You are on page 1of 257

DRAFT MODUL

Koneksitas Proses Bisnis Perbendaharaan 
pada Bendahara Umum Negara dengan 
  Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran
 
 
  

 
 
 
 
 
Direktorat Transformasi Perbendaharaan 
Direktorat Jenderal Perbendaharaan 
Departemen Keuangan Republik Indonesia 
2009 
 
Gambar animasi diambil dari open sources
Penyusun:

1. Dr. Sudarto, S.E., MBA


2. Adi Setiawan, S.E., SST AK., MPPM
3. Pramudia M. Muslim
4. Windasena Winarno
5. Khalid Haris Fauzi
6. Johan Pandu Asa

Subdit TPBE, DTP   ii 
 
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penyusunan draft modul koneksitas proses bisnis ini bisa diselesaikan sebagaimana yang
direncanakan. Sesuai dengan judulnya, Draft Modul koneksitas proses bisnis perbendaharaan
pada Bendahara Umum Negara dengan Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran, draft
modul ini merupakan kajian atas koneksitas proses bisnis dalam rangka penyelenggaraan
keuangan negara di Satuan Kerja (Satker) dan di Ditjen Perbendaharaan.

Penulisan draft modul ini merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi
Direktorat Transformasi Perbendaharaan, khususnya Sub Direktorat Tranformasi Proses
Bisnis Eksternal terkait dengan (i) perumusan kebijakan dan strategi penyempurnaan, (ii)
pengkajian dan penyempurnaan koneksitas proses bisnis, (iii) penyusunan rekomendasi
penetapan landasan hukum, (iii) perumusan kebijakan strategi tahapan penerapan dan (iv)
pengkajian kesesuaian koneksitas proses bisnis dengan Satuan Kerja. Di samping itu,
penulisan modul ini juga diarahkan untuk mendukung pengembangan dan implementasi
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN).

Struktur dan metode penulisan modul ini diarahkan untuk secara komprehensif
memuat tinjauan atas international best practice, review atas landasan hukum dalam
kerangka international best practice, assessment atas praktek pelaksanaan selama ini, rencana
pengembangan dan implementasi SPAN dan analisis serta rekomendasi untuk alternatif
penyempurnaan. Secara lebih spesifik, struktur penulisan yang digunakan adalah mengikuti
alur yang dipakai dalam kerangka ITIL v.3 (Information Technologi Infrastructure Library
Version 3) dan lebih difokuskan pada aspek pengeluaran dari perbendaharaan negara.

Dalam hal ini, penulisan dimulai dari penetapan visi, misi dan objektif dari masing-
masing pihak khususnya dalam pengelolaan keuangan negara dan pencapaian outcome
masing-masing instansi/satker. Berpijak pada visi, misi dan objektif masing-masing pihak,
dilakukan identifikasi permasalahan atas existing koneksitas dan kondisi pengelolaan
keuangan negara di Satker saat ini. Hal-hal tersebut akan menjadi landasan penetapan usulan
bentuk/model koneksitas dan manajemen keuangan Satker, serta target-target pencapaian
yang terukur.

Subdit TPBE, DTP   iii 
 
Selanjutnya, sejalan dengan kerangka ITIL v.3 yang mengedepankan konsep
iteratif/pembetulan yang berulang dan partisipatif dari semua stakeholder, langkah
selanjutnya setelah penyelesaian draft modul ini adalah akan dilakukan diskusi bersama
dengan stakeholder terkait, yang secara paralel dibarengi dengan pembangunan sistem IT
dan ujicoba langsung pada beberapa Satker, sehingga penentuan model/bentuk koneksitas
dan manajemen keuangan Satker serta tatacara maupun target-target pencapaiannya sudah
diketahui, disetujui bersama dan dipraktekkan secara langsung. Harapannya, pada akhirnya
draft modul ini dapat menjadi suatu modul yang disetujui dan sudah implementatif pada
semua satker yang mempunyai koneksitasnya dengan modul SPAN secara utuh.

Sejalan dengan metode iteratif dan partisipatory yang dikedepankan dalam


penyusunan draft modul ini, sejak awal sudah dicoba untuk digali pendapat dari seluruh
stakeholder, termasuk dari direktorat teknis dan seluruh Kantor Wilayah di lingkungan DJPB.
Untuk itu, penyusun mengucapkan terimakasih atas partisipasi dan dukungannya selama ini.
Tentunya, ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Direktur
Transformasi Perbendaharaan atas arahan-arahan dan dukungannya selama penulisan draf
modul ini.

Disadari sepenuhnya bahwa koneksitas proses bisnis perbendaharaan pada Bendahara


Umum Negara dengan Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran adalah suatu cakupan
wilayah kajian dan pembangunan sistem yang sangat luas. Untuk itu, disamping akan
dilakukan diskusi-diskusi intensif dengan berbagai stakeholder, penyusun sangat membuka
diri atas saran, kritik dan rekomendasi yang membangun. Saran, kritik dan rekomendasi dapat
disampaikan kepada Direktorat Transformasi Perbendaharaan c.q. Sub Direktorat
Transformasi Bisnis Eksternal baik melalui surat, telpon atau berbagai mode penyampaian
lainnya. Sekali, penyusun mengucapkan terimakasih atas dukungan dan partisipasinya selama
ini.

Salam Transformasi.

A.n. Penyusun
Kasubdit Transformasi Proses
Bisnis Eksternal

Dr. Sudarto, SE, MBA

Subdit TPBE, DTP   iv 
 
DAFTAR ISI

Kata Pengantar iii


Daftar Isi v
Bab I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Koneksitas Proses Bisnis Satker dalam Siklus APBN 4
C. Metode Penulisan 15
Bab II Visi, Misi dan Objektif Satker dan Ditjen Perbendaharaan 18
A. Latar Belakang 18
B. Value: Manfaat Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dan Koneksitasnya 20
Dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
C. Operasional Capability: Kemampuan untuk Penerapan Usulan Penyempurnaan 24
Proses Bisnis di Satker dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis di Ditjen
Perbendaharaan
D. Legitimacy: Landasan Hukum Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dan 30
Koneksitasnya dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
E. Penutup
Bab III Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker dan Koneksitasnya 34
dengan Proses Bisnis Kuasa BUN
A. Definisi dan Konsepsi 34
B. Existing Proses Bisnis Pengelolaan keuangan Negara di Satker dan 35
Koneksinya dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
1. Penyusunan, Penelaahan , Pengesahan dan Revisi dokumen Pelaksanaan 35
Anggaran
2. Pembuatan Komitmen 43
3. Pengajuan Pembayaran 45
4. Pencairan Dana 56
5. Manajemen Kas 63
6. Pertanggungjawaban 69
C. Aplikasi-aplikasi yang terdapat di Satuan Kerja dan Keterkaitan Antar Aplikasi 78


 
1. Aplikasi RKAKL 78
2. Aplikasi Peran 80
3. Aplikasi Gaji Pegawai Pusat 80
4. Aplikasi SPM 83
5. Aplikasi Persediaan 86
6. Aplikasi SIMAK BMN 87
7. Aplikasi SAKPA 89
8. Keterkaitan antar Aplikasi yang terdapat pada Satuan Kerja 93
D. Penutup 96
Appendix I Financial Management Assesment, Dirjen Bina Marga, Dept. PU 98
Appendix II Pengelolaan Keuangan di Satker Badan Layanan Umum 104
Bab IV Future Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan di Satker dan Koneksitasnya dengan 112
Proses Bisnis Kuasa BUN
A. Definisi, Konsepsi dan Metodologi 112
B. Manajemen DIPA 113
1. Tujuan dan Fungsi 113
2. International Best Practice terkait Manajemen DIPA 114
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen DIPA 116
4. Fitur SPAN terkait Manajemen DIPA 119
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis 121
dengan Satker terkait Manajemen DIPA
C. Manajemen Komitmen 127
1. Tujuan dan Fungsi 127
2. International Best Practice terkait Manajemen Komitmen 128
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Komitmen 128
4. Fitur SPAN terkait Manajemen Komitmen 130
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis 137
dengan Satker terkait Manajemen Komitmen
D. Manajemen Pembayaran 151
1. International Best Practice terkait Manajemen Pembayaran 151
2. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Pembayaran 155

vi 
 
3. Fitur SPAN terkait Manajemen Pembayaran 157
4. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis 163
dengan Satker terkait Manajemen Pembayaran
E. Accounting dan Reporting 169
1. Tujuan dan Fungsi 169
2. International Best Practice Dalam Organisasi Sistem Akuntansi 170
3. Current State Assesment dan Problems terkait Accounting dan Reporting 171
4. Fitur SPAN terkait Accounting dan Reporting 181
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis 185
dengan Satker terkait Accounting dan Reporting
F. Penatausahaan dan Pertanggungjawaban Bendahara atas Pelaksanaan Tugas 192
Kebendaharaan di Satuan Kerja
G. Manajemen Kas 205
1. Tujuan dan Fungsi 205
2. International Best Practice Terkait Manajemen Kas 206
3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Kas 211
4. Fitur SPAN terkait Manajemen Kas 215
5. Rekomendasi dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis 218
dengan Satker terkait Manajemen Kas
H. Penutup 221
Bab V Strategi dan Taktik Pencapaian Model Koneksitas 223
A. Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dalam Kerangka Pengembangan 224
SPAN
B. Mitigasi terhadap inherent risk berkaitan dengan Business Process 228
Improvement
C. Magnitude dan diversitas dari Satuan Kerja serta permasalahan terkait kondisi 229
geografis Indonesia yang unik
D. Peran Sumber Daya Manusia selaku agent of change 230
E. Kelengkapan landasan hukum dan peraturan pelaksanaan 231
F. Koordinasi dan sosialisasi yang tidak terbatas pada lingkungan internal Ditjen 232
Perbendaharaan

vii 
 
G. Kesesuaian dengan time-line dan road map pengembangan proses bisnis dalam 233
rangka SPAN
H. Penutup 234
Bab VI Penutup 235
Daftar Pustaka 239
A. Peraturan 239
B. Literatur 240
Dokumentasi Usulan 244

viii 
 
Bab I
Pendahuluan

Bab ini menguraikan secara garis besar koneksitas pengelolaan perbendaharaan negara
dengan manajemen keuangan Satuan Kerja (Satker), yang sekaligus juga melatarbelakangi
dan memberikan tujuan penulisan dari modul ini. Secara singkat, bab ini menjelaskan
bahwa analisa dan usaha-usaha untuk menyempurnakan koneksitas proses bisnis
perbendaharaan negara dengan manajemen keuangan Satker haruslah bertitik tolak dari
visi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara (perbendaharaan negara) di
Ditjen Perbendaharaan dan visi Satker dalam pengelolaan keuangannya, sehingga objektif
dari masing-masing pihak dapat terdefinisikan dengan jelas (Visi & Objectives). Hal-hal
tersebut dapat menjadi dasar dalam melakukan analisa existing koneksitas proses bisnis
dan existing manajemen keuangan Satker (Where are we now), yang selanjutnya menjadi
dasar untuk menentukan bentuk/model dari proses bisnis dan koneksitas yang diharapkan
(Where do we want to be), strategi dan taktik untuk mencapai target-target model
koneksitas tersebut (How to get there), tahapan-tahapan pencapaian, serta monitoring dan
evaluasinya (Are we there yet). Bab ini akan menjelaskan hal-hal tersebut di atas secara
garis besar, sedangkan pembahasan secara detail akan dilakukan pada bab-bab
berikutnya.

A. Latar Belakang
Momentum reformasi keuangan negara ditandai dengan lahirnya paket Undang-
undang Keuangan Negara. Salah satu yang diatur dalam paket undang-undang ini adalah
mengenai pembagian peran yang jelas antara Kementerian/Lembaga sebagai Satuan
Kerja (Satker) dan Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Satker
disebut sebagai Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang teknis tertentu
pemerintahan, sementara Menteri Keuangan disebut sebagai Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah RI.
Sebagai COO, Satker diberikan kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan
keuangan negara dibandingkan dengan sebelumnya, khususnya dalam hal kewenangan
administratif. Kewenangan administratif tersebut meliputi kegiatan pembuatan perikatan
atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau
pengeluaran negara, kegiatan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada
Satker sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta pemberian perintah
pembayaran atau penagihan penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan

Subdit. TPBE, DTP 1 
anggaran. Di lain pihak, Menteri Keuangan sebagai CFO berfungsi sekaligus sebagai
kasir, pengawas dan regulator pengelolaan keuangan negara, serta sebagai fund
manager pemerintah. Sejalan dengan pembagian tugas antara CFO dan COO, maka
konsep “let the manager manages” diselenggarakan, dimana konsep ini memberikan
keleluasaan dalam batas-batas peraturan perundangan kepada Satker dalam pengelolaan
keuangannya.
Satker dalam pengelolaan keuangannya mempunyai kedudukan yang unik dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pengelolaan perbendaharaan negara di
Departemen Keuangan (Ditjen Perbendaharaan). Satker dapat dilihat sekaligus sebagai
stakeholder, customer, client, user, owner dan/atau counterpart dari Ditjen
Perbendaharaan dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, pengelolaan
keuangan negara di Satker harus berjalan seiring dengan pengelolaan keuangan negara
di Ditjen Perbendaharaan. Pengelolaan keuangan negara di Satker merupakan salah satu
input bagi Ditjen Perbendaharaan dalam fungsinya sebagai Kuasa BUN baik itu dalam
hal akuntabilitas maupun dalam hal fund management. Implikasinya, kemampuan
pengelolaan keuangan negara yang dilakukan Satker sangat mempengaruhi keberhasilan
pelaksanaan fungsi treasury di Ditjen Perbendaharaan.
Dengan demikian, agar pelaksanaan pengelolaan keuangan negara di Satker dan
di Ditjen Perbendaharaan dapat berjalan seperti yang diharapkan, maka diperlukan
penyempurnaan koneksitas proses bisnis dan IT sejalan baik di Ditjen Perbendaharaan
maupun di Satker. Hal tersebut, memerlukan dukungan dari otoritas Treasury baik
dalam hal penyempurnaan proses bisnis dan regulasi, pengembangan IT maupun
peningkatan kemampuan managerial Satker dalam hal pengelolaan keuangan negara.
Dalam hal ini, Satker seringkali tidak punya pilihan selain adanya dukungan dari
Departemen Keuangan, khususnya Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Anggaran. Hal ini
dikarenakan Satker pada umumnya tidak mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan proses bisnis, IT dan SDM serta tidak memiliki kewenangan untuk
membuat regulasi di bidang pengelolaan keuangan negara. Di sisi lain, ketergantungan
Satker kepada Departemen Keuangan khususnya dalam bidang pengembangan bisnis
proses dan IT memberikan kesempatan kepada Ditjen Perbendaharaan untuk dapat
berperan lebih aktif dalam mengembangkan proses bisnis dan IT pengelolaan keuangan

Subdit. TPBE, DTP 2 
negara, karena hal tersebut akan cenderung kurang efisien dan efektif apabila dilakukan
oleh masing-masing Satker. Kedepan juga perlu dikaji kemungkinan untuk membangun
an integrated IT infrastructure untuk mendukung pengelolaan keuangan negara dengan
menempatkan infrastruktur IT Departemen Keuangan sebagai back bone dari
pengelolaan keuangan negara secara nasional.
Ruang lingkup pengelolaan keuangan negara di Satker meliputi tahapan
perencanaan hingga pertanggungjawaban anggaran. Oleh karena itu, dalam melakukan
penilaian dan penyempurnaan terhadap koneksitas proses bisnis Ditjen Perbendaharaan
dengan manajemen keuangan Satker, pembahasan harus dilakukan secara menyeluruh,
dari tahap perencanaan hingga pertanggungjawaban anggaran dan melibatkan instansi
terkait lainnya termasuk Bappenas dan Ditjen Anggaran.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan keuangan negara di
Satker berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara di Departemen Keuangan,
khususnya di Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Anggaran. Ketidaksempurnaan
pengelolaan keuangan di satu pihak akan mempengaruhi keseluruhan pengelolaan
keuangan negara secara nasional. Terkait dengan hal-hal tersebut, guna memberikan
suatu acuan yang komprehensif terhadap langkah-langkah penyempurnaan koneksitas,
maka disusunlah modul ini dengan tujuan untuk menjadi pedoman penyempurnaan
proses bisnis pengelolaan dan pertangungjawaban keuangan negara (perbendaharaan) di
Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan.
Diharapkan penyusunan modul dapat dilakukan dengan melibatkan semua
stakeholder terkait yang disertai dengan pilot project pada beberapa Satker. Dengan
demikian, sejalan dengan proses penyusunannya, konsep-konsep dalam buku ini sudah
diketahui, dibahas, dikoreksi, disetujui, dan sudah mulai diterapkan oleh masing-masing
stakeholder. Modul ini juga disusun bersamaan, dan dalam rangka mendukung
penyempurnaan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) melalui
Government Financial Management and Revenue Administration Project (GFMRAP).
Dalam hal ini, penyempurnaan proses bisnis pengelolaan keuangan negara di Satker
pada prinsipnya diluar ruang lingkup GFMRAP, sehingga harus segera dimulai, baik di
internal Ditjen Perbendaharaan, maupun di eksternal dengan melibatkan Bappenas,
Ditjen Anggaran dan tentunya Satker bersangkutan.

Subdit. TPBE, DTP 3 
B. Koneksitas Proses Bisnis Satker Dalam Siklus APBN
Identifikasi atas koneksitas proses bisnis pengelolaan keuangan negara di Satker
dan di Ditjen Perbendaharaan dapat dilakukan dengan memperhatikan siklus dari
pengelolaan APBN secara utuh. Sebagaimana diketahui, siklus APBN setidaknya
terdiri dari beberapa fase, yang secara garis besar meliputi:
1. Penyusunan APBN (Januari s.d. Juli tahun n-1)
2. Penetapan APBN (Agustus s.d. Oktober tahun n-1)
3. Pelaksanaan APBN (Januari s.d. Desember tahun n)
4. Perubahan APBN (Nopember tahun n)
5. Pertanggungjawaban APBN (Juli tahun n+1)
Ruang lingkup identifikasi atas koneksitas tersebut setidaknya harus meliputi:
1. Proses bisnis, yang mencakup pengorganisasian, arus pekerjaan/ arus dokumen/
arus data, serta pengelolaan rekening dan transaksi keuangan
2. Sistem akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban
3. Teknologi informasi (TI) dan aplikasi
Gambar I.1 menunjukkan hasil identifikasi proses bisnis berupa pengorganisasian
dan arus pekerjaan yang melibatkan Satker dan instansi terkait dalam pengelolaan
keuangan negara. Hasil identifikasi tersebut dipetakan ke dalam tahapan kegiatan
pengelolaan keuangan negara, yaitu perencanaan anggaran, pembuatan DIPA,
pembuatan komitmen dan kontrak, pelaksanaan pencairan dana, kegiatan manajemen
kas, serta pengakuntansian, pelaporan dan pembuatan pertanggungjawaban.

Subdit. TPBE, DTP 4 
Gambar I.1 RELATIONSHIP MATRIX PROSES BISNIS

Pemerintah  Kementerian/
Departemen keuangan  Unit 
Deskripsi  DPR  (Sidang  Lembaga/  DJPBN cq  DJPBN cq  DJPBN cq  Lainnya 
Kabinet)  Satuan Kerja DJA  KPPN  *) 
Dit PA  Dit PKN  Dit.APK 
1. Penyusunan         
1
RKP 
2. Pembahasan 
2 2
RKP 
3. Penyusunan 
3
RKAKL 
4. Pembahasan 
                       BUDGET                    PREPARATION 
RKAKL 
5. Penyusunan 
4 4

5
RAPBN 
6. Pembahasan 
6 6 6
RUU APBN 
7. UU APBN  7 7
8. Perpres 
8
Rincian APBN 
(+SAPSK) 
9. Penyusunan  9
DIPA 
10. Penelaahan 
10 10 10
DIPA 
                             MANAGEMENT          DIPA 
11. Pengesahan 
DIPA 
11 11

12. Pelaksanaan 
12 12 12 12 12
APBN: 
a. Revisi DIPA  12 a 12 a
 
                 COMMITMENT             MANAGEMENT
b.Komitmen 
 
12 b 12 b 12 b

c. Pengajuan 
12 c
                         PAYMENT              MANAGEMENT 
Pembayaran 
(SPM) 
d.Pencairan 
12 d 12 d 12 d 12 d
Dana 
e. Manajemen 
                 RECEIPT AND CASH              MANAGEMENT
Kas **)  12 e 12 e 12 e 12 e

13. Pertanggungja
                 GL,  ACCOUNTING        AND REPORTING
waban APBN 
13 13 13 13

Keterangan:
*) unit lainnya termasuk unit penerimaan (DJP/KPP, DJBC/KPBC), dan Perbankan
**) Manajemen kas termasuk informasi dari pelaksanaan investasi, pengelolaan utang, dan
penerimaan negara (termasuk Penerimaan Perpajakan, PNBP, Penerimaan Hibah,
Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, Penerimaan Pihak Ketiga).

Subdit. TPBE, DTP 5 
Sebagaimana terlihat pada Gambar I.1, tahapan-tahapan tersebut juga sejalan
dengan rencana pengembangan SPAN, baik dari segi proses bisnis maupun TI, yaitu
melalui modul perencanaan anggaran, modul manajemen DIPA, modul komitmen
manajemen, modul manajemen pembayaran, modul manajemen kas, modul GL,
pelaporan dan akuntansi, serta modul referensi sebagai pendukung modul-modul
lainnya. Proses pengelompokkan kegiatan dalam siklus APBN tersebut juga dilakukan
dengan merujuk pada best practice dalam siklus manajemen keuangan pemerintah yaitu
sebagaimana ditunjukkan dalam Treasury Reference Model (lihat Gambar I.2).

Gambar I.2 Siklus Manajemen Keuangan Pemerintah (Treasury Reference Model)

Subdit. TPBE, DTP 6 
Secara singkat, sebagaimana terlihat dalam Gambar I.1, koneksitas pengelolaan
perbendaharaan negara dengan manajemen keuangan Satker termasuk hubungannya
dengan instansi utama terkait dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. pembuatan komitmen untuk pengadaan barang dan jasa atas beban APBN dan
menjadikannya sebagai bagian manajemen pembayaran dan manajemen kas. Unit
yang terkait adalah Kementerian/Lembaga/Satker, Direktorat Pengelolaan Kas
Negara, dan KPPN.
2. Manajemen Pembayaran (Payment Management): meliputi koneksitas proses bisnis
sejak pengajuan pembayaran (SPM) sampai dengan pencairan dana (penerbitan
SP2D), dengan memperhatikan proses ebelumnya pada manajemen DIPA dan
manajemen komitmen. Unit yang terkait adalah Kementerian/Lembaga/Satker,
Direktorat Pengelolaan Kas Negara, KPPN dan unit lainnya (Perbankan).
3. Manajemen Kas (Cash Management): meliputi koneksitas proses bisnis dengan
Satker yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan aktivitas penerimaan dan
pengeluaran di Satker, serta meliputi proses-proses manajemen sebelumnya.
Manajemen kas ini juga terkait dengan kegiatan fund management di Ditjen
Perbendaharaan, termasuk yang terkait dengan berbagai kegiatan pada manajemen
investasi, manajemen pengelolaan utang, manajemen pengelolaan barang
pemerintah dan manajemen penerimaan negara. Unit yang terkait adalah
Kementerian/Lembaga/Satker, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, KPPN dan unit
lainnya (Unit terkait penerimaan negara dan Perbankan).
4. Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban (General Ledger, Accounting and
Reporting): meliputi di dalamnya koneksitas sistem akuntansi instansi dan KUN,
sistem akuntansi BUN, pengelolaan chart of account, proses pencatatan, pembuatan
buku besar, serta aktivitas terkait lainnya yang dilakukan dalam rangka pembuatan
laporan dan pertanggujawaban pelaksanaan APBN. Unit yang terkait adalah
Kementerian/Lembaga/Satker, Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan dan KPPN.
Terkait dengan proses bisnis perbendaharaan negara di Ditjen Perbendaharaan,
yang meliputi Manajemen DIPA hingga Akuntansi, Pelaporan dan

Subdit. TPBE, DTP 7 
Pertanggungjawaban, serta pengelolaan rekening pemerintah dan Teknologi Informasi
dengan mengacu pada Gambar I.1, identifikasi awal atas koneksitas proses bisnis
perbendaharaan dengan manajemen keuangan Satker menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:

1. Koneksitas proses bisnis dalam penyusunan dan pengesahan dokumen


pelaksanaan anggaran (DIPA Management). Beberapa permasalahan dalam
proses bisnis ini antara lain:
a) Data realisasi anggaran dan sisa pagu yang masih sering berbeda pada unit-unit
vertikal Ditjen Perbendaharaan maupun pada Satker, sehingga terdapat potensi
terjadinya pagu minus pada saat dilakukan pelaksanaan anggaran. Hal ini dapat
terjadi karena seringkali tidak berjalannya/tidak ada sistem informasi yang
terintegrasi di tingkat pelaksanaan (Satker dan KPPN) dan perencana (Ditjen
Anggaran, Kantor Pusat/Kanwil Ditjen Perbendaharaan, dan Kantor Pusat
Kementrian/Lembaga).
b) Potensi keterlambatan penyerapan APBN akibat hal-hal administratif dalam
penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran. Satu dari berbagai permasalahan
tersebut adalah pemahaman yang belum sama tentang mekanisme penunjukan
pejabat perbendaharaan yang dicantumkan dalam konsep DIPA.
c) Rincian akun (6 digit) dalam halaman IV DIPA (Catatan), belum sejalan
dengan konsep Performance Based Budgeting (PBB) yang menghendaki
peningkatan fleksibilitas anggaran. Hal tersebut memang sangat tergantung
pada perkembangan penerapan PBB yang saat ini tengah dikembangkan oleh
Bappenas dan Ditjen Anggaran.

Dari pembahasan terhadap beberapa permasalahan tersebut di atas, beberapa arah


perbaikan yang dapat dikaji meliputi:
a) mengkaji perubahan proses penyusunan DIPA dan bentuk dari DIPA itu
sendiri, sejalan dengan arah dari penerapan PBB yang dilakukan oleh
Bappenas dan Ditjen Anggaran serta penyiapan data awal bagi pelaksanaan
anggaran termasuk manajemen kas;
b) mengkaji efektifitas pelaksanaan revisi anggaran, sejalan dengan penetapan
PMK. No. 06/PMK.02/2009 dan kemungkinan pelaksanaan PBB;

Subdit. TPBE, DTP 8 
c) mengkaji kemampuan IT yang saat ini masih sangat terfragmentasi.

2. Koneksitas proses bisnis dalam pelaksanaan pembuatan perikatan


(Commitment Management). Permasalahan disini adalah tidak adanya suatu sistem
yang terintegrasi antara Satker dan Ditjen Perbendaharaan untuk mencatat informasi
sehubungan dengan pembuatan komitmen di Satker. Hal tersebut mengakibatkan
beberapa kekurangan dalam pengelolaan keuangan negara, di antaranya:
a) Perbendaharaan tidak memiliki informasi yang akurat tentang sisa pagu
anggaran dan status (stages dalam siklus anggaran) atas dana APBN yang
dikelola Satker
b) Perbendaharaan belum memiliki sistem yang efektif untuk mendukung
pelaksanaan forward planning atas arus kas yang menyertai pelunasan sebuah
komitmen
Berkaitan dengan pencatatan komitmen untuk pengakuan stages dalam
pelaksanaan anggaran dan perencanaan kas, terdapat beberapa hal yang patut
mendapat perhatian di masa yang akan datang, antara lain:
a) hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan komitmen ke dalam buku besar
(GL), termasuk saat pengakuan, penentuan akun, posting rule, ketetapan waktu
untuk pencatan dan pelaporan komitmen tersebut serta sanksi apabila terdapat
pencatatan dan pelaporan yang tidak akurat dan tidak tepat waktu.
b) penentuan sifat pengujian oleh Ditjen Perbendaharaan (KPPN) apabila
pencatatan dan persetujuan komitmen menjadi salah satu dasar pencairan dana
APBN.
c) mekanisme uang persediaan dan tambahan uang persediaan (UP/TUP) terkait
dengan rencana penerapan manajemen komitmen, Treasury Single Account
(TSA) dan pengelolaan rekening-rekening pemerintah pada perbankan. Salah
satu tujuan utama penerapan manajemen komitmen adalah untuk kepentingan
perencanaan kas. Mekanisme UP/TUP adalah pengeluaran transito yang
mendahului model pencatatan komitmen yang ideal, sehingga bersamaan
dengan perkembangan teknologi sektor finansial, besaran dan mekanismenya
perlu dikaji kembali pada masa mendatang.

Subdit. TPBE, DTP 9 
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, beberapa arah perbaikan dapat
dilakukan di masa mendatang khususnya yang berkaitan dengan perbaikan proses
bisnis dan TI yang ada untuk keperluan monitoring atas komitmen yang dibuat
Satker dan pemanfaatannya bagi pengelolaan perbendaharaan di Ditjen
Perbendaharaan. Disamping itu, pengkajian perlu pula dilakukan terhadap batasan
kewenangan Ditjen Perbendaharaan dalam aktivitas monitoring (pengawasan)
komitmen yang dibuat Satker.

3. Koneksitas proses bisnis dalam pengajuan permintaan pembayaran dan


pencairan dana (payment management). Payment management, termasuk tatacara
penerbitan SPM menjadi SP2D, serta keseluruhan work flow dan paper work
transaksi keuangan melalui perbankan, merupakan fokus reformasi birokrasi selama
ini di Ditjen Perbendaharaan. Beberapa kegiatan secara terintegrasi baik di bidang
proses bisnis dan peraturan, IT serta pengembangan SDM, telah dilakukan untuk
mendukung reformasi tersebut. Hasil yang telah dicapai (quick win) sudah cukup
signifikan yaitu berupa berbagai kemajuan dibidang payment management sejalan
dengan pembentukan KPPN Percontohan. Permasalahannya, hal tersebut masih
perlu diikuti dengan pembenahan pada pengelolaan keuangan negara di Satker.
Sebagai contoh, hingga saat ini belum ada standard cycle time untuk penerbitan
SPM di Satker serta pengajuannya ke KPPN. Disamping itu, masih terdapat
kemungkinan bahwa dana akan diterima di rekening yang berhak lebih lama dari
waktu yang diharapkan. Seiring dengan pesatnya kemajuan bisnis proses dan TI
sektor keuangan/perbankan tentu kedepan akan timbul pertanyaan yang sangat
mendasar mengenai sistem pembayaran (payment system) yang ada saat ini.
Misalnya, apakah perlu disempurnakan dengan dukungan TI atau dipertahankan,
meskipun banyak sekali hands off dan paper work, baik di Satker, KPPN maupun
perbankan Ini tentunya suatu arahan kedepan yang secara serius harus dikaji yaitu
terkait dengan penyempurnaan pengelolaan keuangan negara di Satker dan
pemanfaatan TI yang memungkinkan (enabler) berjalannya proses bisnis dan
peraturan sebagaimana diharapkan.

4. Koneksitas proses bisnis dalam manajemen dan perencanaan kas (cash


manajemen). Memperhatikan praktek-praktek treasury di banyak negara maju,

Subdit. TPBE, DTP 10 
kegiatan kas manajemen adalah merupakan kegiatan utama unit treasury, yang
merupakan muara dari semua kegiatan, termasuk comitment management, cash
forecasting, payment management, receipt management dan debt management.
Kegiatan manajemen kas relatif baru menjadi fokus reformasi di Ditjen
Perbendaharaan, yang tentunya harus terus dikembangkan. Dalam hal ini, banyak
sekali hal yang harus disempurnakan, baik pada internal Ditjen Perbendaharaan,
maupun koneksinya dengan pihak eksternal terutama Satker. Sehubungan dengan
hal tersebut di atas, berikut adalah beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan
di antaranya:

a) belum optimalnya fungsi perencanaan pencairan dana dalam dokumen


pelaksanaan angaran (halaman III, DIPA). Pada umumnya, model perencanaan
pencairan dana pada halaman III DIPA dilakukan dengan membagi jumlah
pagu ke dalam rencana penarikan setiap bulan dalam satu tahun. Namun
demikian, saat ini mulai dikembangkan rencana penarikan dana yang lebih
realistis khususnya untuk belanja tidak mengikat, di mana rencana penarikan
dana diusahakan untuk tidak lagi dengan membagi pagu dengan jumlah bulan
dalam satu tahun.
b) belum adanya suatu sistem yang mengintegrasikan komitmen dan rencana
penerimaan, terutama PNBP, di Satker dalam mekanisme perencanaan kas di
Ditjen Perbendaharaan.
Hal-hal tersebut di atas, memberikan arahan untuk perbaikan di masa yang
akan datang. Tentunya, pengkajian harus secara lengkap, termasuk meliputi proses
bisnis, sistem IT dan alur data, untuk mendukung revitalisasi fungsi perencanaan
pencairan dana pada Ditjen Perbendaharaan yang berkaitan erat dengan manajemen
kas.
5. Koneksitas proses bisnis dalam sistem akuntansi, laporan dan
pertanggungjawaban. Sistem akuntansi pemerintah sudah berkembang cukup
signifikan. Akan tetapi, sebagaimana digariskan dalam perundang-undangan bahwa
sistem akuntansi pemerintah harus berbasis accrual, hingga saat ini sistem
akuntansi pemerintah masih berbasis cash. Tentunya ini adalah suatu tantangan
yang sangat berat untuk menerapkan accrual based accounting, baik pada

Subdit. TPBE, DTP 11 
pengelolaan keuangan di BUN (SABUN) maupun pada tiap-tiap Satker (SAI)
sebagaimana diatur dalam PMK No. 171/PMK.05/2007 tentng Sistem Akuntansi
dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Setidaknya, hal tersebut perlu
dilakukan pula melalui pembenahan chart of account (CoA), termasuk
memasukkan unsur accrual dan stages mengikuti siklus anggaran. Tentunya,
sejalan dengan pembenahan CoA tersebut, maka kemungkinan penerapan PBB dan
perubahan sistem akuntansi harus pula dipertimbangkan. Disamping sistem
akuntansi yang masih perlu terus dikembangkan, variasi dari kemampuan SDM dan
dukungan IT yang sangat beragam pada tiap-tiap Satker juga memberikan tantangan
tersendiri. Terkait dengan hal tersebut, beragamnya kemampuan Satker untuk
menerapkan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) mempengaruhi kualitas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Tentunya, patut dihargai disini adalah usaha-
usaha Ditjen Perbendaharaan untuk membantu Satker dalam melakukan pencatatan,
pelaporan dan pertanggungjawaban yaitu melalui dukungan aplikasi serta pelatihan-
pelatihan terutama melalui Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah
(PPAKP).
6. Koneksitas proses bisnis dalam pengelolaan rekening bendahara penerimaan
dan pengeluaran. Pengelolaan keuangan negara saat ini sangat bergantung pada
proses bisnis dan IT sektor perbankan. Demikian pula, koneksitas proses bisnis
Ditjen Perbendaharaan dengan pengelolaan keuangan di Satker banyak bergantung
pula pada proses bisnis dan IT sektor perbankan. Pengaturan berbagai rekening
pemerintah, baik dalam rangka pengeluaran (TSA Pengeluaran dan rekening
bendahara pengeluaran) maupun dalam rangka penerimaan (TSA penerimaan,
MPN, dan rekening bendahara penerima), menunjukkan ketergantungan
pengelolaan perbendaharaan pada sektor perbankan. Di banyak negara maju,
melalui kerja sama dengan institusi keuangan swasta, treasury operation sudah
memasuki praktek-praktek yang tidak berbeda dengan institusi keuangan swasta.
Sebagai contoh, dalam hal revenue collection, treasury operation sudah
menerapkan berbagai metode pengumpulan penerimaan seperti auto debit, debit
card, credit card, cek, merchant dan sebagainya, disamping penerapan TSA
penerimaan secara universal. Dalam hal pengeluaran, TSA pengeluaran diterapkan

Subdit. TPBE, DTP 12 
dengan sangat maju, dimana idle fund hampir tidak ada. Disamping itu, best
practices menunjukkan bahwa koneksitas pengelolaan keuangan negara dengan
sektor perbankan juga dilakukan melalui satu pintu, yaitu treasury. Hal tersebut
diperlukan dalam rangka standardisasi koneksitas, dimana koneksitas pengelolaan
keuangan negara dengan Sektor keuangan harus didasarkan pada kontrak (fee
based). Bilamana masing-masing institusi (treasury dan Satker) membuat kontrak
sendiri-sendiri, sangat mungkin akan terjadi inefisiensi dan ketidakteraturan.
Dengan pengaturan koneksitas melalui satu pintu, yaitu treasury, negosiasi
penempatan surplus dana pemerintah pada pihak perbankan akan dapat
dilaksanakan secara lebih efektif. Standarisasi dan konsep satu pintu melalui
treasury belum diterapkan secara penuh di Indonesia. Hal-hal tersebut tentunya
merupakan tantangan dan arahan untuk perbaikan kedepan, yang pelu dikaji
kesesuaiannya untuk dapat diterapkan pada praktek perbendaharaan di Indonesia.
7. Koneksitas teknologi informasi DJPBN dengan Satker. Sebagaimana telah
dijelaskan diatas, dependency Satker terhadap aplikasi-aplikasi yang disediakan
oleh Departemen Keuangan baik dari Ditjen Perbendaharaan maupun Ditjen
Anggaran sangat tinggi. Gambar I.3 menunjukkan koneksitas teknologi
informasi/aplikasi tersebut. Memperhatikan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
keuangan di Satker sebagai satu kesatuan dengan pengelolaan keuangan negara di
Departemen Keuangan, koneksitas tersebut dapat dilihat sebagai sesuatu yang
wajar. Yang menjadi permasalahan adalah sistem informasi tersebut masih sangat
terfragmentasi, peace meal, belum mengarah pada sesuatu yang terintegrasi dengan
baik, disamping memang kemampuan SDM masing-masing Satker sangat beragam.
Dari pembahasan tersebut di atas, di masa yang akan datang perlu dikaji proses
bisnis dan IT yang ada, dengan arahan kemungkinan pengintegrasian semua sistem
IT yang diberikan oleh Kementrian Keuangan kepada Satker, maupun yang
dikembangkan secara internal oleh masing-masing Satker.
Dari pembahasan singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan
keuangan negara di Satker merupakan bagian tak terpisahkan dari pengelolaan
keuangan negara secara keseluruhan. Untuk itu, penyempurnaan proses bisnis
pengelolaan keuangan negara di lingkungan Kementrian/Lembaga dan koneksitasnya

Subdit. TPBE, DTP 13 
dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan sangat diperlukan, dalam rangka
mewujudkan dan melajutkan upaya reformasi keuangan negara yang telah dirintis
sebelumnya, serta mendukung rencana penyempurnaan melalui automasi proses bisnis
dan integrasi sistem informasi sejalan dengan pengembangan SPAN. Dalam hal ini,
penyempurnaan manajemen keuangan Satker memerlukan dukungan sepenuhnya dari
DJPBN.

Gambar I.3 Koneksitas teknologi informasi/ aplikasi komputer perbendaharaan dengan Satker

Sehubungan dengan kompleksitas permasalahan, harus disusun analisis dan


rencana implementasi dengan tepat. Diantaranya adalah melalui penentuan proses
bisnis dan TI yang diharapkan dapat menjadi prioritas sebagai quick win. Salah satu
alternatif untuk dapat dijadikan quick win adalah melanjutkan penggunaan aplikasi
Peran 2008, dan mengembangkannya sebagai bagian sistem perencanaan pencairan
dana dan manajemen komitmen yang handal. Diusulkan agar segera dilakukan
pengkajian untuk menggunakan data dalam Petunjuk Operasional Kegiatan (POK)
Satker yang ada di DJA sebagai salah satu sumber data. Dalam hal ini sangat penting,

Subdit. TPBE, DTP 14 
untuk diperhatikan pula bahwa agar penyempurnaan koneksitas proses bisnis haruslah
disesuaikan dengan kebutuhan Satker dalam pengelolaan keuangan negara.

C. Metode Penulisan
Dalam melakukan penulisan/penyusunan modul tentang proses bisnis
pengelolaan keuangan negara di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis Ditjen
Perbendaharaan, struktur penulisan yang digunakan adalah mengikuti alur yang
dipakai dalam kerangka ITIL v.3 (Information Technologi Infrastructure Library
Version 3) sebagaimana terlihat pada Gambar I.4. Sebagaimana terlihat dalam gambar,
penulisan haruslah dimulai dari penetapan visi, misi dan objektif dari masing-masing
pihak, khususnya dalam pengelolaan keuangan negara dan pencapaian outcome
masing-masing instansi. Berpijak pada visi, misi dan objektif masing-masing pihak,
dilakukan identifikasi permasalahan atas existing koneksitas dan kondisi pengelolaan
keuangan negara di Satker saat ini. Selanjutnya, hal-hal tersebut akan menjadi landasan
penetapan bentuk/model koneksitas dan manajemen keuangan Satker, serta target-target
pencapaian yang terukur. Sebagaimana disebutkan dalam Gambar I.4, penulisan buku
ini dilakukan melalui diskusi bersama dengan stakeholder terkait dan ujicoba langsung
pada beberapa Satker sehingga penetuan model/bentuk koneksistas dan manajemen
keuangan Satker serta tatacara maupun target-target pencapaiannya sudah diketahui dan
disetujui bersama.
Mempertimbangkan luasnya cakupan dari topik pembahasan, buku ini hanya
memfokuskan pada dua area: (i) proses bisnis pengelolaan keuangan negara di Satker
dengan fokus pada aspek pengeluaran (ii) koneksitas proses bisnis pengelolaan
keuangan negara di Satker dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan. Hal-hal yang
berkaitan dngan perencanaan anggaran di DJA dan Bappenas tidak menjadi fokus dari
modul ini.
Mengingat kompleksitas permasalahan,, maka penulisan buku ini sangat
menghendaki peran serta dan dukungan semua pihak. Optimisme harus tetap dipegang
mengingat perbaikan tersebut adalah keinginan bersama, sebagaimana telah digariskan
dalam peraturan perundang-undangan, visi dan misi, serta tugas pokok dan fungsi
Ditjen Perbendaharaan.

Subdit. TPBE, DTP 15 
Gambar I.4 Struktur Penulisan

Background Bab I: Pendahuluan (Latar Belakang dan Ringkasan Penulisan)


(Februari 2009) Pendefinisian latar belakang, struktur penulisan dan metode
penulisan

Bab II: Visi, Misi dan Obyektif Satker dan Ditjen Perbendaharaan
1. Apa Visi dan Misi DJPB, DJA, Bappenas dan Satker?
2. Mengapa manajemen keuangan Satker harus disempurnakan?
Vision, Mission,
3. Apa manfaat penyempurnaan tersebut bagi Satker dalam
Objectives
(Week I, II & III manajemen keuangannya?
March 2009) 4. Apa objektif penyempurnaan koneksitas dan manajemen
keuangan Satker?
5. Satker diluar Proyek SPAN, sehingga harus dibenahi secara
internal mulai dari sekarang.

Bab III: Analisis Existing Koneksitas dan Manajemen Keuangan Satker-


Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker
dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN
Where are we 1. Analisis existing koneksitas, dari tahapan persiapan anggaran,
now? majanemen DIPA, manajemen komitmen, manajemen
(Week IV-March, pembayaran, manajemen kas, sistem akuntansi, pelaporan dan
Week I, II, III pertanggungjawaban, yang masing-masing tahapan meliputi:
April 2009) (i) bisnis proses dan regulasi, (ii) IT, dan (iii) SDM dan
change management/ manajemen perubahan.
2. Analisis proses manajemen keuangan satker terkait tahapan-
tahapan tersebut di atas, termasuk melalui penelitian langsung
pada beberapa Satker terpilih sebagai pilot project.

Subdit. TPBE, DTP 16 
Bab IV: Model Koneksitas dan Manajemen Keuangan Satker- Future
Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker dan
Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN
1. Penetapan model koneksitas dan bentuk manajemen keuangan
satker, target-target tahunan yang jelas dan terukur pencapaian
setiap tahunnya, dengan mengikuti tahapan-tahapan tersebut
Where do we want di atas. Terpenting disini adalah pendefinisian dan penetapan
to be ? model koneksitas dan manajemen keuangan satker, baik
(Week IV-April, menyangkut (i) bisnis proses dan regulasi, (ii) Integrated IT,
May, June, July dan (iii) pengembangan SDM dan change management,
2009)
karena hal tersebut belum terdefinisikan dengan konkrit
hingga saat ini.
2. Penetapan model tersebut dengan mengacu pada satker
terpilih sebagai pilot project, yang secara bersamaan akan
dilakukan pula penetapan strategi implementasi dari model
yang dipilih, serta monitoring/evaluasinya.

Bab V: Strategi dan Taktik Pencapaian Model Koneksitas


Penerapan dari model koneksitas dan bentuk manajemen
keuangan Satker yang dipilih harus dilaksanakan sedemikian
rupa secara terencana, smooth, serta meminimalisasi resiko.
Dalam hal ini, disamping aspek bisnis proses, regulasi dan IT,
How do we get maka pengembangan SDM, change management, serta teknik
there ?
pengkomunikasian akan memegang faktor yang sangat
(June, July,
August 2009) menentukan. Hal-hal tersebut akan dibahas dalam bab ini.
Metode penyusunan buku ini dengan melibatkan setiap
stakeholder dan dibarengi dengan piloting pada beberapa
satker adalah salah satu taktik tersebut.

Conclusion Bab VI Penutup


(August, Penutup dan ringkasan atas isi buku, khususnya tahapan-tahapan
September 2009) dalam pencapaian model koneksitas.

Subdit. TPBE, DTP 17 
Bab II

Visi, Misi dan Objektif


Satker dan Ditjen Perbendaharaan

Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab ini


difokuskan pada pembahasan tentang visi, misi dan objektif dari Satker dan
Ditjen Perbendaharaan. Disamping itu, guna menjamin value dari aktivitas
ini, maka bab ini juga menggunakan strategic triangle framework, yaitu
adanya keterkaitan antara value, operational capability dan legitimacy. Dari
pembahasan dapat disimpulkan bahwa meskipun peraturan perundangan
dengan jelas memisahkan fungsi CFO dan COO, tetapi terdapat suatu
interdependency yang mengharuskan perlunya penyempurnaan proses bisnis
di Satker dan koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan.
Demikian pula, dalam ruang lingkup perbendaharaan negara, Satker dan
Ditjen Perbendaharaan sebenarnya mempunyai suatu common objectives
yang secara bersama-sama akan dicapai. Untuk itu, sesuai dengan ketentuan
perundangan, adalah fungsi Ditjen Perbendaharaan untuk
mengkoordinasikan aktivitas penyempurnaan tersebut, termasuk menciptakan
standardisasi proses bisnis perbendaharaan negara, baik di Satker maupun di
Ditjen Perbendaharaan.

A. Latar Belakang
Pembahasan atas visi dan misi sebuah organisasi senantiasa bersifat strategis
karena hal-hal tersebut adalah merupakan ‘pemandu’ organisasi untuk menetapkan
objektif serta pengerahan keseluruhan sumber daya dalam rangka untuk mencapainya.
Oleh karena itu, penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksinya dengan proses
bisnis di Ditjen Perbendaharaan haruslah didasari oleh pemahaman tentang visi, misi
dan objektif dari masing-masing stakeholders, khususnya Satker dan Ditjen
Perbendaharaan sendiri.
Terkait dengan hal tersebut di atas, menggunakan model yang diperkenalkan
Mark H. Moore (1995) dalam Creating Public Value: Strategic Management in
Government, setidaknya terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi agar aktivitas
tersebut juga bernilai strategis, baik di Ditjen Pebendaharaan maupun di Satker.
Pertama, aktivitas penyempurnaan tersebut harus bermanfaat secara signifikan bagi
kedua belah pihak (significantly valuable). Kedua, aktivitas penyempurnaan tersebut
harus didasarkan pada kerangka peraturan perundangan yang ada (legitimate). Ketiga,
aktivitas penyempurnaan tersebut harus bisa diterapkan baik secara operasional maupun
administratif (operationally and administratively feasible), dalam kerangka organisasi

Subdit TPBE, DTP  18 
dan potensi kolaborasi yang memungkinkan pencapaian visi, misi dan objektif semua
stakeholders (value).
Sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.1, dalam literatur manajemen sektor publik
(public sector management) penerapan dari ketiga kriteria tersebut populer dengan
istilah strategic triangle (Moore, 1994; Moore, 1995; Moore & Khagram, 2004).
Pembahasan atas visi, misi dan objektif masing-masing stakeholders sebagai dasar
penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen
Perbendaharaan dalam bab ini akan menggunakan framework strategic triangle
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Dalam hal ini, secara berturut-turut akan
dibahas: (i) strategic value dari aktivitas penyempurnaan tersebut, (ii) operational
capability dari usulan penyempurnaan proses bisnis tersebut bagi Satker dan Ditjen
Perbendaharaan, dan (iii) legitimacy dari aktivitas dan hasil penyempurnaan tersebut.
Pembahasan atas visi, misi dan objektif masing-masing stakeholder akan dimasukkan
dalam bagian (ii) tersebut di atas. Terakhir, bab ini akan ditutup dengan suatu penutup
dan sekilas tentang pokok-pokok pembahasan bab berikutnya.

Gambar 2.1. Strategic Triangle: Value, Operational Capability, dan Legitimacy

Legitimacy

Value

Operationallity

Sumber: Moore (1995) dan Moore & Khagram (2004)

Subdit TPBE, DTP  19 
B. Value: Manfaat Penyempurnaan Proses Bisnis di Satker dan Koneksitasnya
dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan

Dalam penjelasan Undang-undang Keuangan Negara disebutkan bahwa pengelola


keuangan negara ialah Presiden Republik Indonesia atau yang biasa disebut Chief
Executive Officer (CEO). Dalam mengelola keuangan negara, Presiden mendelegasikan
kepada Menteri Keuangan (sebagai Chief Financial Officer) dalam hal kewenangan
kebendaharaan dan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga (sebagai Chief Operational
Officer) dalam hal kewenangan administratif. Sesuai dengan prinsip tersebut, Menteri
Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan, kewajiban
dan asset negara secara nasional, sementara Menteri/Pimpinan Lembaga berwenang dan
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi masing-masing. Secara skematis, pemisahan kewenangan pengelolaan keuangan
negara dapat dilihat dalam Gambar 2.2.

Subdit TPBE, DTP  20 
Gambar 2.2. Pemisahan Wewenang Pengelola Keuangan Negara

Keterangan Gambar:

Sumber : Pemisahan Wewenang Pengelolaan Keuangan Negara-modified (Presentasi Sesditjen Perbendaharaan)

Subdit TPBE, DTP  21 
Walaupun secara teknis masing-masing Satker memiliki visi, misi dan objektif
yang berbeda sesuai dengan bidang tugasnya, terdapat suatu kriteria yang secara
generic berkaitan dengan setiap organisasi pemerintah yaitu bahwa semua aktivitas
diarahkan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah, termasuk penyediaan
layanan publik. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.2, guna mencapai visi, misi dan
objektifnya, Kementrian/lembaga (K/L) akan membuat perencanaan strategis (Renstra),
yang pada akhirnya akan diwujudkan dalam Rencana Kegiatan Anggaran
Kementrian/Lembaga (RKA-K/L) tahunan. RKA-K/L ini selanjutnya menjadi landasan
penyusunan APBN (appropriation) tiap tahunnya. Atas dasar dokumen penganggaran,
melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan Ditjen
Perbendaharaan akan menerbitkan DIPA (allocation). DIPA ini adalah dokumen
pelaksanaan anggaran yang menjadi dasar penerbitan SPM oleh K/L, SP2D oleh Ditjen
Perbendaharaan dan pemindahan dana anggaran dari Rekening Kas Negara ke rekening
pihak ketiga atau bendahara pengeluaran dalam rangka pembiayaan program
pemerintah, termasuk penyediaan layanan publik.
Dalam hal ini, Andrew & Campos (2003) menyebutkan bahwa penyusunan dan
pelaksanaan anggaran merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas
dan kuantitas aktivitas penyediaan layanan publik. Schick (1998), berpendapat bahwa
setidaknya terdapat tiga hal yang harus tercapai dalam praktek penganggaran yang
modern (populer dengan sebutan Public Expenditure Management atau PEM) yaitu
aggregate fiscal discipline, allocative efficiency, dan operational efficiency. Aggregate
fiscal disciplin dan allocative efficiency setidaknya diharapkan dapat menjamin
sustainability dari anggaran negara serta terciptanya anggaran negara yang efisien dan
efektifitas untuk pencapaian target masing-masing program pemerintah. Sedangkan
operational efficiency sangat dipengaruhi oleh proses pelaksanaan anggaran (budget
execution) karena implementasi yang sesungguhnya dari program, proyek ataupun
kegiatan pemerintah terjadi pada saat pelaksanaan anggaran (Andrew & Campos,
2003). Lemahnya proses pelaksanaan anggaran, dapat berakibat fatal terutama terhadap
tidak tercapainya sasaran alokasi anggaran yang telah dibuat.
Hashim & Allan (2001) dalam Treasury Reference Model yang diterbitkan World
Bank mengidentifikasikan dua karakteristik utama dalam sistem perbendaharaan.
Pertama adalah perlunya konsolidasi dan kompilasi cepat terhadap data dengan volume
besar dari sejumlah unit vertikal di institusi perbendaharaan dan Satker yang tersebar di
banyak lokasi. Karakteristik yang kedua adalah bahwa proses bisnis yang terdapat
Subdit TPBE, DTP  22 
dalam sistem ini pada dasarnya dilakukan berulang-ulang (repetitive) dan mengikuti
serangkaian mekanisme pelaksanaan dan kontrol/pengawasan tertentu. Di satu sisi,
karakteristik-karakteristik tersebut memungkinkan peningkatan efisiensi dalam
pengelolaan transaksi melalui penggunaan IT dan sistem aplikasi yang terintegrasi
(Hashim & Allan, 2001). Di sisi lain, kondisi tersebut menjadikan penyempurnaan
proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di institusi
perbendaharaan, beserta dukungan IT, menjadi sangat krusial. Karakteritik besarnya
volume data dan proses bisnis yang repetitive membawa konsekuensi bahwa
ketidaksempurnaan proses bisnis baik di tingkat Satker, koneksinya dengan proses
bisnis di institusi perbendaharaan maupun di institusi perbendaharaan sendiri akan
berakibat secara berlipat terhadap ketidakkeberhasilan pelaksanaan tugas
perbendaharaan negara. Disinilah, letak strategic value dari pentingnya penyempurnaan
proses bisnis di Satker dan koneksinya dengan proses bisnis di institusi perbendaharaan.
Dari tinjauan sistem informasi, koneksitas proses bisnis yang baik dicerminkan
adanya tingkat integrasi sistem yang tinggi (close system integration). Menurut Hashim
& Allan (2001), integrasi sistem yang baik tidak hanya dicerminkan oleh adanya
penggunaan basis data yang dapat diakses bersama-sama secara aman tetapi juga
adanya kemampuan untuk melakukan pertukaran data diantara berbagai modul/fungsi-
fungsi keuangan yang ada. Dalam prakteknya di beberapa negara, penyempurnaan
koneksitas proses bisnis biasanya mencakup standardisasi proses bisnis di Satker
(Government atau Spending Agencies). Di Australia, di mana spending agencies tidak
hanya melakukan otorisasi pengeluaran tetapi juga fungsi manajemen kas (two tier cash
management system (Lienert, 2008)), institusi perbendaharaan dan audit berperan aktif
tidak hanya dalam penyusunan pedoman tetapi juga melakukan standardisasi proses
bisnis setiap fungsi-fungsi manajemen keuangan negara (Treasure’s Direction, 2006;
ANAO, 1999; Auditor General Victoria, 2004).
Di Amerika Serikat, Pemerintah Federal melalui Financial System Integration
Office (FSIO) melakukan penyempurnaan proses bisnis untuk government agencies
melalui standardisasi dan integrasi dengan tujuan, antara lain :
1. meningkatkan pemahaman akan pentingnya proses bisnis yang standard di
lingkungan pemerintah
2. mengidentifikasi alternatif penyempurnaan proses bisnis
3. menerapkan praktek-praktek yang baik dalam proses bisnis

Subdit TPBE, DTP  23 
4. menciptakan kondisi awal yang sama dan terstandardisasi untuk memudahkan
pengembangan di masa yang akan datang
5. memfasilitasi pertukaran data keuangan di antara institusi pemerintah (FSIO, 2008)
6. Dari uraian di atas dan beberapa contoh penerapan di negara lain, dapat disimpulkan
bahwa penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses
bisnis di Ditjen Perbendaharaan memberikan manfaat strategis dalam mendukung
pencapaian visi, misi dan objektif dari Satker dan Ditjen Perbendaharaan. Proses
bisnis yang terstandardisasi dan koneksitas yang baik dapat membantu pencapaian
sasaran atau target program, serta dalam rangka peningkatan pelayanan kepada
publik. Bagi Ditjen Perbendaharaan, koneksitas proses bisnis yang baik membantu
tugas pokoknya dalam rangka pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Termasuk didalamnya adalah kemudahan dalam integrasi data dan pengumpulan
informasi yang berkualitas sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pengambilan
keputusan, khususnya berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen
Perbendaharaan.

C. Operational Capability: Kemampuan untuk penerapan usulan penyempurnaan


proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di Ditjen
Perbendaharaan
Salah satu hallmark yang diusung dalam reformasi di bidang keuangan negara
adalah adanya pemisahan tugas dan tanggung jawab yang jelas (clarity of role) antara
pemegang kewenangan administratif dan pemegang kewenangan kebendaharaan (lihat
Gambar 2.2). Pemisahan kewenangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan
akuntabilitas dan menjamin adanya check and balance dalam proses pelaksanaan
anggaran (Penjelasan UU No. 1/2004). Pemisahan kewenangan tersebut menciptakan
hubungan yang unik dimana secara implisit menunjukkan adanya independency dalam
suatu kesejajaran namun saling terkait (tidak sepenuhnya independen), antara
Menteri/Ketua Lembaga sebagai Pengguna Anggaran dengan Menteri Keuangan
sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) dalam pelaksanaan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara (perbendaharaan negara).
Reformasi birokrasi dan tuntutan akan pelayanan yang lebih baik memberi
pengaruh pada cara pandang dan kebijakan organisasi pemerintah terhadap lingkungan
eksternalnya. Berbeda dengan tradisional model dari public administration, institusi
pemerintah pada saat ini cenderung memberi perhatian yang lebih dan menyadari
Subdit TPBE, DTP  24 
perlunya menjalin hubungan strategis dengan pihak-pihak di luar organisasi dalam
rangka pencapaian visi, misi dan objektif organisasinya (Hughes, 2003). Menurut
Allison (1982), manajemen dengan pihak-pihak eksternal organisasi meliputi:
1. hubungan dengan unit organisasi lain dalam lingkup organisasi pemerintah yang
sama (aktivitas koordinasi);
2. hubungan dengan pihak-pihak independent di luar organisasi tersebut, misalnya
instansi pemerintah lainnya, rekanan dan LSM (interest group);
3. hubungan dengan pers.
Dalam kerangka tersebut, dari sudut pandang ruang lingkup organisasi, hubungan
Ditjen Perbendaharaan dengan Satker dapat dikategorikan ke dalam huruf (b) karena
Satker adalah organisasi pemerintah yang independent di luar Ditjen Perbendaharaan.
Namun demikian, hubungan Ditjen Perbendaharaan dengan Satker sebenarnya bersifat
unik karena walaupun tidak berada di dalam lingkup organisasi yang sama (kategori
huruf a), koordinasi dan interaksi dengan Satker sangat erat, berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi Ditjen Pebendaharaan sebagai institusi perbendaharaan
(Hashim & Allan, 2001).
Terkait dengan hal tersebut di atas, hubungan antara Ditjen Perbendaharaan
dengan Satker dapat berupa bahwa Satker dalam posisi sebagai customer, user, client,
dan counterpart dari Ditjen Perbendaharaan. Satker, misalnya, merupakan customer
dan user dari payment management, dan merupakan counterpart dalam perencanaan kas
[masukan dari Dit PKN, 2008]. Satker juga dapat dikategorikan sebagai user atau client
dalam penggunaan aplikasi software yang dibuat oleh Ditjen Perbendaharaan dan
digunakan untuk berinteraksi dengan sistem informasi yang ada di Ditjen
Perbendaharaan. Dalam hal penyusunan dan penerapan peraturan atau kebijakan yang
dibuat oleh institusi perbendaharaan, Satker dapat berperan sebagai obligatee- atau
pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan sesuatu (Moore, 1995; Moore Khagram,
2004). Namun demikian, adakalanya juga Ditjen Perbendaharaan berperan sebagai
obligatee, misalnya dalam hal pemilihan cara pencairan dana untuk belanja yang
diijinkan (UP atau LS) yang dipilih Satker dan harus diikuti oleh oleh Ditjen
Perbendaharaan. Jadi, secara keseluruhan baik Ditjen Perbendaharaan maupun Satker
adalah bersama-sama sebagai stakeholders dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara (perbendaharaan negara), yang saling bersimbiosis dan berinteraksi.
Dengan pola hubungan yang unik antara institusi perbendaharaan dengan Satker,
maka hal tersebut harus disikapi dan dikaji dengan hati-hati agar penyempurnaan proses
Subdit TPBE, DTP  25 
bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan institusi perbendaharaan dapat diterapkan
(operationally feasible) baik di Satker maupun di Ditjen Perbendaharaan sehingga value
yang diharapkan dapat tercapai (lihat Gambar 2.1). Dalam hal ini, pembahasan dalam
buku ini akan menggunakan framework bussiness process improvement sebagaimana
terlihat dalam Gambar 2.3. Gambar 2.3 menunjukkan saling keterkaitan antara visi, misi
dan objektif organisasi dengan proses bisnis, TI dan change management dalam
aktivitas penyempurnaan proses bisnis.
Gambar 2.3. Kerangka Penyempurnaan Proses Bisnis dan Koneksitasnya

Subdit TPBE, DTP  26 
Mengikuti Gambar 2.3, hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka
penyempurnaan proses bisnis adalah pendefinisian kembali atas visi dan misi masing-
masing stakeholder, baik itu Satker maupun Ditjen Perbendaharaan. Visi dan misi
tersebut akan menjadi pemandu bagi masing-masing institusi untuk menetapkan
strategic goals atau dalam hal ini objektif masing-masing. Atas dasar kebutuhan untuk
mewujudkan visi, misi dan objektif, maka dilakukan penyempurnaan proses bisnis
beserta pengorganisasiannya.
Dalam hal ini, proses bisnis adalah serangkaian aktivitas yang saling berhubungan
dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi (Davenport & Short, 1990).
Karakteristik utama dari sebuah proses bisnis adalah :
1. Sebuah proses tidak terikat oleh struktur formal organisasi karena melibatkan
banyak fungsi dan sub-unit dalam organisasi (cross functional boundaries);
2. Adanya serangkaian kegiatan tertentu yang dapat ditentukan awal dan akhir-nya
(definable);
3. Adanya stakeholder/beneficiaries yang menggunakan outcomes dari sebuah
proses/sub proses (Davenport & Short, 1990; Grover & Malhotra, 1996).
Dari pengertian proses bisnis ini, maka penyempurnaan proses bisnis
perbendaharaan negara harus lintas institusi, misalnya, berawal dari Satker dan berhenti
pada unit di Ditjen Perbendaharaan. Selanjutnya, teknologi informasi yang
memungkinkan proses bisnis tersebut berjalan maksimal juga harus dibangun (TI
enabler). Demikian pula, karena pada akhirnya kemampuan dan kemauan sumber daya
manusia adalah penentu berjalannya proses bisnis dan teknologi informasi yang telah
disempurnakan, maka penerapan change management menjadi sangat krusial dalam
proses penyempurnaan proses bisnis (bussiness process improvement).
Mekanisme yang tertuang dalam Gambar 2.3 harus dilaksanakan secara utuh,
sebagai persyaratan minimal operationalisasi penyempurnaan proses bisnis sehingga
hal tersebut mampu menciptakan value (lihat Gambar 2.1). Terkait dengan pembahasan
dalam bab ini, fokus hanya dilakukan pada penetapan visi, misi dan objektif baik di
Satker maupun di Ditjen Perbendaharaan. Sedangkan hal-hal lainnya dalam Gambar 2.3
akan dibahas dalam bab-bab berikutnya. Dalam hal ini, melihat variability dari tugas
pokok dan fungsi Satker dalam pelaksanaan program pembangunan dan penyediaan
pelayanan publik, diperlukan suatu visi, misi dan objektif Satker yang bersifat generic,
yang tidak berbeda untuk semua Satker bila dilihat dari aspek pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Atas dasar pemikiran tersebut, Gambar 2.4
Subdit TPBE, DTP  27 
mencoba mendefinisikan visi, misi Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan, dan
pemikiran atas visi/misi Satker serta common objectives dalam rangka pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Gambar 2.4 tersebut mengikutsertakan Ditjen
Anggaran dalam pembahasan. Hal ini adalah sejalan dengan pembahasan pada bab
sebelumnya dimana analisis dalam buku ini diharapkan dilakukan secara menyeluruh,
mulai dari perencanaan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban anggaran. Untuk
itu, visi, misi dan objektif dari Ditjen Anggaran dimasukkan pula dalam Gambar 2.4.
Selanjutnya, dengan memperhatikan Gambar 2.4, Ditjen Anggaran, Ditjen
Perbendaharaan maupun Satker sebenarnya mempunyai common objectives yang
bersifat generic yaitu: (i) mewujudkan pelaksanaan anggaran yang berbasis kinerja, (ii)
mewujudkan efektivitas dan efisiensi pengeluaran negara serta pengamanan keuangan
negara untuk menjaga kesinambungan fiskal berdasarkan prinsip transparansi dan
akuntabilitas, (iii) mewujudkan pengelolaan kas negara yang optimal, transparan dan
akuntabel, (iv) Mewujudkan ketersediaan informasi keuangan yang akurat, handal, dan
relevan. Kembali pada Gambar 2.3, agar common objectives tersebut menjadi
operasional dan dapat dicapai oleh masing-masing stakeholders sehingga menciptakan
value, maka perlu penyempurnaan proses bisnis dan koneksitasnya diantara para
stakeholders, dukungan IT yang memungkinkan (enabling) proses bisnis tersebut
berjalan secara optimal, serta sumber daya manusia yang kompeten dan berkemauan
untuk menyukseskan proses bisnis dan TI yang telah disempurnakan.

Subdit TPBE, DTP  28 
Gambar 2.4. Visi, misi dan Objective DJA, DJPB dan Satker

Ditjen Ditjen K/L/Satker


Anggaran Perbendaharaan

Visi : Visi : Visi :


Menjadi unit organisasi yang Menjadi Pengelola Mewujudkan tata kelola keuangan
profesional, kredibel, transparan Perbendaharaan Negara yang yang profesional, transparan dan
dan akuntabel dalam perumusan Profesional, Transparan dan akuntabel untuk mendukung
dan pengelolaan kebijakan di Akuntabel dalam Proses pencapaian sasaran program
pemerintah dan peningkatan kualitas
bidang penganggaran Mewujudkan Bangsa yang Mandiri pelayanan publik yang menjadi bidang
dan Sejahtera tugas Kementerian / Lembaga/Satker.

Misi : Misi : Misi :

1. Mewujudkan perencanaan 1. Mewujudkan Pelaksanaan 1. Mengelola keuangan dan


kebijakan APBN yang sehat, Anggaran yang Berbasis Barang Milik Negara
credible, dan sustainable; Kinerja
secara optimal, hati-hati,
2. Mewujudkan efektifitas dan 2. Mewujudkan Pengelolaan Kas
Negara yang Transparan dan transparan dan
efisiensi pengeluaran negara
Akuntabel bertanggungjawab.
serta pengamanan keuangan
negara untuk menjaga 3. Mewujudkan Tertib 2. Memberikan pelayanan
Administrasi Pengelolaan prima di bidang
kesinambungan fiskal
Barang Milik Kekayaan Negara pengelolaan keuangan dan
berdasarkan prinsip
4. Mengoptimalkan Surat Utang
transparansi dan Negara sebagai sumber
barang milik Negara.
akuntabilitas; pembiayaan APBN 3. Menyediakan informasi
3. Mewujudkan peningkatan 5. Mengelola Pinjaman dan Hibah keuangan dan barang
penerimaan negara bukan Luar Negeri sesuai kebutuhan milik negara dengan
pajak dengan APBN cepat, tepat, dan akurat.
mempertimbangkan 6. Menghasilkan Pelayanan di
perkembangan dunia usaha bidang Perbendaharaan dan
4. Menjadikan aparat bidang
dan aspek keadilan Informasi Keuangan yang keuangan yang
masyarakat; cepat, tepat dan akurat professional.
4. Meningkatkan kualitas unsur 7. Mewujudkan Pengelolaan
pendukung. Piutang Pemerintah dan Kredit
Program yang berkelanjutan
dan dapat
dipertanggungjawabkan

Common Objective
1. Mewujudkan pelaksanaan anggaran yang berbasis kinerja
2. Mewujudkan efektifitas dan efisiensi pengeluaran negara serta pengamanan keuangan
negara untuk menjaga kesinambungan fiskal berdasarkan prinsip transparansi dan
akuntabilitas
3. Mewujudkan pengelolaan kas negara yang optimal, transparan dan akuntabel
4. Mewujudkan ketersediaan informasi keuangan yang akurat, handal, dan relevan.

Subdit TPBE, DTP  29 
D. Legitimacy: Landasan hukum penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksitasnya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan

Keberadaan dan aktivitas suatu organisasi pemerintah harus berlandaskan dan


didukung oleh peraturan perundangan yang akan berperan sebagai source of legitimacy
dan memberikan authorising environment bagi organisasi dan aktivitasnya (Moore,
1995). Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Keuangan
Negara beserta peraturan lainnya cukup memberi dasar hukum bagi aktivitas
penyempurnaan proses bisnis perbendaharaan di Satker dan koneksitasnya dengan
proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan sebagai Kuasa BUN.
Sebagaimana telah disebutkan didepan, Undang-Undang Perbendaharaan Negara
menghendaki konsistensi dan ketegasan dalam pemisahan antara pemegang
kewenangan administratif (ordonatur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable).
Menteri/Ketua Lembaga dalam hal ini berperan sebagai Chief Operational Officer
(COO) untuk bidang tertentu pemerintahan sedangkan Menteri Keuangan merupakan
Chief Financial Officer (CFO) selaku Bendahara Umum Negara. Sebagai konsekuensi
dari pemisahan tersebut, pelaksanaan kewenangan administratif dan kewenangan
perbendaharaan pada dasarnya independent, tetapi tetap terdapat subset atau
interdependency antara keduanya yaitu dalam rangka pelaksanaan pengelolaan dan
pertanggung jawaban keuangan negara.
Selaku Pengguna Anggaran, Menteri/Ketua Lembaga berwenang diantaranya
untuk menyusun dokumen pelaksanaan anggaran (huruf a), menunjuk Kuasa Pengguna
Anggaran (huruf b), melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran
belanja (huruf e), menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah
pembayaran (huruf f), dan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan (huruf j).
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat 2 tersebut, terutama huruf e dan f, di atas sejalan dengan
Penjelasan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara perihal kewenangan
administratif yang meliputi “melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang
mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian
dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementrian negara/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran
atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran”.

Subdit TPBE, DTP  30 
Undang-Undang Perbendaharaan Negara Pasal 7 ayat 1 menyebutkan kedudukan
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 7 ayat 2, kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara di
antaranya meliputi menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran Negara
(huruf a), mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran (huruf b), melakukan
pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran atas beban rekening
kas umum negara (huruf f), menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan
(huruf o), menyajikan informasi keuangan negara (huruf p), dan menetapkan kebijakan
dan pedoman pengelolaan serta penghapusan Barang Milik Negara (huruf q). Dalam
pasal 4 ayat 2 huruf (a) disebutkan pula bahwa selaku BUN Menteri Keuangan
berwenang untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara.
Selaku BUN, Menteri Keuangan juga merupakan pengelola keuangan dalam arti
seutuhnya yang berfungsi sebagai kasir, manajer keuangan dan pengawas keuangan
yang berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran negara. Dalam hal ini,
fungsi pengawasan keuangan tersebut terbatas pada aspek rechmatigheid dan
wetmatigheid yang dilakukan hanya pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran
(Penjelasan Undang-Undang Perbendaharaan Negara).
Selanjutnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 huruf l Undang-Undang
Perbendaharaan, termasuk dalam ruang lingkup perbendaharaan adalah perumusan
standar, kebijakan, serta sistem dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN. Dalam hal ini, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 100/PMK.01/2008 Pasal 806 ditetapkan bahwa
Ditjen Perbendaharaan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan
dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku. Selanjutnya, PMK 100/PMK.01/2008 juga menetapkan bahwa Direktorat
Transformasi Perbendaharaan memiliki tugas dan fungsi untuk merumuskan kebijakan
strategi pengembangan; merancang dan mengembangkan; serta menyelaraskan proses
bisnis dan/dengan teknologi informasi perbendaharaan (Pasal 992 dan Pasal 993).
Selanjutnya, dalam PMK 100/PMK.01/2008 Pasal 999 dan Pasal 1000 juga disebutkan
bahwa tugas dan fungsi Subdirektorat Transformasi Proses Bisnis Eksternal diantaranya
meliputi:
1. perumusan kebijakan dan strategi penyempurnaan;
2. pengkajian dan penyempurnaan;
Subdit TPBE, DTP  31 
3. penyusunan rekomendasi dan penetapan landasan hukum;
4. perumusan kebijakan strategi tahapan penerapan koneksitas proses bisnis dengan
Satuan Kerja (Satker), termasuk pengkajian kesesuaian koneksitas-koneksitas
proses bisnis dengan aplikasi teknologi informasi.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan perundangan tersebut di atas, aktivitas
penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan proses bisnis di
Ditjen Perbendaharaan adalah sesuai dengan tugas dan fungsi Ditjen Perbendaharaan
(legitimate).

E. Penutup
Dari uraian di atas, berikut ini adalah beberapa hal pokok yang dapat disarikan:
1. Sebagaimana framework penulisan yang telah dijelaskan pada Bab I, Bab II ini
difokuskan pada pembahasan visi, misi dan objektif dari Satker dan Ditjen
Perbendaharaan sebagai landasan untuk penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan.
2. Disamping itu, Bab II ini juga menjelaskan bahwa aktivitas penyempurnaan tersebut
haruslah memberikan value, baik bagi Satker maupun Ditjen Perbendaharaan.
Dengan menggunakan strategic triangle framework, aktivitas penyempurnaan dan
juga usulan penyempurnaan nantinya haruslah legitimate dan operationally feasible
sehingga value dari aktivitas penyempurnaan tersebut dapat maksimal.
3. Dari pembahasan, bahwa meskipun masing-masing Satker dan Ditjen
Perbendaharaan mempunyai visi dan misi yang berbeda dalam pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, semuanya mempunyai suatu common
objectives, yang secara generik tidak berbeda dan akan dicapai oleh semua
stakeholder. Dengan demikian, aktivitas penyempurnaan proses bisnis ini akan
memberikan value bagi pencapaian common objectives tersebut, dan secara
keseluruhan bagi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
(perbendaharaan negara).
4. Demikian juga, guna menjamin agar usulan penyempurnaan proses bisnis tersebut
dapat diterapkan (operationally feasible), maka setidaknya aktivitas penyempurnaan
tersebut setidaknya harus meliputi tiga aspek yaitu proses bisnis dan
pengorganisasiannya, teknologi informasi dan change management.
5. Selanjutnya, UU No.1/2004 dan PMK 100/PMK.01/2008 juga telah menjelaskan
bahwa adalah fungsi Ditjen Perbendaharaan untuk menyempurnakan dan membuat
Subdit TPBE, DTP  32 
standarisasi proses bisnis terkait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara (perbendaharaan negara), sehingga aktivitas penyempurnaan
tersebut sangat legitimate.
Terkait dengan pembahasan-pembahasan dalam Bab II ini, maka bab selanjutnya
akan difokuskan pada aktivitas baseline assesment. Sebagaimana dijelaskan dalam
framework penulisan pada Bab I, maka baseline assesment ini ditujukan untuk melihat
existing proses bisnis dan pengorganisasiannya, teknologi informasi yang digunakan,
dan juga kompetensi dari sumber daya manusia, baik di Satker maupun di Ditjen
Perbendaharaan. Baseline assesment ini akan memberikan dasar untuk penetapan target
yang lebih riil dari aktivitas penyempurnaan ini, sejalan dengan visi, misi dan common
objectives yang didefinisikan dalam Bab II ini.

Subdit TPBE, DTP  33 
BAB III
Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker
dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN

Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab


ini difokuskan pada pembahasan tentang existing proses bisnis (i)
penyusunan, penelaahan, pengesahan dan revisi dokumen Pelaksanaan
Anggaran, (ii) pembuatan komitmen, (iii) pengajuan pembayaran, (iv)
pencairan dana, (v) manajemen kas, dan (vi) akuntansi dan
Pertanggungjawaban. Disamping itu, dibahas pula aspek dukungan
aplikasi-aplikasi yang terdapat di satker serta keterkaitan antar aplikasi
baik di dalam satker sendiri maupun dengan aplikasi di DJPB. Namun
demikian, sejalan dengan kerangka ITIL v.3 yang digunakan dalam
penulisan draft modul ini, belum dilakukan penelitian dan konfirmasi
langsung terhadap satker terpilih. Penelitian dan konfirmasi langsung
tersebut akan dilakukan awal tahun 2010 sejalan dengan berbagai
diskusi interaktif yang sudah direncanakan sejalan. Selanjutnya, bab ini
dilengkapi dengan dua appendiks yaitu (i) summary atas penelitian
World Bank terkait proses bisnis di satker Departemen PU, dan (ii)
summary atas proses bisnis satker BLU. Disampaikan bahwa proses
bisnis satker BLU belum menjadi fokus dalam draft modul ini dan akan
dikerjakan pada awal tahun 2010 bersama dengan aspek penerimaan
dari pengelolaan perbendaharaan di satker.

A. Definisi dan Konsepsi


Sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, proses bisnis merupakan
serangkaian aktivitas yang saling berhubungan dan dilaksanakan untuk mencapai
tujuan organisasi. Secara lebih spesifik, Hammer and Champy (1995),
mendefinisikan proses sebagai sekumpulan aktifitas yang mengolah input menjadi
output tertentu yang bernilai bagi stakeholder.
Dalam bab ini akan dibahas dengan lebih rinci proses bisnis pengelolaan
keuangan negara di Satker, salah satunya dilakukan dengan menyusun process
mapping. Process mapping merupakan alat dalam bentuk grafis untuk
menggambarkan urutan dan flow dari proses bisnis (Paper, Rodger and Pendankar,
2001). Process mapping berguna sebagai alat analisis dan komunikasi untuk dapat
lebih memahami dan menyempurnakan proses dengan kemungkinan menghilangkan
atau menyederhanakan bagian dari proses (Hunt, 1996).
Process mapping akan disusun menurut fase-fase dalam siklus anggaran
sebagaimana ditunjukan dalam relationship matrix dalam BabI. Process mapping
juga disusun dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik dari sebuah proses,

Subdit. TPBE, DTP  34 
sebagaimana disinggung dalam Bab II, yaitu cross functional boundaries, definable
begining and end point, dan identifiable outcomes and beneficiaries. Dengan cara
demikian, diharapkan process mapping dapat memenuhi fungsinya sebagai alat
komunikasi dan analisis, lebih dari sekedar dokumentasi.

B. Existing Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker dan


Koneksinya dengan Proses Bisnis di Ditjen Perbendaharaan
1. Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Revisi Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DIPA)
DIPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) merupakan dokumen yang
menjadi acuan bagi Satker dalam melaksanakan kegiatan dalam rangka
pelaksanaan APBN. Secara garis besar ada tiga tahap yang harus dilalui untuk
menjadikan suatu DIPA secara hukum sah sebagai dasar pembayaran/pencairan
dana atas beban APBN. Tiga tahap itu yaitu penyusunan konsep DIPA oleh
Pengguna Anggaran (PA) / Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), penelaahan
konsep DIPA di Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan pengesahan DIPA oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
a. Penyusunan Konsep DIPA 
Penyusunan konsep DIPA sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 dilakukan oleh PA/KPA dengan
mengacu pada: (I) Undang-undang APBN, (II) Peraturan Presiden (Perpres)
tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (RABPP) / Surat
Rincian Alokasi Anggaran (SRAA) untuk konsep DIPA yang ditelaah
didaerah, (III) RKA-KL yang telah disetujui DPR dan ditelaah oleh DJA
serta (IV) Bagan Akun Standar.
b. Penelaahan Konsep DIPA
Penelaahan atas konsep DIPA sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 dilakukan bersama-sama antara
petugas dari kementrian/lembaga yang bersangkutan dengan petugas dari
Ditjen Perbendaharaan cq. Direktorat Pelaksanaan Anggaran /Kanwil Ditjen
Perbendaharaan. Penelaahan konsep DIPA yang dilakukan Direktorat
Pelaksanaan Anggaran meliputi DIPA Satker Pusat dan DIPA Tugas
Pembantuan. Sedangkan penelaahan konsep DIPA yang dilakukan di Kanwil

Subdit. TPBE, DTP  35 
Ditjen Perbendaharaan meliputi DIPA Satker vertikal Kementrian/Lembaga
di daerah dan DIPA Dana Dekonsentrasi.
Penelaahan atas konsep DIPA dilakukan dengan aktivitas sebagai berikut :
1) Penilaian kesesuaian pencantuman dan penuangan anggaran (Konsep
DIPA halaman I A. Umum) dengan rincian pada Perpres mengenai
RABPP/SRAA, meliputi :
a) Kesesuaian pencantuman uraian organisasi dan satuan kerja.
b) Kesesuaian pencantuman uraian dan pagu anggaran pada fungsi,
subfungsi, program, kegiatan, sub kegiatan, dan kelompok
pengeluaran.
c) Kesesuaian pencantuman sasaran dan indikator keluaran.
2) Penilaian kesesuaian pencantuman rincian penggunaan anggaran
(Konsep DIPA halaman I B. Umum) dengan prinsip pembayaran dalam
mekanisme APBN, meliputi :
a) Kesesuaian pencantuman kode bayar ( kode KPPN).
b) Kesesuaian pencantuman sumber dana.
c) Kesesuaian pencantuman nomor registrasi pinjaman/hibah luar
negeri.
d) Kesesuaian pencantuman tata cara penarikan dana.
3) Penilaian kesesuaian pencantuman rincian penggunaan anggaran
(Konsep DIPA halaman II. Rincian Pengeluaran) dengan kaidah
akuntansi pemerintah, meliputi :
a) Kesesuaian penempatan jenis belanja.
b) Kesesuaian pencantuman akun pengeluaran.
4) Penilaian terhadap rencana penarikan dana tiap bulan (Konsep DIPA
halaman III. Rencana Penarikan dana dan Perkiraan Penerimaan),
meliputi pencantuman rencana penarikan dana tiap bulan sesuai pagu per
kegiatan dan per jenis belanja.
5) Penilaian terhadap perkiraan penerimaan tiap bulan (Konsep DIPA
halaman III. Rencana Penarikan dana dan Perkiraan Penerimaan),
meliputi pencantuman perkiraan penerimaan perpajakan dan PNBP tiap
bulan.
6) Penjelasan tentang rincian belanja kelompok akun yang memerlukan
perlakuan khusus dan/atau persyaratan tertentu pada saat proses
Subdit. TPBE, DTP  36 
pencairan dana (Konsep DIPA halaman IV) meliputi (a) Belanja terikat
yang tidak diperkenankan dikurangi dan direlokasi, (b) kegiatan dan
alokasi dana yang diblokir pada saat penelaahan DIPA, (3) hal-hal lain
yang perlu dituangkan dalam Catatan DIPA.
Atas konsep DIPA yang telah dilakukan penelaahan dan telah memenuhi
ketentuan dibuatkan Catatan Penelaahan yang berfungsi sebagai surat
pengantar untuk menyusun Surat Pengesahan DIPA. Catatan Penelaahan
memuat identitas DIPA (Bagian Anggaran, unit organisasi dan satuan kerja),
pagu anggaran per jenis belanja, catatan atas penelaahan DIPA, pihak-pihak
yang melakukan penelaahan, dan persetujuan penelaahan.
c. Pengesahan DIPA
Pengesahan DIPA sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 merupakan penetapan oleh Bendahara
Umum Negara atas konsep DIPA yang telah dilakukan penelaahan dan
memuat pernyataan bahwa DIPA berkenaan tersedia dananya dalam APBN
dan dapat menjadi dasar pembayaran/pencairan dana atas beban APBN.
Pengesahan DIPA dilakukan dengan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA
yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA
Satker Pusat dan DIPA Tugas Pembantuan, dan oleh Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan untuk DIPA Satker vertikal dan DIPA Dana Dekonsentrasi.
Surat Pengesahan DIPA memuat identitas DIPA (Bagian Anggaran, unit
organisasi dan satuan kerja), pagu anggaran DIPA, rincian sumber dana
DIPA, Kantor Bayar dan pernyataan dari BUN bahwa perhitungan biaya
dalam DIPA merupakan tanggung jawab PA/KPA.
Dalam hal kementerian/lembaga tidak menyampaikan konsep DIPA
sampai dengan tanggal yang telah ditetapkan, maka diterbitkan DIPA
sementara oleh Direktorat Pelaksana Anggaran / Kanwil Ditjen
Perbendaharaan dengan berdasar kepada Perpres mengenai RABPP / SRAA.
Dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai,
pengeluaran keperluan sehari-hari perkantoran, daya dan jasa, dan lauk
pauk/bahan makanan. Sedangkan dana untuk jenis pengeluaran lainnya
harus diblokir.
Berikut ini gambar 3.1 dan 3.2 menggambarkan flowchart proses bisnis
penelaahan dan pengesahan DIPA untuk mempermudah pemahaman dari uraian
Subdit. TPBE, DTP  37 
diatas yang dipisahkan antara proses di Direktorat Pelaksanaan Anggaran dan
Kanwil Ditjen Perbendaharaan.

Subdit. TPBE, DTP  38 
Dit. PA
Downstream Satker Upstream
DJPBN

Subdit. TPBE, DTP
Gambar 3.1

39 
Gambar 3.2

Subdit. TPBE, DTP  40 
d. Revisi DIPA
Revisi DIPA diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
06/PMK.02/2009. Revisi DIPA adalah perubahan dan/atau pergeseran
rincian anggaran dalam DIPA. Revisi DIPA dibuat oleh PA/KPA dan
diajukan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan untuk mendapat pengesahan.
Revisi DIPA dilaksanakan berdasarkan perubahan SAPSK atau tanpa
perubahan SAPSK. Sepanjang tidak mengakibatkan pengurangan terhadap
(I) alokasi kegiatan 0001 kecuali untuk memenuhi alokasi gaji dan tunjangan
pada Satker lain, (II) alokasi kegiatan 0002 kecuali untuk memenuhi alokasi
kegiatan 0002 pada Satker lain untuk akun yang sama, (III) alokasi kegiatan
0002 kecuali untuk memenuhi alokasi gaji dan tunjangan pada Satker yang
bersangkutan, (IV) alokasi dana untuk pembayaran berbagai tunggakan, (V)
rupiah murni pendamping PHLN, (VI) alokasi dana kegiatan yang bersifat
multi years, dan (VII) alokasi dana pada rincian kelompok
pengeluaran/subkegiatan/kegiatan yang telah dikontrakkan dan/atau
direalisasikan dananya sehingga menjadi minus.
Pengesahan revisi DIPA untuk DIPA Satker Pusat yang berlokasi di DKI
Jakarta, disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Sedangkan revisi
DIPA untuk DIPA Satker Pusat yang berlokasi di daerah (diluar DKI
Jakarta), DIPA Satker vertikal, DIPA Dekonsentrasi dan DIPA Tugas
Pembantuan baik untuk DIPA yang awalnya disahkan di pusat maupun
daerah, disahkan oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Berikut ini gambar 3.3 menggambarkan flowchart proses bisnis revisi DIPA
untuk mempermudah pemahaman dari uraian diatas.

Subdit. TPBE, DTP  41 
Gambar 3.3

Subdit. TPBE, DTP  42 
2. Pembuatan Komitmen
Perekaman komitmen (budget commitment recording) ke dalam suatu
sistem yang terintegrasi antara institusi treasury dengan Spending Unit (Satker)
merupakan ciri utama dari commitment management.
a. Definisi
Komitmen merupakan kewajiban yang akan menimbulkan pembayaran
di masa yang akan datang berdasarkan pemenuhan kondisi atau kriteria tertentu
(Radev & Khemani, 2007). Secara umum terdapat dua jenis komitmen.
Komitmen khusus (specific commitment) adalah komitmen yang menimbulkan
kewajiban pembayaran atau serangkaian pembayaran dalam jangka waktu
tertentu. Termasuk dalam komitmen khusus adalah penerbitan persetujuan
kontrak pengadaan barang dan jasa. Sedangkan komitmen yang berkelanjutan
(continuing commitment) merupakan komitmen yang pembayarannya bersifat
berkelanjutan, tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan tidak didasarkan
pada adanya kontrak tersendiri. Pembayaran untuk gaji, tunjangan dan
sejenisnya termasuk dalam continuing commitment (Radev & Khemani, 2007).
b. Tujuan dan Fungsi
Pelaksanaan manajemen atas komitmen memiliki dua tujuan utama yang
memiliki orientasi yang berbeda tetapi saling melengkapi. Pada dasarnya,
manajemen komitmen ditujukan untuk mengelola tindakan-tindakan awal yang
menimbulkan kewajiban negara dalam rangka disiplin anggaran (ketaatan
terhadap batas pengeluaran) dan menghindari timbulnya arrears 1. Namun
demikian, manajemen komitmen juga merupakan salah satu alat untuk
melakukan cash forecasting dalam rangka mewujudkan cash management yang
berorientasi ke depan (forward cash planning) yang berbeda dengan cash
forecasting berdasarkan data trend dari periode sebelumnya (historical data
trend). Dengan mencatatkan komitmen ke dalam sistem perbendaharaan, maka
institusi perbendaharaan dapat membuat perencanaan kas yang berorientasi ke
depan (forward cash plans) berdasarkan aliran kas yang akan menyertai sebuah
komitmen.

1
 Arrears dapat diartikan sebagai kewajiban pembayaran yang tertunda di mana Negara tidak dapat 
memenuhi kewajiban tersebut dalam jangka waktu tertentu (Radev & Khemani, 2007). 

Subdit. TPBE, DTP 43 
c. Kerangka Peraturan Perundangan
Dalam peraturan perundangan yang ada telah terdapat beberapa pasal
yang secara implisit mengatur tentang manajemen komitmen dan dapat
dijadikan landasan untuk pengembangan manajemen komitmen di masa yang
akan datang. Dalam pasal 3 ayat 3 UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara disebutkan bahwa tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban
APBN/APBD hanya dapat dilakukan jika tersedia cukup anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut. Selanjutnya dalam pasal 17 ayat 2 ditegaskan
bahwa ikatan/perjanjian dalam rangka pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh
pengguna anggaran atau kuasanya dengan pihak lain hanya dapat dilakukan
dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Patut diperhatikan bahwa seiring dengan semangat let the managers
manage dan peran menteri/pimpinan lembaga sebagai Chief Operational
Officer, kewenangan administratif dalam pengelolaan keuangan negara ada pada
kementerian negara/lembaga. Kewenangan administratif tersebut diantaranya
meliputi kewenangan untuk melakukan perikatan atau tindakan-tindakan
lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara
dan melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada
kementrian/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut
(Penjelasan UU Perbendaharaan).
d. Koneksitas dengan Satker
Pada saat ini belum tersedia mekanisme yang dapat mengintegrasikan
komitmen yang telah dibuat satker ke dalam sistem perbendaharaan negara,
khususnya yang berkaitan dengan manajemen kas di DJPBN. Demikian pula
untuk kontrak yang multi years, belum secara otomatis terekam rencana
tahapan-tahapan pembayarannya untuk masing masing tahun anggaran. Di
samping itu, Chart of Account yang ada belum dapat mengakomodasi
pencatatan untuk commitment stages dalam pelaksanaan anggaran.
Dalam hal manajemen komitmen, existing koneksitas proses bisnis di
Satker dengan proses bisnis perbendaharaan di Ditjen Perbendaharaan justru
terjadi pada saat pencairan dana, di mana informasi yang terkait dengan kontrak
pengadaan dan jasa disampaikan ke KPPN dalam bentuk resume kontrak
sebagai salah satu lampiran SPM (Perdirjen 66/PB/2005). Dengan model
koneksitas seperti ini, informasi perihal kontrak yang disampaikan ke Ditjen
Subdit. TPBE, DTP 44 
Perbendaharaan menjadi kurang relevan untuk keperluan forward cash planning
karena baru dapat diketahui pada saat pengeluaran dari kas negara dilakukan.
Beberapa inisiatif telah diupayakan menutup kekurangan ini. Diantaranya
melalui penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas Instansi/Satuan
Kerja Pemerintah Pusat/Daerah (SE-02/PB/2006) serta penyampaian Laporan
Realisasi Dan Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun
Anggaran 2008 melalui aplikasi Peran 2008 (SE-38/PB/2008). Namun kedua hal
tersebut berjalan kurang efektif, baik karena kurangnya pemahaman Satker
maupun karena sifatnya yang ad-hoc untuk memenuhi kebutuhan akan
informasi tertentu pada akhir tahun anggaran (Peran 2008). Pada saat ini tengah
dikembangkan model Peran 2009 yang lebih komprehensif yang memperhatikan
data aktual dari kegiatan yang sudah atau belum dikontrakkan dari sisa pagu
anggaran yang tersedia.

3. Pengajuan Pembayaran
a. Jenis Pembayaran
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor PER-66/PB/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
134/PMK.06/2005, jenis pembayaran terdiri dari:
1) Pembayaran Dengan Uang Persediaan.
Uang persediaan adalah Uang Muka Kerja yang diberikan kepada
bendahara pengeluaran, bersifat daur ulang (revolving) untuk membiayai
kegiatan operasional sehari-hari perkantoran yang tidak dapat dilakukan
dengan pembayaran langsung. Adapun jumlah uang persediaan yang dapat
dimintakan adalah sebagai berikut:
• 1/12 dari pagu maksimal Rp. 50 Juta untuk pagu sampai dengan Rp.900
Juta
• 1/18 dari pagu maksimal Rp. 100 Juta untuk pagu diatas Rp. 900 Juta
sampai dengan Rp. 2,4 Miliar
• 1/24 dari pagu maksimal Rp. 200 Juta untuk pagu diatas Rp. 2,4 Miliar
• 20 % dari pagu dana PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp. 500 Juta
Penggantian UP dapat dilakukan setelah UP digunakan sekurang-kurangnya
75% dari UP yang diterima. Sisa UP pada akhir tahun anggaran harus
disetor ke rekening Kas Negara paling lambat tanggal 31 Desember. Dalam
Subdit. TPBE, DTP 45 
hal Penggunaan UP belum mencapai 75% sedangkan satker memerlukan
pendanaan melebihi sisa dana yang tersedia dapat dimintakan Tambahan
Uang Persediaan (TUP).
Pembayaran dengan uang persediaan memiliki kriteria sebagai berikut:
¾ Untuk membiayai keperluan sehari-hari perkantoran.
¾ Pembayaran tidak boleh melebihi Rp 10 juta kepada satu rekanan.
¾ Tetap memperhatikan ketentuan perpajakan.
2) Pembayaran Langsung.
Pembayaran langsung merupakan jenis pembayaran yang utama. Dimana
pembayaran dilakukan langsung ke rekening yang berhak/rekanan/pihak
ketiga atau untuk keperluan tertentu melalui Bendahara Pengeluaran.
b. Proses bisnis Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM)
Proses penerbitan SPM diawali dari dibuatnya SPP oleh pejabat yg
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan (Pejabat Pembuat Komitmen-
PPK) selaku pemberi kerja untuk diteruskan ke pejabat penandatangan SPM.
Pejabat penandatangan SPM melakukan pengujian terhadap kelengkapan
dan ketepatan pembebanan dalam SPP.
b.1. Petugas penerimaan dan pengujian SPP
Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi
check list kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan
penerimaan SPP dan membuat/ menandatangani tanda terima SPP
berkenaan. Selanjutnya petugas penerima SPP menyampaikan SPP
dimaksud kepada pejabat penandatangan SPM. Adapun kelengkapan SPP
sebagai berikut:
1) Kelengkapan SPP-UP (Uang Persediaan) :
ƒ Surat Pernyataan dari KPA atau Pejabat yang ditunjuk,
menyatakan tidak untuk membiayai pengeluaran yang harus
dengan LS.
ƒ Daftar Nominatif pemilik tanah yg ditandatangani KPA untuk
Pengadaan tanah yang luas nya kurang dari 1 hektar.
ƒ Daftar Nominatif pemilik tanah dan besaran harga tanah yang
ditanda tangani KPA dan diketahui Oleh Panitia Pengadaan
Tanah (PPT) untuk Pengadaan Tanah yg luasnya lebih dari 1
hektar dilakukan dengan bantuan PPT setempat.
Subdit. TPBE, DTP 46 
ƒ Pengadaan Tanah yang pembayarannya Melalui UP/TUP harus
terlebih dahulu mendapat ijin dari Kantor Pusat Ditjen PBN /
Kanwil Ditjen PBN sedangkan besaran uangnya harus mendapat
dispensasi UP/TUP sesuai ketentuan yang berlaku.
ƒ UP/TUP untuk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP Lainnya.
2) Kelengkapan SPP-TUP (Tambahan Uang Persediaan) :
ƒ Rincian pengunaan dana dari Kuasa Pengguna Anggaran atau
Pejabat yang ditunjuk, bahwa dana untuk kebutuhan yang
mendesak.
ƒ Surat Dispensasi :
¾ Dari Kepala KPPN untuk TUP s/d Rp. 200 Juta
¾ Dari Kepala Kanwil Ditjen PBN untuk TUP diatas Rp. 200
Juta
ƒ Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau Pejabat
yang ditunjuk;
¾ Dana akan habis digunakan dalam 1 bulan sejak terbit SP2D
¾ Tidak untuk pengeluaran dengan LS
¾ Sisa setelah 1 bulan akan disetor ke rekening Kas Negara
ƒ Rekening Koran yang menunjukan saldo terakhir.
3) Kelengkapan SPP-GU (Penggantian Uang Persediaan);
Untuk yang dibiayai dari rupiah murni:
ƒ SPTB (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja)
ƒ Kuitansi
ƒ SSP yang telah dilegalisir oleh KPA atau pejabat yang ditunjuk.
Untuk yang dibiayai dari pinjaman atau hibah Luar Negeri (PHLN):
ƒ SPTB
ƒ Rekapitulasi Pengeluaran per kategori NPHLN
ƒ Approval Program dari ADB, bila dipersyaratkan
ƒ SSP yang telah dilegalisir oleh KPA atau Pejabat yang ditunjuk.
4) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran langsung) untuk pembayaran
Gaji Induk/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/ Gaji terusan/Uang Duka
Wafat/Tewas:
ƒ Daftar gaji
ƒ Surat Keputusan (SK)

Subdit. TPBE, DTP 47 
ƒ Surat Pernyataan
ƒ Daftar Keluarga (Kp4)
ƒ Copy surat nikah
ƒ Copy akte lahir
ƒ SKPP (Surat Keterangan Penghentian Pembayaran)
ƒ Daftar Potongan sewa rumah dinas
ƒ Keterangan Sekolah/kuliah
ƒ Surat kematian
ƒ SSP Pph 21 sesuai peruntukan.
5) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran langsung) untuk lembur:
ƒ Daftar lembur
ƒ surat perintah kerja lembur
ƒ SSP Pph 21
6) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran langsung) untuk Honor/Vakasi:
ƒ Daftar honor/vakasi
ƒ Surat Keputusan (SK)
ƒ SSP Pph 21
7) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran langsung) untuk pembayaran
Gaji Induk/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/ Gaji terusan/Uang Duka
Wafat/Tewas:
ƒ Daftar gaji
ƒ Surat Keputusan (SK)
ƒ Surat Pernyataan
ƒ Daftar Keluarga (Kp4)
ƒ Copy surat nikah
ƒ Copy akte lahir
ƒ SKPP (Surat Keterangan Penghentian Pembayaran)
ƒ Daftar Potongan sewa rumah dinas
ƒ Keterangan Sekolah/kuliah
ƒ Surat kematian
ƒ SSP Pph 21 sesuai peruntukan.
8) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran Langsung) untuk Pengadaan
barang dan jasa:
ƒ Kontrak/SPK yang mencantumkan nomor rekening rekanan;
Subdit. TPBE, DTP 48 
ƒ Surat Pernyataan Kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
ƒ BA Penyelesaian Pekerjaan, Serah Terima Pekerjaan, dan
Pembayaran;
ƒ Kuitansi yang disetujui oleh Kuasa PA atau pejabat yg ditunjuk;
ƒ Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani Wajib Pajak;
ƒ Jaminan Bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan oleh
bank atau lembaga keuangan non bank;
ƒ Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang
dananya sebagian atau seluruhnya bersumber dari pinjaman/
hibah luar negeri
ƒ Ringkasan Kontrak yang dibuat sesuai dengan format untuk
rupiah murni atau untuk PHLN.
ƒ Berita Acara sekurang-kurangnya dalam rangkap 6 disampaikan
kepada : Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM; Masing-
masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat kontrak;
Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan;
Satu tembusan kepada KPPN Pembayar.
9) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran langsung) untuk Pengadaan
Tanah:
ƒ Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang luasnya
lebih dari 1 hektar;
ƒ Foto copy kepemilikan Tanah;
ƒ Kuitansi;
ƒ SPPT PBB tahun transaksi;
ƒ Surat Persetujuan Harga;
ƒ Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam
sengketa dan tidak sedang dalam agunan;
ƒ Pelepasan /Penyerahan hak atas tanah/ akta jual beli di hadapan
PPAT;
ƒ SSP PPh Final atas Pelepasan Hak;
ƒ Surat Pelepasan Hak adat ( Bila diperlukan).
10) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran langsung) untuk langganan daya
dan jasa:
ƒ Bukti tagihan
Subdit. TPBE, DTP 49 
ƒ Nomor rekening pihak ke tiga (PLN, Telkom, PDAM)
11) Kelengkapan SPP-LS (Pembayaran langsung) untuk Perjalanan
dinas:
ƒ Surat Tugas
ƒ SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas)
ƒ Kuitansi
ƒ Daftar nominatif
12) Kelengkapan SPP untuk PNBP
ƒ UP dapat diberikan kepada satker pengguna sebesar 20 % dari
pagu dana PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), dengan melampirkan
Daftar Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA
(PNBP) tahun anggaran sebelumnya. Apabila UP tidak
mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil satu
bulan dengan memperhatikan maksimum pencairan (MP).
ƒ SSBP (Surat Setoran Bukan Pajak).
Dalam pengajuan SPM-TUP/ GUP/ LS PNBP ke KPPN, satker
pengguna harus melampirkan Daftar Perhitungan Jumlah MP.
b.2. Pejabat penandatangan SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai
berikut:
1) Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
2) Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk
memperoleh keyakinan bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu
anggaran.
3) Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan/atau kelayakan hasil kerja
yang dicapai dengan indikator keluaran.
4) Memeriksa kebenaran atas hak tagih
5) Memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan sesuai
dengan indikator keluaran yang tercantum dalam DIPA berkenaan
dan/atau spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan dalam kontrak.
6) Setelah dilakukan pengujian terhadap SPP-UP/SPP-
TUP/SPPGUP/SPP-LS, Pejabat penandatangan SPM menerbitkan
SPM-UP/SPM-TUP/SPM-GUP/SPM-LS dalam rangkap 3 (tiga)
Subdit. TPBE, DTP 50 
untuk disampaikan kepada KPPN (lembar pertama dan kedua) dan
sebagai pertinggal pada satker yang bersangkutan (lembar ketiga).
Berikut ini digambarkan proses bisnis penerbitan SPM UP, GUP, LS
belanja pegawai dan LS non belanja pegawai, sampai dengan pembayarannya
diterima di Satker pada gambar 3.4, 3.5, 3.6, 3.7 dan 3.8.

Subdit. TPBE, DTP 51 
Gambar 3.4

Subdit. TPBE, DTP 52 
Gambar 3.5

Subdit. TPBE, DTP 53 
Gambar 3.6

Subdit. TPBE, DTP 54 
Gambar 3.7

Subdit. TPBE, DTP 55 
Gambar 3.8

Subdit. TPBE, DTP 56 
4. Pencairan Dana
1) Dokumen sebagai Persyaratan dalam Penerbitan SP2D
Prosedur Umum Pembayaran Oleh KPPN berdasarkan Keppres 42 tahun 2002
mewajibkan KPPN hanya dapat melakukan pembayaran setelah menerima
dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. Dokumen Penyediaan Dana (DIPA/Dokumen Lain yang disamakan), yang
memuat alokasi dana yang dibebankan pada SPM yang disampaikan.
b. Tembusan SK Pengangkatan Pengelola Anggaran dari Menteri/Pimpinan
Lembaga / Pejabat yang ditunjuk dan spesimen tandatangan yaitu:
ƒ Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
ƒ Pejabat Pembuat Komitmen/Penanggung jawab kegiatan (PPK).
ƒ Pejabat Penanda tangan SPM/penguji SPP.
ƒ Bendahara Pengeluaran.
Jika ada pergantian pejabat perbendaharaan, Satker menyampaikan Berita
Acara serah terima jabatan, tembusan surat usulan pejabat perbendaharaan
kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan surat pemberitahuan dari KPA
Satker yang dilampiri spesimen tanda tangan pejabat baru.
c. Surat Perintah Membayar (SPM), beserta lampirannya sesuai ketentuan dan
jenis pembayaran.
2) Prosedur Penerbitan SP2D
Prosedur penerbitan SP2D dilakukan ketika SPM disampaikan kepada KPPN,
dengan langkah-langkah sebagai berikut (Perdirjen 66 tahun 2005 dan Kep-
297/PB/2007) :
a. Pengguna Anggaran/Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan
SPM beserta dokumen pendukung dilengkapi dengan Arsip Data Komputer
(ADK) berupa soft copy (disket) melalui loket Penerimaan SPM pada KPPN
atau melalui Kantor Pos, kecuali bagi satker yang masih menerbitkan SPM
secara manual tidak perlu ADK.
b. SPM Gaji Induk harus sudah diterima KPPN paling lambat tanggal 15
sebelum bulan pembayaran.
c. Petugas KPPN pada loket penerimaan SPM (front office) memeriksa
kelengkapan SPM, mengisi check list kelengkapan berkas SPM, mencatat
dalam Daftar Pengawasan Penyelesaian SPM, meneliti kelengkapan SPM
dan lampirannya.
Subdit. TPBE, DTP 56 
Kelengkapan SPM dimaksud meliputi:
ƒ Untuk keperluan UP :
Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang
ditunjuk, menyatakan bahwa Uang Persediaan tersebut tidak untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran yang menurut ketentuan harus
dengan LS.
ƒ Untuk keperluan pembayaran TUP :
¾ Rincian rencana penggunaan dana;
¾ Surat dispensasi Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan
untuk TUP diatas RP 200.000.000 (dua ratus juta rupiah);
¾ Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang
ditunjuk yang menyatakan bahwa dana Tambahan UP tersebut akan
digunakan untuk keperluan mendesak dan akan habis digunakan
dalam waktu satu bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan SP2D,
apabila terdapat sisa dana TUP harus disetorkan ke Rekening Kas
Negara, dan tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya
dibayarkan secara langsung.
ƒ untuk keperluan pembayaran GUP :
Untuk yang dibiayai dari rupiah murni:
¾ SPTB;
¾ Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
Untuk yang dibiayai dari PHLN:
¾ SPTB;
¾ Rekapitulasi pengeluaran per kategori NPHLN;
¾ Approval program dari ADB, bila dipersyaratkan;
¾ Faktur pajak dan SSP.
ƒ untuk keperluan pembayaran langsung (LS) belanja pegawai :
¾ Daftar Gaji/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/Lembur/Honor dan
Vakasi yang ditanda tangani oleh KPA atau pejabat yang ditunjuk
dan Bendahara Pengeluaran;
¾ Surat-surat Keputusan Kepegawaian dalam hal terjadi perubahan
pada daftar gaji;
¾ Surat Keputusan Pemberian honor/vakasi dan SPK lembur;

Subdit. TPBE, DTP 57 
¾ Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) untuk
persyaratan pembayaran uanga makan;
¾ Surat Setoran Pajak (SSP).
ƒ untuk keperluan pembayaran langsung (LS) non belanja pegawai :
¾ Resume Kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Perjalanan Dinas;
¾ SPTB;
¾ Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
Bukti asli lampiran SPP merupakan arsip yang disimpan oleh PA/KPA.
d. Pengujian SPM
Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang bersifat
substansif dan formal.
ƒ Pengujian substantif dilakukan untuk:
¾ menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
¾ menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam
DIPA yang ditunjuk dalam SPM tersebut;
¾ menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan
Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
¾ menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala
kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk mengenai tanggung
jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
¾ menguji faktur pajak beserta SSPnya;
ƒ Pengujian formal dilakukan untuk:
¾ mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan
spesimen tandatangan;
¾ memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan
huruf;
¾ memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh
terdapat cacat dalam penulisan.
e. Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan:
ƒ Penerbitan SP2D bilamana SPM yang diajukan memenuhi syarat yang
ditentukan;
ƒ Pengembalian SPM kepada penerbit SPM, apabila tidak memenuhi
syarat untuk diterbitkan SP2D.

Subdit. TPBE, DTP 59 
ƒ Pengesahan Surat Perintah Membayar Penggantian UP (SPM-GUP)
Nihil atas TUP dilaksanakan KPPN dengan membubuhkan Cap pada
SPM GU Nihil dan ditandatangani oleh Kepala Seksi Perbendaharaan.
ƒ Penerbitan SP2D wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu
sebagai berikut:
¾ SP2D Gaji Induk diterbitkan paling lambat tanggal 25 sebelum bulan
pembayaran.
¾ SP2D Gaji lainnya paling lambat 5 hari kerja setelah diterima SPM
secara lengkap.
¾ SP2D Non Gaji Induk diterbitkan paling lambat satu hari kerja
setelah diterima SPM secara lengkap.
¾ SP2D UP/TUP/GUP dan LS paling lambat satu jam setelah diterima
SPM secara lengkap.
f. Penerbitan SP2D oleh KPPN dilakukan dengan cara:
ƒ SP2D diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga). Ditandatangani oleh Kepala
Seksi Perbendaharaan untuk kemudian disalurkan ke Satker yang
bersangkutan SP2D lembar ke-2 dan SPM lembar ke-2, disalurkan ke
Seksi Verifikasi dan Akuntansi SP2D lembar ke-3 dan SPM lembar ke-1.
Sedangkan untuk SP2D lembar-1 disalurkan ke Seksi Bank/Giro Pos.
ƒ SP2D lembar-1 ditandatangani oleh Kepala Seksi Bank/Giro Pos atau
Seksi Bendum dan dibubuhi stempel timbul yang nantinya disampaikan
kepada Bank Operasional.
ƒ Daftar Penguji dibuat dalam rangkap 3 (tiga) sebagai pengantar SP2D
dengan ketentuan:
¾ Ditandatangani oleh Kepala Seksi Bank/Giro Pos atau Seksi Bendum
dan diketahui oleh Kepala KPPN serta dibubuhi stempel timbul
kepala KPPN.
¾ Lembar kesatu dan lembar kedua dilampiri asli SP2D dikirimkan
melalui petugas kurir KPPN ke BI/Bank Operasional /Sentral Giro.
¾ Daftar penguji lembar kedua setelah ditandatangani oleh BI/ Bank
Operasional/ Sentral Giro dikembalikan kepada KPPN melalui
petugas kurir yang sama.
¾ Daftar penguji lembar ketiga sebagai pertinggal di KPPN.

Subdit. TPBE, DTP 60 
Berikut ini digambarkan proses bisnis penerbitan SP2D UP/TUP/GUP/LS sampai
dengan pembayarannya diterima di Satker pada gambar 3.9.

Subdit. TPBE, DTP 61 
Gambar 3.9

Subdit. TPBE, DTP 62 
5. Manajemen Kas
a. Definisi
Manajemen kas di sektor pemerintahan merupakan suatu strategi dan
proses yang terkait dengan pengelolaan secara cost-effective saldo dan aliran
kas jangka pendek pemerintah (Williams, 2004). Sementara Surat Edaran
Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-02/PB/2006 Tentang
Penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas (Cash Forecasting)
Instansi/Satuan Kerja Pemerintah Pusat/Daerah mendefinisikan perencanaan
kas sebagai kegiatan memperkirakan penerimaan dan pengeluaran kas dalam
jangka waktu tertentu sehingga negara memiliki saldo kas cukup untuk
membiayai kewajiban negara dalam waktu tertentu dalam rangka
pelaksanaan APBN. Manajemen kas dengan demikian melibatkan baik unit
di dalam pemerintah itu sendiri (antara central treasury dengan spending
agencies, misalnya) dan antara pemerintah dengan sektor lain (misalnya
adalah sektor keuangan).
b. Tujuan
Pelaksanaan manajemen kas secara efektif pada sektor pemerintahan
memiliki beberapa tujuan (Williams, 2004), yaitu :
1) Minimalisasi jumlah idle cash balance pemerintah terutama yang
terdapat pada perbankan, berikut biaya yang terkait dengan idle cash
tersebut;
2) Mengurangi risiko, yaitu risiko operasional terkait pembayaran tagihan
pemerintah dan penerimaan negara secara tepat waktu;
3) Melalui berbagai instrumen pemerintah (seperti Treasury Bills dan
pinjaman pemerintah jangka pendek) memberikan beberapa opsi kepada
Pemerintah terkait pengelolaan kebutuhan pembiayaan pemerintah
sehingga dapat menghindari risiko pembiayaan berbiaya tinggi.
c. Kerangka Peraturan perundangan
Dalam peraturan perundangan terdapat beberapa pasal terkait
manajemen kas yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk pengembangan
manajemen kas di sektor pemerintahan. Penjelasan Undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa fungsi
perbendaharaan meliputi, terutama, perencanaan kas yang baik, pencegahan
agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber
Subdit. TPBE, DTP 63 
pembiayaan yang paling murah dan pemanfaatan dana yang menganggur
(idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan
Negara/Daerah, Pasal 32 ayat (1) menyebutkan bahwa Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum Negara
pusat bertanggung jawab untuk membuat perencanaan kas dan menetapkan
saldo kas minimal. Kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa, berdasarkan
perencanaan arus kas dan saldo kas minimal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum Negara
pusat menentukan strategi manajemen kas untuk mengatasi kekurangan kas
maupun untuk menggunakan kelebihan kas. Selanjutnya pada ayat (4)
disebutkan bahwa dalam rangka penyusunan perencanaan kas, Kementerian
Negara/Lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait dengan penerimaan dan
pengeluaran APBN wajib menyampaikan proyeksi penerimaan dan
pengeluaran secara periodik kepada Bendahara Umum Negara atau Kuasa
Bendahara Umum Negara.
d. Koneksitas Proses Bisnis dengan Satker
Mekanisme koneksitas manajemen kas antara Ditjen Perbendaharaan
sebagai kuasa BUN dengan Kementerian Negara/Lembaga/Satker yang ada
saat ini adalah melalui penyampaian proyeksi penerimaan dan pengeluaran
APBN oleh Kementerian Negara/Lembaga (PP No.39 Tahun 2007 Pasal 32
ayat 4). Hal ini diimplementasikan melalui Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 105/PMK.02/2008 Pasal 6 ayat (2) yang menyebutkan bahwa DIPA
memuat uraian fungsi/sub fungsi, program, sasaran program, rincian
kegiatan/sub kegiatan, jenis belanja, kelompok mata anggaran/akun dan
rencana penarikan dana serta perkiraan penerimaan Kementerian
Negara/Lembaga.
Lebih mendalam mengenai proyeksi Penerimaan dan
Pengeluaran/Belanja Kementerian Negara/Lembaga di atur melalui Surat
Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-02/PB/2006 Tentang
Penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas (Cash Forecasting)
Instansi/Satuan Kerja Pemerintah Pusat/Daerah dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor SE- 38/PB/2008 tentang Penyampaian

Subdit. TPBE, DTP 64 
Laporan Realisasi Dan Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga
Tahun Anggaran 2008.
Proses penyampaian laporan rencana penerimaan dan pengeluaran kas
instansi/satuan kerja pemerintah pusat/daerah (SE-02/PB/2006) adalah
sebagai berikut:
1) Laporan rencana penerimaan dan pengeluaran kas instansi/satuan kerja
pemerintah pusat/daerah agar disampaikan setiap bulan kepada KPPN;
2) Laporan rencana penerimaan dan pengeluaran kas merupakan rencana
penerimaan dan pengeluaran kas berjangka satu bulan ke depan dengan
perincian rencana penerimaan dan pengeluaran perminggu;
3) KPPN membuat rekapitulasi laporan rencana penerimaan dan
pengeluaran kas yang diterima dari instansi/satuan kerja pemerintah
pusat/daerah dalam wilayah kerjanya;
4) KPPN menyampaikan laporan rekapitulasi rencana penerimaan dan
pengeluaran kas kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan u.p.
Direktorat Pengelolaan Kas Negara selambat-lambatnya minggu ketiga
sebelum bulan berkenaan.
Sementara proses pelaporan realisasi dan perkiraan belanja Kementerian
Negara/Lembaga adalah sebagai berikut (SE- 38/PB/2008):
1) Satker menyusun laporan sebagai berikut
a) Kegiatan yang telah dikontrakkan dan belum lunas dibayar dalam
DIPA;
b) Kegiatan yang akan dilaksanakan secara kontraktual/non kontraktual;
c) Perkiraan Belanja Satuan Kerja.
2) Laporan Satker disampaikan ke KPPN paling lambat
3) Atas dasar laporan yang dikirimkan oleh Satker, KPPN menyusun
laporan sebagai berikut:
a) Realisasi dan Perkiraan Belanja
b) Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga
4) Laporan KPPN disampaikan kepada :
a) Direktur Jenderal Perbendaharaan u.p. Direktur Pengelolaan Kas
Negara

Subdit. TPBE, DTP 65 
b) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, untuk
selanjutnya menyusun rekapitulasi dan melakukan analisis, serta
melaporkannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan
Penyusunan dan penyampaian laporan tersebut di atas dilakukan dengan
menggunakan program aplikasi realisasi dan perkiraan belanja tahun
anggaran 2008 (Peran 2008).
Berikut adalah proses bisnis penyusunan laporan rencana penerimaan dan
pengeluaran kas instansi/satuan kerja pemerintah pusat/daerah (gambar
3.10), dan proses bisnis penyusunan laporan Realisasi dan Perkiraan Belanja
Kementerian Negara/Lembaga (gambar 3.11) untuk mempermudah
pemahaman dari uraian diatas.

Subdit. TPBE, DTP 66 
Gambar 3.10

Subdit. TPBE, DTP 67 
Gambar 3.11

Subdit. TPBE, DTP 68 
e. Hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan negara.
Pengelolaan penerimaan negara di Satker setidaknya meliputi
penerimaan pajak dan, terutama, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dalam sub bagian ini (sebagaimana diusulkan oleh banyak pihak) sekilas
akan dibahas keterkaitan pengelolaan PNBP di Satker dan aktifitas
perencanaan kas di Ditjen Perbendaharaan.
Rencana perkiraan PNBP merupakan bagian dari rencana penarikan dana
dan perkiraan penerimaan (halaman III DIPA). Permasalahannya adalah
tidak adanya sistem atau mekanisme untuk melakukan updating perkiraan
penerimaan PNBP sesuai dengan realisasi selama tahun anggaran berjalan.
Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah melalui Surat Edaran Nomor
SE-02/PB/2006 tentang Penyampaian Rencana Penerimaan Dan
Pengeluaran Kas (Cash Forecasting) Instansi/Satuan Kerja Pemerintah
Pusat/Daerah. Sesuai dengan lampiran I dan III SE tersebut data PNBP
merupakan salah satu elemen penting dalam rangka perencanaan kas.
Namun demikian dalam pelaksanaannya kurang efektif.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, sangat dimungkinkan untuk
merevitalisasi penatausahaan dan pelaporan PNBP oleh Ditjen
Perbendaharaan (usulan Kanwil DJPBN Jambi). Sebelumnya aktifitas yang
berkaitan dengan hal tersebut pernah dilakukan oleh Seksi Pendapatan di
KPKN.

6. Pertanggungjawaban
Dalam rangka penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN, disusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang terdiri dari
Neraca, Arus kas, Laporan Realisasi APBN (LRA) dan Catatan Atas Laporan
Keuangan (CALK). LKPP tersebut dihasilkan dari Sistem Akuntansi Pemerintah
Pusat (SAPP), yang terdiri dari Sistem Akuntansi-Bendahara Umum Negara
(SA-BUN) dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI).
Salah satu sub sistem dari SA-BUN adalah Sistem Akuntansi Pusat
(SiAP), yang terdiri dari Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SA-KUN) dan
Sistem Akuntansi Umum (SAU). Sedangkan, SAI terdiri dari beberapa sub-
sistem akuntansi yaitu Sistem Akuntansi Keuangan (SAK), Sistem Informasi

Subdit. TPBE, DTP 69 
Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN), dan Sistem
Akuntansi-Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (SA-BAPP).
Dalam rangka pelaksanaan sistem akuntansi tersebut,
Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Anggaran (PA) dan Ditjen
Perbendaharaan selaku BUN membentuk unit-unit akuntansi. Untuk kajian
proses bisnis pengelolaan keuangan negara di Satker dan koneksitasnya dengan
proses bisnis kuasa BUN, maka pembahasan akan difokuskan pada proses bisnis
dan koneksitas yang berkaitan dengan SAK di tingkat Unit Akuntansi Kuasa
Pengguna Anggaran (UAKPA) dan SiAP di tingkat Unit Akuntansi Kuasa
Bendahara Umum Negara (UAKBUN) Daerah-KPPN.
Proses Bisnis di Satker selaku UAKPA:
Setiap UAKPA wajib memroses dokumen sumber unuk menghasilkan
laporan berupa LRA, Neraca dan Catatan ata Laporan Keuangan Satuan Kerja.
Sebagaimana diatur dalam Lampiran PMK RI No. 171/PMK.05/2007 tentang
Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah dokumen sumber dalam pelaksanaan
SAI untuk menyusun laporan keuangan di tingkat Satker yang antara lain
berupa:
a. Dokumen penerimaan yang terdiri dari :
ƒ Estimasi Pendapatan yang dialokasikan: (Pajak, PNBP dan Hibah pada
DIPA dan dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA);
ƒ Realisasi Pendapatan: Bukti Penerimaan Negara (BPN) disertai dokumen
pendukung SSBP, SSPB, SSP, SSBC, dan dokumen lain yang
dipersamakan.
b. Dokumen pengeluaran yang terdiri dari :
ƒ Alokasi Anggaran DIPA, SKO, dan dokumen lain yang dipersamakan;
ƒ Realisasi Pengeluaran : SPM beserta SP2D, dan dokumen lain yang
dipersamakan.
Prosedur dan tahapan sejak perekaman dokumen sumber sampai dengan
pelaporan dalam rangka penyusunan laporan keuangan Kementrian
Negara/Lembaga di tingkat UAKPA adalah sebagai berikut:
ƒ Menerima dan memverifikasi dokumen sumber transaksi keuangan dan
barang milik negara;
ƒ Merekam dokumen sumber;
ƒ Mencetak dan memverifikasi RTH dengan dokumen sumber.
Subdit. TPBE, DTP 70 
ƒ Mencetak dan memverifikasi buku besar.
ƒ Mencetak dan mengirim laporan keuangan beserta ADK ke KPPN setiap
bulan.
ƒ Melakukan rekonsiliasi data dengan KPPN dan menandatangani Berita
Acara Rekonsiliasi dan melakukan perbaikan data jika terdapat
kesalahan pada data UAKPA.
ƒ Mencetak Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, dan menyampaikannya
UAPPA-W/UAPPA-E1 beserta ADK setiap bulan.
ƒ Menyusun Catatan atas Laporan Keuangan dan menyampaikan ke
UAPPA-W/UAPPA-E1 setiap semester.
ƒ Melakukan back up data
Berikut ini proses bisnis penyusunan Laporan Keuangan tingkat UAKPA
(gambar 3.12) untuk mempermudah pemahaman dari uraian diatas.

Subdit. TPBE, DTP 71 
Gambar 3.12

Subdit. TPBE, DTP 72 
Proses bisnis di KPPN selaku UAKBUN Daerah-KPPN:
Selaku UAKBUN-Daerah, KPPN memroses data transaksi penerimaan
dan pengeluaran yang berasal dari Rekening KUN untuk menghasilkan Laporan
Keuangan KPPN. Laporan Keuangan dimasud terdiri dari:
ƒ Laporan Arus Kas dan Neraca KUN yang dihasilkan dari Sistem
Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN)
ƒ Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Neraca SAU, yang dihasilkan
dari Sistem Akuntansi Umum (SAU). LRA dan Neraca SAU dan data
transaksinya merupakan bahan rekonsiliasi dengan Satker di wilayah
kerja KPPN bersangkutan.
Prosedur dan tahapan sejak penerimaan dokumen sumber sampai dengan
penyampaian LKPP kepada unit akuntansi yang lebih tinggi, adalah sebagai
berikut:
1. Menerima dan menatausahakan dokumen sumber yang berupa:
a. DIPA, dan dokumen lain yang dipersamakan termasuk revisinya;
b. SPM, SP2D, SP3, SSPB, Nota Debet, Kiriman Uang (KU)-Keluar,
Wesel Pemerintah, Daftar Penguji dan bukti pendukung lainnya;
c. Bukti Penerimaan Negara (BPN) antara lain: formulir SSP, SSBP,
SSBC, Nota Kredit, KU-Masuk dan dokumen pendukung lainnya.
d. Memo Penyesuaian.
2. Melakukan proses perekaman dokumen sumber; proses perekaman dokumen
sumber dilakukan di Seksi Perbendaharaan, Seksi Persepsi, Seksi Bank/Giro
Pos, dan Seksi Verifikasi dan Akuntansi. ADK SPM yang diterima oleh
Sub-bagian Umum dari Satker yang selanjutnya digunakan oleh Seksi
Perbendaharaan dalam proses pengujian SPM. Seksi Verifikasi dan
Akuntansi merekam dokumen sumber berupa Estimasi pendapatan yang
dialokasikan (DIPA). Seksi Verifikasi dan Akuntansi menerima data digital
dari Seksi Bank dan Giro berupa file yang kemudian di-up load dengan
menggunakan aplikasi SIK-AK. Kemudian Seksi Verifikasi dan Akuntansi
melakukan verifikasi transaksi keuangan dan akuntansi. Jika dalam proses
verifikasi tersebut ditemukan kesalahan, maka Seksi Verifikasi dan
Akuntansi mengirimkan kembali kepada Seksi Bank dan Giro serta Seksi

Subdit. TPBE, DTP 73 
Perbendaharaan.Apabila dalam aktivitas tersebut di atas tidak ditemukan
kesalahan, maka dilanjutkan dengan proses posting.
3. Mencetak laporan keuangan SAKUN dan SAU tingkat KPPN
Setelah melakukan proses posting, Seksi Verifikasi dan Akuntansi mencetak
Laporan Keuangan Tingkat KPPN yang dihasilkan dari setelah melakukan
proses posting data. Laporan yang dihasilkan SAKUN dan SAU untuk
tingkat KPPN.
4. Melakukan rekonsiliasi laporan keuangan SAU dengan satuan kerja
(UAKPA)
a. Menerima ADK dari satuan kerja (UAKPA) setiap bulan;
b. Melakukan up load ADK ke dalam Aplikasi Seksi Verifikasi dan
Akuntansi;
c. Melakukan rekonsiliasi data transaksi Sistem Akuntansi Umum (SAU)
dengan data transaksi Sistem Akuntansi Instansi (SAI).
d. Membuat berita acara rekonsiliasi (BAR) yang ditandatangani oleh
Kepala KPPN dan Kuasa Pengguna Anggaran.
e. Mengirim Salinan BAR yang telah ditanda tangani Kepala KPPN dan
KuasaPengguna Anggaran ke Kanwil DJPBN.
5. Pengiriman data dan Laporan Keuangan; KPPN mengirimkan data SAU dan
SAKUN berupa ADK ke Kanwil DJPBN sesuai dengan periode yang
ditentukan.
Berikut ini proses bisnis penyusunan Laporan Keuangan pada UAKBUN-
Daerah (KPPN) (Gambar 3.13) untuk mempermudah pemahaman dari uraian
diatas.

Subdit. TPBE, DTP 74 
Gambar 3.13

Subdit. TPBE, DTP 75 
Proses bisnis pertanggungjawaban bendahara instansi di Satker (usulan
Direktorat Pengelolaan Kas Negara)
Terdapat usulan agar mekanisme pertanggungjawaban bendahara instansi
melalui Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ Bendahara) tetap digunakan
sebagai salah satu laporan manajerial yang melengkapi laporan akuntabilitas (SAI).
Perlu adanya kesamaan persepsi apakah peraturan terkait penyusunan LPJ
Bendahara masih efektif dan masih diperlukan. Setidaknya telah diusulkan agar
terhadap LPJ Bendahara dilakukan mengikuti mekanisme rekonsiliasi sebagaimana
yang dilakukan oleh unit-unit akuntansi dalam penyusunan Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP).
Berikut ini adalah usulan bisnis proses LPJ Bendahara instansi (Gambar 3.14).

Subdit. TPBE, DTP 76 
Gambar 3.14

Subdit. TPBE, DTP 77 
Keterangan gambar:
1. Bendahara Instansi melakukan rekonsiliasi internal dengan unit SAI/UAKPA
pada Satker yang bersangkutan untuk menentukan angka pasti yang akan
dicantumkan pada LPJ Bendahara.
2. Setelah rekonsiliasi selesai, Bendahara Instansi menyampaikan hasil LPJ
Bendahara tersebut kepada KPPN (Bendahara Penerimaan di Seksi Bendahara
Umum dan Bendahara Pengeluaran di Seksi Perbendaharaan) untuk dilakukan
verifikasi.
3. Hasil dari verifikasi LPJ tersebut oleh Satker dikirimkan ke Instansi Vertikal di
lingkungan Kementrian Lembaga (K/L) tersebut.
4. Instansi Vertikal mengirimkan data hasil dari verifikasi LPJ ke K/L Pusat untuk
kemudian dilakukan rekapitulasi dan dijadikan bahan rekonsiliasi tingkat
nasional dengan departemen Keuangan selaku BUN, dalam hal ini Direktorat
Pengelolaan Kas Negara (Dit PKN), DJPBN.
5. Hasil verifikasi tingkat Satker oleh KPPN dikirimkan ke Kanwil DJPBN.
Kanwil DJPBN membuat rekapitulasi hasil LPJ Bendahara per KPPN yang ada
di wilayah kerjanya.
6. Rekapitulasi per KPPN yang dibuat oleh Kanwil DJPBN dikirimkan ke Dit PKN
DJPBN sebagai bahan untuk rekonsiliasi tingkat nasional dengan K/L.
7. Rekonsiliasi tingkat nasional antara K/L Pusat dan Dit PKN DJPBN. Hasil dari
rekonsiliasi merupakan sumbangan data dalam penyusunan LKPP, berupa data
jumlah rekening Bendahara K/L, saldo kas pada Bendahara Penerimaan dan
Saldo kas pada Bendahara Pengeluaran.

C. Aplikasi-aplikasi yang terdapat di Satuan kerja dan keterkaitan antar aplikasi


1. Aplikasi RKAKL
Aplikasi RKAKL adalah Aplikasi Rencana Kerja Anggaran Kementerian
Lembaga yang dimiliki oleh setiap Satuan Kerja (Satker) yang terdapat pada
Kementerian/Lembaga. Aplikasi RKAKL digunakan oleh Satuan Kerja (Satker)
untuk membuat Rencana Kerja yang akan dilaksanakan pada tahun yang
bersangkutan dan juga Rencana Anggaran yang akan digunakan untuk Tahun
Anggaran tersebut. Yang mana Aplikasi RKAKL ini akan digunakan sebagai
bahan untuk menerbitkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Cara
menggunakan Aplikasi RKAKL ini dengan memasukkan password rkakl.
Subdit. TPBE, DTP 78 
Setelah password diinput maka user sudah dapat menggunakan Aplikasi
RKAKL dengan masuk kedalam Menu-Menu yang tersedia.
Adapun aplikasi RKAKL ini mempunyai 6 Menu yaitu :
• RKA-KL,
• KPJM,
• Laporan,
• Referensi,
• Utility,
• Keluar.
Dan dari masing-masing Menu tersebut mempunyai beberapa Sub Menu yaitu :
• RKA-KL yang terdiri dari 6 Sub Menu : Rincian Belanja;
Pendapatan/PNBP; Cetak Rincian; Cetak Uraian; Cetak Ringkasan; Jadwal
Penarikan/Penerimaan.
• KPJM yang terdiri dari 1 Sub Menu : Laporan KPJM/MTEF.
• Laporan yang terdiri dari 10 Sub Menu : POK; Laporan per-unit; Laporan
per-program; Laporan per-Prov/Unit; Laporan per-Prov/Program; Laporan
mengikat/PNBP; Laporan kegiatan prioritas; Laporan MAK; Laporan Sub
Kegiatan; Laporan Blokir.
• Referensi yang terdiri dari 19 Sub Menu : Standar Biaya Umum; Standar
Biaya Khusus; Keterangan MAK; Kegiatan Prioritas;
Kementrian/Lembaga/Unit; Propinsi/Kab/Kota; Fungsi/Sub Fungsi/
Program; Kegiatan; Sub Kegiatan; Jenis Belanja s/d MAK-P; Sasaran
Program; Kegiatan Prioritas; Registrasi; Kurs; KPPN; Satuan Kerja;
Penandatangan; Tahun Anggaran; Password.
• Utility yang terdiri dari 11 Sub Menu : Backup Data RKAKL; Backup Data
DIPA; Restore Data RKAKL; Gabung Data; Hapus Data; Split Data; Ubah
Lokasi Kegiatan; Ubah KPPN; Ubah Program Kepemimpinan; Konversi
Kode MAK/Akun; Perbaikan Data.
• Keluar yang terdiri dari 2 Sub Menu : Keluar; Info.

Subdit. TPBE, DTP 79 
2. Aplikasi Peran
Aplikasi Peran adalah aplikasi perencanaan anggaran yang digunakan
untuk mengetahui perencanaan anggaran pada masing-masing Satuan Kerja
(Satker) yang ada pada Kementrian / Lembaga. Aplikasi ini juga dipergunakan
untuk mempermudah monitoring anggaran yang terdapat pada masing-masing
Satuan Kerja (Satker).
Adapun aplikasi Peran ini mempunyai beberapa Menu yaitu
• Input Data;
• Laporan;
• Utility dan
• Keluar Aplikasi.
Dan dari masing-masing menu tersebut terdiri dari beberapa Sub Menu yaitu :
• Input Data terdiri dari 4 Sub Menu : Setting Aplikasi; Referensi Pejabat;
Data Sisa Kontrak; Data Rencana Pencairan.
• Laporan terdiri dari 1 Sub Menu : Cetak Lampiran.
• Utility terdiri dari 3 Sub Menu : Back-up; Gabung; Transfer Data ke KPPN.
• Keluar Aplikasi terdiri dari 1 Sub Menu : Keluar.

3. Aplikasi Gaji Pegawai Pusat (GPP)


Aplikasi GPP 2008 Satker ini adalah aplikasi yang diberikan ke seluruh
Satuan Kerja pengelola dana APBN untuk keperluan pembayaran PNS Pusat.
Dengan demikian setiap Satuan Kerja yang mengelola pembayaran belanja
pegawai PNS Pusat wajib menggunakan aplikasi ini.

Subdit. TPBE, DTP 80 
Melalui Aplikasi tersebut Petugas Administrasi Pengelolaan Belanja
Pegawai (PAPBP) dapat mencatat, menghitung berbagai macam belanja
pegawai seperti Gaji Induk (Bulanan), Gaji Susulan, Persekot Gaji, Gaji
Terusan, Kekurangan Gaji, Uang Duka Wafat, Uang Duka Tewas, dan Gaji ke-
13, uang makan PNS, uang lembur , SKPP dan Surat Permintaan Uang Duka.
Aplikasi ini juga digunakan untuk mencetak berbagai daftar permintaan
pembayaran belanja pegawai, KP4, SSP, SPT Pajak dll. termasuk kartu
pengawasan pembayaran gaji sehingga satuan kerja tidak perlu melakukan
pengkartuan, secara manual.
Aplikasi ini didesain sesederhana mungkin (user friendly), namun
demikian tetap menghendaki pengisian selengkap mungkin elemen data masing-
masing pegawai serta memperhatikan referensi maupun setting yang ada.
Dengan demikian output aplikasi ini akan benar-benar valid sesuai dengan yang
diharapkan.
Tujuan umum yang ingin dicapai dengan komputerisasi penggajian adalah
meningkatkan kecepatan dan ketepatan dalam penyelesaian pembayaran Belanja
Pegawai khususnya gaji PNS Pusat. Sedangkan tujuan khusus yang ingin
dicapai adalah untuk memberikan kemudahan dalam mengelola data gaji para
pegawai di lingkungan satuan kerja bersangkutan. Dan memberikan kemudahan
dan kecepatan pelayanan bagi KPPN dalam menguji daftar gaji dan penerbitan
SP2D Gaji. Menciptakan adanya standarisasi sistem. Pemanfaatan data untuk
keperluan informasi kepegawaian PNS Pusat beserta data gajinya.
Adapun Aplikasi GPP mempunyai beberapa Menu yaitu
• Setting,
• Pegawai,
• Gaji,
• Laporan,
• Tambahan,
• Monitoring,
• Referensi,
• Utility,
• Kirim,
• Keluar.

Subdit. TPBE, DTP 81 
Dan dari masing-masing Menu tersebut terdiri dari beberapa Sub Menu :
• Setting terdiri dari 6 Sub Menu: Konfigurasi; Setting Referensi Anak
Satker; Setting Anak Satker; Setting Penomoran; Setting Pejabat; Setting
Password.
• Pegawai terdiri dari 9 Sub Menu : Data Pegawai; No Urut Pegawai; Daftar
Pegawai Non Aktif; Status Kawin Awal Tahun; Terima Data Rekon dari
KPPN; Kirim Data Pegawai Pindah; Terima Data Pegawai Pindahan;
Dokter Bidan PTT; Pencarian Pegawai.

• Gaji terdiri dari 8 Sub Menu : Proses Perhitungan Gaji; R/U/H Gaji;
Kekurangan Gaji; R/U/H Kekurangan Gaji; Surat Permintaan Persekot
Gaji; Proses Gaji Dokter / Bidan PTT; Kekurangan Gaji Manual; RUH
Kekurangan Gaji Manual.
• Laporan terdiri dari 4 Sub Menu: Cetak Gaji; Kartu Pegawai; Daftar
Pengawasan Gaji; Cetak Gaji Dokter / Bidan PTT.
• Tambahan terdiri dari 4 Sub Menu : Uang Makan; Surat Permintaan Uang
Duka; SKPP; Uang Lembur.
• Monitoring terdiri dari 6 Sub Menu : Monitoring Gaji Belum Load;
Monitoring Tunggakan; Monitoring Utang Lebih; Monitoring Potongan
Lain; Monitoring Pegawai Pensiun; Monitoring Anak Dewasa.
• Referensi terdiri dari 20 Sub Menu: Tarif; Tunjangan PNS; Daftar
Potongan; Taperum; Daftar Gaji; Daftar Gaji Hakim; Tunjangan Umum;
Tunjangan Khusus Papua; Tunjangan Khusus Papua Hakim; Tunjangan
Wilayah terpencil; Satker; Departemen; KPPN; Lokasi; Golongan; Status
Pegawai; Agama; Jenis Gaji; Status Keluarga; Status Kawin.
• Utility terdiri dari 6 Sub Menu : Load Master; Unload Master; Mengindek;
Backup; Restore; Hapus Data.
• Kirim terdiri dari 3 Sub Menu: Kirim Gaji ke KPPN; Penyamaan Data;
Kirim Pegawai Pindah ke KPPN.
• Keluar terdiri dari 2 Sub Menu : Tentang Aplikasi; Keluar.
Data masukan yang diperlukan dalam Aplikasi Gaji PNS Pusat adalah sebagai
berikut :

Subdit. TPBE, DTP 82 
a. Data Pegawai Satuan Kerja dan setting tunjangan-tunjangan
struktural/fungsional yang ada dalam Satuan Kerja.
b. Data setting/referensi yang perlu diisi sebelum menjalankan menu yang lain
dan akan digunakan sebagai data acuan.
Sedangkan hasil keluaran yang utama dari Aplikasi GPP adalah Cetak Daftar
Gaji; Cetak Rekapitulasi Gaji; Cetak Surat Setoran Pajak; Kartu Pegawai;
Kartu Perubahan Pegawai; KP4 (Surat Keterangan untuk Mendapatkan
Tunjangan Keluarga); Rekap SPT Tahunan; Cetak SPT Tahunan; Surat
Permintaan Persekot; Cetak Kartu Hutang Pegawai; Uang Makan; Uang
Lembur; SKPP; Slip Gaji; Surat Permintaan Persekot Gaji; Laporan-laporan
hasil monitoring.

4. Aplikasi SPM
Aplikasi SPM adalah sebuah aplikasi yang digunakan oleh Satker-satker
untuk membuat Surat Perintah Membayar yang akan dibawa ke KPPN untuk
dilakukan proses pencairan dana. Aplikasi SPM ini juga terdapat 2 sifat bentuk
Aplikasi yaitu Aplikasi SPM bersifat Stand Alone dan Aplikasi SPM yang
bersifat Network. Dimana Aplikasi SPM Stand Alone yang digunakan dengan 1
buah Personal Komputer atau Laptop yang hanya digunakan oleh 1 orang saja
tanpa bisa terkoneksi dengan Aplikasi SPM di Personal Komputer lainnya.
Sedangkan untuk Aplikasi SPM Network adalah Aplikasi yang diinstall ke
dalam sebuah server pada 1 satker yang mana satker tersebut mempunyai
beberapa client yang dapat menggunakan Aplikasi SPM tersebut secara
bersamaan. Yang mana Aplikasi SPM ini akan berhubungan dengan Aplikasi
SP2D pada KPPN. SPM dibuat atas dasar dokumen gaji, pembayaran pekerjaan
pada pihak ketiga, uang persediaan atau semua dokumen lain berhubungan
dengan pencairan dana pada satker yang terdapat dalam DIPA satker tersebut.
Yang mana aplikasi SPM ini akan berhubungan dengan Aplikasi SP2D yang ada
pada seluruh KPPN. Dan data dari SPM ini juga akan berhubungan dengan
beberapa aplikasi lainnya seperti Aplikasi SAKPA pada Satker.

Subdit. TPBE, DTP 83 
Model pengoperasian Aplikasi SPM Network, sebagai berikut :
a. Program Startup
Sistem multi user ini memungkinkan client untuk mengakses data yang
ada pada server secara bersamaan dengan tingkat kewenangan yang
diberikan oleh supervisor. Agar Aplikasi SPM Network ini bisa dijalankan
oleh client, harus dijalankan terlebih dahulu program startup_spm08.exe.
Program startup_spm08.exe hanya bisa dijalankan dengan user ID: startup
dan password: startup. Setelah startup ini dijalankan maka Database SPM
sudah bisa diakses oleh semua client yang ada. Semua satker yang sedang
menggunakan Aplikasi SPM akan tampak pada "Daftar User yang sedang
Online." Jika User keluar dari Aplikasi SPM secara normal, maka User
yang bersangkutan otomatis akan hilang dari daftar tersebut. Dalam
Aplikasi SPM Network, satu User ID hanya dapat dipakai oleh satu
komputer client. Oleh karena itu jika terjadi hal-hal yang tidak normal,
seperti komputer 'hang', maka Supervisor bisa melakukan 'Disconnect User'
agar User ID yang bersangkutan bisa digunakan lagi.Tombol 'Shutdown'
digunakan untuk menonaktifkan Database yang berarti Client tidak bisa
mengakses Database (lawan dari startup).
b. Program Aplikasi SPM
Setelah startup Database dijalankan, maka client dapat menjalankan
program Aplikasi SPM di komputer masing-masing. Default yang
digunakan untuk menjalankan Aplikasi SPM Network pertama kali adalah
User ID :super dan Password: super. Jika berhasil maka akan muncul
tampilan Menu Utama dan langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah
melakukan setting referensi satker pengguna Aplikasi SPM.
Adapun aplikasi SPM ini terdapat 8 Menu yaitu :
• Pagu,
• SPM,
• Monitoring,
• Referensi I,
• Referensi II,
• Utiliti,
• Peraturan dan

Subdit. TPBE, DTP 84 
• Keluar.
Dan masih masing-masing menu tersebut mempunyai beberapa sub Menu
yaitu :
• Menu Pagu yang terdiri terdiri dari 6 Sub Menu : R/U/H Pagu; Transfer
Pagu; R/U/H SKPA; Cetak SKPA; Transfer SKPA; Terima SKPA.
• Menu SPM yang terdiri dari 10 Sub Menu : R/U/H SPM; R/U/H SPM
Pengembalian Penerimaan; R/U/H SPM Pembagian Hasil Penerimaan;
R/U/H SPM Imbalan Bunga; R/U/H SPM REKSUS (KPPN Khusus);
R/U/H SPM BLU; Cetak SPM; Cetak SPM KPPN Khusus; Catat Nomor
SP2D; Load Master.
• Menu Monitoring terdiri dari 3 Sub Menu : Monitoring Penyekesaian
SPM; Monitoring Load Master; Monitoring Kontrak.
• Menu Referensi I terdiri dari 19 Sub Menu : Satker; KPPN; Nomor
SPM; User; Bank/Pos; Bendaharawan; Pejabat; Jenis Dokumen; Jenis
SPM; Kewenangan Pelaksanaan; Cara Bayar; Jenis Pembayaran; Sifat
Pembayaran; Beban; Jenis Bantuan; Sumber Dana; Cara Penarikan;
KPP; Golongan.
• Menu Referensi II terdiri dari 13 Sub Menu : Fungsi-Sub Fungsi-
Program; Kegiatan; Sub Kegiatan; Kementerian; Lokasi / Dati II;
Lender; Valuta Asing; Pinjaman; Kategori Pinjaman; Register; Mata
Anggaran; Konversi Mata Anggaran; Dokumen Pengesahan.
• Menu Utility terdiri dari 12 Sub Menu : Transfer Data SPM; Backup
Data Pagu dan Transaksi; Restore Data Pagu dan Transaksi; Hapus Data
Transaksi; Bersihkan Data Sampah; Cek Data Ganda; Reindeks
Database; Backup Referensi; Restore Referensi; Copy Referensi; Split
Tabel Satker; Kalender.
• Menu Keluar terdiri dari 2 Sub Menu : Informasi; Keluar Aplikasi.

Subdit. TPBE, DTP 85 
5. Aplikasi Persediaan
Aplikasi persediaan adalah aplikasi yang digunakan untuk mendukung
aplikasi lainnya yaitu Aplikasi Simak-BMN. Dimana data dari persediaan akan
dikirimkan ke Aplikasi Simak-BMN. Dan data persediaan mendapat inputan
dari SPM, SP2D, Kuitansi, Faktur, BAST/HIBAH, SPK. Untuk menggunakan
Aplikasi Persediaan ini harus memasukkan user name, password dan IP Server
yaitu untuk user name nya “umum”, password “umum”, IP Server “localhost”.
Kemudian Klik tanda Check List pada Login. Setelah semua dilakukan maka
kita sudah dapat menggunakan Aplikasi Persediaan tersebut. Adapun aplikasi
Persediaan ini terdiri dari beberapa Menu yaitu :
• Referensi,
• Transaksi,
• Laporan,
• Utility,
• Keluar.
Menu-menu yang ada pada aplikasi persediaan ini terdiri dari beberapa Sub
Menu :
• Referensi terdiri dari 9 Sub Menu : Tabel UAPB; Tabel UAPPB-E1; Tabel
UAPPB-Wilayah; Tabel UAKPB; Tabel Wilayah; Tabel Kanwil; Tabel Sub-
sub Kelompok Barang; Tabel Barang; Penandatangan.
• Transaksi terdiri dari 4 Sub Menu : Persediaan Masuk; Persediaan Keluar;
Koreksi ; Hasil Opname Fisik.
• Laporan terdiri dari 4 Sub Menu : Buku Persediaan; Laporan Persediaan;
Laporan Rincian Persediaan; Daftar Transaksi.
• Utility terdiri dari 6 Sub Menu : Pengiriman ke Simak BMN, Penerimaan
dari UAPKPB, Backup/Restore Database; Backup/Restore Referensi;
Pengosongan Data; pengosongan Referensi.
• Keluar.

Subdit. TPBE, DTP 86 
6. Aplikasi SIMAK-BMN
Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara
(SIMAK-BMN) sebagai sub sistem dari Sistem Akuntansi Instansi selain
Sistem Akuntansi Keuangan. Dengan demikian dapat dilakukan check and
balance antara arus uang dan arus barang. SIMAK-BMN ditujukan untuk
meningkatkan pemahaman serta kontrol yang sistematis terutama perlengkapan/
rumah tangga atau yang semacamnya sehingga sesuai struktur Unit Akuntansi
Barang melekat kewajiban untuk penyusunan laporan barang milik negara
dalam rangka penyusunan laporan keuangan kementerian negara/lembaga.
SIMAK-BMN dan SAK sebagai sub sistem harus saling berjalan secara
simultan.
Selain itu, SIMAK-BMN juga menyatukan konsep manajemen barang
dengan pelaporan untuk tujuan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam
bentuk neraca. Sehingga dengan demikian SIMAK-BMN dapat memenuhi
kebutuhan manajerial dan pertanggungjawaban sekaligus.
Untuk dapat menggunakan Aplikasi SIMAK-BMN ini kita harus
melakukan login terlebih dahulu dengan cara masuk pada menu login.
Kemudian input user id ”admin”, password ”admin”, IP Server ”localhost”
kemudian input tahun anggaran pada tahun berjalan. Setelah semua proses input
pada menu login selesai kemudian klik masuk. Jika tidak ada kesalahan lagi
pada proses input menu login maka kita sudah dapat masuk pada semua menu
yang ada pada Aplikasi SIMAK-BMN.
Adapun aplikasi SIMAK-BMN terdiri dari beberapa menu yaitu
• Tabel Referensi,
• Transaksi
• Buku/Daftar,
• Laporan,
• Utility,
• Keluar.
Menu-menu yang terdapat pada Aplikasi SIMAK-BMN ini terdiri dari beberapa
Sub Menu :

Subdit. TPBE, DTP 87 
• Tabel Referensi terdiri dari 10 Sub Menu : Tabel Penandatangan; Tabel
Ruangan; Tabel UAPB; Tabel UAPPB-E1; Tabel UAPPB-W; Tabel
UAKPB; Tabel Wilayah; Tabel Kanwil; Tabel Barang; Tabel Jenis
Transaksi.
• Transaksi terdiri dari 14 Sub Menu : Daftar BMN Tahun Lalu; Saldo Awal
BMN; Perolehan BMN; Perubahan BMN; Perubahan Nilai Koreksi Tim
Penerbitan Aset; Penghapusan BMN; Penghentian BMN dari Penggunaan;
Konstruksi Dalam Pengerjaan; Kartu Identitas Barang; Daftar Barang
Ruangan; Daftar Barang Lainnya; Perubahan dari DBR ke
DBL/Sebaliknya; BMN Bersejarah; Barang Pihak Ketiga.
• Buku/Daftar terdiri dari 11 Sub Menu : Buku Barang; Buku Barang
Bersejarah; Kartu Identitas Barang; Catatan Mutasi Perubahan (CMP);
Daftar Barang Ruangan; Daftar Barang Lainnya; Daftar Transaksi BMN;
Daftar Transaksi BMN UAPKPB; Daftar Barang Belum Terdistribusi;
Pencetakan Label; Daftar Barang Pihak Ketiga.
• Laporan terdiri dari 6 Sub Menu : Laporan Barang Kuasa Pengguna;
Laporan Barang Pembantu Kuasa Penguna; Laporan Barang Kuasa
Pengguna Persediaan; Laporan Kondisi Barang; Laporan Posisi BMN di
Neraca; Catatan Ringkas BMN-KPB.
• Utility terdiri dari 10 Sub Menu : Penerimaan dari UAPKPB; Penerimaan
dari Persediaan; Pengiriman ke UAKPA; Pengiriman ke UAPPB-
W/UAPPB-E1; Pengiriman ke KPKNL; Back-Up; Restore; Pembatalan
Kiriman; Kosongkan Transaksi; Restore Database Versi Demo.
• Keluar terdiri dari 2 Sub Menu : Selesai;Log off.
Dimana keluaran/laporan yang dihasilkan dari Sistem Informasi Manajemen dan
Akuntansi BMN tingkat UAPB sebagai berikut: Daftar Barang Intrakomptabel,
Daftar Barang, Ekstrakomptabel, Daftar Barang Barang Bersejarah, Daftar
Barang Persediaan, Laporan Barang Pengguna Semesteran, Laporan Barang
Pengguna Tahunan, Catatan Ringkas BMN, LKB.

Subdit. TPBE, DTP 88 
7. Aplikasi SAKPA
Aplikasi SAKPA ini merupakan sub sistem dari aplikasi SAI. Yang mana
Aplikasi SAKPA ini digunakan oleh Satuan Kerja (Satker) untuk memproses
data transaksi dalam penyusunan laporan. Aplikasi SAKPA ini akan
menghasilkan beberapa laporan yaitu : LRA Pendapatan & LRA Belanja, LRA
Pengembalian Pendapatan dan Pengembalian Belanja, Neraca Percobaan &
Neraca, Laporan Realisasi Anggaran. Dan ADK dari Aplikasi SAKPA ini akan
dikirimkan ke KPPN guna untuk melakukan Rekonsiliasi.
Alur Data pada aplikasi Sistem Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran
(SAKPA):
• Satker memproses dokumen sumber berupa :
Dokumen Anggaran : DIPA, POK, Estimasi Pendapatan
Dokumen Belanja : SPM/SP2D
Dokumen Penerimaan : SSBP/SSP/SSBC,SSPB
Dokumen Aset Lain : Jurnal Neraca
Dokumen Aset Tetap, bentuk file : ADK GL Aset
• Setelah dokumen sumber diinput atau di proses , maka dilanjutkan dengan
proses pencetakan Register Transaksi Harian untuk dilakukan proses
Verifikasi.
• Apabila tidak terdapat Kesalahan , dilanjutkan dengan proses Posting, untuk
menghasilkan buku besar.
• Setelah Data di Posting agar bisa mencetak Laporan Keuangan.
• Setiap bulan petugas akuntansi mengirim ADK komputer ke KPPN untuk
dilakukan Rekonsiliasi dengan Data di KPPN.
• Apabila pada proses rekonsiliasi tidak terjadi perbedaan, maka Satker
mengirim ADK ke Wilayah / Eselon 1.
Untuk dapat menggunakan Aplikasi SAKPA ini kita harus melakukan login
terlebih dahulu dengan cara masuk pada menu login. Kemudian input user id
”admin”, password ”admin” kemudian input tahun anggaran pada tahun
berjalan. Setelah semua proses input pada menu login selesai kemudian klik
masuk. Jika tidak ada kesalahan lagi pada proses input menu login maka kita
sudah dapat masuk pada semua menu yang ada pada aplikasi SAKPA.

Subdit. TPBE, DTP 89 
Adapun aplikasi SAKPA terdiri dari beberapa menu yaitu :
• Tabel Referensi,
• Transaksi,
• Proses,
• Laporan,
• Utility,
• Selesai.
Menu-menu yang terdapat pada Aplikasi SAKPA ini terdiri dari beberapa Sub
Menu :
• Tabel Referensi terdiri dari 12 Sub Menu : BA-Es1; KANWIL; Wilayah;
SATKER; KPPN; Fungsi-Subfungsi dan Program; Kegiatan-SubKegiatan;
Bagan Akun Standar; Jurnal Standar; Daftar MAKMAP; Daftar MAPING
BAS; Daftar Departemen Penerima Potongan/Setoran.
• Transaksi terdiri dari 12 Sub Menu : Daftar DIPA; Daftar Revisi DIPA;
Estimasi Pendapatan; Daftar SKPA; DIPA Luncuran; Daftar SPM; Daftar
SPM-BLU; Pendapatan; Pengembalian Belanja; Jurnal Neraca; Jurnal
Koreksi; Daftar Pengembalian Belanja Dari Potongan SPM.
• Proses terdiri dari 4 Sub Menu : Posting; Tutup Tahun; Tutup Tahun
Dengan Satker Beda; Konversi Satker Berubah Kode.
• Laporan terdiri dari 14 Sub Menu : Buku Besar; Neraca Percobaan; Neraca;
Laporan Realisasi Anggaran; Laporan Realisasi Belanja; Laporan
Pengembalian Belanja; Laporan Realisasi Pendapatan; Laporan
Pengembalian Pendapatan; Rekap Potongan PFK; Rekap Potongan Pajak;
Laporan Realisasi Belanja Format 2007; Laporan Realisasi Pendapatan
Format 2007; Laporan Realisasi Anggaran DIPA Luncuran; Laporan
Realisasi Anggaran dari SKPA.
• Utility terdiri dari 12 Sub Menu : Ubah Password; Back-Up; Restore;
Pengosongan Transaksi; Pack Data; Reindex Data; Penerimaan Aset dari
UAKPB; Pengiriman ke UAPPA-W/UAPPA-E1; Pengiriman ke KPPN;
Copy File DIPA; Copy Data SPM; Pengiriman Saldo Awal.
• Selesai.
Output yang dihasilkan dari Aplikasi SAKPA adalah bentuk laporan antara lain:

Subdit. TPBE, DTP 90 
• Buku Besar yang berfungsi menampilkan semua kode transaksi, kode
perkiraan, nama perkiraan dan posisi debet kreditnya secara bulanan per
kode perkiraan.
• Neraca Percobaan Bulanan yang berfungsi menampilkan semua kode
transaksi, kode perkiraan, nama perkiraan dan posisi debet kreditnya
secara bulanan. Digunakan untuk mengetahui saldo-saldo perkiraan buku
besar pada tanggal tertentu untuk tahun anggaran berjalan.
• Neraca Percobaan Semesteran yang berfungsi menampilkan semua kode
transaksi, kode perkiraan, nama perkiraan dan posisi debet kreditnya
secara semesteran. Digunakan untuk mengetahui saldo-saldo perkiraan
buku besar pada tanggal tertentu untuk tahun anggaran berjalan.
• Neraca Percobaan Tahunan yang berfungsi menampilkan semua kode
transaksi, kode perkiraan, nama perkiraan dan posisi debet kreditnya
secara tahunan. Digunakan untuk mengetahui saldo-saldo perkiraan buku
besar pada tanggal tertentu untuk tahun anggaran berjalan.
• Neraca Bulanan yang berfungsi menampilkan aktiva dan kewajiban serta
modal pada suatu periode tertentu secara bulanan.
• Neraca Semesteran yang berfungsi menampilkan aktiva dan kewajiban
serta modal pada suatu periode tertentu secara semesteran.
• Neraca Tahunan yang berfungsi menampilkan aktiva dan kewajiban serta
modal pada suatu periode tertentu secara tahunan.
• Laporan Realisasi Anggaran Semesteran yang berfungsi menampilkan
posisi realisasi anggaran sampai dengan periode satu semester yang telah
terealisasi. Laporan Realisasi Anggaran ini mencerminkan pendapatan dan
belanja total dari satker setelah dikurangi dengan pengembalian.
• Laporan Realisasi Anggaran Tahunan yang berfungsi menampilkan posisi
realisasi anggaran sampai dengan periode satu tahun yang telah terealisasi.
Laporan Realisasi Anggaran ini mencerminkan pendapatan dan belanja
total dari satker setelah dikurangi dengan pengembalian.
• Laporan Realisasi Belanja yang berfungsi untuk menampilkan posisi
realisasi anggaran belanja sampai dengan periode tertentu yang telah
terealisasi, baik secara bulanan atau triwulanan.

Subdit. TPBE, DTP 91 
• Laporan Realisasi Belanja format DKKA yang berfungsi LRA Belanja
format DKKA adalah laporan yang dipergunakan untuk menampilkan
posisi realisasi anggaran belanja sampai dengan periode tertentu yang
telah terealisasi, baik secara bulanan atau triwulanan dengan format
DKKA.
• Laporan Realisasi Belanja format DIPA yang berfungsi LRA Belanja
format DIPA adalah laporan yang dipergunakan untuk menampilkan posisi
realisasi anggaran belanja sampai dengan periode tertentu yang telah
terealisasi, baik secara bulanan atau triwulanan dengan format DIPA.
• Laporan Realisasi Pengembalian Belanja yang berfungsi LRA
Pengembalian Belanja adalah laporan yang dipergunakan untuk
menampilkan pengembalian belanja sampai dengan periode tertentu yang
telah terealisasi baik secara bulanan atau triwulanan.
• Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan Negara dan Hibah yang berfungsi
laporan yang dipergunakan untuk menampilkan realisasi pendapatan
sampai dengan periode tertentu yang telah terealisasi baik secara bulanan
atau triwulanan.
• LRA Pengembalian Pendapatan Negara dan Hibah yang berfungsi laporan
yang dipergunakan untuk menampilkan pengembalian pendapatan sampai
dengan periode tertentu yang telah terealisasi baik secara bulanan atau
triwulanan.

Subdit. TPBE, DTP 92 
8. Keterkaitan antar Aplikasi yang terdapat pada Satuan Kerja (Satker)

Hubungan Aplikasi yang terdapat pada Satker


Perencanaan/
Pengelolaan Keuangan Pengelolaan Barang
Monitoring

Mulai

RKAKL Kegiatan/Anggaran DIPA Persediaan

Kegiatan/Anggaran Laporan Asset

Peran Kegiatan/Anggaran SIMAK-BMN

Monitoring/.Perencanaan SPM

Laporan Pencairan Dana

GPP Laporan status pegawai

Laporan Keuangan untuk Asset


SAKPA

Selesai

Subdit. TPBE, DTP 93 
Penjelasan hubungan antar Aplikasi yang diatas :
• Aplikasi RKA-KL adalah suatu aplikasi yang digunakan oleh Satuan Kerja untuk
dapat mengetahui kegiatan apa yang akan dilaksanakan pada tahun yang akan
berjalan. Dimana dalam aplikasi RKA-KL ini akan menghasilkan detai dari semua
kegiatan yang akan dilaksanakan mulai dari fungsi/subfungsi,
kegiatan/subkegiatan, mata anggaran yangdigunakan, nama kegiatan, biaya yang
dibutuhkan untuk masing-masing kegiatan, waktu pelaksanaan kegiatan. Yang
mana hasil dari aplikasi RKA-KL ini akan menjadi inputan untuk aplikasi DIPA.
Dimana aplikasi DIPA akan mengadopsi hasil outputan dari aplikasi RKA-KL
yaitu jumlah total anggaran yang dibutuhkan untuk setiap mata anggaran kegiatan.
• Aplikasi DIPA adalah suatu aplikasi yang digunakan untuk dapat mengirimkan
jumlah anggaran yang dibutuhkan dalam setiap mata anggaran keuangan ke KPPN
dimana tempat Satuan Kerja tersebut akan melakukan transaksi. Dan juga aplikasi
DIPA ini berhubungan dengan Aplikasi SPM. Dimana aplikasi SPM nanti dibuat
berdasarkan DIPA yang ada pada masing-masing Satuan Kerja.
• Aplikasi Peran adalah suatu aplikasi yang digunakan oleh Satuan Kerja untuk
membuat sebuah perencanaan dalam penerimaan dan pengeluaran yang akan
dilakukan oleh Satuan Kerja tersebut dalam Tahun Anggaran yang berjalan.
Dimana aplikasi ini adalah suatu monitoring perencanaan untuk melakukan
penarikan dan penerimaan dana melalui Aplikasi SPM.
• Aplikasi GPP adalah suatu aplikasi yang digunakan untuk melakukan monitoring
terhadap gaji pegawai pusat yang ada pada Satuan Kerja. Dimana aplikasi ini dapat
mengetahui jumlah pegawai yang ada dengan semua status yang akan digunakan
untuk pembayaran pada pegawai tersebut. Dan hasil dari aplikasi GPP ini akan
digunakan sebagai bahan untuk membuat SPM tentang Gaji.
• Aplikasi SPM adalah suatu aplikasi yang digunakan Satuan Kerja untuk melakukan
pencairan dana di KPPN. Dimana Aplikasi SPM ini akan menghasilkan sebuah
Surat Perintah Membayar yang dikeluarkan oleh Pejabat Penguji SPM yang dalam
bentuk Softcopy dan Hardcopy yang nanti nya dari softcopy Aplikasi SPM ini akan
dimasukkan dalam Aplikasi SP2D yang terdapat pada KPPN yang bersangkutan.
Dan akan menghasilkan SP2D yang akan dipergunakan sebagai bukti pembayaran.
• Aplikasi Persediaan adalah suatu aplikasi yang digunakan untuk membuat sebuah
laporan persediaan dari Barang Milik Negara yang akan digunakan sebagai inputan

Subdit. TPBE, DTP 94 
dari Aplikasi lainnya yaitu Aplikasi SIMAK-BMN. Dimana dalam Aplikasi
Persediaan ini memproses tentang Aset Lancar pada Satuan Kerja.
• Aplikasi SIMAK-BMN adalah suatu aplikasi yang digunakan untuk membuat
laporan keuangan tentang barang milik Negara yang terdapat dalam Satuan Kerja
tersebut. Yang mana hasil dari aplikasi SIMAK-BMN ini akan menjadi inputan
bagi aplikasi SAKPA dalam hal data penerimaan asset.
• Aplikasi SAKPA adalah suatu aplikasi tentang laporan keuangan dari Satuan Kerja.
Dimana laporan keuangan aplikasi SAKPA ini adalah inputan dari semua hasil
aplikasi yang ada pada Satuan Kerja. Yang mana laporan keuangan aplikasi
SAKPA ini akan dilaporkan kepada KPPN untuk dilakukan rekonsiliasi terhadap
laporan keuangan Satuan Kerja tersebut. Dan aplikasi SAKPA ini adalah laporan
akhir keuangan yang dikelola oleh Satuan Kerja tersebut.

Penjelasan dari gambar diatas adalah :


Dalam Aplikasi diatas terdapat beberapa fungsi yaitu :
• Fungsi Monitoring dan Perencanaan;
• Fungsi Pengelolaan Keuangan;
• Fungsi Pengelolaan Barang.
Aplikasi ini secara garis besarnya berhubungan antara satu aplikasi dengan aplikasi
yang lain. Tetapi diantara aplikasi ini ada yang terhubung secara sistem dan ada yang

Subdit. TPBE, DTP 95 
hanya terhubung secara input saja. Seperti Aplikasi Peran, Aplikasi GPP, dan Aplikasi
RKAKL adalah sebuah aplikasi yang hanya sebagai input dalam bentuk tertulis yang
digunakan pada aplikasi lainnya. Sedangkan aplikasi SPM, DIPA, SIMAK-BMN,
Persediaan dan SAKPA itu dapat berhubungan secara sistem tetapi dalam hal ini
aplikasi terhubung secara sistem dan juga dapat terhubung sebagai input.
Mengapa dikatakan seperti itu karena aplikasi-aplikasi ini melakukan penginputan
manual juga seperti pada Aplikasi DIPA ada penginputan data R/U/H Data Pagu DIPA,
Aplikasi SPM ada penginputan data R/U/H Pagu DIPA, dan pada Aplikasi SAKPA juga
terdapat penginputan R/U/H Pagu DIPA. Dimana dalam hal ini menjelaskan bahwa
walaupun aplikasi sudah terhubung secara sistem tetapi aplikasi juga dapat dilakukan
dengan cara penginputan manual sehingga mengakibatkan pengguna akan melakukan 2
penginputan yang sama.
Dan juga antara aplikasi SPM, SAKPA dan SIMAK-BMN yang juga sudah terhubung
secara sistem dan terjadi penginputan manual yaitu R/U/H Data SPM & SP2D, R/U/H
Penerimaan SKPA dan R/U/H Daftar / Jurnal Aset.

D. Penutup
Dari uraian pada beberapa sub-bab tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa
pokok pikiran yang dapat disarikan:
1. Sebagaimana framework penulisan modul yang telah dijelaskan pada Bab I,
pembahasan pada Bab III difokuskan pada penyusunan process mapping yang
bersifat cross functional-boundaries dan deskripsi dari aktivitas selama siklus
APBN yang terkait dengan bisnis proses di Satker dan koneksinya dengan
Ditjen Perbendaharaan.
2. Beberapa ketentuan utama yang mengatur standar proses bisnis di Satker
diantaranya meliputi Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No. 66/
PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Bebab Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Peraturan Menteri Keuangan No.
171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Pemerintah Pusat.
3. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa telah terdapat standar proses bisnis
untuk tiap-tiap tahapan dalam siklus anggaran, sejak penyusunan dokumen
pelaksanaan anggaran (DIPA) hingga pelaporan dan pertanggungjawaban.

Subdit. TPBE, DTP 96 
4. Namun demikian, standard proses bisnis saat ini belum sepenuhnya
mencerminkan pembagian dan model integrasi modular yang dikenal dalam
international best practice sejalan dengan pengembangan SPAN. Misalnya, saat
ini tidak terdapat sebuah standar proses bisnis yang secara utuh untuk
mengelola data komitmen/ kontrak dan mengintegrasikannya dengan bisnis
proses lainnya yang terkait, misalnya dengan manajemen kas. Pendekatan ad-
hoc dalam mengikut sertakan Satker untuk keperluan perencanaan kas juga tidak
sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan.
5. Tinjauan atas fitur dan integrasi sistem informasi dan aplikasi/ software
menunjukkan bahwa sistem informasi di Satker saat ini sangat ter-fragmentasi
dengan banyaknya menu untuk melakukan up-date/ mengubah data (multiple
entry points).
6. Beberapa fitur baik dalam standar proses bisnis maupun sistem aplikasi saat ini
yang diperoleh dari aktivitas process mapping akan sangat bermanfaat sebagai
inisiasi untuk assessment yang lebih komprehensif dan penentuan model
koneksitas proses bisnis dengan Satker di masa yang akan datang (future) yang
akan dibahas pada bab selanjutnya dalam modul ini.
7. Untuk melengkapi pembahasan dalam bab ini, ditambahkan Appendix 1dan 2.
Appendix 1 merupakan ringkasan dari penelitian World Bank atas pelaksanaan
standar proses bisnis di salah satu Satker yang kiranya bermanfaat sebagai bahan
kajian dan perbandingan. Sedangkan Appemdix 2 memuat tinjauan atas proses
bisnis Satker Badan Layanan Umum, yang untuk sementara belum menjadi
fokus pembahasan dalam modul ini.

Subdit. TPBE, DTP 97 
Appendix I
Departemen Pekerjaan Umum
Dirjen Bina Marga
Financial Management Assessment

Draft Report
The Worl Bank Group
September, 2008

SUMMARY

Tujuan dari penelitian adalah untuk memberikan masukan kepada Departemen


Pekerjaan Umum dalam rangka mendukung agenda reformasi di bidang pengelolaan
keuangan negara. Dalam rangka penyempurnaan koneksitas proses bisnis di Satker,
resume ini berfokus pada pembahasan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
negara di Ditjen Bina Marga khususnya yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi
Ditjen Perbendaharaan. Pembahasan terkait dengan existing proses bisnis, hasil analisis
dan rekomendasi adalah sebagai berikut:
Pelaksanaan Anggaran (Budget Execution)
I. Kerangka organisasi dalam pelaksanaan anggaran.
Pembahasan dalam sub bagian ini meliputi sturktur organisasi, tugas dan fungsi
serta proses pemilihan pejabat perbendaharaan. Pelaksanaan anggaran merupakan
tanggung jawab utama Satker. DIPA yang ditetapkan pada awal tahun anggaran
merupakan dasar bagi Satker untuk melakukan komitmen. Pelaksanaan anggaran
dimulai sejak penerbitan surat keputusan menteri perihal kriteria pemilihan untuk
pejabat perbendaharaan, kemampuan teknis dan hal-hal administratif lainnya.
Pejabat perbendaharaan meliputi Kuasa Pengguna anggaran, Pejabat Pembuat
komitmen, Penguji SPP/Penerbit SPM, dan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran.
Pemisahan wewenang dan pembagian tugas di antara para pejabat pebendaharaan
ditujukan untuk memwujudkan adanya mekanisme saling uji/ check-balance.
II. Key issues dalam Pelaksanaan Anggaran
a. Cash Planning
Kondisi Saat ini: Perencanaan kas tahunan tidak disesuaikan secara periodik dengan
komitment yang benar-benar dibuat selama tahun anggaran. DIPA yang diterbitkan
pada awal tahun anggaran memuat rencana kerja/pengadaan tahunan serta Rencana
Penarikan Dana berkaitan dengan rencana kerja tersebut. Rencana penarikan dana
untuk periode bulanan tidak di-monitor dan direvisi selama berjalannya tahun

Subdit. TPBE, DTP 98 
anggaran. Pengeluaran yang dilaporkan sifatnya ex-post terhadap dana anggaran
yang di sediakan di DIPA. Dengan kata lain, Rencana Penarikan Dana untuk
periode bulanan yang ada dalam DIPA tidak disesuaikan terhadap fakta/kenyataan
yang ada selama berjalannya tahun anggaran, misalnya penundaan kontrak,
penundaan implementasi proyek, perubaha kontrak dan faktor eksternal lainnya
yang mempengaruhi harga barang dan jasa.
Analisis: Tidak adanya rencana penarikan dana yang reliable menyebabkan
beberapa efek negatif dalam pelaksanaan anggaran. Kondisi tersebut tidak
memungkinkan pengelola keuangan/pejabat perbendaharaan untuk mengantisipasi
kemungkinan penghematan pada sub-kegiatan tertentu dengan melakukan re-alokasi
anggaran ke sub-kegiatan lainnya. Adanya rush penarikan dana anggaran di akhir
tahun yang berakibat pada kurangnya kualitas pengadaan dan hasil pengeluaran
anggaran yang tidak optimal.
Rekomendasi: Perlunya meningkatkan manajemen proyek dengan membentuk
komisi perencanaan kas (“cash planning komite”) di Satker yang diketuai oleh
Kepala Satker dan terdiri dari para pejabat perbendaharaan. Hasil perencanaan kas
yang dibuat oleh komite ini beserta permasalahan yang dijumpai dalam pelaksanaan
anggaran (bottle neck) dilaporkan kepada Ditjen Bina Marga dan Ditjen
Perbendaharaan.
b. Treasury Single Account (TSA)
Kondisi saat ini: Pada saat ini terdapat dua jenis pembayaran yaitu Pembayaran
Langsung dan Pembayaran melalui Uang Persediaan. Dalam kaitannya dengan
pelaksanaan TSA, Uang Persediaan dapat dipandang sebagai pembayaran lump-
sump (lumps sump transfer) atas kas dalam jumlah yang terbatas dari TSA ke
rekening bank Satker.
Analisis: Penerapan konsep TSA secara partial, memungkinkan terjadinya
penundaan pembayaran dan terciptanya idle cash. Batas jumlah UP yang dapat
disimpan dalam rekening bendahara pengeluaran terikat dengan pagu DIPA untuk
tahun yang bersangkutan, dengan kemungkinan melakukan pengisian kembali
(GUP) terkait dengan saldo UP di rekening bendaharawan. Sistem ini sulit di
administrasi dan kompleksitasnya tidak mendukung akuntabilitas yang memadai.
Satker masih dapat melakukan replenishment untuk melakukan pengisian kembali
Uang Persediaan yang melebihi ketentuan apabila memenuhi kondisi-kondisi
tertentu. Kompleksitas peraturan yang berkaitan penerapan saldo kas di luar TSA
Subdit. TPBE, DTP 99 
dan pembayaran kepada pihak ke-tiga/rekanan dengan kas dapat mengurangi
disiplin anggaran.
Rekomendasi: Perlunya alternatif pembayaran melalui Uang Persediaan, setidaknya
dapat lebih sejalan dengan cara pembayaran lainnya, yaitu Pembayaran Langsung.
Misalnya dengan melakukan pembayaran Uang Persediaan melalui rekening
bersaldo nihil (zero balanced account) pada rekening yang dikuasai secara bersama-
sama oleh Bendahara Pengeluaran dan Kanwil/KPPN bersangkutan. Cara lainnya
adalah dengan membuka rekening yang memberi batas pagu penarikan Uang
Persediaan yang dapat dilakukan oleh bendahara pengeluaran sesuai dengan rencana
penarikan dana dan rekening koran, dengan kemungkinan replenishment/pengisian
kembali sebulan sekali. Pembayaran melalui rekening ini, nantinya merupakan dasar
bagi bank yang bersangkutan untuk melakukan penarikan dari rekening TSA.
c. Mekanisme saling uji dalam pemeriksaan barang dan jasa hasil pengadaan
Kondisi saat ini: Pengujian diimulai saat staf melakukan evaluasi atas SPP,
melakukan verifikasi atas check list dan kelengkapat dokumen yang diajukan,
membuat catatan atas penerimaan SPP dan menerbitkan dokumen penerimaan SPP.
Dokumen SPP dan kelengkapannya kemudian diajukan kepada Pejabat
penguji/penerbit SPM. Pejabat penguji/Penerbit SPM selanjutnya memastikan
bahwa (i) tersedia anggaran untuk melakukan pembayaran (ii) SPP sudah sesuai
dengan rencana kerja dan output yang dicatat (iii) permintaan pembayaran sudah
sesuai dengan spesifikasi kontrak dan jadwal pembayaran. Perlu dicatat bahwa
verifikasi yang dilakukan pada SPP dan SPM terbatas pada jumlah yang tercatat
dalam dokumen. Verifikasi fisik dari output tidak dilakukan pada tahap ini. Pejabat
pembuat komitmen dari satker pelaksana (implementing satker) melakukan
pengawasan atas implementasi fisik dari proyek. Sedangkan verifikasi fisik
dilakukan oleh kontraktor yang ditunjuk oleh satker yang melakukan perencanaan
(planning satker) pada saat pelkerjaan selesai dan ditagihkan (dibuatkan invoice).
Analysis: Terlepas dari adanya mekanisme saling uji yang sudah ada, ternyata hasil
audit dari BPK pada tahun 2007 mengindikasikan bahwa kurangnya verifikasi
dalam pengadaan barang dan jasa telah menimpulkan kelebihan bayar
(overpayments) kepada kontraktor, double charge dan pengadaan barang dan jasa
yang kurang berkualitas. Verifikasi yang dilakukan oleh konsultan yang ditunjuk
oleh “planning satker” ternyata tidak dapat berjalan dengan efektif. Salah satunya

Subdit. TPBE, DTP 100 
karena keterbatasan anggaran untuk melakukan verifikasi fisik sebagaimana
mestinya.
Rekomendasi: Perlu melakukan redefinisi dari peran “planning satker” dalam
melakukan verifikasi fisik pengadaan barang dan jasa. Salah satu alternatif,
diantaranya dengan mengaktifkan peran Balai (di tingkat propinsi), sehingga dapat
mendekatkan dan melakukan pengawasan langsung untuk meningkatkan
mekanisme saling uji dan mengurangi sentralisasi
d. Keterlambatan dalam pembayaran langsung
Kondisi saat ini: Proses pembayaran dimulai dengan penyiapan SPP oleh satker atas
dasar invoice yang diterima dari suplier dan diikuti dengan penilaian barang dan
jasa. Petugas di Satker melakukan input data SPP dan mencetak menggunakan
aplikasi yang dibuat oleh Ditjen Perbendaharaan, dan menyampaikan SPP tersebut
untuk disetujui oleh Kepala Satker atau pejabat pembuat komitmen (?). Setelah SPP
disetujui lalu dibuat SPM oleh bendahara pengeluaran dengan menggunakan
aplikasi dari Ditjen Perbendaharaan. Selanjutnya SPM diproses sesuai dengan jenis
pembayarannya. Pengawasan atas keterlambatan pemrosesan di KPPN dilakukan
dengan merujuk pada tanggal agenda penerimaan SPM di front office.
Keterlambatan yang berkaitan dengan pengajuan SPM yang tidak lengkap
(incomplete) atau salah (error) tidak tercatat baik oleh KPPN maupun oleh Satker.
Analysis: Proses pembayaran yang ada saat ini tidak memungkinkan adanya
pengawasan yang menyeluruh dalam penyaluran pembayaran kepada kontraktor.
KPPN saat ini telah melakukan pengawasan yang ketat terhadap keterlambatan di
akhir proses. Namun demikian, dengan periode maksimum 48 jam untuk melakukan
proses pembayaran di Satker, keterlambatan dalam proses pembayaran di Satker
tidak dapat di monitor. Hal tersebut karena baik tanggal invoice dari kontraktor
maupun tanggal penerimaan barang dan jasa tidak dicatat dalam software/aplikasi.
Lagipula, tidak dilakukan pencatatan oleh KPPN dalam hal SPM tidak memenuhi
syarat. Oleh karena itu, keterlambatan yang diakibatkan oleh penolakan tersebut
tidak dapat diawasi.
Rekomendasi: Ketentuan yang berkaitan dengan jangka waktu penyelesaian
pembayaran di Satker (48 jam) harus diterapkan sebagaimana mestinya. Salah
satunya dengan mencatat tanggal pengajuan invoice dan tanggal penyelesaian
verifikasi barang dan jasa. Selanjutnya, KPPN dapat menjelaskan alasan penolakan
secara tertulis yang tercatat dalam aplikasi/software di Satker.
Subdit. TPBE, DTP 101 
III. Akuntansi dan Pelaporan
a. Pelaporan keuangan dan pelaksanaan anggaran
Current situation: Peraturan yang ada mengharuskan Satker untuk menyampaikan
laporan keuangan dan kinerja. Laporan keuangan disusun menggunakan stadar
aplikasi yang dibuat oleh Ditjen PBN, yaitu SAI yang terdiri dari SAK dan
SIMAK-BMN. Terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh Satker dilakukan
proses rekonsiliasi terhadap data yang ada di KPPN. Satker di tingkat kanwil juga
harus melakukan rekonsiliasi dengan Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Proses ini
berlanjut hingga ke tingkat Kementrian/Lembaga. Laporan keuangan juga
direkonsiliasi dengan informasi yang ada dalam SIMAK-BMN.
Analysis: Laporan keuangan dan pelaksanaan anggaran dikompilasi menggunakan
software/modul yang berbeda-beda. Beberapa modul ini sifatnya “stand alone”
sehingga beberapa jenis data harus di-capture beberapa kali. Manajemen atas
software/modul ini tidak diimbangi dengan kurangnya jumlah dan kemampuan
SDM di Satker. Lagipula, karena data entri dilakukan pada beberapa titik/fase,
diperlukan rekonsiliasi dan konsolidasi pada beberapa point. Manajemen “back-up
data” juga tidak dilakukan secara rutin utnuk memastikan keandalan data.
Rekomendasi: Hendaknya dilakukan review terhadap aplikasi/software-software
yang ada dengan melibatkan kementrian teknis, DJA and Ditjen PBN. Aktivitas ini
dapat dilakukan dalam konteks penerapan Integrated Financial Management
System (SPAN)
b. Laporan Manajemen
Kondisi saat ini: Kementrian Pekerjaan Umum telah mengimplementasikan
mekanisme pelaporan menggunakan “e-monitoring system” (SIPP). Informasi
yang dihasilkan dari sistem ini diantaranya adalah informasi kontrak, kemajuan
kontrak, impementasi program dibandingkan dengan rencana kerja, pagu anggaran
serta realisasinya.
Analisis: Kemampuan pelaporan dari SIPP cukup komprehensif dan mencakup
aspek-aspek dalam pelaksanaan anggaran dan implementasi program. Namun
demikian sistem ini dijalankan secara paralel dengan standard akuntansi dan sistem
pelaporan yang ditentukan Ditjen Perbendaharaan. Oleh karene itu diperlukan
mekanisme rekonsiliasi untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan
sama dengan informasi yang ditujukan untuk Kementrian Keuangan.

Subdit. TPBE, DTP 102 
Rekomendasi: Perlu dilakukan langkah-langkah untuk menyelaraskan SIPP
dnengan sistem akuntansi dan pelaporan pada Ditjen Perbendaharaan sehingga
keuanya menggunakan basik data yang sama untuk keperluan analisis dan
pelaporan keuangan dan data pelaksanaan anggaran. Aktivitas ini juga diharapkan
akan menjadi dasar untuk melakukan review dan mengintegrasikan syarat-syarat
untuk pelaporan manajemen sesuai dengan konfigurasi dalam SPAN.

Subdit. TPBE, DTP 103 
Appendix II
Pengelolaan Keuangan di Satker BLU

Badan layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah


yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
(PP No.23 tahun 2005). Ada 2 jenis Satker BLU yaitu Satker BLU berstatus penuh
dan Satker BLU berstatus bertahap.
Satker BLU berstatus penuh diberikan fleksibilitas pengelolaan
keuangan. Satker teersebut dapat langsung menggunakan seluruh PNBP tanpa
terlebih dahulu disetorkan ke Rekening Kas Negara asalkan masih dalam ambang
batas fleksibilitas. Sedangkan Satker BLU berstatus bertahap dapat menggunakan
PNBP sebesar persentase proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan
sepanjang telah diatur berdasarkan ketentuan.
Berdasarkan pengertian tersebut terlihat adanya perbedaan karakteristik Satker
BLU dengan Satker biasa. Perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan adanya
perbedaan dalam mekanisme pelaksanaan anggaran di Satker BLU dengan Satker
biasa. Berikut ini identifikasi terhadap beberapa perbedaan yang ada.
A. Manajemen DIPA
Secara umum fungsi DIPA BLU dengan DIPA Satker biasa ialah sama,
yaitu berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan dimana berisi batas pengeluaran
tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan pelaksanaannya harus dapat
dipertanggungjawabkan. Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan terkait
struktur DIPA Satker BLU dengan DIPA Satker biasa. Perbedaan tersebut ialah
sebagai berikut:
1. Pada DIPA Satker BLU terdapat data mengenai saldo awal kas, target
pendapatan PNBP, pagu pengeluaran pembiayaan, saldo akhir kas, besaran
presentase ambang batas dan jumlah serta kualitas barang dan/atau jasa yang
dihasilkan, sebagaimana ditetapkan dalam RBA definitif.
2. Pada DIPA Satker BLU terdapat halaman II.B yang memuat rincian
penerimaan pembiayaan BLU dan pengeluaran pembiayaan yang akan dilakukan
oleh BLU. Penerimaan pembiayaan BLU terdiri dari divestasi, pinjaman jangka
Subdit. TPBE, DTP 104 
pendek dan pinjaman jangka panjang. Pengeluaran pembiayaan BLU terdiri dari
investasi, pembayaran pokok pinjaman dan pemberian pinjaman.
Pencantuman pagu pembiayaan mengisyaratkan bahwa Satker BLU diperbolehkan
untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam kegiatan
usahanya. Pengeluaran pembiayaan dimungkinkan untuk investasi, pembayaran
pokok pinjaman, dan pemberian pinjaman. Sebaliknya penerimaan pembiayaan
dimungkinkan untuk divestasi, menerima pinjaman jangka pendek dan jangka
panjang.
Besaran persentase ambang batas digunakan sebagai ambang batas yang
diperkenankan untuk melakukan belanja melebihi pagu yang telah ditetapkan
mendahului revisi DIPA sepanjang PNBP nya melebihi target yang telah ditetapkan
dan sepanjang tercantum dalam RBA (Rencana Bisnis dan Anggaran).
B. Manajemen Pembayaran
Satker BLU selaku KPA mengajukan SPM LS kepada KPPN untuk keperluan
sebagai berikut:
1. Belanja pegawai (untuk pegawai BLU yang berstatus PNS);
2. Belanja barang yang dilaksanakan setiap triwulan sebesar selisih (mismatch)
antara jumlah kas yang tersedia ditambah proyeksi arus kas masuk dikurangi
proyeksi arus kas keluar;
3. Belanja modal.
Selain mengajukan SPM LS untuk kepentingan tersebut diatas Satker BLU juga
mengajukan SPM Pengesahan ke KPPN dalam rangka pertanggungjawaban
penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan (pendapatan dari jasa layanan,
hibah tidak terikat dan hasil kerja sama dengan pihak lain).
C. Manajemen PNBP
Berbeda dengan Satker yang memiliki PNBP dimana PNBP nya harus
disetorkan terlebih dahulu sebelum digunakan, Pendapatan Satker BLU dapat
dipergunakan langsung dimana besar kecilnya tergantung pada jenis Satker BLU,
target PNBP dan nilai PNBP yang di dapatkan. Pendapatan Satker BLU yang dapat
dipergunakan langsung untuk membiayai belanja operasional Satker BLU terdiri
dari :
1. jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat
2. hibah tidak terikat

Subdit. TPBE, DTP 105 
3. hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan atau hasil usaha lainnya dapat
dikelola langsung untuk membiayai belanja operasional BLU
Berikut ini gambar proses bisnis dan ilustrasi untuk penggunaan PNBP untuk
Satker BLU berstatus penuh dan Satker BLU berstatus bertahap.
1. Satker BLU berstatus penuh
- Target PNBP 100 M
- Ambang batas belanja 10 %
- Realisasi PNBP 115 miliar
Maka :
- PNBP yang dapat digunakan langsung maksimal sebesar 110 M (100M +
10%x100M).
- Pengeluaran belanja tersebut dapat dilaksanakan mendahului revisi DIPA
pengesahan. (Revisi DIPA dimaksud dapat dilaksanakan pada akhir tahun)
- Sisa PNBP sebesar 5 M, merupakan surplus yang dapat digunakan pada tahun
berikutnya.
- Apabila sisa PNBP tersebut akan digunakan pada tahun anggaran berjalan, maka
terlebih dahulu dilakukan revisi.
2. Satker BLU berstatus bertahap
- Target PNBP 100 M
- Satker tersebut dapat menggunakan PNBP sebesar 90% dari target yang
ditetapkan
- PNBP yang dapat digunakan secara langsung sebesar 60%
- Realisasi 110 M
Maka:
- PNBP yang dapat dimanfaatkan adalah 90 M (90% x target PNBP)
- PNBP yang dapat digunakan secara langsung sebesar 54 M (60%x90%x100M)
- PNBP yang harus disetor kerekening Kas Negara sebesar 56 M
- Sisa PNBP yang dapat digunakan dengan mekanisme pencairan PNBP sebesar
36 M (90 M – 54 M)
D. Pelaporan
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan BLU diselenggarakan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh Asosiasi Profesi Akuntansi
Indonesia. Sedangkan untuk kepentingan konsolidasi dengan Laporan Keuangan

Subdit. TPBE, DTP 106 
Kementerian Negara/Lembaga diselenggarakan berdasarkan Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Laporan Keuangan BLU yang dihasilkan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
menjadi lampiran Laporan Keuangan Kementerian Negara Lembaga yang terdiri
dari LRA/Operasional, Neraca, LAK, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan
Keuangan BLU yang dihasilkan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan
dikonsolidasikan dengan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang
terdiri dari LRA, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Alur proses rekonsiliasi Laporan Keuangan Satker BLU ialah sebagai berikut:
1. BLU menyampaikan secara triwulanan ke KPPN berupa LRA, Neraca dan ADK
dalam rangka melakukan rekonsiliasi data. Untuk laporan semesteran dilengkapi
dengan CALK.
2. BLU menyampaikan ADK, LRA dan neraca kepada UAPPAE1 untuk
digabungkan setelah dilakukan rekonsiliasi dengan KPPN setiap triwulan. Untuk
Semesteran dan tahunan disertai dengan CALK.
3. UAPPA-E1 menyampaikan LRA, Neraca dan ADK termasuk BLU setiap
triwulan ke UAPA sebagai bahan penyusunan laporan keuangan tingkat
kementerian negara/lembaga. Untuk laporan semesteran dilengkapi dengan CALK.
4. UAPA menyampaikan laporan keuangan beserta ADK kepada Ditjen PBN cq.
Dit. APK dalam rangka rekonsiliasi dan penyusunan Laporan Keuangan
pemerintah pusat setiap semester.
Selain menyampaikan Laporan Keuangan untuk kepentingan rekonsiliasi, Satker
BLU juga menyampaikan Laporan Keuangan yang terdiri dari laporan Realisasi
Anggaran/Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan
Keuangan disertai Laporan Kinerja beserta data transaksi ke UAPPA-E1 setiap
bulan.
Catatan:
Berikut ini alur proses bisnis untuk DIPA, Penggunaan PNBP (Satker BLU
berstatus penuh), Penggunaan PNBP (Satker BLU berstatus bertahap) dan
Pelaporan. Sedangkan untuk gambar proses bisnis belanja pegawai BLU yang
berstatus PNS dan proses bisnis belanja modal tidak dilampirkan karena gambar
proses bisnis tersebut sama dengan proses bisnis pada Satker biasa.

Subdit. TPBE, DTP 107 
Subdit. TPBE, DTP 108 
2. Penggunaan PNBP (Satker BLU bersatus Bertahap)

MoSA

Setor ke Kas
Negara
(2.5)

DIPA
N

Pertanggung
SPM LS untuk
Realisasi Penggunaan jawaban
Penggunaan Penggunaan
Penerimaan PNBP Y Langsung PNBP Penggunaan
langsung PNBP
(2.1) (2.2) (triwulanan)
(2.6)
(2.3)

SPM GU SPM LS
Pengesahan PNBP

SP2D GU
SP2D LS PNBP
Pengesahan
(2.7)
(2.4)

(4.1)

Subdit. TPBE, DTP 109 
Subdit. TPBE, DTP 110 
Subdit. TPBE, DTP 111 
BAB IV
Future Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Negara di Satker
dan Koneksitasnya dengan Proses Bisnis Kuasa BUN

Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab ini


difokuskan pada pembahasan usulan future model koneksitas dan bentuk
manajemen keuangan satker yang disesuaikan dengan modul-modul yang ada
dalam pengembangan SPAN. Dalam hal ini, dibahas usulan future proses bisnis
terkait Manajemen DIPA, Manajemen Komitmen, Manajemen Pembayaran,
Accounting dan Reporting, dan Manajemen Kas. Disamping itu, juga dibahas
berbagai usulan tentang struktur pejabat perbendaharaan (PA/KPA, PPK,
PPSPM, dan Bendahara) di satker beserta proses bisnisnya terkait. Sejalan
dengan framework ITIL v.3, hal-hal yang dibahas dalam bab ini akan menjadi
fokus diskusi pada awal tahun 2010, yang secara paralel sekaligus menjadi
bahan untuk pengembangan IT dan penerapannya pada satker terpilih.

A. Definisi, Konsepsi dan Metodologi


Pada bab-bab sebelumnya, telah dibahas sistem perbendaharaan yang meliputi
aktivitas manajemen keuangan negara di Satuan Kerja dan di Ditjen Perbendaharaan.
Pembahasan pada bab III secara umum menggambarkan alur proses bisnis secara cross
functional boundaries. Penjelasan pada Bab III menekankan pada mekanisme kontrol,
verifikasi dan dokumen pendukung dalam proses bisnis. Dalam bab ini akan dibahas
secara lebih rinci future model dari koneksitas dari proses bisnis dan manajemen
keuangan di Satker dengan proses bisnis di perbendaharaan.
Koneksitas proses bisnis dicerminkan oleh integrasi diantara elemen-elemen
proses bisnis, terutama yang dijalankan oleh institusi/unit yang berbeda. Integrasi yang
tinggi ini setidaknya meliputi:
1. mekanisme input-output (transfer) yang digunakan dan dihasilkan sebuah proses
bisnis, termasuk di dalamnya bentuk/media dan interface.
2. keandalan dan kesesuaian aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian intern
(internal control) di masing-masing unit proses bisnis.
Penentuan model manajemen keuangan negara di Satker dan koneksitasnya
dilakukan dengan memperhatikan permasalahan dari praktek pada saat ini, mengkaji
internasional best practice dan kesesuaiannya dengan landasan hukum yang ada (Undang-
Undang). Future proses bisnis yang dihasilkan dari methodology tersebut di atas terutama

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           112 

 
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan Sistem Perbendaharaan dan
Anggaran Negara (SPAN). Oleh karena itu, rekomendasi untuk penyempurnaan proses
bisnis pada saat ini juga memperhatikan blue print rencana pengembangan SPAN,
terutama terkait dengan modernisasi sistem informasi dan IT.

B. Manajemen DIPA

1. Tujuan dan fungsi


Setelah rancangan anggaran (budget draft) disetujui oleh parlemen, Line
Ministries dan Spending Unit pada dasarnya telah memiliki otorisasi untuk melakukan
pengeluaran atas beban anggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Fungsi
manajemen DIPA terutama berkaitan dengan distribusi dana anggaran yang telah
disetujui tersebut kepada Spending Unit sebagai dasar untuk melakukan pengeluaran
(otorisasi). Otorisasi ini, tergantung dengan sistem yang digunakan di negara tersebut,
dapat berlaku untuk satu periode tahun anggaran atau untuk periode tertentu yang
lebih singkat. Terdapat mekanisme yang berbeda di masing-masing negara terkait
dengan pengalokasian dan pendistribusian jumlah anggaran yang telah disetujui oleh
Parlemen kepada Spending Unit. Namun demikian, prosesnya secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua hal sebagai berikut.
a) Apportionment: proses untuk menentukan bagian dari anggaran yang telah
disetujui oleh parlemen (appropriation) yang dapat digunakan oleh Line
Ministries dan Main Spending Unit (apportioned appropriations). Proses ini dapat
berupa keputusan (decree) yang memberikan otorisasi kepada Line Ministries
untuk menggunakan seluruh atau sebagian dari jumlah yang telah disetujui
parlemen
b) Allotment: proses dimana line ministries atau main speding unit mengalokasikan
rincian dari jumlah anggaran yang telah disetujui oleh parlemen (apportioned
appropriations) kepada Spending Unit di lingkungan masing-masing (sub-
ordinate Spending Unit)
(OECD, 2001; World Bank, 2007)

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           113 

 
2. International Best Practice terkait Manajemen DIPA
Berkaitan dengan pelaksanaan anggaran (budget execution), pada dasarnya
terdapat dua sistem utama dalam manajemen atas Spending Authority, yaitu warrant
system dan apportionment/allotment system. Perbedaan mendasar di antara keduanya
adalah mekanisme penggunaan appropriasi (anggaran yang disetujui oleh parlemen)
sebagai dasar untuk membuat perikatan/komitmen yang akan membebani anggaran.
Implementasi atas salah satu dari sistem tersebut, biasanya sejalan dengan sistem
manajemen komitmen dan manajemen pembayaran dalam rangka pelaksanaan
anggaran yang diterapkan di suatu negara. Pembahasan untuk masing-masing sistem
adalah sebagai berikut:
a) Warrant system
Warrant adalah “a release of all, or more commonly a part, of the total
annual appropriation on a quarterly or monthly basis that allows a line ministry
or spending agency to make commitments” (OECD, 2001). Dalam sistem ini,
anggaran/approptiation yang disetujui parlemen lebih merupakan alat
perencanaan yang merefleksikan kebijakan dan program pemerintah untuk tahun
anggaran yang bersangkutan. Namun demikian, sebagian atau keseluruhan jumlah
anggaran tersebut baru dapat efektif sebagai dasar pengeluaran apabila telah
diterbitkan dokumen pelaksanaan anggaran (warrant) atas dasar usulan Spending
Unit. Warrant tersebut akan menjadi batas tertinggi pengeluaran (spending limit)
untuk jangka waktu tertentu dalam satu tahun anggaran. Proses bisnis
management of Spending Authority adalah sejak Plan Procurement sampai
dengan Penerbitan Warrant / Spending Limit, sebagaimana ditunjukkan dalam
Gambar 4.1.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           114 

 
Gambar 4.1.

Proses Bisnis Manajemen DIPA (Warrant System)

b) Apportionment system
Apportionment atau allotment adalah “authorizations or distributions of
funds generally made by the ministry of finance to line ministries and other
spending units permitting them to either commit or pay out of funds or both,
within a specified time period and within the amounts appropriated and
authorized”. Dalam sistem ini, prosedur alokasi atas anggaran yang disetujui
parlemen ke dalam masing-masing Spending Units akan menghasilkan dokumen
yang menjadi dasar pelaksanaan anggaran yang umumnya berlaku selama periode
tahun anggaran. Dokument tersebut efektif sebagai dasar untuk melakukan
perikatan/komitmen dan/atau pengeluaran atas beban anggaran negara. Proses
bisnis management of Spending Authority adalah proses penerbitan dan
pengesahan dokumen allotment, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 4.2

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           115 

 
Gambar 4.2
Proses Bisnis Manajemen DIPA (Apportionment System)

3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen DIPA


Pada dasarnya sistem yang dipakai di Indonesia terkait manajemen atas
Spending Authority cenderung pada sistem apportionment/allotment. Hal ini sesuai
dengan amanat UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara khususnya pasal 3
Ayat (4) yang menyebutkan bahwa APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi otorisasi
mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan (penjelasan pasal 3 ayat 4).
Di dalam Penjelasan Undang-undang No.17 tahun 2003 pada point 8 paragraf
pertama disebutkan bahwa setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan Undang-
Undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden sebagai
pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. PerPres
tersebut memuat rincian menurut alokasi anggaran untuk masing-masing Satuan
Kerja (SAPSK) dan jenis belanja.
Peraturan Presiden tersebut menjadi dasar penyusunan dan pengesahan
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DIPA) (PMK 105/PMK..02/2008 pasal 6).

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           116 

 
Konsep DIPA yang disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran Satuan kerja disahkan
berdasarkan PerPres tentang RABPP dan atau SRAA (PMK No.
105/PMK.02/2008). Di dalam DIPA diuraikan anggaran yang disediakan (UU No. 1
tahun 2004 Pasal 14 point 3). Untuk keperluan pelaksanaan anggaran, berdasarkan
DIPA Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwenang mengadakan
ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan
(UU No. 1 tahun 2004 Pasal 17).
Pada saat ini DIPA disusun per satker (kecuali beberapa instansi vertikal per
kanwil) dan per BKPK (4 digit). ADK DIPA yang terdapat dalam sistem di KPPN
adalah 6 digit. Dalam rangka pencairan dana Satker mengajukan SPM ke KPPN per
akun pengeluaran (6 digit). Realisasi pencairan dana tersebut (SP2D) dibuat per
satker dan per akun pengeluaran (6 digit).
Model koneksitas proses bisnis yang berkaitan dengan manajemen DIPA pada
saat ini adalah sebagai berikut (gambar 4.3):
Gambar 4.3
Model Koneksitas Proses Bisnis Manajemen DIPA (current)

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           117 

 
Dalam prakteknya manajemen DIPA saat ini identik dengan beberapa
permasalahan, diantaranya:
• Jumlah Satker yang sangat banyak
• Tingginya frekuensi usulan revisi DIPA
• Kurangnya fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran
• Tidak efektifnya Rencana Pencairan Dana (Halaman 3 DIPA)
• Tidak ada mekanisme update untuk Rencana pencairan Dana (Halaman 3 DIPA)
• Ketidaksesuaian Data pagu baik di lingkungan unit vertikal DJPBN maupun
dengan Satker.
Permasalahan diatas berkaitan dengan beberapa elemen-elemen dari bisnis proses,
misalnya sebagai berikut:
a) Tingginya frekuensi usulan revisi DIPA mengindikasikan hal-hal sebagai berikut:
1) Kurangnya perencanaan yang ideal selama proses penyusunan anggaran
(budget preparation)
2) Kurangnya kerjasama antara pihak-pihak di Kementrian / Satker yang
bertanggung jawab dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan anggaran.
Hal-hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan Satker untuk
mengimplementasikan anggaran.
b) Ketentuan dalam perundang-undangan menghendaki persetujuan parlemen (DPR)
sampai dengan jenis belanja. Dalam tingkatan tertentu hal tersebut mengurangi
fleksibilitas anggaran selama pelaksanaannya.
c) Rencana pencairan dana (halaman III DIPA) tidak diikuti dan tidak mengikat
Satker sehingga fungsinya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kondisi
tersebut mencerminkan kurangnya kemampuan Satker dalam perencanaan.
Namun demikian harus diakui bahwa sampai saat ini Treasury / Ditjen
Perbendaharaan belum mampu menerapkan proses bisnis dengan dukungan IT
yang ideal sebagai mekanisme untuk melakukan update rencana pencairan dana
(halaman III DIPA) sesuai dengan realisasi.
d) Jumlah Satker yang sangat banyak dalam rangka pelaksanaan anggaran juga
dipengaruhi oleh peraturan yang berkaitan dengan budget preparation yang
dihasilkan oleh DJA, misalnya rincian Perpres APBN (apportionment) sudah
mengalokasikan anggaran menurut Spending Unit (Satker) dalam bentuk SAPSK

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           118 

 
(PMK 105/2008). Sampai saat ini tidak terdapat mekanisme yang dapat menjadi
dasar bagi Ditjen Perbendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran untuk
memodifikasi jumlah dan struktur Satker dalam Perpres APBN, terutama
sebagaimana terdapat dalam Lampiran V.
e) Ketidaksesuaian data pagu baik antar Satker dengan Ditjen Perbendaharaan
maupun diantara unit teknis Perbendaharaan terutama setelah revisi. Hal tersebut
salah satunya disebabkan oleh belum tersentralisasinya data DIPA.
Permasalahan tersebut diatas harus menjadi perhatian utama dalam penyempurnaan
koneksitas proses bisnis dengan Satker terkait manajemen DIPA.

4. Fitur SPAN terkait Manajemen DIPA


Sejalan dengan rencana pengembangan SPAN maka diharapkan nantinya
proses bisnis terkait manajemen DIPA dapat mengakomodasi hal-hal sebagai
berikut:
a) DJA dapat menerima data anggaran dari Kementrian / Satker secara online.
Data anngaran tersebut dapat dikonsolidasikan dan disimpan dalam database.
b) Sistem perencanaan anggaran dapat menerima dan mencatat perubahan usulan
anggaran sebagai hasil pembahasan antara Kementrian Keuangan, Bappenas,
Kementrian / Satker dan DPR.
c) Kantor pusat kementrian teknis dapat mendistribusikan anggaran yang telah
disetujui kedalam Satker dilingkungan kerjanya (konsep DIPA) dengan
persetujuan Ditjen Perbendaharaan.
d) Ditjen Perbendaharaan dapat melihat dan menyetujui rincian anggaran yang
didistribusikan kepada Satker oleh kantor Pusat Kementrian Teknis masing-
masing (konsep DIPA).
e) Ditjen Perbendaharaan dapat menginformasikan Satker tentang rincian
anggaran yang telah disetujui baik secara paper based maupun elektronik
(DIPA).
f) KPPN dapat memeriksa secara online pagu anggaran, status komitmen, batasan
kas dan pengeluaran.
Didalam rencana pengembangan SPAN memungkinkan pengembangan beberapa
alternatif untuk sentralisasi database (terutama yang berkaitan dengan DIPA).

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           119 

 
Model koneksitas antara Satker Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan dalam
integrated budget preparation modul ditunjukkan dalam gambar 4.4.
Gambar 4.4
Model Integrated Budget Preparation

Model alternatif lainnya adalah integrasi database (terutama yang berkaitan dengan
DIPA) dengan modul budget preparation yang terpisah sebagai berikut (gambar
4.5):
Gambar 4.5
Model Separated Budget Preparation

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           120 

 
5. Rekomendasi dan alternatif Future Vision Model koneksitas proses bisnis
dengan Satker terkait Manajemen DIPA
Dari kedua model koneksitas tersebut diatas modul budget preparation yang
terintegrasi merupakan yang paling ideal. Rekomendasi terkait dengan implikasi
dari terintegrasinya data Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan dalam satu
sistem adalah sebagai berikut:
a) Fitur SPAN memungkinkan Ditjen Perbendaharaan mencocokkan rincian APBN
(perpres) dengan konsep DIPA yang diajukan Satker. Pencocokan tersebut dapat
secara manual maupun secara otomatis (by sistem) apabila fitur SPAN
sebagaimana dalam angka 4 tersebut di atas dilaksanakan. Konsep DIPA yang
disusun oleh Satker diregister ke kantor pusat K/L untuk selanjutnya dimintakan
persetujuan ke kantor pusat DJPB. Sepanjang konsep DIPA sudah sama dengan
Perpres rincian APBN dan indikator kinerja serta target yang akan dicapai sudah
sesuai dengan RKA-KL yang disepakati antara DPR dan pemerintah, sistem
tidak akan menolak konsep DIPA dan Kantor pusat DJPB harus memberikan
persetujuan atas konsep DIPA tersebut. Mekanisme ini mengakomodasi
ketentuan dalam pasal 7 PMK 105/PMK.02/2008, di mana Konsep DIPA
diajukan oleh Kuasa Pengguna Anggaran dari Satker yang bersangkutan,
sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut (Gambar 4.6):

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           121 

 
Gambar 4.6
Alternatif Model Koneksitas Proses Bisnis dengan Satker
terkait Manajemen DIPA

b) Setelah DIPA disahkan, maka pagu DIPA akan mengikat Satker dalam
pelaksanaan anggarannya dan merupakan batas tertinggi pengeluaran bagi
Satker.
c) Dalam hal terjadi usulan revisi, sistem harus dapat menerapkan pembatasan
pencairan dana secara otomatis pada subkegiatan/kegiatan yang sedang direvisi
sehingga menghindari pagu minus akibat revisi.
d) Diusulkan agar DIPA disusun per satker (kecuali beberapa instansi vertikal per
kanwil) dan per jenis belanja (2 digit). Satker tetap mengajukan pencairan
dana ke KPPN per akun pengeluaran (6 digit). Data DIPA yang diterima
KPPN adalah per satker dan per jenis belanja saja (2 digit). Untuk
kepentingan pelaporan, rincian tetap dibutuhkan per akun (6 digit).
Konsekuensinya ketersediaan pagu anggaran ditetapkan per jenis belanja (2
digit). Dengan mekanisme ini diharapkan manajemen keuangan negara di Satker
dapat lebih fleksibel dan lebih mencerminkan pelaksanaan konsep “let the
manager manages” namun tetap sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           122 

 
pada saat ini. Berikut ini pada Gambar 4.7 adalah ilustrasi dari rekomendasi
tersebut di atas.
Gambar 4.7
Rekomendasi Digitasi dari Pelaksanaan Anggaran

e) Halaman III DIPA memuat rencana penarikan dana. Di dalam Penjelasan PMK
105/PMK.02/2008 disebutkan bahwa pencantuman rencana penarikan dana
dalam dokumen DIPA adalah untuk pencapaian optimalisasi fungsi DIPA
sebagai manajemen kas pemerintah (optimalisasi pengelolaan rekening kas
negara) terkait dengan kebutuhan untuk menjamin ketersediaan uang dan
ketepatan waktu penyediaan uang dalam rangka memenuhi tagihan kepada
negara. Mekanisme ini diakomodasi dalam konsep Annual Financial Plan
(AFP) sebagai bagian dari modul manajemen DIPA di dalam SPAN bidding
document. Seperti telah disinggung sebelumnya, kelemahan utama terkait
dengan penggunaan rencana penarikan dana sebagai alat untuk manajemen kas
pada saat ini adalah sebagai berikut:
1) Tidak efektifnya rencana penarikan dana baik dalam hal keperluan realisasi
maupun kepentingan manajemen kas. Dengan kata lain, rencana penarikan
dana dalam DIPA tidak secara efektif digunakan sebagai acuan untuk

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           123 

 
keperluan pembayaran/ pengeluaran kas, sehingga menjadi tidak valid untuk
menjadi alat manajemen kas.
2) Tidak ada mekanisme update atas perubahan dan/ atau realisasi dari rencana
penarikan dana tersebut.
Beberapa alternatif dalam kerangka pengembangan SPAN untuk merevitalisasi
fungsi halaman III DIPA sebagai salah satu alat perencanaan kas sebagai
berikut:
1) Pengesahan konsep DIPA oleh Kantor pusat DJPB berati juga persetujuan
pencairan dana Satker untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan periode
AFP. Dengan demikian DIPA memiliki dua status. DIPA tidak hanya
sebagai dokumen alokasi anggaran, namun juga sebagai surat keputusan
otorisasi untuk jangka waktu tertentu (warrant). Dengan demikian AFP
memiliki sifat mengikat dan berlaku sebagai batas pengeluaran / spending
limit untuk jangka waktu sebagaimana dalam AFP.
2) AFP murni sebagai alat perencanaan kas, khususnya untuk long term
planning. Namun demikian AFP ini tidak berlaku sebagai batas tertinggi
pegeluaran spending limit untuk periode tertentu. Satker dapat melakukan
pengeluaran melebihi jumlah rencana pengeluaran sebagaimana dalam
halaman III DIPA. Rencana pengeluaran ini di update diantaranya sesuai
dengan informasi perkiraan pengeluaran yang akan jatuh tempo dalam
periode AFP. Informasi ini salah satunya diperoleh dari data atas jumlah
pagu yang telah dikontrakan dari modul manajemen komitmen.
Alternatif pertama (1) lebih realistis sebagai alat perencanaan kas. Satker
harus mengajukan usulan perubahan apabila akan melakukan pengeluaran
melebihi jumlah yang telah disetujui dalam AFP. Namun demikian sistem
tersebut akan menambah bisnis proses baru bagi Satker. Disamping itu
implementasi yang efektif dari sistem ini memerlukan kemampuan manajerial
Satker terutama dalam hal perencanaan.
Alternatif kedua (2) lebih fleksibel dan tidak rigid terhadap pengeluaran
dalam jangka waktu tertentu. Kekurangannya adalah untuk dapat dilaksanakan
secara ideal sistem ini memerlukan mekanisme updating yang terintegrasi dan
lengkap terkait dengan pengeluaran yang akan jatuh tempo, salah satu

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           124 

 
diantaranya melalui manajemen komitmen. Akan tetapi, tidak semua rencana
pengeluaran dapat diakomodasi di manajemen komitmen. Beberapa pengeluaran
yang bersifat non kontraktual umumnya dapat dilakukan tanpa manajemen
komitmen, misalnya pengeluaran untuk wages, utilities dan entitlement.
Implementasi alternatif kedua (2) harus didukung sistem lain yang memang
ditujukan untuk melakukan updating terhadap Annual Financial Plan yang
disusun oleh Satker.
Dari kedua alternatif tersebut, rekomendasi untuk mekanisme
penggunaan rencana penarikan dana adalah sebagai berikut:
1) Spending limit untuk jangka waktu satu tahun anggaran adalah total nilai
pagu yang ada pada DIPA. Pagu tersebut merupakan berfungsi sebagai
dasar untuk melakukan perikatan (otorisasi), tanpa harus disahkan terlebih
dahulu sebagai periodic spending limit (batas pengeluaran untuk jangka
waktu tertentu di dalam satu tahun anggaran) atas dasar dokumen Request
for Commmitment.
2) Rencana penarikan dana (halaman 3 DIPA) yang merupakan Annual
Financial Plan dan disusun oleh Satker akan berfungsi sebagai periodic
spending limit. Dengan kata lain, rencana penarikan dana akan berlaku
mengikat sebagai batas pengeluaran selama jangka waktu tertentu dalam
satu tahun anggaran. Rencana penarikan dana dapat direvisi atas usul satker
dan disetujui oleh treasury.
3) Informasi terkait dengan komitmen/perikatan akan menjadi salah satu input
untuk meng-update dan meningkatkan validitas dari rencana penarikan dana
selama periode waktu tertentu dalam satu tahun anggaran.
Ilustrasi dari mekanisme ini adalah sebagai mana ditunjukkan dalam gambar
berikut (Gambar 4.8):

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           125 

 
Gambar 4.8
Mekanisme Penggunaan dan Updating Rencana Penarikan Dana

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           126 

 
C. Manajemen Komitmen
1. Tujuan dan Fungsi
Komitmen merupakan kewajiban yang akan menimbulkan pembayaran di
masa yang akan datang berdasarkan pemenuhan kondisi atau kriteria tertentu (Radev
& Khemani, 2007). Dalam SPAN Bid Document, disebutkan bahwa komitmen
anggaran terjadi pada saat kontrak ditandatangani antara Satker dan rekanan untuk
pengadaan barang dan jasa di masa yang akan datang atau pada saat rekanan
menerima dan menyanggupi purchase order dari satker (p. 211). Secara umum
terdapat dua jenis komitmen. Komitmen khusus (spesific commitment) adalah
komitmen yang menimbulkan kewajiban pembayaran atau serangkaian pembayaran
dalam jangka waktu tertentu. Termasuk dalam komitmen khusus adalah penerbitan
purchase order dan persetujuan kontrak pengadaan barang dan jasa. Sedangkan
komitmen yang berkelanjutan (continuing commitment) merupakan komitmen yang
pembayarannya bersifat berkelanjutan, tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan
tidak didasarkan pada adanya kontrak tersendiri. Pembayaran untuk gaji, tunjangan
dan sejenisnya termasuk dalam continuing commitment (Radev & Khemani, 2007).
Pelaksanaan manajemen komitmen memiliki dua tujuan utama yang masing-
masing memiliki orientasi yang berbeda tetapi saling melengkapi. Pada dasarnya,
manajemen komitmen ditujukan untuk mengelola tindakan-tindakan awal yang
menimbulkan kewajiban negara dalam rangka disiplin anggaran (ketaatan terhadap
1
batas pengeluaran) dan menghindari timbulnya arrears . Namun demikian,
manajemen komitmen juga merupakan salah satu alat untuk melakukan cash
forecasting. Commitment management dapat mendukung terwujudnya cash
management yang berorientasi ke depan (forward cash management), yang berbeda
dengan cash forecasting berdasarkan data trend dari periode sebelumnya (historical
data trend). Dengan mencatatkan komitmen ke dalam sistem perbendaharaan, maka
institusi perbendaharaan dapat membuat perencanaan kas yang berorientasi ke depan
(forward cash plans) berdasarkan perkiraan aliran kas yang akan menyertai pelunasan
sebuah komitmen.

                                                            
1
 Arrears dapat diartikan sebagai kewajiban pembayaran yang tertunda di mana negara tidak dapat memenuhi 
kewajiban tersebut dalam jangka waktu tertentu (Radev & Khemani, 2007). 

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           127 

 
2. International Best Practices terkait Manajemen Komitmen
Secara garis besar terdapat dua model ekstrim dari manajemen komitmen,
sebagai berikut:
a) Manajemen komitmen yang terpusat (Centralised commitment management)
Ciri utama dari model ini adalah adanya mekanisme pengajuan Request for
Commitment untuk diuji ketersediaan dananya (uncommitted budget allocation
balance) oleh pihak treasury sebelum komitmen terjadi. Request for Commitment
yang telah disetujui dan dicatat oleh pihak treasury selanjutnya akan menjadi salah
satu dasar pembayaran oleh pihak treasury.
b) Manajemen komitmen yang didesentralisasikan (Decentralised commitment
management)
Dalam model ini, fungsi manajemen komitmen diserahkan kepada kementrian
teknis/satker yang bersangkutan. Ciri utama dari model ini adalah adanya
penunjukan pejabat (Chief Controlling Officer) yang memiliki kewenangan untuk
mengesahkan timbulnya sebuah kommitmen dan bertanggung jawab atas
aktivitas manajemen komitmen. Pejabat tersebut harus memastikan ketersediaan
dana dan kesesuaian klasifikasi anggaran atas komitmen yang dibuat dalam
kerangka internal control dan aktivitas administratif yang membentuk sistem dari
mangement commitment. Pada intinya, diperlukan adanya pengesahan dari
pejabat yang berwenang sebelum terjadinya sebuah komitmen.
Pada prakteknya, terdapat banyak variasi dari aplikasi manajemen komitmen
di berbagai negara. Secara umum, model manajemen komitmen suatu negara
tergantung pada keseluruhan kerangka organisasi dalam proses pelaksanaan anggaran
khususnya yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran (payment management)
dan sistem akuntansi (accounting system) (Radev & Khemani, 2007).

3. Current State Assessment & Problems Terkait Manajemen Komitmen


Dalam peraturan perundangan yang ada telah terdapat beberapa pasal yang
secara implisit mengatur tentang manajemen komitmen dan dapat dijadikan landasan
untuk pengembangan manajemen komitmen di masa yang akan datang. Dalam pasal 3
ayat 3 UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN/APBD hanya dapat

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           128 

 
dilakukan jika tersedia cukup anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 17 ayat 2 ditegaskan bahwa ikatan/perjanjian dalam rangka
pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh pengguna anggaran atau kuasanya dengan
pihak lain hanya dapat dilakukan dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Selanjutnya patut diperhatikan bahwa seiring dengan semangat let the
manager manages dan peran menteri/pimpinan lembaga sebagai Chief Operational
Officer, kewenangan administratif dalam pengelolaan keuangan negara ada pada
kementrian Negara/lembaga. Kewenangan administrative tersebut diantaranya
meliputi kewenangan untuk melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya
yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara dan melakukan
pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementrian/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut (Penjelasan UU Perbendaharaan).
Dari telaah terhadap ketentuan perundangan yang ada, secara implisit
ketentuan perundangan yang berkaitan dengan manajemen komitmen lebih cenderung
pada model decentralized commitment management. Hal ini dapat dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut:
a) kewenangan administrative pada kementian/lembaga untuk membuat perikatan
dan melakukan pengujian (ketersediaan anggaran). Mekanisme tersebut
merupakan salah satu ciri utama dalam decentralized commitment management.
Salah satu fitur dari decentralized commitment management adalah adanya
pejabat tertentu yang melakukan otorisasi dan bertanggung jawab untuk
melakukan perikatan (Chief Commitment Officer). Dalam konteks UU
perbendaharaan, peran commitment officer ini dilakukan oleh Pejabat Pembuat
Komitment (PPK).
b) adanya asas umum yang mengatur secara tegas batasan kewenangan untuk
melakukan perikatan dalam bentuk ketersediaan dana/anggaran. Hal tersebut
berlawanan dengan fitur dari centralized commitment management di mana
expenditure ceiling yang dihasilkan dari pengajuan Request for Commitment
merupakan batasan untuk melakukan komitmen dan melakukan pembayaran
sebagai akibat dari timbulnya komitment dalam periode tertentu (see Radev &
Khemani, 2007; p. 9)

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           129 

 
Pada saat ini belum tersedia mekanisme yang dapat mengintegrasikan
komitmen yang telah dibuat satker ke dalam sistem perbendaharaan negara,
khususnya untuk mendukung pelaksanaan manajemen kas di Ditjen Perbendaharaan.
Demikian pula untuk kontrak yang multi years, belum secara otomatis terekam
rencana tahapan-tahapan pembayarannya untuk masing masing tahun anggaran. Di
samping itu, Chart of Account yang ada belum dapat mengakomodasi pencatatan
untuk commitment stages dalam pelaksanaan anggaran.
Terkait dengan manajemen komitmen, sebagian dari fitur manajemen
komitmen pada saat ini dilaksanakan sebagai bagian dari manajemen
pembayaran. Misalnya, informasi tentang komitmen yang sangat terbatas sifatnya
(sesuai dengan appendix V) disampaikan ke KPPN dalam bentuk resume kontrak
sebagai salah satu lampiran SPM (Perdirjen 66/PB/2005). Dengan model koneksitas
seperti ini, informasi perihal kontrak yang disampaikan ke Ditjen Perbendaharaan
menjadi kurang relevan untuk pencapaian tujuan manajemen komitment. Misalnya,
tidak ideal untuk keperluan forward cash planning karena baru dapat diketahui pada
saat pengeluaran dari kas negara dilakukan.
Beberapa inisiatif telah diupayakan untuk mengatasi kekurangan ini.
Diantaranya melalui penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas
Instansi/Satuan Kerja Pemerintah Pusat/Daerah (SE-02/PB/2006) serta penyampaian
Laporan Realisasi Dan Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun
Anggaran 2008 melalui aplikasi Peran 2008 (SE-38/PB/2008). Namun kedua hal
tersebut berjalan kurang efektif, baik karena kurangnya pemahaman Satker maupun
karena sifatnya yang ad-hoc untuk memenuhi kebutuhan akan informasi tertentu pada
akhir tahun anggaran (Peran 2008). Pada saat ini tengah dikembangkan model Peran
2009 yang lebih komprehensif yang memperhatikan data aktual dari kegiatan yang
sudah atau belum dikontrakkan dari sisa pagu anggaran yang tersedia.

4. Fitur SPAN terkait Manajemen Komitmen


Sesuai dengan rencana pengembangan SPAN, dalam SPAN Bid Document
dapat diidentifikasikan bahwa dengan fitur manajemen komitmen (commitment
management module) Ditjen Perbendaharaan dapat melakukan perencanaan kas atas
dasar perkiraan arus kas yang menyertai pelunasan sebuah komitment (hal.211).

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           130 

 
Commitment management juga diarahkan untuk bisa melakukan updating atas sisa
kredit anggaran (uncommitted balance) dan sisa allotment, terkait dengan pembuatan
dan pelunasan sebuah komitment. Dengan demikian, DJA dan DJPBN dapat
memonitor komitmen sampai dengan pelaksanaan pembayaran.
Satker harus memastikan bahwa komitmen dibuat atas dasar ketersediaan
kredit anggaran. Komitmen tersebut selanjutnya harus diregistrasi kepada
perbendaharaan (treasury) (p. 211). Sebagai dasar untuk mencatat komitmen dalam
SPAN, Satker menyusun dan menyampaikan Request for Commitment (RFC) kepada
KPPN bersama dengan dokumen pendukungnya (hal.194). Request for Commitment
(RFC) yang valid dicatat ke dalam sistem beserta Commitment Application Number
(CAN) (technical requirement BC 011, p. 286) yang diberikan untuk keperluan proses
pembayaran sebagaimana diatur dalam model payment management (p. 215). Alur
aktivitas (work flows) selengkapnya sebagaimana tercantum dalam SPAN Bidding
Document adalah sebagai berikut (Gambar 4.9):

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           131 

 
Gambar 4.9
Rencana Pengembangan SPAN
untuk Modul Manajemen Komitmen (Bidding Document)

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           132 

 
4.1.Koneksitas Dan Integrasi Dengan Modul Lainnya
Dalam rangka pencapaian tujuan dari manajemen komitmen, keterkaitan
manajemen komitmen dengan modul lainnya dalam SPAN, khususnya modul
Manajemen DIPA dan Payment Management adalah sebagai berikut (di gambarkan
dalam Gambar 4.10):
a) Informasi terkait dengan komitmen akan di update atas dasar invoice/tagihan yang
valid dari Satker. Pada saat yang sama, akan dilakukan pencatatan atas tagihan
yang disetujui untuk dibayar sebagai payables (hutang).
b) KPPN melakukan verifikasi apakah SPM yang diajukan merujuk pada
commitment tertentu yang telah diregistrasi sebelumnya dan memiliki
Commitment Application Number (CAN), untuk jenis-jenis pengeluaran yang
memerlukan CAN (umumnya yang bersifat kontraktual).
c) Atas dasar permintaan pembayaran (SPM) yang disetujui (SP2D), treasury akan
melakukan update atas informasi terkait dengan komitmen yang telah dicatat
sebelumnya melalui mekanisme pengajuan Request For Commitment (RFC) dan
penerbitan Commitment Application Number (CAN).

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           133 

 
Gambar 4.10
Rencana Pengembangan SPAN
untuk Modul Manajemen Pembayaran (Bidding Document)

Keterkaitan antara komitmen manajemen dengan manajemen DIPA, diantaranya


berupa penentuan Spending Limit. Hal tersebut tidak disebutkan secara khusus pada
bagian yang menjelaskan tentang Manajemen DIPA. Namun demikian, fitur dari
penerapan manajemen komitmen dalam rangka melakukan monitoring atas spending
authority dalam bentuk updating atas spending limit cukup jelas digambarkan dalam

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           134 

 
kerangka manajemen komitmen. Dalam keterangan terkait dengan Manajemen DIPA
dalam dokumen SPAN, digunakan istilah spending authority dalam bentuk penyusunan
Annual Financial Plan (halaman 3 DIPA) dan opsi penerapan cash limit dalam kondisi
tertentu. Kedua hal tersebut, berbeda dengan spending limit. Spending limit dalam
pengertian manajemen komitmen adalah sisa dari budget allotment yang belum menjadi
objek perikatan (uncommitted budget allotment). Sedangkan, batasan spending authority
dalam manajemen DIPA dalam bentuk AFP dan Cash limit lebih terkait dengan aspek
perencanaan penarikan dana dan ketersediaan kas.
Dari uraian terkait dengan international practice dan workflows diagram untuk
manajemen komitmen dalam SPAN Bid Document sebagaimana tersebut, di atas dapat
diidentifikasi hal-hal sebagai berikut:
a) Dalam SPAN Bid Document diperkenalkan adanya hybrid model dari centralized
dan decentralized commitment management model. Dalam model yang ada di
SPAN, Satker harus memastikan ketersediaan anggaran sebelum melakukan
perikatan. Selanjutnya, model tersebut juga mengakomodasi aktivitas pencatatan
komitment atas dasar persetujuan kontrak maupun penerbitan purchase order. Namun
demikian, model yang ada dalam SPAN juga mensyaratkan pengajuan Request for
Commitment (RFC) untuk disahkan oleh pihak treasury (DJPBN) yang selanjutnya
akan menjadi salah satu dasar pembayaran.
b) Pencatatan atas komitmen dan dampaknya terhadap ketersediaan anggaran dilakukan
baik oleh Satker maupun oleh pihak treasury, dalam hal ini DJPBN. Satker melakukan
pencatatan dan monitoring atas komitmen yang dibuat dan sisa kredit anggaran.
Namun demikian, perekaman kedalam database (sistem perbendaharaan) hanya
dilakukan oleh Treasury atas dasar pengajuan dokumen komitmen (RFC) yang valid.
c) Manajemen komitmen ditujukan tidak hanya untuk mendukung aktivitas manajemen
kas tetapi juga dimaksudkan untuk mendukung tercapainya disiplin anggaran dengan
memastikan adanya pencatatan dan manajemen atas batas pengeluaran (spending limit
record).
Kerangka manajemen komitmen dan kaitannya dengan modul lainnya dalam
dokumen SPAN, dan tujuan dari manajemen komitmen menurut international best
practice dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 4.11):

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           135 

 
Gambar 4.11
Kerangka Manajemen Komitmen Dan Kaitannya Dengan Modul Lainnya Dalam SPAN

Procurement  Commitm Acquisition 


ent Record  and Invoice 
(RFC+CAN)
, Spending 
Limit, 
Record on  Verify 
Payables  Commitment 
Kontrak/
Record and 
PO 
Book 
payables, 
Issue SPP 

CAN SP2D 
Creating 
RFC 
Prepare 
Payment 
Document 
(SPM) 
Verification + 
Approvals 
(RFC and/or 
RFC  SPM + 
SPM)
CAN 

Retrieve 
Cash 
Forecasting 
Record 

Cash 
Forecasti
ng Record 

Tujuan yang berkaitan dengan monitoring atas Tujuan yang berkaitan dengan pencatatan 
uncommitted budget balance [Fitur dari  akuntansi (payables) dan perencanaan  kas 
centralized commitment management]  [Fitur dari de‐centralized commitment 
management 

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           136 

 
Sebagaimana terlihat dalam Gambar 4.11, terdapat dual purpose yang menjadi
visi dari penerapan komitmen manajemen, yaitu yang berkaitan monitoring
uncommitted budget balance dan cash forecasting. Tujuan yang pertama, akan dicapai
melalui updating Pagu Pengeluaran (spending limit) atas dasar dokumen RFC yang
dibuat berdasarkan perkiatan (kontrak/PO). Namun demikian tidak disebutkan secara
jelas data apa yang digunakan sebagai dasar cash forecasting dan kapan data tersebut
disampaikan ke KPPN.
5. Rekomendasi Dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
Dengan Satker Terkait Manajemen Komitmen
Kompleksitas orientasi dan kerangka manajemen komitmen dalam SPAN serta
perlunya dukungan landasan hukum yang memadai untuk penerapan yang efektif
memunculkan beberapa isu yang patut menjadi perhatian.
a) Establishment of Commitment
Manajemen komitmen menghendaki adanya pencatatan dan pelaporan
berkaitan dengan perikatan (see SPAN Bid Document; Radev & Khemani, 2007).
Oleh karena itu, penentuan critical event untuk mengakui terjadinya komitmen
dan mencatatnya ke dalam sistem informasi perbendaharaan sebagai bagian dari
manajemen sistem informasi atas pagu DIPA menjadi sangat penting. Misalnya,
apakah komitmen dicatat dan di akui pada saat penandatanganan kontrak/
penerbitan purchase order atau pada saat tagihan (invoice) diterima. Termasuk
pula penentuan kapan payables (hutang) sebagai akibat dari perikatan harus
dicatat dalam sistem akuntansi. Pencatatan hutang berguna sebagai salah satu
input bagi manajemen kas, terutama untuk jangka pendek. Penentuan critical
event dalam rangka manajemen komitmen ditentukan pula oleh kategori/jenis
pengeluarannya (specific/ continuous commitment). Oleh karena itu diperlukan
inventarisasi dan pemahaman atas jenis pengeluaran (category of expenditure)
yang ada dalam APBN.

• Penentuan critical event untuk pengakuan komitmen. 
• Penentuan saat pengakuan dan pencatatan sebagai payables 
• Penentuan source document untuk mencatat komitment ke dalam sistem  
• Apakah  commitment  dicatat  pada  specific  account  (MAK  tertentu)  atau  cukup 
dengan  penambahan  kode  yang  mengindikasikan  stages  tertentu  (commitment) 
pada struktur Bagan Akun Standar?  

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           137 

 
Merujuk pada definisi komitmen dalam istilah akuntansi, komitmen diakui
pada pada saat kontrak atau perjanjian yang mengikat (a legally binding agreement)
dalam rangka pengadaan barang dan/atau jasa dibuat (OECD, 2001). Namun
demikian dalam pendekatan penganggaran (budgetary sense), komitmen akan
disertai/menjadi kewajiban (liability) yang sesungguhnya hanya setelah dilakukan
serah terima barang dan/jasa yang menjadi objek perikatan (World Bank, 2007;
OECD, 2001). Definisi menurut pendekatan penganggaran ini cenderung tidak
memberikan rekomendasi untuk mengakui komitmen sebagai hutang (liability)
hanya atas dasar pembuatan kontrak. Dengan kata lain, sebagaimana yang
digunakan dalam praktek penganggaran dan manajemen di Amerika Serikat,
komitmen lebih sebagai “administrative reservation of allotted funds in anticipation
of an obligation” (FSIO, 2009).
Kerangka manajemen komitmen menurut SPAN dapat mengakomodasi baik
pendekatan akuntansi maupun pendekatan penganggaran (budgetary sense)
sebagaimana tersebut di atas Namun demikian, dalam dokumen SPAN tidak
dijelaskan kapan data untuk keperluan cash. forecasting dihasilkan untuk kemudian
diintegrasikan kedalam sistem informasi perbendaharaan.
Dalam rangka penerapan pendekatan penganggaran, komitmen diakui pada
saat penandatanganan kontrak dan dicatat ke dalam sistem informasi
perbendaharaan. Namun demikian, sifat pencatatan bukanlah pencatatan akuntansi
dalam bentuk hutang (liability/ payable). Pencatatan yang dilakukan lebih ditujukan
untuk menginformasikan bahwa sebagian dari pagu anggaran telah terikat pada
kontrak tertentu dan menjadi “committed budget balance”. Terkait dengan data
untuk keperluan cash forecasting, dalam bentuk arus kas yang menyertai pelunasan
sebuah komitmen, pada prinsipnya dapat didasarkan atas catatan dari komitmen
yang telah menjadi hutang (liabilities).
Terdapat beberapa alternative untuk pengakuan liabilities yaitu berdasarkan
kontrak, berdasarkan tagihan yang valid /penerbitan SPP, dan berdasarkan penerbitan
SPM. Berikut adalah analisis atas penerapan masing-masing opsi penyampaian data
untuk keperluan forward cash planning:
1) Berdasarkan kontrak pada penyampaian dokumen RFC:

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           138 

 
- Kelebihan:
tersedianya waktu yang lebih cukup bagi institusi perbendaharaan untuk
merencanakan kas sesuai dengan pelunasan komitmen (angsuran).
- Kekurangan:
Tidak dapat ditentukan kapan tagihan akan diajukan oleh pihak ke-tiga
berdasarkan prestasi kerja, terutama yang berkaitan dengan kontrak yang
bersifat volume based.
Unsur kewajiban untuk membayar tagihan dapat gugur apabila prestasi
pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak (invalid invoice).
2) Berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan dan Tagihan Pihak ke-3 yang
benar/SPP (semi-valid invoice )
- Kelebihan:
Unsur kepastian tagihan lebih terjamin karena telah melalui proses verifikasi
dalam acquisition (serah terima barang) dan verifikasi awal atas invoice oleh
Pejabat Pembuat Komitmen dalam rangka penerbitan SPM.
Waktu yang mencukupi bagi treasury untuk mempersiapkan ketersediaan kas
sesuai dengan pelunasan tagihan yang diajukan.
Starting point yang cukup ideal untuk menghitung cycle time (waktu yang
diperlukan) atas business process pelaksanaan tugas kebendaharaan di Satker
- Kekurangan
Tagihan dapat saja tidak disetujui oleh Penguji SPM karena unsur verifikasi
awal dalam rangka penerbitan SPP bisa saja tidak memadai/ tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Mekanisme yang ada kurang cukup member insentif bagi Satker untuk
menyampaikan data terkait dengan diterimanya tagihan yang lengkap oleh
PPK. Peluang terjadinya kolusi antara PPK dan Penguji SPM terkait dengan
waktu penerimaan tagihan dan penerbitan SPM.
3) Berdasarkan Surat Perintah Membayar
- Kelebihan:
Unsur kepastian validitas tagihan lebih tinggi karena sudah melalui proses
internal control yang lebih lengkap di Satker
- Kekurangan:

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           139 

 
Horison waktu yang sangat pendek dan kurang ideal untuk keperluan
perencanaan kas.
Catatan: Pembahasan alternative tersebut di atas juga merujuk pada
model/alternatif pencatatan komitmen sebagai payables. Misalnya, dalam respond
atas technical requirement SPAN, payables akan dicatat menggunakan Oracle
Payables pada saat SPM diterima di KPPN.
Dengan merujuk pada praktek internasional, hutang (liabilities) akan diakui
setelah terjadi pemenuhan komitmen dalam bentuk serah terima barang dan jasa.
Pencatatan hutang (payables) akan cukup ideal jika dilakukan berdasarkan
diterimanya tagihan yang valid (diterbitkannya SPP) sesuai dengan telaah atas
kelebihan dan kekurangan untuk masing-masing alternatif sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Diharapkan unsur kepastian/validitas tagihan akan lebih
terjamin, dan memberi horizon waktu yang mencukupi bagi treasury untuk
menggunakan data terkait payables untuk perencanaan kas. Kerangka usulan secara
lebih detail adalah sebagaimana terlihat baik pada Gambar Alternatif 1 maupun
Alternatif 2.

Pada prinsipnya, pencatatan komitmen yang ideal mengharuskan adanya


sistem akuntansi berbasis akrual. Pencapaian fungsi dan tujuan dari manajemen
komitmen yang berhubungan dengan disiplin anggaran (monitoring spending limit)
dan penyempurnaan manajemen kas harus didukung dengan mekanisme akuntansi
dan pelaporan yang ideal. Hal tersebut selanjutnya mempersyaratkan adanya suatu
chart of account yang merefleksikan stages dalam siklus pengeluaran (expenditure
cycle). Sistem akuntansi yang ada pada saat ini sudah mengarah pada full accrual
accounting. Namun demikian, sampai saat ini belum ada mekanisme pencatatan untuk
mengakui perikatan, dan hanya mengakui alokasi anggaran (appropriation dan
allotment) dan pembayaran (realisasi).

Pendekatan yang dianggap paling efektif untuk mencatat pengakuan komitmen


ini adalah dengan memberikan kode yang menggambarkan stages (tahapan) tertentu
dalam siklus anggaran. Kerangka pengakuan stages (tahapan) dalam siklus anggaran
menurut kerangka Bagan Akun Standar yang sedang dikembangkan saat ini adalah
sebagai berikut:

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           140 

 
Stages Code
APBN --- DIPA Rv. Komitmen Rv. Revenue --- Expenditure ---
DIPA Komitmen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Terkait dengan penggunaan data hutang sebagai alat perencanaan kas, agar
pelaksanaanya dapat berjalan efektif, terdapat beberapa kondisi yang harus disiapkan.
• Harus diberikan Account khusus (tertentu) untuk mengakui hutang (atas pemenuhan
komitmen/kriteria tertentu dari sebuah komitmen). Account tersebut dapat diberikan
untuk masing-masing akun, masing-masing jenis belanja, maupun satu akun tertntu
untuk mengakui aggregate liabilities yang berkaitan dengan pengakuan komitmen.

Sakter Fund Fungsi Sub Program Aktivitas Sub. Klasifikasi Stages Account
Fungsi Aktivitas Ekonomi Code
--- --- --- --- --- --- --- --- 01 ---
Misalnya pada saat ini akun utang yang berkaitan dengan komitmen terkait transfer
dan subsidi diberikan kode akun tersendiri (Kode Akun 211221 : Belanja dana
perimbangan yang masih harus dibayar, kode akun 211611 : utang subsidi).
• Harus mulai dikembangkan cycle time untuk proses bisnis terkait komitmen. Berikut
pada Gambar 4.12 ditunjukkan simulasi atas contoh cycle time untuk keperluan
analisis.
Gambar 4.12
Simulasi Cycle Time Untuk Proses Bisnis Terkait Manajemen Komitmen

Serah terima 
Invoice  SPP  SPM  KPPN 
B/J 
Hari H 
3 hari  3 hari 3 hari 2 hari 
Bank 

Book 
payable 

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           141 

 
Manfaat dari cycle time diantaranya adalah dapat digunakan sebagai alat
monitoring atas pelaksanaan tugas kebendaharaan di Satker, sehingga dapat
meningkatkan transparansi dan internal control yang lebih efektif. Data payables
juga dapat digunakan untuk keperluan perencanaan kas yang lebih valid. Misalnya,
apabila ditentukan SPM harus di sampaikan 5 hari sejak penerbitan SPP dan
pencatatan payables. Satker harus melakukan pencatatan payables segera setelah
diketahui kebenaran dan kelengkapan tagihan. KPPN hanya akan melakukan
pembayaran/ menerbitkan SP2D apabila terdapat data payables atas pemenuhan dari
komitmen yang dimintakan tagihan. Hal tersebut diusulkan terutama untuk menjadi
insentif dan mengoptimalkan peran Satker dalam pengelolaan keuangan negara
secara keseluruhan. Di sisi lain, pengelolaan keuangan negara akan lebih transparan
baik bagi masing-masing pejabat perbendaharaan di Satker maupun bagi
Perbendaharaan. KPPN hanya akan menerbitkan SP2D pada hari tersebut (5 hari
kerja sejak pencatatan payables). Apabila tidak diterima SPM pada hari tersebut,
payables dapat dihapus (write-off) dan Satker harus melakukan pencatatan ulang
payables.
Metode ini dapat berjalan dengan baik apabila pengujian awal yang menjadi
dasar penerbitan SPP cenderung valid. Harus dilakukan identifikasi dan assessment
atas kinerja Satker, dan peningkatan sosialisasi apabila diperlukan. Metode
penggunaan data payables yang dicatat berdasarkan invoice sebagai salah satu input
bagi perencanaan kas dijalankan dengan cukup efektif dalam rangka penyaluran dana
Anggaran di Australia. Di Australia, valid invoice yang dicatat sebagai payable dan
disampaikan ke institusi treasuri dibayarkan pada hari ke-30 sejak diregistrasinya
data payables dan tagihan tersebut. Visualisasi yang berkaitan dengan pengajuan
RFC, updating spending limit, pencatatan payables, dan data forcasting dapat dilihat
baik pada gambar alternatif 1 maupun pada gambar alternatif 2.
b) Registration of Commitment
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, manajemen komitmen yang ideal (yang
merupakan fitur utama dari manajemen komitmen) mensyaratkan pencatatan
informasi yang berkaitan dengan komitmen ke dalam sistem perbendaharaan dalam
rangka penerapan disiplin anggaran dan perencanaan kas. Di dalam dokumen SPAN,
tidak jelas disebutkan/digambarkan (i) pihak (Satker atau Perbendaharaan) yang

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           142 

 
harus pertama kali mencatat (first/ever single entry point) data terkait komitmen (ii)
pihak yang akan meregistrasi informasi terkait dengan komitmen ke dalam data base
treasury. (iii) informasi yang harus di simpan dalam data base perbendaharaan (iv)
pihak-pihak yang dapat mengakses data komitmen yang telah diregistrasi.

• Apakah Satker dan Line Ministries harus mencatat komitmen dalam database masing-
masing (terpisah dengan treasury)?
• Siapa yang meregistrasi informasi terkait dengan komitmen dalam data base treasury
(satker, line ministries, KPPN)?
• Media apa yang digunakan dalam pertukaran informasi terkait dengan komitmen
(hardcopy /Softcopy/ On-line)?
• Informasi apa saja yang harus disimpan (di-maintain) dalam database
perbendaharaan?
• Siapa saja yang dapat mengakses informasi terkait komitmen yang telah diregistrasi
(disimpan dalam data base treasury)? 

Hal tersebut mensyaratkan adanya mekanisme alur dokumen dan data yang
dapat menghubungkan Satker dengan institusi perbendaharaan dalam rangka
pertukaran informasi terkait dengan pembuatan komitmen atas pagu anggaran, dan
berikut kewajiban untuk melakukan pembayaran atas dasar pemenuhan kondisi
tertentu. Mekanisme penyampaian informasi tersebut harus sederhana, transparan
dan akuntabel, didukung dengan peraturan perundangan, memanfaatkan secara
maksimal teknologi informasi yang ada, dan sedapat mungkin memiliki insentif
yang bermanfaat bagi Satker dalam pengelolaan keuangan negara. Institusi
treasury, juga idealnya harus menyimpan (store) data terkait dengan komitmen salah
satunya karena data tersebut akan digunakan kembali (retrieve) pada saat
pembayaran tagihan. Alur dokumen yang berkaitan dengan komitmen, terkait dengan
pelaksanaan fungsi-fungsi inti treasuri lainnya (manajemen DIPA, manajemen
pembayaran, manajemen kas adalah sebagai mana ditunjukkan dalam gambar berikut
(Gambar 4.13).

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           143 

 
Gambar 4.13
Alur dokumen dan workflow proses bisnis di Satker
yang berkaitan dengan manajemen komitmen

Keterangan Gambar:
Alur dokumen terkait manajemen komitmen di Satker
Alur Komitmen
Alur Pembayaran
Alur Manajemen Kas
Alur Manajemen DIPA
Model koneksitas proses bisnis dengan Satker-- yang ditunjukkan oleh keterkaitan
aktivitas control, elemen data, mekanisme input/ output-- yang berkaitan dengan
Manajemen Komitmen adalah sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut
(gambar 4.14):

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           144 

 
Gambar 4.14
Alur data dan koneksitas proses bisnis dengan Satker
terkait Manajemen Komitmen

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           145 

 
c) Commitment Verification
Dalam dokumen SPAN, disebutkan bahwa satker mempersiapkan dan
mengajukan Request for Commitment beserta dokumen pendukungnya kepada KPPN
(p. 192) dan harus memperoleh persetujuan treasury (KPPN) sebelum commitment
dicatat kedalam database treasury (p. 226). Selanjutnya, setiap commitment (specific
commitment) yang disetujui dalam proses commitment registrasion, akan memperoleh
Commitment Application Number (CAN) yang selanjutnya akan menjadi salah satu
acuan dalam proses pembayaran (p. 215 dan p. 287).
Mekanisme tersebut di atas, secara implisit menghendaki adanya pengujian
terhadap perikatan yang dibuat oleh satker sebelum dilakukan pembayaran sebagai
akibat dari pemenuhan kondisi tertentu.

• Bagaimana sifat pengujian RFC dalam rangka penerbitan CAN? 

• Informasi apa saja yang harus terdapat dalam dokumen Request For 
Commitment?  

• Bagaimana integrasi sifat pengujian RFC terhadap ketentuan dalam 
manajemen pembayaran?? 

Berikut adalah informasi yang berkaitan dengan input data dan verifikasi atas
informasi yang berkaitan dengan komitmen dalam versi SPAN Bid Document.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           146 

 
Sebagai bahan perbandingan, dalam penjelasan UU Perbendaharaan
disebutkan bahwa fungsi pengelola keuangan/bendaharawan umum (terkait dengan
aspek rechtmatigheid dan wetmaitgheid) yang dijalankan oleh Menteri
Keuangan/Treasury hanya “dilakukan pada saat terjadi penerimaan dan
pengeluaran”. Perlu dilakukan kajian agar sifat ruang lingkup pengujian/ verifikasi
atas dokumen RFC yang diajukan oleh Satker ke KPPN tidak bertentangan dan
didukung dengan kerangka landasan hukum yang ada. Beberapa alternatif adalah
sebagai berikut:
1) Alternatif 1: Membatasi pengajuan dokumen RFC ke KPPN hanya sebagai proses
registrasi atas data komitmen. Pengujian atas komitmen hanya akan dilakukan pada
saat penerbitan SP2D. Alternatif ini didasarkan atas penafsiaran secara konservatif
atas Penjelasan dalam UU Perbendaharaan Negara sebagaimana tersebut di atas.
Alternatif ini juga sangat mirip dengan praktek saat ini dimana verifikasi atas
komitmen dilakukan pada saat pembayaran. Kelemahannya adalah (i) resiko dari
registrasi data komitmen yang tidak valid, (2) aktivitas terkait dengan komitmen
manajemen akan cenderung hanya menjadi ekstra work baik bagi Satker maupun
bagi KPPN.
2) Alternatif 2: Alternatif ini didasarkan pada penafsiran bahwa proses yang
berkaitan/menyebabkan pengeluaran termasuk dalam kewenangan
perbendaharaan untuk melakukan pengujian pada saat terjadinya pengeluaran.
Artinya, proses pengujian validitas komitmen yang akan menimbulkan kewajiban
pengeluaran merupakan bagian dari proses pengeluaran uang dari kas negara. Pada
saat ini terdapat dua jenis pengujian yang dilakukan KPPN, yaitu pengujian
substantif dan formal. Verifikasi atas data commitment sebagaimana dalam SPAN
(BC-008) lebih bersifat pengujian substantif.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           147 

 
Dalam alternatif 2 diusulkan pemisahan pengujian substantif dan formal dalam
proses pengeluaran kas/pembayaran tagihan. Data komitmen yang diajukan satker ke
KPPN diverifikasi secara substantif (di antaranya termasuk pengujuan dalam BC008
sebagaimana tersebut di atas). Sedangkan pengujian atas SPM lebih difokuskan pada
pengujian yang bersifat formal, termasuk didalamnya pengujian atas ke adaan reference
atas data komitmen tertentu (Commitment Application Number).
Dengan cara tersebut di atas, diharapkan data komitmen dapat lebih efektif baik
bagi monitoring data pagu maupun bagi perencanaan kas, karena melalui pengujian di
KPPN validitasnya lebih terjamin. Di samping itu, hal tersebut akan memudahkan
pelaksanaan tugas di KPPN pada saat pengajuan pembayaran (pengujian atas SPM).
Namun demikian, penerapan hal tersebut harus di dukung kepastian kesesuaian dengan
perndangan yang berlaku.
Mekanisme tersebut di atas memerlukan ketentuan yang secara eksplisit dan
terinci mengatur hal-hal yang harus tercantum dalam format dokumen RFC beserta
dokumen pendukung lainnya jika ada. Di samping itu, harus ada landasan hukum yang
secara eksplisit mengatur obyek dan sifat pengujian oleh KPPN dalam rangka
pengesahan sebuah komitmen.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           148 

 
Gambar Alternatif 1
Alternatif (1) Pengembangan Manajemen Komitmen

Commitment Record  Acquisiton n 
Procurement  (RFC+CAN),   Invoice 
Document
Spending Limit,  

Record on Payables,  
Verification of 
Cash forecasting/  Commitment 
Kontrak/ balance  record based on  Record 
PO  payables 

Issue SPP, 
Book payables  

CAN  CAN SP2D 


Issuance 
of RFC
Prepare 
Payment 
Document 
(SPM) 
Registra Updating  Commitment 
sion of  Commit verification on 
Commit ment    item as 
RFC  described in  SPM + 
ment   
BC008  CAN

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           149 

 
Gambar Alternatif 2
Alternatif (2) Pengembangan Manajemen Komitmen

Commitment Record  Acquisiton n 
Procurement  (RFC+CAN),   Invoice 
Document
Spending Limit,  

Record on Payables,  
Verification of 
Cash forecasting/  Commitment 
Kontrak/ Record 
balance  record based on 
PO 
payables 

Issue SPP, 
Book payables  
CAN
CAN  SP2D 
Issuance 
of RFC Prepare 
Payment 
Document 
Commit Registr Updat Check  (SPM) 
metn  asi  of  e  CAN 
Verifica Commi Com
Availa
tion   tment   mitm SPM + 
RFC  bility 
(RFC/  en  CAN
BC008) 

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           150 

 
D. Manajemen Pembayaran 

1. International Best Practice terkait Manajemen Pembayaran


Dalam Treasury Diagnostic Toolkit (Hasim & Moon, 2004), terdapat 2 (dua)
model terkait dalam Pencairan Anggaran, yaitu: (1) sentralisasi manajemen
pembayaran dan (2) desentralisasi manajemen pembayaran. Sentralisasi pembayaran
melalui Treasury memungkinkan dilakukannya pengecekan oleh Treasury untuk
memastikan bahwa pembayaran yang dilakukan telah sesuai dengan budget
appropriations. Konsolidasi Satker bank accounts ke dalam TSA di bawah kendali
treasury, memungkinkan efficient cash management dan menghindarkan suatu situasi
dimana di satu sisi terdapat banyak idle cash di Satker bank accounts dan di sisi lain
rekening BUN secara agregat mengalami defisit.
Struktur organisasi yang diperlukan dalam rangka sentralisasi pelaksanaan
pencairan anggaran terdiri dari main treasury office di kantor pusat, second tier
treasury offices di tingkat propinsi dan (kemungkinan) third tier offices yang berada
di setiap kabupaten/district. K/L memproses transaksi pembayaran mereka di central
level treasury office, sedangkan Satker memproses transaksi pembayarannya di kantor
treasury propinsi/kabupaten terdekat. Satker mengirimkan transaksi pengeluarannya
kepada kantor treasury terdekat untuk pemrosesan pembayarannya. Treasury akan
mengirimkan transaksi pengeluaran yang telah disetujui kepada kantor cabang
Central Bank terdekat dimana TSA berada, untuk melakukan pembayaran kepada
vendor. Berikut ini dalam Gambar 4.15 menunjukkan skema yang menjelaskan
sentralisasi proses pembayaran untuk mempermudah pemahaman.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           151 

 
Gambar 4.15
Sentralisasi Proses Pembayaran

Sumber: Treasury Diagnostic Toolkit

Dalam kasus dimana treasury dan kerangka hukum untuk budget execution telah
ada dan berfungsi secara efisien, model alternatif pencairan anggaran harus
digunakan. Di beberapa negara, K/L dan Satker bertanggung jawab secara langsung
untuk melakukan pembayaran melalui TSA. TSA masih berada di Central Bank dan
Central Bank akan bertanggung jawab terhadap retail banking operations dalam
kaitannya dengan pembayaran dan penerimaan pemerintah. Menteri Keuangan harus
memastikan bahwa terdapat mekanisme pengendalian yang memadai sebelum
K/L/Satker melakukan pembayaran. Pengendalian tersebut dapat dilakukan oleh
central treasury. TSA Bank juga dapat diperintahkan untuk melaksanakan mekanisme
pengendalian terhadap batasan pengeluaran secara keseluruhan yang dilakukan oleh
K/L/Satker. Dalam model ini, Satker dan K/L di atasnya memiliki tanggung jawab
yang lebih besar untuk menjaga rekening mereka dan rekening pemerintah secara
umum. Berikut ini dalam Gambar 4.16 menunjukkan skema yang menjelaskan
desentralisasi proses pembayaran untuk mempermudah pemahaman.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           152 

 
Gambar 4.16
Desentralisasi Proses Pembayaran

Sumber: Treasury Diagnostic Toolkit

a) Review Atas Peraturan Perundangan


Undang-Undang Keuangan Negara dan, khususnya, Undang-Undang
Perbendaharaan mengatur dengan jelas tugas dan tanggung jawab Satker dan
Institusi Perbendaharaan dalam hal pelaksanaan anggaran, termasuk pula hal-hal
prinsip berkaitan dengan pembayaran tagihan atas beban APBN sebagai bentuk
penyaluran dana anggaran. Struktur dan kelembagaan Satker dalam
penyelenggaraan keuangan negara, khususnya yang terkait dengan manajemen
pembayaran adalah sebagai berikut:

Kuasa Pengguna 
Anggaran (KPA) 

Pejabat Pembuat  Pejabat Penerbit  Bendahara 


Komitmen (PPK)  SPM (PPSPM)  Pengeluaran 

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           153 

 
Terkait dengan dokumen permintaan pembayaran yang diajukan (SPP),
penguji SPM melakukan pengujian meliputi aspek keberadaan/ketersediaan dasar
penagihan, kebenaran hak tagih dan kesesuaian tujuan pengeluaran (wetmatigheid,
rechmatigheid dan doelmatigheid). Selanjutnya, Ditjen Perbendaharaan melalui
Kantor Pelayanan Perbendahraan Negara akan melakukan pengujian substantif
dan formal terhadap dokumen perintah membayar (SPM) yang diajukan oleh
Satker. Pada dasarnya, pengujian substatif dan formal tersebut hanya meliputi
aspek keberadaan/ketersediaan dasar penagihan dan kebenaran hak tagih
(wetmatigheid dan rechmatigheid) (Perdirjen 66/PB1/2005). Dalam Penjelasan
Undang-Undang Perbendaharaan dijelaskan bahwa kewenangan Bendahara
Umum Negara untuk melakukan pengujian tersebut merupakan fungsi
pengawasan keuangan yang dilakukan pada saat terjadi penerimaan dan
pengeluaran. Kerangka organisasi, kewenangan dan koneksitas proses bisnis
antara Satker dan Ditjen Perbendaharaan dalam manajemen pembayaran adalah
sebagai berikut (Gambar 4.17):
Gambar 4.17
Kerangka organisasi, kewenangan dan koneksitas proses bisnis antara Satker dan
Ditjen Perbendaharaan dalam manajemen pembayaran

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           154 

 
Sebagaimana ditunjukan dalam gambar tersebut di atas, terdapat dua
mekanisme pembayaran yaitu melalui mekanisme pembayaran langsung (LS) dan
mekanisme Uang Persediaan (UP). Dalam mekanisme LS, pembayaran kepada
yang berhak (beneficiaries) dilakukan oleh KPPN. Sedangkan dalam mekanisme
UP, pembayaran kepada yang berhak (beneficiaries) dilakukan oleh bendahara.
Namun demikian, pada dasarnya KPPN tetap memiliki kewenangan pengujian
yang sama baik dalam hal pembayaran melalui mekanisme LS maupun UP.
Pengujian atas pembayaran yang dilakukan melalui mekanisme UP dilakukan
pada saat penerbitan SPM-GU (Penggantian Uang Persediaan) yang pada
hakekatnya merupakan pertanggungjawaban bendahara atas pembayaran yang
telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan uang persediaan. Dalam
kerangka international best practice, dapat disimpulkan bahwa kerangka peraturan
perundangan yang berkaitan dengan manajemen pembayaran mengamanatkan
terlaksananya mekanisme pembayaran yang tersentralisasi pada institusi
perbendaharaan (gambar 1) namun tetap mengedepankan mekanisme check and
balance dengan memberikan kewenangan pengujian yang lebih komprehensif
(meliputi kebenaran tujuan pengeluaran) kepada Satker (gambar 2).

2. Current State Assessment & Problems terkait Manajemen Pembayaran


Secara konseptual, mekanisme pembayaran yang ada pada saat ini
memungkinkan terjadinya check and balance terutama oleh pihak treasury untuk
memastikan bahwa pengeluaran yang dilakukan sesuai dengan peraturan dan
didukung oleh ketersediaan dana anggaran. Mekanisme pembayaran yang
tersentralisasi juga memungkinkan pihak treasury untuk mengkonsolidasi rekening
Satker (Rekening Bendahara Pengeluaran) ke dalam Treasury Single Account
sehingga dapat menghindari terjadinya akumulasi idle kas dalam jumlah yang besar
(Treasury Diagnostic Toolkit, 2004). Namun demikian, dalam praktek saat ini di
Indonesia, terdapat beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam rangka
pengemangan manajemen pembayaran di masa yang akan datang, diantaranya:
a) Business Process di Satker
1) Tidak adanya cycle time dalam proses pembayaran menyebabkan
ketidakjelasan norma waktu penyelesaian mulai dari tagihan diterima dari

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           155 

 
Supplier, proses penerbitan SPP, proses penerbitan SPM sampai dengan
pengajuannya ke KPPN.
2) Peraturan terkait besaran pengeluaran yang mengharuskan pembuatan
dokumen kontrak cenderung tidak sesuai dengan peraturan terkait mekanisme
pembayaran. Adanya intersection aturan, dimana dalam Keppres 80 tahun
2003 pasal 31 disebutkan bahwa untuk pengadaan dengan nilai dibawah Rp. 5
juta cukup dengan bukti pembayaran berupa kuitansi, sedangkan untuk
pengadaan diatas Rp 5 juta diperlukan kontrak berupa SPK (Surat Perintah
Kerja) maupun Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa. Sedangkan dalam
Perdirjen PBN Nomor 66/PB/2005 pasal 7 pembayaran dengan menggunakan
uang persediaan yang dapat dilakukan oleh bendahara pengeluaran kepada
satu rekanan tidak boleh melebihi Rp 10 juta. Dari penjelasan diatas dapat
dilihat bahwa tidak semua pengeluaran kontraktual dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (untuk pengeluaran Rp 5 juta sd 10 juta).
b) Business Process di KPPN
1) Mekanisme pembayaran melalui pengelolaan Uang Persediaan (UP) yang ada
saat ini masih menimbulkan idle cash yang cukup besar pada rekening
bendahara pengeluaran.
2) Informasi terkait komitmen diajukan pada saat yang bersamaan dengan
pengajuan pembayaran menyebabkan manajemen terhadap komitmen hanya
sebatas pada pengawasan terhadap nilai kontrak agar tidak dilampaui oleh
pengajuan pembayaran yang pada saat itu dilakukan Satker.
3) Tidak berfungsinya rencana penarikan dana pada halaman III DIPA
menyebabkan tidak berjalannya cash forecasting secara optimal.
4) Treasury tidak memiliki kontol sepenuhnya atas aktivitas business prosess
yang berkaitan dengan pembayaran. Sebagaimana diketahui pada saat ini
pembayaran dilakukan melalui transfer dari rekening kas negara di Bank
komersial (Bank Operasional) ke rekening pihak ketiga. Aktivitas di Bank
Operasional yang terkait dengan transfer ke rekening pihak ke-3 menjadi black
box dari business proses pembayaran. Misalnya, sampai dengan saat ini tidak
ada ketentuan atau batas waktu yang jelas untuk proses transfer tersebut,
meskipun KPPN telah menetapkan jangka waktu penyelesaian SP2D selama 1

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           156 

 
jam. Sesuai dengan gambar di atas, idealnya scope bisnis proses pembayaran
tidak hanya sampai dengan penerbitan SP2D tetapi sampai dengan dana
tersebut diterima di rekening pihak ketiga.

3. Fitur SPAN Terkait Manajemen Pembayaran


Sesuai dengan rencana pengembangan SPAN, dapat diidentifikasikan proses
yang terjadi dalam pencairan anggaran sebagai berikut: (1) proses pembayaran
dimulai dengan pendaftaran payment orders (SPM) oleh Satker kepada KPPN
berdasarkan invoices yang diterima dari suppliers atau internally generated SPM
(misal: pembayaran gaji), (2) SPM direview di KPPN untuk memastikan bahwa SPM
tersebut berada dalam available spending authority Satker, dan (3) kemudian KPPN
menerbitkan Transfer Orders (SP2D) pada designated bank, untuk membayar tagihan
kepada suppliers. Terkait dengan penyempurnaan proses bisnis di Satker, maka ruang
lingkup proses pembayaran idealnya meliputi aktvitas permintaan pembayaran (dari
PPK maupun Bendahara Pengeluaran) yang menghasilkan Surat Permintaan
Pembayaran (SPP).
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, terdapat dua mekanisme
pembayaran yaitu secara langsung (LS) dan dengan mekanisme Uang Persediaan
(UP). Berikut adalah framework rencana pengembangan SPAN terkait dengan
masing-masing mekanisme pembayaran:

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           157 

 
a) Kerangka Mekanisme Pembayaran secara Langsung (versi SPAN) (Gambar 4.18)
Gambar 4.18
Kerangka Mekanisme Pembayaran secara Langsung (versi SPAN bidding document)

Uraian dari business prosess dalam gambar di atas adalah sebagai berikut:
1) Pemrosesan SPM yang diterima dari Satker
− SPM dapat diterima oleh KPPN melalui: (1) input manual; (2) input secara
batch dari disket; (3) import data dari text files atau spreadsheets; (4) upload
secara langsung dari database Satker.
− Sebelum me-register SPM, sistem akan memverifikasi bahwa: (1) vendor
codes, organizational codes, budget classification dan account classification
valid; (2) Jumlah nilai SPM yang dikirim secara batch sesuai dengan jumlah
dalam cetakan SPM; (3) Komitmen yang telah diregister (CAN) meng-
cover jumlah dana yang ada di SPM.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           158 

 
− Apabila SPM dikecualikan dari commitment registration procedure, sistem
secara otomatis akan meng-generate commitment mengikuti budget
commitment procedure.
− Transaksi yang tidak valid akan ditolak. Sistem akan membuat exception
report yang memuat daftar transaksi yang tidak valid untuk dikirimkan kepada
Satker dan K/L-nya.
2) Pengecekan kesesuaian dengan Cash Limits
- Apabila cash limits tidak diberlakukan, SPM yang telah divalidasi akan
diproses pembayarannya setelah proses peng-update-an AFP. Data
commitment yang telah tercatat (pada commitment management) akan diambil
untuk memastikan bahwa pembayaran tersebut telah diotorisasi.
− Dalam hal diberlakukannya cash limits, sistem akan memverifikasi bahwa
jumlah dana yang ada di SPM tidak melebihi cash limits bagi Satker tertentu
(pada tanggal transaksi).
− Setelah berhasil diverifikasi, sistem akan mengurangi nilai cash limit sesuai
dengan jumlah dana SPM yang telah disetujui. AFP akan di-update dan
transaksi akan antri (queue) untuk dilakukan pembayaran.
− Apabila jumlah dana di SPM melebihi cash limit yang ada/tersisa, sistem akan
menolak transaksi tersebut dan membuat exception report kepada Satker dan
K/L yang bersangkutan.
3) Pengecekan SPM dengan Annual Financial Plans (AFP)
− Sistem akan melakukan pengecekan terhadap SPM untuk melihat
kesesuaiannya dengan AFP. Setelah itu, transaksi akan antri untuk dilakukan
pembayaran.
− Apabila payment schedule dalam AFP tidak mengikat, maka atas
pembayaran yang melampaui payment schedules di dalam AFP, sistem akan
menyampaikan informasi tersebut agar Sakter dan Kementrian melakukan
koreksi atas AFP dengan merubah rencana pembayaran dari periode
selanjutnya.
− Apabila payment schedule dalam AFP bersifat mengikat maka sistem
memiliki kapasitas untuk melakukan suspend pembayaran apabila pembayaran

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           159 

 
tersebut melampaui AFP, melalui fasilitas manual override khususnya untuk
pengguna tertentu.
4) Pengambilan dana dari TSA untuk pembayaran kepada suppliers
− Sistem menyediakan fasilitas untuk meng-queue SPM berdasarkan tanggal
jatuh tempo pembayaran dan berdasarkan user defined priorities. Selanjutnya
sistem akan men-generate SP2D.
− Sistem akan melakukan pengecekan apakah withdrawal ceiling (cash limit)
yang dibuat untuk KPPN sub-account (di Treasury main account) mampu
meng-cover pembayaran yang jatuh tempo.
− Sistem menyediakan fasilitas untuk melakukan interfacing dengan RTGS
system atau equivalent-nya yang ada di bank. Interface tersebut dapat me-
reformat SPM/SP2D sesuai dengan format yang diperlukan dalam clearing
system. Hal tersebut mencakup pengiriman text messages bersamaan dengan
pengiriman uang ke supplier’s bank agar supplier dapat mencocokan
pembayaran dengan invoice asli.
− Apabila pembayaran berada di dalam withdrawal ceiling, selanjutnya staff
yang memiliki otorisasi di KPPN dapat melakukan penarikan rekening
TSA (interface langsung dengan sub akun KPPN yang ada di Bank
Indonesia) dalam rangka pembayaran kepada supplier melalui RTGS.
− Apabila pembayaran melebihi withdrawal ceiling, sistem menyediakan
fasilitas untuk: (1) queue SPM/SP2D lagi sampai tersedianya withdrawal
limits untuk membayar SPM/SP2D tersebut (dilakukan oleh authorized user di
KPPN); (2) menolak pembayaran atas SPM/SP2D tersebut, me-reset data
commitment dan cash limits, dan men-generate exception report untuk
dikomunikasikan kepada Satker.
− Setelah memberikan unique reference number, sistem akan menyimpan semua
data SPM yang telah disetujui dan diproses. Data tersebut meliputi:
9 Satker identification code dan ledger account number-nya.
9 Nomor dan tanggal SPM.
9 Klasifikasi fungsi, program, dan economic transaksi dalam SPM.
9 Jumlah uang dalam SPM.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           160 

 
9 Kode akun dan jumlah pengurangan seperti pajak, iuran pensiun, sewa
rumah, dll.
9 fund code.
9 tanggal jatuh tempo pembayaran.
9 nomor dan tanggal invoice.
9 data rincian supplier.
9 Commitment Approval Number.
9 Data rincian SP2D.
9 Nomor SP2D.
9 Kode KPPN.
9 Kode bank sumber dan nomor rekeningnya.
Satu SPM dapat memuat beberapa jenis pengeluaran yang berbeda kode
klasifikasi anggaran dan fund codes-nya.
5) Rekonsiliasi Bank atas transaksi pembayaran
− Sistem men-support fasilitas interfacing dengan RTGS clearing system yang
ada di bank untuk downloading electronic confirmation of credit kepada
rekening bank supplier.
− Sistem secara otomatis akan menandingkan payment dengan confirmation of
credit, meng-extract semua pembayaran yang sesuai dari payment records dan
men-generate payment confirmation report untuk dikirimkan ke Satker.
Apabila identitas dan jumlahnya berbeda, sistem akan men-generate exception
report untuk dikirimkan ke RTGS administrator untuk dilakukan review.
− Payment records yang masih belum direkonsiliasi untuk user defined period
akan di-extract dan dikirimkan ke RTGS administrator untuk dilakukan
review.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           161 

 
b) Kerangka Mekanime pembayaran melalui Uang Persediaan (UP) (Gambar 4.19)
Gambar 4.19
Kerangka Mekanisme Pembayaran melalui UP (versi SPAN bidding document)

Uraian dari proses bisnis dalam gambar tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1) Untuk pembayaran dengan jumlah/skala kecil, terdapat mekanisme pembayaran
melalui Uang Persediaan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh bendahara masing-
masing Satker. Pembayaran dapat dilakukan melalui penerbitan check oleh
bendahara yang membebani rekening bendahara, atau melalui debit cards yang
membebani rekening KPPN.
2) Pengeluaran dengan mekanisme UP dilakukan melalui Sub-akun dari rekening
KPPN di Bank Operasional mitra kerja KPPN. Masing-masing bendahara
pengeluaran memiliki sub-akun untuk Satker yang bersangkutan. Untuk
melakukan pengeluaran melalui sistem petty cash ini, bendahara dapat menarik
sejumlah uang, dengan limit tertentu, dari sub-akun tersebut dengan menggunakan
debit card/ATM. KPPN dan Bank Operasional akan membuat persetujuan terkait
dengan batas penarikan yang diperolehkan dalam jangka waktu tertentu untuk

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           162 

 
masing-masing sub-akun (limit). Sub-akun tersebut merupakan zero balance
account, yang bersaldo nihil setiap saat. Pada awalnya bank akan melakukan
pembayaran dengan dana-nya masing-masing. Selanjutnya, Bank dapat
mengajukan penggantian (reimbursement) atas sejumlah dana yang ditarik oleh
bendahara dari sub-akun tersebut.
3) Atas dasar penarikan dana oleh Bendahara, Bank akan menerbitkan withdrawal
record yang selanjutnya menjadi dasar bagi KPPN untuk mengotorisasi
penggantian (reimbursement) dari TSA ke rekening tertentu sebagai penerima di
Bank Operasional. Rekening penerimaan ini, adalah rekening Bank, dan bukan
rekening milik KPPN.

4. Rekomendasi Dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis


Dengan Satker Terkait Manajemen Pembayaran
Terdapat beberapa hal penting dalam kerangka business process untuk
payment sebagaimana diuraikan tersebut di atas. Terkait dengan mekanisme
pembayaran secara langsung (LS), diantaranya meliputi:
a) Implikasi dari sifat penggunaan Annual Financial Plan (Hal 3 DIPA).
Kerangka bisnis proses dalam SPAN mengakomodasi kemungkinan
penerapan AFP baik yang bersifat mengikat maupun tidak mengikat. Implikasi
AFP bersifat mengikat adalah tidak disahkannya permintaan pembayaran yang
melebihi Rencana Penarikan Dana untuk periode tertentu. Dalam AFP yang
bersifat tidak mengikat, AFP berfungsi sepenuhnya sebagai alat perencanaan.
Pencairan anggaran dapat melebihi Rencana Penarikan Dana, disertai dengan
pemberitahuan ke pada Satker agar menyesuaikan AFP dengan rencana penarikan
periode selanjutnya.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, permasalahan terkait AFP
pada saat ini adalah tidak berfungsinya Rencana Penarikan Dana karena ketiadaan
sistem untuk melakukan update sesuai dengan realisasi dan tidak dipatuhinya
Halman 3 DIPA sebagai alat perencanaan. Sifat AFP yang tidak mengikat
cenderung akan menghasilkan kondisi yang sama dengan saat ini, di mana
Halaman 3 DIPA tidak dapat digunakan secara efektif. AFP yang tidak mengikat
juga akan menambah business process baru, berupa koreksi atas AFP, yang tidak
memiliki nilai tambah.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           163 

 
AFP yang berfungsi sebagai Rencana Penarikan Dana yang bersifat
mengikat dan diupdate sesuai dengan realisasi pengeluaran lebih berpotensi untuk
diimplementasikan secara efektif. Opsi ini secara konseptual juga mendukung
pengembangan manajemen komitmen dan penggunaan data rencana penarikan
dana sebagai input untuk perencanaan kas (manajemen kas).
b) Penerapan withdrawal ceiling atas Rekening Kas Negara
Kerangka bisnis process dalam SPAN menghendaki adanya withdrawal
ceiling untuk penarikan dana dari Rekening Kas Negara dalam rangka
pembayaran. Penarikan dana yang melebihi withdrawal ceiling ini bahkan dapat
berimpliksai pada ditolaknya perintah transfer (SP2D). Hal tersebut kurang ideal
karena tanggung jawab penyediaan dana dalam rangka pembayaran ada pada
Ditjen Perbendaharaan dan seharusnya tidak berimplikasi pada penundaan
pembayaran. Di samping itu, tidak ditentukan dasar penentuan withdrawal ceiling
tersebut.
Secara konseptual terdapat dua model utama dari penerapan withdrawal
ceiling. Withdrawal ceiling yang bersifat statis akan cenderung tetap untuk
periode tertentu yang cukup panjang, jumlahnya ditentukan sesuai dengan tren
atas dana yang dibutuhkan, dan cenderung terdapat margin antara jumlah yang
dibutuhkan dengan ceiling yang ditentukan. Sedangkan withdrawal ceiling yang
bersifat dinamis cenderung memiliki periode yang lebih pendek (misalnya harian)
dan besarannya ditentukan atas input data terkait pengeluaran yang akan segera
terjadi.
Sejalan dengan pengembangan Treasury Single Account di Ditjen
Perbendaharaan, mekanisme penyediaan dana di rekening KPPN di Bank
Operasional pada saat ini cenderung pada penentuan withdrawal ceiling yang
bersifat dinamis. Sebagaimana diketahui, rekening bank operasional di KPPN
menerima transfer dari RPK-BUNP sebesar nilai SPD2 yang akan diterbitkan
pada hari yang bersangkutan. Rekening ini juga bernilai nihil (zero balance) di
akhir hari. Mekanisme ini cukup ideal bagi efisiensi kas. Namun dalam
prakteknya, memerlukan bisnis proses dan aplikasi yang terpisah yang selama ini
dijalakan dengan aplikasi E-kirana.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           164 

 
Sesuai dengan pengembangan TSA yang tengah dijalankan, idealnya
withdrawal ceiling di Rekening KPPN akan bersifat dinamis. Besaran ceiling
dapat ditetapkan secara sistem dengan mengintegrasikan bisnis proses
pembayaran dengan business process terkait manajemen komitmen dan akuntansi.
Besaran ceiling, misalnya dapat ditentukan atas dasar nilai account payable yang
jatuh tempo pada hari tertentu untuk KPPN tertentu. Data ini diharapkan dapat
dihasilkan dari modul manajemen komitmen atas dasar dokumen SPP. Data ini
akan akurat apabila terdapat cycle time yang jelas atas proses bisnis terkait dengan
penerbitan SPP dan SPM di Satker. Model dari cycle time ini adalah sebagai mana
telah dibahas pada bagian manajemen komitmen.
c) Pembayaran kepada Suplier melalui mekanisme Transfer dari Rekening Kas
negara di Bank Indonesia
Kerangka business process pembayaran dalam dokumen SPAN
menghendaki pelaksanaan pembayaran dilakukan melalui transfer dari sub-akun
KPPN di Bank Indonesia. Mekanisme tersebut identik dengan mekanisme
pembayaran melalui rekening khusus pada saat ini. Namun demikian, perlu
dipertimbangkan implikasinya bagi KPPN yang tidak satu lokasi dengan Kantor
Pusat/ Kantor Cabank BI. Di samping itu, mekanisme clearing dikhawatirkan
berpengaruh pada jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan transfer ke
rekening pihak ke-3. Penggunaan bank komersil sebagai Bank Operasional dalam
rangka pembayaran kiranya masih dibutuhkan hingga saat ini.
d) Otorisasi transfer dari rekening kas negara ke rekening pihak ke-tiga melalui
direct interface dengan RTGS di BI oleh pejabat di KPPN
Kerangka business process pembayaran dalam dokumen SPAN
menyarankan otorisasi transfer ke rekening pihak ke-3 oleh pejabat di KPPN
secara online melalui direct interface dengan sub-akun KPPN di Bank Indonesia.
Otorisasi secara online tersebut secara konseptual memperpanjang scope/ ruang
lingkup proses bisnis dari sekedar penerbitan perintah transfer (SP2D) menjadi
sampai pada eksekusi transfer ke rekening pihak ke-3. Kerangka ini secara ideal
akan mampu mengurangi fenomena black box atas aktifitas transfer pada business
process pembayaran di perbankan. Mekanisme ini juga dapat meningkatkan
kepastian layanan penyampaian dana anggaran ke pada yang berhak. Namun

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           165 

 
demikian, keamanan dan kelancaran mekanisme ini memerlukan dukungan dan
pengembangan IT dalam hal software, dan khususnya jaringan. Gambar berikut
mengilustrasikan kerangka pengembangan manajemen pembayaran yang
diusulkan dalam rangka SPAN adalah sebagai berikut (Gambar 4.20):

Gambar 4.20
Kerangka Pengembangan Manajemen Pembayaran Langsung yang Diusulkan
Dalam Rangka SPAN

Terkait dengan rencana pengembangan SPAN, penyempurnaan mekanisme


pembayaran melalui Uang Pertanggungjawaban idealnya dilaksanakan secara
komprehensif. Penggunaan petty cash dalam bentuk Uang Pertanggungjawaban pada
hakekatnya merupakan mekanisme pembayaran/ bentuk dari manajemen pembayaran.
Namun demikian, mekanisme UP memilki dampak negatif terhadap tujuan dari
manajemen kas terkait dengan adanya idle cash di rekening bendahara pengeluaran.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           166 

 
Kerangka penyempurnaan UP dalam dokumen SPAN telah membahas beberapa hal
penting terkait dengan penggunaan debit/credit card sebagai alternatif mekanisme UP,
penggunaan sub-akun KPPN yang bersifat zero balance dan penerapan limit atas
pengeluaran yang diijinkan untuk dilakukan dari rekening tersebut. Beberapa aspek
penting yang masih memerlukan penentuan lebih lanjut, di antaranya meliputi:
a) Pilihan penggunaan debit card atau credit card; Penggunaan debit card relatif
lebih mudah, namun berpotensi menimbulkan idle cash dalam jumlah tertentu.
Sebaliknya, penggunaan credit card meniadakan keharusan untuk menyediakan
saldo kas dalam jumlah tertentu, dengan asumsi bahwa pembayaran atas sub-akun
KPPN dalam rangka UP dilakukan dengan sumberdaya (kas) milik bank. Namun
demikian, mekanisme ini berpotensi pada kewajiban negara untuk membayar
bunga atas penggunaan dana milik bank tersebut. Di samping itu, penggunaan
credit card relatif memerlukan aspek administrasi (perjanjian dengan pihak bank)
dan aspek pelaksanaan (tidak terbiasa dengan penggunaan credit card dan
ketiadaan infrastruktur) yang lebih kompleks. Secara konseptual, penggunaan
credit card lebih ideal (terkait dengan tujuan minimalisasi idle cash) apabila
tingkat bunga kredit (atas penggunaan dana bank) dapat diminimalkan.
b) Penggantian dana milik bank (reimbursement) atas penarikan sejumlah dana dari
sub-akun rekening KPPN. Mekanisme reimbursement harus dilakukan berasarkan
verifikasi atas catatan yang valid dari pihak bank. Mekanisme penggantian ini,
idealnya terpisah dari mekanisme pertanggungjawaban penggunaan UP. Salah
satu tujuannya adalah untuk mengurangi resiko tingginya tingkat bunga yang
harus dibayar (karena periode penggantian yang lebih lama) apabila penggantian
dilakukan atas dasar pertanggungjawaban penggunaan UP (SPM-GU). Namun
demikian, atas jumlah dana yang di-reimburse harus tetap dilakukan rekonsiliasi
dengan pertannggungjawaban penggunaan UP pada saat penerbitan SP2D-GU.
c) Penentuan limit pada sub-akun rekening KPPN dan pertanggungjawaban
penggunaan UP. Penentuan limit pengeluaran tidak harus dilakukan dengan
SP2D-UP, karena pada dasarnya penentuan limit ini tidak identik dengan
pengeluaran kas. Idealnya, KPPN dapat melakukan persetujuan dengan pihak
bank untuk menentukan limit UP bagi masing-masing Satker atas dasar jumlah
pagu belanja yang diijinkan untuk digunakan dengan mekanisme UP. Jumlah limit

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           167 

 
ini harus berkurang seiring dengan ditariknya sejumlah dana oleh
bendahara/satker yang bersangkutan. Pengembalian jumlah limit (ke jumlah
semula) baru dapat dilakukan dengan apabila KPPN telah menerbitkan SP2D GU
atas pertanggungjawaban bendahara. SP2D-GU ini tidak hanya merupakan
pengesahan pertanggungjawaban penggunaan UP, tapi juga merupakan alat
pemberitahuan dari KPPN ke pada pihak bank untuk mengembalikan limit sub-
akun KPPN untuk bendahara/ satker dimaksud. Usalan kerangka pengembangan
business proses mekanisme pembayaran melalui UP adalah sebagai berikut
(Gambar 4.21):
Gambar 4.21
Kerangka Pengembangan Manajemen Pembayaran Langsung yang Diusulkan
Dalam Rangka SPAN

Terkait dengan proses bisnis pembayaran di Satker, terutama yang


berhubungan dengan penerbitan SPP dan SPM serta penyampaiannya ke KPPN,
beberapa hal yang kiranya dapat menjadi arahan penyempurnaan adalah sebagai
berikut:
Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           168 

 
a) Penentuan cycle time terkait proses penerbitan SPM di Satker. Cycle time nantinya
dapat memberikan kejelasan dan kepastian waktu penyelesaian proses
pembayaran di Satker. Informasi tersebut dapat digunakan oleh semua pihak, baik
itu supplier dalam memperkirakan kapan tagihannya di bayar, KPPN dapat
mengetahui kapan suatu SPM akan diajukan dan BUN dapat menyediakan dana
sesuai kebutuhan. Salah satu alternatif usulan untuk transparansi terkait dengan
jangka waktu peyelesaian proses bisnis di Satker adalah dengan membuat dan
menyertakan record entry dalam ADK SPP dan/atau SPM yang disampaikan ke
KPPN.
b) Besaran pengeluaran yang dapat dibayar dengan mekanisme UP diselaraskan
dengan ketentuan saat ini terkait kewajiban membuat dokumen kontrak (SPK) dan
rencana pengembangan manajemen komitmen. Pengeluaran untuk pengadaan
barang dan jasa yang dapat dilakukan melalui UP, misalnya, dapat dibatasi sesuai
dengan nilai pengeluaran yang tidak mempersyaratkan dokumen kontrak. Dengan
demikian, semua pengeluaran dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang
mengharuskan pembuatan dokumen kontrak dibayarkan dengan mekanisme LS.
Kerangka ini diharapkan dapat mengurangi ekses dari penggunaan mekanisme UP
dan dapat mendukung pelaksanaan manajemen komitmen yang ideal.

E. Accounting dan Reporting


1. Tujuan dan Fungsi
Laporan keuangan dalam rangka pemenuhan akuntabilitas sangat diperlukan
untuk mewujudkan aspek transparansi dalam good governance. Terkait dengan
pelaksanaan anggaran di Satker, akuntansi dan pelaporan idealnya harus dapat
mencatat appropriasi dan penggunaannya pada tiap stages dalam pelaksanaan
anggaran (komitmen, verification dan payment), dan terutama sekali pada tahap
pembuatan komitmen. Konsep tersebut identik dengan istilah budgetary accounting
(OECD, 2001).
Sejalan dengan rencana penyempurnaan proses bisnis dalam rangka SPAN
perlu dilakukan kajian atas koneksitas dengan proses bisnis pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan di Satuan Kerja. Kerangka koneksitas tersebut
idealnya memperhatikan hal-hal prinsip diantaranya meliputi basis akuntansi, entitas

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           169 

 
akuntansi dan terutama organisasi sistem akuntansi. Dari literatur yang ada, organisasi
sistem akuntansi dalam rangka penyusunan laporan keuangan, identik dengan
mekanisme rekonsiliasi dan konsolidasi dari catatan atas transaksi di tingkat agency
(Satker). Konsolidasi adalah proses untuk menyajikan laporan keuangan dari semua
entitas yang termasuk dalam entitas pelaporan sehingga mencerminkan laporan
keuangan dari satu kesatuan entitas pelaporan (financial statement of single entity)
(IFAC Public Sector Committee, 2002).

2. International Best Practice dalam Organisasi Sistem Akuntansi


Secara umum dikenal dua model utama dari organisasi sistem akuntansi.
Variasi dari penerapan kedua model tersebut di suatu negara dipengaruhi oleh model
penyelenggaraan keuangan negara, dan terutama sistem pemerintahan (presidensiil
dan parlementer) yang selanjutnya mempengaruhi model akuntabilitas dari
pemerintah kepada publik. Sebagaimana diuraikan dalam Managing Public
Expenditure (OECD, 2001) berikut adalah dua sistem utama terkait dengan organisasi
sistem akuntansi.
a) Vertical model
Laporan keuangan pemerintah disiapkan di tingkat pusat secara tersentral
baik oleh institusi treasury maupun badan yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan akuntansi. Model ini memiliki kelebihan dalam hal mendukung
mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan anggaran. Manfaat lain adalah adanya
penyimpanan informasi keuangan yang tersentralisasi, yang pada umumnya sulit
diperoleh dalam lingkungan akuntansi yang belum terkomputerisasi. Namun
demikian, model ini memiliki beberapa kelemahan terutama karena informasi
keuangan (terkait pelaksanaan anggaran) baru disampaikan/diketahui oleh institusi
treasury pada saat permintaan pembayaran. Model ini juga tidak mendorong Satker
untuk memelihara catatan yang diperlukan untuk keperluan manajerial.
b) Consolidation model
Dalam model ini, laporan keuangan disusun oleh Satker (Spending Units)
untuk dikonsolidasikan di tingkat pusat. Model ini mampu mendukung kebutuhan
internal dalam rangka manajemen program dan Satker. Namun demikian, model
tersebut dapat mengarah pada tidak tercatatnya informasi apabila konsolidasi tidak

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           170 

 
dilakukan dengan kurun waktu yang tepat. Di dalam lingkungan yang
terkomputerisasi monitoring atas transaksi anggaran yang comprehensive dan tepat
waktu dapat dilakukan dengan dukungan sistem informasi yang mencatat transaksi
di setiap stages dari siklus anggaran dan koneksi elektronik yang memadai antara
kementrian keuangan dengan kementrian teknis.
Sebagai contoh, organisasi dari sistem akuntansi di Australia, yang
pemerintahannya bersifat parlementer, cenderung pada model ini. Laporan keuangan
disusun di tingkat kementrian (line ministry) melalui Agency FMIS sistem yang
meliputi petty cash, payment dan receipt. Laporan keuangan sudah diaudit di tingkat
kementrian meliputi Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas dan
Catatan Atas Laporan Keuangan. Laporan tersebut selanjutnya dikonsolidasi oleh
kementrian keuangan (DOFAD) untuk menghasilkan laporan keuangan pemerintah
federal. Perlu ditegaskan bahwa audit hanya dilakukan ditingkat kementrian teknis
dan tidak dilakukan terhadap laporan konsolidasi yang dibuat kementrian keuangan
(Bahan Presentasi GPF-AIP, 2009).

3. Current State Assessment dan Problems terkait Accounting dan Reporting


Undang-Undang Keuangan Negara mengamanatkan pengelolaan keuangan
negara yang tertib, taat pada peraturan perundangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan dan bertanggung jawab. Penyampaian laporan pertanggungjawaban
keuangan pemerintah merupakan upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN tersebut, presiden berkewajiban menyampaikan laporan keuangan
kepada DPR. Laporan Keuangan tersebut meliputi Laporan realisasi APBN, Neraca,
Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan beserta laporan keuangan
perusahaan negara dan badan lainnya yang telah diaudit oleh BPK selambat-
lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan Keuangan tersebut di atas dihasilkan melalui proses akuntansi.
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku Pengguna Anggaran masing-masing menyelenggarakan akuntansi. Sistem
Akuntansi Pusat (SiAP) yang diselenggarakan oleh Kementrian Keuangan dan Sistem
Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh Kementrian Negara/Lembaga

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           171 

 
merupakan komponen yang membentuk Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP)
yang menghasilkan laporan keuangan pemerintah. Selaku Pengguna Anggaran,
Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang
meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuangan
beserta Laporan Keuangan Badan Layanan Umum di kementrian masing-masing
sebagai lampiran. Selaku Bendahara Umum Negara, Menteri Keuangan menyusun
Laporan Arus Kas pemerintah Pusat. Selanjutnya selaku pengelola fiskal, Menteri
keuangan bertanggung jawab untuk menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat sebagai pertanggungjawaban presiden atas pelaksanaan APBN.
Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun anggaran berakhir, Laporan
Keuangan tersebut disampaikan oleh Presiden kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
Gambar 4.22 menggambarkan organisasi Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat.
Gambar 4.22
Organisasi Sistem Akuntansi pemerintah Pusat

Source: Materi Presentasi SAPP (Dit. APK)


Terkait dengan penyempurnaan koneksitas proses bisnis manajemen
pelaporan, perlu ditegaskan bahwa ruang lingkup akuntansi dan pelaporan pemerintah

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           172 

 
pusat meliputi seluruh unit organisasi pada pemerintah pusat dan unit akuntansi pada
pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau Tugas
Pembantuan yang dananya bersumber dari APBN serta Pelaksanaan Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan. Satuan kerja merupakan kuasa pengguna
anggaran/pengguna barang yang merupakan bagian dari suatu unit organisasi pada
Kementrian Negara/Lembaga (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
171/PMK.05/2007). Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 105/PMK.02/2008
dijelaskan jenis-jenis Satker terkait dengan pelaksanaan anggaran, yang meliputi:
a. Satker Pusat /Kantor Pusat: adalah satker yang mengelola anggaran kantor pusat
unit organisasi Kementrian Negara/ Lembaga, termasuk di dalamnya Satker
Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT).
Satker Pusat dapat berupa Satker yang dibentuk oleh Kementrian/Lembaga yang
berfungsi secara fungsional dan bukan merupakan instansi vertikal. Satuan Kerja
Kantor Pusat adalah Satker dalam lingkup Kantor Pusat suatu kementrian negara/
lembaga.
b. Satker Vertikal/ Unit Pelaksana Teknis adalah satker di daerah yang mengelola
anggaran Kementrian Negara/ Lembaga
c. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah satker yang mengelola anggaran
Kementrian Negara/ Lembaga dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan, Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan merupakan
bagian dari anggaran kementrian/lembaga yang dialokasikan berdasaran RKA K/L
(Pasal 88 dan 95). Gubernur, Bupati/Walikota yang menjalankan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan (atas dasar laporan pelaksanaan tugas dari SKPD)
menyampaikan pertanggungjawaban kepada menteri negara/pimpinan lembaga.
Menteri Negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada presiden (Pasal 90 & Pasal 97). Gambar 4.23 menunjukan secara garis
besar alur pertanggungjawaban Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           173 

 
Gambar 4.23
Alur Pertanggungjawaban Dana Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan

d. Satker Khusus adalah satker yang mengelola dana yang bersumber dari bagian
anggaran di luar anggaran kementrian negara/ lembaga atau Bagian Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan.
Sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, Satker-Satker tersebut merupakan entitas
akuntansi yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan
untuk digabungkan pada entitas pelaporan. Akuntansi dan pelaporan di Satker
dilaksanakan oleh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran/ UAKPA yang
merupakan unit fungsional (KMK 171). Pelaksanaan akuntansi dan pelaporan di
Satker (UAKPA) merupakan bagian dari palaksanaan Mekanisme SAI, yang terdiri
dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan SiMAK-BMN (Sistem Akuntansi
Barang Milik Negara). Mekanisme pelaporan SAI dilaksanakan dengan membentuk
unit-unit akuntansi secara hierarkikal meliputi UAPPA-W di tingkat Wilayah,
UAPPA-E1 di tingkat Eselon 1 dan UAPA di tingkat kementrian lembaga. Dengan
mekanisme ini, data akuntansi dan laporan keuangan secara berkala disampaikan
kepada unit akuntansi di atasnya.
Selaku Bendahara Umum Negara, Menteri Keuangan menjalankan Sistem
Akuntansi Bendahara Umum Negara yang di antaranya meliputi Sistem Akuntansi

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           174 

 
Pusat (SiAP) yang terdiri dari Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN) dan
Sistem Akuntansi Umum (SAU). Pelaksanaan SiAP melibatkan unit pemroses data
yang meliputi Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai UAKBUN-
D, Kanwil Ditjen Perbendaharaan selaku UAKKBUN-Kanwil, Dit. APK selaku
UAPBUN dan Dit PKN selaku UAKBUN-Pusat. Proses akuntansi SiAP di KPPN
akan menghasilkan Laporan Keuangan tingkat KPPN yang terdiri dari LAK, Neraca
KUN, LRA dan Neraca SAU tingkat KPPN. LRA dan Neraca SAU tersebut berserta
data transaksinya merupakan bahan rekonsiliasi dengan Satker di wilayah kerja
KPPN dimaksud. Di tingkat UAKKBUN-Kanwil, LRA merupakan bahan rekonsiliasi
dengan UAPPA-Wilayah. Ditingkat UAPBUN, LRA yang dihasilkan oleh Ditjen
Perbendaharaan merupakan bahan rekonsiliasi dengan UAPPA-E1 dan UAPA.
Mekanisme rekonsiliasi menurut hierarki unit akuntansi dan konsolidasi
laporan keuangan di tingkat pusat merupakan koneksitas proses bisnis pelaporan
antara Kementrian Keuangan cq Ditjen Perbendaharaan selaku Bendahara Umum
Negara dan Kementrian/Lembaga selaku Pengguna Angaran. Gambar 4.24
menjelaskan mekanisme/ alur penyampaian data dan dan rekonsiliasi.
Gambar 4.24

Source: Modifikasi dari PMK 171

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           175 

 
Terkait dengan alur dan mekanisme dalam gambar tersebut di atas, maka untuk
kementrian/lembaga yang tidak memiliki kantor wilayah dapat menunjuk satuan kerja
atau menunjuk salah satu satker di lingkup Eselon 1 sebagai koordinator UAPPA-W.
Bagi kementrian negara/ lembaga yang tidak memiliki kantor vertikal di daerah dan
bukan pengguna dana Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak perlu membentuk
UAPPA-W. Penggabungan data dan informasi akuntansi terkait dengan dana
dekonsentrasi atau tugas pembantuan dilakukan oleh UAPPA-E1 pada kementrian
negara/ lembaga yang mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Di
samping itu, Kementrian negara/ Lembaga yang menggunakan Anggaran Pembiayaan
dan Perhitungan, wajib menyusun Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan dan
Perhitungan secara terpisah.
Sesuai dengan perspektif international best practice, maka berdasarkan uraian
pada sub-bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara konseptual
pengorganisasian sistem akuntansi yang diterapkan pada saat ini lebih cenderung pada
model vertikal. Kementrian/lembaga dan treasury masing-masing berkewajiban untuk
menghasilkan elemen tertentu dari laporan keuangan dan menjalankan sistem
akuntansi yang berbeda. Namun demikian, proses konsolidasi dalam rangka
penyusunan laporan keuangan pemerintah merupakan tanggung jawab Kementrian
Keuangan selaku pengelola fiskal. Oleh karena itu, audit atas LKPP dilakukan
terutama hanya untuk laporan keuangan hasil konsolidasi oleh Menteri Keuangan.
Dari tinjauan sistem pemerintahan, maka sistem tersebut sesuai dengan sistem
pemerintahan presidensial di mana presiden yang sepenuhnya bertanggung jawab
kepada lembaga perwakilan rakyat.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal terkait dengan organisasi sistem
akuntansi yang patut menjadi perhatian.
a) Hierarchical transfer of information dan enormous reconciliation effort
Penerapan sistem akuntansi saat ini sangat bergantung pada mekanisme
rekonsiliasi antara data transaksi yang dicatat melalui SAI dan SABUN.
Sebagaimana diketahui, mekanisme rekonsiliasi dilakukan secara berjenjang dari
unit yang terendah, antara UAKPA dan UAKBUN-D (KPPN), sampai dengan
tingkat kementrian/lembaga yaitu antara UAPA dengan UAKBUN. Mekanisme
ini diperlukan untuk menjamin kesesuaian data di antara ke dua entitas akuntansi

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           176 

 
dan merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menghindari loss of
information pada unit akuntansi di tingkat yang lebih tinggi.
Secara konseptual, dapat dipahami bahwa aktivitas rekonsiliasi dibutuhkan
tidak hanya karena ketiadaan tempat penyimpanan data yang sama (single data
base) untuk kepentingan pelaporan. Namun demikian, mekanisme ini tidak
sepenuhnya efektif. Pada saat ini, misalnya, Ditjen Perbendaharaan menetapkan
sanksi penundaan pembayaran/pengesahan Uang Persediaan (SP2D UP) apabila
Satuan Kerja tidak dapat menunjukkan Berita Acara Rekonsiliasi. Penerapan
sanksi ini cukup efektif bagi Satker yang banyak melakukan pengajuan
pembayaran melalui mekanisme UP tetapi tidak cukup efektif terkait dengan
pengajuan pembayaran melalui mekanisme LS.
b) Sistem akuntansi yang terfragmentasi
Sistem akuntansi di tingkat Kuasa Pengguna Anggaran dan KPPN pada
saat ini dilaksanakan dengan dukungan tools berupa software aplikasi, Aplikasi
SAKPA dan Aplikasi Vera. Kedua aplikasi tersebut terkait dengan beberapa
aplikasi lainnya yang digunakan diantaranya dalam rangka pengajuan dan
pengesahan pembayaran. Gambar 4.25 menunjukan mekanisme input/output data
dan informasi yang berkaitan dengan aplikasi yang digunakan dalam penyusunan
laporan keuangan.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           177 

 
Gambar4.25
Mekanisme input/output Data dan Informasi
Antara Aplikasi Satker dan KPPN

Sources: Presentasi Satker Subdit TSA, DTP

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           178 

 
Sebagaimana ditunjukan dalam gambar tersebut di atas, pada saat ini sistem
dan aplikasi yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan merupakan
bagian dari sebuah sistem yang sangat terfragmentasi. Aplikasi SAKPA di
satker, misalnya, di integrasikan dengan sistem lainnya dengan menerima input
dari Aplikasi SPM dan Aplikasi SIMAK-BMN. Aplikasi Vera menerima input
utama dari Aplikasi SP2D. Koneksitas di antara Aplikasi SAKPA dan Aplikasi
Vera terjadi terutama melalui mekanisme input/output pada Aplikasi SP2D dan
melalui aktivitas rekonsiliasi. Sistem aplikasi yang terfragmentasi pada saat ini
sangat potensial untuk mengakibatkan perbedaan data di antara sistem akuntansi
di Satker dan KPPN. Terlebih lagi, sistem aplikasi yang ada memungkinkan
terjadinya mulitiple entry point termasuk fasilitas untuk melakukan update
elemen data yang sama (misalnya data pagu) pada aplikasi yang berbeda
sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 4.26.
Gambar 4.26
Multiple Entry Point pada Aplikasi di Satker

Sources: Presentasi Satker Subdit TSA, DTP

Di samping itu, mekanisme perubahan dan perbaikan data pada saat ini
tidak memungkinkan tersedianya audit trail. Sebagaimana diketahui,
mekanisme koreksi data pada saat ini tidak ideal. Sebagian besar koreksi data
dilakukan dengan mengubah input atas data sumber dan melakukan posting ulang.
c) Perbedaan data antara SAI dan SABUN terkait dengan realisasi anggaran

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           179 

 
Sebagaimana diatur dalam PMK. 171/PMK.05/2007, terkait dengan
pencatatan transaksi pengeluaran terdapat dua dokumen sumber yaitu SPM dan
SP2D. Secara teknis penggunaan ke-dua dokumen sumber tersebut dalam
penyusunan laporan SAI adalah sebagai berikut (Gambar 4.27):
Gambar 4.27
Penyusunan Laporan SAI

Sesuai gambar di atas, aplikasi SAKPA menggunakan database aplikasi


SPM untuk mencatat transaksi pengeluaran. Namun demikian, laporan atas
transaksi tersebut baru dapat dihasilkan setelah KPA memperoleh nomor SP2D.
Secara konseptual, Kuasa Pengguna Anggaran melalui laporan SAI mencatat data
transaksi terkait dengan realisasi anggaran yang dikuasainya (budgetary
accounting) dengan SPM sebagai dokumen sumber. Sedangkan KPPN sebagai
Kuasa BUN di daerah hanya akan mencatat pengeluaran setelah terjadi
pengeluaran dari kas negara (cash accounting) walaupun pada prakteknya
pencatatan dilakukan atas dasar perintah transfer sejumlah uang dari rekening kas
negara dengan SP2D sebagai dokumen sumber.
Praktek tersebut sangat potensial menimbulkan perbedaan data realisasi
penyerapan anggaran antara Pengguna Anggaran dan BUN, terutama di tingkat
unit akuntansi yang lebih tinggi. Sebagai laporan manajerial kepada unit yang
lebih tinggi, Satker akan cenderung melaporkan jumlah anggaran yang telah di-
kontrakkan (committed) dan valid sebagai tagihan (SPP/SPM) meskipun belum

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           180 

 
dibayarkan/ disahkan sebagai pengeluaran oleh KPPN. Selain faktor terkait
penundaan penerapan akuntansi berbasis akrual, secara tradisional sistem
akuntansi yang ada belum mengakomodasi pencatatan komitmen sebagai bagian
dari siklus anggaran.

4. Fitur SPAN Terkait Accounting dan Reporting


Pengembangan SPAN identik dengan integrasi business process dalam
penyelenggaran keuangan negara yang dimungkinkan untuk direalisasi dengan
dukungan teknologi informasi. Model pengembangan yang terintegrasi ini sesuai
dengan kebutuhan institusi treasury secara umum yang memerlukan konsolidasi dari
data dalam jumlah (magnitude) yang besar, detail dan tersebar di beberapa lokasi dan
stakeholders. Dalam hal kebutuhan akuntansi dan pelaporan, core proses bisnis dari
sistem informasi yang terintegrasi setidaknya harus mampu melakukan konsolidasi
data keuangan pada institusi perbendaharaan, kementrian teknis dan Satker untuk
menghasilkan laporan akuntansi yang biasa digunakan secara umum (OECD, 2001).
Ruang lingkup pelaporan dalam rencana pengembangan SPAN meliputi baik
eksternal maupun internal reporting. Fitur utama dalam rencana pengembangan
SPAN yang berkaitan dengan pelaporan dan akuntansi antara lain meliputi:
a) “Capture data at source, with all data being entered once only, and online
transfer to centralized database”
b) “Provide a comprehensive reporting system that enables reliable management
reports on government financial operations to be generated in real time ….and
made available to all stakeholders”
c) “Provide comprehensive online capabilities to Line Ministries and other agencies
to….interrogate online centralized databases to access their information”
Tabel berikut mengilustrasikan daftar laporan yang diharapkan dapat dihasilkan
dalam rangka SPAN :
Scope Report
1. Budget a. Expenditure Estimates Summary
b. Revenue Estimates Summary
c. Allocation Analysis
2. Budget Execution a. Monthly Analysis of Expenditure

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           181 

 
b. Monthly Analysis of Revenue Collections
c. Monthly Allocation of Revenue Shares
d. Monthly Comparison of Revenue Actual with
Estimates
e. Monthly Comparison of Revenue Collections with
Historical Data
f. Monthly Comparison of Expenditure with Budget
Estimates
g. Monthly Comparison of Expenditure with Cash
Flow Forecasts
h. Monthly Comparison of Expenditure with
Historical Data
i. Monthly Receipt and Payment Schedule
3. Account Payable a. Daily Execution of Checks/Payment Orders
b. Completed SPM, Pending SPM and Rejected SPM
c. Credit Aging
d. Vendor Name and Adress Listing
e. Vendor Payment History
f. Payment Summary
g. Payment Detail
h. Bank Reconciliation
i. Daily Account Posting Summary
j. Daily Payment Reconciliation
k. Outstanding checks/payment orders
l. Audit Trail
4. Commitment a. Commitment Summary
b. Commitment/Expenditure Transaction Details
c. Commitment/Expenditure Summary YTD
d. Commitment/Expenditure Details by Period
e. Commitment/Expenditure Summary by Period
f. Outstanding Commitment Summary
5. Cash Management a. Forecast of Cash Outflows and Inflows
b. Monthly Revenue Forecasts
c. Monthly Expenditure Forecasts
d. Financial Position Statement

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           182 

 
e. Monthly Fund Requirement
f. Monitoring of Revenue Collections against
Projections
g. Comparison of Revenue Collections with Historical
Trend Data
h. Comparison of Expenditure Estimates and Actuals
with Historical Data
6. Revenue Management a. Revenue Collection Summary
b. Revenue Collection Details
c. Monthly Analysis of Revenue Collections
d. Monthly Comparison of Revenue Actuals and
Estimates
e. Reconciliation of Revenue Collection with Bank
Deposits
f. Monthly Debt Collections
g. Audit Trail

Treasury General Ledger (TGL) akan berfungsi sebagai backbone dari sistem
akuntansi. Masing-masing KPPN akan mempunyai General Ledger dalam central
database dan mempunyai akses elektronik untuk memposting traksaksi dan
menghasilkan laporan. Sistem buku besar ini (general ledger system) akan
berhubungan dengan modul-modul terkait, misalnya sistem manajemen komitmen,
manajemen pembayaran, manajemen penerimaan.
Ruang lingkup sistem akuntansi dalam SPAN akan meliputi akuntansi
anggaran (budgetary accounting) dan akuntansi keuangan (financial accounting). Di
lingkup treasury, akuntansi akan meliputi akuntansi anggaran dan komponen cash
(cash account) dari akuntansi keuangan. Akuntansi anggaran setidaknya akan
meliputi:
a. Registrasi dan penyampaian appropriasi anggaran tahunan
b. Registrasi dan penyampaian allotment anggaran tahunan
c. Registrasi dan penyampaian rencana penarikan dana (annual financial plan)
d. Registrasi dan penyampaian cash limit
e. Komitmen.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           183 

 
Akuntansi di Satuan Kerja akan meliputi baik akun-akun anggaran maupun
akun-akun financial meliputi aset, kewajiban, penerimaan dan pengeluaran. Satker
akan menyampaikan laporan meliputi aset dan kewajiban (akun neraca) dan
penerimaan dan pengeluaran (laporan kinerja keuangan) kepada Kementrian
Keuangan melalui kementrian/lembaga. Kementrian Keuangan akan menerima
laporan konsolidasi untuk masing-masing kementrian teknis dan selanjutnya
mengkonsolidasikan laporan-laporan tersebut untuk menghasilkan laporan keuangan
pemerintah. Treasury akan mencatat komitmen pada saat penyampaian Request for
Commitment (RFC) dan mencatat pengeluaran pada saat memproses dan
mengotorisasi SPM yang diterima dari Satker. Satuan Kerja juga diharuskan untuk
menyampaikan laporan setiap bulan kepada KPPN untuk selanjutnya di upload ke
dalam SPAN, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 4.28 berikut ini (sumber SPAN
Request For Proposal).
Gambar 4.28
Penyempurnaan Akuntansi dan Pelaporan
Dalam Rangka SPAN

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           184 

 
5. Rekomendasi Dan Alternatif Future Vision Model Koneksitas Proses Bisnis
Dengan Satker Terkait Accounting dan Reporting
Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, rencana pengembangan
SPAN diharapkan mampu mewujudkan sistem yang terintegrasi dengan fitur single
entry point untuk semua data. Fitur tersebut diharapkan dapat mengatasi
permasalahan terkait dengan fragmentasi sistem pada saat ini. Di samping itu
diharapkan terdapat kemampuan untuk menyimpan dan meng-query audit trail. Salah
satunya adalah dengan melakukan update data dengan fasilitas reversing jurnal dan
menyimpan data perubahan sebagai data baru (bukan sebagai perbaikan).
Terkait dengan mekanisme penyampaian data dan konsolidasi, beberapa hal
berikut ini kiranya patut menjadi perhatian untuk penyempurnaan.
a) Kerangka pengembangan SPAN dalam bidding document mengedepankan proses
verifikasi pada saat konsolidasi laporan keuangan di tingkat kementrian/lembaga.
Hal tersebut bertentangan dengan praktek saat ini di mana proses rekonsiliasi data
dilakukan sejak unit akuntansi terendah di tingkat UAKPA (satker) dan
UAKBUN-Daerah (KPPN). Untuk menjamin konsistensi data di antara masing-
masing sistem akuntansi (SAI dan SiAP) idealnya mekanisme rekonsiliasi di
tingkat Satker tetap diperlukan.
b) Kerangka pengembangan SPAN dalam bidding document meniadakan proses
penyampaian data secara berjenjang dan rekonsiliasi di tingkat kantor wilayah.
Pada saat ini mekanisme tersebut dilaksanakan antara unit akuntansi wilayah
kementrian/ lembaga (UAKPA-W) dengan Kanwil Ditjen Perbendaharaan
(UAKBUN-W). Salah satu keterbatasan saat ini adalah terkait dengan Satker yang
tidak memiliki kantor wilayah dan mengelola dana Dekonsentrasi dan Tugas
Perbantuan. Dalam prakteknya, sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku, unit akuntansi wilayah dijalankan oleh salah satu Eselon 1 atau salah satu
Satker sebagai koordinator. Kerangka pengembangan yang ada dalam dokumen
SPAN dapat mengatasi keterbatasan kerangka organisasi, sepanjang terdapat
peraturan dan kontrol yang dapat menjamin dilaksanakannya penyampaian data
secara tepat waktu. Hal tersebut harus diantisipasi sejak dini untuk mencegah loss
of information.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           185 

 
c) Kerangka pengembangan SPAN mengusulkan penyampaian Laporan Keuangan
ke unit akuntansi yang lebih tinggi, termasuk penyampaian laporan ke KPPN
untuk di-upload ke dalam database SPAN. Kerangka ini membutuhkan unit-unit
akuntansi terendah atau pihak yang melakukan transaksi keuangan untuk
menyimpan data elektronik dari dokumen sumber. Kerangka ini identik dengan
yang diterapkan pada saat ini. Gambar 4.29 merupakan visualisasi dari organisasi
data dan informasi menurut SPAN:
Gambar 4.29
Organisasi Data Dan Informasi Pelaporan (1)

Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, data transaksi di


simpan di unit-unit akuntansi terendah sedangkan unit akuntansi di tingkat pusat
hanya menerima dan menyimpan data buku besar. Kerangka ini ideal untuk
menerapkan single entry point. Termasuk di dalamnya adalah bahwa koreksi
pembukuan (melalui jurnal entry) hanya dilakukan di Satker. Namun demikian,
laporan internal di Kementrian/Lembaga lebih terbatas karena hanya memiliki data
buku besar. Oleh karena itu, laporan manajerial yang kiranya dibutuhkan harus

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           186 

 
diantisipasi sejak awal, sehingga struktur data dalam buku besar (GL) bisa
mengantisipasi laporan yang nantinya dibutuhkan dalam rangka manajerial. Perbaikan
laporan atas kesesuaian laporan di tingkat pusat apabila dilakukan secara ideal dengan
melakukan koreksi di tingkat Satker akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Di
samping itu, mekanisme ini memerlukan proses rekonsiliasi yang handal di unit
akuntansi terendah.
Alternatif lain adalah dengan membuat kerangka pelaporan yang berbeda
sehingga unit akuntansi di tingkat pusat dapat memiliki data transaksi sebagai
dokumen sumber sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 4.30.
Gambar 4.30
Organisasi Data Dan Informasi Pelaporan (2)

Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, mekanisme pelaporan


berjenjang dilakukan dengan melaporkan data transaksi atau dokumen sumber.
Kerangka tersebut memungkinkan laporan manajerial yang lebih fleksibel di unit
akuntansi kantor pusat karena memiliki data yang lebih lengkap. Serta memungkinkan
dilakukan koreksi pembukuan yang lebih cepat dengan melakukan perbaikan berupa
posting ulang di tingkat pusat. Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan konsep
single entry point dan memungkinkan adanya discrepansi data di antara unit-unit
akuntansi karena perbaikan dapat dilakukan di unit yang lebih tinggi. Dengan kata

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           187 

 
lain, mekanisme ini akan ideal jika perbaikan data di tingkat pusat didukung dengan
mekanisme untuk menginformasikan koreksi data ke unit akuntansi terendah dengan
cepat.
Atas dasar pembahasan tersebut di atas, gambar 4.31 mem-visualisasikan
alternatif penyempurnaan kerangka pengembangan akuntansi dan pelaporan dalam
rangka SPAN.
Gambar 4.31
Alternatif Penyempurnaan Akuntansi dan Pelaporan
dalam rangka SPAN

Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, idealnya


pengembangan SPAN dapat mengakomodasi beberapa kebutuhan penting, di
antaranya:
a) Mekanisme rekonsiliasi laporan keuangan pemerintah di tingkat Satker dan KPPN
tetap diperlukan untuk menjamin validitas dan kesesuaian data di antara SAI dan
SiAP. Sebaliknya, laporan yang diterima oleh KPPN dari Satker tidak perlu untuk
di-upload ke database SPAN.
b) KPPN idealnya dapat memperoleh data dari Satker terkait dengan pengelolaan
anggaran di tahap komitmen meskipun KPPN tetap melaporkan pengeluaran

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           188 

 
berbasis kas. Catatan tentang komitmen akan mendukung keakuratan data terkait
dengan status anggaran yang dikelola Satker. KPPN tetap harus meng-capture
data baik yang berkaitan penerbitan perintah transfer (SP2D) atas pengajuan
pembayaran oleh Satker.
c) Data-data transaksi tersebut disimpan dalam SPAN database yang dapat diakses
oleh KPPN dan MoF. KPPN akan melakukan rekonsiliasi data transaksi dan
laporan dengan Satker. Termasuk didalamnya melakukan jurnal koreksi/
perbaikan laporan yang hanya dapat dilakukan di tingkat Satker dan KPPN.
d) Satker menyampaikan laporan langsung ke Kementrian/lembaga untuk
selanjutnya dikonsolidasikan dengan laporan dari Satker lainnya dalam rangka
menyusun laporan keuangan Menteri / Ketua Lembaga selaku PA.
Dipertimbangkan untuk mengeliminasi laporan ke unit akuntansi wilayah
disamping untuk menyederhanakan prosedur juga untuk mengatasi kendala
organisasi terkait dengan Kementrian/ Lembaga yang tidak memiliki kantor
wilayah.
e) Dalam jangka panjang harus diupayakan agar Kementrian/Lembaga dapat
memiliki database untuk menyimpan data transaksi dari Satuan Kerja. Dengan
memiliki data transaksi, diharapkan Kementrian/Lembaga akan memiliki
kemampuan untuk menghasilkan laporan internal (manajerial) yang lebih dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
f) Konsolidasi dan penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat dilakukan oleh
Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal sebagaimana diamanatkan dalam
ketentuan perundangan.
Terkait dengan perbedaan catatan atas status dana anggaran di Satker dengan
di KPPN, hal tersebut bukan semata-mata karena penggunaan dokumen sumber yang
berbeda. Gambar 4.32 menunjukkan tahapan yang secara umum terdapat dalam siklus
anggaran, terutama terkait dengan pengeluaran.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           189 

 
Gambar 4.32
Tahapan dalam Siklus Anggaran Terkait dengan Pengeluaran

Source : Modified from tracking expenditure flows ( United Nations, 1999) 


Sebagaiamana ditunjukkan dalam gambar di atas, maka dalam perspektif
tahapan dalam siklus anggaran dapat dianalogikan bahwa catatan/record atas
pengeluaran yang dibuat oleh Satker (SAI) berdasarkan SPM merupakan bagian dari
fund control system. Meskipun pada saat ini belum diaplikasikan akuntansi berbasis
akrual, catatan pengeluaran di Satker pada dasarnya merupakan tagihan (invoice)
yang menimbulkan kewajiban (obligation) bagi pemerintah (BUN) untuk dilunasi
apabila memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain, secara accrual SPM sebagai
dokumen sumber pada dasarnya bagi Satker merupakan pengurangan dari dana
anggaran yang dialokasikan dan bagi BUN merupakan kewajiban.
Permasalahan akan timbul apabila basis kas (pada saat pembayaran oleh
treasury) dijadikan dasar penentuan status dana anggaran tanpa dilengkapi rincian
atas tahapan dari siklus anggaran yang telah terjadi di Satker. Misalnya, terjadi
perbedaan terkait penyerapan anggaran menurut Satker dengan BUN. Kerangka
pengembangan SPAN, terutama melalui pengembangan modul manajemen DIPA dan
manajemen komitmen diharapkan dapat mengatasi kesenjangan data terkait dengan
status dana anggaran yang dikelola Satker. Praktek pada saat ini di mana satker
membukukan perubahan status dana anggaran berdasarkan SPM dan KPPN
membukukan pengeluaran berdasarkan SP2D merupakan salah satu alternatif dari
pengembangan modul manajemen DIPA dan manajemen komitmen yang telah
dibahas pada bagian sebelumnya sebagaimana diindikasikan dalam gambar 4.33

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           190 

 
(pembahasan selengkapnya dapat dilihat pada sub bagian manajemen DIPA dan
manajemen Komitmen).
Gambar 4.33
Kesesuaian Modul dalam SPAN
dengan Tahapan dalam Siklus Anggaran

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           191 

 
F. Penatausahaan dan Pertanggungjawaban Bendahara Atas pelaksanaan Tugas
Kebendaharaan di Satuan Kerja
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran adalah pejabat perbendaharaan negara. UU
Perbendaharaan Negara dalam BAB III Pejabat Perbendaharaan Negara, Bagian III, pasal
10 secara implisit mengamanatkan hal tersebut. Salah satu semangat yang terkandung
dalam UU Perbendaharaan Negara adalah penyelenggaraan keuangan negara yang
mengedepankan profesionalitas, terbuka dan bertanggungjawab. Hal tersebut diwujudkan,
salah satunya, melalui pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif
(ordonateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable) yang telah mengalami
deformasi sehingga kurang efektif untuk mencegah dan/atau meminimalkan terjadinya
penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara (Penjelasan UU
Perbendaharaan Negara).
Secara konseptual, governance dalam rangka mewujudkan internal control dan
mekanisme saling uji dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
ditunjukkan dalam gambar 4.34:
Gambar 4.34
Governance dalam Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           192 

 
Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, Bendahara adalah Pejabat
Fungsional yang diangkat oleh Menteri/ Ketua Lembaga untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan/atau anggaran
belanja pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementrian negara/ lembaga. Persyaratan
pengangkatan dan pembinaan karier bendahara diatur oleh Bendahara Umum Negara
selaku Pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara.
Tugas kebendaharaan meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau
menyerahkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang dan surat berharga
yang berada dalam pengelolaannya (Pasal 10 UU Perbendaharaan Negara dan
Penjelasannya). Sebagaimana diatur dalam PP 39 tahun 2007, untuk membiayai kegiatan
operasional sehari-hari dapat diberikan uang persediaan sebagai uang muka yang dikelola
dan harus dipertanggungjawabkan oleh Bendahara Pengeluaran pada Satuan Kerja (Pasal
28). Di samping Uang Persediaan (UP) Bendahara Pengeluaran juga mengelola uang
lainnya yang meliputi:
1. uang yang berasal dari Kas Negara, melalui SPM-LS/SP2D yang ditujukan kepadanya
2. uang yang berasal dari potongan pembayaran yang dilakukan Bendahara selaku wajib
pungut
3. uang dari sumber lainnya yang menjadi hak negara
Ruang lingkup uang dan/atau surat berharga yang menjadi tanggung jawab
bendahara tersebut sejalan dengan definisi Uang Negara sebagaimana diatur dalam pasal
10 PP 39 tahun 2007 yang meliputi uang dalam Kas Negara dan uang pada Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran kementrian negara/ lembaga. Uang bagi
keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/ satuan kerja
tersebut ditampung pada Rekening Bendahara Pengeluaran yang dikuasai oleh Bendahara
Pengeluaran (PMK 61/ PMK. 05/2009).
Kedudukan Bendahara selaku pejabat fungsional mengindikasikan kemandirian
bendahara dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam ketentuan perundangan cukup jelas
disebutkan bahwa bendahara (penerimaan/ pengeluaran) tidak boleh dirangkap oleh
Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa Bendahara Umum Negara (Pasal 10 UU
Perbendaharaan Negara) dan juga tidak boleh dirangkap oleh Pejabat Pembuat Komitmen
dan Pejabat Penandantangan SPM (implisit dalam Pasal 2 ayat 6 Perdirjen 66/PB.1/2005).
Dalam PMK No 73/PMK. 05/2008 ditegaskan bahwa:

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           193 

 
1. tanggung jawab bendahara terbatas atas uang yang dikelolanya dalam rangka
pelaksanaan APBN (Pasal 3 ayat 12).
2. Bendahara pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang
dilaksanakannya (Pasal 9 ayat 4)
Terlebih lagi, meskipun pelaksanaan pembayaran oleh bendahara hanya dapat dilakukan
atas perintah Kuasa Pengguna Anggaran (Pasal 9 ayat 1), Bendahara Pengeluaran wajib
menolak perintah pembayaran dari Kuasa Pengguna Anggaran apabila tidak memenuhi
syarat:
1. Kelengkapan perintah pembayaran yang menjadi dasar hak tagih (misalnya kuitansi)
2. Kebenaran perhitungan tagihan
3. Ketersediaan dana dan kecukupan pagu DIPA yang dimintakan pembayarannya
Bendahara hanya dapat melakukan pembayaran setelah meneliti dan menguji pemenuhan
persyaratan tersebut di atas (Pasal 9 ayat dan 2). Namun demikian, Kuasa Pengguna
Anggaran
Sesuai dengan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan
bendahara selaku pejabat fungsional berimplikasi pada kemandirian bendahara
(khususnya bendahara pengeluaran) dalam pelaksanaan tugas pengelolaan uang dan surat
berharga milik negara. Bendahara bertugas secara mandiri dalam arti tidak hanya terbatas
sebagai kasir yang melaksanakan perintah Pengguna Anggaran. Secara fungsional
bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas kelengkapan hak tagih, kebenaran
perhitungan dan ketersediaan dana dari pengeluaran yang dilakukannya.
Selanjutnya dapat disimpulkan pula bahwa meskipun pengelolaan uang negara yang
menjadi tugas bendahara (pengeluaran) identik dengan pengelolaan Uang Persediaan,
ruang lingkup tanggung jawab bendahara (pengeluaran) juga meliputi uang lainnya yang
ditampung dalam Rekening Bendahara Pengeluaran. Uang yang dikelola bendahara,
setidaknya meliputi uang yang berasal dari Kas Negara melalui SP2D-LS yang
ditampung dalam Rekening Bendahara Pengeluaran yang dikuasainya.
Sejalan dengan kemandirian bendahara selaku pejabat fungsional, maka Bendahara
Penerimaan/Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional atas
pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa Bendahara Umum
Negara (UU No.1/2004 pasal 53). Sebagai pertanggungjawaban atas pengelolaan uang
tersebut, Bendahara wajib menatausahakan dan menyusun Laporan Pertanggungjawaban

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           194 

 
(LPJ). Laporan Pertanggungjawaban tersebut disusun berdasarkan Buku Kas Umum,
buku-buku pembantu dan Buku Pengawasan Anggaran menurut tata cara dan model
sebagaimana diatur dalam Perdirjen 47/PB/2009. LPJ tersebut disampaikan kepada
Kepala KPPN di wilayah kerja Satker bersangkutan, Menteri Pimpinan Lembaga masing-
masing dan Badan Pemeriksa Keuangan. LPJ-LPJ yang telah diverifikasi, oleh KPPN
direkapitulasi dan dilaporkan secara berjenjang kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan
dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Perdirjen 47/PB/2009).
Mekanisme ini sejalan dengan amanat UU Perbendaharaan (pasal 53) bahwa terkait
dengan tugas fungsional bendahara (penerimaan/pengeluaran) Kuasa BUN
bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan bertanggung jawab
kepada Presiden dari segi “hak dan ketaatan kepada peraturan atas penerimaan dan
pengeluaran yang dilakukannya”.
Berkaitan dengan kedudukan dan ruang lingkup tanggung jawab bendahara
(pengeluaran dan/atau penerimaan) serta mekanisme pertanggungjawaban yang berlaku
saat ini, berikut adalah beberapa hal yang dapat dijadikan bahan kajian untuk
penyempurnaannya di masa yang akan datang:
1. Pada saat ini di samping mekanisme pertanggungjawaban bendaharawan, di Satuan
Kerja terdapat mekanisme pelaporan dalam rangka akuntanbiltas sebagaimana di atur
dalam PMK 171/PMK.05/2007 tentang Pelaporan Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Pemerintah Pusat. Sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut, selaku
Kuasa Pengguna Anggaran, Satker merupakan bagian dari unit akuntansi
Kementrian/Lembaga yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan
keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan. Pada prakteknya, kegiatan
pelaporan dan akuntansi di tingkat Satker dilaksanakan oleh Unit Akuntansi Kuasa
Pengguna Anggaran (UAKPA) yang bersifat fungsional.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dalam uraian tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa laporan keuangan tingkat Satuan Kerja yand dihasilkan oleh
UAKPA adalah laporan atas pelaksanaan kewenangan Kuasa Pengguna Anggaran.
Laporan keuangan pemerintah tingkat Satker ini berbeda dengan penyampaian
laporan pertanggjungjawaban atas pelaksanaan tugas fungsional bendahara
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 10 dan penjelasannya, dan diatur lebih lanjut

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           195 

 
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.05/2008 dan Perdirjen No.
47/PB/2009.
2. Ruang lingkup tugas bendahara menyangkut pengelolaan uang yang identik namun
tidak terbatas pada pengelolaan Uang Persediaan. Rekening bendahara (pengeluaran)
menampung pula pembayaran yang ditujukan kepada yang berhak melalui rekening
bendahara (pengeluaran), misalnya SP2D LS untuk pembayaran Gaji Pegawai dan
sejenisnya.
3. Laporan keuangan pemerintah yang dihasilkan SAI untuk tingkat UAKPA (Satker)
dan SAKUN untuk tingkat UAKBUN-D (KPPN) juga mencatat pemberian Uang
Persediaan yang dikelola Bendahara (Pengeluaran) melalui penjurnalan sebagai
berikut:
No Uraian Debit Kredit
Jurnal SAI
1. Kas di Bendahara Pengeluaran 100
Uang Muka dari KUN 100
Jurnal SAKUN
2. Pengeluaran Transito 100
Kas di KPPN 100
Realisasi anggaran dengan pembayaran melalui Uang Persediaan dicatat sebagaimana
halnya pengeluaran atas beban rekening kas negara yang dibayarkan secara langsung
kepada yang berhak (LS) sebagai berikut:
No Uraian Debit Kredit
Jurnal SAI
1. Belanja 60
Piutang dari KUN 60
Jurnal SAKUN
2. Belanja 60
Kas di KPPN 60
Pengurangan atas nilai akun terkait Uang Persediaan (SAI: Kas di Bendahara
Pengeluaran) dan (SAKUN: Pengeluaran Transito) terjadi diantaranya pada saat
pengembalian uang persediaan melualui setoran dan pada saat penerbitan SP2D-GU
Nihil yang dicatat sebagai berikut:

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           196 

 
No Uraian Debit Kredit
Jurnal SAI
1. Uang Muka dari KUN 100
Kas di bendahara Pembayar 100
Jurnal SAKUN
2. Kas di KUN 100
Penerimaan transito 100
Sources: Perdirjen No. PER 01/PB/2005
4. Sebagaimana diilustrasikan pada mekanisme pencatatan sebagaimana pada huruf c,
maka akan cenderung terdapat selisih di antara catatan SAI untuk akun transito (Kas
di Bendahara Pembayar) dengan nominal uang yang menjadi tanggung jawab
bendahara pengeluaran (tunai dan di rekening bendahara pengeluaran) apabila
terdapat pembayaran SP2D-LS yang ditujukan ke rekening bendahara pengeluaran.
Perbedaan pencatatan tersebut dijelaskan melalui mekanisme rekonsiliasi antara
mitigasi dengan cara rekonsiliasi antara LPJ dengan UAKPA (Pasal 19 PMK No.
73/PMK.05/2008 dan Pasal 10 ayat 4 Perdirjen No. 47/PB/2009). Di dalam Perdirjen
No. 47/PB/2009 Pasal 10 dinyatakan bahwa yang berkewajiban melakukan
rekonsiliasi internal antara LPJ dengan Laporan Keuangan UAKPA adalah Kuasa
Pengguna Anggaran (ayat 3).
5. Pencatatan Laporan Keuangan dilakukan dengan menggunakan model double entry
sedangkan model dan tata cara penyusunan LPJ pada dasarnya bersifat single entry.
Namun demikian, detail pencatatan yang dikehendaki dalam LPJ Bendahara melalui
pencatatan pada buku pembantu dan buku pengawasan anggaran pada dasarnya sama
dengan pencatatan akun belanja pada laporan keuangan UAKPA.
Dari pembahasan pada item-item tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
kebutuhan akan masing-masing laporan, laporan keuangan UAKPA dan LPJ Bendahara,
didasarkan pada kerangka tanggung jawab yang berbeda antara KPA dan Bendahara.
Intersection (irisan) di antara tanggung jawab keduanya dalam hal pencatatan adalah
terkait dengan pengelolaan Uang Persediaan. Praktek saat ini (dua mekanisme pelaporan)
tidak efisien karena meskipun bendahara bertugas secara mandiri dan secara fungsional
bertanggung jawab kepada Kuasa BUN, namun karena uang yang dikelola bendahara
terkait dengan pelaksanaan anggaran yang menjadi Kuasa PA maka dalam prakteknya

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           197 

 
Kuasa PA tetap merupakan pihak yang bertanggung jawab secara internal terhadap
kebenaran pembukuan bendahara (sebagaimana diindikasikan dalam ayat 3 pasal 10
Perdirjen 47/PB/2009). Di samping itu, substansi pencatatan terkait dengan
penatausahaan Uang Persediaan dalam rangka pencairan anggaran, baik dalam Laporan
Keuangan UAKPA maupun dalam LPJ Bendahara, pada dasarnya sama. Perbedaan
catatan terjadi karena praktek saat ini memungkinkan pembayaran kepada yang berhak
melalui rekening bendahara. Beberapa alternatif untuk penyempurnaan adalah sebagai
berikut:

Alternatif 1
1. Salah satu alternatif penyempurnaan adalah dengan mengikuti mekanisme yang telah
dipraktekkan pada saat ini, dimana bendahara hanya bertanggung jawab atas uang
persediaan dan uang yang ada di rekening bendahara pengeluaran
2. Bendahara (pengeluaran) hanya berwenang mengajukan SPP-UP sedangkan SPP-LS
diajukan oleh PPK.
3. Bendahara pengeluaran adalah entitas yang terpisah dan dengan UAKPA.
4. Terdapat dua mekanisme pelaporan ke KPPN, yaitu penyampaian laporan UAKPA
dalam rangka rekon dan LPJ Bendahara dalam rangka pertanggungjawaban tugas
fungsional bendahara.
5. Namun demikian, LPJ Bendahara diusulkan untuk disusun dari sub-ledger kas
laporan keuangan UAKPA disertai catatan. Catatan tersebut dapat berupa
perbedaan antara saldo akun “uang muka di bendahara pengeluaran” pada
laporan SAI dengan nominal uang yang dikelolanya akibat pelaksanaan tugas
kebendaharaan lainnya, misalnya selaku wajib pungut.
6. Gambar 4.35 mengilustrasikan kerangka mekanisme sebagaimana dijelaskan dalam
alternatif 1.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           198 

 
Gambar 4.35
Alternatif (1) Governance dalam Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara terkait Tanggungjawab Bendahara 

Alternatif 2
Penyempurnaan atas fungsi bendahara (pengeluaran) dan bisnis proses yang
berkaitan dengan tugas kebendaharaan dapat pula dilakukan secara komprehensif,
sebagaimana diusulkan dalam uraian berikut:
1. Mempertegas tugas fungsional bendahara (terutama bendahara pengeluaran)
dalam penyelenggaraan keuangan negara sesuai dengan semangat yang
diamanatkan dalam UU Perbendaharaan Negara, terutama dalam Pasal 10 dan
penjelasannya. Ruang lingkup tugas bendahara harus dipahami dan dibangun
mengikuti kerangka pemisahan kewenangan yang komprehensif dalam
penyelenggaraan keuangan negara sebagaimana diamanatkan Undang-Undang.
Sebagaimana diketahui, UU mengamanatkan pemisahan kewenangan pihak-pihak
selaku COO dan CFO. Pembagian tersebut salah satunya ditujukan untuk
mewujudkan penegasan pemisahan antara pemegang kewenangan administrative
(ordonateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptabel) (Penjelasan UU

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           199 

 
Perbendaharaan Negara). Dalam ruang lingkup penyelenggaraan keuangan negara di
Satker, maka fungsi comptabel bendahara (pengeluaran) atau tugas kebendaharaan
terkait dengan uang dan surat berharga dalam pengelolaan bendahara idealnya
dipahami secara komprehensif bahwa pengelolaan uang tersebut adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pembayaran atas dana anggaran yang dikuasakan kepada
KPA. Oleh karena itu, tugas kebendaharaan sebagaimana diamanatkan dalam pasal
10 seharusnya tidak terbatas pada Uang Persediaan dan/ atau (dalam prakteknya) uang
yang ada dalam rekening bendahara pengeluaran. Tugas kebendaharaan bendahara
(pengeluaran) idealnya dijalankan secara utuh meliputi seluruh pengeluaran
dana anggaran yang dikuasakan kepada KPA.
2. Terkait dengan pembentukan unit akuntansi, sebagaimana di atur dalam PMK
171/PMK.05/2008, maka idealnya bendaharawan berkedudukan selaku pejabat yang
mengepalai UAKPA. Dalam rangka pemenuhan akuntabilitas, laporan keuangan
UAKPA pada dasarnya tetap merupakan pertanggungjawaban KPA dan harus
disetujui terlebih dahulu oleh KPA sebelum disampaikan ke unit yang lebih tinggi.
3. Selaku pejabat fungsional bendahara, maka bendahara menyusun LPJ melalui sub-
ledger kas dari aplikasi UAKPA disertai catatan dan penjelasan apabila terdapat
perbedaan nominal kas terkait dengan pelaksanaan tugas kebendaharaan lainnya,
misalnya selaku wajib pungut. Terhadap laporan ini, maka bendahara
bertanggungjawab secara pribadi dan secara fungsional kepada Kuasa BUN.
4. Mekanisme penyampaian laporan ke Kuasa BUN cukup dilakukan satu kali, yaitu
dalam rangka rekonsiliasi laporan UAKPA dan sebagai penyampaian laporan LPJ
Bendahara.
5. Gambar 4.36 mengilustrasikan kerangka mekanisme sebagaimana dijelaskan dalam
alternatif 2 tersebut di atas.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           200 

 
Gambar 4.36
Alternatif (2) Governance dalam Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara terkait Tanggungjawab Bendahara

Penyempurnaan proses bisnis dalam penerbitan dokumen otorisasi yang


berkaitan dengan pembayaran.
Pada saat ini, Surat Permintaan Pembayaran secara langsung (SPP-LS) diajukan
oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) (PMK 73/PMK.05/2008). Sedangkan Surat
Permintaan Pembayaran melalui mekanisme UP (SPP-UP dan/atau SPP-GUP) diajukan
oleh Bendahara Pengeluaran (Pasal 7 Perdirjen 66/PB/2005). Namun demikian, dalam
PMK 73/PMK.05/2008, SPP (tanpa membatasi mekanisme pembayaran melalui UP
dan/atau LS) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitment
(PPK). Oleh karena itu dalam konteks PMK No. 73/PMK.05/2008, pengajuan SPP
yang berkaitan dengan Uang Persediaan tetap merupakan kewenangan PPK (Pasal 15
(1) dan Pasal 17 (5)) meskipun definisi SPP merujuk pada adanya permintaan/ perintah
membayar untuk “beban bagian anggaran” dan pemenuhan persyaratan dalam
“dokumen perikatan” (Pasal 1 angka 20). Uraian sebagaimana tersebut di atas

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           201 

 
menunjukkan kurangnya konsistensi terkait dengan standard proses bisnis dan
kewenangan dari masing-masing pejabat perbendaharaan negara di Satker. Beberapa
usulan untuk penyempurnaan proses bisnis dalam kerangka alternatif 2 sebagaimana
tersebut di atas adalah sebagai berikut:

Alternatif 2a
Mempertegas kewenangan bendahara untuk menerbitkan semua Surat Permintaan
Pembayaran (SPP)
Ketentuan dalam Pasal 4 (e) UU Perbendaharaan Negara mengatur tentang
kewenangan PA untuk melakukan “tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja”. Hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan yang mengatur tentang
pejabat pengguna anggaran dalam Perdirjen No 66/PB/2005. Didalam pasal 2 dan
pasal-pasal lainnya, kewenangan pejabat yang ditunjuk untuk “melakukan tindakan
yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/ penanggung jawab kegiatan/
pembuat komitmen”. Esensi dari kewenangan PPK sebagaimana dalam dua peraturan
tersebut adalah untuk membuat (atau pada saat dibuatnya) perikatan/ komitmen/
kontrak dengan pihak yang akan menerima pembayaran atas beban anggaran negara.
Hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan yang mengatur tentang pejabat
pengguna anggaran dalam Perdirjen No 66/PB/2005. Didalam pasal 2 dan pasal-pasal
lainnya, kewenangan pejabat yang ditunjuk untuk “melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/ penanggung jawab kegiatan/ pembuat
komitmen” tidak secara tegas disebutkan dan/atau identik dengan kewenangan pejabat
tersebut untuk mengajukan Surat Permintaan Pembayaran. Oleh karena itu, apabila
ruang lingkup tugas kebendaharaan bendahara pengeluaran tidak terbatas pada uang
persediaan dan/atau uang yang ada di rekening bendahara pengeluaran, maka idealnya
semua Surat Permintaan Pembayaran (SPP) diajukan oleh bendahara pengeluaran.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) hanya bertanggung jawab atas dibuatnya perikatan/
kontrak/ komitmen dengan pihak yang akan menerima pembayaran. Gambar 4.37
mengilustrasikan proses bisnis di Satker sebagaimana dalam Alternatif 2a tersebut di
atas.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           202 

 
Gambar 4.37
Alternatif (2a) Proses Bisnis Pembayaran di Satker
terkait Kewenangan Bendahara

Alternatif 2b
Mempertegas bahwa kewenangan PPK untuk menerbitkan Surat Permintaan
Pembayaran (SPP) sebagai implementasi kewenangan PA/KPA untuk “melakukan
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja”

Ketentuan dalam PMK 73/PMK.05/2008 menentukan kewenangan PPK secara


luas untuk menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) baik melalui mekanisme
LS ataupun UP. Alternatif yang sejalan dengan kerangka kewenangan PPK tersebut
adalah dengan mempertegas kewenangan PPK untuk menerbitkan SPP baik LS maupun
UP. Namun demikian, untuk tetap dapat menjalankan kewenangan bendahara secara
utuh (selaku pemegang fungsi pembayaran dan kewenangan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 10 dan Penjelasan UU Perbendaharaan Negara), maka seluruh permintaan
pembayaran dari Pejabat Penerbit SPM harus disampaikan untuk diketahui bendahara
Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           203 

 
sebelum disampaikan ke KPPN. Untuk pembayaran melalui mekanisme UP, maka SPP
UP dan/atau GUP berlaku sebagai dokumen resmi dari KPA untuk melakukan
pembayaran dengan menggunakan Uang Persediaan (merujuk pada ketentuan dalam
Pasal 9 ayat 1 PMK 73/PMK.05/2008). SPM-SPM tersebut di atas, baik LS dan/atau
UP yang diterima oleh Bendahara dari Pejabat Penerbit SPM merupakan dasar
Bendahara untuk melakukan pembukuan pada Laporan Keuangan UAKPA (merujuk
ketentuan dalam pasal 15 ayat 4 dan 5 dalam PMK 73/PMK.05/2008). Dari sub ledger
cash laporan tersebut, bendahara akan menyusun Laporan Pertanggungjawaban
pelaksanaan kewenangan fungsi pembayaran atas dana yang dikuasakan kepada Kuasa
PA. Gambar 4.38 mengilustrasikan proses bisnis di Satker sebagaimana dalam
Alternatif 2b tersebut di atas.

Gambar 4.38
Alternatif (2b) Proses Bisnis Pembayaran di Satker
terkait Kewenangan Bendahara

Kuasa Pengguna
Ordonateur
Anggaran

Comptabel KPPN SPM

Bukti
Pembayaran
Pejabat Pejabat SPP UP (UP)
Pembuat Penandatangan Bendahara
Komitmen (PPK) SPM (PPSPM)
& GUP
Pihak ke-3
Unit Akuntansi
Kuasa
SPM Pengguna
Anggaran
SPP-LS (UAKPA)
SPP-UP &
GUP
Kontrak &
Invoice
(LS)
Pelaksanaan atas pilihan alternatif-alternatif idealnya memperhatikan pengembangan
struktur rekening yang berkaitan dengan rekening bendahara pengeluaran.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           204 

 
G. MANAJEMEN KAS
1. Tujuan dan Fungsi
Manajemen kas pada dasarnya adalah serangkaian proses yang dijalankan
sebuah entitas organisasi untuk memperoleh kemanfaatan yang maksimal dari arus
kas (ANAO, 1999). Williams (2004) mendifinisikan manajemen kas sebagai ”… the
strategy and associated process for managing cost-effectively government’s short-
term cash flows and cash balances, both within government, and between government
and other sectors”. Pengertian tersebut menekankan pentingnya proses bisnis yang
secara rutin dijalankan dalam manajemen kas di samping hal-hal yang berkaitan
dengan alternatif kebijakan.
Dalam rangka pelaksanaan anggaran, tujuan manajemen kas setidaknya
meliputi pengendalian atas total pengeluaran (aggregate spending), implementasi
anggaran yang efisien, meminimalkan biaya berkaitan dengan pinjaman,
memaksimalkan hasil dari kelebihan kas. Untuk pelaksanaan anggaran yang efisien,
pemerintah harus memastikan bahwa tagihan dan penerimaan dapat dibayarkan dan
diterima tepat waktu. Untuk dapat melaksanakan pembayaran yang tepat waktu,
idealnya terdapat mekanisme untuk mengetahui arus kas yang dibutuhkan pada saat
pembayaran jatuh tempo (World Bank, 2007).
Berkaitan dengan penyempurnaan koneksitas proses bisnis manajemen kas di
Satker, maka peran Satker dalam hal perencanaan kas sangatlah penting. Dalam
Modernizing Cash Management (Lienert, 2009), disebutkan bahwa manajemen kas
yang efektif memerlukan perencanaan arus kas jangka pendek yang akurat dan tepat
waktu. Aktifitas perencanaan dan proyeksi kas ini, diantaranya meliputi pertukaran
informasi antara Kementrian Keuangan dengan kementrian teknis di tingkat
operasional. Institusi treasury idealnya dapat memperoleh informasi dari agency
(Satker) selaku entitas yang melakukan transaksi termasuk di dalamnya perikatan/
komitmen serta proyeksi kas yang dibutuhkan untuk melunasinya (p.9).
Peran dan tanggung jawab Satker dalam manajemen kas diantaranya
dipengaruhi oleh model sistem perbendaharaan dan mekanisme pembayaran dalam
rangka pelaksanaan anggaran di suatu negara. Sedangkan mekanisme yang ditempuh
institusi perbendaharaan untuk menjamin ketersediaan kas pada saat pembayaran

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           205 

 
jatuh tempo dipengaruhi pula oleh struktur rekening pemerintah di mana uang negara
ditempatkan.

2. International Best Practice terkait Manajemen Kas


Sebagai acuan best practices terkait dengan peran dan tanggung jawab Satker
dalam manajemen kas, berikut adalah tinjauan atas pelaksanaan manajemen kas di
Spending Agency (Satker) di Perancis dan Australia. Model yang ada di kedua negara
tersebut, selain sudah cukup maju juga dapat mewakili dua model utama dalam sistem
perbendaharaan. Sistem treasury di Perancis pada dasarnya bersifat ter-sentralisasi
sedangkan sistem treasury di Australia lebih ter-desentralisasi. Manajemen kas di
Satker yang diterapkan di masing-masing negara sangat berlawanan.
Kas pemerintah Perancis terdiri dari saldo atas transaksi keuangan yang
dilakukan oleh public accountants yang masing-masing bertanggung jawab atas satu
atau beberapa rekening operasional. Rekening operasional public accountant
merupakan sub-akun dari rekening utama AFT di Bank Sentral (la Banque de France)
yang melakukan sentralisasi transaksi secara real time. Atas dasar informasi tentang
pola cash flow dan pemberitahuan atas transaksi, AFT melakukan:
a) menentukan jumlah penerbitan Treasury Bills
b) menentukan proporsi dari kas yang ditempatkan di TSA untuk keperluan
manajemen kas pemerintah pusat
c) menginvestasikan kelebihan kas (Lienert & Chailloux, 2009)
Di Perancis, kewenangan COO dilakukan oleh Satker atau disebut Authorising
Officer, sedangkan CFO secara penuh dilakukan oleh Departemen Keuangan yang
dalam hal ini diwakili oleh Public Accountants yang ditempatkan di masing-masing
Satker. Institusi perbendaharaan, Agence France Tresor (AFT), bertanggung jawab
terutama menangani manajemen hutang dan perbendaharaan.
Authorising Officer memiliki wewenang untuk membuat komitmen,
memverifikasi barang, membuat invoices dan claims, dan membuat payment order.
Pemisahan jabatan dilakukan untuk tiap wewenang diatas yang bertujuan sebagai
mekanisme check and balance. Jika melihat wewenang dari Authorising Officer
diatas, di Indonesia Authorising Officer dapat di analogikan sebagai KPA.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           206 

 
Public Accountant merupakan staf Departemen Keuangan yang secara
fungsional berada dibawah General Directorate of Public Accounting yang
berkedudukan di Satker dan bertugas untuk melakukan kontrol (regulatory control)
terhadap payment order yang dibuat oleh Authorising Officer. Public Accountant
memiliki kewenangan untuk menolak payment order yang diajukan oleh Authorising
Officer. Public Accountant bertanggung jawab untuk menyalurkan pembayaran
melalui TSA atau melalui rekening Satker di Treasury. Dalam hal ini Authorising
Officer tidak memiliki rekening sendiri. Public Accountant juga bertugas untuk
membuat Laporan Keuangan Tahunan Satker. Laporan Keuangan tersebut di sahkan
oleh Authorising Officer sebelum disampaikan kepada Court of Accounts untuk
dilakukan audit.
Selain Authorising Officer dan Public Accountant terdapat pula pejabat
perbendaharaan yang disebut Official Controller. Official Controller merupakan staf
Departemen Keuangan yang berada di Satker yang memiliki fungsi untuk melakukan
kontrol berupa regulatory control terhadap perikatan/komitmen atau keputusan lain
yang akan mengakibatkan pengeluaran yang dibuat oleh Authorising Officer apakah
telah sesuai dengan appropriation yang diberikan. (Sigma, 2001; Lienert &
Chailloux, 2009).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Public Accountant
melakukan fungsi manajemen kas dan accounting di Satker sedangkan Official
Controller melakukan fungsi kontrol terhadap anggaran. Kedua pejabat tersebut
menyampaikan pertanggungjawaban kepada kementrian Keuangan bukan kepada
Authorising Officer di Satker. Berikut ini dalam gambar 4.39 ditunjukan struktur dan
kelembagaan Satker di Perancis dalam penyelenggaraan keuangan negara.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           207 

 
Gambar 4.39
Struktur kelembagaan dan Pelaksanaan Anggaran
di Satker (Perancis)

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           208 

 
Model manajemen kas di Satuan Kerja di Australia sejalan dengan sistem
perbendaharaan Australia yang ter-desentralisasi. Tugas-tugas terkait dengan
penyelenggaraan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan anggaran dijalankan
oleh Accountable Officers, yaitu Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial
Officer (CFO), yang ada di masing-masing Agency (Satker). Chief Executive Officer
(CEO) memiliki kewenangan dan tanggung jawab khusus terkait dengan pengelolaan
dan pembayaran atas beban anggaran negara, meliputi:
a) menangani, membayar dan mencatat uang negara dalam rangka pelaksanaan
anggaran;
b) membuat perikatan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran;
c) membuat kebijakan dan praktek pengelolaan keuangan sesuai dengan kebutuhan
Satuan Kerja.
Dengan demikian, manajemen kas dan perbankan merupakan salah satu
tanggung jawab utama yang dijalankan di tingkat Agency. Sejak tahun 1999, Agency
diwajibkan dan bertanggungjawab untuk:
a) membuka dan mengatur rekening di bank dalam rangka pelaksanaan anggaran;
b) memenuhi biaya-biaya yang ditimbulkan dari rekening bank milik Agency;
c) manajemen atas dana yang diterima sebagai bagian dari anggaran (negara);
d) menerima dan membayar bunga (bank) berdasarkan saldo kas untuk masing-
masing departemen.
Kewenangan yang dimiliki oleh CEO tersebut di atas dapat didelegasikan
kepada staf di lingkungan Agency yang bersangkutan. Pada prakteknya, kewenangan
yang terkait manajemen kas dijalankan oleh Chief Financial Officer (CFO). Chief
Financial Officer (CFO) adalah pejabat yang bertanggung jawab atas strategi dan
operasional atas perencanaan dan manajemen keuangan Agency. Dalam melaksanakan
tugasnya, CFO idealnya memiliki akses secara langsung terhadap CEO sehingga dapat
menjalankan advisory role bagi CEO. CFO tidak hanya bertanggung untuk
terlaksananya kerangka manajemen keuangan yang memadai dan melaksanakan
tanggung jawab atas manajemen keuangan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
CFO juga bertanggungjawab atas atas pelaporan terkait dengan penggunaan sumber
daya keuangan (Auditor General Victoria, 2005).

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           209 

 
Elemen utama dari manajemen kas yang dilaksanakan di tingkat Agency
meliputi:
a) menyusun anggaran yang terintegrasi meliputi kegiatan operasional, belanja
modal dan rencana penerimaan dan pengeluaran secara periodik untuk jangka
waktu 12 bulan;
b) melakukan review dan perbaikan secara rutin terhadap perencanaan arus kas,
termasuk penjelasan atas realisasi yang tidak sesuai rencana;
c) memahami pattern dari arus kas untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang
mempengaruhinya, termasuk komponen yang bersifat musiman atau periodik,
sehingga dapat dihasilkan perencanaan kas dengan fleksibilitas yang maksimal.
Institusi treasury di tingkat pusat (Commonwealth treasury)
bertanggungjawab akan ketersediaan kas pada saat dibutuhkan melalui aktivitas
terkait dengan pengelolaan hutang dan pinjaman. Dalam rangka memenuhi tanggung
jawabnya tersebut, treasury diantaranya melakukan:
a) perencanaan (forecast) penerimaan dan pengeluaran harian untuk jangka waktu
satu tahun guna mengetahui tingkat kebutuhan kas harian;
b) memperkirakan saldo kas terendah dalam periode satu minggu (ke-depan) untuk
mendukung keputusan pembuatan pinjaman jangka pendek apabila diperlukan;
Dalam kerangka tanggungjawab penyelenggaraan keuangan negara yang ter-
desentralisasi ini, manajemen kas di Agency menjadi bagian integral dari manajemen
kas institusi treasury. Termasuk diantaranya adalah penerapan aturan terkait jangka
waktu pelunasan invoice, pemilihan mekanisme pembayaran dan metode penarikan
dari dan penyediaan kas melalui rekening ”overdraft” account yand ada di Reserve
Bank of Australia (RBA). Terlebih lagi, kinerja Commonwealth Treasury sangat
ditentukan oleh informasi yang diperoleh dari Agency untuk melengkapi perencanaan
kas.
Mekanisme information-sharing dijalankan dengan mewajibkan Agency untuk
menyampaikan kepada treasury perkiraan penerimaan dan penarikan dana (draw-
down pattern schedule) pada hari Senin untuk jangka waktu sampai dengan hari Rabu
pada minggu berikutnya. Perkiraan tersebut merupakan salah satu dasar untuk
menentukan keputusan perlu atau tidaknya melakukan pinjaman untuk memenuhi
kebutuhan kas. Mekanisme tersebut ditujukan untuk mendukung Commonwealth

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           210 

 
Treasury untuk meminimalisasi biaya pinjaman (net cost of borrowing). Biaya
pinjaman merupakan selisih antara bunga pinjaman dengan remunerasi dari saldo
positif yang ada di rekening treasury di Reserve Bank of Australia (ANAO, 1999).
Merujuk pada istilah yang digunakan Ian Lienert dalam Modernsing Cash
Management (Lienert, 2009), model manajemen kas yang ada di Australia merupakan
two-tier cash management system. Pada sistem tersebut, spending agency tidak hanya
bertanggung jawab atas otorisasi pengeluaran dan internal control, tetapi juga
bertanggung jawab atas manajemen internal kas. Meskipun transaksi keuangan
dilakukan melalui rekening Agency, saldo rekening tersebut pada akhir hari akan
dilimpahkan ke rekening TSA di RBA. Dengan kata lain, terdapat dua level
manajemen kas; yaitu di tingkat Agency dan manajemen kas terkonsolidasi di tingkat
pusat (federal).
Dari pembahasan komparatif atas model manajemen kas di Perancis dan di
Australia, dapat disimpulkan bahwa peran Satker sangatlah krusial untuk manajemen
kas yang efektif. Beberapa fitur dari kedua model tersebut yang patut mendapat
perhatian untuk pengembangan manajemen kas diantaranya meliputi pentingnya
pemahaman atas pola arus kas di masing-masing Satker dan mekanisme information
sharing antara Kementrian Keuangan dengan Satuan Kerja tentang proyeksi
penerimaan dan pengeluaran untuk jangka waktu tertentu.

3. Current State Assesment dan Problems terkait Manajemen Kas


Paket undang-undang keuangan negara merupakan kerangka konseptual yang
komprehensif dalam rangka penyelenggaraan keuangan negara yang ekonomis,
terbuka, bertanggung jawab dan berorientasi dalam hasil. Salah satu pilar utama
dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan keuangan negara yang ideal tersebut
adalah pengelolaan kas yang merupakan bagian dari lingkup perbendaharaan
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 UU No. 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara. Terkait dengan dengan pengelolaan kas tersebut, Menteri
Keuangan dalam kedudukannya selaku Bendahara Umum Negara (BUN) adalah
Chief Financial Officer yang berperan selaku pengelola fiskal dan manajer keuangan
dalam arti yang sesungguhnya. Selaku BUN Menteri Keuangan berwenang menunjuk
pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           211 

 
dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang ditetapkan (PP 39
tahun 2007). Di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 218/PMK.05/2007, telah
ditentukan kewenangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat
Pengelolaan Kas Negara selaku Kuasa BUN Pusat dan KPPN selaku Kuasa BUN
Daerah (Pasal 1). Kewenangan dan tanggung jawab Menteri Keuangan Selaku
Bendahara Umum Negara atau Kuasa BUN Pusat yang terkait dengan pengelolaan
kas setidaknya meliputi:
a) menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
b) mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan anggaran
negara;
c) menyimpan uang negara (Pasal 7 UU No. 1 th 2004);
d) membuat perencanaan (arus) kas;
e) menetapkan saldo kas minimal;
f) menentukan strategi untuk mengatasi kekurangan kas dan memanfaatkan
kelebihan kas;
g) memastikan ketersediaan kas guna memenuhi kewajiban pembayaran.
Dalam hal koneksitas proses bisnis dengan Satker, upaya untuk membangun
manajemen dan perencanaan kas yang baik dilaksanakan tidak hanya menjelang saat
pelaksanaan pembayaran, tapi juga telah dimulai sejak prosess allotment anggaran
(penerbitan DIPA). Sebagaimana diamanatkan dalam UU Perbendaharaan Negara,
dokumen pelaksanaan anggaran memuat ”rencana penarikan dana tiap-tiap satuan
kerja, serta pendapatan yang diperkirakan” (Pasal 14 ayat 3). Tujuan dari
pencantuman rencana penarikan dana adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
manajemen kas pemerintah melalui optimalisasi fungsi DIPA (PMK 105/).
Untuk mendukung fungsi manajemen kas tersebut, telah di-inisiasi mekanisme
penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas (Cash Forecasting) Satuan
Kerja sesuai dengan SE Dirjen Perbendaharaan No. SE-02/PB/2006 tanggal 6 Januari
2006. Terkait dengan hal tersebut, secara khusus telah diinstruksikan pula kepada
Satuan Kerja untuk menyampaikan Laporan Realisasi dan Perkiraan Belanja
Kementrian Negara/ Lembaga pada akhir tahun 2008 melalui SE-38/PB/2008 tanggal
9 Oktober 2008.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           212 

 
Di samping itu, sejak bulan Maret 2009, telah diterapkan mekanisme treasury
notional pooling pada rekening bendahara pengeluaran secara bertahap. Treasury
Notional Pooling merupakan sistem untuk mengetahui saldo rekening bendahara
pengeluaran di Kantor Cabang Bank Umum setelah di konsolidasikan tanpa harus
melakukan perpindahan dana antar rekening. Dengan penerapan mekanisme ini, Uang
Negara yang berada pada rekening bendahara pengeluaran mendapatkan remunerasi.
Sebelumnya, uang negara yang ada pada rekening bendahara pengeluaran menerima
jasa giro yang harus di setor ke rekening kas negara oleh bendahara pengeluaran.
Secara internal, manajemen pengelolaan kas di Ditjen Perbendaharaan
khususnya di KPPN juga dijalankan dalam kaitan pelaksanaan Treasury Single
Account. Sebagaimana diatur dalam SE-12/PB/2009, dalam rangka menjamin
ketersediaan dana dalam Rekening Pengeluaran Kuasa Bendahara Umum Negara
Pusat (RPK-BUN-P) Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) diwajibkan
mengajukan Permintaan Kebutuhan Dana ke Direktorat Pengelolaan Kas Negara.
Mekanisme penyampaian Permintaan Kebutuhan Dana tersebut pada dasarnya
merupakan antisipasi dari jumlah kas yang dibutuhkan untuk membayar tagihan pada
tanggal tertentu berdasarkan nilai SP2D yang diterbitkan (pada esok hari dan hari
yang bersangkutan).
Atas dasar pembahasan international practice dan review perundangan
sebagai mana tersebut di atas, praktek manajemen kas di Indonesia menunjukkan
adanya sebuah hybrid model. Dalam hal kerangka organisasi dan distribusi
kewenangan dalam penyelenggaraan keuangan negara, maka manajemen kas di
Indonesia lebih cenderung pada system ter-sentralisasi sebagaimana di terapkan di
Perancis. Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum negara merupakan
satu-satunya institusi yang secara eksplisit bertanggung jawab atas pencapaian tujuan-
tujuan dari manajemen kas yang dilakukan secara tersentralisasi. Penerapan
mekanisme TSA dan penyediaan dana di RPK-BUNP (sesuai SE-12/PB/2009)
menunjukkan peran sentral Ditjen Perbendaharaan dalam manajemen kas.
Namun demikian, dalam hal yang bersifat operasional terdapat pula beberapa
fitur yang identik dengan praktek yang dilaksanakan di Australia. Walaupun Satker
tidak memiliki tanggung jawab terkait dengan perencanaan kas, Satker pada saat ini
terlibat dalam aktivitas perencanaan kas. Selain penyusunan rencana penarikan dana

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           213 

 
yang bersifat tahunan (halaman 3 DIPA), mekanisme penyampaian informasi untuk
perencanaan kas yang diinstruksikan SE-02/PB/2006 dan SE-38/PB/3008 identik
dengan penyampaian draw-down pattern schedule yang diwajibkan kepada seluruh
Spending Agency di Australia setiap minggunya.
Dalam prakteknya di Indonesia, ketiadaan kerangka konseptual atas tanggung
jawab Satker terkait dengan manajemen kas berkontribusi kepada tidak efektifnya
mekanisme information sharing antara Satker dengan Ditjen Perbendaharaan untuk
keperluan perencanaan kas. Sebagaimana diketahui, peran serta Satker untuk
perencanaan kas melalui sebagaimana diinstuksikan dalam kedua Surat Edaran
tersebut di atas tidak seperti yang diharapkan. Meskipun format dan jenis informasi
yang dibutuhkan dari Satker sangat mungkin mempengaruhi kesiapan dan
kemampuan Satker, pada dasarnya tidak terdapat kerangka organisasi dan/atau
insentif bagi Satker untuk berkontribusi dalam sebuah sistem perencanaan kas yang
efektif. Misalnya, tidak terdapat kejelasan tentang pejabat dalam koordinasi KPA
(PPK, PPSPM dan Bendahara) yang harus bertanggung jawab atas penyusunan
rencana penerimaan dan pengeluaran dan/atau laporan rencana belanja di Satuan
Kerja. Ketiadaan mekanisme rutin dalam periode jangka pendek ini, tidak
memungkinkan review dan update atas rencana penarikan dana dalam halaman 3
DIPA sehingga rencana tahunan ini menjadi tidak efektif dalam pelaksanaannya.
Patut menjadi catatan bahwa kedudukan bendahara (penerimaan dan/atau
pengeluaran) di Indonesia secara organisasional berbeda dengan kedudukan para
public accountant di Perancis. Dalam hal manajemen kas, kedudukan public
accountant selaku pegawai Kementrian Keuangan Perancis memudahkan koordinasi
terkait dengan konfigurasi rekening dan penyampaian informasi yang berkaitan
dengan kas manajemen. Sebagai perbandingan, kedudukan public accountant di
Prancis memudahkan pengelolaan rekening para public accountants sebagai sub-akun
dari rekening utama yang dimiliki AFT. Kondisi ini memudahkan mekanisme
pelimpahan saldo di sub-rekening ke rekening utama, (sebagaimana diterapkan di
Perancis) untuk melaksanakan model Treasury Single Account.
Mekanisme pengelolaan TSA yang ideal tersebut di atas tidak mudah
dijalankan di Indonesia, karena rekening bendahara (pengeluaran dan/atau
penerimaan) di Satker adalah rekening yang terpisah dari rekening kas negara yang

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           214 

 
dikelola Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa BUN. Mekanisme pooling atas
rekening bendahara, sebagaimana dijalankan saat ini, merupakan alternatif yang
paling memungkinkan dengan struktur rekening yang ada saat ini. Meskipun tetap
memberi peluang bagi Ditjen Perbendaharaan untuk memperoleh kemanfaatan atas
saldo kas menganggur di rekening bendahara, Ditjen Perbendaharaan tidak memiliki
kontrol atas saldo di rekening-rekening bendahara tersebut. Misalnya, apabila Ditjen
Perbendaharaan memerlukan saldo di rekening-rekening bendahara untuk keperluan
lain yang mendesak. Ditjen Perbendaharaan juga tidak memiliki alternatif investasi
lain atas saldo-saldo di rekening tersebut selain memperoleh remunerasi dengan
presentase yang tidak fleksibel.

4. Fitur SPAN terkait Manajemen Kas


Sebagai sebuah sistem yang terintegrasi, rencana pengembangan modul
manajemen kas dalam SPAN berkaitan erat dengan pengembangan modul lainnya,
terutama modul manajemen DIPA, manajemen komitmen dan General Ledger.
Keterkaitan modul SPAN dengan modul lainnya diantaranya meliputi:
a) update dan revisi atas Annual Financial Plan, sepanjang tidak melebihi pagu
anggaran;
b) penerapan cash-limit apabila diperkirakan tidak terdapat cukup kas untuk membayar
tagihan atas beban negara.
c) penggunaan data komitmen untuk proyeksi arus kas yang dibutuhkan untuk
pelunasan sebuah komitmen.
Rencana pengembangan SPAN untuk modul manajemen kas juga secara
khusus mengantisipasi peran Satker yang krusial terkait dengan penyusunan
penyampaian rencana pengeluaran/ belanja sebagaimana ditunjukkan dalam gambar
4.40.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           215 

 
Gambar 4.40
Rencana Pengembangan SPAN
untuk Modul Manajemen Kas (Bidding Document)
MANAJEMEN KAS

Mnj.
Mnj. Kas (Direktorat PKN) Mnj. Utang Mnj. Satker
Penerimaan
Kegiatan Data DIPA
Penempatan Penerimaan Cash
Kas DMFAS
Negara Planning
Commitment
Cash Limit
1. Pagu APBN SAI
2. Rencana
Pengeluaran Memperkiraan Memperoleh
& enerimaan pendapatan informasi Mnj.
3. Akuntansi pinjaman Komitmen
Kas Umum
Negara
4. Saldo Kas Mempersiap
5. Profil Utang Perkiraan Mempersiapkan kan Cash
Pendapatan perkiraan Planning
hutang dan
hibah

Merencanaka
Perbaikan Perkiraan n strategi/ Cash
rencana hutang persyaratan
Planning
penempatan kas, dan pinjaman
penerimaan dan hibah
pengeluaran Mnj.
Pembayaran
Penentuan
persyaratan
pinjaman

Penentuan batas Memperbaharui


pengeluaran yang baru Cash Limit
dan menyampaikannya ke
satker

Rencana pengembangan modul manajemen kas, dalam kerangka sistem yang


terintergrasi dengan modul-modul lainnya dalam SPAN adalah sebagai mana
ditunjukkan dalam gambar 4.41:

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           216 

 
Gambar 4.41
Rencana Pengembangan SPAN untuk Modul Manajemen Kas
Terkait Dengan Modul-Modul Lainnya

Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, elemen dari


manajemen kas akan memperoleh input dari manajemen DIPA, manajemen komitmen,
dan General Ledger untuk penyusunan dan update dari perencanaan kas. Annual
Financial Plan dalam halaman 3 DIPA yang merupakan proyeksi kebutuhan kas untuk
jangka panjang dan menengah adalah bagian dari modul manajemen DIPA.
Mekanisme manajemen komitmen akan menghasilkan data untuk update proyeksi
tersebut, terutama melalui jumlah dan saat pelunasan komitmen yang telah diregistrasi
ke Ditjen Perbendaharaan (CAN). Bagian dari pelaksanaan mekanisme manajemen
komitmen yang dicatat dalam General Ledger sebagai hutang (payables) merupakan
input untuk kebutuhan kas dalam jangka pendek. Kedua informasi tersebut dapat
digunakan sebagai bagian dari mekanisme atas pembayaran pada saat penerbitan SP2D
atau digunakan murni sebagai informasi dalam rangka pelaksanaan kas.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           217 

 
5. Rekomendasi dan alternatif Future Vision Model koneksitas proses bisnis dengan
Satker terkait Manajemen Kas
Rencana pengembangan manajemen kas dalam SPAN telah cukup
komprehensif dan mencerminkan penerapan best practice. Meskipun ruang lingkup
pengembangan SPAN berfokus pada proses bisnis di lingkungan internal Ditjen
Perbendaharaan dan Ditjen Anggaran, rencana pengembangan SPAN yang ada saat
ini telah mengindikasikan antisipasi atas peran para stakeholder, termasuk Satker.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang patut menjadi perhatian untuk
penyempurnaan dan implementasi SPAN khususnya terkait dengan manajemen kas
dan koneksitasnya dengan proses bisnis di Satker. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
a) Penerapan SPAN dapat mendukung perencanaan kas jangka menengah dan
tahunan melalui Annual Financial Plan (DIPA hal. 3). Pengembangan sistem
informasi yang terintegrasi memungkinkan tersedianya mekanisme review dan
update terhadap rencana tersebut. Akan tetapi untuk implementasinya, masih
diperlukan kejelasan tidak hanya terkait sifat dari AFP, tetapi juga sumber data
untuk keperluan updating rencana tersebut. Proses bisnis di Satker yang berkaitan
dengan manajemen komitmen memiliki sumber data yang potensial untuk
keperluan tersebut di atas. Mekanisme registrasi data kontrak/ komitmen pada saat
pengajuan Request For Commitment (RFC) idealnya dapat digunakan untuk
meningkatkan akurasi AFP melalui update rencana pengeluaran atas dasar
sejumlah dana anggaran yang telah di kontrakkan.
b) Proses bisnis di Satker yang berkaitan dengan pengajuan pembayaran juga
idealnya dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan cash forecasting untuk
jangka pendek. Catatan atas hutang (liabilities) yang dibuat atas dasar tagihan
yang divalidasi (SPP) dapat menjadi dasar untuk memperkirakan kebutuhan kas
untuk hari tertentu. Fitur ini apabila diterapkan, dapat menggantikan atau
melengkapi mekanisme yang saat ini digunakan Ditjen Perbendaharaan dalam
pengisian RPK-BUN-P. Mekanisme yang saat ini digunakan untuk menentukan
jumlah alokasi saldo harian di sub-akun RPK-BUN P milik KPPN tertentu pada
umumnya cukup efektif. Akan tetapi, mekanisme yang didukung dengan aplikasi
software (e-kirana) ini dalam prakteknya masih memerlukan pertukaran informasi

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           218 

 
secara informal melalui telepon dan/atau faximile. Idealnya, mekanisme tersebut
merupakan bagian dari sistem yang secara terintegrasi merupakan bagian dari
proses pembayaran (penerbitan SP2D). Pembahasan selengkapnya atas fitur dalam
manajemen komitmen yang berkaitan dengan manajemen kas dapat dilihat pada
sub-bagian manajemen komitmen dalam modul ini.
c) Manajemen kas idealnya sejalan dengan kerangka dan konfigurasi rekening,
terutama yang berkaitan dengan penyediaan dana petty cash/ imprest fund.
Rekening bendahara pengeluaran yang digunakan untuk menempatkan dana petty
cash merupakan rekening yang mandiri dan terpisah dari rekening yang dikelola
Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa BUN. Merujuk pada model sentralisasi
manajemen kas yang ada di Perancis, rekening bendahara pengeluaran idealnya
merupakan sub akun dari rekening Kuasa BUN. Struktur rekening yang ada saat
ini kurang ideal bagi perencanaan kas karena tidak adanya kontrol penuh Kuasa
BUN terhadap saldo di rekening-rekening tersebut di akhir hari. Sentralisasi
rekening bendahara terhadap rekening yang dimiliki Ditjen Perbendaharaan
memungkin penerapan alternatif investasi terbaik dari idle cash (jika ada) dan
tidak terbatas pada perolehan remunerasi atas saldo total rekening-rekening
tersebut sebagaimana dijalankan melalui mekanisme Treasury National Pooling
pada saat ini. Sentralisasi rekening bendahara juga lebih ideal untuk penerapan
mekanisme pembayaran petty cash melalui credit card melalui rekening yang
memiliki fasilitas overdraft sebagaimana dijalankan di Australia.
d) Kejelasan wewenang dan tanggung jawab atas penyelenggaraan manajemen kas di
Satker sangat diperlukan. Meskipun telah terdapat mekanisme yang mewajibkan
Satker untuk menyampaikan informasi dalam rangka perencanaan kas, tidak
terdapat kejelasan tentang pejabat perbendaharaan yang bertanggungjawab atas
rencana penarikan dana tersebut. Idealnya, terdapat ketentuan yang mengatur
tugas dan tanggung pihak-pihak tertentu berkaitan dengan rencana penarikan dana
dari Satuan Kerja. Dalam kerangka dasar penyelenggaraan keuangan negara
sebagaimana di Satker tidak terdapat ketentuan yang mengatur kewajiban pejabat
perbendaharaan di Satker berkaitan dengan manajemen kas. Hal tersebut dapat
dimaklumi karena sistem perbendaharaan Indonesia lebih cenderung pada model
sentralisasi manajemen kas pada Kementrian Keuangan sebagaimana halnya di

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           219 

 
Perancis. Namun demikian, apabila Satker pada prakteknya kemudian diharuskan
menyampaikan informasi dalam rangka perencanaan kas (sebagaimana
dilaksanakan di Australia), kejelasan akan tugas dan tanggung jawab pihak
tertentu terhadap informasi tersebut harus segera ditentukan. Merujuk pada
kerangka tanggung jawab manajemen kas di Satker yang diterapkan di Australia,
maka informasi terkait dengan rencana penarikan dana dalam rangka perencanaan
kas idealnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawab bendahara
(pengeluaran). Hal ini juga sejalan dengan pembahasan terkait dengan manajemen
uang persediaan di Satker pada sub bagian sebelumnya.
Gambar 4.42
Proses Bisnis Pembayaran di Satker
terkait dengan Cash Forecasting

Kuasa Pengguna
Ordonateur
Anggaran
Rencana
Penarikan
Dana
Comptabel KPPN

SPM Bukti
Pembayaran
Pejabat Pejabat SPP UP (UP)
Pembuat Penandatangan Bendahara
Komitmen (PPK) SPM (PPSPM) & GUP
Pihak ke-3
Unit Akuntansi
Kuasa
SPM Pengguna
Anggaran
SPP-LS (UAKPA)
SPP UP
& GUP
Kontrak & Invoice
(LS)

Sebagaimana ditunjukkan dalam model proses bisnis di Satker sebagaimana


diusulkan dalam gambar 4.42, maka bendahara pengeluaran merupakan pihak yang
bertanggung jawab tidak hanya pada pelaksanaan fungsi pembayaran secara utuh
(mengetahui semua permintaan pembayaran baik SPP LS maupun SPP UP).

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           220 

 
Bendahara, idealnya juga memiliki akses terhadap informasi akuntansi dan
pembukuan atas transaksi-transaksi pengeluaran tersebut. Dengan pelaksanaan kedua
fungsi tersebut, maka bendahara merupakan pihak yang memiliki akses memadai
untuk menyusun rencana penarikan dana sebagai input informasi dari Satker untuk
perencanaan kas. Untuk melaksanakan fungsi perencanaan kas tersebut, idealnya
terdapat mekanisme di mana bendahara dapat mengetahui pagu anggaran yang telah
dikontrakkan dengan menerima tembusan kontrak dari Pejabat Pembuat Komitmen.
Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat mendukung pelaksanaan fungsi
bendahara secara utuh dan sesuai kerangka peraturan perundangan sebagaimana
diamanatkan dalam peraturan perundangan.

H. Penutup
Dari uraian pada beberapa sub-bab tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa
pokok pikiran yang dapat disarikan:

1. Sebagaimana framework penulisan modul yang telah dijelaskan pada Bab I,


pembahasan pada BAB IV ini difokuskan pada penentuan model koneksitas proses
bisnis di masa yang akan datang (future). Susunan substansi materi yang dibahas
dalam modul ini mengikuti struktur yang telah dibahas dalam Bab III (current state
assessment), yang meliputi tahapan-tahapan dalam siklus APBN yang telah dipetakan
secara modular sejalan dengan rencana pengembangan SPAN
2. Untuk masing-masing proses bisnis di Satker yang terkait dengan pelaksanaan
tahapan dalam siklus APBN, sedapat mungkin telah diupayakan agar bab ini memuat
pembahasan secara komprehensif. Pembahasan untuk masing-masing tahapan
(modul) setidaknya meliputi tinjauan atas international best practice, review atas
landasan hukum dalam kerangka international best practice, assessment atas praktek
pelaksanaan selama ini, rencana pengembangan dan implementasi SPAN dan analisis
alternatif dan serta rekomendasi untuk penyempurnaan.
3. Pembahasan model koneksitas proses bisnis di Satker untuk masing-masing modul
diupayakan untuk mewujudkan integrasi antara suatu modul sebagai sub-sistem dari
sebuah sistem modular yang terintegrasi. Misalnya, merujuk pada international best
practice dan rencana pengembangan SPAN, terdapat keterkaitan yang erat antara
manajemen DIPA, manajemen kas, manajemen pelaporan dan manajemen
Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           221 

 
pembayaran, diantaranya melalui pengakuan, pencatatan dan registrasi terkait
komitmen (manajemen komitmen).
4. Disadari sepenuhnya bahwa paket undang-undang di bidang keuangan negara telah
mengamanatkan kerangka pengelolaan keuangan negara yang komprehensif, yang
tidak hanya mencerminkan international best practice tetapi juga mempertimbangkan
kondisi spesifik di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan, kajian, penentuan
alternatif dan rekomendasi dalam rangka penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksitasnya senantiasa diupayakan kesesuaiannya dengan kerangka dasar
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang telah ada.
5. Mengingat peran penting dan kedudukan bendahara (di Satker) yang unik dalam
struktur dan gorvenance penyelenggaraan keuangan negara, bab ini juga memuat
kajian atas peran bendahara di Satker- khususnya bendahara pengeluaran- pada saat
ini dan alternatif penyempurnaan pelaksanaan tugas kebendaharaan oleh bendahara di
masa yang akan datang.
6. Pembahasan dalam bab ini pada dasarnya merupakan blue-print untuk
penyempurnaan model koneksitas proses bisnis dengan Satker. Blue print tersebut
diperlukan sebagai bahan kajian dan acuan untuk penyusunan desain rinci (detail-
design) proses bisnis di Satker dan koneksitasnya, yang idealnya dilakukan bersama-
sama dengan unit-unit teknis di lingkungan Ditjen Perbendaharaan.

Subdit TPBE, DTP                                                                                                                                           222 

 
BAB V
Strategi dan Taktik Pencapaian Model Koneksitas

Mengikuti kerangka penulisan sebagaimana dijelaskan dalam Bab I, bab ini


difokuskan pada pembahasan tentang strategi dan taktik pencapaian model
koneksitas. Termasuk dibahas dalam bab ini adalah cakupan implementasi SPAN
Project dan kaitannya dengan pengembangan proses bisnis dan IT di satker,
mitigasi resiko terkait dengan diversitas kondisi dan jumlah satker, serta perlunya
berbagai perubahan dalam regulasi dan change managament untuk memperlancar
penerapan proses binnis dan IT yang baru. Dibahas pula dalam bab ini adalah
perlunya kesesuaian time line penyempurnaan proses bisnis dan IT satker dengan
time line SPAN Project. Hal-hal yang dibahas dalam bab ini akan menjadi fokus
bahasan diskusi awal tahun 2010.

Pada bab-bab sebelumnya, telah dibahas proses bisnis penyelenggaraan keuangan


negara di Satker, permasalahan dan beberapa usulan sebagai alternatif penyempurnaannya.
Penerapan alternatif pilihan penyempurnaan tersebut memerlukan strategi yang sesuai agar
dapat diimplementasikan secara efektif. Penyusunan strategi dalam rangka penyempurnaan
proses bisnis penyelenggaraan keuangan negara di Satker dan koneksitasnya dengan proses
bisnis di Ditjen Perbendaharaan setidaknya harus memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Keterkaitan antara penyempurnaan proses bisnis di Satker dalam kerangka SPAN;
b. Mitigasi terhadap inherent risk dari aktivitas yang berkaitan dengan Business Process
Improvement, khususnya di lingkungan instansi pemerintah;
c. Magnitude dan diversitas dari Satuan Kerja sebagai client utama dari Ditjen
Perbendaharaan, khususnya terkait dengan pengeluaran anggaran, serta permasalahan
terkait kondisi geografis Indonesia yang unik;
d. Peran Sumber Daya Manusia (baik di Ditjen Perbendaharaan maupun para pejabat
perbendaharaan di Satker) selaku agent of change untuk terwujudnya penyempurnaan
yang berkesinambungan;
e. Kepastian hukum dan kelengkapan peraturan pelaksanaan untuk mendukung governance,
check and balance dan evaluasi atas proses bisnis terkait penyelenggaraan keuangan
negara di Satker;

Subdit. TPBE, DTP  223 

 
f. Koordinasi dan sosialisasi, baik di lingkungan internal Ditjen Perbendaharaan maupun
secara lebih luas yang melibatkan Satker, perbankan, DJA, aparat pengawasan dan
stakeholders utama lainnya;
g. Kesesuaian dengan time-line dan road map pengembangan proses bisnis dalam rangka
SPAN.

A. Penyempurnaan proses bisnis di Satker dalam kerangka pengembangan SPAN


Dalam kerangka pengembangan SPAN, cukup jelas disebutkan bahwa pada
dasarnya ruang lingkup pengembangan SPAN tidak mencakup Satker. Bersama dengan
proses bisnis yang terkait dengan institusi perbankan dan pengelolaan aset, investasi dan
hutang, proses bisnis Satker tidak termasuk ruang lingkup dari komponen utama SPAN
sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 5.1.
Gambar 5.1

Namun demikian, sejumlah Satker akan diikutkan dalam tahap piloting yang
khususnya lebih berkaitan dengan konfigurasi teknologi informasi. Sesuai dengan
keterangan dalam SPAN Dokumen (RFP), maka Kementrian Keuangan bertanggung
jawab untuk membangun sistem aplikasi dan interface untuk mentransfer data dari
Satker ke Ditjen Perbendaharaan. Sedangkan interface untuk mentransfer data dari
Ditjen Perbendaharaan ke Satker akan menjadi bagian dari SPAN. Atas dasar
uraian tersebut maka cukup jelas bahwa COTS nantinya hanya terdapat di
Subdit. TPBE, DTP  224 

 
Kementrian Keuangan, sedangkan Kementrian/ Lembaga merupakan entitas yang
menyediakan data bagi COTS/ modul SPAN yang ada di sistem Kementrian
Keuangan.
Tahap pilot phase 1 akan melibatkan 5 Kantor Pusat Kementrian/Lembaga, yang
terdiri dari Kementrian Keuangan, Kementrian Kesehatan, Kementrian Pendidikan
Nasional, Kementrian Pekerjaan Umum dan Kementrian Pertanian. Ruang lingkup
selama pilot phase yang melibatkan Sekertariat Jenderal kementrian/lembaga adalah
sebagai berikut (sesuai dengan SPAN Bid Document/RFP):
1. Electronic transfer of RKA-KL data from LM Head Office to DGB;
2. Electronic transfer of draft DIPA data from LM SU to DGT;
3. Electronic transfer of commitment data from LM SU to DGT;
4. Electronic transfer of SPM data from LM SU to DGT;
5. Electronic transfer accounting data (GL, fixed asset data, and other financial data
from LMHO & SU to DGT);
6. Electronic transfer of confirmation of DIPA approval from DGT to LMHO & SU;
7. Confirmation of SP2D from DGT to LM SU;
8. Notification of SPM which could not be processed from DGT to LM SU.
Selama tahap piloting direncanakan akan terdapat 55 koneksi untuk lima
kementrian/lembaga yang ikut serta dalam tahap piloting dengan rincian sebagai berikut:
5 nodes Kantor Pusat Kementrian/Lembaga
50 nodes Spending Unit
(source: SPAN RFP)

Agar sesuai dengan ruang lingkup dari rencana implementasi selama pilot phase,
maka ditetapkan institusi Kantor Pusat Kementrian/ Lembaga yang ideal untuk
dilibatkan dalam pilot phase 1 adalah Sekertariat Jenderal. Untuk aktivitas yang
berkaitan dengan manajemen komitmen, manajemen pembayaran dan akuntansi (item
c,d,e g dan h) Sekertariat Jenderal berperan murni sebagai Satuan Kerja. Sedangkan
untuk aktivitas yang berkaitan dengan budget preparation (a,b,f) dan penerbitan dokumen
pelaksanaan anggaran Sekertariat Jenderal berperan sebagai head offices/kantor pusat dari
Satker-satker yang menjadi unit vertikalnya (sub-ordinate budgetary institutions).

Subdit. TPBE, DTP  225 

 
Sejumlah 10 nodes untuk masing-masing Kementrian/Lembaga akan disediakan bagi
Satuan Kerja Kantor Pusat di lingkungan Kementrian/Lembaga.
Pada tahap awal Satker (SU) tidak terkoneksi secara online. Ruang lingkup SPAN
adalah koneksi dengan 178 KPPN dengan 5 kementrian/lembaga sebagaimana tersebut di
atas. SPAN diharapkan memiliki fitur diantaranya centralized database, single entry
point, real time, electronic submission of information, online access to centralized
database, automatic updating to all information. Koneksitas dengan kementrian/lembaga
akan dilakukan melalui koneksi dial up dengan Remote Access Server yang ada di
Kanwil/KPPN. Konfigurasi IT dan sistem informasi yang melibatkan Satker dalam tahap
piloting adalah sebagai berikut:

Gambar 5.2

DG Treasury  DG Budget
   
   
Eselon 1 (Setjen) 
Head Offices 
Preparation 

  Lini  Bureau 1/ 
Central  Ministry  SU 1 
Remote Access  Database  Head 
Server  Offices 
 Kanwil  as/or 
Spending  Bureau 2/ 
U i SU 2 

Echelon 1
Bureau 2/ 
SU 2 
KPPN  Execution  Spending 
Unit

Bureau 10/ 
SU 10 

Subdit. TPBE, DTP  226 

 
Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, terdapat beberapa
alternatif dalam rangka implementasi SPAN khususnya pada tahap piloting 1 sebagai
berikut:
1. Line Ministry Head Office dan Spending Unit tidak memiliki koneksi/ akses secara
langsung terhadap central data base. Akses Satker terhadap central database
dilakukan melalui KPPN/ Kanwil sebagai Remote Access Centre;
2. Line Ministry Head Office (dan Spending Unit apabila memungkinkan) memiliki
akses langsung terhadap central database. Akses Satker terhadap central data base
yang dilakukan melalui KPPN/ Kanwil sebagai Remote Access Server hanya
diperuntukkan bagi Satker-Satker tertentu di daerah terpencil yang tidak
memungkinkan koneksi/ akses secara langsung terhadap database, misalnya melalui
dial up.
Sebagaimana tersebut di atas, dalam rangka pengembangan SPAN aplikasi
kementrian/lembaga dan interface untuk mentransfer data dari kementrian/lembaga
kepada Ditjen Perbendaharaan akan menjadi tanggung jawab Departemen Keuangan. Saat
ini telah terdapat kajian awal terkait dengan inventarisasi aplikasi-aplikasi yang
digunakan di Satker pada saat ini dan kemungkinan penyempurnaan/ integrasi aplikasi
tersebut di masa yang akan datang. Namun demikian, sampai saat ini belum terdapat
kejelasan perihal aplikasi-aplikasi apa saja yang diperlukan Satker dalam rangka SPAN.
Sebagai contoh, terkait dengan penerapan manajemen komitmen di masa yang akan
datang, belum terdapat kejelasan bagaimana informasi terkait kontrak/komitmen dalam
Request for Commitment (RFC) disampaikan ke KPPN. Pada saat ini ADK kontrak
dihasilkan dari aplikasi yang berkaitan dengan manajemen pembayaran, yaitu aplikasi
SPM. Sebagai catatan, di dalam SPAN Bid Document/RFP terdapat beberapa alternatif
untuk meregistrasi data komitmen (BC001) yang struktur datanya cukup kompleks (BC)
misalnya dengan input secara manual dan atau menggunakan file/ ADK.
Di samping itu, meskipun terdapat beberapa Satker yang bagian dari pilot phase,
dalam pelaksanaanya tidak ada parallel run dari sistem di KPPN. Parallel run hanya
mungkin terjadi dalam satu Kantor Wilayah di mana terdapat KPPN yang menggunakan
sistem yang baru dan yang lama. Terkait hal tersebut sangat mungkin diperlukan program
aplikasi untuk mengkonfersi data dari sistem yang lama (di satker) ke sistem yang baru

Subdit. TPBE, DTP  227 

 
(di KPPN), khususnya bagi Satker yang tidak termasuk ke dalam entitas dalam rangka
piloting.

B. Mitigasi terhadap inherent risk berkaitan dengan Business Process Improvement


Semenjak diperkenalkan dengan tema reengineering, upaya penyempurnaan proses
bisnis (business process improvement) cenderung identik dengan resiko yang tidak kecil.
Hal tersebut karena secara konseptual, business process improvement menganjurkan suatu
perubahan yang besar (dramatic improvement) dengan dukungan kemajuan teknologi
informasi (see Hammer, 1990; Davenport & Short, 1990; Grover & Malhotra, 1996).
Khususnya bagi instansi pemerintah, upaya terkait penyempurnaan proses bisnis juga
sering terkendala oleh peraturan sebagai dasar hukum dan keharusan mempertahankan
aktivitas yang berkaitan dengan otorisasi dan verifikasi, pendanaan dan ketiadaan profit
untuk menjustifikasi investasi, dan hubungan industrial yang lebih kaku jika terdapat
konsekuensi lay-off (see MacIntosh, 2003; Hesson, 2007). Secara lebih spesifik,
pengalaman otomasi dan integrasi sistem informasi yang berkaitan dengan
penyelenggaraan keuangan negara (Government Financial Management and Information
System) juga tidak selalu berhasil baik karena ketiadaan landasan hukum, kurangnya
proses improvement maupun masalah yang lebih teknis, misalnya terkait kodifikasi akun
(USAID, 2008).
Idealnya terdapat suatu mekanisme untuk me-mitigasi resiko yang identik dengan
penyempurnaan proses bisnis sebagai mana tersebut di atas. Pada saat ini, governance dan
koordinasi dalam rangka proyek SPAN melalui Tim Reformasi Perbendaharaan dan
Penganggaran Negara (Tim RPPN) dan Tim Koordinasi Teknis telah secara rutin
menangangi isu-isu terkait SPAN, termasuk keterkaitannya dengan penyempurnaan
proses bisnis di Satker. Pada saat ini juga terdapat beberapa tim yang secara khusus
bertugas menangani aspek tertentu terkait dengan pengembangan SPAN, misalnya Tim
Penyempurnaan Framework Chart of Account. Di samping itu, meskipun ruang lingkup
SPAN tidak sepenuhnya mencakup Satker, di Direktorat Transformasi Perbendaharaan
yang merupakan counterpart dalam rangka pengembangan SPAN telah terdapat unit
struktural yang secara khusus bertanggung jawab atas penyempurnaan proses bisnis di
Satker. Tata kelola sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dapat me-mitigasi resiko-
resiko yang secara identik dengan upaya penyempurnaan proses bisnis. Beberapa aspek

Subdit. TPBE, DTP  228 

 
lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia akan dibahas pada bagian
berikutnya.

C. Magnitude dan diversitas dari Satuan Kerja serta permasalahan terkait kondisi
geografis Indonesia yang unik.
Jumlah Satker yang menjadi mitra kerja Ditjen Perbendaharaan terhitung sangat
besar dengan diversitas yang sangat signikan. Pada saat ini (akhir tahun 2009) Kantor
Pusat Ditjen Perbendaharaan dan unit vertikal dilingkungannya melayani sekitar 21.000
Satuan Kerja. Dari jumlah tersebut, sekitar 836 Satker memiliki pagu kurang dari 100
juta, sedangkan Satker yang memiliki pagu lebih dari 2 milyar tidak kurang dari 10.514
Satker. Figur selengkapnya adalah sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 5.3.

Gambar 5.3

Sources: Diolah dari data DIPA 2009 Dit. PA

Subdit. TPBE, DTP  229 

 
Dari sekitar 21.000 Satker tersebut di atas, hanya 55, 9% yang memiliki belanja
modal, sedangkan sisanya tidak memiliki belanja modal. Pada saat ini terdapat 178 KPPN
yang melayani Satker-Satker yang tersebar di 33 propinsi tersebut. Dengan kondisi
geografis kepulauan di Indonesia yang unik, dapat dipastikan tantangan penyempurnaan
proses bisnis dan pelayanan di masa yang akan datang tidaklah mudah.
Merujuk pada figur dan sebaran dari Satker sebagai mana tersebut di atas,
mekanisme piloting yang rencananya akan diterapkan selama tahap implementasi SPAN
sudah cukup tepat. Demikian pula dengan pemilihan Kementrian/ Lembaga yang menjadi
bagian dari tahap piloting sudah mewakili kondisi/ figure dari Satker pada saat ini.
Namun demikian, idealnya selama implementasi SPAN dapat dilakukan sosialisasi
kepada seluruh Kementrian/ Lembaga terkait dengan penyempurnaan proses bisnis di
Satker terlepas dari rencana implementasi SPAN. Hal tersebut diperlukan karena pada
dasarnya penyempurnaan proses bisnis di Satker tidak terbatas pada beberapa
Kementrian/ Lembaga yang menjadi bagian tahap piloting.

D. Peran Sumber Daya Manusia selaku agent of change


Penyempurnaan proses bisnis tidak terlepas dari peran sumber daya manusia di
suatu organisasi untuk mewujudkan perubahan. Literatur business process improvement,
secara umum mengenalkan paradoks terkait dengan pengelolaan sumber daya manusia
selama menjalani business process improvement. Di satu sisi, business process
improvement mengandalkan konsep empowerment untuk merealisasikan perubahan dalam
pengelolaan organisasi yang berbasis proses. Di sisi lain, secara konseptual business
process improvement menganjurkan pengelolaan organisasi yang cost-efisien dan
mengantisipasi kemungkinan melakukan stream-lining terhadap organisasi.
Ditjen Perbendaharaan menyadari sepenuhnya peran sentral SDM dalam
merealisasikan perubahan. Implementasi SPAN, nantinya akan didukung oleh badan/
konsultan yang melaksanakan advisory role terkait dengan komunikasi dan manajemen
perubahan (communication and change management). Di samping hal-hal terkait dengan
perubahan di lingkungan internal Ditjen Perbendaharaan, badan tersebut idealnya dapat
berperan penting dalam penentuan stragtegi komunikasi penyempurnaan proses bisnis
pengelolaan keuangan negara, termasuk kepada Kementrian/ Lembaga.

Subdit. TPBE, DTP  230 

 
Di lingkungan internal Ditjen Perbendaharaan, stream-lining terhadap organisasi
pada saat ini bukan wacana yang populer. Di samping itu, penyempurnaan proses bisnis
tidak selalu identik dengan opsi pengurangan jumlah SDM. Campion. et al (2005).
misalnya, berpendapat bahwa reengineering juga membawa peluang untuk berinovasi
terhadap aktivitas yang menjadi bagian proses bisnis. Sedangkan di lingkungan Satker,
sangat dimungkinkan untuk melakukan stream-lining terhadap jumlah Satker. Namun
demikian opsi untuk mengurangi jumlah Satker tersebut, setidaknya harus memperhatikan
sikap dan kesiapan Satker terhadap opsi tersebut.

E. Kelengkapan landasan hukum dan peraturan pelaksanaan


Untuk mendukung governance, check and balance dan evaluasi atas proses bisnis di
Satker sangat diperlukan kelengkapan landasan hukum dan peraturan pelaksanaan.
Sebagai mana diamanatkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan
selaku BUN memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan
anggaran (Pasal 7 angka 2 huruf a). Dengan demikian, cukup jelas bahwa kewenangan
untuk menetapkan proses bisnis terkait dengan penyelenggaraan keuangan negara di
Satker merupakan wewenang Ditjen Perbendaharaan selaku Kuasa BUN.
Pada bab 2 telah disebutkan pentingnya kelengkapan landasan hukum dan peraturan
pelaksanaan sebagai authorizing environment bagi sebuah institusi pemerintah. Paket
undang-undang di bidang keuangan negara telah menyediakan landasan hukum sekaligus
mandat untuk penyelenggaraan keuangan negara yang lebih baik. Namun demikian, dari
telaah atas beberapa peraturan pelaksanaan terdapat indikasi ketidaksesuaian di antara
ketentuan-ketentuan yang mengatur pelaksanaan proses bisnis di Satker. Misalnya,
ketidaksesuaian antara Perdirjen 66/PB/2005 dengan PMK 73/PMK.05/2008 terkait
dengan kewenangan penerbitan Surat Permintaan Pembayaran di Satker.
Patut disebutkan pula, kewenangan BUN atas pelaksanaan standar tersebut terbatas
pada saat dikeluarkannya uang dari rekening kas negara (penjelasan UU Perbendaharaan
Negara). Dengan kata lain, Ditjen Perbendaharaan tidak memiliki kewenangan untuk
menguji dan mengevaluasi ketaatan (compliance) Satker dalam melaksanakan standar
tersebut di Satker. Kewenangan tersebut pada saat ini ada pada aparat pengawasan
fungsional baik internal Kementrian/ Lembaga maupun eksternal.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi penyempurnaan proses bisnis di
Satker harus mengutamakan ketersediaan landasan hukum, dengan memperhatikan
Subdit. TPBE, DTP  231 

 
konsistensi peraturan dan evaluasi atas praktek pelaksanaan standar selama ini. Idealnya,
penyempurnaan landasan hukum dilakukan dengan koordinasi yang baik tidak hanya antar
unit-unit di lingkungan Ditjen Perbendaharaan tetapi juga dengan aparat pengawasan
fungsional.

F. Koordinasi dan sosialisasi yang tidak terbatas pada lingkungan internal Ditjen
Perbendaharaan
Dalam rangka pelaksanaan undang-undang, khususnya melalui integrasi antara
proses bisnis, IT dan sistem informasi, peran Direktorat Transformasi Perbendaharaan
sangatlah penting. Sebagai direktorat baru yang dibentuk melalui PMK 100/PMK/2008,
Direktorat Transformasi Perbendaharaan hadir untuk melengkapi dan mendukung
pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Penyempurnaan proses bisnis, khususnya di Satker, harus dilaksanakan dalam kerangka
koordinasi dengan unit-unit lain dilingkungan Ditjen Perbendaharaan. Gambar 5.4
menunjukkan pola koordinasi dan kerja sama di lingkungan Ditjen Perbendaharaan dalam
rangka penyempurnaan proses bisnis, termasuk yang berkaitan dengan Satker.

Gambar 5.4

Sumber: Bahan Presentasi Sosialisasi DTP

Subdit. TPBE, DTP  232 

 
Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar tersebut di atas, aktivitas penyempurnaan
proses bisnis juga dilaksanakan dengan mempertimbangkan pendapat dan saran dari Satker
dan pihak-pihak eksternal lainnya.

G. Kesesuaian dengan time-line dan road map pengembangan proses bisnis dalam
rangka SPAN
Meskipun tidak termasuk dalam ruang lingkup core proses bisnis/ modul,
penyempurnaan proses bisnis di Satker berkaitan erat dengan pengembangan SPAN. Oleh
karena itu, aktivitas penyempurnaan proses bisnis di satker memperhatikan kesesuaian
dengan time line dan road map pengembangan SPAN. Sebagai mana diketahui, MoF
bertanggung jawab untuk membangun interface (dan proses bisnis) dengan Satker untuk
mendukung pelaksanaan tahap piloting.

Gambar 5.5

CRP 3: Standar Proses 
Bisnis  Satker idealnya 
dapat ditetapkan 
Awal Fase piloting: standar 
Akhir fase design: 
Proses Bisnis  Satker dan 
selambat‐lambatnya 
aplikasi pendukung sudah 
standar Proses Bisnis  
ditetapkan 
Satker sudahditetapkan 

Pengembangan dan 
finalisasi aplikasi 
software pendukung 
proses bisnis di 
Satker 

Source: modified from Project Initiation Report, LG

Subdit. TPBE, DTP  233 

 
Sebagai mana ditunjukkan dalam gambar 5.5, methodology pengembangan SPAN
diantaranya meliputi fase design, build dan test sebelum fase piloting. Fase piloting,
sesuai gambar tersebut di atas, direncanakan untuk dimulai pada April 2011. Pada tahap
tersebut, idealnya, Kementrian Keuangan telah memiliki standar proses bisnis dan
aplikasi pendukung di Satker yang sesuai dengan proses bisnis yang baru di Ditjen
Perbendaharaan yang baru dalam rangka SPAN. Paralel dengan time-line SPAN, standar
proses bisnis di Satker yang baru idealnya dapat ditetapkan pada tahap Conference Room
Pilot (CRP) yang ketiga pada Juni 2009, atau selambat-lambatnya pada akhir fase design
pada September 2010. Sejak Oktober 2010 sampai dengan awal tahap piloting (April
2011) merupakan periode untuk persiapan dan finalisasi aplikasi/software pendukung di
Satker yang diperlukan dalam rangka pengembangan SPAN.
H. Penutup
Dari uraian pada beberapa sub-bab tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa
pokok pikiran yang dapat disarikan:

1. Sebagaimana framework penulisan modul yang telah dijelaskan pada Bab I, pembahasan
pada Bab V difokuskan pada strategi dan taktik pencapaian model koneksitas. Strategi
dan taktik tersebut pada dasarnya merupakan road-map untuk penyusunan dan penetapan
desain rinci (detail design) dari kajian, alternatif dan rekomendasi yang telah dibahas
pada bab sebelumnya.
2. Beberapa acuan dalam penyusunan strategi dan taktik pencapaian model koneksitas
diantaranya meliputi kerangka rencana pengembangan SPAN, k, mitigasi resiko, fitur
Satker, dan peran penting SDM.
3. Sebagai sebuah standar proses bisnis yang nantinya akn menjadi acuan Satker dalam
penyelenggaraan keuangan negara, maka model koneksitas proses bisnis di Satker
nantinya harus merupakan bagian dari dan ditetapkan dengan peraturan perundangan.
Untuk itu, kerjas sama dan koordinasi dengan unit-unit teknis lain di lingkungan Ditjen
Perbendaharaan merupakan bagian dari strategi dan taktik penentuan model koneksitas
yang harus diikuti.
4. Mengingat keterkaitan yang erat antara standar proses bisnis dan ketersediaan sistem
informasi dan aplikasi/ software pendukung, maka pengembangan aplikasi/ software
merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam upaya penyempurnaan model
koneksitas proses bisnis dengan Satker di masa yang akan datang.

Subdit. TPBE, DTP  234 

 
BAB VI
Penutup

Bab ini membahas dua hal utama yaitu (i) penutup dan (ii) rencana kedepan.
Penutup merupakan summary terhadap hal-hal yang telah dibahas dalam
keseluruhan draft modul ini. Sedangkan rencana kedepan, memuat secara
ringkas rencana pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka menyempurnakan
draft modul ini sejalan dengan framework ITIL v.3 yang dianut dalam penulisan
draft modul ini.

Penyempurnaan proses bisnis di Satker dan koneksitasnya dengan Ditjen


Perbendaharaaan merupakan upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan keuangan negara
sebagaimana diamanatkan Undang-undang. Di samping itu, penyusunan modul ini sejalan
dengan rencana pengembangan SPAN, meskipun proses bisnis di Satker tidak tercakup dalam
ruang lingkup SPAN. Alternatif dan usulan penyempurnaan proses bisnis di Satker
sebagaimana dimuat dalam modul ini juga diharapkan dapat menjadi bahan diskusi dan
pembahasan dalam rangka menetapkan standar proses bisnis di Satker untuk mendukung
pengembangan SPAN. Ringkasan beberapa pokok pikiran yang kiranya dapat bermanfaat
bagi penyempurnaan proses bisnis di Satker adalah sebagai berikut:
A. Penyempurnaan proses bisnis di Satker harus didasarkan pada visi, misi dan idealnya
tujuan bersama dari para stakeholders dalam rangka penyelenggaraan keuangan negara.
Di samping itu, aktivitas penyempurnaan proses bisnis harus di dasarkan pada kerangka
kerja (framework) yang comprehensive dan memadai, yang setidaknya memperhatikan
strategi organisasi, proses bisnis, teknologi informasi, sistem aplikasi dan manajemen
perubahan.
B. Penyempurnaan proses bisnis di Satker sedapat mungkin dilaksanakan dengan
memperhatikan sifat-sifat inherent dari institusi pemerintah yang dalam beberapa hal
penting berbeda dengan organisasi bisnis yang berorientasi pada penciptaan keuntungan.
Kerangka pembahasan penyempurnaan proses bisnis di Satker, idealnya didasarkan pada
landasan hukum, kapasitas operasional dan nilai tambah (value added) dari aktivitas
penyempurnaan proses bisnis.
C. Paket Undang-undang di bidang keuangan negara telah menyediakan landasan hukum
sekaligus mandat untuk terwujudnya penyelenggaraan keuangan negara yang baik.
Penyempurnaan proses bisnis, terutama di Satker, harus dilaksanakan dalam kerangka
dasar perundangan yang telah ada.

Subdit TPBE, DTP  235 
 
D. Rencana pengembangan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN)
merupakan upaya nyata untuk mewujudkan penyelenggaraan keuangan negara
sebagaimana diamanatkan Undang-undang. Dalam pelaksanaanya, rencana
pengembangan SPAN berkaitan erat dengan penyempurnaan proses bisnis di Satker
selaku salah satu stakeholders utama.
E. SPAN merupakan integrasi tidak hanya terkait dengan IT dan data base, namun juga
mengupayakan integrasi dari tahapan penyelenggaraan keuangan negara. Komponen
utama SPAN yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran (budget execution) meliputi
manajemen DIPA, manajemen komitmen, manajemen pembayaran, manajemen kas, dan
akuntansi dan pelaporan.
F. Sejalan dengan pengembangan SPAN, penyempurnaan proses bisnis di Satker ditujukan
untuk mendukung integrasi dari modul-modul tersebut pada point (E). Misalnya dengan
mengupayakan integrasi melalui pencatatan dan penggunaan informasi terkait komitmen/
kontrak sebagai komponen utama dalam pengembangan modul manajemen DIPA,
manajemen pembayaran, manajemen kas, pelaporan.
G. Pengembangan proses bisnis di Satker, idealnya didukung dengan penyempurnaan
implementasi dari ketentuan dalam paket undang-undang di bidang keuangan negara.
Misalnya dengan menyempurnakan tugas dan tanggung jawab para pejabat
perbendaharaan negara di satker dan menjadikannya sebagai bagian dari proses bisnis
yang efektif dan mendukung terciptanya tata kelola yang memadai.
H. Kedudukan bendahara (penerima dan/atau pengeluaran) yang menjalankan tugas secara
fungsional patut mendapat perhatian khusus dalam penyempurnaan proses bisnis di
Satker. Penyempurnaan peran bendahara, idealnya ditujukan untuk mendukung
pelaksanaan tugas kebendaharaan secara utuh sebagai mana diamanatkan dalam peraturan
perundangan.
I. Penyempurnaan proses bisnis di Satker sedapat mungkin memanfaatkan kemajuan
teknologi, khususnya perbankan, sehingga terdapat mekanisme pembayaran dalam rangka
pelaksanaan anggaran yang lebih cost-efisien. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi
perbankan untuk mendukung pelaksanaan mekanisme Uang Persediaan melalui
penggunaan debit/ credit card.
J. Pengelolaan kas di Ditjen Perbendaharaan telah maju pesat dibandingkan dengan sebelum
penetapan paket undang-undang di bidang keuangan negara, terutama melalui
pelaksanaan Treasury Single Account. Penyempurnaan proses bisnis harus sejalan dengan
upaya yang telah dirintis. Misalnya dengan mengkaji kemungkinan organisasi dan
Subdit TPBE, DTP  236 
 
strukturisasi yang lebih baik dan cost-efisien terhadap rekening bendahara (pengeluaran
dan/ atau penerimaan).
K. Dalam rangka akuntabilitas, pelaksanaan akuntansi dan pelaporan merupakan suatu
keharusan dalam pengelolaan keuangan negara yang baik. Aktivitas terkait akuntansi dan
pelaporan di Satker harus ditujukan untuk menjamin tersedianya laporan yang akurat dan
tepat waktu. Di samping itu, kiranya tidak berlebihan jika aktivitas akuntansi dan
pelaporan juga sedapat mungkin dilaksanakan secara efisien dengan memperhatikan
kerangka pembagian tugas dan kewenangan para pejabat perbendaharaan di Satker.
L. Dari literatur yang berkaitan dengan pengembangan SPAN, cukup jelas bahwa
implementasi COTS terbatas pada institusi di lingkungan Ditjen Perbendaharaan. Oleh
karena itu, kedudukan Satker dalam tahap awal implementasi SPAN adalah sebagai
penyedia data, yang terutama akan menjadi bagian dari proses pengujian dalam rangka
penyaluran dana anggaran. Oleh karena itu, sesuai dengan bagian yang menjadi tanggung
jawab Kementrian Keuangan dalam rangka SPAN, idealnya penyempurnaan proses bisnis
di Satker dapat berjalan secara paralel dengan pengembangan SPAN di Ditjen
Perbendaharaan.
M. Dalam rangka pelaksanaan SPAN, standar proses bisnis di Satker yang telah
disempurnakan idealnya telah ditetapkan sebelum pelaksanaan tahap pilot 1. Gambar
berikut menunjukkan rencana kerja, tentative, penyempurnaan proses bisnis di Satker:

Subdit TPBE, DTP  237 
 
CRP 3: Standar Proses 
Bisnis  Satker idealnya 
dapat ditetapkan 
Awal Fase piloting: standar 
Akhir fase design:  Proses Bisnis  Satker dan 
selambat‐lambatnya  aplikasi pendukung sudah 
standar Proses Bisnis   ditetapkan 
Satker sudahditetapkan 

Pengembangan dan 
finalisasi aplikasi 
software pendukung 
proses bisnis di 
Satker 

N. Modul ini memuat blue print dalam rangka penyempurnaan proses bisnis di Satker dan
koneksinya dengan proses bisnis di Ditjen Perbendaharaan. Detail desain dari proses
bisnis tersebut, misalnya terkait dengan jenis dan struktur data, format formulir dan
element lainnya sebagai bagian dari mekanisme input-output akan diselesaikan selama
tahun 2010.

Sebagaimana telah disampaikan didepan, sejalan dengan framework ITIL v.3, akan
dilakukan pembahasan-pembahasan dengan stakeholder terkait untuk perbaikan draft modul
ini. Secara paralel, akan dilakukan piloting pada satker terpilih dan penyusunan IT yang
dikoordinir oleh Direktorat TP dan Direktorat SP. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa
ketika dilaksanakan pilot project Penerapan SPAN pada tahun 2011, sudah terdapat integrasi
yang memadai terkait proses bisnis, dukungan IT dan SDM dari satker-staker yang ikut
dalam pilot project dimaksud.

Subdit TPBE, DTP  238 
 
Daftar Pustaka

A. Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
KPMK, Departemen Keuangan RI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara / Lembaga
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Uang Negara/Daerah
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.06/2005 tentang
Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 91/PMK.06/2007 tentang bagan
Akun Standar
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 171/PMK.05/2007 tentang
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 73/PMK.05/2008 tentang Tata
Cara Penatausahaan dan Penyusunan laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Kementrian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 100/PMK.01/2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 105/PMK.02/2008 tentang
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian
Negara / Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2009
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 06/PMK.02/2009 tentang Tata
Cara Perubahan Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan Perubahan daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun 2009

Subdit TPBE, DTP   239 
 
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-35/PB/2007 tentang Petunjuk
Teknis Pengelolaan Rekening Milik Kementrian Negara / Lembaga / Kantor / Satuan
Kerja
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER 66/PB/2005 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran Atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-02/PB/2006 tentang
Penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas (Cash Forecasting) Instansi
/ Satuan Kerja Pemerintah Pusat / Daerah
Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-38/PB/2008 tentang
penyampaian Laporan Realisasi dan Perkiraan Belanja Kementrian Negara/Lembaga
tahun Anggaran 2008
Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor KEP-297/PB/2007 tentang Standara
Prosedur Operasi / SOP di lingkungan Ditjen Perbendaharaan

B. Literatur

BAB II
Moore, Mark. H. (1995), “Creating public value: Strategic management in government”,
Harvard University Press

Moore, Mark. H. & Khagram, Sanjeev (2004), “On creating public value: What business
might learn from government abaout strategic management” , A working paper for the
Corporate Social Responsibility Initiative, March 2004, Working Paper No. 3

Moore, Mark H. (2006), “Recognizing public value: The challenge of measuring


performance in government”, Lecture presented 9 November 2006

Andrew, M & Campos, J. E. (2003), “The management of public expenditure and its
implications for service delivery”

Schick, Allen (1999), “A contemporary approach to public expenditure management”,


World Bank Institute, Governance, Regulation and Finance Division

Hassim, A & Allan, B (2001), “Treasury Reference Model”, World Bank

Lienert, Ian (2008), “Cash management”, PFM Technical Guidance Note No. 5, IMF

ANAO (1999), “Cash management”, Auditor General, March 1999

Auditor General Victoria (2004), “Chief Finance Officer: Role and responsibility”, Good
Practice Guide

FSIO (2009), “Standard business process”, Financial Management System: Standard


business process for U. S. Agencies

UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, KPMK, Departemen Keuangan


RI

Subdit TPBE, DTP   240 
 
Hughes, Owen (2003), “Public Management and administration: An Introduction”,
Palgrave, Maclmillan

Allison, G. T (1986), “Public and private management: Are they fundamentally alike in
all unimportant respects”, in Lane, Frederick S, Current issues in public
administration, 3rd edition, St Martin Press, New York

Frye, Douglas. W & Gulledge, Thomas R (2007), “End-to-end business process


scenario”, Industrial Management & Data Systems, Vol. 107, No. 6, 2007. Pp. 749-
761

Davenport, Thomas H & Short, James E (1990), “The new industrial engineering:
Information technology and business process redesign”, Sloan Management Review
No. 11, Summer 1990

Hammer, Michael (1990), “Reengineering work” Don’t automate, obliterate”, Harvard


Business Review, July-August 1990

Grover, Varun & Malhotra, Manoj K (1996), “Business process reengineering: A tutorial
on the concept, evaluation, method, technology and application”, Journal of Operation
Management, No. 15. Pp 193-213

Bab III
Hunt, V.D. (1996), “Process mapping: How to reengineer your business processes”, John
Wiley & Sons. Chapter 1 & 3.

Hammer, M & Champy, J. (1993), “Reengineering the corporation: A manifesto for


business revolution, HarperCollins, Newyork, NY”.

Paper, D.J., Rodger, J.A., & Pendharkar P.C. (2001), “A BPR case study at Honeywell”,
Business Process Management Journal Vol 7 No. 2, pp. 85-99.

Radev, Dimitar & Khemani, Pokar (2007), “Commitment control”, PFM Technical
Guidance Note No. 3

Williams, Mike (2004), “Government cash management: Good and bad Practice”, August
2004

BAB IV
Manajemen DIPA
OECD (2001), “Managing Public Expenditure”, A reference book for transition countries,
Ch. 7 The budget execution cycle, Government Finance”, Ed. Richard Allen & Daniel
Tommasi

World Bank (2007), “Budgeting and Budgetary Institutions”, Public Sector Governance
and Accountability Series, Ed. Anwar Shah

SPAN “Request for Proposal; Technical Requirement”

Subdit TPBE, DTP   241 
 
Manajemen Komitmen
Radev, Dimitar & Khemani, Pokar (2007), “Commitment control”, PFM Technical
Guidance Note No. 3

SPAN “Request For Proposal, Technical Requirement”

OECD (2001), “Managing Public Expenditure”, A reference book for transition countries,
Ch. 7 The budget execution cycle, Government Finance”, Ed. Richard Allen & Daniel
Tommasi

World Bank (2007), “Budgeting and Budgetary Institutions”, Public Sector Governance
and Accountability Series, Ed. Anwar Shah

FSIO (2009), “Standard business process”, Financial Management System: Standard


business process for U. S. Agencies

Manajemen Pembayaran
Hashim, Ali & Moon, Allister J (2004), “Treasury diagnostic toolkit”, World Bank,
Working

SPAN “Request For Proposal: Technical Requirement”

Pelaporan dan Pertanggungjawaban


OECD (2001), “Managing Public Expenditure”, A reference book for transition countries,
Ch. 7 The budget execution cycle, Government Finance”, Ed. Richard Allen & Daniel
Tommasi

IFAC Public Sector Committee (2002), “Transitions to accrual basis of accounting:


Guidance for government and government entities”, International Federations of
Accountant, Study 14

Bahan Presentasi GPF-AIP (2009), dipresentasikan pada “Comparative Study of Treasury


System”, DTP, Ditjen Perbendaharaan, Jakarta, 2009

SPAN “Request For Proposal”

United Nations (1999), “Integrated Financial Management in Least Developed


Countries”, Departement of Economic and Social Affair, Division for Public
Economics and Public Administrations

Manajemen Kas
Williams, Mike (2004), “Government cash management: Good and bad Practice”, August
2004

ANAO (1999), “Cash management”, Auditor General, March 1999

World Bank (2007), “Budgeting and Budgetary Institutions”, Public Sector Governance
and Accountability Series, Ed. Anwar Shah

Subdit TPBE, DTP   242 
 
Lienert, Ian (2009), “Modernizing cash management”, Technical Notes and Manuals,
Fiscal Affairs Departement, International Monetary Fund

Sigma (2001), “Financial management and control of public agencies”, Sigma Papers No.
32, OECD

Lienert, Ian & Chailloux, Alexandre (2009), “Government cash management during
financial market turmoil”, PFM Blog, dapat diakses di http://blog-
pfm.imf.org/pfmblog/2009/12/government-cash-management-during-financial-
market-turmoil.html

Auditor General Victoria (2004), “Chief Finance Officer: Role and responsibility”, Good
Practice Guide

SPAN “Request For Proposal: Technical Requirement”

Bab V
SPAN “Request for Proposal: Technical Requirement”

Davenport, Thomas H & Short, James E (1990), “The new industrial engineering:
Information technology and business process redesign”, Sloan Management Review
No. 11, Summer 1990

Hammer, Michael (1990), “Reengineering work” Don’t automate, obliterate”, Harvard


Business Review, July-August 1990

Grover, Varun & Malhotra, Manoj K (1996), “Business process reengineering: A tutorial
on the concept, evaluation, method, technology and application”, Journal of Operation
Management, No. 15. Pp 193-213

Hesson, M (2007), “Business process reengineering in UAE public sector: A naturalization


and residency case study”, Business Process Management Journal, Vol. 13, No. 5,
2007, pp. 707-727, Available on ProQuest

MacIntosh, R. (2003), ‘BPR: alive and well in the public sector’, International Journal of
Operation & Production Management, Vol. 23, No. 3, pp. 327-344.

USAID (2008), “Integrated Financial Management Information System: A practical


guide”, USAID

Campion, M. A., Mumford T.V, Morgeson, F.P., Nahrgang J.D. (2005), “Work redesign:
Eight obstacles and opportunities”, Human Resource Management, Winter 2005, Vil
44 No. 4 pp. 367-390

SPAN-“Project Initiation Report”, LG

Catatan: Untuk tujuan penulisan modul ini, penyusunan daftar pustaka tidak mengikuti tata
cara urutan penyusunan referensi secara konvensional.

Subdit TPBE, DTP   243 
 
Dokumentasi Usulan

Dalam rangka penyusunan modul telah dimintakan tanggapan dan usulan dari unit
eselon II dilingkungan Ditjen Perbendaharaan (pusat dan daerah) melalui Surat Direktur
Jenderal Perbendaharaan No. 1289/PB/2009 tanggal 12 Maret 2009 dan No. 2510/PB/2009
tanggal 1 Mei 2009. Berikut ini dokumentasi atas ringkasan tanggapan dan usulan dari pihak-
pihak sebagaimana tersebut diatas.
A. Konfirmasi hasil identifikasi atas permasalahan saat ini dan usulan perbaikan:
1. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Nusa Tenggara Barat
a. RKA-KL yang diusulkan tidak sesuai dengan SAPSK.
b. Perihal terjadinya usulan revisi DIPA di awal tahun anggaran.
c. Belum adanya pejabat perbendaharaan untuk DIPA Tugas Perbantuan.
d. Perlunya mengefektifkan format dan informasi dalam DIPA (hal.3) untuk keperluan
perencanaan kas.
2. Kanwil Ditjen Perbendaharaan XXVII Manado
a. perlunya informasi tentang perikatan/komitmen yang dibuat satker untuk mendukung
perencanaan arus kas yang meyertai pelunasan sebuah komitmen
b. perlu mencari alternatif untuk pemberian uang muka kerja melalui UP/TUP untuk
mengurangi idle cash
c. Menyederhnakan kelengkapan pencairan dana ke KPPN (misalnya cukup
melampirkan SPM dan SKTJM), [sepanjang masih sesuai dengan konsep dasar dan
ketentuan perundangan yang berlaku]
d. Perlunya mengoptimalkan halaman III DIPA untuk perencanaan penarikan dana, yang
didukung formula dan pedoman bagi satker untuk melakukan perencanaan
penyerapan anggaran yang realistis
e. Pemahaman atas proses akuntansi dan tidak mengandalkan aplikasi, untuk
mendukung kemampuan analisa dalam penyusunan laporan keuangan
f. Kondisi geografis yang berpengaruh pada kemampuan jaringan IT dalam
penyebaran/pengumpulan informasi.
3. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Jambi
a. Kelancaran proses penyusunan dan pengesahan dokumen anggaran berpengaruh pada
penyerapan anggaran, sehingga perlu beberapa upaya diantaranya penentuan pejabat
perbendaharaan dilakukan sebelum tahun anggaran berjalan

Subdit TPBE, DTP  244 
 
b. Perlunya data terkait dengan perikatan yang dibuat satker untuk di input sebagai salah
satu input untuk manajemen kas
c. Jangka waktu penyelesaian SPP menjadi SPM perlu di atur untuk mendukung
penyerapan
d. Jangka waktu penyaluran dana dari bank ke rekening yang berhak perlu di atur
e. Meninjau kembali PMK 73/PMK.05/2008 terkait dengan pemberian UP agar lebih
selektif, serta dipertimbangkan agar akun untuk UP cukup satu saja, tidak perlu
dibedakan antara PNBP dan RM
f. Revitalisasi penatausahaan dan pelaporan PNBP oleh Ditjen Perbendaharaan
g. Penihilan di akhir hari kerja pada rekening bendahara instansi di akhir hari kerja, dan
diisi kembali sesuai saldo yang ada keesokan harinya.
4. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sumatra Utara
a. Perlunya data/informasi tentang komitmen yang dibuat Satker sebagai salah satu input
untuk perencanaan kas
b. Pengintegrasian data dan informasi dalam halaman III DIPA untuk perencanaan kas.
c. Perlu dikaji upaya mengurangi ketergantungan terhadap perbankan dalam hal
pencairan dana, misalnya dengan menerapkan mobile banking di Seksi Bendum di
mana Kasi Bendum memiliki otorisasi untuk secara langsung memindahkan dana ke
rekening pihak ke-tiga [bagaimana dengan hilangnya mekanisme kontrol di bank?
Apakah program IT yang ada cukup bisa diandalkan dan aman? Bagaimana jika
terjadi error [as variance to fraud]? Perlu dikaji kembali]
d. Penyempurnaan integrasi aplikasi untuk keperluan rekonsiliasi
e. Perlu media elektronik yang handal untuk sarana rujukan terhadap ketentuan terkait
pelaksanaan tugas perbendaharaan
f. Pengaturan jangka waktu untuk penerbitan SPP menjadi SPM
5. Direktorat Pengelolaan Kas Negara
a. Standard biaya umum yang ada masih berbasis input dan belum sepenuhnya
mendukung rencana penerapan PBB
b. Integrasi antara alikasi RKA/KL, SPM dan SAKPA untuk mendukung PBB
c. Bagan Akun Standard agar lebih sederhana
d. Perlunya SOP dalam mekanisme pengelolaan APBN di Satker, yang mengatur cycle
time dan clarity of role dari pejabat perbendaharaan

Subdit TPBE, DTP  245 
 
e. Revitalisasi fungsi halaman III DIPA agar dapat menjadi rencana penarikan yang
realistis, misalnya dengan menyusun jadwal pelaksanaan kegiatan dan rencana
penarikan dana sejak penyusunan RKA/KL.
f. Laporan Pertanggungjawaban Bendaharawan agar merupakan bagian dari laporan
keuangan pemerintah. Diusulkan agar LPJ ini direkonsiliasi dengan data/informasi
akuntansi secara berjenjang hingga ke kantor pusat KL dan Ditjen Perbendaharaan
agar dapat dijadikan laporan manajerial (managerial report) yang baik dan
mendukung kualitas laporan akuntansi pemerintah (accountability report).

B. Ringkasan Tanggapan sebagai bahan penyempurnaan/revisi Bab I:


1. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Propinsi Nusa Tenggara Barat
Perlu memasukkan peran Kanwil Ditjen Perbendaharaan ke dalam identifikasi koneksitas
proses bisnis.
2. Kanwil Ditjen Perbendaharaan XXVII Manado
Teknologi informasi dan aplikasi dalam siklus APBN masih sangat terfragmentasi (tingkat
integrasinya rendah) sehingga tidak dapat mendukung mekanisme saling uji (check
balance), saling kontrol dan saling melengkapi.
3. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Jambi
a. Perlu dikaji landasan hukum khususnya dalam hal kepentingan perbendaharaan untuk
memperoleh informasi tentang sisa dana secara online (dalam hal manajemen
komitmen) pada khususnya dan untuk penyempurnaan proses bisnis di Satker pada
umumnya.
b. Perlu dilakukan identifikasi dan kajian atas peran Kanwil Ditjen Perbendaharaan
dalam penyempurnaan proses bisnis di Satker.
4. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Medan
a. Pelu dikaji perlunya ketentuan/landasan hukum yang mengatur hubungan dan kaitan
proses bisnis antara BUN dengan Kementrian/Lembaga, misalnya dalam bentuk
PMK.
b. Penyempurnaan proses bisnis di Satker agar dilakukan secara hati-hati agar tidak
kontra produktif, mengutamakan solusi bukan sanksi
5. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Yogyakarta [Bapak. Iskandar]
a. Perlunya penggunaan istilah yang berkaitan dengan perbendaharaan negara secara taat
asas.

Subdit TPBE, DTP  246 
 
b. Revisi judul menjadi “Koneksitas Proses Bisnis Perbendaharaan pada Bendahara
Umum Negara dengan Satker selaku Pelaksana Pengguna Anggaran “
6. Direktorat Pengelolaan Kas Negara
a. Manajemen Kas yang dijalankan oleh Ditjen PBN mencakup, payment management
dan liquidity management. Peran Satker sebagai Customer dan user dalam payment
management dan DJPBN sebagai Regulator.
b. Peran satker sebagai counterpart dalam liquidity management, terkait dengan
perencanaan kas.
7. Direktorat Sistem Perbendaharaan (Bapak Budisan)
a. Penyusunan relationship matriks tidak konsisten antara siklus APBN, rencana
pengembangan SPAN dan Treasury Reference Model; Tanggapan: Untuk lebih
memudahkan pemahaman, relationship matriks atas dasar siklus APBN dan rencana
pengembangan SPAN akan digambarkan secara terpisah.
b. Pengggunaan istilah yang lebih hati-hati agar tidak menggunakan istilah yang berbeda
untuk hal yang sama.
c. Pembahasan untuk IT agar terpisah dari proses bisnis, misalnya dibahas dalam Bab I.3
d. Penulisan judul dan sub-judul pada halaman 8 s.d. 13 secara lebih konsisten
e. Perubahan Judul Bab I menjadi Pendahuluan.

C. Tanggapan atas beberapa masukan/usulan perihal kekurangan dan


ketidaklengkapan dalam pembahasan BAB I
1. Direktorat PKN:
Modul koneksitas yang disusun kurang lengkap karena belum memasukkan aset dan liability
management:
Tanggapan: Modul ini hanya berfokus pada koneksitas proses bisnis dengan Satker terutama
terkait dengan tahapan dalam siklus APBN yang secara difokuskan lagi pada
siklus sejak pelaksanaan anggaran. Mengingat ruang lingkup yang luas dan
tingkat pembahasan yang cukup mendalam/rumit, pembahasan terkait dengan
investasi, dan asset liability management direncanakan akan disusun dalam
modul terpisah.

2. Direktorat Sistem Perbendaharaan (Bapak Budisan)


a. Agar dipertegas ruang lingkup dan cakupan koneksitas yang akan dibahas dalam modul

Subdit TPBE, DTP  247 
 
Tanggapan: Ruang lingkup yang dibahas dalam modul ini akan mengikuti metode yang
lazim digunakan dalam aktivitas Penyempurnaan Proses Bisnis (Business
Process Improvement-BPI). Metode BPI lazimnya membahas proses bisnis
dan IT secara bersama-sama. Salah satu referensi yang menurut kami cukup
ideal adalah model penyempurnaan proses bisnis yang ada dalam Frye &
Gulledge (2007), yang gambar/kerangkanya kami gunakan dalam penulisan
BAB II. Namun demikian, unsur IT yang dibahas nantinya hanya secara
umum dengan mempelajari key media input/output (input-output utama dari
sebuah proses atau sub-proses) yang bermanfaat dalam menentukan tingkat
integrasi atau fragmentasi dari sistem informasi yang ada. Oleh karena itu,
pembahasan dalam modul ini tidak membahas secara mendalam program
aplikasi/software, yang diharapkan akan dibahas lebih jauh secara terpisah.
Ruang lingkup proses bisnis nantinya akan mengikuti hasil identifikasi akhir
dalam relationship matrix sebagaimana dapat dilihat di BAB I. Dengan
demikian sistem akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban idealnya akan
termasuk dalam ruang lingkup koneksitas proses bisnis.
b. Koneksitas proses bisnis dalam relationship matriks berbeda dengan best practice dalam
Treasury Reference Model.
Tanggapan: Relationship matrix dibuat dan disusun dengan mengacu pada rencana
pengembangan SPAN dan menggunakan istilah yang digunakan dalam
modul/fungsi keuangan dalam SPAN (misalnya: management DIPA).
Menurut hemat kami, fungsi-fungsi keuangan dalam SPAN tetap merujuk
pada model best practice pada TRM, namun sudah mempertimbangkan
kondisi dan praktek yang ada di Indonesia.
c. Tidak ada pembahasan mengenai receipt management, terutama mengingat pentingnya
MPN
Tanggapan: Mengingat kompleksitasnya dan permasalahan yang cukup rumit,
pembahasan terkait MPN dilakukan dalam pembahasan tersendiri. Saat ini
telah dibentuk tim kerja untuk penyempurnaan MPN dan tengah menyiapkan
modul serupa dengan modul koneksitas proses bisnis Satker.
d. Penulisan ringkasan dan latar belakang agar dipisah.
Tanggapan: Isi BAB I adalah ringkasan penulisan yang juga menjelaskan kilasan
/overview dari kondisi saat ini yang melatar belakangi penulisan modul ini

Subdit TPBE, DTP  248 
 
D. Usulan Lainnya
Usulan lain terutama berkaitan dengan Surat S-2510/PB/2009 tanggal 1 Mei
diantaranya diterima dari (permintaan tanggapan ditujukan untuk Bab II (visi, misi) dan bab
III (current state assesment) namun banyak yang memberikan masukan terkait dengan bab I
Pendahuluan):
a. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Kalimantan Timur: Sependapat dengan inisiatif
penyusunan Modul Satker.
b. Kanwil XXVII Manado: Materi usulan sebagaimana disarikan pada huruf A sampai
dengan D tersebut diatas.
c. Direktorat PK BLU: terdapat keterkaitan antara Ditjen Perbendaharaan, Ditjen
Anggaran dan Satker. Koneksitas Ditjen Anggaran dan Satker sangat mempengaruhi
kinerja Ditjen Perbendaharaan contoh dalam mekanisme revisi DIPA.
d. Kanwil Propinsi Riau: Menekankan pentingnya aspek “mewujudkan pelayanan publik
yang profesional” dalam penyelenggaraan keuangan negara.
e. Kanwil Nusa Tenggara Barat: Detail dokumen yang terkait dengan proses bisnis
termasuk didalamnya pembahasan terkait akuntansi barang milik negara.
f. Direktorat Sistem Perbendaharaan: Koreksi typo dan substansi pengawasan atas
keterlambatan pemrosesan SPM di KPPN.

Subdit TPBE, DTP  249 
 

You might also like