You are on page 1of 5

Ê  Ê

 

a  
   

Secara istilah, kata redenominasi ini dibagi menjadi dua suku kata, yaitu Re
dengan Denominasi, Denominasi bisa diartikan sebagai pecahan, jadi Denominasi
mata uang berarti pecahan mata uang yang merujuk pada nilai nominal suatu mata
uang yang berlaku di suatu negara, jadi redenominasi jika diartikan secara
keseluruhan adalah penyebutan atau penyederhanaan kembali pecahan mata uang
yang berlaku di sutu negara, misalnya Rp 1000 akan di sedehanakan menjadi Rp 1
dengan makna dan nilai yang tidak berubah, misalnya jika dengan Rp 1000 anda
bisa membeli biskuit maka jika terjadi redenominasi anda tetap bisa membeli biskuit
dengan spesifikasi yang sama dari sebelumnya dengan harga Rp 1 .

        


    

1.Ekspektasi inflasi harus berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil.

2.Stabilitas perekonomian terjaga dan jaminan stabilitas harga.

3.Kesiapan masyarakat.

  Mntuk nomor 3 ini tampaknya saat ini belum bisa diterima masyarakat secepat
mungkin, butuh waktu yang panjang untuk membiasakan. Diharapkan masyarakat
tidak menimbulkan keresahan dalam bertransaksi.

  
   

  Redenominasi menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan


nyaman dalam melakuan transaksi.

      

Redenominasi2 nilai uang terhadap barang tidak berubah, karena hanya cara
penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan.

]      


    

  Redenominasi dilakukan saat kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh


dan inflasi terkendali.

c 
       c

§    

Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat


siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

     


       

Wacana redenominasi alias pengurangan nominal mata uang rupiah yang


direncanakan oleh Bank Indonesia (BI) terus menuai suara pro dan kontra. Sampai -
sampai Wakil Presiden Boediono memanggil Menkeu dan Gubernur BI dan meminta
masyarakat tak perlu khawatir soal rencana ini.

Ekonomi Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan mengatakan, kebijakan


redenominasi mata uang rupiah yang direncanakan oleh Bank Indonesia (BI)
memang harus dilakukan karena kondisi perekonomian Indonesia yang semakin
membaik. Kebijakan ini bisa membuat perekonomian makin praktis.

"Redenominasi memang harus dilakukan sehingga aktivitas ekonomi


meningkat. Selain itu perekonomian menjadi praktis sebab nilai uang menjadi tidak
terlalu besar digitnya," jelasnya kepada detikFinance di Jakarta, Selasa (3/8/2010).

Sementara VP Research & Analys PT Valbury Asia Securities Nico Omer


Jonckheere meyakini redenominasi rupiah atau pengurangan nominal justru
menegaskan keyakinan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat
ekonomi yang stabil.

"Secara rasional, ini (redenominasi) hanya bisa dilakukan saat inflasi pada
tingkat yang rendah, dan ekonomi yang stabil. Ini berarti positif, dan ekonomi kita on
track," jelasnya.

Fauzi mengingatkan BI untuk menggencarkan sosialisasi kebijakan


redenominasi ini sehingga bisa menekan dampak psikologis di masyarakat.

"Jadi jangan sampai masyarakat berpikir redenominasi itu adalah


pemangkasan nilai mata uang," ujarnya.

Mntuk sosialisasi kebijakan ini, Ichsan berpendapat BI bisa meniru cara yang
dilakukan Mni Eropa saat ingin menyeragamkan mata uangnya menjadi Euro.

 
       c

"Kita harus belajar dari Euro, dulu di Eropa ada 2 mata uang yaitu Euro dan
mata uang negara masing-masing. Ini dilakukan selama proses adaptasi. Jadi
contohnya di Prancis saat itu masih ada mata uang Franc dan Euro, demikian juga
di negara lain. Namun setelah beberapa tahun, Eropa menarik mata uang negara -
negara asal, dan memberlakukan Euro secara keseluruhan," tutur Fauzi.

Menurut Ichsan, redenominasi ini bisa dilakukan dalam waktu 5 tahun saja.
Waktu 1 tahun digunakan untuk sosialisasi kebijakan tersebut.

"Jadi lima tahun cukup. Satu tahun untuk sosialisasi dengan memperkenalkan
mata uang baru. Nanti baru dalam beberapa tahun, mata uang rupiah yang lama
bisa ditarik," katanya.

Sebelumnya, BI memperkirakan proses redenominasi akan membutuhkan


waktu sekitar 10 tahun. Tahapan pertama yang dilakukan bank sentral yakni
sosialisasi yang dimulai dari tahun 2011 dan tuntas pad a di 2022.

Sosialisasi akan dilakukan hingga 2012, dan tahun 2013 akan dilanjutkan
dengan masa transisi. Pada masa transisi digunakan dua rupiah, yakni memakai
istilah rupiah lama dan rupiah hasil redenominasi yang disebut rupiah baru.

Misalnya, lanjut Darmin, di toko-toko yang menjual sebuah barang akan


tercatat 2 label harga. Yakni dengan rupiah lama dan dengan rupiah baru. Jika nol -
nya disederhanakan 3 digit, lanjut Darmin, kalau harga barangnya Rp 10.000 maka
akan dibuat dua label yakni Rp 10.000 un tuk rupiah lama dan Rp 10 untuk rupiah
baru.

Namun, di samping yang pro, ada pula yang kontra. Asosiasi Pedagang
Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) contohnya. APPSI menolak keras rencana
redenominasi rupiah karena dinilai akan menyulitkan transaksi di pasar tradisional
yang berbasis tawar menawar.

"Jelas, kita menolak dengan keras rencana itu karena akan menyulitkan," kata
Sekjen APPSI Ngadiran, Rabu (4/8/2010).

Ngadiran menjelaskan dalam prakteknya nanti redenominasi akan sulit


diterapkan khususnya dalam penetapan harga di pasar tradisional. Hal ini akan beda

3 
       c

ceritanya jika diterapkan di pasar moderen dimana harga sudah ditetapkan alias
pasti.

 ! 

   
  

  Hampir tiap tahun Indonesia mengalami inflasi atau dengan kata lain harga
suatu barang harus dinyatakan dengan angka yang lebih tinggi. Dalam jangka
panjang, banyaknya jumlah angka tersebut akan berpotensi mempersulit transaksi
sehari-hari di samping risiko untuk membawa uang dalam jumlah besar. Perhitungan
dengan nominal yang lebih tinggi juga lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan
perhitungan dengan nominal rendah. Pernah suatu kali saya bertemu dengan teman
saya yang cukup lama tinggal di negeri paman Sam saat dia sedang pulang ke
Indonesia. Dia kebingungan mengecek apakah kembalian belanja di minimarket
sudah benar atau tidak. Maklum saja sehari-harinya dia hanya berurusan dengan
uang dengan nominal MS$1-10. Bandingkan dengan kita yang nominalnya mencapai
ribuan, bahkan ratusan ribu. Itu mungkin adalah salah satu contoh men gapa nominal
yang besar akan menyulitkan transaksi kita sehari-hari.

Yang harus dipahami juga adalah bahwa redenominasi berbeda dengan


sanering. Redenominasi mata uang secara teori tidak akan menyebabkan kenaikan
harga karena harganya juga ikut terpotong. Lain lagi dengan sanering. Mata uang
yang mengalami sanering akan berkurang nilainya namun harga -harga barang tidak
dijamin untuk ikut turun. Dengan demikian, sanering akan mengurangi daya beli
uang sedangkan redenominasi tidak. Indonesia sendir i pernah melakukan sanering
pada tahun 1965. Pada saat itu, rupiah dipotong nilainya dari 1.000 menjadi 1 rupiah
di mana harga barang tidak ikut turun. Akibatnya adalah inflasi yang sangat tinggi.

Berbicara mengenai redenominasi, Zimbabwe adalah salah sa tu negara yang


cukup agresif melakukan redenominasi mata uangnya. Tercatat dalam 4 tahun
terakhir, akibat hiper inflasi, Zimbabwe telah 3 kali melakukan redenominasi mata
uangnya. Kesalahan utama Zimbabwe adalah melakukan redenominasi ketika inflasi
sangat tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat efek inflasi tersebut.

Redenominasi tidak hanya dilakukan oleh negara yang nominal mata


uangnya cukup besar. Salah satu contohnya adalah redenominasi mata uang
anggota Mni Eropa ketika meredenominasi mata uangnya menjadi Euro. Dalam hal

£ 
       c

ini, rasio konversinya bisa kurang dari satu. Satu Euro setara dengan 40,3 francs
Belgia saat itu.

Secara teori, redenominasi tidak akan memberikan efek negatif terhadap


perekonomian. Pelaku ekonomi adalah manusia yang tin dakannya tidak sepenuhnya
bersifat rasional karena adanya pengaruh emosi sehingga respon terhadap
kebijakan redenominasi ini tidak bisa kita asumsikan 100% bersifat rasional.
Ketakutan akan adanya kemungkinan inflasi akan menyebabkan orang akan
cenderung memegang barang, terutama yang nilainya tahan terhadap inflasi.
Sebagai contoh adalah emas. Tentu saja hal ini bisa berdampak buruk terhadap laju
pertumbuhan ekonomi karena berpotensi mengurangi konsumsi. Apabila terjadi
penukaran rupiah ke mata uang lain yang lebih kuat, maka akan terjadi penurunan
nilai rupiah terhadap mata uang lain.

Dampak lasinnya yang perlu diperhatikan dengan cermat adalah adanya


potensi pembulatan harga ke atas dengan alasan untuk mempermudah transaksi.
Harga barang yang dahulu Rp 1.700,- akan menjadi Rp 1.7,-. Karena alasan yang
telah disebutkan di atas, harganya akan dibulatkan menjadi Rp 2, -. Tentu saja
secara luas, praktik ini akan mempertinggi tingkat inflasi.

w 
       c


You might also like