You are on page 1of 58

GREEN TAX SYSTEM DI SWEDIA : STRATEGI GÖRAN

PERSSON MEMAKAI ISU LINGKUNGAN UNTUK


MEMPERTAHANKAN KOALISI

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh :
Nama : Assed Lussak
NIM : 07 / 254231 / SP / 22233

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011
GREEN TAX SYSTEM DI SWEDIA : STRATEGI GÖRAN
PERSSON MEMAKAI ISU LINGKUNGAN UNTUK
MEMPERTAHANKAN KOALISI

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

Disusun Oleh :
Nama : Assed Lussak
NIM : 07 / 254231 / SP / 22233

Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing

Drs. Riza Noer Arfani, M.A.

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

ii
Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan tim penguji Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, pada :

Hari : Kamis
Tanggal : 20 Januari 2011
Pukul : 10.00
Tempat : Ruang Sidang Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Tim Penguji
Ketua

Drs. Riza Noer Arfani, M.A.

Penguji I Penguji II

Prof. Mohtar Mas’oed, Ph.D Drs. Samsu Rizal Panggabean, M.Sc.

iii
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi

iv
Skripsi “Green Tax System di Swedia : Strategi Göran Persson Memakai Isu
Lingkungan untuk Mempertahankan Koalisi” ini aku persembahkan kepada :
Mami, Mas Bremi, dan Dek Heppi; yang selalu mendukung tiap pilihan dan langkah
yang kujalani, serta tak lelah berdoa agar Kristus memberikan yang terbaik
padaku……

Dengan ketulusan ucapan terima kasih kepada :


Mas Eric Hiariej, Mas Riza N. Arfani, Pak Samsu Rizal, dan Prof.Mohtar Mas’oed;
atas bimbingan, masukan, dan tertawaan selama pengerjaan skripsi ini……

Seluruh dosen dan asisten Jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang mau diserap
ilmunya, serta Mas Edi Priyono; atas kesediaan mengenalku secara akademis
maupun personal……

Tanti Kosmiyati; atas kesediaan meluangkan waktu mencarikan berbagai bahan


mengenai (dan original dari) Swedia……

Lizta Permata, Nick S. Santiago, Bernadeta Firstiana, Rahardian Setiadi, Nicholaus


R.K., Adrian Permana, Sri Gusni, Yan Benedict, Steffi Stephanie, dan seluruh teman-
teman albatross; atas sharing dan dukungan sejak dulu, sekarang, dan nanti……

Septyanto Galan, Sirajudin Hasbi, M.Aditya Julianto, Dea Kurniawan, Azizah Al


Aziz, Davina Azalia, Malikha Fitriana, Maysa Ayu, Dhimas Iman, Adi Mulia
Pradana, Ryan Gilang, Christy Pravita, Chariez Gamareta, Mellia Hanum, Ari
Wardana, Maria Patricia, Dian Hapsari, Dimas Arya, Hafiz Imandaru, Benediktus
Priyo, Candra Hamdika, Azhar Irfansyah, Floweria, Ridho Jun, Agastya Aridian,
Muhammad Akbar, dan seluruh teman-teman HI-2007; atas obrolan, dukungan, dan
segala permainan kita di taman kanak-kanak Hubungan Internasional……

Aldo Prandana, Arin Sandrina, Ganes Nirwina, Renieta Dhaniati, Tasya Febi,
seluruh anggota Buddy 11/12 HI-2008 yang selalu tak bisa kuhapal nama-namanya,
Hardya Pranadipa, Hasto Siswanto, dan Devi Pebrianti; atas ke-riweuh-an kalian
selama ini……

Fauzia G. Cempaka, Mbak Ratih Surachman, Mbak Anggia Permata, Reynaldo


Krissancha, Bu Tuti Iba, Fembiarta Binar; atas peran kalian merecoki, mendoktrin,
dan mempengaruhi pilihan dalam hidupku......

Yogyakarta, Januari 2011


Assed Lussak

v
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas segala limpahan


rahmat-Nya sehingga skripsi berjudul Green Tax System di Swedia : Strategi
Göran Persson Memakai Isu Lingkungan untuk Mempertahankan Koalisi ini
dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini mencoba melihat bagaimana sebuah
kebijakan ternyata lebih dipengaruhi oleh prgamatisme politik dibanding idealisme
menyelesaikan masalah. Kasus Swedia kemudian dimunculkan sebagai informasi
berguna untuk mengawal perkembangan proses pengajuan RUU tentang pajak
karbon oleh pemerintah (Indonesia) kepada DPR.
Selanjutnya, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini; sejak pemunculan ide
awal hingga masa revisi pasca sidang. Dalam proses penyusunan skripsi, penulis
telah berupaya memenuhi seluruh kaidah-kaidah penulisan akademis yang ada.
Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan masih adanya beberapa kekurangan,
baik secara substansi maupun teknis penulisan. Oleh karena itu, segala saran dan
masukan dari semua pihak selalu diharapkan bagi perkembangan riset-riset
selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan memberi manfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan dan berkepentingan. Terima kasih.

Yogyakarta, Januari 2011

Penulis

vi
Abstrak

Masalah perubahan iklim telah mencuat sebagai isu penting internasional


dewasa ini. Berbagai forum internasional telah diadakan untuk memaksa negara-
negara mau memperhatikan permasalahan tersebut. Perdebatan kemudian muncul
untuk menghasilkan instrumen terbaik mengatasi permasalahan tersebut. Banyak
negara mencoba melakukan perdagangan karbon ataupun mencoba menciptakan
teknologi baru. Akan tetapi, Swedia pada era Göran Persson, yang berasal dari Partai
Sosialis Demokrat (PSD), kemudian justru berani memperkenalkan penerapan pajak
progresif karbon dioksida dalam bentuk green tax system. Padahal pajak karbon telah
terbukti memberikan delapan efek buruk bagi masyarakat, terutama efeknya
mengurangi kapital masyarakat. Skripsi ini selanjutnya melihat mengapa pajak
karbon dioksida dipilih sebagai kebijakan utama Swedia menghadapi isu perubahan
iklim. Analisis komprehensif terutama diarahkan pada masa kepemimpinan PM
Göran Persson yang penuh dinamika. Struktur, aktor, serta pembentukan isu politik
selanjutnya akan menjadi tinjauan sangat penting hingga kebijakan ini dapat dipilih.
Konsep Rezim Lingkungan (Carter Neil, 2007), Teori Pembentukan Koalisi (William
Gamson, 2008), konsep norm cascade yang menghasilkan public awareness dan
national issues (Marta Finnemore, 1998), serta prinsip redistribusi pajak (Suparmoko,
1997); digunakan guna menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pajak karbon ternyata kemudian dipilih sebagai kebijakan utama Swedia
dalam menghadapi perubahan iklim karena hal tersebut ternyata menjadi kunci
keberhasilan pemerintah mempertahankan Koalisi Merah-Hijau. Munculnya isu ini di
awal rencana koalisi, perdebatan selama bertahun-tahun, hingga kebijakan yang terus
diperbaiki; membuat pajak karbon selalu menjadi pusaran kepentingan politik.
Berbagai insentif di dalam koalisi mencakup bargaining pasal-pasal pajak karbon,
kursi kementerian, pembentukan badan regulasi, hingga riset dan pengembangan
kebijakan di tahun-tahun berikutnya. Pelajaran berharga lain dari struktur insentif
pajak karbon adalah bagaimana Göran Persson melihat ancaman dan peluang politik
Swedia, terutama yang berhubungan dengan PSD. Inilah yang menjadi dasar Persson
menggunakan strategi defensive coalition melalui isu lingkungan. Sejak
memunculkan Persson Plan hingga memegang jabatan perdana menteri, Göran
Persson mampu mengolah isu dalam peta kekuatan politik Swedia untuk tetap
menjaga superioritas Partai Sosial Demokrat.

Kata kunci : pajak karbon, Swedia, Persson, Koalisi Merah-Hijau

vii
Abstract

Climate change comes out as an important international issue today. Various


international forums have been held to force countries paying attention on these
problems. Debates emerged are to find the best instrument to overcome these
problems. Many countries try to do carbon trading or developing new technology.
However, in Göran Persson, who came from the Social Democratic Party (SDP), era
of Sweden, he dared to apply progressive carbon tax in the form of green tax system.
Though a carbon tax has eight bad effects for society, especially in effect to reduce
capital community; he still applied it. This thesis is further trying to find why carbon
tax was chosen as the Sweden main policy facing climate change issue.
Comprehensive analysis mainly will see Prime Minister Göran Persson dynamic
government. The structure, actors, and political issues formation will then be
important to review green-tax policy. Concept of Environmental Regime (Neil Carter,
2007), Theory of Coalition Formation (William Gamson, 2008), the concept of norm
cascade that generate public awareness and national issues (Martha Finnemore,
1998), and the principle of tax redistribution (Suparmoko, 1997) are used to find the
answer.
Hence, Sweden chose carbon tax is because it becomes the key to maintain
Red-Green Coalition. Issue emergence in the beginning of coalition, debate over
years, until the policy improvement; make carbon tax has always been the vortex of
political interests. Various incentives in the coalition then include carbon tax
mechanism, cabinet seats, establishment of regulatory agencies, also policy research
and development in subsequent years. Next, another valuable lesson from aforesaid
carbon tax incentive structure is how Göran Persson able to see political threats and
opportunities in Sweden, particularly related to SDP. He used defensive coalition
strategies through environmental issues, shown by carbon tax establishment. Since
the Persson Plan to his term of government, Göran Persson was able to process issues
in political map to maintain Swedish Social Democratic Party superiority.

Keywords : green-tax system, Sweden, Persson, Red-Green Coalition

viii
DAFTAR ISI

Sampul Depan i
Halaman Judul ii
Halaman Pengesahan iii
Surat Pernyataan Keaslian Skripsi iv
Halaman Persembahan v
Kata Pengantar vi
Abstrak vii
Abstract viii
Daftar Isi ix

BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Kerangka Konseptual 3

BAB II : GREEN-TAX SYSTEM DI SWEDIA 9


A. Penanganan Masalah Iklim 9
1. Tindakan Negara-Negara Maju 9
2. Kebijakan Negara-Negara Skandinavia 10

B. Penerapan Green-Tax System (GTS) di Swedia 11


1. Dasar Penerapan 11
2. GTS dalam Bidang Pertambangan dan Industri 13
3. GTS dalam Sektor Household 14
4. GTS dalam Small and Medium Enterprises (SMEs) 15
5. Perkembangan Isu GTS 16

BAB III : KONSTELASI POLITIK DI SWEDIA 18


A. Platform Partai Politik di Swedia 18
1. Partai Sosial Demokrat (PSD) 18

ix
2. Left Party 21
3. Green Party 22
4. Partai Moderat 23
5. Partai Kristen Demokrat (PKD) 24
6. Centre Party 25
7. Partai Liberal 25
8. Partai-Partai Lainnya 26

B. Koalisi Partai Politik di Swedia 26


1. Revolusi Politik di Swedia 26
2. Koalisi Merah-Hijau (Merah-Hijau) 27
3. Alliance for Sweden (AFS) 28

C. Hubungan Antarkoalisi 29

BAB IV : GREEN-TAX SYSTEM SEBAGAI KUNCI KOALISI 31


A. Kekuatan Isu Lingkungan 31
B. Struktur Insentif GTS dalam Koalisi Merah-Hijau 32
C. Kepemimpinan Partai Sosial Demokrat (PSD) dalam Koalisi 39
D. Kestabilan Koalisi 40

BAB V : KESIMPULAN 43

REFERENSI 45

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah perubahan iklim telah mencuat sebagai isu penting internasional
dewasa ini. 1 Berbagai forum internasional telah diadakan untuk memaksa negara-
negara mau memperhatikan permasalahan tersebut. Pembicaraan mengenai
perubahan iklim selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari topik karbon, yakni
mengapa menjadi penting untuk membicarakan karbon saat kita membahas
perubahan iklim. Pada dasarnya, perubahan iklim atau pemanasan global tersebut
terjadi akibat konsentrasi gas-gas yang rumah kaca, yang terus bertambah di udara.
Gas rumah kaca ini meliputi CO2 atau karbondikosida, NH4 atau metana, serta NO
atau nitrogen oksida. Namun, ketiga gas ini ternyata dapat terlepas apabila suatu
produksi karbon terjadi, yang memicu senyawa dengan gas-gas lain.
Karbondioksida sendiri dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas,
serta penggundulan dan pembakaran hutan. Selain itu, karbondioksida juga
dikeluarkan oleh akumulasi emisi penggunaan kendaraan bermotor. Sedangkan gas
metana dihasilkan dari proses agrikultur dan ekskresi hewan ternak yang tidak
diolah dengan baik. Kemudian penyumbang terakhir akumulasi karbon, yakni
nitrogen oksida, dihasilkan oleh kegiatan pemupukan dan penggunaan CFC.
Akumulasi berlebihan gas-gas tersebut telah menghalangi pemantulan sinar infra
merah kembali ke luar bumi yang selanjutnya berarti telah menciptakan
pemanasan global. Pemanasan global ini kemudian menjadi semakin parah dalam
selama empat dekade terakhir ini.
Berbagai perdebatan kemudian muncul untuk menghasilkan instrumen
terbaik mengatasi permasalahan tersebut. Banyak negara kemudian mencoba

1
World Health Organization. 2008. Issues in Health, Environment, and Sustainable Development : An
Overview. Diunduh dari <http://www.who.int/mediacentre/events/IndicatorsChapter1.pdf> pada 8 Mei
2010

1
2

melakukan perdagangan karbon ataupun mencoba menciptakan teknologi baru. 2


Begitu pula dengan Swedia, negara ini sebelumnya lebih memilih menerapkan
aturan-aturan investasi ketat seperti syarat minimal sistem pengelolaan limbah.
Swedia seperti negara lain pun mencoba mencari alternatif teknologi lain, di
bidang industri dan otomotif, yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah juga
melakukan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor dan bahan bakar fosil
serta menerapkan aturan melarang penebangan hutan dan denda besar bagi
pelanggar aturan terkait lingkungan.
Dalam menangani perubahan iklim kemudian, hanya beberapa negara maju
seperti Jerman, Denmark, dan Swedia yang mulai menerapkan pajak karbon
dioksida dengan berbagai bentuk. Negara-negara maju lain terlihat enggan
menerapkan pajak karbon karena dikhawatirkan kebijakan tersebut akan semakin
menghambat laju pertumbuhan ekonomi. 3 Akan tetapi, Swedia pada era Göran
Persson, yang berasal dari Partai Sosialis Demokrat (PSD) kemudian justru berani
memperkenalkan penerapan pajak progresif karbon dioksida dalam bentuk green
tax system. Persson sendiri berasal dari Partai Sosialis Demokrat, yang secara
tradisional terkenal mendorong pertumbuhan ekonomi Swedia dengan
memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada.
Tentunya, terdapat alasan-alasan spesifik mengapa Göran Persson lebih
memilih penerapan pajak karbon dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Apalagi, penerapan pajak karbon ini dikenakan kepada seluruh level masyarakat;
dari industri dan pertambangan hingga masyarakat biasa yang menggunakan
kendaraan atau membuang sampah. Persson secara mengejutkan juga turut
meratifikasi European Environmental Tax Law and Policy, instrumen mengikat
Uni Eropa tentang petunjuk pemberlakuan pajak karbon. Dalam implemetasi green

2
CLGCC - University of Cambridge Programme for Sustainability Leadership. 2009. Copenhagen
Communiqué tentang Perubahan Iklim. Diunduh dari <http://www.cpi.cam.ac.uk/pdf/Copen
hagen%20Communique%20-%20Indonesian.pdf> pada 6 Mei 2010
3
N. Gregory Man. 2008. Smart Taxes: An Open Invitation to Join the Pigou Club. h.3
3

tax system, PSD merangkul beberapa partai koalisi untuk memastikannya berjalan.
Selain Left Party, ia juga merangkul Green Party dalam pemerintahannya; bahkan
hingga masa kedua pemerintahan. Kebijakan progresif ini tentu menimbulkan
pertanyaan penting, yakni bagaimana seorang perdana menteri dari partai pro-
ekonomi mau mengakomodasi kebutuhan preservasi lingkungan. Sebuah
kebijakan yang berpotensi mengurangi kemampuan ekonomi Swedia. Kebijakan
yang juga dapat memberatkan kalangan buruh, yang mana secara tradisional
merupakan pendukung Partai Sosialis Demokrat dan Left Party. Kemampuan
Persson menjadikan kebijakan ini efektif terimplementasi, tentu harus dicatat
sebagai manuver politik yang sangat lihai.

B. Rumusan Masalah
Skripsi ini akan melihat mengapa pajak karbon dioksida dipilih sebagai
kebijakan utama Swedia menghadapi isu perubahan iklim. Analisis komprehensif
terutama diarahkan pada masa kepemimpinan PM Göran Persson yang penuh
dinamika. Struktur, aktor, serta pembentukan isu politik selanjutnya akan menjadi
tinjauan sangat penting hingga kebijakan ini dapat dipilih.

C. Kerangka Konseptual
Kondisi politik Swedia pasca 1990 telah membuat partai yang ingin
berkuasa harus selalu berkoalisi. Dalam kaitannya dengan Partai Sosial Demokrat
(PSD), Persson sebagai pemimpin partai harus berupaya merebut kembali
kekuasaan. Kekalahan pada pemilu 1990 telah mengakhiri seratus tahun dominasi
PSD di perpolitikan Swedia. Hingga pada akhirnya, PSD memanfaatkan isu
lingkungan untuk berkoalisi dengan Left Party dan Green Party. Kebijakan pajak
karbon, yang kemudian diapresiasi rakyat dan dunia internasional, menjadi buah
keberhasilan koalisi ini.
4

Pertama, penting dilihat bagaimana sebuah sistem pajak menciptakan


sebuah stabilitas sosial politik di suatu negara. Kondisi tersebut tentu terkait erat
dengan ciri redistribusi –satu dari empat fungsi ideal perpajakan– dari pajak.
Distribusi pendapatan kemudian tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi,
termasuk permintaan dan penawaran. Dari sisi etika, maka pendistribusian kembali
pendapatan dari pihak kaya ke pihak miskin, yang dilihat sebagai suatu meknisme
trickle-down, adalah sangat baik. Pendistribusian ini akan menjadi benar hanya
jika mekanismenya diserahkan pada pemerintah, bukan kepada pihak orang kaya.
Hal ini didasarkan pada beberapa alasan (Suparmoko, 1997) : (1) Seperti diusulkan
Adam Smith, bahwa pemerintah perlu campur tangan dalam bidang keadilan
karena distribusi penghasilan yang lebih merata itu sangat diperlukan dan
dipandang baik atas dasar keadilan. Pendistribusian kembali pendapatan itu
sebaiknya ditangani oleh pemerintah. Hal ini karena manusia secara perorangan
kurang tertarik untuk mengusahakan keadilan dan seringkali tidak mampu untuk
merealisasikan usaha tersebut; berhubung ia hanya merupakan bagian kecil
masyarakat dan lebih suka melakukan free rider. (2) Bahwa dalam redistribusi
pendapatan terdapat unsur barang publik. Dalam hal ini, bukan redistribusi
pendapatan yang merupakan barang publik, namun akibat yang ditimbulkannya
mempunyai ciri sebagai barang publik. Adanya redistribusi pendapatan
menyebabkan golongan miskin mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi
serta sebagai akibatnya, tingkat kerusakan pada masyarakat dan kriminalitas akan
berkurang. (3) Alasan ketiga adalah alasan yang berhubungan dengan kekuatan
politik. Seringkali golongan kaya, walaupun jumlahnya tidak banyak, tetapi dapat
mempengaruhi jalannya politik di suatu negara. Oleh karena itu, untuk
menghindari adanya kemungkinan tersebut, pemerintah harus menciptakan suatu
distribusi pendapatan yang lebih merata. Dengan demikian, kebijakan pemerintah
tidak dikuasai atau dipengaruhi oleh kelompok yang berpendapatan tinggi. 4

4
Siti Khadijah H, NST (Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera
5

Paparan tersebut di atas berarti, pajak telah digunakan sebagai upaya untuk
mengatur alokasi pendapatan masyarakat. Dengan menarik pajak progresif, maka
pemerintah dapat mengalokasikan pendapatan pada upaya-upaya investasi yang
dapat dinikmati banyak orang. Dengan tersedianya banyak investasi, maka akan
timbul lapangan kerja yang lebih luas. Sehingga secara tidak langsung pemerintah
telah melakukan realokasi dan redistribusi pendapatan. Pada akhirnya, adanya
penarikan pajak secara tidak langsung telah membuka peluang bagi kemakmuran
masyarakat serta menjaga stabilitas dengan penciptaan lapangan kerja; suatu ciri
utama dari sebuah welfare state.
Analisis kemudian diarahkan pada bentuk koalisi ini, mengukur seberapa
kuat koalisi yang dibangun oleh PSD dengan memanfaatkan isu lingkungan. Partai
Sosial Demokrat sendiri sejak dulu berkeras menerapkan pajak progresif untuk
segala hal, dari pendapatan hingga tanah. Hal ini tentu sehubungan dengan cita-
cita PSD menjadikan Swedia sebagai welfare state 5 . Di sisi lain, Green Party
merupakan partai yang ingin memperketat standar preservasi lingkungan di
Swedia, tanpa memperdulikan status sosial masyarakat. Di sisi berikutnya, Left
Party merupakan representasi kalangan sosialis Swedia untuk menjadikan negara
ini mengimplementasikan sosialisme murni, menghapus kepemilikan privat.
Dengan menerapkan green tax system, Persson sebenarnya harus menerapkan
pajak lebih tinggi pada kalangan buruh, pihak yang selama ini menjadi basis
dukungan PSD. Pajak karbon ini sendiri diusulkan oleh Green Party; untuk
diterapkan pada sektor industri, pertanian dan peternakan, penggunaan kendaraan
bermotor, hingga rumah tangga. Peningkatan pajak pada sektor-sektor ini tentu
secara tidak langsung mengurangi daya beli masyarakat terkait rasio pendapatan

Utara). 2002. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Produk Pertanian dan Dampaknya. h.3-4
5
Sistem yang dianut Swedia sering disebut sebagai Swedish welfare state, varian dari welfare
state yang dikembangkan oleh negara-negara Skandinavia. Karakter utama negara dengan sistem
ini adalah upaya memperbesar kelas menengah, pemerintah tidak mengendalikan sistem produksi
tetapi mengenakan pajak untuk memeratakan kemakmuran, serta memastikan industri memiliki
setting padat karya. (Johan Norberg. 2006. Swedish Models. h.2)
6

maupun harga barang produksi. Hal ini berarti pula bahwa PSD harus melunakkan
sikapnya memacu ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan. Selain itu, PSD
harus mengurangi keinginan Left Party untuk membawa negara menganut
sosialisme penuh hal tersebut akan menjauhkan Swedia dari prinsip Uni Eropa.
Namun ternyata, Persson mampu mengakomodasi semua kepentingan melalui
kebijakan green tax, yakni penerapan pajak karbon progresif. Seperti dikatakan
oleh Carter Neil (2007), pembentukan sebuah rezim yang mengatur tentang
lingkungan harus mampu mengakomodasi tuntutan semua pihak. Hal ini terutama
diperlukan saat sensitivitas isu lingkungan membenturkan kepentingan industri,
masyarakat yang memiliki tuntutan, serta aktivis atau kelompok pro lingkungan
berpengaruh.
Sehingga kemudian, Teori Pembentukan Koalisi 6 akan digunakan untuk
melihat lebih dalam bagaimana Persson berusaha dan berhasil mengakomodasi
semua kepentingan. Akomodasi kepentingan melalui kebijakan pajak karbon ini
pula yang menjadikan koalisi mampu bertahan hingga skandal Tsunami Samudera
Hindia mengurangi secara drastis popularitas PSD. Distribution of resources,
payoff for each coalition, non-utilitarian strategy preferences, the effective
decision point, dan a minimal winning coalition; akan digunakan untuk melihat
tindakan Göran Persson mencoba mengakomodasi kepentingan semua pihak demi
koalisi.
Pertama, distribution of resources dan payoff for each coalition merupakan
analisis yang tidak dapat dipisahkan. Kedua analisis ini secara bersama-sama akan
memperlihatkan kompensasi apa yang diberikan dan diterima suatu partai dari
kebijakan green tax system. Konsesi terlebih harus diberikan oleh PSD kepada dua
anggota koalisis lainnya karena partai ini memiliki kekuatan di parlemen, lebih
besar daripada kekuatan gabungan kedua anggota lainnya. The effective decision
point selanjutnya membuat kebijakan Persson ini akan terus bertahan. Kebijakan

6
William A. Gamson. 2008. A Theory of Coalition Formation. h.373-382
7

green tax system yang sedikit bertentangan dengan pola tradisional PSD,
menimbulkan kekhawatiran pada koalisi bahwa ia akan mengupayakan seminimal
mungkin penerapan ketat kebijakan. Namun beruntung, dua partai koalisi lain
memiliki kartu truf terkait komposisi partai dalam parlemen Swedia. Apabila
kedua partai ini keluar, maka PSD akan kehilangan kursi mayoritas, dan untuk
pertama kalinya sejak seratus tahun melepas kursi perdana menteri.
Terakhir, a minimal winning coalition terjadi secara otomatis terhadap
struktur koalisi Merah-Hijau. Terutama, struktur koalisi di parlemen Swedia
menjadikan PSD mampu mengendalikan partai-partai kecil lainnya. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, koalisi ini memiliki lawan kuat dari pihak Aliansi Swedia;
yang mana memiliki ideologi cukup kontras antara satu dengan lainnya. Dengan
mencoba defect pada kebijakan green tax system ini, maka suatu partai akan
menghadapi kerugian berupa isolasi parlemen. Hal ini mengingat dua koalisi partai
memiliki pandangan berseberangan sehingga saat satu pihak keluar dari koalisinya,
maka ia menjadi berhadapan dengan dua koalisi besar sekaligus.
Selain teori utama tersebut di atas, perlu diperjelas pula konsep public
awareness dan national issues, yang ternyata dapat mempengaruhi persepsi politik.
Pemikiran Martha Finnemore tentang norm cascade kemudian akan membantu
memberikan penjelasan bagaimana sebuah isu dapat menjadi topik penting dalam
7
perpolitikan. Konsep tersebut akan memberikan bantuan analisis terhadap
perilaku partai-partai di Swedia. Kemunculan isu lingkungan di masa transisi PSD
menjadi titik kunci bagaimana green tax system mampu mengakomodasi
kepentingan semua partai koalisi. Indikator-indikator public awareness dan
national issues akan menunjukkan bagaimana pajak karbon yang lekat dengan isu
perubahan iklim dan preservasi lingkungan; memiliki kekuatan tersendiri di
perpolitikan Swedia, hingga Persson dapat mengeksploitasinya untuk
sustainability koalisi. Keberlanjutan bentuk koalisi ini juga dapat bertahan lama
7
Martha Finnemore & Kathryn Sikkink. 1998. International Norms and Political Change. h.887-
917
8

apabila mampu merespon dengan baik tuntutan dan isu-isu yang berkembang di
dalam masyarakat.
BAB II
GREEN-TAX SYSTEM DI SWEDIA

A. Penanganan Masalah Iklim


1. Tindakan Negara-Negara Maju
Tuntutan akan penanganan perubahan iklim yang semakin menyasar
kepentingan ekonomi negara, telah membuat pemerintah di berbagai negara
berusaha menjembataninya. Standar-standar penanganan lingkungan kemudian
menjadi salah satu syarat diizinkannya sebuah produk untuk digunakan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba menangani isu perubahan iklim
dengan mengadakan United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) setiap dua tahun. Konferensi internasional ini secara
continuously mengupayakan skema penanganan perubahan iklim yang lebih
efektif. Salah satu hasil terpenting UNFCCC adalah Protokol Kyoto, yang
mengatur standar maksimum pengeluaran karbon dengan
memperbandingkannya dengan luas hutan yang dimiliki. Efek dari mekanisme
ini adalah terbatasnya jumlah karbon yang dapat dikeluarkan oleh negara
industri dengan wilayah sedikit (baca : Jepang dan Eropa)8. Negara-negara maju
selanjutnya enggan memenuhi protokol berikutnya, yakni membeli kuota
karbon dari negara-negara berkembang yang biasanya memiliki hutan lebih
banyak. Protokol ini dirasa oleh banyak negara maju sebagai beban ekonomi,
tanpa dampak nyata mengurangi laju perubahan iklim. Apalagi, standar persepsi
korupsi dan perambahan hutan negara maju yang rendah, menjadikan banyak

8
Sesuai dengan Artikel 3, 7, dan 8 Protokol Kyoto, negara peserta terbagi dalam annex keanggotaan.
Setiap kelompok negara memiliki batasan emisi karbon yang harus dicapai dengan
mempertimbangkan luas wilayah penyerap emisi serta emisi yang selama ini dikeluarkan. Luas
wilayah penyerap ditambah dengan kemampuan reforestation memiliki perbandingan lurus dengan
level maksimum emisi karbon yang harus dipatuhi.

9
10

negara industri maju enggan mengalirkan uangnya pada negara-negara


berkembang9.
Sehingga kemudian, negara maju, terutama Eropa, berusaha
mengendalikan perubahan iklim melalui dua cara utama, yakni penemuan
teknologi ramah lingkungan dan pemberlakuan standar impor. Penemuan
teknologi ramah lingkungan mencakup pembangunan masif pembangkit listrik
tenaga turbin angin, pembatasan penjualan kendaraan bermotor, serta pelatihan
rancang bangun ramah lingkungan bagi para arsitek. Sedangkan standar impor
yang diberlakukan oleh Uni Eropa adalah dengan menolak semua produk
negara lain yang diindikasikan mengandung tindakan merusak lingkungan.
Produk-produk tersebut biasanya menyasar bahan-bahan ekstraksi, yang
digunakan sebagai bahan baku produksi10.

2. Kebijakan Negara-Negara Skandinavia


Negara-negara Skandinavia terkenal memiliki kebijakan berbeda
dibanding negara-negara Uni Eropa lainnya. Begitu pula pada kebijakan
penanganan perubahan iklim, Denmark, Swedia, dan Norwegia memilih
mekanisme pajak karbon sebagai upaya mengurangi pengeluaran karbon dan
metan, yang menjadi sumber masalah perubahan iklim. Ketiga negara ini
menafikan delapan efek buruk –merupakan istilah negara-negara maju lain yang
tidak setuju– pajak karbon. Delapan efek buruk yang didengungkan tersebut;
antara lain protes besar-besaran kalangan menengah dan bawah sebagai efek
kenaikan pajak, penerapannya yang sulit secara politik, serta sebagai
penghambat kemajuan ekonomi.
Skandinavia justru dengan mantap mengimplementasikan pajak karbon
di dalam negeri mereka. Ketiga negara ini bahkan tidak hanya menerapkan
9
John Vidal. 2010. United Nations Warned that Corruption is Undermining Grants to Stop Logging.
Diunduh dari <http://www.guardian.co.uk/environment/2010/jul/04/united-nations-corruption-logg
ing> pada 24 September 2010.
10
A World Growth Briefing. 2009. Environmental Protectionism: Forestry and Climate Change. h.2
11

pajak karbon untuk kalangan industri, tetapi juga kendaraan bermotor dan
pertanian. Pajak progresif diterapkan di tiap tingkat, yang menjamin tetap
berlangsungnya kegiatan ekonomi. Penerapan pajak karbon kemudian ternyata
tidak menjatuhkan pemerintahan, seperti yang diramalkan banyak pengamat,
tetapi justru memperkuatnya. Pajak karbon pun telah memicu negara-negara di
kawasan ini mencari energi alternatif berbasis komunal, bukan riset mahal skala
nasional. Swedia, Denmark, dan Norwegia juga tetap mempertahankan diri
sebagai sebuah welfare-state; yang mana negara berkewajiban memeratakan
kemakmuran. Skandinavia selanjutnya mengusulkan pembentukan EU
Environment Tax di tahun 1995, yang coba menerapkan instrumen pajak karbon
bagi seluruh negara Eropa. Copenhagen Communiqué pun disusun oleh
Denmark bersama banyak perusahaan besar dunia untuk lebih mempromosikan
penerapan pajak karbon. Skandinavia ingin menunjukkan bagaimana pajak
karbon merupakan jembatan antara kemakmuran ekonomi dan preservasi
lingkungan.

B. Penerapan Green-Tax System (GTS) di Swedia


1. Dasar Penerapan
Swedia mulai menerapkan pajak karbon sejak pengesahan CO2 Act di
akhir tahun 1991 dan pembentukan Green Tax Commission (Komisi) di tahun
1992. Pajak karbon ini tahun 1991 ini merupakan revolusi radikal dari berbagai
pajak lingkungan sebelumnya, yang dimotori oleh Koalisi Merah-Hijau. Komisi
selanjutnya memiliki masa tugas lima tahun; yang harus memastikan pajak
karbon diterapkan dengan baik tanpa mengurangi pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan pendapatan. Dua keyword terakhir merupakan ciri khas Swedia
sebagai sebuah welfare state yang (dirasa) harus tetap dipertahankan. Apalagi,
Koalisi Merah-Hijau yang dimotori oleh PSD berusaha mempertahankan sifat
12

sosialisme Swedia; sifat yang kehilangan popularitas di dunia internasional


akibat runtuhnya Uni Soviet 11.
Pajak karbon era 1991 di Swedia kemudian diarahkan untuk
membangun sektor perekonomian skala sedang dan menjamin kelas menengah
untuk dapat menikmati pertumbuhan ekonomi. Empat alasan mendasar
dikemukakan pemerintah berkuasa mengapa pajak perlu lebih menyasar para
emitor karbon, terutama sebagai skema redistribusi. Pertama, nominal pajak
karbon yang progresif memastikan kalangan industri membayar lebih besar
dibandingkan dengan wajib pajak. Akumulasi yang besar secara nasional
kemudian menjadi jaminan terjaganya lingkungan Swedia karena perusahaan
harus membayar dalam jumlah yang besar apabila tidak mengolah industrinya
secara pro lingkungan.
Kedua, fleksibiltas aturan lama membuat emitor karbon tidak serius
menangani isu perubahan iklim. Environment Law 1979 terbukti tidak mampu
mencegah terjadinya hujan asam di Swedia. Begitu juga aturan UE yang dilihat
Swedia sebagai “sulit secara politik” karena membutuhkan sinkronisasi
pemerintah dan industri; hal yang tidak perlu ada dalam skema Pajak Karbon
1991. Ketiga, prinsip keadilan dalam kehidupan Swedia terus dipegang
pemerintah, meski PSD sebagai motor penggerak koalisi tidak menguasai
mayoritas parlemen. Pemerintah berusaha tetap melaksanakan fungsi
redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi
yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Subsidi
maupun potongan pajak pada golongan tertentu menjadi ciri fungsi redistribusi
pajak di Swedia. Hal ini berguna untuk tetap menunjang legitimasi pemerintah
karena masyarakat Swedia telah sejak lama mengalami kemakmuran sebagai
efek sistem welfare state.

11
Justin Schwartz. 1991. A Future for Socialism in the USSR. h.1
13

Hal terakhir sebagai dasar penerapan yakni kekuatan pajak sebagai


instrumen pemasukan negara. Seperti negara lain, Swedia tentu membutuhkan
pendapatan besar untuk memastikan jalannya negara. Standar kehidupan yang
tinggi di Swedia, membuat pemerintah harus pula memiliki cukup uang untuk
menjaganya, seperti pembangunan infrastruktur. Berbagai perusahaan otomotif
dan elektronik besar Eropa, yang secara statistik juga menjadi emitor karbon
yang besar, menjadi sasaran pajak progresif ini. Pemerintah Swedia memang
kemudian mendapat perlawanan dari sektor industri, namun dapat mengatasinya
setelah mekanisme potongan pajak pun diberikan pada industri besar.

2. GTS dalam Bidang Pertambangan dan Industri


Rezim pajak karbon baru di Swedia mengenakan pajak sebesar $ 100
per ton karbon yang dikeluarkan oleh sektor industri. Sektor industri yang
terkena tarif pajak ini mencakup seluruh usaha dengan penggunaan minyak,
batubara, gas alam, bahan bakar gas cair, bensin, atau bahan bakar penerbangan.
Sedangkan kalangan industri yang menggunakan bahan bakar organik, seperti
ethanol, metana, biofueles, atau gambut, dibebaskan dari pajak. Hal ini
disebabkan karena bahan bakar organik mengeluarkan kurang dari 0.25 SEK/kg
–satuan untuk mengukur banyaknya kadar karbon di tiap kilogram emisi. 12
Namun pengenaan pajak tersebut di atas baru diterapkan secara penuh
pada masa kerja Green Tax Commision yang kedua. Kebijakan ini diambil
karena pemerintah ingin melihat terlebih dahulu efek pengenaan poajak
terhadap kinerja perusahaan, yang berpengaruh pada grafik pertumbuhan
ekonomi Swedia. Oleh karena itu, sejak 1991 hingga 1996, industri hanya
diharuskan membayar 50% dari pajak yang seharusnya. Walau begitu, protes
besar-besaran kalangan industri terjadi pada tahun tahun 1993 yang membuat
tingkat pajak untuk beberapa industri diturunkan menjadi hanya 25%. Industri

12
Runar Brännlund & Bengt Kriström. Energy and Environmental Taxation in Sweden: Some
Experience from the Swedish Green Tax Commission. h.5
14

yang mendapat pengurangan tarif pajak tersebut mencakup hortikultura


komersial, pertambangan, manufaktur, serta industri pulp dan kertas.
Pemerintah juga menetapkan saat itu juga bahwa khusus industri pertambangan,
level tarif pajak akan secara penuh dikenakan pada tahun 1997. Namun
ternyata, pemerintah menerima usulan Green Tax Commission untuk
menambah 25% tarif pajak, dibanding aturan awal, karena kalangan industri
tambang ternyata menghasilkan lebih dari 0,365 SEK/kg karbon13.

3. GTS dalam Sektor Household


Bagian terbesar dari konsumsi energi di sektor rumah tangga Swedia
adalah konsumsi transportasi dan pemanas ruangan. Selanjutnya, 10% karbon
14
yang dikeluarkan oleh masyarakat Swedia berasal emisi transportasi.
Sehingga kemudian, pemerintah mau tidak mau –akibat konsesi dengan Partai
Hijau– harus juga menerapkan pajak karbon pada sektor ini. Di sektor tersebut
pula, perdebatan kedua tentang pajak karbon berpusat. Oposisi menganggap
apabila pajak karbon diterapkan pada keperluan hidup sehari-hari, maka
masyarakat akan semakin dibebani pajak yang tinggi.
Pemerintah kemudian mengambil jalan tengah dengan asumsi bahwa
pajak progresif telah memastikan setiap kelas masyarakat mendapat pajak yang
tepat. Perilaku rumah tangga telah dianalisis pemerintah melalui sistem fungsi
permintaan barang publik, terutama terkait pemanas ruangan dan kendaraan
bermotor. Pajak karbon selanjutnya memberikan dua opsi kepada masyarakat
terkait kebutuhan hidup sehari-hari ini. Pertama, masyarakat tetap diizinkan
membeli pemanas ruangan dan kendaraan baru, namun mendapat pembatasan
membeli bahan bakar apabila tidak membayar pajak karbon sebagai bagian dari

13
Bengt Johansson & Swedish Environmental Protection Agency. 1998. Economic Instruments in
Practice 1: Carbon Tax in Sweden. h.4
14
International Transport Forum. 2010. Key Transport and Greenhouse Gas Indicators: Information
by Country. Diunduh dari <http://www.internationaltransportforum.org/jtrc/environment/CO2/Sweden
CO2.pdf> pada 8 Oktober 2010.
15

pertambahan nilai. Pilihan kedua, masyarakat tetap menggunakan peralatan


lama, yang kadang kurang efisien dalam pengolahan energi, dan tetap
diperbolehkan membeli bahan bakar tanpa batas; namun dikenai pajak berdasar
agregat total karbon yang dikeluarkan.
Dua skema pajak di atas ternyata tetap menghasilkan elastisitas minus,
yang berarti bahwa masyarakat mengalami pengurangan kapital akibat pajak
karbon ini. Kondisi ini pun telah memunculkan tantangan oposisi untuk
merubah skema pajak karbon di tahun 1995. Akan tetapi, pemerintah ternyata
tetap berpegang pada kebijakan ini dan menyediakan lebih banyak jenis
transportasi umum agar pengeluaran energi rumah tangga pun berkurang. Hal
inilah yang kemudian membuat pajak karbon tidak mendapatkan perlawanan
berarti dari masyarakat karena meski pajak karbon membuat pengeluaran rumah
tangga mereka meningkat, pemerintah berusaha mengurangi beban pengeluaran
di sektor lainnya.

4. GTS dalam Small and Medium Enterprises (SMEs)


GTS menyasar pula kalangan SMEs, dengan promosi pemerintah bahwa
kebijakan ini diterapkan sebagai instrumen untuk dapat meningkatkan efisiensi
energi. Kalangan SMEs di Swedia dihadapkan dengan pajak karbon yang jauh
lebih rendah dibanding kelompok industri besar, yakni sekitar 21 Euro/ton CO2
serta pajak listrik sebesar 0,55 Euro/MWh. Namun, kalangan SMEs diwajibkan
untuk membeli sertifikat listrik sesuai dengan proporsi penggunaan mereka.
Kondisi ini dianggap juga olah masyarakat sebagai kuota penggunaan listrik
(SEA, 2007).
Kebijakan pajak karbon juga secara eksplisit mewajibkan seluruh SMEs
untuk memiliki sertifikat sistem kelistrikan (ECS). Selain untuk mencegah
manipulasi sistem oleh perusahaan besar, ECS dimaksudkan sebagai instrumen
pendukung untuk meningkatkan listrik hemat biaya produksi pribadi dari
16

sumber yang terbarukan. Sertifikat ini selanjutnya dapat dijual kepada pihak
lain apabila produksi energi masih tersisa. Program ini dimulai pada Desember
2005 dan akan berlangsung selama lima tahun pertama, untuk diperpanjang
kemudian di setiap periode. Di akhir periode pertama, SMEs yang mengikuti
program ini dan memenuhi kualifikasi Green Tax Commission akan menerima
pengembalian 100% dari pajak listrik yang harus dibayar.

5. Perkembangan Isu GTS


Isu utama yang muncul sepanjang penerapan GTS adalah pertanyaan
mengenai sektor mana saja yang dikenai pajak karbon. Apabila hanya
diterapkan pada industri besar, maka GTS dipertanyakan sebagai sebuah
kebijakan yang memihak salah satu kelompok. Namun, GTS akan menimbulkan
protes lebih luas apabila penerapannya dikenakan pada lebih banyak kelompok,
terutama kelas menengah. Apalagi, pajak karbon berkemungkinan mengurangi
posisi kompetitif produsen Swedia di pasar dunia akibat biaya produksi tinggi.
Pada akhirnya kemudian, pemerintah memasukkan instrumen kompensasi
dalam pajak karbon, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tentunya,
kompensasi ini untuk menutup kekurangan kebijakan GTS dengan
memperlihatkan kebaikan atau kebijakan positif di sektor lain.
Green-tax system ternyata membawa berbagai dilema, khususnya bagi
PSD yang ingin terus berkuasa. Masyarakat Swedia dalam perkembangannya,
terbukti mengalami efek ekuitas negatif dari pajak karbon. Ekuitas yang
dimaksud merupakan dampak ekonomi dari pajak karbon pada seluruh rumah
tangga karena kebutuhan mendasar sehari-hari pun terkena tarif pajak. Secara
makro, ekuitas tersebut mengurangi pertumbuhan ekonomi Swedia sebesar
0.6%. Pengeluaran rumah tangga untuk kegiatan harian seperti pemanas
ruangan dan kendaraan bermotor bertambah seiring dengan dikenakannya pajak
pada kedua hal itu. Belum lagi, GTS turut pula menaikkan harga bahan bakar
17

fosil, yang menjadi bahan energi dua kebutuhan tersebut. Sehingga secara
langsung maupun tidak langsung, GTS akan menekan kondisi perekonomian
rumah tangga kelas menengah dan bawah. Himbauan pemerintah untuk
mengubah energi fosil menjadi terbarukan tentu bukanlah hal yang mudah bagi
rumah tangga biasa.
Kebijakan pajak karbon juga membutuhkan kompensasi karena sektor
pertambangan dan industri, yang paling besar dikenai pajak, serta manufaktur
bersiap mengalihkan dukungan pada partai lain. Pemerintah harus bekerja keras
untuk membuktikan bahwa GTS benar-benar kebijakan berbasis riset yang
dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah juga harus membuat sektor
pertambangan, industri, dan manufaktur tetap mampu berproduksi karena inilah
sumber pendapatan Swedia.
Seperti dipaparkan sebelumnya, insentif pemerintah terlihat diberikan
pada pihak-pihak yang mampu mematuhi standar emisi. Insentif dimaksud
mencakup pemberian subsidi di sektor pengeluaran lain, pemotongan pajak,
maupun pengembalian pajak. Hal tersebut selanjutnya membuat kalangan
domestik tidak mempermasalahkan GTS. Masyarakat bahkan mendukung
berkembangnya kebijakan ini karena pengeluaran pajak tertutupi oleh
berkurangnya pengeluaran di sektor lain. Kembali, hal ini seiring dengan sifat
redistribusi pajak, yakni mengembalikan pendapatan pemerintah untuk
pelayanan publik, yang selalu dipegang pemerintahan Swedia.
BAB III
KONSTELASI POLITIK DI SWEDIA

A. Platform Partai Politik di Swedia


1. Partai Sosial Demokrat (PSD)
Partai Sosial Demokrat merupakan partai politik tertua dan terbesar di
Swedia. Partai ini didirikan pada tahun 1889 hingga mengalami perpecahan
faksi di tahun 1917, menghasilkan Left Party yang masih berideologi sama.
Partai Sosial Demokrat menjadikan revisionisme Marxis sebagai pijakan utama,
yakni pengabungan ideologi sosialisme dengan demokrasi sosial. PSD menjadi
pendukung utama kebijakan penyediaan kesejahteraan sosial yang berasal dari
pajak progresif. Pandangan revisionisme juga membuat partai ini mendukung
ekonomi korporatis sosial, yang menciptakan jembatan sistem kemitraan sosial
antara modal dengan kepentingan tenaga kerja. Selain ide dasar di bidang
ekonomi tersebut, PSD juga menjadi pendukung kuat feminisme serta menolak
tindakan diskriminasi dan rasisme.
Pada era 1890-an, PSD dibentuk sebagai efek emansipasi kelas oleh
gerakan rakyat petani dan organisasi pekerja yang menembus struktur negara
dan membuka jalan bagi pemilu. Kedudukan raja yang melambangkan
kapitalisme akhirnya dapat dipertahankan setelah PSD sendiri mengalami
perpecahan akibat krisis internal partai di tahun 1917. partai ini Partai ini
mendapat tempat signifikan di dalam politik Swedia setelah mampu mengatasi
depresi besar 1929 serta resesi ekonomi akibat Perang Dunia II. Kebijakan
ekonomi PSD kemudian didefiniskan sebagai pengumpulan kapital untuk
pembangunan negara dan mengelolanya secara demokratis, dengan
mempertahankan jumlah dan kekuatan kelas menengahs ebagai basis ekonomi.
Sehingga kemudian memang, basis pendukung PSD adalah para pekerja
industri, petani, buruh, SMEs, dan kalangan intelektual. Pada masa berkuasa,

18
19

PSD mencoba menciptakan kesetaraan ekonomi dan hak-hak politik, dengan


peningkatan kemakmuran kelas menengah.
Masih di bidang ekonomi, platform Partai Sosial Demokrat mencakup
perpajakan progresif, perdagangan yang adil, serta rendahnya pengangguran.
Untuk mencapai hal tersebut, sistem pengupahan terpusat diberlakukan yang
bertujuan memastikan efisiensi bisni tetap berjalan tanpa merugikan para
pekerja. Kegiatan tawar-menawar kemudian dilakukan dengan penghitungan
bisnis secara mendalam sehingga hasil yang didapat sesuai dengan kenyataan
proses produksi. Kebijakan yang dirintis sejak akhir Depresi Besar
tersebutmemperlihatkan hasilnya di era 1980-an. Pada era ini, Swedia
menempatkan diri sebagai salah satu negara terkaya di dunia, baik secara makro
ataupun mikro. Era 1980-an juga menjadi catatan khusus karena Uni Eropa
mulai memperhatikan layanan publik Swedia yang mampu menjangkau seluruh
masyarakat. Liberalisme ekonomi yang dipelopori oleh Inggris dan Amerika
Serikat turut pula dirasakan; namun tanpa menghilangkan kebijakan sosialisme
Swedia, yang dalam beberapa sisi masih mengenakan kontrol di beberapa
bidang. Lagi-lagi, kontrol yang dipakai oleh pemerintahan PSD adalah pajak
progresif dan sistem insentif untuk menjamin stabilitas pengeluaran publik.
Sedangkan di bidang politik luar negeri, PSD memastikan Swedia
berada di pihak netral. Hal ini turut mendorong keberhasilan Swedia menjadi
sebuah welfare-state, yang menggabungkan ide sosialisme dengan kapitalisme.
Netralitas ini pula yang membuat Swedia tetap diterima oleh AS dan Uni Eropa
sebagai sekutu meski berpaham sosialis. Bahkan ketika model Rehn-Meidner
diperkenalkan di akkhir 1980-an, Swedia kukuh untuk melaksanakan sosialisme
meskipun hal tersebut menghambat negara ini bergabung dalam blok Uni Eropa.
Model Rehn-Meidner merupakan proposal bagi pemerintah dari kalangan
industri untuk merevisi aturan pajak agar industri dapat lebih kompetitif di pasar
Eropa.
20

Tak dapat dipungkiri kemudian, krisis ideologi menghantam Swedia


pada awal 1990-an. Kejatuhan Uni Soviet dan negara komunis lainnya
menimbulkan guncangan bagi PSD dan perpolitikan Swedia. Di saat yang
bersamaan, desakan kelompok industri dan pemilik modal semakin meningkat,
yakni paksaan agar pemerintah lebih melepaskan kontrol pada perekonomian.
Terkait perubahan paradigma ideologi tersebut, Partai Sosialis Demokrat (PSD)
ternyata juga harus kehilangan kekuasaan mayoritasnya pada pemilu tahun 1992.
Seperti diketahui, partai yang telah memegang kekuasaan selama seratus tahun
sebelumnya ini berhaluan sosialis. PSD bahkan menjadi anggota Partai
International untuk Sosialisme (SIMAK). Sehingga meski masih berhasil
menjadi pemenang pemilu, PSD terpaksa harus berkoalisi dengan parta-partai
lain untuk mampou membentuk pemerintahan. PSD dituntut untuk mampu
mengelola hubungan dengan partai lain apabila tetap ingin berkuasa. Tentunya,
kecenderungan bagi partai yang telah berkuasa lama, mereka tidak begitu saja
membiarkan kelompok lain menjadi partai pemerintah. Apalagi, pemilu 1992
ini juga menciptakan kondisi politik baru di Swedia yakni ketidakmampuan
sebuah partai untuk menjadi mayoritas mutlak. Baik partai pemenang yang
ingin menjadi pemerintah ataupun oposisi, harus menggandeng partai kecil lain
untuk lebih mampu bersuara di dalam parlemen.
Kekalahan PSD ini kemudian dijawab oleh Goran Persson, pemimpin
baru partai, dengan menghangatkan kembali ide-ide pajak progresif demi
kesejahteraan sosial. Slogan-slogan kemakmuran Swedia dengan sistem ini
kembali diperkenalkan. Hingga pada akhirnya, PSD mampu terus meningkatkan
perolehan suara partai hingga kekalahannya di tahun 2006 akibat skandal dana
bantuan. Keberhasilan PSD ini pun tercatat sebagai efek bertahannya Swedia
sebagai sebuah negara maju dan makmur dengan ketimpangan ekonomi yang
sangat rendah.
21

2. Left Party
Left Party telah menjadi pemain dalam politik Swedia sejak ia didirkan
pada tahun 1917 dalam semangat revolusi Rusia. Kerusuhan banyak terjadi
dalam kota, antara buruh-militer dengan birokrat-aristrokrat. Kerusuhan
akhirnya dapat selesai di tahun 1919 saat liga pemuda partai ini mengambil alih
kepengurusan. Walau begitu, partai ini konsisten dengan ide sosialismenya,
menentang segala kepemilikan privat yang berlebihan serta menghendaki
adanya kesetaraan dalam politik. Hal ini dikarenakan, kalangan buruh tetap
menjadi elemen penting dalam partai ini, yang selalu menginginkan perbaikan
kondisi hidup. Pada era 1980-an, Left Party secara konsisten menolak
privatisasi, suatu hal yang banyak terjadi di negara-negara barat pada masa itu.
Partai ini juga menentang keanggotaan Uni Eropa karena dianggap mengurangi
independensi negara untuk mengatur dirinya. Partai ini juga menentang
pembangunan PLTN di Swedia, juga menuntut pemerintah berkuasa untuk
meningkatkan belanja publik demi kesejahteraan rakyat.
Krisis partai kemudian dimulai pada akhir 1980-an seiring dengan
lunturnya ide komunisme di Uni Soviet. Perpecahan internal mulai terjadi,
antara golongan komunis konservatif dengan sosialis demokrat. Kalangan
sosialis demokrat memandang bahwa Left Party harus menggeser ideologinya
jika tidak ingin kehilangan kursi di Parlemen. Belum lagi, serangan eksternal
pada ideologi komunis dan sosialis membuat citra partai ini terus berkurang.
Sebagai efek krisis ini, Left Party hanya mendapatkan 6.2% suara rakyat, turun
drastis dari periode sebelumnya yang mencapai 12%. Namun seiring
bergabungnya partai ini dalam koalisi pemerintah, suara yang didapatkan
kembali merangkak naik dan mampu kembali ke level 12% pada tahun 1998.
Selama krisis terjadi, gejolak telah membuat partai ini bergerak ke kanan.
Isu-isu yang diperjuangkan tidak lagi berupa kontrol negara atas seluruh bidang
kehidupan, suatu hal yang cukup usang dalam konstelasi global. Sejak
22

bergabung dengan Koalisi Merah-Hijau di tahun 1991, Left Party memfokuskan


dirinya pada isu feminisme, pemerataan kesejahteraan, serta pendidikan bagi
semua orang. Ideologi ini sekaligus menjadi jembatan bagi ide-ide sosialisme,
yang memperhatikan kemakmuran mikro suatu negara, dengan keberhasilan
kapitalisme, yang lebih fokus pada peningkatan kemakmuran.

3. Green Party
Green Party merupakan sebuah partai politik yang didirikan pada tahun
1981 sebagai tindak lanjut adanya gerakan menentang tenaga nuklir dalam
referendum 1980. Partai ini memenangkan kursi di Parlemen untuk pertama
kalinya di tahun 1988, namun gagal lulus ambang batas 4%. Pasca revolusi
politik Swedia di awal 1990, Green Party berhasil mendapatkan suara sekitar
5% dan terus bertambah pada pemilu di tahun –tahun berikutnya. Saat ini, basis
utama pendukung partai berasal dari kalangan anak muda, perempuan, pekerja
perkotaan, dan masyarakat berpendidikan tinggi. Green Party memfokuskan diri
pada perlindungan binatang, alam, dan sistem ekologi bagi generasi di masa
yang akan datang. Partai ini cenderung imparsial, dengan keberpihakan pada
partai yang mendukung ide-ide pro lingkungan, baik di level Swedia maupun
Uni Eropa.
Di dalam negeri Swedia sendiri, Green Party mengangkat penghapusan
pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai isu utama. Isu ini menimbulkan
kontroversi karena kalangan industri Swedia sangat bergantung pada
pembangkit listrik ini sebagai sumber energi yang murah. Green Party
kemudian turut serta dalam Koalisi Merah Hijau setelah bersepakat bahwa
pemerintah akan mendukung reformasi pajak terkait lingkungan. Green Party
kemudian mengusulkan suatu instrumen pajak tinggi yang akan memaksa
masyarakat menggunakan teknologi ramah lingkungan. Selain itu, partai ini
juga mengusulkan suatu pajak atau sanksi tegas bagi industri yang tidak
23

memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kegiatan


produksinya. Hal ini diharapkan akan mengubah perilaku masyarakat Swedia
untuk bisa lebih menghargai lingkungan.
Sebagai partai pertama di Swedia yang mengadvokasi pelestarian
lingkungan, Green Party tergolong ketat dalam memilih partnernya. Partai ini
telah terbiasa menjadi pihak independen sehingga cenderung tidak peduli
apabila koalisi yang ditawarkan tidak memberikan paltform yang jelas. Green
Party kemudian memastikan diri akan mendukung Partai Sosial Demokrat
(PSD) hingga tahun 2030, proyeksi saat Swedia akan menghapuskan seluruh
instalasi nuklirnya. Memang, kekalahan Merah-Hijau di tahun 2006 sedikit
menghambat upaya tersebut; namun Green Party tetap setia karena Alliance for
Sweden justru menambah proyek PLTN serta mengurangi pajak bagi industri
dan sektor tambang. Sebagai oposisi kemudian, Green Party mencoba
menambah ideologi partainya dengan mendiversifikasi isu menjadi tidak hanya
soal lingkungan, tetapi juga masalah imigrasi, integritas pemerintahan, dan
kewirausahaan.

4. Partai Moderat
Partai Moderat merupakan partai yang memusatkan diri untuk
memperjuangkan hak politik liberal konservatif di Swedia. Partai ini didirikan
pada tahun 1904 oleh kelompok konservatif di parlemen Swedia, yang sempat
mengalami dua kali pergantian nama, yakni National Organization of the Right
(1938-1952) dan Partai Kanan (1952-1969). Meski kadang mengalami
pergeseran, partai ini menyatakan bahwa ideologi mereka berpusat pada
campuran liberalisme dan konservatisme, yang kemudian disebut konservatisme
liberal. Istilah liberalisme di Swedia -dan kebanyakan negara Eropa- tidak
diartikan sebagai progresif, seperti digunakan di Amerika Serikat, tetapi lebih
dekat dengan arti tradisional liberalisme klasik.
24

Partai Moderat mendukung adanya pasar bebas dan kebebasan pribadi;


dan secara historis menjadi pendukung utama bagi kebijakan privatisasi,
deregulasi, pemotongan pajak, dan pengurangan tingkat pengeluaran sektor
publik. Selain itu, partai ini juga mendukung peraturan tegas terhadap kejahatan,
mempromosikan nilai-nilai kerja keras, serta peningkatan kualitas pendidikan.
Partai moderat juga menjadi poros utama kampanye keanggotaan Swedia dalam
Euro, yang ternyata ditolak rakyat melalui referendum.

5. Partai Kristen Demokrat (PKD)


Partai Kristen Demokrat didirikan pada tahun 1964, tetapi tidak
memasuki parlemen hingga tahun 1985, dengan suatu bentuk aliansi bersama
Centre Party. Empat fokus utama partai ini meliputi peningkatkan perawatan
lansia, perlindungan anak, pelonggaran aturan perusahaan bagi pekerja
berkeluarga, serta penurunan pajak untuk mendorong pertumbuhan dan
memberantas pengangguran. Sebelum Green Party muncul, partai ini menjadi
motor utama pendukung kebijakan pro lingkungan. Partai Kristen Demokrat
belum mendapatkan tempat berarti di perpolitikan Swedia hingga akhir 1980-an.
Setelah beberapa tokoh terkenal sayap kanan bergabung dalam partai ini
di tahun 1991, PKD mampu mendapatkan lebih dari 7% suara dalam pemilu
1993. Suara ini jauh lebih tinggi dibanding pemilu tahun 1981 yang hanya
memberikan 1.4% suara bagi PKD. Partai ini kemudian bergabung dengan
kalangan sayap kanan dalam koalisi Alliance for Sweden. Pada perkembangan
selanjutnya, partai ini berhasil memperoleh suara hingga 11% di tahun 1998,
kemudian tetap mempertahankan diri sebagai partai terbesar keempat di Swedia
pada tahun-tahun berikutnya.
25

6. Centre Party
Centre Party merupakan sebuah partai politik moderat di Swedia yang
hubungan dekat dengan kaum pedesaan, namun mendukung peningkatan hak-
hak petani. Partai ini juga mengusulkan desentralisasi otoritas pemerintah,
terutama yang menyangkut penanganan ekonomi. Selan itu, Centre Party diisi
oleh orang-orang konservatif, yang berusaha membatasi imigran asing dan
menentang naturalisasi berlebihan. Pada era 1990-an, partai ini menjadi yang
paling pesat perkembangannya di wilayah perkotaan. Centre Party di tahun
2000 juga tercatat sebagai partai politik terkaya di dunia dengan pemasukan
saham sebesar 1.8 milyar Euro dari kelompok koran Centertidningar AB15.

7. Partai Liberal
Partai Liberal Swedia merupakan pendukung liberalisme sosial dan
menjadi bagian dari Alliance for Sweden dan saat ini menjadi partai keempat
terbesar di Riksdag. Ideologi resmi partai ini disebut dengan liberalisme sosial,
yang diterjemahkan sebagai komitmen ideologis untuk suatu ekonomi
campuran, berbasis pasar dan program kesejahteraan sosial. Nama lain platform
partai ini adalah tanggung jawab sosial tanpa sosialisme. Partai ini merupakan
pecahan dari Partai Sosial Demokrat (PSD), yang berpisah sejak tahun 1921
akibat perbedaan tajam di bidang pengaturan ekonomi. Partai Liberal menolak
upaya PSD yang menuntut nasionalisasi perusahaan swasta. Sejak saat itu,
Partai Liberal menjadi salah satu pilar sayap kanan dan menjaga kepemilikan
modal tidak diganggu oleh pemerintah.
Partai Liberal juga mendukung pengetatan anggaran pemerintah dan
mengurangi pengeluaran publik yang tidak perlu. Partai ini dikenal berorientasi
kebijakan pada pandangan Amerika Serikat dan Inggris. Para pemimpin partai
ini juga vokal mempengaruhi masyarakat agar Swedia mau masuk ke dalam Uni

15
Absolute Astronomy. 2008. Centre Party (Sweden). Diunduh dari <http://www.absolute
astronomy.com/topics/ Centre_Party_%28Sweden%29> pada 5 Oktober 2010.
26

Eropa . Sehingga sampai saat ini, Partai Liberal dikenal sebagai partai paling
pro Eropa di perpolitikan Swedia. Namun kampanye 1993 dan 1995 tetap gagal
membuat masyarakat Swedia mau bergabung ke dalam Eropa, baik sistem
moneternya maupun Uni Eropa.

8. Partai-Partai Lainnya
Selain partai-partai tersebut di atas, beberapa partai lain mewarnai
konstelasi politik di Swedia. Partai-partai ini merupakan partai yang tidak
mencapai threshold 4% secara nasional, tetapi memiliki kursi di tingkat lokal.
Ideologi partai-partai kecil ini biasanya bersifat pragmatis, tergantung pada
keinginan masyarakat lokal di wilayah mereka. Kadangkala, partai-partai kecil
yang ada berfungsi juga sebagai kepanjangan tangan partai besar, agar lebih
terlihat dekat dengan masyarakat Swedia. Partai kecil yang cukup terkenal
antara lain Partai Feminis, Junilistan, dan Demokrat Swedia.

B. Koalisi Partai Politik di Swedia


1. Revolusi Politik di Swedia
Konstelasi politik Swedia mengalami perubahan drastis sejak Perang
Dingin berakhir. Kondisi ini tentunya terkait dengan konsep welfare state
Swedia yang memang cenderung sosialis. Walaupun mendukung kapitalisme,
Swedia masih memegang prinsip bahwa kesejahteraan yang merata adalah
tujuan utama negara, dan negara bertanggung jawab mewujudkan hal tersebut.
Seperti banyak negara lain di dunia kemudian, konsep sosialisme kehilangan
pendukung sesaat pasca runtuhnya Uni Soviet. Perpolitikan di berbagai negara
selanjutnya dipenuhi oleh ide-ide liberalisme dan kapitalisme. Dua pemikiran
ini dianggap sebagai pemenang Perang Dingin, sehingga harus diadopsi sebagai
ideologi negara yang ingin bergerak maju.
27

Terkait perubahan paradigma ideologi tersebut, Partai Sosialis Demokrat


(PSD) ternyata juga harus kehilangan kekuasaan mayoritasnya pada pemilu
tahun 1992. Seperti diketahui, partai yang telah memegang kekuasaan selama
seratus tahun sebelumnya ini berhaluan sosialis. PSD bahkan menjadi anggota
Partai International untuk Sosialisme (SIMAK). Sehingga pemerintahan yang
terbentuk kemudian, mengharuskan PSD sebagai pemenang mayoritas untuk
mau berkoalisi dengan parta-partai lain. PSD dituntut untuk mampu mengelola
hubungan dengan partai lain apabila tetap ingin berkuasa. Tentunya,
kecenderungan bagi partai yang telah berkuasa lama, mereka tidak begitu saja
membiarkan kelompok lain menjadi partai pemerintah. Selain itu, Pemilu 1992
ini juga menciptakan kondisi politik baru di Swedia yakni ketidakmampuan
sebuah partai untuk menjadi mayoritas mutlak. Baik partai pemenang yang
ingin menjadi pemerintah ataupun oposisi, harus menggandeng partai kecil lain
untuk lebih mampu bersuara di dalam parlemen.

2. Koalisi Merah-Hijau (Merah-Hijau)


Koalisi pemerintahan yang kemudian terbentuk memberi nama dirinya
Koalisi Merah-Hijau. Koalisi ini dipimpin oleh PSD sebagai partai pemenang
pertama, dengan anggota koalisi Left Party dan Green Party. Koalisi ini
mendapatkan namanya karena sifat sosialisme PSD dan Left Party yang
bersedia berkoalisi dengan Green Party. Koalisi Merah-Hijau menguasai
parlemen dengan 191 kursi, memastikan kemampuan meredam suara oposisi16.
Koalisi ini sendiri dinilai sebagai kesatuan aneh mengingat sifat ketiga partai
yang bertentangan satu sama lain.
Partai Sosial Demokrat sejak dulu berkeras menerapkan pajak progresif
untuk segala hal, dari pendapatan hingga tanah. Hal ini tentu sehubungan

16
Pascal Del Wit, Erol Kulahci, & Cédric Van De Walle. 2004. The Europarties Organisation and
Influence. h.315
28

dengan cita-cita PSD menjadikan Swedia sebagai welfare state17. Partai ini juga
sering memilih memacu pertumbuhan ekonomi dibanding memperhatikan
masalah lingkungan. Di sisi lain, Green Party merupakan partai yang ingin
memperketat standar preservasi lingkungan di Swedia, tanpa memperdulikan
status sosial masyarakat. Green Party beranggapan, seluruh level masyarakat
yang menghasilkan karbon harus mendapatkan pajak yang sesuai. Padahal,
pajak pada era kepemimpinan PSD ditujukan untuk meratakan pendapatan
masyarakat, sebagai subsidi silang dari kalangan atas pada kalangan menengah.
Kemudian berada di sisi berikutnya, Left Party merupakan representasi
kalangan sosialis Swedia untuk menjadikan negara ini mengimplementasikan
sosialisme murni, yang menghapus kepemilikan privat. Tentu hal ini sedikit
bertentangan dengan prinsip PSD yang mempertahankan kepemilikan privat.
Sistem welfare state Swedia pun tidak menempatkan negara sebagai penguasa
segala sumber daya, tetapi hanya sebagai pengatur dan pengarah, agar seluruh
rakyat mendapatkan kemakmuran. Perbedaan prinsip ketiga partai itulah yang
dilihat banyak pihak sebenarnya sulit untuk disatukan. Sehingga kemudian,
keberhasilan PSD sebagai pembentuk koalisi akan penting ditilik; guna
memberikan gambaran akan insentif dan sikap apa yang harus ada dalam suatu
koalisi.

3. Alliance for Sweden (AFS)


Koalisi oposisi terdiri dari Moderate Party, Centre Party, Liberal
People's Party, dan Christian Democrat. Koalisi ini ingin menerapkan sistem
liberalisme penuh di Swedia dan menggeser peran pemerintah untuk hanya

17
Sistem yang dianut Swedia sering disebut sebagai Swedish welfare state, varian dari welfare
state yang dikembangkan oleh negara-negara Skandinavia. Karakter utama negara dengan sistem
ini adalah upaya memperbesar kelas menengah, pemerintah tidak mengendalikan sistem produksi
tetapi mengenakan pajak untuk memeratakan kemakmuran, serta memastikan industri memiliki
setting padat karya. (Johan Norberg. 2006. Swedish Models. h.2)
29

sebagai watch dog. Kelompok ini juga sangat mendukung kebebasan


kepemilikian privat, hal yang menjadi antipati sebuah welfare state.
Salah satu conton kebijakan yang selalu diusulkan –dan tercapai pasca
kemenangan koalisi ini di tahun 2006– adalah pemotongan pajak bagi kalangan
pemilik industri berat dan ekstraksi tambang. Alliance for Sweden beranggapan
bahwa Swedia harus mengikuti tren ideologi yang ada, terutama pasca
masuknya negara ini ke Uni Eropa. Koalisi ini memandang bahwa sistem
welfare state Swedia harus direorientasi, mengingat kalangan pekerja Swedia
telah pula berkurang.
Alliance for Sweden kemudian mencoba menghapus banyak kebijakan
koalisi sebelumnya, sebagai upaya untuk semakin mengurangi pengaruh politik
PSD di Swedia. Koalisi ini mencabut larangan penggunaan nuklir sebagai
sumber energi listrik, yang pada masa sebelumnya dipandang menimbulkan
kerusakan lingkungan besar. Koalisi ini juga menghilangkan pajak pembelian
barang dan apartemen mewah, yang dulu digunakan sebagai subsidi silang bagi
kalangan menengah Swedia.

C. Hubungan Antarkoalisi
Hubungan kedua koalisi ini selalu diwarnai oleh rivalitas satu sama lain.
Masing-masing koalisi berusaha mengegolkan atau menjegal koalisi lain. Hal ini
tentu berhubungan dengan latar belakang koalisi yang memang sangat berbeda
satu sama lain. Kedua koalisi mencoba memanfaatkan segala celah untuk berusaha
mengalahkan partai lainnya. Pertentangan ini muncul sejak pemilu 1992, dengan
kondisi seperti telah dipaparkan sebelumnya. Beragam kebijakan Koalisi Merah-
Hijau sering coba dijegal oleh koalisi lain; yang beruntung karena dalam sistem
parlementer Swedia, koalisi pemerintah hanya membutuhkan mayoritas tipis untuk
mengesahkan sebuah kebijakan. Alliance for Sweden akhirnya berhasil mengambil
30

alih pemerintahan pada tahun 2004, setelah Koalisi Merah-Hijau diwarnai banyak
skandal terkait Tsunami Hindia.
Sehubungan dengan pajak karbon, kebijakan ini ternyata telah
menimbulkan pertentangan antar koalisi semakin besar. Instrumen yang berkutat
pada penerapan pajak tinggi ini banyak ditentang koalisi oposisi. Hal ini terlihat
nyata saat Alliance for Sweden berhasil mengambil alih pemerintahan. Koalisi ini
langsung menurunkan tingkat pajak karbon secara drastis serta secara terang-
terangan ingin menghapus warisan welfare state a la PSD. Alliance for Sweden
pun selalu berusaha mengurangi subsidi pemerintah untuk pembelian rumah
sederhana serta dana sosial pensiun dan pengangguran 18 . Mereka beranggapan,
tidak seharusnya negara, apalagi pemilik uang dan pekerjaan menanggung
pengeluaran tersebut. Terlebih, golongan yang disubsidi ini semakin membesar
karena masuknya imigran serta pemberian suaka. Pastinya, saat subsidi dan
kepedulian negara dihilangkan, maka berakhir pula sistem welfare state Swedia
yang dirasa banyak pihak sebagai sebuah sistem negara terbaik. Kembali, pada
titik inilah pertentangan kedua partai sebenarnya muncul, yakni seberapa jauh
negara harus berperan menciptakan kesetaraan kemakmuran rakyat.

18
Regeringsansliet. 2009. A Sustainable Energy and Climate Policy for the Environment,
Competitiveness and Long-term Stability. h.1
BAB IV
GREEN-TAX SYSTEM SEBAGAI KUNCI KOALISI

A. Kekuatan Isu Lingkungan


Isu lingkungan menjadi topik penting perpolitikan Swedia, yang
berkembang dari sebuah norm menjadi isu nasional, akibat pengaruh dari dalam
dan luar negeri. Preservasi lingkungan sebenarnya telah diperjuangkan oleh Green
Party sejak lama, namun sayangnya tidak mendapatkan tempatnya dalam
perpolitikan Swedia. Kejadian hujan asam di era 1970-an pun tidak membuat elit
politik mau memikirkan aspek lingkungan karena dirasa hanya akibat tindakan
negara lain yang terbawa ke wilayah Swedia. Apalagi, lingkungan juga dilihat
sebagai salah satu aspek yang mengganggu pertumbuhan ekonomi. Swedia pun
sejak lama memacu pertumbuhan ekonominya dari sektor pertanian dan industri
tambang, dua sumber produksi yang sangat merusak lingkungan. Dan kedua sektor
ini adalah penyumbang utama emisi karbon Swedia, yang apabila dikurangi dapat
menimbulkan kontraksi ekonomi.
Titik kulminasi isu ini pun terjadi pada akhir era Perang Dingin. Saat itu,
PSD yang terancam kekalahan berusaha mencari sebuah isu yang dapat digunakan
sebagai kunci koalisi. 19 PSD kemudian menemukan bahwa isu lingkungan yang
disinkroniasi dengan pajak dapat menjadi kunci koalisi. PSD mulai melirik koalisi
dengan Green Party yang ternyata cukup mendapat tempat di pemilihan umum
1992. Walau begitu, PSD masih memilih instrumen pajak sebagai cara untuk bisa
membagi rata kekayaan rakyat Swedia. Sehingga kemudian, muncul sebuah
kebijakan pajak karbon bagi masyarakat Swedia. Tentunya kebijakan ini dipilih
untuk mengimbangi koalisi lain yang ingin menurunkan pajak dan meningkatkan
kepemilikan privat.

19
Roger Hällhag. 2007. New Sweden: Crushing or Confirming a Social Democratic Model. h.10

31
32

B. Struktur Insentif GTS dalam Koalisi Merah-Hijau


Struktur insentif yang terdapat dalam green-tax system ini meliputi enam
kasus utama. Enam kasus utama ini menjadi titik temu tiga partai koalisi untuk
terus bersama dalam pemerintahan. Bidang pertama yang menjadi fokus adalah
pengajuan RUU itu sendiri. RUU pajak karbon diajukan pada tahun 1991, pasca
pemilu yang menghasilkan tidak adanya mayoritas mutlak. Saat itu, PSD yang
sebelumnya menguasai mayoritas mutlak, hanya memperoleh 40% kursi parlemen.
Sebagai partai dengan perolehan suara tertinggi, PSD diberi kesempatan untuk
membentuk pemerintahan, dengan syarat memperoleh koalisi minimal 51%
parlemen. 20 Melihat konstelasi yang ada, PSD tidak mungkin mendekati Liberal
dan Centre Party, karena perbedaan ekstrem ideologi yang ada. Kesempatan bagi
PSD hanya terbuka dengan Left Party, kelompok sosialis konservatif yang juga
terancam posisinya. Left Party menjadi terancam karena ideologi komunisme-
sosialisme mulai pudar pasca runtuhnya Uni Soviet di tahun itu. Sehingga
kemudian, Left Party membutuhkan suatu media untuk membuktikan pada
masyarakat bahwa konsep sosialisme masih menjadi dasar terbaik bagi welfare
state Swedia. Keinginan politik untuk tetap mempertahankan peran besar
pemerintah di bidang ekonomi tetap berakar pada partai ini. Seperti diketahui,
Swedia sebagai negara sosialis tidak pernah membiarkan struktur ekonomi
dikendalikan sepenuhnya oleh pemilik modal besar. Apabila tidak turut berkoalisi,
hal tersebut berarti Left Party membiarkan partai besar lain memuluskan jalan
untuk membiarkan penumpukan kepemilikan privat tanpa batas. Kondisi tersebut
berarti akan membuat Left Party kehilangan tujuan dan identitas ideologis partai.
Partai dengan perolehan 5.5% ini kemudian kembali mengkampanyekan
penggunaan pajak progresif dan memutuskan bergabung dengan PSD. Koalisi
sementara PSD-Left Party selanjutnya membutuhkan tambahan minimal 5.5%
untuk bisa membentuk pemerintahan.

20
Swedish Institute. 2007. The Swedish System of Government. h.2
33

Koalisi Merah di atas kemudian berusaha mendekati partai independen


yang ada, yakni Green Party. Kebetulan, partai ini memiliki kesamaan platform di
bidang pengenaan pajak. Green Party merasa bahwa pajak telah menjadi instrumen
efektif pemerintah Swedia dalam berbagai kebijakannya. Partai pro-lingkungan ini
selanjutnya mengkampanyekan adanya pajak tinggi bagi para emitor karbon, yang
berbanding lurus dengan tingkat kekayaan. Pada titik inilah, ketiga partai itu
bertemu. Green Party yang mendorong reformasi pajak karbon menjadi lebih ketat,
bertemu dengan klub “penyuka pajak”. Apalagi, lingkungan juga telah menjadi
emerging issues dalam kehidupan sosio-politik Swedia sehingga daya tawar partai
ini menguat akibat meningkatnya kesadaran masyarakat. 21 Pertemuan dengan
Koalisi Merah pun terjadi karena Green Party tidak mungkin berdekatan dengan
Alliance for Sweden yang berusaha mengurangi segala hambatan investasi dan
peningkatan kapital privat. Pada akhirnya, Green Party menyumbangkan 5.5%
tambahan kursi, yang menjadikan Koalisi Merah-Hijau sebagai pembentuk
pemerintahan Swedia di tahun 1991 (dan bertahan hingga 2006).
Kasus kedua yang menjadi titik temu Koalisi Merah-Hijau adalah pajak di
sektor pertambangan dan industri. Sektor ini menjadi alot karena ketiga partai
memiliki pandangan berbeda dalam melihat keberadaannya. Left Party secara
konsisten menolak kepemilikan privat berlebihan, yang tergambar dalam sektor
industri dan pertambangan. Sedangkan PSD sebagai partai utama koalisi
memandang bahwa kepemilikan privat tak dapat lagi dihindari; selain karena tren
liberalisasi ekonomi di banyak negara Eropa, juga sistem perdagangan
internasional yang lebih memihak pada sistem liberal. Walau begitu, sebagai
penjaga nilai welfare state, PSD berkepentingan untuk mempertahankan dukungan
suara rakyat. PSD tentunya tidak ingin kehilangan suara rakyat, pasca beralihnya
suara para pemilik modal dan pihak pro-UE ke Alliance for Sweden. Selain itu,
PSD harus mengakui bahwa sektor industri dan tambang merupakan penopang

21
Mattias Boman & Leif Mattsson. 2005. A note on attitudes and knowledge concerning
environmental issues in Sweden. h.1
34

utama perekonomian Swedia. Manajemen handal para pemilik modal juga menjadi
kelebihan tersendiri, yang kadang tidak dimiliki oleh birokrasi pemerintah. Di
sudut segitiga lain, Green Party berupaya mengadvokasi pemenuhan standar
lingkungan bagi sektor industri dan tambang. Partai ini melihat, dan memang
terbukti, bahwa sektor industri dan tambang telah menjadi sumber utama polusi.
Karakteristik iklim Swedia yang mudah menjadi kumpulan polusi udara,
22
menjadikan limbah sektor industri bisa dengan efisien mencemari udara.
Penggunaan energi dan tekonologi yang tidak ramah lingkungan juga disorot oleh
Green Party. Sehingga kemudian, konsensus harus dicapai oleh koalisi dalam
menangani kasus ini.
Green Party langsung mengusulkan penerapan pajak sebesar $100 per ton
karbondioksida yang dikeluarkan. 23 Hal ini menimbulkan penolakan keras dari
sektor industri ketika awal pengajuan RUU. Mereka menilai penerapan pajak
dengan standar tersebut akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi Swedia
hingga 0.3% per tahun. 24 Walau begitu, Left Party ternyata dengan bersemangat
mendukung penerapan pajak tinggi ini. Mereka menilai, hal ini akan menjadi alat
efektif membagi kemakmuran masyarakat Swedia. Namun PSD kurang
menyetujui usulan setinggi ini karena mengkhawatirkan dua hal, yakni laju
pertumbuhan ekonomi dan semakin mundurnya dukungan dari kalangan elit
Swedia. PSD kemudian mengusulkan adanya insentif pajak bagi industri yang
mampu menekan kadar buangan karbondioksida. PSD mengusulkan pula sistem
periodisasi, yakni penerapan pajak secara bertahap tiap dua tahun. Periodisasi
dipandang PSD akan membuat pemerintah lebih mudah melihat dampak
implementasi pajak serta mengurangi berbagai resiko di sektor ekonomi. Pada
akhirnya, pajak diterapkan sebesar 25% dari yang seharusnya hingga tahun 1993.
22
Liu Qioghong & Sven Bdtkenhielm. 1995. A Statistical Aprroach to Decompose Ecological
Variation. h.2
23
Jerry Mechling dkk. 2008. Congestion Pricing for Stockholm. h.12
24
Ministry of Environment – Government of Japan. (tanpa tahun penulisan). Utilization of Economic
Instruments in Environmental Policies - Taxes and Charges. Diunduh dari <http://www.env.go.jp/
en/policy/tax/econo/et1b.html> pada 6 Oktober 2010.
35

Pajak selanjutnya bertambah menjadi 50% dari pagu awal UU Lingkungan hingga
tahun 1995. Namun di tahun 1996, pemerintah terpaksa menerima usulan Green
Tax Commission, untuk menambah lagi pajak hingga 75% karena sektor industri
ternyata mengeluarkan limbah melebihi standar konsentrasi karbon Swedia.
Namun sejak pajak karbon tersebut diterapkan, hingga akhir koalisi di tahun 2006,
pemerintah tidak pernah menerapkan 100% pajak. PSD sebagai partai utama
pemerintah tetap menjaga hal ini dengan berbagai intervensi politik, agar sektor
industri dan tambang tidak kehilangan kepercayaan dalam berinvestasi.
Berikutnya, fokus perdebatan anggota koalisi dalam UU LIngkungan
adalah penerapan pajak di sektor SMEs. Kali ini, Green Party harus menghadapi
dua anggota koalisi lain, yang menentang penerapan pajak lingkungan pada
masyarakat kelas menengah ini. SMEs selama ini telah menyumbang 30% GDP
Swedia sehingga menjadi salah satu penopang utama perekonomian. 25 Bagi PSD
dan Left Party, para pemilik maupun penyokong SMEs adalah kalangan yang
harus diberdayakan, tidak dieksploitasi oleh negara untuk pemerataan pendapatan.
Oleh karena itu, PSD dan Left Party menolak usulan Green Party yang ingin
menerapkan pajak tinggi kepada sektor ini. Namun tentu saja, kesepakatan PSD
dengan Green Party mengharuskan partai utama koalisi tersebut mau menerapkan
pajak lingkungan pada semua emitor karbon. Pada akhirnya, anggota koalisi
menyepakati bahwa pajak listrik dan karbon bagi SMEs tidak berubah
dibandingkan dengan UU Lingkungan tahun 1979. Para SMEs selanjutnya
diwajibkan untuk memiliki sertifikat sistem kelistrikan (ECS) yang membatasi
penggunaan listrik. Hal ini sebagai kompensasi tidak naiknya pajak, namun bisa
membatasi pengeluaran karbon dioksida secara tidak langsung. Instrumen ECS
sebagai jalan tengah koalisi juga menjadi cara agar SMEs tidak dimanfaatkan oleh
pemilik maupun pemilik modal lain untuk mencurangi pajak karbon. Apabila tidak
dibatasi, dapat saja seorang pemilik industri besar memecah modal atau pabriknya

25
Glenda Napier dkk. 2004. Strengthening Innovation and Technology Policies for SME Development
in Turkey. h.47
36

menjadi beberapa bagian kecil, sehingga dapat digolongkan sebagai SMEs.


Sertifikat SMEs dan ECS kemudian hanya dapat dikeluarkan oleh Green Tax
Commision agar seluruh kegiatan terawasi dengan baik.
Fokus perdebatan berlanjut pada sektor household yang menyasar rumah
tangga biasa. Kali ini, Green Party kembali berhadapan dengan Left Party dan
PSD yang mencoba menghindarkan pajak kalangan ini. Pajak di sektor household
berarti mengenakan pajak atas emisi yang diakibatkan oleh pemanas ruangan dan
penggunaan kendaraan bermotor. PSD dan Left Party menolak usulan Green Party
karena melihat bahwa penggunaan pemanas ruangan merupakan kebutuhan primer
masyawakat Swedia. Begitu juga dengan kendaraan bermotor, yang mana tiap
rumah tangga di Swedia memilikinya. Walau begitu, Green Party keukeuh
menuntut adanya pajak ini, setelah beberapa pajak sebelumnya dihambat oleh
PSD. Bahkan Green Party mengancam membatalkan koalisi apabila pajak ini
diterapkan. Apalagi, riset yang ada menunjukkan bahwa emisi kendaraan bermotor
menyumbang 10% dari total emisi karbon Swedia. PSD pun harus memutar otak
menghadapi tuntutan ini karena partai oposisi pun turut mengecam keras rencana
pajak karbon bagi keperluan rumah tangga. Walau begitu, PSD pun masih
memiliki kartu truf yang membuat Green Party tidak bisa terlalu ngotot
memperjuangkan adanya pajak ini. Kartu truf tersebut adalah ketiadaan partai
besar lain yang mau berkoalisi memperjuangkan kebijakan pro-lingkungan.
Koalisi Merah Hijau selanjutnya bersepakat memberikan dua opsi kepada
masyarakat terkait kebutuhan hidup sehari-hari ini. Pertama, masyarakat tetap
diizinkan membeli pemanas ruangan dan kendaraan baru, namun mendapat
pembatasan membeli bahan bakar apabila tidak membayar pajak karbon sebagai
bagian dari pertambahan nilai. Pilihan kedua, masyarakat tetap menggunakan
peralatan lama, yang kadang kurang efisien dalam pengolahan energi, dan tetap
diperbolehkan membeli bahan bakar tanpa batas; namun dikenai pajak berdasar
agregat total karbon yang dikeluarkan.
37

Guncangan koalisi pun kembali terjadi di tahun 1995, saat pajak karbon
dievaluasi bersama, Green Party tetap menuntut adanya pajak di sektor household.
Padahal di tahun 1995 ini, riset menunjukkan adanya elastisitas minus akibat pajak
di sektor ini. PSD kemudian harus menjembatani empat kepentingan sekaligus,
Left Party, Green Party, masyarakat, dan desakan oposisi. Apabila salah satu
kepentingan diabaikan, tentunya akan mengancam kedudukan PSD sebagai partai
pemenang dan patron koalisi. Left Party sendiri merasa terancam akan
mendapatkan efek buruk publikasi riset dengan hasil elastisitas minus ini. Green
Party ternyata juga tidak begitu senang karena khawatir dengan munculnya
elastisitas minus, maka nantinya berbagai skema pajak karbon dapat tidak lagi
dipercaya. Akan tetapi, pemerintah ternyata tetap berpegang pada kebijakan ini
dan menyediakan lebih banyak jenis transportasi umum agar pengeluaran energi
rumah tangga pun berkurang. Hal inilah yang kemudian membuat pajak karbon
tidak mendapatkan perlawanan berarti dari masyarakat karena meski pajak karbon
membuat pengeluaran rumah tangga mereka meningkat, pemerintah berusaha
mengurangi beban pengeluaran di sektor lainnya.
Green Tax Commission menjadi bagian tak terpisahkan dari UU Karbon
1993, namun baru secara resmi dibentuk pada 1995. Setidaknya, terdapat dua
tujuan pembentukan komisi ini. Pertama, Komisi dibentuk untuk memastikan
pelaksanaan instrumen pajak lingkungan diterapkan secara teapat. Tentu seperti
dijelaskan sebelumnya, pajak lingkungan tidak hanya bertujuan untuk
menyelamatkan lingkungan, tetapi lebih untuk mendapatkan tambahan
penghasilan. Kedua, Komisi bertugas mengevaluasi instrumen pajak serta
mengusulkan perubahan atau insentif tambahan dalam instrumen tersebut. Hal ini
bertujuan untuk memastikan bahwa pajak karbon tidak akan mengurangi daya
tahan ekonomi masyarakat Swedia. Tentunya fungsi Komisi jelas menunjukkan
platform dasarnya, yakni sebagai jembatan kepentingan tiga partai Koalisi Merah
Hijau. Komisi ini sendiri diusulkan untuk Left Party saat hampir terjadi deadlock
38

Koalisi di beberapa sektor. Mereka sebenarnya bertujuan untuk mengekang Green


Party dengan menunjukkan bahwa pajak karbon berkemungkinan menurunkan
pendapatan rakyat, hal yang bertolak belakang dengan visi Koalisi Merah-Hijau.
PSD kemudian mendukung ide ini karena Komisi akan menjadi representasi visi
Koalisi Merah-Hijau. Kelebihan Komisi kemudian adalah lembaga ini dibuat
seilmiah mungkin sehingga tiap kebijakan yang dibuat pemerintah, dapat
dikamuflasekan sebagai suatu hasil riset. Hal ini dianggap sebagai taktik PSD
untuk memobilisasi dukungan atas pajak karbon, untuk menjamin berlanjutnya
Koalisi dan menghindari serangan oposisi.
Dalam perkembangannya kemudian, Komisi ini menjadi ide paling
menakjubkan dari Koalisi Merah-Hijau untuk mempertahankan instrumen pajak
karbon. Berbagai perdebatan yang ada di dalam Koalisi kemudian diserahkan pada
Komisi untuk ditentukan seberapa jauh tiap usulan akan mempengaruhi prinsip
pajak dan memberikan efek ke perekonomian. Hasil riset dan pertimbangan
Komisi selanjutnya sering menjadi jalan tengah bagi tiap anggota koalisi. Seperti
saat pajak karbon secara nyata mengurangi kapital masyarakat Swedia di tahun
1995, Komisi melakukan beberapa penyesuaian untuk menanggulanginya. Begitu
juga saat di tahun 1998, laporan oposisi menunjukkan penurunan investasi akibat
ketatnya kebijakan pajak karbon, Komisi mengusulkan pada pemerintah adanya
suatu bentuk isnentif bagi kalangan industri. Keberadaan dan usulan Komisi
kemudian menjadi senjata ampuh bagi Koalisi, baik internal maupun eksternal.
Secara internal, kepentingan politik anggota Koalisi dapat diakomodasi, secara
ilmiah dihitung dan ditawarkan kembali.
Sedangkan pada sisi eksternal, oposisi dan masyarakat pun merasa
diperhitungkan. Masyarakat melihat bagaimana komitmen pemerintah untuk
mempertahankan kemajuan ekonomi Swedia dengan tetap melindungi daya
dukung lingkungan. Hal ini sangat penting karena persepsi masyarakat akan sangat
mempengaruhi perolehan suara partai. Apalagi, tingkat partisipasi elektoral
39

Swedia selalu mencapai lebih dari 80% sejak tahun 1979. Saat pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang tidak pro-ralyat, maka dipastikan partai tersebut
tidak akan memperoleh kembali suara secara signifikan di pemilu berikutnya. Hal
tersebut tentu menjadi alasan pemerintah memberikan bermacam subsidi untuk
mengurangi dampak negatif GTS secara ekonomi. Kemudian pada kelompok
oposisi, Komisi memastikan mereka akan sulit menyerang kebijakan pemerintah.
Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah didasarkan pada riset independen,
yang membutuhkan kontra-riset apabila ingin mengajukan alternatif kebijakan.
Selain itu, keberadaan Komisi juga memastikan reaktivitas pemerintah setiap kali
mendapat serangan oposisi, mampu mengoreksi dengan cepat kekurangan pajak
karbon.

C. Kepemimpinan Partai Sosial Demokrat (PSD) dalam Koalisi


Sesuai dengan teori permainan, PSD sebenarnya memiliki posisi kuat atas
kedua partai lainnya. Namun seperti disebutkan sebelumnya pula, PSD tetap
membutuhkan kedua partai lainnya karena ia tidak terbiasa menjadi oposisi.
Sehingga, PSD kemudian harus mampu mengolah kepemimpinannya dalam
koalisi agar tidak ditinggalkan oleh kedua partai lainnya. PSD selalu mau
mengikutsertakan semua anggota koalisi dalam pembuatan kebijakannya.
Kepemimpinan PSD menjadi penting pula untuk meredam konflik anggota
koalisinya, dan menggerakkan mereka untuk terus menguasai parlemen.
Kepemimpinan efektif PSD pun terlihat pada kemauan partai ini untuk
menggeser sedikit ortodoksinya. PSD dikenal sebagai partai yang memacu
pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan akibatnya di sekotor lain, terutama
lingkungan. Namun dengan membentuk koalisi bersama Green Party, PSD harus
mengendurkan sikap kerasnya di bidang ekonomi. PSD sebenarnya mampu
mempertahankan standar kebijakannya, sesuai dengan posisi kuatnya di dalam
koalisi. Namun tentunya, hal tersebut akan menimbulkan resistensi tersendiri di
40

dalam tubuh koalisi. Sehingga, kemauan PSD untuk mau sedikit mengalah dengan
menerapkan pajak karbon menjadi poin penting keberlajutan koalisi. Apalagi, PSD
kemudian justru mendapatkan sumber dukungan suara baru, saat kekhawatiran
muncul terkait larinya suara kalangan pemilik modal ke koalisi lain.
Sumber dukungan tersebut adalah PSD yang kini dapat menguasai semua
level sosio-politik masyarakat Swedia. PSD yang sebelumnya menguasai
masyarakat kelas menengah Swedia, kini menguasai pula kalangan bawah, swing
voters, dan sebagian kalangan industri. Melalui pajak karbon, PSD telah
mengambil hati kelas menengah untuk terus mendukungnya, sebagai partai yang
memperjuangkan bentuk welfare state di Swedia. Bagi para swing voters, PSD
menampilkan citra baik dengan menunjukkan sikap pro-lingkungan. Dengan
meningkatnya awareness tentang lingkungan di masyarakat, maka PSD harus
mampu menjaring kelompok ini. Tentunya, bersikap fleksibel menuruti isu yang
berkembang, menjadikan sebuah partai lebih populer dibanding kelompok lainnya.
Terakhir, PSD dengan pajak karbon mampu menjaring sebagian suara kelompok
industri. PSD dapat memainkan kartu bahwa apabila Left Party tidak dikontrol,
maka posisi kalangan industri dapat terancam. Hal-hal tersebut di atas
menunjukkan secara nyata bagaimana faktor kepemimpinan PSD menjadi sangat
penting, baik ke dalam maupun ke luar struktur koalisi

D. Kestabilan Koalisi
Green tax system secara efektif mampu membuat koalisi bertahan hingga
kini. Bahkan saat pemilu 2006 menghasilkan kekalahan pada Koalisi Merah-
Hijau, 26 struktur koalisi tidak berubah. Hal ini dapat terjadi karena Koalisi Merah-
Hijau memang sangat mementingkan stabilnya koalisi, untuk memenuhi visi
masing-masing partai. Kembali, kestabilan struktur ini ditopang oleh insentif,
26
Kekalahan Koalisi Merah-Hijau pun hanya diakibatkan penurunan persepsi masyarakat terkait
skandal Tsunami Hindia 2004. Pemerintah berkuasa pada saat itu dinilai kurang memperhatikan
korban warga Swedia dan dihantam skandal korupsi dana bantuan. Masyarakat menilai tindakan
pemerintah saat itu bertentangan dengan nilai-nilai pemerintahan sebuah welfare state.
41

permainan antarpartai, serta kepemimpinan partai utama. Struktur ini secara


deskriptif akan menjelaskan bagaimana koalisi mampu bertahan dengan taktik a
la teori permainan. Hal yang disebut sebagai defensive coalition ini lebih
mementingkan kestabilan antarpartai dibanding memperjuangkan isu tertentu. Isu
yang diperjuangkan harus memiliki kekuatan yang menyatukan ketiga platform
partai, dan biasanya hanya berjumlah satu. Permasalahan pun didukung oleh
partai utama, yang berkesimpulan bahwa isu tersebut memang menajdi irisan
kepentingan partai. 27 Dalam kasus Merah Hijau, hal ini berpusar dalam isu green-
tax system. Isu lingkungan ini diangkat oleh Green Party dan kemudian di-
triggered oleh PSD sebagai partai utama. Green-tax system keluar sebagai isu
yang diperjuangkan oleh Koalisi Merah-Hijau karena mampu mengakomodasi
seluruh platform partai. Advokasi lingkungan sama sekali tidak terbukti; terlihat
dari fleksibilitas aturan yang menyesuaikan kepentingan koalisi dan oposisi.
Belum lagi, pembentukan Green-tax Commission dimaksudkan untuk
penyesuaian tarif pajak di tahun-tahun berikutnya, bukan memastikan aturan ini
diterapkan secara ketat.
Selain faktor latar belakang sebuah kebijakan yang pragmatis, defensive
coalition juga menunjukkan bahwa koalisi mampu bertahan karena partai utama
mengambil inisiatif untuk offer sesuatu, yakni ide penerapan pajak karbon. Partai
peserta koalisi kemudian mau menerima tawaran tersebut dan turut mengawasi
implementasinya. Kondisi inilah yang selanjutnya menjadi titik awal kepercayaan
akan koalisi. Kestabilan koalisi berikutnya dibentuk oleh sistem resiprokal dari
tiap anggota koalisi. Paparan sebelumnya telah menunjukkan berbagai insentif
yang diberikan PSD pada anggota koalisi lain. Insentif tersebut antara lain
jaminan kursi menteri, kedudukan setara di koalisi dan parlemen, serta
diwadahinya kepentingan ideologis tiap partai. Insentif ini secara resiprokal
dibalas oleh anggota koalisi lain dengan kesetiaan mendukung PSD terus

27
Thomas Getty. 1987. Dear Enemies and the Prisoner's Dilemma: Why Should Territorial Neighbors
Form Defensive Coalitions. h.332-333
42

memimpin Swedia, mengurangi tuntutan keras pada pemerintah, serta menjaga


lobi-lobi politik pada parlemen. Kondisi resiprokal tersebut memberikan hasil
nyata terwujudnya koalisi pemerintahan, bahkan hingga menjadi oposisi saat ini.
Terakhir, sensitivitas PSD membuat koalisi lebih mampu bertahan lebih
lama. Sensitivitas di sini berarti kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan isu
yang berkembang serta upaya pendekatan terhadap anggota koalisi. Sensitivitas
ke luar PSD tentu tidak perlu diragukan lagi. Pasca 1991 dan berkembangnya isu
lingkungan secara internasional, PSD mampu mengeksploitasi isu ini sebagai
kunci koalisi. Implementasi dan kemauan menjaga kebijakan-kebijakan pro-
lingkungan bahkan telah membuat Swedia dianggap sebagai salah satu lokomotif
melawan perubahan lingkungan. Sedangkan sensitivitas ke dalam, PSD dengan
kepemimpinannya mampu mengakomodasi kepentingan tiap anggota koalisi.
Kepemimpinan PSD juga telah mengolah hubungan antarpartai koalisi sehingga
ia tetap menjadi pemenang utama, meskipun Green dan Left Party mendapatkan
keinginannya pula.
BAB V
KESIMPULAN

Pajak karbon dipilih sebagai kebijakan utama Swedia dalam menghadapi


perubahan iklim karena hal tersebut ternyata menjadi kunci keberhasilan pemerintah
mempertahankan koalisi. Munculnya isu ini di awal rencana koalisi, perdebatan
selama bertahun-tahun, hingga kebijakan yang terus diperbaiki; membuat pajak
karbon selalu menjadi pusaran kepentingan politik. Tentunya pusaran politik inilah
yang menjadikan pajak karbon menarik untuk dijadikan komoditas politik. Kesamaan
platform partai dan struktur insentif dalam skema pajak karbon (dan
perkembangannya) selanjutnya menjadi kunci utama bertahannya Partai Sosialis
Demokrat (PSD), Left Party, dan Green Party dalam sebuah kelompok koalisi.
Berbagai insentif yang ada mencakup bargaining pasal-pasal pajak karbon, kursi
kementerian, pembentukan badan regulasi, hingga riset dan pengembangan kebijakan
di tahun-tahun berikutnya.
Pelajaran berharga lain dari struktur insentif pajak karbon adalah bagaimana
Göran Persson melihat ancaman dan peluang politik Swedia, terutama yang
berhubungan dengan PSD. Inilah yang menjadi dasar Persson menggunakan strategi
defensive coalition melalui isu lingkungan. Sejak memunculkan Persson Plan hingga
memegang jabatan perdana menteri, Göran Persson mampu mengolah isu dalam peta
kekuatan politik Swedia. Isu-isu yang emerged disesuaikan dengan konstelasi politik
yang ada untuk mencapai interest partai tempatnya bernaung. Keberhasilannya
mempertahankan koalisi menjadikan PSD tidak perlu merasakan kehilangan
kekuasaan, setelah ratusan tahun menikmatinya. Hingga ia meninggalkan PSD pun,
Persson tetap diingat sebagai orang yang membangun loyalitas Koalisi. Suatu bentuk
loyalitas yang sulit ditemui di tempat lain, yakni bagaimana suatu pihak di dalam
koalisi tidak dengan mudahnya melakukan defect atas pihak lainnya.

43
44

Paparan di atas dapat menjadi petunjuk bagi berbagai riset berikutnya yang
terkait dengan kebijakan pemerintah. Riset-riset tersebut dapat melihat lebih dalam
apakah kebijakan yang didasarkan pada pragmatisme politik dapat memenuhi
harapan masyarakat pada pemerintah. Belum lagi, kebijakan pemerintah seringkali
bukan merupakan wujud memenuhi kebutuhan masyarakat, namun lebih pada
bargaining politik, seperti pajak karbon di Swedia. Kasus pajak karbon dapat menjadi
contoh bagaimana koalisi Merah-Hijau memunculkan kebijakan ini untuk menjaga
koalisi, meski terlihat sebagai upaya melindungi lingkungan. Seperti pada GTS di
Swedia, pemerintah harus memiliki mekanisme kompensasi agar kebijakan ini
diterima oleh masyarakat meski merugikan secara ekonomi. Pajak karbon ini juga
memperlihatkan fluktuasi dukungan serta kemungkinan serangan setiap saat dari
oposisi. Apalagi di Swedia, partisipasi rakyat yang tinggi dalam politik, sangat
berpengaruh pada konstelasi parlemen. Riset berikutnya mungkin perlu memberikan
preskripsi tentang bagaimana pragmatisme politik dapat dibangun sejalan dengan
keinginan rakyat secara keseluruhan, yang sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi
ketegangan politik.
REFERENSI

Daftar Pustaka

Agerup, Martin dkk. 2004. Climate Change and Sustainable Development: A


Blueprint from the Sustainable Development Network. Islington : Hanway
Print Centre
Brulle, Robert J. 2002. Habermas and Green Political Thought: Two Roads
Converging. New York : Routledge
Carter, Neil. 2007. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy.
Cambridge : Cambridge University Press
Dobson, Andrew. 2007. Green Political Thought. London : Routledge
Dutt, Kuheli. 2007. Governance, Institutions and the Environment-income
Relationship: A Cross-country Study. Berlin : Springer
Finnemore, Martha & Kathryn Sikkink. 1998. International Norms and Political
Change. New York : International Organization
Gamson, William A. 1961. A Theory of Coalition Formation. Berkeley : American
Sociological Association
Hällhag, Roger. 2007. New Sweden: Crushing or Confirming a Social Democratic
Model. Bonn : FES-Analyse
Hass, Peter M. 1992. Introduction: Epistemic Communities and International Policy
Coordination. Cambridge : The MIT Press
Irfani, Nurfaqih. 2009. Revitalisasi Hukum Dasar Perekonomian Nasional dalam
Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia. Tugas Akhir Mata Kuliah
Kapsel Hukum Penanaman Modal. Bandung : Universitas Padjadjaran
Ivanova, Maria. 2007. Designing the United Nations Environment Programme: A
Story of Compromise and Confrontation. Berlin : Springer

45
46

Mankiw, N.Gregory. 2008. Smart Taxes: An Open Invitation to Join the Pigou Club.
Massachusetts : Harvard University
Oates, Wallace E. dan Paul R. Portney. 2001. The Political Economy of
Environmental Policy. Discussion paper 01-55. Washington D.C. : Resources
for the Future
Psathas, George & Sheldon Stryker. 1965. Bargaining Behavior and Orientations in
Coalition Formation. Toronto : Sociometry
Swedish Environmental Protection Agency. 2007. Wastewater Treatment in Sweden.
Stockholm : Swedish EPA
Vogler, John dan Hannes R. Stephan . 2007. The European Union in Global
Environmental Governance: Leadership in the Making. Berlin : Springer
Yu, Hongyuan.2004 . Global Environment Regime and Climate Policy Coordination
in China. Beijing : Journal of Chinese Political Sciences

Sumber Online

Bengt, Johansson. 2000. Economic Instruments in Practice 1: Carbon Tax in Sweden.


Swedish Environmental Protection Agency. Diunduh dari <www.oecd.org/
dataoecd/25/0/210 8273.pdf> pada 10 Juni 2010
Bosquet, Benoit. 2000. Environmental tax reform: does it work? A Survey of the
Empirical Evidence. Ecological Economics, Volume 34, Issue 1. Diunduh
dari <http://www.ingentaconnect.com/content/els/09218009/2000/00000034/
00000001/art00173> pada 13 Juni 2010
Carbon Tax Center. 2010. Myths. Diunduh dari < http://www.carbontax.org/myths/>
pada 4 Juni 2010
Corporate Leaders Group on Climate Change. (tanpa tahun terbit). Copenhagen
Communiqué tentang Perubahan Iklim. Univeristy of Cambridge Programme
47

for Sustainability Leadership. Diunduh dari <http://www.copenhagencommun


ique.com/images/stories/final-copenhagen-communique-indonesian.pdf> pada
6 Mei 2010
Delwit, Pascal. 2004. The Europarties Organisation and Influence. Centre d’étude de
la vie politique of the Free. Diunduh dari < http://www.sciencespo.site.ulb.
ac.be/dossiers_livres/theeuropartiesorganisation/fichiers/en_bookefpp.pdf>
pada 10 Juni 2010
Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Orang Kaya dan Pajak. Diunduh dari
<http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9
189:orang-kaya-dan-pajak&catid= 633:Artikel%20&%20Opini&Itemid=185>
pada 13 September 2010
Henjak, Andrija. 2009. Socioeconomic Change, Changing Political Cleavages, and
the Emergence of New Parties. Submitted to the Central European University
in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of
Philosophy. Diunduh dari <http://web.ceu.hu/polsci/dissertations/Andrija_
Henjak.pdf > pada 4 Juni 2010
Khadijah, Siti. 2002. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Produk Pertanian dan
Dampaknya. USU Digital Library. Diunduh dari <http://repository.
usu.ac.id/bitstream/123456789/769/ 1/sosek-siti.pdf> pada 8 September 2010
Nardi dkk. 2000. Article: Income inequality and redistribution in five countries
(Sweden, Finland, US, Canada, Germany). Economic Perspectives, 22 Juni
2010. Diunduh dari <http://www.highbeam.com/doc/1G1-63806368.html>
pada 6 September 2010
Regeringkansliet. 2009. A Sustainable Energy and Climate Policy for the
Environment, Competitiveness and Long-term Stability. Diunduh dari
<http://www.sweden.gov.se/sb/d/2031/a/120088> pada 9 Juli 2010
The Greens. (tanpa tahun terbit). Platform of the Greens/Green Party USA. Diunduh
dari < http://www.greenparty.org/Platform.phpv> pada 4 Juni 2010
48

Von Schirnding, Yasmin. (tanpa tahun terbit). Health in Sustainable Development


Planning: The Role of Indicators. Diunduh dari <http://www.who.int/wssd/
resources/indicators/en/> pada 4 Mei 2010

You might also like