You are on page 1of 9

ANALISA KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI

PENGADILAN HAM

JAKARTA PUSAT ATAS NAMA TERDAKWA ASEP

KUSWANI DKK.

Kasus posisi

Bahwa terdakwa 1 , bertugas selaku komandan distrik militer 1638 liquisa,


terdakwa2 selaku kepolisian resort liquisa dan terdakwa 3 selaku bupati kepala daerah
tingkat II Liquisa. Jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa tidak melakukan atau
tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan atau
bawahannya atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Tindakan terdakwa mengakibatkan 22 orang yang berada pada kompleks


gereja pastor rafael di liquisa tewas. Menjelang jajak pendapat di timur timor, situasi
di liquisa memanas dan ada pertikaian antara kelompok pro kemerdekaan dan
kelompok pro integrasi besi merah putih (bmp). Pada tanggal 3 april 1999 kelompok
pro kemerdekaan telah melakukan ancaman pembunuhan terhadap kelompok pro
integrasi bmp di desa dato liquisa.

Pada tanggal 4 april 1999 massa pro kemerdekaan pimpinan jacinto da costa
melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah milik kelompok pro integrasi.
Pembakaran tersebut dilakukan karena massa bmp dianggap telah melakukan
pembakaran terhadap rumah kelompok pro kemerdekaan dan membunuh salah satu
anggota kelompok pro kemerdekaan.

Pada tanggal 5 april 1999 massa dari kelompok pro integrasi dan kelompok
pro kemerdekaan mengungsi ke kediaman pastor rafael. Pastor henry mengatakan
bahwa kelompok massa bmp akan datang menyerang. Kelompok pro kemerdekaan
pimpinan jacinto da costa kemudian berangkat ke perbatasan maubara-liquisa untuk
mengatasi rencana penyerangan kelompok pro integrasi bmp.

Namun pada saat bertemu di batu blete, pihak kelompok pro integrasi bmp
dibantu TNI telah menembak anggota kelompok pro kemerdekaan dan menyebabkan
tujuh orang tewas. Hingga pukul 13.00 wita massa bmp, TNI dan Polri melakukan
penembakan ke udara dan membuat pengungsi dari kelompok pro kemerdekaan
panik.

Pada hari selasa tanggal 6 april 1999 pukul 07.00 wita, sebanyak 300 orang
kelompok massa pro integrasi bmp pimpinan manuel saosa mulai berkumpul di
kediaman pastor rafael dengan membawa senjata api dan senjata rakitan. Pukul 08.00
wita kelompok bmp dan pastor rafael didatangi dua orang anggota Brimob, yaitu
damianus dapa dan fransiskus salamali meminta jacinto da costa dan gregorio dos
santos untuk diserahkan kepada kelompok pro integrasi bmp.

Tetapi keinginan itu ditolak oleh pastor rafael. Pukul 11.30 WITA datang lima
orang anggota Polri pimpinan lettu. Pol. Jhon rea dan meminta agar jacinto da costa
diserahkan. Pastor rafael bersedia menyerahkan hanya jika mereka dibawa ke polda
timor-timur dan dili, dan massa bmp ditarik dari liquisa. Massa bmp juga melakukan
ancaman-ancaman untuk menyerang gereja. Jhon rea kemudian menyampaikan kabar
itu ke markas kodim 1638 dan juga melaporkan bahwa massa bmp akan menyerang
gereja apabila hingga pukul 12.00 jacinto tidak diserahkan.

Wadanrem dan para terdakwa kemudian bermusyawarah, dan menunjuk


terdakwa leonito martinns untuk menyampaikan persetujuan pastor rafael. Leonito
martinns menolak penunjukan itu karena ia takut dibunuh sehingga kemudian
ditunjuk john rea untuk menyampaikan kabar itu.

Namun ketika jhon rea hendak menyampaikan kabar itu, terdengar tembakan
dari arah gereja, da para pengungsi berhamburan ke luar. Kemudian disusul dengan
penyerangan ke dalam gereja oleh kelompok bmp. Kejadian tersebut mengakibatkan
jatuh korban sebanyak 22 orang meninggal dunia dan tujuh orang luka-luka.

Atas perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut penuntut umum mendakwa para


terdakwa dengan dakwaan sebagai berikut:

A. Dakwaan kumulatif

Dakwaan kesatu

B.1. Khusus untuk terdakwa asep kuswani


1. Dakwaan primair : Melanggar pasal 42 jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf
a,

Pasal 37 undang-undang nomor 26 tahun 2000 jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-2.

2. Dakwaan subsidair : Melanggar pasal 42 ayat (1) jis pasal 7 huruf b, pasal
9

Huruf a, pasal 37 undang-undang no. 26 tahun 2000.

B.2. Khusus untuk terdakwa drs. Adios salova

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37
Undang-undang nomor 26 tahun 2000.

B.3. Khusus untuk terdakwa leoneto martins

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37
Undang-undang nomor 26 tahun 2000.

Dakwaan kedua

Primair

Pasal 42 jis pasal 7 huruf b, pasal 9 hururf h, jis., pasal 40 undang - Undang
nomor 26 tahun 2000 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 2 kuhp.

Subsidair

- khusus untuk terdakwa asep kuswani

Melanggar pasal 42 ayat (1) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h jis., pasal 40

Undang-undang nomor 26 tahun 2000.

- khusus untuk terdakwa drs. Adios salova

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 undang-

Undang nomor 26 tahun 2000.

- khusus untuk terdakwa leoneto martins

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 undang-

Undang nomor 26 tahun 2000.


Analisa kasus

Mengenai kompetensi atau kewenangan untuk mengadili, maka Pengadilan


ham adhoc jakarta pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah sudah
tepat. Hal ini dikarenakan untuk perkara pelanggaran ham berat Di timor timur,
berdasarkan pasal 2 Keppres RI nomor 96 tertanggal 1 agustus 2001, yang merupakan
perbaikan dari Keppres nomor 53 tahun 2001, diputuskan bahwa yang berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran ham berat yang terjadi di timor-
timur adalah pengadilan ham Jakarta Pusat.

Kewenangan tersebut timbul berdasarkan hasil penyelidikan dari komisi


penyelidik pelanggaran ham Timtim, yang merekomendasikan kepada DPR bahwa di
wilayah Timtim sehubungan dengan pelaksanaan jajak pendapat tahun 1999 telah
terjadi pelanggaran ham berat.

Permasalahan yang akan dianalisa dalam putusan ini adalah penentuan pasal-
pasal yang didakwakan terhadap terdakwa. Dalam teknik penyusunan pasal yang
Didakwakan, pada beberapa dakwaan terlihat bahwa jpu mencampur adukkan pasal
dari Undang-undang nomor 26 tahun 2000 dengan pasal 55 KUHP tentang
penyertaan. Hal ini menunjukkan bahwa jpu tidak cermat dan tidak paham mengenai
makna pembentukan undang-undang nomor 26 tahun 2000.

Undang- Undang nomor 26 tahun 2000 mempunyai yurisdiksi untuk


memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM berat, yang sebelumnya tidak diatur
didalam KUHP atau peraturan perUU-an pidana lainnya. Tindak pidana ini berbeda
baik secara Materiil maupun formil dengan tindak pidana biasa, sehingga untuk
pendakwaannya tidak dapat menggunakan ketentuan tentang tindak pidana biasa
dengan pelanggaran HAM berat. Sebagaimana kita ketahui bahwa undang-undang
nomor 26 tahun 2000 adalah sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur tentang seluk beluk pengadilan HAM di indonesia.

Undang-undang ini merupakan salah satu UU yang unik mengikuti


pendahulunya, yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana
korupsi. UU ini bukan hanya mengatur tentang hukum Pidana materiil saja namun
juga mengatur tentang hukum acara.
Pada pasal 7, 8 dan 9 UU ini dijelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang
menjadi yurisdiksi pengadilan HAM Indonesia adalah perbuatan-perbuatan yang
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.

Selain Itu, pasal 10 menyatakan selain tidak ditentukan lain oleh UU ini maka
hukum acara yang berlaku di pengadilan HAM untuk beracara adalah hukum acara
pidana. Pernyataan ini mengindikasikan basis pengadilan HAM untuk beracara tetap
mengandalkan hukum acara pidana yang berlaku di peradilan umum.

Untuk Hukum pidana materiil landasan umum yang dipergunakan di indonesia


adalah KUHP. Pada KUHP diatur landasan-landasan umum yang berlaku bagi
keseluruhan proses peradilan pidana di Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, kita
juga mengetahui salah satu asas hukum, yaitu asas lex specialis derogat lex generalis
yang berarti aturan khusus dimungkinkan untuk mengecualikan aturan yang lebih
umum tentunya sejauh tidak bertentangan dengan aturan umum tersebut.

Pengadilan HAM adalah jenis pengadilan baru dan jam terbang para penegak
Hukum di bidang ini boleh dibilang belum banyak. Pengalaman bertahun-tahun dalam
beracara di peradilan umum belum cukup untuk menjamin terciptanya proses
pengadilan HAM yang dapat memenuhi standar internasional. Diperlukan
pengetahuan dan kemampuan yang baik untuk dapat memahami konsep-konsep dari
pelanggaran HAM berat dan juga pelaksanaan beracaranya.

Hukum acara Pengadilan HAM tidak dapat dipersamakan dengan pengadilan


pidana biasa begitu saja. Apabila berbicara mengenai hukum pidana materiil dari
pengadilan HAM, maka berdasarkan undang-undang nomor 26 tahun 2000,
pengadilan HAM hanya berwenang mengadili perkara pelanggaran HAM berat
berupa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sesuai dakwaan pada perkara ini, jpu mendakwa para terdakwa dengan
dakwaan pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengingat konsep kejahatan
terhadap kemanusiaan yang ada di pasal 9 undang- Undang nomor 26 tahun 2000
diambil atau diadopsi dari instrumen HAM Internasional, maka kita juga tidak dapat
melepaskan pengaturan batasan-batasaan mengenai konsep kejahatan terhadap
kemanusiaan dari batasan-batasan yang dikeluarkan atau diatur oleh pengadilan
pidana internasional yang memeriksa dan mengadili perkara serupa.

Unsur-unsur dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat ditelaah lebih Lanjut
berdasarkan pasal 9 undang-undang nomor 26 tahun 2000 antara lain:

1. Unsur perbuatan.
Perbuatan dalam suatu tindak pidana adalah elemen yang penting yang dapat
Menjuruskan apakah suatu peristiwa merupakan peristiwa pidana atau bukan. Pelaku
perbuatan pidana adalah orang yang dapat mempertanggungjawabkan Perbuatannya.
Berkaitan dengan adanya suatu perbuatan, tindak pidana dapat Dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain:

A. Dilakukan dengan perbuatan aktif atau biasa disebut dengan delik komisi.
Artinya si pelaku melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan
perbuatan Yang aktif.

B. Dilakukan dengan perbuatan pasif atau biasa disebut dengan delik omisi.
Artinya Pelaku melakukan tindakan melawan hukum karena perbuatan yang
seharusnya Ia lakukan namun tidak ia lakukan.

C. Dilakukan bersamaan perbuatan aktif sekaligus merupakan perbuatan pasif


atau Biasa disebut dengan delik komisi per omisi. Berkaitan dengan perbuatan
pada kejahatan terhadap kemanusiaan, maka Pelaku tersebut dianggap
melawan hukum jika ia melakukan perbuatan sebagaimaan Disebutkan dalam
pasal 9 huruf a sampai dengan j juga dapat dilakukan secara aktif Maupun
pasif, sebagaimana yang diatur pada pasal 42 uu no. 26 tahun 2000 yang
Mengatur mengenai pertanggung jawaban pidana atasan atau komandan
militer. Untuk perbuatan atasan atau komandan militer tersebut, pelaku
diancam dengan Pidana yang sama dengan jika ia melakukan perbuatan aktif.

2. Bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap

Penduduk sipil. beberapa jenis tindak pidana dalam kejahatan terhadap


kemanusiaan sebenarnya merupakan tindak pidana biasa yag sudah diatur dalam
KUHP. Namun yang mengkategorikan tindak pidana tersebut sehingga kemudian
dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bahwa perbuatan-
perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan niat pribadi pelaku, melainkan pelaku
bermaksud dengan sadar dan secara langsung melakukan perbuatan-perbuatan
tersebut sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk
sipil. dengan demikian bergeserlah perbuatan-perbuatan tersebut dari tindak pidana
biasa menajdi kejahatan yang luar biasa yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan.

Oleh karena itu perbuatan-perbuatan yang ada di kejahatan terhadap


kemanusiaan ini tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan perbuatan-perbuatan
yang diatur dalam KUHP, karena dari unsur utamanya yaitu unsur niat si pelaku
sudah ada perbedaan.

3. Unsur diketahuinya serangan dilakukan oleh pelanggar ditujukan secara


Langsung terhadap penduduk sipil. Unsur ini berarti si pelanggar mengetahui
secara sadar bahwa perbuatannya Dilakukan dengan tujuan untuk menyerang
penduduk sipil secara langsung.

4. Unsur serangan fisik berupa perbuatan sebagaimana dicantumkan dalam


pasal 9

Huruf a-j. dari unsur-unsur tersebut dapat dilihat bahwa hal utama yang harus
ada pada kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya perencanaan yang matang
atau bias juga disebut dengan kebijakan.

Dari unsur-unsur tersebut juga dapat dilihat bahwa pada kejahatan terhadap
kemanusiaan hampir bisa dipastikan pelakunya lebih dari satu orang dan masing-
masing pelaku dapat bertindak sebagai pelaku konsepsional. Ia bertugas
merencanakan dengan matang semua serangan yang akan dilakukan, biasanya ia juga
bertindak sebagai atasan atau komandan yang memberikan perintah.

Pelaku yang lain adalah pelaku lapangan, dimana ia bertugas untuk


mengejawantahkan perintah atasannya menjadi serangan fisik. Dari penjabaran
tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing pelaku harus secara sadar dan
mengetahui dengan pasti atau dianggap patut mengetahui apa yang direncanakan dan
dilakukan adalah bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan
terhadap penduduk sipil.

Jadi walaupun pelaku-pelaku tersebut ada kemungkinan tidak memenuhi unsur


kejahatan terhadap kemanusiaan secara Langsung, namun dalam konteks kewajaran ia
dapat dikatakan mengetahui dan menyetujui terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan, sehingga dapat dipidana. Hal tersebut harus diperhatikan oleh jpu dalam
menyusun dakwaan.

Dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dapat digabungkan dengan


dakwaan penyertaan, yang diatur dalam KUHP, karena apabila hal tersebut dilakukan
akan terjadi overlapping pada dakwaan jpu tentu hal tersebut akan melemahkan
dakwaan jpu sendiri. Unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sudah mengandung
makna tindak pidana yang dilakukan haruslah secara bersama-sama Dan bukan karena
niat pribadi orang per orang, karena niat yang diwujudkan dalam bentuk serangan
harus dipisahkan dari niat pribadi masing–masing individu pelaku.

Apabila jpu tidak dapat membuktikan unsur niat bersama ini, maka perbuatan-
perbuatan tersebut hanya akan menajdi tindak pidana biasa dan bukan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Bentuk penyertaan yang digunakan jpu pada perkara ini
adalah penyertaan turut serta. Menurut doktrin, bentuk penyertaan ini memerlukan
lebih dari satu orang pelaku yang secara sadar sepakat untuk bekerja sama
mewujudkan niat bersama mereka.

Kerja sama ini biasanya diwujudkan kemudian dalam perbuatan bersama.


Sedangkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku konsepsional biasanya
tidak melakukan perbuatan bersama-sama dengan pelaku langsung. Selain Itu terdapat
perbedaan derajat antara pelaku konsepsional dengan pelaku langsung dimana mereka
mempunyai hubungan hirearkis tertentu, yaitu hubungan atasan dengan bawahan.

Sedangkan dalam turut serta tidak ada persyaratan bahwa pelaku- pelaku yang
melakukan tindak pidana harus mempunyai hubungan atasan-bawahan. Walaupun
sepintas hubungan atasan bawahan yang menjadi salah satu unsur dari kejahatan
terhadap kemanusiaan terlihat seperti salah satu sarana yang disebutkan Dalam pasal
55 ayat 1 ke-2, yaitu mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan, namun sebenarnya
hubungan atasan bawahan tidak sama dengan sarana tersebut.

Karena Menurut pasal 55 ayat 1 ke-2, sarana tersebut diberikan dengan


memberikan atau menjanjikan sesuatu. Sedangkan pada kejahatan terhadap
kemanusiaan, tidak perlu ada unsur memberikan sesuatu atau memberikan janji
kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana.

Bawahan pada perkara kejahatan terhadap kemanusiaan sadar betul bahwa apa
yang dilakukannya memang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan ia
berniat untuk melakukan hal tersebut sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematis yang ditujukan terhadap pendududuk sipil, jadi bukan karena ia dijanjikan
sesuatu atas perbuatan yang ia lakukan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka dakwaan jpu dengan menggunakan pasal 55


ayat 1 Ke-2 adalah tidak tepat. Selain itu juga bukan hal yang tepat untuk mencampur
adukan pasal-pasal KUHP dengan aturan-aturan tentang pelanggaran HAM berat.
Oleh karena itu, agaknya penegak hukum kita khususnya penyelidik dan penuntut
umum pada pengadilan HAM seharusnya bercermin pada pengalaman - pengalaman
proses pengadilan pidana internasional, yang menerapkan teknik Piramida untuk
mengungkapkan keterlibatan dan hubungan atasan-bawahan dari para pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan teknik ini jpu mendapatkan bukti-bukti
yang cukup untuk mendakwa masing-masing pelaku, mulai dari pelaku langsung
sampai dengan pelaku konsepsional.
Mengenai putusan hakim yang menyatakan para terdakwa tidak bersalah
karena tidak ada unsur pertanggungjawaban komandan, sebenarnya sudah tepat,
namun satu hal lagi yang perlu menjadi perhatian dari majelis hakim, bahwa
Sebenarnya dari pembuktian yang ada di persidangan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang didakwakan sebenarnya juga tidak terbukti.

Unsur utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan sebenarnya terletak pada


niat pelaku. Niat pelaku haruslah dibuktikan bukan merupakan niat pribadi atau balas
dendam, namun murni niat yang didasarkan pada kebijakan untuk melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil.

Niat itu dapat diwujudkan dengan pengetahuan para pelakunya bahwa ia


mengetahui keseluruhan rangkaian perbuatan yang dilakukannya adalah bagian dari
serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan langsung terhadap penduduk
sipil. Pada fakta di Persidangan niat ini tidak terbukti ada pada para terdakwa, maka
seharusnya majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak memenuhi unsur dakwaan
sebagaimana Didakwakan oleh penuntut umum, yaitu pelanggaran HAM berat berupa
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari pengalaman-pengalaman yang ada pada proses
beracara di pengadilan HAM, kita memerlukan hukum acara tersendiri terlepas dari
hukum acara pidana yang sudah ada. Hal ini dikarenakan sifat dari tindak pidana yang
diperiksa dan diadili di pengadilan ham adalah jenis extra ordinary crimes, sehingga
ada hal-hal tertentu terutama dalam hal pembuktiannya yang tidak dapat
dipersamakan dengan hukum acara pidana bagi tindak pidana biasa.

Pada seminar internasional mengenai kejahatan kemanusiaan yang


diselenggarakan oleh komnas HAM pada tahun 2001, diusulkan beberapa tambahan
alat bukti yang sebelumnya pada hukum acara Pidana tidak dapat diajukan sebagai
alat bukti.

Usulan tersebut antara lain berupa fotokopi dan alat bukti elektronik, seperti e-
mail dan juga rekaman video. Usulan Tersebut bertujuan untuk mengantisipasi
sulitnya penyelidik dan penuntut umum untuk mencari dan menghadirkan alat bukti
yang kuat untuk mendakwa para terdakwa pelanggar ham berat, terutama untuk
kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau, dimana biasanya
bukti-bukti yang autentik sudah hilang atau tidak layak up to date lagi untuk
dihadirkan ke persidangan dan mendukung dakwaan penuntut umum.

You might also like