You are on page 1of 16

LOGIKA DAN STATISTIKA SEBAGAI

SARANA BERPIKIR ILMIAH

Oleh : Hujair AH. Sanaky1

A. Pendahuluan
Tadi malam di rumah pak Pulan ada pencuri dan Polisi segera
diberitahukan. Komandan polisi yang dating memimpin pemeriksaaan, sebuah
jendela belakang dibongkar oleh pencuri itu. Dari jendelah inilah mereka masuk
piker Komandan. Dengan segera ia tahun, bahwa yang mencuri itu lebih dari
satu, karena dilihatnya dua macam jejak di bawah jendela itu. Tahukah tuan,
barang-barang apa yang dicuri, Tanya Komandan Polisi kepada pak Pulan,
sebuah Radio, satu set Komputer jawab pak Pulan.
Dari cerita ini ada proses berpikir. Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi
manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.
Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan
pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang kita kehendaki.
Menurut J.S.Suriasumantri2, ‘manusia – homo sapiens, makhluk yang berpkir.
Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak
pernah berhenti berpkir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan
perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh
sampai soal paling asasi”.
“Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia, untuk membedakan antara
manusia dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat
mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan
proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. … Akal
merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di

1
Hujair AH. Sanaky, adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam, Jurusan Tarbiyah, Program Studi : Pendidikan
Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Kepala Lembaga Pengabdian paada Masyarakat [LPM] UII –
2004-2006 dan sekarang sedang studi lanjut di Program Doktor [Program S-3] Universitas Islam Negeri [UIN] Sunan
Kalijaga Yogyakarta, tahun akademi 2005-2006.
2
J.S.Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu,
Yayasan Obor Indonesia, 1997, hlm. 1
samping rasa dan kehendak untuk mencapai kebaikan”3. Dengan demikian, “cirri
utama dari berpkikir adalah adanya abstraksi. Maka dalam arti yang luas kita
dapat mengatakan berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi.
Sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah meletakan atau mencari
hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi4.
“Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir
alamiah dan berpikir ilmiah. Berpikir alamiah, pola penalaran yang berdasarkan
kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya [katakana saja :
penalaran tentang api yang dapat membakar]. Berpikir ilmiah, pola penalaran
berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat [dua hal yang
bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama
dalam satu kesatuan]5.
Dari dua pola berpikir di atas, akan dibahas pola berpikir ilmiah dan lebih
khusus di fokuskan pada pembahasan “logika dan statistika sebagai sarana
berpikir ilmiah”.

B. Sarana Berpkir Ilmiah


“Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan.
Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan
pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa
pengetahuan”6. Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut
dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah
dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya
juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah

3
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberti, Yogyakarta, 1992, hlm. 67.
4
M. Ngalim Puswanti, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, hlm. 44. [Pengertian
abstrak, ialah pengertian yang memperlihatkan sifat tanpa memperlihatkan subjeknya. Misalnya : secara
konkrit kita berkata : ia amat pandai, tetapi secara abstrak kita mengatakan: Kepandaiannya amat sangat.
Dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan pengertian yang abstrak itu ialah dengan menamba pada kata
itu awalan “ke” dan akhiran “an” misalnya: kebaikan, keburukan, keduniawan, kebangsaan, ketidak-adilan,
dan sebagainya[Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta, 1981, hlm. 25].
5
Tim Dosen Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Loc.cit.
6
S.Suriasumantri, Loc.cit.

www,sanaky.com April 2006


2
kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk
dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir
ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan
statistika7. Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam
seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat
komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah
kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam
berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya.
Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir
induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum”.

Bahasa
Logika Mengembangkan
Berpikir Matematika Materi
Ilmiah Pengetahuan
Logika
Statistika
Berdasarkan
Gambar 1 : Sarana Metode-metode
Berpikir Ilmiah Ilmiah8

Sarana berpikir ilmiah digunakan sebagai alat bagi cabang-cabang


pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan
metode-metode ilmiah. “Sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri
yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam
mendapatkan pengetahuan ilmiah pada dasarnya ilmu menggunakan penalaran
induktif dan deduktif, dan sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara
tersebut. Berdasarkan cara mendapatkan pengetahuan tersebut jelaslah bahwa
sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan sarana ilmu yang berupa :
bahasa, logika, matematika, dan statestika”. Sedangkan “fungsi sarana berfikir

7
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat, Op.Cit, hlm. 68.
8
Penjelasan Metode Ilmiah – merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran,
pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan
pengetahuan yang telah ada. Pola umum tata langkah dalam metode ilmiah mencakup : [1] penentuan
masalah, [2] perumusan dengan sementara, [3] pengumpulan data, [4] perumusan kesimpulan, dan [5]
verifikasi [Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 110]

www,sanaky.com April 2006


3
ilmiah adalah untuk membantu proses metode ilmiah, baik secara deduktif
maupun secara induktif9.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan
sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan
untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir
tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan
diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif.
Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif
dan induktif.

C. Logika dan Statistika


Perkataan logika berasal dari kata “logos” bahasa Yunani yang berarti kata
atau pikiran yang benar. Kalau ditinjau dari segi logat saja, maka ilmu logika itu
berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. Dalam bahasa Arab
dinamakan ilmu manthiq yang berarti ilmu bertutur benar10. Dalam Kamus
Filsafat, logika – Inggris – logic, Latin: logica, Yunani: logike atau logikos [apa
yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi
baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti]11. Dalam arti luas logika adalah
sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara
penalaran yang benar dengan penalaran yang salah12.
Logika sebagai cabang filsafat – adalah cabang filsafat tentang berpikir.
Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan
tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara
atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam

9
Ibid, hlm. 100.
10
Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Wijaya Jakarta, 1981, hlm. 18.
11
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 519. Pengertian lain : Logika – ilah
ilmu berpikir tepat yang dapat menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan di dalam rantai proses berpikir.
Dengan batasan itu, logika pada hakekatnya adalah teknik berpikir. Logika mempunyai tujuan untuk
memperjelas isi atau komprehensi serta keluasan atau akstensi suatu pengertian atau istilah dengan
menggunakan definisi-definisi yang tajam. Munculnya logika dalam proses berpikir ialah pada waktu
diucapkan “sesuatu” yang lain yang dikaitkan dalam hubungan tertentu atau pada waktu dikemukakan “dua
sesuatu” yang dikaitkan dengan penilaian tertentu dan dari kaitan itu ditarik kesimpulan. Fungsi logika
adalah : [1] membedakan ilmu yang satu dari yang lain apabila objeknya sama, dan [2] menjadi dasar ilmu
pada umumnya dan falsafah pada khususnya [Hartono Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press,
1990, hlm. 45].
12
Yaya S. Kusumah, Logika Matematika Elementer, Bandung, 1986, hlm. 2.

www,sanaky.com April 2006


4
mengambil keputusan13. Menurut Louis O. Kattsoff14, logika membicarakan
teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu
dan kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
penarikan kesimpulan.
Logika sama tuanya dengan umur manusia, sebab sejak manusia itu ada
manusia sudah berpikir, manusia berpikir sebenarnya logika itu telah ada.
“Hanya saja logika itu dinamakan logika naturalis, sebab berdasarkan kodrat dan
fitrah manusia saja. Manusia walaupun belum mempelajari hokum-hukum akal
dan kaidah-kaidah ilmiah, namun praktis sudah dapat berpikir dengan teratur.
Akan tetapi bila manusia memikirkan persoalan-persoalan yang lebih sulit maka
seringlah dia tersesat. Misalnya, ada dua berita yang bertentangan mutlak,
sedang kedua-duanya menganggap dirinya benar. Dapatlah kedua-duanya
dibenarkan semua? Untuk menolong manusia jangan tersesat dirumuskan
pengetahuan logika. Logika rumusan inilah yang digunakan logika artificialis15.
Logika bukan ilmu yang baru muncul, perumusan kaidah-kaidah logika
untuk berpikir benar dipelopori Aristoteles yang hidup pada tahun 348-322 SM,
dengan bukunya Organon yang berarti instrument [alat], alat untuk berpikir
benar. “Aristoteles dianggap sebagai pelopor pembukuan pengetahuan logika.
Tidak berarti belum Aristoteles belum ada kaidah-kaidah berpikir yang benar
[logika]. Sebenarnya di negara-negara Timur Kuno [Mesir, Babilon, India, dan
Tiongkok], diakui telah terdapat semacam kaidah-kaidah berpikir yang dianggap
benar, hanya saja belum teratur sistematikanya seperti rumusan logika
Aristoteles16.

13
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila I, Edisi II, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, 1982, hlm. 22.
14
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terjemahan Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogya, 1986,
cet.7, hlm. 71.
15
Hasbullah Bakry, Op.cit., hlm. 20. Logika Artificialis, dibedakan menjadi dua yaitu : [1] Logika Formal
– mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau hokum-hukum berpikir yang harus ditaati, agar orang dapat
berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran, [2] Logika Material – mempelajari langsung pekerjaan akal,
serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang
sesungguhnya. Logika formal – sesuai dengan isi [materi] kenyataan yang sesungguhnya. Logika material –
mempelajari sumber-sumber dan aslinya pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya
pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika material inilah yang menjadi
sumber yakni yang menimbulkan filsafat mengenai [kennisteer] dan filsafat ilmu pengetahuan
[wetenschapsleer]. Logika formal – dinamakan logika minor, sedangkan logika material dinamakan logika
mayor. Logika formal – ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara berpikir untuk mencapai
kebenaran [Hasbullah Bakry, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta, hlm. 21].
16
Hasbullah Bakry, Loc.cit.

www,sanaky.com April 2006


5
Memang diakui sejak manusia ada sampai sekarang selalu menggunakan
akal pikirannya dalam melakukan setiap kegiatan, baik kegiatan berpikir alamiah
[naturalis] maupun kegiatan berpikir yang sifat kompleks. Tetapi dalam
melakukan kegiatan berpikir yang benar diperlukan kaidah-kaidah tertentu yaitu
berpikir yang tepat, akurat, rasional, objktif dan kritis atau proses berpikir yang
membuahkan pengetahuan. Proses berpikir semacam ini adalah cara berpikir
atau penalaran yang terdapat dalam kaidah-kaidah logika.
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir mempunyai dasar
kebenaran, maka proses berpikir dilakukan dengan cara tertentu. Cara berpikir
logic dibagi menjadi dua bagian, yaitu : “[a] Logika Induktif - cara berpikir di
mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang
bersifat individual. Untuk itu, penalaran secara induktif dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang yang khas dan
terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum. [b] Logika Deduktif – cara berpikir di mana pernyataan yang
bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan
secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir silogismus. Silogismus.
Disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang
mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai
premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang
didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut17. Contoh –
karakteristik berpikir silogismus : [a] Semua makhluk hidup mesti akan mati
[premis mayor], [b] Si Pulan adalah makhluk hidup [premis minor], [c] Jadi si
Pulan mesti mati [kesimpulan – konklusi].
Kesimpulan bahwa si Pulan mesti mati, menurut Jujun S. Suriasumantri,
kesimpulan tersebut adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan
17
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1988, hlm. 48-49. Pengertian – silogismus – suatu argumentasi yang terdiri dari tiga buah proposisi atau
pernyataan yang membenarkan atau menolak suatu perkara. Dua buah proposisi yang pertama disebut
premis mayor dan premis minor, sedangkan proposisi yang ketiga disebut simpulan atau konklusi. Konklusi
merupakan konsekuensi dari kedua premis yang terdahulu [Hartono Kasmadi, dkk., Filsafat Ilmu, IKIP
Semarang Press, 1990, hlm. 27]. Pengertian premis – premise [premis] dalil yang dipakai sebagai pangkal
pembicaraan. Premis, kata-kata atau tulisan sebagai pendahuluan [S.Wojowasito – W.J.S. Poerwadarminto,
Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung, 1980, hlm. 156-157].

www,sanaky.com April 2006


6
ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Sedangkan
pertanyaan apakah kesimpulan ini benar, maka hal ini harus dikembalikan
kebenarannya pada premis yang mendahuluinya. Apabila kedua premis yang
mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan tersebut benar.
Tetapi dapat saja kesimpulan tersebut salah, walaupun kedua premisnya benar,
sebab cara penarikan kesimpulannya salah. Selanjutnya Jujun S. Suriasumantri,
mengatakan ketepatan penarikan kesimpulan tersebut tergantung pada tiga hal
yaitu : [1] kebenaran premis mayor, [2] kebenaran premis minor, dan [3]
keabsahan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, apabila salah satu dari
ketiga unsure tersebut tidak memenuhi persaratan, maka kesimpulan yang
diambil atau diputuskan akan salah.
Contoh berpikir induktif, simpulan yang diharapkan berlaku umum untuk
suatu kasus, jenis, dan peristiwa, atau yang diharapkan adalah agar kasus-kasus
yang bersifat khusus dapat dimasukkan ke dalam wilayah umum, yang menjadi
simpulan. Misalnya : [1] P – penduduk desa A = adalah pegawai, [2] Q –
penduduk desa A = adalah pegawai, [3] R – penduduk desa A = adalah pegawai,
[4] S – penduduk desa A = adalah pegawai, [5] Y – penduduk desa A = adalah
pegawai, [6] Z – penduduk desa A = adalah pegawai. Kesimpulan – jadi semua
penduduk [ P sampai Z ] yang mendiami desa A adalah pegawai. Menurut
Kasmadi, dkk., pola berpikir ini adalah berpikir induksi komplet.

P
Gambar 2 : Cara Berpikir Induksi Komplet
Q

R PEGAWAI
S

Sedangkan Francir Bacon dalam usaha menariuk kesimpulan yang berlaku


umum, hendaknya bertolak dari hasil observasi untuk menentukan ciri-ciri gejala

www,sanaky.com April 2006


7
yang didapatinya. Ada tiga jenis pencatatan ciri sebagai berikut : [1] pencatatan
ciri posetif, pencatatan terhadap peristiwa yang kondisinya dapat dipastikan
menimbulkan gejala, [2] pencatatan ciri negatif, pencatatan terhadap peristitwa
yang kondisinya tidak memunculkan gejala, dan [3] pencatatan variasi gejala,
pencatatan mengenai ada atau tidak adanya perubahan gejala pada kondisi
yang berubah-ubah atau diubah-ubah. Kesimpulan yang dapat diambil sesuai
dengan ciri-ciri, sifat-sifat atau unsur-unsur yang harus ada sebagai gejala yang
berlaku umum18.
Statetstika berakar dari teori peluang, Descartes, ketika mempelajari hukum
di Universitas Poitiers antara tahun 1612 sampai 1616, juga bergaul dengan
teman-teman yang suka berjudi. Sedangkan, pendeta Thomas Bayes pada
tahun 1763 mengembangkan teori peluang subyektif berdasarkan kepercayaan
seseorang akan terjadinya suatu kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang
khusus dalam statestika sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat subyektif.
Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep yang
tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad
pertengahan. Sedangkan teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat
dalam aljabar yang dikembangkan sarjana Muslim, namun bukan dalam lingkup
teori peluan19 .
Semula statistika baru hanya digunakan untuk mengembarkan persoalan
seperti; pencatatan banayaknya penduduk, penarikan pajak, dan sebagainya,
dan mengenai penjelasannya. Tetapi, dewasa ini hampir semua bidang keilmuan
menggunakan statistika, seperti; pendidikan, psikologi, pendidikaan bahasa,
biologi, kimia, pertanian, kedekteran, hukum, politik, dsb. Sedangkan yang tidak
menggunakan statistika hanya ilmu-ilmu yang menggunakan pendekatan
spekulatif20.
Statika merupakan sekumpulan metode untuk membuat keputusan dalam
bidang keilmuan yang melalui pengujian-pengujian yang berdasarkan kaidah-
kaidah statistik. Bagi masyarakat awam kurang terbiasa dengan istilah statistika,

18
Hartono Kasmadi, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, Semarang, 1990, hlm. 30.
19
Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit., hlm. 213.
20
Hartono Kasmadi, dkk., Op.cit., hlm.43.

www,sanaky.com April 2006


8
sehingga perketaan statistik biasanya mengandung konotasi berhadapan
dengan deretan angka-angka yang menyulitkan, tidak mengenakan, dan bahkan
merasa bingung untuk membedakan antara matematika dan statistik. Berkenaan
dengan pernyataan di atas, memang statistik merupakan diskripsi dalam bentuk
angka-angka dari aspek kuantitatif suatu masalah, suatu benda yang
menampilkan fakta dalam bentuk ”hitungan” atau ”pengukuran”.
Statistik selain menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga
merupakan bidang keilmuan yang disebut statistika, seperti juga matematika
yang disamping merupakan bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi,
dan teorema21. ... Bidang keilmuan statistik merupakan sekumpulan metode
untuk memperoleh dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan
berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi keilmuan, statistika merupakan
bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala
dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengkuran22. Maka,
Hartono Kasmadi, dkk., mengatakan bahwa, ”statistika [statistica] ilmu yang
berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan dan menganalisaan,
penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan23.
Statistika digunakan untuk menggambarkan suatu persoalan dalam suatu
bidang keilmuan. Maka, dengan menggunakan prinsip statistika masalah
keilmuan dapat diselesaikan, suatu ilmu dapat didefinisikan dengan sederhana
melalui pengujian statistika dan semua pernyataan keilmuan dapat dinyatakan
secara faktual. Dengan melakukan pengjian melalui prosedur pengumpulan fakta
yang relevan dengan rumusan hipotesis yang terkandung fakta-fakta emperis,
maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai kebenaran, tetapi dapat juga
sebaliknya.

21
Teorema [bahasa Yunani], Inggris; term artinya teori, pandangan, aturan, prinsip. Beberapa
pengertian : [1] Hal yang dianggap atau ditetapkan sebagai suatu prinsip, aturan hokum atau kebenaran. [2]
Foemula kalkulus logis dan untuk itu ada bukti dan digunakan untuk menarik pernyataan-pernyataan
umumnya. [3] Logis formal modern dan matematika teorema adalah proposisi apapun dalam teori deduktif
ketat yang dibuktikan dengan mererapkan aturan yang dapat diterima dari deduksi pernyataan awal
aksioma. Konsep aksioma dan teorema bersifat relatif. Proposisi yang sama dari sebuah teori dapat
diterima dalam beberapa hal sebagai aksioman, dan dalam hal ini diterima sebagai teorema, karena itu
aksioman sering dianggap sebagai teorema [Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Jakarta, 1996].
22
J.S.Suriasumantri, Op.cit., hlm. 201.
23
Kasmadi, dkk., loc.cit.

www,sanaky.com April 2006


9
Contoh yang dikemukakan Jujun S Suriasumantri24, penarikan kesimpulan
tidak menggunakan prinsip-prinsip statistik, yaitu ” ”Suatu hari seorang anak kecil
disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api dengan pesan agar tidak
terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak lama kemudian anak kecil itu
datang kembali dengan wajah yang berseri-seri, menyeraahkan kotak korek api
yang kosong, dan berkata, ”Korek api ini benar-benar bagus, pak, semua
batangnya telah saya coba dan ternyata menyala”. ...Tak seorangpun, saya kira,
yang dapat menyalahkan kesahihan proses penarikan kesimpulan anak kecil itu”.
Apabila semua pengujian yang dilakukan dengan kesimpulan seperti ini, maka
prinsip-prinsip satatistika terabaikan, ...karena menurut Jujun S. Suriasumantri25,
”konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam
suatu populasi tertentu”.
Untuk itu, suatu penelitian ilmiah, baik yang berupa survai maupun
eksperimen, dilakukan dengan lebih cermat dan teliti mempergunakan teknik-
teknik statistika yang diperkembangkan sesuai dengan kebutuhan”26.

D. Statistika dan Berpikir Ilmiah


Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan
dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan
maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam

24
Jujun S.Suriasumantri, Op.cit., hlm. 211.
25
Ibid, hlm. 213., [Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variable yang ditelaah dalam
suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre [1667-1745] mengembangkan teori galat atau kekeliruan
[theory of error]. Pada tahun 1757 Thomas Simpson, menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang
berlanjut [continuous distribution] dari suatu variable dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre
Simon Lapace [1749-1827], mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan
menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan
dalam analisis statistika di samping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian
ditemukan oleh Francis Galton [1822-1911], dan Karl Pearson [1857-1936]. Teknik kuadrat terkecil [least
squares] simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata [the standard error of the mean] dikembangkan
Karl Friedrick Gauss [1777-1855]. Pearson, melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan
konsep regresi, korelasi, distribusi chi-kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif di samping menulis
buku The Grammar of Science karya klasik dalam filsafat ilmu. Willaim Searli Gosset, mengembangkan
konsep tentang pengambilan contoh. Disain eksperimen dikembangkan oleh Ronald Alyimer Fisher [1890-
1962] di samping analisis varian dan kovarians, distribusi-z, distribusi-t-,uji signifikan dan teori tentang
perkiraan [theory of estimation].
26
Ibid, hlm. 215

www,sanaky.com April 2006


10
bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat
diselesaikan secara faktual.
Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena
pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan
dengan rumusan hipotesis. Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta
emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika
bertentangan hipotesis itu ditolak”. ...Maka, pengujian merupakan suatu proses
yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus
yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu
adalah berdasarkan logika induktif27.
Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan
dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas
yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi
pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh
yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini
memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang
dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. ...Selain itu,
statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah
suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau
memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat emperis28.
Selain itu, Jujun S. Suriasumantri juga mengatakan bahwa pengujian
statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui
berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat, maka nilai tinggi
rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik
dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal ini kita menarik
kesimpulan berdasarkan logika induktif29.
Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip
penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan

27
Kasmadi, dkk., loc,cit
28
Jujun S. Suriasumantri, Op.ciut., hlm. 218-219.
29
Ibid, hlm. 216.

www,sanaky.com April 2006


11
umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material,
yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya
dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalaam
arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka
kesimpulan itu benar30.
Logika induktif31 tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat
peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan
kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan
November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat
dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang
untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan”. Maka kesimpulan yang
ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah
benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya
salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat
peluang.
Penarikan kesimpulan secara induktif32 menghadapkan kita kepada sebuah
permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada
suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi
rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, bagimana caranya kita
mengumpulkan data sampai pada kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis
adalah melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak 10 tahun di
Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak dapat diragukan lagi akan
memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di negara kita,
tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada persoalan tenaga, biaya, dan
waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan teori dasarnya teori peluang
memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara untuk dapat menarik
kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari
populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia

30
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Op.cit., hlm. 90.
31
Tim Dosen Filsafat Ilmu, loc.cit.
32
Suriasumantri, loc.cit.

www,sanaky.com April 2006


12
kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang berumur tersebut,
tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.
Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah
hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah,
menurut Herbert L.Searles [1956]33, diperlukan proses penalaran sebagai
berikut: [1] Langkah pertama, mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus
yang digunakan observasi [pengamatan] dan eksperimen. Observasi harus
dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti
obyek yang harus dipelajari. [2] Langkah kedua, dalam induksi ialah perumusan
hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan
pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut.
Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji
kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan
konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi
harus dapat meenjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. [3] Langkah ketiga,
dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah
sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan
terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk
diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif
tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak
bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut.
Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin
rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis
ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk
menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu
teori. [4] Langkah keempat, teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang
diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah.
Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang
logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan
kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan

33
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Op.cit., hlm.91-92.

www,sanaky.com April 2006


13
berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk
diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang
derajatnya dengan hipotesis34 adalah lebih tinggi.

Langkah Proses Gambar 3 : Langkah Proses Penalaran


Penalaran
Induksi

Mengumpulkan Hipotesis
Fakta [Dalil
[Observasi] sementara]

Pembu Derajatnya lebih


k- tinggi dari Hipotesis
tian [paling awal/paling
rendah, dalam
urutan deraajatnya]

Temuan: Teori
Verifikasi &
dan Hukum
Pengukuhan-
Ilmiah
Pembuktian
diterapkan utk
[Statistika]
Semua Hal

Untuk itu, statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif.


Bagaimana seseorang dapat melakukan generalisasi tanpa menguasai statistik?
Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisis statistik, namun hal
ini bukan berarti, bahwa kita tidak perduli terhadap statistika sama sekali dan
berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat ilmiah35.

E. Penutup

34
Hipotesis adalah suatu keterangan bersifat sementara atau untuk keperluan pengujian yang diduga
mungkin benar dan dipergunakan sebagai pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut sampai diperoleh
kepastian dengan pembuktian [The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua [diperbaharui], Liberty,
Yogyakarta, 1991, hlm. 116. Hipotesis, dapat dipandang sebagai yang paling awal atau paling rendah di
dalam urut-urutan derajat. Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis itu
kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori itu saling berhubungan secara sistematis
dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat
dipandang sebagai hokum ilmiah [Herbert L. Searles, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat
UGM, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 92.
35
Jujun S. Suriasumantri, Op.cit., hlm. 169.

www,sanaky.com April 2006


14
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas, penulis mencoba
memberikan beberapa ringkasan sebagai berikut : [1] Dalam kegiatan atau
kemampuan berpkir ilmiah yang baik harus menggunakan atau didukung oleh
sarana berpkir ilmiah yang baik pula, karena tanpa menggunakan sarana berpikir
ilmiah kita tidak akan dapat melakukakan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik.
[2] Cara berpikir ilmiah dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan logika
induktif dan logika deduktif. [3] Penggunaan statistika dalam proses berpikir
ilmiah, sebagai suatu metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan
yang berdasarkan logika induktif. Karena statistika mempunyai peran penting
dalam berpikir induktif. [4] Berpkir induktif, bertitik tolak dari sejumlah hal-hal
yang bersifat khusus untuk sampai pada suatu rumusan yang bersifat umum
sebagai hukum ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

Bakry, Hasbullah, 1981, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta,

www,sanaky.com April 2006


15
Gie, The Liang, 1991, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua [diperbaharui],
Liberty, Yogyakarta.

Jujun S. Suriasumantri, 1988, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka


Sinar Harapan, Jakarta.

Kasmadi, Hartono, dkk., 1990, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, Semarang.

Kattsoff, Louis O. 1986, Pengantar Filsafat, Terjemahan Soejono Soemargono,


Tiara Wacana, Yogyakarta.

Kusumah, Yaya S., 1986, Logika Matematika Elementer, Bandung.

Puswanto, M. Ngalim, 1992, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya,


Bandung.

Sunoto, 1982, Mengenal Filsafat Pancasila I, Edisi II, Fakultas Ekonomi UII,
Yogyakarta.

Suriasumantri, Jujun S., 1997, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan


Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, 1992, Filsafat Ilmu, Liberti,
Yogyakarta.

Wojowasito, S.,– W.J.S. Poerwadarminto, 1980, Kamus Lengkap Inggris


Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung.

www,sanaky.com April 2006


16

You might also like