab Pneumonia tersebut dikelompokkan berdasarkan golongan umur,
berat ringannya penyakit dan penyulit yang menyertainya (komplikasi). Mikroorganisme
tersering sebagai penyebab Pneumonia adalah virus, terutama Respiratory Syncial Virus
(RSV) yang mencapai 40%. Sedangkan golongan bakteri yang ikut berperan terutama
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae type b (Hib). Awalnya,
mikroorganisme masuk melalui percikan ludah (droplet), kemudian terjadi penyebaran
mikroorganisme dari saluran napas bagian atas ke jaringan (parenkim) paru dan sebagian
kecil karena penyebaran melalui aliran darah.
Tanda dan Gejala
Tanda-tanda Penumonia sangat bervariasi, tergantung golongan umur,
mikroorganisme penyebab, kekebalan tubuh (imunologis) dan berat ringannya penyakit.
Pada umumnya, diawali dengan panas, batuk, pilek, suara serak, nyeri tenggorokan.
Selanjutnya panas makin tinggi, batuk makin hebat, pernapasan cepat (takipnea), tarikan
otot rusuk (retraksi), sesak napas dan penderita menjadi kebiruan (sianosis). Adakalanya
disertai tanda lain seperti nyeri kepala, nyeri perut dan muntah (pada anak di atas 5
tahun).
E. ASTHMA BRONKIALE
1. DEFINISI
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri
bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan
penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin,
infeksi, otonomik dan psikologi.
2. TIPE ASTHMA
Asthma terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik atau campuran (mixed) :
a. Asthma Alergik /Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab
allergen (missal : bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll). Allergen
terbanyak adalah airborne dan seasonal (musiman). Pasien dengan asthma alergik
biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan
exzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan
asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.
b. Idiopathic atau Nonallergic Asthma/Intrinsik, tidak berhubungan secara langsung
dengan allergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran nafas
atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa
agent pharmakologi, beta-adrenergic antagonist dan agent sulfite (penyedap makanan)
juga dapat sebagai faktor. Serangan dari asthma idiopatik atau nonalergik menjadi
lebih berat dan seringkali dengan berjalannya waktu dan dapat berkembang menjadi
bronchitis dan emfisema. Beberapa pasien berkembang menjadi asthma campuran.
Bentuk asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).
c. Asthma Campuran (Mixed Asthma), merupakan bentuk asthma yang paling
sering.
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asthma alergi dan idiopatik atau
nonalergi.
3. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang
menonjol pada semua penderita asthma adalah fenomena hiperreaktivitas bronchus.
bronchus penderita asthma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non-
imunologi. Karena sifat inilah maka serangan asthma mudah terjadi akibat berbagai
rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan
atau pencetus yang sering menimbulkan asthma perlu diketahui dan sedapat mungkin
dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrim.
e. Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan.
h. Emosi
4. GAMBARAN KLINIS
Gejala asthma terdiri dari triad : dispnea, batuk dan mengi, gejala yang
disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).
Objektif
Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.
Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.
Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan
Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.
Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus) Subjektif
Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia. Psikososial
Cemas, takut dan mudah tersinggung
Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.
5. PATOFISIOLOGI
Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh
limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang mencetuskan asthma
bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas, alergen tersebut
harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi sekali
sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan respon yang sangat baik sehingga
sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi
penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asthma
adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan
sulfat. Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama mengenai orang dewasa,
walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini
biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis
hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian
obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang juga akan
terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain. Mekanisme dengan aspirin
dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak diketahui tetapi mungkin
berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis beta-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas pada
pasien asthma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan
nafas dan harus dihindarkan pada pasien ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit,
kalium dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas
digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet
juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan
biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa ini,
misal, salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur.
Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan lainnya dari internal
pasien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan
dikeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh
dalam menghadapi serangan yang dapat berupa dikeluarkannya histamin, bradikinin
dan anafilatoksin.
Pengkajian Untuk menentukan beratnya Asthma
Manifestasi Klinis Skor 0 Skor 1
a. Penurunan toleransi beraktifitas Ya Tidak
b. Penggunaan otot nafas tambahan, adanya Tidak ada Ada
retraksi interkostal. Tidak ada Ada
c. Wheezing < 25 > 25
d. Respirasi rate < 120 > 120
permenit e. Pulse rate Tidak ada ada
permenit > 100 < 100
f. Teraba pulsus paradoksus
g. Puncak Expiratory Flow Rate (L/menit)
Keterangan : Skor 4/lebih disangkakan asthma berat, klien harus diobservasi untuk
menentukan adakah respon dari terapi atau segera dikirim ke rumah sakit.
Perubahan Dalam Arteri Blood Gas yang berhubungan dengan Asthma
Ringan Sedang Berat Status Asmatikus
PaO2 Elevasi Normal sampai hipoxemia Hipoxemia Hipoxemia berat
PaCO2 Menurun ringan Elevasi Elevasi Jelas
pH Alkalosis Menurun sampai Normal Alkalosis Asidosis
Alkalosis

6. PEMERIKSAAN
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru
yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma melalui 3 cara, yaitu
didapatkannya:
 Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume per satu
detik) ≥15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu
hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya
berlangsung ≥ 2 minggu.
 Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ≥15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah pemberian
inhalasi bronkodilator.
 Penurunan ≥20% pada FEV1 setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau
histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain
mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Jika tidak tersedia,
dapat menggunakan Lembar Catatan Harian sebagai alternatif. Asma bisa langsung diketahui
jika pasien menderita eczema, alergi (atopik) atau sejarah asma dalam keluarga.
7. PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronchial :
a. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan :
1) Saatnya serangan
2) Obat-obatan yang telah diberikan (macam dan dosis)
b. Pemberian obat bronchodilator.
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan.
d. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Setelah serangan mereda
1) Cari faktor penyebab.
2) Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.
8. OBAT-OBATAN
a. Bronchodilator
Tidak digunakan bronchodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral.
Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya
diberikan Aminophilin secara parenteral sebab mekanisme yang berlainan, demikian
sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan Teofilin oral maka sebaiknya
diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
Obat-obatan bronchodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap
adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol) mempunyai
sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan
dengan bentuk non-selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)
Obat-obat bronchodilatator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping
sistemik lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak dan
dewasa. Mula-mula diberikan 2 sedotan dari Metered Aerosol Defire (Afulpen
Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang tiap 4 jam, jika
tidak ada perbaikan sampai 10-15 menit berikan Aminophilin intravena.
Obat-obat Bronchodilatator simpatomimetik memberi efek samping tachicardia,
penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit
hipertensi, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3
ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Anak-anak 0,01 mg/Kg BB
subkutan (1 mg permil) dapat diulang tiap 30 menit untuk 2–3x sesuai kebutuhan.
Pemberian Aminophilin secara intravena dosis awal 5 – 6 mg/Kg BB dewasa/anak-
anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit. Untuk dosis penunjang 0,9
mg/KgBB/Jam secara infus. Efek sampingnya tekanan darah menurun bila
dilakukan tidak secara perlahan.
b. Kortikosteroid
Pemberian obat–obat bronchodilatator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjutkan
dengan pengobatan kortikosteroid 200 mg hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3 –
4 mg/Kg BB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2 – 4 jam secara
parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30 – 60 mg
prednison atau dengan dosis 1 – 2 mg/Kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi,
kemudian dosis dikurangi secara bertahap.
c. Pemberian Oksigen
Melalui kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan
melalui air untuk memberikan kelembaban. Obat ekspektoran seperti Gliserolguaiakolat
dapat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, maka intake cairan peroral dan infus
harus cukup, sesuai dengan prinsip rehidrasi, antibiotik diberikan bila ada infeksi.
d. Beta Agonists
Beta agonists (-adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan
dalam pengobatan asthma dikarenakan obat ini bekerja dengan jalan mendilatasikan otot
polos. Adrenergic Agent juga meningkatkan pergerakan cilliary, menurunkan mediator
kimia anaphylaxis dan dapat meningkatkan efek broncholasi dari kortikosteroid. Agent
adrenergic yang sering digunakan antara lain epinephrine, albuterol, metaproterenol,
isoproterenol, isoetharine dan terbutaline. Biasanya diberikan secara parenteral atau
inhalasi. Jalan inhalasi merupakan jalan pilihan dikarenakan dapat mempengaruhi secara
langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.

BAB III
PEMBAHASAN
Perjalanan udara saat inspirasi bermula dari apertura nasalis anterior → cavitas nasi
(concha nasalis superior untuk pembau, concha nasalis medius dan concha nasalis inferior
untuk conditioning) → vestibulum nasi (dalam vestibulum nasi ini terdapat fibricea atau
bulu hidung yang berfungsi sebagai penyaring partikel-partikel kecil seperti debu yang
masuk bersama udara saat inspirasi) → choana → nasopharing → larynx → trachea
(terdapat cartilago dan pars membranacea) → bronchus primer → bronchus sekunder →
bronchus tertius → bronchiolus (disini sudah tidak ada cartilago) → bronchiolus
terminalis (masuk zona respiratorius) → brochiolus repiratorius → ductus alveolaris →
saccus alveolaris → alveolus.
Refleks batuk penting untuk kehidupan, karena batuk merupakan cara jalan ke paru
dipertahankan bebas dari benda asing. Impuls aferen berasal dari jalan pernafasan,
terutama melalui nervus vagus ke medulla oblongata (MO). Di sana rangkaian kejadian
automatis dicetuskan oleh sirkuit neuron MO, menyebabkan efek berikut :
1. Sekitar 2,5 liter udara diinspirasikan,
2. Epiglotis menutup dan pita suara menutup rapat untuk menjebak udara di dalam
paru-paru,
3. Otot-otot perut berkontraksi kuat, mendorong diafagma sementara otot-otot
ekspirasi lain juga berkontraksi kuat (tekanan intrapulmonal meningkat ≥
100 mmHg),
4. Pita suara dan epiglotis tiba-tiba terbuka lebar sehingga udara yang tertekan
di dalam paru-paru meledak keluar,
5. Kompresi kuat paru-paru juga mengempiskan bronki dan trakea, lalu benda asing
keluar.
Batuk yang tidak berkurang sejak tiga hari kemungkinan disebabkan adanya benda
asing yang masuk ke dalam tractus respiratoria. Benda asing tersebut bisa bermacam-
macam bentuknya, misalnya debu rumah.
Timbulnya dahak yang menyertai batuk disebabkan oleh adanya sel epitel berlapis
mukus bersilia yang membantu membersihkan saluran pernafasan, karena silia bergetar
ke arah faring dan menggerakkan mukus seperti suatu lembaran yang mengalir terus-
menerus. Jadi partikel asing kecil dan mukus digerakkan dengan kecepatan satu
sentimeter per menit sepanjang trakea ke faring. Benda asing di dalam saluran hidung
juga dimobilisasikan ke laring.
Sesak nafas yang terjadi pada penderita lebih disebabkan karena reaksi
hipersensitifitas terhadap suatu alergen, yang pada skenario adalah debu. Partikel debu
sangatlah kecil, sulit dilihat dengan mata telanjang. Jika seseorang yang alergi terhadap
debu secara tidak sengaja menghirupnya, maka tubuh akan meresponnya pertama kali
dengan refleks batuk. Kemudian sistem imun tubuh meresponnya dengan melepaskan
mediator-mediator inflamasi, seperti IgE, sel mast, Sel Th2, dan eosinofil. Akibatnya
akan terjadi sesak nafas yang disebabkan oleh penyempitan bronkus yang berlebihan.
Penyakit respirasi dengan riwayat seperti ini adalah asma ekstrinsik (disebabkan oleh
reaksi hipersensitif tubuh terhadap suatu alergen, debu). Selain sesak nafas, tubuh juga
akan mengalami kenaikkan suhu (demam) akibat melepaskan berbagai mediator inflamasi
tadi.
Pada pemeriksaan fisik auskultasi penderita ditemukan adanya bunyi wheezing. Bunyi
tersebut merupakan bunyi yang khas terdapat pada penyakit asma. Wheezing tersebut
adalah terlepasnya udara dari saluran napas yang menyempit sehingga menghasilkan
suara yang kontinyu. Sang kakak juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen
toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan
wheezing. Gambaran yang seperti sarang lebah tersebut merupakan salah satu ciri khas
foto rontgen pada bronkiektasis.
Bronkiektasis adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan
otot dan jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi
nekrotikans kronis. Pada kasus brinkhietaksis terjadi metaplasi sel epitel kolumner
menjadi epitel bersquamous, selain itu terjadi nekrosis elemen kartilago dan rusaknya
jaringan elastic. Inilah yang menyebabkan gambaran honeycomb apereance.
Bronkiektasis bukanlah suatu penyakit primer, tetapi lebih merupakan akibat obstruksi
atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Pada sebagian kasus asma
kronik tanpa penatalaksanaan yang tepat dapat berkembang menjadi bronkhietaksis.
Selain itu, Tanda demam pada scenario memungkinkan adanya gejala pneumonia,
namun pada pneumonia terdapat tanda khas berupa nafas bonkhi bukan bunyi wheezing.
Pneumonia itu sendiri bersifat akut sehingga pada perjalanannya tidak dapat berlanjut
menjadi bronkhietaksis.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asma bronchial merupakan penyakit obstruksi paru akut dengan manifestasi klinis
batuk yang kadang disertai dahak, sesak nafas, dan yang paling khas adalah
ditemukannya suara paru wheezing. Asma bronchial termasuk ke dalam kategori
hipersensitifitas tipe I, dimana allergen yang mengiritasi saluran nafas dapat
menyebabkan batuk dan sesak nafas. Penderita asma bronchial harus segera mendapat
penanganan, karena penyempitan saluran nafas bisa menyebabkan otot pernafasan lelah
dan berlanjut menjadi gagal nafas. Walaupun asama bronchial tidak bisa disembuhkan,
namun penyakit ini dapat dikontrol dengan menghindari allergen yang bisa menyebabkan
kambuhnya asma.
B. Saran
1. Sebaiknya penderita asma segera mendapat penanganan yang tepat agar tidak terjadi
komplikasi asma yang lebih lanjut, dan bahkan bisa terjadi gagal nafas
2. Penderita asma sebaiknya mengetahui allergen-elergen yang dapat menyebabkan
kambuhnya asma, sehingga penderita tersebut bisa menghindarinya
3. Obat untuk penanganan asma akut, seperti inhaler, sebaiknya selalu dibawa penderita
asma, agar bila serangan asma mendadak terjadi, bisa segera ditangani

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood, Abdul Mukty. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press, hal: 15-56
Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan
Sistem Pernapasan, Dalam: Sudoyo Aru W et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 959-963
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 480-489
Forinsik, 2004. Catatan Kuliah IPD-Paru. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Marey Surakarta, hal: 4-11
Guyton, Arthur C. , John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, hal: 610-611
Kabat. 2004. Asma Bronkial, Dalam: Hood Alsagaff, M.Jusuf Wibisono, Winariani. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Paru Cetakan 1. Surabaya: Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran
Universitas Airlangga, hal: 41-50
Maitra, Anirban, Vinay Kumar. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas, Dalam : Stanley
L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta :
Penerbit Buku Kedoketeran EGC, Hal: 510-515
Reviono et al. 2008. Ketrampilan Pemeriksaan Fisik Sistem Respirasi. Surakarta: Skills Lab
Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal: 15
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, hal: 622-635
Wilson, Lorraine M. 2005. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan, Dalam:
Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
hal: 773-779

You might also like