Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Disusun Oleh :
Nama : Assed Lussak
NIM : 07 / 254231 / SP / 22233
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Disusun Oleh :
Nama : Assed Lussak
NIM : 07 / 254231 / SP / 22233
Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing
ii
Halaman Pengesahan
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan tim penguji Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 20 Januari 2011
Pukul : 10.00
Tempat : Ruang Sidang Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Tim Penguji
Ketua
Penguji I Penguji II
iii
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi
iv
Skripsi “Green Tax System di Swedia : Strategi Göran Persson Memakai Isu
Lingkungan untuk Mempertahankan Koalisi” ini aku persembahkan kepada :
Mami, Mas Bremi, dan Dek Heppi; yang selalu mendukung tiap pilihan dan langkah
yang kujalani, serta tak lelah berdoa agar Kristus memberikan yang terbaik
padaku……
Seluruh dosen dan asisten Jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang mau diserap
ilmunya, serta Mas Edi Priyono; atas kesediaan mengenalku secara akademis
maupun personal……
Aldo Prandana, Arin Sandrina, Ganes Nirwina, Renieta Dhaniati, Tasya Febi,
seluruh anggota Buddy 11/12 HI-2008 yang selalu tak bisa kuhapal nama-namanya,
Hardya Pranadipa, Hasto Siswanto, dan Devi Pebrianti; atas ke-riweuh-an kalian
selama ini……
v
Kata Pengantar
Penulis
vi
Abstrak
vii
Abstract
viii
DAFTAR ISI
Sampul Depan i
Halaman Judul ii
Halaman Pengesahan iii
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi iv
Halaman Persembahan v
Kata Pengantar vi
Abstrak vii
Abstract viii
Daftar Isi ix
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Kerangka Konseptual 3
ix
2. Left Party 21
3. Green Party 22
4. Partai Moderat 23
5. Partai Kristen Demokrat (PKD) 24
6. Centre Party 25
7. Partai Liberal 25
8. Partai-Partai Lainnya 26
C. Hubungan Antarkoalisi 29
BAB V : KESIMPULAN 43
REFERENSI 45
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah perubahan iklim telah mencuat sebagai isu penting internasional
dewasa ini. 1 Berbagai forum internasional telah diadakan untuk memaksa negara-
negara mau memperhatikan permasalahan tersebut. Pembicaraan mengenai
perubahan iklim selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari topik karbon, yakni
mengapa menjadi penting untuk membicarakan karbon saat kita membahas
perubahan iklim. Pada dasarnya, perubahan iklim atau pemanasan global tersebut
terjadi akibat konsentrasi gas-gas yang rumah kaca, yang terus bertambah di udara.
Gas rumah kaca ini meliputi CO2 atau karbondikosida, NH4 atau metana, serta NO
atau nitrogen oksida. Namun, ketiga gas ini ternyata dapat terlepas apabila suatu
produksi karbon terjadi, yang memicu senyawa dengan gas-gas lain.
Karbondioksida sendiri dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas,
serta penggundulan dan pembakaran hutan. Selain itu, karbondioksida juga
dikeluarkan oleh akumulasi emisi penggunaan kendaraan bermotor. Sedangkan gas
metana dihasilkan dari proses agrikultur dan ekskresi hewan ternak yang tidak
diolah dengan baik. Kemudian penyumbang terakhir akumulasi karbon, yakni
nitrogen oksida, dihasilkan oleh kegiatan pemupukan dan penggunaan CFC.
Akumulasi berlebihan gas-gas tersebut telah menghalangi pemantulan sinar infra
merah kembali ke luar bumi yang selanjutnya berarti telah menciptakan
pemanasan global. Pemanasan global ini kemudian menjadi semakin parah dalam
selama empat dekade terakhir ini.
Berbagai perdebatan kemudian muncul untuk menghasilkan instrumen
terbaik mengatasi permasalahan tersebut. Banyak negara kemudian mencoba
1
World Health Organization. 2008. Issues in Health, Environment, and Sustainable Development : An
Overview. Diunduh dari <http://www.who.int/mediacentre/events/IndicatorsChapter1.pdf> pada 8 Mei
2010
1
2
2
CLGCC - University of Cambridge Programme for Sustainability Leadership. 2009. Copenhagen
Communiqué tentang Perubahan Iklim. Diunduh dari <http://www.cpi.cam.ac.uk/pdf/Copen
hagen%20Communique%20-%20Indonesian.pdf> pada 6 Mei 2010
3
N. Gregory Man. 2008. Smart Taxes: An Open Invitation to Join the Pigou Club. h.3
3
tax system, PSD merangkul beberapa partai koalisi untuk memastikannya berjalan.
Selain Left Party, ia juga merangkul Green Party dalam pemerintahannya; bahkan
hingga masa kedua pemerintahan. Kebijakan progresif ini tentu menimbulkan
pertanyaan penting, yakni bagaimana seorang perdana menteri dari partai pro-
ekonomi mau mengakomodasi kebutuhan preservasi lingkungan. Sebuah
kebijakan yang berpotensi mengurangi kemampuan ekonomi Swedia. Kebijakan
yang juga dapat memberatkan kalangan buruh, yang mana secara tradisional
merupakan pendukung Partai Sosialis Demokrat dan Left Party. Kemampuan
Persson menjadikan kebijakan ini efektif terimplementasi, tentu harus dicatat
sebagai manuver politik yang sangat lihai.
B. Rumusan Masalah
Skripsi ini akan melihat mengapa pajak karbon dioksida dipilih sebagai
kebijakan utama Swedia menghadapi isu perubahan iklim. Analisis komprehensif
terutama diarahkan pada masa kepemimpinan PM Göran Persson yang penuh
dinamika. Struktur, aktor, serta pembentukan isu politik selanjutnya akan menjadi
tinjauan sangat penting hingga kebijakan ini dapat dipilih.
C. Kerangka Konseptual
Kondisi politik Swedia pasca 1990 telah membuat partai yang ingin
berkuasa harus selalu berkoalisi. Dalam kaitannya dengan Partai Sosial Demokrat
(PSD), Persson sebagai pemimpin partai harus berupaya merebut kembali
kekuasaan. Kekalahan pada pemilu 1990 telah mengakhiri seratus tahun dominasi
PSD di perpolitikan Swedia. Hingga pada akhirnya, PSD memanfaatkan isu
lingkungan untuk berkoalisi dengan Left Party dan Green Party. Kebijakan pajak
karbon, yang kemudian diapresiasi rakyat dan dunia internasional, menjadi buah
keberhasilan koalisi ini.
4
4
Siti Khadijah H, NST (Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera
5
Paparan tersebut di atas berarti, pajak telah digunakan sebagai upaya untuk
mengatur alokasi pendapatan masyarakat. Dengan menarik pajak progresif, maka
pemerintah dapat mengalokasikan pendapatan pada upaya-upaya investasi yang
dapat dinikmati banyak orang. Dengan tersedianya banyak investasi, maka akan
timbul lapangan kerja yang lebih luas. Sehingga secara tidak langsung pemerintah
telah melakukan realokasi dan redistribusi pendapatan. Pada akhirnya, adanya
penarikan pajak secara tidak langsung telah membuka peluang bagi kemakmuran
masyarakat serta menjaga stabilitas dengan penciptaan lapangan kerja; suatu ciri
utama dari sebuah welfare state.
Analisis kemudian diarahkan pada bentuk koalisi ini, mengukur seberapa
kuat koalisi yang dibangun oleh PSD dengan memanfaatkan isu lingkungan. Partai
Sosial Demokrat sendiri sejak dulu berkeras menerapkan pajak progresif untuk
segala hal, dari pendapatan hingga tanah. Hal ini tentu sehubungan dengan cita-
cita PSD menjadikan Swedia sebagai welfare state 5 . Di sisi lain, Green Party
merupakan partai yang ingin memperketat standar preservasi lingkungan di
Swedia, tanpa memperdulikan status sosial masyarakat. Di sisi berikutnya, Left
Party merupakan representasi kalangan sosialis Swedia untuk menjadikan negara
ini mengimplementasikan sosialisme murni, menghapus kepemilikan privat.
Dengan menerapkan green tax system, Persson sebenarnya harus menerapkan
pajak lebih tinggi pada kalangan buruh, pihak yang selama ini menjadi basis
dukungan PSD. Pajak karbon ini sendiri diusulkan oleh Green Party; untuk
diterapkan pada sektor industri, pertanian dan peternakan, penggunaan kendaraan
bermotor, hingga rumah tangga. Peningkatan pajak pada sektor-sektor ini tentu
secara tidak langsung mengurangi daya beli masyarakat terkait rasio pendapatan
Utara). 2002. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Produk Pertanian dan Dampaknya. h.3-4
5
Sistem yang dianut Swedia sering disebut sebagai Swedish welfare state, varian dari welfare
state yang dikembangkan oleh negara-negara Skandinavia. Karakter utama negara dengan sistem
ini adalah upaya memperbesar kelas menengah, pemerintah tidak mengendalikan sistem produksi
tetapi mengenakan pajak untuk memeratakan kemakmuran, serta memastikan industri memiliki
setting padat karya. (Johan Norberg. 2006. Swedish Models. h.2)
6
maupun harga barang produksi. Hal ini berarti pula bahwa PSD harus melunakkan
sikapnya memacu ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan. Selain itu, PSD
harus mengurangi keinginan Left Party untuk membawa negara menganut
sosialisme penuh hal tersebut akan menjauhkan Swedia dari prinsip Uni Eropa.
Namun ternyata, Persson mampu mengakomodasi semua kepentingan melalui
kebijakan green tax, yakni penerapan pajak karbon progresif. Seperti dikatakan
oleh Carter Neil (2007), pembentukan sebuah rezim yang mengatur tentang
lingkungan harus mampu mengakomodasi tuntutan semua pihak. Hal ini terutama
diperlukan saat sensitivitas isu lingkungan membenturkan kepentingan industri,
masyarakat yang memiliki tuntutan, serta aktivis atau kelompok pro lingkungan
berpengaruh.
Sehingga kemudian, Teori Pembentukan Koalisi 6 akan digunakan untuk
melihat lebih dalam bagaimana Persson berusaha dan berhasil mengakomodasi
semua kepentingan. Akomodasi kepentingan melalui kebijakan pajak karbon ini
pula yang menjadikan koalisi mampu bertahan hingga skandal Tsunami Samudera
Hindia mengurangi secara drastis popularitas PSD. Distribution of resources,
payoff for each coalition, non-utilitarian strategy preferences, the effective
decision point, dan a minimal winning coalition; akan digunakan untuk melihat
tindakan Göran Persson mencoba mengakomodasi kepentingan semua pihak demi
koalisi.
Pertama, distribution of resources dan payoff for each coalition merupakan
analisis yang tidak dapat dipisahkan. Kedua analisis ini secara bersama-sama akan
memperlihatkan kompensasi apa yang diberikan dan diterima suatu partai dari
kebijakan green tax system. Konsesi terlebih harus diberikan oleh PSD kepada dua
anggota koalisis lainnya karena partai ini memiliki kekuatan di parlemen, lebih
besar daripada kekuatan gabungan kedua anggota lainnya. The effective decision
point selanjutnya membuat kebijakan Persson ini akan terus bertahan. Kebijakan
6
William A. Gamson. 2008. A Theory of Coalition Formation. h.373-382
7
green tax system yang sedikit bertentangan dengan pola tradisional PSD,
menimbulkan kekhawatiran pada koalisi bahwa ia akan mengupayakan seminimal
mungkin penerapan ketat kebijakan. Namun beruntung, dua partai koalisi lain
memiliki kartu truf terkait komposisi partai dalam parlemen Swedia. Apabila
kedua partai ini keluar, maka PSD akan kehilangan kursi mayoritas, dan untuk
pertama kalinya sejak seratus tahun melepas kursi perdana menteri.
Terakhir, a minimal winning coalition terjadi secara otomatis terhadap
struktur koalisi Merah-Hijau. Terutama, struktur koalisi di parlemen Swedia
menjadikan PSD mampu mengendalikan partai-partai kecil lainnya. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, koalisi ini memiliki lawan kuat dari pihak Aliansi Swedia;
yang mana memiliki ideologi cukup kontras antara satu dengan lainnya. Dengan
mencoba defect pada kebijakan green tax system ini, maka suatu partai akan
menghadapi kerugian berupa isolasi parlemen. Hal ini mengingat dua koalisi partai
memiliki pandangan berseberangan sehingga saat satu pihak keluar dari koalisinya,
maka ia menjadi berhadapan dengan dua koalisi besar sekaligus.
Selain teori utama tersebut di atas, perlu diperjelas pula konsep public
awareness dan national issues, yang ternyata dapat mempengaruhi persepsi politik.
Pemikiran Martha Finnemore tentang norm cascade kemudian akan membantu
memberikan penjelasan bagaimana sebuah isu dapat menjadi topik penting dalam
7
perpolitikan. Konsep tersebut akan memberikan bantuan analisis terhadap
perilaku partai-partai di Swedia. Kemunculan isu lingkungan di masa transisi PSD
menjadi titik kunci bagaimana green tax system mampu mengakomodasi
kepentingan semua partai koalisi. Indikator-indikator public awareness dan
national issues akan menunjukkan bagaimana pajak karbon yang lekat dengan isu
perubahan iklim dan preservasi lingkungan; memiliki kekuatan tersendiri di
perpolitikan Swedia, hingga Persson dapat mengeksploitasinya untuk
sustainability koalisi. Keberlanjutan bentuk koalisi ini juga dapat bertahan lama
7
Martha Finnemore & Kathryn Sikkink. 1998. International Norms and Political Change. h.887-
917
8
apabila mampu merespon dengan baik tuntutan dan isu-isu yang berkembang di
dalam masyarakat.
BAB II
GREEN-TAX SYSTEM DI SWEDIA
8
Sesuai dengan Artikel 3, 7, dan 8 Protokol Kyoto, negara peserta terbagi dalam annex keanggotaan.
Setiap kelompok negara memiliki batasan emisi karbon yang harus dicapai dengan
mempertimbangkan luas wilayah penyerap emisi serta emisi yang selama ini dikeluarkan. Luas
wilayah penyerap ditambah dengan kemampuan reforestation memiliki perbandingan lurus dengan
level maksimum emisi karbon yang harus dipatuhi.
9
10
pajak karbon untuk kalangan industri, tetapi juga kendaraan bermotor dan
pertanian. Pajak progresif diterapkan di tiap tingkat, yang menjamin tetap
berlangsungnya kegiatan ekonomi. Penerapan pajak karbon kemudian ternyata
tidak menjatuhkan pemerintahan, seperti yang diramalkan banyak pengamat,
tetapi justru memperkuatnya. Pajak karbon pun telah memicu negara-negara di
kawasan ini mencari energi alternatif berbasis komunal, bukan riset mahal skala
nasional. Swedia, Denmark, dan Norwegia juga tetap mempertahankan diri
sebagai sebuah welfare-state; yang mana negara berkewajiban memeratakan
kemakmuran. Skandinavia selanjutnya mengusulkan pembentukan EU
Environment Tax di tahun 1995, yang coba menerapkan instrumen pajak karbon
bagi seluruh negara Eropa. Copenhagen Communiqué pun disusun oleh
Denmark bersama banyak perusahaan besar dunia untuk lebih mempromosikan
penerapan pajak karbon. Skandinavia ingin menunjukkan bagaimana pajak
karbon merupakan jembatan antara kemakmuran ekonomi dan preservasi
lingkungan.
11
Justin Schwartz. 1991. A Future for Socialism in the USSR. h.1
13
12
Runar Brännlund & Bengt Kriström. Energy and Environmental Taxation in Sweden: Some
Experience from the Swedish Green Tax Commission. h.5
14
13
Bengt Johansson & Swedish Environmental Protection Agency. 1998. Economic Instruments in
Practice 1: Carbon Tax in Sweden. h.4
14
International Transport Forum. 2010. Key Transport and Greenhouse Gas Indicators: Information
by Country. Diunduh dari <http://www.internationaltransportforum.org/jtrc/environment/CO2/Sweden
CO2.pdf> pada 8 Oktober 2010.
15
sumber yang terbarukan. Sertifikat ini selanjutnya dapat dijual kepada pihak
lain apabila produksi energi masih tersisa. Program ini dimulai pada Desember
2005 dan akan berlangsung selama lima tahun pertama, untuk diperpanjang
kemudian di setiap periode. Di akhir periode pertama, SMEs yang mengikuti
program ini dan memenuhi kualifikasi Green Tax Commission akan menerima
pengembalian 100% dari pajak listrik yang harus dibayar.
fosil, yang menjadi bahan energi dua kebutuhan tersebut. Sehingga secara
langsung maupun tidak langsung, GTS akan menekan kondisi perekonomian
rumah tangga kelas menengah dan bawah. Himbauan pemerintah untuk
mengubah energi fosil menjadi terbarukan tentu bukanlah hal yang mudah bagi
rumah tangga biasa.
Kebijakan pajak karbon juga membutuhkan kompensasi karena sektor
pertambangan dan industri, yang paling besar dikenai pajak, serta manufaktur
bersiap mengalihkan dukungan pada partai lain. Pemerintah harus bekerja keras
untuk membuktikan bahwa GTS benar-benar kebijakan berbasis riset yang
dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah juga harus membuat sektor
pertambangan, industri, dan manufaktur tetap mampu berproduksi karena inilah
sumber pendapatan Swedia.
Seperti dipaparkan sebelumnya, insentif pemerintah terlihat diberikan
pada pihak-pihak yang mampu mematuhi standar emisi. Insentif dimaksud
mencakup pemberian subsidi di sektor pengeluaran lain, pemotongan pajak,
maupun pengembalian pajak. Hal tersebut selanjutnya membuat kalangan
domestik tidak mempermasalahkan GTS. Masyarakat bahkan mendukung
berkembangnya kebijakan ini karena pengeluaran pajak tertutupi oleh
berkurangnya pengeluaran di sektor lain. Kembali, hal ini seiring dengan sifat
redistribusi pajak, yakni mengembalikan pendapatan pemerintah untuk
pelayanan publik, yang selalu dipegang pemerintahan Swedia.
BAB III
KONSTELASI POLITIK DI SWEDIA
18
19
2. Left Party
Left Party telah menjadi pemain dalam politik Swedia sejak ia didirkan
pada tahun 1917 dalam semangat revolusi Rusia. Kerusuhan banyak terjadi
dalam kota, antara buruh-militer dengan birokrat-aristrokrat. Kerusuhan
akhirnya dapat selesai di tahun 1919 saat liga pemuda partai ini mengambil alih
kepengurusan. Walau begitu, partai ini konsisten dengan ide sosialismenya,
menentang segala kepemilikan privat yang berlebihan serta menghendaki
adanya kesetaraan dalam politik. Hal ini dikarenakan, kalangan buruh tetap
menjadi elemen penting dalam partai ini, yang selalu menginginkan perbaikan
kondisi hidup. Pada era 1980-an, Left Party secara konsisten menolak
privatisasi, suatu hal yang banyak terjadi di negara-negara barat pada masa itu.
Partai ini juga menentang keanggotaan Uni Eropa karena dianggap mengurangi
independensi negara untuk mengatur dirinya. Partai ini juga menentang
pembangunan PLTN di Swedia, juga menuntut pemerintah berkuasa untuk
meningkatkan belanja publik demi kesejahteraan rakyat.
Krisis partai kemudian dimulai pada akhir 1980-an seiring dengan
lunturnya ide komunisme di Uni Soviet. Perpecahan internal mulai terjadi,
antara golongan komunis konservatif dengan sosialis demokrat. Kalangan
sosialis demokrat memandang bahwa Left Party harus menggeser ideologinya
jika tidak ingin kehilangan kursi di Parlemen. Belum lagi, serangan eksternal
pada ideologi komunis dan sosialis membuat citra partai ini terus berkurang.
Sebagai efek krisis ini, Left Party hanya mendapatkan 6.2% suara rakyat, turun
drastis dari periode sebelumnya yang mencapai 12%. Namun seiring
bergabungnya partai ini dalam koalisi pemerintah, suara yang didapatkan
kembali merangkak naik dan mampu kembali ke level 12% pada tahun 1998.
Selama krisis terjadi, gejolak telah membuat partai ini bergerak ke kanan.
Isu-isu yang diperjuangkan tidak lagi berupa kontrol negara atas seluruh bidang
kehidupan, suatu hal yang cukup usang dalam konstelasi global. Sejak
22
3. Green Party
Green Party merupakan sebuah partai politik yang didirikan pada tahun
1981 sebagai tindak lanjut adanya gerakan menentang tenaga nuklir dalam
referendum 1980. Partai ini memenangkan kursi di Parlemen untuk pertama
kalinya di tahun 1988, namun gagal lulus ambang batas 4%. Pasca revolusi
politik Swedia di awal 1990, Green Party berhasil mendapatkan suara sekitar
5% dan terus bertambah pada pemilu di tahun –tahun berikutnya. Saat ini, basis
utama pendukung partai berasal dari kalangan anak muda, perempuan, pekerja
perkotaan, dan masyarakat berpendidikan tinggi. Green Party memfokuskan diri
pada perlindungan binatang, alam, dan sistem ekologi bagi generasi di masa
yang akan datang. Partai ini cenderung imparsial, dengan keberpihakan pada
partai yang mendukung ide-ide pro lingkungan, baik di level Swedia maupun
Uni Eropa.
Di dalam negeri Swedia sendiri, Green Party mengangkat penghapusan
pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai isu utama. Isu ini menimbulkan
kontroversi karena kalangan industri Swedia sangat bergantung pada
pembangkit listrik ini sebagai sumber energi yang murah. Green Party
kemudian turut serta dalam Koalisi Merah Hijau setelah bersepakat bahwa
pemerintah akan mendukung reformasi pajak terkait lingkungan. Green Party
kemudian mengusulkan suatu instrumen pajak tinggi yang akan memaksa
masyarakat menggunakan teknologi ramah lingkungan. Selain itu, partai ini
juga mengusulkan suatu pajak atau sanksi tegas bagi industri yang tidak
23
4. Partai Moderat
Partai Moderat merupakan partai yang memusatkan diri untuk
memperjuangkan hak politik liberal konservatif di Swedia. Partai ini didirikan
pada tahun 1904 oleh kelompok konservatif di parlemen Swedia, yang sempat
mengalami dua kali pergantian nama, yakni National Organization of the Right
(1938-1952) dan Partai Kanan (1952-1969). Meski kadang mengalami
pergeseran, partai ini menyatakan bahwa ideologi mereka berpusat pada
campuran liberalisme dan konservatisme, yang kemudian disebut konservatisme
liberal. Istilah liberalisme di Swedia -dan kebanyakan negara Eropa- tidak
diartikan sebagai progresif, seperti digunakan di Amerika Serikat, tetapi lebih
dekat dengan arti tradisional liberalisme klasik.
24
6. Centre Party
Centre Party merupakan sebuah partai politik moderat di Swedia yang
hubungan dekat dengan kaum pedesaan, namun mendukung peningkatan hak-
hak petani. Partai ini juga mengusulkan desentralisasi otoritas pemerintah,
terutama yang menyangkut penanganan ekonomi. Selan itu, Centre Party diisi
oleh orang-orang konservatif, yang berusaha membatasi imigran asing dan
menentang naturalisasi berlebihan. Pada era 1990-an, partai ini menjadi yang
paling pesat perkembangannya di wilayah perkotaan. Centre Party di tahun
2000 juga tercatat sebagai partai politik terkaya di dunia dengan pemasukan
saham sebesar 1.8 milyar Euro dari kelompok koran Centertidningar AB15.
7. Partai Liberal
Partai Liberal Swedia merupakan pendukung liberalisme sosial dan
menjadi bagian dari Alliance for Sweden dan saat ini menjadi partai keempat
terbesar di Riksdag. Ideologi resmi partai ini disebut dengan liberalisme sosial,
yang diterjemahkan sebagai komitmen ideologis untuk suatu ekonomi
campuran, berbasis pasar dan program kesejahteraan sosial. Nama lain platform
partai ini adalah tanggung jawab sosial tanpa sosialisme. Partai ini merupakan
pecahan dari Partai Sosial Demokrat (PSD), yang berpisah sejak tahun 1921
akibat perbedaan tajam di bidang pengaturan ekonomi. Partai Liberal menolak
upaya PSD yang menuntut nasionalisasi perusahaan swasta. Sejak saat itu,
Partai Liberal menjadi salah satu pilar sayap kanan dan menjaga kepemilikan
modal tidak diganggu oleh pemerintah.
Partai Liberal juga mendukung pengetatan anggaran pemerintah dan
mengurangi pengeluaran publik yang tidak perlu. Partai ini dikenal berorientasi
kebijakan pada pandangan Amerika Serikat dan Inggris. Para pemimpin partai
ini juga vokal mempengaruhi masyarakat agar Swedia mau masuk ke dalam Uni
15
Absolute Astronomy. 2008. Centre Party (Sweden). Diunduh dari <http://www.absolute
astronomy.com/topics/ Centre_Party_%28Sweden%29> pada 5 Oktober 2010.
26
Eropa . Sehingga sampai saat ini, Partai Liberal dikenal sebagai partai paling
pro Eropa di perpolitikan Swedia. Namun kampanye 1993 dan 1995 tetap gagal
membuat masyarakat Swedia mau bergabung ke dalam Eropa, baik sistem
moneternya maupun Uni Eropa.
8. Partai-Partai Lainnya
Selain partai-partai tersebut di atas, beberapa partai lain mewarnai
konstelasi politik di Swedia. Partai-partai ini merupakan partai yang tidak
mencapai threshold 4% secara nasional, tetapi memiliki kursi di tingkat lokal.
Ideologi partai-partai kecil ini biasanya bersifat pragmatis, tergantung pada
keinginan masyarakat lokal di wilayah mereka. Kadangkala, partai-partai kecil
yang ada berfungsi juga sebagai kepanjangan tangan partai besar, agar lebih
terlihat dekat dengan masyarakat Swedia. Partai kecil yang cukup terkenal
antara lain Partai Feminis, Junilistan, dan Demokrat Swedia.
16
Pascal Del Wit, Erol Kulahci, & Cédric Van De Walle. 2004. The Europarties Organisation and
Influence. h.315
28
dengan cita-cita PSD menjadikan Swedia sebagai welfare state17. Partai ini juga
sering memilih memacu pertumbuhan ekonomi dibanding memperhatikan
masalah lingkungan. Di sisi lain, Green Party merupakan partai yang ingin
memperketat standar preservasi lingkungan di Swedia, tanpa memperdulikan
status sosial masyarakat. Green Party beranggapan, seluruh level masyarakat
yang menghasilkan karbon harus mendapatkan pajak yang sesuai. Padahal,
pajak pada era kepemimpinan PSD ditujukan untuk meratakan pendapatan
masyarakat, sebagai subsidi silang dari kalangan atas pada kalangan menengah.
Kemudian berada di sisi berikutnya, Left Party merupakan representasi
kalangan sosialis Swedia untuk menjadikan negara ini mengimplementasikan
sosialisme murni, yang menghapus kepemilikan privat. Tentu hal ini sedikit
bertentangan dengan prinsip PSD yang mempertahankan kepemilikan privat.
Sistem welfare state Swedia pun tidak menempatkan negara sebagai penguasa
segala sumber daya, tetapi hanya sebagai pengatur dan pengarah, agar seluruh
rakyat mendapatkan kemakmuran. Perbedaan prinsip ketiga partai itulah yang
dilihat banyak pihak sebenarnya sulit untuk disatukan. Sehingga kemudian,
keberhasilan PSD sebagai pembentuk koalisi akan penting ditilik; guna
memberikan gambaran akan insentif dan sikap apa yang harus ada dalam suatu
koalisi.
17
Sistem yang dianut Swedia sering disebut sebagai Swedish welfare state, varian dari welfare
state yang dikembangkan oleh negara-negara Skandinavia. Karakter utama negara dengan sistem
ini adalah upaya memperbesar kelas menengah, pemerintah tidak mengendalikan sistem produksi
tetapi mengenakan pajak untuk memeratakan kemakmuran, serta memastikan industri memiliki
setting padat karya. (Johan Norberg. 2006. Swedish Models. h.2)
29
C. Hubungan Antarkoalisi
Hubungan kedua koalisi ini selalu diwarnai oleh rivalitas satu sama lain.
Masing-masing koalisi berusaha mengegolkan atau menjegal koalisi lain. Hal ini
tentu berhubungan dengan latar belakang koalisi yang memang sangat berbeda
satu sama lain. Kedua koalisi mencoba memanfaatkan segala celah untuk berusaha
mengalahkan partai lainnya. Pertentangan ini muncul sejak pemilu 1992, dengan
kondisi seperti telah dipaparkan sebelumnya. Beragam kebijakan Koalisi Merah-
Hijau sering coba dijegal oleh koalisi lain; yang beruntung karena dalam sistem
parlementer Swedia, koalisi pemerintah hanya membutuhkan mayoritas tipis untuk
mengesahkan sebuah kebijakan. Alliance for Sweden akhirnya berhasil mengambil
30
alih pemerintahan pada tahun 2004, setelah Koalisi Merah-Hijau diwarnai banyak
skandal terkait Tsunami Hindia.
Sehubungan dengan pajak karbon, kebijakan ini ternyata telah
menimbulkan pertentangan antar koalisi semakin besar. Instrumen yang berkutat
pada penerapan pajak tinggi ini banyak ditentang koalisi oposisi. Hal ini terlihat
nyata saat Alliance for Sweden berhasil mengambil alih pemerintahan. Koalisi ini
langsung menurunkan tingkat pajak karbon secara drastis serta secara terang-
terangan ingin menghapus warisan welfare state a la PSD. Alliance for Sweden
pun selalu berusaha mengurangi subsidi pemerintah untuk pembelian rumah
sederhana serta dana sosial pensiun dan pengangguran 18 . Mereka beranggapan,
tidak seharusnya negara, apalagi pemilik uang dan pekerjaan menanggung
pengeluaran tersebut. Terlebih, golongan yang disubsidi ini semakin membesar
karena masuknya imigran serta pemberian suaka. Pastinya, saat subsidi dan
kepedulian negara dihilangkan, maka berakhir pula sistem welfare state Swedia
yang dirasa banyak pihak sebagai sebuah sistem negara terbaik. Kembali, pada
titik inilah pertentangan kedua partai sebenarnya muncul, yakni seberapa jauh
negara harus berperan menciptakan kesetaraan kemakmuran rakyat.
18
Regeringsansliet. 2009. A Sustainable Energy and Climate Policy for the Environment,
Competitiveness and Long-term Stability. h.1
BAB IV
GREEN-TAX SYSTEM SEBAGAI KUNCI KOALISI
19
Roger Hällhag. 2007. New Sweden: Crushing or Confirming a Social Democratic Model. h.10
31
32
20
Swedish Institute. 2007. The Swedish System of Government. h.2
33
21
Mattias Boman & Leif Mattsson. 2005. A note on attitudes and knowledge concerning
environmental issues in Sweden. h.1
34
utama perekonomian Swedia. Manajemen handal para pemilik modal juga menjadi
kelebihan tersendiri, yang kadang tidak dimiliki oleh birokrasi pemerintah. Di
sudut segitiga lain, Green Party berupaya mengadvokasi pemenuhan standar
lingkungan bagi sektor industri dan tambang. Partai ini melihat, dan memang
terbukti, bahwa sektor industri dan tambang telah menjadi sumber utama polusi.
Karakteristik iklim Swedia yang mudah menjadi kumpulan polusi udara,
22
menjadikan limbah sektor industri bisa dengan efisien mencemari udara.
Penggunaan energi dan tekonologi yang tidak ramah lingkungan juga disorot oleh
Green Party. Sehingga kemudian, konsensus harus dicapai oleh koalisi dalam
menangani kasus ini.
Green Party langsung mengusulkan penerapan pajak sebesar $100 per ton
karbondioksida yang dikeluarkan. 23 Hal ini menimbulkan penolakan keras dari
sektor industri ketika awal pengajuan RUU. Mereka menilai penerapan pajak
dengan standar tersebut akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi Swedia
hingga 0.3% per tahun. 24 Walau begitu, Left Party ternyata dengan bersemangat
mendukung penerapan pajak tinggi ini. Mereka menilai, hal ini akan menjadi alat
efektif membagi kemakmuran masyarakat Swedia. Namun PSD kurang
menyetujui usulan setinggi ini karena mengkhawatirkan dua hal, yakni laju
pertumbuhan ekonomi dan semakin mundurnya dukungan dari kalangan elit
Swedia. PSD kemudian mengusulkan adanya insentif pajak bagi industri yang
mampu menekan kadar buangan karbondioksida. PSD mengusulkan pula sistem
periodisasi, yakni penerapan pajak secara bertahap tiap dua tahun. Periodisasi
dipandang PSD akan membuat pemerintah lebih mudah melihat dampak
implementasi pajak serta mengurangi berbagai resiko di sektor ekonomi. Pada
akhirnya, pajak diterapkan sebesar 25% dari yang seharusnya hingga tahun 1993.
22
Liu Qioghong & Sven Bdtkenhielm. 1995. A Statistical Aprroach to Decompose Ecological
Variation. h.2
23
Jerry Mechling dkk. 2008. Congestion Pricing for Stockholm. h.12
24
Ministry of Environment – Government of Japan. (tanpa tahun penulisan). Utilization of Economic
Instruments in Environmental Policies - Taxes and Charges. Diunduh dari <http://www.env.go.jp/
en/policy/tax/econo/et1b.html> pada 6 Oktober 2010.
35
Pajak selanjutnya bertambah menjadi 50% dari pagu awal UU Lingkungan hingga
tahun 1995. Namun di tahun 1996, pemerintah terpaksa menerima usulan Green
Tax Commission, untuk menambah lagi pajak hingga 75% karena sektor industri
ternyata mengeluarkan limbah melebihi standar konsentrasi karbon Swedia.
Namun sejak pajak karbon tersebut diterapkan, hingga akhir koalisi di tahun 2006,
pemerintah tidak pernah menerapkan 100% pajak. PSD sebagai partai utama
pemerintah tetap menjaga hal ini dengan berbagai intervensi politik, agar sektor
industri dan tambang tidak kehilangan kepercayaan dalam berinvestasi.
Berikutnya, fokus perdebatan anggota koalisi dalam UU LIngkungan
adalah penerapan pajak di sektor SMEs. Kali ini, Green Party harus menghadapi
dua anggota koalisi lain, yang menentang penerapan pajak lingkungan pada
masyarakat kelas menengah ini. SMEs selama ini telah menyumbang 30% GDP
Swedia sehingga menjadi salah satu penopang utama perekonomian. 25 Bagi PSD
dan Left Party, para pemilik maupun penyokong SMEs adalah kalangan yang
harus diberdayakan, tidak dieksploitasi oleh negara untuk pemerataan pendapatan.
Oleh karena itu, PSD dan Left Party menolak usulan Green Party yang ingin
menerapkan pajak tinggi kepada sektor ini. Namun tentu saja, kesepakatan PSD
dengan Green Party mengharuskan partai utama koalisi tersebut mau menerapkan
pajak lingkungan pada semua emitor karbon. Pada akhirnya, anggota koalisi
menyepakati bahwa pajak listrik dan karbon bagi SMEs tidak berubah
dibandingkan dengan UU Lingkungan tahun 1979. Para SMEs selanjutnya
diwajibkan untuk memiliki sertifikat sistem kelistrikan (ECS) yang membatasi
penggunaan listrik. Hal ini sebagai kompensasi tidak naiknya pajak, namun bisa
membatasi pengeluaran karbon dioksida secara tidak langsung. Instrumen ECS
sebagai jalan tengah koalisi juga menjadi cara agar SMEs tidak dimanfaatkan oleh
pemilik maupun pemilik modal lain untuk mencurangi pajak karbon. Apabila tidak
dibatasi, dapat saja seorang pemilik industri besar memecah modal atau pabriknya
25
Glenda Napier dkk. 2004. Strengthening Innovation and Technology Policies for SME Development
in Turkey. h.47
36
Guncangan koalisi pun kembali terjadi di tahun 1995, saat pajak karbon
dievaluasi bersama, Green Party tetap menuntut adanya pajak di sektor household.
Padahal di tahun 1995 ini, riset menunjukkan adanya elastisitas minus akibat pajak
di sektor ini. PSD kemudian harus menjembatani empat kepentingan sekaligus,
Left Party, Green Party, masyarakat, dan desakan oposisi. Apabila salah satu
kepentingan diabaikan, tentunya akan mengancam kedudukan PSD sebagai partai
pemenang dan patron koalisi. Left Party sendiri merasa terancam akan
mendapatkan efek buruk publikasi riset dengan hasil elastisitas minus ini. Green
Party ternyata juga tidak begitu senang karena khawatir dengan munculnya
elastisitas minus, maka nantinya berbagai skema pajak karbon dapat tidak lagi
dipercaya. Akan tetapi, pemerintah ternyata tetap berpegang pada kebijakan ini
dan menyediakan lebih banyak jenis transportasi umum agar pengeluaran energi
rumah tangga pun berkurang. Hal inilah yang kemudian membuat pajak karbon
tidak mendapatkan perlawanan berarti dari masyarakat karena meski pajak karbon
membuat pengeluaran rumah tangga mereka meningkat, pemerintah berusaha
mengurangi beban pengeluaran di sektor lainnya.
Green Tax Commission menjadi bagian tak terpisahkan dari UU Karbon
1993, namun baru secara resmi dibentuk pada 1995. Setidaknya, terdapat dua
tujuan pembentukan komisi ini. Pertama, Komisi dibentuk untuk memastikan
pelaksanaan instrumen pajak lingkungan diterapkan secara teapat. Tentu seperti
dijelaskan sebelumnya, pajak lingkungan tidak hanya bertujuan untuk
menyelamatkan lingkungan, tetapi lebih untuk mendapatkan tambahan
penghasilan. Kedua, Komisi bertugas mengevaluasi instrumen pajak serta
mengusulkan perubahan atau insentif tambahan dalam instrumen tersebut. Hal ini
bertujuan untuk memastikan bahwa pajak karbon tidak akan mengurangi daya
tahan ekonomi masyarakat Swedia. Tentunya fungsi Komisi jelas menunjukkan
platform dasarnya, yakni sebagai jembatan kepentingan tiga partai Koalisi Merah
Hijau. Komisi ini sendiri diusulkan untuk Left Party saat hampir terjadi deadlock
38
Swedia selalu mencapai lebih dari 80% sejak tahun 1979. Saat pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang tidak pro-ralyat, maka dipastikan partai tersebut
tidak akan memperoleh kembali suara secara signifikan di pemilu berikutnya. Hal
tersebut tentu menjadi alasan pemerintah memberikan bermacam subsidi untuk
mengurangi dampak negatif GTS secara ekonomi. Kemudian pada kelompok
oposisi, Komisi memastikan mereka akan sulit menyerang kebijakan pemerintah.
Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah didasarkan pada riset independen,
yang membutuhkan kontra-riset apabila ingin mengajukan alternatif kebijakan.
Selain itu, keberadaan Komisi juga memastikan reaktivitas pemerintah setiap kali
mendapat serangan oposisi, mampu mengoreksi dengan cepat kekurangan pajak
karbon.
dalam tubuh koalisi. Sehingga, kemauan PSD untuk mau sedikit mengalah dengan
menerapkan pajak karbon menjadi poin penting keberlajutan koalisi. Apalagi, PSD
kemudian justru mendapatkan sumber dukungan suara baru, saat kekhawatiran
muncul terkait larinya suara kalangan pemilik modal ke koalisi lain.
Sumber dukungan tersebut adalah PSD yang kini dapat menguasai semua
level sosio-politik masyarakat Swedia. PSD yang sebelumnya menguasai
masyarakat kelas menengah Swedia, kini menguasai pula kalangan bawah, swing
voters, dan sebagian kalangan industri. Melalui pajak karbon, PSD telah
mengambil hati kelas menengah untuk terus mendukungnya, sebagai partai yang
memperjuangkan bentuk welfare state di Swedia. Bagi para swing voters, PSD
menampilkan citra baik dengan menunjukkan sikap pro-lingkungan. Dengan
meningkatnya awareness tentang lingkungan di masyarakat, maka PSD harus
mampu menjaring kelompok ini. Tentunya, bersikap fleksibel menuruti isu yang
berkembang, menjadikan sebuah partai lebih populer dibanding kelompok lainnya.
Terakhir, PSD dengan pajak karbon mampu menjaring sebagian suara kelompok
industri. PSD dapat memainkan kartu bahwa apabila Left Party tidak dikontrol,
maka posisi kalangan industri dapat terancam. Hal-hal tersebut di atas
menunjukkan secara nyata bagaimana faktor kepemimpinan PSD menjadi sangat
penting, baik ke dalam maupun ke luar struktur koalisi
D. Kestabilan Koalisi
Green tax system secara efektif mampu membuat koalisi bertahan hingga
kini. Bahkan saat pemilu 2006 menghasilkan kekalahan pada Koalisi Merah-
Hijau, 26 struktur koalisi tidak berubah. Hal ini dapat terjadi karena Koalisi Merah-
Hijau memang sangat mementingkan stabilnya koalisi, untuk memenuhi visi
masing-masing partai. Kembali, kestabilan struktur ini ditopang oleh insentif,
26
Kekalahan Koalisi Merah-Hijau pun hanya diakibatkan penurunan persepsi masyarakat terkait
skandal Tsunami Hindia 2004. Pemerintah berkuasa pada saat itu dinilai kurang memperhatikan
korban warga Swedia dan dihantam skandal korupsi dana bantuan. Masyarakat menilai tindakan
pemerintah saat itu bertentangan dengan nilai-nilai pemerintahan sebuah welfare state.
41
27
Thomas Getty. 1987. Dear Enemies and the Prisoner's Dilemma: Why Should Territorial Neighbors
Form Defensive Coalitions. h.332-333
42
43
44
Paparan di atas dapat menjadi petunjuk bagi berbagai riset berikutnya yang
terkait dengan kebijakan pemerintah. Riset-riset tersebut dapat melihat lebih dalam
apakah kebijakan yang didasarkan pada pragmatisme politik dapat memenuhi
harapan masyarakat pada pemerintah. Belum lagi, kebijakan pemerintah seringkali
bukan merupakan wujud memenuhi kebutuhan masyarakat, namun lebih pada
bargaining politik, seperti pajak karbon di Swedia. Kasus pajak karbon dapat menjadi
contoh bagaimana koalisi Merah-Hijau memunculkan kebijakan ini untuk menjaga
koalisi, meski terlihat sebagai upaya melindungi lingkungan. Seperti pada GTS di
Swedia, pemerintah harus memiliki mekanisme kompensasi agar kebijakan ini
diterima oleh masyarakat meski merugikan secara ekonomi. Pajak karbon ini juga
memperlihatkan fluktuasi dukungan serta kemungkinan serangan setiap saat dari
oposisi. Apalagi di Swedia, partisipasi rakyat yang tinggi dalam politik, sangat
berpengaruh pada konstelasi parlemen. Riset berikutnya mungkin perlu memberikan
preskripsi tentang bagaimana pragmatisme politik dapat dibangun sejalan dengan
keinginan rakyat secara keseluruhan, yang sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi
ketegangan politik.
REFERENSI
Daftar Pustaka
45
46
Mankiw, N.Gregory. 2008. Smart Taxes: An Open Invitation to Join the Pigou Club.
Massachusetts : Harvard University
Oates, Wallace E. dan Paul R. Portney. 2001. The Political Economy of
Environmental Policy. Discussion paper 01-55. Washington D.C. : Resources
for the Future
Psathas, George & Sheldon Stryker. 1965. Bargaining Behavior and Orientations in
Coalition Formation. Toronto : Sociometry
Swedish Environmental Protection Agency. 2007. Wastewater Treatment in Sweden.
Stockholm : Swedish EPA
Vogler, John dan Hannes R. Stephan . 2007. The European Union in Global
Environmental Governance: Leadership in the Making. Berlin : Springer
Yu, Hongyuan.2004 . Global Environment Regime and Climate Policy Coordination
in China. Beijing : Journal of Chinese Political Sciences
Sumber Online