You are on page 1of 5

Satu Perkawinan, Seribu Pasangan

TEMPO MAJALAH BERITA MINGGUAN 20/XXVII 14 Februari 1999

Skenario merger bank-bank pemerintah diubah. Kredit macet terlalu


besar, operasional bank memburuk. Bank Mandiri cuma akan berumur enam
bulan? Barangkali inilah semangat zaman modern: berganti-ganti pasangan
kawin. Jangan keburu curiga. Ini bukan cerita soal perkawinan antarmanusia,
tapi kisah perkawinan bank-bank pemerintah. Sejak muncul rencana merger
bank BUMN Maret 1998, hingga pekan lalu sudah ada empat kali perubahan
pasangan.
Terakhir, menurut sumber di Departemen Keuangan, pemerintah akan
melebur dua bank terlebih dulu: Bappindo dengan Bank Exim. Bank Bumi Daya
(BBD) dan Bank Dagang Negara (BDN), yang semula juga ikut dilebur, untuk
sementara ditinggalkan tetap sebagai bujangan?entah sampai kapan. Nasib
BBD dan BDN masih akan dirapatkan. Ada juga kemungkinan kedua bank itu
disehatkan sendiri-sendiri, untuk kemudian ditawarkan ke investor.
Perubahan pasangan di Bank Mandiri?begitu nama hasil merger bank-
bank milik negara ini?memang bukan hal baru. Perbincangan soal ini mungkin
juga tak ada gunanya untuk Anda, para pembaca. Tapi ada satu soal penting.
Perubahan pasangan itu dilakukan karena masalah yang muncul dari
perkawinan empat bank itu terlalu berbelit. Salah satunya lantaran kondisi bank-
bank itu jauh lebih parah daripada yang dibayangkan semula. Kredit macet di
bank-bank pemerintah ini membengkak luar biasa besar.
Ceritanya berawal Rabu, 10 Februari malam. Ketika itu keempat peserta
Bank Mandiri menyerahkan daftar kredit bermasalah ke Departemen Keuangan.
Ternyata, hasilnya sungguh mengejutkan. Jangan kaget, hingga akhir Desember
lalu, tingkat kredit bermasalah di empat bank BUMN itu di atas 90 persen dari
total kredit.

Dari jumlah itu, sepertiganya macet total (tak membayar bunga lebih dari
sembilan bulan). Total jenderal, dana pencadangan kredit macet yang harus
disediakan untuk keempat bank ini sudah mencapai Rp 50 triliun. Itu baru posisi
Desember. Akhir Maret nanti, dana pencadangan yang diperlukan bakal
membengkak dahsyat. Soalnya, menurut seorang direktur bank pemerintah, hari-
hari ini hampir tak ada kredit yang bisa membayar bunga. Efisiensi rasio
(perbandingan antara penghasilan bunga dan target yang ditetapkan) di bank-
bank milik negara itu cuma 10 persen. Dengan kata lain, dari bunga kredit 35
persen, yang bisa ditarik tak lebih dari 3,5 persen. Karena itu bisa dipastikan
kredit macet bakal makin meledak. Kredit yang Desember lalu statusnya masih
kurang lancar (menunggak bunga tiga bulan), Maret nanti akan menjadi kredit
yang diragukan (menunggak enam bulan bunga). Adapun yang diragukan bakal
masuk ke jajaran kredit macet (menunggak bunga sembilan bulan). Di atas
kertas, Maret nanti, dana pencadangan yang harus disediakan untuk empat
peserta Bank Mandiri akan melambung hampir menjadi Rp 75 triliun. Padahal,
biaya rekapitalisasi yang direncanakan untuk keempat bank ini tak lebih dari Rp
70 triliun.
Kesimpulannya: rencana merger keempat bank ini harus dirombak. Entah
bagaimana pertimbangannya, Bapindo dan Bank Exim dikawinkan lebih dulu.
BBD dan BDN harus menunggu kemudian.
Tapi mengapa kredit macet di bank-bank BUMN sampai di luar
perhitungan? Banyak cerita menarik, walaupun belum semuanya bisa
dikonfirmasi. Menurut seorang direktur bank pemerintah, banyak di antara kredit
itu yang diberikan sebagai upeti kepada ''bos" sekadar untuk mempertahankan
kedudukan. Karena itu, gampang dimengerti jika banyak kredit yang diberikan
begitu saja tanpa agunan yang cukup, bahkan untuk sebuah proyek yang tidak
pernah ada.
Mau contoh? Banyak. Seorang pengusaha beken tiba-tiba mengajukan
permohonan kredit puluhan miliar untuk membangun pabrik tapioka raksasa di
daerah Sumatra. Untuk melobi bank, pengusaha ini mengajak anak pejabat yang
paling berkuasa saat itu. Sebagai agunan, selain proyek itu juga diserahkan
sebuah rumah pribadi di kawasan Menteng, Jakarta.
Bagaimana sikap bank? Gampang ditebak, hanya dalam tempo empat
hari (normalnya proses kredit miliaran seperti ini berlangsung empat bulan), bank
mencairkan kredit yang diminta. Melihat tongkrongan peminta kredit, keberadaan
proyek dan agunan tampaknya tak perlu dicek lebih teliti.
Nah, kini, kredit itu macet tak terbayar. Ketika agunan mau ditarik, apa
yang terjadi? Rumah Menteng itu sudah ditinggali seorang mantan menteri yang
cukup punya pengaruh. Bank tampaknya ngeper untuk mengusir mantan pejabat
tinggi ini. Proyeknya? Nuwun sewu, belum dibangun.
Itu baru satu contoh. Patgulipat yang lebih hebat juga ada. Ceritanya
berawal dari 1995, ketika seorang pengusaha muda datang ke Bapindo. Ia minta
persetujuan mengambil alih perusahaan peternakan sapi di Salatiga, Jawa
Tengah, yang sedang menunggak utang ke Bapindo. Bank pemerintah ini minta
sang pengusaha mengajukan rencana usaha. ''Gampang," sang pengusaha
menyanggupi.
Tak lama kemudian ia datang dengan segebok usulan. Seiring dengan
penyelamatan peternakan sapi itu, juga akan dibangun proyek baru pemotongan
hewan di daerah Subang, Jawa Barat. Alasannya, pemerintah akan segera
menutup rumah pemotongan hewan di Cakung, Jakarta Timur, (lantaran
mengganggu permukiman) dan memindahkannya ke luar kota. Informasi ''dalam"
ini dapat dia kuping. Kesempatan pun disambar. Tak lupa ia juga menggandeng
anak dan cucu seorang pejabat tinggi.
Untungnya, Bapindo ketika itu cukup punya nyali untuk menolak.
Alasannya, bank yang pernah kepeleset perkara Eddy Tansil ini sudah pernah
memberi kredit semacam ini empat kali, dan semuanya macet. Dengan berat
hati, sang pengusaha pun mundur teratur.
Tapi jangan keburu senang. Tiga tahun kemudian, Desember 1998, ia
datang lagi untuk proyek yang sama tapi dengan posisi yang berbeda. Kali ini
Bapindo diminta menebus kredit yang sudah dicairkan perusahaan itu dari Bank
Pacific, yang bulan sebelumnya dilikuidasi.

Rupanya, ketika ditolak Bapindo, proyek rumah pemotongan hewan


Subang itu didanai Bank Pacific. Ketika Pacific dilikuidasi, kredit itu harus segera
dibayar. Sang anak pejabat tak bisa bayar, Bapindo ''ditodong". Apa boleh buat.
Kredit macet itu kemudian ditebus dengan nilai kredit yang jauh lebih besar.
Soalnya, menurut seorang pejabat keuangan, ''Sang anak pejabat juga ingin
dapat lebihan uang tunai dari kredit baru itu."
Dengan alur cerita yang mirip sama, Bapindo juga ''terperosok" dalam
pemberian kredit untuk Hotel Bali Cliff. Semula kredit pembangunan hotel
berbintang lima ini ditolak Bapindo. Tapi Desember lalu, persis seperti kasus
rumah pemotongan hewan Subang, pemilik proyek meminta bank BUMN itu
menebus kredit yang macet di Bank Pacific. Rupanya, setelah ditolak Bapindo,
proyek ini sempat beredar ke beberapa bank. Semula didanai Bank Duta,
kemudian diambil alih Bank Bumi Daya, dan akhirnya dibeli Bank Pacific
sebelum harus ditebus Bapindo.
Masih kurang? Ada banyak lagi. Di antaranya, kredit untuk kilang swasta
di Jawa Tengah, yang kreditnya sudah cair tapi proyeknya ''ditunda". Kemudian
ada juga kredit untuk proyek pembangunan pabrik sirup markisa Ujungpandang
milik seorang menteri. Kredit untuk sebuah gudang pendingin, pergudangan
udang beku di Sulawesi, dan masih banyak lagi.
Dalam program rekapitalisasi kelak, kredit-kredit macam ini memang akan
dibersihkan. Caranya, kredit macet dihapuskan dari buku Bank Mandiri (di-write-
off), diganti obligasi pemerintah. Kredit macet itu sendiri kemudian dioper untuk
dikelola oleh Assets Management Unit (AMU). Sebagai ganti, AMU akan
membeli aset macet ini dengan nilai 50 persen dari jumlah kredit. Tapi, karena
jumlah kredit busuk ini terlalu besar, dana yang harus disediakan AMU terlalu
banyak. Ini akan menyulitkan anggaran pemerintah.
Kondisi bank BUMN tambah runyam karena kredit macet bukan satu-
satunya masalah. Masih ada lagi: bank-bank ini terus beroperasi dengan merugi.
Seperti sudah disebut tadi, penghasilan bunga bank-bank ini cuma 10 persen
dari semestinya. Padahal, mereka harus terus membayar bunga simpanan
masyarakat dan menggaji pegawai. Akibatnya, bank-bank in i harus terus
memangsa simpanan nasabah (giran dan deposan) untuk membiayai ongkos
operasinya.
Mau disuntik modal berapa pun, jika situasi ini tak berubah, bank-bank itu
tetap saja akan mati. Seorang bankir pemerintah bahkan yakin, mau diotak-atik
bagaimanapun, jika situasi makro ekonomi tetap seperti ini, Bank Mandiri tak
akan bertahan. ''Paling banter umurnya cuma enam bulan," katanya.
Jadi? Agaknya masalah bank BUMN bukan cuma pada skenario kawin-
mengawinkan, pasang-memasangkan. Lebih dari itu: perlu sikap tegas untuk
menyeret para peminjam utang yang sudah sembarangan menyelewengkan
uang masyarakat.

You might also like