You are on page 1of 100

LAPORAN

PENELITIAN TENTANG INTERAKSI SOSIAL


KELOMPOK ALIRAN ISLAM MINORITAS
DALAM MASYARAKAT DI BERBAGAI DAERAH
DI JAWA TENGAH

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


PROVINSI JAWA TENGAH
2008
ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah : a). Mendeskripsikan interaksi sosial kelompok
aliran Islam Minoritas dalam kegiatan sosial keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan
hubungannya dengan pemerintah, b). Mendeskripsikan faktor pendukung dan
penghambat kelompok aliran Islam minoritas dalam berinteraksi sosial pada berbagai
kegiatan dengan komunitasnya, baik dilihat dari internal aliran tersebut maupun dari
pihak eksternal, c). Mendeskripsikan pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam
minoritas yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Penelitian menggunakan pendekatan deskripsi kualitatif dalam menganalisis
interaksi sosial pada lima kelompok aliran di enam lokasi kabupaten/kota Jawa Tengah.
Hasil dari penelitian ini adalah: Secara umum interaksi sosial aliran Islam minoritas di
tengah-tengah masyarakat di Jawa Tengah cukup kondusif, baik interaksi ini dilihat dari
interaksi sosial keagamaan, interaksi sosial kemasyarakatan maupun interaksi sosial
politik (Pemerintah). Masih terjadi kemungkinan pengerasan paham internal keagamaan
pada beberapa kelompok namun stabilitas kerukunan antarumat Islam masih terjaga
karena adanya interaksi sosial kemasyarakatan yang kondusif meskipun perlu
peningkatan partisipasi aktif anggota aliran dalam interaksi sosial pemerintahan.
Terdapat potensi pendukung dan penghambat interaksi sosial secara internal dan
eksternal. Pola pembinaan yang ada masih berada dalam tataran internal dan eksternal
masih belum ada agenda yang berkelanjutan.
Rekomendasi yang diberikan : a). Peningkatan komunikasi, pemutahiran
informasi, peningkatan keterlibatan kelompok minoritas dalam kegiatan-kegiatan sosial
pemerintahan; b). Pengembangan potensi dan pengurangan hambatan dengan
memfasilitasi aktivitas komunikasi lintas aliran Islam; dan c). Peningkatan intensitas
komunikasi dan koordinasi untuk meningkatkan pemberdayaan kelompok Islam
minoritas.

Kata Kunci : Aliran Islam Minoritas, Interaksi Sosial

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ditengah-tengah situasi bangsa Indonesia untuk bangkit dari segala
aspek keterpurukan, baik sosial, politik, budaya maupun keagamaan, maka
stabilitas nasional merupakan salah satu kunci pokok dalam mewujudkan cita-
cita masyarakat yang makmur, sejahtera lahir maupun batin. Stabilitas
nasional pada saat era reformasi ternyata masih sering diuji dengan munculnya
kelompok-kelompok tertentu yang kurang puas atau yang berbeda afiliasi
politik maupun keagamaannya.
Realitas empirik yang terjadi dewasa ini, khususnya dalam kehidupan
masyarakat muslim di Indonesia banyak bermunculan kelompok aliran.
Eksistensi kelompok-kelompok aliran tersebut mendapat simpati dan diikuti
oleh sebagian umat Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari keterbukaan dan
kebebasan mengapresiasikan kebutuhan spiritual dalam berbagai dimensi
keagamaan.
Khusus di Jawa Tengah, aliran-aliran yang muncul secara keseluruhan
lebih kurang 93 aliran yang menyebar di seluruh ibukota Kabupaten/Kota.
Sedangkan yang termasuk aliran Islam minoritas lebih dari 10 aliran.1 Hal ini
berbeda dengan organisasi Islam yang telah mencapai 34 organisasi
keagamaan Islam.2 Dan pada organisasi Islam itu sendiri terdapat organisasi
yang identik dengan aliran atau bahkan telah menjadi aliran tersendiri, seperti
LDII dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
Terdapat tiga segi dalam agama Islam, yaitu segi muamalat (interaksi
sosial), ubudiyyat (ritual) dan ilahiyyat (teologi). Segi muamalat (interaksi

1
Muzayanah, Umi & A.M. Wibowo. Peta Keagamaan Provinsi Jawa Tengah. Balitbang Agama
Semarang. 2007. Halaman 50. Dalam laporan hasil penelitian ini hanya memfokuskan pada data yang
terdapat pada kejaksaan Tinggi Provinsi Jawa Tengah dan masih ada beberapa organisasi keagamaan
maupun aliran yang belum tercover, seperrti Hizbut Tahrir di berbagai Kota/Kabupaten, aliran Syekh
Kanjeng Patih Kalajanggel di Kabupaten Brebes, Syahadatain, Qur’an suci di Kabupaten Banyumas,
Syi’ah di Kota Pekalongan, Jama’ah Tabligh di Magelang,dll.
2
ibid., Halaman 39.

2
sosial) tidak dapat dilepaskan dari aspek ”psikologi mayoritas-minoritas"3.
Psikologi semacam itu pada dasarnya mencerminkan kompleks psikologis
yang muncul, berkembang, dan bertahan dalam pengalaman interaksi yang
panjang; dan ia juga menggambarkan ketakutan-ketakutan yang ada dalam
sebuah masyarakat agama vis-a-vis komunitas keagamaan lain yang berbeda.
Psikologi ”kenangan bersama" (collective memory) aliran keagamaan muncul
berkaitan dengan cara pandang yang mendasari pemahaman dan sikap
keagamaan, juga berkaitan erat dengan corak kepribadian masyarakat
pemeluknya. Kepribadian masyarakat dalam suatu sisi akan melahirkan
pelunakan-pelunakan oleh paham keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-
nilai toleransi dan moderasi. Tetapi pada sisi yang lain, kepribadian yang
cenderung membatasi diri dalam interaksi akan melahirkan pengerasan budaya
dan keyakinan apalagi jika ada faktor-faktor kasat mata yang berbeda dengan
perilaku umum semisal kasus amuk massa yang terjadi di Desa Brayo,
Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang pada tahun 2000. Massa yang
berasal dari desa Brayo, Brotoh, Siwatu dan Wonotunggal serta dari Buaran
kota Pekalongan secara spontan mendatangi pondok pesantren Al-Hadi.
Kedatangan massa yang diperkirakan mencapai ribuan orang itu, tanpa ada
komando yang jelas secara bersama-sama menyerang lokasi kejadian dengan
melempari gedung pondok pesantren dan rumah pengurus yang berada di
sekitar pondok. Contoh lain munculnya kekerasan yang mengatasnamakan
agama berupa aksi perusakan oleh massa terhadap komunitas Ahmadiyah
Kuningan Jawa Barat dan berbagai daerah lain yang bersamaan dengan Idul
adha 1428 H merupakan fenomena yang terkait dengan konflik keyakinan dan
soal kekerasan keberagamaan. Potensi kegelisahan di tengah masyarakat
termanifestasi dalam perilaku kekerasan terhadap kelompok lain. Hal tersebut
bisa mengancam iklim kondusif suatu daerah, begitupun dengan Jawa Tengah
yang cukup memiliki deferensiasi kelompok aliran umat beragama.
Secara normatif, Islam adalah agama rahmah, menjunjung tinggi
keadilan, kemanusiaan dan kesetaraan. Tidak ada sekat-sekat kultural, sosial,
3
Azra, Azyumardi. Psikologi Minoritas-Mayoritas. Gatra Edisi Khusus September 2008.

3
apalagi ideologis yang memisahkan interaksi sosial. Interaksi sosial yang
terbuka memungkinkan manusia memiliki keimanan dan beragama dengan
baik. Keislaman dan keimanan seseorang tidak terganggu serta dapat
beribadah dengan tenang. Masyarakat akan harmonis dengan sikap dan
kehidupan yang toleran, damai dan terbuka dengan para tetangga, tanpa
prasangka dan curiga.
Islam mengagungkan sikap cinta damai (Q.S. 8: 61) dan manusiawi
(Q.S. 17: 70 dan 95: 4) sehingga dalam berinteraksi sosial manusia diajak
untuk dapat memilah antara persoalan tuntutan kemanusiaan yang bersifat
profane dengan masalah keimanan yang bersifat teologis dan sakral. Nabi
Muhammad menyatakan bahwa, Antum a’lamu biumuurid dunyakum (Engkau
lebih mengerti dalam urusan duniamu). Manusia diberi kepercayaan oleh
Allah SWT untuk mengatur dan membina realitas sosial sesuai kreatifitas dan
konteksnya masing-masing. Artinya, ada ruang toleransi bagi munculnya
keragaman pemahaman terhadap teks-teks agama sepanjang penafsiran
tersebut tidak bertentangan dengan bangunan dasar dari agama.4 Sementara
itu, apabila melihat realitas di masyarakat masih terdapat persoalan perbedaan
interpretasi yang mengarah pada eksklusivisme beragama.
Ajaran Islam diyakini sebagai ajaran yang shoheh fii kulli zamanin wa
makanin (benar di setiap waktu dan tempat), hal ini hanya dapat dibuktikan
jika umat Islam mampu melakukan aktualisasi dan kontekstualisasi karena
dengan cara ini, ajaran Islam bisa dioperasionalkan dalam kondisi apapun dan
saat kapanpun. Nabi Muhammad SAW melihat persoalan kemanusiaan dari
perspektif hubungan antarmanusia (Hablul-minan-naasi) bukan dari perspektif
teologis dan keimanan saja. Perbedaan keimanan bukan menjadi penghalang
melakukan interaksi sosial. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW terhadap orang kafir yang pernah menyakiti, Nabi tetap mau besuk dan
mendoakan, apalagi terhadap tetangga, relasi, dan kawan baik yang tidak
pernah mengganggu.

4
Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,
Jurnal Harmoni: Pemikiran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, volume IV, Nomor 13, Januari-
Maret, hal. 9

4
Sikap yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW di atas tidak akan
mengurangi nilai keunggulan ajaran Islam atau merusak keimanan. Bahkan
sebaliknya ajaran Islam justru akan terlihat jika perilaku dan akhlak sosial
umat Islam bisa memberikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian kepada
orang lain. Begitu juga kekaguman orang lain kepada suatu aliran dalam Islam
akan muncul jika pengikut aliran tersebut mampu bersikap elegan dan
simpatik dan sebaliknya apabila suatu aliran dalam Islam minim peran di
masyarakat yang didasarkan pada sikap sentimen yang dangkal dan emosional,
serta penuh prasangka, maka akan mengganggu proses interaksi sosial
sekaligus mengkerdilkan ajaran Islam yang mulia dan universal.
Berpijak pada penafsiran pada ajaran Islam yang memihak kepada
kaum yang tertindas dan dipinggirkan, maka setiap struktur sosial yang
mempertahankan praktik ketidakadilan terhadap golongan adalah berlawanan
dengan semangat Islam. Kondisi interaksi sosial yang tidak harmonis
merupakan hambatan bagi realisasi kesetaraan umat beragama, oleh karena itu
faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan tersebut muncul harus
diidentifikasi agar dapat diubah dengan semangat relegio-etik. Dengan
demikian, Islam akan hidup dan berkembang menjadi bagian dari peradaban
kemanusiaan.
Ancaman pelemahan peran Islam melalui munculnya aliran minoritas
yang bersifat eksklusif dan memiliki sentimen agama yang kuat dan
memunculkan sikap ketidak tenangan dan ketidak tenteraman dalam
masyarakat seharusnya menjadi tumpuan perhatian pemerintah dan masyarakat
untuk mengubah interaksi yang tidak setara (mayoritas) menjadi kondisi yang
setara agar tidak justru melumpuhkan peran Islam dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk menguak secara mendalam
realitas interaksi sosial kelompok-kelompok aliran pada kehidupan
masyarakat dapat dilihat dari beberapa aspek yang dalam penelitian ini
terfokus pada interaksi dalam kegiatan sosial keagamaan, sosial
kemasyarakatan, dan sosial politik (pemerintah).
Bertolak dari tiga aspek interaksi sosial tersebut, maka penelitian ini
juga diharapkan mampu mengidentifikasi potensi dan hambatan interaksional

5
serta merumuskan formulasi pola pembinaan kelompok aliran Islam itu dalam
kehidupan masyarakat di Jawa Tengah.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari pemikiran dalam latarbelakang di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah interaksi sosial kelompok aliran Islam minoritas di
berbagai daerah di Jawa Tengah?
2. Apakah faktor pendukung dan penghambat kelompok aliran Islam
minoritas dalam melakukan interaksi sosial dengan komunitasnya?
3. Bagaimana pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam minoritas?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan interaksi sosial kelompok aliran Islam Minoritas dalam
kegiatan sosial keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan hubungannya
dengan pemerintah.
2. Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat kelompok aliran
Islam minoritas dalam berinteraksi sosial pada berbagai kegiatan dengan
komunitasnya. baik dilihat dari internal aliran tersebut maupun dari pihak
eksternal
3. Mendeskripsikan pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam
minoritas yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.

D. Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman mengenai aliran Islam sebagai bahan
menetapkan kebijakan pembinaan terhadap kelompok-kelompok aliran-
aliran Islam Minoritas dalam masyarakat terkait dengan sistem interaksi
sosial keagamaan, kemasyarakatan, dan hubungannya dengan pemerintah.
2. Meningkatkan pemahaman potensi/faktor pendukung dan penghambat
interaksional internal aliran Islam Minoritas dalam perkembangannya di
berbagai daerah di Jawa Tengah.
3. Diketahuinya pola pembinaan terhadap kelompok aliran Islam Minoritas di
masyarakat.

6
E. Hasil yang Diharapkan
Adanya data dan kajian penelitian untuk rekomendasi tentang upaya
pembinaan terhadap kelompok-kelompok aliran minritas Islam di masyarakat
dan mengurangi hambatan aliran agama Islam dalam interaksi sosial.

F. Alur Pikir Penelitian

Kelompok
Aliran

Interaksi
Sosial

Sosial Politik Sosial Sosial Keagamaan


(Pemerintah) Kemasyarakatan

Potensi Hambatan
Kelompok kelompok

Pola Pembinaan

KERUKUNAN, TOLERANSI, PARTISIPASI

7
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Interaksi Sosial Aliran Islam


Kata interaksi berasal dari bahasa Inggris “interaction” yang berarti
intermediate action, action on each other, reciprocal action or effect
(Tindakan yang berlanjut, tindakan satu sama lain, tindak lanjut).5 Adapun
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi atau tindakan secara
timbal balik dan berlangsung kontinyu kelompok aliran Islam minoritas
dengan komunitasnya dalam beberapa aspek, yaitu dalam kegiatan sosial
keagamaan, sosial kemasyarakatan dan hubungannya dengan pemerintah.
Kelompok secara harfiah berarti beberapa orang yang berkumpul
menjadi satu.6 Yang dimaksud dengan kelompok dalam penelitian ini adalah
kelompok aliran Islam minoritas yang eksistensinya dalam komunitas
(masyarakat) merupakan jumlah yang relatif lebih sedikit anggotanya
dibandingkan dengan yang lain.7 Kelompok juga berarti golongan-golongan
dalam masyarakat yang berada dihadapan golongan-golongan yang lebih kuat
dan mempunyai kedududukan sosial lebih rendah, kekuasaan, martabat dan
hak yang dibatasi.
Kelompok yang berada dalam masyarakat realitas sosialnya sering
dikucilkan dan menjadi sasaran diskriminasi karena memang atau dianggap
mempunyai perbedaan-perbedaan jasmaniah, budaya dan sosial. Kelompok
seperti itu disebut marginal group yaitu kelompok yang terdiri dari orang-
orang yang mempunyai kedudukan rendah.8 Kelompok aliran dalam
pembahasan ini dipahami sebagai suatu kelompok yang eksisitensinya
merupakan pihak second social dalam struktur kemasyarakatan.

5
Simo & Schuster, Webster Dictionary, Published by New World Dictionary, Printed in The United State
of America. 1972. hal. 955.
6
Poerwadarminto, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka,. 1976. hal. 469.
7
Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia. Pn.PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve.
Jakarta. t.t., hal. 2.257.
8
Hendropuspito, D. OC., Sociologi Sistematik, Pn. Kanisius. Yogjakarta. 1989. hal. 74.

8
Masyarakat merupakan kesatuan terbesar dari manusia-manusia yang
saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan bersama atas dasar
kebudayaan yang sama.9 Masyarakat lingkupnya lebih luas dari pada lingkup
kelompok sosial. Adapun yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
masyarakat muslim. Lebih lanjut yang menjadi fokus penelitian ini adalah
interaksi kelompok aliran dalam kegiatan sosial keagamaan, sosial
kemasyarakatan, dan pemerintah.
Kehidupan beragama menurut konsep Wach memandang agama
merupakan suatu sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang
mengikat penganutnya atau peribadatan dan mempunyai sistem perhubungan
dan interaksi sosial atau kemasyarakatan.10 Agama bukan hanya dipandang
sebagai seperangkat aturan mutlak yang datangnya dari Allah, akan tetapi
dipandang sebagai perangkat aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Setiap pemeluk agama terikat oleh suatu ajaran tertentu, maka akan
terbentuklah kelompok-kelompok agama tertentu. Bila dalam kehidupan
masyarakat terdapat beberapa pemeluk agama yang berlainan, maka akan
terbentuk pula kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda. Kelompok-
kelompok keagamaan tersebut berkembang secara alamiah dan adakalanya
sengaja dibentuk dalam konteks sosial politik tertentu. Masing-masing
kelompok keagamaan tersebut mempunyai aktivitas-aktivitas, yang tidak
hanya dalam aspek peribadatan saja, melainkan juga dalam aspek sosial seperti
kemasyarakatan dan sosial politik.
Kelompok keagamaan tersebut saling berhubungan satu dengan
lainnya. Hubungan ini merupakan suatu proses interaksi sosial, yakni
hubungan timbal balik antara perorangan, antara orang perorangan dengan
kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat.11 Naluri ini
merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Upaya manusia dalam rangka memenuhi

9
Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, CV Rajawali. Jakarta. 1985. hal. 211.
10
Wach, Joachim. Sociology Of Religio, The University Of Cichago Press, London, 1964. Dikutip oleh
D. Hendro Puspito, O.C. dalam Sosiologi Agama, Kanisius, Malang, 1984, hal. 35
11
Ishomuddin, DR., Sosiologi Perspektif Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2005, hal.
163.

9
kebutuhan-kebutuhan hidupnya dilakukan melalui proses sosial yang disebut
interaksi sosial, yaitu hubungan timbal-balik antara orang perorang, antara
orang perorang dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam
masyarakat.12 Interaksi sosial tersebut dibentuk oleh harapan dan respon dari
dan terhadap orang lain sehingga selalu membentuk kehidupan sosial.13
Sedangkan istilah yang sering dipakai untuk menunjukkan subyek
orang dan juga dipergunakan untuk menunjuk pada sekelompok orang yang
menjadi sasaran diskriminasi sering dikaitkan dengan perbandingan jumlah
suatu kelompok yang lebih kecil dengan kelompok yang lebih besar. Di sinilah
muncul golongan yang tidak terlepas dari adanya kelompok dominan.
Pengertian kelompok juga sering didekati dengan size (jumlah) dan power
(kekuasaan).14 Dengan karakteristik antara lain; Pertama, golongan merupakan
segmen dari subordinat dalam suatu entitas yang kompleks. Kedua, golongan
memiliki perilaku yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya
dan dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan
memiliki kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri
tertentu.15 Berangkat dari karakteristik golongan atau kelompok inilah yang
memberikan pemahaman dalam tulisan ini secara komprehensif, bahwa
kelompok atau golongan yang tidak dominan dengan ciri khas aliran dari
agama tertentu yang berbeda dari agama mayoritas penduduk.

B. Potensi Kerjasama dan Hambatan Aliran Islam Minoritas


Proses interaksi sosial yang terjadi di masyarakat merupakan
fenomena yang dinamis dari kehidupan masyarakat. Menurut Kimball Young,
bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial yang berada di masyarakat dapat
dibedakan menjadi dua komponen, yakni kerja sama dan oposisi. Interaksi
sosial yang bersifat kerja sama akan melahirkan asimilasi, sedangkan interaksi

12
Ishomuddin, Sosiologi Perspektif Islam. Universitas Muhammadiyah. Malang. 2005. hal. 162-163
13
Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama
RI, Jurnal Harmoni: Dinamika Agama-gama di Indonesia , volume II, Nomor 8, Oktober-Desember,
hal. 14-15.
14
Schermerhorn, R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research, Random
House, New York, 1970, hal. 13
15
ibid

10
dalam bentuk oposisi akan melahirkan persaingan dan pertentangan.16 Kerja
sama pada tataran praktis adalah apabila orang menyadari bahwa mereka
mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan mengendalikan terhadap diri sendiri.
Bentuk kerja sama yang dapat dilihat antara lain: 1) Gotong royong; 2)
Bargaining, yakni pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang
dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.17
Pada sisi yang lain, interaksi sosial dalam bentuk kerja sama tersebut
juga akan melahirkan asimilasi, yaitu suatu proses sosial yang ditandai dengan
adanya usaha mengurangi perbedaan yang terdapat pada orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia dan juga berusaha untuk mempertinggi
kesatuan tindak, sikap dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan-
kepentingan dan tujuan bersama. Proses asimilasi akan timbul bila ada: 1)
kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya; 2) orang perorang sebagai
warga kelompok-kelompok itu saling bergaul secara langsung dan intensif
untuk waktu yang lama; 3) kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia
tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.18
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa faktor yang dapat mempermudah
terjadinya suatu asimilasi antara lain adalah: toleransi, memiliki kesempatan di
bidang ekonomi yang seimbang, sikap menghargai orang asing dengan
kebudayaannya, sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa dalam
masyarakat, persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan, perkawinan campuran,
dan adanya musuh bersama dari luar.19
Adapun interaksi sosial dalam bentuk oposisi dibagi menjadi dua,
yaitu persaingan dan pertentangan. Oposisi itu sendiri dapat diartikan sebagai
cara berjuang melawan seseorang atau kelompok, untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Persaingan yang lahir dari sebuah oposisi merupakan suatu

16
Kimball Young, Social Cultural Process, dalam Selo Sumarjan, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakultas
Ekonomi UI, Jakarta, 1986. Hal. 220.
17
James D. Homson - William, J. Mc Ewen, Organizational Goals Enviroment: Goal Setting As An
Interaction Process, dalam Selo Sumarjan, Ibid., hal. 235-245.
18
Clifford Geertz, Konflik Dan Konfigurasi, dalam Roland Robertson, Agama, Analisa Dan Interpretasi
Sosiologi, terjemahan AF Saifuddin, Rajawali, Jakarta, hal. 215-219.
19
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 70.

11
perjuangan sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk damai
atau tidak dengan kekuasaan.20 Sedangkan pertentangan merupakan suatu
perjuangan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai
tujuan tertentu dengan jalan melukai atau menghancurkan pihak lawan.21
Interaksi sosial dalam bentuk akomodasi adalah suatu usaha manusia
untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha untuk mencapai kestabilan.
Bentuk akomodasi adalah 1) Kursif, yakni bentuk akomodasi yang prosesnya
dilaksanakan oleh karena adanya paksaan, dan biasanya salah satu pihak
berada dalam posisi yang lemah; 2) Kompromi ialah dimana pihak yang
terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu
penyelesaian terhadap perselisihan yang ada; 3) Toleransi merupakan bentuk
akomodasi tanpa menggunakan persetujuan yang formal; 4) Arbitrasi ialah
suatu suatu cara untuk mencapai kompromi apabila pihak yang berhadapan
masing-masing tidak sanggup untuk mencapai sendiri, sehingga ada pihak
ketiga yang netral yang bisa mendamaikan.22
Sementara itu, interaksi sosial yang tidak kondusif dan melahirkan
sebuah pertentangan bahkan pada tataran tertentu menjadikan konflik dapat
diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor yang dapat mempertajam konflik
tersebut adalah karena adanya perbedaan ideologi yang mendasar, karena rasa
tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok-kelompok lain, adanya perbedaan
dan makin meningkatnya mobilitas status yang cenderung memaksakan kontak
di antara individu-individu dan atau kelompok-kelompok, dan makin
intensifnya perjuangan politik yang cenderung menyuburkan perbedaan agama
dengan kepentingan politik. Adapun faktor-faktor yang meredakannya adalah
adanya perasaan memiliki satu kebudayaan dan adanya toleransi umum yang
didasarkan atas suatu relativisme kontekstual yang menganggap nilai-nilai
tertentu sesuai dengan konteksnya.23

20
Kimball Young, Social Cultur Process, dalam Selo Sumarjan Op.cit., hal. 192.
21
ibid., hal. 193.
22
Kimball Young, Op.cit., hal. 235 – 245.
23
Geertz, Clifford. Konflik Dan Konfigurasi, dalam Roland Robertson, Agama, Analisa dan Interpretasi
Sosiologi, terjemahan AF Saifuddin, Rajawali, Jakarta, hal. 207.

12
C. Pembinaan Kerukunan, Toleransi, dan Partisipasi
Pluralisme di Indonesia merupakan keniscayaan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi, baik dari kesukuan maupun dari keyakinan beragama.
Bahkan pada tataran satu agamapun masih terdapat bagian-bagian atau
kelompok-kelompok yang tidak sefaham. Kebhinekaan inilah yang selamanya
dapat dipersatukan agar terjadi interaksi sosial yang baik dan tercipta
kerukunan umat beragama yang solid. Kerukunan umat beragama yang
dimaksud adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam negara kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.24
Realitasnya sering kemajemukan”perbedaan” tidak mengarah pada
sebuah kerukunan yang pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan, akan tetapi
memunculkan sebuah konflik yang dipicu oleh berbagai perbedaan yang ada
pada masyarakat. Sebagai contoh adalah di rusaknya mushalla LDII di Jember
atau dibubarkannya Tarekat Wahidiyah di Jawa Barat dan dibakarnya masjid
Ahmadiyah di Sukabumi. Padahal, apabila dicermati secara mendalam, setiap
agama juga mengajarkan kepada umatnya untuk mengasihi sesama makhluk
hidup dan bersikap positif terhadap alam. Hanya saja agama-agama sering kali
dipahami secara sempit dan eksklusif oleh penganutnya dan disertai perasaan
curiga yang berlebihan terhadap penganut agama lain maupun kelompok lain,
sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai macam konflik di masyarakat.
Sementara itu, sikap fanatisme yang berlebihan di kalangan penganut agama
masih sangat dominan sehingga dapat menimbulkan disharmoni yang
merugikan semua pihak, termasuk kelompok penganut agama.25
Hubungan pengaruh mempengaruhi antar agama dengan masyarakat
pada gilirannya melahirkan sikap dan perilaku keagamaan yang bersifat

24
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Tempat Ibadah.
25
Victor, Y. Tanja, Pluralisme Agama Dan Problem Sosial, 1998, Pustaka Cide Sindo, Jakarta, halaman
xx.

13
dikotomik, yaitu Pertama, sikap dan tingkah laku yang moderat, yakni
memperlihatkan keluwesan baik pada cara berpikir maupun pada perwujudan
tingkah laku, Kedua, sikap dan tingkah laku fanatik ekstrim, yang
menganggap diri dan kelompoknya selalu pada pihak yang benar, serta tidak
memberi kesempatan mengadakan kompromi dengan penganut agama lain.
Sikap dan tingkah laku keagamaan yang disebutkan pertama mengandung
pengertian bahwa agama dapat menjadi sumber persatuan. Sedang sikap dan
tingkah laku keagamaan yang disebutkan kedua mengandung pengertian
bahwa agama dapat menjadi sumber konflik.26
Dengan demikian, pembinaan kerukunan umat beragama pada
masyarakat diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dan tercapai
kerja sama dalam bentuk partisipatif, asimilasi, maupun akomodasi. Adapun
faktor yang memiliki peranan penting untuk mewujudkan adalah melalui
jalinan erat para aktor, seperti pemerintah, tokoh-tokoh agama atau organisasi
keagamaan dan tokoh masyarakat.
D. Kebijakan Kerukunan Umat Beragama
Kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 terutama
pasal 28E, 28I, dan 29. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
juga mengatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa: (1) Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya.
Kebijakan penting yang telah diambil oleh Pemerintah dalam rangka
pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu kebijakan tentang tugas kepala
daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, dan kebijakan yang
ditujukan kepada warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga
masyarakat pada umumnya. Kebijakan itu bukan merupakan intervensi

26
Bachtiar, Harsya W., Agama Dan Perubahan Sosial Di Indonesia, dalam Bulletin “Dialog “ Edisi No.
17, Jakarta, Badan Litbang Agama, 1984, hal. 20.

14
terhadap keyakinan masyarakat, melainkan upaya untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kebijakan tentang tugas kepala daerah dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama dituangkan dalam Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan ini singkatnya
disebut dengan PBM. Kebijakan ini memberikan pedoman kepada para kepala
daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama. Adapun yang diatur
dalam PBM ini bukan aspek doktrin agama, tetapi lalu lintas para warga
negara Indonesia pemeluk suatu agama ketika berinteraksi dengan warga
negara Indonesia lainnya yg memeluk agama berbeda. PBM ini tidak
membatasi kebebasan beragama seseorang dan juga tidak membatasi
seseorang untuk mendirikan rumah ibadat. Adanya persyaratan calon
pengguna 90 orang dewasa untuk pendirian sebuah rumah ibadat semata-mata
untuk mengadministrasikan dan mengetahui siapa saja yang hendak
menggunakan suatu rumah ibadat yang hendak dibangun. Demikianlah
kebebasan itu diberikan secara luas sebagai bagian dari upaya pemeliharaan
kerukunan umat beragama yang menjadi bagian penting dari kerukunan
nasional, yang merupakan salah satu tugas dari daerah, termasuk kepala
daerah, untuk mewujudkannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 butir
‘a’ UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Terkait dengan pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat
dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Pemerintah telah
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2008, Nomor
KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan
Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat tanggal 9 Juni 2008. Perlu
ditegaskan bahwa SKB itu bukanlah bentuk intervensi Pemerintah terhadap
keyakinan warga masyarakat, melainkan upaya Pemerintah untuk memelihara

15
keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya
pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham
keagamaan menyimpang. Bagi Pemerintah, masalah Jemaat Ahmadiyah
Indonesia mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya
pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan
ketertiban masyarakat. Sisi kedua, warga JAI adalah korban tindakan
kekerasan sebagian masyarakat. Kedua sisi ini harus ditangani Pemerintah.
Selain itu SKB juga memerintahkan aparat pusat dan daerah untuk melakukan
langkah-langkah pembinaan dan pengawasan bagi pelaksanaan SKB ini.
Langkah pembinaan ini dimaksudkan memberi kesempatan kepada penganut
JAI untuk memperbaiki perbuatannya yang menyimpang itu. Secara teknis
yuridis, jika terjadi pelanggaran bagi SKB ini, baik dilakukan oleh warga JAI
maupun masyarakat, maka masyarakat dapat melaporkannya kepada aparat
hukum, yang selanjutnya akan mengambil tindak lanjut. Apakah suatu tuduhan
suatu penodaan agama itu telah terjadi atau tidak, akan dilakukan oleh hakim
di Pengadilan dengan tentu saja mendengarkan saksi ahli.
Negara menjamin kebebasan beragama bagi para warganya, dan
tidak mencampuri aspek-aspek doktrinal dari suatu ajaran agama. Negara juga
melindungi seluruh warganya dan menegakkan keamanan dan ketertiban untuk
warganya. Setiap kali kebebasan itu sengaja atau tidak sengaja berujung
kepada terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat, maka negara
termasuk Pemerintah harus tampil untuk mengembalikan keamanan dan
ketertiban masyarakat itu sebagaimana mestinya. Kebebasan beragama adalah
hak yang pelaksanaannya harus diselaraskan dengan tanggung jawab untuk
menegakkan kewajiban dasar manusia seperti memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat.

16
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini didesain dengan menggunakan pendekatan kualitatif
untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang interaksi sosial kelompok
aliran Islam minoritas dalam masyarakat. Pendekatan kualitatif ini
digunakan dengan pertimbangan hendak mengungkap hakikat yang
sebenarnya tentang bagaimana interaksi kelompok aliran Islam Minoritas
dalam masyarakat.
Dengan pendekatan ini pula diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan penjelasan tentang interaksi kelompok aliran Islam minoritas di
masyarakatnya. Dengan pertimbangan pemilihan pada pendekatan kualitatif
dalam penelitian tersebut lebih tepat karena dapat menggali data lebih dalam.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini adalah dengan wawancara. Teknik ini
dilakukan terhadap tokoh kelompok aliran Islam minoritas, tokoh Islam
diluar aliran minoritas, tokoh masyarakat, dan pihak pemerintah. Hasil
wawancara ini diharapkan dapat mengumpulkan data terkait dengan
pandangannya dalam interaksi sosial keagamaan, interaksi sosial politik, dan
sosial kemasyarakatan berikut dengan hambatan dan potensi yang ada dalam
kelompok Islam minoritas dalam perspektif in group.
Teknik wawancara dengan tokoh masyarakat dan pihak pemerintah
untuk menghimpun informasi interaksi sosial kelompok aliran dalam
perspektif out group, baik dalam interaksi sosial keagamaan, interaksi sosial
politik, dan sosial kemasyarakatan. Di samping itu juga untuk menggali
hambatan dan potensi yang ada dalam kelompok aliran Islam Minoritas di
masyarakat. Wawancara juga dilakukan terhadap pihak Departemen Agama
Kabupaten/Kota dan Pusat untuk menghimpun informasi terkait dengan
kebijakan pola pembinaan kelompok aliran.

17
Teknik lain dalam menggali data adalah dengan observasi. Observasi
ini dilakukan untuk mengambil data yang terkait dengan hal-hal
sebagaimana dalam wawancara terhadap tokoh atau anggota kelompok aliran
Islam Minoritas di masyarakat. Fokus dari observasi ini adalah mengamati
tindakan-tindakan interaksi kelompok aliran dalam masyarakat dan beberapa
praktik ibadah secara langsung.
Telaah dokumen dilakukan untuk mengambil data yang tercatat, baik
dalam kelompok aliran maupun pemerintah terkait dengan berbagai hal
seperti referensi sumber ajaran dan dokumen kebijakan dalam pembinaan
kelompok aliran.
C. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencermati dan mensistematikakan
data-data yang diperoleh melalui wawancara, observasi maupun telaah
dokumen. Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu
selama di lapangan dan setelah dari lapangan.
Analisis di lapangan ditempuh dengan mempersempit fokus,
menetapkan tipe studi, mengembangkan pertanyaan analitik, menyusun
komentar, dan telaah kepustakaan yang relevan. Analisis setelah dari
lapangan ditempuh dengan membuat kategori-kategori masalah/temuan dari
lapangan dengan cara menata sekuensi atau urutan penelaahannya.
D. Lokasi Penelitian
Lima aliran di enam lokasi penelitian di kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah ini dipilih didasarkan pada sebaran perkembangan di
masyarakat, yaitu:
1. Aliran Syi’ah di Kota Pekalongan
2. Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA) di Surakarta
3. Kelompok Syahadatain di Kabupaten Banyumas
4. Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Pati
dan Kabupaten Grobogan
5. Kelompok Jamaah Tabligh di Kabupaten Magelang

18
BAB IV
GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN KEAGAMAAN
DAN PROFIL ALIRAN ISLAM MINORITAS
DI JAWA TENGAH

A. Aliran Syi’ah
1. Sejarah Singkat
Salah satu kelompok aliran keagamaan dalam Islam di Jawa Tengah adalah
aliran Syi’ah. Aliran Syi’ah dikembangkan oleh ustadz Ahmad Barakbah di Kota
Pekalolngan. Ustadz Barakbah adalah keturunan Arab generasi ke-6 yang
memiliki latarbelakang keagamaan berfaham Sunni sebagaimana yang dianut oleh
kedua orangtuanya dan keluarganya. Beliau pernah belajar di Universitas Qum
Iran selama ebih dari 5 tahun.
Kecerdasan ustadz Barakbah yang terlebih dahulu belajar di Universitas
Gajah Mada Yogyakarta jurusan Bahasa Arab dan aktivis PII dan HMI ini terlihat
setelah berhasil mendirikan Pondok Pesantren Al Hadi pada tanggal 4 Juli 1989
dan berkiblat ke Iran yang nota bene berfaham Syi’ah. Pendirian pondok
pesantren Al Hadi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan ustadz Barakbah terhadap
umat Islam yang diibaratkan pohon yang rimbun dan berbuah serta memiliki akar
yang kuat akan tetapi tidak pernah merasakan rindangnya pohon dan lezatnya
buah. Latarbelakang lain adalah untuk memberikan pemahaman kepada ummat
Islam terhadap persepsi yang salah atau keliru terhadap faham Syi’ah sekaligus
mengembangkan faham Syi’ah27.
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan membentuk pengurus pondok
pesantren yang diketuai oleh ustadz Ahmad Barakbah sendiri, Bidang Pendidikan
dipegang oleh ustadz Abdurrahman Barakbah (adik kandung ustadz Barakbah),
Bidang keuangan dan administrasi ustadz Muhammad Khotib (Teman ustadz
Barakbah dari Qum – Iran), dan dewan guru yang antara lain ustadz Ahmad

27
Mawardi, Marmiati. Hubungan Intern Ummat Beragama di Jawa Tengah ; studi kasus di Kota
Pekalongan. Balai Penelitian Aliran Kerohanian / Keagamaan Semarang. 1999. Halaman 204.

19
Barakbah, ustadz Muhammad Khotib, ustadz Muhammad Barakbah, ustadz Abdul
Ghoni dan ustadz Ahmad Zaini.
Pada awal berdirinya pondok pesantren, jumlah santri yang ditampung
berjumlah 5 orang dan berkembang menjadi 116 santri pada tahun 1999 dengan
jumlah ustad 11 orang.28 Pada tahun 2008 jumlah santri menurun hanya mencapai
60 santri laki-laki dan perempuan. Asal santri ini tidak ada yang berasal dari
Pekalongan, melainkan dari Tegal, Bengkulu, Kalimantan, Jawa Timur.
2. Paham Keagamaan
Paham keagamaan yang menjadi ”perdebatan” antara lain berkaitan
dengan Aqidah, Syariat, Wilayah, dan Nikah. Bagi ustadz Ahmad Barakbah,
bahwa hal yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah taqwa, iman,
ilmu dan jihad. Taqwa secara konsepsional dan praktis harus didasarkan pada Al
Qur’an karena Al Qur’an adalah sumber ajaran utama, iman adalah sesuatu yang
sangat privasi dengan bersumber pada hati, ilmu adalah sesuatu yang sangat
penting sampai-sampai yang akan mengangkat derajatnya adalah Allah SWT
bukan manusia dan jihad adalah berjuang untuk Allah SWT yang tidak hanya
sebatas pada perang membela Islam. Jihad adalah melakukan sesuatu yang
memiliki manfaat bagi dirinya dan juga bagi orang lain.
a. Aqidah
Berkaitan dengan aqidah yang menjadi pokok persoalan adalah rukun
iman di mana pada umat Islam umumnya rukun iman ada 6, hal ini berbeda
dengan yang menjadi dasar dari ajaran Syi’ah. Menurut ustadz Ahmad
Barakbah, bahwa untuk menentukan rukun iman lebih dahulu diambil
pengertian apa itu rukun. Rukun adalah sesuatu yang harus ada sehingga
keberadaannya mengharuskan orang meyakini. Rukun ini berbeda dengan wajib,
karena wajib apabila ditinggalkan dengan sengaja maka akan batal.
Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW adalah sesuatu yang harus
ada dan harus diimani, oleh karena itu rukun iman hanya 1 yaitu iman kepada

28
Pada tahun 1999 ustadz Barakbah mengembangkan sayapnya dengan mendirikan pondok pesantren di
Kecamatan Wonotunggal Kabupatan Batang. Wilayah ini dipilih karena di wilayah tingkat Kecamatan
belum ada pondok pesantren, namun demikian setelah berjalan selama + 10 bulan dibubarkan secara
paksa oleh masyarakat yang diindikasikan berasal dari wilayah Pekalongan , hal ini dikarenakan untuk
mayarakat sekitar tidak ada permasalahan.

20
Allah dan Rasul Muhammad SAW. Sedangkan yang lain adalah wajib untuk
diimani, maka orang Islam yang meninggalkan kewajibannya tersebut menjadi
batal imannya. Rukun iman yang 6 sebagaimana yang berkembang pada faham
sunni adalah pemahaman ulama. Persoalan rukun iman ini juga berkembang
pada persoalan imamiyah dimana kelompok Syi’ah meyakini akan adanya imam
yang harus memimpin kekhalifahan.
Imam adalah ahlulbait yang dipilih langsung oleh Allah SWT, sehingga
imam adalah urusan Allah SWT bukan urusan manusia. Imam yang menjadi
panutan oleh kelompok Syi’ah ada 12 imam dan imam yang pertama adalah Ali
bin Abi Thalib dan keturunannya. Adapun nama-nama imam yang disebutkan
berjumlah 12 imam tersebut diperoleh dari berbagai hadis yang
meriwayatkannya. Kepercayaan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai imam bukan
berarti mengkafirkan adanya kepemimpinan Khulafaurrasyidin yang lain,
seperti Abu Bakar Asshidiq, Umar ibnul Khattab, dan Usman ibnu Affan.
b. Syari’at
Rukun Islam yang dijadikan dasar dalam ajaran Syi’ah hanya 1, yaitu
Syahadat sebagaimana syahadat yang dijadikan umat Islam pada umumnya.
Sedangkan shalat, puasa, zakat dan haji adalah wajib sehingga apabila
ditinggalkan dengan sengaja maka Islamnya menjadi batal. Sebagai contoh
adalah ketika orang di luar Islam membaca syahadat dengan sendirinya sudah
Islam meskipun belum melakukan shalat, puasa, zakat dan haji.
Syahadat yang sering menjadi persoalan adalah Syahadat yang diakhiri
dengan kalimat Wasyhadu ‘Anna ‘Aliyyan Waliyullah. Menurut ustadz
Barakbah, bahwa kalimat tambahan Wasyhadu ‘Anna ‘Aliyyan Waliyullah hanya
diucapkan ketika mengumandangkan adzan karena adzan itu sendiri hukumnya
bukan wajib sehingga diperbolehkan, akan tetapi ketika dalam shalat maka
kalimat tambahan tersebut tidak dibacakan karena pada dasarnya dalam shalat
bacaan harus sesuai dengan yang dibaca oleh Rasulullah. Posisi Rasulullah
adalah posisi yang dimuliakan.
Shalat yang sering menjadi persoalan adalah pelaksanaan shalat yang
hanya menggunakan 3 waktu. Penetapan waktu ini berdasarkan waktu muktah
dimana shalat Subuh, shalat Dhuhur bersamaan waktu pelaksanaannya dengan

21
Ashar dan Maghrib dengan Isya. Dalam melakukan shalat tetap sesuai dengan
jumlah raka’at yang telah ditetapkan dan sebagaimana yang dilakukan oleh umat
Islam lainnya. Dalam pelaksanaan shalat ini juga terdapat shalat yang
kewajibannya boleh memilih, yaitu shalat Jum’at. Pelaksanaan shalat Jum’at di
pondok pesantren Al Hadi yang dipimpin oleh ustadz Ahmad Barakbah ini
diganti dengan shalat dhuhur, hal ini dilakukan karena belum ditegakkannya
syari’at Islam.
Shalat Jum’at adalah wajib pilihan (wajib takhyiiri) dan apabila umat
Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at-pun tidak ada masalah, bahkan
santrinyapun diperbolehkan mengikuti shalat Jum’at di masjid manapun.29
Ustadz Ahmad Barakbah sedikit menjelaskan perihal shalat Jum’at yang pada
awal diwajibkannya ketika Nabi Muhammad SAW sedang membina dan
mengatur masyarakat Madinah. Pada saat shalat Jum’at pertama kali dilakukan
imamnya bukan Nabi Muhammad SAW, bahkan Nabi sendiri tidak ikut shalat
Jum’at karena sedang mengatur masyarakat Madinah.
Puasa, Zakat dan Haji yang diterapkan dalam ajaran Syi’ah tidak berbeda
dengan umat Islam lainnya terutama dalam persoalan yang bersifat wajib, seperti
puasa ramadhan, perayaan Idul Fithri, zakat fitrah, perayaan Idul Qurban dengan
pembagian daging qurban untuk masyarakat pada umumnya, dan pelaksanaan
kewajiban haji ke tanah suci.
Persoalan lain yang sering menjadi pembicaraan pada kalangan
masyarakat Islam umumnya adalah pemahaman tentang nikah Mut’ah. Nikah ini
nampak tidak lazim dan merugikan salah satu pihak, terutama perempuan.
Padahal apabila dilihat lebih jauh, nikah mut’ah pada dasarnya menguntungkan
bagi pihak perempuan, hal ini dikarenakan semua yang menentukan adalah
wanita, baik mahar maupun batas waktunya. Begitu juga masalah perwalian
sama dengan nikah yang dilaksanakan oleh umat Islam lainnya.

29
Ustadz Ahmad Barakbah sebelum berangkat ke Iran adalah Khotib jum’at yang dari berbagai masjid
yang ada di Pekalongan dan luar Pekalongan, akan tetapi setelah pulang dari Iran dan mendirikan
Ponpes Al Hadi tidak lagi berkhutbah di masjid di Pekalongan, akan tetapi untuk wilayah di luar
Pekalongan apabila ada yang memintanya Khutbah jum’at maka ia akan melakukannya. Persoalan
tidak khutbah jum’at di Pekalongan bukanlah sebuah pilihan, melainkan karena tidak ada yang
memintanya berkhutbah dan tahu dirilah katanya.

22
Nikah mut’ah adalah suatu jalan keluar untuk menghindari perilaku
perzinahan, sehingga apabila nikah mut’ah menjadi sesuatu yang tidak
dipertentangkan atau dianjurkan, maka perzinahan tidak akan terjadi pada umat
Islam. Nikah mut’ah bukan berarti nikah tanpa syarat sebagaimana nikah
permanen, hanya saja nikah mut’ah lebih membawa kebahagiaan karena setelah
masa kontrak selesai dapat dilanjutkan. Masa kontrak adalah masa untuk
mengetahui lebih jauh perilaku suami yang apabila dipandang baik dan mampu
membawa pada keluarga yang baik dapat dijadikan nikah permanen.
Pandangan kelompok Syi’ah terhadap nikah yang dilaksanakan oleh
umat Islam yaitu dengan nikah permanen tidak ada masalah. Begitu juga
masalah poligami dan nikah sirri tidak ada permasalahan bagi kelompok Syi’ah.
Menurut Kepala Kelurahan Klego Kecamatan Pekalongan Timur, bahwa
kelompok Syi’ah apabila akan mengadakan pernikahan juga tetap mengurus
surat melalui prosedur pemerintah sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam
lainnya. Dengan demikian, pada dasarnya nikah dalam pandangan Syi’ah adalah
sunnah yang bernilai ibadah dan salah satu jalan untuk menghindari perzinahan.
Dari beberapa pemahaman tentang kelompok Syi’ah sesat yang terjadi
pada masyarakat sebenarnya hanya didasarkan pada beberapa literatur yang
sampai ke tangan dan berisi tentang ajaran Syi’ah yang dikategorikan sesat.
Padahal apabila melihat literatur tidak sedikit literatur karya orang sunni yang
juga menunjukan kesesatan. Literatur adalah sangat tergantung penulisnya,
sehingga apabila tidak suka dengan kelompok Syi’ah maka akan menulis
beberapa hal yang mengarah pada kesesatan kelompok Syi’ah.

B. Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA)


1. Sejarah Singkat
Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) didirikan pada tanggal 19 September
1972 oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. MTA berpusat di kota
Surakarta, tepatnya dijalan Serayu No. 12 Semanggi, Rt 06, RW. 15, Pasar
Kliwon, Surakarta.30

30
Brosur Mengenang 35 Tahun Perjalanan Dakwah MTA, hal. 1

23
Latar belakang pendirian Majlis Tafsir Al-Qur’an adalah didasarkan pada
kondisi umat Islam pada Akhir dekade tahun 1960-an dan awal dekade tahun
1970-an. Sampai dengan saat itu, umat Islam yang telah berjuang sejak zaman
Belanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupun
kultural, justru semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah Thufail Saputro,
seorang mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapat
kesempatan untuk berkeliling hampir keseluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya.
Melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang seperti itu, tidak lain disebabkan
umat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Qur’an. Oleh karena, sesuai
dengan ucapan seorang ulama bahwa umat Islam tidak akan menjadi baik
kecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaitu
Al-Qur’an. Ustadz Abdullah Thufail Saputro yakin bahwa umat Islam Indonesia
hanya akan dapat melakukan emansipasi di segala bidang apabila umat Islam
Indonesia mau kembali ke Al-Qur’an. Demikian, maka Udtadz Abdullah Thufail
Saputro pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat Islam
kembali ke Al-Qur’an.31
Berasal dari latar belakang pendirian sebagaimana di atas, maka tujuan
didirikannya MTA adalah untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an.
Sesuai dengan nama dan tujuannya itu, maka pengkajian Al-Qur’an dengan
tekanan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan Al-Qur’an menjadi
kegiatan utama MTA.32
Dalam rangka menghindari negative perception dari pihak lain, maka
MTA tidak dikehendaki menjadi lembaga yang illegal, tidak dikehendaki
menjadi ormas/parpol tersendiri ditengah-tengah ormas-ormas dan orpol-orpol
tertentu. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badab hukum yang dipilih
adalah yayasan. Oleh karena itulah pada tanggal 23 januari tahun 1974, MTA
resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodioejo.
Dengan demikian dapat dipahami lebih jauh bahwa MTA bukan partai
politik dan tidak akan menjadi partai politik, bukan suatu golongan dan tidak
akan menjadi suatau golongan tersendiri dari umat Islam. Seluruh umat Islam

31
Selayang Pandang Yayasan Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA), September 2007, hal. 1
32
Ibid, hal. 1

24
digolongan dan partai manapun adalah saudara. MTA berharap saudar-saudara
yang aktif di golongan dan partai manapun hendaklah selalu menjadikan Al-
Qur’an dan Sunnah sebagai way of life, selalu menyuarakan Islam kepada
Manusia, menjalin ukhuwah Islamiyah, rasa musawah sesama muslim, tanpa
merasa lebih antara satu dengan yang lain. Kepada saudara-saudara kami yang
non muslim, kita bisa berdampingan, saling hormat menghormati tidak saling
mencela dengan berbuat baik serta berlaku adil,selama mereka tidak memusuhi
kita karena agama.
Sampai dengan usianya yang ke 35 tahun ini, MTA yang berpusat di
Kota Surakarta sudah memiliki 29 perwakilan (tingkat kabupaten/kota) dan 139
cabang (tingkat kecamatan ) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.33
2. Paham Keagamaan
Sumber ajaran yang dipedomani oleh warga MTA tidak berbeda dengan
kelompok organisasi/umat Islam pada umumnya, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
Bagi MTA bahwa Al Qur’an dan Al Hadits itu tidak cukup hanya untuk
dipelajari dan dipahami saja. Tetapi lebih jauh dari itu harus diupayakan untuk
dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi berpedoman Al
Qur’an dan Al Hadits itu tidak bisa di tawar-tawar lagi sebagai pedoman
manusia untuk mengarungi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Bagi MTA berpedoman Al Qur’an dan Al Hadits itu final, oleh karena
warga MTA tidak mudah digoyahkan dan dipengaruhi paham maupun pendapat
pendapat kelompok/organisasi/umat lain. Sebagaimana prinsip MTA bahwa
ketika kita memberikan dakwah sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits menurut
pemahamannya, kemudian ada pihak lain yang tidak sependapat itu tidak
masalah (lanaa’maluna walakum a’malakum).
Kemudian tentang akidah yang di kembangkan oleh MTA pada
kenyataannya tidak berbeda denngan akidah yang dipedomani oleh umat Islam
di Indonesia, seperti percaya tentang rukun iman yang enam, yaitu iman kepada
Allah SWT, malaikat, rasul, kitab, hari akhir, qodha dan qodar. Apa bila
dipahami secara mendalam , akidah MTA ada identik dengan paham salah satu

33
Hasil wawancara dengan Ketua MTA Al Ustadz Drs. Ahmad Sukino, pada tanggal 25 April 2008

25
ormas Islam di Indonesia, seperti dalam praktek ibadah, dan kaifiyah salat
subuh.
Terkait dengan syariah (fiqih), warga MTA tanpa ikatan pada salah satu
mazhab. Landasan hukum yang dipedomani dan dilaksanakan oleh warga MTA
harus bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits. Meskipun demikian warga MTA
tidak berarti anti atau tidak mengikuti ajaran mazhab tertentu, tetapi dalam
implementasinya ke syariatan (fiqih) jika berkiblat imam mazhab tertentu, maka
harus dirujuk dulu bagaimana ketetapan dalam Al Qur’an dan Al Hadits
terhadap sustu hukum yang hendak dilakukannya, seperti tentang salat, puasa,
zakat, haji, nikah, dan sebagainya.
Berdasarkan faham keagamaan yang dikembangkan Majlis Tafsir Al
Qur’an (MTA) di atas memberikan deskripsi bahwa betapa ketat dan kuatnya
paham keagamaan warga MTA, yakni tidak sama sekali berani berpedoman
dalam keagamaannya selain pada Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan dasar kedua
hal itulah yang menjadikan warga MTA oleh pihak lain, yang belum
memahaminya, diberikan kesan dan stigma sebagai kelompok yang keras dan
ekslusif
Padahal sebenarnya paham yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh
warga MTA itu benar-benar berupaya senantiasa sesuai dengan ajaran Al Qur’an
dan Al Hadits. Kemudian jika dulu distigmakan oleh pihak lain bahwa warga
MTA itu sebagai kelompok ingkarussunah, ternyata dalam tatanan kehidupan
dan pahamnya pun tidak lepas dari tuntunan Al Hadists pula.
Munculnya stigma-stigma negatif terhadap paham yang dikembangkan
MTA itu tidak bisa terlepas dari kiprah tokoh pendirinya yang terkesan keras
dan lugas. Hal itu dimungkinkan pemahaman terhadap Al Qur’an dan
implementasinya cenderung murni (apa adanya). Sehingga bagi masyarakat non
warga MTA yang berbeda paham muncul rasa tidak simpati atau bahkan
memusuhi. Selain itu dimungkinkan pula metode dakwah yang lugas oleh para
ustadz waktu itu.
Namun, setelah era reformasi dewasa ini eksistensi dan paham yang
dikembangkan oleh MTA mulai dipahami oleh pihak lain. Sehingga MTA
makin hari semakin berkembang pesat hingga hampir keseluruh wilayah

26
Indonesia. Hal itu merupakan bukti bahwa bahan yang kembangkan MTA itu
pada dasarnya sama dengan paham yang dikembangkan oleh kelompok lain.

C. Kelompok Syahadatain
1. Sejarah Singkat
Secara nasional Kelompok Jamaah Syahadatain telah terdaftar di
Departemen Agama urutan ke-56 dengan nomor administrasi
D.III/OT.014/174/2001 tanggal 8 Mei 2001. Sedangkan di Departemen Dalam
Negeri telah didaftarkan pada tanggal 28 Maret 2001 dengan Nomor Surat
05/B/DPP/III/2001 dan diterima keberadaannya berdasarkan Surat Nomor
Inventaris : 39/D.I/IV/2001. Dalam surat ini dijelaskan sifat kekhususan adalah
Kesamaan Agama Islam dengan nama organisasi Jamaah Asy Syahadatain
Indonesia.
Keberadaan Syahadatain sebagai kelompok keagamaan yang berada di
Kabupaten Banyumas ini berasal dari Cirebon Provinsi Jawa Barat. Kelompok
ini berdiri pada tahun 1945 di Kabupaten Banyumas tepatnya di Desa Purbadana
Kecamatan Kembaran Purwokerto. Proses berdirinya berawal kepulangan Kyai
Husein (almarhum) dari Pondok Pesantren Tebuireng (Jamsaren) Provinsi Jawa
Timur dan melanjutkan untuk memperdalam ilmu agama ke Cirebon tepatnya
pada Kyai Abah Umar dan Abah Ismail. Pada saat belajar untuk memperdalam
inilah Kyai Husein aktif dipengajian yang didirikan oleh Kyai Abah Umar
dengan nama pengajian AsySyahadatain.34
Berdirinya kelompok Syahadatain di Desa Purbadana adalah diawali
dengan pendirian masjid Syahadatain oleh Kyai Husein yang didukung oleh

34
Pada saat Kyai Husein (almarhum) berangkat ke Cirebon ditemani oleh Kyai Abdul Shomad dan
bersama-sama berguru pada Abah Umar dan Abah Ismail. Namun demikian, setelah pulang
keduanya tidak memiliki pemahaman yang sama dalam pengembangan agama melalui dakwah. Kyai
Abdul Shomad memilih untuk tidak mengembangkan Syadatain melainkan lebih mengembangkan
Tarekat Syadzaliyah dan berdakwah ke berbagai daerah. Kedua Kyai muda tersebut pada akhirnya
harus berpisah untuk membawa misi yang berbeda, yaitu Kyai Husein lebih memilih Syahadatain
untuk menerapkan metode berdakwah dan menganggap sebagai kelompok yang mempertahankan
organisasi Nahdlotul ‘Ulama (istilahnya NU yang konsekuen), sedangkan Kyai Abdul Shomad
memilih berdakwah dengan “gaya” NU sebagaimana yang dikembangkan oleh NU umumnya.

27
adiknya (Kyai Mustangin)35 dan putra-putranya. Proses pendirian masjid ini
tidak dipermasalahkan oleh warga setempat meskipun tidak jauh dari masjid
Syahadatain terdapat masjid yang lebih banyak dikunjungi ketika shalat Jum’at.
Menurut Kepala Desa (Bapak Warsito) keberadaan masjid Syahadatain tidak
mengganggu lingkungan sekitar,36 baik pada saat melakukan kegiatan
Dzikir/Tahlil dan Yasin setiap Kamis malam jum’at maupun tawasulan setiap
hari Minggu malam Senin.
Perkembangan kelompok Syahadatain untuk wilayah Desa Purbadana
tidak terlalu pesat, hal ini dikarenakan proses ”ritual” yang diselenggarakan
ketika dzikir, Tahlil maupun Tawasulan terlalu lama sehingga peminatnya tidak
banyak. Menurut Warsito, bahwa keengganan anggota masyarakat untuk tidak
mengikuti lebih dikarenakan tidak kuat mengikuti acara ”ritual” dzikir maupun
tawasulan. Apabila dilihat dari aspek ibadah shalat tidak ada masalah dan bisa
diikuti oleh seluruh umat Islam.37
Jumlah anggota jamaah kelompok Syahadatain pada awalnya hanya pada
lingkup keluarga Kyai Husein, namun demikian dalam perkembangannya telah
diminati oleh beberapa orang dari berbagai wilayah di luar Kecamatan
Kembaran. Secara administrasi tidak terdapat jumlah yang pasti, hanya saja
menurut Ahmadi (Anggota sekaligus putra Kyai Mustangin) jumlah jamaah
sekitar 200 orang, hal ini akan terlihat ketika penyelenggaraan acara ”Rajaban”
dan acara besar lainnya yang melibatkan seluruh anggota jamaah.
2. Paham Keagamaan
Sumber ajaran yang dipedomani oleh warga Jamaah Kelompok
Syahadatain sama dengan umat Islam pada umumnya, yaitu berpedoman pada
Al Qur’an dan Hadits atau Ahlul Sunnah wal Jamaah. Selain kedua dasar utama

35
Kyai Mustangin adalah adik kandung Kyai Husein yang memiliki kemiripan dari berbagai aspek,
terutama dalam aspek fisik. Kyai Mustangin ini secara otomatis menjadi pimpinan Syahadatain setelah
Kyai Husein meninggal dunia pada bulan Maret 2008.
36
Dari hasil pengamatan, bahwa jumlah jamaah shalat jum’at kurang dari 30 orang laki-laki dan 5 orang
perempuan. Adapun jamaah yang shalat jum’at lebih banyak dari wilayah yang cukup jauh sehingga
kebanyakan mereka memakai kendaraan roda dua, sedangkan anggota masyarakat sekitar lebih
memilih shalat jum’at di masjid umum.
37
Anggota kelompok Syahadatain termasuk golongan usia yang telah lanjut dan sudah berkeluarga,
meskipun ketika shalat terlihat anak muda usia yang berjamaah dan berjubah putih. Sementara itu,
orang tua Warsito sebagai Kepala Desa termasuk pengikut setia kelompok Syahadatain.

28
tersebut juga mengikuti paham Sunni yang melekat pada organisasi Nahdlotul
’Ulama. Bagi Kelompok Jamaah Syahadatain, bahwa Al Qur’an dan Al Hadits
itu sebagai sumber utama yang paling agung, akan tetapi untuk menambah
amalan-amalan ibadah lainnya dibutuhkan pedoman lain yang melekat pada
guru atau berusaha menjalankan amalan seperti yang dijalankan oleh gurunya.
Menurut H. A. Mawardi yang menjadi pengikut sejak tahun 1972 bahwa
ajaran yang dijalankan oleh anggota kelompok Syahadatain adalah sebagaimana
yang dilakukan dan diajarkan oleh guru pendahulunya di Cirebon dengan tidak
mengurangi sedikitpun dan ajaran tersebut sama dengan yang dijalankan oleh
anggota jamaah Nahdlotul ’Ulama (NU). Oleh karena itu, kelompok ini merasa
kelompoknya adalah pengikut NU yang konsisten. Hal ini dilihat dari misi
utamanya adalah mengistiqomahkan masalah sunnah, seperti selalu bersorban
putih, selalu menjalankan sunnah Rowatib dan selalu menjalankan shalat sunnah
Dhuha dan Tahajjud.
Sebagai pelengkap untuk melakukan amalan ibadah setelah shalat fardlu
digunakan buku pedoman yang diberi nama Aurod Asy-Syahadatain. Buku ini
berisi tentang bacaan sebelum melakukan shalat fardlu (puji-pujian), do’a buka
puasa sebagaimana yang dibaca umat islam lainnya, niat shalat sunnah,38niat
shalat fardlu dan beberap do’a pada umumnya.
Selain niat dan do’a di atas, buku ini juga menuntun jamaah untuk
melakukan wirid dengan nama Aurod Ati Saalim yang diawali dengan Syahadat
3 kali, istighfar 100 kali, Dzikir 100 kali, Alloh 100 kali, Huu 100 kali yang
dilanjutkan dengan kalimat Huwalloohu ahad …. Sampai surat al Ikhlas selesai..
Bacaan dilakukan setelah shalat fardlu habis maghrib dan isya terutama malam
Jum’at. Sedangkan bacaan lainnya yang diberi nama tawasulan dibaca setiap
hari Ahad malam Senin.39

38
Dalam pelaksanaan shalat sunnah ini terdapat shalat sunnah Daf’il Balaa’ dan shalat Isyrooq yang
dilakukan dengan dua rokaat.
39
Pelaksanaan pembacaan Aurod ATi Salim setiap malam jum’at adalah dikarenakan setiap hari kamis
sore Ruh orang yang sudah meninggal datang kepada keluarganya, sehingga diupayakan setiap sejak
sore sebelum maghrib sudah mulai dibacakan wirid dan do’a-do’a agar ruh yang datang merasa senang.
Sedangkan untuk tawasulan dilakukan setiap hari ahad (minggu) malam senin dikarenakan senin adalah
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sehingga harus selalu diingat dan dibacakan do’a dengan tawasul
agar limpahan rahmat, berkah dan hidayahnya melimpah kepada umatnya terutama kepada yang
membaca.

29
Baik pujian maupun dalam membaca wirid dan bacaan lainnya tidak
semuanya dalam bentuk bahasa Arab melainkan juga bahasa Jawa. Khusus
untuk pujian, sebelum melaksanakan shalat fardlu berbeda lafadz atau bacaan-
bacaan yang dibaca. Misalkan pada saat akan shalat dhuhur pujian yang dibaca
diawali dengan kalimat Robbanaa Dholamna….., dan pada shalat ashar pujian
dalam bentuk shalawatan yang diawali dengan kalimat Alloohumma Sholli ‘Alaa
nuuril anwaari.
a. Aqidah
Terkait dengan akidah yang dikembangkan oleh kelompok
Syahadatain tidak berbeda dengan umat Islam lainnya. Hal ini terlihat dari
keyakinan terhadap rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah SWT,
malaikat, rasul, kitab, hari akhir, qodha dan qodar. Menurut H. A. Mawardi,
bahwa aqidah yang dikembangkan dalam kelompok Syahadatain sama sekali
tidak ada perbedaan, yaitu tetap menganut pada keyakinan yang 6 sebagai
rukun iman. Keyakinan ini tidak lagi dibicarakan dalam kelompoknya
dikarenakan sudah pasti dan tidak akan ada perubahan.
Keyakinan terhadap rukun iman ini juga nampak dari lafadz-lafadz
yang dibaca setelah shalat wajib dengan menempatkan Malaikat setelah para
Nabi. Sebagai contoh ketika shalat maghrib selesai (Aurod Ba’dal Maghrib)
dilakukan bacaan Syahadat 3x, Istighfar 7 x, Subhanalloh 3 x, Al
Hamdulillah 3 x, Allohu Akbar 3 x, Dzikir 11 x, shalawat 7 x dilanjutkan
dengan bacaan do’a dengan wasilah kepada para Rasul dan juga para
Malaikat.40
b. Syariat
Rukun Islam yang menjadi rujukan atau yang dipedomani oleh
kelompok Syahasdatain juga sama dengan umat Islam lainnya, yaitu
Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Syahadat yang dikenal adalah
Syahadat Tauhid untuk mengesakan Allah SWT dan syahadat Rasul untuk
meyakinan utusan Allah SWT. Begitu juga dalam persoalan shalat,
kelompok Syahadatain berpegang pada adanya shalat wajib (fardlu) dan

40
Aurod Asy-Syahadatain, Buku Pedoman kelompok Syahadatain.

30
shalat sunnah. Untuk shalat fardlu dilakukan sama dengan umat Islam
lainnya, yaitu 5 waktu (Isa, Subuh, Luhur, Asar dan Maghrib). Sedangkan
untuk shalat sunnah terdapat shalat sunnah yang tidak dikenal oleh ummat
Islam pada umumnya, yaitu shalat sunnah Daf’ul Balaa’ yang dilakukan
setelah shalat Isya dengan jumlah rakaat 2 rakaat.
Dalam shalat sunnah Daf’ul Balaa’ ini terdapat aturan-aturan
tertentu, yaitu bacaan setelah shalat adalah Syahadat 3 kali, istighfar 7 kali
dan surat-surat pendek lainnya, seperti Alqodr, Ayat Kursi, Al Fiil.
Pembacaan surat diawali dengan kalimat Allohumma bihaqqi Alam Taro….
Dilanjutkan shalawat sampai ke khalifah dan dilanjutkan dengan kalimat
bahasa Jawa seperti Abdi Tiyang odo tiyang salah nuhun gendul nuhun
Syafaat kanjeng Nabi Muhammad SAW…… Menawi wonten bala fitnah
saking kilen tidingna ngilen( terus) nyebul ngulon.
Rangkaian selanjutnya dalam melakukan shalat tolak bala’ ini adalah
menghadap ke barat (Madep Ngulan) dengan membaca surat Al Qodr
dilanjutkan Laailaahaillallah Muhammadurrosuulullah menawi wonten bala
saking ler sapunana ngaler – nyebul ngalor. Hal ini dilanjutkan dengan
menghadap ke timur (mdep ngetan), madep ngidul, dan madep ngulon
dangak mundur dengan bacaan yang tidak jauh berbeda.
Dalam shalat wajib secara umum tidak ada perbedaan yang berarti.
Hanya saja ketika shalat Jumat terdapat perbedaan yang nampak dari
keumuman yang dilakukan oleh masyarakat NU. Perbedaan tersebut antara
lain jumlah jamaah shalat Jum’at tidak harus 40 orang sebagaimana yang
dilakukan di masjid NU umumnya, Jamaah kebanyakan berasal dari luar
wilayah desa Purbadana dan shalat sunnah qobliyah maupun ba’diyah
dilakukan secara berjamah.
Puasa, zakat dan haji yang dijadikan pedoman sekaligus dilaksanakan
oleh kelompok Syahadatain tidak berbeda dengan masyarakat Islam pada
umumnya, yaitu puasa wajib dilaksanakan ketika bulan Ramadhan dengan
mengikuti pemerintah untuk mengawali dan mengakhiri. Adapun untuk
shalat Iedul fithri maupun Iedul Adha dilaksanakan di Masjid Syahadatain.
Begitu juga zakat yang dilakukan adalah zakat fitrah sebelum shalat Iedul

31
Fithri dan Haji diwajibkan bagi yang memiliki kemampuan secara finasial
dan fisik.

D. Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Pati


1. Sejarah Singkat
Eksistensi LDII bermula sejak masih bernama YAKARIS sekitar tahun
1974-an. Dari nama YAKARI mengikuti perkembangan secara nasional berubah
menjadi LEMKARI yang pada awalnya dirintis (didirikan) oleh Bapak Haji
Suyono, Misman, dan Bapak Sudjadi. Ketiga orang tersebut bersedia merintis
YAKARI di Kabupaten Pati atas adanya motivasi dari Bapak Sarjono dan Bapak
Tulus. Ketika masih bernama YAKARI kepemimpinan dipegang oleh Bapak H.
Anwar Muhammadin dan Bapak H. Jasno. Kemudian ketika berubah menjadi
LEMKARI, kepemimpinan dipegang oleh Bapak Drs. Suratno dan Bapak Drs.
Juhadi.
Jumlah anggota LDII se-Kabupaten Pati pada tahun 1980-an sekitar
7.000 orang. Kemudian perkembangan selanjutnya sampai dengan tahun 1990-
an jumlah anggota sekitar 20.000 orang dan hingga tahun 2008 ini diperkirakan
mencapai 25.000 orang.
Pada tahun 1980 eksistensi anggota LDII berada di wilayah Kecamatan
dan pada tahun 1990 tumbuh berkembang di 20 wilayah kecamatan hingga
sekarang.
2. Paham Keagamaan
Sumber ajaran yang dipedomani oleh anggota LDII adalah berupa Al
Qur’an dan al Hadits. Kedua sumber tersebut senantiasa menjadi landasan
anggota LDII dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, bagi anggota LDII
harus secara sungguh-sungguh mau mendalami, memahami dan mengamalkan
ajaran yang terkandung dalam kedua ajaran tersebut.
Bagi anggota LDII di Kabupaten Pati untuk meningkatkan kemampuan
dan pengetahuan tentang agama selain bersumber Al Qur’an dan Al Hadits
ternyata juga diajarkan beberapa kitab tafsir Ibnu Abbas, Kutubussittah, Shahih
Buhori, dan Sohih Muslim.

32
a. Aqidah
Akidah yang dianut oleh anggota LDII tidak berbeda dengan paham
akidah yang dianut oleh umat Islam Indonesia pada umumnya, yakni paham
yang dikembangkan Ahlussunnah wal Jamaah, seperti mereka juga meyakini
bahwa rukun iman itu terdiri dari iman kepada Allah SWT, iman kepada
Malaikat Allah, iman kepada Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman
kepada qodlo dan qodar.
b. Syariah
Dalam pembahasan syariah yang dipedomani oleh angota LDII di
Kabupaten Pati di sini hanya difokuskan kepada aspek shalat, puasa, zakat,
haji dan nikah. Dalam masalah shalat, anggota LDII melaksanakan shalat
wajib 5 waktu dan melaksanakan shalat sunnah, seperti shalat sunnah Tahajud,
Dhuha dan Hajat. Khusus untuk shalat subuh tidak menggunakan bacaan
qunut dan ketika shalat Jum’at menggunakan dua adzan dengan khutbah
menggunakan teks dalam bahasa Arab, hal ini juga dilakukan ketika shalat
‘Idain yang dilaksanakan di lapangan dengan khutbah menggunakan teks
bahasa Arab. Sedangkan untuk shalat sunnah Tarawih dilakukan dengan 8
rakaat yang ditambah witir 3 rakaat.
Puasa yang dilakukan oleh anggota LDII dalam bulan Ramadhan
mengikuti ketetapan Pemerintah, baik pada awal maupun akhir Ramadahan.
Sedangkan pada rukun Islam yanglain, yaitu Zakat bagi anggota LDII tidak
berbeda pandangan dengan ummat Islam Indonesia umumnya, yakni bahwa
zakat itu wajib dikeluarkan bagi orang yang memiliki harta benda yang sudah
mencapai batas ketentuan (nishab).
Haji bagi anggota LDII ditekankan untuk melaksanakannya apabila
sudah memiliki persyaratan maupun kemampuan. Kemudian tentang haji
amanah bagi anggota LDII diperbolehkan dengan syarat pelaku haji amanah
pernah melaksanakan ibadah haji untuk dirinya.
Nikah bagi anggota LDII senantiasa ditekankan agar ketika melakukan
pernikahan di KUA. Hal ini dikarenakan dengan nikah di kantor KUA berarti
sudah syah secara formal administrasi (Pemerintah) maupun secara agama.

33
Meskipun demikian bagi anggota LDII berpandangan bahwa nikah secara
agama saja (sirri) adalah syah hukumnya.

E. Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Grobogan


1. Sejarah Singkat
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Kabupaten Grobogan tidak
diketahui secara pasti kapan mulai muncul. Hal ini dikarenakan anggota LDII
yang masuk ke wilayah Grobogan khususnya di wilayah Purwodadi sebagai pusat
kegiatan tingkat Kabupaten tidak menetap. Menurut Sarwo anggota asal Wonogiri
bahwa, sejak datang ke Purwodadi pada tahun 1974 sudah ada LDII dengan nama
LEMKARI, hanya saja pada saat itu tidak diketahui persis kapan pertama kali
muncul.
Keberadaan LEMKARI pada tahun 1974 yang diketahui oleh Sarwo diakui
oleh Bambang Setyobudi, hanya saja tempatnya berada di wilayah Kelurahan
Brambangan bukan kelurahan Purwodadi seperti yang sekarang ini dan benar-
benar eksis di wilayah Kelurahan Purwodadi tepatnya di RT 07 RW XXI Jetis
Selatan Kelurahan Purwodadi Kecamatan Purwodadi antara tahun 1982. Menurut
Moh. Hasym, S.Pd. (Guru Sejarah pada SMAN 1 dan SMA PGRI Purwodadi)41
embrio munculnya LDII di Kelurahan Purwodadi sebelum tahun 1982 dan pada
saat itu masih sangat eksklusif. Hal ini tergambar dari peristiwa tahun 1982 di
mana ada beberapa siswa dan warga yang shalat di Masjid milik LDII
dipel/dibersihkan setelah selesai melakukan shalat.
Kejadian di atas berkembang pada kejadian yang lain, yaitu tidak maunya
anggota LDII menjemur pakaian bersamaan dengan jemuran milik warga. Kondisi
seperti inilah yang pada saat itu LDII sulit untuk berkembang. Menurut Drs.
Suharman, bahwa tidak maunya anggota LDII menjemur pakaian bersama warga
bukan karena menganggap hasil cucian warga masih najis, melainkan kepantasan
pakaian yang dijemur, yaitu menjemur lebih baik di dalam atau di belakang
rumah, karena apabila di dalam atau dilihat orang lain tidak pantas.

41
Lokasi pusat aktivitas LDII berada di belakang gedung SMAN 1, SMA PGRI, dan juga SMA Nasional.

34
Keberadaan LDII ini semakin mengalami kemajuan yang cukup pesat
setelah era reformasi, yaitu dapat merehab Masjid, menambah bangunan untuk
perkantoran dan gedung pertemuan atau aula. Kemajuan ini juga terlihat dari
aktifitas yang dikembangkan, yaitu dari pengajian rutin setiap hari Senin, Selasa,
dan Jum’at berkembang dengan penambahan pengajian cabe rawit untuk anak-
anak dan pengajian umum dalam rangka memperingati hari besar Islam.
Persebaran pengurus maupun anggota LDII Kabupaten Grobogan ini
cukup luas hampir di setiap Kecamatan yang ada di Kabupaten Grobogan. Begitu
juga persebaran pengurus maupun anggota yang aktif dalam setiap kegiatan di
pusat kegiatan LDII Kabupaten Grobogan terutama dalam pelaksanaan shalat
Jum’at berasal dari berbagai wilayah desa dan kecamatan yang ada di Kabupaten
Grobogan. Kekompakan dan soliditas inilah yang menggambarkan LDII
Kabupaten Grobogan sangat kuat dan cukup dikenal oleh kalangan masyarakat.
Dan anggota masyarakat merasa terbantu oleh pengurus LDII adalah pada saat
banjir melanda wilayah Kecamatan Purwodadi dimana sebagian masyarakat
mengungsi di aula LDII dengan diberi makan nasi bungkus maupun mie rebus.
2. Paham Keagamaan
Lembaga Dakwah Islam Indonesia sebagai lembaga yang didirikan pada
tanggal 3 januari 1972 memiliki tujuan yang telah dirumuskan dalam musyawarah
nasional. Tujuan LDII adalah meningkatkan kualitas kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang islami serta turut serta dalam membentuk manusia
Indonesia seutuhnya...(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga LDII Bab II
pasal 5. Dari tujuan meningkatkan kehidupan yang islami inilah LDII
mendasarkan paham keagamaannya pada al Qur’an dan al Hadits.
Menurut Drs. Suharman, LDII tidak mengenal paham keagamaan seperti
yang dikenal oleh ummat Islam pada umumnya, yaitu Ahlussunnah wal Jamaah
karena yang dikembangkan atau diajarkan dalam ajaran agama adalah hanya
mendasarkan pada al Qur’an dan al Hadits. Dengan demikian, LDII hanya
berprinsip pada ajaran yang diambil hanya dari al Qur’an dan al Hadits. Hal ini
telah ditetapkan dalam program umum LDII pada poin Maksud dan Tujuan yang
hendak dicapai, yaitu meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama

35
Islam dengan bersumber pada al Qur’an dan Sunnah Rosululloh Sholallahu
‘Alaihi Wassallam
a. Aqidah
Akidah yang dianut oleh anggota LDII tidak berbeda dengan akidah
yang dianut oleh umat Islam Indonesia pada umumnya, yakni berpegang pada
rukun iman yang berjumlah 6. Adapun keenam rukun iman tersebut adalah
iman kepada Allah SWT, iman kepada para Malaikat Allah, iman kepada
Rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodlo dan qodar.
Menurut Sarwo, bahwa rukun iman ini tidak bisa ditambah maupun dikurangi
dan harus tetap dipertahankan karena sesuai dengan al Qur’an dan Assunah,
sehingga apabila akan merubah merupakan dosa.
b. Syariah
Pada bidang syariah yang dipedomani oleh angota LDII di Kabupaten
Grobogan berpegang pada rukun Islam yang berjumlah 5, yaitu Syahadat,
Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Di samping itu, berbagai ajaran yang ada di
dalamnya juga menjadi sebuah kajian, seperti masalah nikah. Shalat yang
dilakukan oleh anggota LDII adalah shalat wajib dan shalat sunnah yang
benar-benar diajarkan atau dilakukan oleh Rasululloh SAW. Adapun dalam
pelaksanaannya sama dengan umat Islam lainnya.
Contoh dari pelaksanaan Syariah adalah ketika menjalankan shalat
Jum’at yang didahului dengan adzan pertama + 5 menit sebelum adzan ke dua.
Sebelum Adzan kedua dikumandangkan, terlebih dahulu Khotib naik mimbar
dan dilanjutkan khutbah dengan bahasa Arab, hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah apabila berkhutbah dengan menggunakan bahasa
Arab. Setelah khutbah pertama selesai, Khotib duduk bersila di atas sajadah
dan berdo’a + 45 detik untuk kemudian dilanjutkan dengan khutbah kedua
yang juga dengan menggunakan bahasa Arab. Khutbah menurut mereka
adalah rangkaian shalat sehingga tidak boleh diselipi bahasa selain bahasa
Arab.
Setelah shalat jum’at selesai, Khotib berdiri dan ceramah dengan
menggunakan bahasa Indonesia + 15 menit. Di tengah-tengah ceramah, para
jamaah melemparkan uang ke arah depan sebagai uang infaq/shadaqoh.

36
Menurut Suharman, bahwa melempar uang ini untuk menunjukan bahwa
seberapapun uang yang dimiliki untuk diinfakan tidak perlu malu berapa
jumlahnya, yang paling penting adalah keikhlasan beramal. Hal ini berbeda
apabila infaq menggunakan kotak infaq di mana selain akan mengganggu
pelaksanaan shalat Jum’at juga masih ada rasa malu untuk berinfaq apabila
yang diinfaqkan nilainya sedikit.
Rukun Islam lainnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
selain Shalat adalah Puasa, Zakat, dan Haji. Puasa yang dilakukan adalah
puasa Wajib setiap bulan Ramadhan dengan mengikuti Pemerintah untuk
penentuan awal dan akhir waktu, Zakat yang ditekankan adalah zakat fithrah
sebelum shalat ‘Idul Fithri dan Haji yang dilaksanakan adalah sebagaimana
umat Islam lainnya. Menurut Suharman, bahwa untuk haji tetap mengikuti
yang dipolakan oleh pemerintah sampai ke tanah suci, hal ini disampaikan
untuk menepis bahwa jamaah LDII setelah sampai di tanah suci akan memisah
dengan jamaah dari Indonesia dan akan bergabung dengan jamaah khusus
LDII.
Persoalan lain di luar rukun Islam di atas adalah masalah nikah.
Persoalan ini perlu mendapat kejelasan dikarenakan terdapat opini di
masyarakat, bahwa anggota LDII apabila akan menikah tidak melalui KUA,
melainkan dinikahkan dalam lingkungan LDII. Menurut para pengruus LDII
Kabupaten Grobogan, bahwa anggota LDII apabila akan menikah sama
dengan umat Islam lainnya, yaitu melalui RT sampai ke KUA. Hal ini
dibenarkan oleh Bambang sebagai Ketua RT, bahwa warga LDII apabila akan
menikah terlebih dahulu meminta surat pengantar dari RT, meskipun demikian
tetap dinikahkan lagi oleh kelompoknya. Bagi Bambang tidak ada persoalan
karena itu hak mereka.

F. Kelompok Jamaah Tabligh


1. Sejarah Singkat
Eksistensi kelompok Jamaah Tabligh mulai tahun 1979, yakni di awali
dengan kedatangan rombongan para Da’i dari Syuriah dalam rangka mengadakan
dakwah selama sekitar 15 hari. Rombongan tersebut pertama kali datang ke masjid

37
Al Husna desa Prangkoan Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang. Kemudian
dakwah dilanjutkan ke masjid Kauman Payaman Tuguran dan Tegalrejo.
Tokoh utama yang mula-mula mengembangkan Jamaah Tabligh adalah H.
Ahmad Haryanto. Pada tahun 1980 ia sudah mengikuti rombongan Jamaah Tabligh
di atas ke Yogyakarta. Jejak H. Ahmad Haryanto itu kemudian diikuti oleh K.H.
Ahmad Muhlasin yang merupakan pengasuh pondok pesantren Sirojul mukhlasin di
Payaman Kecamatan Secang Kabupaten Magelang.
Kedua orang tersebut di atas (H. Ahmad Haryanto dan K.H. Ahmad
Muhlasin) yang selanjutnya sebagai tokoh yang sekaligus penanggungjawab
perkembangan kegiatan Jamaah Tabligh di daerah Kabupaten Magelang dan
sekitarnya. Hingga kini sentral aktifitas adalah di Pondok Pesantren Jamaah Tabligh
di Payaman I dan Kerincing II. Pada kedua pondok pesantren tersebut merupakan
lembaga pendidikan yang pada intinya adalah kegiatan tahfidz al Quran dan ta’lim.
Kemudian setiap bulan Robiul Awal sebagian santri dan alumni melakukan khuruj
(dakwah keluar) selama 10 hari dan pada setiap bulan Sya’ban selama 40 hari.
Kegiatan kelompok Jamaah Tabligh lebih terlihat gigih mulai tahun 1991 yang
berpusat di pondok pesantren Sirojul Mukhlasin Payaman. Setelah mengalami
perkembangan anggota (jamaah) secara pesat, maka pada tahun 1997 kegiatannya
dipusatkan di pondok pesantren Sirojul Mukhlasin II Kerincing Kecamatan
Secang.42
2. Pedoman dan Kegiatan Jamaah Tabligh43
a. Pedoman
Ada pedoman-pedoman yang melandasi setiap kegiatan dakwah bagi
warga Jamaah Tabligh, yaitu:
Empat hal yang harus diintensifkan, yaitu
1). Dakwah IlaAllah
2). Ta’lim wa Ta’lim
3). Dzikir wal Ibadah
4). Khidmah
Empat hal yang harus dikurangi, yaitu:

42
Hasil wawancara dengan ustadz Moh. Nursalim dan ustadz Ismail pada tanggal 30 Mei 2008.
43
Op.Cit., Halaman 16-17.

38
1). Masa makan dan minum
2). Masa tidur dan istirahat
3). Masa keluar dari masjid
4). Masa berbicara sia-sia
Empat hal yang harus dijaga, yaitu:
1). Taat kepada pimpinan selama pimpinan taat pada Allah dan Rasul
2). Mendahulukan amal ijtima’ daripada amal pribadi
3). Menjunjung tinggi kehormatan masjid
4). Perasaan sabar dan tahan uji
Empat hal yang harus ditinggalkan, yaitu:
1). Mengharapkan sesuatu selain dari Allah
2). Meminta-minta sesuatu selain kepada Allah
3). Memakai barang orang lain tanpa seijin pemiliknya
4). Mubazir dan boros.
Empat hal yang tidak boleh disentuh, yaitu:
1). Tidak boleh membicarakan masalah politik baik dalam maupun luar negeri
2). Tidak boleh membicarakan masalah status sosial (derajat, pangkat dan
kedudukan) tetapi yang ada hanya tawakkal.
3). Tidak boleh membicarakan masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat
dalam masalah agama.
4). Tidak boleh meminta-minta dana dan membicarakan aib masyarakat.
b. Kegiatan
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan Jamaah Tabligh selain
pendidikan dalam pondok pesantren (tahfidz dan ta’lim). Adapun kegiatan
tersebut adalah :
1). Bulan Robiul Awal (Maulud)
Kegiatan ini dilakukan selama 10 hari secara berkeliling, baik di pulau jawa
maupun luar jawa. Pelaksana kegiatan ini selain warga pondok pesantren juga
diikuti para alumni manapun siapa saja yang mau mengikutinya
2). Bulan Sya’ban (Ruwah)

39
Pada bulan sya’ban kegiatan tabligh keliling (khuruj) dilaksanakan
selama 40 hari. Adapun pelaksana kegiatan ini sama dengan pelaksana
kegiatan pada bulan Robiul Awal di atas.
3). Malam Jum’at
Kegiatan pengajian akbar yang diselenggarakan Jamaah Tabligh setiap
malam jum’at ini tidak hanya diikuti oleh warga Jamaah Tabligh saja, tetapi
dari orang-orang non Jamaah Tabligh di Kerincing dan sekitarnyapun banyak
yang mengikutinya. Kegiatan ini dilaksanakan sejak sore sehabis shalat Ashar
hingga pagi hari (Subuh).
4). Ba’da Maghrib
Kegiatan silaturahmi pada setiap ba’da maghrib ini dilakukan oleh warga
pondok pesantren Kerincing. Adapun bentuk kegiatan silaturahmi itu adalah
ke rumah-rumah warga dekat masjid yang berada di sekitar pondok pesantren.

40
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Secara umum interaksi sosial aliran Islam minoritas di tengah-tengah


masyarakat di Jawa Tengah cukup kondusif, baik interaksi ini dilihat dari interaksi
sosial keagamaan, interaksi sosial kemasyarakatan maupun interaksi sosial politik
(Pemerintah). Indikatornya adalah tidak adanya gejolak yang mengarah pada
perpecahan di tengah-tengah masyarakat yang diakibatkan oleh adanya aliran Islam
minoritas tersebut atau terjalinnya kerjasama kelompok aliran dengan masyarakat
dalam kegiatan pendidikan, ekonomi, kemasyarakatan, dan kesehatan.
Sikap kondusifitas masyarakat Jawa Tengah ini tampak dari adanya
keterbukaan (Inclusivitas) bagi anggota aliran maupun bagi warga masyarakat
sekitar. Meskipun dalam beberapa prinsip tetap berpegang pada ajaran yang
diyakininya, namun demikian dalam interaksi sosial kemasyarakatan dan interaksi
sosial politik tetap berjalan baik. Interaksi sosial kemasyarakatan dan interaksi sosial
politik mempengaruhi masyarakat Jawa Tengah menjadi kondusif. Namun
demikian, untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana sebenarnya interaksi sosial
keagamaan, interaksi sosial kemasyarakatan maupun interaksi sosial politik antara
aliran islam minoritas dengan pemerintah dalam dilihat pada pembahasan yang lebih
terfokus.

A. Interaksi Sosial Aliran Islam minoritas di beberapa Daerah di Jawa Tengah


1. Interaksi Kelompok Aliran Syi’ah
Persoalan yang sering terjadi di masyarakat terhadap aliran Syi’ah adalah
persoalan interaksi, baik interaksi sosial dalam kaitanya dengan kegiatan sosial
keagamaan, kegiatan sosial kemasyarakatan maupun kegiatan sosial dengan
pemerintah/ sosial politik. Problema interaksi sosial yang terjadi pada aliran
Syi’ah di wilayah Pekalongan ini adalah sebagai berikut:

41
a. Interaksi Sosial Keagamaan
Interaksi sosial kelompok Syi’ah dengan masyarakat pada umumnya
cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari pergaulan keseharian yang saling menyapa
apabila bertemu di jalan antara anggota maupun keluarga pesantren Al Hadi
dengan anggota masyarakat. Adanya anggota masyarakat yang membeli kue
(roti) yang disediakan di rumah ketua/keluarga H. Ahmad Barakbah. Kegiatan
rutin yang terbiasa terjadi dalam perilaku keseharian ini membawa implikasi
pada kegiatan yang lain terutama pada kegiatan sosial keagamaan.
Kegiatan sosial keagamaan yang bekerjasama dengan pemerintah desa
adalah ketika melaksanakan penyembelihan hewan qurban. Menurut Bapak
Bambang (Kepala Kelurahan Klego), bahwa setiap tahun dari keluarga H.
Ahmad Barakbah selalu memberikan kambing qurban yang sudah disembelih
dan diserahkan di kelurahan untuk dibagikan kepada anggota masyarakat sekitar.
Adapun teknis pembagian sepenuhnya diserahkan kepada panitia yang berada di
kelurahan.
Kegiatan lain yang membawa kepada sebuah interaksi adalah ketika
Ponpes Al Hadi mengadakan Peringatan Hari Besar Islam (Mauludan) dan
peringatan hari pengangkatan Ali bin Abi Thalib seminggu setelah hari raya
Haji. Pada peringatan ini pihak ponpes mengundang anggota masyarakat untuk
ikut menghadiri acara tersebut terutama dalam kegiatan pengajian. Menurut
salah seorang pengurus, bahwa dalam peringatan Mauludan biasanya dihadiri
oleh Kepala Kelurahan dan memberikan sambutan.
Adapun kegiatan rutin mingguan yang selalu diadakan dan melibatkan
anggota masyarakat sekitar adalah Pengajian Ahad Sore. Dalam pengajian ini
pihak Ponpes mengundang anggota masyarakat dan bertempat di Masjid Ponpes.
Dari hasil evaluasi selama ini, anggota masyarakat yang datang antara 20 sampai
25 orang. Materi yang disampaikan adalah masalah keislaman, seperti masalah
syari’at dengan metode ceramah dan dialog. Dalam pengajian ini sangat terbuka
dan mempersilahkan siapa saja untuk datang tanpa ada unsur paksaan untuk
mempengaruhi anggota masyarakat untuk memasuki aliran Syi’ah. Menurut H.
Ahmad Barakbah, bahwa keluarga besar Syi’ah tidak akan pernah berusaha
mempengaruhi masyarakat untuk masuk Syi’ah, apalagi dilakukan dengan cara

42
door to door. Itu adalah suatu pantangan, karena orang mau masuk Syi’ah bukan
dari dakwahnya orang syi’ah melainkan karena kefahaman dan ketertarikan
dengan semangat berislamnya.
Kegiatan sosial keagamaan yang terjalin ketika anggota masyarakat
maupun organisasi lain seperti Al Irsyad mengadakan walimahan dengan
mengundang ponpes Al Hadi atau sebaliknya. Hubungan melalui kegiatan
walimah ini cukup efektif untuk saling memahami dan mengerti tentang adanya
perbedaan dalam beberapa ajaran dalam agama. Bagi kelompok Syi’ah yang
terpenting dalam berinteraksi apapun bentuknya yang dibawa adalah Islamnya
bukan nama kelompoknya.
b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Pada dasarnya hubungan keluarga pondok pesantren Al Hadi dengan
komunitas masyarakat sekitarnya sangat baik. Hal ini ditandai dengan tidak
sedikitnya anggota masyarakat sekitar yang sering berhubungan, baik dalam
persoalan bisnis, sosial kemanusiaan maupun persoalan keagamaan. Menurut
Ustadz Barakbah, keterbukaan keluarga ponpes Al Hadi dengan anggota
masyarakat ini ditandai dengan lokasi pondok dan rumah yang tanpa pagar dan
terbuka kepada siapapun yang ingin memiliki kepentingan. Memang diakui
pernah terjadi gesekan-gesekan dengan anggota masyarakat sekitar tahun 1998,
akan tetapi gesekan tersebut dipicu oleh seseorang yang bermasalah dan tidak
suka akan keberadaan ponpes.
Pasca terjadinya gesekan terutama penyerangan beberapa anggota
masyarakat yang terprovokasi terhadap pondok pesantren dan masjid di
Wonotunggal Kabupaten Batang pada tahun 1999, kelompok Syi’ah lebih
berhati-hati dan selalu mengadakan sosialisasi melalui berbagai kegiatan, seperti
ikut menyemarakaan kegiatan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan
RI, Menurut Bambang (Kepala Kelurahan Klego) bahwa setelah terjadinya
pergesekan antara ponpes Al hadi dengan masyarakat sekarang ini komunikasi
sudah dapat berjalan dengan baik dan hubungan sosial kemasyarakatan juga
berjalan dengan baik. Masyarakat sudah tidak lagi membahas tentang bagaimana
aliran Syi’ah perlu dilarang atau tidak, akan tetapi kerukunan yang dibangun

43
sekarang ini perlu dilestarikan, apalagi dilihat dari hubungan kemasyarakatan
sudah baik.
Hubungan sosial dengan masyarakat menjadi baik juga diungkapkan
oleh salah seorang santrinya, bahwa Ketua RT setempat juga sering bermain ke
pondok dan ngobrol dengan para santri dengan berbagai hal terutama apabila
ada kegiatan berkaitan dengan lingkungan di RT. Begitu juga ketika RT maupun
pihak kelurahan mengadakan kegiatan, maka pihak ponpes pun selalu datang
dan iktu mengisi kegiatan.
c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik
Ustadz Ahmad Barakbah adalah pimpinan utama kelompok Syi’ah yang
ada di Pekalongan, oleh karena itu segala sesuatu yang berkaitan dengan pihak
luar ponpes, baik masyarakat maupun pemerintah selalu menjadi tokoh utama
yang melayani atau yang berhubungan. Sebagai contoh, Ustadz juga berdialog
dengan pihak kejaksaan ketika isu-isu Syi’ah menjadi sebuah isu yang sepihak.
Hasil dari dialog ini membawa pada hubungan antara ustadz Ahmad Barakbah
pribadi maupun atas nama keluarga besar ponpes Al Hadi dengan pihak
pemerintah (kejaksaan) menjadi baik.
Selain dengan pihak kejaksaan, Ustadz Ahmad Barakbah juga diundang
oleh pihak Departemen Agama dalam berbagai acara terutama berkaitan dengan
pondok pesantren. Dalam acara tersebut pihak ponpes Al hadi selalu datang
meskipun kadang diwakili oleh salah satu pengrusnya. Namun demikian
menurut Kakandepag Kota Pekalongan, bahwa pihak ponpes Al Hadi dalam
beberapa acara yang terkait selalu datang apabila diundang, hanya saja dalam
pertemuan itu mereka tidak aktif dalam berdialog. Ia hanya datang dan berbaur
dengan tamu undangan lainnya sampai acara berahir.
Pada tingkat kelurahan, pihak ponpes juga beberapa kali mendapat
undangan untuk mengikuti kegiatan tertentu, seperti dalam upacara 17 Agustus
maupun kegiatan karnaval atau kegiatan lainya. Menurut Lurah Klego, diakui
bahwa setiap ada kegiatan yang mengundang pihak ponpes Al Hadi selalu
didatangi dan menjadi peserta aktif. Hubungan komunitas Syi’ah dengan pihak
kelurahan terahir adalah ketika anggota Syi’ah akan berangkat ke Iran pada

44
bulan Januari 2008. Pada saat persiapan pemberangkatan sekitar 10 orang
anggota Syi’ah mengurus surat-surat secara prosedural melalui kelurahan.
Hal yang sampai sekarang belum pernah bersentuhan adalah dengan peta
perpolitikan yang ada di wilayah Pekalongan khususnya. Pihak Kelompok
Syi’ah tidak pernah berhubungan maupun dihubungi oleh partai politik tertentu
untuk ikut bergabung. Namun demikian, sebagai warga negara Indonesia yang
harus taat pada pemerintahan, maka komunitas Syi’ah juga ikut berpartisipasi
dalam pemilihan umum maupun pemelihan daerah. Ketika ada pencoblosan,
komunitas Syi’ah juga ikut mencoblos, hanya saja yang tidak dilakukan adalah
ikut mengkampanyekan partai tertentu maupun kandidat tertentu.
Untuk memberikan pemahaman dan kebebasan pada para santrinya yang
sudah memiliki hak pilih, Ustadz hanya memberikan pendidikan politik melalui
media Televisi. Manurut Ustadz Ahmad Barakbah, bahwa para santri sudah
memiliki kemampuan tersendiri untuk memilih yang terbaik yang tingkat
kemaslahatannya lebih tinggi daripada tingkat kemadhorotannya, sehingga tidak
perlu ada pemahaman maupun penjelasan khusus tentang partai maupun figur
yang harus dipilih. Ustadz Ahmad Barakbah tidak pernah sekalipun
mengarahkan atau mengajak para santrinya untuk cenderung ke partai tertentu
atau memilih tokoh tertentu.

2. Interaksi Kelompok Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA)


a. Interaksi Sosial Keagamaan
Perihal interaksi sosial keagamaan warga MTA dengan warga (umat
Islam) sekitar maupun pemerintah setempat dapat dipahami dari beberapa
kegiatan, yaitu pengajian umum, Juma’tan dan PHBI. Pada kegiatan pengajian
umum setiap Ahad pagi yang diselenggarakan oleh MTA Pusat, ternyata
pesertanya tidak hanya warga MTA saja, tetapi umat Islam pada umumnya pun
bebas mengikutinya. Pengajian tersebut pesertanya senantiasa banyak, yakni
diatas 6000 orang setiap minggu. Kemudian pemateri (penceramah) dalam
kegiatan pengajian umum itu tidak selalu oleh Ustad Ahmad Sukino, tetapi
sering mengundang tokoh agama dari luar, seperti Prof. Dr. Dinsyamsudin
(tokoh Muhamadiyah), Ir. Solahuddin Wahid (tokoh NU) dan sebagainya. Jadi

45
pada kegiatan pengajian umum itu pimpinan MTA berupaya bisa mengundang
tokoh agama dari luar.
Mengenai materi pengajian umum yang diselenggarakan oleh MTA
Pusat itu tergantung tema apa yang diminta atau sesuai kemauan pemateri.
Tetapi yang jelas materi yang disampaikan pada pengajian umum itu bersifat
umum juga (akidah, akhlak dan sejarah).44
Dari kegiatan pengajian umum tersebut memberikan deskripsi bahwa
terdapat interaksi yang baik dan bahkan rutin antara warga MTA dengan umat
lain. Hanya saja dalam hal itu pihak MTA lah yang senantiasa
menyelenggarakan. Tetapi pada kegiatan yang diselenggarakan pihak lain, pihak
MTA belum terlibat.
Dalam kegiatan juma’tan, warga MTA ternyata juga melaksanakannya di
masjid-masjid umat sekitarnya dimana warga MTA berada. Sehingga pada
kegiatan Juma’tan tersebut memang bukan menjadi kendala bagi warga MTA
untuk menyatu dan berinteraksi dengan umat lain. Kemudian pada kegiatan
PHBI, interaksi yang terjadi ternyata belum terjadi ketingkat warga. Tetapi
untuk kegiatan-kegiatan PHBI itu yang biasa terlibat masih pada tatanan
pengurus, baik pada tingkat cabang, perwakilan maupun pusat.45
Realitas empirik menunjukan bahwa interaksi sosial keagamaan warga
MTA dengan umat Islam lainnya memang masih relatif terbatas (sedikit), dan
yang tampak jelas interaksinya pada kegiatan rutin pada pengajian umum Ahad
pagi saja. Sedangkan untuk kegiatan sosial keagamaan lainnya, warga MTA
masih belum tampak keterlibatannya.46
Berdasarkan realitas interaksi sosial keagamaan warga MTA di atas,
menunjukan bahwa dalam perihal kegiatan sosial keagamaan warga MTA masih
belum mencairkan diri untuk berinteraksi dengan umat lainnya. Hal itu
dimungkinkan karena warga MTA masih belum bisa seirama dengan umat lain
dalam hal pemahaman (tafsir) terhadap Al Qur’an, khususnya pada tatanan
penghayan dan pengamalannya. Begitu juga sebaliknya, pihak (umat) lain tadi

44
Hasil wawancara dengan Ustadz Ahmad Sukino, pada tanggal 25 April 2008
45
Ibid.
46
Hasil wawancara dengan informan pada tanggal 25 April 2008

46
dimungkinkan pula telah terlanjur memberikan stigma bahwa kelompok MTA
itu sebagai pengamal ajaran yang relatif keras, eksklusif dan sebaginya.
Realitas sebagaimana di atas sejak paska era reformasi berangsur-angsur
mulai tereleminasi dan kini bahkan dapat dibilang relatif sudah tidak lagi
menjadi perihal yang dipergunjingkan lagi dalam kehidupan umat Islam
sekitarnya (MTA). Walaupun demikian, bagi pihak yang tidak sepahampun
masih ada komentar miring terhadap MTA. Hal itu wajar terjadi dalam
kehidupan keagamaan umat Islam di Indonesia (khususnya), dimana ketidak
sepahaman terhadap penafsiran ajaran dari sumber utama (Al Quran) merupakan
dinamika yang kiranya sulit dihikangkan.
Sebagai suatu prinsip yang senantiasa dipedomani oleh warga MTA
dalam berinteraksi sosial keagamaan adalah lana a’maluna walakum a’malukum
(bagi kami apa yang kami lakukan dan bagi kalian apa yang kalaian lakukan).
Maksudnya apa yang diamalkan ajaran agama itu untuk diri warga MTA dan
terserah bagi kelompok atau pihak lain mengamalkan ajaran agama yang
dipedomaninya. Dengan prinsip itulah terlihat bahwa warga MTA dalam
berinteraksi sosial keagamaan lebih cenderung menjaga diri agar tidak
menimbulkan konflik dengan pihak lain.
b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Tentang interaksi sosisl kemasyarakatan warga MTA dapat diketahui
dari berbagai kegiatan senagaimana yang telah disinggung di muka (Bab II).
Dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oeh warga MTA itu seperti kerja
bakti bersama, pemda dan TNI kemudian warga MTA juga secara rutin pertiga
bulan sekali melakukan donor darah, bahkan kadang kala apabila pihak PMI
merasa mendesak untuk kebutuhan darah menghubungi pihak MTA
Selanjutnya interaksi sosial warga MTA dengan masyarakat atau umat
sekitar adalah berupa pemberian santunan kepada korban banjir maupun konflik.
Begitu juga dapat diketahui adanya interaksi sosial kemasyarakatan adalah pihak
MTA menerima pasien dari warga non MTA untuk berobat di Balai Pengobatan
MTA.
Kemudian pada aspek perekonomian antara warga MTA dan umat
sekitarnya dapat terjalin interaksi yang harmonis seperti warung makan warga

47
non MTA relasinya juga banyak warga MTA. Begitu juga sebaliknya warga
MTA juga biasa berbelanja di kios atau warung warga non MTA, warga MTA
juga biasa beli obat di apotik milik warga MTA dan sebagainya.47
Berdasarkan realitas empirik tentang interaksi sosial kemasyarakatan
warga MTA sebagamana pembahasan di muka, memberikan deskripsi bahwa
perihal interaksi sosial kemasyarakatan MTA dapat dikatakan karena terinspirasi
oleh pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Al Qur’an yang
diupayakn untuk diimplementasikan semampu mungkin dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai contoh dalam kegiatan pemberian santunan korban bencana
alam maupun konflik tidak hanya terbatas di daerah sekitar kelompok MTA
saja, tetapi hampir setiap ada bencana alam maupun korban konflik di Indonesia,
warga MTA senantiasa berpartisipasi. Adapun dana untuk kegitan penyantunan
itu murni dari warga MTA yang bersumber dari infak, sodaqoh dan zakat.
Dalam ketiga hal itu (infak, sodaqoh, dan zakat), warga MTA senantiasa
berusaha mengimplementasikan ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an,
Berdasarkan sumber dana yang terhimpun dari warga MTA itulah, maka
MTA mampu membeiayai diri dan memberikan santuanan pada pihak lain yang
membutuhkan. Bagi warga MTA berinteraksi sosial dengan masyarakat itu luas
cakupannya, yang termasuk didalamnya adalah tolong menolong dalam
kehidupan. Lebih utama sebagai manusia adalah menjadi pihak yang mampu
menolong atau memberi dari pada pihak yang diberi, sebagaimana ajaran dalam
Islam (Al Hadits) Al yadul ‘ulya khoirun min yadis sufla (tangan diatas lebih
baik dari pada tangan yang berda di bawah).
Interaksi sosial kemasyarakatan yang dibangun oleh warga MTA adalah
dapat dipahami sebagai pengajaran dalam pemahamannya tentang jihad “bi
amwal” maksudnya jihad dengan menggunakan modal harta benda. Hal ini
terbukti dengan cukup banyaknya kegiatan pemberian santunan yang dilakukan
oleh warga MTA untuk kemaslahatan masyarakat pada umumnya.

47
Hasil wawancara dengan Siti asyiyah (warga non MTA) pada tanggal 25 April 2008

48
c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik
Interaksi sosial antar wrga MTA dengan pemerintah dapat terjalin antara
pimpinan MTA dengan Pemda, Kodim, diknas, dan Depag. Interaksi itu terjadi
pada kegiatan-kegiatan, seperti PHBI, ulang tahun dan sebagainya. Bentuk
interaksi itu adalah bersifat undang mengundang.
Khusus interaksi MTA dengan pihak Depag dan Diknas biasanya terkait
dengan masalah-masalah kegamaan dan pendidikan. Interaksi dalam bentuk
undang mengundang, konsultasi dan pembinaan. Untuk interaksi MTA dengan
kedua instansi pemerintah tersebut frekuensinya lebih sering dibandingkan
dengan instansi lainnya.
Kemudian interaksi dengan pihak lain adalah adanya interaksi antara
pimpinan MTA dengan para pimpinan ormas Islam ataupun kelompok Islam.
Interaksi itu terjalin dalam satu wadah kegiatan MUI Kota Surakarta. Dalam
kepengurusan MUI itu dapat diketahui bahwa Ustadz Ahmad Sukino (ketua
umum MTA) duduk sebagai pembuka, ketua II MUI juga dari warga MTA, dan
komandan satgas MTA menjadi pengurus MUI. Selanjutnya di wadah FKUB
ada dua orang dari warga MTA yang menjdi anggota FKUB Kota Surakarta.
Dan ada pula warga MTA yang menjdi anggota pengurus FSUI Surakarta.
Memahami keterlibatan pimpinan MTA dalam beberapa wadah umat
Islam itu, memnunjukan bahwa warga maupun pimpinan MTA terdapat
interaksi dengan pihak lain. Disamping itu MTA ternyata berinteraksi pula
dengan beberapa instansi.

3. Interaksi Kelompok Syahadatain


a. Interaksi Sosial Keagamaan
Masyarakat Purbadana Kecamatan Kembaran termasuk masyarakat yang
relegius dengan kultur paham keagamaan hampir 100 % NU. Oleh karena itu,
interaksi sosial keagamaan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan model-model
yang dikembangkan dalam tradisi NU, seperti Tahlilan, Mitungdino,
Matangpuluh, Nyatus dan Nyewu. Begitu juga yang terjadi pada kelompok
Syhadatain yang ”mengaku” NU yang konsisten dengan ajarannya, bahwa
bentuk-bentuk tahlilan, nyewu dan lain sebagainya adalah tradisi yang biasa

49
dilakukan oleh kelompoknya dan juga berada dalam lingkungan masyarakat
sekitar.
Interaksi sosial keagamaan warga kelompok Syahadatain dengan warga
(umat Islam) sekitar maupun pemerintah setempat secara khusus dapat dipahami
dari beberapa kegiatan, yaitu pengajian umum (PHBI) dan Juma’tan.. Pada
kegiatan pengajian umum yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim pada
umumnya, anggota dari kelompok Syahadatain juga aktif, baik sebagai panitia
maupun peserta. Dalam pengajian umum ini biasanya diselenggarakan
mengikuti hari besar Islam, seperti pada saat memperingati Isra’ Mi’raj, Maulid
Nabi maupun ketika menyelenmggarakan malam peringatan nuzulul Qur’an.
Pada saat penyelenggaraan pengajian umum biasanya yang memberikan
ceramah seorang kyai dari luar wilayah kecamatan Kembaran. Menurut Warsito,
bahwa penceramah yang didatangkan biasanya dari kalangan NU, hal ini
dilakukan disamping untuk mempertebal keimanan dan menambah wawasan
keagamaan juga lebih tepat sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar.
Masyarakat Purbadana khususnya adalah masyarakat yang memiliki nilai-nilai
sosial keagamaan yang tinggi, sehingga diharapkan isi dari ceramah juga lebih
memperkuat nilai-nilai tersebut.
Menurut Warsito, bahwa prinsip yang dikembangkan sementara ini
untuk mendukung terciptanya suasana yang kondusif adalah tetap menjaga
persatuan dan kesatuan warga dan sejauh mungkin menghindarkan dari hal-hal
yang membuat perpecahan. Sebagai contoh adalah ketika anggota kelompok
Syahadatain terjadi musibah, maka yang membacakan tahlil dan do’a juga dari
anggota masyarakat umumnya di luar anggota Syahadatain. Begitu juga
sebaliknya apabila ada anggota masyarakat yang terkena musibah, maka yang
ikut mengurusi jenazahnya dari awal sampai penguburan melibatkan anggota
kelompok Syahadatain.
Memang diakui terdapat anggota kelompok Syahadatain yang kadang
berlebihan di mana apabila yang terkena musibah bukan kelompoknya, maka
tidak begitu respon untuk membantunya. Namun demikian anggota kelompok
tersebut sudah cukup dikenal di masyarakat memang perilakunya kurang baik

50
dan hubungan sosial keagamaan dengan masyarakat pada umumnya juga kurang
baik.
Interaksi sosial keagamaan yang tidak mau kompromi adalah pada saat
pelaksanaan shalat jum’at. Ibadah shalat jum’at yang dilaksankan oleh
kelompok Syahadatain ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan
pada masjid sekitarnya, yaitu diawali dengan adzan pertama untuk panggilan
dan adzan kedua ketika khotib memulai khutbahnya. Namun demikian, anggota
masyarakat sekitarnya tidak melakukan shalat Jum’at di masjid Syahadatain.
Begitu juga sebaliknya meskipun agak jauh, bagi anggota kelompok
Syahadatain tetap melakukan shalat jum’at di masjid Syahadatain. Adapun
jumlah jamaah shalat jum’at yang tidak melebihi 40 orang tidak menjadikan
kelompok umat Islam lainnya mengklaim tidak sah. Kondisi seperti inilah
menurut Warsito yang menjadikan interaksi sosial keagamaan dapat berjalan
dengan baik. Klaim kebenaran kelompoknya tidak terjadi.
b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Interaksi sosial kemasyarakatan warga Syahadatain dapat berjalan
dengan baik. Hal ini terlihat dari kebiasaan anggota masyarakat dalam aktivitas
kerja bakti bersama, ikut berbela sungkawa apabila terdapat anggota
kelompoknya maupun anggota masyarakat pada umumnya yang terkena
musibah, ikut membantu apabila terdapat anggota keluarga dari manapun yang
mempunyai hajat sunatan/ngantenan/syukuran dan saling membantu ketika
terdapat anggota masyarakat yang tidak mampu membangun rumah sebagai
tempat tinggal.
Dalam interaksi sosial kemasyarakatan ini nampak tidak ada kehususan
bagi kelompok Syahadatain untuk memilah-milah. Hal ini dikarenakan, menurut
Imam Nahdi, bahwa ketika berada di masyarakat apapun aktivitasnya adalah
sebagai anggota masyarakat, sehingga tidak bisa dipilah-pilah mana yang
anggota Syahadatain dan mana yang bukan. Interaksi sosial kemasyarakatan
merupakan keharusan bagi seluruh anggota masyarakatan tanpa terkecuali.
Interaksi sosial kemasyarakatan juga terlihat dari hubungan
perekonomian antara anggota kelompok Syahadatain dengan warga sekitarnya.
Jalinan hubungan yang harmonis terlihat adanya warga yang membeli kebutuhan

51
sehar-hari di warung milik anggota Syahadatain, begitu juga dari anggota
Syahadatain yang melakukan transaksi jual beli dengan anggota masyarakat
pada umumnya. Realitas empirik ini memberikan deskripsi bahwa perihal
interaksi sosial kemasyarakatan yang terjadi sebagai kultur masyarakat pedesaan
yang dikenal sebagai masyarakat paguyuban.
Menurut Drs. Muslimin dari Departemen Agama Kabupaten Banyumas,
bahwa terdapat konsep yang cukup matang dan tepat yang berkembang dan
selalu dikumandangkan dalam berbagai acara di perkotaan maupun di pedesaan,
yaitu konsep Paseduluruan. Konsep ini berasal dari bahasa asli banyumas, yaitu
sedulur yang semua orang paham. Konsep inilah yang membawa pada interaksi
sosial kemasyarakatan seperti tidak ada sekat-sekat, baik organisasi maupun
aliran.
Dilihat dari aspek kepentingan anggota Syahadatain dalam interaksi
sosial kemasyarakatan nampaknya dilakukan dengan kesadaran sebagai anggota
masyarakat bukan karena menjaga hubungan baik dengan warga masyarakat.
Menurut Ahmadi, bahwa semua kegiatan kemasyarakatan tidak ada hubunganya
dengan kegiatan kelompok tertentu, oleh karena itu merupakan tanggungjawab
bersama semua warga untuk memiliki interaksi sosial yang baik dalam
bermasyarakat.
c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik
Interaksi anggota kelompok Syahadatain dengan pihak pemerintah secara
institusi tidak terjadi. Hal ini dikarenakan kelompok Syahadatain tidak pernah
memiliki kepentingan dengan pemerintah, baik Departemen Dalam Negeri
maupun Departemen Agama. Begitu juga bagi pemerintah, khususnya
Departemen Agama Kabupaten Banyumas yang tidak mengerti keberadaan
kelompok Syahadatain di Desa Purbadana Kecamatan Kembaran.
Menurut Drs. Muslimin, bahwa Departemen Agama Kabupaten
Banyumas belum mendapat laporan dari masyarakat maupun organisasi tertentu
tentang keberadaan Syahadatain, meskipun pada tingkat pusat telah terdaftar
sebagai salah satu organisasi/kelompok dengan sifat kekhususan Kesamaan
Agama Islam. Begitu juga dalam organisasi yang tergabung dalam Forum
Komunikasi Lembaga Dakwah (FKLD) maupun Badan Kerjasama Organisasi

52
Islam (BKOI) untuk wilayah Kabupaten Banyumas tidak dikenal kelompok
Syahadatain.
Meskipun secara organisasi tidak ada interaksi antara kelompok
Syahadatain dengan pemerintah, namun demikian secara individual interaksi
tersebut dapat berjalan dengan baik. Sebagai salah satu contoh adalah beberapa
anggota kelompok Syahadatain adalah Pegawai Negeri Sipil yang secara
otomatis selalu bekerja untuk pemerintah. Di samping itu, beberapa anggotanya
juga sebagai ketua RT dan pengurus RT dan RW yang selalu aktif berkoordinasi
dengan pihak kelurahan, sehingga apabila ada kebijakan dari pemerintah pada
tingkat atas sampai pada tingkat kelurahan, maka pihak RT selalu mengadakan
sosialisasi.
Menurut H.A.Mawardi, bahwa sebagai warga Negara yang sekaligus
sebagai ketua RT, maka sudah merupakan kewajiban untuk membantu apa yang
diperlukan oleh pemerintah terutama pada level desa. Secara informal,
keberadaan kelompok Syahadatain sudah diakui oleh pemerintah tingkat desa
sehingga segala aktivitas yang dilakukan pihak pemerintahan desa
mengetahuinya. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Desa, bahwa semua
aktivitas yang dilakukan oleh kelompok Syahadatain selalu diketahuinya dan
untuk sementara ini selalu membantu secara langsung maupun tidak langsung
terhadap beberapa program pemerintah, terutama ketika Pilkada maupun Pemilu.
Kesungguhan kelompok Syahadatain dalam pelaksanaan program
pemerintah terutama pada saat Pemilu tanpa memiliki tendensi apapun kecuali
hanya ingin menyukseskan program pemerintah. Menurut Imam Nahdi, bahwa
kelompoknya tidak memiliki afiliasi politik kemanapun dan kepada siapapun,
sehingga menyerahkan kepada anggotanya untuk memilih yang disukai.
Kelompoknya tidak pernah mendapat instruksi secara tertulis maupun lisan
untuk menentukan pilihan pada partai atau seseorang dalam pilihan kepala
daerah maupun dalam pemilu.
Kenetralan kelompoknya terhadap berbagai urusan Pilkada dan Pemilu
memuluskan jalannya interaksi sosial dengan pemerintah. Hal ini nampak dari
petugas lapangan dalam Pemilu maupun Pilkada tidak sedikit dari anggota
kelompok Syahadatain menjadi anggota atau bahkan ketua Panitia Pemungutan

53
Suara (PPS) tingkat Desa. Menurut Warsito, bahwa peran dari beberapa anggota
kelompok Syahadatain cukup tinggi sehingga dapat membantu pemerintah desa
dalam menyukseskan program pemerintah, apalagi sementara ini kelompok
mereka berada pada posisi yang netral dan tidak mau diikutsertakan dalam salah
satu partai politik maupun tim suskes dalam Pilkada.

4. Interaksi Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di


Kabupaten Pati
a. Interaksi Sosial Keagamaan
Interaksi sosial keagamaan anggota LDII dengan masyarakat muslim
sekitarnya (Daerah Kabupaten Pati) hanya tercipta pada saat LDII
menyelenggarakan kegiatan pengajian minggu pagi, baik pada tingkat PAC,
PC maupun DPD. Hal itu disebabkan karena pihak LDII membebaskan kepada
siapapun untuk mengikutinya. Tetapi pada kenyataannya hanya ada beberapa
orang tertentu saja yang hadir mengikuti pengajian tersebut. Sebaliknya
anggoat LDII tidak pernah mengikuti kegiatan pengajian yang dielenggarakan
oleh masyarakat muslim disekitarnya, baik yang berupa pengajian biasa
maupun penyelenggaraan PHBI.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa anggota LDII dengan
masyarakat muslim sekitarnya kurang ada interaksi, baik dalam bentuk undang
mengundang maupun yang bersifat spontanitas individual dan atau kelompok.
Realitas semacam itu dapat diartikan adanya eksklusifitas anggota LDII untuk
berinteraksi dalam hal kegiatan keagamaan dengan kelompok lain.
b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di mana para anggota LDII
berada di wilayah sekitar Kabupaten Pati ternyata terdapat interaksi antara
kedua belah pihak (anggota LDII dengan masyarakat sekitar). Realitas
menunjukan anggota LDII senantiasa mau melibatkan diri dalam kegiatan-
kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat umum, seperti kerja bakti,
olah raga, ketetanggaan, dan kemasyarakatan.
Kemudian dalam kegiatan sosial ekonomi, anggota LDII paling tidak
ada jarak ataupun kesungkanan berinteraksi dengan masyakat sekitar. Hal itu

54
dapat dimengerti dari para anggota LDII tidak merasa ada kesungkanan
berbelanja di toko/warung yang penjualnya anggota LDII. Dilihat dari aktifitas
sosial kemasyarakatan ternyata atribut, simbol maupun paham antara kedua
belah pihak tidak menjadi mekanisme kontrol ketika berinteraksi. Dengan
demikian, interaksi sosial kemasyarakatan antara anggota LDII dengan
masyarakat sekitar dapat tercipta tanpa adanya hambatan atas dasar paham
maupun lainnya.
c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik
Interaksi anggota maupun pengurus LDII dengan pemerintah pada
kenyataannya juga belum tercipta dengan baik, khususnya dengan Departemen
Agama. Dengan Departemen Agama ini, interaksi terjadi hanya ketika anggota
LDII hendak melakukan pernikahan dan ibadah haji. Selain dari kdua hal
tersebut antara LDII dengan Departemen Agama Kabupaten Pati tidak pernah
ada hubungan (interaksi). Pihak Departemen Agama merasa tidak pernah
diundang maupun mengundang LDII pada kegiatan-kegiatan keagamaan.
Interaksi LDII dengan elemen pemerintah lain dapat tercipta pada saat
menyelenggarakan kegiatan penyuluhan tentang narkoba dan perkemahan
anak sekolah setiap setahun sekali. Adapun bentuk interaksi (hubungan) itu
adalah pihak LDII yang mengundang pihak kejaksaan, POLRI dan
Kesbanglinmas.

5. Interaksi Organisasi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di


Kabupaten Grobogan
Secara umum interaksi anggota LDII dengan berbagai pihak berjalan
cukup kondusif, baik dalam interaksi sosial kemasyarakat, sosial keagamaan
maupun dalam interaksi sosial politik. Menurut Bambang Setyobudi, bahwa
interaksi yang dilakukan oleh anggota LDII cukup baik, hal ini dilihat dari
berbaqgai kegiatan yang bersifat kemasyarakatan selalu mengikuti, apalagi
tokoh LDII yang berdiam di wilayahnya termasuk pengurus RT.
Perubahan keterbukaan dalam interaksi ini mulai sangat terasa setelah
LDII menyampaikan surat klarifikasi kepada MUI tentang paradigma baru yang
dilakukan oleh LDII pusat. Meskipun LDII Kabupaten Grobogan belum

55
menerima salinan surat keputusan dari MUI Kabupaten Grobogan, akan tetapi
sudah bisa memahami isi dari surat tersebut, yaitu yang berisi tentang: LDII
bukan penerus/kelanjutan dari gerakan Islam Jamaah serta tidak menggunakan
ataupun mengajarkan ajaran Islam Jamaah.
Selain di atas, surat klarifikasi tersebut menyebutkan tentang. LDII tidak
menggunakan atau menganut sistem keamiran, LDII tidak menganggap umat
muslim di luar kelompok mereka sebagai kafir dan najis, dan LDII bersedia
bersama ormas-ormas Islam lainnya mengikuti landasan berfikir keagamaan
sebagaimana yang ditetapkan MUI. Klarifikasi tersebut dalam realitas di
masyarakat Grobogan dapat dilihat dari bagaimana interaksi sesungguhnya
warga LDII di tengah-tengah masyarakat.
a. Interaksi Sosial Keagamaan
Interaksi sosial keagamaan anggota LDII dengan masyarakat muslim
sekitarnya berjalan dengan baik. Menurut Ibu Ety Yuni (Ibu rumah tangga)
bahwa kelompok LDII setiap tahun selalu membagikan daging kurban kepada
masyarakat sekitar. Di samping itu, mempersilahkan masyarakat untuk
mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh LDII, terutama bagi anak-anak
untuk ikut aktif dalam kegiatan pengajian al Quran Cabe Rawit di masjid LDII.
Kegiatan sosial keagamaan ini yang bersifat rutin dilaksanakan setiap
hari senin malam, selasa malam dan jum’at malam. Kegiatan ini dilaksanakan
dari habis shalat Isya sampai jam 21.30 WIB kecuali ketika pengajian dalam
rangka memperingati Hari Besar Islam (PHBI) toleransi waktu dapat melebihi
jam masyarakat. Menurut Bambang Setyobudi, untuk sementara ini tidak pernah
ada persoalan dengan kegiatan pengajian yang diadakan oleh kelompok LDII.
Hanya saja ketika masyarakat mengadakan pengajian yang bersifat rutin,
anggota LDII yang berada di wilayahnya tidak mengikuti.
Menurut Bambang, bahwa di RTnya diselenggarakan pengajian dan
tahlil rutin bulan yang diberi nama Al Muqorrobiin. Kegiatan ini berjalan
dengan baik setiap bulan dan diikuti oleh hampir semua warga muslim kecuali
yang menjadi anggota LDII. Bagi Bambang, bahwa selama anggota LDII tidak
menjelekan pengajian yang ada dan tetap melakukan hubungan kemasyarakatan
dengan baik, maka perbedaan tersebut tidak menjadi masalah.

56
b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Kegiatan Pengurus maupun anggota LDII Kabupaten Grobogan secara
umum sama dengan anggota masyarakat lainnya dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan. Hanya saja secara organisasi kegiatan sosial kemasyarakatan
tidak nampak, hal ini dikarenakan pengurus maupun anggota LDII lebih banyak
bertempat tinggal di luar wilayah Jetis Selatan Kelurahan Purwodadi. Menurut
Ibu Ety Yuni (anggota masyarakat RT 07 RW XXI Jetis Selatan) maupun Moh.
Hasyim S.Pd.48 bahwa pengurus maupun anggota LDII yang berdiam di wilayah
tersebut cukup baik dalam melakukan interaksi sosial kemasyarakatan yang
bersifat harian maupun insidentil, terutama ketika ada penyembelihan hewan
qurban kemudian dagingnya dibagikan ke seluruh warga sekitar dan ketika
terjadi kebanjiran, warga mengungsi di aula milik kantor LDII. Adapun untuk
kebutuhan sehari-hari makan dan minum dibantu oleh pengurus LDII dalam
bentuk nasi bungkus dan mie rebus.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Bambang Setyobudi (Ketua RT 07
RW XXI), bahwa pengurus maupun anggota LDII dalam peringatan Idul Qurban
diakui cukup baik, yaitu menyembelih hewan qurban maupun membagikannya
dilakukan sendiri oleh pengurus dan anggota LDII. Namun demikian, dalam
kegiatan kemasyarakatan, terutama ketika ada kegiatan yang bersifat melibatkan
seluruh anggota masyarakat pada tingkat RT pada awalnya sulit untuk aktif.
Melihat kondisi seperti inilah akhirnya salah satu tokoh dari LDII masuk dalam
struktur pengurus RT, yaitu H. Sunar Hidayatullah (Bendahara LDII Kabupaten
Grobogan) dan mulai sejak itulah pengurus maupun anggota LDII di wilayah
Jetis selatan mulai aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti berkunjung
terhadap orang yang sakit, kerja bakti, dll.
Keterlibatan anggota LDII dalam kegiatan sosial kemasyarakatan juga
didukung oleh adanya beberapa anggota LDII yang menerima bantuan beras dari
pemerintah melalui RT. Menurut Bambang Setyobudi, bahwa semua warga yang
terdaftar sebagai warga Jetis selatan dan dianggap kurang mampu akan
mendapat bantuan tanpa pandang bulu. Pendekatan seperti inilah, menurut

48
Moh. Hasyim S.Pd. adalah Guru Sejarah pada SMAN 1 Purwodadi yang letaknya berdekatan dengan
Kantor Pusat kegiatan LDII Kabupaten Grobogan.

57
Bambang Setyobudi cukup tepat untuk melibatkan pengurus maupun anggota
LDII dalam seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Bahkan
lebih dari itu, kegiatan yang diadakan oleh warga LDII pun harus mengikuti jam
masyarakat agar tidak mengganggu ketenangan warga dan ketika ada kegiatan
Ketua RT di undang atau paling tidak diberitahu secara lisan maupun surat
resmi.
Apabila melihat Anggaran Dasar LDII, yaitu pada Bab IV tentang
Kegiatan dan Usaha pasal 9 diktum 4 berisi tentang Peran serta sosial dan
kemasyarakatan yang diantara isinya adalah meningkatkan kerjasama dan
persaudaraan di kalangan umat Islam, Berupaya meningkatkan kesadaran,
kepekaan dan kesetiakawanan sosial melalui kegiatan sosial dan peningkatan
kesejahteraan yang dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan sosial, maka
tidak ada persoalan lagi interaksi sosial anggota LDII dengan warga masyarakat.
Menurut Suharman (Sekretaris LDII Kabupaten Grobogan), bahwa interaksi
sosial warga LDII Kabupaten Grobogan dengan warga masyarakat sekitarnya
adalah cukup baik, hal ini dapat dibuktikan dalam berbagai even-even kegiatan
kemasyarakatan selalu aktif.
c. Interaksi dengan Pemerintahan/Sosial Politik
Interaksi anggota maupun pengurus LDII dengan pemerintah berkaitan
dengan politik sekarang ini lebih independen. Menurut Drs. Suharman, bahwa
LDII sekarang memiliki paradigma baru untuk menepis isu-isu yang pernah
berkembang, yaitu Dipel/disucikan kembali bagi jamaah shalat yang bukan
anggota LDII shalat di masjid LDII, eksklusive, dan underbow pada salah satu
partai politik tertentu. Masjid LDII sekarang diperbolehkan untuk shalat semua
kalangan umat Islam tanpa harus dipel/disucikan kembali setelah selasai shalat,
anggota LDII lebih terbuka untuk berdialog dengan siapapun dan anggota LDII
dipersilahkan untuk mengikuti partai politik yang disukai.
Dengan paradigma baru tersebut. LDII juga mengadakan hubungan baik
dengan pihak pemerintah, baik berkaitan dengan kewarganegaraan, seperti
mengurus KTP, surat pernikahan, pelaksanaan pernikahan dengan menggunakan

58
lembaga KUA49, dll. Selain kegiatan yang bersifat individual dengan pihak
pemerintah, secara organisasi LDII juga mengadakan hubungan baik dengan
pemerintah Kabupaten maupun Departemen Agama yaitu lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

6. Interaksi Kelompok Jamaah Tabligh


a. Interaksi Sosial Keagamaan
Interaksi sosial Jamaah Tabligh di Desa Krincing Kecamatan Secang
Kabupaten Magelang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu interaksi warga
Pondok Pesantren Jamaah Tabligh dan Kelompok Tabligh (Khuruj).
1). Warga Pondok Pesantren Jamaah Tabligh
Warga Pondok Pesantren Jamaah tabligh Desa Krincing dapat
dikatakan hanya ada dua macam interaksi sosial keagamaan dengan
masyarakat sekitar, yakni pada malam Jum’at dan sehabis shalat Maghrib.
Hal itu dengan pertimbangan bahwa mereka di pondok memang hanya untuk
ta’lim maupun takhfidz. Oleh karena itu, perihal kehidupan sosial
keagamaan merasa dicukupkan dari pondok pesantren.
Realita semacam itu dapat difahami, bahwa warga pondok tersebut di
atas memang memfokuskan pada pendalaman terhadap materi-materi
keagamaan (Islam) yang bersumber dari kitab-kitab kuning (klasik). Bahkan
menurut salah satu informan menjelaskan, bahwa pondok tersebut memang
mempertahankan sistim salafi. Jadi dalam kehidupan sehari-hari warga
pondok (santri) hanya belajar/mengaji. Oleh karena itu para santripun tidak
pernah dapat melihat TV, membaca koran, menggunakan HP maupun
mendengarkan radio.
Untuk interaksi sosial yang lain yang dilakukan adalah melakukan
silaturahmi ke rumah-rumah warga yang tinggal di sekitar masjid. Adapun
maksud silaturahmi adalah dalam rangka tabligh kepada warga sekitar untuk
memakmurkan masjid khususnya ketika shalat berjamaah.

49
Dalam pelaksanaan pernikahan selain dinikahkan oleh KUA, anggota LDII juga mengadakan
pernikahan khusus yang dilaksanakan secara internal. Menurut Bambang S., bahwa pelaksanaan seperti
itu tidak ada masalah karena berkaitan dengan keyakinan dan tidak mengganggu lingkungan masyarakat.

59
2). Kelompok Tabligh (Khuruj)
Jamaah Tabligh di samping mempunyai kegiatan menyelenggarakan
pendidikan dalam pondok pesantren juga terdapat kegiatan yang secara
realitas empirik lebih dikenal luas oleh masyarakat muslim Indonesia, yaitu
berupa Tabligh (dakwah) secara keliling dari masjid ke masjid di seluruh
wilayah Indonesia atau yang oleh warga jamaah Tabligh disebut sebagai
Tabligh Khuruj.
Pelaksanaan tabligh (khuruj) itu dirancang dengan model kelompok-
kelompok yang setiap kelompok terdiri sekitar 10 irang. Kemudian dari
kelompok-kelompok itu melaksanakan tabligh di sebuah masjid tertentu
dalam waktu sekitar 3 hari. Pada kegiatan tabligh khuruj itu mereka biasa
memakai pakaian muslim (gamis).
Setelah selesai melaksanakan tabligh di sebuah masjid daerah
tertentu, kelompok Jamaah Tabligh tersebut berpindah ke masjid daerah
lainnya. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tabligh khuruj itu pada
intinya adalah untuk mengajak salat berjamaah anggota masyarakat sekitar
masjid yang menjadi sasaran tabligh. Selain itu, mereka juga melakukan
silaturahmi ke rumha-rumah (door to door) warga muslim di sekitar masjid
itu. Jadi secara sederhana dapat difahami, bahwa kegiatan tabligh khuruj
yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh adalah tabligh (dakwah) agar
masyarakat mau dan membiasakan salat berjamaah di masjid.
Berdasarkan dua jenis kegiatan sosial keagamaan Jamaah Tabligh di
muka memberikan deskripsi bahwa kelompok tersebut hanya sebatas pada
saat adanya pengajian akbar setiap malam jum’at yang mempunyai konotasi
sebagai adanya interaksi sosial keagamaan dengan masyarakat sekitar
(daerah Krincing). Sedangkan interaksi sosial keagamaan kelompok
Jamamaah Tabligh dengan masyarakat muslim di sekitar masjid yang
amenjadi sasaran tabligh khuruj juga hanya sebatas silaturahmi dengan
masyarakat.
Dengan demikian interaksi sosial keagamaan kelompk Jamaah
Tabligh ada terkesan eksklusif, sebab pada kegiatan-kegiatan keagamaan
yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat mereka

60
tidak berpartisipasi. Hal itu memang sesuai dengan misi jamaah Tabligh
bahwa kelompk Jamaah Tabligh yang berada dalam pondok pesantren hanya
untuk mendalami ta’lim dan takhfidz. Sedangkan kelompok Jamaah Tabligh
yang di luar pondok pesantren menurut persepsi masyarakat juga kurang
berinteraksi dalam hal keagamaan.
Bagi masyarakat muslim sekitar sentral kelompok Jamaah Tabligh,
mereka (kelompok Jamaah Tabligh) dalam bertabligh (dakwah) ada satu hal
yang dipandang kurang etis, kurang menarik, dan bahkan sudah tidak
relevan. Adapun model tabligh itu adalah dakwah door to door50.
b. Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Ada dua hal yang dapat dipahami dari interaksi sosial kemasyarakatan
kelompok Jamaah Tabligh Desa Krincing Kecamatan Secang Kabupaten
Magelang, yaitu interaksi sosial pada saat melakukan tabligh khuruj (keluar) dan
dalam lingkungan pondok pesantren. Secara otomatis kelompok Jamaah Tabligh
pada saat melakukan kegiatan tabligh khuruj sudah pastu melakukan interaksi
dengan masyarakat muslim di sekitar masjid yang menjadi objek tablighnya.
Interaksi sosial kelompok Jamaah Tabligh dengan masyarakat muslim di
sekitar masjid tersebut sebenarnya bukan merupakan interaksi dalam pengertian
hubungan timbal balik antara dua belah pihak sebagaimana yang telah
didefinisikan oleh pakar interaksi. Tetapi interaksi itu hanya sebatas kegiatan
silaturahmi kelompok Jamaah Tabligh ke rumah-rumah warga muslim di sekitar
masjid dengan maksud untuk mengajak lebih meningkatkan ibadah salat
berjamaah di masjid. Jadi interaksi sosial kemasyarakatan yang dilakukan
kelompok Jamaah Tabligh dalam hal ini hanya sebatas kegiatan silaturahmi.
Oleh karena itu tanpa kegiatan itu, tidak tercipta interaksi antara kelompok
Jamaah Tabligh dengan masyarakat muslim di sekitar masjid yang menjadi
sentral kegiatan.
Dengan kegiatan tabligh khurujyang dilakukan oleh kelompok Jamaah
Tabligh sebagaimana di atas ternyata menimbulkan persepsi pro dan kontra di
kalangan masyarakat. Bagi yang berpersepsi pro mengatakan, bahwa kegiatan

50
Hasil wawancara dengan seorang tokoh agama pada tanggal 31 Mei 2008.

61
tabligh khuruj door to door itu menunjukan bahwa mereka mempunyai i’tikad
baik dalam bermasyarakat. Sebab apapun bentuk kegiatan yang dilakukan
kelompok Jamaah Tabligh itu (khuruj) berarti mereka hendak menjalani
interaksi positif dengan masyarakat.51
Kemudian bagi yang berpersepsi kontra mengatakan bahwa, kegiatan
tabligh khuruj yang dilakukanJamaah Tabligh dengan model door to door itu
dipandang sebagai hal yang kurang menarik dan bahkan mengganggu
ketenangan masyarakat. Sebab apapun alasannya masyarakat yang didatangi
oleh kelompok Jamaah Tabligh itu akan muncul pertanyaan mau apa dan hendak
mengajak beragama macam apa dan sebagainya. Bagi warga masyarakat yang
kemampuan beragamanya sedang-sedang saja atau bahkan kurang, maka tentu
tidak akan mempermasalahkannya. Tetapi sebaliknya, bagi warga masyarakat
yang kemampuan agamanya sudah tinggi, maka akan menjadi risih dan tidak
simpatik.52
Dengan demikian interaksi sosial kemasyarakatan kelompok Jamaah
Tabligh dalam kegaiatan khuruj itu menimbulkan pro dan kontra dalam
kehidupan masyarakat sekitar masjid. Terlepas adanya persepsi pro dan kontra
itu, dalam pembahasan ini interaksi sosial kemasyarakatan kelompok Jamaah
Tabligh dengan masyarakat muslim sekitar masjid yang menjadi sasaran
tablighnya belum terwujud dengan baik.
Selanjutnya, interaksi sosial kemasyarakatan kelompok Jamaah Tabligh
yang berada dalam pondok pesantren desa Krincing Kecamatan Secang
Kabupaten Magelang dengan masyarakat sekitarnya tampak eksklusif. Sebab
warga pondok Jamaah Tabligh dengan masyarakat sekitar dapat dikatakan
hampir tidak pernah berinteraksi dalam keidupan sehari-harinya. Hal itu
disebabkan bagi warga (kelompok) Jamaah Tabligh dalam pondok pesantren
hanya fokus pada belajar ta’lim dan ahfidz.
c. Interaksi dengan Pemerintah/Sosial Politik
Interaksi kelompok Jamaah Tabkligh dengan pemerintah setempat dapat
dikatakan hampir tidak ada, khususnya bagi warga pondok pesantren. Tetapi

51
Hasil wawancara dengan informan masyarakat tanggal 31 Mei 2008.
52
Hasil wawancara dengan tokoh agama tanggal 30 Mei 2008.

62
bagi kelompok Jamaah Tabligh yang bukan warga pondok pesantren tersebut
terdapat interaksi dengan pemerintah setempat. Hal ini terbukti dengan adanya
dari anggota kelompok Jamaah Tabligh ada yang menjadi pengurus RT maupun
RW. Kondisi seperti ini menunjukan, bahwa anggota kelompok Jamaah Tabligh
yang non warga pondok pesantren ada interaksi dengan pemerintah setempat.

B. Potensi dan Hambatan Kelompok Aliran Islam Minoritas di Masyarakat


1. Potensi dan Hambatan Kelompok Aliran Syi’ah
a. Potensi
1). Struktur
Struktur pengurus yang berada di kelompok Syi’ah ini terbagi
menjadi dua, yaitu yang termasuk dalam struktur pengurus Yayasan dan
yang masuk dalam pengurus pondok pesantren. Untuk struktur pengurus
Yayasan adalah Ustadz Ahmad Barakbah sebagai Ketua Umum yang
dibantu oleh Ketua I Ustadz Husain Al Atas, Ketua II ustadz Sholeh
Mulaikhula, Sekretaris ustadz Muhammad Khotib, Bendahara ustadz
Ahmad Al Atas. Sedangkan untu penguru Pondok Pesantren diketuai
oleh Ustadz Ahmad Barakbah yang dibantu oleh Dewab Guru ustadz
Ahmad Zubaidi, Sekretaris ustadz Ahmad Zubaidi dan bendahara ustadz
Hasan Musawa.
2). Kepemimpinan
Kepemimpinan yang terdapat di Yayasan maupun pondok
pesantren Al Hadi sejak berdiri pada tanggal 4 Juli 1989 sampai sekarang
masih dipegang oleh Ustadz Ahmad Barakbah. Hal ini dikarenakan
Ustadz Ahmad Barakbah adalah pendiri kelompok Syi’ah dan menjadi
tokoh utama dalam berbagai kegiatan. Ustadz Ahmad barakbah memiliki
akses yang cukup kuat ke negara Iran, sehingga apabila terdapat santri
yang memiliki kemampuan baik dapat melanjutkan ke Iran. Adapun
sistem pergantian kepemimpinan terutama pada bagian tertentu, menurut
Ustadz Ahmad Barakbah ada perubahan.

63
3). Keanggotaan
Sesuai dengan ide dasar pendirian Syi’ah, yaitu meluruskan
persepsi yang keliru dalam memandang kelompok Syi’ah, maka dalam
perekrutan keanggotaan tidak mengikat dan tidak dikhususkan pada
warga keturunan Arab. Keanggotan yang tidak dilengkapi kartu anggota
ini secara otomatis adalah santri yang mondok di Pondok Pesantren Al
Hadi.
4). Kegiatan
Kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok Syi’ah antara lain
bekaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh para santri pondok
pesantren dan pengajian. Kegiatan para santri di pondok pesantren
terutama adalah memperdalam bahasa Arab untuk memperdalam al
Qur’an, Aqidah, Akhlak, Khulashoh Mantiq, dll. Adapun untuk
pengajian dilaksanakan secara rutin untuk internal santri dan untuk
umum. Untuk internal santri lebih kearah pada pendalaman materi,
sedangkan untuk umum adalah pengajian yang bersifat umum seperti
pada pelaksanaan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) maupun pengajian
rutin minggu sore.
5). Sumber Dana
Sumber dana yang diperoleh untuk operasional pelaksanaan
kegiatan utamanya dari para santri, hanya saja karena sangat terbatasnya
dana yang diperoleh dari para santri, maka Yayasan maupun Pondok
Pesantren mencari alternatif dengan donator dan relasi kelompok Syi’ah.
Menurut salah seorang santri, bahwa apabila telah selesai dari pondok
pesantren Al Hadi akan melanjutkan ke Iran dengan memperoleh
beasiswa dan kepada para santri hanya dibebani biaya pengurusan di
dalam negeri. Melihat kondisi ini nampak bahwa peran relasi dari
kawan-kawan ustadz Ahmad Barakbah yang berada di Iran sangat kuat
untuk mendukung pendanaan.
b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial
Kegiatan sosial keaagamaan yang dikembangkan oleh kelompok
Syi’ah melalui ponpes Al hadi maupun secara individual sekarang ini

64
mengalami perbaikan, namun demikian, pada sisi yang lain juga kadang
muncul kendala yang menghambat proses interaksi yang sedang dibangun
pasca pergesekan. Kondisi seperti ini diakibatkan oleh beberapa faktor yang
mendukung maupun yang menghambat
1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Faktor pendukung terjalinnya interaksi sosial keagamaan dengan
pihak luar adalah sudah semakin diterimanya komunitas kelompok
Syi’ah oleh pihak organisasi keagamaan, pemerintah maupun tokoh
agama di wilayah Pekalongan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh
sikap keterbukaan dari pihak kelompok Syi’ah untuk selalu mau diajak
dialog. Hubungan yang sudah mencair melalui kegiatan sosial
keagamaan seperti hubungan timbal balik saling mengundang dalam
acara walimah dengan organisasi Al Irsyad yang nota bene paling keras
untuk membubarkan Syi’ah sampai sekarang berjalan dengan baik.
Interaksi dengan beberapa tokoh-tokoh agama nampak semakin
baik setelah pihak kelompok Syi’ah terbuka kepada siapapun yang ingin
mengajak dialog, apalagi setelah dibuka pengajian setiap minggu sore di
masjid ponpes Al Hadi dan dipersilahkan untuk warga mengkaji Islam
bersama. Dalam pengajian ini selalu dibuka dialog, sehingga apabila
terdapat tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang masih
mempertanyakan eksistensi Aliran Syi’ah dilihat dari berbagai ajaran
yang tidak sama dengan umat Islam pada umumnya dapat ditanyakan.
Menurut Ahmad Barakbah, keluarga besar Syi’ah selalu mau
diajak berdialog kapanpun tanpa didahului dengan prasangka. Bahkan
dibukanya pengajian setiap ahad sore adalah lahan untuk mengadakan
dialog yang konstruktif dan menghilangkan dari fanatisme yang tidak
berdasar.
2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Faktor pendukung dalam interaksi sosial kemasyarakatan adalah
tingkat sosialisasi anggota kelompok aliran Syiah yang mulai terbuka.
Keterbukaan ini tidak hanya dilambangkan dengan posisi pondok
pesantren Al Hadi yang selalu terbuka untuk masyarakat umum, baik

65
untuk melakukan kegiatan ekonomi, konsultasi agama maupun kegiatan
kebersamaan warga, seperti kerja bakti maupun dalam rangka
memperingati hari Kemerdekaan.
Interaksi sosial dengan anggota masyarakat cukup mencair
seiring dengan komunikasi antar warga masyarakat dengan komunitas
Syi’ah berjalan dengan baik dan ramah apabila bertemu di jalan. Adanya
toko Roti, Rideka (Pusat batik dan karya Khas Pekalongan) dan koperasi
yang ada di wilayah ponpes Al Hadi yang dijual untuk umum
menjadikan interaksi dengan komunitas lain menjadi baik.
Interaksi sosial ini juga didukung oleh kebiasaan pengurus
pondok pesantren Al Hadi yang memberikan daging qurban setiap hari
raya Iedul Adha. Pemberian qurban ini dilakukan di Kelurahan untuk
semua warga yang telah ditentukan oleh pihak kelurahan. Dalam
pemberian hewan qurban yang dilakukan setiap tahun sampai sekarang
ini belum pernah ada yang menolak, baik dari tokoh masyarakat
setempat, tokoh agama maupun dari warga itu sendiri. Kondisi seperti
inilah yang menjadikan .anggota kelompok aliran Syi’ah dapat diterima
di masyarakat.
3). Faktor Pendukung dalam Interaksi dengan Pemerintah
Berkaitan dengan interaksi dengan pemerintah sudah tidak ada
persoalan yang menghambat, karena selama ini sudah berjalan dengan
baik. Faktor yang mendukung adalah karena dari pihak ponpes Al Hadi
selalu mematuhi peraturan yang ada sesuai dengan birokrasi yang ada.
Begitu juga adanya pengurus RT yang sering silaturahmi ke ponpes Al
Hadi menambah interaksi menjadi lebih baik. Menurut Bambang (Kepala
Kelurahan Klego Kecamatan Pekalongan Timur), sementara ini, aktifitas
maupun administrasi yang bersinggungan dengan kepemerintahan tidak
ada persoalan dan berjalan dengan baik. Meskipun demikian, pihak
pemerintah (Kelurahan) yang baru ini belum pernah mendapat undangan
dalam vent-event yang diadakan di ponpes Al Hadi.
Selain dengan pihak kelurahan, faktor pendukung yang selalu
dilakukan dengan pemerintah adalah dengan pihak Departemen Agama,

66
baik melalui instansi KUA maupun dengan Departemen Agama Kota.
Dengan pihak KUA adalah berkaitan dengan pernikahan, hal ini
dikarenakan pernikahan yang dilakukan oleh warga Syi’ah adalah
melalui KUA terutama berkaitan dengan administrasi.
4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Meskipun cukup banyak faktor pendukung dalam interaksi
anggota Aliran Syi’ah dengan pihak luar, namun demikian masih
terdapat faktor penghambat yang sering muncul, terutama berkaitan
dalam interaksi sosial keagamaan. Faktor penghambat tersebut lebih
banyak berkaitan dengan ajaran yang masih belum diterima oleh tokoh
agama secara individual maupun secara organisasi yang berimplikasi
pada interaksi sosial yang kurang harmonis.
Faktor penghambat dalam interaksi sosial keagamaan yang masih
sangat menonjol adalah adanya kurang kecocokan antara tokoh dari
Aliran Syiah yang diwakili oleh Ustadz Ahmad Barakbah dengan para
tokoh agama yang tergabung dalam organisasi Ashabul Kahfi. Masih
belum harmonisnya hubungan antara kelompok Syi’ah dengan organisasi
Ashabul Kahfi53 yang dipimpin oleh Zainal dan dibangun oleh
intelektual muslim Pekalongan, seperti Kyai Tohirun, Kyai Nawir (PPP)
dan Kyai Bashori (NU) tidak pernah terjadi dialog dan masing-masing
masih memiliki perasaan apriori terhadap kebenaran yang diyakini,
apalagi dalam Syi’ah terdapat konsep Taqiyah.54
Begitu juga dengan tokoh agama yang sudah apriori terhadap
kelompok Syi’ah, seperti yang diungkapkan oleh Said Sungkar yang
menganggap bahwa kelompok Syi’ah adalah bukan Islam karena
berbagai buku literatur yang dibaca cukup banyak yang menyimpang

53
Organisasi Ashabul Kahfi merupakan satu-satunya organisasi Islam lokal yang menentang keras
keberadaan pondok pesantren AL hadi yang berhaluan Syi’ah. Tokoh dari aliran ini adalah mantan
anggota DPRD Kota Pekalongan dan tokoh agama yang cukup berpengaruh di wilayah Kota
Pekalongan. Menurut Ustadz Ahmad Barakbah, tokoh dari Ashabul Kahfi merupakan tokoh yang
berada di balik peristiwa penyerbuan pondok pesantren di Batang maupun di Jawa Timur.
54
Taqiyah yang dilakukan oleh kelompok Aliran Syi’ah menurut Said Sungkar adalah dibolehkannya
berbohong atau menyembunyikan kekeliruannya dengan apa yang berlaku dalam ajaran Islam pada
umumnya.

67
dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan anggapan literatur yang
menyimpang inilah menjadikan interaksi sosial keagamaan menjadi
terhambat. Sebagai contoh masih terdapatnya warga yang tidak mau
mengikuti kajian ahad sore di pondok pesantren Al Hadi karena khawatir
terbawa menjadi kelompoknya.
Faktor penghambat lainnya adalah adanya komunitas Syi’ah yang
tidak menyelenggarakan shalat Jum’at, sehingga apabila ada anggota
masyarakat lain yang tidak faham tentang ajaran Syi’ah menjadi
menganggapnya sebagai aliran sesat, karena bagaimanapun ajaran Islam
pada umumnya menyatakan bahwa shalat Jum’at adalah wajib
hukumnya.
5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Untuk interaksi sosial kemasyarakatan anggota kelompok Aliran
Syi’ah dengan warga sekitar sebenarnya sudah tidak ada hambatan. Akan
tetapi, karena peristiwa penyerbuan anggota masyarakat ke pondok
pesantren Al Hadi di Kabupaten Batang yang berdekatan lokasinya
dengan pesantren Al Hadi di Pekalongan dan terjadinya pelemparan batu
beberapa warga ke rumah/pondok pesantren Al Hadi interaksi sosial
kemasyarakatan menjadi terganggu. Kondisi seperti ini sebenarnya
sekarang sudah mulai kondusif kembali.
Faktor lain yang nampaknya menjadi interaksi kurang familiar
dan menjadi sebuah hambatan adalah faktor lokasi atau tempat tinggal
pondok pesantren Al Hadi. Secara geografis, lokasi ponpes berada di
gang dan masuk ke dalam sekitar 15 m. sementara sebelah kanan, kiri
dan depannya adalah bangunan yang tertutup dengan dinding yang
kokoh sehingga terkesan ponpes eksklusif
6). Faktor Penghambat dalam Interaksi dengan Pemerintah
Hubungan secara kelembagaan maupun perseorangan dari
anggota maupun pengurus kelompok Aliran Syi’ah dengan pemerintah
akhir-akhir ini sudah cukup kondusif. Namun demikian, pada tataran
tertentu masih terdapat intrik-intrik yang mengarah pada terjadinya
interaksi. Intrik-intrik tersebut antara lain masih adanya pihak kelurahan

68
yang masih memandang tidak baik terhadap kelopok Aliran Syi’ah.
Salah satu contoh ketika terjadi konsultasi dengan Kepala Kelurahan
tentang eksistensi kelompok aliran Syi’ah, maka kepala kelurahan
meminta kepada salah satu stafnya untuk berdialog.
Dari hasil dialog dengan staf kelurahan tersebut, apa yang
disampaikan selalu menyudutkan kelompok aliran Syi’ah. Di sinilah
nampak bahwa masih ada ketidak harmonisan hububungan antara pihak
kelompok aliran Syi’ah dengan pihak kelurahan. Hal ini apabil
dikembangkan terus menerus akan menjadi penghambat interaksi sosial
dengan pihak pemerintah setempat secara luas.

2. Potensi dan Hambatan Kelompok MTA di Surakarta


a. Potensi
1). Struktur
Struktur pengurus Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA) terdiri dari : MTA
Pusat yang berkedudukan di Surakarta, MTA perwakilan di tingkat
Kabupaten/Kota, dan MTA Cabang di tingkat Kecamatan. Untuk struktur
pengurus pada tingkat pusat dengan Ketua Umum: Drs. Ahmad Sukino,
Ketua I(Suharto, S.Ag), Ketua II (Dahlan Najotaroeno) dan sekretaris( Drs.
Yoyok Mugiytno, M.Si dan Drs. Medi), dan Bendahara (Mansur Masyhuri
dan Sri Sadono).
2). Kepemimpinan
Kepemimpinan MTA di tingkat pusat yang sekarang masih eksis
merupakan kepemimpinan yang masih terinspirasi dari kepemimpinan sejak
berdirinya. Maksudnya, pasca kepemimpinan pendiri MTA (Ustadz
Abdullah Thufail Saputro) hingga kini pucuk pimpinan masih dipegang oleh
Ustadz Ahmad Sukino.
Meskipun demikian, keterpilihan Ustadz Ahmad Sukino ditentukan
oleh hasil musyawarah mufakat pertemuan pengaurus-pengurus tingkat
perwakilan dan cabang. Terpilihnya Ustadz Ahmad Sukino sebagai Ketua
Umum MTA tidak bisa terlepas dari Ketua Umum MTA tidak bisa terlepas

69
dari kedekatannya dengan Ustadz Abdullah Thufail Saputro ketika masih
memegang pimpinan MTA.
Sistem kepemimpinan yang dikembangkan dalam MTA tampak
sebagai imamiyah. Maksudnya kebijakan dan kepengurusan yang diambil
dan dilaksanakan dominan atas otoritas dan prakarsa imam (Ketua Umum).
Dengan demikian para warga/anggota MTA memiliki sikap ketaatan
(tawadlu’) yang tinggi kepada imam (Ketua Umum). Hanya saja yang perlu
diketahui disini bahwa sistim kepemimpinan yang diimplementasikan tidak
murni dalam bentuk imamah, tetapi masih terkombinasi dengan sistim
permufakatan.
3). Keanggotaan
Dalam kehidupan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) tidak
disosialisasikan istilah anggota maupun keanggotaan. Tetapi dalam
kehidupan MTA selain terdapat pengurus juga warga. Bagi warga MTA
tidak dikembangkan adanya Kartu Tanda Anggota/warga. Sehingga jika
dipertanyakan jumlah warga hanya di dasarkan pada absensi dalam kegiatan
pengajian. Apabila ada warga (orang) yang telah mengikuti beberapa kali
kegiatan pengajian, pihak pengaurus memberikan formulir, untuk kesediaan
sebagai warga MTA.
Ada beberapa pernyataan yang harus di taati oleh warga MTA
sebagai berikut:
a). Bersungguh-sungguh dan ihlas dalam mengaji yang diselenggarakan
oleh MTA
b). Benar-benar yakin dan mau mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya,
baik secara individu, keluarga maupun dalam masyarakat
c). Sanggup menyebar luaskan ilmu yang telah diperolehnya dengan tanpa
pamrih, tasamuh dan hanya mengharap keridhoan Allah semata.55
4). Kegiatan56
a). Pengajian

55
Hasil wawancara dengan seorang anggota MTA tanggal 25 April 2008
56
Selayang Pandang Yayasan MTA, hal. 1-2 dan Hasil wawancara dengan Al Ustadz Ahmad Sukino
tanggal 25 April 2008

70
Dalam kegiatan pengajian yang diselenggarakan oleh MTA ada
dua macam, yakni khusus dan umum. Pengajian khusus merupakan
pengajian yang pesertanya terdaftar dan setiap mengikuti kegiatan
diabsen. Pengajian khusus ini diselenggarakan seminggu sekali, baik
ditingkat pusat, perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang. Adapun para
guru (ustadz) pengajian itu dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh
pusat.
Pada tingkat perwakilan maupuin cabang yang terlalu jauh untuk
dijangkau dari pusat, maka pengajian dengan guru (ustadz) dari pusat
diselenggarakan dua minggu sekali, satu bulan sekali, bahkan satu
semester sekali dengan frekuensi sekali sehari.
Materi yang diberikan dalam pengajian khusus adalah tafsir Al-
Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan kitab-kitab tafsir
lain, baik karya ulama Indonesia maupun ulama salaf, seperti Al Manar,
Al Maroghi, dan Ibnu Katsir. Proses belajar mengajar dalam pengajian
khusus itu dilakukan dengan teknik ceramah dan tanya jawab. Guru
(ustadz) menyajikan materi yang disampaikannya, kemudian peserta
mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Berdasarkan tanya jawab itu, maka pokok pembahasan dapat
berkembang ke berbagai hal yang dipandang perlu. Dari kegiatan itulah
kajian tafsir Al Qur’an dapat berkembang ke kajian aqidah, syariat,
akhlak, tarikh, dan masalah aktual yang terjadi sehari-hari. Di samping
itu, pengkajian Tafsir Al Qur’an yang dilaksanakan MTA secara
otomatis mencakup pengkajian Al Hadist. Itu semua bertujuan agar
peserta (warga) MTA memahami, menghayati dan mengamalkan Al
Qur’an secara konsekwen.
Kemudian untuk pengajian yang bersifat umum adalah pengajian
yang dibuka untuk umum. Maksudnya peserta pengajian tidak hanya dari
warga MTA. Untuk kegiatan pengajian umum itu tidak ada absen bagi
peserta. Materi pengajian umum itu lebih ditekankan pada hal-hal yang
diperlukan dalam pengamalan sehari-hari. Adapun pengajian umum
tersebut baru dapat diselenggarakan oleh MTA tingkat pusat, yang

71
diselenggarakan sekali dalam seminggu (tiap hari minggu pagi) di
Surakarta. Pemateri pada kegiatan pengajian umum itu adalah Ustadz
Ahmad Sukino dan para tokoh agama Islam lain non warga MTA.
b). Kegiatan Lainnya
Pengamalan Al Qur’an membawa kebentuk kehidupan bersama
berdasar Al Qur’an dan Sunah Nabi. Kehidupan bersama ini menuntut
adanya berbagai kegiatan yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan
warga. Oleh karena itulah, di samping menyelenggarakan kegiatan
pengajian, MTA juga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lain. Adapun
kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan MTA itu adalah pendidikan
formal dari tingkat TK-SMTA, pondok pesantren (pendidikan non
formal), dan kegiatan yang bersifat non formal), dan kegiatan yang
bersifat sosial, seperti kerja bakti dengan Pemda dan TNI, donor darah
rutin ke PMI (setiap tri wulan), pemberian santuna kepada korban
bencana alam dan konflik, pemberdayaan ekonomi umat, kesehatan,
penerbitan buku dan brosur dan siaran radio. Khusus tentang siaran
melalui radio itu, MTA sudah mempunyai pemancar dan studio sendiri
sejak 1 Maret 2007 pada gelombang 107.9 MHz.
Untuk kegiatan sosial tersebut di atas, pada tataran implementasi
dilapangan, pelaksanaannya adalah aktifis satgas MTA. Jadi untuk
kegiatan yang bersifat sosial sebagaimana disinggung dimuka, yang
melaksanakan adalah satgas MTA.
5). Sumber Dana
Banyak pihak yang mempertanyakan tentang dari mana MTA
mendapatkan dana untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang relatif
intensif itu. Bahkan pernah ada isu, bahwa dana kegiatan MTA itu
bersumber dari luar negeri maupun orpol tetentu. Ternyata menurut Ustadz
Ahmad Sukirno (ketua umum) bahwa kegiatan dana MTA itu bersumber
dari warga sendiri.
Bagaimanakah MTA mampu memberikan motivasi kepada warganya
untuk berpartisipasi dana dalam setiap kegiatan? Ternyata salah satu ajaran
yang diberikan kepada warga benar-benar dipahami dan diamalkan. Adapun

72
ajaran yang dimaksud adalah bahwa sesungguhnya jihad itu terdiri atas dua
unsur, yaitu jihad bi amwal (harta) dan jihad bi anfus (jiwa). Apabila jihad bi
amwal (harta) dihayati dengan baik dan diamalkannya secara konsekuen dan
konsisten, maka umta Islam tidak pernah akan kekurangan dana untuk
membiayai kegiatan-kegiatannya. Warga MTA senantiasa ingin
berpartisipasi dalam setiap kegiatan dan berani berjihad bukan hanya dengan
anfus, tetapi juga bi amwal, sebab memang demikianlah yang dicontohkan
oleh Nabi dan para sahabatnya.57
b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial
1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Faktor pendukung dalam interaksi sosial kemasyarakatan warga
MTA dengan umat lainnya adalah dibukanya kebebasan umat lain untuk
mengikuti kegiatan pengajian umum setiap minggu pagi. Selain itu pihak
MTA membuka lebar pintu bagi para tokoh agama Islam yang berskala
Nasional maupun regional untuk menjadi penceramah pada kegiatan
tersebut. Hal ini dilakukan untuk menunjukan bahwa MTA sebenarnya
sangat terbuka untuk memperoleh masukan melalui pengajian yang
diselenggarakan.
Prinsip lana a’maluna wa lakum a’malukum yang tertanam dalam
diri warga MTA menjadikan pihak lain tidak merasa terganggu. Sehingga
dalam kehidupan sosial keagamaan warga MTA dengan umat lain tidak
pernah terjadi konflik. Prinsip inilah yan senantiasa dikembangkan oleh
warga MTA untuk menjaga keberlangsungannya dalam berinteraksi sosial
dengan masyarakat yang didasarkan pada ajaran agama. Prinsip saling
mengerti dalam keberbedaan dan tidak menggangu umat lain melakukan
sesuai dengan amalnya merupakan langkah fleksibiltas warga MTA.
2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Faktor pendukung terciptanya interaksi warga MTA dengan pihak
lain adalah adanya motivasi jihad bi amwal yang tertanam pada diri warga
MTA. Selain itu penghimpunan dana yang relatif mudah dari warga MTA

57
Selayang Pandang Yayasan MTA, op-cit, hal. 3-4

73
menjadikan MTA sering melakukan kegiatan yang bersifat sosial, seperti
pemberian santunan, donor darah dan pemberdayaan warga setempat. Dari
kegiatan-kegiatan itulah tercipta interaksi yang baik antara warga MTA
dengan puhak lain.
3). Faktor Pendukung dalam Interaksi Dengan Pemerintah dan Pihak Lain
Faktor pendukung adanya interaksi MTA dengan pihak pemerintah
adalah potensi yang dimilii maupun usaha-usaha yang dilakukan oleh MTA
dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, seperti usaha dibidang
penddikan, kesehatan dan pemberian santunan. Kemudian terciptanya
interaksi pimpinan MTA dengan para pimpinan ormas maupun kelompok
lain adalah adanya tokoh-tokoh religius Islam yang menjadi relawan dalam
upaya menciptakan kerukunan (ukhuwah) sesama umat muslim Surakarta.
4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Penghambat interaksi sosial keagamaan warga MTA dengan
kelompok atau umat lain adalah kurang elastisnya pemahaman dan
pengamalan ajaran Al Quran ketika menghadpi perbedaan dengan kelompok
atau umat lain. Kemudian warga MTA juga belum mau mengikuti kegiatan-
kegiatan keagamaan yang diselenggarakan pihak lain, selain jumatan.
5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Untuk interaksi sosial kemasyarakatan warga MTA dengan pihak
lain relatif hampir tidak ada. Hanya ada satu hal yang menjadi penghambat
berinteraksi sosial kemasyarakatan warga MTA dengan pihak lain, yaitu
kegiatan kaum wanita (ibu). Oleh karena mempunyai pandangan bahwa
kegiatan Dasa Wisma PKK itu merupakan hal yang mubazir, maka bagi
kaum wanita MTA kurang berinteraksi dengan warga sekitarnya.
6). Faktor Penghambat dalam Interaksi dengan Pemerintah dan Pihak Lainnya.
Masih adanya persepsi yang tidak sepaham terhadap pemahaman dan
pengamalan ajaran Al Qur’an warga MTA, baik oleh oknum pejabat maupun
kelompok atau armas tertentu, maka hal itu kurang mendukung dan bahkan
berakibat menyebabkan kurang harmonisnya hubungan interaksi kedua belah
pihak.

74
3. Potensi dan Hambatan Kelompok Syahadatain
a. Potensi
1). Struktur
Sejak berdiri sampai sekarang, kelompok Syahadatain tidak memiliki
struktur pengurus yang jelas. Kelompok ini hanya memiliki satu pemimpin,
yaitu Kyai Husein. Namun demikian sepeninggal Kyai Husein juga tidak ada
pemilihan siapa yang menggantikan posisi Kyai Husein. Menurut Ahmadi,
bahwa kepemimpinan dalam kelompok Syahadatain bersifat otomatis, yaitu
Kyai Husein sebagai pendiri maka dengan sendirinya menjadi pemimpin dan
sekarang sepeninggal Kyai Husein, maka kepemimpinan dipegang oleh
adiknya, yaitu Kyai Mustangin. Memang ada pemikiran sekarang ini untuk
membentuk struktur kepengurusan yang jelas sebagaimana yang berada di
tingkat pusat.
2). Kepemimpinan
Kepemimpinan yang dikembangkan oleh kelompok Syahadatain
adalah kepemimpinan kharismatis dalam kelompok tersebut. Oleh karena
itu, yang menjadi pemimpin adalah yang paling berwibawa terutama dari
trah keturunan/keluarga Kyai Husein sebagai pendiri utama. Namun
demikian apabila dalam perkembangannya tidak ada dari keluarga Kyai
Husein yang memiliki kewibawaan terutama dalam usia dan kekhusuan,
maka pemimpin dapat diambil dari anggota kelompok yang lain yang
dipandang berwibawa dan cukup baik ilmu agamanya.
Menurut Ahmadi, bahwa organisasi tidaklah begitu penting karena
yang paling penting adalah keistiqomahan dalam menjalankan sunnah-
sunnah Nabi Muhammad SAW secara konsisten, seperti bersorban,
melakukan shalat tahajud dan dilanjutkan shalat dhuha. Dan yang sekarang
mampu melakukannya adalah Kyai Mustangin di mana pada setiap tengah
malam sudah berada di masjid shalat tahajud dilanjutkan shalat shubuh dan
dzikir/wirid sampai pada waktu dhuha.
3). Keanggotaan
Keanggotaan dalam kelompok Syahadatain tidak diatur sebagaimana
organisasi Islam pada umumnya, seperti melalui trining maupun pemberian

75
kartu anggota. Keanggotaan di sini bersifat sukarela tanpa ada unsur paksaan
dan siap mengikuti berbagai aktivitas yang dilakukan oleh kelompoknya.
Bahkan anggota masyarakat yang ikut dalam kegiatan yang dilakukan oleh
kelompok Syahadatain, seperti mengikuti peringatan hari besar Islam, ikut
shalat Jum’at atau halat fardlu lainnya secara berjamaah, ikut dzikir dan
wirid tidak secara otomatis sebagai anggotanya.
Seseorang yang bisa dijadikan anggota adalah yang selalu mengikuti
kegiatan yang diadakan kelompok Syahadatain dan secara lisan
menyampaikan kepada pimpinan. Namun demikian, secara umum dapat
dilihat bahwa anggota kelompok Syahadatain selalu memakai sorban putih
ketika akan melaksanakan shalat sehingga bagi anggota masyarakat yang
ingin bergabung cukup dengan berpakaian sebagaimana kelompok
Syahadatain dan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh
kelompoknya.
4). Kegiatan58
Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Syahadatain terbagi menjadi
tiga, yaitu dalam bentuk pengajian, kegiatan rutin (tahlil, dzikir dan wirid
setiap hari kamis malam dan tawasulan setiap hari minggu malam) dan temu
nasional. Untuk pengajian dilakukan setiap kali habis membaca tahlil,
Yasiin dan wirid lainnya pada hari kamis malam jum’at dan apengajian
dalam rangka memperingati hari besar Islam. Adapun yang memberi materi
adalah Kyai Mustangin untuk kegiatan pengajian rutin sedangkan pengajian
lainnya oleh anggota lainnya. Kegiatan lain adalah Tawasulan yang
dilakukan setiap hari minggu malam senin.
Khusus untuk kegiatan temu nasional diadakan di daerah Panuragan
Wetan Kabupaten Cirebon yang dilaksanakan setiap bulan Mulud.
Pertemuan ini merupakan ajang silaturahim kelompok Syahadatain tingkat
nasional bukan dalam rangka pergantian pengurus. Pada temu nasional ini
sebenarnya kegiatannya sama dengan yang dilakukan oleh masing-masing

58
Selayang Pandang Yayasan MTA, hal. 1-2 dan Hasil wawancara dengan Al Ustadz Ahmad Sukino
tanggal 25 April 2008

76
kelompok Syahadatain di berbagai daerah pada saat menyambut kedatangan
bulan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dalam menyelenggarakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh
kelompok Syahadatain dibiayai oleh anggotanya secara sukarela. Sebagai
contoh ketika ada kegiatan kamis malam Jum’at yang membutuhkan
konsumsi cukup banyak, maka seluruh hidangan yang disajikan adalah dari
anggota yang kebetulan memiliki rizki yang cukup. Begitu juga ketika
pembangunan/pemekaran Masjid Syahadatain lebih banyak didanai oleh
anggotanya, meskipun juga ada beberapa kaum muslimin di luar anggotanya
yang ikut membantu.
Sebenarnya dalam kegiatan maupun pendanaan untuk semua
kegiatan pengajian, tawasulan/tahlil dan rehab Masjid, kelompok
Syahadatain sangat terbuka, yaitu siap menerima bantuan dari manapun dan
dari siapapun termasuk dari pemerintah. Kelompok Syahadatain pada
dasarnya terbuka kepada siapapun untuk keperluan apapun, yang paling
penting menurut Ahmadi jangan mengatakan kelompok Syahadatain adalah
sesat.
b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial
1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Faktor pendukung dalam interaksi sosial keagamaan yang terjadi
antara kelompok Syahadatain dengan masyarakat sekitar adalah sama-sama
berada dalam kultur yang sama, yaitu kultur NU, sehingga pengamalan
agamanya tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Begitu
juga dalam kegiatan yang bersifat sosial keagamaan, seperti dalam
pengurusan jenazah dari memandikan sampai pada pemakaman dilakukan
sebagaimana yang dilakukan oleh masyarkat pada umumnya, yaitu selain
dimandikan dan dikafani serta di shalati juga terdapat kegiatan Talqin
terhadap jenazah.
2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Untuk kegiatan sosial kemasyarakatan bagi kelompok Syahadatain
tidak ada masalah, sehingga interaksi sosial kemasyarakatan juga dapat
terjalin dengan baik. Faktor pendukung yang kuat dalam interaksi sosial

77
kemasyarakatan adalah sebagian anggota kelompok Syahadatain sebagai
Ketua RT dan pengurus RT dan RW. Posisi sebagai pengurus di wilayah RT
dan RW inilah yang memudahkan untuk berinteraksi dengan anggota
masyarakat lainnya, apalagi sebagai pelayan masyarakat selalu siap
menerima persoalan yang dihadapi oleh anggota masyarakat terutama
berkaitan dengan surat menyurat.
3). Faktor Pendukung dalam Interaksi dengan Pemerintah dan Pihak Lain
Hubungan kelompok Syahadatain dengan pemerintah secara
organisasi tidak ada, namun demikian terdapat faktor yang cukup kondusif
untuk berhubungan dengan pihak pemerintah terutama pemerintahan tingkat
desa. Faktor yang cukup dominan dalam interaksi anggota kelompok
Syahadatain dengan pemerintah adalah dilatarbelakangi oleh kedudukan
beberapa anggota kelompok Syahadatain yang menjadi ketua RT maupun
pengurus pada level RT dan RW. Dengan posisi inilah menjadi dukungan
yang kuat interaksi kelompok Syahadatain dengan pemerintah.
4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Meskipun tidak ada persoalan dalam berbagai interaksi, akan tetapi
apabila ditelusuri lebih jauh terdapat beberapa unsur yang menjadi faktor
penghambat dalam interaksi sosial keagamaan. Faktor yang sangat
memungkinkan menjadi penghambat dalam interaksi sosial keagamaan
dengan anggota masyarakat umumnya adalah adanya anggota dari kelompok
Syahadatain yang dikenal tidak memiliki toleransi dengan anggota
masyarakat umumnya, terutama ketika ada kematian, shalat janazah, dan
tahlilan.
Menurut Warsito, diakui bahwa ada anggota Syahadatain yang sering
tidak mengikuti tahlilan atau membantu orang yang terkena musibah karena
orang yang terkena musibah bukan dari kelompoknya. Hal ini sedikit akan
mengganggu interaksi sosial keagamaan yang ada di masyarakat. Namun
demikian, diakuinya tidak semua anggota kelompok Syahadatain seperti itu.
Masih banyak anggota kelompok Syahadatain yang baik bahkan sangat giat
dalam membantu anggota masyarakat yang terkena musibah. Sementara itu

78
yang memiliki karakter tidak baik di atas juga dimiliki pada kelompok
keagamaan atau organisasi keagamaan lainnya.
Ia menambahkan, bahwa sesuatu yang memungkinkan akan menjadi
penghambat dalam interaksi sosial keagamaan adalah kegiatan tahlil, dzikir
maupun wirid yang dilakukan di masjid Syahadatain melewati jam 21.00
WIB. Untuk sementara tidak ada masalah, akan tetapi dikhawatirkan ketika
terdapat warga sekitar yang merasa terganggu, sementara jamaah yang
sedang beraktivitas bukan dari wilayah sekitar, maka akan memunculkan
masalah yang dengan sendirinya berakibat pada interaksi sosial keagamaan
yang lain.
Selain hambatan di atas, juga terdapat persoalan yang mengarah pada
munculnya hambatan, yaitu eksklusifitas dalam kegiatan beribadah. Sebagai
contoh dilihat dari segi berpakaian bagi laki-laki adalah dengan jubah dan
bersorban putih, melakukan shalat Jum’at tanpa bercampur di masjid yang
dimiliki oleh masyarakat, padahal pelaksanaan shalat jum’at di masjid
Syahadatain hanya diikuti oleh kurang dari 40 orang di mana dalam paham
ahlussunnah Wal jamaah yang dipahami oleh sebagian besar kalangan NU
harus lebih dari 40 orang.
Begitu juga adanya shalat sunnah Ba’diyah maupun qobliyah yang
mengiringi shalat wajib yang dilakukan dengan berjamaah, padahal shalat
sunnah tersebut biasanya dilakukan dengan sendiri-sendiri (munfaridan). Di
sinilah dengan eksklusifitas dalam beribadah, melakukan shalat jum’at
kurang dari 40 orang dan melakukan shalat sunnah secara berjamaah akan
memunculkan faham baru, apalagi dari kelompok Syahadatain ini tidak ada
yang ikut shalat jum’at di masjid milik masyarakat.
5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Soaial Kemasyarakatan
Interaksi sosial kemasyarakatan antara kelompok Syahadatain
dengan anggota masyarakat pada umumnya tidak ada hambatan yang berarti.
Interaksi ini berjalan dengan baik yang ditunjukan dalam kegiatan kerja
bakti, saling menengok apabila ada anggota masyarakat yang sakit dan aktif
dalam kegiatan yang bersifat kebersamaan antar warga, seperti lomba dalam

79
rangka 17 Agustus maupun dalam kegiatan lain dengan menyediakan
konsumsi secara suka rela.
6). Faktor Penghambat dalam Interaksi sosial dengan Pemerintah
Interaksi sosial kelompok Syahadatain dengan Pemerintah tidak ada
hambatan. Hal ini dikarenakan sebagian anggota kelompok Syahadatain
yang dituakan adalah pengurus Ketua RT dan pengurus RW. Jabatan di RT
maupun RW menurut H. Ahmad Mawardi (Ketua RT dan anggota kelompk
Syahadatain) tidak bersifat politis agar anggota kelompoknya memiliki
pengaruh di masyarakat. Jabatan ini murni jabatan hasil pilihan anggota
masyarakat yang bukan anggota kelompok Syahadatain, sehingga dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada amanat. Dengan demikian
hubungan kelompoknya dengan pemerintah secara otomatis baik, begitu juga
dengan anggota masyarakat.

4. Potensi dan Hambatan Organisasi LDII di Kabupaten Pati


a. Potensi
1). Struktur
Untuk pembahasan ini, struktur keorganisasian LDII yang dikemukakan
adalah struktur yang paling akhir (periode tahun 2004-2009). Struktur
kepengurusan LDII Kabupaten Pati terdiri dari struktur Dewan Penasehat
dan Pengurus Harian. Ketua Dewan Penasehat adalah K.H. Anwar
Muhammadin dan Ketua Pengurus Harian adalah Agus Priyono, B.Sc.
Pengurus harian terbagi dalam bidang-bidang, yaitu: Organisasi,
Keanggotaan dan Kaderisasi; Penerangan dan Mass Media; Pendidikan
Umum dan Pelatihan; Pemuda Olah raga, Seni dan Budaya; Peranan Wanita
dan Kesejahteraan Wanita; dan Koperasi, Wiraswasta dan Kesejahteraan
Sosial; serta Pelatihan dan Bantuan Hukum.
2). Kegiatan59
Kegiatan yang dilaksanakan oleh LDII Kabupaten Pati paling tidak
ada dua, yaitu pengajian rutin dan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan

59
Selayang Pandang Yayasan MTA, hal. 1-2 dan Hasil wawancara dengan Al Ustadz Ahmad Sukino
tanggal 25 April 2008

80
sosial. Untuk kegiatan pengajian bagi anggota LDII dilaksanakan dalam tiga
tingkatan, yaitu PAC, PC dan DPD. Untuk tingkat PAC dilaksanakan 3 kali
dalam seminggu, yakni malam Selasa, malam Kamis dan malam Sabtu.
Pengajian tingkat PC dilaksanakan 3 kali dalam sebulan, yakni minggua ke
II, III dank e IV. Sedangkan pengajian tingkat DPD dilaksanakan sebulan
sekali setiap Minggu I.
Untuk kegiatan sosial bagi anggota LDII dilakukan dengan
memberikan santunan pada kaum Dhuafa dan memberikan bantuan berupa
uang maupun natura setiap ada korban bencana alam di Indonesia.

b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial


1). Faktor Pendukung
Faktor pendukung adanya interaksi sosial antara anggota LDII
dengan masyarakat sekitarnya adalah adanya fatwa MUI yang harus
dilaksanakan oleh LDII. Selain itu, sikap toleran masyarakat muslim
sekitarnya terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh
LDII. Begitu juga adanya sikap solidaritas anggota LDII dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan.
2). Faktor Penghambat
Perihal yang menghambat terciptanya interaksi antara anggota LDII
dengan masyarakat sekitar adalah adanya dua hal yang cukup sulit untuk
segera dinetralisir, yaitu:
a). Masih adanya eksklusivitas anggota LDII dalam hal keberagamaan
b). Adanya praduga negatif dari masyarakat terhadap anggota LDII terkait
dengan implementasi keagamaan, seperti nikah dan penggunaan tempat
peribadatan oleh kelompok lain.

5. Potensi dan Hambatan Organisasi LDII di Kabupaten Grobogan


a. Potensi
1). Struktur
Berdasarkan surat keputusan Dewan Pimpinan Daerah LDII Propinsi Jawa
Tengah Nomor: Kep-6/K/V/2006 tentang Pengesahan Komposisi Personalia

81
Dewan Pimpinan Daerah LDII Kabupaten Grobogan Periode 2004 – 2009
dengan ketua Dewan Penasehat adalah Erman Suharto, S.Sos. dan Ketua
Pengurus Harian adalah H. Moch Kadam. Struktur Pengurus Harian terdiri dari
bagian-bagian, yaitu: Organisasi, Keangotaan dan Kaderisasi; Hubungan Antar
Lembaga; Komunikasi, Informasi dan Media; Pendidikan Agama dan Dakwah;
Pendidikan Umum dan Pelatihan; Iptek, Lingkungan Hidup dan Kajian
Strategis; Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat; Pemuda Olah Raga dan Seni
Budaya; Bantuan Hukum dan HAM; serta Pemberdayaan Wanita dan
Kesejahteraan.
2). Kepemimpinan
Kepemimpinan yang dikembangkan dalam organisasi LDII secara
umum sama dengan organisasi lain yang mengikuti aturan pemerintah
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Oleh karena itu, sistim musyawarah sangat dikembangkan
untuk menetapkan kepemimpinan dari satu periode ke periode berikutnya.
Sebagai contoh adalah yang dilakukan untuk kepemimpinan periode 2004–
2009 LDII Kabupaten Grobogan didasarkan pada hasil musyawarah Dewan
Pimpinan Daerah LDII Kabupaten Grobogan pada tanggal 15 Desember
2004. Namun demikian untuk menetapkan secara sah dilakukan oleh DPD
tingkat atasnya, yaitu Jawa Tengah.
Model kepemimpinan yang didasarkan pada asas musyawarah ini
merupakan penetapan yang telah disahkan melalui Musyawarah Nasional
LDII. Hal ini termaktub dalam AD/ART Bab VII Pasal 19 yang berbunyi
bahwa organisasi ini mempunyai 5 (lima) tingkatan musyawarah dari
musyawarah tingkat nasional atau yang disingkat dengan MUNAS, MUSDA
Tk. I, MUSDA Tk. II, MUSCAB dan musyawarah tingkat anak cabang atau
disingkat MUSACAB.
Dengan adanya penetapan tersebut juga berimplikasi pada sikap
dalam pengambilan Keputusan. Hal ini tetruang dalam Bab IX tentang
Pengambilan Keputusan pasal 22 yang berbunyi antara lain
Musyawarah/rapat adalah sah apabila dihadairi lebih dari setengah yang

82
wajib hadir dan Keputusan diambil atas dasar mufakat apabila tidak
terpenuhi diambil dengan suara terbanyak.
3). Keanggotaan
Menurut Drs. Suharman, bahwa segala keputusan yang berkaitan
dengan organisasi diambil sesuai dengan AD/ART yang telah disahkan.
Begitu juga masalah keanggotaan dalam LDII bersifat suka rela dan tidak
mengikat serta terbuka untuk setiap warga negara Indonesia dan yang
disebut anggota dalam LDII adalah orang yang bersedia mengikuti kegiatan
LDII dan menyetujui AD/ART, program kerja dan seluruh keputusan hasil
musyawarah/rapat-rapat dan peraturan organisasi.
4). Kegiatan
Kegiatan yang dilaksanakan oleh LDII Kabupaten Grobogan lebih
banyak pada internal anggota dan bersifat pendalaman materi keagamaan
yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadits. Meskipun demikian terdapat
kegiatan yang lebih menekankan pada konsolidasi pengurus sekaligus
membahas pengajian, pembangunan fisik gedung, yaitu dengan pertemuan
pengurus setiap satu bulan sekali.
Kegiatan yang bersifat keagamaan dalam bentuk pengajian
dilaksanakan setiap hari Senin, Selasa dan Jum’at. Adapun waktu pengajian
dilaksanakan setiap habis shalat Isya antara pukul 19.30 sampai dengan
21.00 WIB. Di samping itu, juga terdapat pengajian Cabe Rawit yang
dilaksanakan setiap hari setelah shalat Ashar dengan materi Iqro’, hafalan
do’a dan baca tulis al Qur’an (BTA). Pengajian cabe rawit ini sama dengan
Taman Pendidikan Al qur’an (TPQ) dan diperuntukan bukan hanya untuk
putra-putra angota LDII, melainkan terbuka untuk umum.
Selain kegiatan di atas juga terdapat kegiatan rutin setiap hari Jum’at,
yaitu shalat Jum’at berjamaah. Dalam shalat Jum’at ini dilakukan
sebagaiman shalat Jum’at pada umumnya dengan adzan dua, hanya saja isi
khutbah dibacakan dalam bahasa Arab dengan teks buku yang telah tersedia
di mimbar. Setelah khutbah pertama selesai, Khotib duduk sambil berdo’a
dengan bacaan sirri selama kurang lebih 45 detik dan dilanjutkan dengan
khutbah kedua juga dengan bahasa Arab.

83
Setelah selesai shalat Jum’at, Khotib berdiri dan menyampaikan
pengajian dengan bahasa Indonesia yang isinya menjawab pertanyaan dari
salah seorang jamaah di luar pembahasan Jum’at. Ketika Khotib sedang
menyampaikan ceramahnya, para jamaah melemparkan uang ke arah depan
seusia dengan keikhlasannya. Menurut para jamaah bahwa pelemparan uang
tersebut adalah infaq yang menggambarkan keikhlasan sesuai dengan
kemampuan uang yang dimiliki dan ketika dilemparkan berarti benar-benar
menyerahkan uang tersebut. Hal ini berbeda apabila menggunakan kotak
infaq yang selain mengganggu juga merasa kurang ikhlas karena beramal
dengan ditutupi pakai tangan atau bahkan ada jamaah yang gengsi dan risih
akhirnya memasukan bukan karena Allah melainkan karena gengsi atau
risih.
5). Sumber Dana
Sumber dana untuk semua kegiatan maupun untuk pembangunan
fisik masjid dan gedung lainnya berasal dari anggota tanpa ditentukan berapa
jumlahnya. Pendanaan ini termasuk dari infaq shalat jum’at dan para donatur
kaum muslim yang ingin menginfakan dananya melalui LDII. Menurut Drs.
Suharman, sementara ini belum terfikirkan untuk mengadakan penarikan
infaq rutin yang dibebankan kepada para anggota. Bahkan informasi yang
berkembang di masyarakat tentang diambilkan dari zakat penghasilan
anggotanya sebanyak 20 % adalah belum juga terfikirkan.
Diakui ada dana yang bersifat rutin yang diterima oleh Pengurus
LDII Kabupaten Grobogan, namun demikian jumlahnya juga tidak dapat
diprediksikan. Dana-dana rutin yang setiap bulan diperoleh tersebut berasal
dari cabang-cabang. Namun demikian tidak semua cabang selalu
mengirimkan iuran setiap bulan, hal ini sangat tergantung pada kondisi
keuangan dari cabang itu sendiri. Berangkat dari kondisi seperti inilah,
menurut Drs. Suharman bahwa iuran yang diberikan oleh cabang-cabang
tersebut bersifat insidential
b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial
1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan

84
Pada awalnya interaksi sosial keagamaan yang dilakukan oleh LDII
agak kesulitan, hal ini diakui karena masih ada opini di masyarakat yang
berkembang, bahwa LDII eksklusif, masjidnya tidak boleh untuk shalat yang
bukan anggotanya dan dalam mencuci tidak boleh di jemur bersama-sama
yang bukan anggota LDII. Namun demikian, dalam perkembangannya
interaksi sosial keagamaan sudah mulai membaik. Hal ini didukung oleh
sifat terbukannya LDII setelah menggunakan paradigma baru yang
menerima semua orang Islam secara umum.
Faktor pendukung lainnya dalam interaksi sosial keagamaan ini
adalah terbukanya masjid untuk umum pada saat shalat maupun pengajian,
membagikan daging qurban ke masyarakat yang dilakukan oleh anggota
LDII dan adanya pengajian cabe rawit yang diperuntukan untuk semua anak-
anak muslim tanpa terkecuali dan kondisi pusat kegiatan keagamaan LDII
yang secara geografis dilalui oleh anggota masyarakat pada umumnya.
2). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Berkaitan dengan interaksi sosial kemasyarakatan diakui oleh
Bambang Setyobudi (Ketua RT) pada awalnya aga kesulitan karena tidak
mau bergabung, baik dalam acara rapat bulanan maupun dalam acara kerja
bakti. Hal ini dimaklumi karena kebanyakan anggota LDII bertempat tinggal
di luar wilayahnya, Namun demikian setelah tokoh LDII dijadikan pengurus
RT dan ada beberapa anggota LDII yang mendapat bantuan dari pemerintah
melalui RT, maka interaksi sosial kemasyarakatnya menjadi baik.
Disinilah masuknya tokoh LDII yang menjadi pengurus RT dan
adanya anggota LDII yang menerima bantuan dari pemerintah menjadikan
interaksi sosial kemasyarakatan menjadi baik. Bahkan akhir-akhir ini telah
terjadi pembauran antara anggota LDII dengan anggota masyarakat di luar
LDII ketika ada lomba-lomba yang bersifat umum, seperti pada saat 17
Agustusan.
3). Faktor Pendukung dalam Interaksi dengan Pemerintah dan Pihak Lain
Hubungan organisasi LDII dengan pemerintah secara organisasi tidak
ada, akan tetapi hubungan dengan pemerintah terutama pada tataran RT
adalah baik. Hal ini didukung oleh semakin terbukanya anggota LDII untuk

85
mengikuti aturan pemerintah dalam persoalan yang berkaitan dengan
pemerintahan, seperti dalam pembuatan KTP dan Pernikahan. Selain itu,
sebenarnya ada faktor pendukung lainnya, yaitu sebagian tokoh utama LDII
adalah PNS yang bekerja di berbagai lini kepemerintahan, sehingga
bagaimanapun autran-aturan yang harus dilaksanakan berkaiatan dengan
pemerintahan harus diselesaikan sesuai dengan procedural.
4). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Meskipun interaksi sosial keagamaan anggota LDII sudah dapat
dikatakan baik, namun demikian masih terdapat persoalan yang bisa menjadi
penghambat. Menurut Bambang Setyobudi, bahwa di wilayah RT 07 yang
juga sebagai pusat kegiatan keagamaan LDII terdapat pengajian rutin atau
yang lebih dikenal dengan Jamaah Tahlil Al Muqorrobiin yang
diselenggarakan setiap hari Kamis malam jum’at. Selama ini pengurus
maupun anggota LDII tidak ada yang mau mengikuti jamaah tahlil tersebut
tanpa alasan yang jelas. Di samping itu, juga beredar opini masyarakat,
bahwa pernikahan yang dilakukan oleh anggota LDII tidak hanya di KUA
melainkan juga dilakukan di kelompoknya, sehingga pernikahan dilakukan
dua kali. Kondisi seperti inilah paling tidak menjadi pembicaraan
masyarakat tentang anggota LDII yang tidak mau bercampur dengan
masyarakat ketika ada kegiatan keagamaan di RT.
5). Faktor Penghambat dalam Interaksi Sosial Kemasyarakatan
Dalam minteraksi sosial kemasyarakatan sebenarnya sudah tidak ada
persoalan lagi sehingga hambatan-hambatan itu tidak muncul. Apalagi
setelah peristiwa kebanjiran dan banyak anggota masyarakat mengungsi di
aula LDII, maka semakin tidak ada jarak antara anggota LDII dengan
anggota masyarakat. Namun demikian kesan LDII eksklusif yang kadang
muncul dan sampai kepada masyarakat inilah sering menjadi faktor
penghambat. Sebagai contoh ketika shalat jum’at masih terdapat warga yang
berada di sekitar masjid LDII tidak mau mengikuti shalat jum’at di masjid
LDII, akan tetapi lebih memilih di masjid lainnya yang relatif lebih jauh.

86
6. Potensi dan Hambatan Kelompok Jamaah Tabligh
a. Potensi
1). Struktur
Menurut ustadz Ismail dan ustadz Abdul Ala, bahwa dalam Jamaah
Tabligh tidak terdapat struktur kepengurusan secara formal atau
sebagaimana organisasi pada umumnya. Namun dalam kegiatannya
senantiasa ada penanggung jawab maupun pembantu-pembantu pada saat
tabligh khuruj maupun pengelolaan di pondok pesantren.
Kepengurusan Jamaah Tabligh di Kabupaten Magelang terdiri dari
penanggungjawab, sekretaris dan pembantu-pembantu, yaitu istiqbal,
tafahud, tasykil, i’lam, mimbar wala, dan hidmah. Istiqbal adalah bertugas
menerima tamu, tafakhud seorang yang betrugas menyeleksi orang-orang
yang akan keluar di jalan Allah (khuruj), Tasykil adalah seorang yang
bertugas memberikan pengumuman di markas (masjid dakwah), mimbar
wala adalah seorang yang bertugas sebagai protokol dalam dalam
musyawarah, Khidmah adalah seorang yang bertugas memberikan pelayanan
kepada para anggota jamaah.60
b. Pendukung dan Penghambat Interaksi Sosial
1). Faktor Pendukung dalam Interaksi Sosial Keagamaan
Faktor pendukung interaksi social keagamaan kelompok Jamaah
Tabligh dengan masyarakat muslim sekitar adalah adanya kegiatan pengajian
akbar setiap hari Kamis malam Jum’at. Hal itu disebabkan pada kegiatan
pengajian tersebut pihak kelompok Jamaah Tabligh membuka pengajian
yang diperuntukan untuk umum dan secara terbuka bagi kaum muslimin di
luar kelompoknya diminta untuk mengikuti kegiatan tersebut.
2). Faktor Penghambat
Faktor penghambat interaksi social keagamaan maupun interaksi
social kemasyarakatan kelompok Jamaah Tabligh dengan masyarakat
muslim sekitar adalah adanya eksklusifitas kelompok tersebut. Dengan

60
Sulaiman, Jamaah Tabligh di desa Kerincing Kecamatan Secang Kabupaten Magelang. Balitrohag.
Semarang. 1997. Halaman 12-13.

87
demikian cukup sulit anggota kelompok Jamah Tabligh untuk berinteraksi
secara bebas dengan anggota masyarakat pada umumnya.

C. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Aliran Islam Minoritas


1. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Aliran Syi’ah
Pola pembinaan yang dikembangkan di ponpes Al Hadi sementara ini
lebih banyak dilakukan di internal ponpes. Sedangkan Departemen Agama
Kota Pekalongan sebagai institusi pemerintah tidak pernah secara langsung
mengadakan pembinaan. Menurut Kakandepag Kota Pekalongan, bahwa tidak
ada dana khusus yang diperuntukan pembinaan terhadap kelompok aliran
dalam keagamaan, namun demikian secara tidak langsung, seperti diundang
dalam rangka pertemuan pengasuh ponpes se kota Pekalongan maupun acara
yang berkaitan dengan ponpes selalu mengundang ponpes Al Hadi.
a. Internal
Secara internal pola pembinaan yang dikembangkan dalam
kelompok aliran Syi’ah dilakukan melalui proses pembelajaran yang
diselenggarakan di ponpes Al hadi. Dengan demikian, pembinaan yang
bersifat ke dalam ini dilakukan cukup intensi, yaitu setiap waktu dan
setiap, kecuali hari Kamis dan Jum’at yang merupakan hari libur
pembelajaran.
Dalam pembinaan internal lebih banyak dilakukan oleh dewan
ustadz, hal ini dikarenakan ustadz Ahmad Barakbah sering mendatangi
undangan di luar kota bahkan luar negeri (Negara Iran). Adapun jenis
pembinaan dilakukan dengan pembelajaran di kelas melalui kajian kitab
sesuai dengan jadwal pelajaran, majlis ta’lim yang diadakan setiap hari
minggu sore dan mengirim santri apabila ada undangan dari luar, seperti
diskusi maupun acara yang diselenggarakan khusus oleh Departemen
Agama
Berkaitan dengan interaksi sosial, secara khusus pihak pengelola
pondok pesantren tidak pernah mengadakan pembinaan. Namun demikian
secara alamiah para ustadz maupun para santri tidak ada larangan untuk
berinteraksi sosial dengan anggota masyarakat lainya sehingga ustadz

88
maupun santri dibebaskan untuk memenuhi kebutuhannya dibeli dari luar.
Bahkan ustadz membebaskan para ustadz maupun santrinya untuk shalat
jum’at di masjid umat islam pada umumnya, hal ini dikarenakan pada hari
jum’at merupakan hari libur pembelajarn formal.
b. Eksternal
Pembinaan yang bersifat eksternal terhadap kelompok aliran Syi’ah
yang dilakukan di luar proses pembelajaran yang bersifat internal adalah
ketika mengadakan kegiatan hari besar Islam, seperti peringatan maulid
Nabi Muhammad SAW dan pengajian setiap hari Ahad sore. Dalam
kegiatan ini pihak ponpes mengundang pihak luar, baik anggota
masyarakat maupun pihak pemerintah. Dengan demikian antara pihak
anggota kelompok aliran Syi’ah dapat berbaur dan berinteraksi dengan
anggota masyarakat pada umumnya.
Sedangkan bentuk pembinaan yang bersifat mengembangkan
anggota kelompok aliran Syi’ah dengan masyarakat sekitar secara
langsung tidak ada. Menurut salah seorang santri, bahwa secara kebetulan
di wilayahnya tidak pernah ada kerja bakti sehingga pembinaan dalam
kerangka sosial kemasyarakatan dan terjun langsung di lapangan tidak
terjadi. Meskipun demikian dalam kegiatan yang bersifat keadministrasian
di lingkungan, seperti donatur kegiatan 17 Agustusan maupun iuran rutin
bulan di RT selalu dipenuhi.

2. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok MTA


a. Internal
Pembinaan internal warga MTA terkait dengan keagamaan adalah
melalui pengajian umum dan khusus. Di samping itu pembinaan
keagamaan juga melalui lembaga-lembaga pendidikan yang
diselengarakannya. Mengenai materi pembinaan keagamaan itu terkait
dengan masalah akidah, akhlak dan syariah dengan sumber utama Al
Qur’an.
Kemudian pembinaan yang terkait dengan interaksi sosial adalah
melalui pertemuan-pertemuan warga MTA yang di dalamnya diberikan

89
materi ukhuwah, baik dalam bertetangga, bersaudara, bermasyarakat
maupun bernegara.
b. Ekternal
Pembinaan keagamaan secara ekternal bagi warga MTA baik yang
berupa masalah keagamaan maupun sosial kemasyarakatan dapat
dikatakan tidak ada. Hal itu memang secara riil selama ini tidak ada
pembinaan dari ekternal yang bersifat khusus untuk warga maupun
pimpinan MTA. Sedangkan jika pernah ad itu pun sifatnya untuk pimpinan
kelompok atau pun organisasi secara umum, seperti yang diselenggarakan
oleh Depag dan Diknas.

3. Pola Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Syahadatain


a. Internal
Pembinaan internal anggota kelompok Syahadatain terkait dengan
keagamaan dilakukan paling tidak seminggu dua kali, yaitu pada hari
Kamis dan Minggu. Pada hari Kamis kegiatanya adalah tahlil, dzikir dan
wirid dan pada hari minggu dilakukan tawasulan. Dalam setiap kegiatan
ini selain terdapat bacaan lanjutan dengan bahasa jawa seperti “... Abdi
tiyang bodo, tiyang salah muhun syafaate kanjeng Nabi... nuhun diparingi
waras... Dawuh gusti sampun wekas sampun weling duwe kuping ojo
budeg gege eling... iki zaman sampun rupek... tetepana hak kang bener
tetep mulya...” juga selalu diisi ceramah oleh Kyai Mustangin. Adapun isi
ceramah yang selalu disampaikan adalah tentang istiqomah dalam
melaksanakan perintah Allah SWT dan selalu mohon ampunan.
b. Ekternal
Pembinaan yang bersifat eksternal terhadap anggota kelompok
Syahadatain adalah diikutsertakannya anggota dalam kegiatan temu
nasional yang diadakan di daerah Panuragan Wetan Kabupaten Cirebon.
Kegiatan ini dilakukan setahun dua kali, yaitu setiap bulan Mulud dan
bulan Rajab. Pertemuan ini merupakan ajang silaturahim kelompok
Syahadatain tingkat nasional untuk menguatkan keyakinan anggotanya
terhadap eksistensi kelompok Syahadatain. Menurut H. Mawardi,

90
pertemuan di Cirebon sangat penting sehingga diupayakan seluruh anggota
dapat mengikutinya, sehingga dapat memahami ajaran kelompok
Syahadatain yang datang dari gurunya tanpa ditambahi dan dikurangi
sedikitpun.

4. Pola Pembinaan dan Pengembangan Organisasi LDII di Kabupaten Pati


a. Internal
Pembinaan sosial keagamaan, kemasyarakatan dan pemerintahan
dilakukan oleh para mubaligh maupun pengurus terhadap anggota LDII
adalah melalui kegiatan, pengajian, raker maupun silaturahmai informal.

b. Ekternal
Pembinaan yang dilakukan oleh pihak ekternal terhadap anggota
LDII di Kabupaten pati hanya dilakukan oleh pihak Kesbanglinmas
setempat yang secara rutin melibatkannya bersama dengan kelompok
lainnya. Sedangkan pihak Departemen Agama sendiri tidak pernah
melakukan pembinaan, bahkan tidak ada program sama sekali untuk
pembinaan terhadap anggota LDII.

5. Pola Pembinaan dan Pengembangan Organisasi LDII di Kabupaten


Grobogan
a. Internal
Pola pembinaan yang dilakukan oleh pengurus maupun mubaligh
LDII dalam rangka pembinaan di bidang sosial keagamaan,
kemasyarakatan dan pemerintahan dilakukan melalui pengajian-pengajian
yang diselenggarakan, baik pengajian rutin setiap hari Senin, Selasa, dan
Jum’at maupun melalui konsolidasi organisasi yang sekaligus membahas
program pengajian. Pembinaan ini juga dimulai sejak anak-anak melalui
pengajian cabe rawit.
Pembinaan juga dilakukan setelah shalat Jum’at dengan ceramah
dalam suasana yang akrab. Ceramah habis shalat Jum’at ini untuk

91
menambah wawasan keagamaan anggota meskipun ketika khutbah Jum’at
dengan bahasa Arab sudah dapat dimengerti isinya. Menurut salah seorang
jamaah yang sekaligus anggota LDII, bahwa meskipun khutbah Jum’at
dengan bahasa Arab akan tetapi apa yang disampaikan sudah pernah
disampaikan dalam kajian keislaman melalui pegajian tafsir al Qur’an
maupun al Hadits.
b. Ekternal
Pembinaan secara ekternal terhadap anggota LDII di Kabupaten
Grobogan ini secara khusus tidak pernah dilakukan, baik oleh Departemen
Agama, MUI maupun instansi pemerintah lainnya. Hanya saja hubungan
pengurus dengan pimpinan MUI maupun Kepala Departemen Agama
Kabupaten Grobogan cukup baik.

6. Pola Pembinaan dan Pengembangan Jamaah Tabligh


a. Internal
Secara interanal pembinaan anggota Jamaah Tabligh dilakukan
secara intensif pada aspek penguatan keagamaan. Sedangkan pada aspek
kemasyarakatan terlihat kurang mendapatkan perhatian yang baik, hal ini
terbukti khususnya anggota Jamaah Tabligh yang tinggal dalam pondok
pesantren hampir tidak pernah melakukan sosialisasi dengan masyarakat
sekitar, seperti pada kegiatan kerja bakti, peringatan Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus.
b. Ekternal
Pembinaan yang dilakukan oleh pihak luar, seperti Kandepag dan
Kesbanglinmas terhadap kelompok Jamaah Tabligh di daerah Kerincing
selama ini dapat dikatakan tidak ada. Hal itu secara jujur dikatakan oleh
informan, bahwa selama ini tidak ada pembinaan terhadap kelompok
Jamaah Tabligh tersebut.61 Selama ini tidak pernah ada pembinaan khusus
dari Kakandepag setempat.62

61
Hasil wawancara Kasi Penamas Departemen Agama Kabupaten Magelang pada tanggal 30 Mei 2008.
62
Hasil wawancara dengan anggota jamaah Tabligh pada tanggal 31 Mei 2008.

92
BAB VI

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan
1. Interaksi Sosial
a. Masih terjadi kemungkinan pengerasan paham keagamaan di internal aliran
khususnya untuk kelompok aliran Syi’ah, LDII, MTA, dan Jamaah Asy
Syahadatain. Pada aliran Syi’ah masih terdapat ajaran yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, seperti terlalu mengangungkan
Ali bin Abi Thalib dan mensyahkan nikah mut’ah, adanya anggapan
sebagian masyarakat yang apabila melakukan shalat di masjid milik jamaah
LDII akan disucikan kembali, adanya anggapan MTA hanya menggunakan
dalil-dalil al Qur’an, dan pada Syahadatain terlalu eksklusif karena para
anggotanya tidak mau shalat Jum’at di masjid milik masyarakat dan
mendirikan shalat jum’at sendiri meskipun jumlah jamaahnya tidak ada 40
orang sebagaimana disyaratkan dalam madzab imam Syafi’i. Sementara itu,
untuk interaksi sosial dengan anggota masyarakat sekitarnya sangat
dianjurkan oleh pimpinan kepada semua santri maupun anggotanya,
sehingga tidak sedikit anggota jamaahnya yang menjadi pengurus RT
maupun RW.
b. Basis stabilitas kerukunan antarumat Islam di Jawa Tengah adalah interaksi
sosial kemasyarakatan, interaksi sosial pada umumnya tercipta dalam aspek
pendidikan, perekonomian, kesehatan, dan bakti sosial. Pada aspek
pendidikan terlihat anggota aliran maupun putra dari pimpinan jamaah yang
melanjutkan pendidikan pada sekolah yang ada di masyarakat, pada aspek
perekonomian terjadi transaksi jual beli antar anggota masyarakat dengan
anggota aliran Islam minoritas melalui koperasi yang dimiliki kelompok
Islam minoritas maupun usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat
pada umumnya, pada aspek kesehatan hampir semua anggota aliran Islam
minoritas yang berobat ke Puskesmas milik pemerintah maupun ke dokter

93
yang bukan anggotanya, dan pada kegiatan bakti sosial sebagai sarana yang
dilakukan oleh para anggota aliran Islam minoritas untuk berinteraksi sosial
dan menjaga kerukunan antar umat beragama.
c. Masih kurangnya partisipasi aktif anggota aliran dalam interaksi sosial
pemerintahan dalam proses pembuatan kebijakan terlihat pada kurangnya
keaktifan dan kehadiran mengikuti kegiatan rapat pemerintahan dimulai dari
tingkat administrasi desa/kelurahan. Meskipun demikian, untuk administrasi
yang berkaitan dengan pemerintahan tetap dilakukan secara prosedural,
seperti ketika santri Syi’ah akan berangkat ke Iran secara legal melalui pihak
pemerintahan setempat.
2. Potensi dan Hambatan
a. Potensi pendukung interaksi sosial secara internal adalah mulai adanya
pelunakan pemahaman tentang perbedaan muamalat bukan merupakan
prinsip dalam beragama. Sedangkan secara eksternal, masyarakat secara
umum mulai menerima eksistensi kelompok minoritas khususnya dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan.
b. Hambatan interaksi sosial secara internal adalah kelompok minoritas masih
lebih mementingkan pengembangan ilmu keagamaan dalam komunitasnya.
Sedangkan secara eksternal, masih adanya sebagian kelompok masyarakat
muslim yang belum bisa menerima peran kelompok Islam minoritas dalam
kehidupan sosial keagamaan dan pemerintahan.
3. Pola Pembinaan
a. Pola pembinaan yang ada masih berada dalam tataran internal aliran maka
posisi tokoh dan pengurus sangat strategis sebagai fasilitator bagi intervensi
kebijakan untuk pemberdayaan umatnya
b. Pola pembinaan dari lingkup eksternal masih dalam tataran ketersediaan
mekanisme dan saluran formal misalkan Kantor Urusan Agama atau Depag
Kaupatenb/Kota namun belum ada agenda aksi yang jelas dan berkelanjutan.

B. Rekomendasi
1. Interaksi Sosial

94
a. Peran MUI dan Kanwil Depag untuk menggalakkan aktivitas komunikasi
untuk mewujudkan ukuwah islamiyah antarkelompok Islam dengan
melibatkan aliran minoritas dalam penentuan kebijakan keagamaan,
misalkan penentuan awal dan akhir Ramadhan.
b. Badan Kesbangpol dan linmas dan Kejaksaan perlu melakukan pemutahiran
data informasi tiap organisasi sosial keagamaan sehingga perkembangan dan
peran organisasi dapat diketahui. Perkembangan dan kecenderungan tingkat
potensi konflik di masyarakat perlu diketahui.
c. Pemerintah daerah perlu mendorong peningkatan keterlibatan kelompok
minoritas dalam kegiatan-kegiatan sosial pemerintahan seperti pengurusan
identitas kartu tanda penduduk, data kelahiran, pelayanan pendidikan dan
pelayanan kesehatan oleh pemerintah.
2. Potensi dan Hambatan
a. Potensi yang sudah dimiliki oleh kelompok Syi’ah, MTA, Syahadatain, LDII
maupun Jamaah Tabligh hendaknya dikembangkan dan ditingkatkan agar
lebih memberi manfaat bagi keluarga besar kelompok sendiri maupun pihak
lain, seperti usaha bidang kesehatan, pendidikan dan kegiatan sosial
kemasyarakatannya.
b. Biro Mental dan Spiritual Setda, Kanwil Depag, FKUB Provinsi, Kepolisian
Daerah, Kajaksaan Tinggi dan MUI Provinsi untuk menfasilitasi aktivitas
komunikasi lintas aliran Islam.
3. Pola Pembinaan
a. Perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan koordinasi antara Kejaksaan
tinggi, Kawil Depag Provinsi, dan Gubernur untuk meningkatkan upaya
pembinaan pada kelompok minoritas.
b. Revitalisasi pembagian peran antara Kanwil Depag (Urais: urusan agama
Islam), Depag Kab/Kota, dan KUA terkait dengan lingkup pembinaan
terhadap kelompok minoritas dan masyarakat sekitar.
c. Perencanaan program pembangunan khususnya bidang keagamaan
(Musrenbangda) perlu mengakomodasi kepentingan dan gagasan-gagasan
semua kelompok keagamaan.

95
DAFTAR PUSTAKA

Basyuni, Muhammad M. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama.


Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Jakarta, 2006.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia. Pn.PT. Ichtiar Baru
– Van Hoeve. Jakarta. t.t.
Geertz, Clifford. Konflik Dan Konfigurasi, dalam Roland Robertson, Agama,
Analisa Dan Interpretasi Sosiologi, terjemahan AF Saifuddin, Rajawali,
Jakarta.tt.
Ishomuddin., Sosiologi Perspektif Islam, Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang, 2005.
Mawardi, Marmiati. Hubungan Intern Ummat Beragama di Jawa Tengah; studi kasus di
Kota Pekalongan. Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan Semarang. 1999.
Muzayanah, Umi dan A.M. Wibowo. Peta Keagamaan Provinsi Jawa Tengah.
Balitbang Agama Semarang. 2007
Poerwadarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka,.
1976.
Puspito, D. Hendro OC., Sociologi Sistematik, Pn. Kanisius. Yogjakarta. 1989.
Schermerhorn, R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and
Research, Random House, New York, 1970.
Simo & Schuster, Webster Dictionary, Published by New World Dictionary,
Printed in The United State of America. 1972.
Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi, CV Rajawali. Jakarta. 1985.
Sulaiman, Jamaah Tabligh di desa Kerincing Kecamatan Secang Kabupaten
Magelang. Balitrohag. Semarang. 1997.
Sumarjan, Selo, Setangkai Bunga Sosiologi, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 1986.
Victor, Y. Tanja, Pluralisme Agama Dan Problem Sosial, 1998, Pustaka Cide
Sindo, Jakarta.tt
Wach, Joachim, Sociology Of Religio, The University Of Cichago Press, London,
1964.
Young, Kimball, Social Cultural Process, dalam Selo Sumarjan, Setangkai Bunga
Sosiologi, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. tt

Azra, Azyumardi. Psikologi Minoritas-Mayoritas. Gatra Edisi Khusus September


2008.

96
Bachtiar, Harsya W., Agama Dan Perubahan Sosial Di Indonesia, dalam Bulletin
“Dialog “ Edisi No. 17, Jakarta, Badan Litbang Agama, 1984.
Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, Jurnal Harmoni: Dinamika Agama-gama di
Indonesia , volume II, Nomor 8, Oktober-Desember 2002, hal. 14-15.
Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI, Jurnal Harmoni: Pemikiran dan Gerakan
Keagamaan di Indonesia, volume IV, Nomor 13, Januari-Maret 2005.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, Nomor: 9 Tahun
2006 dan Nomor: 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadah.
SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri RI) Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-
033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan
Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

97
Lampiran 1
KEPUTUSAN
KOMISI FATWA
Nomor : 03 / Kep / FK – MUI / IX 2006
Tentang
LEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA
Bismillaahirrohmaanirrohiem
Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam rapat Pleno pada
hari Senin tanggal 11 Sya’ban 1427 H / 4 September 2006 M., setelah :
MENDENGAR : Penjelasan pimpinan harian MUI tentang hasil
pertemuan Pimpinan MUI dengan Dewan Pimpinan
LDII Pusat tanggal 4 Juni 2006 dan kunjungan pusat
LDII
MEMBACA : 1. Fatwa MUI tentang Islam Jamaah
2. Surat pernyataan klarifikasi dari Dewan Pimpinan
LDII Pusat yang ditandatanganiKetua umum dan
Sekjenya
MEMPERHATIKAN : Pendapat dan usul peserta rapat Komisi Fatwa MUI
tanggal 11 Sya’ban 1427 H . 4 September 2006 M.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN:
1. Dapat menerima pernyataan klarifikasi tingkat nasional dari pimpinan LDII
Pusat yang menyatakan bahwa:
a. LDII telah menganut paradigma baru
b. LDII bukan penerus/kelanjutan dari gerakan Islam Jamaah serta tidak
menggunakan ataupun mengajarkan ajaran Islam Jamaah.
c. LDII tidak menggunakan atau menganut sistem keamiran.
d. LDII tidak menganggap umat muslim di luar kelompok mereka sebagai
kafir dan najis.

98
e. LDII bersedia bersama ormas-ormas Islam lainnya mengikuti landasan
berpikir keagamaan sebagaimana yang ditetapkan MUI.
2. Mengharuskan agar klarifikasi dilakukan juga oleh pengurus LDII tingkat
Propinsi dan Kabupaten / Kota sebagaimana telah dilakukan oleh Dewan
Pimpinan LDII Pusat kepada MUI. Klarifikasi di tingkat Propinsi dan
Kabupaten/Kota dilakukan oleh masing-masing tingkatan yang sama.
3. Menyarankan:
a. Agar Dewan Pimpinan LDII Pusat segera mungkin melakukan Munas /
Rakernas dan membuat keputusan mengenai hal tersebut sehingga terjadi
persamaan persepsi di LDII sampai pada tingkat yang terbawah
b. Melakukan konferensi Pers (Pers Conference) mengenai pernyataan
klarifikasi tersebut untuk diketahui oleh semua warga LDII khususunya
dan umat Islam pada umunya.
Jakarta, 11 Sya’ban 1427 H.
04 September 2006 M.
MAJLIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA,
Ketua Sekretaris

KH. Ma’ruf Amin Hasanuddin

99

You might also like