You are on page 1of 154

1

Pengantar Jemaat Ahmadiyah Inggris

{insert arabic: 1}

Mahzarnama adalah sebuah dokumen penting bersejarah yang telah dipaparkan


oleh Jemaat Ahmadiyah pada tahun 1974 di hadapan sidang umum Parlemen Nasional
Pakistan, termasuk Komite Khusus, untuk menjelaskan tentang statusnya sebagai Muslim
dan tentang akidah-akidah dasar yang dianutnya, serta untuk menyangkal tuduhan-
tuduhan tanpa dasar yang telah dilontarkan terhadap Jemaat. Dan sudah dijelaskan sejak
semula bahwa menurut Jemaat Ahmadiyah tidak ada suatu majelis/parlemen atau
pengadilanpun di dunia ini yang secara absolut memiliki ikhtiar untuk menetapkan agama
seseorang atau suatu golongan. Sebab, ikhtiar itu hanya dimiliki Allah Ta’ala, yang
mengetahui rahasia-rahasia manusia. Demikian pula dengan kata-kata yang penuh
keperihan telah juga diingatkan, jangan sampai dengan keputusan Parlemen menetapkan
orang-orang Ahmadi bukan Muslim itu, akan menimbulkan perpecahan dalam umat
Muhammadiyah (shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebab, dengan keputusan itu akan
muncul suatu contoh keliru dan mengerikan yang di masa mendatang dapat menelan
golongan-golongan lainnya.
Rincian peristiwa yang sangat disesali itu adalah, di bawah suatu rencana matang,
untuk beberapa tujuan politik yang tidak mungkin diuraikan secara rinci di sini,
Pemerintah waktu itu telah berusaha meraih dukungan dari para ulama garis keras dengan
cara mengatakan orang-orang Ahmadi berada di luar Islam. Dan dikarenakan di pihak
oposisi sejak sebelumnya sudah banyak sekali duduk para ulama garis keras, oleh sebab
itu pihak oposisi dengan kekuatan penuh mendukung Pemerintah masa itu dalam masalah
ini. Sampai-sampai akhirnya ketika permasalahan ini, di bawah suatu rencana matang
politik, telah mencapai konsekwensinya yang logis, maka di antara pihak oposisi dan
pihak pemerintah terjadi tarik menarik mengenai perkara tersebut, yakni siapa yang
berwenang untuk memecahkan permasalahan nyata yang berumur sembilan puluh tahun
ini.
Pada hakikatnya ini merupakan suatu peristiwa sangat pedih dalam sejarah
Pakistan, yang dengan itu kepada politik telah diberikan otoritas untuk melakukan
campur tangan dalam agama, dan otoritas kepada agama untuk campur tangan dalam
politik. Inilah kesalahan besar yang akibatnya sedang dirasakan oleh politik Pakistan
pada masa sekarang. Dan sampai sekarang Pakistan tidak dapat keluar dari problema itu.
Kemudian secara berkesinambungan pengaruh para ulama ekstrim semakin besar dalam
politik Pakistan. Dan pada hakikatnya inilah kesalahan yang akhirnya bermuara pada
martial law (hukum darurat militer) yang malang itu. Yaitu martial law yang sebelas
tahun pemberlakuannya telah terbukti puluhan kali lebih buruk dari martial law lainnya.
Dan bayangan keburukannya itu pada masa sekarangpun menghancurkan nasib bangsa,
dari Karachi sampai ke Peshawar. Dan dari hari ke hari negara semakin luput dari
2

ketertiban, persatuan, kesepakatan dan keterpaduan haluan bangsa. Politik


mementingkan diri sendiri, dengan melakukan campurtangan dalam agama, yang telah
menyemaikan benih-benih perpecahan, kini mulai meraup panen berbagai macam
kebencian, dan mulai merebak di berbagai lapisan, golongan, kelompok di Pakistan dan
ke berbagai propinsi.
Kondisi sangat malang yang dialami Pakistan masa sekarang ini, pada pandangan
orang bijak tidaklah terselubung bahwa fondasinya telah dipancangkan pada tahun 1974
itu. Kami berdoa, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan cahaya kepada bangsa ini.
Dan impian Qaidi A’zham mengenai negara ini, yang gambarannya dalam kata-kata di
bawah ini telah beliau anugerahkan kepada bangsa ini sebagai suatu piagam agung,
semoga negara ini menjadi perwujudan impian tersebut dan menerapkan piagam agung
itu. Beliau mengatakan:

“Kalian bebas. Kalian sepenuhnya bebas di negara Pakistan ini untuk


pergi ke kuil-kuil kalian, ke mesjid-mesjid kalian dan ke tempat-tempat
peribadatan kalian lainnya.
Apapun agama kalian, suku kalian, dan akidah kalian, tidak ada
kaitannya dengan prinsip dasar ini. Sebab, kita semua adalah warga dari
satu negara yang sama. Dan kita sebagai warga negara adalah setara.
Saya berpendapat supaya sekarang kita hendaknya menjunjung tinggi
prinsip ini. Kemudian kalian akan menyaksikan bahwa beriringan dengan
berlalunya waktu maka tidak ada lagi orang Hindu sebagai orang Hindu,
dan tidak ada lagi orang Islam sebagai orang Islam. Tidak dalam makna-
makna agama. Sebab, itu merupakan kepercayaan pribadi setiap orang.
Melainkan, dalam warna politik, kita semua merupakan warga dari satu
negara yang sama.” (Pidato tgl. 11 Agustus 1947).

Mahzarnama yang karunia untuk memaparkannya telah diraih oleh Jemaat


Ahmadiyah, disajikan sebagai sebuah dokumen bersejarah yang penting. Setelah
pemaparan mahzarnama (petisi) ini, sampai sebelas hari lamanya di Parlemen Nasional
Pakistan telah berlangsung pemeriksaan secara ketat terhadap Jemaat Ahmadiyah, yang
dilakukan oleh Jaksa Agung dan berbagai ulama. Dan pada waktu itu Imam Jemaat
Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih III rahimahullaahu ta'ala telah memberikan
jawaban yang padat, penuh dalil, dan memuaskan terhadap segenap tuduhan yang
diajukan. Semua proses pemeriksaan itu telah direkam oleh Pemerintah, tetapi
disayangkan bahwa hasil pemeriksaan itu telah disembunyikan atas alasan-alasan yang
tidak diketahui. Dan walaupun waktu sudah berlalu begitu lama, berbagai pemerintahan
telah berganti, tetapi sampai sekarang pemeriksaan itu belum dibukakan kepada umum.
Semoga Allah segera mendatangkan suatu zaman ketika suatu pemerintah berani dan
memperoleh karunia untuk menerbitkan pemeriksaan yang penting itu. Supaya, seluruh
bangsa mengetahui hakikat tersebut, bahwa pendirian Jemaat Ahmadiyah pada
hakikatnya berlandaskan pada kebenaran.
Rincian lebih lanjut tentang ikhtisar ini adalah, Pemerintah Pakistan telah
mewajibkan Pimpinan Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Nasir Ahmad, Khalifatul
3

Masih III rahimahullaahu ta’ala, agar tampil di hadapan Komite Khusus Parlemen
Nasional tersebut, untuk menjelaskan pendiriannya dan untuk menjawab segala macam
pertanyaan yang diajukan pada kesempatan masing-masing. Dalam kaitan itu beliau telah
diizinkan untuk memilih empat orang wakil lainnya sebagai pembantu beliau. Dengan
demikian delegasi Jemaat Ahmadiyah jumlah keseluruhannya telah ditetapkan sebanyak
5 orang. [Para pembantu beliau itu adalah] :

1. Imam saat ini, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV a.t.b.a.
2. Maulana Abul ‘Atha Jalandhri (almarhum).
3. Syekh Muhammad Ahmad Mazhar, seorang pengacara dan Amir Jemaat Ahmadiyah
Distrik Faisal Abad.
4. Maulwi Dost Muhammad Syahid (Penulis sejarah Ahmadiyah).

Sebelum sidang tersebut, Komite Khusus Parlemen Nasional telah menelaah


ribuan tuduhan. Lalu telah mempersiapkan secara khusus beberapa ratus tuduhan untuk
menjadikan Jemaat Ahmadiyah sebagai sasaran kecaman. Departemen Agama Pakistan
dan Kejaksaan Agung terus membantu sepenuhnya komite itu. Barulah terbentuk
sekumpulan pertanyaan yang telah dipaparkan oleh Jaksa Agung. Selain itu beberapa
ulama lainnya juga diizinkan untuk langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
Imam Jemaat Ahmadiyah.
Mahzarnama (petisi) yang telah dipaparkan pada masa permulaan ini dan telah
pula dibagi-bagikan kepada para anggota Parlemen, sesudah itu beberapa anggota
Parlemen dengan kemurahan hati telah menyampaikan kepada sahabat-sahabat Ahmadi
mereka. Demikianlah, dari naskah-naskah tersebut satu naskah telah diterima oleh Jemaat
Ahmadiyah Inggris. Apa yang disajikan ini adalah berdasarkan naskah seperti itu. Jemaat
Ahmadiyah Inggris telah memutuskan untuk menerbitkannya, dengan harapan supaya
para pencari kebenaran dapat membacanya secara langsung lalu dapat memutuskan
bahwa sejauh mana penetapan Jemaat Ahmadiyah sebagai non-Muslim itu keadilan dan
berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.

Penerbit
4

SUATU TINJAUAN
TERHADAP RESOLUSI-RESOLUSI
PARLEMEN PAKISTAN
5

{Insert arabic: 2}

Suatu Tinjauan Terhadap Resolusi-Resolusi Parlemen


Pada waktu ini untuk pembahasan khusus telah diajukan dua resolusi di hadapan
segenap anggota Parlemen Nasional negara kita yang tercinta ini, Pakistan, termasuk
Komite Khusus. Satu di antaranya dari pihak pemerintah, dan satu lagi dari pihak oposisi.

Sebuah Pertanyaan Dasar

Sebelum melakukan tinjauan rinci terhadap persoalan-persoalan yang muncul dari


kedua resolusi tersebut, kami dengan penuh hormat menilai perlu untuk memohon, agar
pertama-tama pertanyaan dasar ini ditempuh terlebih dahulu, yakni apakah di dunia ada
suatu parlemen nasional yang pada substansinya memiliki otoritas untuk melakukan hal
ini.
Pertama: merampas hak azazi seseorang memeluk suatu agama yang dia
kehendaki ?

Kedua: atau dengan melakukan campur-tangan pada masalah-masalah agama,


parlemen itu memutuskan apa agama yang dianut suatu jemaat atau golongan atau
seseorang ?

Hak Azazi Manusia Dan Undang-undang

Kami memberikan jawaban “tidak” pada kedua pertanyaan itu. Menurut kami,
dengan mengabaikan pembagian-pembagian berdasarkan warna, keturunan, letak
geografis, dan bangsa, ini merupakan hak azazi setiap manusia untuk memeluk suatu
agama yang dia kehendaki. Dan di dunia tidak ada seorang manusia, atau organisasi, atau
majelis tinggi yang dapat mencabut hak azazi tersebut darinya. Di dalam piagam PBB, di
mana telah dijamin hak-hak azazi manusia, di sanapun hak setiap manusia ini telah
diakui, yakni hak untuk memeluk suatu agama yang diingini.
(Suplemen no. 1.)
Demikian pula di dalam Undang-undang Dasar Pakistan, pada pasal 20 telah
diakui bahwa setiap warga Pakistan memiliki hak azazi tersebut. Oleh karena itu, perkara
prinsipil ini hendaknya ditempuh, yakni berdasarkan UUD Pakistan apakah Komite ini
mempunyai otoritas atau tidak, untuk membahas resolusi yang diajukan itu?
6

(Dalam kaitan itu, bersama ini dilampirkan suplemen no.2 berupa sebuah
terjemahan bahasa Inggris khutbah Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Nasir
Ahmad, yang di dalamnya aspek tersebut telah dibahas secara rinci).
Fitrat dan akal manusiapun tidak memberikan otoritas kepada majelis tinggi
manapun untuk dapat mencabut hak tersebut dari seseorang atau dari golongan tertentu,
yakni hak untuk memeluk agama yang dikehendaki. Sebab, dalam bentuk demikian,
berarti kepada setiap majelis tinggi di dunia ini terpaksa harus diberikan hak tersebut.
Adapun bentuk-bentuk keburukan yang timbul dengan menerapkan prinsip itu, beberapa
di antaranya ditampilkan di bawah ini sebagai contoh:

A : Setiap parlemen nasional di dunia ini pada substansinya akan mempunyai hak
untuk menetapkan beberapa golongan Kristen sebagai non-Kristen, atau beberapa
golongan Hindu sebagai non-Hindu, dan sebagainya.
B : Setiap golongan dalam setiap agama di setiap negara, akan mempunyai hak untuk
menuntut kepada parlemen nasional agar golongan-golongan tertentu ditetapkan
sebagai non-Kristen, atau non-Hindu, atau non-Muslim. Dan seterusnya.
C : Jika Jemaat Ahmadiyah secara khusus diperiksa atas dasar kekacauan-kekacauan
yang terjadi pada saat ini, maka berdasarkan dalil ini sekian banyak kekacauan
yang ditimbulkan oleh golongan-golongan lain di Pakistan hingga saat ini -- atau
yang diperkirakan akan dapat terjadi -- mengenai semua itu, dari aspek tersebut,
adalah mutlak dan tepat untuk dilakukan pemeriksaan juga.
D : Parlemen-parlemen nasional lainnya di dunia, juga akan memperoleh hak untuk
menetapkan beberapa golongan Muslim, berdasarkan beberapa akidah mereka,
sebagai non-Muslim. Misalnya, terpaksa diakui bahwa Parlemen Nasional India
akan mempunyai hak untuk menetapkan golongan-golongan Muslim satu demi
satu sebagai non-Muslim, berlandaskan pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan
menentang mereka, lalu memasukkan mereka ke dalam kelompok mayoritas non-
Muslim di India. (Harus diingat bahwa di kebanyakan negara, umat Islam
merupakan minoritas).
E : Demikian pula pemerintah-pemerintah Kristen, dengan menggunakan hak mereka
sebagai kelompok mayoritas, juga akan memiliki otoritas untuk menetapkan
orang-orang Islam sebagai minoritas lalu mencabut hak-hak mereka sebagai
warganegara.

Ingatlah, pada waktu ini orang-orang Kristen di Pakistan mulai merasakan bahwa
hak-hak mereka sebagai warganegara mulai dikurangi (Lihat Press Release Joshua
Afzaluddin, suplemen no.3).
Jelaslah, bentuk-bentuk yang tertera di atas, secara logika tidak dapat diterima,
dan akan mengakibatkan terbukanya pintu kekacauan serta keburukan yang tak terhingga
banyaknya di berbagai negara di dunia, termasuk Pakistan.
7

Parlemen Nasional & Kemampuan Mengambil Keputusan Masalah-masalah


Agama

Suatu parlemen nasional tidak dapat diberi otoritas untuk membahas persoalan-
persoalan semacam ini. Sebab, mengenai anggota-anggota parlemen nasional itu tidak
dapat dijamin, apakah mereka ahli atau tidak, untuk mengambil keputusan mengenai
perkara-perkara agama ?
Para anggota di kebanyakan parlemen nasional di dunia ini pergi membawa
piagam politik kepada para pemberi suara. Dan pemilihan mereka dilakukan berdasarkan
keahlian politik. Di Pakistan sendiri mayoritas anggota Parlemen Nasional telah dipilih
berdasarkan piagam politik dan tidak suka terhadap fatwa para ulama. Jadi, bagaimana
Parlemen Nasional seperti ini dapat memperoleh hak untuk mengambil keputusan
mengenai apa agama suatu golongan ? Atau untuk mengambil keputusan mengenai suatu
akidah, yakni berdasarkan akidah tertentu apakah seseorang dapat dikatakan Muslim atau
tidak? Jika mayoritas suatu parlemen nasional ditetapkan memiliki otoritas untuk
membuat keputusan tentang agama suatu golongan atau suatu kelompok, hanya
berlandaskan pada bahwa mereka merupakan perwakilan dari kelompok mayoritas, maka
pendirian itupun berdasarkan akal, fitrat, maupun agama tidak layak diterima.
Berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi sendiri, di seluruh dunia, hal-hal semacam itu
dinyatakan keluar dari batas-batas demokrasi. Demikian pula dari aspek sejarah agama,
kelompok mayoritas di masa tertentu tidak pernah diakui memiliki hak untuk menetapkan
agama seseorang. Jika prinsip ini diakui, maka – na’udzubillaah – segala keputusan
tentang seluruh nabi ‘alaihimussalaam dan kelompok-kelompok mereka, yang diambil
oleh pihak mayoritas di masa mereka, terpaksa harus diakui. Jelas, itu adalah pemikiran
aniaya yang langsung akan mengadu-domba para pengikut seluruh agama di dunia.

Bukti Jelas dari Quran Karim dan Sabda-sabda Nabi

Berdasarkan Quran Karim dan sabda-sabda Nabi s.a.w., hak ini juga tidak
diberikan hak kepada siapapun untuk merubah agama seseorang secara paksa.
Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman:

(Insert arabic: 3)

Yakni, “Dalam urusan agama tidak ada [dibenarkan] pemaksaan jenis apapun” (Al-
Baqarah:256). Seandainya agama seseorang telah dirubah dengan cara memberikan
siksaan jasmani, dan di dalam hati dia tetap saja memegang teguh keimanannya yang
lama, seperti yang diungkapkan oleh ayat:

(Insert arabic: 4)

[Artinya:…. Kecuali orang yang telah dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenteram dalam
keimanan1]. Maka tetap saja cara demikian itu bertentangan dengan ajaran “Laa ikraha
1
An-Nahl:106
8

fiddiin.” Dan jika seorang Muslim secara paksa dinyatakan non-Muslim, atau seorang
Hindu dinyatakan Muslim, sedangkan orang pertama tadi tetap menganut agama Islam
dan orang kedua tetap menganut agama Hindu, maka tetap saja sikap itu bertentangan
dengan “Laa ikraha fiddiin.” Ayat yang lebih lanjut mendukung hal itu adalah:

(Insert arabic: 5)

Artinya: Orang yang seperti umat Islam mengucapkan “Assalamu’alaikum” kepada


kalian, kalian tidak berhak mengatakan kepadanya, “Kamu bukan Mukmin.” (An-
Nisa:94).
Sabda yang jelas dari Rasulullah s.a.w. adalah, barangsiapa mengikrarkan Tauhid
Allah Ta’ala, adalah melampaui batas ikhtiar kalian apabila kalian menuduh orang itu
hanya melakukan ikrar di mulut saja sedangkan hatinya ingkar sehingga tidak berhak
disebut Muslim. Hadits Nabi s.a.w. yang tertera di bawah ini dengan jelas menyatakan
hal itu:

Usamah bin Zaid r.a. meriwayatkan: "Rasulullah s.a.w. mengutus kami ke


Huruqat (tempat kabilah Juhainah). Kami datang pagi hari kepada
sekawanan orang [musyrik], lalu kami mengalahkan mereka. Saya dan
seorang laki-laki Anshar bertemu dengan seorang laki-laki dari kelompok
mereka. Ketika kami mengepungnya, ia berkata: ‘Laa ilaaha illallaahu.’
Maka laki-laki Anshar itu menahan diri, lalu saya menikam lelaki [musyrik]
itu dengan tombak, sehingga saya membunuhnya. Ketika kami tiba, maka
berita itu telah sampai kepada Nabi s.a.w., lalu beliau bertanya: ‘Wahai
Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan 'Laa ilaaha
illallaah ?’ Saya berkata, 'Ia hanya melindungi diri.' Maka beliau s.a.w.
mengulang-ulang kalimat [pertanyaan] itu sehingga saya berangan-angan
seandainya saya belum masuk Islam sebelum hari itu’”.

Dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullah s.a.w. bersabda, ’Ketika dia telah
mengikrarkan Laaa ilaaha illallaah, tetap saja engkau membunuhnya ?’
Saya berkata, 'Dia mengatakan itu karena takut pada senjata.’ Beliau s.a.w.
bersabda, ‘Mengapa tidak engkau belah dan periksa hatinya, apakah dia
katakan itu dari hatinya atau tidak ?’ Beliau s.a.w. mengulang-ulangi
kalimat itu sehingga saya berangan-angan seandainya saya masuk Islam
pada hari ini.”

(Lihat: Shahih Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab ba’tsi an- Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam Usamata ibna Zaid ila al-huruqaat min juhainah, h. 612).
9

Suatu Kritikan Dasar Dari Sudut Pandang Islam Terhadap Resolusi

Dalam kaitan ini, adalah sangat penting untuk disampaikan dengan sangat hormat,
bahwa yang telah dikemukakan di hadapan Parlemen Nasional, atasnya berlaku sebuah
kritikan sangat penting dan mendasar dari sudut-pandang Islam. Berlandaskan itu adalah
penting untuk mengambil sikap mengenai pernyataan ini sebelum menyimak resolusi
tersebut.
Yakni, Junjungan kita, Yang Mulia Khaatamul Anbiyaa Muhammad Mushthafa
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menubuatkan:

(Insert arabic: 6)

Yakni: Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka,
kecuali satu golongan.
Muhammad bin Abdul Wahab, yang menurut akidah mayoritas umat Islam di
Hijaz dan menurut Yang Mulia Raja Faisal merupakan mujaddid abad ke-12, mengenai
hadits tersebut di atas menyatakan:

(Insert arabic: 7)

Yakni, masalah masuknya 72 golongan dari 73 golongan tersebut ke dalam neraka dan
satu golongan ke dalam surga, adalah suatu masalah penting. Barangsiapa memahaminya
demikian berarti dia adalah faqih. Dan barangsiapa mengamalkannya, yakni secara
amalan menyatakan 72 golongan itu masuk neraka dan satu golongan masuk surga,
berarti dia itu Muslim. (Mukhtasar Sirat Rasul Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, Imam
Muhammad bin Abdul Wahab, h. 13,14, cetakan Kairo).

Media terkenal dari Jemaat Islami, Tarjumaan Al-Qur'an, Januari 1945 menuliskan:

"Di dalam Islam, sepakatnya suatu kelompok mayoritas mengenai suatu


persoalan, merupakan dalil kebenarannya. Tidak pula berarti mayoritas itu
sebagai suatu kelompok yang dominan. Dan tidak pula suatu kelompok
dalam jumlah besar dapat disebut jemaah. Dan tidak pula sikap menerapkan
suatu pendapat dari suatu kelompok di kalangan para maulwi/ulama di suatu
tempat merupakan ijma’…. Makna ini didukung oleh Hadits Nabawi s.a.w.
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a.:

(insert arabic: 8)
10

Yakni, ’Bani Israil telah terpecah dalam 72 golongan, sedangkan umatku


akan terpecah menjadi 73 golongan. Kesemuanya akan masuk neraka,
kecuali satu golongan’. Orang-orang bertanya, ‘Siapa mereka itu wahai
Rasulullah ?’ Beliau bersabda, 'Mereka yang berada di atas jalan/tata-cara-
ku dan para sahabatku.’
Kelompok ini bukan mayoritas, dan tidak pula mereka menyatakan
banyaknya jumlah mereka itu sebagai dalil kebenaran mereka. Melainkan,
mereka merupakan satu dari 73 golongan dalam umat ini. Dan di dalam
dunia yang penuh ini kedudukan mereka seperti kelompok asing dan seperti
orang-orang dari pihak lain. Sebagaimana dikatakan:

(Insert arabic: 9)

…. Jadi, suatu kelompok yang hanya berlandaskan pada jumlah mereka


yang besar itu menyatakan diri mereka sebagai jama’ah yang di dalamnya
terdapat tangan Allah…bagi mereka tidak ada secercah pancaran
harapanpun di dalam hadits ini. Sebab, di dalam hadits ini ada dua tanda
jama’ah yang telah diuraikan secara jelas. Yang pertama, mereka berada di
atas jalan/tata-cara Rasulullah s.a.w. dan para sahabah beliau. Kedua,
mereka sangat sedikit (minoritas)."

(Tarjumaan Al-Quran, Januari, Februari 1945, h.175, 176, disusun oleh


Abul A'laa Maududi).

Sama-sekali bertentangan dengan sabda Rasulullah s.a.w. yang tertera di atas,


justru resolusi yang telah diajukan oleh para ulama di pihak oposisi, menyatakan bahwa
72 golongan dalam umat Islam adalah ahli-surga, dan hanya satu yang masuk neraka.
Resolusi itu secara jelas bertentangan dengan hadits suci Yang Mulia Khaatamul Anbiyaa
s.a.w., serta merupakan kelancangan yang nyata terhadap beliau s.a.w..
Oleh karena itu, dalam bentuk demikian, melakukan penelaahan bahkan
memaparkan resolusi ini, sama-sekali tidak patut bagi Parlemen Nasional Pakistan yang
terhormat. Namun, jika resolusi ini dipaparkan dalam warna bahwa sesuai Hadits
Nabawi s.a.w. [resolusi ini] menetapkan satu golongan yang selamat, yakni golongan
yang di dalam dunia sesak ini akan dianggap sebagai pihak asing dan minoritas, maka
berbuat demikian adalah sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Nabi s.a.w..

Permohonan Agar Tuntutan-tuntutan Kebenaran Dipenuhi

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, kami dengan hormat tetapi


sangat tegas memohon supaya Parlemen Nasional Pakistan tidak melakukan penelaahan
dan tidak mengambil keputusan terhadap permasalahan-permasalahan yang mengenainya
bila diambil keputusan dan dilakukan penelaahan, berarti menentang hak-hak azazi
manusia. Bertentangan dengan piagam PBB dan UUD Pakistan. Dan yang paling hebat
lagi adalah bertentangan dengan ajaran Quran Karim serta sabda-sabda Nabi s.a.w.. Dan
11

hal itu dapat terbukti menjadi suatu batu pijakan yang mengundang banyak sekali
keburukan serta kekacauan. Lebih lanjut, contoh yang telah ditegakkan oleh Parlemen
Nasional Pakistan dapat mengakibatkan kesulitan-kesulitan besar bagi agama-agama
minoritas maupun golongan-golongan minoritas yang hidup di negara-negara lain.
Ringkasnya, jika Parlemen Nasional Pakistan dengan mengabaikan permohonan-
permohonan di atas lalu menganggap dirinya memiliki otoritas untuk menetapkan suatu
golongan yang menyatakan diri mereka Islam sebagai suatu golongan di luar Islam
berlandaskan pada akidah tertentu atau berlandaskan pada berbagai uraian ayat tertentu
dari Quran Karim, maka kami mengusulkan supaya dalam bentuk demikian semampu
mungkin bersikap hati-hati, dan sejauh mungkin memenuhi tuntutan-tuntutan logika serta
keadilan. Dan sama-sekali janganlah tangani masalah ini sedemikian rupa sehingga pada
pandangan pihak-pihak lain di dunia ini yang tidak sependapat, persoalan itu menjadi
bahan tertawaan serta dapat mengakibatkan jatuhnya martabat bangsa.
Pemimpin Bangsa, yang terhormat Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto juga telah
berjanji dalam pidato beliau yang disiarkan tanggal 13 Mei, supaya persoalan ini
diselesaikan dengan baik serta sesuai tuntutan-tuntutan keadilan. Berdasarkan janji teguh
Pemimpin Bangsa ini maka tanggung-jawab Parlemen Nasional menjadi dua kali lipat,
yakni ketika menyimak permasalahan ini jangan sampai tuntutan-tuntutan keadilan dan
logika diabaikan.

--------ooo0ooo--------
12

DEFINISI MUSLIM
DAN PENDIRIAN JEMAAT AHMADIYAH
13

Definisi Muslim & Pendirian Jemaat Ahmadiyah


Di seluruh dunia, ini suatu hal yang telah diakui bahwa sebelum menetapkan
kategori seseorang atau suatu kelompok, maka terlebih dahulu ditentukan definisi
lengkap tentang kategori tersebut, yang akan berfungsi sebagai ukuran. Selama definisi
itu tegak, maka akan mudah untuk memutuskan apakah seseorang atau suatu kelompok
dapat dimasukkan dalam kategori itu atau tidak. Dari segi ini permohonan kami adalah,
sebelum menelaah persoalan ini lebih lanjut, hendaknya ditetapkan suatu definisi
maksimal dan minimal yang disepakati, tentang Muslim. Yaitu suatu definisi yang tidak
hanya disepakati oleh segenap golongan di kalangan umat Islam, melainkan juga
disepakati oleh umat Islam di segala zaman. Dalam kaitan itu adalah penting untuk
memperhatikan persoalan-persoalan yang tertera di bawah ini:

A: Apakah dari Kitabullah atau Rasulullah s.a.w. ada suatu definisi tentang Muslim
yang tanpa kecuali telah disampaikan pada masa Rasulullah s.a.w. sendiri? Jika
ada, apa definisi itu ?
B: Di luar definisi itu – yang telah diuraikan oleh Kitabullah dan Rasulullah s.a.w.,
dan yang terbukti telah disampaikan pada masa Rasulullah s.a.w. sendiri – apakah
dibenarkan atau tidak untuk menetapkan suatu definisi lain pada zaman tertentu ?
C: Selain definisi tersebut di atas, jika ada definisi-definisi lain tentang Muslim yang
berasal dari berbagai ulama atau golongan-golongan di berbagai zaman, apa saja
definisi-definisi itu? Dan bagaimana kedudukan definisi-definisi itu secara syariat
di hadapan definisi yang telah diuraikan pada bagian pertama ?
D: Di zaman Abu Bakar Shiddiq r.a., pada masa terjadi pergolakan kemurtadan, apa-
kah Abu Bakar Shiddiq r.a. ataupun para sahabah Rasulullah s.a.w. telah merasa
perlu untuk mengadakan suatu perubahan pada definisi yang sudah ditetapkan di
zaman Rasulullah s.a.w. ?
E: Apakah di zaman Nabi s.a.w. atau di zaman Khilafat Rasyidah ada suatu contoh di
mana walaupun seseorang itu mengikrarkan Kalimah “Laa ilaaha illallaah
Muhammadur Rasulullah” dan mengimani keempat Rukun Islam lainnya – yakni
shalat, zakat, puasa dan haji – lalu dia tetap saja telah dinyatakan sebagai non-
Muslim ?
F: Jika hal ini diizinkan, yakni seseorang walau mengimani kelima Rukun Islam lalu
tetap saja dinyatakan keluar dari Islam karena dia menafsirkan beberapa ayat
Quran Karim yang tidak dapat diterima para ulama dari golongan-golongan lain,
atau dia dinyatakan keluar dari Islam karena dia menganut suatu akidah yang
menurut beberapa golongan lain bertentangan dengan Islam, maka adalah penting
untuk juga menetapkan penafsiran-penafsiran dan akidah-akidah seperti itu.
Supaya, hal-hal itu dimasukkan ke dalam definisi Muslim yang sudah
dikukuhkan, yakni selain kelima Rukun Islam, jika di dalam akidah-akidah suatu
golongan terdapat hal-hal tersebut maka golongan itu dapat dinyatakan keluar dari
Islam.
G: Walau mengimani kelima Rukun Islam, jika pintu untuk mengkafirkan golongan-
golongan Muslim tertentu dibukakan, yang disebut pada bagian E, maka
14

memperhatikan hal-hal semacam itu secara logika dan secara adil adalah penting.
Yaitu hal-hal yang dengan mempertimbangkannya berbagai ulama secara telak
telah menyatakan golongan-golongan lain, di luar golongan mereka, sebagai kafir,
murtad, atau keluar dari Islam. Sebagai contoh dipaparkan beberapa hal di bawah
ini:

1. Akidah mengenai Alquran sebagai makhluk atau non-makhluk.


(Asyaa’arah -- Hanabalah).
2. Tidak meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai manusia, melainkan sebagai
cahaya. (Brelwi).
3. Tidak meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai cahaya, melainkan sebagai
manusia. (Ahli Hadits).
4. Mengimani Rasulullah s.a.w. sebagai sesuatu yang selalu ada (haadhir)
dan melihat (naazhir), dan juga sebagai ‘aalimul-ghaib. (Brelwi).
5. Mengimani bahwa meminta pertolongan kepada orang-orang suci yang
sudah wafat adalah sah, dan banyak sekali para wali yang telah wafat itu
memiliki kekuatan untuk memenuhi permintaan siapapun bila
dimohonkan. (Brelwi).
6. Menganut akidah bahwa di dalam Syariat tidak ada yang dapat
dipercaya selain Alquran. Oleh karena itu kita tidak terikat untuk
menuruti Sunnah Rasul s.a.w. dan Hadits-hadits Rasul s.a.w., tidak
perduli betapapun riwayat-riwayat itu mutawatir dan qawi sampai ke
tangan kita. (Chakralwi – Parwezi)
7. Menganut akidah bahwa selain surah-surah yang tertera di dalam 30 juz
Alquran terdapat beberapa surah yang di dalamnya disebutkan tentang
Ali r.a., tetapi surah-surah itu sudah dibuang. Dengan demikian Alquran
yang telah turun kepada Rasulullah s.a.w. itu tidak sampai kepada kita
dalam bentuk yang lengkap. (Ghali Syi’ah).
8. Menganut akidah bahwa di tempat-tempat pertemuan, selain shalat lima
waktu, dibenarkan untuk bermunajat di hadapan foto tokoh suci tertentu.
Dan bukannya menujukan kepada Tuhan, melainkan dengan menujukan
kepada foto tokoh suci itu adalah dibenarkan untuk memanjatkan doa.
Dan doa ini adalah pengganti shalat. (Firqah Ismaili).
9. Menganut akidah bahwa selain lima wujud suci dan enam sahabah
lainnya, segenap sahabat Rasulullah s.a.w. – termasuk tiga tokoh
Khulafa Rasyidin, Abu Bakar r.a., Umar r.a., dan Usman r.a. – telah
menyimpang dari Islam dan, na’udzubillaah, mereka berstatus munafik.
Kemudian berakidah bahwa ketiga khalifah pertama, na’udzubillaah,
merampas kedudukan secara paksa. Oleh karena itu mengutuk dan
mencerca mereka tidak hanya dibenarkan, melainkan suatu keharusan.
(Syi’ah).
10. Menganut akidah mengenai tokoh suci tertentu bahwa Tuhan secara
sementara atau permanen telah merasuk di dalam dirinya. (Firqah
Hululi).
15

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas adalah penting, sebab dari kesaksian-


kesaksian yang telak dan kuat, telah terbukti bahwa mengenai setiap akidah dari yang
dipaparkan itu, para ulama dan mujtahidin dari berbagai golongan umat Islam telah
mengeluarkan fatwa tegas bahwa penganut akidah semacam itu adalah keluar dari Islam
walaupun mereka mengimani unsur-unsur penting lainnya dalam agama. Dan orang yang
meragukan kekufuran merekapun tidak disangsikan lagi akan dinyatakan keluar dari
Islam. Beberapa fatwa mengenai hal itu, silahkan simak suplemen no. 4.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, kami dengan sangat tegas
menyerukan, jika pada hakikatnya yang dimaksud adalah menelaah kedudukan Jemaat
Ahmadiyah dalam Islam dengan mempertimbangkan tuntutan-tuntutan akal dan keadilan,
atau yang dimaksud adalah mengambil ketetapan tentang seseorang atau suatu golongan
dalam Islam yang menganut penafsiran tertentu mengenai ayat Khaataman Nabiyyiin,
maka tetapkanlah suatu standar ukuran sedemikian rupa yang dengan itu kekufuran setiap
pihak yang menganut akidah bertentangan dengan Islam akan dapat ditemukan. Dan
dalam bentuk apapun tidak ada hal yang memberatkan Jemaat Ahmadiyah dalam standar
ukuran tersebut.
Mengenai segenap persoalan tersebut di atas, ringkasan pendirian Jemaat
Ahmadiyah adalah sebagai berikut.
Pertama, menurut Jemaat Ahmadiyah, definisi Muslim satu-satunya yang dapat
diterima dan patut diterapkan hanyalah definisi yang secara jelas terbukti berasal dari
Rasulullah s.a.w., dan yang secara jelas diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., dan terbukti
diterapkan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan Khulafa Rasyidin. Tetapi dengan bergeser
dari prinsip ini, apapun upaya yang dilakukan untuk mendefinisikan Muslim, hal itu tidak
akan kosong dari kekurangan-kekurangan dan keburukan. Khususnya segenap definisi
yang ditetapkan pada zaman-zaman belakangan (ketika Islam telah terpecah-pecah
menjadi 72 golongan), juga sangat pantas untuk ditolak karena definisi-definisi itu satu
sama lain saling bertentangan, dan tidak mungkin dalam satu waktu yang sama kesemua
definisi itu dapat diterima. Dan tidak mungkin pula untuk mengambil satu definisi
manapun, sebab dengan demikian maka seseorang itu akan dinyatakan non-Muslim
berdasarkan definisi-definisi lainnya. Dan tetap tidak akan mungkin dapat keluar dari
rawa lumpur ini dalam bentuk apapun. Hakim Muhammad Munir, pada waktu
pemeriksaan tahun 1953, ketika memintakan kepada berbagai ulama untuk memberikan
penjelasan mengenai definisi Muslim, maka disesalkan bahwa tidak ada dua orang
ulamapun yang dapat sepakat mengenai satu definisi manapun. Mengenai hal itu, dengan
mengungkapkan penyesalan beliau, Hakim Munir mengatakan:

“Dengan memperhatikan berbagai definisi yang telah dilakukan oleh para


ulama, tidaklah perlu bagi kami untuk memberikan komentar apapun, kecuali
bahwa, tidak ada dua orang ulamapun yang sepakat atas masalah dasar ini.
Jika kami juga seperti seorang ulama memberikan satu definisi dari pihak
kami, dan definisi itu berbeda dari segenap definisi lainnya, maka kami
dengan sendirinya akan menjadi keluar dari Islam. Dan jika kami memakai
definisi yang dilakukan oleh salah seorang dari antara ulama-ulama itu, maka
16

kami memang akan tetap sebagai Muslim pada pandangan ulama tersebut,
tetapi akan menjadi kafir berdasarkan setiap definisi lainnya.” (Report of The
Court of Inquiry Constituted Under Punjab Act II of 1954 to Enquire into the
Punjab Disturbances of 1953, h.218).

Dari kesimpulan yang dicapai oleh Hakim Munir itu hal ini secara tegas terbukti
bahwa mengenai definisi Muslim, sampai pada penyusunan laporan (Report) itupun tidak
pernah terjadi ijma’ yang darinya didapat suatu kesepakatan para shalihin terdahulu. Oleh
karena itu, jika pada masa sekarang ini dipaparkan suatu definisi yang secara zahir
tampaknya disepakati, maka definisi itu sama-sekali tidak dapat dinyatakan sebagai
definisi hasil ijma’ umat, dan darinya tidak diperoleh kesepakatan para shalihin
terdahulu.
Jadi, pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, mengambil definisi yang mengandung
hukum dan bersifat pokok tentang Muslim, yang telah disabdakan dari lidah Yang Mulia
Khaatamul Anbiyaa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Definisi ini merupakan suatu piagam
mulia bagi negara Islam. Untuk itu kami memaparkan tiga buah Hadits Nabi s.a.w..

(1) Jibril a.s. dalam bentuk manusia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan
bertanya kepada beliau:

{Insert arabic: 10}

Artinya: “’Hai Muhammad! Beritahukanlah kepadaku tentang Islam.’


Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Islam, ialah hendaknya bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan
shalat, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji
di Baitullah jika engkau mampu menempuh di jalannya.’ Orang itu berkata:
‘Engkau benar!’ Perawi mengatakan: ‘Kami merasa heran kepada orang itu.
Dia bertanya dan sekaligus membenarkannya.’ Kembali orang itu berkata:
‘Beritahukanlah kepadaku tentang Iman’. Rasulullah s.a.w. bersabda:
’Hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada
takdir, baik dan buruknya takdir.’ Orang itu berkata: ‘Engkau benar.’”
(Shahih Muslim, Kitabul Iman)

(2) {Insert arabic: 11}


17

Artinya: “Seorang laki-laki penduduk Najd datang kepada Rasulullah s.a.w.,


tidak teratur rambut kepalanya. Kami mendengar suaranya tetapi tidak
memahami apa yang dikatakannya sampai dekat. Ternyata ia bertanya
tentang Islam. Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Shalat lima kali dalam sehari
semalam.’ Lalu dia berkata, 'Apakah ada kewajiban lain atasku ?' Beliau
bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal!
Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Dan puasa Ramadhan.’ Ia bertanya: 'Apakah
ada kewajiban lainnya atasku ?' Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau
ingin melakukannya secara nafal.’ Dan Rasulullah menuturkan kepadanya
tentang zakat. Ia bertanya: ‘Apakah ada kewajiban lainnya atasku ?’ Beliau
bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal.’ Lalu
laki-laki itu berpaling seraya berkata: ‘Demi Allah, saya tidak menambah
atas ini dan tidak pula menguranginya.’ Rasulullah s.a.w. bersabda:
‘Berbahagialah dia, jika dia terbukti benar dalam ucapanya.” (Shahih
Bukhari, Kitabul Iman, Bab Az-Zakatu minal Islam).

(3) {Insert arabic: 12}

Artinya: “Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, berkiblat pada kiblat
kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah orang Muslim yang
mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu
mengecoh Allah dalam hal jaminan-Nya. (Shahih Bukhari, Kitabul Shalat,
Bab Fadhlistiqbaalil Qiblah).2
2
Terjemahan Hadits-hadits ini pada artikel asli bahasa Urdu, diambil dari terjemahan Abul A’laa Maududi
dalam bukunya Dasturi Safarisyaat Par Tanqid, p. 14, 15.
18

Merupakan suatu ihsan agung Junjungan Suci kita s.a.w. bahwa melalui definisi
tersebut Rasulullah s.a.w. dalam kata-kata yang sangat lengkap telah meletakkan fondasi
antara bangsa-bangsa di dalam kesatuan dunia Islam. Dan merupakan kewajiban setiap
pemerintahan Islam untuk mengakui fondasi/prinsip ini dalam pandangan mereka dengan
sangat jelas. Jika tidak, maka tatanan umat Islam senantiasa akan hancur, dan pintu-pintu
kekacauan tidak akan pernah dapat ditutup.
Setelah kurun pertama, selama 14 abad silam, apapun fatwa kufur yang telah
dikeluarkan oleh berbagai ulama di berbagai zaman yang didasarkan pada definisi
rancangan mereka sendiri, telah menimbulkan bentuk yang begitu mengerikan sehingga
tidak ada tokoh suci agama, ulama-ulama, para sufi dan waliullah dari abad manapun
yang keislamannya dapat bertahan selamat berdasarkan definisi-definisi tersebut. Dan
tidak ada satu golonganpun dapat dikemukakan yang status kekufurannya tidak
dinyatakan oleh sebagian golongan lainnya. Dalam kaitan ini dilampirkan suplemen
nomor 5.

Kedudukan Fatwa Kafir

Di sini timbul pertanyaan, apa kedudukan fatwa-fatwa kafir itu? Dan apakah
seorang ulama secara pribadi ataupun sebagai wakil dari golongannya memiliki otoritas
atau tidak untuk memberi fatwa kafir terhadap seseorang atau golongan lainnya? Dan apa
dampak yang akan timbul dari fatwa-fatwa semacam itu terhadap umat Islam secara
keseluruhan?
Menurut Jemaat Ahmadiyah, kedudukan fatwa-fatwa semacam itu tidak lebih dari
sekedar bahwa menurut sebagian ulama tertentu beberapa akidah adalah bertentangan
dengan Islam karena penganut akidah-akidah tersebut kafir pada pandangan Allah, dan di
Hari Kiamat mereka tidak akan dibangkitkan di tengah-tengah umat Islam. Dari sudut ini,
fatwa-fatwa tersebut di dunia hanya memiliki kedudukan sebagai suatu peringatan. Dan
sejauh yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia, kepada seseorang atau suatu
golongan tidak dapat diberikan hak atau otoritas untuk mengeluarkan [mengeluarkan
pihak-pihak tertentu] dari batas-batas Islam yang paling jauh sekalipun. Itu adalah urusan
antara Allah dengan manusia. Dan keputusannya hanya dapat berlangsung pada hari
pembalasan di Hari Kiamat. Dalam urusan-urusan dunia, keberadaan fatwa-fatwa
tersebut dapat terbukti sangat berbahaya bagi kesatuan umat Islam. Dan seseorang atau
suatu golongan lainnya tidak dapat dinyatakan keluar dari Islam dengan menggunakan
fatwa ulama-ulama dari golongan tertentu sebagai landasan.
Pendirian yang mengatakan bahwa jika segenap golongan sepakat mengenai
kekufuran suatu golongan sehingga golongan itu dapat dinyatakan keluar dari Islam, dari
segi ini adalah salah dan tidak dapat diterima akal, sebabnya ialah (sebagaimana terbukti
dari penelaahan terhadap fatwa-fatwa yang tercantum di dalam suplemen) secara amalan,
dalam setiap golongan umat Islam sedikit banyak pasti terdapat akidah-akidah yang
mengenainya kebanyakan golongan tersebut menyepakatinya sebagai akidah-akidah yang
membuat para penganutnya keluar dari Islam. Dan kondisi demikian menuntut
kedatangan seorang hakim adil dari Langit.
19

Jika pada hari ini berdasarkan beberapa pertentangan ternyata sangat mungkin
terjadi kesepakatan segenap golongan lainnya menentang Jemaat Ahmadiyah, maka
besokpun mungkin saja akan terjadi seperti itu menentang golongan Syi’ah mengenai
beberapa akidah khusus yang mereka anut. Dan hal yang sama juga dapat terjadi pada
Ahli Quran seperti Chakralwi atau Parwezi. Dan mengenai beberapa akidah Ahli Hadits,
Wahabi atau Deobandi juga secara amalan terjadi kesepakatan para ulama dari golongan-
golongan lainnya. Jadi, kata mayoritas adalah suatu gambaran yang melampaui batas.
Cobalah simak satu golongan secara khusus, maka sebagai lawannya segenap golongan
lain akan tampil sebagai kelompok mayoritas. Dan dengan demikian, secara bergiliran,
terhadap masing-masing golongan akan berlakulah fatwa kafir dari kelompok mayoritas
lainnya.
Menurut kami, fatwa-fatwa itu berpijak pada hal-hal zahir. Dan pada substansinya
fatwa-fatwa itu tidak dapat dinyatakan sebagai surat panggilan untuk masuk surga
ataupun neraka. Sejauh yang berkaitan dengan hakikat Islam, kami menuliskan definisi
Muslim sejati, dalam kata-kata Pendiri Jemaat Ahmadiyah:

“Secara istilah, arti Islam adalah apa yang diisyaratkan oleh ayat suci ini,
yakni:

{Insert arabic: 13}

Yakni, Muslim adalah dia yang menyerahkan segenap wujudnya di jalan


Allah Ta’ala. Yakni, mewakafkan wujudnya untuk Allah Ta'ala dan untuk
mengikuti kehendak-kehendak-Nya, serta untuk meraih keridhaan-Nya.
Kemudian dia berdiri teguh di atas perbuatan-perbuatan baik demi Allah
Ta’ala. Dan dia mengerahkan segenap kekuatan amaliah wujudnya di jalan
Allah. Artinya, secara akidah dan secara amalan, dia telah menjadi milik
Allah Ta’ala semata.
Secara akidah adalah demikian, yakni dia memahami segenap
wujudnya secara hakikat sebagai sesuatu yang telah diciptakan untuk
mengenali Allah Ta’ala, untuk mentaati, dan untuk meraih kecintaan serta
keridhaan-Nya. Sedangkan secara amalan adalah demikian, yakni murni demi
Allah dia melakukan kebaikan-kebaikan hakiki yang berkaitan dengan
segenap kemampuannya dan yang berhubungan dengan segenap karunia
anugerah Allah. Namun, dengan penghayatan dan pendalaman sedemikian
rupa seolah-olah pada pandangan keitaatannya dia sedang menyaksikan
wajah Sang Ma’bud Haqiqi itu….
Sekarang dengan menelaah ayat-ayat tersebut di atas, setiap orang
berakal dapat memahami bahwa hakikat Islam baru dapat merasuk ke dalam
diri seseorang apabila wujudnya bersama segenap kemampuan batiniah dan
zahiriahnya hanya diwakafkan untuk Allah Ta'ala dan untuk jalan-Nya. Dan
amanat-amanat yang dia terima dari Allah Ta’ala, dia serahkan kembali
kepada Sang Penganugerah Sejati itu. Dan tidak hanya secara akidah saja,
20

melainkan secara amalanpun dia memperlihatkan seluruh bentuk Islamnya


serta hakikat sempurna Islam tersebut. Yakni, seorang yang mengaku Islam,
membuktikan bahwa tangannya, kaki, kalbu, otak, akalnya, pemahamannya,
kemarahannya, rasa kasihnya, kelembutan hatinya, ilmunya, segenap
kekuatan rohani dan jasmani yang ia miliki, kehormatannya, hartanya,
ketenteraman dan kebahagiaannya, dan apa saja yang ada secara zahir
maupun batin mulai dari rambut-rambut di kepalanya hingga ke kuku-kuku di
kakinya, bahkan sampai niat-niatnya, partikel-partikel kalbunya, dorongan-
dorongan nafsunya, kesemuanya itu telah mengikuti Allah Ta’ala sedemikian
rupa sebagaimana anggota-anggota tubuh yang dimiliki seseorang taat
mengikuti orang itu. Ringkasnya, hal ini harus terbukti bahwa langkah
kebenaran itu telah mencapai suatu derajat di mana apa saja yang dia punyai
sudah tidak lagi menjadi miliknya, melainkan telah menjadi milik Allah
Ta’ala. Dan segenap bagian tubuh serta kemampuan, telah dikerahkan untuk
mengkhidmati Ilahi, seakan-akan semua itu menjadi bagian tubuh Al-Haq3.
Dan dengan menelaah ayat-ayat itu, hal inipun tampil dengan jelas
dan nyata bahwa mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala, yang merupakan
hakikat Islam, ada dua macam. Pertama, menyatakan hanya Allah Ta’ala
itulah Dzat yang disembah, dituju dan dicinta. Serta tidak menyekutukan
apapun dalam penyembahan, kecintaan, takut, dan harapan terhadap-Nya.
Dan hal-hal yang berkaitan dengan pengkudusan-Nya, pemujian terhadap-
Nya, penyembahan-Nya, dan segenap tata-krama penyembahan-Nya, hukum-
hukum-Nya, perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, serta hal-hal yang
berkaitan dengan keputusan dan taqdir Samawi, kesemuanya itu diterima
dengan sepenuh hati. Kemudian sepenuhnya menggali segenap kebenaran
suci dan makrifat-makrifat suci yang merupakan sarana untuk mengetahui
qudrat-qudrat-Nya yang maha luas, dan yang merupakan perantara untuk
mengetahui derajat tinggi pemerintahan dan kerajaan-Nya, serta yang
merupakan suatu penuntun kokoh untuk mengenali kemurkaan-kemurkaan
dan anugerah-anugerah-Nya.
Jenis kedua mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala adalah
mewakafkan hidup dalam mengkhidmati, bersikap solider sependeritaan,
membantu mencarikan jalan, membantu memikul beban, dan benar-benar
merasakan kepedihan hamba-hamba-Nya. Menanggung penderitaan untuk
memberikan ketenteraman pada orang-orang lain, dan rela merasakan
kepedihan atas diri sendiri demi kesejahteraan orang lain.
Dari pernyataan ini diketahui bahwa hakikat Islam sangat mulia. Dan
seorang manusia tidak pernah dapat secara hakiki menyandang sebutan mulia
sebagai warga Islam selama dia belum menyerahkan kepada Allah seluruh
wujudnya bersama segenap kemampuan, keinginan, dan kehendaknya. Dan
mencabut diri dari keakuannya (egoisme) serta dari segenap hal yang
berkaitan dengan itu, dan menjauhi jalan keakuan tersebut.
3
Allah Ta’ala – peny.
21

Jadi, secara hakiki seseorang itu baru dapat dikatakan Muslim tatkala
timbul suatu revolusi besar di dalam kehidupannya yang penuh kelalaian.
Kemudian, eksistensi wujud nafs amarah yang dia miliki, beserta segenap
dorongannya, serentak punah. Lalu, setelah maut tersebut, di dalam dirinya
mulai timbul kehidupan baru sebagai orang yang berbuat kebaikan demi
Allah. Dan itu adalah suatu kehidupan suci yang di dalamnya tidak terdapat
apapun kecuali ketaatan terhadap Sang Khaliq dan sikap solider terhadap
sesama makhluk.
Ketaatan terhadap Sang Khaliq adalah demikian, yakni dia siap
untuk menerima kehinaan dan kenistaan demi menzahirkan kehormatan,
keperkasaan, serta keesaan-Nya. Dan dia siap menerima ribuan kematian
demi menghidupkan Tauhid-Nya. Dan dalam ketaatan terhadap-Nya, satu
tangan bisa rela memotong tangan yang lain. Dan dalam kecintaan akan
keagungan perintah-perintah-Nya serta dalam kehausan akan keridhaan-Nya,
dia membenci dosa sedemikian rupa seakan-akan dosa itu adalah suatu api
yang siap melahap, atau bagai racun yang mematikan, atau sebuah halilintar
yang dapat menghanguskan, sehingga harus melarikan diri dari dosa itu
dengan segenap kemampuannya. Ringkasnya, untuk mengikuti kehendak-
Nya, kita harus meninggalkan segenap kehendak jiwa kita. Dan untuk
melekat dengan-Nya, terimalah sayatan-sayatan luka yang sangat
menyakitkan. Dan untuk memberikan bukti ikatan dengan-Nya, putuskanlah
segenap ikatan nafsu.
Dan mengkhidmati makhluk Allah adalah demikian, yakni sekian
banyak kebutuhan makhluk, dan sekian banyak faktor serta jalan yang telah
diciptakan Sang Pembagi Azali untuk membuat sebagian membutuhkan
sebagian lainnya, dalam segenap hal tersebut memberikan manfaat kepada
makhluk semata-mata demi Allah dengan solidaritas hakiki dan tanpa maksud
tertentu serta dengan solidaritas sejati yang dapat timbul dari dirinya. Dan
membantu setiap yang membutuhkan bantuan, melalui kemampuan anugerah
Allah. Dan mengerahkan semua kekuatan untuk mengadakan perbaikan dunia
dan akhirat bagi [makhluk-makhluk].
Jadi, inilah ketaatan dan pengkhidmatan demi Allah yang sangat
mulia, yang bercampur dengan kasih sayang dan kecintaan, serta yang
dipenuhi oleh ketulusan dan sikap merendahkan diri. Inilah Islam dan hakikat
Islam serta intisari Islam yang diraih setelah memperoleh kematian dari nafs,
dorongan alami, nafsu, dan kehendak.” (Ainah Kamalaat-e-Islam, p. 57-62)

---------ooo0ooo---------
22
23

KEDUDUKAN
KHAATAMAN NABIYYIIN S.A.W.
DAN TULISAN-TULISAN PENUH MAKRIFAT
DARI PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH

Tanggapan Terhadap Tuduhan Mengingkari Khatamun Nubuwwat


“Inti dan saripati akidah saya adalah: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur
Rasuulullah. Kepercayaan yang saya anut dalam kehidupan di dunia ini, dan
-- atas karunia serta taufik Allah Ta'ala -- dengannya saya akan
meninggalkan alam tempat berlalu ini, ialah, bahwa Sayyidina wa Maulana
Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Khaataman
Nabiyyiin dan Khairul Mursaliin. Melalui tangan beliaulah agama telah
sempurna, dan nikmat/anugerah telah mencapai derajat paling lengkap, yang
dengan perantaraan itu manusia menempuh jalan lurus lalu dapat mencapai
Allah Ta'ala.” (Izalah Auham)

Tuduhan ini jelas-jelas keliru dan merupakan kedustaan. Yakni, na’udzubillaah,


Jemaat Ahmadiyah mengingkari ayat Khaataman-nabiyyiin dan tidak mengakui Nabi
Muhammad Mushthafa Khatamul Anbiya s.a.w. sebagai Khaataman Nabiyyiin. Sungguh
24

aneh, tuduhan ini dilontarkaan terhadap suatu Jemaat di antara seluruh golongan umat
Islam, yang secara teguh meyakini bahwa jangankan satu ayat Alquran Suci, satu noktah
atau satu titikpun tidak ada yang mansukh. Padahal sebaliknya, menurut para ulama dari
golongan-golongan lain, sebagian ayat Alquran telah dimansukhkan melalui sebagian
ayat lainnya, dan sekarang ayat-ayat itu bagaikan usus buntu dalam tubuh manusia. Jadi,
bukankah ini suatu hal yang aneh ? Yakni golongan-golongan yang mempercayai bahwa
di dalam Alquran Karim terdapat 5 hingga 500 ayat telah dimansukhkan, melontarkan
tuduhan mengingkari satu ayat Alquran Karim terhadap sebuah golongan yang memiliki
akidah bahwa jangankan satu ayat, satu noktahpun tidak ada yang mansukh.
Apalagi namanya kalau bukan keaniayaan dan kezaliman ? Di satu sisi Jemaat
Ahmadiyah bersiteguh menyatakan bahwa begitulah akidah kami dan itulah yang berkali-
kali ditekankan pendiri Jemaat Ahmadiyah kepada kami. Yakni, Alquran adalah kitab
Allah yang terakhir dan sempurna; Muhammad Mushthafa s.a.w. adalah rasul-Nya yang
terakhir dan paling sempurna, serta merupakan Khaatamun Nabiyyiin. Di sisi lain, para
ulama penentang, memberikan jawaban pada kami, “Walaupun kalian mengatakan
demikian, dalam makna tertentu kalian tetap masih menganggap ada kemungkinan bagi
kedatangan nabi. Oleh sebab itu kalian mengingkari makna ayat suci tersebut! Jadi,
secara nyata kalian terhitung mengingkari ayat itu.”
Inilah alasan terbesar para penentang Jemaat, yang dengan kekuatannya mereka
bangkit membawa tekad untuk mengeluarkan Jemaat Ahmadiyah dari Islam. Mari kita
simak hakikat tuduhan ini dengan hati yang sejuk. Dan dengan tenang serta adil, kita
simpulkan bahwa para penuduh itu jauh dari kebenaran. Jangan-jangan tuduhan itu
berlaku pada diri mereka sendiri, dan mereka bakal terkena sangsi karena menuduh pihak
lain mengingkari ayat tersebut.
Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, kami mengimani seluruh makna ayat
Khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Alquran, Hadits, Ijma’ orang-orang
shaleh terdahulu, ungkapan-ungkapan dan bahasa Arab. Kami mengimani makna harfiah
ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya, yang intinya, Rasulullah s.a.w.
adalah paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan merupakan perhiasan
para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada beliau. Kunci setiap
fadhilah/keunggulan telah diserahkan ke tangan beliau. Syariat beliau -- yakni Alquran
dan Sunnah -- akan terus berlaku hingga kiamat, dan meliputi seluruh penjuru dunia.
Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorangpun yang dapat
memansukhkan Syariat ini barang setitikpun. Jadi, beliau adalah Rasul pembawa syariat
terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau adalah penutup sekalian nabi,
secara jasmani maupun secara rohani. Tidak ada seorang nabi yang dapat terlepas dari
lingkup ke-khatam-an beliau, dari sisi manapun. Setelah kedatangan beliau, tidak
mungkin ada nabi terdahulu yang secara jasmani tetap hidup di dalam era beliau. Tidak
mungkin, beliau telah berlalu dari dunia ini, kemudian ada nabi terdahulu lainnya yang
masih hidup secara jasmani. Na’udzubillaah, nabi tersebut wafat setelah menyaksikan ke-
khatam-an beliau secara jasmani.
Dalam makna-makna hakikipun beliau s.a.w. merupakan penutup sekalian nabi.
Tidak mungkin karunia nabi terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau,
dan mampu menganugerahkan suatu kedudukan rohani yang terendah sekalipun kepada
25

seseorang manusia. Beliau merupakan penutup bagi karunia-karunia segenap nabi


lainnya. Namun, karunia-karunia beliau s.a.w. tetap berlangsung hingga Kiamat. Segenap
karunia dan anugerah rohani yang dahulu senantiasa diraih oleh umat manusia dengan
cara mengikuti nabi-nabi sebelumnya, lebih besar dari itu akan dianugerahkan kepada
umat manusia hingga hari Kiamat melalui beliau dan melalui khazanah beliau.
Ringkasnya, kami mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai Khaataman Nabiyyiin dalam
makna harfiah maupun hakiki. Dan kami secara hormat berani memaparkan kenyataan
yang pahit ini, bahwa selain para pengingkar hadits, para ulama dari segenap golongan
penentang kami, tidak mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai Khaataman Nabiyyiin dalam
makna-makna tersebut. Walaupun mereka mengatakan Rasulullah s.a.w. sebagai penutup
sekalian nabi, mereka menganut kepercayaan yang berlawanan. Yakni, na'udzubillaah,
Rasulullah s.a.w. tidak mampu menjadi penutup bagi Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., secara
jasmani maupun secara rohani. Ketika beliau s.a.w. datang, hanya ada satu nabi lain yang
masih hidup secara jasmani. Namun, disayangkan, dia tidak berakhir di masa hidup
beliau s.a.w.. Beliau telah wafat, tetapi dia masih tetap hidup. Rasulullah s.a.w. telah
berlalu 1400 tahun silam, tetapi Nabi Israili ini masih tetap hidup sampai sekarang.
Cobalah bersikap adil sedikit. Dari segi makna-makna jasmani kata khaatam/penutup,
menurut orang-orang yang percaya Almasih a.s. masih hidup, siapa yang telah menjadi
penutup antara keduanya ?
Kemudian para ulama ini secara amalan juga mengakui Almasih a.s. sebagai
khaatam dari segi rohani. Sebab, mereka percaya bahwa Rasulullah s.a.w. tidak mampu
menutup karunia Almasih. Karunia nabi-nabi lain telah habis sejak sebelumnya, dan
segenap jalan keselamatan lain telah tertutup. Almasih sendiri yang masih hidup. Namun
disayangkan, jalan bagi karunia Almasih tidak dapat ditutup. Tidak hanya itu, kekuatan
karunianya telah menjadi sangat besar dibandingkan sebelumnya. Walaupun ada
kekuatan suci Rasulullah s.a.w. yang sangat agung, umat Islam tetap terkena penyakit-
penyakit rohani yang berbahaya. Umat ini dikepung oleh berbagai macam penyakit
rohani. Kekuatan suci Rasulullah s.a.w. secara langsung tidak mampu menyelamatkan
ini. Ya, seorang rasul Bani Israil, melalui semburan napas ke-masih-annya, dapat
menyelamatkan umat ini dari cengkeraman maut serta menganugerahkan suatu
kehidupan rohani baru. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Apakah dari itu tidak
terbukti dengan jelas bahwa orang-orang yang percaya Almasih masih hidup, tidak
menganggap Rasulullah s.a.w. sebagai penutup sekalian nabi, dari segi karunia ? Bahkan
mereka yakin pada saat ini hanya ada satu orang nabi yang masih hidup, dan Rasulullah
s.a.w. tidak mampu menutup karunia nabi itu. Bahkan, na'udzubillaah, Nabi Israili itu
telah wafat ketika umat Islam sangat berhutang budi kepadanya.
Perhatikanlah ! Tidakkah Nabi Isa a.s. dianggap sebagai khaataman nabiyyiin
dalam makna jasmani maupun rohani ? Tidakkah hal ini jelas-jelas menghina Rasulullah
saw ? Tidakkah hal ini menghancurkan ruh ayat Khaataman-nabiyyiin ? Dan tetap saja
dinyatakan bahwa orang Ahmadi mengingkari Khaataman Nabiyyiin, sedangkan mereka
mempercayai Khaataman Nabiyyiin, bahkan melindunginya. Apakah keadilan benar-
benar telah hilang dari dunia ? Apakah segenap pertimbangan akal sehat akan diabaikan ?
Apakah keputusan ini tidak akan ditimbang secara adil, melainkan kebenaran dan
kebatilan serta keselamatan ukhrowi akan diputuskan hanya berdasarkan kekuatan
26

mayoritas ? Semoga Allah tidak menjadikannya demikian. Semoga Allah benar-benar


tidak menjadikannya demikian. Namun, jika terjadi seperti itu, mengapa yang digembar-
gemborkan adalah takwa Ilahi. Kenapa hal itu tidak disebut saja hukum rimba ? Dan
kenapa untuk ketidakadilan ini digunakan nama suci Allah dan Rasul ? Apapun nama
baik yang diberikan untuk suatu kehancuran, tetap saja ia merupakan kehancuran.
Kepada kami dikatakan, "Kalian sepenuhnya tidak mengakui Rasulullah s.a.w.
sebagai nabi terakhir. Dan dengan cara penafsiran, kalian membuka jalan bagi
kedatangan seorang nabi ummati dan zilli. Sehingga dengan itu kalian telah melanggar
Khatamun Nubuwwat."
Kami mengakui bahwa munculnya nabi ummati seperti itu dalam umat Islam --
yang merupakan hamba kamil Rasulullah s.a.w. dan sepenuhnya meraih karunia dari
beliau s.a.w. -- sama sekali tidaklah menentang makna ayat Khaataman-nabiyyiin. Sebab,
hamba yang fana dan kamil, tidak dapat dipisahkan dari majikannya. Kami bertanggung
jawab untuk membuktikan pendirian kami ini dari Alquran Hakim, sabda-sabda Nabi
Muhammad s.a.w., ucapan-ucapan para pemuka umat, dan dari ungkapan-ungkapan
bahasa Arab. Dalam kaitan itu, pada halaman-halaman berikut ini akan dipaparkan suatu
hasil pembahasan. Namun sebelumnya, kami akan meninjau orang-orang yang
melontarkan tuduhan kepada kami sebagai penghancur segel/stempel kenabian. Yakni,
bagaimana kedudukan akidah mereka. Mereka secara zahir menda’wakan bahwa mereka
-- secara mutlak, tanpa syarat, tanpa pengecualian dan dalam setiap makna -- mengakui
Rasulullah s.a.w. sebagai nabi terakhir. Dan sesudah beliau, mereka tidak mengakui
kedatangan nabi jenis apapun. Namun, jika dipertanyakan kepada mereka, maka terpaksa
mereka mengatakan, “…kecuali Nabi Isa a.s. yang suatu hari nanti pasti akan turun di
tengah umat ini.”
Apabila anda mempersoalkannya kepada mereka -- yakni, “Kalian telah
mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. secara mutlak, tanpa pengecualian, adalah nabi
terakhir, dalam makna bahwa sesudah beliau tidak akan datang nabi jenis apapun;
bagaimana pula kalian telah memperoleh hak untuk menimbulkan pengecualian ?” Maka
sebagai jawabannya mereka paparkan penakwilan yang sangat tidak bermakna. Yakni,
“Dikarenakan Nabi Isa adalah seorang nabi terdahulu, oleh sebab itu kedatangannya yang
kedua kali, tidak akan memecahkan segel/stempel Khatamun Nubuwwat.” Apabila
dipertanyakan kepada mereka, apakah beliau akan datang membawa syariat Musa ? Maka
mereka mengatakan tidak, melainkan beliau akan datang tanpa syariat. Kemudian apabila
ditanyakan, “Dalam bentuk demikian, apa jadinya tugas perintah dan larangan bagi
beliau ? Hal-hal apa yang akan beliau nasihatkan, dan hal-hal apa yang akan beliau
larang ?” Maka mereka mengatakan, pertama-tama beliau akan menjadi anggota umat
Islam, kemudian mengikuti Syariat Islam, lalu menjadi nabi. Lebih lanjut mereka tidak
mampu menjawab berbagai macam pertanyaan. Yakni, apakah ulama-ulama yang akan
mengajarkan Syariat Islam kepada Almasih ? Atau, kepada beliau akan diberikan
pengetahuan tentang Alquran, Hadits, dan Sunnah melalui wahyu dari Allah Ta'ala secara
langsung ? Namun, dari pemeriksaan ini terbukti dengan telak bahwa mereka sendiri
tidak mempercayai Rasulullah s.a.w. sebagai nabi terakhir secara penuh. Bahkan mereka
memberikan pengecualian bahwa sesudah Rasulullah s.a.w. dapat saja datang seorang
27

nabi lama, yang bukan pembawa syariat, ummati, mengikuti Syariat Islam kata demi kata,
dan mengajarkannya, tanpa memecahkan segel kenabian.
Kami berhak menanyakan kepada orang berakal, bijak, dan adil. Apakah bagi
penganut akidah semacam itu, dari sisi logika maupun keadilan, dapat dibenarkan untuk
mengatakan bahwa sesudah Rasulullah s.a.w. tidak akan dapat lagi datang nabi jenis
apapun ?
Permasalahan yang sebenarnya adalah, berdasarkan sabda-sabda Sang Khaataman
Nabiyyiin s.a.w., kami dan orang-orang selain kami serta segenap pihak yang mengakui
hadits, terpaksa menganut akidah bahwa “Isa Nabiullah”4 memang akan turun di
kalangan umat ini ?
Kami, berdasarkan ajaran Alquran dan Hadis yang jelas, mengetahui pula bahwa
Isa Ibnu Maryam telah wafat. Oleh sebab itu sabda tersebut di atas kami artikan sebagai
berikut. Yakni “Isa Nabiullah” yang bakal datang itu, akan lahir di kalangan hamba-
hamba Rasulullah s.a.w. dalam umat Islam ini juga. Dan dari Alquran, Hadits, serta
ucapan-ucapan para tokoh Agama Islam, kami membuktikan bahwa tokoh yang
dijanjikan bakal datang itu, juga akan berkedudukan sebagai nabi Allah, serta sebagai
ummati Rasulullah s.a.w.. Dan akidah ini sama sekali tidak bertentangan dengan ke-
khatam-an Nabi Muhammad s.a.w..
Namun, para ulama lain berusaha menenteramkan hati mereka dengan
penakwilan berikut. Yakni, jika nabi terdahulu itu datang kembali -- dikarenakan dia
telah lahir terlebih dahulu, dan sejak sebelumnya telah dianugerahkan pangkat kenabian,
sehingga dia tidak dapat dinyatakan sebagai yang terakhir -- maka jalan kedatangan bagi
nabi terdahulu itu masih tetap terbuka tanpa memecahkan segel kenabian.
Poin dasar dalam pemaparan dalil seperti itu adalah, nabi yang telah lahir terlebih
dahulu tidak dapat dinyatakan sebagai nabi terakhir. Apabila kita menyimak dalil seperti
itu, maka tampak sangat lemah dan sia-sia.
Pertanyaannya adalah, jika hari ini di hadapan seorang pemuda berusia 20 tahun
lahir seorang bayi, lalu dalam beberapa hari bayi itu meninggal, kemudian pemuda
tersebut meninggal dunia 80 tahun berikutnya dalam usia 100 tahun, maka siapa yang
akan ditulis terakhir oleh penulis sejarah ? Yakni, siapa yang akan dinyatakan terakhir
oleh penulis sejarah yang memiliki pemahaman mendalam serta akal yang sehat ?
Apakah anak bayi itu, yang lahir belakangan, namun meninggal setelah hidup
beberapa hari saja ? Ataukah pemuda yang telah lahir dahulu itu, yang wafat 80 tahun
setelah kematian bayi tadi, dalam usia 100 tahun ?
Disayangkan, persis seperti itulah bentuk yang dipaparkan para ulama penentang
kami. Dan mereka tidak melihat titik kelemahan logika tersebut. Mereka tidak
memperhitungkan bahwa berdasarkan keterangan mereka, usia Nabi Isa a.s. kurang lebih
600 tahun ketika Nabi Muhammad Mushthafa s.a.w. dilahirkan. Dalam usia 63 tahun,
Rasulullah s.a.w. telah wafat di masa hidup Nabi Isa. Dan sampai sekarang lebih 1400
tahun Isa Nabiullah itu masih tetap hidup. Cobalah katakan, ketika nanti dia turun, lalu
akhirnya akan wafat setelah melaksanakan tugasnya, maka siapa yang akan dinyatakan
sebagai yang terakhir dari segi waktu oleh seorang penulis sejarah yang objektif ?

4
Shahih Muslim, jilid 2, bab Dzikrud-dajjaal.
28

Menurut para ulama zahir, ayat Khaataman-nabiyyiin dari segi zaman/waktu tidak
memberikan hak kepada siapapun sesudah Rasulullah s.a.w. untuk menjadi yang terakhir.
Lalu apa pula hak para ulama zahir itu untuk menyatakan Nabi Isa a.s. sebagai nabi
terakhir dari segi waktu ? Pengingkaran terhadap hakikat tersebut sekedar dari mulut saja,
tidaklah mengandung makna apapun. Sebab, mereka secara amalan mengakui Nabi Isa
a.s. sebagai nabi yang paling terakhir di dunia ini ratusan tahun setelah Rasulullah s.a.w..
Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang lengkap dan
menarik tentang ke-khatam-an Nabi Muhammad s.a.w.. Gambaran itu benar-benar sangat
langka dan tiada duanya. Beliau telah menguraikan tafsir ayat Khaataman-nabiyyiin dari
berbagai aspek di dalam buku-buku beliau, berdasarkan Alquran Suci, dengan cara
sedemikian rupa sehingga setiap bagiannya menarik manusia ke arah iman dan irfan.
Beliau telah menggunakan istilah yang luar biasa dan sangat mengesankan.
Yakni, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Hidup; Kitab kita, Alquran Majid, adalah suatu
kitab yang hidup; dan Rasul kita, Yang Mulia Khaatamun Nabiyyiin Muhammad
Mushthafa s.a.w. adalah rasul yang hidup. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
beliau di dalam umat Islam. Dan secara benar beliau telah mempersiapkan kecintaan
yang hakiki terhadap Muhammad Arabi s.a.w., dalam kaitan dengan ke-khatam-an Nabi
Muhammad.
Ketiga permasalahan pokok ini -- yakni keimanan terhadap Allah, keimanan
terhadap Kitab, dan keimanan terhadap Rasul -- satu sama lain saling terkait dan saling
berhubungan secara mendalam sehingga satu unsur tidak dapat dipisahkan dari unsur-
unsur lainnya. Jadi, tidaklah mungkin dengan mengenyampingkan unsur-unsur lain,
akidah-akidah dan pandangan-pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tentang suatu
perkara dapat disimak. Jadi, tentang Khataman Nubuwwat, mutlak bagi kita untuk
memperhatikan keimanan, akidah-akidah dan pandangan-pandangan beliau tentang Allah
Ta'ala serta Alquran Karim. Sebab, jika tidak, penyimakan pemahaman beliau tentang
Khatamun Nubuwwat, tidak dapat diketahui secara sempurna.
Kini kami mulai dengan masalah Allah Ta'ala. Kami paparkan beberapa kutipan
dari pendiri Jemaat Ahmadiyah, yang insya Allah sesudah itu akan terbukti sangat
membantu dalam memahami masalah Khatamun Nubuwwat.
---------ooo0ooo---------
29

IRFAN ILAHI
DARI UNGKAPAN-UNGKAPAN
PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH

Irfan Ilahi Dalam Ungkapan-ungkapan Pendiri Jemaat Ahmadiyah


Pendiri Jemaat Ahmadiyah di dalam buku beliau, Surmah Chasyam Ariyah menyatakan:

“Di berbagai tempat dalam Alquran Suci, melalui isyarah-isyarah


maupun penjelasan-penjelasan rinci, telah diuraikan bahwa Rasulullah
s.a.w. merupakan manifestasi sempurna Ilahiyah. Kalaam beliau
merupakan Kalaam Allah; kehadiran beliau merupakan penzahiran Allah;
dan kedatangan beliau merupakan kedatangan Allah.” (Surmah Chasyam
Ariyah)
30

“Jadi, dikarenakan sejak qadim/awal dan semenjak dunia


diciptakan, pengenalan terhadap Allah berkait erat dengan pengenalan
terhadap nabi, oleh sebab itu dengan sendirinya tidaklah mungkin dapat
meraih Tauhid tanpa perantaraan nabi. Nabi merupakan cermin untuk
menyaksikan rupa Allah. Melalui cermin itulah wajah Allah kelihatan.
Ketika Allah Ta'ala ingin menzahirkan diri-Nya di dunia, maka Dia
mengutus nabi, yang merupakan manifestasi qudrat-qudrat-Nya, ke dunia.
Dia menurunkan wahyu-Nya kepada nabi itu. Dan Dia memperlihatkan
kekuatan-kekuatan Rabbubiyyat-Nya melalui nabi tersebut. Barulah dunia
mengetahui bahwa Allah itu ada.
Jadi, wujud orang-orang yang secara mutlak -- berdasarkan
ketentuan permanen dari Allah -- telah ditetapkan sebagai sarana untuk
mengenali Allah, mengimani mereka merupakan suatu bagian Tauhid.
Tanpa keimanan itu, Tauhid yang sempurna tidak dapat [dicapai]. Sebab,
Tauhid murni yang timbul dari mata air keyakinan kamil, yang
diperlihatkan nabi melalui Tanda-tanda Samawi dan penampakan-
penampakan keajaiban qudrat, dan yang mengantarkan sampai kepada
ma’rifat, tidaklah mungkin dapat diperoleh. Itulah suatu golongan yang
menampakkan Allah. Melalui mereka, wujud Allah yang sangat halus,
sangat terselubung, dan sangat ghaib, menjadi zahir. Dan selamanya
Khazanah Terselubung yang bernama Allah ini, telah dikenali melalui
para nabi. Jika tidak, Tauhid yang di sisi Allah dinamakan Tauhid itu,
yang tampil secara sempurna dalam bentuk nyata, tidak dapat diraih tanpa
melalui perantaraan nabi. Sebagaimana bertentangan dengan akal,
demikian pula bertentangan dengan pengalaman-pengalaman para
salikin5.” (Haqiqatul Wahy, h.112-113).

“Saudara-saudara warga Kristen hendaknya betul-betul ingat,


bahwa contoh kiamat Almasih a.s. sama sekali tidak terbukti. Bukannya
orang-orang Kristen bangkit hidup, justru mereka mati dan terbenam di
dalam kubur-kubur yang sempit dan gelap, paling rendah dari sekalian
orang mati. Dan mereka jatuh ke dalam jurang kemusyrikan. Di dalam diri
mereka tidak terdapat ruh keimanan dan tidak pula keberkatan ruh iman.
Bahkan Tauhid yang paling rendah derajatnya sekalipun -- yakni menjauhi
penyembahan makhluk -- itu juga tidak mereka peroleh. Seorang insan
seperti mereka, yang lemah dan tidak kuasa, mereka sembah-sembah
sembari menganggapnya sebagai khaaliq/tuhan.
Hendaknya diingat, Tauhid itu memiliki 3 derajat. Derajat yang
paling rendah adalah, jangan menyembah sesama makhluk. [Yakni], batu,
api, manusia, maupun bintang tertentu. Derajat kedua adalah, jangan pula
tergelincir pada sarana-sarana, seakan-akan memberikan hak campur-
tangan yang permanen kepada sarana-sarana itu dalam tata-kerja Allah.
Melainkan, selalulah tumpukan pandangan pada Sumber Sarana-sarana
5
Orang-orang yang menempuh jalan kedekatan terhadap Allah -peny.
31

itu, jangan pada sarana-sarana tersebut. Derajat Tauhid yang ketiga adalah,
menyaksikan secara sempurna manifestasi-manifestasi Ilahiah, lalu
menganggap segala sesuatu selain Allah tidak ada sama sekali, termasuk
diri sendiri. Ringkasnya, segala sesuatu tampak tidak abadi, kecuali Dzat
Allah Ta'ala yang memiliki sifat-sifat kamil.
Inilah kehidupan rohani yang dicapai pada ketiga derajat Tauhid.
Sekarang perhatikanlah dengan seksama bahwa seluruh mata air abadi
kehidupan rohani, telah tampil di dunia hanya melalui berkat Yang Mulia
Muhammad Mushthafa s.a.w..” (Ainah Kamalaat-e-Islam, h.223-224)

“Setelah sempurnanya raga rohani, api kecintaan Dzati Ilahi akan


muncul di dalam kalbu manusia bagai suatu ruh. Dan kepadanya
dianugerahkan kondisi kebersamaan yang abadi. Ia mencapai
kesempurnaannya, barulah keindahan rohani memperlihatkan
penampakkannya secara sempurna. Namun, keindahan yang merupakan
keindahan rohani ini, yang dapat dinamakan keindahan dalam bersikap,
adalah suatu keindahan yang dengan daya tariknya jauh lebih hebat
daripada keindahan wajah. Sebab, keindahan wajah hanya membuat jatuh
cinta satu atau dua orang saja, yang dengan cepat akan pudar, dan daya
tariknya sangat lemah. Namun, keindahan rohani, yang telah dinamakan
sebagai keindahan dalam bersikap, dalam daya tariknya begitu kuat dan
hebat sehingga dapat menarik satu dunia ke arahnya. Seluruh partikel
bumi dan langit ditarik ke arahnya.
Pada hakikatnya ini jugalah yang merupakan falsafah pangabulan
doa. Yakni, seorang insan pemilik keindahan rohani seperti itu -- yang di
dalam dirinya ruh kecintaan Ilahi telah merasuk -- ketika memanjatkan
doa untuk suatu hal yang tidak mungkin dan sangat sulit, serta dia dengan
gencar memanjatkan doa itu, maka dikarenakan dia memiliki keindahan
rohani dalam dirinya, oleh sebab itu atas perintah dan izin Allah Ta'ala
setiap zarah alam ini ditarik ke arahnya. Jadi, terkumpullah sarana-sarana
yang cukup untuk keberhasilannya.
Dari pengalaman dan dari Kitab Suci Allah Ta'ala terbukti bahwa
setiap zarah dunia ini secara alami memiliki kecintaan terhadap orang
seperti itu. Doa-doanya menarik seluruh zarah tersebut ke arah dirinya,
seperti magnet yang menarik besi ke arahnya. Jadi, hal-hal luar biasa yang
tidak disinggung dalam ilmu alam dan falsafah manapun, akan tampil
sebagai faktor-faktor daya tarik tersebut. Dan daya tarik itu adalah alami.
Semenjak Sang Pencipta menyusun alam ragawi dengan zarah-zarah, daya
tarik itupun telah Dia tanamkan dalam setiap zarah. Dan setiap zarah
merupakan pecinta sejati keindahan rohani. Seperti itu pula halnya setiap
ruh yang baik, sebab ia merupakan wadah hakiki manifestasi keindahan.
Itulah keindahan yang baginya difirmankan: ‘Usjuduu li aadama fa
sajaduu illaa ibliis’ (Al-Baqarah:34). Dan sekarangpun banyak sekali iblis
32

yang tidak mengenali keindahan tersebut. Namun, keindahan itu


senantiasa saja menampakkan pekerjaan-pekerjaan yang besar.
Keindahan itu jugalah yang terdapat dalam diri Nuh a.s., yang
untuknya Allah Ta'ala telah setuju, dan segenap pengingkar telah
dihancurkan melalui azab banjir. Sesudah itu, Musa a.s. juga datang
membawa keindahan rohani tersebut. Beliau menanggung penderitaan
beberapa masa, lalu akhirnya menenggelamkan pasukan Fir’aun.
Kemudian, sesudah semua itu, Sayyidul Anbiyaa wa Khairul Wara
Maulana wa Sayyidina Yang Mulia Muhammad Mushthafa s.a.w., datang
membawa suatu keindahan rohani yang sangat agung. Ayat suci ini cukup
untuk menggambarkannya: ‘Danaa fa tadallaa, fa kaana qaaba qausaini
au adnaa’ (An-Najm:8-9). Yakni, Nabi itu telah pergi sangat dekat kepada
Allah Ta'ala, dan kemudian menunduk ke arah makhluk. Dengan demikian
beliau telah memenuhi kedua hak, yakni hak Allah dan hak-hak sesama
manusia. Dan beliau telah memperlihatkan kedua macam keindahan
rohani.” (Dhamimah Barahiin Ahmadiyyah, jilid V, h.61-62).

“Berkedudukan sebagai ‘Aalimulghaib berdasarkan kekuasaan


pribadi dan sifat-sifat pribadi, merupakan keistimewaan yang hanya
dimiliki Dzat Allah Ta'ala. Dari awal, orang-orang yang benar selalu
menganut akidah mengenai ilmu ghaib Sang Wajibul Wujud sebagai suatu
kemutlakan dalam Dzat-Nya. Sedangkan bagi segenap wujud lain-Nya,
hal itu bukan merupakan unsur yang ada di dalam zat mereka. Dan
memberlakukan segenap kemungkinan terhadap Sang Wajibul Wujud itu
merupakan akidah yang menjunjung tinggi kemuliaan-Nya. Yakni, akidah
bahwa bagi Dzat Allah Ta'ala, berkedudukan sebagai ‘Aalimulghaib
adalah mutlak. Dan keistimewaan pribadi Dzat-Nya yang hakiki adalah
‘Aalimulghaib. Namun, wujud-wujud lain-Nya yang merupakan unsur
hampa dan memiliki hakikat yang kosong, tidak dapat menyatu dalam
sifat tersebut maupun dalam sifat-sifat lain yang dimiliki Allah Ta'ala.
Sebagaimana dari segi Dzat tidak ada yang dapat menyamai Allah Ta'ala,
demikian pula tidak ada yang menyamai-Nya dari segi sifat.
Jadi, bagi wujud-wujud lain-Nya, di dalam diri mereka tidak
terdapat sifat ‘Aalimulghaib. Tidak peduli apakah itu nabi, muhaddats,
ataupun wali. Ya, mengetahui rahasia-rahasia ghaib melalui ilham Ilahi,
selamanya diperoleh orang-orang yang istimewa dan suci. Dan
sekarangpun masih tetap diperoleh, yaitu hal-hal yang kita terima dengan
cara mengikuti Rasulullah s.a.w. semata.” (Tashdiqun-Nabi, h.26-27)

“Kekuatan-kekuatan-Nya tidak terbatas. Pekerjaan-pekerjaan-Nya


yang luar biasa, tidak pernah habis. Dan Dia juga merubah hukum-hukum-
Nya sendiri bagi hamba-hamba-Nya yang istimewa. Namun, perubahan
itupun memang sudah termasuk di dalam hukum-hukum-Nya. Tatkala
seseorang hadir di singgasana-Nya membawa suatu ruh baru, dan dia
33

menciptakan suatu perubahan istimewa dalam dirinya semata-mata untuk


meraih keridhaan Allah, maka Allahpun menciptakan suatu perubahan
bagi dirinya. Yakni, seolah-olah Tuhan yang zahir pada diri hamba
tersebut merupakan suatu Tuhan lain, bukan Tuhan yang dikenal oleh
orang-orang umum.
Di hadapan seorang yang imannya lemah, Dia zahir seperti sesuatu
yang lemah. Namun, seseorang yang datang ke arah-Nya dengan suatu
keimanan yang sangat kuat, Dia memperlihatkan pada orang itu bahwa,
‘Aku pun sangat kuat untuk menolong engkau.’ Beriringan dengan
perubahan-perubahan manusia, sifat-sifat-Nya juga mengalami perubahan.
Seseorang yang kondisi imannya tidak memiliki kekuatan sedikitpun
bagai mayat, Allah juga urung memberi dukungan dan bantuan kepada
orang itu, lalu berdiam diri sedemikian rupa seolah-olah -- na'udzubillaah
-- Dia telah mati.
Namun, seluruh perubahan ini Dia lakukan di dalam hukum-
hukum-Nya sesuai kekudusan-Nya. Dikarenakan tidak ada orang yang
dapat membatasi hukum-hukum-Nya, oleh sebab itu secara terburu-buru,
tanpa suatu dalil qoth’i yang terang dan jelas, melontarkan kritikan bahwa
suatu perkara tertentu bertentangan dengan hukum qudrat, adalah
kebodohan nyata. Sebab, sesuatu yang belum dapat dijangkau batasannya
dan tidak pula ada suatu dalil qoth’i yang menentangnya, siapa pula yang
mampu memberikan tanggapan tentang itu ?” (Chasymah Ma’rifat, h.96-
97)

“Wahai orang-orang yang mendengar, dengarkanlah! Tuhan


menghendaki apa dari kamu ? Hanya ini, yaitu jadilah kamu kepunyaan-
Nya. Janganlah kamu mempersekutukan Dia dengan siapapun, tidak di
langit dan tidak pula di bumi. Tuhan kita adalah Tuhan yang sekarangpun
masih hidup seperti dahulu Dia hidup. Sekarangpun masih berkata-kata
seperti dahulu Dia selalu berkata-kata. Sekarangpun masih mendengar
seperti dahulu Dia selalu mendengar. Kelirulah pendapat yang
mengatakan bahwa di zaman ini Dia hanya dapat mendengar, tetapi tidak
bisa berkata-kata. Melainkan, Dia tetap mendengar dan tetap pula berkata-
kata. Semua sifat-Nya adalah azali abadi6 Tiada suatu sifatpun yang
berhenti atau tidak bekerja lagi, tidak sekarang dan tidak di masa
mendatang. Dia Esa, Tunggal, tidak ada sekutu-Nya. Tidak beranak dan
tidak pula beristri. Dia tidak bermisal, yaitu tidak ada dua-Nya. Tidak ada
suatupun bersifat istimewa seperti Dia. Tidak ada yang menyerupai-Nya.
Tidak ada kekuatan-Nya yang berkurang. Dia dekat meskipun jauh, dan
Dia jauh meskipun dekat. Dia bisa menampakkan diri-Nya kepada ahli
kasyaf (orang yang memperoleh kasyaf -peny.) dengan jalan tamats-tsul7.

6
Azali artinya sudah ada sejak dahulu, tidak ada titik permulaannya. Abadi artinya kekal dan tidak ada
kesudahannya -peny.
7
rupa wujud yang terlihat -peny.
34

Tetapi Dia tidak bertubuh dan tidak berupa. Dia paling atas, tetapi tidak
juga dapat dikatakan bahwa ada pula sesuatu di bawah-Nya. Dia ada di
‘Arasy, tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada di bumi. Dia adalah
himpunan semua sifat kesempurnaan; tempat zahir semua pujian yang
sebenarnya; sumber semua kebaikan; yang meliputi semua kekuatan;
tempat terbit semua kurnia; tempat kembali segala sesuatu; yang memiliki
semua kerajaan; bersifat semua keindahan; suci dari setiap aib dan
kelemahan. Dia dikhususkan untuk disembah oleh segala penduduk bumi
dan segala pengisi langit. Tidak ada suatupun yang mustahil di hadapan-
Nya. Semua ruh dengan segala kekuatannya dan segala zarah bersama
potensi-potensinya, adalah ciptaan-Nya. Tanpa Dia, satu bendapun tidak
dapat timbul. Dia menyatakan diri-Nya melalui kekuatan-kekuatan,
kudrat-kudrat dan tanda-tanda-Nya. Kita dapat memperoleh-Nya dengan
perantaraan Dia sendiri. Dia senantiasa menampakkan wujud-Nya kepada
orang yang benar, dan memperlihatkan kudrat-kudrat-Nya kepada mereka.
Dengan perantaraan itulah Dia dapat dikenal, dan dengan perantaraan-Nya
juga jalan yang disukai-Nya dapat diketahui.
Dia melihat tidak dengan mata jasmani dan Dia mendengar tidak
dengan telinga jasmani. Dia berkata-kata tidak dengan lidah jasmani.
Begitu pula mengadakan yang 'tiada' kepada 'ada' adalah pekerjaan-Nya.
Seperti kamu lihat pemandangan dalam mimpi, tanpa suatu bahan
dijadikan-Nya sebuah alam, dan tiap yang fana dan tidak berwujud itu
dapat diwujudkan-Nya. Ringkasnya, begitulah semua kudrat-Nya. Amat
bodohlah orang yang tidak percaya kepada kudrat-Nya, dan butalah orang
yang tidak tahu tentang kekuatan-kekuatan-Nya yang amat dalam itu. Dia
dapat mengerjakan apa saja asal tidak bertentangan dengan kemuliaan-
Nya atau yang berlawanan dengan janji-Nya. Dia Tunggal dalam dzat-
Nya, dalam sifat-Nya, dalam perbuatan-Nya dan dalam kudrat-Nya. Untuk
sampai kepada-Nya semua pintu tertutup, kecuali sebuah pintu yang telah
dibukakan oleh Quran Majid." (Al-Washiyyat, h.14-17)

“Di dalam Alquran Suci terdapat ajaran-ajaran yang berusaha untuk


membuat Allah menjadi tercinta. Di beberapa tempat menampilkan
keindahan dan kemolekan-Nya. Dan di beberapa tempat mengingatkan
kebaikan-kebaikan-Nya. Sebab, kecintaan terhadap seseorang tertanam
dalam kalbu adalah melalui keindahan, dan atau melalui kebaikan.
Demikianlah tertulis bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya
dalam segenap keindahan-Nya. Di dalam-Nya tidak terdapat suatu cacat
apapun. Dia adalah himpunan segenap sifat kamil. Dia adalah manifestasi
seluruh kekuatan suci. Dia adalah sumber seluruh makhluk. Dia adalah
mata air seluruh karunia. Dia adalah pemilik segala ganjaran dan
hukuman. Dia adalah tempat bertumpu segenap perkara. Dia dekat,
walaupun jauh. Dan dia jauh, walaupun dekat. Dia paling tinggi, tetapi
tidak dapat dikatakan bahwa di bawah-Nya ada sesuatu yang lain. Dia
35

paling terselubung dari segenap benda, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa
ada sesuatu yang lebih nyata dari-Nya. Dia hidup pada Dzat-Nya, dan
bersama-Nya hidup setiap benda. Dia berdiri tegak pada Dzat-Nya, dan
bersama-Nya segala benda berdiri tegak. Dia menopang setiap benda, dan
tiada suatu bendapun yang menopang-Nya. Tidak ada suatu benda yang
tanpa-Nya telah tercipta sendiri, atau tanpa-Nya dapat hidup sendiri. Dia
menjangkau seluruh benda, tetapi tidak dapat dikatakan bagaimana
batasan-Nya. Dia merupakan nur bagi segala sesuatu di langit dan di bumi.
Dan setiap nur bersinar dari tangan-Nya, serta merupakan refleksi Dzat-
Nya. Dia adalah Rabb seluruh alam. Tidak ada suatu ruh yang tidak
memperoleh pemeliharaan dari-Nya dan timbul sendiri. Tidak ada sesuatu
kekuatan pada suatu ruh, yang bukan berasal dari-Nya dan timbul dengan
sendiri.
Rahmat-rahmat-Nya terdiri dari dua jenis. (1) Pertama, yang sudah
ada sejak awal, tanpa didahului amal perbuatan seseorang pelaku.
Misalnya bumi, langit, matahari, bulan, dan bintang-bintang, air, api,
udara, dan segenap partikel alam ini, yang telah diciptakan untuk
kesejahteraan kita. Begitu pula benda-benda yang kita butuhkan, telah
disediakan untuk kita sebelum kelahiran kita. Dan kesemuanya ini telah
dilakukan ketika kita belum ada. Saat itu tidak pula ada suatu amal
perbuatan kita. Siapa yang dapat mengatakan bahwa, 'Matahari telah
diciptakan karena amal perbuatan saya.' Atau, 'Bumi telah diciptakan
akibat suatu kebaikan saya.' Ringkasnya, inilah rahmat yang telah tampil
sebelum adanya manusia dan amal-amal perbuatannya, yang bukan
merupakan hasil perbuatan seseorang. (2) Kedua adalah, rahmat yang
bergantung pada amal perbuatan. Dan hal ini tidak perlu dirinci lagi.
Demikian pula di dalam Alquran Suci tertera bahwa Dzat Allah
suci dari segala aib, serta terlepas dari segala cacat. Dan Dia menghendaki
supaya manusiapun suci dari aib-aib dengan cara mengikuti ajaran-Nya.
Dan Dia berfirman, ‘Man kaana fii haadzihi a’maa fa hua fil aakhirati
a’maa.’ Yakni, seseorang yang buta di dunia ini dan tidak menyaksikan
Dzat yang tiada bandingan-Nya itu, maka setelah matipun dia akan tetap
buta. Kegelapan tidak akan berpisah darinya. Sebab, untuk menyaksikan
Allah, di dunia ini juga diperoleh indera-indera. Dan seseorang yang tidak
membawa indera-indera tersebut dari dunia ini, di akhiratpun dia tidak
akan dapat menyaksikan Allah. Di dalam ayat ini dengan jelas Allah telah
mengungkapkan, kemajuan apa yang diinginkan-Nya bagi manusia dan
sampai kemana manusia dapat mencapai, setelah mengikuti ajaran-Nya.
Kemudian, di dalam Alquran Suci Dia memaparkan ajaran berikut
ini, yang melaluinya dan dengan cara mengamalkannya, Allah dapat
disaksikan di dunia ini juga. Sebagaimana Dia berfirman: ‘Man kaana
yarjuu liqaa-a rabbihii fal ya’mal ‘amalan shaalihaw wa laa yusyrik bi
‘ibaadati rabbihii ahadaa’ (Al-Kahfi:110). Yakni, seseorang yang ingin
menyaksikan Allah di dunia ini juga -- yang merupakan Tuhan hakiki dan
36

pencipta -- maka hendaknya dia melakukan amal perbuatan baik yang


tidak mengandung keburukan jenis apapun. Yakni, amal perbuatan yang
bukan untuk dipamerkan kepada orang-orang lain, dan tidak menimbulkan
ketakaburan di dalam hati bahwa, ‘Aku begini, dan aku begini.’ Bukan
pula amal perbuatan yang pincang dan tidak sempurna. Di dalamnya tidak
terdapat bau busuk yang bertentangan dengan kecintaan terhadap Dzat
[Allah]. Melainkan, dipenuhi oleh kejujuran dan kesetiaan. Dan orang
itupun hendaknya menghindari segala macam kemusyrikan. Tidak
menjadikan matahari, bulan, bintang-bintang di langit, angin, api, air,
maupun suatu benda bumi lainnya sebagai sesuatu yang disembah. Tidak
memberikan kehormatan sedemikian rupa terhadap sarana-sarana dunia
serta tidak bertumpu kepadanya seolah-olah sarana-sarana itu merupakan
sekutu Allah. Dan tidak pula menganggap kemampuan serta upayanya
sebagai sesuatu yang berarti, sebab itupun merupakan sejenis
kemusyrikan. Melainkan, setelah melakukan segala sesuatu, dia
beranggapan bahwa dia tidak melakukan suatu apapun. Tidak pula dia
berlaku sombong atas ilmunya dan tidak angkuh atas amal perbuatannya.
Melainkan, dia menganggap dirinya sungguh tidak tahu apa-apa dan tidak
melakukan upaya apapun. Dan ruhnya setiap saat menjatuhkan diri di
hadapan singgasana Allah Ta'ala. Melalui doa-doa dia menarik karunia
Allah ke arahnya. Dia bagaikan seseorang yang sangat dahaga, tidak
memiliki tangan serta kaki, sedangkan di hadapannya muncul sebuah mata
air yang sangat jernih dan bening. Jadi, dengan jatuh bangun dia
menyeretkan dirinya sampai ke mata air itu. Dan dia menyentuhkan
bibirnya ke mata air tersebut, serta tidak berhenti sebelum puas.
Kemudian Tuhan kita berfirman di dalam Alquran tentang
keindahan-keindahan-Nya: ‘Qul huwallaahu ahad. Allaahush shamad.
Lam yalid wa lam yuulad. Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad’ (Al-
Ikhlaash: 1-4). Yakni, Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Esa dalam Dzat
maupun sifat-sifat-Nya. Tiada suatu dzat yang azali dan abadi seperti
Dzat-Nya, yakni, kekal dan selamanya. Tidak pula sifat-sifat suatu benda,
menyerupai sifat-sifat-Nya. Ilmu manusia membutuhkan seorang mu’allim
(pengajar), dan terbatas. Namun, ilmu-Nya tidak membutuhkan suatu
mu’allim, dan sama sekali tidak terbatas. Pendengaran manusia
membutuhkan udara, serta terbatas. Namun, pendengaran Allah
bertumpukan pada kekuatan pribadi-Nya, serta tidak terbatas. Penglihatan
manusia membutuhkan matahari atau cahaya lainnya, dan terbatas.
Namun, penglihatan Allah bertumpu pada cahaya pribadi-Nya, serta tidak
terbatas. Demikian pula kemampuan manusia untuk menciptakan sesuatu,
membutuhkan suatu bahan dasar. Kemudian membutuhkan waktu, dan
terbatas. Namun, kemampuan Allah untuk menciptakan, tidak
membutuhkan suatu bahan apapun. Tidak membutuhkan waktu, dan tidak
pula terbatas. Sebab, seluruh sifat-Nya tidak ada tandingan dan
bandinganya. Sebagaimana tidak ada yang menyerupai [Dzat]-Nya, sifat-
37

sifat-Nya juga tidak ada yang menyerupai. Jika di dalam satu sifat terdapat
kelemahan, maka di seluruh sifat-Nya akan timbul kelemahan. Oleh sebab
itu ketauhidan-Nya tidak dapat berdiri tegak selama ada bandingan dan
tandingannya dalam seluruh sifat-Nya, sebagaimana dalam Dzat-Nya.
Selanjutnya makna ayat tersebut di atas adalah, Allah bukanlah
anak seseorang dan tidak pula ada anak-Nya. Sebab, Dia berkecukupan
pada Dzat-Nya. Dia tidak membutuhkan bapak, dan tidak pula anak. Inilah
Tauhid yang telah diajarkan Alquran Suci, yang merupakan landasan
iman.” (Lekcher Lahore, h.9-13)

“Ruh kita dan setiap zarah wujud kita bersujud kepada Allah Yang
Maha Kuasa, Maha Benar, dan Maha Sempurna itu. Melalui tangan-Nya
lah setiap ruh dan setiap zarah makhluk-makhluk beserta segenap
kekuatannya, telah lahir. Karena dengan Wujud-Nya setiap wujud dapat
berdiri. Tidak ada suatu benda pun yang berada di luar pengetahuan-Nya;
di luar jangkauan kekuasaan-Nya, maupun di luar penciptaan-Nya.
Dan ribuan shalawat serta salam dan rahmat serta berkat turun
pada Nabi Suci Muhammad Mushthafa s.a.w., yang melalui perantaraan
beliaulah kita telah menemukan Tuhan yang hidup itu, yang Dia sendiri
berkata-kata membuktikan keberadaan Wujud-Nya. Dia memperlihatkan
Tanda-tanda yang luar biasa, memperlihatkan kepada kita Wajah
berkilauan yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan dan tenaga yang kamil
itu. Jadi, kita telah menemukan Rasul yang memperlihatkan Tuhan itu
kepada kita. Dan kita menemukan Tuhan yang telah menciptakan segala
sesuatu dengan kekuatan-Nya yang kamil. Kekuasaan-Nya mengandung
keagungan hebat, yang tanpa itu benda apapun tidak akan terwujud, dan
yang tanpa pertolongan-Nya tidak ada suatu bendapun dapat bertahan.
Tuhan hakiki kita itu adalah Tuhan yang memiliki berkat-berkat tak
terhingga; memiliki kekuasaan-kekuasaan yang tak terhitung; memiliki
keindahan-keindahan yang tak terhingga; dan Yang Maha Pengasih.
Selain Dia, tidak ada Tuhan lagi.” (Nasim Da’wat, h.3)

"Ketika saya melihat benda-benda langit yang besar ini,


memperhatikan keagungan dan keajaiban-keajaiban-Nya, dan
menyaksikan bahwa segala sesuatunya itu telah tercipta hanya atas
kehendak Ilahi dan isyarah-Nya, maka ruh saya, tanpa terkendali lagi,
bangkit mengatakan, 'Wahai Tuhan kami yang Maha Kuasa! Betapa
agungnya kekuasaan-kekuasaan Engkau. Pekerjaan-pekerjaan-Mu sangat
menakjubkan dan jauh di atas jangkauan akal. Bodohlah orang yang
mengingkari kekuasaan-kekuasaan Engkau. Dan tolollah orang yang
mengajukan kritikan mengenai Engkau, bahwa dari bahan apa pula
Engkau telah menciptakan benda-benda ini?'" (Nasim Da’wat, h.60,
catatan kaki).
38

“Kemudian hendaklah diketahui bahwa Al-Qur’an Suci


menghimbau kita ke arah Tuhan yang, sifat-sifat-Nya telah ia terangkan
sebagai berikut:

{insert arabic: 14}

Yakni, Dia itulah Tuhan Yang Esa, dan tiada sekutu bagi- Nya,
tidak ada yang patut disembah dan ditaati kecuali Dia8. Hal itu dikatakan
karena seandainya Dia bukan sesuatu yang tanpa sekutu, mungkin saja
kekuatan-Nya dapat ditaklukkan oleh kekuatan musuh-Nya. Dalam
keadaan demikian, posisi Ketuhanan akan tetap berada dalam ancaman
bahaya. Dan yang difirmankan bahwa, 'Tidak ada yang patut disembah
kecuali Dia,' artinya adalah, Dia merupakan Tuhan Yang Sempurna
sedemikian rupa yang sifat-sifat, kelebihan-kelebihan serta potensi-
potensi-Nya demikian tinggi dan agung sehingga jika kita ingin memilih
satu Tuhan dari segala wujud yang ada berdasarkan sifat-sifatnya yang
sempurna, atau kita dalam hati membayangkan sifat-sifat tuhan yang
paling indah dan paling tinggi, maka Dia-lah yang paling tinggi, selain-
Nya tidak ada yang dapat lebih tinggi dari Dia. Dia-lah Tuhan yang dalam
penyembahan-Nya menyekutukan sesuatu yang lebih rendah merupakan
suatu keaniayaan. Lebih lanjut Dia berfirman, bahwa Dia ‘Aalimul Ghaib.
Yakni, hanya Dia-lah yang mengetahui tentang diri-Nya sendiri. Tidak ada
satupun yang mampu meliputi batas Dzat-Nya. Kita dapat melihat
matahari, bulan dan tiap makhluk seutuhnya, akan tetapi kita tidak dapat
melihat Tuhan secara utuh. Kemudian firman-Nya bahwa Dia ‘Aalimusy
Syahaadah. Yakni, tak ada suatu bendapun tersembunyi dari pandangan-
pandangan-Nya. Tidaklah layak apabila Dia dikatakan sebagai Tuhan, lalu
Dia tidak memiliki pengetahuan tentang benda-benda. Dia memiliki
penglihatan atas partikel-partikel alam ini, sedangkan manusia tidak
8
Al-Hasyr: 22
39

memilikinya. Dia mengetahui kapan Dia akan menghancurkan tatanan


alam ini dan akan mendatangkan Kiamat. Dan selain-Nya tidak ada yang
mengetahui kapan hal itu akan berlangsung. Jadi, Dia itulah Tuhan Yang
Mengetahui semua waktu tersebut. Kemudian firman-Nya: 'Hua
rahmaanu,' yakni sebelum ada wujud makhluk-makhluk hidup dan usaha-
usaha mereka, semata-mata karena Dia senang, bukan karena suatu
maksud tertentu, dan bukan sebagai balasan bagi suatu perbuatan, Dia
telah menyediakan sarana-sarana kemudahan bagi mereka. Contohnya, Dia
telah menciptakan matahari, bumi, dan segala benda lain sebelum adanya
wujud serta perbuatan-perbuatan kita. Di dalam Kitab Ilahi anugerah
demikian itu dinamakan rahmaaniyyat dan karena pekerjaan-Nya itulah
Allah Ta'ala disebut Rahmaan. Kemudian firman-Nya lagi, 'Ar-rahiim,'
yakni Dia-lah Tuhan yang memberikan ganjaran terbaik bagi amal per-
buatan yang baik, dan Dia tidak menyia-nyiakan upaya gigih seseorang.
Berdasarkan pekerjaan-Nya ini, Dia disebut Rahiim, dan sifat itu disebut
rahiimiyyat9.
Kemudian firman-Nya: 'Maaliki yaumiddiin,' yakni, Dia-lah
Tuhan Yang menyimpan di tangan-Nya balasan bagi segala sesuatu. Dia
tidak memiliki petugas yang kepadanya Dia serahkan pemerintahan langit
dan bumi, sedangkan Dia sendiri tidak campur-tangan duduk tanpa
pekerjaan; hanya si petugas itu sajalah yang memberikan segala ganjaran
maupun hukuman di alam ini atau di Hari Kemudian10.
Kemudian firman-Nya: 'Almalikul-qudduus,' Yakni, Tuhan itu
Dia-lah Raja Yang tiada bernoda dan tiada bercacat11. Adalah jelas bahwa
kerajaan manusia tidak bersih dari aib. Seandainya seluruh penduduk suatu
negeri meninggalkan negeri mereka beramai-ramai dan mengungsi ke
negeri lain, niscaya kerajaan itu tidak akan dapat berdiri. Atau, andaikata
seluruh rakyat dilanda musim kemarau, dari manakah akan diperoleh upeti
bagi raja ? Sekiranya rakyat mulai mempersoalkan apa kelebihan raja dari
mereka, maka kekuasaan apa yang dapat dibuktikan oleh sang raja ? Jadi,
kerajaan Allah Ta'ala tidaklah demikian. Dia dalam sekejap mata dapat
melenyapkan seluruh negeri, dan Dia dapat menciptakan
makhluk-makhluk. Sekiranya Dia bukan Maha Pencipta dan Maha Kuasa,
maka tatanan kerajaan-Nya tidak dapat berjalan kecuali dengan
menggunakan cara-cara kezaliman. Sebab, satu kali Dia memberikan
pengampunan dan keselamatan kepada dunia, maka dari mana Dia akan
mendatangkan dunia yang lain ? Apakah orang-orang yang sudah
mendapat keselamatan itu harus ditangkapi untuk diturunkan lagi ke dunia
dan dengan cara aniaya Dia menarik kembali ampunan serta keselamatan
yang telah dilimpahkan-Nya ? Jika demikian, pasti terdapat cela pada

9
Al-Hasyr: 22
10
Al-Fatihah: 4
11
Al-Hasyr: 23
40

ketuhanan-Nya, dan Diapun tak ubahnya seperti raja-raja dunia


mempunyai noda. Raja-raja membuat undang-undang bagi dunia, lalu
murka pada hal-hal kecil, dan jika untuk kepentingan pribadi mereka tidak
melihat cara lain kecuali berbuat zalim, maka mereka akan mengangap
perbuatan zalim itu halal bagaikan susu ibu. Misalnya, undang-undang
kerajaan mengizinkan agar sebuah perahu bersama penumpang-
penumpangnya dibiarkan tenggelam untuk menyelamatkan sebuah kapal.
Akan tetapi, ketidak-berdayaan seperti itu tidak berlaku pada Tuhan. Jadi,
seandainya Tuhan bukan merupakan Penguasa penuh dan bukan Pencipta
dari sesuatu yang tidak ada, maka Dia akan bertindak seperti raja-raja
lemah yang menggunakan kezaliman untuk menegakkan kekuasaan; atau
berlaku adil tetapi melepaskan Ketuhanan-Nya. Justru Bahtera Tuhan
beserta segala kodrat-Nya melaju dengan anggun di atas keadilan sejati.
Kemudian firman-Nya, 'Assalaam,' yakni Dia-lah Tuhan Yang
terpelihara dari segala aib, musibah dan kesulitan. Justru Dia-lah Pemberi
keselamatan. Maksudnyapun jelas, sebab seandainya Dia sendiri tertimpa
musibah-musibah, dipukuli orang-orang dan rencana-rencana-Nya tidak
berjaya, maka dengan melihat contoh buruk itu bagaimana mungkin
manusia akan merasa tenang hatinya bahwa tuhan yang semacam itulah
yang akan melepaskan mereka dari musibah-musibah ? Berkenaan dengan
sembahan-sembahan palsu, Allah Ta'ala berfirman:

{insert arabic: 15}

Mereka yang kamu anggap sebagai Tuhan, keadaannya adalah


demikian, jika mereka semua bersatu lalu ingin menciptakan seekor lalat,
sampai kapanpun mereka tidak akan dapat ciptakan, walaupun mereka
saling membantu. Bahkan jika lalat itu merampas sesuatu milik mereka,
maka mereka tidak kuasa untuk mengambilnya kembali dari lalat itu.
Orang-orang yang menyembah mereka, akalnya lemah dan yang
disembahpun kekuatannya tidak berdaya. Apakah Tuhan itu demikian ?
Tuhan adalah Dia yang lebih perkasa dari segala yang perkasa dan unggul
atas semuanya; tidak ada yang dapat menangkap-Nya maupun memukul-
Nya. Orang-orang yang jatuh dalam kesalahan-kesalahan serupa itu
tidaklah mengenal nilai Tuhan dan tidak tahu Tuhan itu seharusnya yang
bagaimana12.
Kemudian firman-Nya, 'Almu'min,' bahwa Tuhan adalah Sang
Pemberi Keamanan dan yang menegakkan dalil-dalil tentang
12
Al-Haj: 73, 74
41

kesempurnaan-kesempurnaan dan Tauhid-Nya. Hal ini mengisyaratkan


bahwa orang yang beriman kepada Tuhan sejati tidak akan malu di
hadapan orang banyak, dan tidak pula akan malu di hadapan Tuhan.
Sebab, ia memiliki dalil-dalil yang kuat. Akan tetapi orang yang percaya
kepada tuhan palsu, berada dalam kesulitan besar. Bukannya dia
mengemukakan dalil-dalil, justru dia memasukkan seluruh perkara sia-sia
itu sebagai rahasia supaya jangan sampai ditertawakan, dan dia ingin
menyembunyikan kekeliruan-kekeliruan yang telah terbukti nyata.
Dan kemudian firman-Nya:

{insert arabic: 16}

Dia merupakan pelindung bagi semua dan unggul atas segala


sesuatu serta memperbaiki apa yang rusak, dan Dzat-Nya sangat
berkecukupan (Al-Hasyr: 23). Dan difirmankan:

{insert arabic: 17}

Yakni, Dia adalah Tuhan yang menciptakan tubuh-tubuh dan juga yang
menciptakan ruh-ruh. Dia yang membentuk rupa di dalam rahim. Segala
nama baik yang dapat terlintas di pikiran, semua itu hanyalah bagi-Nya
(Al-Hasyr: 24). Kemudian firman-Nya:

{insert arabic: 18}

Yakni, para penghuni langit menyanjung nama-Nya, demikian pula para


penghuni bumi (Al-Hasyr: 24). Di dalam ayat ini diisyaratkan bahwa di
benda-benda langit ada penghuni dan merekapun terikat dengan
petunjuk-petunjuk Tuhan. Dan kemudian firman-Nya pula:

{insert arabic: 19}

Yakni, Tuhan adalah Maha Kuasa (Al-Baqarah: 20). Ini merupakan


ketenteraman bagi para penyembah, sebab jika Tuhan itu lemah dan tidak
kuasa, maka apalah yang dapat diharapkan dari tuhan seperti itu ? Dan
kemudian firman-Nya:

{insert arabic: 20}


42

Yakni, Dia-lah Tuhan Pemelihara sekalian alam, Maha Pemurah, Maha


Penyayang, serta Dia sendirilah Pemilik Hari Pembalasan. Wewenang itu
tidak diserahkan-Nya kepada siapapun (Al-Fatihah:2-4). Dia mendengar
dan menjawab seruan setiap penyeru-Nya, yakni mengabulkan do’a-do’a
(Al-Baqarah: 186). Kemudian firmannya:

{insert arabic: 21}

Yakni, Dia-lah Yang Hidup selama-lamanya dan Sumber segala kehidupan


serta Tumpuan segala wujud (Ali 'Imran: 2). Hal ini dikatakan karena
seandainya Dia tidak kekal abadi, maka berkenaan dengan hidup-Nya akan
tetap diragukan, jangan-jangan Dia telah mati sebelum kita. Dan kemudian
difirmankan bahwa, Dia-lah Tuhan Yang Esa; bukan anak siapapun, dan
tidak pula ada anak-Nya; tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak ada
yang sejenis dengan-Nya (Al-Ikhlas: 1-4).

(Islami Ushul ki Filasafi, h.158-162)

Betapa nyatanya cahaya Sang Sumber Cahaya ini.


Seluruh alam terbentuk sebagai mata untuk melihat.
Kemarin setelah melihat bulan aku menjadi sangat gelisah.
Sebab, di situ samar-samar tampak tanda Sang Kekasih Jelita.
Di dalam kalbuku terdapat gejolak keindahan itu.
Jangan sebut-sebut sedikitpun kepadaku tentang Turki ataupun Tatar.
Wahai kekasih, dimana-mana tampak manifestasi qudrat-Mu yang
menakjubkan.
Kemana mata memandang, di situ tampak penjelmaan-Mu.
Di sumber matahari tampak gelombang-gelombang-Mu.
Di setiap bintang kelihatan kasih-sayang-Mu.
Engkau sendiri yang telah membangunkan ruh-ruh melalui tangan-Mu.
Dari itu muncul kesemarakan cinta di kalangan pencinta.
Betapa menakjubkan bahwa Engkau telah menanamkan berbagai khasiat
dalam setiap unsur.
Siapa pula yang mampu membaca seluruh rahasia ini.
Qudrat Engkau tidak mempunyai batas.
Dengan apa pula simpul rahasia yang sulit ini dapat dibuka.
Di dalam keindahan-keindahan terdapat cita-rasa keindahan Engkau ini.
Di dalam setiap bunga dan kebun terdapat warna kebun bunga Engkau.
Setiap keindahan, dalam kefanaannya, senantiasa memperlihatkan
Engkau.
Setiap rambut halus yang mengeriting, mengarah kepada Engkau.
Orang-orang yang buta mata, ratusan tabir telah menghalangi mereka.
43

Jika tidak, qiblat orang kafir maupun orang beragama adalah ke arah
Engkau.
Sorotan-sorotan pandangan kecintaan Engkau bagaikan pedang kecintaan
yang sangat tajam.
Yang memotong jantung kehidupan segenap lawan.
Untuk menemukan-Mu, kami telah menyatu dengan debu.
Supaya terobati sedikit rasa perih keterpisahan ini.
Satu detikpun saya tidak punya apa-apa selain Engkau.
Jiwa semakin mengecut seperti mengecutnya hati orang yang sakit.
Cepatlah bawa kabar bagaimana semaraknya di tempat Engkau.
Jangan sampai meleleh darah dari luka seseorang yang tergila-gila.

(Surmah Chasyam Aryah, p. 4)

---------ooo0ooo--------
44

KEMULIAAN & KEAGUNGAN


QURAN AZHIM
PADA PANDANGAN
PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH

Kemuliaan & Keagungan Quran Azhim Pada


Pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah
“Kata Khaataman Nabiyyiin yang telah digunakan terhadap
Rasulullah s.a.w., kata itu sendiri menghendaki, dan secara substansial di
dalamnya telah ditanamkan [isyarah] bahwa Kitab yang telah turun kepada
Rasulullah s.a.w. juga merupakan Khaatamul Kutub dan semua potensi
terdapat di dalamnya. Dan potensi-potensi itu secara hakikat memang
terdapat di dalam Kitab itu. Sebab, kaidah dan prinsip turunnya Kalaam
Ilahi adalah, seberapa besar quwwat qudsi (potensi kesucian) dan kamaal
baathini (potensi batin) yang dimiliki oleh orang yang kepadanya turun
45

Kalaam Ilahi, maka sebesar itu pula kekuatan dan kehebatan Kalaam itu.
Dikarenakan quwwat qudsi dan kamaal baathini Rasulullah s.a.w.
menempati derajat paling tinggi yang belum pernah ada sebelumnya dan
tidak akan pernah dicapai oleh manusia di masa mendatang, oleh sebab itu
Quran Syarif juga menduduki tempat dan derajat paling tinggi
dibandingkan segenap kitab sebelumnya dan shahifah-shahifah terdahulu,
yaitu derajat yang tidak pernah dicapai oleh kalaam lainnya. Sebab,
kemampuan-kemampuan dan quwwat qudsi Rasulullah s.a.w. adalah yang
paling tinggi. Dan segenap posisi kemampuan/potensi telah berakhir pada
beliau s.a.w.. Dan beliau s.a.w. telah mencapai titik paling puncak. Pada
posisi itu, Quran Syarif yang turun kepada beliau s.a.w., telah mencapai
titik kesempurnaan. Dan sebagaimana potensi-potensi kenabian telah
berakhir pada beliau s.a.w., demikian pula potensi-potensi mukjizat
Kalaam telah berakhir pada Quran Syarif. Beliau s.a.w. dinyatakan
sebagai Khaataman Nabiyyiin, sedangkan Kitab beliau s.a.w. dinyatakan
sebagai Khaatamul Khutub. Sejauh derajat-derajat dan faktor-faktor yang
paling mungkin bagi mukjizat Kalaam, berdasarkan kesemua itu Kitab
beliau s.a.w. telah mencapai titik puncak penghabisan. Yakni, dari segi
fashaahat dan balaaghat. Dari segi urutan kandungan. Dari segi potensi-
potensi ajaran. Dari segi hasil-hasil ajaran. Ringkasnya, dari aspek
manapun kalian melihat akan tampak dari aspek itu kehebatan Quran
Syarif serta terbukti kemukjizatannya. Itulah sebabnya Quran Syarif tidak
meminta contoh terhadap suatu perkara khusus tertentu saja, melainkan
contoh itu diminta terbuka secara umum. Yakni, dari aspek manapun yang
kalian inginkan, tandingilah [Alquran]. Tidak peduli adakah itu dari segi
fashaahat dan balaaghat, dari segi makna dan kandungan, dari segi ajaran,
dari segi nubuatan-nubuatan dan aspek ghaib yang terdapat di dalam
Quran Syarif. Ringkasnya, dalam corak apapun kalian mencermatinya,
yang ada ialah mukjizat.” (Malfuzhat, jld. 3, h. 36, 37).

“Quran Syarif adalah suatu mukjizat yang contoh sepertinya


belum pernah ada di masa awal maupun di masa akhir. Pintu karunia dan
berkat-berkatnya senantiasa terbuka. Dan Quran itu di setiap zaman tetap
zahir serta bercahaya seperti ketika di masa Rasulullah s.a.w.. Selain itu
hal inipun hendaknya diingat, bahwa kalaam (ucapan) setiap orang
bersesuaian dengan ketangguhannya. Seberapa besar ketangguhan tekad,
dan cita-citanya yang tinggi, sedemikian pula keadaan kalamnya. Jadi,
demikian jugalah warna yang terdapat dalam wahyu Ilahi. Yakni,
seseorang yang memperoleh wahyu dari Ilahi, seberapa tinggi
ketangguhan yang dimiliki orang itu, sesuai itulah dia akan memperoleh
kalam. Dikarenakan lingkup ketangguhan, kemampuan-kemampuan dan
tekad Rasulullah s.a.w. sangat luas, oleh sebab itu Kalam yang telah beliau
peroleh, merupakan kalam yang memiliki ukuran dan derajat sedemikian
46

rupa yang mana tidak akan pernah lahir seseorang dengan ketangguhan
dan semangat seperti itu. Sebab, penda’waan beliau s.a.w. tidak
diperuntukkan bagi suatu zaman tertentu atau bagi suatu kaum tertentu
saja, seperti halnya nabi-nabi sebelum beliau. Melainkan, bagi beliau
s.a.w. telah difirmankan:

(insert arabic: 22)

[Artinya: Katakanlah…. Sesungguhnya aku Rasul kepada kamu


sekalian13].

(Insert arabic: 23)

[Artinya : Dan tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat


bagi seluruh alam14].
Seseorang dengan lingkup pengutusan dan risalah yang begitu
luas, siapa yang dapat menandinginya. Pada waktu sekarang ini, jika
seseorang memperoleh ilham berupa suatu ayat Quran Syarif, maka saya
yakin bahwa ilhamnya itu tidak memiliki lingkup seluas yang diperoleh
Rasulullah s.a.w., pada masa dahulu maupun sekarang.” (Malfuzhat, jld.
3., h. 57)

“Ini merupakan pengalaman ratusan ribu orang suci, bahwa


dengan mengikuti Quran Syarif maka berkat-berkat Ilahi akan turun ke
dalam kalbu, dan akan terjadi suatu keterpaduan yang menakjubkan
dengan Allah Ta’ala. Dan cahaya-cahaya serta ilham Allah Ta’ala turun
ke dalam kalbu-kalbu mereka. Dan makrifat-makrifat serta kebijakan
mengalir dari mulut mereka. Kepada mereka dianugerahkan suatu
kekuatan tawakal. Dan kepada mereka diberikan keyakinan yang kokoh.
Dan suatu kecintaan Ilahi yang lezat – yang dipenuhi oleh nikmat
perjumpaan dengan-Nya – ditanamkan ke dalam kalbu-kalbu mereka. Jika
wujud-wujud mereka digiling di dalam gilingan bala musibah dan diperas
di dalam mesin peras yang kuat, maka sari pati yang keluar dari mereka
tidak lain hanyalah kecintaan terhadap Ilahi. Dunia tidak mengenali
mereka, dan mereka sangat jauh serta sangat tinggi dari dunia. Perlakuan-
perlakuan Allah terhadap mereka sangat luar biasa. Bagi mereka telah
terbukti bahwa Allah itu ada. Dan kepada merekalah telah dibukakan
bahwa Dia adalah Esa. Ketika mereka berdoa, Dia mendengarkan mereka.
Ketika mereka menyeru-Nya, Dia menjawab. Ketika mereka memohon
perlindungan, maka Dia berlari ke arah mereka. Dia menyayangi mereka
melebihi [kasih-sayang] para orangtua. Dia mencurahkan hujan berkat
kepada mereka di segala arah. Jadi, mereka dikenali melalui dukungan-

13
Al-A’raf: 158
14
Al-Anbiya: 107
47

dukungan-Nya yang berlangsung secara zahir dan batin, serta secara


rohani maupun jasmani. Dan Dia menolong mereka di setiap arena. Sebab,
mereka adalah milik-Nya, dan Dia adalah milik mereka. Hal-hal ini
bukanlah sesuatu yang tanpa bukti.” (Surmah Chasyam Aryah, h. 24 – 31,
catatan kaki).

“Jalan paling lurus dan sarana paling besar yang dipenuhi cahaya-
cahaya keyakinan dan berkesinambungan, dan yang merupakan penuntun
sempurna bagi kebaikan rohani kita serta bagi kemajuan ilmu kita, adalah
Quran Karim. Yaitu yang telah datang untuk menyelesaikan seluruh
perselisihan agama yang ada di dunia ini. Dan yang setiap ayat serta kata-
katanya mengandung bentuk kesinambungan dari ribuan aspek. Dan yang
dipenuhi oleh air kehidupan kita. Dan yang di dalamnya secara
terselubung terkandung banyak sekali permata yang langka dan tak ternilai
harganya, serta yang setiap hari terus saja bermunculan. Inilah timbangan
terbaik yang melaluinya kita dapat membedakan antara kebenaran dan
kekeliruan. Inilah lampu bercahaya yang secara tepat memperlihatkan
jalan-jalan kebenaran. Tidak diragukan lagi, orang-orang yang terkait
dengan jalan lurus/benar, dan memiliki semacam hubungan dengannya,
maka kalbu mereka terus ditarik ke arah Quran Syarif. Dan Allah Maha
Pengasih telah membuat kalbu mereka sedemikian rupa sehingga mereka
bagaikan orang-orang yang dimabuk cinta tunduk ke arah kekasih mereka
ini. Dan tanpa-Nya, mereka di manapun tidak akan tenteram. Suatu hal
jelas dan nyata yang mereka dengar darinya, lalu mereka tidak mau
mendengar dari pihak lain. Setiap kebenarannya dengan senang hati dan
dengan berlari mereka terima. Dan akhirnya [Alquran] itulah yang
mengakibatkan bercahaya dan cemerlangnya pikiran, serta menjadi sarana
yang menimbulkan penguakan-penguakan yang sangat menakjubkan. Dan
setiap orang diantarkannya ke puncak kemajuan, sesuai kemampuan
masing-masing. Orang-orang yang benar selalu butuh untuk berjalan di
bawah cahaya Quran Karim. Dan kapan saja kondisi baru suatu zaman
telah membuat Islam berhadapan dengan agama lain, maka Quran Karim
jugalah yang tampil sebagai senjata tajam dan ampuh serta langsung
membantu. Demikian pula, bila saja pemikiran-pemikiran filosofis yang
bertentangan menyebar, maka Quran Karim jugalah yang akhirnya
mencabut tumbuhan buruk itu dan membuktikan kehinaan serta
kenistaannya, lalu menjelaskan kepada para pemerhati bahwa inilah
[Alquran] falsafah yang benar, sedangkan yang itu tidak. Pada zaman
sekarang inipun ketika para misionaris Kristen bangkit dan menarik orang-
orang yang tidak memiliki pemahaman baik serta yang bodoh, untuk
menjauhi Tauhid, lalu ingin menjadikan mereka sebagai penyembah
seorang manusia lemah, dan membaluti cara-cara penipuan mereka dengan
cara-cara menarik, dan mereka telah menggelar sebuah topan di negeri
Hindustan ini, akhirnya Quran Karim jugalah yang telah memukul mundur
48

mereka. Sehingga, sekarang orang-orang itu tidak berani menemui orang


yang memiliki informasi tentang mereka. Dan mereka mengenyampingkan
dalih-dalih mereka yang bertele-tele itu seperti sehelai kertas yang dilipat-
lipat.” (Izalah Auham, h. 281, 282)

“Adalah penting bagi manusia supaya suci dari dorongan-


dorongan fatal dosa, dan supaya keagungan Allah tertanam di dalam
kalbunya sedemikian rupa sehingga keinginan nafsu syahwat yang
membuat tak berdaya, yang menerpanya bagai halilintar dan dalam
seketika membakar hangus modal ketakwaannya, menjadi jauh. Namun,
apakah dorongan-dorongan kotor yang berkali-kali menyerang bagai
penyakit sawan itu dan yang menghilangkan kesadaran akan ketakwaan itu
dapat hapus begitu saja melalui bayangan tentang Parmesyar (Tuhan) yang
diupayakan sendiri? Atau, dapat dilenyapkan melalui pemikiran-pemikiran
yang dirancang sendiri ? Atau, dapat dihentikan melalui suatu penebusan
dosa yang penderitaannyapun tidak menyentuh jiwa manusia ? Sama-
sekali tidak ! Ini bukanlah perkara biasa. Justru, menurut orang berakal,
inilah perkara yang paling patut diperhatikan dari seluruh perkara yang
ada. Yakni, kehancuran yang bakal muncul akibat [perbuatan] tak bermalu
dan pemutusan hubungan [dengan Tuhan] ini, yang bersumber pada dosa
dan maksiat, bagaimana cara untuk menghindarkan diri darinya ? Ini sudah
jelas, bahwa manusia tidak dapat meninggalkan kelezatan yang diyakini
pasti, hanya dengan mengandalkan pemikiran-pemikiran yang
dibayangkan saja. Ya, sesuatu yang diyakini dapat ditinggalkan dengan
menggunakan hal lain yang juga diyakini. Misalnya, ada suatu keyakinan
mengenai sebuah belantara, bahwa di sana kita dapat dengan mudah
menangkap beberapa ekor rusa. Dan atas dorongan keyakinan itu kita siap
untuk mengambil langkah. Namun, ketika timbul keyakinan lain, bahwa di
sana juga terdapat limapuluh ekor singa ganas dan ribuan ular mematikan
yang siap dengan mulut menganga, maka kitapun akan menarik kembali
niat itu. Demikian pulalah, tanpa keyakinan setingkat itu maka dosapun
tidak dapat dijauhkan. Besi hanya dapat dipatahkan oleh besi. Yang
dibutuhkan adalah keyakinan akan keagungan dan kehebatan Tuhan yang
dapat memporak-porandakan tabir-tabir kelalaian, serta yang dapat
membuat badan jadi gemetar, dan yang menampakkan maut itu mendekat,
serta yang menanamkan rasa takut di dalam kalbu sedemikian rupa
sehingga segenap tumbuhan nafs amarah menjadi patah. Dan melalui
sebuah tangan ghaib, manusia semakin ditarik ke arah Tuhan. Dan
kalbunya jadi dipenuhi keyakinan bahwa pada hakikatnya Tuhan itu ada,
yang tidak akan membiarkan pelaku dosa yang tak bermalu itu begitu saja
tanpa hukuman. Jadi, apalah yang dapat dilakukan oleh pencari suatu
kesucian hakiki terhadap suatu kitab yang melaluinya kebutuhan itu tidak
dapat dipenuhi.
49

Oleh karena itu saya menzahirkan hal ini kepada setiap orang
bahwa kitab yang memenuhi semua kebutuhan tersebut adalah Quran
Syarif. Melaluinya pada diri manusia timbul suatu daya yang menarik
manusia ke arah Tuhan, dan kecintaan terhadap dunia menjadi sirna. Dan
Tuhan yang sangat terselubung itu, dengan mengikuti [kitab] tersebut
maka akhirnya Dia memperlihatkan Wujud-Nya sendiri. Dan Sang
Mahakuasa yang qudrat-qudrat-Nya tidak diketahui oleh umat-umat lain,
Tuhan memperlihatkan sendiri kepada manusia yang mengikuti Alquran.
Dan Dia membawa manusia itu mengelilingi alam kekuasaan-Nya. Dan
melalui suara 'Anal maujud' ('Aku ada'), Dia mengabarkan kepada manusia
itu tentang Wujud-Nya. Namun, kemampuan seperti itu tidak didapati
dalam Weda. Sama-sekali tidak! Weda adalah bagai sebundel kertas yang
tidak diketahui siapa pemiliknya. Parmesyar (Tuhan) yang ke arahnya
Weda mengimbau [manusia], tidaklah terbukti bahwa parmesyar itu hidup.
Bahkan Weda tidak menegakkan suatu dalil bahwa parmesyar-nya
memang benar ada. Dan ajaran Weda yang menyesatkan itu telah
mengacaukan hal ini, yakni bahwa melalui karya-karya cipta akan dapat
diketahui siapa penciptanya. Sebab, berdasarkan ajaran Weda, ruh-ruh dan
parmanu yakni partikel-partikel, kesemuanya adalah qadim15 dan bukan
makhluk (hasil ciptaan), bagaimana mungkin dapat diketahui siapa
penciptanya. Demikian pula Weda menutup pintu Kalaam Ilahi, dan
mengingkari tanda-tanda yang baru dari Tuhan. Dan menurut Weda,
Parmesyar tidak mampu menzahirkan suatu tanda untuk mendukung
hamba-hamba-Nya yang khusus, yaitu suatu tanda yang lebih tinggi dari
pengetahuan dan pengalaman manusia-manusia biasa. Jadi, kalaupun
diambil sikap yang sangat berprasangka baik terhadap Weda, maka dapat
sekedar dikatakan bahwa Weda menyatakan tentang keberadaan Wujud
Tuhan seperti [yang dapat dinyatakan oleh] manusia-manusia dengan
kemampuan pemahaman yang biasa-biasa saja, dan Weda tidak
memaparkan suatu dalil yang meyakinkan tentang Wujud Tuhan.
Ringkasnya, Weda tidak mampu menganugerahkan makrifat yang datang
dalam bentuk segar/baru dari Tuhan dan yang mengangkat manusia dari
bumi lalu mengantarkannya sampai ke Langit. Namun, kesaksian dan
pengalaman kami, serta kesaksian dan pengalaman segenap orang yang
telah berlalu sebelum kami, merupakan saksi bahwa Quran Syarif melalui
khasiat rohaninya dan melalui cahaya substansinya, menarik pengikutnya
yang sejati ke arah-Nya. Dan Quran Syarif menyinari kalbunya, kemudian
memperlihatkan Tanda-tanda besar, lalu menganugerahkan kepada
pengikutnya itu hubungan-hubungan kokoh sedemikian rupa dengan
Tuhan sehingga tidak dapat diputuskan oleh pedang yang ingin
mencincang-cincangnya. Tuhan membukakan mata kalbu, dan menutup
mata-air kotor dosa. Dan Dia menganugerahkan mukaalamah
mukhaathabah (percakapan) yang nikmat dengan-Nya. Dia
15
Sudah ada dengan sendirinya sejak semula -peny.
50

menganugerahkan ilmu-ilmu ghaib. Dan atas terkabulnya suatu doa, Dia


memberitahukan hal itu melalui Kalam-Nya. Dan setiap orang yang
melawan orang tersebut, yakni orang yang merupakan pengikut sejati
Quran Syarif, maka melalui Tanda-tanda-Nya yang sangat mengerikan,
Tuhan menzahirkan bahwa Dia menyertai hamba-Nya itu, yang mengikuti
Kalam-Nya.” (Chasymah Ma’rifat, h. 291– 295).

“Yakni, anugerah-anugerah yang diraih para pengikut Alquran


Suci dan pemberian-pemberian istimewa yang mereka peroleh, walaupun
semua itu tidak dapat diuraikan dan diungkapkan, tetapi di antaranya
terdapat beberapa anugerah agung yang tepat untuk dituliskan di sini
secara rinci sebagai contoh bagi para pencari kebenaran. Hal-hal yang
dimaksud dituliskan di bawah ini.
Dari sekian ilmu dan makrifat-makrifat yang diraih para pengikut
sempurna dari hidangan nikmat Al-Furqan adalah sebagai berikut. Tatkala
manusia mengikuti Furqan Majid secara benar dan menyerahkan jiwanya
secara total kepada perintah dan larangan Alquran, dan memperhatikan
petunjuk-petunjuknya dengan kecintaan dan ketulusan yang sempurna,
dan tidak tersisa lagi suatu kecaman secara zahir maupun secara makna,
barulah pandangan dan pemikiran manusia itu dianugerahi suatu nur dari
Sang Pemberi Anugerah Mutlak. Dan kepadanya dianugerahkan suatu
akal yang halus/mendalam, yang membuat kedalaman-kedalaman luar
biasa dan langka, serta rahasia-rahasia ilmu Ilahi yang tersembunyi di
dalam Kalam Ilahi menjadi terbuka baginya. Dan makrifat-makfirat halus
bercurahan di atas kalbunya bagai awan tebal mengandung hujan. Itulah
makrifat-makrifat halus yang dalam Furqan Majid telah dinamakan
hikmah, sebagaimana difirmankan:

{insert arabic: 24}

Yakni, Allah menganugerahkan hikmah/kebijaksanaan kepada siapa saja


yang Dia kehendaki. Yaitu hikmah yang mencakup kebaikan berlimpah-
ruah. Dan barangsiapa memperoleh hikmah, berarti dia telah mendapatkan
berlimpah-limpah kebaikan. (Al-Baqarah:269).
Jadi, ilmu-ilmu dan makrifat-makrifat yang dalam kata lain
dinamakan hikmah, dikarenakan mencakup kebaikan berlimpah-ruah,
tampil dalam corak samudra yang diberikan kepada para pengikut Kalaam
Ilahi. Dan di dalam pemikiran serta pandangan mereka ditanamkan suatu
berkat sedemikian rupa dalam bentuk hakikat-hakikat kebenaran yang
terus-menerus membekas di dalam cermin sifat jiwa mereka, dan
shadaqat-shadaqat yang kamil senantiasa terbuka pada mereka. Dukungan-
dukungan Ilahi menyediakan sarana-sarana sedemikian rupa bagi mereka
51

ketika melakukan setiap penelitian dan penelaahan sehingga uraian


mereka tidak lagi lemah dan timpang serta tidak keliru sedikit pun.
Jadi, apa saja ilmu-ilmu, makrifat-makrifat, kedalaman-kedalaman,
hakikat-hakikat, kehalusan-kehalusan, rahasia-rahasia, dalil-dalil, dan
argumentasi-argumentasi yang mereka raih, secara kuantitas dan kualitas
berada pada derajat kesempurnaan sedemikian rupa yang luar biasa, yang
tidak mungkin disamai serta ditandingi orang-orang lain. Sebab, mereka
tidak dengan sendirinya, melainkan pengajaran dari Sang Ghaib dan
dukungan dari Sang Shamad (Yang Tidak Bergantung Pada Apapun dan
segala sesuatu bergantung pada-Nya) menuntun mereka dari depan. Dan
melalui kekuatan pengajaran itulah terbuka pada mereka rahasia-rahasia
serta cahaya-cahaya Alquran, yang tidak dapat terbuka dengan hanya
mengandalkan jangkauan jauh akal saja. Ilmu-ilmu dan makrifat-makrifat
yang dianugerahkan kepada mereka, yang melaluinya atas mereka jadi
terbuka hal-hal mendalam dan halus serta hakikat-hakikat yang sangat
dalam mengenai Dzat dan sifat-sifat Ilahi serta tentang alam akhirat.
Ini adalah keajaiban-keajaiban rohaniah yang dalam pandangan
orang-orang berpikiran matang jauh lebih tinggi dan lebih mulia dari
keajaiban-keajaiban jasmaniah. Bahkan dengan menyimaknya akan
diketahui bahwa nilai dan kedudukan orang-orang yang memperoleh
makrifat Ilahi (‘aarif billaah) serta yang dekat dengan Allah, pada
pandangan orang-orang bijak justru diketahui melalui keajaiban-keajaiban
tersebut. Itulah keajaiban-keajaiban yang merupakan ornamen dan hiasan
bagi kedudukan tinggi mereka, serta yang merupakan keanggunan dan
kecantikan wajah kemampuan mereka. Sebab, sudah termasuk dalam fitrat
manusia bahwa kehebatan ilmu-ilmu serta makrifat-makrifat-
hakiki/kebenaranlah yang paling banyak memberikan pengaruh kepada
manusia. Dan kebenaran serta makrifatlah yang lebih manusia sukai
dibandingkan setiap benda lainnya. Dan seandainya ada seorang zaahid
(yang menjauhi dunia) serta ‘aabid (yang melakukan penghambaan), yang
menyaksikan kasyaf-kasyaf serta mengetahui kabar-kabar ghaib dan
menerapkan upaya-upaya gigih, dan dia juga menampilkan berbagai jenis
keajaiban lainnya, namun dia sangat tidak tahu tentang ilmu Ilahi –
sampai-sampai dia tidak mampu membedakan antara kebenaran dan
kebatilan, bahkan dia terkurung dalam pemikiran-pemikiran yang tidak
benar serta tenggelam dalam akidah-akidah keliru, mentah dalam setiap
perkara, dan melakukan kesalahan nyata dalam setiap pendapat – maka
manusia semacam itu pada pandangan orang-orang berfitrat baik akan
dianggap sangat rendah dan hina. Sebabnya adalah, bagi seorang bijak jika
mencium bau busuk kejahalatan/ketidaktahuan dari diri orang tertentu, dan
dari mulut orang itu dia mendengar suatu kata yang bodoh, maka
langsung kalbu orang bijak tersebut tidak suka kepadanya. Lalu orang itu
pada pandangan manusia berakal, dalam bentuk apapun tidak dapat
52

dianggap layak dihormati. Dan betapapun dia merupakan zaahid serta


‘aabid, tetap saja dianggap hina.
Jadi, dari kebiasaan fitrati manusia ini jelas bahwa keajaiban-
keajaiban rohaniah – yakni ilmu-ilmu dan makrifat-makrifat – pada
pandangan manusia, merupakan syarat mutlak bagi seorang ahliullah
(yang memperoleh kedekatan dengan Allah) serta merupakan tanda-tanda
istimewa dan penting untuk mengenali orang-orang yang memiliki
kedudukan tinggi dalam bidang diniah/rohaniah.
Demikianlah, tanda-tanda ini secara sempurna dan lengkap
dianugerahkan kepada para pengikut sempurna Alquran Suci. Dan walau
pun ke-ummi-an lebih mendominasi karakter kebanyakan mereka, dan
mereka tidak menguasai ilmu-ilmu umum lainnya, tetapi dalam hal
rahasia-rahasia dan kedalaman-kedalaman ilmu Ilahi mereka jauh lebih
maju sedemikian rupa dari orang-orang yang sezaman dengan mereka
sehingga kadang-kadang para musuh besarpun setelah mendengar ucapan-
ucapan mereka, atau setelah membaca tulisan-tulisan mereka dan setelah
tenggelam dalam lautan keheranan, tanpa dapat dibendung lagi para
musuh itu langsung berdiri mengatakan bahwa ilmu-ilmu dan makrifat-
makrifat orang-orang tersebut berasal dari alam lain, yang dipenuhi oleh
warna khusus dukungan-dukungan Ilahi.
Dan satu lagi buktinya adalah, jika ada pengingkar sebagai lawan
dalam suatu perdebatan mengenai Allah ingin menandingi ucapan-ucapan
mereka yang penuh kebenaran dan kearifan, maka pada akhirnya si
pengingkar itu – dengan syarat dia bersikap adil dan jujur – akan terpaksa
mengakui bahwa kebenaran hakiki terdapat di dalam ucapan yang keluar
dari mulut mereka. Dan semakin dalam perdebatan/pembahasan itu
berjalan semakin banyak pula dalil halus dan mendalam akan terus
bermunculan sedemikian rupa yang kebenarannya akan terus terbuka
begitu gamblangnya bagai matahari. Demikianlah bahwa saya sendiri
bertanggung-jawab untuk menampakkan buktinya bagi setiap pencari
kebenaran.
Dari sekian banyak terdapat satu lagi kemuliaan yang dinamakan
perlindungan Ilahi. Dan kemuliaan inipun secara mukjizat dianugerahkan
kepada para pengikut sejati Furqan Majid. Dan di sini yang saya
maksudkan dengan kemuliaan adalah, mereka terpelihara dari adat
kebiasaan dan pemikiran-pemikiran serta moral-moral maupun perbuatan-
perbuatan yang tidak patut serta buruk, yang mana orang-orang lain siang
malam bergelimang dan tenggelam di dalamnya. Dan kalaupun terjadi
juga ketergelinciran, maka rahmat Ilahi secepatnya akan menanggulangi-
nya.
Hal ini jelas bahwa kemuliaan ini sangat renik/halus dan sangat
jauh dari dorongan-dorongan nafs amarah, yang tidak mungkin dapat
diperoleh tanpa perhatian khusus dari Allah. Misalnya, jika dikatakan
bahwa seseorang secara tegas hanya berhenti dari sebuah kebiasaan
53

berdusta dan bohong dalam segenap urusannya, uraian-uraiannya, kata-


katanya dan usaha-usahanya, maka hal itu akan menjadi sulit serta
menjadi penghalang baginya. Bahkan kalaupun dia berusaha dan berupaya
gigih untuk melakukan pekerjaan itu, maka baginya akan tampil
hambatan-hambatan serta kendala-kendala sedemikian rupa sehingga
akhirnya yang menjadi pegangan bagi dirinya adalah: menghindarkan diri
dari dusta dan bohong dalam urusan-urusan duniawi tidaklah mungkin.
Namun, orang-orang yang berupaya gigih ini, yang berkemauan untuk
berjalan di atas petunjuk-petunjuk Furqan Majid dengan kecintaan hakiki
serta dengan keinginan-keinginan yang penuh gejolak, tidak hal itu saja
yang dipermudah, yakni terhindar dari kebiasaan buruk berdusta,
melainkan mereka memperoleh karunia dari Sang Mahakusa Mutlak untuk
meninggalkan setiap hal yang tidak patut dikerjakan maupun yang tidak
patut diucapkan. Dan Allah Ta'ala dengan rahmat-Nya yang sempurna
melindungi mereka dari kejadian-kejadian buruk yang dapat
mencelakakan mereka. Sebab, mereka merupakan cahaya bagi dunia. Di
dalam keselamatan mereka terdapat keselamatan dunia. Dalam kehancuran
mereka terletak kehancuran dunia. Dari segi inilah mereka dalam setiap
pemikiran, pengetahuan, pemahaman, kemarahan, dorongan syahwat, rasa
takut, keinginan, dalam kesempitan dan kelapangan, dalam kegembiraan
dan kesedihan, dalam kesulitan dan kemudahan, mereka dihindarkan dari
segenap hal yang tidak layak, dari pemikiran-pemikiran buruk,
pengetahuan-pengetahuan yang tidak benar, ilmu-ilmu yang batil,
pemahaman-pemahaman yang tak berguna, serta dari setiap sisi ekstrim
nafsu. Mereka tidak menetap pada suatu hal buruk manapun. Sebab, Allah
Yang Maha Pengasih itu sendiri yang mencukupi tarbiyyat mereka, dan
dahan apa saja pada pohon suci mereka yang Dia lihat kering, langsung
Dia kerat dengan tangan-Nya yang penuh pemeliharaan. Dukungan Ilahi
selalu dan setiap saat menaungi mereka. Dan anugerah
perlindungan/pemeliharaan yang dianugerahkan kepada mereka ini,
bukanlah tanpa bukti. Melainkan, manusia bijak dapat mengetahuinya
secara penuh melalui kebersamaan dengannya dalam kadar tertentu.
Dari sekian yang ada, terdapat satu kedudukan, yakni tawakal. Di
atasnyalah mereka ditegakkan dengan sangat kokoh. Sedangkan orang-
orang lain sama-sekali tidak dapat memperoleh mata-air bening ini.
Melainkan, hanya untuk merekalah mata air tersebut dibuat nikmat dan
serasi. Dan cahaya makrifat sedemikian rupa digenggamkan kepada
mereka sehingga kadang-kadang dalam kondisi tidak memiliki apa-apa
sekalipun dan betul-betul jauh dari sarana-sarana yang lumrah, mereka
tetap saja menjalani hidup dengan begitu bahagia dan lapang dada serta
menjalani hari-hari mereka dengan kegembiraan demikian rupa seolah-
olah mereka memiliki ribuan khazanah harta. Di wajah mereka tampak
kesemarakan hartawan, yang memperlihatkan kemantapan sebagai orang
yang kaya raya. Dan dalam kondisi-kondisi sulit, mereka bertumpu pada
54

Sang Majikan Maha Pengasih mereka dengan lapang hati dan keyakinan
penuh. Sikap mereka yang rela berkorban [untuk orang lain] merupakan
suatu mata air. Dan pengkhidmatan terhadap umat manusia merupakan
kebiasaan mereka. Dan penyusutan tidak pernah terjadi pada kondisi
mereka kalaupun seluruh alam merupakan keluarga mereka.
Dan pada hakikatnya sifat sattaari Allah Ta'ala wajib untuk
disyukuri, yaitu sifat yang dimana-mana menyelubungi [kekurangan-
kekurangan] mereka. Dan sebelumnya, suatu musibah yang turun di luar
kemampuan, mereka pandang sebagai anugerah. Sebab, Allah-lah yang
melindungi/mencukupi bagi mereka dalam segenap pekerjaan mereka.
Sebagaimana Dia sendiri telah berfirman:

{insert arabic: 25}

[Artinya: Dan Dia melindungi orang-orang saleh16]. Namun, orang-orang


lain ditinggalkan dalam sarana-sarana keduniawian yang menyakitkan
hati. Dan perilaku luar biasa yang ditampilkan khusus pada orang-orang
tersebut tadi tidak ditampilkan pada orang-orang lain. Dan keistimewaan
mereka inipun sangat cepat dapat terbukti melalui kebersamaan dengan
mereka.
Dari sekian yang ada, terdapat sebuah kedudukan, yakni kecintaan
terhadap Dzat [Ilahi] yang di atasnyalah ditegakkan para pengikut
sempurna Alquran Suci. Dan di dalam segenap urat nadi mereka kecintaan
terhadap Allah sedemikian rupa memberikan pengaruh sehingga menjadi
hakikat wujud mereka, bahkan menjadi jiwa bagi jiwa mereka. Dan suatu
kecintaan yang luar biasa terhadap Sang Kekasih Hakiki bergelora dalam
kalbu-kalbu mereka. Dan suatu kesenangan serta kesukaan yang luar biasa
[terhadap-Nya] memenuhi kalbu-kalbu suci mereka, yang membuat
mereka sepenuhnya terlepas dan terputus dari unsur-unsur selain Allah.
Dan api kecintaan Ilahi berkobar sedemikian rupa sehingga pada waktu-
waktu tertentu orang-orang yang sepergaulan dengan mereka secara jelas
menyaksikan dan merasakan hal itu. Bahkan jika para pencipta sejati itu
dengan suatu dalih dan upaya tertentu ingin menyembunyikan gejolak
kecintaan tersebut, maka hal itu tidak mungkin bagi mereka. Sebagaimana
bagi para pencinta biasapun tidak mungkin dapat menutup-nutupi
kecintaan mereka terhadap kekasih mereka dari para sahabat dan dari
orang-orang yang sepergaulan dengan mereka, yaitu kecintaan yang untuk
menyaksikannya mereka mati-matian siang malam. Bahkan kecintaan
yang telah merasuk di dalam kalaam mereka, rupa mereka, mata mereka,
bentuk mereka, dan fitrat mereka, serta yang sedang menetes-netes dari
rambut-rambut mereka, sama-sekali tidak dapat mereka sembunyikan.
Ribuan tandapun mereka sembunyikan, tetap saja ada tandanya yang
muncul. Dan tanda yang paling mulia bagi langkah sejati mereka adalah,
16
Al-A’raf: 196
55

mereka menyerahkan sepenuhnya segala sesuatu ke dalam ikhtiar Kekasih


Hakiki mereka. Dan apabila mereka mendapatkan keperihan dari-Nya,
maka karena dikuasai kecintaan terhadap Dzat Allah, mereka
menyaksikan hal itu dalam bentuk anugerah. Dan penderitaan mereka
anggap seperti syarbat yang lezat.
Ketajaman suatu pedang tidak mampu memisahkan mereka dari
Kekasih mereka. Dan tidak ada suatu bencana besar yang dapat
menghalangi mereka mengingat Kekasih mereka itu. Dialah yang mereka
anggap sebagai jiwa mereka. Di dalam kecintaan terhadap-Nyalah mereka
mendapatkan kelezatan. Wujud-Nyalah yang mereka anggap sebagai
wujud. Dzikir/mengenang terhadap-Nyalah yang mereka nyatakan sebagai
buah kehidupan mereka. Jika ada yang mereka inginkan, itu hanyalah Dia.
Jika ada ketenteraman yang mereka raih, itu hanyalah dari-Nya. Seluruh
alam ini mereka peruntukkan hanya bagi-Nya, dan tetap untuk-Nya. Untuk
Dialah mereka hidup, dan untuk Dialah mereka mati. Mereka hidup di
alam ini tetapi berada di alam lain. Mereka memiliki diri tetapi kemudian
hampa dari diri. Mereka melakukan pekerjaan bukan untuk kehormatan
dan bukan pula untuk nama, bukan untuk jiwa mereka dan bukan pula
untuk ketenteraman mereka. Melainkan, segala sesuatu itu mereka
lenyapkan hanya untuk Satu, dan segala sesuatu mereka peruntukkan guna
mendapatkan Yang Satu itu. Mereka terus terbakar oleh api yang tidak
diketahui, dan sedikitpun mereka tidak dapat menjelaskan mengapa
mereka terbakar. Mereka menjadi shummun bukmun (bisu dan tuli)
terhadap pemahaman maupun upaya memberikan pemahaman. Dan
mereka senantiasa siap menanggung setiap penderitaan serta kehinaan,
dan mereka merasakan kelezatan dari itu.

{insert farsi: 26}

Dari sekian [tanda] yang ada, ialah akhlak fadhilah. Seperti


kemurahan hati, keberanian sejati, rela berkorban untuk orang lain,
semangat tinggi, kecintaan mendalam, kelembutan hati, rasa malu, dan
kasih-sayang. Segenap akhlak ini dalam bentuk sangat indah dan sangat
baik, tampil dari diri mereka. Dan orang-orang inilah yang berkat
mengikuti Alquran Suci dengan setia hingga akhir hayat dalam setiap
kondisi, menerapkan akhlak-akhlak tersebut dengan sangat baik dan penuh
santun. Dan tidak ada kemerosotan menimpa mereka yang dapat
menghalangi mereka menerapkan akhlak-akhlak mulia.
Sebenarnya, segala kehebatan yang dapat timbul dari manusia
dalam bidang ilmu, amal perbuatan, ataupun akhlak, itu semua tidak dapat
terwujud hanya melalui kekuatan-kekuatan manusia semata. Justru faktor
sebenarnya yang membuat hal-hal itu terwujud adalah fadhal/karunia
56

Ilahi. Jadi, dikarenakan orang-orang ini paling banyak memperoleh


karunia Ilahi, oleh sebab itu Allah Yang Maha Penyayang sendiri yang
menganugerahkan segenap kehebatan kepada mereka melalui karunia-
karunia-Nya yang tak terhingga. Atau, dalam kata lain pahamilah bahwa
secara hakiki selain Allah tidak ada yang baik. Seluruh akhlak fadhilah
dan segenap kebaikan hanya bagi-Nya. Kemudian sejauh mana seseorang
menghapuskan jiwa dan kehendaknya lalu ingin meraih kedekatan Dzat
Yang Maha baik itu, maka sejauh itu pulalah akhlak-akhlak Ilahi
memantul pada dirinya. Jadi, kehebatan-kehebatan dan adab/budaya sejati
yang diperoleh manusia, semua itu diperoleh hanya melalui kedekatan
pada Allah. Dan memang seharusnya demikian, sebab makhluk pada
zatnya sendiri tidak ada artinya sedikitpun.
Jadi, pantulan-pantulan akhlak-akhlak fadhilah Ilahi hanya terjadi
pada kalbu orang-orang yang memilih untuk mengikuti Alquran Suci
secara sempurna. Dan pengalaman/kenyataan hakiki dapat membuktikan
bahwa tampilnya akhlak-akhlak fadhilah pada diri mereka dengan
kebeningan mata-air dan dengan dipenuhi kesukaan serta kecintaan rohani
itu, tidak ditemukan contoh/tandingannya di dunia ini. Walaupun setiap
orang dapat menda’wakan di mulut, serta dapat muncul dari lidah setiap
orang sebagai omong kosong, tetapi adapun pintu sempit
pengalaman/kenyataan sejati, yang dapat melewatinya dengan selamat
hanyalah orang-orang ini. Sedangkan orang-orang lain kalaupun
menampilkan beberapa akhlak fadhilah, itu mereka tampilkan dengan
memaksakan diri dan dengan membuat-buat. Dan mereka memperlihatkan
adab/budaya palsu dengan menutup-nutupi kekotoran mereka serta dengan
menyelubungi penyakit-penyakit mereka. Dan kedok mereka menjadi
terbuka hanya melalui cobaan-cobaan ringan. Dan mereka kebanyakan
menampilkan akhlak-akhlak fadhilah yang dibuat-buat adalah karena
mereka melihat di situlah terletak tatanan yang baik bagi dunia dan
masyarakat mereka. Dan seandainya di setiap tempat mereka mengikuti
kekotoran-kekotoran batiniah mereka, maka timbul kerusakan pada
tatanan masyarakat. Dan walaupun pada diri mereka juga terdapat
beberapa benih akhlak sesuai potensi fitrati yang ada, tetapi benih itu
senantiasa tertekan di bawah [semak-semak] duri nafsu. Dan akhlak itu
tidak tampil murni demi Allah tanpa dicemari kotornya dorongan-
dorongan nafsu, maka bagaimana mungkin dapat mencapai
kesempurnaannya. Sedangkan benih itu mencapai kesempurnaannya, yang
semata-mata untuk Allah, hanya pada diri orang-orang yang menjadikan
diri mereka milik Allah. Yaitu orang-orang yang jiwanya didapati oleh
Allah Ta'ala benar-benar suci dari kekotoran unsur-unsur selain-Nya lalu
Dia sendiri yang memenuhi jiwa-jiwa mereka dengan akhlak-akhlak suci-
Nya. Dan Allah Ta'ala menjadikan akhlak-akhlak itu begitu indahnya
dalam kalbu-kalbu mereka sebagaimana Dia sendiri tampil sangat indah
bagi mereka.
57

Jadi, dikarenakan kefanaan, mereka memperoleh derajat


penyandangan akhlak-akhlak Allah demikian rupa sehingga seakan-akan
mereka menjadi suatu alat milik Allah yang melaluinya Dia menzahirkan
akhlak-akhlak-Nya. Dengan menemukan mereka dalam keadaan lapar dan
haus, Allah meminumkan air murni kepada mereka dari mata-air-Nya
yang khusus, yaitu mata-air yang mengenai keasliannya tidak ada satupun
makhluk dapat menyekutui-Nya.
Dan dari sekian banyak anugerah itu, sebuah kehebatan agung
yang diberikan kepada para pengikut sempurna Alquran Suci adalah
penghambaan. Yakni, walaupun mereka memiliki banyak kehebatan,
mereka senantiasa memperhatikan kekurangan pribadi mereka.
Dan di hadapan Allah Ta'ala yang Maha Agung mereka senantiasa
hidup dengan menghinakan diri, penghapusan wujud serta merendahkan
diri. Dan mereka menganggap hakikat mereka yang sebenarnya sangat
hina, miskin, tidak punya apa-apa, penuh kelemahan dan penuh
kesalahan. Dan segala kehebatan yang telah dianugerahkan kepada
mereka itu mereka anggap sebagai cahaya sementara yang pada suatu
waktu mengena pada dinding dari arah matahari, yaitu yang sedikitpun
tidak ada kaitannya secara hakiki dengan dinding, serta bagai baju yang
diperoleh melalui hutang, [cahaya] itu dapat tenggelam.
Jadi, segenap kebaikan dan kehebatan tersebut mereka
peruntukkan hanya bagi Allah. Dan mereka menetapkan bahwa Dzat
Kamil-Nyalah yang merupakan sumber segala kebaikan. Dan penyaksian
sempurna sifat-sifat Ilahi memenuhi kalbu mereka dalam bentuk haqqul
yaqin, sehingga mereka menyadari bahwa mereka tidak ada artinya
sedikitpun. Sampai-sampai mereka secara total lenyap dari wujud dan
kehendak serta keinginan mereka. Dan lautan keagungan Ilahi yang penuh
gejolak memenuhi kalbu-kalbu mereka sehingga mereka mengalami
ribuan bentuk kepunahan. Dan mereka betul-betul menjadi suci serta
bersih dari segala pengaruh syirik yang terselubung.” (Barahin Ahmadiyah
jld. IV, sub-catatan kaki no. 3 h. 532-543).

“Nur Furqan (Alquran) adalah nur yang terbukti paling terang dari
segenap cahaya.
Mahasuci Dzat yang dari-Nya lautan cahaya ini telah mengalir.
Pohon Tauhid Kebenaran sudah lama layu.
Tiba-tiba saja dari keghaiban telah muncul mata-air bening ini.
Ya Ilahi, Furqan (Alquran) Engkau merupakan sebuah alam.
Segala sesuatu yang diperlukan, telah tersedia di dalamnya.
Seluruh alam raya telah ditelusuri, dan semua tempat sudah diperiksa.
Wahai sekalian, hanya inilah satu-satunya cermin Irfan.
Apa pula yang mampu menyamai Nur ini di dunia.
Ia telah terbukti tiada tara dalam segala hal dan segala keindahan.
58

Dulunya tongkat Musa yang telah dianggap Furqan.


Kemudian yang terpikir ialah setiap sabda Almasih.
Adalah kesalahan orang-orang buta sendiri jika mereka tidak melihatnya.
Nur ini begitu bercahaya bagai ratusan matahari yang berbinar-binar.
Betapa hinanya kehidupan orang-orang seperti itu di dunia ini.
Yaitu orang-orang yang kalbunya tetap saja buta walaupun ada Nur
demikian.
(Barahiin Ahmadiyyah, jld III, sub catatan kaki no. 2, h. 305-306).

“Keindahan dan kemolekan Alquran merupakan cahaya jiwa setiap


Muslim.
Qomar adalah bulan bagi orang-orang lain, sedangkan bulan kami adalah
Alquran.
Setelah jauh merenung dan melihat, tidak ditemukan bandingannya.
Ya, mengapa tidak, ini adalah Kalaam Suci Sang Rahman yang tiada
duanya.
Dalam setiap kalimatnya muncul musim bunga abadi
Keindahan itu tidak ditemukan di kebun bunga atau di taman bunga
manapun.
Sama-sekali tidak ada tara bagi Kalaam Suci Ilahi.
Tidak perduli walaupun ada mutiara Amman, dan walaupun ada permata
ruby Badakhsyan.
Bagaimana mungkin firman Tuhan setara dengan ucapan manusia.
Disana qudrat, disini penderitaan dan keperihan, demikianlah perbedaan
yang nyata.
Para malaikat saja di hadapan-Nya menyatakan ketiadaan ilmu mereka.
Siapa pula manusia berkuasa yang dapat menandingi-Nya dalam hal
kalaam.
Manusia sama-sekali tidak mampu menciptakan sepotong kaki serangga.
Maka bagaimana mungkin mudah baginya untuk menciptakan cahaya
kebenaran.
Wahai orang-orang, hargailah sedikit kemuliaan Ilahi.
Tahanlah lidah kalian sekarang juga, sekiranya ada sedikit aroma
keimanan pada kalian.
Menyetarakan Tuhan dengan wujud lain adalah kekufuran besar.
Takutlah sedikit kepada Tuhan, wahai sobat, betapa itu merupakan
kedustaan.
Jika kalian mengakui Dzat Esa Tuhan
Maka mengapa kalian di dalam kalbu kalian menyembunyikan
kemusyrikan demikian banyak.
Bagaimana tabir kejahalatan telah terpasang di kalbu kalian.
Kalian melakukan kesalahan. Berhentilah, jika ada sedikit rasa takut
terhadap Tuhan.
59

Wahai saudara-saudara! Tidak ada kedengkian sedikitpun pada kami. Ini


hanyalah sebuah nasihat penuh kerendahan hati.
Jika ada yang berkalbu suci, berkorbanlah untuk-Nya dengan sepenuh
hati.

(Barahiin Ahmadiyyah, jld. 3, h. 198).

----------ooo0ooo---------
60

KEMULIAAN
KHAATAMUL ANBIYAA S.A.W.
PADA PANDANGAN
PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH

Kemuliaan Khaatamun Nabiyyiin s.a.w.


Dan Tulisan-tulisan Penuh Makrifat
Dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah.

Pendiri Jemaat Ahmadiyah a.s. meyakini Khaatamul Anbiyaa wal Ashfiyaa Yang
Mulia Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Khaataman
Nabiyyiin dengan begitu mendalam, penuh yakin, dan dengan makrifat sempurna.
Keyakinan beliau itu tidak mungkin dapat diukur tanpa menelaah tulisan-tulisan beliau
a.s. sendiri. Oleh karenanya, dalam kaitan itu, beberapa kutipan dari sejumlah tulisan
beliau a.s. dipaparkan berikut ini. Beliau menyatakan:

“Tuduhan yang dilontarkan terhadap diri saya dan terhadap Jemaat


saya bahwa kami tidak mempercayai Rasulullah s.a.w. sebagai Khaataman
61

Nabiyyiin, merupakan kedustaan besar yang dilontarkan pada kami. Kami


meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai Khaatamul Anbiyaa dengan begitu
kuat, yakin, penuh makrifat dan bashirat, yakni seratus ribu bagian dari
yang itupun tidak dilakukan oleh orang-orang lain. Dan memang tidak
demikian kemampuan mereka. Mereka tidak memahami hakikat dan
rahasia yang terkandung di dalam khatamun nubuwwat Sang Khaatamul
Anbiyaa. Mereka hanya mendengar sebuah kata dari para tetua mereka,
tetapi tidak tahu menahu tentang hakikatnya. Dan mereka tidak tahu apa
yang dimaksud dengan Khatamun Nubuwwat. Apa makna mengimaninya?
Namun, kami dengan penuh bashirat (Allah Ta’ala yang lebih tahu)
meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai Khaatamul Anbiyaa. Dan Allah Ta’ala
telah membukakan hakikat Khatamun Nubuwwat kepada kami sedemikian
rupa, yakni dari serbat irfan yang telah diminumkan kepada kami itu kami
mendapatkan suatu kelezatan khusus yang tidak dapat diukur oleh
siapapun kecuali oleh orang-orang yang memang telah kenyang minum
dari mata-air ini juga”. (Malfuzhat, jld. I, h. 342).

“Tidak ada kitab kita selain Quran Syarif. Dan tidak ada rasul kita
kecuali Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak
ada agama kita kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa Nabi kita s.a.w.
adalah Khaatamul Anbiyaa, dan Quran Syarif adalah Khaatamul Kutub.
Jadi, janganlah jadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan
hendaknya diingat, kita tidak mempunyai penda’waan lain kecuali sebagai
khadim Islam. Dan siapa saja yang mempautkan hal [yang bertentangan
dengan] itu pada kita, dia melakukan dusta atas kita. Kita mendapatkan
karunia berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim s.a.w.. Dan kita
memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui Quran Karim. Jadi,
adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di dalam kalbunya apapun
yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika tidak, dia akan
mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah Ta’ala. Jika kita bukan
khadim Islam, maka segala upaya kita akan sia-sia dan ditolak, serta akan
diperkarakan.” Hamba yang lemah , Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, 7
Agustus 1899. (Maktubaate Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4).

"Aku menyaksikan suatu kehebatan dalam wajahmu yang bersinar-


cemerlang.
Yang melebihi semua sifat manusia lain.
Pada wajahnya tampak Tuhan Muhaimin dan seluruh keadaannya
bagaikan cermin.
Yang menampakkan keindahan sifat Ilahi dan kebesarannya sungguh
menyilaukan.
Ia mengungguli seluruh manusia dengan kemampuan, kesempurnaan dan
keelokannya.
62

Dan kehebatan serta dalam kesegaran jiwanya.


Sedikitpun tidak diragukan lagi bahwa Muhammad s.a.w. adalah terbaik
di antara seluruh makhluk.
Paling mulia di antara yang mulia dan inti orang-orang yang terpilih.
Segala sifat baik yang terpuji, pada diri beliaulah puncaknya.
Dan anugerah/nikmat yang ada pada setiap zaman, telah berakhir dalam
dirinya.
Beliau adalah yang terbaik dari semua orang yang mendapat qurub Ilahi
sebelumnya.
Dan keunggulan beliau karena kebaikan-kebaikan, bukan karena zaman.
Wahai Tuhanku, turunkanlah berkat-berkat kepada Nabi-Mu abadi
selamanya.
Di dunia ini dan di hari kebangkitan kedua."

(Ainah Kamalaat-e-Islam, h. 594-596)

“Cahaya dunia itu adalah cahaya derajat tinggi yang telah


dianugerahkan kepada manusia, yakni kepada Insan Kamil (Rasulullah
s.a.w. -peny.), tidak didapati di kalangan para malaikat, tidak didapati pada
bintang-bintang, tidak didapati pada matahari, tidak didapati pada
samudra-samudra dan lautan di bumi, tidak ditemukan pada batu ruby,
permata, zamrud, maupun intan. Ringkasnya, [cahaya itu tidak didapati
pada benda apapun di bumi dan langit. Hanya didapati pada manusia,
yakni Insan Kamil (manusia sempurna) dalam bentuknya yang paling
lengkap, paling sempurna, paling tinggi, dan paling mulia, yakni Sayyidul
Anbiyaa Sayyidul Hayaa Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi
wassallaam”. (Ainah Kamalaat-e-Islam: 160,161).

"Yang memiliki kemuliaan paling tinggi saat ini adalah dia yang bernama
Mushthafa.
Dia adalah nabi golongan yang benar dan suci.
Darinya mengalir kebenaran dengan deras.
Dari wujudnya terpancar aroma kebenaran.
Padanya berakhir segala kemuliaan nabi.
Imam yang memiliki rupa suci dan perilaku yang suci."

(Dhiyaaul Haq, h. 4)

“Di dalam juz ketiga, Surah Ali 'Imran, secara rinci diuraikan
bahwa dari segenap nabi telah diambil janji, yakni kalian beriman pada
keagungan dan keperkasaan kemuliaan Khaatamur Rasul, Muhammad
63

Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan untuk membantu


penyebaran keagungan serta keperkasaan beliau itu dengan sepenuh hati.
Itulah sebabnya sekian banyak nabi yang telah berlalu semenjak Adam
Shafiullah hingga Masih Kalimatullah, kesemuanya mengikrarkan
keagungan dan keperkasaan Rasulullah s.a.w.” (Surmah Chasyam
Aryah,h.280, catatan kaki).

“Seorang manusia sempurna dan Sayyidur Rusul – yang tidak ada


bandingannya di masa lalu maupun di masa mendatang – telah datang
sebagai petunjuk bagi dunia. Beliau telah membawa Kitab bercahaya ini,
yang bandingannya belum pernah dilihat oleh mata.” (Barahiin
Ahmadiyyah)

“Dikarenakan dalam segenap sifat berupa kesucian hati,


kelapangan dada, ketakwaan, rasa malu, kejujuran, kebersihan kalbu,
tawakal, kesetiaan, dan kecintaan terhadap Ilahi, Rasulullah s.a.w. itu
adalah paling maju, paling unggul, paling mulia, paling sempurna, paling
tinggi, paling bercahaya, dan paling nyata dari segenap nabi, oleh sebab
itu Allah Ta’ala telah memenuhi wujud beliau dengan eter kehebatan-
kehebatan istimewa. Dan dada serta kalbu [beliau s.a.w.] yang paling
lapang, paling bersih, paling suci, paling bercahaya, paling dipenuhi
kecintaan, dibandingkan dengan segenap dada dan kalbu di masa lampau
dan di masa mendatang itu, [maka kalbu tersebut] telah layak untuk
menerima wahyu Ilahi yang dibandingkan dengan segenap wahyu di masa
lampau maupun di masa mendatang adalah paling berbobot, paling
sempurna, paling tinggi, dan paling lengkap, serta [wahyu Ilahi] yang
merupakan suatu cermin paling bening, paling lebar dan paling luas untuk
memperlihatkan sifat-sifat Ilahi.” (Surmah Chasyam Aryah, catatan kaki h.
23,24)

“[Beliau] adalah seorang manusia yang melalui wujudnya, melalui


sifat-sifatnya, melalui perbuatan-perbuatannya, melalui amal-amalnya,
melalui lautan besar kekuatan rohani dan kekuatan kesuciannya telah
memperlihatkan suri tauladan yang sempurna dan lengkap secara
pengetahuan, secara amalan, secara benar dan secara kokoh. Dan beliau
telah disebut Insan Kamil. Manusia yang paling sempurna dan Insan
Kamil itu, yang merupakan nabi sempurna, dan telah datang membawa
berkat-berkat sempurna, yang melaluinya akibat kebangkitan rohani maka
kiamat pertama di dunia ini telah terjadi, dan suatu alam yang sudah mati
di jagat ini telah hidup kembali, nabi yang beberkat itu adalah Yang
Mulia Khaatamul Anbiyaa Imamul Ashfiyaa Khaatamul Mursaliin
Fakhrun Nabiyyiin, Yang Mulia Muhammad Mushthafa s.a.w.. Wahai
Tuhan yang tercinta! Kirimkanlah atas Nabi tercinta ini rahmat dan
64

shalawat yang belum pernah Engkau berikan kepada siapapun sejak


permulaan dunia ini.
Jika Nabi Agung s.a.w. ini tidak datang ke dunia, maka sekian
banyak nabi kecil yang telah datang ke dunia ini – misalnya Yunus
a.s.,Ayub a.s., Almasih ibnu Maryam a.s., Maleakhi a.s., Yahya a.s.,
Zakaria a.s., dan sebagainya – tidak ada satupun dalil mengenai kebenaran
mereka pada kita, walaupun mereka itu semuanya memang orang-orang
yang telah memperoleh qurub dan perhatian Allah serta yang dicintai oleh-
Nya. Adalah ihsan nabi yang satu ini sehingga nabi-nabi tersebut telah
diakui sebagai orang-orang yang benar. Allaahumma shalli wasallim wa
baarik ‘alaihi wa-aalihi wa ashaabihi ajma’iin. (Itmamul Hujjah, h. 36).

“Saya telah diberi pemahaman bahwa dari segenap rasul, pemberi


ajaran yang sempurna, pemberi ajaran yang kesuciannya berderajat tinggi
dan penuh kebijakan, serta pemberi suri tauladan mulia potensi-potensi
manusiawi melalui kehidupannya, hanyalah Yang Mulia Sayyidina wa
Maulanaa Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam.”
(Arba’in no.1, h.3).

“Zaman ketika Rasulullah s.a.w. diutus itu pada hakikatnya


merupakan suatu zaman yang memerlukan seorang mushlih rabbani dan
haadi samawi yang suci dan mulia; dan bahwa segala ajaran yang beliau
sampaikan itu memang benar dan sangat diperlukan, serta merupakan
paduan [khazanah] yang memenuhi kebutuhan zaman; lalu bahwa ajaran
tersebutpun telah memberikan dampak sedemikian rupa sehingga ratusan
ribu hati manusia telah ditarik kepada kebenaran dan 'Laa-ilaha-Illallaah'
telah dipatrikan ke dalam ratusan ribu dada manusia; dan bahwa tujuan
kenabian, yakni ajaran untuk meraih najat/keselamatan, telah beliau
hantarkan sampai ke puncak kesempurnaan sedemikian rupa sehingga hal
itu tidak pernah tercapai oleh para nabi lainnya secara bergotong-
royongpun.” (Barahiin Ahmadiyyah, jld.II, h. 112-114).

“Yang Mulia Sayyidinaa Muhammad Mushthafa shallallaahu


‘alaihi wasallam memiliki bagian paling agung dan paling besar dari fitrat
Ruhul Kudus…. Di dunia ini hanya Muhammad Mushthafa shallaallaahu
‘alaihi wasallam yang telah tampil sebagai ma’shum kamil17.” (Tohfah
Golerwiyah. H. 238).

“Apabila kita melihat dengan pandangan yang adil, maka dari


segenap untaian kenabian, yang kita ketahui sebagai nabi yang memiliki
keberanian/kegagahan paling tinggi, nabi yang hidup, dan nabi yang
paling dicintai oleh Allah, hanya satu orang. Yakni, dialah Pemimpin Para

17
Orang yang paling sempurna dalam hal kesucian dari dosa/kelemahan -peny.
65

Nabi, Kebanggaan Rasul-rasul, dan Mahkota Segenap Rasul, yang


bernama Muhammad Mushthafa wa Ahmad Mujtabaa shallallaahu ‘alaihi
wassalam, yang dengan berjalan di bawah naungannya selama sepuluh
hari saja maka diperoleh cahaya yang sebelumnya tidak dapat diperoleh
hingga ribuan tahun.” (Siraj-e-Munir,h.82).

“Mahasuci Allah! Mahasuci Allah! Betapa Yang Mulia Khaatamul


Anbiyaa shallallaahu ‘alaihi wasallam merupakan nabi yang sangat
mulia! Demi Allah! Betapa agungnya nur yang mengantarkan khadim
yang tidak berarti, yang rendah, serta pelayan yang hina beliau – sampai
kepada martabat-martabat mulia tersebut di atas (derajat mukaalamah
mukhaathabah Ilahiyah dan penguakan hal-hal ghaib -peny).

(Insert arabic: 27)

(Barahiin Ahmadiyyah, jld III, catatan kaki no. 11, h. 272).

“Saya senantiasa melihat dengan pandangan penuh takjub, yakni


Nabi Arabi yang bernama Muhammad s.a.w. ini (ribuan dan ribuan
shalawat serta salam atasnya), betapa ia merupakan nabi berderajat paling
tinggi. Puncak akhir kedudukannya yang paling tinggi itu tidak dapat
diketahui. Dan mengukur pengaruh kesuciannyapun bukanlah pekerjaan
manusia. Sangat disayangkan, sebagaimana seharusnya kebenaran itu
dikenali, derajatnya ternyata tidak dikenali demikian. Padahal Tauhid yang
telah hilang dari dunia ini, justru dialah seorang satria yang telah
membawanya kembali ke dunia. Dia telah menjalin kecintaan paling tinggi
dengan Allah. Dan dalam bersikap solider terhadap umat manusia, dia
paling hebat dalam merelakan jiwanya untuk menanggung segala
penderitaan. Oleh karena itu, Allah yang mengenal rahasia kalbunya, telah
menganugerahkan keunggulan kepadanya atas segenap nabi dan segenap
awwaliin maupun akhiriin. Dan Allah telah memenuhi cita-citanya di
dalam hidupnya juga. Dialah mata-air setiap karunia/berkat. Dan
seseorang yang menda’wakan suatu fadhilah/keunggulan tanpa melalui
karunianya, berarti orang itu bukanlah manusia, melainkan anak setan.
Sebab, kunci segala fadhilah telah diserahkan kepada Muhammad s.a.w..
Dan khazanah segala makrifat telah diberikan kepadanya. Siapa saja yang
tidak memperoleh darinya, berarti orang itu luput untuk selamanya.
Apalah kita ini. Apalah hakikat kita. Kita akan menjadi pengingkar
anugerah jika kita tidak mengikrarkan bahwa kita telah menemukan
Tauhid sejati melalui Nabi s.a.w. itu. Kita mengenali Tuhan Yang Hidup
melalui Nabi Kamil itu dan dengan perantaraan cahayanya. Dan kita
memperoleh anugerah mukaalamaat mukhaathabaat Ilahiyyah – yang
66

melalui itu kita menyaksikan wajah-Nya – adalah melalui perantaraan


Nabi Suci itu. Pancaran cahaya Matahari Petunjuk itu menerpa kita bagai
cahaya di siang hari. Dan kita akan tetap dapat berkilauan cahaya selama
kita tetap berdiri di hadapannya.” (Haqiqatul Wahy, h. 115, 116).

“Wahai orang-orang bodoh! Wahai orang-orang buta! Nabi kami


shallallaahu ‘alaihi wasallam dan Junjungan kami (ribuan salam atasnya),
telah mengungguli segenap nabi dalam hal menyampaikan karunia. Sebab,
penyampaian karunia nabi-nabi terdahulu telah berakhir sampai suatu
batas tertentu. Dan sekarang umat-umat serta agama-agama tersebut sudah
mati. Tidak ada lagi kehidupan di dalam diri mereka. Namun,
karunia/berkat rohani Rasulullah s.a.w. tetap mengalir hingga Kiamat.
Oleh karena itu, dengan adanya karunia/berkat tersebut tidaklah perlu bagi
umat ini agar ada seorang Masih yang datang dari luar. Melainkan, dengan
tumbuh di bawah naungan beliau s.a.w., seorang manusia hinapun akan
dapat menjadi Masih, sebagaimana beliau telah jadikan hamba ini.”
(Chasymah Masehi, h. 74, 75).

“Rasulullah s.a.w. adalah himpunan segenap akhlak. Pada masa


ini, Allah Ta’ala telah menegakkan akhlak-akhlak beliau s.a.w. sebagai
suri-tauladan terakhir.” (Al-Hakam, 10 Maret 1904)

“Jalan lurus hanya terdapat dalam agama Islam, dan sekarang di


kolong langit ini hanya ada satu nabi dan satu rasul. Yakni, Yang Mulia
Muhammad Mushthafa s.a.w., yang paling tinggi dan paling afdhal di
antara sekalian nabi, yang paling lengkap dan paling sempurna di
kalangan segenap rasul, dan yang merupakan Khaatamul Anbiyaa serta
Khairun Naas (insan terbaik). Yaitu, yang dengan mengikutinya [kita]
akan bertemu dengan Allah Ta’ala dan tabir-tabir kegelapan akan lenyap,
serta di dunia ini juga akan tampak tanda-tanda najat/keselamatan hakiki”.
(Barahiin Ahmadiyyah, jld.IV, sub-catatan kaki no. 3, h. 557).

“Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah s.a.w. sebagai pemilik


khaatam. Yakni, kepada beliau telah diberikan stempel untuk
menyampaikan karunia/berkat sempurna, yang sama sekali tidak diberikan
kepada nabi lainnya. Itulah sebabnya beliau s.a.w. telah dinamakan
Khaataman Nabiyyiin. Yakni, upaya mengikuti beliau akan
menganugerahkan potensi-potensi kenabian, dan sorotan rohani beliau
dapat membentuk nabi, Dan quwwat qudsiyah ini tidak dimiliki oleh nabi
lainnya.” (Haqiqatul Wahy, catatan kaki, h. 97).

“Inipun merupakan sebuah sisi kedudukan Rasulullah s.a.w.


sebagai Khaataman Nabiyyiin. Yakni, Allah Ta’ala semata-mata atas
67

karunia-Nya telah menanamkan kemampuan-kemampuan besar di dalam


umat ini. Sampai-sampai di dalam Hadits dikatakan:

(Insert arabic: 28)

[Artinya: Ulama-ulama umatku adalah seperti nabi-nabi Bani Israil].


Walaupun para muhadditsiin mempersoalkan hadits ini, tetapi cahaya
kalbu kita menyatakan hadits ini shahih. Dan kita mengakuinya tanpa
banyak bicara. Dan melalui kasyafpun tidak ada yang mengingkari hadits
ini. Justru kalaupun ada, ialah berupa tashdiq/pembenaran.” (Al-Hakam,
17/24 Agustus 1904).

“Seluruh kerasulan serta kenabian telah mencapai


kesempurnaannya pada titik yang terakhir, dalam wujud Junjungan kita
[Muhammad] s.a.w..” (Islami Ushul Ki Filasafi, h. 53).

“Tidak diragukan lagi, dari segi penegakan kerohanian, Nabi kita


shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Adam kedua. Justru beliaulah Adam
sejati yang melalui perantaraannya dan melalui berkatnya segenap karunia
manusia telah mencapai kesempurnaan, serta seluruh kekuatan baik telah
mulai bekerja pada fungsinya masing-masing dan tidak ada satu dahanpun
pada fitrat manusia yang tampil tanpa buah. Dan Khaatamun Nubuwwat
telah beliau sandang tidak hanya karena faktor zaman beliau yang terakhir,
melainkan juga karena faktor bahwa segenap potensi nubuwwat/kenabian
telah berakhir pada diri beliau s.a.w.. Dan dikarenakan beliau s.a.w.
merupakan manifestasi sempurna sifat-sifat Ilahi, oleh sebab itu Syariat
beliau mengandung sifat jalaali (keperkasaan) dan sifat jamaali
(keindahan) keduanya.” (Lekcher Sialkot, h. 4-7, cetakan pertama) .

“Wujud Rasulullah s.a.w. merupakan wujud penggenap dan


penyempurna bagi setiap nabi. Dan melalui wujud mulia itu, segala
perkara yang meragukan dan terselubung mengenai Almasih serta nabi
lainnya, menjadi tampil bersinar-sinar. Dan dengan makna-makna itulah
Allah telah menamatkan wahyu dan kerasulan atas wujud suci tersebut,
sehingga segenap potensi telah berakhir pada wujud tersebut.

(Insert arabic: 29)

[Ini adalah karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada siapa saja yang Dia
kehendaki].” (Barahiin Ahmadiyyah, jld. III, catatan kaki no. 11, h. 292).

“Insan kamil yang atasnya Quran Syarif telah turun, pandangannya


tidaklah terbatas. Dan sedikitpun tidak ada kekurangannya dalam hal
68

merasakan kedukaan orang lain serta dalam hal solidaritas terhadap umat
manusia. Justru dari segi zaman dan dari segi tempat, di dalam jiwanya
terdapat rasa solider yang sempurna. Oleh karena itu dia telah memperoleh
bagian yang penuh dan sempurna dari penampakan-penampakan qudrat,
serta telah menjadi Khaatamul Anbiyaa. Namun, tidak dalam arti bahwa di
masa mendatang tidak akan diperoleh berkat rohani apapun darinya.
Melainkan, dalam arti bahwa dia merupakan seorang khaatam yang tanpa
stempelnya seseorang tidak akan dapat memperoleh suatu karunia/berkat.
Dan bagi umatnya hingga Kiamat tidak akan pernah tertutup pintu
mukaalamah mukhaathabah Ilahiyyah (percakapan dengan Allah). Dan
selain dia tidak ada nabi lain yang merupakan khaatam. Hanya dialah satu-
satunya yang melalui stempelnya kenabian dapat diperoleh, yaitu kenabian
yang untuknya adalah mutlak terlebih dahulu menjadi ummati (pengikut).
Dan semangat serta solidaritasnya tidak menghendaki apabila umat ini
ditinggalkan dalam kondisi tidak sempurna, serta tidak menginginkan
apabila pintu wahyu tertutup bagi mereka, yaitu [pintu wahyu] yang
merupakan akar sejati untuk memperoleh makrifat. Ya, untuk menegakkan
tanda bagi kedudukannya sebagai Khaatamur Risalah, beliau s.a.w.
menghendaki agar karunia wahyu diperoleh melalui sarana mengikuti
beliau. Dan seseorang yang bukan ummati (pengikut), baginya telah
tertutup pintu wahyu Ilahi. Jadi, Allah Ta’ala telah menetapkan beliau
s.a.w. sebagai Khaatamul Anbiyaa adalah dalam makna-makna tersebut.
Untuk itu, hal ini telah ditetapkan hingga hari Kiamat, bahwa seseorang
yang tidak membuktikan kedudukannya sebagai ummati melalui sikap
mengikuti secara hakiki, dan tidak menjadikan segenap wujudnya mabuk
dalam mengikuti beliau s.a.w., orang seperti itu sampai hari Kiamat tidak
akan dapat memperoleh suatu wahyu sempurna, dan tidak pula dia dapat
menjadi mulham kamil (penerima ilham yang sempurna). Sebab, kenabian
mustahil telah berakhir pada wujud Rasulullah s.a.w.. Namun, kenabian
dzilly/bayangan – yang artinya, memperoleh wahyu semata-mata melalui
karunia/berkat Rasulullah s.a.w. – akan tetap ada hingga Kiamat. Supaya,
pintu kesempurnaan bagi umat manusia tidak tertutup. Dan supaya, tanda
ini tidak terhapus dari dunia, bahwa semangat Rasulullah s.a.w. memang
telah menginginkan agar pintu mukaalamaat mukhaathabaat Ilahiyah
tetap terbuka hingga hari Kiamat, dan supaya makrifat Ilahi yang menjadi
kunci najat, tidak hilang.” (Haqiqatul Wahy, h. 27,28).

“Saya dengan sangat yakin dan dengan penda’waan mengatakan


bahwa potensi-potensi nubuwwat/kenabian telah berakhir pada wujud
Rasulullah s.a.w.. Orang yang menegakkan suatu silsilah baru menentang
beliau s.a.w., dan yang memisahkan diri dari kenabian beliau s.a.w. lalu
memaparkan suatu kebenaran, dan yang meninggalkan mata-air kenabian
itu, adalah pendusta dan penipu. Saya katakan dengan terbuka bahwa
terkutuklah orang yang meyakini orang lain di luar Rasulullah s.a.w.
69

sebagai nabi sesudah beliau s.a.w. dan yang merubuhkan Khatamun


Nubuwwat beliau s.a.w.. Itulah sebabnya sesudah Rasulullah s.a.w. tidak
bisa datang lagi nabi yang tidak memiliki cap/stempel kenabian
Muhammadi s.a.w..” (Al-Hakam, 10 Juni 1905, h. 2).

“Di tempat Allah Ta’ala telah menjanjikan bahwa Rasulullah


s.a.w. adalah Khaatamul Anbiyaa, di tempat itu juga Allah telah
mengisyaratkan bahwa Rasulullah s.a.w. dari segi kerohanian beliau
merupakan bapak bagi orang-orang saleh yang jiwanya telah
disempurnakan melalui upaya mengikuti beliau. Dan kepada orang-orang
itu dianugerahkan wahyu Ilahi dan mukaalamaat (percakapan).
Sebagaimana Dia berfirman dalam Quran Syarif:

(Insert arabic: 30)

Yakni, Rasulullah s.a.w. itu bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara
laki-laki kalian, tetapi dia adalah rasul Allah dan Khaatamul Anbiyaa (Al-
Ahzab: 40).
Kini, jelaslah bahwa kata 'laakin' (tetapi) dalam bahasa Arab
digunakan untuk memberikan penekanan, yakni untuk memberikan
penekanan pada hal terdahulu. Hal terdahulu yang disinggung di dalam
ayat tersebut, yang mengenainya telah dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w.
tidak meraihnya, adalah menjadi bapak secara jasmani bagi seorang laki-
laki. Jadi, dengan kata 'laakin' hal terdahulu itu telah ditekankan
sedemikian rupa bahwa Rasulullah s.a.w. dinyatakan sebagai Khaatamul
Anbiyaa. Artinya adalah, setelah beliau karunia kenabian secara langsung
telah terputus, dan sekarang pangkat kenabian hanya akan diraih oleh
orang yang mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam amal-amalnya.” (Review
Mubahatsah Batalwi wa Chakralwi, h. 6,7).

“Apakah pendusta bejad yang menda’wakan kerasulan dan


kenabian seperti itu dapat mengimani Quran Syarif? Dan apakah orang
yang beriman kepada Quran Syarif dan meyakini ayat 'Walaakin
Rasuulallaahi wa khaataman nabiyyiin' sebagai kalaam Allah, dapat
mengatakan bahwa dia juga adalah rasul dan nabi sesudah Rasulullah
s.a.w.? Pencari keadilan hendaknya ingat bahwa hamba tidak pernah pada
waktu kapanpun menda’wakan kenabian atau kerasulan secara hakiki. Dan
menggunakan suatu kata secara non-hakiki (majazi), serta
menggunakannya dalam percakapan dengan makna-makna umum yang
terdapat dalam bahasa, tidaklah mengakibatkan kekufuran. Namun, saya
juga tidak suka apabila timbul peluang ketergelinciran bagi umat Islam
umum dalam masalah itu. Akan tetapi, mukaalamaat dan mukhaathabaat
(percakapan) yang saya peroleh dari Allah Ta’ala, yang di dalamnya
banyak sekali terdapat kata nubuwwat (kenabian) dan risalat (kerasulan),
70

saya tidak dapat menyembunyikannya, karena saya diperintahkan. Namun,


berkali-kali saya katakan bahwa kata mursil atau rasul atau nabi yang
terdapat di dalam ilham-ilham itu mengenai diri saya, itu bukanlah dalam
makna-makna hakiki. Dan hakikat yang sebenarnya, saya berikan
kesaksian sepenuhnya bahwa Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam
adalah Khaatamul Anbiyaa, dan sesudah beliau s.a.w. tidak akan ada lagi
nabi yang datang, [yakni nabi] yang lama maupun yang baru.

(Insert arabic: 31)

[Artinya: Barangsiapa berkata sesudah Rasulullah s.a..w. bahwa, 'Aku


adalah nabi dan rasul dalam makna hakiki,' sedangkan dia berdusta, dan
dia meninggalkan Alquran serta hukum-hukum Syariat yang mulia, berarti
dia kafir dan pendusta.].
Ringkasnya, akidah kami adalah, seseorang yang menda’wakan
kenabian secara hakiki, dan melepaskan dirinya dari karunia/berkat-berkat
Rasulullah s.a.w., serta memisahkan diri dari mata-air suci itu, lalu dia
ingin secara langsung menjadi nabi Allah, berarti dia itu sesat dan tidak
beragama. Dan orang seperti itu akan membuat suatu kalimat syahadat
tersendiri, dan akan menciptakan cara baru dalam peribadatan, serta akan
mengadakan perubahan pada hukum-hukum. Jadi, tidak disangsikan lagi
bahwa dia adalah saudara bagi Musailamah Kadzzaab. Dan tidak
diragukan lagi sedikitpun mengenai kekafirannya. Mengenai orang bejad
seperti itu bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa dia mempercayai
Quran Syarif.” (Anjam-e-Atham, catatan kaki, h. 27,28).

“….Dalam makna bahwa saya telah memperoleh karunia/berkat-


berkat batiniah dari Rasul Panutan saya, dan saya telah memperoleh
namanya untuk diri saya, dan melalui perantaraannya saya telah
memperoleh ilmu ghaib dari Allah, [dalam makna-makna itulah] saya
rasul dan nabi, tetapi tanpa syariat baru. Saya tidak pernah mengingkari
sebutan nabi dalam makna demikian. Justru dalam makna-makna itu Allah
telah menyebut saya nabi dan rasul. Jadi, sekarangpun saya tidak
mengingkari kedudukan sebagai nabi dan rasul dalam makna-makna
tersebut. Dan ucapan saya adalah

{Insert Farsi: 32}

Artinya, saya bukanlah rasul dengan kitab syariat baru. Ya, inipun
hendaknya harus diingat dan jangan sekali-sekali dilupakan, yakni
walaupun saya dipanggil dengan kata nabi dan rasul, kepada saya telah
diberitahukan oleh Allah bahwa segenap karunia/berkat itu bukan tanpa
71

perantara telah turun pada saya. Melainkan, di Langit terdapat satu wujud
suci yang berkat-berkat rohaninya telah meliputi diri saya, yakni
Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dengan
menjunjung perantaraan/hubungan itu, dan dengan menyatu di dalamnya,
dan dengan menyandang namanya – Muhammad dan Ahmad – saya juga
adalah seorang rasul, dan juga seorang nabi. Yakni, saya telah diutus, dan
saya juga telah memperoleh kabar-kabar ghaib. Dan dengan cara
demikian, stempel/segel Khaatamun Nabiyyiin tetap terpelihara. Sebab,
saya telah memperoleh nama itu secara pantulan dan bayangan melalui
cermin kecintaan. Jika ada orang yang murka atas wahyu Ilahi ini, yakni
mengapa Allah Ta’ala menamakan saya sebagai nabi dan rasul, berarti itu
kebodohannya. Sebab dengan kedudukan saya sebagai nabi dan rasul
[seperti itu] tidak meruntuhkan stempel/segel Allah.” (Ek Ghalathi Ka
Izalah, h. 6,7).

“Jika dikatakan, Rasulullah s.a.w. adalah Khaataman Nabiyyiin


maka sesudah beliau s.a.w. bagaimana nabi lain dapat datang?
Jawabannya adalah, memang dengan demikian tidak ada lagi nabi lain
dapat datang, nabi baru maupun nabi lama. [Nabi lama,] seperti upaya
kalian untuk mendatangkan kembali Isa a.s. di akhir zaman. Kemudian
dalam keadaan demikian kalian juga mengakuinya sebagai nabi. Bahkan
kalian berakidah bahwa untaian wahyu kenabian tetap berlangsung sampai
40 tahun dan melebihi masa Rasulullah s.a.w.. Tidak diragukan lagi bahwa
akidah seperti itu adalah dosa. Dan ayat 'Walaakin Rasuulallaahi wa
khaataman nabiyyiin' serta hadits 'Laa nabiyya ba’diy' merupakan saksi
penuh akan kedustaan nyata akidah itu. Namun, kami sangat menentang
akidah-akidah semacam itu. Dan kami mengimani ayat itu sebagai sesuatu
yang benar dan sempurna, yakni “Walaakin rasulallaahi wa khaataman
nabiyyiin.” Dan di dalam ayat ini terdapat kabar ghaib yang tidak
diketahui oleh para penentang kami. Yakni, di dalam ayat ini Allah Ta’ala
berfirman bahwa setelah Rasulullah s.a.w. segenap pintu kabar ghaib telah
ditutup. Dan tidak mungkin sekarang ada orang Hindu, atau Yahudi, atau
Kristen, atau orang Muslim yang tidak sejati dapat membuktikan kata nabi
bagi dirinya. Segenap jendela nubuwwat (kenabian) telah ditutup. Namun,
ada satu jendela sirat shiddiqi yang terbuka, yakni jendela Fana fir Rasul
s.a.w. (mabuk dalam kecintaan terhadap Rasulullah s.a.w.). Jadi,
seseorang yang menuju Allah lewat jendela ini, maka kepadanya
dipakaikan jubah kenabian itu secara bayangan, yakni jubah kenabian
Muhammad s.a.w.. Oleh karena itu kedudukan orang itu sebagai nabi
bukanlah sesuatu yang harus dikecam. Sebab, kenabian tersebut dia
peroleh bukan karena dirinya sendiri, melainkan dia peroleh dari mata-air
Nabi-nya. Dan itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk keperkasaan
Nabi s.a.w. itu juga. Itulah sebabnya di Langit orang itu dinamakan
Muhammad dan Ahmad. Artinya, kenabian Muhammad s.a.w. itu akhirnya
72

hanya diraih oleh Muhammad juga, walaupun dalam bentuk bayangan,


dan tidak diraih oleh orang lain. Jadi, ayat:

(Insert arabic: 33)

[Artinya: Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum


laki-lakimu, akan tetapi dia adalah Rasul Allah dan Khaataman
Nabiyyiin18]. Arti ayat ini adalah:

(Insert arabic: 34)

[Artinya: Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum


laki-lakimu di dunia, akan tetapi bapak bagi kaum laki-laki di akhirat.
Sebab, dia adalah Khaatamun Nabiyyiin dan tidak ada jalan menuju
karunia/berkat-berkat Allah tanpa melalui perantaraannya].
Ringkasnya, kenabian dan kerasulan saya adalah berdasarkan
kedudukan sebagai Muhammad s.a.w. dan Ahmad s.a.w., bukan
berdasarkan diri saya sendiri. Dan nama itu saya peroleh karena Fana fir
Rasul s.a.w. (mabuk dalam kecintaan terhadap Rasulullah s.a.w.). Oleh
karena itu makna Khaataman Nabiyyiin tidak terganggu. Namun, makna
itu pasti akan terganggu dengan datangnya Isa a.s.. Dan inipun
hendaknya diingat, bahwa arti nabi berdasarkan lughat adalah seseorang
yang memperoleh informasi dari Allah lalu menyampaikan kabar ghaib.
Jadi, di mana saja makna ini terpenuhi, di sana kata nabi adalah tepat.
Dan untuk menjadi nabi terdapat syarat untuk menjadi rasul. Sebab, jika
dia bukan rasul, maka dia tidak dapat memperoleh kabar ghaib yang
jelas. Dan ayat ini menghalangi :

(Insert arabic: 35)

[Artinya: Dia tidak membukakan khazanah ghaib-Nya kepada siapapun


kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya19].
Sekarang, jika dilakukan pengingkaran terhadap nabi dalam
makna-makna tersebut sesudah Rasulullah s.a.w., maka konsekwensi
mutlaknya adalah menerapkan akidah bahwa umat ini luput dari
mukaalamaat dan mukhaathabaat Ilahiyyah. Sebab, seseorang yang
memperoleh kabar-kabar ghaib dari Allah, maka berdasarkan ayat 'Laa
yuzh-hiru ‘alaa ghaibihi' berarti makna nabi adalah tepat bagi orang itu.
Seperti itu, seorang yang diutus dari Allah Ta’ala, kami akan menyebutnya
rasul. Bedanya adalah, sesudah Rasulullah s.a.w., hingga hari Kiamat,
tidak akan ada lagi nabi yang kepadanya turun syariat. Atau, tanpa

18
Al-Ahzab: 40
19
Al-Jin: 26, 27
73

perantaraan Rasulullah s.a.w. dan tanpa kondisi Fana fir ‘Rasul s.a.w.
yang mengakibatkan penamaannya sebagai Muhammad dan Ahmad di
Langit, tidak akan ada seseorang yang dianugerahkan gelar kenabian
begitu saja. Barangsiapa ada yang menda’wakan demikian, berarti dia
kafir.
Rahasia sebenarnya yang terdapat dalam hal itu adalah, makna
Khaatamun Nabiyyiin menuntut bahwa selama masih ada tabir [hubungan
perantara dengan] pihak lain, maka selama itu pula jika ada yang disebut
nabi, berarti dia menghancurkan stempel/segel yang terdapat pada
Khaatamun Nabiyyiin. Namun, jika ada orang yang fana dalam
Khaatamun Nabiyyiin (Rasulullah s.a.w. -peny.) sedemikian rupa sehingga
dia memperoleh nama beliau s.a.w. karena keterpaduan yang mendalam
dan karena menolak seluruh unsur di luar beliau, dan dia telah menjadi
cermin sehingga dalam dirinya telah memantul wajah Muhammad s.a.w.,
maka orang itu akan dinamakan nabi tanpa menghancurkan stempel/segel
tadi. Sebab, dia merupakan Muhammad s.a.w., walaupun secara bayangan.
Jadi, walaupun orang itu menda’wakan kenabian, yang mana dia telah
dinamakan Muhammad s.a.w. serta Ahmad s.a.w. secara bayangan, maka
tetap saja Sayyidina Muhammad s.a.w. merupakan Khaatamun Nabiyyiin.
Sebab, Muhammad kedua ini merupakan gambaran Muhammad s.a.w. itu
juga, serta merupakan nama beliau juga adanya. Sedangkan, Isa a.s. tidak
dapat datang tanpa menghancurkan stempel/segel [Khaatamun
Nabiyyiin].” (Ek Ghalati Ka Izalah, 4-6).

“Ingatlah, ini merupakan keimanan kami, bahwa kitab terakhir dan


syariat terakhir adalah Alquran. Dan sesudah itu, hingga Kiamat, tidak
akan ada lagi nabi dalam makna bahwa dia pembawa syariat, atau dia
dapat memperoleh wahyu tanpa perantaraan mengikuti Rasulullah s.a.w..
Melainkan, pintu itu telah tertutup hingga Kiamat. Sedangkan pintu-pintu
untuk memperoleh anugerah wahyu dengan cara mengikuti Nabi
Muhammad s.a.w., tetap terbuka hingga Kiamat. Wahyu yang diperoleh
karena mengikuti [Rasulullah s.a.w.], tidak pernah terputus. Namun,
kenabian yang membawa syariat atau kenabian mandiri, sudah terputus.

(Insert arabic: 36)


74

[Artinya: Tidak ada jalan ke arah itu hingga hari Kiamat. Dan barangsiapa
yang mengatakan bahwa dia bukan dari umat Muhammad s.a.w. dan dia
menda’wakan bahwa dia adalah nabi pembawa syariat atau nabi tanpa
membawa syariat tetapi bukan dari kalangan umat ini, maka tamsilnya
adalah bagai seseorang diterjang banjir dashyat yang menghanyutkannya
sampai mati].
Rinciannya adalah, disini Allah Ta’ala telah berjanji bahwa
Rasulullah s.a.w. adalah Khaatamul Anbiyaa. Di tempat inipun Dia
mengisyaratkan bahwa Rasulullah s.a.w. berdasarkan kerohanian beliau
merupakan bapak bagi orang-orang saleh yang telah memperoleh
penyempurnaan jiwa karena mengikuti beliau. Dan kepada orang-orang
saleh itu dianugerahkan wahyu Ilahi serta anugerah mukaalamaat
(percakapan). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di dalam Quran Syarif:

(Insert arabic: 37)

Yakni, Muhammad s.a.w. bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara
laki-laki kalian, tetapi beliau adalah Rasul Allah dan Khaatamul Anbiyaa.
Sekarang jelas, kata 'laakin' di dalam bahasa Arab digunakan untuk
penekanan, yakni penekanan terhadap hal yang sudah berlalu. Pada bagian
terdahulu dari ayat ini, hal yang telah dinyatakan sudah berlalu -- yakni
sesuatu yang dinyatakan tidak diperoleh Rasulullah s.a.w. -- adalah status
sebagai bapak bagi seorang laki-laki secara jasmani. Jadi, melalui kata
'laakin', penekanan terhadap hal yang sudah berlalu itu adalah dengan
menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. adalah Khaatamul Anbiyaa. Artinya
adalah, sesudah beliau s.a.w., karunia-karunia kenabian secara langsung,
sudah terputus. Dan sekarang pangkat kenabian hanya dapat diraih oleh
orang yang di dalam amal perbuatannya terdapat stempel ittiba’ Nabawi
s.a.w. (mengikuti Rasulullah s.a.w.). Dan dengan cara demikian, orang itu
merupakan putra Rasulullah s.a.w. serta merupakan ahli-waris beliau
s.a.w.. Ringkasnya, di dalam ayat ini pada satu segi Rasulullah s.a.w. telah
dinyatakan bukan sebagai bapak, sedangkan pada segi lain beliau s.a.w.
telah pula dibuktikan sebagai ‘bapak’. [Hal itu dilakukan demikian]
supaya dapat ditangkal kecaman yang disinggung dalam ayat:

(Insert arabic: 38)

[Artinya: Sesungguhnya musuh engkaulah yang akan tanpa keturunan20].


Kesimpulan dari ayat ini adalah, kenabian tetap telah terputus
walaupun bukan pembawa syariat, yakni dalam arti bahwa tidak ada
seorangpun yang dapat meraih pangkat kenabian secara langsung.
Namun, tidak terputus dalam arti bahwa kenabian itu dicapai melalui
20
Al-Kautsar: 3
75

pelita kenabian Muhammad s.a.w. dan memperoleh berkat-berkat dari


pelita tersebut. Yakni, orang yang memperoleh potensi/kemampuan
seperti itu, pada satu sisi merupakan ummati, dan di sisi lain karena
dicapai melalui cahaya-cahaya kenabian Muhammad s.a.w. maka di
dalamnyapun terdapat potensi-potensi. Dan pengingkaran terhadap
penyempurnaan jiwa-jiwa yang aktif di dalam umat pada cara demikian,
berarti – na'udzubillaah – Rasulullah s.a.w. adalah abtar (tidak punya
keturunan) dari kedua segi. Dari segi jasmani tidak ada putra beliau, dan
dari segi rohanipun tidak ada putra beliau. Dan para pengecam menjadi
benar, yaitu yang menyebut Rasulullah s.a.w. sebagai abtar.
Sekarang, hal ini sudah jelas, setelah Rasulullah s.a.w. pintu
kenabian mandiri (mustahil) yang diperoleh secara langsung, sudah
tertutup hingga Kiamat. Dan selama [seseorang penda’wa] tidak
mengandung hakikat ummati di dalam dirinya, dan tidak menempatkan
dirinya sebagai hamba Yang Mulia Muhammad s.a.w., maka selama itu
dia tidak dapat tampil sesudah Rasulullah s.a.w..”

“Segenap kenabian dan seluruh kitab yang telah berlalu, tidak


perlu lagi diikuti secara terpisah. Sebab, kenabian Muhammad s.a.w. telah
mencakup dan merangkum semua itu. Dan selain [Islam] ini, semua jalan
sudah tertutup. Segenap kebenaran yang mengantarkan sampai kepada
Allah, sudah terdapat di dalamnya. Tidak ada kebenaran baru yang akan
datang sesudahnya, dan tidak pula ada kebenaran masa lalu yang tidak
tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, segenap kenabian berakhir dan
memang seharusnya berakhir pada kenabian [Muhammad s.a.w.] ini.
Sebab, sesuatu yang bermula, baginya terdapat akhir. Namun, kenabian
Muhammad s.a.w. ini, tidak kosong dari kemampuannya secara
substansial untuk menyebarkan karunia/berkat-berkat. Justru di dalamnya
paling banyak terdapat karunia/berkat dibandingkan segenap kenabian
yang ada. Dengan mengikuti kenabian ini, mengantarkan kita sampai
kepada Allah dengan cara yang sangat mudah. Dan dengan mengikutinya,
anugerah kecintaan Allah Ta’ala serta mukaalamah mukhaathabah-Nya
dapat diraih melebihi apa-apa yang dicapai di masa sebelumnya. Namun,
pengikutnya yang sempurna tidak dapat hanya dikatakan sebagai nabi
saja. Sebab, dengan itu timbul cela pada kenabian sempurna Muhammad
s.a.w.. Ya, pada diri [pengikut sempurna] itu kata ummati dan kata nabi
secara bersamaan bisa tepat keduanya. Sebab, dengan itu tidak timbul cela
pada kenabian sempurna Muhammad s.a.w.. Justru, cahaya kenabian ini
semakin tampil berkilauan akibat karunia/berkat-berkat kenabian
sempurna Muhammad s.a.w.. Dan ketika mukaalamah mukhaathabah
(percakapan wahyu/ilhamiyah dengan Allah Ta’ala -peny.) tersebut
mencapai derajat kesempurnaan dari segi kualitas maupun kuantitasnya,
dan sedikitpun tidak tersisa kekaburan di dalamnya, dan secara jelas
mencakupi perkara-perkara ghaib, maka hal itulah yang dalam kata lain
76

disebut nubuwwat/kenabian. Dan segenap nabi sepakat akan hal itu. Jadi,
tidaklah mungkin segenap individu dalam umat [Rasulullah s.a.w.] ini
luput dari derajat mulia itu dan tidak ada satu orangpun yang memperoleh
derajat tersebut. Padahal mengenai umat ini telah difirmankan:

{Insert arabic: 39}

[Artinya: Kamu adalah umat terbaik, dibangkitkan bagi umat manusia21].

Dan bagi umat ini telah diajarkan doa:

{Insert arabic: 40}

[Artinya: Tunjukilah kami jalan lurus, jalan orang-orang yang telah


Engkau beri nikmat/anugerah kepada mereka22].
Dan dalam kondisi demikian tidak hanya ini kerusakan yang
timbul, yakni umat Muhammad s.a.w. ini memiliki kekurangan dan tidak
sempurna, serta semuanya bagaikan orang-orang buta. Melainkan, juga
terdapat cacat ini, yakni timbul cela pada kemampuan Rasulullah s.a.w.
menyampaikan karunia/berkat-berkat, dan quwwat qudsiyah beliau s.a.w.
jadi tidak sempurna. Dan bersamaan dengan itu, doa-doa yang telah
diajarkan agar dipanjatkan dalam shalat lima waktu, menjadi sia-sia saja
diajarkan. Namun, kerusakan yang timbul pada sisi lain adalah, jika
kedudukan itu dapat dicapai oleh seseorang di dalam umat secara langsung
tanpa mengikuti cahaya kenabian Muhammad s.a.w., maka makna
Khatamun Nubuwwat menjadi gugur.
Jadi, untuk menghindarkan kedua kerusakan tersebut Allah Ta’ala
telah menganugerahkan mukaalamah mukhaatabah (percakapan) yang
yang sempurna, lengkap, suci, dan kudus kepada beberapa orang yang
telah memperoleh derajat sempurna dalam hal Fana fir Rasul s.a.w.
(mabuk dalam kecintaan terhadap Rasulullah s.aw.). Dan tidak ada lagi
tabir diantaranya. Dan makna ummati serta makna mengikuti telah terdapat
pada diri mereka dalam derajat yang lengkap dan sempurna. Dalam bentuk
demikian, wujud mereka tidak lagi merupakan wujud mereka, melainkan
pada cermin kefanaan mereka itu telah memantul bayangan wujud
Rasulullah s.a.w.. Dan di sisi lain mereka telah memperoleh mukaalamah
mukhaathabah Ilahiyyah secara lengkap dan sempurna seperti nabi-nabi.”
(Al-Washiyyat, h.11,12).

“Jika saya bukan umat Rasulullah s.a.w. dan tidak mengikuti


beliau s.a.w., maka walaupun amal-amal saya sama dengan segenap
gunung di dunia ini, tetap saja saya sama-sekali tidak akan pernah

21
Ali ‘Imran: 110
22
Al-Fatihah: 6, 7
77

memperoleh anugerah mukaalamah mukhaathabah. Sebab, sekarang


selain kenabian Muhammad s.a.w., segenap kenabian telah tertutup.”
(Tajalliyat-e-Ilahiyyah, h. 24,25).

----------ooo0ooo----------

Tafsir Ayat Khaataman Nabiyyiin


(Insert arabic: 41)

Muhammad Rasulullah s.a.w. bukanlah bapak bagi salah seorang dari


antara laki-laki dewasa kalian, tetapi merupakan Rasul Allah dan
Khaatamun Nabiyyiin. (Ah-Ahzab:40).

Tidak menjadi bapak bagi seorang laki-laki dewasa, bukanlah suatu dalil bahwa
seseorang itu bukan nabi. Jika Quran Karim telah memaparkan dalil ini bahwa seseorang
yang bukan bapak bagi seorang laki-laki dewasa tidak dapat menjadi nabi, atau seperti itu
akidah yang dianut oleh beberapa umat sebelum Quran Karim, maka kami mengatakan
bahwa di dalam Quran Karim telah diterangkan pengecualian akidah itu, atau telah
dilakukan penolakan terhadap akidah tersebut. Akan tetapi, ini bukanlah akidah umat
tertentu, bahwa jika seseorang bukan merupakan bapak bagi seorang laki-laki berarti dia
tidak dapat menjadi nabi. Umat Islam dan Kristen mengakui kenabian Yahya a.s.. Dan
orang Yahudi mengakui kesucian beliau. Namun, tidak ada yang mengakui bahwa beliau
mempunyai anak. Sebab, Yahya a.s. kawinpun tidak.
Jadi, apa artinya ayat ini, bahwa Muhammad s.a.w. bukanlah bapak bagi salah
seorang dari antara laki-laki dewasa kalian, tetapi beliau seorang nabi. Pasti ada landasan
penyebab bagi kalimat ini. Lalu inipun hendaknya dipikirkan bahwa seseorang yang
mengenainya orang-orang telah keliru mengatakan bahwa dia (Zaid r.a.) adalah anak
angkat Rasul Karim s.a.w., setelah pernyataan ayat ini berarti dia bukan lagi anak angkat
beliau. Hal itu apa kaitannya dengan kenabian Rasul Karim s.a.w. ? Kemudian apa
hubungan hal itu dengan Khatamun Nubuwwat beliau s.a.w. ? Apakah kalau Zaid r.a.
tidak menceraikan istrinya dan Muhammad Rasulullah s.a.w. tidak menikahi mantan istri
Zaid tersebut maka masalah Khatamun Nubuwwat akan tetap terselubung ? Apakah
masalah yang besar itu begitu saja diuraikan secara sambilan ?
Selain itu, sebagaimana telah kami tuliskan di atas, status seseorang sebagai
bapak atau tidak sebagai bapak bagi seorang laki-laki, tidak ada hubungannya dengan
kenabian. Oleh karena itu, kita hendaknya menelaah Quran Karim, apakah di tempat lain
ada diterangkan bahwa jika tidak terbukti sebagai bapak bagi laki-laki dewasa maka kata
[tersebut] jadi diragukan. Sebab, kata “laakin” di dalam bahasa Arab dan kata yang
78

semakna dengan itu pada setiap bahasa di dunia ini, digunakan untuk menjauhkan
keraguan.
Guna memecahkan persoalan ini kami melihat Quran Karim, dan tampak dengan
jelas tertulis:

(Insert arabic: 42)

Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau kautsar. Oleh sebab itu
beribadahlah kepada Allah Ta’ala dan persembahkanlah pengorbanan-pengorbanan.
Sesungguhnya musuh engkaulah yang akan tanpa anak keturunan. (Al- Kautsar: 1-3).
Ayat ini turun pada masa kehidupan Rasulullah s.a.w. di Mekkah. Di dalamnya
terdapat sanggahan yang ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekkah yang mencela
beliau ketika putra beliau wafat. Mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak punya
anak laki-laki kalau tidak sekarang, maka besok pastilah silsilahnya akan habis (Al-Bahru
Al-Muhith).
Setelah surah ini turun, orang-orang Islam berpendapat bahwa Rasulullah s.a.w.
akan memperoleh anak laki-laki dan anak itu akan hidup. Namun, yang terjadi adalah,
anak laki-laki Rasulullah s.a.w. tidak hidup seperti yang mereka duga. Musuh-musuh
yang disebut “huwal abtar”(tidak memiliki anak), justru anak laki-laki mereka tetap
hidup. Anak Abu Jahal tetap hidup. Anak 'Aash tetap hidup. Anak Walid tetap hidup
(walaupun di kemudian hari anak-anak mereka masuk Islam dan sebagian masuk dalam
kelompok sahabah ternama). Ketika terjadi peristiwa Zaid r.a. dan timbul keraguan dalam
hati orang-orang, yakni Rasulullah s.a.w. telah menikahi istri yang diceraikan oleh Zaid
yang merupakan anak angkat beliau s.a.w., dan hal itu bertentangan dengan ajaran Islam
– sebab menikahi menantu tidaklah dibenarkan – maka Allah Ta’ala berfirman bahwa,
“Kalian menganggap Zaid r.a. sebagai putra Muhammad Rasulullah s.a.w., itu adalah
salah. Muhammad Rasulullah s.a.w. bukanlah bapak bagi seorang laki-laki dewasa
manapun.” Dan kata “maa kaana” di dalam bahasa Arab tidak hanya berarti bahwa
beliau bukan bapak pada masa itu, melainkan juga bermakna bahwa di masa
mendatangpun beliau bukan merupakan bapak [bagi laki-laki manapun]. Sebagaimana di
dalam Quran Karim dikatakan:

(Insert arabic: 43)

Yakni, Allah itu Mahakuasa dan Mahabijaksana, dahulu, sekarang, dan di masa datang.
(An-Nisa:158).
Dari pengumuman itu, secara alamiah timbul sebuah keraguan lain dalam hati
orang-orang. Yakni, di Mekkah telah diumumkan melalui Surah Al-Kautsar bahwa para
musuh Muhammad Rasulullah s.a.w. akan luput dari anak-keturunan laki-laki, sedangkan
Rasulullah tidak. Namun, setelah beberapa tahun diumumkan pula di Madinah bahwa
Muhammad Rasulullah s.a.w. saat itu maupun di masa mendatang bukanlah bapak bagi
salah seorang laki-laki dewasa. Artinya adalah, nubuatan surah Al-Kautsar itu –
na’uudzubillah – terbukti tidak benar dan kenabian Muhammad Rasulullah s.a.w. jadi
diragukan.
79

Sebagai jawabannya Allah Ta’ala berfirman: “Walaakin rasulullaahi wa


khaataman nabiyyiin”. Yakni, dari pengumuman tadi itu telah timbul keraguan di hati
orang-orang bahwa pengumuman itu membuktikan -- na’dzubillaah – kedustaan
Muhammad Rasulullah s.a.w.. Namun, mengambil kesimpulan demikian adalah salah.
Walau ada pengumuman demikian, Muhammad Rasulullah s.a.w. merupakan rasul Allah,
bahkan Khaataman Nabiyyiin, yakni stempel/segel nabi-nabi. Beliau merupakan
perhiasan keindahan bagi nabi-nabi terdahulu, dan di masa mendatang tidak akan ada
orang yang dapat menempati kedudukan sebagai nabi selama padanya belum tertera
stempel Muhammad Rasulullah s.a.w.. Orang demikian itu akan merupakan putra rohani
beliau s.a.w.. Di satu sisi dengan lahirnya putra-putra rohani seperti itu dari umat
Muhammad Rasulullah s.a.w., dan di sisi lain dengan masuknya putra-putra para
pembesar Mekkah ke dalam Islam, hal ini jadi terbukti bahwa segala sesuatu yang
diberitahukan dalam surah Al-Kautsar tersebut adalah benar. Putra-putra Abu Jahal,
'Aash, dan Walid akan habis. Dan putra-putra mereka itu dengan sendirinya
menggabungkan diri dengan Muhammad Rasulullah s.a.w.. Dan putra-putra rohani beliau
s.a.w. senantiasa akan berlangsung. Dan sampai hari Kiamat, orang-orang dari antara
putra-putra rohani itu akan selalu menempati kedudukan yang tidak pernah dapat
diduduki oleh seorang perempuan, yakni kedudukan kenabian, yang hanya khusus bagi
laki-laki.
Jadi, dengan meletakkan surah Al-Kautsar di hadapan surat Al-Ahzab, maka tidak
bisa ada arti lain kecuali makna-makna tersebut. Jika Khaataman Nabiyyiin itu diartikan
bahwa Muhammad Rasulullah s.a.w. bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara laki-
laki dewasa di antara kalian, tetapi beliau adalah Rasul Allah, dan untuk di masa
mendatang sesudah beliau tidak bisa datang lagi nabi, maka ayat ini sama-sekali tidak
mengandung arti apapun. Dan tidak ada hubungannya sedikitpun dengan untaian
permasalahan. Dan kecaman orang-orang kafir yang disinggung dalam surah Al-Kautsar
menjadi dapat pengukuhan.

Tafsir Ayat Khaataman Nabiyyiin Berdasarkan


Ayat-ayat Lain Dalam Quran Majid

Quran 'Azhim adalah suatu kitab yang sempurna. Salah satu keajaibannya adalah,
Alquran tidak hanya di satu tempat saja memaparkan Khatamun Nubuwwat, melainkan
juga telah menguraikan penafsiran tentang hal itu di sejumlah tempat lainnya. Dalam
kaitan itu kami memaparkan ayat-ayat Quran Syarif di bawah ini.

PERTAMA: Di dalam Surah Al-Hajj Allah Ta’ala berfirman:

(Insert arabic: 44)


80

Allah [senantiasa] memilih rasul-rasul-Nya dari antara malaikat-malaikat


dan dari antara manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat. (Al-Hajj:75).

Sebelum ayat ini, yang disinggung adalah orang-orang yang menjadi sasaran lawan
bicara Rasul Karim s.a.w., bukan mengenai orang-orang sebelum beliau. Dan arti ayat ini
adalah, Allah memilih dan akan terus memilih dari antara malaikat-malaikat dan
manusia-manusia sebagai rasul. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha
Melihat. Dari ayat ini tampil dengan jelas bahwa di zaman Rasul Karim s.a.w., yakni di
zaman kenabian beliau, terdapat manusia-manusia lain yang memperoleh nama rasul dari
Allah Ta’ala.

KEDUA: Di dalam Surah Al-Fatihah Allah Ta’ala telah mengajarkan doa kepada
orang-orang Islam:

{Insert arabic: 45}

Ya Allah Tunjukilah kami jalan lurus, jalan orang-orang yang telah


Engkau beri nikmat atas mereka. (Al-Fatihah : 6,7).

Doa ini secara wajib dibaca oleh orang-orang Islam lima waktu sehari, dan pada waktu-
waktu lainnya secara nafal. Sekarang pertanyaannya adalah, apa jalan orang-orang yang
telah dianugerahi nikmat itu? Quran Syarif sendiri telah menjelaskannya:

{Insert arabic: 46}

Dan niscaya akan Kami bimbing mereka ke jalan lurus. (An-Nisa: 68).

Seandainya orang-orang Islam mengamalkan keputusan-keputusan Rasul Karim s.a.w.,


dan dengan senang hati mengikutinya, maka Kami akan menunjuki mereka jalan lurus.
Kemudian Alquran menjelaskan cara untuk memperoleh petunjuk ke jalan itu:

{Insert arabic: 47}

Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Muhammad Rasulullah s.a.w.


maka mereka akan termasuk di antara orang-orang yang kepada mereka
Allah Ta’ala telah memberikan nikmat, yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq,
syahid-syahid, dan orang-orang saleh. Dan, mereka itulah sahabat yang
terbaik. Inilah karunia dari Allah, dan memadailah Allah sebagai Dzat
Yang Maha Mengetahui. (An-Nisa: 69).
81

Di dalam ayat ini dengan jelas telah diberitahukan bahwa jalan orang-orang yang telah
dianugerahi nikmat itu adalah jalan yang apabila ditempuh akan memasukkan manusia ke
kalangan para nabi, shiddiq, syahid, dan saleh.
Sebagian orang mengatakan bahwa kata ma’a di situ berarti bahwa orang-orang
itu akan bersama kelompok orang yang telah dianugerahi nikmat, tetapi tidak termasuk di
dalam kelompok itu. Padahal ayat tersebut tidak dapat diartikan demikian. Sebab, dalam
bentuk demikian artinya adalah, orang-orang itu akan bersama kelompok orang yang
telah dianugerahi nikmat, tetapi tidak akan termasuk ke dalam kelompok tersebut. Yakni,
mereka akan bersama nabi-nabi, tetapi tidak akan termasuk di kalangan nabi-nabi.
Mereka akan bersama para shiddiq, tetapi tidak akan termasuk di kalangan para shiddiq.
Mereka akan bersama para syahid, tetapi tidak akan termasuk di kalangan para syahid.
Dan mereka akan bersama para saleh, tetapi tidak akan termasuk di kalangan para saleh.
Berdasarkan arti tersebut, umat Islam tidak hanya luput dari kenabian, tetapi juga telah
luput dari pangkat shiddiq. Dan apa yang telah dikatakan Rasulullah s.a.w. bahwa Abu
Bakar adalah shiddiq, na'udzubillaah, ternyata salah. Dan umat Islam juga telah luput
dari derajat syahid. Dan di dalam Quran Karim di mana Allah Ta’ala telah menyatakan
para sahabah berada pada derajat syuhada, ternyata juga salah.

{Insert arabic: 48}

Sebagai syahid/saksi atas manusia. (Al-Baqarah: 143).

Dan di kalangan para saleh juga tidak akan ada yang masuk satu orangpun dari umat ini.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa di dalam umat Islam telah berlalu banyak sekali
orang saleh, pendapat itu sama-sekali salah. Na’udzubillaah.
Apakah ada orang berakal yang menguasai Alquran dan Hadits dapat menerima
arti-arti tersebut ? Kata ma’a tidak berarti bersama, tetapi juga berarti termasuk. Di dalam
Quran Karim telah diajarkan doa ini kepada orang-orang mukmin.

{Insert arabic: 49}

Ya Allah wafatkanlah kami bersama orang-orang saleh. (Ali ‘Imran:193).

Dan setiap Muslim mengartikannya: “Wahai Allah, wafatkanlah aku dalam kondisi
termasuk di kalangan orang-orang saleh.” Tidak pernah diartikan bahwa: “Ya Allah, pada
saat seorang saleh wafat, maka pada saat itu juga wafatkanlah aku bersamanya.”
Demikian pula tertera di dalam Quran Karim:

{Insert arabic: 50}


82

Sesungguhnya orang-orang munafik berada di lapisan paling bawah dalam


api, dan engkau tidak akan mendapatkan penolong bagi mereka. Kecuali
orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh
kepada Allah, serta mereka ikhlas dalam pengabdian mereka kepada
Allah. Dan mereka ini termasuk golongan orang-orang mukmin. Dan
Allah segera akan memberi ganjaran besar kepada orang-orang mukmin.
(An-Nisa: 145-146).

Di sini tedapat kata-kata "ma’al mu’miniin". Namun, kata ma’a disini diartikan sebagai
min. Demikian pula tertera di dalam Surah Al-Hijr:

{Insert arabic: 51}

Hai Iblis, apa yang telah terjadi padamu, mengapa engkau tidak bersama
orang-orang yang bersujud. (Al-Hijr:32).

Namun, di dalam Surah Al-A’raf dikatakan “Lam yakun minassaajidiin.” Yakni, iblis
tidak termasuk di kalangan orang-orang yang bersujud (Al-A’raf:11). Jadi, di dalam
Quran Karim kata ma’a telah digunakan dalam arti min. Dan dalam kitab lughat terkenal
tentang Alquran, Mufradat Alquran tulisan Imam Raghib, juga tertulis:

{Insert arabic: 52}

Yakni, di dalam ayat “Faktubnaa ma’asy-syaahidiin” kata ma’a itu berarti


“masukkanlah kami ke dalam golongan para syahid", sebagaimana di
dalam ayat “Faulaaika ma’alladziina an’amallaahu ‘alaihim” kata ma’a
berarti bahwa orang-orang yang taat kepada Rasulullah s.a.w. akan
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat.
(Lihat Mufradat, Raghib, h. 435, di bawah kata kataba).

Lebih lanjut, penjelasan terhadap tulisan Imam Raghib tersebut di dalam Tafsir Bahrul
Muhith dikatakan:

{Insert arabic: 53}


83

Yakni, menurut Imam Raghib arti ayat ini adalah, orang-orang yang taat
kepada Rasulullah s.a.w., dari segi kedudukan dan derajat akan
dimasukkan ke dalam kalangan para nabi, shiddiq, syahid dan saleh.
Yakni, nabi umat ini dengan nabi, shiddiq dengan shiddiq, syahid dengan
syahid, saleh dengan saleh. (Lihat: Tafsir Bahrul Muhith, jld. 3, h. 387).

KETIGA: Demikian pula, dengan menyinggung tentang orang-orang Islam, Allah


Ta’ala telah berfirman di dalam Quran Karim:

{Insert arabic: 54}

Wahai anak cucu Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari antaramu
yang membacakan kepadamu Ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa bertakwa
dan memperbaiki diri, tak akan ada ketakutan menimpa mereka tentang
apa yang akan datang dan tidak pula mereka adan berduka cita tentang apa
yang sudah lampau. (Al-A’raf: 35).

Di dalam ayat ini dengan jelas telah dikatakan bahwa di dalam umat Islam rasul-rasul
akan senantiasa datang. Demikian pula di dalam Quran Karim Allah Ta’ala berfirman

{Insert arabic: 55}

Dan apabila rasul-rasul didatangkan pada waktu yang ditetapkan. (Al-


Mursalat: 11).

Yakni, di akhir zaman Allah Ta’ala akan kembali menzahirkan segenap rasul dalam
corak buruzi/bayangan. Orang-orang Syiah mengambil dalil dari situ bahwa di zaman
Imam Mahdi segenap rasul akan didatangkan dan mereka akan mengikutinya.

Di dalam Tafsif Qummi tertulis:

{Insert arabic: 56}

Sekian banyak nabi yang telah Allah Ta’ala kirimkan sejak Adam sampai
akhir, kesemuanya akan datang kembali ke dunia dan akan menolong
Amirul Mukminin Mahdi. (Tafsir Qummi, h. 23).
84

Dari ini terbukti bahwa menurut orang-orang Syiah sesudah Rasul Karim s.a.w. segenap
rasul akan datang, tetapi tetap saja Khatamun Nubuwwat beliau s.a.w. tidak akan
terputus.
Ringkasnya, beberapa ayat telah dituliskan sebagai contoh dari ayat-ayat Quran
Karim. Dari ayat-ayat itu terbukti bahwa di dalam umat Islam nabi ummati bisa datang,
dalam corak penghambaan dan pengabdian kepada Rasul Karim s.a.w., serta untuk
menyebarkan agama beliau s.a.w.. Dan hal itu merupakan dalil yang abadi serta telak
yang membuktikan bahwa Rasulullah s.a.w. adalah seorang nabi yang hidup, bahwa
Alquran adalah kitab yang hidup, dan bahwa Islam adalah agama yang hidup.

{Insert arabic: 57}

Makna Khaataman Nabiyyiin Berdasarkan Lughat Arab


Dari segi lughat, makna-makna hakiki dan majazi bagi kata khaatam yang telah
digunakan dalam bahasa Arab, Jemaat Ahmadiyah berdasarkan kesemua itu meyakini
Raslullah s.a.w. sebagai Khaataman Nabiyyiin. Misalnya:

Nabi Terakhir

Berdasarkan ayat-ayat Alquran dan Hadits-hadits Nabawi, kedudukan Yang


Mulia Muhammad Mushthafa s.a.w. sebagai Khaataman Nabiyyiin, adalah terbukti dan
jelas dalam arti bahwa beliau s.a.w. adalah yang terakhir di antara para nabi pembawa
syariat. Syariat beliau s.a.w. senantiasa tegak dan abadi, tidak akan pernah mansukh.
Makna Khaataman Nabiyyiin seperti ini diakui dan disepakati di kalangan sejumlah
firqah. Jemaat Ahmadiyah juga mengimani makna-makna itu. Menyinggung tentang
kedudukan Khataamun Nubuwwat, Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Hafidz Mirza
Nasir Ahmad mengatakan:

“Yang Mulia Muhammad Rasulullah s.a.w. adalah satu-satunya


dalam kedudukan muhammadiyyat beliau. Selain beliau s.a.w. tidak ada
orang lain yang memperoleh kedudukan itu. Beliau s.a.w. adalah
Khaataman Nabiyyiin. Dan dari segi pengangkatan/ketinggian rohani,
beliau s.a.w. adalah nabi terakhir. Beliau s.a.w. sudah menjadi nabi
terakhir sejak saat Adam a.s. belum menjadi nabi dan bahkan belum
dianugerahi wujud jasmani ini. Ringkasnya, segenap kenabian telah diraih
di bawah kenabian Muhammad s.a.w.. Sebab, demi kenabian itulah dan
demi kedudukan muhammadiyyat itulah Allah Ta’ala telah menciptakan
seluruh alam semesta ini. Oleh karena itu, walaupun Ibrahim a.s. telah
diangkat secara rohani mencapai Langit ketujuh, hal itu tidak bertentangan
dengan Khatamun Nubuwwat. Demikian pula walaupun Adam a.s. telah
85

diangkat secara rohani mencapai Langit pertama, hal itu tidak


menimbulkan kerusakan pada Khatamun Nubuwwat. Rasul Karim s.a.w.
sampai mengatakan bahwa putra-putra rohani beliau, yakni ulama-ulama
sejati, yang memperoleh ilmu-ilmu Alquran dari beliau lalu menjaga
Syariat Quran Karim agar tetap hidup dan berkilauan, dan mereka akan
senantiasa datang di setiap abad, merekapun akan seperti para nabi itu.
Yakni para nabi yang di antaranya ada yang telah mencapai Langit
pertama, ada yang di Langit kedua, ada yang di Langit ketiga, ada yang di
Langit keempat, ada yang di Langit kelima, dan ada yang di Langit
keenam. Dan ada satu yang akan lahir, yaitu yang setelah menempuh
seluruh tahap penghambaan dan kecintaan yang mendalam, serta karena
memperoleh kedudukan-kedudukan kecintaan sangat tinggi, dia akan
mencapai Langit ketujuh di sisi Ibrahim a.s., dan akan memperoleh tempat
di telapak kaki Yang Mulia Muhammad Mushthafa s.a.w.. Sebagaimana
pengangkatan Ibrahim a.s. secara rohani ke Langit ketujuh tidak
menentang Khatamun Nubuwwat, demikian pula pengangkatan secara
rohani hingga ke Langit ketujuh terhadap putra rohani agung Nabi Akram
s.a.w. tidaklah menimbulkan cela/kerusakan pada kedudukan
muhammadiyyat yang dimiliki Rasulullah s.a.w..
Gambaran yang kedua, hakikat Mi’raj mengajarkan kepada kita
bahwa pengangkatan-pengangkatan seseorang secara rohani hingga ke
Langit ketujuh tidak menimbulkan cela/kerusakan apapun pada kedudukan
Khatamun Nubuwwat. Sebab, kedudukan khataman Nubuwat ini adalah
lebih tinggi dari kedudukan tersebut. Dan telah diperintahkan kepada kita
agar berusaha sesuai kemampuan kita masing-masing untuk meraih
pengangkatan-pengangkatan secara rohani. Dan kepada kita telah
diberikan kabar suka bahwa di dalam umat Islam akan lahir seorang putra
perkasa Rasulullah s.a.w. yang akan mencapai Langit ketujuh, dan
kedudukannya berada di telapak kaki Rasul Akram s.a.w..” (Al-Fadhl, 17
April 1973).

Lebih lanjut silahkan simak suplemen no. 8 berupa pamplet “Maqaam Muhammadiyyat
Ki Tafsir.” Pendiri Jemaat Ahmadiyah, dalam buku beliau Izalah Auham menuliskan:

“Junjungan kita [Rasulullah] s.a.w. telah mencapai kedudukan paling


tinggi di Langit, yang sesudahnya tidak ada lagi kedudukan lain. Berada di
Sidratul Muntaha di sisi Sang Rafiqul A’la. Dan salam serta shalawat
umat senantiasa dipanjatkan ke hadapan Rasulullah s.a.w..

{Insert arabic: 58}


86

Pemimpin Nabi-nabi

Kenabian adalah suatu kedudukan rohani. Nabi adalah seorang yang memiliki
martabat/derajat. Khaatam di kalangan wujud yang memiliki kedudukan dan martabat,
adalah dia yang meraih derajat paling akhir dalam kedudukan tersebut.
Sebagai bukti akan hakikat tersebut, di bawah ini dituliskan 41 contoh
penggunaan istilah khaatam dalam makna demikian, di anak benua India dan Pakistan,
serta di negeri Arab:

1. Penyair Abu Tamam (188-231 H / 804 – 845 M) dijuluki Khaatamusy Syu’ara


(Wafiyatul A’yan, jld.I).
2. Abu Thayyib (303 – 354 H / 915 – 965 M) dijuluki Khaatamusy Syu’ara
(Muqaddimah Diwan al-Mutanabbi, Mesir, halaman “ya”.).
3. Abul 'Alaa Al-Ma’arra ( 363 – 449 H / 973 – 1057 M) dijuluki sebagai Khaatamusy
Syu’ara (Muqaddimah Diwan al-Mutanabbi, Mesir, catatan kaki halaman “ya”.).
4. Syekh Ali Hazin (1113-1180 H / 1701-1767 M) diakui di India sebagai Khaatamusy
Syu’ara (Hayat –e- Sa’adi, h.117).
5. Habib Syerazi diakui sebagai Khaatamusy Syu'ara di Iran (Hayat-e-Sa’adi, h. 87).
6. Sayyidina Ali r.a. merupakan Khaatamul Awliyaa (Tafsir Shaafi, surat Al-Ahzab).
7. Imam Syafi’i (150-204 H / 767-820 M) merupakan Khaatamul Awliyaa (Al-Tuhfah
al-Suniyyah, h.45).
8. Syekh Ibnu Arabi (560-638 H/1164-1240 M) merupakan Khaatamul Awliyaa
(Futuhaat Makiyyah, lembar judul).
9. Kafur dijuluki Khaatamul Karaam (Syarah Diwan al-Mutanabbi,h. 304).
10. Imam Muhammad Abduh Mishri dijuluki Khaatamul Aimah (Tafsir Al-Fatihah,
h.148).
11. Sayyid Ahmad al-Sanusi dijuluki Khaatamul Mujaahidiin (Surat kabar Al-Jami’atul
Islamiyah, Palestina , 27 Muharram 1352 H).
12. Ahmad bin Idris dijuluki Khaatimatul Ulama al-Muhaqqiqiin (al-Uqd al-Nafis).
13. Abul Fadhl al-Alusi dijuluki Khaatamul Muhaqqiqiin (Tafsir Ruhul Ma’aani, lembar
judul).
14. Syek al-Azhar Salim al-Basyri dijuluki Khaatamul Muhaqqiqiin (Al-Harab,h.372).
15. Imam Suyuthi (wafat 911 H/1505 M) dikatakan sebagai Khaatimatul Muhaqqiqiin
(Tafsir Itiqaan, lembar judul).
16. Syah Waliullah Dhelwi disebut Khaatamul Muhaddatsiin ('Ijalah Naafi’ah).
17. Syekh Syamsyuddin dijuluki Khaatimatul Huffaadz (Al-Tajrid al-Shariyh,
muqadimah h. 4).
18. Wali yang paling agung adalah Khaatamul Awliyaa (Tadzkiratul Awliyaa, h.422).
19. Seorang wali yang mengalami kemajuan demi kemajuan dapat menjadi Khaatamul
Awliyaa (Futuhul Ghaib, h.43).
20. Syekh Najib diakui sebagai Khaatimatul Fuqahaa (Surat kabar Shirothol Mustaqiim,
Yafa, 27 Rajab 1354 H).
21. Syekh Rasyid Ridha dijuluki Khaatimatul Mufassiriin (Al-Jami’atul Islamiyah, 9
Jumaditsaani 1354 H).
87

22. Syekh Abdul Haq (958-1052 H/1551-1642 M) dijuluki Khaatimatul Fuqahaa (Tafsir
Al-Aklil, lembar judul).
23. Syekh Muhammad Najib merupakan Khaatimatul Muhaqqiqiin (Al-Islam Mishri,
Sya’ban 1354 H).
24. Wali yang paling afdhal adalah Khaatamul Walaayah (Muqaddimah Ibnu Khaldun,
h. 271).
25. Syah Abdul Aziz (1159-1236 H) merupakan Khaatamul Muhadditsiin wal
Mufassiriin (Hadiyatusy Syi’ah, h.4).
26. Manusia merupakan Khaatamul Makhluqaat al-Jasmaniyyah (Tafsir Kabir, jld. 6, h.
22, cetakan Mesir).
27. Syekh Muhammad bin Abdullah merupakan Khaatimatul Huffaadz (Ar-Rasail al-
Nadirah, h. 30).
28. 'Allamah Sa’aduddin Taftazani merupakan Khaatimatul Muhaqqiqiin (Syarah Hadits
Al-Arba’in, h. 1).
29. Ibnu Hajar Al-Asqalaani merupakan Khaatimatul Hufaadz (Tabqatul Mudassiin,
lembar judul)
30. Maulwi Muhammad Qasim (1148-1297 H) dijuluki Khaatamul Mufassiriin (Israr
Qur’ani, halaman judul).
31. Imam Suyuthi merupakan Khaatimatul Muhadditsiin (Hadiyatusy Syi’ah, h. 210).
32. Raja merupakan Khaatamul Hukkaam (Hujjatul Islam, h. 35).
33. Nabi Isa merupakan Khaatamul Ashfiyaa al-Aimah (Baqiyatul Mutaqaddimiin, h.
184).
34. Ali merupakan Khaatamul Awshiyaa (Minarul Hudaa, h. 109).
35. Syekh Ash-Shadduq dijuluki Khaatamul Muhadditsiin (Kitab Man Laa Yahdharuhul
Faqiyh)
36. Abul Fadhl Syahabul Ulusi (773-854 H/1371-1450 M) disebut Khaatamul Udabaa
(Ruhul Ma’aani, halaman judul).
37. Penulis Ruhul Ma’aani menjuluki Syekh Ibrahim al-Kurani sebagai Khaatimatul
Muta-akhiriin (Tafsir Ruhul Ma’aani, jld. 5, h. 453).
38. Maulwi Anwar Syah Kasymiri disebut Khaatamul Muhadditsiin (Kitab Rais al
Ahrar, h. 99)
39. Fariduddin ‘Athaar (513-620 H/1116-1223 M) mengatakan tentang Umar r.a. di
dalam Manthiq ath-Thair, hal. 29:

{Insert arabic: 59}

40. Maulana Haali menuliskan tentang Syekh Sa’adi:

“Menurut saya, sebagaimana penguraian tentang tangkisan dan


serangan serta tentang peperangan dan pertempuran telah
khatam/berakhir pada Firdausi, demikian pula penguraian tentang
akhlak, nasihat dan petunjuk, tentang cinta dan semangat muda,
tantang lelucon dan kejenakaan, tentang zuhud dan riya, dan
88

sebagainya telah khatam/berakhir pada Syekh [Sa’adi].” (Hayat-e-


Sa’adi, h. 108).

41. Maulwi Muhammad Qasim Nanutwi (1148-1297 H). menuliskan:

“Jadi, seseorang yang di dalam dirinya sifat ini banyak tampil, yaitu
Khaatamush Shifaat, yakni sifat yang di atasnya tidak ada lagi sifat
lain, yakni tidak ada sifat lebih tinggi lagi dari itu yang patut
dianugerahkan kepada makhluk-makhluk, berarti orang itu di kalangan
makhluk merupakan Khaatamul Maraatib, dan orang itu merupakan
pemimpin semua pihak, dan merupakan yang paling afhdal/mulia.”
(Intisharul Islam, h. 45)

Dari penggunaan-penggunaan ini tampak jelas bahwa menurut orang-orang Arab


dan para ulama muhaqqiqiin lainnya, bila saja seorang tokoh tertentu disebut khaatamusy
syu’araa, atau khaatamul fuqahaa, atau khaatamul muhadditsiin, atau khaatamul
mufassiriin, maka artinya adalah penyair terbaik, faqih paling besar, dan muhaddits atau
mufassir yang memiliki derajat paling tinggi.
Berdasarkan makna-makna tersebut, arti Khaatamun Nabiyyiin adalah, pada
wujud Yang Mulia Muhammad Mushthafa s.a.w. telah berakhir segenap potensi kenabian
dan kerasulan. Tidak ada nabi yang lebih besar atau yang menyamai beliau. Dan tidak
ada yang mampu untuk itu. Beliau s.a.w. merupakan Afdhalul Anbiyaa (Nabi yang paling
afdhal/unggul) dan Sayyidul Mursaliin (Rasul paling mulia), dan beliau s.a.w. merupakan
himpunan potensi segenap nabi. Ulama umat tetap sepakat dengan makna-makna
Khaatamun Nabiyyiin demikian. Dan Jemaat Ahmadiyah juga mengakui makna
Khaatamun Nabiyyiin ini dari segala segi. Pendiri Jemaat Ahmadiyah bersabda:

“Adalah akidah saya bahwa jika Rasulullah s.a.w. diletakkan terpisah dan
segenap nabi yang telah berlalu hingga saat itu kesemuanya berkumpul
lalu mereka ingin melakukan pekerjaan dan perbaikan yang telah
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., maka mereka sama-sekali tidak akan
dapat melakukannya. Di dalam diri mereka tidak terdapat kalbu dan
kekuatan seperti yang dimiliki Nabi kita s.a.w.. Jika ada yang mengatakan
[pernyataan] ini merupakan -- ma’adzallaah -- suatu ketidaksopanan
terhadap para nabi itu, berarti orang bodoh itu melontarkan kedustaan
terhadap diri saya. Saya menganggap sikap menghormati para nabi
sebagai bagian dari keimanan saya. Akan tetapi keunggulan Nabi Karim
s.a.w. atas segenap nabi lainnya, adalah suatu hal yang merupakan bagian
terbesar keimanan saya dan telah bercampur dalam urat nadi darah saya.
Ini bukanlah ikhtiar saya untuk mengeluarkannya.” (Al-Hakam, 17 Januari
1901).

Yang Menutup/Mengakhiri Para Nabi


89

Jika diartikan sebagai seorang “yang menutup/mengakhiri para nabi,” maka perlu
disimak, dalam bentuk apa Rasulullah s.a.w. telah menutup/mengakhiri para nabi.
Masalahnya bukanlah menutup/mengakhiri kehidupan jasmani dan lahiriah. Segenap nabi
itu memang sudah wafat sejak sebelumnya. Ada satu nabi yang dianggap masih hidup,
Isa a.s.. Beliau dinyatakan masih hidup setelah Yang Mulia Khaatamun Nabiyyiin s.a.w..
Selebihnya, menutup/mengakhiri secara makna, adalah benar. Yakni, Yang Mulia
Khaatamun Nabiyyiin telah menutup/mengakhiri segenap nabi dari segi
potensi/kemampuan-kemampuan. Yakni, beliau s.a.w. merupakan yang paling sempurna,
paling tinggi, dan paling mulia dari sekalian nabi. Dan kelebihan beliau s.a.w. adalah,
tidak hanya kenabian saja, melainkan segenap potensi rohanipun telah berakhir pada
beliau s.a.w.. Sebagaimana Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengatakan:

{Insert arabic: 60}

Lebih lanjut beliau menuliskan di dalam buku beliau Taudhih Maram:

“Sayyidina wa Maulaanaa Sayyidul Kul wa Afdhalur Rusul, Yang Mulia


Khaatamun Nabiyyiin, Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi
wasallam, bagi beliau…terdapat kedudukan paling mulia dan derajat
paling tinggi, yang telah berakhir pada Pribadi Pemilik Sifat-sifat Paling
Sempurna itu. Tidak ada yang dapat mencapai kondisi beliau itu. Tidak
ada yang mampu meraihnya.”

Stempel Nabi-nabi

Di dalam bahasa Arab, kata khaatam berarti stempel. Jemaat Ahmadiyah juga
meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai stempel nabi-nabi. Pendiri Jemaat Ahmadiyah
menuliskan di dalam buku beliau Haqiqatul Wahiy:

"Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah s.a.w. sebagai pemilik


khaatam. Yakni, kepada beliau telah diberikan stempel untuk
menyampaikan karunia/berkat sempurna, yang sama-sekali tidak diberikan
kepada nabi lainnya. Itulah sebabnya beliau s.a.w. telah dinamakan
Khaatamun Nabiyyiin. Yakni, upaya mengikuti beliau s.a.w. akan
menganugerahkan potensi-potensi kenabian, dan sorotan rohani beliau
dapat membentuk nabi. Dan quwwat qudsiyah ini tidak dimiliki oleh nabi
lainnya. Inilah arti hadits 'Ulama ummatiy ka-anbiyaai Baniy Israaiyl.'
Dan di kalangan Bani Israil, walaupun banyak nabi telah datang, tetapi
kenabian mereka bukanlah akibat mengikuti Musa a.s.. Melainkan,
kenabian-kenabian itu secara langsung merupakan suatu anugerah dari
Tuhan. Disitu sedikitpun tidak ada peran upaya mengikuti Musa a.s.."
(Haqiqatul Wahiy, catatan kaki, h.97).
90

Bersama itu Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan warna yang sangat tegas menyatakan
bahwa dampak-dampak stempel Muhammad s.a.w. ini hanya dapat diraih melalui
penghambaan diri terhadap Rasulullah s.a.w. saja. Dalam buku beliau Haqiqatul Wahiy,
beliau menuliskan:

"Saya senantiasa melihat dengan pandangan penuh takjub, yakni


Nabi Arabi yang bernama Muhammad s.a.w. ini (ribuan dan ribuan
shalawat serta salam atasnya), betapa ia merupakan nabi yang berderajat
paling tinggi. Puncak akhir kedudukannya yang paling tinggi itu tidak
dapat diketahui. Dan mengukur dampak kekudusannya bukanlah
pekerjaan manusia. Sangat disayangkan, sebagaimana seharusnya
kebenaran itu dikenali, derajatnya ternyata tidak dikenali demikian.
Padahal Tauhid yang telah hilang dari dunia, justru dialah seorang satria
yang telah membawanya kembali ke dunia ini. Dia telah menjalin
kecintaan yang paling tinggi dengan Allah. Dan dalam bersikap solider
terhadap umat manusia, dia paling hebat dalam merelakan jiwanya untuk
menanggung segala penderitaan. Oleh karena itu, Allah yang mengenal
rahasia kalbunya, telah menganugerahkan keunggulan kepadanya atas
segenap nabi dan segenap awwaliin maupun akhiriin. Dan Allah telah
memenuhi cita-cita/impiannya dalam hidupnya juga. Dialah yang
merupakan mata-air setiap karunia/berkat. Dan seseorang yang
menda’wakan suatu fadhilah (keunggulan) tanpa melalui karunianya,
berarti orang itu bukanlah manusia, melainkan anak setan. Sebab, kunci
fadhilah telah diserahkan kepadanya.” (Haqiqatul Wahiy, h. 115,116).

Segala sesuatu yang telah dituliskan oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengenai
Khatamun Nubuwwat pada sisi tersebut, juga didukung dan dibenarkan oleh para ulama
masa sekarang. Ulama terkenal dari kelompok Deobandi, Maulana Mahmudul Hasan dan
Maulana Syabbir Ahmad Usmani, menuliskan di dalam Tarjamah-e-Quran:

“Sebagaimana segenap jenjang cahaya di alam sarana ini berakhir pada


matahari, demikian pula untaian segenap jenjang dan potensi-potensi
kenabian serta kerasulan berakhir pada Ruh Muhammad s.a.w..
Berdasarkan itu dapat dikatakan bahwa dari segi derajat dan zaman, beliau
adalah Khaatamun Nabiyyiin. Dan siapa-siapa saja yang telah
memperoleh kenabian, itu diperoleh setelah mendapatkan stempel beliau
s.a.w. terlebih dahulu.”

Demikian pula Pimpinan Daarul ‘Uluum Deoband, Maulana Qaadir Muhammad Thayyib
mengatakan:

“Kemuliaan beliau s.a.w. tidak hanya pada kenabian, melainkan juga pada
potensi penganugerahan kenabian. Yakni, siapapun yang telah tampil di
hadapan beliau dengan memperoleh kemampuan-kemampuan kenabian,
91

maka dia telah menjadi nabi,” (Aftaab Nubuwwat Kaamil, h. 109, Idarah
Usmaniyah, Anarkali, Lahore).

Kesimpulan

Ringkasnya, dari sudut pandang apapun hal ini diperhatikan – Alquran, Hadits,
dan bahasa Arab – hakikat ini menjadi tampil bagai cahaya matahari. Yakni, pada masa
sekarang ini, di dunia umat Islam, hanya Jemaat Ahmadiyah-lah satu-satunya yang
memperoleh kebanggaan serta anugerah untuk mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai
Khaatamun Nabiyyiin dari segala segi, serta mengimani akidah suci ini dengan bashirat
yang tinggi. (Untuk kejelasan lebih lanjut, bersama ini dilampirkan pamplet “Ham
Musalman Hein” dan “Hamara Mauqif” serta “Azhym Ruhani Tajalliyaat” sebagai
suplemen nomor 9,10, dan 11).

Pendiri Jemaat Ahmadiyah bersabda:

“Kami justru menganut agama umat Muslim.


Dari kedalaman kalbu ini kami merupakan khadim bagi Khatamul
Mursaliin s.a.w..
Kami membenci syirik dan bid’ah.
Kami dengan menghinakan diri sangat menjunjung tinggi Sang Ahmad
s.a.w..
Kami mengimani segala perintahnya.
Jiwa dan raga kami korbankan di jalan ini.
Kalbu sudah diberikan, kini yang ada tinggal jasad hina.
Keinginan kami adalah, semoga jasad inipun setia.”

(Izalah Auham, h. 414).

Tafsir Khaataman Nabiyyiin


Berdasarkan Hadits-hadits Nabawiyah

PERTAMA: Setelah turunnya ayat Khaataman Nabiyyiin, untuk memahami artinya


Rasul Akram s.a.w. telah menyerahkan sebuah kunci yamg sangat kokoh ke tangan umat.
Untuk lebih jelasnya, ayat Khaataman Nabiyyiin turun pada tahun 5 Hijriah. Dan pada
tahun 9 Hijriah putra Rasulullah s.a.w. yaitu orang telah lahir dan telah pula wafat. Pada
saat kewafatannya Nabi Suci s.a.w. bersabda:

{Insert arabic: 61}


92

“Seandainya [Ibrahim] hidup, tentu dia akan menjadi seorang nabi yang
benar.” (Ibnu Majah, Kitabul Janaiz).

Sabda Rasulullah s.a.w. ini adalah sesudah turunnya ayat Khaataman Nabiyyiin. Dan dari
sabda tersebut tampil penafsiran yang jelas terhadap ayat Khaataman Nabiyyiin.
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa kata Khaataman Nabiyyiin bukanlah halangan untuk
menjadi nabi shiddiq atau nabi ummati. Jika menurut Rasulullah s.a.w. Khaataman
Nabiyyiin itu berarti bahwa sesudah beliau tidak bisa lagi datang nabi jenis apapun, maka
pada kesempatan itu tentu Rasulullah s.a.w. mengatakan: “Jika putra saya, Ibrahim ini
hidup, tetap saja dia tidak dapat menjadi nabi. Sebab, saya adalah Khaatamun Nabiyyiin.”
Namun, Rasulullah s.a.w. mengatakan, "Walaupun saya merupakan Khaatamun
Nabiyyiin, jika putra saya tetap hidup, tentu dia akan menjadi seorang nabi." Yakni, yang
menjadi penghalang bagi Ibrahim untuk menjadi nabi adalah kewafatannya, bukan ayat
Khaataman Nabiyyiin. Jelaslah, hal itu sama seperti ketika seorang mahasiswa cerdas
wafat lalu dikatakan, “Jika dia hidup, tentu dia akan meraih gelar M.A..” Kalimat ini
akan diucapkan demikian apabila memang sangat mungkin bagi orang-orang untuk lulus
ujian M.A.. Jika tingkat M.A. itu sendiri telah tertutup, dan tidak mungkin bagi siapapun
untuk meraih gelar M.A., maka pada saat kewafatan seorang mahasiswa cerdas tentu
tidak dapat dikatakan, “ Jika dia hidup, tentu dia akan meraih gelar M.A..”

Tokoh-tokoh besar Ahli Hadits sepakat mengenai keshahihan hadits “Lau ‘aasya
lakaana shiddiiqan nabiyyan.” Imam Syahaab menuliskan:

{Insert arabic: 62}

“Tentang keshahihan hadits itu tidak diragukan lagi. Sebab, yang


meriwayatkannya adalah Ibnu Majah dan lainnya, seperti yang telah
dikatakan oleh Ibnu Hajar.” (Asy-Syahaab ‘Alal Baydhowi, jld. 7, h. 175).

Mullah ‘Al Qaari, seorang imam terkenal mazhab Hanafi di kalangan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, menuliskan hadits ini dengan menyatakan kebenaran riwayat dan bobotnya
melalui tiga cara:

{Insert arabic: 63}


93

“Jika Ibrahim hidup dan menjadi nabi, demikian pula Umar menjadi nabi,
maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah s.a.w.. Seperti
halnya Isa, Khidir, dan Ilyas ‘alaihimus salaam. Hal itu tidak
membatalkan Khaatamun Nabiyyiin. Sebab, Khaatamun Nabiyyiin itu
artinya adalah, sesudah Rasulullah s.a.w. tidak bisa lagi datang nabi lain
yang membatalkan Syariat beliau s.a.w. dan bukan ummati beliau s.a.w..“
(Maudhu’aat Kabiir, Mulla ‘Ali Qaari, h. 69).

KEDUA: Di dalam hadits Muslim, mengenai Masih Mau'ud yang akan datang itu, empat
kali telah digunakan kata nabiullaah. (Shahih Muslim, jld. 2, bab Dzikrud Dajjaal).

KETIGA: Terdapat sebuah hadits mashur dari Rasulullah s.a.w.:

{Insert arabic: 64}

Abu Bakar adalah yang paling afdhal di dalam umat ini, kecuali bila ada
nabi. (Kunuzul Haqaiq).

KEEMPAT: Dari Aisyah r.a. diriwayatkan, sabdanya:

{Insert arabic: 65}

“Katakanlah beliau itu Khaatamul Anbiyaa, tetapi jangan katakan tidak


ada nabi sesudah beliau.” (Takmilah Majma’ul Bihaar, h. 83).

Kemudian hadits Ibnu Majah yang telah dipaparkan di atas, di situ Rasulullah s.a.w.
bersabda, “ Jika putra saya Ibrahim hidup, tentu dia akan menjadi nabi.”
Dari hadits-hadits ini jelas bahwa di dalam umat ini pintu satu jenis kenabian
masih terbuka, yakni pintu untuk memperoleh kenabian melalui Fana fir Rasul s.a.w.
Memang ada hadits-hadits lain yang bertentangan dengan hadits-hadits ini. Di
dalam hadits-hadits itu secara zahir pintu kenabian dinyatakan telah tertutup. Menurut
kami, secara mendasar, pemecahan terhadap sejumlah hadits tersebut adalah, hadits-
hadits yang menyatakan kenabian telah tertutup, di situ yang dimaksud adalah kenabian
yang membawa syariat atau kenabian mandiri. Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan
adanya kemungkinan kenabian, di situ yang dimaksud adalah kenabian yang tidak
membawa syariat dan merupakan kenabian ummati. Dengan demikian terjadi kesesuaian
pada seluruh hadits tersebut. Dan dengan demikian pula seluruh hadits itu menjadi sesuai
dengan ayat-ayat Quran Majid. (Untuk lebih rinci lagi mengenai hal ini silahkan simak
buku Al-Qaulul Mubiin Fii Tafsir Khaatamin Nabiyyiin, yang dilampirkan sebagai
tambahan no. 6).
Jadi, dengan menyimak sejumlah hadits nabawiyah sekaligus, akan tampak jelas
bahwa sesudah Rasul Akram s.a.w. kedatangan para nabi pembawa syari’at baru atau
para nabi mandiri, telah tertutup. Ya, kemungkinan datangnya nabi ummati dan nabi yang
mengikuti Syariat Muhammad s.a.w. masih terbuka. Atas dasar itulah sejumlah firqah
94

mempercayai Masih Mau'ud yang akan datang itu sebagai nabi yang mengikuti
Rasulullah s.a.w.. Mereka meyakininya sebagai nabi ummati Rasulullah s.a.w.. Dan
demikianlah akidah Jemaat Ahmadiyah.

Orang-orang Suci Terdahulu Dan Tafsir Khatamun Nubuwwat:


Jemaat Ahmadiyah juga menda’wakan bahwa Jemaat ini secara prinsip dan
mendasar mengakui dengan sepenuh hati segenap penafsiran Khatamun Nubuwwat yang
menjunjung tinggi dan menjulangkan kemuliaan Rasulullah s.a.w., yang dipaparkan oleh
para tokoh suci di dalam umat Islam selama 13 abad ini pada masanya masing-masing.
(Sebagai bukti hal itu, terlampir buku “Khaatamul Anbiyaa” sebagai suplemen no. 7).

----------ooo0ooo----------
95

HAKIKAT TUDUHAN
MENGINGKARI JIHAD

Hakikat Jihad Dalam Islam


Menurut Pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah
Para penentang Pendiri Jemaat Ahmadiyah juga telah melontarkan tuduhan ini
kepada beliau bahwa beliau – na’udzubillaah – telah menghapuskan jihad yang
merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Tuduhan ini sama-sekali tidak berdasar.
Jihad adalah suatu kewajiban penting dalam Islam, mengenai kedudukannya yang wajib
dan penting itu terdapat keterangan jelas dalam Quran Karim dan Hadits-hadits Nabawi.
Jihad adalah suatu kata mendalam yang mengandung makna luas. Para ulama dan fuqaha
telah mengakui banyak macam dalam jihad. Misalnya, jihad binnafs, jihad bilmaal, jihad
bil’ilm, jihad akbar, jihad kabir, jihad ashghar, dan sebagainya.
96

Sejauh yang berkaitan dengan jihad ashghar yakni jihad bissayf (jihad dengan
pedang), para ulama dan fuqaha sebelum Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah
memberlakukan kondisi-kondisi khusus dan persyaratan terhadap jihad jenis ini yang
dalam istilah Alquran disebut qitaal. Malangnya, beriringan dengan jangka waktu yang
panjang, di kalangan umat Islam telah timbul makna yang keliru tentang jihad, yakni
jihad itu diartikan menyebarkan Islam melalui peperangan dan kekuatan pedang.

Mengenai hakikat jihad Islami, berikut ini dipaparkan sabda-sabda penuh makrifat
dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah:

“Sekarang saya ingin menuliskan jawaban pertanyaan, mengapa


Islam memerlukan jihad, dan apa yang dimaksud dengan jihad?
Hendaknya jelas, ketika Islam lahir, sejak saat itu juga Islam terpaksa
menghadapi kesulitan-kesulitan besar, dan segenap kaum telah menjadi
musuhnya. Ini memang merupakan suatu hal yang wajar, ketika seorang
nabi atau rasul diutus dari Allah, dan orang-orang di dalam golongannya
tampak merupakan suatu kelompok yang memiliki kemampuan tinggi,
muttaqi, tangguh dan penuh kemajuan, maka mengenai nabi/rasul tersebut
tentu timbul semacam kedengkian di dalam kalbu kaum-kaum dan
golongan-golongan yang ada saat itu. Khususnya para ulama dan tokoh di
setiap agama, menampakkan banyak sekali kedengkian…. Dan semata-
mata dengan mengikuti nafsu, mereka merancang rencana-rencana untuk
menimbulkan kemudharatan. Bahkan kadang-kadang mereka juga
merasakan di dalam kalbu-kalbu mereka bahwa mereka secara aniaya
menimbulkan penderitaan terhadap seorang hamba Allah yang berhati suci
sehingga mereka menjadi sasaran kemurkaan Allah. Dan perbuatan-
perbuatan mereka juga, yang setiap saat tampil dari diri mereka untuk
menimbulkan kelicikan dan pergolakan yang menentang, senantiasa
memperlihatkan kondisi kalbu mereka yang bersalah. Namun, tetap saja
lokomotif api kedengkian yang laju itu terus membawa mereka ke jurang
permusuhan. Itulah faktor-faktor yang membuat para ulama dari kalangan
musyrik, Yahudi, dan Kristen di masa Rasulullah s.a.w. tidak hanya luput
dari menerima kebenaran, melainkan juga telah menggerakkan mereka
untuk melakukan permusuhan yang sengit. Untuk itu mereka telah berpikir
keras, yakni bagaimana menghapuskan Islam dari muka bumi ini. Dan
dikarenakan orang-orang Islam pada masa permulaan Islam itu berjumlah
sedikit, oleh sebab itu para penentang mereka melakukan sikap
permusuhan keras terhadap orang-orang Islam pada waktu itu, yakni para
sahabah. Para penentang itu melakukan permusuhan karena rasa takabur
yang secara fitrat tertanam di dalam kalbu dan pikiran golongan-golongan
demikian yang menganggap diri mereka lebih unggul dibandingkan
golongan lain dalam hal harta, kekayaan, jumlah pengikut, kehormatan
dan martabat. Dan mereka sangat memusuhi orang-orang Islam saat itu,
yakni para sahabah. Dan mereka tidak menghendaki tumbuhan Samawi ini
97

tegak di bumi. Bahkan mereka berusaha keras untuk membunuh orang-


orang saleh tersebut. Tidak ada unsur kecil penderitaanpun yang tidak
mereka tinggalkan. Mereka takut, jangan-jangan agama ini tumbuh dengan
kokoh, dan kemudian kemajuannya mengakibatkan kehancuran bagi
agama serta kaum mereka. Jadi, atas dasar rasa takut yang menguasai
kalbu mereka dalam bentuk sangat mengerikan itulah dari diri mereka
muncul sikap-sikap yang penuh pemaksaan dan aniaya. Dan mereka
membunuh kebanyakan orang Islam melalui cara-cara yang sangat
menyakitkan. Hingga satu jangka masa panjang, yakni 13 tahun, demikian
perlakuan yang timbul dari mereka. Dengan cara yang sangat aniaya
kebanggaan hamba-hamba Allah yang setia serta kebanggaan manusia
telah dicincang-cincang melalui pedang orang-orang buas yang bejad itu.
Anak-anak yatim dan perempuan-perempuan yang tak berdaya telah
disembelih di lorong-lorong dan jalanan. Atas hal itupun terdapat
penekanan secara tegas dari Allah Ta’ala untuk sama-sekali tidak
melakukan perlawanan terhadap kebejadan. Demikianlah yang telah
diterapkan oleh orang-orang saleh tersebut. Jalan-jalan telah memerah
dibasahi darah-darah mereka. Namun, tetap mereka tidak bersuara.
Mereka telah disembelih bagai hewan-hewan kurban, tetapi sedikitpun
mereka tidak mengeluh. Rasul Allah yang suci dan kudus, yang atasnya
tertuju salam tak terhingga dari bumi dan langit, berkali-kali dilempari
batu sampai beliau berlumuran darah. Namun, gunung ketulusan dan
istiqamah itu, menanggung segenap penderitaan itu dengan lapang hati
dan penuh kecintaan. Dan sikap-sikap yang penuh kesabaran dan
kerendahan hati itu membuat kebiadaban para penentang semakin besar
dari hari ke hari. Dan mereka menganggap kelompok suci itu sebagai
hewan buruan mereka. Barulah Allah yang tidak menghendaki kezaliman
dan keaniayaan melampaui batas di bumi ini, ingat terhadap hamba-
hamba-Nya yang teraniaya. Dan kemurkaan-Nya bergelora atas diri orang-
orang bejad itu. Dan melalui Kalaam Sucinya, Quran Syarif, Dia
memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya yang teraniaya bahwa,
"Segala sesuatu yang terjadi pada diri kalian, Aku menyaksikan semua itu.
Sejak saat ini Aku mengizinkan kalian untuk melakukan perlawanan. Aku
adalah Tuhan Yang Mahakuasa. Aku tidak akan membiarkan orang-orang
aniaya tanpa dihukum." Inilah perintah yang dalam kata lain dinamakan
jihad. Kalimat asli perintah itu yang sampai sekarang masih ada di dalam
Quran Syarif, adalah:

{Insert arabic: 66}

[Artinya: Telah diizinkan untuk melakukan perlawanan bagi mereka yang


telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya, dan
sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Orang-orang yang telah
98

diusir dari rumah mereka tanpa sebab yang benar.23].” (Goverment


Anggrezi Aor Jihad, h. 1-4).

“Islam memerintahkan mengangkat pedang hanya untuk melawan


orang-orang yang terlebih dahulu telah mengangkat pedang. Dan
memerintahkan membunuh hanya orang-orang yang terlebih dahulu telah
melakukan pembunuhan. Sama-sekali tidak diperintahkan bahwa kalian
hidup di bawah seorang raja kafir dan kalian mengambil manfaat dari
sikapnya yang adil dan seimbang, lalu lakukanlah serangan
pemberontakan terhadap raja itu. Menurut Alquran, itu adalah cara orang-
orang bejad, bukan cara orang-orang baik. Namun, Taurat di tempat
manapun tidak menjelaskan perbedaan tersebut. Dari itu tampak bahwa
dalam hukum-hukumnya yang jalaal dan jamaal, Quran Syarif berjalan di
atas garis lurus keadilan, keseimbangan, kasih-sayang, dan ihsan. Tidak
ada contoh yang menyerupai hal itu di dalam kitab manapun di dunia ini”.
(Anjam-e-Atham, jld.2, h. 37).

“Di zaman sekarang ini, di mana kita hidup di dalamnya, tidak ada
kebutuhan dan keperluan mutlak untuk melakukan peperangan lahiriah.
Melainkan, di akhir zaman ini yang dikehendaki adalah memperlihatkan
contoh peperangan non-lahiriah. Dan yang menjadi perhatian adalah
perlawanan rohani. Sebab, pada saat ini sarana-sarana dan persenjataan
untuk menyebar-luaskan kemurtadan rohani dan penyimpangan dari
agama telah banyak dibuat. Oleh karena itu untuk melawannya juga
diperlukan persenjataan semacam itu. Sebab, sekarang adalah zaman yang
aman dan damai. Dan kita memperoleh segala macam kemudahan serta
keamanan. Setiap orang dengan bebas dapat melakukan penyebaran dan
pertablighan agama masing-masing serta dapat melaksanakan perintah
agama masing-masing. Kemudian, Islam yang merupakan pendukung
sejati terhadap keamanan -- bahkan secara hakiki hanya Islamlah yang
merupakan penyebar keamanan, ketenteraman dan kedamaian --
bagaimana mungkin pada zaman sekarang ini Islam dapat menyukai untuk
memperlihatkan contoh pertama itu (peperangan lahiriah -peny.) dalam hal
keamanan dan kebebasan ? Jadi, pada masa sekarang inipun yang
dikehendaki adalah contoh kedua, yakni perlawanan rohani.” (Malfuzhat,
jld. 1, h. 58).

“Pada masa permulaan Islam, peperangan bela diri dan


pertempuran jasmani memang diperlukan saat itu karena jawaban yang
diberikan kepada para pelaku da’wah Islam bukanlah dalil-dalil dan
argumentasi, melainkan dibalas dengan pedang. Oleh karena itu, tanpa
pilihan lain, dalam menghadapinya terpaksa digunakan pedang. Namun,
sekarang tanggapan tidak dilakukan dengan pedang, melainkan serangan
23
Al-Hajj: 39, 40
99

kecaman-kecaman dilakukan terhadap Islam melalui pena dan dalil-dalil.


Itulah sebabnya, pada zaman ini Allah Ta’ala telah menghendaki agar
fungsi pedang digantikan oleh pena. Dan agar dilakukan perlawanan
melalui tulisan, sehingga para penentang dikalahkan. Oleh karena itu
sekarang tidak pantas bagi siapapun untuk berusaha menjawab pena
dengan menggunakan pedang.” (Malfuzhat, jld. 1, h. 58,59).

“Kebutuhan yang ada pada saat ini, pahamilah seyakin-yakinnya,


bukanlah pedang, melainkan pena. Keraguan-keraguan yang dilontarkan
para penentang kita terhadap Islam, dan keinginan mereka untuk
melakukan serangan terhadap agama Allah Ta’ala yang benar ini, dengan
menggunakan berbagai dasar sains dan pengetahuan, Dia telah menarik
perhatian saya untuk menggunakan senjata pena lalu turun di arena
pertempuran sains dan kemajuan ilmu pengetahuan, dan memperlihatkan
karisma keberanian rohaniah serta kekuatan rohaniah Islam. Kapan pula
saya sanggup untuk menghadapi arena seperti itu? Ini hanyalah karunia
Allah Ta’ala dan merupakan anugerah-Nya yang tak terhingga, bahwa Dia
menghendaki agar kehormatan agama-Nya tampil melalui tangan seorang
manusia lemah seperti saya. Suatu kali saya menghitung kecaman-
kecaman dan serangan-serangan yang telah dilakukan para penentang kita
terhadap Islam, ternyata pada pikiran dan perkiraan saya jumlahnya
mencapai tiga ribu. Saya kira, pada saat ini jumlahnya sudah lebih banyak
lagi. Jangan ada yang beranggapan bahwa landasan Islam itu adalah hal-
hal yang begitu lemah sehingga tiga ribu kecaman dapat diberlakukan
padanya. Tidak, sama-sekali tidak. Kecaman-kecaman ini merupakan
kecaman pada pandangan orang-orang yang berpikiran dangkal dan
bodoh. Namun, saya katakan kepada kalian dengan sebenar-benarnya
bahwa di mana saya telah menghitung kecaman-kecaman itu di sana saya
juga telah menyimak bahwa pada lapisan dasar kecaman-kecaman tersebut
sebenarnya terdapat pembenaran-pembenaran yang sangat langka. Yaitu
pembenaran-pembenaran yang tidak terlihat oleh para pengecam yang
tidak memiliki bashirat/penglihatan itu. Dan pada hakikatnya ini
merupakan hikmah Allah Ta’ala, yakni di mana saja seorang pengecam
buta tampil, di situ Dia telah meletakkan khazanah terselubung yang
mengandung hakikat-hakikat dan makrifat.” (Malfuzhat, jld. 1, h. 59,60).

“Jadi, hendaknya diketahui bahwa Quran Syarif tidak begitu saja


memerintahkan untuk berperang. Melainkan, memerintahkan untuk
berperang hanya melawan orang-orang yang melarang para hamba Allah
beriman, dan menghalangi mereka melaksanakan perintah-perintah Allah
Ta’ala serta menghalangi mereka melakukan peribadatan terhadap-Nya.
Dan Alquran memerintahkan untuk berperang melawan orang-orang yang
memerangi umat Islam tanpa dasar, yang mengusir orang mukmin dari
rumah-rumah mereka serta dari negeri-negeri mereka, dan yang secara
100

paksa memasukkan manusia ke dalam agama mereka, serta yang ingin


menghancurkan agama Islam, dan yang menghalangi orang-orang lain
untuk tidak masuk Islam. Inilah orang-orang yang atasnya terdapat
kemurkaan Allah Ta’ala. Dan hal ini wajib bagi orang-orang mukmin
apabila orang-orang yang memerangi mereka tidak juga berhenti.” (Nurul
Haq, jld. 2, h. 62)

“Pada zaman ini jihad telah tampil dalam bentuk rohani. Dan jihad
pada zaman ini adalah berupaya gigih membuktikan kemuliaan dalam
Islam. Berilah tanggapan terhadap tuduhan-tuduhan para penentang. Dan
sebarkanlah keindahan-keindahan agama Islam yang kokoh di dunia.
Inilah jihad, sampai Allah Ta’ala menzahirkan bentuk lain di dunia ini.”
(Al-Badr, Qadian, 14 Agustus 1902).

“Allah Ta’ala telah mengutus saya supaya saya mengangkat


khazanah-khazanah yang telah terkubur itu. Dan supaya saya
membersihkan lumpur kecaman-kecaman yang telah dilumurkan pada
permata-permata yang berkilauan itu. Pada saat ini ghairat (harga diri)
Allah Ta’ala sedang sangat bergejolak untuk membersihkan kehormatan
Quran Syarif dari noda kecaman setiap musuh yang kotor.
Ringkasnya, dalam bentuk demikian, yakni para penentang ingin
dan melakukan serangan melalui pena, maka betapa merupakan suatu
kebodohan bila kita mau berkelahi dengan mereka menggunakan senjata.
Saya katakan kepada kalian dengan sejelas-jelasnya, dalam kondisi
demikian jika ada orang yang membawa nama Islam lalu menggunakan
cara peperangan sebagai jawaban, berarti dia merusak nama baik Islam.
Dan Islam tidak pernah mempunyai keinginan untuk mengangkat pedang
tanpa makna dan tanpa tujuan. Sekarang tujuan-tujuan peperangan,
sebagaimana telah saya katakan, telah beralih dalam bentuk makar, bukan
lagi agama. Melainkan, yang menjadi pertimbangan adalah tujuan-tujuan
duniawi. Jadi, betapa aniayanya apabila terhadap para pengecam bukannya
jawaban yang diberikan, melainkan pedang yang diperlihatkan. Sekarang,
beriringan dengan zaman, aspek peperangan telah berubah. Oleh karena
itu pertaman-tama penting untuk menggunakan kalbu dan pikiran. Dan
lakukanlah pensucian terhadap jiwa-jiwa. Dan mintalah bantuan serta
kemenangan dari Allah Ta’ala dengan kebenaran dan ketakwaan. Ini
merupakan suatu hukum tetap dan prinsip yang permanen dari Allah
Ta’ala. Jika orang-orang Islam ingin berhasil dan menang dalam
‘pertempuran’ dengan hanya mengandalkan mulut dan kata-kata saja, itu
tidaklah mungkin. Allah Ta’ala tidak menghendaki ucapan dan kata-kata
kosong, yang Dia inginkan adalah ketakwaan hakiki. Dan Dia menyukai
kesucian sejati. Sebagaimana Dia berfirman:

{Insert arabic: 67}


101

[Artinya: Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan


orang-orang yang berbuat kebaikan.24].” (Malfuzhat, jld. 1, h. 60-61)

“Di dalam Alquran terdapat perintah yang jelas, janganlah


mengangkat pedang untuk menyebarkan agama. Dan tampilkanlah
keindahan-keindahan substansial agama. Dan tariklah [orang-orang]
dengan suri-tauladan yang baik. Dan jangan berpikiran bahwa pada
permulaan Islam telah dikeluarkan perintah mengangkat pedang. Sebab,
pedang tersebut tidak dicabut untuk menyebarkan agama, melainkan untuk
membela diri dari serangan-serangan musuh. Atau, pedang itu telah
dicabut untuk menegakkan keamanan. Namun, tidak pernah dengan tujuan
untuk melakukan pemaksaan bagi agama.” (Sitarah Qaishariyah, h. 16).

“Saya tidak tahu dari mana dan dari siapa para penentang kita telah
mendengar bahwa Islam telah menyebar melalui kekuatan pedang. Allah
justru berfirman di dalam Quran Syarif ‘Laa ikraaha fiddiin,’ yakni di
dalam agama Islam tidak ada pemaksaan. Lalu, siapa pula yang telah
memerintahkan melakukan pemaksaan? Dan apa pula sarana-sarana untuk
melakukan pemaksaan saat itu ?” (Peygham-e-Sulh, h. 51 ).

“Masih Mau'ud telah datang ke dunia untuk menghapuskan


pemikiran mengangkat pedang dengan mengatas-namakan agama. Dan
untuk membuktikan melalui dalil-dalil serta argumentasi bahwa Islam
adalah suatu agama yang sama-sekali tidak membutuhkan bantuan pedang
dalam penyebarannya. Melainkan, keindahan-keindahan substansial
ajarannya, hakikat-hakikat serta makrifatnya, dalil-dalil serta
argumentasinya, dukungan-dukungan serta Tanda-tanda hidup dari Allah
Ta’ala, daya tarik substansial yang dimilikinya adalah merupakan hal-hal
yang senantiasa menyebabkan kemajuan dan penyebarannya. Oleh karena
itu orang-orang yang melontarkan tuduhan bahwa Islam menyebar melalui
kekuatan pedang, mereka hendaknya sadar bahwa mereka dusta dalam
pernyataan mereka itu. Pengaruh-pengaruh Islam tidak membutuhkan
pemaksaan apapun untuk penyebaran Islam. Jika ada yang meragukannya,
maka dia bisa tinggal bersama saya lalu menyaksikan bahwa Islam
membuktikan diri sebagai agama yang hidup melalui dalil-dalil dan
Tanda-tanda. Sekarang Allah Ta'ala menghendaki dan beriradah untuk
menghapuskan segenap kecaman dari wujud suci Islam yang telah
dilakukan orang-orang bejad. Para pengecam yang mengatakan bahwa
Islam tersebar melalui pedang, akan merasa malu sekarang." (Malfuzhat,
jld.3, h.176).

24
An-Nahl: 128
102

"Di dalam Islam tidak ada campur-tangan pemaksaan. Peperangan


dalam Islam tidak lebih dari tiga macam: (1) sebagai pembelaan diri, yakni
upaya untuk melindungi diri sendiri; (2) sebagai hukuman, yakni darah
dibalas dengan darah; (3) sebagai [upaya] untuk menegakkan kebebasan,
yakni dengan menghancurkan kekuatan para musuh yang telah membunuh
orang-orang yang masuk Islam. Jadi, dalam kondisi tidak adanya petunjuk
pada Islam supaya memasukkan seseorang ke dalam agama dengan
paksaan dan ancaman pembunuhan, maka penantian terhadap Mahdi
penumpah darah atau Almasih penumpah darah adalah [suatu hal] yang
sama-sekali sia-sia dan tidak berguna. Sebab, tidak mungkin, bertentangan
dengan ajaran Alquran ada pula manusia yang datang ke dunia
memasukkan orang-orang ke dalam Islam dengan menggunakan pedang."
(Masih Hindustan Mein, h.10).

"Hendaknya direnungkan, misalnya seseorang tidak menerima


suatu agama yang benar disebabkan belum mengetahui serta belum
mengenal kebenaran, ajaran suci, dan keindahan-keindahan agama
tersebut, maka apakah sikap ini tepat dilakukan terhadap orang itu, yakni
membunuhnya tanpa pikir-pikir lagi ? Justru orang seperti itu patut
dikasihi dan dengan lembut serta penuh akhlak dizahirkan kepadanya
kebenaran, keindahan, serta manfaat rohaniah agama tersebut. Bukannya
membalas keingkaran orang itu dengan pedang atau senapan. Oleh
karenanya, konsep jihad golongan-golongan Islam tersebut zaman ini serta
ajarannya -- bahwa sudah dekat masanya bagi seorang mahdi penumpah
darah akan lahir bernama Imam Muhammad; dan Almasih akan turun dari
langit untuk membantunya; dan keduanya bersatu, lalu akan membunuh
segenap umat lain yang mengingkari Islam di dunia -- adalah sangat
bertentangan dengan masalah akhlak. Bukankah ini suatu akidah yang
menghancurkan segenap potensi suci manusia serta menimbulkan
dorongan-dorongan seperti binatang buas ? Dan para penganut akidah-
akidah semacam ini terpaksa menjalani kehidupan munafik dengan setiap
umat." (Masih Hindustan Mein, h.6,7).

"Nabi kita s.a.w. saja telah menanggung penderitaan dari tangan


orang-orang kafir di Mekkah Mu'azzhamah dan juga sesudah itu.
Khususnya selama 13 tahun di Mekkah, beliau menjalani cobaan dan
berbagai macam keaniayaan, yang dengan membayangkannya saja [kita]
akan menangis. Akan tetapi sampai saat itu beliau tidak mengangkat
pedang melawan para musuh. Dan tidak pula beliau menjawab dengan
kasar kata-kata keji mereka…. Oleh karenanya anggapan bahwa
Rasulullah s.a.w. maupun para sahabah beliau pernah melakukan
peperangan untuk menyebarkan agama, atau secara paksa telah
memasukkan seseorang ke dalam Islam, adalah suatu kesalahan besar dan
keaniayaan." (Masih Hindustan Mein, h.7,8).
103

Jihad Pada Pandangan Tokoh-tokoh Islam


Setelah kutipan-kutipan yang berasal dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah, sekarang
kami paparkan beberapa kutipan mengenai jihad yang berasal dari para tokoh Islam
sebelum zaman beliau, dan dari para ulama yang sezaman dengan beliau, serta dari
beberapa ulama terkenal sesudah zaman beliau. Kutipan-kutipan ini sepenuhnya
mendukung pendirian Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Dan hakikat ini tampil dengan jelas
bahwa para ulama dari golongan-golongan tertentu yang pada zaman sekarang ini
melontarkan tuduhan pengingkaran jihad atas Pendiri Jemaat Ahmadiyah, ternyata
menurut tulisan-tulisan para ulama dari golongan mereka sendiri keputusan/sikap Pendiri
Jemaat Ahmadiyah itu adalah sangat sesuai dengan Syariat Muhammad s.a.w., dan
sedikitpun padanya tidak dapat dilontarkan tuduhan menyimpang dari Syariat.

1. Pernyataan Sayyid Ahmad Brelwi

"Walaupun Pemerintah Inggris mengingkari Islam, tetapi mereka


sedikitpun tidak berbuat zalim dan aniaya terhadap umat Islam. Dan tidak
pula mereka melarang umat Islam melaksanakan kewajiban-kewajiban
agama serta peribadatan-peribadatan pokok. Kita secara terbuka
melakukan dakwah dan tabligh di kawasan pemerintahaan mereka, tetapi
mereka tidak melarang maupun menghalangi. Justru jika ada yang berbuat
aniaya terhadap kita, mereka siap untuk menghukumnya. Tugas utama kita
adalah menyebarkan Tauhid Ilahi dan menghidupkan Sunnah Sayyidul
Mursaliin. Jadi, kita melakukan hal itu tanpa hambatan di negeri ini. Lalu,
dengan alasan apa kita harus melakukan jihad terhadap mereka? Dan
bertentangan dengan ajaran agama, [dengan alasan apa] kita harus
menumpahkan darah di kedua belah pihak ?" (Suwanah Ahmadi, Maulwi
Muhammad Ja'far Thanisry, h.71).

2. Fatwa Maulana Syah Ismail Syahid

Mengenai Maulana Ismail Syahid dituliskan:

"Maulana Ismail Syahid selalu melakukan jihad terhadap orang-orang


Sikh karena campur-tangan mereka dalam agama Islam. Untuk
menggalakkan jihad itulah beliau telah membuat khutbah tersebut. Beliau
tidak melakukan jihad terhadap Pemerintah Inggris, dan tidak pula di
dalam khutbah tersebut terdapat uraian secara terbuka maupun secara
isyarat untuk berjihad melawan Pemerintah ini. Bahkan beliau
menganggap jihad terhadap Pemerintah ini sebagai sesuatu yang tidak
dibenarkan." (Isyaa'atus Sunnah, jld.9, no.1, h.11,12).

3. Fatwa Maulwi Nadzir Hussein Dhelwi


104

"Dikarenakan di negeri ini sudah tidak ada lagi syarat-syarat [yang


mengharuskan] jihad, maka melakukan jihad di sini merupakan penyebab
timbulnya kehancuran dan dosa." (Fatawa Nadziriyah, jld.4, h.472).

4. Fatwa Khalifatul Muslimiin

Murtadha Ahmad Khan Mekash menuliskan di dalam Tarikh Aqwaam-e-'Aalam:

"Khalifah telah menuliskan fatwa mengenai masalah ini lalu


memberikannya kepada Inggris, bahwa orang-orang Islam hendaknya
jangan berperang melawan Inggris, sebab mereka telah terbukti sebagai
sahabat dan penolong bagi Khilafat Islam." (Tarikh Aqwaam-e-'Aalam,
h.639, oleh Murtadha Ahmad Khan Mekash, Majelis Taraqqi-e-Adab, 2
Nar Singh Daas Garden, Club Road, Lahore).

5. Fatwa Ulama Islam, cetakan Dukhaani, Lahore

Pada halaman judul tertulis:

{insert arabic: 68}

Di dalamnya dinyatakan bahwa Inggris adalah Ulul-amri, dan ketaatan pada mereka
dinyatakan wajib. Fatwa ini ditanda-tangani oleh para ulama terkenal yang namanya
tertera di bawah ini:

1. Mufti Maulwi Muhammad Abdullah Thungki, Ketua Majelis Mustasyaarul Ulama,


Lahore.
2. Maulwi Ghulam Muhammad Bagwi, Imam Masjid Syahi dan anggota inti Anjuman
Mustasyaarul Ulama, Lahore.
3. Sayyid Maulwi Nadzir Hussein Muhaddits Dhelwi.
4. Abush Shafa Maulwi Qadhi Mir Ahmad Syah Ridhwani Peshawari.
5. Maulwi Muhammad Ludhianwi.
6. Maulwi Abu Muhammad Abdullah Al-Anshari, Pimpinan Mahkamah Diniyah
Madrasatul 'Uluum, Aligarh.
7. Maulwi Abdul Hayyi Aminabadi Lakhnowi, Pimpinan Daarul 'Uluum Nadwatul
Ulama, Lakhnow.
8. Mufti Muhammad Abdurrahim Peshawari.
9. Maulwi Ghulam Muhammad Hosyiarpuri, anggota inti Nadwatul 'Ulama, Lakhnow.
10. Mullah Hafidz 'Izzatullah, warga Zakhi, distrik Peshawar.
11. Abul Haamid Maulwi Abdul Hamid Lakhnowi.
12. Qadhi Zhafaruddin, warga Gujranwala.
13. Abu Sa'id Maulwi Muhammad Hussein Batalwi.
105

14. Mullah Hafidz Haamid Syah, Khatib Masjid Jami' Mahaabat Khan, Peshawar.
15. Maulwi Abu Muhammad Ghulam Rasul Amritsari.
16. Maulwi Abdurrahman ibnu Maulwi Ghulam Ali Qashuri.
17. Maulwi Abdul Aziz Ludhianwi.
18. Maulwi Ghulam Ahmad, guru pertama Madrasah Nu'maniyah, Lahore.
19. Maulwi Muhammad Hussein Faidhi, guru Madrasah Nu'maniyah, Lahore.
20. Maulwi Sayyid Ahmad, Imam Masjid Jami' Delhi.
21. Qadhi Rafi'ullah, warga Baddani, distrik Peshawar.
22. Maulwi Abdul Jabar Ghaznawi Amritsari.
23. Sayyid Muhammad Abdussalam Dhelwi, cucu Maulana Syamsul 'Ulama Sayyid
Muhammad Nadzir Hussein Dhelwi.
24. Maulwi Muhammad Ibrahim Dhelwi, putra Maulwi Muhammad Hussein Faqir.
25. Sayyid Muhammad Abul Hasan Dhelwi, cucu Maulana Syamsul 'Ulama Sayyid
Muhammad Nadzir Hussein Dhelwi.
26. Maulwi Madah Basyir-wa-Nadzir, putra Maulwi Muhammad Hussein Faqir.
27. Maulwi Khalil Ahmad, guru pertama Madrasah Saharanpur.
28. Maulwi Rasyid Ahmad Ganggohi.
29. Mahmud Hasan, guru pertama Madrasah Deoband.

Di dalam fatwa yang telah dikeluarkan oleh para ulama tersebut atas permintaan
Anjuman Islamiyah Punjab, dengan jelas tertulis:

1. Berdasarkan agama Islam, membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, adalah
ilegal, haram, dan termasuk dalam dosa-dosa yang paling buruk. Tidak peduli apakah
itu Muslim, non-Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Parsi, dan sebagainya.
2. Antara Pemerintah Inggris dan segenap rakyatnya, secara eksplisit maupun implisit
telah terjadi kesepakatan mengenai perlindungan dan keselamatan bersama.
3. Ini sesuatu yang pasti, yakni barangsiapa membunuh salah seorang dari bangsa
Pemerintah ini maupun dari rakyatnya, maka berdasarkan hadits ini dia akan luput
dari aroma wangi surga:

{insert arabic: 69}

6. Fatwa Pimpinan Ahli Hadits Maulwi Muhammad Hussein Batalwi

"Bagi Warga Islam Hindustan, adalah haram untuk menentang dan


memberontak terhadap Pemerintah Inggris." (Isyaa'atus Sunnah, jld.6,
no.10, h.287).

"Pada kekacauan tahun 1857, orang-orang Islam yang terlibat, mereka


adalah orang-orang yang berdosa besar, dan berdasarkan Alquran serta
Hadits mereka adalah pembuat kekacauan, pemberontak, dan berkelakuan
buruk." (Isyaa'atus Sunnah, jld.9, no.10).
106

"Berperang melawan Pemerintah ini atau memberi bantuan jenis apapun


kepada orang-orang yang memerangi Pemerintah ini (tidak peduli apakah
saudara-saudara mereka Muslim sekalipun), jelas-jelas merupakan
pemberontakan dan haram." (Isyaa'atus Sunnah, jld. 9, no.10, h. 38-48).

7. Fatwa Maulwi Ahmad Ridha Khan Brelwi

"Di dalam buku I'laamul I'laam Bi-anna Hindustan Daarus Salaam, Faqir
telah membuktikan dengan dalil-dalil yang kuat bahwa Hindustan
merupakan daarus salaam (kawasan yang aman damai), dan menyebutnya
sebagai daarul harb (kawasan peperangan) sama-sekali tidak benar."
(Nushratul Abrar, h.29, Mathba' Shahafi, Lahore).

8. Uraian Sir Sayyid Ahmad Khan

Sir Sayyid Ahmad Khan pendiri Universitas Aligarh menuliskan di dalam bukunya
Asbaab Baghaawat-e-Hind:

"Tatkala umat Islam memperoleh keamanan dari Pemerintah [Inggris]


kita, maka dalam bentuk apapun umat Islam tidak boleh berjihad dalam
[kawasan] kekuasaan Pemerintah ini. Duapuluh atau tigapuluh tahun silam
seorang tokoh ternama, Maulwi Muhammad Ismail telah menganjurkan
untuk melakukan jihad di Hindustan, dan mendorong orang-orang agar
berjihad. Pada saat ini beliau dengan jelas mengatakan bahwa rakyat
Hindustan yang hidup dengan aman di bawah Pemerintah Inggris, tidak
boleh melakukan jihad di Hindustan." (Asbaab Baghaawat-e-Hind, h.104,
terbitan Urdu Academy Sindh, Mission Road, Karachi).

9. Fatwa Para Mufti Mekkah Mu'azzhamah

"(1) Jamaluddin bin Abdullah Syekh Umar, Mufti Hanafi Mekkah


Mukarramah, (2) Hussein bin Ibrahim, Mufti Maliki Mekkah
Mu'azzhamah, (3) Ahmad bin Dzahini, Mufti Syafi'I Mekkah
Mu'azzhamah, telah memberikan fatwa bahwa Hindustan adalah daarus
salaam (kawasan yang aman damai)." (Buku Sayyid 'Athaullah Syah
Bukhari, h.31, oleh Shuresh Kashmiri).

10. Uraian Maulwi Zhafar Ali Khan, editor Zamindar

"Dengan adanya kebebasan beragama dan keamanan serta kedamaian, jika


ada seorang Muslim bejad berani melakukan kejahatan terhadap
Pemerintah, maka dengan tegas kami mengatakan bahwa dia bukan
107

Muslim." (Harian Zamindar, Lahore, 11 Nopember 1911, merujuk pada


Zhafar Ali Khan Ki Griftaari, oleh Khan Kabuli).

Jihad Yang Dicanangkan


Oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah
Tuduhan pengingkaran jihad yang dilontarkan terhadap Pendiri Jemaat
Ahmadiyah adalah bertentangan dengan ajaran dan kehidupan penuh perjuangan beliau
serta dengan sabda-sabda beliau. Seluruh hidup beliau telah dikerahkan untuk membela
Islam, untuk pertablighan Islam dan untuk jihad kabiir, yakni jihad dengan menggunakan
Alquran. Beliau, pada masa beliau, telah melakukan suatu jihad agung mendukung Islam
dalam melawan serangan-serangan berbahaya yang dilakukan agama Hindu dan Kristen.
Sebagai pemecahan salib, beliau telah menghancurkan propaganda menyesatkan yang
dilakukan orang-orang Kristen dan telah meruntuhkan bangunan batil Trinitas dengan
menggunakan dalil-dalil dan argumentasi. Dalam kaitan itu kami paparkan beberapa
kutipan dari beliau. Dari kutipan-kutipan ini akan tampak dengan jelas bahwa jihad
besar-besaran yang telah beliau lakukan dalam mendukung Islam melawan Kristen,
betapa kuatnya dorongan gejolak yang bekerja di balik itu dan betapa dipenuhi oleh
kecintaan. Beliau menuliskan:

"Allah telah menamakan saya sebagai Masih, untuk memecahkan


salib. Supaya, salib yang dahulu telah mematahkan Almasih dan telah
melukai beliau, pada kesempatan kedua justru Masih-lah yang
mematahkannya. Namun, dengan menggunakan Tanda-tanda Samawi,
bukan dengan tangan-tangan manusia. Sebab, nabi Tuhan tidak dapat
dikalahkan. Oleh karena itu, pada abad keduapuluh Masehi, Allah telah
menghendaki agar salib itu ditaklukkan melalui tangan Masih." (Haqiqatul
Wahiy, suplemen h.84).

"Seorang muttaqi dapat memahami, bahwa di penghujung abad


keempat-belas ini, di mana telah berlangsung ribuan serangan terhadap
Islam, dibutuhkan seorang mujaddid yang dapat membuktikan hakikat
Islam. Ya, mujaddid ini dinamakan Masih ibnu Maryam sebab dia datang
untuk memecahkan salib. Dan Allah pada saat ini menghendaki,
sebagaimana pada zaman dahulu Masih telah diselamatkan dari salib
orang-orang Yahudi, sekarang diapun agar diselamatkan dari salib orang-
orang Kristen. Dikarenakan orang-orang Kristen banyak sekali telah
melakukan kedustaan untuk menjadikan manusia sebagai tuhan, oleh
sebab itu ghairat (harga diri) Tuhan menghendaki untuk mengutus
seseorang dengan nama Masih, guna menghancurkan kedustaan tersebut.
Ini adalah pekerjaan Tuhan, dan pada pandangan orang-orang adalah
aneh." (Anjaam-e-Atham, h.320,321).
108

"Golongan fanatik dari kalangan pendeta di zaman ini yang


semata-mata dengan maksud menutupi kebenaran, selalu mengatakan
bahwa Nabi kita s.a.w. tidak mempunyai mukjizat apapun yang tampil,
Allah Ta'ala telah memberi jawaban yang membuat mereka sangat malu
serta telah menampakkan Tanda-tanda yang jelas untuk mendukung
hamba-Nya itu.
Ada satu zaman ketika para penginjil dengan kata-kata sangat
kotor dan sama-sekali dipenuhi kebohongan, melontarkan kata-kata dusta
yang sangat memalukan di pasar-pasar dan di lorong-lorong mengenai
Junjungan kita Khaatamul Anbiyaa Afdhalur Rusul wal Ashfiya, Sayyidul
Ma'shumiin wal Atqiyaa, Yang Mulia Mahbub Janab Ahadiyyat
Muhammad Mushthafa shallallaahu 'alaihi wasallam. Yakni, bahwa tidak
ada kabar ghaib atau mukjizat beliau s.a.w. yang tampil. Dan sekarang
adalah suatu zaman ketika selain ribuan mukjizat Rasulullah s.a.w. yang
sangat banyak tertera dalam Quran Syarif serta Hadits-hadits yang
memiliki derajat mutawatir sangat tinggi, Allah Ta'ala kini telah
menampakkan ratusan Tanda baru yang segar sedemikian rupa sehingga
tidak ada seorang penentang dan pengingkarpun yang memiliki kekuatan
untuk melawannya.
Dengan sangat lembut dan rendah hati saya selalu mengatakan
kepada setiap orang Kristen dan para penentang lainnya bahwa pada
hakikatnya hal ini benar, yakni setiap agama yang berasal dari Allah
Ta'ala, lalu agama itu berdiri tegak di atas kebenarannya, maka adalah
mutlak bagi agama itu agar di dalamnya selalu lahir orang-orang yang
menjadi wakil bagi nabi, pembimbing, dan rasulnya, yang kemudian
membuktikan bahwa nabi tersebut masih hidup dan tidak mati dari segi
berkat-berkat rohaninya. Sebab, adalah mutlak bahwa nabi yang diikuti
itu, yang diyakini sebagai pemberi syafa'at dan keselamatan, dia
senantiasa hidup dari segi berkat-berkat rohaninya. Dan nabi itu secara
jelas harus menetap dilangit dengan wajah kehormatan, rif'at, dan jalal-
nya yang berkilauan. Dan harus terbukti dengan nur-nur Ilahi yang begitu
kuat bahwa dia duduk di sebelah kanan Tuhan Yang Azali, Abadi, Hayyu
wa Qayyum, dan Dzul Iqtidar sedemikian rupa sehingga siapa saja yang
mencintai nabi itu secara sempurna dan mengikutinya secara penuh, maka
secara mutlak menimbulkan akibat-akibat ini. Yakni, orang yang
mengikuti itu akan memperoleh Ruhul Qudus dan anugerah-anugerah
berkat Samawi. Dan orang itu dengan memperoleh cahaya dari nur-nur
nabi kecintaannya tersebut, dia akan menghapuskan kegelapan di
zamannya. Dan dia memberikan keyakinan yang kuat, sempurna,
berkilauan, dan bercahaya mengenai Wujud Allah kepada orang-orang
yang siap [dengan kemampuan-kemampuan mereka]. Dan keyakinan
tersebut membuat segenap keinginan dosa serta seluruh dorongan
kehidupan rendah/hina menjadi hangus terbakar.
109

Inilah bukti bahwa nabi itu hidup dan berada dilangit. Jadi, betapa
kita harus mensyukuri Tuhan kita Yang Maha suci dan Maha perkasa,
yang telah menganugerahkan karunia untuk mencintai dan mengikuti Nabi
kesayangan-Nya, Muhammad Mushthafa s.a.w.. Dan kemudian dengan
menganugerahkan bagian sempurna berkat-berkat rohani akibat kecintaan
dan sikap mencintai itu, yang merupakan ketakwaan sejati dan Tanda
Samawi yang hakiki, Dia telah membuktikan kepada kita bahwa Nabi Suci
kesayangan kita itu belum wafat, melainkan beliau duduk di sebelah kanan
Malik Muqtadar-nya di Langit di atas tahta keagungan dan keperkasaan.

{insert arabic: 70}

(Tariyaaqul Quluub, h.8-10).

"Tujuan keberadaan wujud Masih Mau'ud yang telah diuraikan di


dalam Hadits-hadits Nabawi adalah, dia akan memusnahkan dajjal kaum
Kristen dan menghancurkan pemikiran-pemikiran salib mereka.
Demikianlah, hal ini oleh Allah Ta'ala telah dipenuhi melalui tangan saya,
yakni menghancurkan fondasi agama Kristen. Setelah memperoleh
bashirat kamil dari Allah Ta'ala saya telah membuktikan bahwa kematian
terkutuk yang -- na'udzubillaah -- telah dikaitkan pada Almasih, dan
merupakan landasan konsep keselamatan versi salib, dalam bentuk apapun
tidak dapat ditujukan kepada Isa a.s.. Dan dalam bentuk apapun makna
kutukan tidak dapat ditujukan kepada orang benar manapun. Demikianlah,
dari [pemaparan] persoalan cara baru ini yang pada hakikatnya
memporak-porandakan agama mereka, kelompok-kelompok pendeta jadi
tidak berkutik. Sehingga orang-orang yang mengetahui hal ini jadi
mengerti bahwa tahqiq (penggalian yang mendalam) ini telah
menghancurkan Agama Salib. Dari surat-surat beberapa pendeta, saya
mengetahui bahwa mereka sangat takut terhadap tahqiq yang telak ini.
Dan mereka telah mengerti bahwa melalui hal ini fondasi Agama Salib
akan rubuh. Dan kerubuhannya itu akan sangat mengerikan." (Kitaabul
Bariyyah, h.262, catatan kaki).

"Saya setiap saat merisaukan, bagaimana supaya terjadi keputusan


antara kita dan Kristen. Hati saya semakin tersayat-sayat oleh cobaan
berupa penyembahan terhadap benda mati. Dan jiwa saya berada pada
suasana sempit yang mengherankan. Apakah ada keperihan hati yang lebih
hebat dari ini, yakni seorang manusia lemah telah dijadikan sebagai tuhan,
dan segumpal tanah telah dianggap sebagai tuhan semesta alam ? Saya
pasti akan binasa dalam kedukaan ini apabila Junjungan saya dan Tuhan
saya Yang Mahakuasa tidak meyakinkan saya bahwa akhirnya Tauhid-lah
yang akan menang; tuhan-tuhan lain akan binasa; tuhan-tuhan palsu akan
110

diputuskan dari wujud-wujud ketuhanan mereka. Kehidupan Maryam


yang dipertuhankan, akan mengalami kematian. Dan sekarang putranya
pasti akan mati. Tuhan Maha kuasa berfirman, seandainya Dia mau maka
Dia dapat membinasakan Maryam dan putranya, Isa, beserta segenap
penghuni bumi. Jadi, sekarang Dia telah menghendaki untuk mencicipkan
kematian pada nyawa kedua tuhan palsu itu. Jadi, sekarang keduanya akan
mati, dan tidak ada seorangpun yang dapat menyelamatkan mereka.
Segenap potensi buruk yang menerima tuhan-tuhan palsu itupun akan
mati. Akan tercipta bumi baru, dan akan tercipta langit baru. Sekarang
sudah dekat masanya bahwa matahari kebenaran akan terbit dari barat.
Dan Eropa akan mengetahui tentang Tuhan Sejati. Dan setelah itu pintu
tobat akan tertutup, sebab orang-orang yang masuk akan masuk berduyun-
duyun. Dan yang akan tersisa hanyalah orang-orang yang di hati mereka
sendiri pintu telah tertutup secara fitrati. Mereka adalah orang-orang yang
tidak menjalin kecintaan dengan cahaya, melainkan dengan kegelapan.
Sudah dekat saatnya bahwa segenap agama akan binasa, kecuali Islam.
Seluruh persenjataan akan hancur, kecuali senjata Samawi milik Islam
yang tidak akan hancur dan tidak akan tumpul, hingga kedajjalan
dicincang-cincang habis. Sudah dekat waktunya bahwa Tauhid Sejati
Tuhan yang dirasakan sendiri dalam kalbu orang-orang yang tinggal di
gurun-gurun dan yang tidak mengenal pendidikan sekalipun, akan
menyebar di negara-negara…. Pada saat itu tidak akan ada lagi [konsep]
palsu penebusan dosa dan tidak ada lagi tuhan palsu…. Dan dengan satu
tangan saja Tuhan akan menggugurkan segenap upaya kekufuran. Namun,
tidak melalui pedang apapun, dan tidak pula melalui senapan. Melainkan,
dengan cara menganugerahkan cahaya kepada ruh-ruh yang siap [dengan
kemampuan-kemampuan mereka], dan dengan cara menurunkan suatu nur
kepada kalbu-kalbu yang suci. Barulah saat itu hal-hal yang saya katakan
ini akan dipahami." (Tabligh-e-Risalat, jld.6, h.8).

"Wahai orang-orang Islam ! Dengarlah ! Dan dengarlah dengan


seksama ! Sekian banyak kedustaan pelik yang telah digunakan di
kalangan umat Kristen untuk menghalangi pengaruh-pengaruh suci Islam,
dan sekian banyak makar penuh kelicikan yang telah dilakukan, dan untuk
menyebarkan makar-makar itu telah dilakukan upaya-upaya gigih serta
pengaliran dana bagai air, bahkan terdapat juga sarana-sarana sangat
memalukan yang lebih baik tidak dipaparkan dalam tulisan ini,
kesemuanya itu telah dihabiskan di jalan ini. Ini adalah upaya-upaya sihir
dari para pendukung umat Kristen dan Trinitas. Selama untuk melawan
sihir ini tidak diperlihatkan tangan kuat yang mengandung kemampuan
mukjizat di dalamnya, dan selama sihir itu tidak dihancurkan melalui
mukjizat tersebut, maka selama itu pula terbebasnya kalbu-kalbu lugu dari
sihir Eropa ini adalah sama-sekali jauh dari kenyataan dan harapan. Oleh
karenanya, untuk menggugurkan sihir itu Allah Ta'ala telah mengutus
111

hamba-Nya ini untuk melawan para penentang setelah terlebih dahulu


menganugerahi hamba ini dengan ilham, kalaam, dan berkat-berkat-Nya
yang istimewa, serta menganugerahkan hamba ini ilmu-ilmu-Nya yang
mendalam. Dan Dia telah memberikan kepada hamba ini banyak sekali
hadiah Samawi, keajaiban-keajaiban Langit, makrifat-makrifat serta
hakikat-hakikat rohani. Supaya, melalui batu Samawi itu 'patung lilin'
tersebut dihancurkan, yakni yang telah dibuat oleh sihir Eropa itu.
Oleh karena itu, wahai orang-orang Islam ! Kedatangan hamba ini
merupakan suatu mukjizat dari Allah Ta'ala untuk menghapuskan
kegelapan-kegelapan sihir tersebut. Apakah tidak mutlak bahwa untuk
melawan sihir harus juga datang suatu mukjizat ke dunia ? Apakah pada
pandangan-pandangan kalian hal ini aneh dan tidak wajar, bahwa untuk
melawan makar-makar tingkat tinggi yang telah berupa sihir itu Allah
Ta'ala memperlihatkan suatu kecintaan sejati yang mengandung potensi
mukjizat di dalamnya?" (Fatah Islam, h.5,6).

"Dikarenakan saya telah diutus untuk memperbaiki kerusakan-


kerusakan yang ditimbulkan oleh Trinitas, oleh karena itu pemandangan
mengerikan ini -- yakni lebih dari empat ratus juta orang di dunia
menganggap Isa a.s. sebagai tuhan -- selalu menimbulkan kepedihan
sedemikian rupa di hati saya sehingga saya tidak bisa membayangkan
apakah ada kesedihan lain yang lebih besar dari ini saya alami di seluruh
hidup saya. Bahkan, jika memungkinkan bagi saya untuk mati karena
kesedihan itu, maka kesedihan ini pasti telah mematikan saya. Yakni,
mengapa orang-orang ini meninggalkan Tuhan Esa yang tiada sekutu
bagi-Nya, lalu mereka menyembah seorang manusia lemah? Dan mengapa
orang-orang ini tidak beriman kepada Nabi [s.a.w.] yang telah datang ke
dunia dengan membawa petunjuk sejati secara langsung? Setiap saat saya
selalu risau, jangan-jangan saya akan mati akibat begitu perihnya
kesedihan ini…. Dan kondisi keperihan saya ini sudah sedemikian rupa
sehingga jika orang-orang lain menginginkan surga maka surga bagi saya
adalah, saya menyaksikan di dalam hidup saya orang-orang terbebas dari
syirik ini dan saya melihat tampilnya keperkasaan Tuhan. Dan ruh saya
setiap saat berdoa, 'Wahai Tuhan! Jika aku berasal dari Engkau, dan jika
naungan karunia-Mu menyertaiku, maka perlihatkan hari itu kepadaku,
tatkala celaan ini dicabut dari kepala Almasih a.s., yakni celaan bahwa --
nau'dzubillaah -- beliau telah menda'wakan diri sebagai tuhan.' Sudah
berlalu suatu masa ketika lima waktu doa-doa saya adalah supaya Tuhan
menganugerahkan mata kepada orang-orang ini, dan supaya mereka
mengimani ketauhidan-Nya, supaya mereka mengenali Rasul-Nya s.a.w.,
dan supaya mereka bertobat meninggalkan akidah-akidah Trinitas."
(Tabligh-e-Risalat, jld. 8, h.71,72).
112

"Lihatlah orang-orang Kristen dan aib-aib mereka.


Dan lihatlah kekotoran-kekotoran mereka yang tampil dari diri mereka.
Akibat sikap-sikap mereka yang melampaui batas, mereka lari dari setiap
ketinggian.
Dengan berhala-berhala mereka itu mereka sedang mengotori bumi.
Kami mengadukan kepada Allah Ta'ala tentang keburukan yang
ditimbulkan oleh zaman mereka.
Dan kami berlindung kepada Tuhan Qudus dari setan-setan mereka.
Wahai Tuhan, tangkaplah mereka sebagaimana Engkau menangkap
seorang pembuat kekacauan.
Panjangnya zaman mereka telah menghancurkan dunia.
Wahai Rabb Ahmad s.a.w., wahai Tuhan Muhammad s.a.w.!
Selamatkanlah hamba-hamba-Mu dari racun asap-asap mereka.
Mereka dengan penuh kedengkian telah mencaci dan mendustakan Nabi
s.a.w. Engkau.
Yaitu Nabi yang merupakan makhluk terbaik. Jadi, lihatlah keaniayaan
mereka.
Wahai Tuhan, gilaslah mereka sampai hancur sebagaimana Engkau
menggilas orang yang melampaui batas.
Turunlah di halaman mereka untuk menghancurkan bangunan-bangunan
mereka.
Wahai Tuhan, cincang-cincanglah mereka dan hancurkan kelompok
mereka.
Wahai Tuhanku, tariklah mereka ke arah yang membuat mereka menjadi
lunak." (Nurul Haq, jld.1).

Pujian Terhadap Jihad Yang Dilancarkan


Oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah
Jihad pena luar biasa yang telah dilakukan oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah untuk
mendukung Agama Kebenaran yang dibawa Junjungan kita Yang Mulia Muhammad
Mushthafa s.a.w. dan untuk melawan Agama Kristen, tidak ditemukan di manapun
tandingannya.
Beliau adalah seorang panglima peraih kemenangan yang di dalam taqdirnya telah
tertulis kemenangan di setiap pertempuran. Dan tidak perduli apakah itu kawan atau
lawan, tanpa kendali telah meneriakkan pujian-pujian. Beberapa pujian mengenai jihad
luar biasa yang beliau lakukan itu, dipaparkan berikut ini.

Khawaja Ghulam Farid Sajjadah Nasyiin Chaachran Syarif


113

"Mirza Sahib25 setiap saat menghabiskan waktu dalam peribadatan


kepada Allah Ta'ala. Beliau shalat, atau membaca Quran Syarif, atau sibuk
dalam tugas-tugas keagamaan lainnya. Dan beliau begitu gigih membela
Islam sehingga kepada Ratu Inggris di London-pun beliau mengajak untuk
menerima Agama Muhammad (Islam). Kepada raja-raja di Rusia,
Perancis, dan negara-negara lainnya juga beliau telah menyampaikan
tabligh Islam. Kebanyakan upaya dan usaha beliau adalah pada hal ini,
yakni supaya orang-orang itu meninggalkan akidah Trinitas dan
Penyaliban yang pada hakikatnya merupakan kekufuran. Dan supaya
mereka menerima Tauhid Allah Ta'ala.
Dan lihatlah keadaan para ulama saat ini. Mereka mengabaikan
segenap agama palsu lainnya lalu mengejar-ngejar seorang saleh seperti
itu, yang berasal dari kalangan ahlus sunnah wal jamaa'ah dan yang
berdiri tegak di atas shirothol mustaqiim, serta yang menunjukkan jalan
hidayat. Dan para ulama ini mengeluarkan fatwa kufur terhadapnya.
Lihatlah kalaam Arab beliau, yang di luar kemampuan-kemampuan
manusia. Segenap kalaam beliau dipenuhi oleh makrifat-makrifat, hakikat-
hakikat, dan hidayat. Beliau sama-sekali tidak mengingkari ahlus sunnah
wal jamaa'ah dan kewajiban-kewajiban agama." (Isyaarat-e-Faridi, jld.3,
h.69,70).

Harian Wakyl, Amritsar

Di antara surat-surat kabar Muslim yang ulasannya paling kuat, berpengaruh, dan
menggambarkan hakikat sebenarnya, adalah surat kabar Wakyl dari Amritsar, yang tampil
dari tulisan Maulana Abul Kalaam Aazaad. Beliau menuliskan:

"Beliau adalah seorang yang sangat besar, dengan pena sihir, dan
lidah hipnotik. Beliau merupakan sosok yang dipenuhi keajaiban-
keajaiban di bidang pemikiran. Pandangan beliau menghebohkan, dan
suara beliau [membangkitkan] kiamat. Jaringan revolusi membentang dari
jari-jemari beliau. Kedua kepalan tangan beliau merupakan dua baterei
listrik. Beliau merupakan gempa dan topan bagi dunia agama sampai
tigapuluh tahun. Beliau bagaikan sangkakala kiamat yang terus
membangunkan orang-orang yang tertidur pulas. Beliau telah pergi dari
dunia ini tanpa membawa apa-apa…. Kewafatan Mirza Ghulam Ahmad
Sahib Qadiani tidak pantas untuk tidak diambil pelajaran darinya dan tidak
pantas untuk bersikap sabar dengan menyerahkannya kepada zaman yang
panjang agar dihapuskan [begitu saja dari ingatan]. Orang-orang yang
menimbulkan revolusi di dunia agama dan dunia pemikiran seperti itu,
tidak senantiasa datang ke dunia ini. Putra-putra terbaik sejarah ini sangat
sedikit tampil dalam pemandangan alam ini. Dan apabila mereka pergi,
mereka pergi dengan menciptakan revolusi di dunia.
25
Pendiri Jemaat Ahmadiyah -peny.
114

Keistimewaan beliau adalah, beliau senantiasa memenuhi


tanggung-jawab sebagai seorang panglima peraih kemenangan, melawan
para penentang Islam. Keistimewaan itu membuat kita terpaksa secara
terbuka menyatakan perasaan ini, supaya gerakan yang diorganisir dengan
baik itu, yang sampai jangka waktu panjang telah menghinakan dan
menghancurkan para musuh kita, tetap berkelanjutan di masa mendatang.
Literatur Mirza Sahib yang tampil dari beliau dalam menghadapi
orang-orang Kristen dan Arya, telah memperoleh pengakuan umum. Dan
dalam keistimewaan ini beliau tidak membutuhkan penjelasan apapun.
Kemuliaan dan keagungan literatur ini, pada masa sekarang, ketika beliau
telah menyelesaikan tugas beliau, terpaksa kita akui dari lubuk hati.
Sebab, masa itu sama-sekali tidak dapat terlupakan dari kedalaman kalbu
kita, yakni ketika Islam telah terkepung di dalam serangan-serangan
musuh. Sedangkan umat Islam yang berperan sebagai sarana pelindung
dari Sang Pelindung Hakiki di alam sarana ini untuk melindungi Islam,
tengah terkapar dalam kondisi sakratul-maut di atas hasil-hasil kesalahan
mereka. Dan sedikitpun tidak ada yang mereka lakukan maupun yang
dapat mereka lakukan untuk Islam. Di satu sisi terdapat serangan-serangan
yang berkepanjangan, yakni dunia Kristen ingin menghapuskan pelita
irfan hakiki Islam karena menganggapnya sebagai halangan di jalan utama
tujuan mereka. Dan kekuatan-kekuatan besar akal serta kekayaan telah
dikerahkan untuk mendukung serangan itu. Sedangkan di sisi lain kondisi
pembelaan-diri begitu lemahnya sehingga untuk menghadapi meriam-
meriam saja panahpun tidak ada. Penyerangan dan pertahanan, kedua-
duanya tidak memiliki bentuk yang telak…. Pembelaan diri mulai
dilakukan oleh pihak umat Islam, satu bagian di antaranya dilakukan oleh
Mirza Sahib. Pembelaan diri ini tidak hanya memporak-porandakan
pengaruh awal Kristen yang pada hakikatnya merupakan jiwa mereka
karena berada di bawah naungan Kerajaan [Inggris] dan ribuan bahkan
ratusan ribu orang Islam telah terhindar dari kemudharatan serangan yang
lebih berbahaya dan lebih pantas untuk berhasil itu, bahkan sihir Kristen
itu sendiri menjadi asap dan telah lenyap…. Ringkasnya, pengkhidmatan
Mirza Sahib ini akan memberikan ihsan penuh kepada para generasi
mendatang, sebab dengan masuk di barisan pertama di kalangan para
pelaku jihad pena, beliau telah melakukan kewajiban membela Islam. Dan
beliau telah meninggalkan literatur atau kenang-kenangan sedemikian
rupa yang akan tetap menjadi darah hidup di dalam urat-urat nadi umat
Islam hingga saat itu. Dan semangat beliau mendukung Islam yang
tampak sebagai haluan sikap umat, akan tetap berdiri tegak." (Dikutip dari
Badr, 18 Juni 1908, h.2,3; harian Millat, Lahore, 7 Januari 1911, h.13-15,
dikutip dari Al-Hakam, jld.15, h.1).

Shaadiqul Akhbar, Rewari


115

Shaadiqul Akhbar, Rewari menuliskan:

"Mirza Sahib, melalui pidato-pidato beliau yang sangat berbobot, dan


melalui tulisan-tulisan yang sangat bermutu, memberikan jawaban yang
mematikan bagi kecaman-kecaman nonsen para penentang Islam lalu telah
membungkam mereka untuk selamanya. Dan beliau telah membuktikan
bahwa kebenaran adalah kebenaran. Dan sungguh-sungguh Mirza Sahib
telah melakukan pembelaan terhadap Islam sebagaimana mestinya, serta
tidak ada satu unsur kecilpun yang beliau tinggalkan dalam mengkhidmati
agama Islam. Keadilan menuntut untuk menyayangkan ajal yang begitu
tiba-tiba dan kewafatan yang mendadak bagi seorang pembela Islam yang
bertekad tangguh dan seorang ilmuwan penolong umat Islam seperti
beliau." (Dikutip dari Badr, 20 Agustus 1908, h.6).

Curson Gazzette, Delhi

Editor Curson Gazzette Delhi, Mirza Hayrat Dhelwi menuliskan:

"Pengkhidmatan-pengkhidmatan mulia yang telah dilakukan


almarhum terhadap Islam dalam melawan orang-orang Arya dan Kristen,
benar-benar berhak mendapatkan banyak sekali pujian. Beliau sama-sekali
telah merubah warna perdebatan. Dan beliau telah menanamkan fondasi
literatur baru di Hindustan. Sebagai orang Muslim dan sebagai ilmuwan
peneliti, kami menyatakan hal ini, bahwa orang Arya yang paling hebat
dan pendeta paling besar sekalipun tidak sanggup untuk membuka mulut
dalam menghadapi almarhum…. Walaupun almarhum seorang Punjabi,
tetapi di dalam pena beliau terdapat kekuatan sedemikian rupa sehingga
saat ini di seluruh Punjab, bahkan di seluruh Hindustan, tidak ada penulis
yang memiliki kekuatan seperti itu…. Literatur beliau yang penuh bobot,
benar-benar luar biasa dalam ketinggian mutunya. Dan memang dengan
membaca beberapa kalimatnya, menimbulkan suatu kondisi yang sangat
menyenangkan…." (Dikutip dari Silsilah Ahmadiyyah, h.189).

Chaudry Afdhal Haq, Tokoh Pemikir Ahrar

"Sebelum kemunculan Arya Samaj, Islam merupakan jasad tidak


bernyawa yang di dalamnya tidak terdapat gerakan pertablighan…. Di
kalangan golongan-golongan lain dalam umat Islam tidak ada suatu
jemaatpun yang dapat timbul untuk tujuan-tujuan pertablighan. Ya, ada
satu kalbu yang telah bangkit karena sangat gundah terhadap kelalaian
umat Islam. Dia mengumpulkan sebuah jemaat kecil di sekitarnya lalu
telah maju untuk menyebarkan Islam…. Dia telah menciptakan gejolak
116

pertablighan di dalam jemaatnya, yang tidak hanya bagi berbagai


golongan di kalangan umat Islam, melainkan juga merupakan suri
tauladan bagi segenap kelompok pertablighan/missionaris di seluruh
dunia." (Fitnah Irtidad Aor Politikal Qalaabaaziaan, h.24, edisi kedua).

Maulana Sayyid Habib, Editor Siyaasat

"Pada waktu itu Arya dan missionaris Kristen sedang melancarkan


serangan besar-besaran terhadap Islam. Sangat sedikit ulama yang ada saat
itu, mereka sibuk melindungi Syariat Kebenaran. Namun, tidak banyak
berhasil. Saat itu Mirza Ghulam Ahmad turun ke arena. Dan beliau dari
pihak Islam sangat gigih melawan para pendeta Kristen serta para pandit
Arya. Saya telah memaparkan secara terbuka keburukan penda'waan
kenabian Mirza Sahib dan sebagainya. Namun, atas dasar ungkapan
'Betapa banyakpun aib yang dibicarakan, kemukakan jugalah
kemampuannya,' maka saya sedikitpun tidak takut untuk mengatakan
bahwa Mirza Sahib telah melaksanakan kewajiban ini dengan sangat baik
dan dengan cara yang benar. Dan beliau telah mematahkan kekuatan para
penentang Islam. Beberapa artikel beliau mengenai Islam tidak
terbantahkan." (Tahrik-e-Qadian, h.208, 209).

Pada bagian akhir artikel ini kami ingin memaparkan tentang tokoh Islam yang
agung, pemberani dan perkasa itu. Yakni, kehidupan beliau sepenuhnya telah diwakafkan
dalam jihad demi Agama Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. Dalam menghadapi
Kristen, peperangan agama yang telah beliau lakukan di seluruh dunia, telah
menimbulkan kepanikan di dunia Kristen. Ya, beliaulah seorang panglima peraih
kemenangan yang para pengikutnya sampai saat ini selalu sibuk dalam jihad agung ini.
Dan setiap saat mereka selalu menaklukkan Kristen di setiap arena pertempuran baru.
Orang-orang yang gila dimabuk kecintaan terhadap Islam ini berperang melawan Kristen
di pelosok-pelosok dunia. Di Eropa, di Amerika, di benua hitam Afrika, di setiap arena
pertempuran, pihak Gereja menggigil akibat serangan-serangan mereka, dan dunia
Kristen tampak ketakutan. Gerakan bibir-bibir mereka membuat salib menjadi pecah.
Derap langkah-langkah mereka merupakan pesan kekalahan bagi Kristen. Disayangkan!
Sangat disayangkan! Terhadap tokoh Islam yang pemberani dan perkasa ini, serta
terhadap panglima Islam peraih kemenganan ini, sebagian orang yang bermulut aniaya
telah melontarkan kecaman pahit bahwa beliau -- na'udzubillaah -- merupakan kaki-
tangan pemerintah-pemerintah Kirsten.
Mengenai hal itu kami hanya dapat mengatakan demikian lalu menyerahkan
persoalan ini kepada Tuhan kami Yang Maha Mengetahui, Khabiir, dan Ghayyur. Yakni:

Wahai Muzhaffar (peraih kemenangan)! Keselamatan atas engkau.


Kedudukan engkau sangat tinggi dari kecaman caci-maki para pendengki
ini. Wahai Bulan abad keempat-belas yang telah disimbahi cahaya
117

Muhammad Arabi shallallaahu 'alaihi wasallam! Percikan ludah para


pendengki ini tidak dapat mencapai engkau, sekalipun hingga ke sekitar
kedudukan engkau yang sangat mulia itu.

---------ooo0ooo----------
118

TINJAUAN TERHADAP
TUDUHAN-TUDUHAN LAINNYA

Beberapa Tuduhan Lain


Untuk membuat tuntutan ini menjadi masuk akal dan terbukti benar, yakni
tuntutan agar orang-orang Ahmadi dinyatakan non-Muslim dan minoritas, maka beberapa
tuduhan lainpun telah dilontarkan. Di antaranya terdapat dua tuduhan yang secara khusus
patut diuraikan:
119

Pertama: Orang-orang Ahmadi tidak shalat bermakmum di belakang


orang-orang Islam lainnya; tidak menyembahyangkan jenazah orang-
orang Islam lainnya; dan tidak pula mengadakan perkawinan dengan
orang-orang Islam lainnya.

Kedua: Orang-orang Ahmadi telah melakukan perubahan pada kata-kata


dan makna-makna yang terdapat di dalam Quran Majid.

Mengenai yang pertama, dengan sangat hormat disampaikan bahwa Jemaat Ahmadiyah
adalah suatu kelompok yang teraniaya. Sejak awal para ulama telah mengeluarkan fatwa
atasnya. Pada tahun 1892 Maulwi Nadzir Hussein Dhelwi telah mengeluarkan fatwa
mengenai Pendiri Jemaat Ahmadiyah sebagai berikut:

"Jangan memulai salam kepadanya…. Dan jangan bermakmum di


belakangnya." (Isyaa'atus Sunnah, jld.13, no.6, h.85).

Maulwi Muhammad Hussein Batalwi mengeluarkan fatwa:

"Menjadi pengikut Qadiani dan menjadi imam bagi orang-orang Islam,


adalah dua hal yang saling bertentangan. Keduanya tidak dapat bersatu."
(Syar'i Faishlah, h.31).

Maulwi Rasyid Ahmad Ganggohi memberikan fatwa:

"Menjadikannya dan pengikutnya sebagai imam, adalah haram."( Syar'i


Faishlah, h.31).

Maulwi Tsanaaullah Amritsari mengeluarkan fatwa:

"Shalat di belakangnya tidak sah." (Fatwa Syari'at Gharra, h.9).

Maulwi Abdus Sami' Badayuni memberikan fatwa:

"Shalat bermakmum di belakang seorang Mirzai adalah tidak sah. Shalat


di belakang orang-orang Mirzai adalah sama saja shalat bermakmum di
belakang orang-orang Hindu, Yahudi, dan Kristen. Warga Ahlus Sunnah
wal Jamaa'ah dan warga Islam sama-sekali jangan mengizinkan orang-
orang Mirzai masuk ke dalam mesjid-mesjid mereka untuk mengerjakan
shalat atau untuk melaksanakan perintah-perintah agama lainnya."
(Shaa'iqah Rabbani Barfitnah Qadiani, h.9, cetakan 1892).

Maulwi Abdurrahman Bihari mengeluarkan fatwa:


120

"Shalat bermakmum di belakangnya dan di belakang pengikutnya adalah


batil dan tidak diterima…. Berimam kepada mereka adalah sama dengan
berimam kepada orang Yahudi." (Fatwa Syari'at Gharra, h.4).

Mufti Muhammad Abdullah Thungki Lahore mengeluarkan fatwa:

"Bermakmum di belakangnya dan di belakang para pengikutnya sama-


sekali tidak sah." (Syar'i Faishlah, h.25).

Maulwi Abdul Jabar Umarpuri memberikan fatwa:

"Mirza Qadiani adalah di luar Islam…. Sama-sekali tidak patut untuk


diimami." (Syar'i Faishlah, h.20).

Maulwi Azizur Rahman, Mufti Deoband, memberikan fatwa:

"Seseorang yang menganut akidah Qadiani, menjadikannya sebagai imam


shalat adalah haram." (Syar'i Faishlah, h.31).

Musytaq Ahmad Dhelwi memberikan fatwa:

"Orang yang menganggap baik Mirza dan orang yang seakidah dengan
Mirza, adalah terlepas dari Islam. Dan menjadikannya sebagai imam
tidaklah sah." (Syar'i Faishlah, h.24).

Maulwi Ahmad Ridha Khan Brelwi mengeluarkan fatwa:

"Ketentuan mengenai shalat di belakangnya, adalah sama seperti


ketentuan yang diberlakukan terhadap orang-orang murtad." (Husaamul
Harmaen, h.95).

Maulwi Muhammad Kifayatullah Syahjahanpuri mengeluarkan fatwa:

"Tidak ada keraguan dan kebimbangan apapun mengenai kekafirannya.


Bai'at kepadanya adalah haram. Dan berimam kepadanya sama-sekali
tidak sah." (Fatwa Syari'at Gharra, h.6).

Fatwa Para Ulama Mengenai Jenazah

Maulwi Nadzir Hussein Dhelwi memberikan fatwa:

"Jauhilah dajjal dan pendusta seperti itu…. Jangan shalatkan jenazahnya."


(Isyaa'atus Sunnah, jld.13, no.6).
121

Maulwi Abdusshamad Ghaznawi memberikan fatwa:

"Jangan shalatkan jenazahnya." (Isyaa'atus Sunnah, jld.13, no.6, h.101).

Qadhi Ubaidullah bin Shibghatullah Madrasi mengeluarkan fatwa:

"Barangsiapa mengikutinya, diapun kafir dan murtad…. Dan orang


murtad yang mati tanpa bertobat, jenazahnya jangan dishalatkan." (Fatwa
Dar Takfir Munkir 'Uruj Jismi wa Nuzuli Isa a.s.).

Maulwi Muhammad Abdullah Thungki Lahore memberikan fatwa:

"Barangsiapa dengan sengaja menyembahyangkan jenazah orang Mirzai,


dia hendaknya melakukan tobat secara ikrar terbuka, dan tepat apabila dia
mengulangi nikahnya." (Fatwa Syari'at Gharra, h.12).

Kemudian, lebih hebat dari itu, mereka telah memberikan fatwa agar orang-orang
Ahmadi ini tidak dikuburkan di perkuburan orang-orang Islam. Maulwi Abdusshamad
Ghaznawi memberikan fatwa agar orang-orang ini tidak dikuburkan di perkuburan orang-
orang Islam supaya:

"Orang-orang yang sudah dikuburkan di situ tidak mengalami derita."


(Isyaa'atus Sunnah, jld.13, no.6, h.101).

Qadhi Ubaidullah Madrasi mengeluarkan fatwa:

"Jangan kuburkan di perkuburan warga Islam. Melainkan, masukkanlah ke


dalam lubang seperti anjing, tanpa dimandikan maupun dikafani." (Fatwa
tahun 1893, dikutip dari Fatwa Dar Takfir Munkir 'Uruj Jismi wa Nuzul
Isa a.s.).

Demikian pula mereka telah memberikan fatwa bahwa bagi seorang Muslim tidak
dibenarkan untuk menyerahkan putri-putri mereka menikah dengan orang-orang Ahmadi.
Di dalam Syar'i Faishlah tertulis:

"Seseorang yang terbukti bahwa dia benar-benar pengikut Qadian, maka


menjalin ikatan pernikahan dengannya tidaklah dibenarkan." (Syar'i
Faishlah, h.31).

Bahkan lebih hebat dari itu mereka memberikan fatwa:

"Orang-orang yang menganut akidah itu, mereka juga kafir. Dan nikah
mereka tidak utuh lagi. Siapa saja yang mau, dapat menikahi istri-istri
122

mereka. (Fatwa Maulwi Abdullah dan Maulwi Abdul Aziz, Ludhiana,


dikutip dari Isyaa'atus Sunnah, jld.13, h.5).

Yakni, menurut para ulama, menikahi para istri orang-orang Ahmadi secara paksa adalah
sesuai [ajaran] Islam. Demikian pula mereka memberikan fatwa:

"Siapa saja yang mengikutinya, dia juga kafir dan murtad. Dan secara
syariat, pernikahan orang yang sudah murtad adalah batal/gugur. Dan
istrinya menjadi haram. Dan jika dia melakukan hubungan dengan
istrinya, berarti itu adalah zinah. Dan dalam kondisi demikian anak-anak
yang dilahirkan merupakan anak-anak haram." (Fatwa Dar Takfir Munkir
'Uruj Jismi wa Nuzul Isa a.s., cetakan tahun 1311 H).

Para ulama tidak hanya memberikan fatwa saja dalam menentang gerakan Ahmadiyah,
melainkan selalu berusaha menerapkan fatwa-fatwa itu secara keras, seperti yang tampak
dari tulisan penuh emosi di bawah ini yang terdapat di dalam buku Mukhaada'at
Musailamah Qadiani (terbitan 1901), tulisan Maulwi Abdul Ahad Janpuri, seorang murid
Pir Meher Ali Syah:

"Kelompok Mirzaiah sudah sangat terhina dan nista. Mereka telah


dikeluarkan dari Jum'ah dan dari jama'ah. Dan di mesjid mana saja mereka
berkumpul mengerjakan shalat, mereka telah diusir dari situ dengan sangat
tidak hormat. Di mana mereka mengerjakan shalat Jumat, di sana mereka
telah dihalangi dengan perintah…. Kemudian banyak kehinaan lainnya
yang mereka alami. Urusan-urusan jual-beli dan hubungan dengan orang-
orang Islam telah tertutup. Wanita-wanita yang sudah dinikahi dan wanita-
wanita yang sudah dilamar, telah dirampas karena alasan Mirzaiyyat.
Orang-orang mati mereka tanpa dimandikan dan dikafani serta tanpa
disembahyangkan telah ditimbun ke dalam lubang." (Mukhaada'at
Musailamah Qadiani, h. 2).

Sekarang, para anggota Parlemen yang terhormat dapat memperhatikan. Yakni,


selama bertahun-tahun setelah menjadi sasaran penderitaan-penderitaan dan bala
musibah, jika warga Jemaat Ahmadiyah mengambil suatu langkah karena adanya cobaan
dan ujian, berarti itu membuktikan kondisi mereka yang memang patut dikasihani dan
sangat perih. Hal itu tidak dapat dijadikan dalil yang menyatakan bahwa mereka non-
Muslim.
Di sisi lain, permasalahan ini juga ada. Rinciannya terdapat pada buku yang telah
diterbitkan. Berikut ini salinannya.

Mengapa Orang-orang Muslim Ahmadi Tidak Shalat


di Belakang Orang-orang Non-Ahmadi
123

Di Pakistan pada masa sekarang ini kesibukan yang paling disukai para ulama
adalah mengupayakan dengan berbagai cara agar Jemaat Ahmadiyah dinyatakan non-
Muslim minoritas. Dalam kaitan itu banyak sekali literatur yang telah diterbitkan, di
dalamnya bukan dalil-dalil tetapi lebih banyak diisi oleh tuduhan-tuduhan yang penuh
emosi dan tanpa dasar, serta dipenuhi caci-makian. Dan kebanyakan adalah pengulangan
hal-hal yang pernah diterbitkan pada tahun 1952-1953 untuk menimbulkan emosi sangat
keras di kalangan masyarakat umum yang berpemikiran sederhana. Dr.Ghulam Jailani
Baraq menyinggung literatur semacam itu di dalam bukunya Harf-e-Muharramanah
dengan kata-kata berikut:

"Hingga saat ini, sekian banyak literatur yang dipaparkan para ulama
Islam terhadap Ahmadiyah, di dalamnya dalil-dalil sedikit, sedangkan
caci-makian banyak. Literatur yang penuh caci-makian seperti itu, siapa
yang akan membacanya ? Dan kata-kata kotor demikian siapa yang akan
mendengarnya?" (Harf-e-Muharramanah, h.12).

Pada tahun 1953, ketika kata-kata kotor dan caci makian ini telah membangkitkan
emosi masyarakat umum, tiba-tiba saja Maududi memanfaatkan kondisi itu, dan untuk
menggunakan suasana yang mudah terbakar itu, demi tujuan-tujuannya sendiri, dia telah
mengetengahkan minyak pembakar [berupa buku] yang dinamakan Qadiani Mas'alah.
Tujuan penerbitan buku ini sama-saja seperti literatur-literatur yang telah diterbitkan
sebelumnya. Namun, di situ telah diusahakan untuk menonjolkan bahwa di dalamnya
sedikit terdapat caci-makian dan kata-kata kotor, sedangkan yang banyak adalah dalil-
dalil. Pada pandangan masyarakat umum yang sederhana memiliki sedikit ilmu, tampak
bahwa hal-hal itu mungkin benar, yaitu orang-orang yang tidak mahir meneliti dalil-dalil.
Dan sebagaimana khalayak umum menganggap air yang dicampur warna oleh para
tukang obat penipu sebagai obat mujarab lalu membelinya, demikian pula orang-orang
awam telah menganggap buku Qadiani Mas'alah sebagai buku yang ampuh penuh dalil.
Jadi, kami tidak bisa berkata apa-apa. Namun, nilai dalil-dalil tersebut pada pandangan
beberapa ulama non-Ahmadi yang terkenal, dapat terbaca dari kata-kata Ghulam Ahmad
Parwez, editor Thulu'-e-Islam, sebagai berikut:

"Yang paling diunggulkan adalah buku Maududi, Qadiani Mas'alah.


Menurut saya, dalil-dalil buku ini begitu hampa sehingga jika diteliti maka
dalil-dalil itu sendiri yang menyokong orang-orang Ahmadi." (Mizaj
Syanas Rasul, h.443).

Pada saat ini, dari kecaman-kecaman yang telah ditampilkan dalam buku itu, dan
yang sekarang banyak diulangi kembali, kami mengambil satu kecaman pokok. Yakni,
mengapa orang-orang Ahmadi tidak shalat bermakmum di belakang orang-orang non-
Ahmadi? Dan dikarenakan orang-orang Ahmadi berbuat demikian, oleh sebab itu terbukti
bahwa mereka adalah suatu umat tersendiri dan pantas untuk dinyatakan non-Muslim
minoritas.
124

Salah satu jawaban bagi kecaman tersebut kami berikan secara ringkas. Jawaban
ini sebenarnya menyangkal kebanyakan kecaman yang terdapat di dalam buku Qadiani
Mas'alah. Bahkan kalau ada pembaca yang bersifat adil/jujur dan sedikitpun tidak
meninggalkan nilai-nilai keadilan/kejujuran Islami, maka dia akan terpaksa mengakui
bahwa seandainya diterima dalil-dalil yang terdapat dalam buku Qadiani Mas'alah dan
buku-buku sejenisnya, maka jangankan golongan Qadiani, justru setiap golongan lainnya
menjadi sangat mutlak untuk dinyatakan non-Muslim minoritas secara adil/jujur. Namun,
itu hanyalah persoalan sambilan. Sedangkan persoalan utama yang menjadi perhatian
kami pada saat ini adalah, mengapa orang-orang Ahmadi tidak shalat di belakang orang-
orang non-Ahmadi.
Maka, dengarkanlah! Salah satu penyebab dari sekian banyak sebab mengapa
tidak bermakmum di belakang orang-orang non-Ahmadi adalah fatwa-fatwa yang telah
dikeluarkan para ulama non-Ahmadi yang berkuasa, terkenal dan menduduki posisi
penting. Yaitu fatwa-fatwa yang dengan keras melarang orang-orang Muslim
bermakmum di belakang satu sama lain.

PERTAMA: Anda dapat bersikap adil sendiri, yakni apakah kami harus bermakmum di
belakang orang-orang Deobandi yang mengenai mereka terdapat fatwa berikut ini yang
bukan berasal dari para Ahmadi, tetapi berasal dari ulama-ulama besar non-Ahmadi:

"Wahabi Deobandi, karena di dalam tulisan-tulisan mereka menghina dan


menistakan segenap wali dan nabi, sampai-sampai Yang Mulia Sayyidul
Awwaliin wa Akhiriin shallallaahu 'alaihi wasallam dan khususnya Dzat
Allah Ta'ala, maka jelas-jelas mereka adalah murtad dan kafir.
Kemurtadan dan kekufuran mereka sudah mencapai derajat yang begitu
parah sehingga siapa saja yang menyimpan keraguan sedikit saja
mengenai kemurtadan dan kekufuran mereka maka diapun sama saja
murtad dan kafir seperti mereka. Dan siapa saja yang meragukan tentang
kekufuran orang ragu itu, diapun murtad dan kafir. Umat Islam hendaknya
sama-sekali menjauhi dan menghindari mereka. Jangankan shalat
bermakmum di belakang mereka, jika mereka bermakmum di belakang
kalian, jangan izinkan. Dan jangan izinkan mereka masuk ke mesjid-
mesjid kalian. Jangan makan sembelihan mereka. Dan jangan turut serta
dalam perkawinan mereka maupun dalam kedukaan mereka. Jangan
izinkan mereka mendatangi kalian. Jika mereka sakit, jangan jenguk
mereka. Jika mereka meninggal dunia, jangan kuburkan di antara sesama
kalian. Jangan beri tempat kepada mereka di perkuburan orang-orang
Islam. Ringkasnya, benar-benar jauhi mereka dan waspada terhadap
mereka….
Jadi, Wahabi Deobandi benar-benar sangat murtad dan kafir
sehingga siapa saja yang tidak menyatakan mereka kafir, dia sendiri juga
akan ikut kafir. Istrinya menjadi lepas dari pernikahannya. Dan anak-anak
yang lahir, adalah anak-anak haram, dan berdasarkan Syariat tidak akan
memperoleh warisan." (Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun -peny.).
125

Di dalam selebaran ini tertulis nama banyak sekali ulama. Misalnya, Sayyid Jama'at Ali
Syah, Hamid Ridha Khan Qadiri Nuri Ridhwi Brelwi, Muhammad Karam Diin Bhin,
Muhammad Jamil Ahmad Badayuni, Umar An-Na'imi Mufti Syara', dan Abu
Muhammad Didar Ali Mufti Akbarabad, dan sebagainya….

"Pembuat fatwa ini tidak hanya para ulama Hindustan saja. Melainkan,
ketika tulisan-tulisan Wahabi Deobandi ini diterjemahkan dan dikirimkan,
maka para ulama ahlus sunnah di seluruh dunia, di Afghanistan, Khaywa,
Bukhara, Iran, Mesir, Roma, Syiria, Makkah Mu'azzhamah dan Madinah
Munawwarah dan sebagainya, segenap negara Arab, Kufah, Baghdad,
telah sepakat memberikan fatwa demikian." (Muhammad Ibrahim
Bhagalpuri, cetakan Hasan Barqi Press, Ishtiaq Manzil no.63, Hawitt
Road, Lucknow, atas upaya Manager Syekh Syaukat Hussein. Tanpa
tahun penerbitan, tetapi merupakan fatwa yang dikeluarkan sebelum
terbentuknya Pakistan.).

Fatwa Maulwi Abdul Karim Naji Daghestani, Mekkah:

{insert arabic: 71}

Artinya: Mereka adalah orang-orang kafir yang bejad. Raja Islam yang
memiliki kuasa untuk menghukum dan memiliki pedang serta senjata,
berkewajiban untuk membunuh mereka. Dan itu lebih baik dari
membunuh seribu orang kafir, sebab mereka adalah orang-orang terkutuk
dan terikat dalam jaringan orang-orang kotor. Maka, kutukan Allah atas
mereka dan atas orang-orang yang membantu mereka. Dan rahmat serta
berkat Allah atas orang yang membiarkan/mengabaikan mereka dalam
sepak-terjang mereka itu. (Maulwi Abdul Karim Naaji Daghestani,
Mekkah, Husaamul Harmaen 'Alaa Manharil Kufri wal-Miin, h. 176-179,
oleh Maulana Ahmad Ridha Khan Brelwi, cetakan Ahlus Sunnah wal-
Jama'ah Brelwi, 1324-1326 H / 1906-1908 M).
126

KEDUA: Kemudian, apakah kami harus shalat bermakmum di belakang orang-orang


Ahli Hadits yang mengenai mereka para imam Brelwi mengingatkan kepada kita dengan
kata-kata tegas sebagai berikut:

"Mengenai Wahabi dan lainnya, para muqallid (pengikut keempat imam),


berdasarkan kesepakatan para ulama Mekkah dan Madinah, menyatakan
mereka sebagai orang-orang kafir dan murtad sedemikian rupa sehingga
siapa saja yang telah mengetahui tentang pernyataan-pernyataan terkutuk
mereka lalu tidak menganggap mereka kafir, atau meragukan [tentang
kekufuran] mereka, berarti dia sendiri kafir. Shalat di belakang mereka
tidak sah. Sembelihan mereka haram. Istri-istri mereka telah terlepas dari
ikatan pernikahan. Orang Islam tidak boleh menikah dengan mereka yang
kafir atau murtad. Bersama mereka bergaul, makan dan minum, memberi
salam, dan berbicara, semuanya haram. Ketentuan-ketentuannya yang
rinci terdapat di dalam buku terkenal Husaamul Harmaen. Wallaahu
ta'aala a'lam.
Cap tertanda : Daaruul Iftaa Madrasah Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah,
Brelwi.
Cap tertanda : Aali Rasul Ahmad Ridha Khan, Brelwi.
Cap tertanda : Syafi' Ahmad Khan Ridhwi Sunni Hanafi Qaadiri.

(Fatawa Tsanaaiyyah, jld.2, h.409, oleh Al-Hajj Maulana Muhammad


Daud Raaz, Khatib Jaami'ah Ahli Hadits, terbitan Maktabah Isyaa'at-e-
Diniyyaat, Mauhinpura, Bombay).

Lebih lanjut silahkan simak:

"Orang yang menyatakan taqlid (mengikuti keempat imam) itu haram dan
menyatakan para muqallid (pengikut keempat imam) sebagai musyrik,
secara Syariat dia adalah kafir, bahkan telah murtad…. Dan pemerintah-
pemerintah Islam berkewajiban membunuhnya. Dan alasan 'saya tidak
tahu' tidak dapat diterima secara Syariat. Bahkan setelah bertobatpun dia
harus dibunuh. Yakni, walaupun dengan bertobat dia menjadi Muslim,
tetapi bagi orang seperti itu hukumannya secara Syariat, pemerintah Islam
harus membunuhnya. Yakni, sebagaimana hukuman zinah tidak gugur
dengan adanya tobat, demikian pula hukuman ini tidak hapus dengan cara
melakukan tobat. Para ulama dan para mufti yang ada saat itu,
berkewajiban untuk tidak sungkan-sungkan memberikan fatwa kufur dan
murtad, walau hanya mendengar satu hal itu saja. Jika tidak, maka
merekapun akan termasuk dalam golongan orang murtad." (Intizhamul
Masaajid Biikhraaj Ahlil Fitan wal Makaaid wal Mafaasid, h.5-7, Ja'fari
Press Lahore, oleh Maulwi Muhammad ibnu Maulwi Abdul Qadir
Ludhianwi).
127

KETIGA: Kemudian, apakah kami harus menjadi kafir dengan shalat bermakmum di
belakang orang-orang Brelwi yang mengenai mereka para ulama Deobandi memberikan
perintah syar'i kepada kita sebagai berikut:

"Seseorang yang menyatakan ilmu ghaib dimiliki oleh seseorang selain


Allah Ta'ala, dan dia mengetahui ilmu orang lain menyamai Allah Ta'ala,
tidak diragukan lagi dia adalah kafir. Berimam kepadanya dan bergaul
serta mencintai dan menyayanginya adalah haram." (Fatawa Rasyidiyyah,
oleh Maulwi Rasyid Ahmad Ganggohi, h.62, terbitan Muhammad Sa'id &
Sons, Taajiran-e-Kutub Qur'an Mahal, di depan Maulwi Musafir Khanah,
Karachi, 1883-1884).

Atau, mengenai mereka, seorang ulama terkenal dari Deobandi, Maulwi Sayyid Hussein
Ahmad Madani, mantan ketua guru Daarul 'Uluum Deoband, menjelaskan:

"Semua tuduhan kafir dan kutukan-kutukan ini akan berbalik kepada


Brelwi dan para pengikutnya, lalu di dalam kubur hal itu akan menjadi
azab bagi mereka. Dan pada waktu penghabisan mereka, hal itu menjadi
penyebab hilangnya keimanan mereka dan terhapusnya pengakuan serta
keyakinan mereka, sehingga malaikat akan berkata kepada Rasulullah
s.a.w.: 'Innaka laa tadriy maa ahdatsu ba'daka' (sesungguhnya engkau
tidak tahu apa yang terjadi sesudah engkau). Dan Rasulullah dari jauh
menyeru Dajjal Brelwi dan para pengikutnya lalu mengusir mereka
dengan cara yang lebih buruk dari anjing, dari telaga maurud dan syafa'at
mahmud. Dan mereka akan diluputkan dari ganjaran, pahala, derajat-
derajat, serta dari nikmat-nikmat umat yang dikasihi ini." (Rujumul
Mudznibiina 'Alaa Rausisyayaathiin, dikenal dengan nama Asy-
Syihaabutsaaqib 'Alal Mustariqatil Kaadzib, h.111, oleh Maulwi Sayyid
Hussein Ahmad Madani, terbitan Kutub Khanah I'zaziyah Deoband,
distrik Saharanpur).

KEEMPAT: Lalu, apakah kami harus shalat bermakmum di belakang orang-orang


Parwezi dan Chakralwi ? Padahal mengenai mereka terdapat fatwa berikut ini yang
secara sepakat dikeluarkan oleh para ulama Brelwi, Deobandi, dan Maududi:

"Chakralwi mengingkari kedudukan dan derajat Rasulullah s.a.w. serta


mengingkari kedudukan beliau sebagai pembawa Syariat. Chakralwi
sangat memusuhi hadits-hadits suci beliau. Para pemberontak Rasul Karim
itu telah membuka sebuah arena pertarungan kuat dalam melawan Rasul.
Kalian tahu, apa hukuman bagi pemberontak ? Hanya peluru!" (Mingguan
Ridhwan, Lahore, edisi Chakralwiyyat, Mazhabi Tarjumaan Ahlus Sunnah
wal Jamaa'ah, 21-28 Februari 1953, h.3, cetakan Mahmud Ahmad
128

Ridhwi, Cooperative Capital Printing Press, Lahore, Ridhwan Office,


bagian dalam Delhi Gate, Lahore).

Kemudian, Wali Hasan Thungki menerangkan ketentuan-ketentuan Syariat atas diri


mereka itu dalam kata-kata berikut:

"Ghulam Ahmad Parwez, berdasarkan Syariat Muhammad adalah kafir


dan di luar Islam. Yang menikah dengannya tidak dapat dikatakan sebagai
wanita Muslim. Dan tidak pula ada wanita Muslim yang boleh menikah
dengannya. Jenazahnya tidak boleh disembahyangkan, dan tidak boleh
dikuburkan di perkuburan orang Islam. Dan ketentuan ini tidak hanya
berlaku pada Parwez saja, melainkan pada setiap orang kafir. Dan setiap
orang yang sama-sama menganut akidah-akidah kufur itu dalam mengikuti
Parwez, begitu juga ketentuan baginya. Dan ketika dia telah menjadi
murtad, maka secara Syariat tidak dibenarkan menjalin hubungan Islami
jenis apapun dengannya." (Wali Hasan Thungki, Mufti dan Mudarris
Madrasah Arabiyah Islamiyah, New Town, Karachi. Muhammad Yusuf
Banuri Syekhul Hadits Madrasah Arabiyah Islamiyah, New Town,
Karachi).

Fatwa sebuah media Jama'at Islami, Tasnim, mengenai orang-orang Parwezi:

"Jika maksud para pemberi saran ini adalah bahwa Syariat hanyalah apa
yang terdapat di dalam Alquran, sedangkan segala sesuatu di luar itu
bukanlah Syariat, berarti itu jelas-jelas kekufuran. Dan kekufuran itu
benar-benar sama dengan kekufuran orang-orang Qadiani, bahkan lebih
parah dan lebih hebat dari itu." (Artikel Maulana Amin Ahsan Ishlahi,
harian Tasnim, Lahore, 15 Agustus 1952, h.12).

KELIMA: Kemudian, apakah kami harus shalat bermakmum di belakang orang-orang


Syi'ah yang mengenai mereka para ulama umum umat Islam memberi peringatan dengan
kata-kata yang mengerikan ini:

"Berkenaan dengan segenap Rafidhi maupun Tabarrai ( golongan Syi'ah -


peny.) ketentuan yang pasti, qoth'i dan merupakan hasil ijma' adalah,
mereka secara umum merupakan orang-orang kafir dan murtad.
Sembelihan mereka merupakan bangkai. Pernikahan dengan mereka tidak
hanya haram, melainkan murni zinah. Ma'adzallaah, jika laki-lakinya
seorang Rafidhi sedangkan perempuannya Muslim, maka hal itu
[mengundang] kemurkaan besar dari Allah. Jika laki-lakinya Sunni,
sedangkan perempuannya dari kalangan orang-orang kotor itu, maka hal
itu sama-sekali bukan nikah, melainkan murni zinah. Anak-anak mereka
merupakan anak-anak hasil perzinahan. Anak-anak itu tidak akan
129

memperoleh warisan dari sang bapak, walaupun anak-anak tersebut Sunni


sekalipun. Sebab, secara Syariat anak perzinahan tidak mempunyai bapak.
Istri tidak berhak atas warisan maupun mahar, sebab bagi perempuan
zinah tidak ada mahar. Seorang Rafidhi tidak dapat memperoleh warisan
dari kerabat terdekat, sekalipun dari bapak, anak laki-laki, ibu, dan anak
perempuan. Tidak perduli apakah [kerabat] itu Sunni atau golongan
Muslim mana saja, bahkan seorang kafir sekalipun. Sampai-sampai
warisan peninggalan dari seorang Rafidhi yang semazhab dengannya
sekalipun, dia sebenarnya tidak berhak. Bergaul, mengucapkan salam dan
berbicara dengan laki-laki, perempuan, alim maupun jahil dari kalangan
mereka, merupakan dosa sangat besar dan sangat haram. Siapa saja yang
mengetahui akidah-akidah mereka yang terkutuk itu lalu tetap saja
menganggap mereka Muslim, atau meragukan kekafiran mereka, maka
berdasarkan ijma' segenap imam dalam agama, berarti dia sendiri kafir dan
tidak beriman. Dan bagi orang itupun berlaku semua ketentuan yang telah
dipaparkan bagi orang-orang [Syi'ah] tersebut. Adalah kewajiban orang-
orang Muslim untuk mendengarkan fatwa ini dengan seksama. Dan jadilah
Sunni sejati yang hakiki dengan cara mengamalkannya." (Fatwa Maulana
Syah Mushthafa Ridha Khan, dikutip dari buku Raddur Rafidhah, h.23,
terbitan Nuri Kutub Khanah, Bazar Data Sahib, Lahore, Pakistan, cetakan
Gulzar 'Alam Press, Bairun Bhatti Gate, Lahore, 1320 H).

"Para Rafidhi sekarang ini umumnya mengingkari kewajiban-kewajiban


agama [Islam]. Dan mereka benar-benar murtad. Laki-laki maupun
perempuan mereka tidak boleh dinikahi. Demikian juga halnya Wahabi,
Qadiani, Deobandi, Nechri, Chakralwi, dan segenap golongan murtad.
Yakni, laki-laki ataupun perempuan mereka di seluruh alam ini, jika
menikah dengan seseorang -- apakah itu seorang Muslim atau kafir,
seorang yang tulen atau murtad, manusia atau hewan -- pernikahan itu
batil dan murni merupakan zinah. Dan anak-anak yang lahirpun adalah
anak-anak zinah." (Al-Malfuzh, jld.2, h.97, 98, oleh Mufti Agung
Hindustan).

KEENAM: Kemudian, apakah dengan shalat bermakmum di belakang Jama'at Islami kita
dapat melindungi/memelihara keislaman kita ? Padahal mengenai mereka terdapat fatwa
telak dari para ulama Brelwi maupun Deobandi sebagai berikut:

"Dengan memperhatikan tulisan-tulisan Maududi telah diketahui bahwa


pemikiran-pemikirannya dipenuhi hal-hal yang menjatuhkan kemuliaan
para pemimpin/imam Islam maupun kemuliaan para nabi. Tidak diragukan
sedikitpun mengenai statusnya yang sesat dan menyesatkan. Saya
mengimbau segenap umat Islam saya agar menjauhi akidah-akidah dan
130

pemikirannya. Dan jangan anggap dia sebagai khadim Islam, serta jangan
tertipu olehnya.
Rasulullah s.a.w. telah bersabda bahwa sebelum kedatangan dajjal
yang sebenarnya, akan lahir tigapuluh dajjal lain yang akan membersihkan
jalan bagi dajjal yang sebenarnya itu. Dalam pemahaman saya, dari
ketigapuluh dajjal tersebut salah satu di antaranya adalah Maududi."
(Muhammad Shadiq, Pimpinan Madrasah Mazharul 'Uluum, Mahalah
Kadh, Karachi, 28 Dzulhijjah 1371 H, 19 September 1952 M, Haq Parast
Ulama Ki Maududiyyat Se Naarazgi Ke Asbaab, h. 97, oleh Maulwi
Ahmad Ali, Anjuman Khuddamuddin, Lahore).

Kemudian Ketua Jam'iyyatul 'Ulamaa Islam, Maulana Mufti Mahmud menjelaskan


tentang larangan untuk shalat bermakmum di belakang Maududi:

"Saya, pada hari ini, di tempat ini, di Press Club Hyderabad, memberikan
fatwa bahwa Maududi adalah sesat, kafir, dan keluar dari Islam. Shalat
bermakmum di belakangnya dan di belakang maulwi/ulama tertentu yang
berhubungan dengan jemaatnya, adalah tidak sah dan haram. Menjalin
hubungan dengan jemaatnya jelas-jelas merupakan kekufuran dan
kesesatan. Dia adalah agen Amerika dan agen para kapitalis. Sekarang dia
telah tiba di ambang akhir kematiannya. Dan sekarang tidak ada suatu
kekuatanpun yang dapat menyelamatkannya. Jenazahnya akan keluar."
(Mingguan Zindegi, 10 Nopember 1969, dari Jam'iyyah Guard, Lailpur).

KETUJUH: Apakah kami harus shalat bermakmum di belakang para ulama Ahrar?
Padahal seorang tokoh yang mengetahui rahasia tentang mereka, Maulwi Zhafar Ali
Khan menyatakan bahwa pada hakikatnya orang-orang ini tidak hanya benci terhadap
Islam, melainkan nyata-nyata merupakan pengkhianat Islam. Simaklah:

"Mereka benci terhadap kesadaran akan hukum Allah.


Mereka benci terhadap Islam, iman dan ihsan.
Mereka benci terhadap penjaga/pelindung Nabi Syar'i ini.
Mereka berkawan dengan orang kafir, tetapi benci terhadap orang Islam.
Mereka menda'wakan diri sebagai orang-orang Islam yang merdeka
(ahrar).
Mana pula mereka orang-orang yang merdeka, mereka adalah para
pengkhianat Islam.
Orang-orang Ahrar (orang-orang merdeka) Punjab adalah pengkhianat
Islam.
Orang-orang bejad ini tidak mengenal peradaban Arab.
Mereka tidak takut terhadap kemurkaan Allah Ta'ala.
Dengan cara tertentu mereka memperoleh kedudukan menteri di
pemerintahan.
Tetapi mereka tidak punya hubungan dengan Penguasa Madinah [saw].
131

Orang-orang Ahrar Punjab adalah pengkhianat Islam."

(Zamindar, 21 Oktober 1945, h.6).

Kemudian, dalam mendukung Maulwi Zhafar Ali Khan, Maulana Maududi mengatakan:

"Dari upaya itu ada dua hal yang betul-betul tampil di hadapan saya.
Pertama, di hadapan Ahrar yang menjadi persoalan inti bukanlah
Tahaffudz Khatamun Nubuwwat (pembelaan terhadap Khatamun
Nubuwwat), melainkan nama dan penghargaan. Dan orang-orang ini ingin
mempertaruhkan nyawa dan harta umat Islam dalam perjudian untuk
tujuan-tujuan mereka. Yang kedua, setelah tercapai kesepakatan mengenai
sebuah resolusi, pada malam hari beberapa orang ini berkumpul terpisah
melakukan persekongkolan dan menyusun sebuah resolusi tersendiri….
Saya merasakan bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan niat dan
cara-cara itu tidak pernah dapat menimbulkan kebaikan di dalamnya.
Orang-orang yang bermain dengan nama Allah dan Rasul untuk tujuan-
tujuan mereka, yang menggunakan kepala-kepala umat Islam seperti buah-
buah catur, tidak pernah dapat memperoleh dukungan Allah." (Harian
Tasnim, Lahore, 2 Juli 1955, h.3, kolom 4, 5)

Ini adalah beberapa kutipan dari fatwa-fatwa sangat panjang yang dipaparkan
dengan sangat ringkas, hanya sebagai contoh.
Simaklah fatwa-fatwa ini oleh anda. Semoga Allah Ta'ala mengasihi umat Islam.
Tentu anda terduduk dengan menahan kalbu dan memegangi kepala. Namun, pada waktu
ini izinkanlah kami untuk sekedar bertanya, apakah dengan adanya fatwa-fatwa yang
mengecutkan kalbu ini masih tersisa kecaman bagi orang-orang Ahmadi, yakni mengapa
mereka tidak shalat bermakmum di belakang imam-imam dari golongan/firqah-firqah
tersebut itu ?
Demi Allah, bersikap adillah sedikit. Takutlah sedikit terhadap Tuhan.
Terapkanlah rasa malu sebagai hamba Junjungan Kedua Alam, Wujud Keadilan, Yang
Mulia Muhammad Mushthafa shallallaahu 'alaihi wasallam. Dan katakanlah, para ulama
dari kebanyakan golongan yang tersebut di atas, yang pada hakikatnya berbuat aniaya
dan tidak adil terhadap Jemaat Ahmadiyah, sejauh mana pantas bagi seorang Muslim?
Dan sejauh mana yang merupakan karakter mulia seorang hamba Rahmatul Lil'aalamiin?
Jika shalat bermakmum di belakang mereka akan menjadi kafir, dan jika tidak
bermakmum di belakang merekapun menjadi kafir. Jadi, kemana lagi harus pergi?
Apakah untuk tetap menjadi Muslim hanya tinggal satu jalan saja lagi, yakni seperti
kalangan mayoritas, shalat itu sama-sekali ditinggalkan saja? Keputusan para ulama
sekarang ini adalah, jika ingin tetap menjadi Muslim, maka janganlah shalat. Sebab, jika
tidak, shalat bermakmum di belakang siapa sajapun, kalian akan dinyatakan kafir dan ahli
neraka. Satu-satunya jalan yang tersisa untuk selamat adalah tidak shalat bermakmum di
belakang siapapun. Jadi, jalan inipun sudah ditutup bagi orang-orang Ahmadi. Dan telah
132

pula difatwakan bahwa siapa saja yang shalat bermakmum di belakang golongan lain
maka dia akan menjadi kafir; dan yang shalat di belakang non-Muslim minoritas juga
akan menjadi kafir; jika tidak shalat sama-sekalipun akan menjadi kafir. Akhirnya,
kemana lagi harus pergi ? Atau, sebagaimana yang dikatakan oleh Aatish: "Jangan-
jangan ada yang mati/korban. Jika ada, apa yang harus dilakukan?"
Orang-orang bijak telah menuliskan sebuah kisah yang mengejek keadilan
semacam itu. Yakni, ada seekor anak domba yang sedang minum di sebuah anak sungai.
Lalu datang seekor srigala dari bagian atas/hulu, dan membentak: "Apa engkau tidak tahu
bahwa aku sedang minum tadi ? Berani-beraninya engkau mengotori air ini?" Anak
domba itu berkata, "Yang Mulia, saya minum air di bagian bawah/hilir. Bagaimana pula
air Tuan bisa tercemar, padahal Tuan minum di bagian atas/hulu?" Srigala itu marah lalu
berkata,"Oh, engkau berani macam-macam di hadapanku ? Engkau katakan aku berdusta
? Terkutuk ! Sudah, sudah, hukuman bagimu adalah, engkau harus dikoyak-koyak lalu
dimakan."
Para ulama ini hendaknya diingatkan sedikit agar takut kepada Tuhan. Anda
membaca kisah srigala dan anak domba ini. Anda merasa kasihan terhadap anak domba
itu, dan kesal terhadap srigala tersebut. Namun, saat ini yang ada di hadapan mata anda
bukanlah anak-anak domba, justru perlakuan seperti itu sedang diterapkan kepada anak-
anak manusia. Bukan dalam kisah dongeng, justru di dalam kehidupan sehari-hari di
dunia ini keaniayaan itu sedang dilancarkan sebagai suatu kenyataan yang mengerikan.
Dan tidak ada satu kata protespun yang keluar dari mulut anda.
Demi Allah, paling tidak, katakanlah kepada para ulama ini, seandainya mereka
memang harus mengambil jalan aniaya ini dan ingin menerapkan hukum rimba, serta
kebanggaan atas kekuatan zahiriah telah mengambil keputusan untuk melanggar hukum
keadilan Allah Ta'ala dengan harga apapun, maka setidak-tidaknya berhentilah mereka
melibatkan nama suci Islam dalam sikap-sikap mereka itu. Mohon mereka berbuat baik
sedikit, yakni jangan nodai Rasul Arabi shallallaahu 'alaihi wasallam -- yang deminya
kami korbankan ayah dan ibu kami -- dalam perkara ini. Apalah perlunya bagi rasa
bangga mengandalkan kekuatan dan jumlah besar itu untuk bertumpu pada dalil-dalil
yang lemah dan rapuh ini ?
Jika mereka memang harus memenuhi tekad-tekad mereka itu dengan
mengorbankan nilai-nilai keadilan Islami, maka tinggalkanlah "dalil-dalil" ini dan
janganlah bertumpu pada lidi-lidi halus ini. Dengan jantan masuklah ke arena
"pertempuran," dan lakukanlah apa yang harus mereka lakukan. Kemudian mereka
saksikanlah dengan mata mereka sendiri, Tuhan Islam dan Rasul Islam berada di pihak
siapa ? Dan kancah bala-bencana serta penderitaan-penderitaan ini telah membuktikan
siapa yang merupakan hamba Yang Mulia Muhammad Mushthafa shallallaahu 'alaihi
wasallam yang sejati, tulus, yang penuh pengorbanan, yang paling cinta, dan yang paling
setia ?
Insya Allah, anda akan menyaksikan dan waktu akan membuktikan bahwa setiap
Ahmadi adalah benar dalam penda'waannya ini:

"Ya, wahai Rasul s.a.w. yang kucintai! Jika di kawasan engkau hanya
berlaku tradisi pemenggalan kepala bagi orang-orang yang dimabuk cinta,
133

maka akulah dan akulah orang pertama yang akan meneriakkan slogan
kecintaan!!" (Mubarak Mahmud, Raam Gali no.3, Branderth Road,
Lahore).

Tuduhan Merubah Quran Majid

Ada satu lagi tuduhan sangat aniaya dan penuh kedustaan yang telah dilontarkan.
Yakni, bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah dan para pengikut beliau -- ma'adzallaah --
telah melakukan perubahan pada teks dan makna dalam Quran Majid. Padahal Pendiri
Jemaat Ahmadiyah dan Jemaat beliau adalah satu-satunya golongan yang menganut
akidah bahwa tidak ada satupun ayat atau kata dalam Quran Majid yang bisa mansukh
maupun dapat dirubah. Dan Quran Syarif itu adalah sebuah kitab yang terpelihara untuk
selamanya.
Disayangkan bahwa para ulama, semata-mata untuk menghasut emosi, pada masa
mereka masing-masing telah melontarkan tuduhan atas Jemaat Ahmadiyah melakukan
perubahan dalam Alquran. Mereka memaparkan dari beberapa buku Jemaat Ahmadiyah
sejumlah ayat yang salah cetak akibat kesilapan dalam penulisan, lalu mereka lakukan
upaya tercela untuk membuktikan bahwa -- na'udzubillaah -- Jemaat Ahmadiyah telah
bersalah melakukan perubahan dalam Quran Karim. Namun, mereka lupa bahwa
kesalahan cetak yang mereka paparkan sebagai bukti tuduhan melakukan perubahan itu,
juga terdapat di dalam buku-buku setiap penulis.
Dalam berbagai terbitan media Jemaat Ahmadiyah, Al-Fadhl, telah dipaparkan
contoh-contoh dari berbagai buku terbitan para ulama berikut ini, yang di dalamnya
terdapat kesalahan cetak beberapa ayat Quran Karim:

1. Sayyid 'Athaullah Syah Bukhari (Khuthbat Amir-e-Syari'at, cetakan Maktabah


Tabshirah, Lahore).
2. Maulana Ahmad Ridha Khan Brelwi (Al-Malfuzh, jld.1).
3. Mufti Agung Deoband, Maulwi Azizur Rahman Deobandi (Fatawa Daarul 'Uluum
Deoband, jld. 5).
4. Imamul Hind, Maulana Abul Kalaam Aazaad (Artikel-atikel Al-Balaagh, terbitan
Ainah Adab, Chok Minaar, Anarkali, Lahore).
5. 'Allamah Maulana Sayyid Muhammad Sulaiman Nadwi (Mingguan Al-I'tishaam,
Lahore).
6. Pemimpin Gerakan Ikhwaan, Hasan Al-Banaa (Mingguan Al-Muniir, Lailpur, Januari
1955).
7. Maulwi Asyraf Ali Thanwi (Baheshti Zewar, jld.1, terbitan Syekh Ghulam Ali &
Sons, Lahore).
8. Shadrul Mudarrisiin, Muhammad Amjad Ali A'zhimi Ridhwi Sunni Barkaati, Ajmir
Syarif (Bahar Syari'at, jld.6).
9. Pemimpin Ikhwaan, Hasan Al-Haydhami (Mingguan Al-Muniir, Lailpur, Januari
1955).
10. Maulwi Abdurrahim Ashraf, editor Al-Muniir (Mingguan Al-Muniir, Lailpur, Januari
1955).
134

11. Imam Ghazali rahmatullaah 'alaihi (Arba'iin Fii Ushuluddiin, terjemahan Urdu,
terbitan Malik Fazluddin dsb., Lahore).
12. Pimpinan Daarul 'Uluum Deoband, Qari Muhammad Thayyib. (Ta'limaat-e-Islam
Aor Masihi Aqwaam, terbitan Nadwatul Mushanniffiin, Delhi).
13. Maulana Sayyid Muhammad Daud Ghaznawi (Mingguan Al-I'tishaam, 4 April 1958).
14. Maulwi Tsanaaullah Amritsari (Fatawa Tsanaaiyyah, jld.1, Mohinpura, Bombay,
no.11, Maktabah Isyaa'at Diniyaat).
15. Maulwi Muhammad Bakhs Muslim, Lahore. (Kitaabul Akhlaaq).
16. Maulwi Abdurrauf Rahmani (Mingguan Al-I'tishaam, Lahore, 11 Januari 1963).
17. Maulwi Muhammad Ismail, Amir Ahli Hadits. (Mingguan Al-I'tishaam, Lahore, 28
Januari 1963).
18. 'Allamah Sayyid Manazhir Ahsan Gilaani (Thabqaat, terjemahan 'Allamah Manazhir
Ahsan Gilaani, Al-Lajnatul Ilmiyah, Hyderabad).
19. Maulana Kautsar Niyazi, Menteri Urusan Waqaf dan Haji (Islam Hamara Diin Hein,
Feroze Sons, Lahore).
20. Mullah Wahidi Dhelwi. (Hayaat-e-Sarwar-e-Kaainaat, jld.2).
21. Mufti Mahmud, Sekjen Jam'iyyat Islam. (Adzaan-e-Sihr, kumpulan interview dan
pidato Mufti Mahmud, terbitan Aziz Publications, Lahore).
22. Maulana Mahmud Ahmad, editor Ridhwan. (Mingguan Ridhwan, Lahore, 28 Februari
1953).
23. Mufti Muhammad Naimuddin (Majmu'ah Afadhat-e-Shadrul Afadhil, terbitan Idarah
Naimiyyah Ridhwiyyah, Lahore).
24. Maulana Sayyid Abul A'laa Maududi (Al-Jihad Fil-Islam, cetakan kedua, 1948 M,
terbitan Achrah, Lahore).
25. Maulana Syamsul Haq Afghani Bahawalpur (Mingguan Laulaak, Lailpur, 7 Juni
1968).
26. Ghulam Jailani Baraq (Harf-e-Muharramanah, Ahmadiyyat Par Eik Nazhar).

Jika menyatakan kesalahan cetak itu sebagai upaya merubah [Alquran] adalah
benar, maka apakah segenap ulama terhormat ini akan dinyatakan sebagai orang-orang
yang melakukan perubahan pada Quran Syarif ? Dalam kaitan ini kami melampirkan
sebuah pamplet yang berjudul Hadhrat Baani Silsilah Ahmadiyyah Aor Tahrif-e-Qur'an
Ke Buhtaan Ki Tardiid (suplemen no.12).
Tuduhan melakukan perubahan pada makna, sebenarnya adalah tanpa dasar. Para
ulama telah melakukan berbagai penerjemahan terhadap Quran Majid, dan telah
menuliskan tafsir-tafsir. Jika perbedaan [makna] itu dinyatakan sebagai upaya merubah,
berarti segenap mufassir dan ulama-ulama terpaksa akan dinyatakan bersalah telah
melakukan perubahan pada Alquran.
Hendaknya diingat bahwa makrifat-makrifat dan hakikat-hakikat Alquran terbuka
kepada orang-orang yang bersih dan suci. Allah Ta'ala berfirman:

{insert arabic: 72}


135

Artinya: Tidak ada yang dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang


telah disucikan (Al-Waqi'ah: 79).

Jika hakikat-hakikat dan makrifat-makrifat rohani itu dinamakan sebagai upaya


merubah Alquran, maka segenap waliullah dalam umat ini akan dinyatakan sebagai
orang-orang yang melakukan perubahan pada Alquran. Na'udzubillaah.

---------ooo0ooo---------
136

PERMOHONAN PENTING
KE HADAPAN PARA ANGGOTA
PARLEMEN TERHORMAT

Permohonan Penting Ke Hadapan


Para Anggota Parlemen Terhormat
Setelah penelaahan secara ringkas terhadap kecaman-kecaman yang dilontarkan
pada Jemaat Ahmadiyah, kami anggap penting untuk memberitahukan dengan hati yang
sangat perih ke hadapan para anggota Parlemen terhormat, bahwa saat ini dengan
mengatasnamakan agama sedang berlangsung suatu persekongkolan lama untuk
137

mengadu-domba dan menghapuskan umat Islam Pakistan. Hal itu sejak lama sudah
dipaparkan oleh Ketua Bazm-e-Tsaqaafat-e-Islamiyah, Khalifah Abdul Hakim di dalam
kata-kata berikut. Beliau menuliskan:

"Baru-baru ini wakil rektor sebuah universitas di Pakistan menjelaskan


kepada saya, ada seorang mullah dan alim besar, yang setelah sekian lama
sangat bimbang dan banyak membuat pertimbangan lalu datang hijrah ke
Pakistan. Wakil rektor ini bertanya kepadanya mengenai sebuah golongan
Islam. Dia menjawab, di antara golongan itu yang merupakan penganut
Ghali26 adalah wajib untuk dibunuh. Sedangkan yang bukan Ghali adalah
wajib untuk dihormati. Ditanyakan lagi tentang sebuah golongan lain yang
di dalamnya banyak terdapat saudagar jutawan. Mullah itu mengatakan,
mereka semua wajib dibunuh. Inilah ulama yang dahulu paling gigih di
antara 30 atau 32 ulama yang telah menyatakan hal ini mutlak dalam
undang-undang Islam usulan mereka, yakni mengakui seluruh golongan
Islam kecuali satu golongan yang telah dianggap keluar dari Islam. Itu
juga wajib dibunuh, tetapi saat ini belum dapat diumumkan secara terbuka.
Tiba waktunya, barulah akan dipertimbangkan. Dari antara mereka ada
seorang tokoh ulama lain yang mengatakan, 'Saat ini kami sudah memulai
jihad fiisabilillaah melawan sebuah firqah. Setelah berhasil dalam
menangani hal itu, insya Allah [firqah-firqah] yang lainnya akan
diperhatikan.'" (Iqbal Aor Mullah, oleh Dr.Khalifah Abdul Hakim M.A.,
Ph.D, h.19, dari Mathbu'aat Bazm-e-Iqbal, Lahore).

Dari tulisan di atas tampak jelas latar-belakang gerakan yang telah dijalankan di tanah
yang suci ini (Pakistan) dengan menggunakan nama suci Khatamun Nubuwwat. Abul
A'laa Maududi, dengan mengisyaratkan pada peristiwa tahun 1953, telah memberikan
keterangan yang mengejutkan ini dalam sebuah penjelasan khusus [mengenai kelompok
Ahrar]:

"Dari upaya itu ada dua hal yang betul-betul tampil di hadapan saya.
Pertama, di hadapan Ahrar yang menjadi persoalan inti bukanlah
Tahaffudz Khatamun Nubuwwat (pembelaan terhadap Khatamun
Nubuwwat), melainkan nama dan penghargaan. Dan orang-orang ini ingin
mempertaruhkan nyawa dan harta umat Islam dalam perjudian untuk
tujuan-tujuan mereka. Yang kedua, setelah tercapai kesepakatan mengenai
sebuah resolusi, pada malam hari beberapa orang ini berkumpul terpisah
melakukan persekongkolan dan menyusun sebuah resolusi tersendiri….
Saya merasakan bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan niat dan
cara-cara itu tidak pernah dapat menimbulkan kebaikan di dalamnya.
Orang-orang yang bermain dengan nama Allah dan Rasul untuk tujuan-
tujuan mereka, yang menggunakan kepala-kepala umat Islam seperti buah-

26
Sekte yang mendewakan Ali r.a. -peny.
138

buah catur, tidak pernah dapat memperoleh dukungan Allah." (Harian


Tasnim, Lahore, 2 Juli 1955, h.3, kolom 4, 5)

Dengan latar belakang ini, jika diteliti masa lampau Pakistan dan kondisi yang
sudah terbentuk saat ini, maka dengan jelas akan diketahui bahwa walaupun pada tahap
ini hanya Jemaat Ahmadiyah saja yang gencar dinyatakan non-Muslim minoritas, tetapi
di bawah suatu perencanaan yang sudah dibentuk sejak lama oleh para musuh Pakistan,
jelas sudah terbuka suatu jalan lebar untuk menimbulkan fitnah/serangan-serangan
terhadap firqah-firqah lain dalam umat Islam. Dan setelah tahun 1953, selain terhadap
orang-orang Ahmadi, telah mulai timbul juga suara-suara tinggi untuk menyatakan
beberapa golongan lain sebagai non-Muslim minoritas. Pada permulaan Maret 1953, di
seluruh tempat di Karachi telah dipasang selebaran dengan judul Muthaalabaat
(Tuntutan). Selebaran itu disalin seutuhnya di bawah ini:

MUTHAALABAAT
(Tuntutan)
Golongan Deobandi Harus Dinyatakan Sebagai
Golongan Minoritas Tersendiri

Rumusan Dasar-dasar Pemerintahan Islam dari Majelis Syura beberapa


ulama sudah kelihatan. Pada bab 9 telah dipaparkan hak-hak golongan-
golongan Islam. Namun, rinciannya tidak ada. Tampaknya latar-belakang
pengabaian ini adalah untuk memenuhi tujuan pembentukan dan tujuan-
tujuan politik golongan minoritas yang sudah lahir sejak era pemerintahan
Inggris. Dan dengan membaurkannya ke dalam golongan mayoritas
Pakistan, melalui tangannya dimaksudkan dapat dilakukan penghancuran
akidah-akidah golongan mayoritas. Oleh karena itu, dengan kata-kata yang
jelas kami berkewajiban untuk menjelaskan kepada Pemerintah Pakistan
bahwa para pengkhidmat awliaullaah, yakni golongan Ahlus Sunnah wal
Jamaa'ah, adalah mayoritas di Pakistan. Akidah dan ajarannya saat ini
adalah sama seperti akidah dan ajaran Kerajaan Islam India Bersatu, sejak
era Syahaabuddin Ghauri hingga Raja Syah Alam Delhi.
Akidah-akdiah golongan mayoritas Muslim Pakistan ini adalah:
Memuliakan dan menghormati Rasulullah s.a.w.. Yaitu dengan
rutin melaksanakan iyshaal-e-tsawaab (upacara pembacaan shalawat
untuk mengirimkan sawab); melakukan nadzar pada tanggal-tanggal yang
telah ditetapkan; mengadakan perayaan-perayaan besar pada tanggal-
tanggal penting para tokoh suci Islam; menyelenggarakan perayaan-
perayaan Maulud; termasuk di dalamnya memanjatkan shalawat serta
salam dan sebagainya.
Namun, golongan yang terlahir sebagai minoritas sejak zaman
Inggris, menyatakan dan menganggap akidah-akidah kelompok mayoritas
tersebut di atas sebagai syirik dan bid'ah. Golongan minoritas ini di India
dan Pakistan menganggap sah pemberlakuan larangan terhadap akidah-
139

akidah kelompok mayoritas di atas seperti larangan yang pada masa


permulaan telah diberlakukan oleh Ibnu Saud terhadap pegamalan akidah-
akidah ortodok. Pembentukan golongan minoritas ini terjadi pada masa
pemerintahan East India Company. Dan pendirinya adalah Maulwi Ismail
Dhelwi, yang telah menyatakan jihad terhadap orang-orang Inggris
sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan, tetapi atas saran orang-orang
Inggris dia telah menyerukan jihad terhadap orang-orang Sikh. Dan dia
telah membentuk akidah-akidah temuannya sendiri mengenai imkaan-e-
kidzib dan imkaan-e-nazhir, yakni, na'udzubillaah, Tuhan dapat berdusta,
dan dapat lahir orang yang menyerupai Rasul s.a.w..
Pada tahun 1858 M, rancangan untuk mengkristenkan Hindustan
yang telah diajukan kepada Ratu Victoria, salah satu pasalnya adalah:
"Para penyembah berhala di Hindustan ini, yakni pihak-pihak non-Kristen,
jangan izinkan mereka berkumpul dalam pesta-pesta politik dan
keagamaan mereka."
Setelah adanya rancangan tersebut maka telah timbul semangat
baru pada missi Maulwi Ismail yang sempat tertunda. Dan berdasarkan
pada akidah-akidah dan ketentuan-ketentuan yang telah dia buat, maka di
kota Deoband diwujudkanlah bentuk baru bagi golongan mereka yang
sudah terbentuk sebelumnya. Itulah sebabnya sekarang mereka dinamakan
golongan Deobandi. Namun, golongan ini sedikit dalam hal jumlah. Oleh
karena itu mereka menyebut diri mereka sendiri termasuk dalam Ahlus
Sunnah wal Jamaa'ah. Padahal akidah-akidah mereka sama-sekali berbeda
dari akidah-akidah Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah. Yakni, sebagaimana Sikh
telah muncul dari kalangan Hindu, tetapi mereka bukanlah Hindu. Atau,
Protestan di Inggris memang muncul dari Katolik Roma, tetapi mereka
bukan Katolik Roma. Demikian pula golongan Deobandi muncul dari
kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah, tetapi mereka bukanlah Ahlus
Sunnah wal Jamaa'ah. Para wakil khusus golongan minoritas Deobandi
ini adalah: Mufti Muhammad Syafi', Maulana Sayyid Sulaiman Nadwi,
Maulwi Ihtisyaamul Haq, Abul A'laa Maududi, dan sebagainya. Namun,
dikarenakan pengabaian terhadap akidah-akidah dan hak-hak mayoritas
merupakan penghinaan terhadap asas-asas demokrasi, oleh sebab itu
berikut ini dipaparkan tuntutan-tuntutan dari pihak mayoritas:

1. Pada pasal bahwa pemimpin Republik Pakistan adalah orang Islam,


harus dibubuhkan syarat mutlak bahwa dia hendaknya seakidah
dengan mayoritas.
2. Golongan Deobandi harus dinyatakan sebagai golongan terpisah dari
Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah.
3. Campur-tangan golongan Deobandi dalam akidah-akidah dan masalah-
masalah waqaf Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah harus dinyatakan terlarang
secara hukum.
140

Tujuan tuntutan-tuntutan ini bukanlah untuk menimbulkan kekacauan


yang bernuansa perpecahan golongan. Melainkan, tujuannya adalah untuk
selamanya menghapuskan kekacauan-kekacauan yang bernuansa
golongan, dan untuk melindungi kelompok mayoritas serta untuk
menyatakan pendapat. Sebab, sejarah merupakan saksi bahwa pada masa
pemerintahan Henry VIII beberapa pendeta Protestan pilihan telah
menyatakan diri mereka sebagai penganut Katolik Roma. Dan dengan
mengumandangkan kidung-kidung Kerajaan Tuhan serta Ordo Kristen
untuk kemajuan gereja Katolik Roma, mereka melalui Parlemen telah
melakukan upaya untuk menghapuskan gereja Katolik Roma dari tanah
Inggris. Jika golongan Deobandi diberi kekuasaan atas Ahlus Sunnah wal
Jamaa'ah, berarti mengulangi kembali peristiwa Henry VIII dan Katolik
Roma itu.
Para Penyeru Kebajikan

(Lebih lanjut tertera tanda-tangan banyak sekali ulama Brelwi selain


tanda-tangan Maulana Makhdum Sayyid Nasir Jalaali, Pimpinan
Jam'iyyatul 'Ulama Pakistan). (Dikutip dari bulanan Thulu'-e-Islam, Mei
1953, h.64, 65).

Pada majalah Syi'ah, Al-Muntazhar, Lahore, 1970 tertulis:

"Para penyusun resolusi dari Jam'iyyat ['Ulama Pakistan] dengan sangat


licik telah pula memasukkan sebuah pasal untuk menyatakan golongan-
golongan Islam lain, selain golongan mereka sendiri, sebagai non-Muslim.
Khatamun Nabiyyiin itu hanyalah sebuah dalih. Sebenarnya, di dalam kata
'dan sebagainya' terdapat ruang sedemikian rupa bagi Mufti Mahmud dan
Ghulam Ghauts Hazarwi untuk menjadikan golongan Islam tertentu
sebagai non-Muslim." (Al-Muntazhar, Lahore, 5 Februari 1970, h.10).

Kekhawatiran yang telah dipaparkan oleh Al-Muntazhar itu, dua tahun kemudian telah
menjadi kenyataan. Bukti dokumennya adalah resolusi Konferensi Khilafat Rasyidah di
Multan, berikut ini:

"Sidang Konferensi Khilafat Rasyidah di Multan yang sangat penting ini


menuntut Pemerintah Pakistan. Yakni, orang-orang Syi'ah telah
membuktikan diri terpisah dari umat ini dengan menuntut masalah-
masalah waqaf tersendiri dan kurikulum pendidikan yang terpisah.
Dengan demikian secara amalan mereka telah menda'wakan diri sebagai
suatu golongan minoritas yang terpisah dari umat Islam umum. Dan
Pemerintah juga telah mengakui status mereka yang terpisah itu. Oleh
karenanya, orang-orang Syi'ah harus dipisahkan di setiap
bidang/departemen. Di dalam lembaga-lembaga legislatip dan dalam
urusan kepegawaian, kepada mereka hendaknya diberikan jatah sesuai
141

perbandingan jumlah pengikut mereka. Saat ini orang-orang Sunni


umumnya merupakan pegawai rendah, sedangkan pada kebanyakan posisi
tinggi dan jabatan-jabatan yang memegang kekuasaan, yang tampak
hanyalah orang-orang Syi'ah. Kelompok mayoritas dengan tegas menuntut
agar Pemerintah memisahkan secara tersendiri golongan yang memang
suka memisahkan diri ini, dalam hal-hal kepegawaian dan sebagainya.
Dan dalam posisi-posisi kunci serta jabatan-jabatan tinggi, berikanlah
jatah kepada mereka sesuai perbandingan jumlah mereka.
Pencetus : Maulana Dost Muhammad Quraisyi.
Pendukung : Maulana Qaaimuddin.

(Mingguan Tarjumaan-e-Islam, Lahore, 31 Maret 1972, h.5, kolom 5).

Para ulama golongan Ahli Hadits secara amalan telah mengumumkan dukungan
mereka terhadap resolusi tersebut di atas. Dan seperti orang-orang Ahmadi, orang-orang
Syi'ah inipun terus menerus dinyatakan sebagai pengingkar Khatamun Nubuwwat.
Maulana Hanif Nadwi menuliskan:

"Beriringan dengan kenabian, menurut orang-orang Syi'ah, juga


berlangsung suatu sistim keimaman. Yakni, sebagaimana pengutusan para
nabi adalah penting, demikian pula laqab/pangkat imam-imam juga
penting…. Berdasarkan fakta dan pelaksanaan, tidak ada perbedaan antara
awal mula kenabian dan awal mula keimaman." (Mirzaiyyat Nae
Zaawiung Se).

----------ooo0ooo-----------
142

AKIDAH-AKIDAH
BERBAGAI GOLONGAN DI PAKISTAN
YANG MENJADI SOROTAN
GOLONGAN LAINNYA
143

Akidah-akidah Berbagai Golongan Di Pakistan


Yang Menjadi Sorotan Golongan Lain
Para anggota Parlemen yang terhormat hendaknya mengetahui bahwa pedang
pengkafiran yang sekarang sedang digunakan dalam upaya memotong dan membuang
kami ini, tidak hanya terhadap orang-orang Islam golongan Syi'ah dan Deobandi saja,
tetapi juga berpotensi untuk memotong dan membuang setiap institusi pemikir yang ada
di Pakistan dalam bentuk yang jauh lebih mengerikan dan lebih perih. Sebagai bukti bagi
kenyataan yang jelas ini, adalah memadai dengan memaparkan sebuah gambaran ringkas
berisi kecaman-kecaman yang dituduhkan kepada berbagai golongan, dan yang
berlandaskan pada kecaman-kecaman itulah golongan-golongan tersebut dinyatakan
bersalah.
Perkara ini diserahkan pada pertimbangan para anggota Parlemen Nasional, yakni
berdasarkan pada akidah-akidah ini sejauh mana golongan-golongan tersebut memiliki
atau tidak memiliki mandat/kuasa untuk menyatakan seseorang sebagai non-Muslim.

Golongan Brelwi

1. Mereka memberikan derajat/kedudukan Allah Ta'ala kepada Rasulullah s.a.w..


(Syama'-e-Tauhid, h.5, oleh Maulana Tsanaaullah Amritsari).
2. Selain Allah, mereka menganggap tokoh-tokoh suci dapat menjauhkan berbagai
kesulitan, dan mereka memohon pertolongan dari tokoh-tokoh suci itu. (Anwaarush
Shufiyah, Lahore, Agustus 1915, h.32).
3. Alipur Sayyidan mereka anggap sebagai sayyidul-quro. (Anwaarush Shufiyah,
Lahore, Juni 1915, h.19).
4. Mereka mengingkari Khatamun Nubuwwat. (Insaan-e-Kamil, bab 36, oleh Sayyid
Abdul Karim Jilli).
5. Mereka menganggap pintu wahyu dan ilham masih tetap terbuka. (Mekhaanah Dard,
h. 134, 135; Futuhaat Makiyyah, jld. 4, h. 196).
6. Mereka dengan sangat berbahaya menggunakan istilah-istilah Islam terhadap para
tokoh mereka. Misalnya: aanhadhrat (yang mulia), ummul mu'miniin, radhiallaahu
'anhu. (Nazhmud Darar Fii Silkissayr,oleh Mullah Shafiullah; Isyaaraat-e-Faridiyah;
Qalaaidul Jawaahir).
7. Berjihad melawan Inggris, mereka nyatakan haram. (Nushratul Abraar, h. 129,
cetakan 1888).
8. Mereka adalah pohon yang ditanam oleh Inggris. (Chattaan, 15 Oktober 1962).
9. Mereka adalah mata-mata Inggris. (Chattaan, 5 Nopember 1962, h.8).
10. Sayyid Jamaa'at Ali Syah mereka anggap sebagai haadiy (pemberi petunjuk) dan
syaafi' (pemberi syafa'at). (Anwaarush Shufiyah, Lahore, September 1913, h. 23;
Agustus 1915, h.32).
11. Mereka menyatakan Sayyid Jamaa'at Ali Syah menyamai Rasulullah s.a.w., yakni
sebagai sayyid bagi sekalian sayyidiin, sebagai mazhar Ilahi, nur Ilahi, syah laulaak,
dan haadiy-e-kul. (Anwaarush Shufiyah, Lahore, September 1912, h.15; September
1911, h.17; Juli 1912, h.8).
144

12. Mereka percaya bahwa yang membuat Rasulullah s.a.w. mencapai Arasy adalah
Sayyid Abdul Qadir Jaelani. (Guldastah-e-Karaamaat, h. 18).
13. Mereka berakidah bahwa Rasulllah s.a.w. adalah 'aalimul-ghaib (mengetahui segala
hal ghaib), haadhir (berada dimana-mana) dan naazhir (menyaksikan segala sesuatu).
(Al-'Aqaaid, h.24, oleh Abul Hasanaat Sayyid Muhammad Ahmad Qadiri).
14. Mereka percaya bahwa Jibril senantiasa turun hingga hari Kiamat. (Dalaailus Suluk,
h. 127, oleh Maulana Allah Yaar Khan, Chakralah, distrik Mianwali).
15. Mereka menghinakan Fatimah r.a. dan Aisyah r.a.. (Irsyaad-e-Rahmaani wa Fadhl-e-
Yazedaani, oleh Maulwi Muhammad Ali Munggiri, h. 51, 52; Guldastah-e-
Karaamaat, h.94).

Golongan Deobandi

1. Mereka menganggap Allah Ta'ala berkuasa untuk berkata dusta. (Fataawa


Rasyidiyah, jld.1, h.19; Deobandi Mazhab, oleh Maulana Ghulam Meher Ali Syah
Golerwi).
2. Mereka menganggap ilmu Rasulullah s.a.w. setara dengan ilmu anak-anak, orang-
orang gila dan hewan. (Hifzhul Iymaan, oleh Maulana Asyraf Ali Thanwi, cetakan
Deoband, h. 9).
3. Ilmu yang dimiliki setan jauh lebih luas dari ilmu Rasulullah s.a.w.. (Barahiin
Qothi'ah, oleh Khalil Ahmad, dibenarkan oleh Rasyid Ahmad Ganggohi, h.51).
4. Mereka menyebut Haji Imdadullah sebagai rahmatul-lil'aalamiin. (Afaadhaatul
Yaumiyah, oleh Maulana Asyraf Ali Thanwi, jld.11, h.105).
5. Na'udzubillaah, orang-orang Deobandi telah menyelamatkan Rasulullah s.a.w. dari
kejatuhan ke dalam neraka. (Balaghatul Hayraan, dikutip dari Deobandi Mazhab, h.
8).
6. Dalam mempelajari bahasa Urdu, Rasulullah s.a.w. merupakan murid orang-orang
Deobandi. (Barahiin Qothi'ah, dikutip dari Deobandi Mazhab, h. 26).
7. Kubah hijau di atas kuburan Rasulullah s.a.w. adalah tidak dibenarkan, dan bangunan
berkubah pada kuburan Imam Hussein serta Mujaddid Alaf Tsani adalah tidak
dibenarkan dan haram. (Fataawa Deoband, jld. 1, h. 14).
8. Maulwi Rasyid Ahmad Ganggohi adalah setara dengan Pendiri Islam. (Martsyiyyah,
oleh Maulana Mahmudul Hasan).
9. Deobandi mengingkari Khatamun Nubuwwat (Tahzirun-Naas, oleh Maulana
Muhammad Qaasim Naanotwi).
10. Di dalam Ka'bah-pun mereka mencari jalan ke Ganggoh. (Martsiyyah, oleh Maulana
Mahmudul Hasan).
11. Mereka menghinakan Fatimah Zahra. (Afaadhaatul Yaumiyah, jld. 6, h. 37).
12. Mereka secara tidak sah menggunakan istilah-istilah suci radhiallaahu 'anhu dan
amirul mu'miniin. (Risalah Tibyaan, Dadoli Syarif, Februari 1954, h. 9).
13. Kalimah Syahadat orang-orang Deobandi adalah "Laa ilaaha illallaah Asyraf Ali
rasulullaah." Dan shalawat mereka adalah, "Allaahumma shalli 'alaa sayyidinaa wa
145

nabiyyinaa wa mawlaanaa Asyraf Ali." (Risalah Al-Imdaad, Maulana Asyraf Ali,


Shafar 1376 H, h. 45).
14. Mereka menganggap perzinahan dengan ibu adalah sah secara akal. (Afaadhaatul
Yaumiyah, oleh Maulwi Asyraf Ali Thanwi, jld.2).
15. Deobandi tetap setia kepada Inggris. (Fataawa Rasyidiyah).

Kebanyakan rujukan yang tertera di atas diambil dari buku Deobandi Mazhab karangan
Maulana Ghulam Meher Ali Syah.

Ahli Hadits

1. Berjihad melawan Inggris mereka anggap sebagai pemberontakan dan haram.


(Isyaa'atus Sunnah, jld.9, no.10, h. 308; Hayaat-e-Thayyibah, h.296, oleh Hayrat
Dhelwi).
2. Mereka lebih mengutamakan Hadits daripada Alquran. (Isyaa'atus Sunnah, jld.13,
no.10, h.296).
3. Mereka menganut akidah bahwa jutaan Muhammad s.a.w. bisa lahir. (Taqwiyatul
Iymaan, h.42).
4. Mereka mengakui banyak Khaatamun Nabiyyiin. (Raad-e-Qaulul Jaahiliin Fii
Nashril Mu'miniin, h.4, 6, 1291 H, oleh Maulana Muhammad Shiddiq Nisyapuri).
5. Mereka bersalah karena menghinakan kemuliaan Rasulullah s.a.w.. (Shiraath-e-
Mustaqiim, terjemahan h. 201, terbitan Syekh Muhammad Asyraf Taajir Kutub,
Kasymiri Bazaar, Lahore).
6. Mereka menganggap Pandit Nehru sebagai rasulus-salaam, dan Gandhi sebagai imam
mahdi serta secara qudrat sebagai nabi. (Tarikh Haqaaiq, h. 59-63, oleh Maulana
Muhammad Shadiq, Khatib Ziynatul Masaajid, Gujranwala, Maret 1957).
7. Mereka mengingkari Khatamun Nubuwwat. (Iqtiraabus Saa'ah, h. 162).
8. Mereka menganggap pintu wahyu dan ilham masih tetap terbuka. (Itsbaatul Ilhaam
wal Bay'ah, h. 148; Swaanah Maulwi Abdullah Ghaznawi, oleh Maulwi Abdul Jabaar
Ghaznawi).
9. Mereka senantiasa menyambut kedatangan Inggris. (Tarjumaan Wahaabiyah, h.121,
122).
10. Perang kemerdekaan tahun 185727 mereka sebut sebagai pemberontakan. (Al-Hayaat
Ba'dal Mamaat, h. 125, oleh Hafidz Abdul Ghafar).
11. Menurut mereka Pemerintah Inggris lebih baik dari segenap kerajaan Islam.
(Isyaa'atus Sunnah, jld.9, no.7, h. 195, 196).
12. Mereka selalu berdoa agar tetap menjadi hamba abadi bagi Kerajaan Inggris.
(Isyaa'atus Sunnah, jld.9, h. 205, 206).
13. Mereka adalah pohon yang ditanam sendiri oleh Inggris. (Risalah Thaufaan, 7
Nopember 1962).
14. Mereka meyakini bahwa Inggris merupakan ulul amri. (Daastaan Tarikh Urdu, oleh
Hamid Hasan Qadiri, h. 98).

27
1957 (? ) -peny.
146

15. Di luar Hindustan-pun mereka melakukan mata-mata untuk Inggris. (Tarjumaan


Wahaabiyah, h. 121, 122).
16. Mereka telah menghancurkan Pemerintah Turki. (Tarikhi Haqaaiq, h. 78-81, oleh
Maulana Muhammad Shadiq, Khatib Gujranwala).
17. Mereka mengeluarkan fatwa menentang jihad, dan yang mereka peroleh adalah
kejahalatan. (Hindustan Ki Pehli Islami Tahrik, h.29, oleh Maulana Mas'ud Ahmad
Nadwi).

Jama'at Islami

1. Nama surah-surah Alquran tidak sempurna. (Tafhimul Qur'an, jld. 1, h. 44).


2. Islam adalah sebuah sistim yang sama dengan Fasisme dan Komunisme, yang di
dalamnya terdapat ruang bagi Khaarijiyyat dan Anarkisme. (Islam Ka Siyaasi
Nizhaam, dikutip dari Thulu'-e-Islam, h. 13, 1963).
3. Ketika Rasulullah s.a.w. memperoleh kekuatan, saat itu juga beliau mulai melawan
Kerajaan Romawi. (Haqiqat-e-Jihad, h.65).
4. Malaikat-malaikat adalah sama saja dengan yang disebut dewi dan dewata di
Hindustan. (Tajdid wa Ihyaa-e-Diin, h. 10, catatan kaki, cetakan keempat. Pada edisi
baru, kalimat ini telah dihapus).
5. Di dalam Quran Majid tidak terdapat kaidah urutan penulisan maupun tata-cara/etika
penulisan. (Tafhimul Qur'an, pengantar, h. 25).
6. Menurut mereka Abu Bakar Shiddiq r.a. melakukan kesalahan-kesalahan.
(Tarjumaan Al-Qur'an, jld. 33, no. 2, h. 99).
7. Dorongan untuk menyembah para pembesar, tidak pernah dapat hapus dari kalbu
Umar r.a.. (Tarjumaan Al-Qur'an, jld. 2, no. 4, h. 295, dikutip dari Maududiyyat Ka
Postmortem, h. 38).
8. Khalid bin Walid tidak mampu membedakan hukum-hukum mengenai dorongan-
dorongan perasaan/nafsu yang tidak Islami. (Tarjumaan Al-Qur'an, jld. 12, no. 4, h.
295, dikutip dari Maududiyyat Ka Postmortem, h. 38).
9. Di dalam pandangan-pandangan dasar tasawwuf Islami terdapat banyak kesalahan.
(Tarjumaan Al-Qur'an, jld. 37, no. 1, h. 10).
10. Mengakui hadits-hadits Shahih Bukhari tanpa menelitinya terlebih dahulu adalah
tidak benar. (Tarjumaan Al-Qur'an, jld. 39, h. 117).
11. Menyebut sejarah sejak Rasulullah s.a.w. hingga Mushthafa Kamal [Ataturk] sebagai
sejarah Islam, adalah kesalahan umat Islam. (Tarjumaan Al-Qur'an, jld. 2, no. 1, h.
7).
12. Ahli Hadits, Hanafi, Deobandi, Brelwi, Syi'ah, Sunni adalah golongan-golongan yang
dilahirkan oleh kejahalatan. (Khuthbaat, h. 76, oleh Maududi).
13. Sebanyak 999 orang dari 1000 orang dalam umat Islam tidak mengenal kebenaran
dan kebatilan. (Musalmaan Aor Maujudah Siyaasi Kasymakasy, jld. 3, h. 115).
14. Imam Mahdi akan menciptakan suatu pemikiran agama yang baru. (Tajdid wa Ihyaa-
e-diin, h. 52-54).
15. Keanggotaan dalam parlemen-parlemen yang berasaskan republik adalah haram, dan
memberikan suara untuk mereka juga haram. (Rasaail wa Masaail, jld. 1, h. 374).
147

16. Pakistan (arti harfiahnya: negeri suci -peny.) bukanlah pakistan/negeri-suci,


melainkan surga bagi orang-orang bodoh, dan merupakan pemerintahan bercorak
kekafiran, yang dimiliki oleh orang-orang Islam, dan yang telah didirikan atas
segenap kebodohan orang-orang Islam. (Musalmaan Aor Maujudah Siyaasi
Kasymakasy, h. 29-32, cetakan pertama, jld. 3; Ruidaad Jamaa'at Islami, jld. 5, h.
114, 115).
17. Qaidi A'zham adalah seorang pelaku dosa. (Tarjumaan Al-Qur'an, Februari 1946, h.
140-154).
18. Jihad di Kashmir tidaklah sah. (Nawaa-e-Waqt, 30 Oktober 1948; Tarjumaan Al-
Qur'an, Juni 1948).

Kebanyakan rujukan yang tertera di atas, terdapat di dalam buku Maududi Syeh Paare.

Golongan Chakralwi dan Parwezi

1. Secara Syari'at, mereka tidak mengakui hadits-hadits sebagai sesuatu yang dapat
dipercayai.
2. Mereka mengartikan kata Allah sebagai masyarakat Qur'ani. (Nizhaam-e-Rabubiyyat,
h. 172, oleh Ghulam Ahmad Parwez).
3. Pemerintahan Qur'ani mempunyai kuasa untuk mengurangi dan menambah bagian-
bagian shalat dan zakat. (Qur'ani Fayshle, h. 12; Firdaus-e-Gum Gasytah, h.351;
Khudaa Aor Sarmaayahdaar, h. 136, terbitan Idarah Thulu'-e-Islam).
4. Rasulullah s.a.w. bukanlah Khaatamun Nabiyyiin, melainkan Quran Majid-lah yang
merupakan Khaatamun Nabiyyiin. (Isyaa'atul Qur'an, 15 Juni 1924, h. 31).
5. Setiap orang yang mengamalkan Alquran, adalah Mahdi.( Isyaa'atul Qur'an, Lahore,
15 Nopember 1924).
6. Mereka mengingkari Mi'raj. (Nawaadiraat, h. 17, oleh 'Allamah Aslam Jirachpuri).
7. Mereka menyambut kedatangan Pemerintahan Inggris. (Isyaa'atul Qur'an, 15 Juni
1924, h. 29-32).

Golongan Syi'ah

1. Ali r.a. adalah tuhan. (Tadzkiratul Aimmah, h. 91).


2. Ali r.a. adalah tuhan, sedangkan Muhammad s.a.w. adalah hambanya. (Manaaqib
Murtadhawi Hayaatul Qulub, jld. 2, bab 49).
3. Seluruh alam raya telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala di bawah kendali para imam
Syi'ah dan tunduk taat kepada mereka. (Naasikhul Tawaarikh, jld. 6, kitab II, h. 348).
4. Ali r.a. adalah anak tuhan. (Risalah Nurtan, h. 26).
5. Mereka mempercayai Amirul Mu'miniin sebagai wujud yang memberikan pemecahan
pada kesulitan-kesulitan dan pembuka tabir-tabir kedukaan. (Syi'ah Mazhab Mein
Wahaabiyyat Ki Rokthaam Kelie Dusra Muqabalah Zhahur-e-Ali Bamaqaam-e-Qoba
Qausaen, h. 15, 16).
148

6. Selama seseorang belum mengikrarkan keitaatan terhadap bagian ketiga, yakni Ulul
Amri, maka selama itu pula dia tidak dapat dikatakan Muslim. (Ma'aarif-e-Islam,
Lahore, Ali dan Fatimah, no. Oktober 1968, h. 74).
7. Alquran sebenarnya diturunkan kepada Ali r.a.. (Risalah Nurtan, h.37).
8. Ali r.a. lebih afdhal dari segenap nabi. (Ghinyatuth Thaalibiin dan Haqqul Yaqiin
Majlisi, bab 5).
9. Jika tidak ada Ali r.a. pada malam Mi'raj, maka sedikitpun tidak ada artinya
Muhammad Rasulullah. (Jalaaul 'Ayuun Majlisi, Khilaafat-e-Syekhein, h. 17).
10. Alquran asli ada pada Imam Mahdi, yang terdiri dari 40 juz. Alquran yang ada saat
ini merupakan kitab Usmani, dan di dalamnya terdapat kekurangan sebanyak 10 juz
(Asbaaqul Khilafat, Tafsir Lawaami'ut Tanziil, jld. 4, oleh Sayyid Ali Al-Haairi,
Lahore; Tafsir Shaafi, jld. 22, h. 411).
11. Izrail mencabut nyawa-nyawa adalah atas perintah Ali r.a.. (Tadzkiratul Aimmah, h.
91).
12. Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. suka pada kecantikan Fatimah, dan karena itulah ia
hijrah. (Kaamil Bhai dan Khilaafat-e-Syekhein, h. 41).
13. Umar r.a. menderita suatu penyakit yang mengakibatkannya tidak tenang jika tidak
menyalurkan syahwatnya. (Az-Zahra, dikutip dari Syi'ah Sunni Ittihaad, h. 4).
14. Yang pertama kali melakukan bai'at Khilafat kepada Abu Bakar r.a. di mimbar
Nabawi di Masjid Nabawi adalah setan. (Imaami Imaam A'zham Thausi Syi'i dan
Khilaafat-e-Syekhein, h. 25).
15. Di mana saja dalam Quran Majid terdapat kata "wa qaalasy-syaythaan," di situ yang
dimaksud adalah sang Tsaani (Umar). (Dikutip dari Maqbul Qur'an Imaamiyah, h.
512).
16. Abu Bakar r.a., Umar r.a. dan Usman r.a. adalah kafir dan fasiq. (Hayaatul Qulub
Majlisi, bab 51).
17. Setan menjelma dalam rupa Ali r.a., lalu telah dibunuh. (Tadzkiratul Aimmah, h. 91).
18. Selain enam orang sahabah… selebihnya segenap sahabah Rasul adalah murtad dan
munafik. (Wafaatun Nabi, Salim ibnu Qasir Al-Halaali; Majaalisul Mu'miniin,
majelis ke-3, Qadhi Nurullah; Hayaatul Qulub, bab 51, h. 11).
19. Umar r.a. menjelma dalam bentuk anjing betina, lalu melahirkan enam ekor anak,
sangat hina. ('Iysaaiyyat Aor Islam Musalmaan Baadsyaahung Ke Tahat, h. 242).
20. Banyak tuduhan sangat kotor terhadap Rasulullah …. (Khulaashatul Minhaj Qalamy,
jld. 1, di bawah ayat surah An-Nisaa).
21. Ali r.a. dan imam-imamnya yang lain adalah lebih mulia dari segenap nabi. (Haqqul
Yaqiin Majlisi, bab 5).
22. Selain kelompok kami, semua orang adalah anak-anak para pelacur. (Al-Furuu' Minal
Jaami'il Kaafi, jld. 3; Kitaabur Raudhah, h. 135).
23. Jika suatu jenazah itu bukan Syi'ah, dan merupakan musuh Ahlul Bait, dan shalat
terpaksa dilakukan, maka setelah takbir keempat bacalah "Allaahumma…." Yakni,
"Wahai Allah, masukkanlah dia ke dalam azab api neraka." (Tuhfatul 'Awaam, h. 216,
217, edisi ke-4).
149

Kebanyakan rujukan tersebut di atas dikutip dari buku Qoth'i Unufasy-Syi'atissyaniy'ah


dan Syi'ah Sunni Ittihaad Ki Apyl.

Dukungan Dari Golongan Syi'ah Terhadap Pemerintah Kafir Inggris


Dan Penentangan Terhadap Jihad

1. Mau'izhah Tahrif-e-Qur'an, h. 71, 72, edisi ke-2.


2. Hamaare Hindustaani Musalmaan, W.W.Hunter, h. 178-180.
3. Mau'izhah Taqiyyah, h. 73, 74, edisi ke-3.
4. Harian Wakyl, Amritsar, 28 Oktober 1917, uraian Agha Khan.

Satu-satunya Cara Untuk Mempertahankan Islam Bersatu


Menurut kami, dunia Islam, khususnya Pakistan, sejak awal sudah menanggung
banyak sekali kerugian akibat kekacauan-kekacauan yang mengatas-namakan agama.
Oleh karena itu, kewajiban pertama para anggota Parlemen yang terhormat adalah,
menelaah akibat-akibat mengerikan yang ditimbulkan oleh kekacauan-kekacauan dan
kerusuhan terhadap orang-orang Muslim Ahmadi yang didasari oleh sentimen golongan.
Pada tahun 1952, Maulana Abdul Majid Salik memberikan saran yang tulus ini kepada
Pemerintah Pakistan:

"Tugas kita adalah mengakui setiap orang yang mempercayai 'Laa ilaaha
illallaah Muhammadur rasulullaah' sebagai Muslim, dan untuk
selamanya meninggalkan [upaya] pengkafiran terhadap orang Muslim.
Bahkan sudah tiba saatnya agar Pemerintah Islam menyatakan [upaya]
pengkafiran terhadap orang-orang Muslim itu sebagai suatu
kejahatan/pelanggaran secara hukum. Sehingga masyarakat Islam
menjadi bersih dari kutukan ini untuk selamanya." (Harian Aafaaq, 5
Desember 1952).

-----------ooo0ooo-----------
150

PERINGATAN TEGAS
DARI PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH
151

Peringatan Tegas Dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah


Mahzarnamah (petisi) ini diakhiri dengan sebuah uraian yang sangat mendalam
dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Beliau dengan hati yang sangat perih bersabda
menujukan hal ini kepada para ulama dan para pemimpin umat:

"Dunia tidak mengenal saya. Namun, Dia yang telah mengutus saya,
mengenal saya. Ini adalah kesalahan orang-orang itu, dan sebenarnya
merupakan kesialan nasib mereka bahwa mereka menghendaki
kehancuran saya. Saya adalah pohon yang ditanam sendiri oleh Malik
Haqiqi melalui tangan-Nya….
Wahai orang-orang! Pahamilah oleh kalian dengan seyakin-
yakinnya, pada saya terdapat 'Tangan' yang sampai saat akhir akan terus
setia. Jika kaum laki-laki kalian, kaum perempuan kalian, para pemuda
kalian, orang-orang tua kalian, anak-anak kecil kalian, dan orang-orang
dewasa kalian semuanya bersatu memanjatkan doa-doa untuk
membinasakan saya, sampai-sampai hidung mereka hancur karena terus-
menerus bersujud dan tangan-tangan menjadi kebas keletihan, maka tetap
saja Tuhan sama-sekali tidak akan mendengarkan doa-doa kalian. Dan Dia
tidak akan berhenti selama Dia belum menyelesaikan pekerjaan-Nya. Dan
jika dari antara manusia tidak ada seorangpun yang menyertai saya, maka
malaikat-malaikat Tuhan akan menyertai saya. Dan jika kalian
menyembunyikan kesaksian, maka sudah dekat saatnya batu-batupun akan
memberi kesaksian untuk saya. Jadi, janganlah berbuat aniaya terhadap
jiwa-jiwa kalian sendiri. Wajah para pendusta adalah lain, dan wajah
orang-orang yang benar juga lain. Tuhan tidak membiarkan suatu perkara
tanpa keputusan. Saya mengutuk kehidupan yang disertai kedustaan dan
kebohongan. Dan kemudian, [saya juga mengutuk] kondisi dimana
seseorang menjauhi perintah Khaliq karena takut terhadap makhluk.
Pengkhidmatan yang telah diserahkan kepada saya oleh Tuhan Yang
Mahakuasa tepat pada waktunya ini, dan untuk itulah Dia telah
menciptakan saya, sama-sekali saya tidak mungkin jadi malas
152

melaksanakannya, walaupun matahari di satu sisi dan bumi di sisi lain


sama-sama ingin melumatkan saya. Apalah manusia itu, hanya seekor
cacing. Apalah insan itu, hanya segumpal daging. Jadi, bagaimana
mungkin saya harus mengabaikan perintah Sang Hayyu Qayyum hanya
demi seekor cacing dan segumpal daging? Sebagaimana Tuhan akhirnya
di suatu hari telah memberikan keputusan antara para utusan terdahulu
dengan para pendusta, demikian pula pada saat inipun Dia akan
memberikan keputusan. Bagi kedatangan para utusan Tuhan juga terdapat
suatu musim. Kemudian untuk kepergian merekapun ada satu musim. Jadi,
pahamilah seyakin-yakinnya bahwa saya telah datang tepat pada
musimnya, dan saya tepat pada musimnya pula akan pergi. Janganlah
berperang dengan Tuhan! Bukanlah pekerjaan kalian untuk
menghancurkan saya." ( Tuhfah Golerwiyah, h. 8, 9).

"Sebagai nasihat, saya semata-mata demi Allah mengatakan kepada para


ulama penentang dan orang-orang yang sepemahaman dengan mereka,
bahwa mencaci-maki dan menggunakan kata-kata kotor bukanlah cara
terhormat. Jika memang begitu fitrat kalian, baiklah, terserah kalian.
Namun, jika kalian menganggap saya pendusta, maka kalian punya ikhtiar
untuk berkumpul di mesjid-mesjid atau sendiri-sendiri memanjatkan doa-
doa buruk bagi saya. Lalu, jika saya pendusta, pasti doa-doa itu akan
dikabulkan. Dan kalianpun memang selalu memanjatkan doa-doa.
Akan tetapi, ingatlah. Jika kalian memanjatkan doa-doa
sedemikian rupa -- yakni sampai lidah-lidah menjadi terluka, menangis-
nangis di dalam sujud sehingga hidung menjadi lecet, bengkak, dan bulu-
bulu mata berguguran, dan penglihatan jadi kabur karena banyak
menangis, dan akhirnya pikiran jadi hampa lalu mulai terserang ayan atau
menjadi gila -- maka tetap saja doa-doa itu tidak akan didengarkan. Sebab,
saya datang dari Tuhan…. Tidak ada seorangpun yang bisa mati di bumi
selama belum ada keputusan di Langit untuk mematikannya. Di dalam ruh
saya terdapat kebenaran yang dahulu telah diberikan kepada Ibrahim a.s..
Saya memiliki hubungan dengan Tuhan dalam warna Ibrahim. Tidak ada
yang mengetahui rahasia saya, kecuali Tuhan saya. Para penentang dengan
sia-sia sedang menghancurkan diri mereka sendiri. Saya bukanlah
tanaman yang dapat dicabut melalui tangan mereka…. Wahai Tuhan!
Kasihanilah umat ini. Amin." (Arba'iin, no.4, h. 5-7).

---------oo0oo---------
153

DOA
Kami berdoa semoga Allah Ta'ala menganugerahkan dari sisi-Nya kebijaksanaan
sedemikian rupa kepada para anggota Parlemen yang terhormat, sehingga mereka
mencapai keputusan-keputusan yang berlandaskan kebenaran dan shadaqat, yang
bersesuaian dengan tuntutan-tuntutan Alquran dan Sunnah. Dan semoga Pakistan
mencapai kemajuan, kemuliaan, kejayaan dan kesuksesan serta martabat agung yang
gambarannya telah dipaparkan oleh Imam kedua Jemaat Ahmadiyah, Yang Mulia Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a. pada tahun 1947, dalam kata-kata
berikut:

"Kita harus membangun Pakistan yang berlandaskan keadilan dan


kesama-rataan, sebagai tangga pertama menuju Islamic Union (Persatuan
Islam). Inilah Islamistan (Negara Islam) yang akan menegakkan
keamanan/kedamaian sejati di dunia. Dan setiap orang akan dipenuhi
haknya. Dimana saja Russia dan Amerika telah gagal, di situ hanya
Mekkah dan Madinah sajalah yang, insya Allah, akan berhasil." (Harian
Al-Fadhl, 23 Maret 1956).

Dan kami akhiri seruan kami ini dengan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
154

---------oo0oo---------

You might also like