You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Surfaktan adalah suatu senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent) yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik dalam
satu struktur molekul yang sama. Senyawa ini dapat menurunkan tegangan antarmuka
antara dua fasa cairan yang berbeda kepolarannya seperti minyak/air atau air/minyak.
Sifat yang unik tersebut, menyebabkan surfaktan sangat potensial digunakan sebagai
komponen bahan adhesif, bahan penggumpal, pembasah, pembusa, pengemulsi, dan
bahan penetrasi serta telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri
proses yang menggunakan sistem multifasa seperti pada industri makanan, farmasi,
kosmetika, tekstil, polimer, cat, detergen dan agrokimia (Johnson dan Fritz, 1989).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan lingkungan yang
baik, permintaan surfaktan yang mudah terdegradasi dan berbasis tumbuhan juga
semakin meningkat (Holmberg, 2001), maka diperlukan kajian untuk memperoleh
surfaktan yang mempunyai dua kriteria tersebut yaitu diperoleh dari bahan baku yang
dapat diperbaharui dan bersifat degradatif di alam sehingga dapat diterima secara
ekologis. Salah satu surfaktan yang memenuhi kedua kriteria tersebut adalah surfaktan
alkanolamida.
Alkanolamida dapat diperoleh dari hasil reaksi antara alkanolamina dengan
asam lemak minyak nabati, dan banyak digunakan sebagai bahan pangan, kosmetika
dan obat-obatan (Soledad, dkk. 2000). Surfaktan alkanolamida yang mempunyai ikatan
amida banyak dikembangkan dalam industri pembuatan surfaktan karena ikatan amida
secara kimia sangat stabil pada media yang bersifat alkali (Maugard, dkk. 1997).
Alkanolamida yang digunakan untuk formula pangan, kosmetika dan obat-
obatan haruslah bebas dari bahan beracun, pelarut, asam lemak bebas, amina yang
berlebih serta harus tidak berbau dan bentuknya menarik. Namun penelitian untuk
memproduksi alkanolamida pada skala industri masih kurang karena penghilangan
pelarut dan warna yang tidak diinginkan memerlukan tahapan yang rumit dan biaya
yang tinggi.
Selama ini alkanolamida banyak diproduksi menggunakan katalis kimia melalui
reaksi Schotten Baumann antara asam lemak atau metil ester asam lemak dengan
monoetanolamina atau dietanolamina menggunakan katalis seng oksida (ZnO) pada
suhu 150oC selama 6 - 12 jam (Maag, 1984; Herawan, 1999). Sintesis secara kimia
memerlukan tahap reaksi yang rumit yaitu tahap proteksi dan deproteksi gugus hidroksil
untuk mencegah terjadinya karbonasi amina dengan CO2 (Dolores, dkk. 2002). Sintesis
pada suhu tinggi ini juga menghasilkan warna yang tidak diharapkan pada produk akhir.
Selain itu, sintesis secara kimia menghasilkan produk samping berupa garam dan
menggunakan pelarut bersifat toksik (DMF, metanol) yang harus dihilangkan dari
proses agar diperoleh produk yang murni (Maugard, dkk. 1998; Par Tufvesson, dkk.
2007).
Sintesis alkanolamida menggunakan katalis kimia dari metil ester asam laurat
dan N-metil glukamina telah dipatenkan pada European Patent Application (EP-A)
nomor 285,768 tahun 1994 dengan judul Preparation of N-methyl-coconut fatty acid
glucamide. Sintesis dilakukan di dalam skala laboratorium dengan mencampur 3 mol
metil ester asam laurat minyak kelapa dengan 3 mol N-metil glukamina serta
penambahan 3,3 gram katalis natrium metoksida secara bertahap. Temperatur reaksi
adalah 135 oC dan metanol yang terbentuk dikondensasikan pada kondisi vakum pada
100 hingga 15 mbar. Setelah metanol dihilangkan, campuran reaksi dilarutkan dengan
isopropanol, kemudian disaring dan dikristalkan.
Alternatif yang menarik dibandingkan dengan menggunakan bahan yang bersifat
toksik seperti tersebut di atas adalah sintesis alkanolamida secara enzimatik
menggunakan biokatalis. Sintesis secara enzimatik mempunyai beberapa keunggulan
seperti bekerja pada suhu yang lebih rendah (Herawan, 2004), dan dapat dilakukan
dengan menggunakan pelarut organik non-toksik seperti tert-amil alkohol dan n-heksan
yang secara ekologis lebih aman (Nagao dan Kito, 1989; Ducret, dkk. 1996). Sintesis
enzimatik juga tidak memerlukan proteksi/deproteksi reagen karena enzim bersifat
regio dan stereo maupun kemoselektif (Ee Lin Soo, dkk. 2003). Pada sintesis enzimatik,
pelarut dan biokatalis juga mudah dipisahkan dari produk. Pelarut dipisahkan dengan
penguapan pada tekanan rendah sementara biokatalis, karena bentuknya yang granula
atau terimobilisasi, dapat dipisahkan dari produk mentah secara filtrasi (Herawan,
2004). Selanjutnya, dalam penelitian ini akan digunakan dietanolamina dan N-metil
glukamina sebagai sumber amina serta satu jenis asam lemak yaitu asam laurat.
Pemilihan dietanolamina disebabkan karena alkanolamida yang diperoleh dari
dietanolamina merupakan salah satu surfaktan alkanolamida yang paling penting karena
memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik dibandingkan amida lainnya akibat adanya
dua gugus hidroksil dalam molekul alkanolamida yang dihasilkan (Kurniasih, 2008).
Reaksi pembentukan lauroil-dietanolamida dari asam laurat dan dietanolamina dapat
dilihat pada Gambar 1.1 di bawah ini.

O
HO OH CH3
HO H2O
N +
10
H enzim,pelarut
Dietanolamina Asam laurat

O O
HO CH 3 CH 3
N HN C
H 2O
10 + 10
OH OH

Lauroil-dietanolamida Ester

Gambar 1.1 Reaksi Pembentukan Lauroil-dietanolamida dari Asam Laurat dan


Dietanolamina

Asam laurat dipilih sebagai sumber asam lemak karena amida dari asam laurat
banyak digunakan pada berbagai produk kosmetika dan obat-obatan (Sharma, dkk.
2005). Asam laurat banyak terdapat dalam minyak inti sawit, yang dihasilkan sebagai
hasil samping pengolahan minyak sawit serta terdapat dalam jumlah besar dan
berkesinambungan di Indonesia. Selain itu hasil samping reaksi amidasi dari amina
dengan asam lemak adalah air yang lebih aman dan bukannya berupa metanol (Dolores,
dkk. 2002). Air mudah dipisahkan dengan melarutkan campuran produk dengan aseton,
sementara jika amida diperoleh dari reaksi antara metil ester asam laurat dengan amina,
maka hasil samping metanol yang diperoleh harus dipisahkan dengan menguapkan
metanol atau bekerja pada tekanan mendekati vakum (Maugard, dkk. 1998).
Pemilihan N-metil glukamina sebagai sumber amina pada penelitian ini
didasarkan pada belum banyaknya hasil penelitian tentang sintesis alkanolamida dari N-
metil glukamina (Maugard, dkk. 1998), sementara N-metil glukamina dapat diperoleh
dari sumber terbarukan (Holmberg, 2001) dan surfaktan asam lemak N-metil glukamida
yang dihasilkan merupakan salah satu surfaktan berbasis sugar dengan peluang pasar
yang meningkat secara signifikan (Warwel, dkk. 2001). N-metil glukamina merupakan
senyawa yang mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai anti bakteri (Ee Lin Soo,
dkk. 2003), mengatasi kerusakan sendi dan rasa nyeri (Maugard, dkk. 1997), serta
mampu mengikat lemak tanpa diikuti dengan pengikatan vitamin yang larut dalam
lemak (Rismana, 2005). Demikian juga reaksi pembentukan lauroil-N-metil glukamida
dari asam laurat dan N-metil glukamina terlihat pada Gambar 1.2 di bawah ini.

OH
H CH2OH O H2O
CH3
H +
OH H
NH OH enzim,pelarut
HO 10
H OH CH3

N-metil glukamina Asam laurat

O
H OH OH CH3
CH2OH H CH2O

H O H n
OH H CH3
OH H
NH
OH N
OH
H CH3 10 H OH CH3
OH

Lauroil-N-metil glukamida 6-O-lauroil-N-metil glukamina

Gambar 1.2 Reaksi Pembentukan Lauroil-N-metil Glukamida dari Asam Laurat


dan N-metil Glukamina

Sintesis alkanolamida secara enzimatik dipengaruhi oleh beberapa variabel


antara lain, jenis dan konsentrasi enzim, jenis dan rasio pelarut, rasio molar bahan baku,
temperatur dan waktu reaksi (Rahman, dkk. 2003; Kurniasih, 2008). Rahman, dkk.
2003 mengamati pengaruh variabel reaksi pada sintesis alkanolamida berkatalis lipase
dari monoetanolamina dengan PKL (palm kernel olein) dan PKS (palm kernel stearin)
menggunakan lipase dari Candida rugosa pada berbagai variasi pelarut organik (etil
asetat, benzen, n-heksan, n-heptan, iso-oktan, n-dekana, dodekana dan n-heksadekana),
rasio molar PKL atau PKS/monoetanolamina (1:1 hingga 1:20), waktu (12 hingga 96
jam) dan temperatur reaksi (30 hingga 60 oC). Mereka melaporkan bahwa yield
monoetanolamida sangat bergantung pada pemilihan kondisi reaksi dan kondisi reaksi
optimum diperoleh pada konsentrasi enzim 0,035 (b/b PKS atau PKL) menggunakan
pelarut iso-oktan, waktu reaksi 72 jam, temperatur 40 oC, dengan yield 77,0% untuk
PKL-monoetanolamida dan 39,0% untuk PKS-monoetanolamida.
Pengaruh jenis dan konsentrasi enzim telah diamati antara lain oleh Maugard,
dkk. (1998), Infante dkk. (2004) dan Sharma, dkk. (2005). Mereka mengamati dua kelas
enzim yang berfungsi sebagai biokatalis pada sintesis surfaktan alkanolamida yaitu
protease dan lipase. Namun penggunaan protease dilaporkan tidak begitu berhasil
karena protease spesifik untuk asam amino tertentu dan lebih sensitif pada media
organik. Sebaliknya, lipase lebih spesifik karena sangat baik menghidrolisis ikatan N-H
pada amina dan lipase terimobilisasi dapat bekerja pada suhu hingga 90 oC. Lipase
terimobilisasi dengan rasio enzim terhadap substrat 0,01 hingga 0,15 telah banyak
digunakan pada sintesis chiral amida (Soledad dan Gago, 1998), karbohidrat ester
(Herawan, dkk. 1996, 1997), fatty amida (Maugard, dkk. 1997; Dolores, dkk. 2002;
Par Tufvesson dkk. 2007) dan N-asil-asam amino (Ee Lin Soo, dkk. 2003,2004).
Jenis pelarut dan rasio mol bahan baku menentukan efisiensi dan
kemoselektifitas reaksi enzimatik alkanolamida (Dolores, dkk. (2002); Par Tufvesson,
dkk. (2007)). Rasio mol bahan baku juga menentukan kondisi asam basa reaksi atau pH
yang sangat mempengaruhi perolehan alkanolamida (Maugard, dkk. 1998). Pengaruh
jenis pelarut dan rasio mol bahan baku pada sintesis enzimatik alkanolamida telah
diamati antara lain oleh Maugard, dkk. (1997) melalui reaksi transasilasi metil ester
asam lemak (MEAL) dari minyak Corza dengan N-metil-glukamina. Reaksi dijalankan
pada suhu 90oC dan tekanan 500 mBar menggunakan pelarut organik tert-amil alkohol
dan n-heksan dengan katalis lipase dari Candida antarctica (Novozym 435®). Dolores,
dkk. (2002) juga mengamati pengaruh pelarut n-heksan dan tert-amil alkohol pada
sintesis alkanolamida dari vanililamina dan asam oleat menggunakan enzim Novozym
435, serta menyimpulkan bahwa selektivitas reaksi bergantung kepada kelarutan produk
di dalam pelarut dan pemilihan bahan pelarut sangat menentukan efisiensi proses.
Sementara Rahman, dkk. (2003) mengamati pengaruh berbagai pelarut organik seperti
etil asetat, benzene, n-heksan, n-heptane, iso-oktan, n-dekana, dodekana dan n-
heksadekana pada sintesis alkanolamida dari monoetanolamin dengan PKL (palm
kernel olein) menggunakan enzim lipase dan mengamati bahwa iso-oktan merupakan
pelarut yang memberikan hasil terbaik. Rangkuman hasil pengamatan di atas diberikan
pada Tabel 1.1 yang menyatakan pengaruh rasio mol bahan baku dan pelarut terhadap
yield berbagai alkanolamida.
Pengaruh temperatur dan waktu reaksi pada sintesis alkanolamida secara
enzimatik telah diamati oleh beberapa peneliti dan diperoleh hasil yang bervariasi.
Pengamatan yang dilakukan oleh Rahman, dkk. (2003) dengan waktu reaksi terbaik
adalah 72 jam dan temperatur 40 oC; Maugard, dkk. (1998) pada variasi temperatur 45-
90oC dan waktu 25 hingga 140 jam; serta Par Tufvesson, dkk. (2007) yang mengamati
pada waktu 10 jam dengan suhu 90oC merupakan beberapa diantara peneliti yang
mengamati pengaruh temperatur dan waktu reaksi.
Tabel 1.1 Pengaruh Rasio Mol Bahan Baku dan Pelarut Terhadap
Yield Berbagai Alkanolamida

Jenis substrat Rasio Pelarut Amida Ester Amida


mol (%) (%) ester (%)
Asam oleat/N-metil glukamina 1) 2/1 n-heksan 50 20 30
Etil laurat/N-oktil glukamina1) 1/1 Tert-amil 84 - -
alkohol
MEAL/N-metil glukamina2) 1/1 Tert-amil 80 5 15
alkohol
Asam oleat/vanililamina3) 1/1 Tert-amil 80 - -
alkohol
PKL/monoetanolamina4) 1/1-1/15 Iso-oktan 77 - -
Asam laurat/etanolamina5) 2/1 Tanpa 75 20 5
pelarut
Sumber:
1)
Maugard, dkk.., (1997) ; 2)Maugard, dkk. (1998) ; 3)Dolores, dkk. (2002)
4)
Rahman, dkk. (2003) ; 5)Par Tufvesson, dkk. (2007)

Kemoselektifitas lipase pada sintesis alkanolamida telah diamati dan ditemukan


bahwa lipase mampu mengasilasi baik gugus amina maupun gugus alkohol (Soledad,
dkk. 2000; Dolores, dkk. 2002). Kebanyakan lipase serentak mengkatalisis reaksi
amidasi dan esterefikasi dari alkanolamina, hanya saja jika produk akhir yang
diharapkan adalah alkanolamida, maka reaksi perlu dikontrol agar ester yang terbentuk
dan migrasi asil dari alkohol ke amina dapat meningkatkan produk amida yang
diperoleh. Maugard, dkk. (1998) yang mengamati reaksi amidasi asam oleat dengan N-
metil glukamina, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.3 dan mengamati hasil
analisa HPLC pada Gambar 1.4, menemukan bahwa waktu reaksi berperan mengontrol
perolehan amida dimana setelah 130 jam reaksi, ester yang terbentuk akan menjadi
amida-ester karena donor asil akan berikatan dengan atom N pada ester.
Dari hasil analisa HPLC pada Gambar 1.4 ditunjukkan bahwa berkurangnya
asam oleat (2) sejalan dengan terbentuknya produk N-metil-glukamida (3a). Pada awal-
awal reaksi, akan terbentuk amida (3a) dan ester (4a). Kemudian ester (4a) yang
terbentuk sebahagian akan hilang diakhir reaksi. Maugard dkk. (1998) menemukan
bahwa setelah 130 jam reaksi, 40% asam oleat akan bertransformasi dengan yield
amida mencapai 80% dan menyimpulkan bahwa rasio asam/amina akan mengontrol
baik efisiensi dan kemoselektivitas dari sintesis enzimatik ini.
Kontrol reaksi sangat berperan pada sintesis alkanolamida secara optimal. Salah
satu upaya yang dilakukan untuk mengontrol reaksi adalah dengan mengamati pengaruh
interaksi dari variabel penelitian menggunakan Metode Permukaan Sambutan (Response
Surface Methodology, RSM) (Montgomery, 1997). Metoda ini dapat digunakan untuk
menentukan kondisi reaksi amidasi yang tepat serta mendapatkan konversi asam lemak
dan yield alkanolamida yang maksimum. Beberapa peneliti yang telah mengamati
optimasi sintesis surfaktan secara enzimatik, diantaranya Hamsaveni, dkk. (2001);
Khrisna, dkk. (2001); Ee Lin Soo, dkk. (2003); Ramkrishna dan Swaminathan (2004)
dan Rodrigues, dkk. (2006).

Gambar 1.3 Skema Reaksi Amidasi Asam Oleat dengan N-metil Glukamina
oleh Maugard, dkk. (1998). (Keterangan: (1) Amina, (2) Asam Oleat,
(3a) Amida, (4a) Ester, (5a) Amida-ester).

Gambar 1.4 Hasil Analisa HPLC Secara Bertahap pada Amidasi N-metil
Glukamina dengan Asam Oleat oleh Maugard, dkk. (1998)
Untuk meningkatkan perolehan alkanolamida dan juga meningkatkan efisiensi
proses beberapa peneliti melakukan upaya pengembangan. Par Tufvesson, dkk. (2007)
mengamati penggunaan kondisi tanpa pelarut, penambahan amina bertahap dan recoveri
enzim, Masngut, dkk. (2007) mengamati aplikasi sintesis enzimatik pada bioreaktor
berpengaduk multitahap, dan Maugard, dkk. (1998) mengamati sintesis alkanolamida
menggunakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang yaitu asam oleat.
Par Tufvesson, dkk. (2007) telah mengembangkan sintesis alkanolamida dengan
beberapa cara yaitu sintesis tanpa pelarut, penambahan amina secara bertahap, dan
recoveri enzim. Fokus utama penelitian mereka adalah pada optimasi yield dan efisiensi
penggunaan enzim. Amidasi dari asam laurat dengan monoetanol amina dipilih sebagai
model reaksi. Tekanan reaksi adalah pada tekanan atmosfer maupun vakum dengan
suhu 90oC dan waktu reaksi 10 jam. Keadaan tersebut dipilih dengan harapan bahwa
asam laurat akan melebur pada suhu tersebut. Par Tufvesson, dkk. (2007)
menyimpulkan bahwa kondisi tanpa pelarut maupun penambahan amina secara bertahap
dapat meningkatkan efisiensi proses. Disamping itu juga disimpulkan bahwa enzim
lipase dapat digunakan berulang-ulang hingga 14 hari.
Perancangan bioreaktor yang baik perlu dilakukan agar sintesis alkanolamida
secara enzimatik dapat berlangsung optimal pada skala yang lebih besar. Dalam
perancangan bioreaktor beberapa hal harus dipertimbangkan seperti tingkat
homogenitas yang tinggi, pengadukan yang tidak boleh merusak biokatalis serta
konsumsi energi yang minimal. Bioreaktor yang tepat untuk itu adalah reaktor
berpengaduk multi tahap (Multistage Mechanically Agitated Compartmented , MSAC)
yang tersusun seri. Bioreaktor ini sesuai untuk reaksi yang memerlukan waktu tinggal
yang panjang dan homogenitas yang tinggi (Goubet, dkk. 2002; Masngut, dkk. 2007),
sehingga reaktor berpengaduk multitahap dipilih sebagai bioreaktor pada pembuatan
surfaktan alkanolamida dari asam laurat dengan dietanolamina dan N-metil glukamina.
Penggunaan asam oleat telah banyak digunakan pada sintesis surfaktan karena
asam oleat dapat diperoleh dalam jumlah besar dari turunan minyak nabati seperti
minyak kelapa sawit. Maugard, dkk. (1998) yang mengamati sintesis alkanolamida
menggunakan asam oleat mengamati bahwa wujud asam oleat yang cair menyebabkan
asam oleat lebih mudah ditangani dan diinkorporasikan ke dalam suatu produk yang
berbentuk cairan.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada sintesis enzimatik
alkanolamida dari asam lemak dengan alkanolamina sering terjadi persaingan antara
terbentuknya amida, ester dan amida ester apabila kondisi reaksi tidak diatur dengan
baik. Terbentuknya ester ini akan menyebabkan yield surfaktan alkanolamida yang
dihasilkan menjadi rendah. Untuk itu diperlukan kajian untuk meningkatkan yield
alkanolamida dengan mengoptimalkan kondisi reaksi dan selanjutnya pada kondisi
optimal ini dicoba untuk menambahkan alkanolamina secara bertahap, menggunakan
enzim secara berulang, aplikasi dalam bioreaktor dan menggunakan kondisi tanpa
pelarut.

1.2 Perumusan Masalah


Agar diperoleh surfaktan alkanolamida yang mudah terdegradasi dan berbasis
tumbuhan dengan yield yang lebih baik, maka perlu dikaji upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan yield alkanolamida. Upaya-upaya yang dapat dilakukan
antara lain dengan mengamati pengaruh variabel reaksi (jenis dan konsentrasi enzim,
jenis dan rasio pelarut, temperatur, waktu reaksi, serta rasio molar amina/asam laurat)
dan mengamati pengaruh interaksi serta kondisi optimum variabel reaksi. Upaya-upaya
lain seperti menggunakan kondisi tanpa pelarut, penambahan amina bertahap, recoveri
enzim, penggunaan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan aplikasi bioreaktor
berpengaduk multitahap juga perlu untuk diamati. Oleh karena itu yang menjadi
permasalahan adalah:
1) Bagaimana pengaruh jenis dan konsentrasi enzim, jenis dan rasio pelarut,
temperatur, waktu reaksi, serta rasio molar amina/asam laurat, terhadap persen
konversi asam laurat.
2) Bagaimana pengaruh interaksi dari variabel penelitian, model persamaan
optimasi serta kondisi reaksi amidasi yang optimum untuk mendapatkan persen
konversi asam laurat dan yield alkanolamida yang maksimum.
3) Bagaimana upaya meningkatkan perolehan alkanolamida dan efisiensi proses
jika menggunakan kondisi tanpa pelarut, penambahan amina bertahap, recoveri
enzim, penggunaan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan aplikasi
bioreaktor berpengaduk multi-tahap.

1.3 Tujuan Penelitian


Sejalan dengan permasalahan yang ingin diteliti, penelitian terdiri dari tiga
tahapan pekerjaan yaitu tahapan Pendahuluan, tahapan Optimasi dan tahapan
Pengembangan Proses. Secara ringkas tujuan dari masing-masing tahapan penelitian ini
adalah:
1) Tahap Pendahuluan bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi
enzim, jenis dan rasio pelarut, temperatur, waktu reaksi serta rasio molar
substrat terhadap persen konversi asam laurat.
2) Tahap Optimasi bertujuan untuk mengamati pengaruh interaksi dari variabel
penelitian, menyusun model persamaan optimasi serta menentukan kondisi
reaksi amidasi yang optimum menggunakan Metode Permukaan Sambutan
(Response Surface Methodology, RSM) untuk mendapatkan persen konversi
asam laurat dan yield alkanolamida yang maksimum. Variabel penelitian yang
diamati adalah temperatur, konsentrasi enzim dan rasio molar substrat.
3) Tahap Pengembangan Proses bertujuan untuk meningkatkan perolehan
alkanolamida dan efisiensi proses melalui penambahan amina bertahap, kondisi
tanpa pelarut, recoveri enzim, penggunaan asam lemak tidak jenuh rantai
panjang dan aplikasi bioreaktor berpengaduk multi-tahap. Pada bioreaktor
diamati pengaruh putaran motor dan jenis pengaduk terhadap persen konversi
asam laurat.

1.4 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dari penelitian yang dilakukan adalah:
1) Surfaktan alkanolamida dapat disintesis melalui reaksi amidasi enzimatik antara
dietanolamina dan N-metil glukamina dengan asam laurat. Jumlah asam laurat
yang terkonversi menjadi alkanolamida dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi
enzim, jenis dan rasio pelarut, temperatur, waktu reaksi serta rasio molar
substrat.
2) Pengaruh interaksi dari variabel penelitian yaitu konsentrasi enzim, rasio molar
substrat dan temperatur, model persamaan optimasi serta kondisi reaksi amidasi
yang optimum dapat ditentukan menggunakan Metode Permukaan Sambutan.
3) Perolehan alkanolamida dan efisiensi proses dapat ditingkatkan melalui
penambahan amina secara bertahap, kondisi tanpa pelarut, recoveri enzim,
penggunaan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan aplikasi bioreaktor
berpengaduk multi-tahap.

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baru pada
kemajuan ilmu pengetahuan dalam penerapan bioteknologi dan penerapan metode
optimasi pada sintesis dua jenis alkanolamida secara enzimatik menggunakan Metode
Permukaan Sambutan, dan masukan bagi industri oleokimia untuk digunakan sebagai
salah satu bahan surfaktan baru yang ramah lingkungan.

You might also like