You are on page 1of 9

PAJAK DAN ZAKAT

zakat yaitu salah satu dari rukun Islam yang lima. Pada hakikatnya zakat adalah tertentu
bagian yang ada pada harta seseorang yang beragama Islam yang wajib dikeluarkan atas perintah
Allah SWT untuk kepentingan orang lain menurut kadar yang telah ditentukan. Zakat
dikeluarkan dengan tujuan untuk membersihkan harta si pemiliknya kemudian sebagai rasa
syukur atas nikmat yang telah diberikan.

Kemudian dalam peraturan negara kita ada kewajiban seperti zakat yang disebut dengan
pajak. Pajak merupakan kewajiban material bagi warga negaranya untuk dibayar menurut ukuran
yang telah ditentukan mengenai kekayaan dan pribadi seseorang dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

Kedua hal tersebut tidak bisa kita pisahkan. Kita tidak bisa melaksanakan salah satu dari
kedua hal tersebut, artinya dua-duanya harus kita penuhi. Apabila kedua hal tersebut telah kita
patuhi sesuai ketentuan, baru kita bisa disebut umat beragama Islam yang taat pada ajaran Islam
dan sekaligus warga negara yang bertanggung jawab dan layak kepada pancasila.

Sekarang dari mana kedua permasalahan tersebut wajib untuk dilaksanakan, kemudian
apa dasar-dasar yang mewajibkan kedua hal tersebut, serta tujuan kewajiban pembayaran zakat
dan pajak. Untuk itu dalam pembahasan makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pajak dan
zakat.

Pembahasan

A. Asal-usul Timbulnya Kewajiban Ganda Terhadap Harta

Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, kewajiban yang berkaitan dengan
kepemilikan harta yang harus dipikul oleh umat Islam hanya satu yaitu zakat yang ditetapkan
berdasarkan wahyu Allah SWT. Sebagai imbangan terhadap zakat yang diwajibkan kepada
umat Islam, kepada umat agama lain (non-muslim) yang berada di bawah perlindungan Islam
dikenakan (telah disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 29);
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-
orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29

Dan setelah itu tidak ada yang dikenakan double duties (kewajiban ganda) lagi.

Pada zaman imam madzhab (mujtahidin) timbul perbedaan pendapat tentang tanah
yang terkena pajak, karena pemiliknya non-muslim pada waktu negerinya ditaklukkan
pasukan Islam. Kemudian ia masuk Islam atau tanahnya dibeli orang muslim. Timbullah
masalah apakah tanah yang terkena pajak itu juga terkena zakat, karena sekarang pemiliknya
adalah muslim?

Menurut Jumhur, tanah tersebut wajib dizakati (di samping kena pajak) berdasarkan
surat Al-Baqarah ayat 26):

Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau
yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa
perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah
maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak
orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,”
(QS. Al-Baqarah : 26).

Kemudian juga berdasarkan hadits Nabi SAW yang menunjukkan bahwa semua tanah
yang mendapatkan air hujan (tanpa biaya atau mekanik) terkena zakat 10 % baik tanah yang
terkena pajak maupun tidak.

Selain dalil naqli berupa ayat dan hadits tersebut di atas, jumhur juga menggunakan
dalil aqli antara lain bahwa ketetapan zakat atas hasil bumi itu berdasarkan nash Al-Qur’an
dan sunnah, maka karena itu ketetapan zakat tidak bisa terhalang oleh ketetapan pajak yang
hanya berdasarkan ijtihad.

Menurut Abu Hanifah, tanah yang telah dikenakan pajak, tidak terkena zakat
sekalipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dibeli oleh orang muslim. Tetapi sekalipun
dari segi pengkajian ilmu hadits, hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan Abu Hanifah itu
dipandang daif (lemah). Sebab apabila tanah milik seseorang yang terkena pajak, karena ia
non-Islam kemudian masuk Islam atas kemauan dan kesadarannya sendiri, atau tanah milik
orang tersebut dibeli orang lain yang muslim itu dikenakan double duties (pajak dan zakat),
sedangkan pemilik tanah-tanah yang lain yang beragama Islam hanya dikenakan wajib pajak
tanpa pajak. Oleh karena itu tampaknya lebih adil apabila bagi si pemilik tanah yang terkena
pajak itu masuk Islam dan juga bagi seorang muslim yang membeli tanah yang terkena pajak
itu diberi kesempatan untuk memilih di antara dua alternatif sebagai berikut:

1. Cukup membayar zakatnya saja sebanyak 5 – 10 % dari hasil tanahnya, sebab kewajiban
pajak telah gugur, karena pemiliknya beragama Islam. Sebab illat hukumnya yang
menyebabkan adanya kewajiban membayar zakat adalah pemilik non-muslim (sebagai
imbangan kewajiban membayar zakat bagi pemilik tanah yang muslim). Hal ini sesuai
dengan kaidah hukum:

‫الحكم يدور مع اعلة وجودا وعدما‬

“Hukum itu berputar atas illat ada/tidaknya hokum-hukum”.

Artinya jika illatnya ada, hokum ada dan jika illatnya tidak ada (situasi dan kondisi
berubah) maka maksudnya pun tidak ada.

2. Cukup membayar pajak saja karena meneruskan status hukum tanah sebelumnya. Hal ini
sesuai dengan dalil istishab dan kaidah hukum yang berbunyi:

‫االصل بقاء ما كان على ما كان‬

“Pada dasarnya meneruskan apa yang ada menurut keadaanya yang semula.”

Jadi, karena itu secara historisnya mempunyai status hukum sebagai tanah yang terkena
pajak (al-ardh al-kharajiah), maka pemiliknya yang kemudian pun tinggal meneruskan
status hukumnya yang lama.
B. Perbedaan Dasar Zakat dan Pajak

Adapun perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar antara zakat dan pajak adalah
sebagai berikut:

a. Beda dasar hukum. Dasar hukum zakat adalah Al-Qur’an dan sunnah, sedangkan dasar
hukum pajak adalah peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Pajak dan
sebagainya.

b. Beda status hukumnya. Zakat adalah suatu kewajiban terhadap agama, sedangkan pajak
adalah suatu kewajiban terhadap negaranya.

c. Beda obyek/sasarannya. Wajib zakat adalah khusus bagi penduduk yang beragama Islam,
sedangkan wajib pajak adalah bagi semua penduduk tanpa pandang agamanya.

d. Beda kriterianya. Criteria pendapatan dan kekayaan yang terkena zakat dan pajak,
prosentasinya dan jatuh temponya tidaklah sama. Misalnya presentasi penghasilan dan
dizakati adalah antara 2,5 %-20 % tergantung pada jenis usaha/pekerjaan/profesinya,
yang sudah ditentukan kadarnya oleh agama dan tidak bisa berubah-ubah, sedangkan
prosentase penghasilan yang terkena pajak di Indonesia dewasa ini sekitar 15%-25%.
Dan sudah tentu kriteria wajib pajak juga besarnya tariff pajak bisa berubah-ubah.

e. Beda pos-pos penggunaannya. Zakat hanya boleh digunakan untuk delapan pos/ashnaf
yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, sedangkan pajak
digunakan untuk pos-pos yang sangat luas.

f. Beda hikmahnya. Hikmah zakat terutama untuk membersihkan/menyucikan jiwa dan harta
benda wajib zakat, untuk meratakan pendapatan di kalangan masyarakat (agar tidak
hanya dinikmati oleh si kaya saja, dan untuk meningkatkan kesejahteraan social,
sedangkan hikmah pajak adalah untuk membiayai pembangunan nasional guna
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridha
Allah SWT.
Kini lahirnya Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat dapat
ditafsirkan sebagai kemajuan kualitatif dari pelaksanaan zakat. Undang-undang yang sarat
dengan prinsip profesionalisme manajemen ini, di samping memberikan kekuatan legitimasi
terhadap pranata keagamaan, sekaligus merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam
menyempurnakan sistem pengelolaan zakat. Walaupun demikian, undang-undang ini
menimbulkan masalah baru bagi umat Islam, khususnya bagi kaum aghniya bahwa mereka
memikul beban kewajiban berdimensi ganda. Sebagai seorang muslim berkewajiban
mengeluarkan zakat dan sebagai warga Negara berkewajiban mengeluarkan pajak. Pasal 14
ayat 3 dalam undang-undang tersebut menyatakan: “Zakat yang telah dibayarkan kepada
Badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat dikurangi dari laba/pendapatan sisa kena pajak
dari wajib pajak yang bersangkutan seusia dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.

Makna pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak tersebut dimaksudkan
agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, membayar zakat dan pajak. Masalah ini
terpecahkan dengan diterbitkannya Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang perubahan
ketiga atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Pasal 4 ayat 1
berbunyi (yang tidak termasuk objek pajak): “bantuan sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para
penerima zakat yang berhak”.

C. Dasar Kewajiban Zakat dan Pajak

Kewajiban zakat bersumber pada wahyu Allah SWT dan menurut penjelasan yang
diberikan oleh Rasulullah SAW.

QS. Al-Baqarah ayat 83:

Artinya: “dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu,
kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”

Oleh karena itu zakat adalah kewajiban dan merupakan salah satu rukun dari rukun
Islam. Walaupun di dalamnya terdapat unsur kewajiban materi, kedudukannya adalah
sebagai ibadah yang setaraf dengan ibadah-ibadah lainnya. Kewajiban ini khusus diberikan
kepada orang Islam. Kedudukannya sebagai ibadah itu menjadi motivasi yang kuat terhadap
umat Islam di dalam pelaksanaannya.

Kewajiban pajak bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan


pemerintah melalui badan yang berwenang untuk itu, suatu kewajiban pribadi atau badan
yang berlaku bagi setiap warga Negara. Bagi umat Islam kedua kewajiban itu adalah sama,
meskipun dari segi motivasi pelaksanaannya, zakat lebih kuat meskipun tanpa sanksi, karena
hubungannya antara hamba dengan Allah. Pada pajak hanya terdapat hubungan antara hamba
dengan penguasa negara yang mewajibkan pajak tersebut.

D. Tujuan, Kewajiban Zakat dan pajak

Kewajiban zakat mengandung tujuan yang bersifat moral spiritual. Seorang muslim
merasa menjalankan kewajiban agama yang harus dipikulnya sekaligus menyadari bahwa
harta yang dimilikinya adalah harta Allah SWT. Dalam mensyukuri nikmat Allah itu,
seorang muslim harus mengeluarkan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk tujuan yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Tujuan moral terlihat dari segi anggapan bahwa sesame hamba Allah yang bersaudara
harus memiliki kepedulian, saling tolong-menolong dan kasih saying di antara sesamanya.
Zakat dikeluarkan dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan serta melaksanakan
demokrasi ekonomi, dengan menghindarkan diri dari terjadinya penumpukan aset dan
pemusatan ekonomi pada seseorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai
dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
Pada pajak terlihat tujuan yang lebih bersifat material, yaitu sebanyak mungkin
memasukkan materi ke dalam kas negara untuk membiayai kebutuhan negara. Dalam hal ini
terkandung suatu pemikiran bahwa warga Negara yang mendapat keuntungan dan
perlindungan dalam Negara harus mengimbanginya dengan membantu negara.

Analisis

Kewajiban membayar zakat telah diketahui sejak dulu. Sebenarnya pajak sudah ada pada
zaman Nabi yaitu diperuntukkan bagi orang-orang non-muslim yang memiliki tanah di daerah
islam. Pada zaman Nabi antara zakat dan pajak tidak harus dibayar semua. Karena zakat hanya
diperuntukkan untuk orang-orang muslim, sedangkan pajak diperuntukkan orang-orang non-
muslim seperti yang disebutkan tadi. Namun mengapa sekarang di negara kita keduanya harus
dibayar. Hal itu terjadi karena ada beberapa permasalahan-permasalahan untuk zakat sendiri.
Kita sebagai seorang muslim tidak mungkin kita meninggalkan zakat, karena zakat sendiri
termasuk rukun islam. Apabila kita tidak melaksanakan zakat berarti kita belum melaksanakan
rukun-rukun islam secara lengkap. Kalau begitu keislaman kita diragukan.

Untuk itu kita sebagai muslim yang menaati semua ajaran-ajaran harus melaksanakan
yang lebih ditetapkan, sedang pajak merupakan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan
fasilitas negara. Membantu pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional, demi
terwujudnya baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Kita sebagai warga negara yang baik,
apakah kita tidak ingin melihat negara kita sendiri makmur dengan tidak membayar pajak. Maka
dari kita harus membantu pemerintah dalam pembangunan nasional dengan tertib dengan
membayar zakat. Dari uraian di atas hanya beberapa alasan untuk membayar zakat dan pajak.
Untuk itu apabila kita ingin menjadi seorang muslim yang baik sekaligus warga negara yang baik
hendaknya memenuhi zakat dan pajak.
Kesimpulan

1. Adanya beberapa perbedaan yang mendasar antara zakat dan pajak dilihat dari segi dasar
hukumnya. Dasar hukum zakat sendiri dari al-Qur’an dan hadits. Sedangkan pajak berasal
dari perundang-undangan yang dibuatkan oleh pemerintah.

2. Dasar hukum zakat al-Qur’an dan sunnah yang telah disebutkan dalam QS. Al-baqarah ayat
83. Sedangkan pajak didasarkan perundang-undangan yang telah disepakati bersama.

3. tujuan dari zakat sendiri mempunyai dua sifat yaitu spiritual dan moral. Selain untuk
menyucikan hati dan harta kita, serta bersyukur kepada Allah SWT. Sedangkan pajak
sifatnya material, yaitu sebanyak mungkin memberikan kepada negara. Agar semua fasilitas
di negara ini menjadi lebih lengkap, sehingga kita dapat menggunakannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1998).

Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1994).

-------------------Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1987).

------------------Masail Diniyah Ijtima’iyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1994).

You might also like