Professional Documents
Culture Documents
{insert arabic: 1}
Masih III rahimahullaahu ta’ala, agar tampil di hadapan Komite Khusus Parlemen
Nasional tersebut, untuk menjelaskan pendiriannya dan untuk menjawab segala macam
pertanyaan yang diajukan pada kesempatan masing-masing. Dalam kaitan itu beliau telah
diizinkan untuk memilih empat orang wakil lainnya sebagai pembantu beliau. Dengan
demikian delegasi Jemaat Ahmadiyah jumlah keseluruhannya telah ditetapkan sebanyak
5 orang. [Para pembantu beliau itu adalah] :
1. Imam saat ini, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV a.t.b.a.
2. Maulana Abul ‘Atha Jalandhri (almarhum).
3. Syekh Muhammad Ahmad Mazhar, seorang pengacara dan Amir Jemaat Ahmadiyah
Distrik Faisal Abad.
4. Maulwi Dost Muhammad Syahid (Penulis sejarah Ahmadiyah).
Penerbit
4
SUATU TINJAUAN
TERHADAP RESOLUSI-RESOLUSI
PARLEMEN PAKISTAN
5
{Insert arabic: 2}
Kami memberikan jawaban “tidak” pada kedua pertanyaan itu. Menurut kami,
dengan mengabaikan pembagian-pembagian berdasarkan warna, keturunan, letak
geografis, dan bangsa, ini merupakan hak azazi setiap manusia untuk memeluk suatu
agama yang dia kehendaki. Dan di dunia tidak ada seorang manusia, atau organisasi, atau
majelis tinggi yang dapat mencabut hak azazi tersebut darinya. Di dalam piagam PBB, di
mana telah dijamin hak-hak azazi manusia, di sanapun hak setiap manusia ini telah
diakui, yakni hak untuk memeluk suatu agama yang diingini.
(Suplemen no. 1.)
Demikian pula di dalam Undang-undang Dasar Pakistan, pada pasal 20 telah
diakui bahwa setiap warga Pakistan memiliki hak azazi tersebut. Oleh karena itu, perkara
prinsipil ini hendaknya ditempuh, yakni berdasarkan UUD Pakistan apakah Komite ini
mempunyai otoritas atau tidak, untuk membahas resolusi yang diajukan itu?
6
(Dalam kaitan itu, bersama ini dilampirkan suplemen no.2 berupa sebuah
terjemahan bahasa Inggris khutbah Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Nasir
Ahmad, yang di dalamnya aspek tersebut telah dibahas secara rinci).
Fitrat dan akal manusiapun tidak memberikan otoritas kepada majelis tinggi
manapun untuk dapat mencabut hak tersebut dari seseorang atau dari golongan tertentu,
yakni hak untuk memeluk agama yang dikehendaki. Sebab, dalam bentuk demikian,
berarti kepada setiap majelis tinggi di dunia ini terpaksa harus diberikan hak tersebut.
Adapun bentuk-bentuk keburukan yang timbul dengan menerapkan prinsip itu, beberapa
di antaranya ditampilkan di bawah ini sebagai contoh:
A : Setiap parlemen nasional di dunia ini pada substansinya akan mempunyai hak
untuk menetapkan beberapa golongan Kristen sebagai non-Kristen, atau beberapa
golongan Hindu sebagai non-Hindu, dan sebagainya.
B : Setiap golongan dalam setiap agama di setiap negara, akan mempunyai hak untuk
menuntut kepada parlemen nasional agar golongan-golongan tertentu ditetapkan
sebagai non-Kristen, atau non-Hindu, atau non-Muslim. Dan seterusnya.
C : Jika Jemaat Ahmadiyah secara khusus diperiksa atas dasar kekacauan-kekacauan
yang terjadi pada saat ini, maka berdasarkan dalil ini sekian banyak kekacauan
yang ditimbulkan oleh golongan-golongan lain di Pakistan hingga saat ini -- atau
yang diperkirakan akan dapat terjadi -- mengenai semua itu, dari aspek tersebut,
adalah mutlak dan tepat untuk dilakukan pemeriksaan juga.
D : Parlemen-parlemen nasional lainnya di dunia, juga akan memperoleh hak untuk
menetapkan beberapa golongan Muslim, berdasarkan beberapa akidah mereka,
sebagai non-Muslim. Misalnya, terpaksa diakui bahwa Parlemen Nasional India
akan mempunyai hak untuk menetapkan golongan-golongan Muslim satu demi
satu sebagai non-Muslim, berlandaskan pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan
menentang mereka, lalu memasukkan mereka ke dalam kelompok mayoritas non-
Muslim di India. (Harus diingat bahwa di kebanyakan negara, umat Islam
merupakan minoritas).
E : Demikian pula pemerintah-pemerintah Kristen, dengan menggunakan hak mereka
sebagai kelompok mayoritas, juga akan memiliki otoritas untuk menetapkan
orang-orang Islam sebagai minoritas lalu mencabut hak-hak mereka sebagai
warganegara.
Ingatlah, pada waktu ini orang-orang Kristen di Pakistan mulai merasakan bahwa
hak-hak mereka sebagai warganegara mulai dikurangi (Lihat Press Release Joshua
Afzaluddin, suplemen no.3).
Jelaslah, bentuk-bentuk yang tertera di atas, secara logika tidak dapat diterima,
dan akan mengakibatkan terbukanya pintu kekacauan serta keburukan yang tak terhingga
banyaknya di berbagai negara di dunia, termasuk Pakistan.
7
Suatu parlemen nasional tidak dapat diberi otoritas untuk membahas persoalan-
persoalan semacam ini. Sebab, mengenai anggota-anggota parlemen nasional itu tidak
dapat dijamin, apakah mereka ahli atau tidak, untuk mengambil keputusan mengenai
perkara-perkara agama ?
Para anggota di kebanyakan parlemen nasional di dunia ini pergi membawa
piagam politik kepada para pemberi suara. Dan pemilihan mereka dilakukan berdasarkan
keahlian politik. Di Pakistan sendiri mayoritas anggota Parlemen Nasional telah dipilih
berdasarkan piagam politik dan tidak suka terhadap fatwa para ulama. Jadi, bagaimana
Parlemen Nasional seperti ini dapat memperoleh hak untuk mengambil keputusan
mengenai apa agama suatu golongan ? Atau untuk mengambil keputusan mengenai suatu
akidah, yakni berdasarkan akidah tertentu apakah seseorang dapat dikatakan Muslim atau
tidak? Jika mayoritas suatu parlemen nasional ditetapkan memiliki otoritas untuk
membuat keputusan tentang agama suatu golongan atau suatu kelompok, hanya
berlandaskan pada bahwa mereka merupakan perwakilan dari kelompok mayoritas, maka
pendirian itupun berdasarkan akal, fitrat, maupun agama tidak layak diterima.
Berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi sendiri, di seluruh dunia, hal-hal semacam itu
dinyatakan keluar dari batas-batas demokrasi. Demikian pula dari aspek sejarah agama,
kelompok mayoritas di masa tertentu tidak pernah diakui memiliki hak untuk menetapkan
agama seseorang. Jika prinsip ini diakui, maka – na’udzubillaah – segala keputusan
tentang seluruh nabi ‘alaihimussalaam dan kelompok-kelompok mereka, yang diambil
oleh pihak mayoritas di masa mereka, terpaksa harus diakui. Jelas, itu adalah pemikiran
aniaya yang langsung akan mengadu-domba para pengikut seluruh agama di dunia.
Berdasarkan Quran Karim dan sabda-sabda Nabi s.a.w., hak ini juga tidak
diberikan hak kepada siapapun untuk merubah agama seseorang secara paksa.
Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman:
(Insert arabic: 3)
Yakni, “Dalam urusan agama tidak ada [dibenarkan] pemaksaan jenis apapun” (Al-
Baqarah:256). Seandainya agama seseorang telah dirubah dengan cara memberikan
siksaan jasmani, dan di dalam hati dia tetap saja memegang teguh keimanannya yang
lama, seperti yang diungkapkan oleh ayat:
(Insert arabic: 4)
[Artinya:…. Kecuali orang yang telah dipaksa, sedangkan hatinya tetap tenteram dalam
keimanan1]. Maka tetap saja cara demikian itu bertentangan dengan ajaran “Laa ikraha
1
An-Nahl:106
8
fiddiin.” Dan jika seorang Muslim secara paksa dinyatakan non-Muslim, atau seorang
Hindu dinyatakan Muslim, sedangkan orang pertama tadi tetap menganut agama Islam
dan orang kedua tetap menganut agama Hindu, maka tetap saja sikap itu bertentangan
dengan “Laa ikraha fiddiin.” Ayat yang lebih lanjut mendukung hal itu adalah:
(Insert arabic: 5)
Dalam riwayat lain dikatakan: “Rasulullah s.a.w. bersabda, ’Ketika dia telah
mengikrarkan Laaa ilaaha illallaah, tetap saja engkau membunuhnya ?’
Saya berkata, 'Dia mengatakan itu karena takut pada senjata.’ Beliau s.a.w.
bersabda, ‘Mengapa tidak engkau belah dan periksa hatinya, apakah dia
katakan itu dari hatinya atau tidak ?’ Beliau s.a.w. mengulang-ulangi
kalimat itu sehingga saya berangan-angan seandainya saya masuk Islam
pada hari ini.”
(Lihat: Shahih Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab ba’tsi an- Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam Usamata ibna Zaid ila al-huruqaat min juhainah, h. 612).
9
Dalam kaitan ini, adalah sangat penting untuk disampaikan dengan sangat hormat,
bahwa yang telah dikemukakan di hadapan Parlemen Nasional, atasnya berlaku sebuah
kritikan sangat penting dan mendasar dari sudut-pandang Islam. Berlandaskan itu adalah
penting untuk mengambil sikap mengenai pernyataan ini sebelum menyimak resolusi
tersebut.
Yakni, Junjungan kita, Yang Mulia Khaatamul Anbiyaa Muhammad Mushthafa
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menubuatkan:
(Insert arabic: 6)
Yakni: Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka,
kecuali satu golongan.
Muhammad bin Abdul Wahab, yang menurut akidah mayoritas umat Islam di
Hijaz dan menurut Yang Mulia Raja Faisal merupakan mujaddid abad ke-12, mengenai
hadits tersebut di atas menyatakan:
(Insert arabic: 7)
Yakni, masalah masuknya 72 golongan dari 73 golongan tersebut ke dalam neraka dan
satu golongan ke dalam surga, adalah suatu masalah penting. Barangsiapa memahaminya
demikian berarti dia adalah faqih. Dan barangsiapa mengamalkannya, yakni secara
amalan menyatakan 72 golongan itu masuk neraka dan satu golongan masuk surga,
berarti dia itu Muslim. (Mukhtasar Sirat Rasul Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, Imam
Muhammad bin Abdul Wahab, h. 13,14, cetakan Kairo).
Media terkenal dari Jemaat Islami, Tarjumaan Al-Qur'an, Januari 1945 menuliskan:
(insert arabic: 8)
10
(Insert arabic: 9)
hal itu dapat terbukti menjadi suatu batu pijakan yang mengundang banyak sekali
keburukan serta kekacauan. Lebih lanjut, contoh yang telah ditegakkan oleh Parlemen
Nasional Pakistan dapat mengakibatkan kesulitan-kesulitan besar bagi agama-agama
minoritas maupun golongan-golongan minoritas yang hidup di negara-negara lain.
Ringkasnya, jika Parlemen Nasional Pakistan dengan mengabaikan permohonan-
permohonan di atas lalu menganggap dirinya memiliki otoritas untuk menetapkan suatu
golongan yang menyatakan diri mereka Islam sebagai suatu golongan di luar Islam
berlandaskan pada akidah tertentu atau berlandaskan pada berbagai uraian ayat tertentu
dari Quran Karim, maka kami mengusulkan supaya dalam bentuk demikian semampu
mungkin bersikap hati-hati, dan sejauh mungkin memenuhi tuntutan-tuntutan logika serta
keadilan. Dan sama-sekali janganlah tangani masalah ini sedemikian rupa sehingga pada
pandangan pihak-pihak lain di dunia ini yang tidak sependapat, persoalan itu menjadi
bahan tertawaan serta dapat mengakibatkan jatuhnya martabat bangsa.
Pemimpin Bangsa, yang terhormat Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto juga telah
berjanji dalam pidato beliau yang disiarkan tanggal 13 Mei, supaya persoalan ini
diselesaikan dengan baik serta sesuai tuntutan-tuntutan keadilan. Berdasarkan janji teguh
Pemimpin Bangsa ini maka tanggung-jawab Parlemen Nasional menjadi dua kali lipat,
yakni ketika menyimak permasalahan ini jangan sampai tuntutan-tuntutan keadilan dan
logika diabaikan.
--------ooo0ooo--------
12
DEFINISI MUSLIM
DAN PENDIRIAN JEMAAT AHMADIYAH
13
A: Apakah dari Kitabullah atau Rasulullah s.a.w. ada suatu definisi tentang Muslim
yang tanpa kecuali telah disampaikan pada masa Rasulullah s.a.w. sendiri? Jika
ada, apa definisi itu ?
B: Di luar definisi itu – yang telah diuraikan oleh Kitabullah dan Rasulullah s.a.w.,
dan yang terbukti telah disampaikan pada masa Rasulullah s.a.w. sendiri – apakah
dibenarkan atau tidak untuk menetapkan suatu definisi lain pada zaman tertentu ?
C: Selain definisi tersebut di atas, jika ada definisi-definisi lain tentang Muslim yang
berasal dari berbagai ulama atau golongan-golongan di berbagai zaman, apa saja
definisi-definisi itu? Dan bagaimana kedudukan definisi-definisi itu secara syariat
di hadapan definisi yang telah diuraikan pada bagian pertama ?
D: Di zaman Abu Bakar Shiddiq r.a., pada masa terjadi pergolakan kemurtadan, apa-
kah Abu Bakar Shiddiq r.a. ataupun para sahabah Rasulullah s.a.w. telah merasa
perlu untuk mengadakan suatu perubahan pada definisi yang sudah ditetapkan di
zaman Rasulullah s.a.w. ?
E: Apakah di zaman Nabi s.a.w. atau di zaman Khilafat Rasyidah ada suatu contoh di
mana walaupun seseorang itu mengikrarkan Kalimah “Laa ilaaha illallaah
Muhammadur Rasulullah” dan mengimani keempat Rukun Islam lainnya – yakni
shalat, zakat, puasa dan haji – lalu dia tetap saja telah dinyatakan sebagai non-
Muslim ?
F: Jika hal ini diizinkan, yakni seseorang walau mengimani kelima Rukun Islam lalu
tetap saja dinyatakan keluar dari Islam karena dia menafsirkan beberapa ayat
Quran Karim yang tidak dapat diterima para ulama dari golongan-golongan lain,
atau dia dinyatakan keluar dari Islam karena dia menganut suatu akidah yang
menurut beberapa golongan lain bertentangan dengan Islam, maka adalah penting
untuk juga menetapkan penafsiran-penafsiran dan akidah-akidah seperti itu.
Supaya, hal-hal itu dimasukkan ke dalam definisi Muslim yang sudah
dikukuhkan, yakni selain kelima Rukun Islam, jika di dalam akidah-akidah suatu
golongan terdapat hal-hal tersebut maka golongan itu dapat dinyatakan keluar dari
Islam.
G: Walau mengimani kelima Rukun Islam, jika pintu untuk mengkafirkan golongan-
golongan Muslim tertentu dibukakan, yang disebut pada bagian E, maka
14
memperhatikan hal-hal semacam itu secara logika dan secara adil adalah penting.
Yaitu hal-hal yang dengan mempertimbangkannya berbagai ulama secara telak
telah menyatakan golongan-golongan lain, di luar golongan mereka, sebagai kafir,
murtad, atau keluar dari Islam. Sebagai contoh dipaparkan beberapa hal di bawah
ini:
kami memang akan tetap sebagai Muslim pada pandangan ulama tersebut,
tetapi akan menjadi kafir berdasarkan setiap definisi lainnya.” (Report of The
Court of Inquiry Constituted Under Punjab Act II of 1954 to Enquire into the
Punjab Disturbances of 1953, h.218).
Dari kesimpulan yang dicapai oleh Hakim Munir itu hal ini secara tegas terbukti
bahwa mengenai definisi Muslim, sampai pada penyusunan laporan (Report) itupun tidak
pernah terjadi ijma’ yang darinya didapat suatu kesepakatan para shalihin terdahulu. Oleh
karena itu, jika pada masa sekarang ini dipaparkan suatu definisi yang secara zahir
tampaknya disepakati, maka definisi itu sama-sekali tidak dapat dinyatakan sebagai
definisi hasil ijma’ umat, dan darinya tidak diperoleh kesepakatan para shalihin
terdahulu.
Jadi, pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, mengambil definisi yang mengandung
hukum dan bersifat pokok tentang Muslim, yang telah disabdakan dari lidah Yang Mulia
Khaatamul Anbiyaa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Definisi ini merupakan suatu piagam
mulia bagi negara Islam. Untuk itu kami memaparkan tiga buah Hadits Nabi s.a.w..
(1) Jibril a.s. dalam bentuk manusia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan
bertanya kepada beliau:
Artinya: “Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, berkiblat pada kiblat
kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah orang Muslim yang
mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu
mengecoh Allah dalam hal jaminan-Nya. (Shahih Bukhari, Kitabul Shalat,
Bab Fadhlistiqbaalil Qiblah).2
2
Terjemahan Hadits-hadits ini pada artikel asli bahasa Urdu, diambil dari terjemahan Abul A’laa Maududi
dalam bukunya Dasturi Safarisyaat Par Tanqid, p. 14, 15.
18
Merupakan suatu ihsan agung Junjungan Suci kita s.a.w. bahwa melalui definisi
tersebut Rasulullah s.a.w. dalam kata-kata yang sangat lengkap telah meletakkan fondasi
antara bangsa-bangsa di dalam kesatuan dunia Islam. Dan merupakan kewajiban setiap
pemerintahan Islam untuk mengakui fondasi/prinsip ini dalam pandangan mereka dengan
sangat jelas. Jika tidak, maka tatanan umat Islam senantiasa akan hancur, dan pintu-pintu
kekacauan tidak akan pernah dapat ditutup.
Setelah kurun pertama, selama 14 abad silam, apapun fatwa kufur yang telah
dikeluarkan oleh berbagai ulama di berbagai zaman yang didasarkan pada definisi
rancangan mereka sendiri, telah menimbulkan bentuk yang begitu mengerikan sehingga
tidak ada tokoh suci agama, ulama-ulama, para sufi dan waliullah dari abad manapun
yang keislamannya dapat bertahan selamat berdasarkan definisi-definisi tersebut. Dan
tidak ada satu golonganpun dapat dikemukakan yang status kekufurannya tidak
dinyatakan oleh sebagian golongan lainnya. Dalam kaitan ini dilampirkan suplemen
nomor 5.
Di sini timbul pertanyaan, apa kedudukan fatwa-fatwa kafir itu? Dan apakah
seorang ulama secara pribadi ataupun sebagai wakil dari golongannya memiliki otoritas
atau tidak untuk memberi fatwa kafir terhadap seseorang atau golongan lainnya? Dan apa
dampak yang akan timbul dari fatwa-fatwa semacam itu terhadap umat Islam secara
keseluruhan?
Menurut Jemaat Ahmadiyah, kedudukan fatwa-fatwa semacam itu tidak lebih dari
sekedar bahwa menurut sebagian ulama tertentu beberapa akidah adalah bertentangan
dengan Islam karena penganut akidah-akidah tersebut kafir pada pandangan Allah, dan di
Hari Kiamat mereka tidak akan dibangkitkan di tengah-tengah umat Islam. Dari sudut ini,
fatwa-fatwa tersebut di dunia hanya memiliki kedudukan sebagai suatu peringatan. Dan
sejauh yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia, kepada seseorang atau suatu
golongan tidak dapat diberikan hak atau otoritas untuk mengeluarkan [mengeluarkan
pihak-pihak tertentu] dari batas-batas Islam yang paling jauh sekalipun. Itu adalah urusan
antara Allah dengan manusia. Dan keputusannya hanya dapat berlangsung pada hari
pembalasan di Hari Kiamat. Dalam urusan-urusan dunia, keberadaan fatwa-fatwa
tersebut dapat terbukti sangat berbahaya bagi kesatuan umat Islam. Dan seseorang atau
suatu golongan lainnya tidak dapat dinyatakan keluar dari Islam dengan menggunakan
fatwa ulama-ulama dari golongan tertentu sebagai landasan.
Pendirian yang mengatakan bahwa jika segenap golongan sepakat mengenai
kekufuran suatu golongan sehingga golongan itu dapat dinyatakan keluar dari Islam, dari
segi ini adalah salah dan tidak dapat diterima akal, sebabnya ialah (sebagaimana terbukti
dari penelaahan terhadap fatwa-fatwa yang tercantum di dalam suplemen) secara amalan,
dalam setiap golongan umat Islam sedikit banyak pasti terdapat akidah-akidah yang
mengenainya kebanyakan golongan tersebut menyepakatinya sebagai akidah-akidah yang
membuat para penganutnya keluar dari Islam. Dan kondisi demikian menuntut
kedatangan seorang hakim adil dari Langit.
19
Jika pada hari ini berdasarkan beberapa pertentangan ternyata sangat mungkin
terjadi kesepakatan segenap golongan lainnya menentang Jemaat Ahmadiyah, maka
besokpun mungkin saja akan terjadi seperti itu menentang golongan Syi’ah mengenai
beberapa akidah khusus yang mereka anut. Dan hal yang sama juga dapat terjadi pada
Ahli Quran seperti Chakralwi atau Parwezi. Dan mengenai beberapa akidah Ahli Hadits,
Wahabi atau Deobandi juga secara amalan terjadi kesepakatan para ulama dari golongan-
golongan lainnya. Jadi, kata mayoritas adalah suatu gambaran yang melampaui batas.
Cobalah simak satu golongan secara khusus, maka sebagai lawannya segenap golongan
lain akan tampil sebagai kelompok mayoritas. Dan dengan demikian, secara bergiliran,
terhadap masing-masing golongan akan berlakulah fatwa kafir dari kelompok mayoritas
lainnya.
Menurut kami, fatwa-fatwa itu berpijak pada hal-hal zahir. Dan pada substansinya
fatwa-fatwa itu tidak dapat dinyatakan sebagai surat panggilan untuk masuk surga
ataupun neraka. Sejauh yang berkaitan dengan hakikat Islam, kami menuliskan definisi
Muslim sejati, dalam kata-kata Pendiri Jemaat Ahmadiyah:
“Secara istilah, arti Islam adalah apa yang diisyaratkan oleh ayat suci ini,
yakni:
Jadi, secara hakiki seseorang itu baru dapat dikatakan Muslim tatkala
timbul suatu revolusi besar di dalam kehidupannya yang penuh kelalaian.
Kemudian, eksistensi wujud nafs amarah yang dia miliki, beserta segenap
dorongannya, serentak punah. Lalu, setelah maut tersebut, di dalam dirinya
mulai timbul kehidupan baru sebagai orang yang berbuat kebaikan demi
Allah. Dan itu adalah suatu kehidupan suci yang di dalamnya tidak terdapat
apapun kecuali ketaatan terhadap Sang Khaliq dan sikap solider terhadap
sesama makhluk.
Ketaatan terhadap Sang Khaliq adalah demikian, yakni dia siap
untuk menerima kehinaan dan kenistaan demi menzahirkan kehormatan,
keperkasaan, serta keesaan-Nya. Dan dia siap menerima ribuan kematian
demi menghidupkan Tauhid-Nya. Dan dalam ketaatan terhadap-Nya, satu
tangan bisa rela memotong tangan yang lain. Dan dalam kecintaan akan
keagungan perintah-perintah-Nya serta dalam kehausan akan keridhaan-Nya,
dia membenci dosa sedemikian rupa seakan-akan dosa itu adalah suatu api
yang siap melahap, atau bagai racun yang mematikan, atau sebuah halilintar
yang dapat menghanguskan, sehingga harus melarikan diri dari dosa itu
dengan segenap kemampuannya. Ringkasnya, untuk mengikuti kehendak-
Nya, kita harus meninggalkan segenap kehendak jiwa kita. Dan untuk
melekat dengan-Nya, terimalah sayatan-sayatan luka yang sangat
menyakitkan. Dan untuk memberikan bukti ikatan dengan-Nya, putuskanlah
segenap ikatan nafsu.
Dan mengkhidmati makhluk Allah adalah demikian, yakni sekian
banyak kebutuhan makhluk, dan sekian banyak faktor serta jalan yang telah
diciptakan Sang Pembagi Azali untuk membuat sebagian membutuhkan
sebagian lainnya, dalam segenap hal tersebut memberikan manfaat kepada
makhluk semata-mata demi Allah dengan solidaritas hakiki dan tanpa maksud
tertentu serta dengan solidaritas sejati yang dapat timbul dari dirinya. Dan
membantu setiap yang membutuhkan bantuan, melalui kemampuan anugerah
Allah. Dan mengerahkan semua kekuatan untuk mengadakan perbaikan dunia
dan akhirat bagi [makhluk-makhluk].
Jadi, inilah ketaatan dan pengkhidmatan demi Allah yang sangat
mulia, yang bercampur dengan kasih sayang dan kecintaan, serta yang
dipenuhi oleh ketulusan dan sikap merendahkan diri. Inilah Islam dan hakikat
Islam serta intisari Islam yang diraih setelah memperoleh kematian dari nafs,
dorongan alami, nafsu, dan kehendak.” (Ainah Kamalaat-e-Islam, p. 57-62)
---------ooo0ooo---------
22
23
KEDUDUKAN
KHAATAMAN NABIYYIIN S.A.W.
DAN TULISAN-TULISAN PENUH MAKRIFAT
DARI PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH
aneh, tuduhan ini dilontarkaan terhadap suatu Jemaat di antara seluruh golongan umat
Islam, yang secara teguh meyakini bahwa jangankan satu ayat Alquran Suci, satu noktah
atau satu titikpun tidak ada yang mansukh. Padahal sebaliknya, menurut para ulama dari
golongan-golongan lain, sebagian ayat Alquran telah dimansukhkan melalui sebagian
ayat lainnya, dan sekarang ayat-ayat itu bagaikan usus buntu dalam tubuh manusia. Jadi,
bukankah ini suatu hal yang aneh ? Yakni golongan-golongan yang mempercayai bahwa
di dalam Alquran Karim terdapat 5 hingga 500 ayat telah dimansukhkan, melontarkan
tuduhan mengingkari satu ayat Alquran Karim terhadap sebuah golongan yang memiliki
akidah bahwa jangankan satu ayat, satu noktahpun tidak ada yang mansukh.
Apalagi namanya kalau bukan keaniayaan dan kezaliman ? Di satu sisi Jemaat
Ahmadiyah bersiteguh menyatakan bahwa begitulah akidah kami dan itulah yang berkali-
kali ditekankan pendiri Jemaat Ahmadiyah kepada kami. Yakni, Alquran adalah kitab
Allah yang terakhir dan sempurna; Muhammad Mushthafa s.a.w. adalah rasul-Nya yang
terakhir dan paling sempurna, serta merupakan Khaatamun Nabiyyiin. Di sisi lain, para
ulama penentang, memberikan jawaban pada kami, “Walaupun kalian mengatakan
demikian, dalam makna tertentu kalian tetap masih menganggap ada kemungkinan bagi
kedatangan nabi. Oleh sebab itu kalian mengingkari makna ayat suci tersebut! Jadi,
secara nyata kalian terhitung mengingkari ayat itu.”
Inilah alasan terbesar para penentang Jemaat, yang dengan kekuatannya mereka
bangkit membawa tekad untuk mengeluarkan Jemaat Ahmadiyah dari Islam. Mari kita
simak hakikat tuduhan ini dengan hati yang sejuk. Dan dengan tenang serta adil, kita
simpulkan bahwa para penuduh itu jauh dari kebenaran. Jangan-jangan tuduhan itu
berlaku pada diri mereka sendiri, dan mereka bakal terkena sangsi karena menuduh pihak
lain mengingkari ayat tersebut.
Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah, kami mengimani seluruh makna ayat
Khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Alquran, Hadits, Ijma’ orang-orang
shaleh terdahulu, ungkapan-ungkapan dan bahasa Arab. Kami mengimani makna harfiah
ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya, yang intinya, Rasulullah s.a.w.
adalah paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan merupakan perhiasan
para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada beliau. Kunci setiap
fadhilah/keunggulan telah diserahkan ke tangan beliau. Syariat beliau -- yakni Alquran
dan Sunnah -- akan terus berlaku hingga kiamat, dan meliputi seluruh penjuru dunia.
Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorangpun yang dapat
memansukhkan Syariat ini barang setitikpun. Jadi, beliau adalah Rasul pembawa syariat
terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau adalah penutup sekalian nabi,
secara jasmani maupun secara rohani. Tidak ada seorang nabi yang dapat terlepas dari
lingkup ke-khatam-an beliau, dari sisi manapun. Setelah kedatangan beliau, tidak
mungkin ada nabi terdahulu yang secara jasmani tetap hidup di dalam era beliau. Tidak
mungkin, beliau telah berlalu dari dunia ini, kemudian ada nabi terdahulu lainnya yang
masih hidup secara jasmani. Na’udzubillaah, nabi tersebut wafat setelah menyaksikan ke-
khatam-an beliau secara jasmani.
Dalam makna-makna hakikipun beliau s.a.w. merupakan penutup sekalian nabi.
Tidak mungkin karunia nabi terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau,
dan mampu menganugerahkan suatu kedudukan rohani yang terendah sekalipun kepada
25
nabi lama, yang bukan pembawa syariat, ummati, mengikuti Syariat Islam kata demi kata,
dan mengajarkannya, tanpa memecahkan segel kenabian.
Kami berhak menanyakan kepada orang berakal, bijak, dan adil. Apakah bagi
penganut akidah semacam itu, dari sisi logika maupun keadilan, dapat dibenarkan untuk
mengatakan bahwa sesudah Rasulullah s.a.w. tidak akan dapat lagi datang nabi jenis
apapun ?
Permasalahan yang sebenarnya adalah, berdasarkan sabda-sabda Sang Khaataman
Nabiyyiin s.a.w., kami dan orang-orang selain kami serta segenap pihak yang mengakui
hadits, terpaksa menganut akidah bahwa “Isa Nabiullah”4 memang akan turun di
kalangan umat ini ?
Kami, berdasarkan ajaran Alquran dan Hadis yang jelas, mengetahui pula bahwa
Isa Ibnu Maryam telah wafat. Oleh sebab itu sabda tersebut di atas kami artikan sebagai
berikut. Yakni “Isa Nabiullah” yang bakal datang itu, akan lahir di kalangan hamba-
hamba Rasulullah s.a.w. dalam umat Islam ini juga. Dan dari Alquran, Hadits, serta
ucapan-ucapan para tokoh Agama Islam, kami membuktikan bahwa tokoh yang
dijanjikan bakal datang itu, juga akan berkedudukan sebagai nabi Allah, serta sebagai
ummati Rasulullah s.a.w.. Dan akidah ini sama sekali tidak bertentangan dengan ke-
khatam-an Nabi Muhammad s.a.w..
Namun, para ulama lain berusaha menenteramkan hati mereka dengan
penakwilan berikut. Yakni, jika nabi terdahulu itu datang kembali -- dikarenakan dia
telah lahir terlebih dahulu, dan sejak sebelumnya telah dianugerahkan pangkat kenabian,
sehingga dia tidak dapat dinyatakan sebagai yang terakhir -- maka jalan kedatangan bagi
nabi terdahulu itu masih tetap terbuka tanpa memecahkan segel kenabian.
Poin dasar dalam pemaparan dalil seperti itu adalah, nabi yang telah lahir terlebih
dahulu tidak dapat dinyatakan sebagai nabi terakhir. Apabila kita menyimak dalil seperti
itu, maka tampak sangat lemah dan sia-sia.
Pertanyaannya adalah, jika hari ini di hadapan seorang pemuda berusia 20 tahun
lahir seorang bayi, lalu dalam beberapa hari bayi itu meninggal, kemudian pemuda
tersebut meninggal dunia 80 tahun berikutnya dalam usia 100 tahun, maka siapa yang
akan ditulis terakhir oleh penulis sejarah ? Yakni, siapa yang akan dinyatakan terakhir
oleh penulis sejarah yang memiliki pemahaman mendalam serta akal yang sehat ?
Apakah anak bayi itu, yang lahir belakangan, namun meninggal setelah hidup
beberapa hari saja ? Ataukah pemuda yang telah lahir dahulu itu, yang wafat 80 tahun
setelah kematian bayi tadi, dalam usia 100 tahun ?
Disayangkan, persis seperti itulah bentuk yang dipaparkan para ulama penentang
kami. Dan mereka tidak melihat titik kelemahan logika tersebut. Mereka tidak
memperhitungkan bahwa berdasarkan keterangan mereka, usia Nabi Isa a.s. kurang lebih
600 tahun ketika Nabi Muhammad Mushthafa s.a.w. dilahirkan. Dalam usia 63 tahun,
Rasulullah s.a.w. telah wafat di masa hidup Nabi Isa. Dan sampai sekarang lebih 1400
tahun Isa Nabiullah itu masih tetap hidup. Cobalah katakan, ketika nanti dia turun, lalu
akhirnya akan wafat setelah melaksanakan tugasnya, maka siapa yang akan dinyatakan
sebagai yang terakhir dari segi waktu oleh seorang penulis sejarah yang objektif ?
4
Shahih Muslim, jilid 2, bab Dzikrud-dajjaal.
28
Menurut para ulama zahir, ayat Khaataman-nabiyyiin dari segi zaman/waktu tidak
memberikan hak kepada siapapun sesudah Rasulullah s.a.w. untuk menjadi yang terakhir.
Lalu apa pula hak para ulama zahir itu untuk menyatakan Nabi Isa a.s. sebagai nabi
terakhir dari segi waktu ? Pengingkaran terhadap hakikat tersebut sekedar dari mulut saja,
tidaklah mengandung makna apapun. Sebab, mereka secara amalan mengakui Nabi Isa
a.s. sebagai nabi yang paling terakhir di dunia ini ratusan tahun setelah Rasulullah s.a.w..
Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang lengkap dan
menarik tentang ke-khatam-an Nabi Muhammad s.a.w.. Gambaran itu benar-benar sangat
langka dan tiada duanya. Beliau telah menguraikan tafsir ayat Khaataman-nabiyyiin dari
berbagai aspek di dalam buku-buku beliau, berdasarkan Alquran Suci, dengan cara
sedemikian rupa sehingga setiap bagiannya menarik manusia ke arah iman dan irfan.
Beliau telah menggunakan istilah yang luar biasa dan sangat mengesankan.
Yakni, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Hidup; Kitab kita, Alquran Majid, adalah suatu
kitab yang hidup; dan Rasul kita, Yang Mulia Khaatamun Nabiyyiin Muhammad
Mushthafa s.a.w. adalah rasul yang hidup. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
beliau di dalam umat Islam. Dan secara benar beliau telah mempersiapkan kecintaan
yang hakiki terhadap Muhammad Arabi s.a.w., dalam kaitan dengan ke-khatam-an Nabi
Muhammad.
Ketiga permasalahan pokok ini -- yakni keimanan terhadap Allah, keimanan
terhadap Kitab, dan keimanan terhadap Rasul -- satu sama lain saling terkait dan saling
berhubungan secara mendalam sehingga satu unsur tidak dapat dipisahkan dari unsur-
unsur lainnya. Jadi, tidaklah mungkin dengan mengenyampingkan unsur-unsur lain,
akidah-akidah dan pandangan-pandangan Pendiri Jemaat Ahmadiyah tentang suatu
perkara dapat disimak. Jadi, tentang Khataman Nubuwwat, mutlak bagi kita untuk
memperhatikan keimanan, akidah-akidah dan pandangan-pandangan beliau tentang Allah
Ta'ala serta Alquran Karim. Sebab, jika tidak, penyimakan pemahaman beliau tentang
Khatamun Nubuwwat, tidak dapat diketahui secara sempurna.
Kini kami mulai dengan masalah Allah Ta'ala. Kami paparkan beberapa kutipan
dari pendiri Jemaat Ahmadiyah, yang insya Allah sesudah itu akan terbukti sangat
membantu dalam memahami masalah Khatamun Nubuwwat.
---------ooo0ooo---------
29
IRFAN ILAHI
DARI UNGKAPAN-UNGKAPAN
PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH
itu, jangan pada sarana-sarana tersebut. Derajat Tauhid yang ketiga adalah,
menyaksikan secara sempurna manifestasi-manifestasi Ilahiah, lalu
menganggap segala sesuatu selain Allah tidak ada sama sekali, termasuk
diri sendiri. Ringkasnya, segala sesuatu tampak tidak abadi, kecuali Dzat
Allah Ta'ala yang memiliki sifat-sifat kamil.
Inilah kehidupan rohani yang dicapai pada ketiga derajat Tauhid.
Sekarang perhatikanlah dengan seksama bahwa seluruh mata air abadi
kehidupan rohani, telah tampil di dunia hanya melalui berkat Yang Mulia
Muhammad Mushthafa s.a.w..” (Ainah Kamalaat-e-Islam, h.223-224)
6
Azali artinya sudah ada sejak dahulu, tidak ada titik permulaannya. Abadi artinya kekal dan tidak ada
kesudahannya -peny.
7
rupa wujud yang terlihat -peny.
34
Tetapi Dia tidak bertubuh dan tidak berupa. Dia paling atas, tetapi tidak
juga dapat dikatakan bahwa ada pula sesuatu di bawah-Nya. Dia ada di
‘Arasy, tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada di bumi. Dia adalah
himpunan semua sifat kesempurnaan; tempat zahir semua pujian yang
sebenarnya; sumber semua kebaikan; yang meliputi semua kekuatan;
tempat terbit semua kurnia; tempat kembali segala sesuatu; yang memiliki
semua kerajaan; bersifat semua keindahan; suci dari setiap aib dan
kelemahan. Dia dikhususkan untuk disembah oleh segala penduduk bumi
dan segala pengisi langit. Tidak ada suatupun yang mustahil di hadapan-
Nya. Semua ruh dengan segala kekuatannya dan segala zarah bersama
potensi-potensinya, adalah ciptaan-Nya. Tanpa Dia, satu bendapun tidak
dapat timbul. Dia menyatakan diri-Nya melalui kekuatan-kekuatan,
kudrat-kudrat dan tanda-tanda-Nya. Kita dapat memperoleh-Nya dengan
perantaraan Dia sendiri. Dia senantiasa menampakkan wujud-Nya kepada
orang yang benar, dan memperlihatkan kudrat-kudrat-Nya kepada mereka.
Dengan perantaraan itulah Dia dapat dikenal, dan dengan perantaraan-Nya
juga jalan yang disukai-Nya dapat diketahui.
Dia melihat tidak dengan mata jasmani dan Dia mendengar tidak
dengan telinga jasmani. Dia berkata-kata tidak dengan lidah jasmani.
Begitu pula mengadakan yang 'tiada' kepada 'ada' adalah pekerjaan-Nya.
Seperti kamu lihat pemandangan dalam mimpi, tanpa suatu bahan
dijadikan-Nya sebuah alam, dan tiap yang fana dan tidak berwujud itu
dapat diwujudkan-Nya. Ringkasnya, begitulah semua kudrat-Nya. Amat
bodohlah orang yang tidak percaya kepada kudrat-Nya, dan butalah orang
yang tidak tahu tentang kekuatan-kekuatan-Nya yang amat dalam itu. Dia
dapat mengerjakan apa saja asal tidak bertentangan dengan kemuliaan-
Nya atau yang berlawanan dengan janji-Nya. Dia Tunggal dalam dzat-
Nya, dalam sifat-Nya, dalam perbuatan-Nya dan dalam kudrat-Nya. Untuk
sampai kepada-Nya semua pintu tertutup, kecuali sebuah pintu yang telah
dibukakan oleh Quran Majid." (Al-Washiyyat, h.14-17)
paling terselubung dari segenap benda, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa
ada sesuatu yang lebih nyata dari-Nya. Dia hidup pada Dzat-Nya, dan
bersama-Nya hidup setiap benda. Dia berdiri tegak pada Dzat-Nya, dan
bersama-Nya segala benda berdiri tegak. Dia menopang setiap benda, dan
tiada suatu bendapun yang menopang-Nya. Tidak ada suatu benda yang
tanpa-Nya telah tercipta sendiri, atau tanpa-Nya dapat hidup sendiri. Dia
menjangkau seluruh benda, tetapi tidak dapat dikatakan bagaimana
batasan-Nya. Dia merupakan nur bagi segala sesuatu di langit dan di bumi.
Dan setiap nur bersinar dari tangan-Nya, serta merupakan refleksi Dzat-
Nya. Dia adalah Rabb seluruh alam. Tidak ada suatu ruh yang tidak
memperoleh pemeliharaan dari-Nya dan timbul sendiri. Tidak ada sesuatu
kekuatan pada suatu ruh, yang bukan berasal dari-Nya dan timbul dengan
sendiri.
Rahmat-rahmat-Nya terdiri dari dua jenis. (1) Pertama, yang sudah
ada sejak awal, tanpa didahului amal perbuatan seseorang pelaku.
Misalnya bumi, langit, matahari, bulan, dan bintang-bintang, air, api,
udara, dan segenap partikel alam ini, yang telah diciptakan untuk
kesejahteraan kita. Begitu pula benda-benda yang kita butuhkan, telah
disediakan untuk kita sebelum kelahiran kita. Dan kesemuanya ini telah
dilakukan ketika kita belum ada. Saat itu tidak pula ada suatu amal
perbuatan kita. Siapa yang dapat mengatakan bahwa, 'Matahari telah
diciptakan karena amal perbuatan saya.' Atau, 'Bumi telah diciptakan
akibat suatu kebaikan saya.' Ringkasnya, inilah rahmat yang telah tampil
sebelum adanya manusia dan amal-amal perbuatannya, yang bukan
merupakan hasil perbuatan seseorang. (2) Kedua adalah, rahmat yang
bergantung pada amal perbuatan. Dan hal ini tidak perlu dirinci lagi.
Demikian pula di dalam Alquran Suci tertera bahwa Dzat Allah
suci dari segala aib, serta terlepas dari segala cacat. Dan Dia menghendaki
supaya manusiapun suci dari aib-aib dengan cara mengikuti ajaran-Nya.
Dan Dia berfirman, ‘Man kaana fii haadzihi a’maa fa hua fil aakhirati
a’maa.’ Yakni, seseorang yang buta di dunia ini dan tidak menyaksikan
Dzat yang tiada bandingan-Nya itu, maka setelah matipun dia akan tetap
buta. Kegelapan tidak akan berpisah darinya. Sebab, untuk menyaksikan
Allah, di dunia ini juga diperoleh indera-indera. Dan seseorang yang tidak
membawa indera-indera tersebut dari dunia ini, di akhiratpun dia tidak
akan dapat menyaksikan Allah. Di dalam ayat ini dengan jelas Allah telah
mengungkapkan, kemajuan apa yang diinginkan-Nya bagi manusia dan
sampai kemana manusia dapat mencapai, setelah mengikuti ajaran-Nya.
Kemudian, di dalam Alquran Suci Dia memaparkan ajaran berikut
ini, yang melaluinya dan dengan cara mengamalkannya, Allah dapat
disaksikan di dunia ini juga. Sebagaimana Dia berfirman: ‘Man kaana
yarjuu liqaa-a rabbihii fal ya’mal ‘amalan shaalihaw wa laa yusyrik bi
‘ibaadati rabbihii ahadaa’ (Al-Kahfi:110). Yakni, seseorang yang ingin
menyaksikan Allah di dunia ini juga -- yang merupakan Tuhan hakiki dan
36
sifat-Nya juga tidak ada yang menyerupai. Jika di dalam satu sifat terdapat
kelemahan, maka di seluruh sifat-Nya akan timbul kelemahan. Oleh sebab
itu ketauhidan-Nya tidak dapat berdiri tegak selama ada bandingan dan
tandingannya dalam seluruh sifat-Nya, sebagaimana dalam Dzat-Nya.
Selanjutnya makna ayat tersebut di atas adalah, Allah bukanlah
anak seseorang dan tidak pula ada anak-Nya. Sebab, Dia berkecukupan
pada Dzat-Nya. Dia tidak membutuhkan bapak, dan tidak pula anak. Inilah
Tauhid yang telah diajarkan Alquran Suci, yang merupakan landasan
iman.” (Lekcher Lahore, h.9-13)
“Ruh kita dan setiap zarah wujud kita bersujud kepada Allah Yang
Maha Kuasa, Maha Benar, dan Maha Sempurna itu. Melalui tangan-Nya
lah setiap ruh dan setiap zarah makhluk-makhluk beserta segenap
kekuatannya, telah lahir. Karena dengan Wujud-Nya setiap wujud dapat
berdiri. Tidak ada suatu benda pun yang berada di luar pengetahuan-Nya;
di luar jangkauan kekuasaan-Nya, maupun di luar penciptaan-Nya.
Dan ribuan shalawat serta salam dan rahmat serta berkat turun
pada Nabi Suci Muhammad Mushthafa s.a.w., yang melalui perantaraan
beliaulah kita telah menemukan Tuhan yang hidup itu, yang Dia sendiri
berkata-kata membuktikan keberadaan Wujud-Nya. Dia memperlihatkan
Tanda-tanda yang luar biasa, memperlihatkan kepada kita Wajah
berkilauan yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan dan tenaga yang kamil
itu. Jadi, kita telah menemukan Rasul yang memperlihatkan Tuhan itu
kepada kita. Dan kita menemukan Tuhan yang telah menciptakan segala
sesuatu dengan kekuatan-Nya yang kamil. Kekuasaan-Nya mengandung
keagungan hebat, yang tanpa itu benda apapun tidak akan terwujud, dan
yang tanpa pertolongan-Nya tidak ada suatu bendapun dapat bertahan.
Tuhan hakiki kita itu adalah Tuhan yang memiliki berkat-berkat tak
terhingga; memiliki kekuasaan-kekuasaan yang tak terhitung; memiliki
keindahan-keindahan yang tak terhingga; dan Yang Maha Pengasih.
Selain Dia, tidak ada Tuhan lagi.” (Nasim Da’wat, h.3)
Yakni, Dia itulah Tuhan Yang Esa, dan tiada sekutu bagi- Nya,
tidak ada yang patut disembah dan ditaati kecuali Dia8. Hal itu dikatakan
karena seandainya Dia bukan sesuatu yang tanpa sekutu, mungkin saja
kekuatan-Nya dapat ditaklukkan oleh kekuatan musuh-Nya. Dalam
keadaan demikian, posisi Ketuhanan akan tetap berada dalam ancaman
bahaya. Dan yang difirmankan bahwa, 'Tidak ada yang patut disembah
kecuali Dia,' artinya adalah, Dia merupakan Tuhan Yang Sempurna
sedemikian rupa yang sifat-sifat, kelebihan-kelebihan serta potensi-
potensi-Nya demikian tinggi dan agung sehingga jika kita ingin memilih
satu Tuhan dari segala wujud yang ada berdasarkan sifat-sifatnya yang
sempurna, atau kita dalam hati membayangkan sifat-sifat tuhan yang
paling indah dan paling tinggi, maka Dia-lah yang paling tinggi, selain-
Nya tidak ada yang dapat lebih tinggi dari Dia. Dia-lah Tuhan yang dalam
penyembahan-Nya menyekutukan sesuatu yang lebih rendah merupakan
suatu keaniayaan. Lebih lanjut Dia berfirman, bahwa Dia ‘Aalimul Ghaib.
Yakni, hanya Dia-lah yang mengetahui tentang diri-Nya sendiri. Tidak ada
satupun yang mampu meliputi batas Dzat-Nya. Kita dapat melihat
matahari, bulan dan tiap makhluk seutuhnya, akan tetapi kita tidak dapat
melihat Tuhan secara utuh. Kemudian firman-Nya bahwa Dia ‘Aalimusy
Syahaadah. Yakni, tak ada suatu bendapun tersembunyi dari pandangan-
pandangan-Nya. Tidaklah layak apabila Dia dikatakan sebagai Tuhan, lalu
Dia tidak memiliki pengetahuan tentang benda-benda. Dia memiliki
penglihatan atas partikel-partikel alam ini, sedangkan manusia tidak
8
Al-Hasyr: 22
39
9
Al-Hasyr: 22
10
Al-Fatihah: 4
11
Al-Hasyr: 23
40
Yakni, Dia adalah Tuhan yang menciptakan tubuh-tubuh dan juga yang
menciptakan ruh-ruh. Dia yang membentuk rupa di dalam rahim. Segala
nama baik yang dapat terlintas di pikiran, semua itu hanyalah bagi-Nya
(Al-Hasyr: 24). Kemudian firman-Nya:
Jika tidak, qiblat orang kafir maupun orang beragama adalah ke arah
Engkau.
Sorotan-sorotan pandangan kecintaan Engkau bagaikan pedang kecintaan
yang sangat tajam.
Yang memotong jantung kehidupan segenap lawan.
Untuk menemukan-Mu, kami telah menyatu dengan debu.
Supaya terobati sedikit rasa perih keterpisahan ini.
Satu detikpun saya tidak punya apa-apa selain Engkau.
Jiwa semakin mengecut seperti mengecutnya hati orang yang sakit.
Cepatlah bawa kabar bagaimana semaraknya di tempat Engkau.
Jangan sampai meleleh darah dari luka seseorang yang tergila-gila.
---------ooo0ooo--------
44
Kalaam Ilahi, maka sebesar itu pula kekuatan dan kehebatan Kalaam itu.
Dikarenakan quwwat qudsi dan kamaal baathini Rasulullah s.a.w.
menempati derajat paling tinggi yang belum pernah ada sebelumnya dan
tidak akan pernah dicapai oleh manusia di masa mendatang, oleh sebab itu
Quran Syarif juga menduduki tempat dan derajat paling tinggi
dibandingkan segenap kitab sebelumnya dan shahifah-shahifah terdahulu,
yaitu derajat yang tidak pernah dicapai oleh kalaam lainnya. Sebab,
kemampuan-kemampuan dan quwwat qudsi Rasulullah s.a.w. adalah yang
paling tinggi. Dan segenap posisi kemampuan/potensi telah berakhir pada
beliau s.a.w.. Dan beliau s.a.w. telah mencapai titik paling puncak. Pada
posisi itu, Quran Syarif yang turun kepada beliau s.a.w., telah mencapai
titik kesempurnaan. Dan sebagaimana potensi-potensi kenabian telah
berakhir pada beliau s.a.w., demikian pula potensi-potensi mukjizat
Kalaam telah berakhir pada Quran Syarif. Beliau s.a.w. dinyatakan
sebagai Khaataman Nabiyyiin, sedangkan Kitab beliau s.a.w. dinyatakan
sebagai Khaatamul Khutub. Sejauh derajat-derajat dan faktor-faktor yang
paling mungkin bagi mukjizat Kalaam, berdasarkan kesemua itu Kitab
beliau s.a.w. telah mencapai titik puncak penghabisan. Yakni, dari segi
fashaahat dan balaaghat. Dari segi urutan kandungan. Dari segi potensi-
potensi ajaran. Dari segi hasil-hasil ajaran. Ringkasnya, dari aspek
manapun kalian melihat akan tampak dari aspek itu kehebatan Quran
Syarif serta terbukti kemukjizatannya. Itulah sebabnya Quran Syarif tidak
meminta contoh terhadap suatu perkara khusus tertentu saja, melainkan
contoh itu diminta terbuka secara umum. Yakni, dari aspek manapun yang
kalian inginkan, tandingilah [Alquran]. Tidak peduli adakah itu dari segi
fashaahat dan balaaghat, dari segi makna dan kandungan, dari segi ajaran,
dari segi nubuatan-nubuatan dan aspek ghaib yang terdapat di dalam
Quran Syarif. Ringkasnya, dalam corak apapun kalian mencermatinya,
yang ada ialah mukjizat.” (Malfuzhat, jld. 3, h. 36, 37).
rupa yang mana tidak akan pernah lahir seseorang dengan ketangguhan
dan semangat seperti itu. Sebab, penda’waan beliau s.a.w. tidak
diperuntukkan bagi suatu zaman tertentu atau bagi suatu kaum tertentu
saja, seperti halnya nabi-nabi sebelum beliau. Melainkan, bagi beliau
s.a.w. telah difirmankan:
13
Al-A’raf: 158
14
Al-Anbiya: 107
47
“Jalan paling lurus dan sarana paling besar yang dipenuhi cahaya-
cahaya keyakinan dan berkesinambungan, dan yang merupakan penuntun
sempurna bagi kebaikan rohani kita serta bagi kemajuan ilmu kita, adalah
Quran Karim. Yaitu yang telah datang untuk menyelesaikan seluruh
perselisihan agama yang ada di dunia ini. Dan yang setiap ayat serta kata-
katanya mengandung bentuk kesinambungan dari ribuan aspek. Dan yang
dipenuhi oleh air kehidupan kita. Dan yang di dalamnya secara
terselubung terkandung banyak sekali permata yang langka dan tak ternilai
harganya, serta yang setiap hari terus saja bermunculan. Inilah timbangan
terbaik yang melaluinya kita dapat membedakan antara kebenaran dan
kekeliruan. Inilah lampu bercahaya yang secara tepat memperlihatkan
jalan-jalan kebenaran. Tidak diragukan lagi, orang-orang yang terkait
dengan jalan lurus/benar, dan memiliki semacam hubungan dengannya,
maka kalbu mereka terus ditarik ke arah Quran Syarif. Dan Allah Maha
Pengasih telah membuat kalbu mereka sedemikian rupa sehingga mereka
bagaikan orang-orang yang dimabuk cinta tunduk ke arah kekasih mereka
ini. Dan tanpa-Nya, mereka di manapun tidak akan tenteram. Suatu hal
jelas dan nyata yang mereka dengar darinya, lalu mereka tidak mau
mendengar dari pihak lain. Setiap kebenarannya dengan senang hati dan
dengan berlari mereka terima. Dan akhirnya [Alquran] itulah yang
mengakibatkan bercahaya dan cemerlangnya pikiran, serta menjadi sarana
yang menimbulkan penguakan-penguakan yang sangat menakjubkan. Dan
setiap orang diantarkannya ke puncak kemajuan, sesuai kemampuan
masing-masing. Orang-orang yang benar selalu butuh untuk berjalan di
bawah cahaya Quran Karim. Dan kapan saja kondisi baru suatu zaman
telah membuat Islam berhadapan dengan agama lain, maka Quran Karim
jugalah yang tampil sebagai senjata tajam dan ampuh serta langsung
membantu. Demikian pula, bila saja pemikiran-pemikiran filosofis yang
bertentangan menyebar, maka Quran Karim jugalah yang akhirnya
mencabut tumbuhan buruk itu dan membuktikan kehinaan serta
kenistaannya, lalu menjelaskan kepada para pemerhati bahwa inilah
[Alquran] falsafah yang benar, sedangkan yang itu tidak. Pada zaman
sekarang inipun ketika para misionaris Kristen bangkit dan menarik orang-
orang yang tidak memiliki pemahaman baik serta yang bodoh, untuk
menjauhi Tauhid, lalu ingin menjadikan mereka sebagai penyembah
seorang manusia lemah, dan membaluti cara-cara penipuan mereka dengan
cara-cara menarik, dan mereka telah menggelar sebuah topan di negeri
Hindustan ini, akhirnya Quran Karim jugalah yang telah memukul mundur
48
Oleh karena itu saya menzahirkan hal ini kepada setiap orang
bahwa kitab yang memenuhi semua kebutuhan tersebut adalah Quran
Syarif. Melaluinya pada diri manusia timbul suatu daya yang menarik
manusia ke arah Tuhan, dan kecintaan terhadap dunia menjadi sirna. Dan
Tuhan yang sangat terselubung itu, dengan mengikuti [kitab] tersebut
maka akhirnya Dia memperlihatkan Wujud-Nya sendiri. Dan Sang
Mahakuasa yang qudrat-qudrat-Nya tidak diketahui oleh umat-umat lain,
Tuhan memperlihatkan sendiri kepada manusia yang mengikuti Alquran.
Dan Dia membawa manusia itu mengelilingi alam kekuasaan-Nya. Dan
melalui suara 'Anal maujud' ('Aku ada'), Dia mengabarkan kepada manusia
itu tentang Wujud-Nya. Namun, kemampuan seperti itu tidak didapati
dalam Weda. Sama-sekali tidak! Weda adalah bagai sebundel kertas yang
tidak diketahui siapa pemiliknya. Parmesyar (Tuhan) yang ke arahnya
Weda mengimbau [manusia], tidaklah terbukti bahwa parmesyar itu hidup.
Bahkan Weda tidak menegakkan suatu dalil bahwa parmesyar-nya
memang benar ada. Dan ajaran Weda yang menyesatkan itu telah
mengacaukan hal ini, yakni bahwa melalui karya-karya cipta akan dapat
diketahui siapa penciptanya. Sebab, berdasarkan ajaran Weda, ruh-ruh dan
parmanu yakni partikel-partikel, kesemuanya adalah qadim15 dan bukan
makhluk (hasil ciptaan), bagaimana mungkin dapat diketahui siapa
penciptanya. Demikian pula Weda menutup pintu Kalaam Ilahi, dan
mengingkari tanda-tanda yang baru dari Tuhan. Dan menurut Weda,
Parmesyar tidak mampu menzahirkan suatu tanda untuk mendukung
hamba-hamba-Nya yang khusus, yaitu suatu tanda yang lebih tinggi dari
pengetahuan dan pengalaman manusia-manusia biasa. Jadi, kalaupun
diambil sikap yang sangat berprasangka baik terhadap Weda, maka dapat
sekedar dikatakan bahwa Weda menyatakan tentang keberadaan Wujud
Tuhan seperti [yang dapat dinyatakan oleh] manusia-manusia dengan
kemampuan pemahaman yang biasa-biasa saja, dan Weda tidak
memaparkan suatu dalil yang meyakinkan tentang Wujud Tuhan.
Ringkasnya, Weda tidak mampu menganugerahkan makrifat yang datang
dalam bentuk segar/baru dari Tuhan dan yang mengangkat manusia dari
bumi lalu mengantarkannya sampai ke Langit. Namun, kesaksian dan
pengalaman kami, serta kesaksian dan pengalaman segenap orang yang
telah berlalu sebelum kami, merupakan saksi bahwa Quran Syarif melalui
khasiat rohaninya dan melalui cahaya substansinya, menarik pengikutnya
yang sejati ke arah-Nya. Dan Quran Syarif menyinari kalbunya, kemudian
memperlihatkan Tanda-tanda besar, lalu menganugerahkan kepada
pengikutnya itu hubungan-hubungan kokoh sedemikian rupa dengan
Tuhan sehingga tidak dapat diputuskan oleh pedang yang ingin
mencincang-cincangnya. Tuhan membukakan mata kalbu, dan menutup
mata-air kotor dosa. Dan Dia menganugerahkan mukaalamah
mukhaathabah (percakapan) yang nikmat dengan-Nya. Dia
15
Sudah ada dengan sendirinya sejak semula -peny.
50
Sang Majikan Maha Pengasih mereka dengan lapang hati dan keyakinan
penuh. Sikap mereka yang rela berkorban [untuk orang lain] merupakan
suatu mata air. Dan pengkhidmatan terhadap umat manusia merupakan
kebiasaan mereka. Dan penyusutan tidak pernah terjadi pada kondisi
mereka kalaupun seluruh alam merupakan keluarga mereka.
Dan pada hakikatnya sifat sattaari Allah Ta'ala wajib untuk
disyukuri, yaitu sifat yang dimana-mana menyelubungi [kekurangan-
kekurangan] mereka. Dan sebelumnya, suatu musibah yang turun di luar
kemampuan, mereka pandang sebagai anugerah. Sebab, Allah-lah yang
melindungi/mencukupi bagi mereka dalam segenap pekerjaan mereka.
Sebagaimana Dia sendiri telah berfirman:
“Nur Furqan (Alquran) adalah nur yang terbukti paling terang dari
segenap cahaya.
Mahasuci Dzat yang dari-Nya lautan cahaya ini telah mengalir.
Pohon Tauhid Kebenaran sudah lama layu.
Tiba-tiba saja dari keghaiban telah muncul mata-air bening ini.
Ya Ilahi, Furqan (Alquran) Engkau merupakan sebuah alam.
Segala sesuatu yang diperlukan, telah tersedia di dalamnya.
Seluruh alam raya telah ditelusuri, dan semua tempat sudah diperiksa.
Wahai sekalian, hanya inilah satu-satunya cermin Irfan.
Apa pula yang mampu menyamai Nur ini di dunia.
Ia telah terbukti tiada tara dalam segala hal dan segala keindahan.
58
----------ooo0ooo---------
60
KEMULIAAN
KHAATAMUL ANBIYAA S.A.W.
PADA PANDANGAN
PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH
Pendiri Jemaat Ahmadiyah a.s. meyakini Khaatamul Anbiyaa wal Ashfiyaa Yang
Mulia Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Khaataman
Nabiyyiin dengan begitu mendalam, penuh yakin, dan dengan makrifat sempurna.
Keyakinan beliau itu tidak mungkin dapat diukur tanpa menelaah tulisan-tulisan beliau
a.s. sendiri. Oleh karenanya, dalam kaitan itu, beberapa kutipan dari sejumlah tulisan
beliau a.s. dipaparkan berikut ini. Beliau menyatakan:
“Tidak ada kitab kita selain Quran Syarif. Dan tidak ada rasul kita
kecuali Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak
ada agama kita kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa Nabi kita s.a.w.
adalah Khaatamul Anbiyaa, dan Quran Syarif adalah Khaatamul Kutub.
Jadi, janganlah jadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan
hendaknya diingat, kita tidak mempunyai penda’waan lain kecuali sebagai
khadim Islam. Dan siapa saja yang mempautkan hal [yang bertentangan
dengan] itu pada kita, dia melakukan dusta atas kita. Kita mendapatkan
karunia berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim s.a.w.. Dan kita
memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui Quran Karim. Jadi,
adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di dalam kalbunya apapun
yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika tidak, dia akan
mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah Ta’ala. Jika kita bukan
khadim Islam, maka segala upaya kita akan sia-sia dan ditolak, serta akan
diperkarakan.” Hamba yang lemah , Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, 7
Agustus 1899. (Maktubaate Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4).
"Yang memiliki kemuliaan paling tinggi saat ini adalah dia yang bernama
Mushthafa.
Dia adalah nabi golongan yang benar dan suci.
Darinya mengalir kebenaran dengan deras.
Dari wujudnya terpancar aroma kebenaran.
Padanya berakhir segala kemuliaan nabi.
Imam yang memiliki rupa suci dan perilaku yang suci."
(Dhiyaaul Haq, h. 4)
“Di dalam juz ketiga, Surah Ali 'Imran, secara rinci diuraikan
bahwa dari segenap nabi telah diambil janji, yakni kalian beriman pada
keagungan dan keperkasaan kemuliaan Khaatamur Rasul, Muhammad
63
17
Orang yang paling sempurna dalam hal kesucian dari dosa/kelemahan -peny.
65
[Ini adalah karunia Ilahi yang dianugerahkan kepada siapa saja yang Dia
kehendaki].” (Barahiin Ahmadiyyah, jld. III, catatan kaki no. 11, h. 292).
merasakan kedukaan orang lain serta dalam hal solidaritas terhadap umat
manusia. Justru dari segi zaman dan dari segi tempat, di dalam jiwanya
terdapat rasa solider yang sempurna. Oleh karena itu dia telah memperoleh
bagian yang penuh dan sempurna dari penampakan-penampakan qudrat,
serta telah menjadi Khaatamul Anbiyaa. Namun, tidak dalam arti bahwa di
masa mendatang tidak akan diperoleh berkat rohani apapun darinya.
Melainkan, dalam arti bahwa dia merupakan seorang khaatam yang tanpa
stempelnya seseorang tidak akan dapat memperoleh suatu karunia/berkat.
Dan bagi umatnya hingga Kiamat tidak akan pernah tertutup pintu
mukaalamah mukhaathabah Ilahiyyah (percakapan dengan Allah). Dan
selain dia tidak ada nabi lain yang merupakan khaatam. Hanya dialah satu-
satunya yang melalui stempelnya kenabian dapat diperoleh, yaitu kenabian
yang untuknya adalah mutlak terlebih dahulu menjadi ummati (pengikut).
Dan semangat serta solidaritasnya tidak menghendaki apabila umat ini
ditinggalkan dalam kondisi tidak sempurna, serta tidak menginginkan
apabila pintu wahyu tertutup bagi mereka, yaitu [pintu wahyu] yang
merupakan akar sejati untuk memperoleh makrifat. Ya, untuk menegakkan
tanda bagi kedudukannya sebagai Khaatamur Risalah, beliau s.a.w.
menghendaki agar karunia wahyu diperoleh melalui sarana mengikuti
beliau. Dan seseorang yang bukan ummati (pengikut), baginya telah
tertutup pintu wahyu Ilahi. Jadi, Allah Ta’ala telah menetapkan beliau
s.a.w. sebagai Khaatamul Anbiyaa adalah dalam makna-makna tersebut.
Untuk itu, hal ini telah ditetapkan hingga hari Kiamat, bahwa seseorang
yang tidak membuktikan kedudukannya sebagai ummati melalui sikap
mengikuti secara hakiki, dan tidak menjadikan segenap wujudnya mabuk
dalam mengikuti beliau s.a.w., orang seperti itu sampai hari Kiamat tidak
akan dapat memperoleh suatu wahyu sempurna, dan tidak pula dia dapat
menjadi mulham kamil (penerima ilham yang sempurna). Sebab, kenabian
mustahil telah berakhir pada wujud Rasulullah s.a.w.. Namun, kenabian
dzilly/bayangan – yang artinya, memperoleh wahyu semata-mata melalui
karunia/berkat Rasulullah s.a.w. – akan tetap ada hingga Kiamat. Supaya,
pintu kesempurnaan bagi umat manusia tidak tertutup. Dan supaya, tanda
ini tidak terhapus dari dunia, bahwa semangat Rasulullah s.a.w. memang
telah menginginkan agar pintu mukaalamaat mukhaathabaat Ilahiyah
tetap terbuka hingga hari Kiamat, dan supaya makrifat Ilahi yang menjadi
kunci najat, tidak hilang.” (Haqiqatul Wahy, h. 27,28).
Yakni, Rasulullah s.a.w. itu bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara
laki-laki kalian, tetapi dia adalah rasul Allah dan Khaatamul Anbiyaa (Al-
Ahzab: 40).
Kini, jelaslah bahwa kata 'laakin' (tetapi) dalam bahasa Arab
digunakan untuk memberikan penekanan, yakni untuk memberikan
penekanan pada hal terdahulu. Hal terdahulu yang disinggung di dalam
ayat tersebut, yang mengenainya telah dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w.
tidak meraihnya, adalah menjadi bapak secara jasmani bagi seorang laki-
laki. Jadi, dengan kata 'laakin' hal terdahulu itu telah ditekankan
sedemikian rupa bahwa Rasulullah s.a.w. dinyatakan sebagai Khaatamul
Anbiyaa. Artinya adalah, setelah beliau karunia kenabian secara langsung
telah terputus, dan sekarang pangkat kenabian hanya akan diraih oleh
orang yang mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam amal-amalnya.” (Review
Mubahatsah Batalwi wa Chakralwi, h. 6,7).
Artinya, saya bukanlah rasul dengan kitab syariat baru. Ya, inipun
hendaknya harus diingat dan jangan sekali-sekali dilupakan, yakni
walaupun saya dipanggil dengan kata nabi dan rasul, kepada saya telah
diberitahukan oleh Allah bahwa segenap karunia/berkat itu bukan tanpa
71
perantara telah turun pada saya. Melainkan, di Langit terdapat satu wujud
suci yang berkat-berkat rohaninya telah meliputi diri saya, yakni
Muhammad Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dengan
menjunjung perantaraan/hubungan itu, dan dengan menyatu di dalamnya,
dan dengan menyandang namanya – Muhammad dan Ahmad – saya juga
adalah seorang rasul, dan juga seorang nabi. Yakni, saya telah diutus, dan
saya juga telah memperoleh kabar-kabar ghaib. Dan dengan cara
demikian, stempel/segel Khaatamun Nabiyyiin tetap terpelihara. Sebab,
saya telah memperoleh nama itu secara pantulan dan bayangan melalui
cermin kecintaan. Jika ada orang yang murka atas wahyu Ilahi ini, yakni
mengapa Allah Ta’ala menamakan saya sebagai nabi dan rasul, berarti itu
kebodohannya. Sebab dengan kedudukan saya sebagai nabi dan rasul
[seperti itu] tidak meruntuhkan stempel/segel Allah.” (Ek Ghalathi Ka
Izalah, h. 6,7).
18
Al-Ahzab: 40
19
Al-Jin: 26, 27
73
perantaraan Rasulullah s.a.w. dan tanpa kondisi Fana fir ‘Rasul s.a.w.
yang mengakibatkan penamaannya sebagai Muhammad dan Ahmad di
Langit, tidak akan ada seseorang yang dianugerahkan gelar kenabian
begitu saja. Barangsiapa ada yang menda’wakan demikian, berarti dia
kafir.
Rahasia sebenarnya yang terdapat dalam hal itu adalah, makna
Khaatamun Nabiyyiin menuntut bahwa selama masih ada tabir [hubungan
perantara dengan] pihak lain, maka selama itu pula jika ada yang disebut
nabi, berarti dia menghancurkan stempel/segel yang terdapat pada
Khaatamun Nabiyyiin. Namun, jika ada orang yang fana dalam
Khaatamun Nabiyyiin (Rasulullah s.a.w. -peny.) sedemikian rupa sehingga
dia memperoleh nama beliau s.a.w. karena keterpaduan yang mendalam
dan karena menolak seluruh unsur di luar beliau, dan dia telah menjadi
cermin sehingga dalam dirinya telah memantul wajah Muhammad s.a.w.,
maka orang itu akan dinamakan nabi tanpa menghancurkan stempel/segel
tadi. Sebab, dia merupakan Muhammad s.a.w., walaupun secara bayangan.
Jadi, walaupun orang itu menda’wakan kenabian, yang mana dia telah
dinamakan Muhammad s.a.w. serta Ahmad s.a.w. secara bayangan, maka
tetap saja Sayyidina Muhammad s.a.w. merupakan Khaatamun Nabiyyiin.
Sebab, Muhammad kedua ini merupakan gambaran Muhammad s.a.w. itu
juga, serta merupakan nama beliau juga adanya. Sedangkan, Isa a.s. tidak
dapat datang tanpa menghancurkan stempel/segel [Khaatamun
Nabiyyiin].” (Ek Ghalati Ka Izalah, 4-6).
[Artinya: Tidak ada jalan ke arah itu hingga hari Kiamat. Dan barangsiapa
yang mengatakan bahwa dia bukan dari umat Muhammad s.a.w. dan dia
menda’wakan bahwa dia adalah nabi pembawa syariat atau nabi tanpa
membawa syariat tetapi bukan dari kalangan umat ini, maka tamsilnya
adalah bagai seseorang diterjang banjir dashyat yang menghanyutkannya
sampai mati].
Rinciannya adalah, disini Allah Ta’ala telah berjanji bahwa
Rasulullah s.a.w. adalah Khaatamul Anbiyaa. Di tempat inipun Dia
mengisyaratkan bahwa Rasulullah s.a.w. berdasarkan kerohanian beliau
merupakan bapak bagi orang-orang saleh yang telah memperoleh
penyempurnaan jiwa karena mengikuti beliau. Dan kepada orang-orang
saleh itu dianugerahkan wahyu Ilahi serta anugerah mukaalamaat
(percakapan). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di dalam Quran Syarif:
Yakni, Muhammad s.a.w. bukanlah bapak bagi salah seorang dari antara
laki-laki kalian, tetapi beliau adalah Rasul Allah dan Khaatamul Anbiyaa.
Sekarang jelas, kata 'laakin' di dalam bahasa Arab digunakan untuk
penekanan, yakni penekanan terhadap hal yang sudah berlalu. Pada bagian
terdahulu dari ayat ini, hal yang telah dinyatakan sudah berlalu -- yakni
sesuatu yang dinyatakan tidak diperoleh Rasulullah s.a.w. -- adalah status
sebagai bapak bagi seorang laki-laki secara jasmani. Jadi, melalui kata
'laakin', penekanan terhadap hal yang sudah berlalu itu adalah dengan
menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. adalah Khaatamul Anbiyaa. Artinya
adalah, sesudah beliau s.a.w., karunia-karunia kenabian secara langsung,
sudah terputus. Dan sekarang pangkat kenabian hanya dapat diraih oleh
orang yang di dalam amal perbuatannya terdapat stempel ittiba’ Nabawi
s.a.w. (mengikuti Rasulullah s.a.w.). Dan dengan cara demikian, orang itu
merupakan putra Rasulullah s.a.w. serta merupakan ahli-waris beliau
s.a.w.. Ringkasnya, di dalam ayat ini pada satu segi Rasulullah s.a.w. telah
dinyatakan bukan sebagai bapak, sedangkan pada segi lain beliau s.a.w.
telah pula dibuktikan sebagai ‘bapak’. [Hal itu dilakukan demikian]
supaya dapat ditangkal kecaman yang disinggung dalam ayat:
disebut nubuwwat/kenabian. Dan segenap nabi sepakat akan hal itu. Jadi,
tidaklah mungkin segenap individu dalam umat [Rasulullah s.a.w.] ini
luput dari derajat mulia itu dan tidak ada satu orangpun yang memperoleh
derajat tersebut. Padahal mengenai umat ini telah difirmankan:
21
Ali ‘Imran: 110
22
Al-Fatihah: 6, 7
77
----------ooo0ooo----------
Tidak menjadi bapak bagi seorang laki-laki dewasa, bukanlah suatu dalil bahwa
seseorang itu bukan nabi. Jika Quran Karim telah memaparkan dalil ini bahwa seseorang
yang bukan bapak bagi seorang laki-laki dewasa tidak dapat menjadi nabi, atau seperti itu
akidah yang dianut oleh beberapa umat sebelum Quran Karim, maka kami mengatakan
bahwa di dalam Quran Karim telah diterangkan pengecualian akidah itu, atau telah
dilakukan penolakan terhadap akidah tersebut. Akan tetapi, ini bukanlah akidah umat
tertentu, bahwa jika seseorang bukan merupakan bapak bagi seorang laki-laki berarti dia
tidak dapat menjadi nabi. Umat Islam dan Kristen mengakui kenabian Yahya a.s.. Dan
orang Yahudi mengakui kesucian beliau. Namun, tidak ada yang mengakui bahwa beliau
mempunyai anak. Sebab, Yahya a.s. kawinpun tidak.
Jadi, apa artinya ayat ini, bahwa Muhammad s.a.w. bukanlah bapak bagi salah
seorang dari antara laki-laki dewasa kalian, tetapi beliau seorang nabi. Pasti ada landasan
penyebab bagi kalimat ini. Lalu inipun hendaknya dipikirkan bahwa seseorang yang
mengenainya orang-orang telah keliru mengatakan bahwa dia (Zaid r.a.) adalah anak
angkat Rasul Karim s.a.w., setelah pernyataan ayat ini berarti dia bukan lagi anak angkat
beliau. Hal itu apa kaitannya dengan kenabian Rasul Karim s.a.w. ? Kemudian apa
hubungan hal itu dengan Khatamun Nubuwwat beliau s.a.w. ? Apakah kalau Zaid r.a.
tidak menceraikan istrinya dan Muhammad Rasulullah s.a.w. tidak menikahi mantan istri
Zaid tersebut maka masalah Khatamun Nubuwwat akan tetap terselubung ? Apakah
masalah yang besar itu begitu saja diuraikan secara sambilan ?
Selain itu, sebagaimana telah kami tuliskan di atas, status seseorang sebagai
bapak atau tidak sebagai bapak bagi seorang laki-laki, tidak ada hubungannya dengan
kenabian. Oleh karena itu, kita hendaknya menelaah Quran Karim, apakah di tempat lain
ada diterangkan bahwa jika tidak terbukti sebagai bapak bagi laki-laki dewasa maka kata
[tersebut] jadi diragukan. Sebab, kata “laakin” di dalam bahasa Arab dan kata yang
78
semakna dengan itu pada setiap bahasa di dunia ini, digunakan untuk menjauhkan
keraguan.
Guna memecahkan persoalan ini kami melihat Quran Karim, dan tampak dengan
jelas tertulis:
Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada engkau kautsar. Oleh sebab itu
beribadahlah kepada Allah Ta’ala dan persembahkanlah pengorbanan-pengorbanan.
Sesungguhnya musuh engkaulah yang akan tanpa anak keturunan. (Al- Kautsar: 1-3).
Ayat ini turun pada masa kehidupan Rasulullah s.a.w. di Mekkah. Di dalamnya
terdapat sanggahan yang ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekkah yang mencela
beliau ketika putra beliau wafat. Mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak punya
anak laki-laki kalau tidak sekarang, maka besok pastilah silsilahnya akan habis (Al-Bahru
Al-Muhith).
Setelah surah ini turun, orang-orang Islam berpendapat bahwa Rasulullah s.a.w.
akan memperoleh anak laki-laki dan anak itu akan hidup. Namun, yang terjadi adalah,
anak laki-laki Rasulullah s.a.w. tidak hidup seperti yang mereka duga. Musuh-musuh
yang disebut “huwal abtar”(tidak memiliki anak), justru anak laki-laki mereka tetap
hidup. Anak Abu Jahal tetap hidup. Anak 'Aash tetap hidup. Anak Walid tetap hidup
(walaupun di kemudian hari anak-anak mereka masuk Islam dan sebagian masuk dalam
kelompok sahabah ternama). Ketika terjadi peristiwa Zaid r.a. dan timbul keraguan dalam
hati orang-orang, yakni Rasulullah s.a.w. telah menikahi istri yang diceraikan oleh Zaid
yang merupakan anak angkat beliau s.a.w., dan hal itu bertentangan dengan ajaran Islam
– sebab menikahi menantu tidaklah dibenarkan – maka Allah Ta’ala berfirman bahwa,
“Kalian menganggap Zaid r.a. sebagai putra Muhammad Rasulullah s.a.w., itu adalah
salah. Muhammad Rasulullah s.a.w. bukanlah bapak bagi seorang laki-laki dewasa
manapun.” Dan kata “maa kaana” di dalam bahasa Arab tidak hanya berarti bahwa
beliau bukan bapak pada masa itu, melainkan juga bermakna bahwa di masa
mendatangpun beliau bukan merupakan bapak [bagi laki-laki manapun]. Sebagaimana di
dalam Quran Karim dikatakan:
Yakni, Allah itu Mahakuasa dan Mahabijaksana, dahulu, sekarang, dan di masa datang.
(An-Nisa:158).
Dari pengumuman itu, secara alamiah timbul sebuah keraguan lain dalam hati
orang-orang. Yakni, di Mekkah telah diumumkan melalui Surah Al-Kautsar bahwa para
musuh Muhammad Rasulullah s.a.w. akan luput dari anak-keturunan laki-laki, sedangkan
Rasulullah tidak. Namun, setelah beberapa tahun diumumkan pula di Madinah bahwa
Muhammad Rasulullah s.a.w. saat itu maupun di masa mendatang bukanlah bapak bagi
salah seorang laki-laki dewasa. Artinya adalah, nubuatan surah Al-Kautsar itu –
na’uudzubillah – terbukti tidak benar dan kenabian Muhammad Rasulullah s.a.w. jadi
diragukan.
79
Quran 'Azhim adalah suatu kitab yang sempurna. Salah satu keajaibannya adalah,
Alquran tidak hanya di satu tempat saja memaparkan Khatamun Nubuwwat, melainkan
juga telah menguraikan penafsiran tentang hal itu di sejumlah tempat lainnya. Dalam
kaitan itu kami memaparkan ayat-ayat Quran Syarif di bawah ini.
Sebelum ayat ini, yang disinggung adalah orang-orang yang menjadi sasaran lawan
bicara Rasul Karim s.a.w., bukan mengenai orang-orang sebelum beliau. Dan arti ayat ini
adalah, Allah memilih dan akan terus memilih dari antara malaikat-malaikat dan
manusia-manusia sebagai rasul. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha
Melihat. Dari ayat ini tampil dengan jelas bahwa di zaman Rasul Karim s.a.w., yakni di
zaman kenabian beliau, terdapat manusia-manusia lain yang memperoleh nama rasul dari
Allah Ta’ala.
KEDUA: Di dalam Surah Al-Fatihah Allah Ta’ala telah mengajarkan doa kepada
orang-orang Islam:
Doa ini secara wajib dibaca oleh orang-orang Islam lima waktu sehari, dan pada waktu-
waktu lainnya secara nafal. Sekarang pertanyaannya adalah, apa jalan orang-orang yang
telah dianugerahi nikmat itu? Quran Syarif sendiri telah menjelaskannya:
Dan niscaya akan Kami bimbing mereka ke jalan lurus. (An-Nisa: 68).
Di dalam ayat ini dengan jelas telah diberitahukan bahwa jalan orang-orang yang telah
dianugerahi nikmat itu adalah jalan yang apabila ditempuh akan memasukkan manusia ke
kalangan para nabi, shiddiq, syahid, dan saleh.
Sebagian orang mengatakan bahwa kata ma’a di situ berarti bahwa orang-orang
itu akan bersama kelompok orang yang telah dianugerahi nikmat, tetapi tidak termasuk di
dalam kelompok itu. Padahal ayat tersebut tidak dapat diartikan demikian. Sebab, dalam
bentuk demikian artinya adalah, orang-orang itu akan bersama kelompok orang yang
telah dianugerahi nikmat, tetapi tidak akan termasuk ke dalam kelompok tersebut. Yakni,
mereka akan bersama nabi-nabi, tetapi tidak akan termasuk di kalangan nabi-nabi.
Mereka akan bersama para shiddiq, tetapi tidak akan termasuk di kalangan para shiddiq.
Mereka akan bersama para syahid, tetapi tidak akan termasuk di kalangan para syahid.
Dan mereka akan bersama para saleh, tetapi tidak akan termasuk di kalangan para saleh.
Berdasarkan arti tersebut, umat Islam tidak hanya luput dari kenabian, tetapi juga telah
luput dari pangkat shiddiq. Dan apa yang telah dikatakan Rasulullah s.a.w. bahwa Abu
Bakar adalah shiddiq, na'udzubillaah, ternyata salah. Dan umat Islam juga telah luput
dari derajat syahid. Dan di dalam Quran Karim di mana Allah Ta’ala telah menyatakan
para sahabah berada pada derajat syuhada, ternyata juga salah.
Dan di kalangan para saleh juga tidak akan ada yang masuk satu orangpun dari umat ini.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa di dalam umat Islam telah berlalu banyak sekali
orang saleh, pendapat itu sama-sekali salah. Na’udzubillaah.
Apakah ada orang berakal yang menguasai Alquran dan Hadits dapat menerima
arti-arti tersebut ? Kata ma’a tidak berarti bersama, tetapi juga berarti termasuk. Di dalam
Quran Karim telah diajarkan doa ini kepada orang-orang mukmin.
Dan setiap Muslim mengartikannya: “Wahai Allah, wafatkanlah aku dalam kondisi
termasuk di kalangan orang-orang saleh.” Tidak pernah diartikan bahwa: “Ya Allah, pada
saat seorang saleh wafat, maka pada saat itu juga wafatkanlah aku bersamanya.”
Demikian pula tertera di dalam Quran Karim:
Di sini tedapat kata-kata "ma’al mu’miniin". Namun, kata ma’a disini diartikan sebagai
min. Demikian pula tertera di dalam Surah Al-Hijr:
Hai Iblis, apa yang telah terjadi padamu, mengapa engkau tidak bersama
orang-orang yang bersujud. (Al-Hijr:32).
Namun, di dalam Surah Al-A’raf dikatakan “Lam yakun minassaajidiin.” Yakni, iblis
tidak termasuk di kalangan orang-orang yang bersujud (Al-A’raf:11). Jadi, di dalam
Quran Karim kata ma’a telah digunakan dalam arti min. Dan dalam kitab lughat terkenal
tentang Alquran, Mufradat Alquran tulisan Imam Raghib, juga tertulis:
Lebih lanjut, penjelasan terhadap tulisan Imam Raghib tersebut di dalam Tafsir Bahrul
Muhith dikatakan:
Yakni, menurut Imam Raghib arti ayat ini adalah, orang-orang yang taat
kepada Rasulullah s.a.w., dari segi kedudukan dan derajat akan
dimasukkan ke dalam kalangan para nabi, shiddiq, syahid dan saleh.
Yakni, nabi umat ini dengan nabi, shiddiq dengan shiddiq, syahid dengan
syahid, saleh dengan saleh. (Lihat: Tafsir Bahrul Muhith, jld. 3, h. 387).
Wahai anak cucu Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari antaramu
yang membacakan kepadamu Ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa bertakwa
dan memperbaiki diri, tak akan ada ketakutan menimpa mereka tentang
apa yang akan datang dan tidak pula mereka adan berduka cita tentang apa
yang sudah lampau. (Al-A’raf: 35).
Di dalam ayat ini dengan jelas telah dikatakan bahwa di dalam umat Islam rasul-rasul
akan senantiasa datang. Demikian pula di dalam Quran Karim Allah Ta’ala berfirman
Yakni, di akhir zaman Allah Ta’ala akan kembali menzahirkan segenap rasul dalam
corak buruzi/bayangan. Orang-orang Syiah mengambil dalil dari situ bahwa di zaman
Imam Mahdi segenap rasul akan didatangkan dan mereka akan mengikutinya.
Sekian banyak nabi yang telah Allah Ta’ala kirimkan sejak Adam sampai
akhir, kesemuanya akan datang kembali ke dunia dan akan menolong
Amirul Mukminin Mahdi. (Tafsir Qummi, h. 23).
84
Dari ini terbukti bahwa menurut orang-orang Syiah sesudah Rasul Karim s.a.w. segenap
rasul akan datang, tetapi tetap saja Khatamun Nubuwwat beliau s.a.w. tidak akan
terputus.
Ringkasnya, beberapa ayat telah dituliskan sebagai contoh dari ayat-ayat Quran
Karim. Dari ayat-ayat itu terbukti bahwa di dalam umat Islam nabi ummati bisa datang,
dalam corak penghambaan dan pengabdian kepada Rasul Karim s.a.w., serta untuk
menyebarkan agama beliau s.a.w.. Dan hal itu merupakan dalil yang abadi serta telak
yang membuktikan bahwa Rasulullah s.a.w. adalah seorang nabi yang hidup, bahwa
Alquran adalah kitab yang hidup, dan bahwa Islam adalah agama yang hidup.
Nabi Terakhir
Lebih lanjut silahkan simak suplemen no. 8 berupa pamplet “Maqaam Muhammadiyyat
Ki Tafsir.” Pendiri Jemaat Ahmadiyah, dalam buku beliau Izalah Auham menuliskan:
Pemimpin Nabi-nabi
Kenabian adalah suatu kedudukan rohani. Nabi adalah seorang yang memiliki
martabat/derajat. Khaatam di kalangan wujud yang memiliki kedudukan dan martabat,
adalah dia yang meraih derajat paling akhir dalam kedudukan tersebut.
Sebagai bukti akan hakikat tersebut, di bawah ini dituliskan 41 contoh
penggunaan istilah khaatam dalam makna demikian, di anak benua India dan Pakistan,
serta di negeri Arab:
22. Syekh Abdul Haq (958-1052 H/1551-1642 M) dijuluki Khaatimatul Fuqahaa (Tafsir
Al-Aklil, lembar judul).
23. Syekh Muhammad Najib merupakan Khaatimatul Muhaqqiqiin (Al-Islam Mishri,
Sya’ban 1354 H).
24. Wali yang paling afdhal adalah Khaatamul Walaayah (Muqaddimah Ibnu Khaldun,
h. 271).
25. Syah Abdul Aziz (1159-1236 H) merupakan Khaatamul Muhadditsiin wal
Mufassiriin (Hadiyatusy Syi’ah, h.4).
26. Manusia merupakan Khaatamul Makhluqaat al-Jasmaniyyah (Tafsir Kabir, jld. 6, h.
22, cetakan Mesir).
27. Syekh Muhammad bin Abdullah merupakan Khaatimatul Huffaadz (Ar-Rasail al-
Nadirah, h. 30).
28. 'Allamah Sa’aduddin Taftazani merupakan Khaatimatul Muhaqqiqiin (Syarah Hadits
Al-Arba’in, h. 1).
29. Ibnu Hajar Al-Asqalaani merupakan Khaatimatul Hufaadz (Tabqatul Mudassiin,
lembar judul)
30. Maulwi Muhammad Qasim (1148-1297 H) dijuluki Khaatamul Mufassiriin (Israr
Qur’ani, halaman judul).
31. Imam Suyuthi merupakan Khaatimatul Muhadditsiin (Hadiyatusy Syi’ah, h. 210).
32. Raja merupakan Khaatamul Hukkaam (Hujjatul Islam, h. 35).
33. Nabi Isa merupakan Khaatamul Ashfiyaa al-Aimah (Baqiyatul Mutaqaddimiin, h.
184).
34. Ali merupakan Khaatamul Awshiyaa (Minarul Hudaa, h. 109).
35. Syekh Ash-Shadduq dijuluki Khaatamul Muhadditsiin (Kitab Man Laa Yahdharuhul
Faqiyh)
36. Abul Fadhl Syahabul Ulusi (773-854 H/1371-1450 M) disebut Khaatamul Udabaa
(Ruhul Ma’aani, halaman judul).
37. Penulis Ruhul Ma’aani menjuluki Syekh Ibrahim al-Kurani sebagai Khaatimatul
Muta-akhiriin (Tafsir Ruhul Ma’aani, jld. 5, h. 453).
38. Maulwi Anwar Syah Kasymiri disebut Khaatamul Muhadditsiin (Kitab Rais al
Ahrar, h. 99)
39. Fariduddin ‘Athaar (513-620 H/1116-1223 M) mengatakan tentang Umar r.a. di
dalam Manthiq ath-Thair, hal. 29:
“Jadi, seseorang yang di dalam dirinya sifat ini banyak tampil, yaitu
Khaatamush Shifaat, yakni sifat yang di atasnya tidak ada lagi sifat
lain, yakni tidak ada sifat lebih tinggi lagi dari itu yang patut
dianugerahkan kepada makhluk-makhluk, berarti orang itu di kalangan
makhluk merupakan Khaatamul Maraatib, dan orang itu merupakan
pemimpin semua pihak, dan merupakan yang paling afhdal/mulia.”
(Intisharul Islam, h. 45)
“Adalah akidah saya bahwa jika Rasulullah s.a.w. diletakkan terpisah dan
segenap nabi yang telah berlalu hingga saat itu kesemuanya berkumpul
lalu mereka ingin melakukan pekerjaan dan perbaikan yang telah
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., maka mereka sama-sekali tidak akan
dapat melakukannya. Di dalam diri mereka tidak terdapat kalbu dan
kekuatan seperti yang dimiliki Nabi kita s.a.w.. Jika ada yang mengatakan
[pernyataan] ini merupakan -- ma’adzallaah -- suatu ketidaksopanan
terhadap para nabi itu, berarti orang bodoh itu melontarkan kedustaan
terhadap diri saya. Saya menganggap sikap menghormati para nabi
sebagai bagian dari keimanan saya. Akan tetapi keunggulan Nabi Karim
s.a.w. atas segenap nabi lainnya, adalah suatu hal yang merupakan bagian
terbesar keimanan saya dan telah bercampur dalam urat nadi darah saya.
Ini bukanlah ikhtiar saya untuk mengeluarkannya.” (Al-Hakam, 17 Januari
1901).
Jika diartikan sebagai seorang “yang menutup/mengakhiri para nabi,” maka perlu
disimak, dalam bentuk apa Rasulullah s.a.w. telah menutup/mengakhiri para nabi.
Masalahnya bukanlah menutup/mengakhiri kehidupan jasmani dan lahiriah. Segenap nabi
itu memang sudah wafat sejak sebelumnya. Ada satu nabi yang dianggap masih hidup,
Isa a.s.. Beliau dinyatakan masih hidup setelah Yang Mulia Khaatamun Nabiyyiin s.a.w..
Selebihnya, menutup/mengakhiri secara makna, adalah benar. Yakni, Yang Mulia
Khaatamun Nabiyyiin telah menutup/mengakhiri segenap nabi dari segi
potensi/kemampuan-kemampuan. Yakni, beliau s.a.w. merupakan yang paling sempurna,
paling tinggi, dan paling mulia dari sekalian nabi. Dan kelebihan beliau s.a.w. adalah,
tidak hanya kenabian saja, melainkan segenap potensi rohanipun telah berakhir pada
beliau s.a.w.. Sebagaimana Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengatakan:
Stempel Nabi-nabi
Di dalam bahasa Arab, kata khaatam berarti stempel. Jemaat Ahmadiyah juga
meyakini Rasulullah s.a.w. sebagai stempel nabi-nabi. Pendiri Jemaat Ahmadiyah
menuliskan di dalam buku beliau Haqiqatul Wahiy:
Bersama itu Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan warna yang sangat tegas menyatakan
bahwa dampak-dampak stempel Muhammad s.a.w. ini hanya dapat diraih melalui
penghambaan diri terhadap Rasulullah s.a.w. saja. Dalam buku beliau Haqiqatul Wahiy,
beliau menuliskan:
Segala sesuatu yang telah dituliskan oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengenai
Khatamun Nubuwwat pada sisi tersebut, juga didukung dan dibenarkan oleh para ulama
masa sekarang. Ulama terkenal dari kelompok Deobandi, Maulana Mahmudul Hasan dan
Maulana Syabbir Ahmad Usmani, menuliskan di dalam Tarjamah-e-Quran:
Demikian pula Pimpinan Daarul ‘Uluum Deoband, Maulana Qaadir Muhammad Thayyib
mengatakan:
“Kemuliaan beliau s.a.w. tidak hanya pada kenabian, melainkan juga pada
potensi penganugerahan kenabian. Yakni, siapapun yang telah tampil di
hadapan beliau dengan memperoleh kemampuan-kemampuan kenabian,
91
maka dia telah menjadi nabi,” (Aftaab Nubuwwat Kaamil, h. 109, Idarah
Usmaniyah, Anarkali, Lahore).
Kesimpulan
Ringkasnya, dari sudut pandang apapun hal ini diperhatikan – Alquran, Hadits,
dan bahasa Arab – hakikat ini menjadi tampil bagai cahaya matahari. Yakni, pada masa
sekarang ini, di dunia umat Islam, hanya Jemaat Ahmadiyah-lah satu-satunya yang
memperoleh kebanggaan serta anugerah untuk mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai
Khaatamun Nabiyyiin dari segala segi, serta mengimani akidah suci ini dengan bashirat
yang tinggi. (Untuk kejelasan lebih lanjut, bersama ini dilampirkan pamplet “Ham
Musalman Hein” dan “Hamara Mauqif” serta “Azhym Ruhani Tajalliyaat” sebagai
suplemen nomor 9,10, dan 11).
“Seandainya [Ibrahim] hidup, tentu dia akan menjadi seorang nabi yang
benar.” (Ibnu Majah, Kitabul Janaiz).
Sabda Rasulullah s.a.w. ini adalah sesudah turunnya ayat Khaataman Nabiyyiin. Dan dari
sabda tersebut tampil penafsiran yang jelas terhadap ayat Khaataman Nabiyyiin.
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa kata Khaataman Nabiyyiin bukanlah halangan untuk
menjadi nabi shiddiq atau nabi ummati. Jika menurut Rasulullah s.a.w. Khaataman
Nabiyyiin itu berarti bahwa sesudah beliau tidak bisa lagi datang nabi jenis apapun, maka
pada kesempatan itu tentu Rasulullah s.a.w. mengatakan: “Jika putra saya, Ibrahim ini
hidup, tetap saja dia tidak dapat menjadi nabi. Sebab, saya adalah Khaatamun Nabiyyiin.”
Namun, Rasulullah s.a.w. mengatakan, "Walaupun saya merupakan Khaatamun
Nabiyyiin, jika putra saya tetap hidup, tentu dia akan menjadi seorang nabi." Yakni, yang
menjadi penghalang bagi Ibrahim untuk menjadi nabi adalah kewafatannya, bukan ayat
Khaataman Nabiyyiin. Jelaslah, hal itu sama seperti ketika seorang mahasiswa cerdas
wafat lalu dikatakan, “Jika dia hidup, tentu dia akan meraih gelar M.A..” Kalimat ini
akan diucapkan demikian apabila memang sangat mungkin bagi orang-orang untuk lulus
ujian M.A.. Jika tingkat M.A. itu sendiri telah tertutup, dan tidak mungkin bagi siapapun
untuk meraih gelar M.A., maka pada saat kewafatan seorang mahasiswa cerdas tentu
tidak dapat dikatakan, “ Jika dia hidup, tentu dia akan meraih gelar M.A..”
Tokoh-tokoh besar Ahli Hadits sepakat mengenai keshahihan hadits “Lau ‘aasya
lakaana shiddiiqan nabiyyan.” Imam Syahaab menuliskan:
Mullah ‘Al Qaari, seorang imam terkenal mazhab Hanafi di kalangan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, menuliskan hadits ini dengan menyatakan kebenaran riwayat dan bobotnya
melalui tiga cara:
“Jika Ibrahim hidup dan menjadi nabi, demikian pula Umar menjadi nabi,
maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah s.a.w.. Seperti
halnya Isa, Khidir, dan Ilyas ‘alaihimus salaam. Hal itu tidak
membatalkan Khaatamun Nabiyyiin. Sebab, Khaatamun Nabiyyiin itu
artinya adalah, sesudah Rasulullah s.a.w. tidak bisa lagi datang nabi lain
yang membatalkan Syariat beliau s.a.w. dan bukan ummati beliau s.a.w..“
(Maudhu’aat Kabiir, Mulla ‘Ali Qaari, h. 69).
KEDUA: Di dalam hadits Muslim, mengenai Masih Mau'ud yang akan datang itu, empat
kali telah digunakan kata nabiullaah. (Shahih Muslim, jld. 2, bab Dzikrud Dajjaal).
Abu Bakar adalah yang paling afdhal di dalam umat ini, kecuali bila ada
nabi. (Kunuzul Haqaiq).
Kemudian hadits Ibnu Majah yang telah dipaparkan di atas, di situ Rasulullah s.a.w.
bersabda, “ Jika putra saya Ibrahim hidup, tentu dia akan menjadi nabi.”
Dari hadits-hadits ini jelas bahwa di dalam umat ini pintu satu jenis kenabian
masih terbuka, yakni pintu untuk memperoleh kenabian melalui Fana fir Rasul s.a.w.
Memang ada hadits-hadits lain yang bertentangan dengan hadits-hadits ini. Di
dalam hadits-hadits itu secara zahir pintu kenabian dinyatakan telah tertutup. Menurut
kami, secara mendasar, pemecahan terhadap sejumlah hadits tersebut adalah, hadits-
hadits yang menyatakan kenabian telah tertutup, di situ yang dimaksud adalah kenabian
yang membawa syariat atau kenabian mandiri. Sedangkan hadits-hadits yang menyatakan
adanya kemungkinan kenabian, di situ yang dimaksud adalah kenabian yang tidak
membawa syariat dan merupakan kenabian ummati. Dengan demikian terjadi kesesuaian
pada seluruh hadits tersebut. Dan dengan demikian pula seluruh hadits itu menjadi sesuai
dengan ayat-ayat Quran Majid. (Untuk lebih rinci lagi mengenai hal ini silahkan simak
buku Al-Qaulul Mubiin Fii Tafsir Khaatamin Nabiyyiin, yang dilampirkan sebagai
tambahan no. 6).
Jadi, dengan menyimak sejumlah hadits nabawiyah sekaligus, akan tampak jelas
bahwa sesudah Rasul Akram s.a.w. kedatangan para nabi pembawa syari’at baru atau
para nabi mandiri, telah tertutup. Ya, kemungkinan datangnya nabi ummati dan nabi yang
mengikuti Syariat Muhammad s.a.w. masih terbuka. Atas dasar itulah sejumlah firqah
94
mempercayai Masih Mau'ud yang akan datang itu sebagai nabi yang mengikuti
Rasulullah s.a.w.. Mereka meyakininya sebagai nabi ummati Rasulullah s.a.w.. Dan
demikianlah akidah Jemaat Ahmadiyah.
----------ooo0ooo----------
95
HAKIKAT TUDUHAN
MENGINGKARI JIHAD
Sejauh yang berkaitan dengan jihad ashghar yakni jihad bissayf (jihad dengan
pedang), para ulama dan fuqaha sebelum Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah
memberlakukan kondisi-kondisi khusus dan persyaratan terhadap jihad jenis ini yang
dalam istilah Alquran disebut qitaal. Malangnya, beriringan dengan jangka waktu yang
panjang, di kalangan umat Islam telah timbul makna yang keliru tentang jihad, yakni
jihad itu diartikan menyebarkan Islam melalui peperangan dan kekuatan pedang.
Mengenai hakikat jihad Islami, berikut ini dipaparkan sabda-sabda penuh makrifat
dari Pendiri Jemaat Ahmadiyah:
“Di zaman sekarang ini, di mana kita hidup di dalamnya, tidak ada
kebutuhan dan keperluan mutlak untuk melakukan peperangan lahiriah.
Melainkan, di akhir zaman ini yang dikehendaki adalah memperlihatkan
contoh peperangan non-lahiriah. Dan yang menjadi perhatian adalah
perlawanan rohani. Sebab, pada saat ini sarana-sarana dan persenjataan
untuk menyebar-luaskan kemurtadan rohani dan penyimpangan dari
agama telah banyak dibuat. Oleh karena itu untuk melawannya juga
diperlukan persenjataan semacam itu. Sebab, sekarang adalah zaman yang
aman dan damai. Dan kita memperoleh segala macam kemudahan serta
keamanan. Setiap orang dengan bebas dapat melakukan penyebaran dan
pertablighan agama masing-masing serta dapat melaksanakan perintah
agama masing-masing. Kemudian, Islam yang merupakan pendukung
sejati terhadap keamanan -- bahkan secara hakiki hanya Islamlah yang
merupakan penyebar keamanan, ketenteraman dan kedamaian --
bagaimana mungkin pada zaman sekarang ini Islam dapat menyukai untuk
memperlihatkan contoh pertama itu (peperangan lahiriah -peny.) dalam hal
keamanan dan kebebasan ? Jadi, pada masa sekarang inipun yang
dikehendaki adalah contoh kedua, yakni perlawanan rohani.” (Malfuzhat,
jld. 1, h. 58).
“Pada zaman ini jihad telah tampil dalam bentuk rohani. Dan jihad
pada zaman ini adalah berupaya gigih membuktikan kemuliaan dalam
Islam. Berilah tanggapan terhadap tuduhan-tuduhan para penentang. Dan
sebarkanlah keindahan-keindahan agama Islam yang kokoh di dunia.
Inilah jihad, sampai Allah Ta’ala menzahirkan bentuk lain di dunia ini.”
(Al-Badr, Qadian, 14 Agustus 1902).
“Saya tidak tahu dari mana dan dari siapa para penentang kita telah
mendengar bahwa Islam telah menyebar melalui kekuatan pedang. Allah
justru berfirman di dalam Quran Syarif ‘Laa ikraaha fiddiin,’ yakni di
dalam agama Islam tidak ada pemaksaan. Lalu, siapa pula yang telah
memerintahkan melakukan pemaksaan? Dan apa pula sarana-sarana untuk
melakukan pemaksaan saat itu ?” (Peygham-e-Sulh, h. 51 ).
24
An-Nahl: 128
102
Di dalamnya dinyatakan bahwa Inggris adalah Ulul-amri, dan ketaatan pada mereka
dinyatakan wajib. Fatwa ini ditanda-tangani oleh para ulama terkenal yang namanya
tertera di bawah ini:
14. Mullah Hafidz Haamid Syah, Khatib Masjid Jami' Mahaabat Khan, Peshawar.
15. Maulwi Abu Muhammad Ghulam Rasul Amritsari.
16. Maulwi Abdurrahman ibnu Maulwi Ghulam Ali Qashuri.
17. Maulwi Abdul Aziz Ludhianwi.
18. Maulwi Ghulam Ahmad, guru pertama Madrasah Nu'maniyah, Lahore.
19. Maulwi Muhammad Hussein Faidhi, guru Madrasah Nu'maniyah, Lahore.
20. Maulwi Sayyid Ahmad, Imam Masjid Jami' Delhi.
21. Qadhi Rafi'ullah, warga Baddani, distrik Peshawar.
22. Maulwi Abdul Jabar Ghaznawi Amritsari.
23. Sayyid Muhammad Abdussalam Dhelwi, cucu Maulana Syamsul 'Ulama Sayyid
Muhammad Nadzir Hussein Dhelwi.
24. Maulwi Muhammad Ibrahim Dhelwi, putra Maulwi Muhammad Hussein Faqir.
25. Sayyid Muhammad Abul Hasan Dhelwi, cucu Maulana Syamsul 'Ulama Sayyid
Muhammad Nadzir Hussein Dhelwi.
26. Maulwi Madah Basyir-wa-Nadzir, putra Maulwi Muhammad Hussein Faqir.
27. Maulwi Khalil Ahmad, guru pertama Madrasah Saharanpur.
28. Maulwi Rasyid Ahmad Ganggohi.
29. Mahmud Hasan, guru pertama Madrasah Deoband.
Di dalam fatwa yang telah dikeluarkan oleh para ulama tersebut atas permintaan
Anjuman Islamiyah Punjab, dengan jelas tertulis:
1. Berdasarkan agama Islam, membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, adalah
ilegal, haram, dan termasuk dalam dosa-dosa yang paling buruk. Tidak peduli apakah
itu Muslim, non-Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Parsi, dan sebagainya.
2. Antara Pemerintah Inggris dan segenap rakyatnya, secara eksplisit maupun implisit
telah terjadi kesepakatan mengenai perlindungan dan keselamatan bersama.
3. Ini sesuatu yang pasti, yakni barangsiapa membunuh salah seorang dari bangsa
Pemerintah ini maupun dari rakyatnya, maka berdasarkan hadits ini dia akan luput
dari aroma wangi surga:
"Di dalam buku I'laamul I'laam Bi-anna Hindustan Daarus Salaam, Faqir
telah membuktikan dengan dalil-dalil yang kuat bahwa Hindustan
merupakan daarus salaam (kawasan yang aman damai), dan menyebutnya
sebagai daarul harb (kawasan peperangan) sama-sekali tidak benar."
(Nushratul Abrar, h.29, Mathba' Shahafi, Lahore).
Sir Sayyid Ahmad Khan pendiri Universitas Aligarh menuliskan di dalam bukunya
Asbaab Baghaawat-e-Hind:
Inilah bukti bahwa nabi itu hidup dan berada dilangit. Jadi, betapa
kita harus mensyukuri Tuhan kita Yang Maha suci dan Maha perkasa,
yang telah menganugerahkan karunia untuk mencintai dan mengikuti Nabi
kesayangan-Nya, Muhammad Mushthafa s.a.w.. Dan kemudian dengan
menganugerahkan bagian sempurna berkat-berkat rohani akibat kecintaan
dan sikap mencintai itu, yang merupakan ketakwaan sejati dan Tanda
Samawi yang hakiki, Dia telah membuktikan kepada kita bahwa Nabi Suci
kesayangan kita itu belum wafat, melainkan beliau duduk di sebelah kanan
Malik Muqtadar-nya di Langit di atas tahta keagungan dan keperkasaan.
Di antara surat-surat kabar Muslim yang ulasannya paling kuat, berpengaruh, dan
menggambarkan hakikat sebenarnya, adalah surat kabar Wakyl dari Amritsar, yang tampil
dari tulisan Maulana Abul Kalaam Aazaad. Beliau menuliskan:
"Beliau adalah seorang yang sangat besar, dengan pena sihir, dan
lidah hipnotik. Beliau merupakan sosok yang dipenuhi keajaiban-
keajaiban di bidang pemikiran. Pandangan beliau menghebohkan, dan
suara beliau [membangkitkan] kiamat. Jaringan revolusi membentang dari
jari-jemari beliau. Kedua kepalan tangan beliau merupakan dua baterei
listrik. Beliau merupakan gempa dan topan bagi dunia agama sampai
tigapuluh tahun. Beliau bagaikan sangkakala kiamat yang terus
membangunkan orang-orang yang tertidur pulas. Beliau telah pergi dari
dunia ini tanpa membawa apa-apa…. Kewafatan Mirza Ghulam Ahmad
Sahib Qadiani tidak pantas untuk tidak diambil pelajaran darinya dan tidak
pantas untuk bersikap sabar dengan menyerahkannya kepada zaman yang
panjang agar dihapuskan [begitu saja dari ingatan]. Orang-orang yang
menimbulkan revolusi di dunia agama dan dunia pemikiran seperti itu,
tidak senantiasa datang ke dunia ini. Putra-putra terbaik sejarah ini sangat
sedikit tampil dalam pemandangan alam ini. Dan apabila mereka pergi,
mereka pergi dengan menciptakan revolusi di dunia.
25
Pendiri Jemaat Ahmadiyah -peny.
114
Pada bagian akhir artikel ini kami ingin memaparkan tentang tokoh Islam yang
agung, pemberani dan perkasa itu. Yakni, kehidupan beliau sepenuhnya telah diwakafkan
dalam jihad demi Agama Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam. Dalam menghadapi
Kristen, peperangan agama yang telah beliau lakukan di seluruh dunia, telah
menimbulkan kepanikan di dunia Kristen. Ya, beliaulah seorang panglima peraih
kemenangan yang para pengikutnya sampai saat ini selalu sibuk dalam jihad agung ini.
Dan setiap saat mereka selalu menaklukkan Kristen di setiap arena pertempuran baru.
Orang-orang yang gila dimabuk kecintaan terhadap Islam ini berperang melawan Kristen
di pelosok-pelosok dunia. Di Eropa, di Amerika, di benua hitam Afrika, di setiap arena
pertempuran, pihak Gereja menggigil akibat serangan-serangan mereka, dan dunia
Kristen tampak ketakutan. Gerakan bibir-bibir mereka membuat salib menjadi pecah.
Derap langkah-langkah mereka merupakan pesan kekalahan bagi Kristen. Disayangkan!
Sangat disayangkan! Terhadap tokoh Islam yang pemberani dan perkasa ini, serta
terhadap panglima Islam peraih kemenganan ini, sebagian orang yang bermulut aniaya
telah melontarkan kecaman pahit bahwa beliau -- na'udzubillaah -- merupakan kaki-
tangan pemerintah-pemerintah Kirsten.
Mengenai hal itu kami hanya dapat mengatakan demikian lalu menyerahkan
persoalan ini kepada Tuhan kami Yang Maha Mengetahui, Khabiir, dan Ghayyur. Yakni:
---------ooo0ooo----------
118
TINJAUAN TERHADAP
TUDUHAN-TUDUHAN LAINNYA
Mengenai yang pertama, dengan sangat hormat disampaikan bahwa Jemaat Ahmadiyah
adalah suatu kelompok yang teraniaya. Sejak awal para ulama telah mengeluarkan fatwa
atasnya. Pada tahun 1892 Maulwi Nadzir Hussein Dhelwi telah mengeluarkan fatwa
mengenai Pendiri Jemaat Ahmadiyah sebagai berikut:
"Orang yang menganggap baik Mirza dan orang yang seakidah dengan
Mirza, adalah terlepas dari Islam. Dan menjadikannya sebagai imam
tidaklah sah." (Syar'i Faishlah, h.24).
Kemudian, lebih hebat dari itu, mereka telah memberikan fatwa agar orang-orang
Ahmadi ini tidak dikuburkan di perkuburan orang-orang Islam. Maulwi Abdusshamad
Ghaznawi memberikan fatwa agar orang-orang ini tidak dikuburkan di perkuburan orang-
orang Islam supaya:
Demikian pula mereka telah memberikan fatwa bahwa bagi seorang Muslim tidak
dibenarkan untuk menyerahkan putri-putri mereka menikah dengan orang-orang Ahmadi.
Di dalam Syar'i Faishlah tertulis:
"Orang-orang yang menganut akidah itu, mereka juga kafir. Dan nikah
mereka tidak utuh lagi. Siapa saja yang mau, dapat menikahi istri-istri
122
Yakni, menurut para ulama, menikahi para istri orang-orang Ahmadi secara paksa adalah
sesuai [ajaran] Islam. Demikian pula mereka memberikan fatwa:
"Siapa saja yang mengikutinya, dia juga kafir dan murtad. Dan secara
syariat, pernikahan orang yang sudah murtad adalah batal/gugur. Dan
istrinya menjadi haram. Dan jika dia melakukan hubungan dengan
istrinya, berarti itu adalah zinah. Dan dalam kondisi demikian anak-anak
yang dilahirkan merupakan anak-anak haram." (Fatwa Dar Takfir Munkir
'Uruj Jismi wa Nuzul Isa a.s., cetakan tahun 1311 H).
Para ulama tidak hanya memberikan fatwa saja dalam menentang gerakan Ahmadiyah,
melainkan selalu berusaha menerapkan fatwa-fatwa itu secara keras, seperti yang tampak
dari tulisan penuh emosi di bawah ini yang terdapat di dalam buku Mukhaada'at
Musailamah Qadiani (terbitan 1901), tulisan Maulwi Abdul Ahad Janpuri, seorang murid
Pir Meher Ali Syah:
Di Pakistan pada masa sekarang ini kesibukan yang paling disukai para ulama
adalah mengupayakan dengan berbagai cara agar Jemaat Ahmadiyah dinyatakan non-
Muslim minoritas. Dalam kaitan itu banyak sekali literatur yang telah diterbitkan, di
dalamnya bukan dalil-dalil tetapi lebih banyak diisi oleh tuduhan-tuduhan yang penuh
emosi dan tanpa dasar, serta dipenuhi caci-makian. Dan kebanyakan adalah pengulangan
hal-hal yang pernah diterbitkan pada tahun 1952-1953 untuk menimbulkan emosi sangat
keras di kalangan masyarakat umum yang berpemikiran sederhana. Dr.Ghulam Jailani
Baraq menyinggung literatur semacam itu di dalam bukunya Harf-e-Muharramanah
dengan kata-kata berikut:
"Hingga saat ini, sekian banyak literatur yang dipaparkan para ulama
Islam terhadap Ahmadiyah, di dalamnya dalil-dalil sedikit, sedangkan
caci-makian banyak. Literatur yang penuh caci-makian seperti itu, siapa
yang akan membacanya ? Dan kata-kata kotor demikian siapa yang akan
mendengarnya?" (Harf-e-Muharramanah, h.12).
Pada tahun 1953, ketika kata-kata kotor dan caci makian ini telah membangkitkan
emosi masyarakat umum, tiba-tiba saja Maududi memanfaatkan kondisi itu, dan untuk
menggunakan suasana yang mudah terbakar itu, demi tujuan-tujuannya sendiri, dia telah
mengetengahkan minyak pembakar [berupa buku] yang dinamakan Qadiani Mas'alah.
Tujuan penerbitan buku ini sama-saja seperti literatur-literatur yang telah diterbitkan
sebelumnya. Namun, di situ telah diusahakan untuk menonjolkan bahwa di dalamnya
sedikit terdapat caci-makian dan kata-kata kotor, sedangkan yang banyak adalah dalil-
dalil. Pada pandangan masyarakat umum yang sederhana memiliki sedikit ilmu, tampak
bahwa hal-hal itu mungkin benar, yaitu orang-orang yang tidak mahir meneliti dalil-dalil.
Dan sebagaimana khalayak umum menganggap air yang dicampur warna oleh para
tukang obat penipu sebagai obat mujarab lalu membelinya, demikian pula orang-orang
awam telah menganggap buku Qadiani Mas'alah sebagai buku yang ampuh penuh dalil.
Jadi, kami tidak bisa berkata apa-apa. Namun, nilai dalil-dalil tersebut pada pandangan
beberapa ulama non-Ahmadi yang terkenal, dapat terbaca dari kata-kata Ghulam Ahmad
Parwez, editor Thulu'-e-Islam, sebagai berikut:
Pada saat ini, dari kecaman-kecaman yang telah ditampilkan dalam buku itu, dan
yang sekarang banyak diulangi kembali, kami mengambil satu kecaman pokok. Yakni,
mengapa orang-orang Ahmadi tidak shalat bermakmum di belakang orang-orang non-
Ahmadi? Dan dikarenakan orang-orang Ahmadi berbuat demikian, oleh sebab itu terbukti
bahwa mereka adalah suatu umat tersendiri dan pantas untuk dinyatakan non-Muslim
minoritas.
124
Salah satu jawaban bagi kecaman tersebut kami berikan secara ringkas. Jawaban
ini sebenarnya menyangkal kebanyakan kecaman yang terdapat di dalam buku Qadiani
Mas'alah. Bahkan kalau ada pembaca yang bersifat adil/jujur dan sedikitpun tidak
meninggalkan nilai-nilai keadilan/kejujuran Islami, maka dia akan terpaksa mengakui
bahwa seandainya diterima dalil-dalil yang terdapat dalam buku Qadiani Mas'alah dan
buku-buku sejenisnya, maka jangankan golongan Qadiani, justru setiap golongan lainnya
menjadi sangat mutlak untuk dinyatakan non-Muslim minoritas secara adil/jujur. Namun,
itu hanyalah persoalan sambilan. Sedangkan persoalan utama yang menjadi perhatian
kami pada saat ini adalah, mengapa orang-orang Ahmadi tidak shalat di belakang orang-
orang non-Ahmadi.
Maka, dengarkanlah! Salah satu penyebab dari sekian banyak sebab mengapa
tidak bermakmum di belakang orang-orang non-Ahmadi adalah fatwa-fatwa yang telah
dikeluarkan para ulama non-Ahmadi yang berkuasa, terkenal dan menduduki posisi
penting. Yaitu fatwa-fatwa yang dengan keras melarang orang-orang Muslim
bermakmum di belakang satu sama lain.
PERTAMA: Anda dapat bersikap adil sendiri, yakni apakah kami harus bermakmum di
belakang orang-orang Deobandi yang mengenai mereka terdapat fatwa berikut ini yang
bukan berasal dari para Ahmadi, tetapi berasal dari ulama-ulama besar non-Ahmadi:
Di dalam selebaran ini tertulis nama banyak sekali ulama. Misalnya, Sayyid Jama'at Ali
Syah, Hamid Ridha Khan Qadiri Nuri Ridhwi Brelwi, Muhammad Karam Diin Bhin,
Muhammad Jamil Ahmad Badayuni, Umar An-Na'imi Mufti Syara', dan Abu
Muhammad Didar Ali Mufti Akbarabad, dan sebagainya….
"Pembuat fatwa ini tidak hanya para ulama Hindustan saja. Melainkan,
ketika tulisan-tulisan Wahabi Deobandi ini diterjemahkan dan dikirimkan,
maka para ulama ahlus sunnah di seluruh dunia, di Afghanistan, Khaywa,
Bukhara, Iran, Mesir, Roma, Syiria, Makkah Mu'azzhamah dan Madinah
Munawwarah dan sebagainya, segenap negara Arab, Kufah, Baghdad,
telah sepakat memberikan fatwa demikian." (Muhammad Ibrahim
Bhagalpuri, cetakan Hasan Barqi Press, Ishtiaq Manzil no.63, Hawitt
Road, Lucknow, atas upaya Manager Syekh Syaukat Hussein. Tanpa
tahun penerbitan, tetapi merupakan fatwa yang dikeluarkan sebelum
terbentuknya Pakistan.).
Artinya: Mereka adalah orang-orang kafir yang bejad. Raja Islam yang
memiliki kuasa untuk menghukum dan memiliki pedang serta senjata,
berkewajiban untuk membunuh mereka. Dan itu lebih baik dari
membunuh seribu orang kafir, sebab mereka adalah orang-orang terkutuk
dan terikat dalam jaringan orang-orang kotor. Maka, kutukan Allah atas
mereka dan atas orang-orang yang membantu mereka. Dan rahmat serta
berkat Allah atas orang yang membiarkan/mengabaikan mereka dalam
sepak-terjang mereka itu. (Maulwi Abdul Karim Naaji Daghestani,
Mekkah, Husaamul Harmaen 'Alaa Manharil Kufri wal-Miin, h. 176-179,
oleh Maulana Ahmad Ridha Khan Brelwi, cetakan Ahlus Sunnah wal-
Jama'ah Brelwi, 1324-1326 H / 1906-1908 M).
126
"Orang yang menyatakan taqlid (mengikuti keempat imam) itu haram dan
menyatakan para muqallid (pengikut keempat imam) sebagai musyrik,
secara Syariat dia adalah kafir, bahkan telah murtad…. Dan pemerintah-
pemerintah Islam berkewajiban membunuhnya. Dan alasan 'saya tidak
tahu' tidak dapat diterima secara Syariat. Bahkan setelah bertobatpun dia
harus dibunuh. Yakni, walaupun dengan bertobat dia menjadi Muslim,
tetapi bagi orang seperti itu hukumannya secara Syariat, pemerintah Islam
harus membunuhnya. Yakni, sebagaimana hukuman zinah tidak gugur
dengan adanya tobat, demikian pula hukuman ini tidak hapus dengan cara
melakukan tobat. Para ulama dan para mufti yang ada saat itu,
berkewajiban untuk tidak sungkan-sungkan memberikan fatwa kufur dan
murtad, walau hanya mendengar satu hal itu saja. Jika tidak, maka
merekapun akan termasuk dalam golongan orang murtad." (Intizhamul
Masaajid Biikhraaj Ahlil Fitan wal Makaaid wal Mafaasid, h.5-7, Ja'fari
Press Lahore, oleh Maulwi Muhammad ibnu Maulwi Abdul Qadir
Ludhianwi).
127
KETIGA: Kemudian, apakah kami harus menjadi kafir dengan shalat bermakmum di
belakang orang-orang Brelwi yang mengenai mereka para ulama Deobandi memberikan
perintah syar'i kepada kita sebagai berikut:
Atau, mengenai mereka, seorang ulama terkenal dari Deobandi, Maulwi Sayyid Hussein
Ahmad Madani, mantan ketua guru Daarul 'Uluum Deoband, menjelaskan:
"Jika maksud para pemberi saran ini adalah bahwa Syariat hanyalah apa
yang terdapat di dalam Alquran, sedangkan segala sesuatu di luar itu
bukanlah Syariat, berarti itu jelas-jelas kekufuran. Dan kekufuran itu
benar-benar sama dengan kekufuran orang-orang Qadiani, bahkan lebih
parah dan lebih hebat dari itu." (Artikel Maulana Amin Ahsan Ishlahi,
harian Tasnim, Lahore, 15 Agustus 1952, h.12).
KEENAM: Kemudian, apakah dengan shalat bermakmum di belakang Jama'at Islami kita
dapat melindungi/memelihara keislaman kita ? Padahal mengenai mereka terdapat fatwa
telak dari para ulama Brelwi maupun Deobandi sebagai berikut:
pemikirannya. Dan jangan anggap dia sebagai khadim Islam, serta jangan
tertipu olehnya.
Rasulullah s.a.w. telah bersabda bahwa sebelum kedatangan dajjal
yang sebenarnya, akan lahir tigapuluh dajjal lain yang akan membersihkan
jalan bagi dajjal yang sebenarnya itu. Dalam pemahaman saya, dari
ketigapuluh dajjal tersebut salah satu di antaranya adalah Maududi."
(Muhammad Shadiq, Pimpinan Madrasah Mazharul 'Uluum, Mahalah
Kadh, Karachi, 28 Dzulhijjah 1371 H, 19 September 1952 M, Haq Parast
Ulama Ki Maududiyyat Se Naarazgi Ke Asbaab, h. 97, oleh Maulwi
Ahmad Ali, Anjuman Khuddamuddin, Lahore).
"Saya, pada hari ini, di tempat ini, di Press Club Hyderabad, memberikan
fatwa bahwa Maududi adalah sesat, kafir, dan keluar dari Islam. Shalat
bermakmum di belakangnya dan di belakang maulwi/ulama tertentu yang
berhubungan dengan jemaatnya, adalah tidak sah dan haram. Menjalin
hubungan dengan jemaatnya jelas-jelas merupakan kekufuran dan
kesesatan. Dia adalah agen Amerika dan agen para kapitalis. Sekarang dia
telah tiba di ambang akhir kematiannya. Dan sekarang tidak ada suatu
kekuatanpun yang dapat menyelamatkannya. Jenazahnya akan keluar."
(Mingguan Zindegi, 10 Nopember 1969, dari Jam'iyyah Guard, Lailpur).
KETUJUH: Apakah kami harus shalat bermakmum di belakang para ulama Ahrar?
Padahal seorang tokoh yang mengetahui rahasia tentang mereka, Maulwi Zhafar Ali
Khan menyatakan bahwa pada hakikatnya orang-orang ini tidak hanya benci terhadap
Islam, melainkan nyata-nyata merupakan pengkhianat Islam. Simaklah:
Kemudian, dalam mendukung Maulwi Zhafar Ali Khan, Maulana Maududi mengatakan:
"Dari upaya itu ada dua hal yang betul-betul tampil di hadapan saya.
Pertama, di hadapan Ahrar yang menjadi persoalan inti bukanlah
Tahaffudz Khatamun Nubuwwat (pembelaan terhadap Khatamun
Nubuwwat), melainkan nama dan penghargaan. Dan orang-orang ini ingin
mempertaruhkan nyawa dan harta umat Islam dalam perjudian untuk
tujuan-tujuan mereka. Yang kedua, setelah tercapai kesepakatan mengenai
sebuah resolusi, pada malam hari beberapa orang ini berkumpul terpisah
melakukan persekongkolan dan menyusun sebuah resolusi tersendiri….
Saya merasakan bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan niat dan
cara-cara itu tidak pernah dapat menimbulkan kebaikan di dalamnya.
Orang-orang yang bermain dengan nama Allah dan Rasul untuk tujuan-
tujuan mereka, yang menggunakan kepala-kepala umat Islam seperti buah-
buah catur, tidak pernah dapat memperoleh dukungan Allah." (Harian
Tasnim, Lahore, 2 Juli 1955, h.3, kolom 4, 5)
Ini adalah beberapa kutipan dari fatwa-fatwa sangat panjang yang dipaparkan
dengan sangat ringkas, hanya sebagai contoh.
Simaklah fatwa-fatwa ini oleh anda. Semoga Allah Ta'ala mengasihi umat Islam.
Tentu anda terduduk dengan menahan kalbu dan memegangi kepala. Namun, pada waktu
ini izinkanlah kami untuk sekedar bertanya, apakah dengan adanya fatwa-fatwa yang
mengecutkan kalbu ini masih tersisa kecaman bagi orang-orang Ahmadi, yakni mengapa
mereka tidak shalat bermakmum di belakang imam-imam dari golongan/firqah-firqah
tersebut itu ?
Demi Allah, bersikap adillah sedikit. Takutlah sedikit terhadap Tuhan.
Terapkanlah rasa malu sebagai hamba Junjungan Kedua Alam, Wujud Keadilan, Yang
Mulia Muhammad Mushthafa shallallaahu 'alaihi wasallam. Dan katakanlah, para ulama
dari kebanyakan golongan yang tersebut di atas, yang pada hakikatnya berbuat aniaya
dan tidak adil terhadap Jemaat Ahmadiyah, sejauh mana pantas bagi seorang Muslim?
Dan sejauh mana yang merupakan karakter mulia seorang hamba Rahmatul Lil'aalamiin?
Jika shalat bermakmum di belakang mereka akan menjadi kafir, dan jika tidak
bermakmum di belakang merekapun menjadi kafir. Jadi, kemana lagi harus pergi?
Apakah untuk tetap menjadi Muslim hanya tinggal satu jalan saja lagi, yakni seperti
kalangan mayoritas, shalat itu sama-sekali ditinggalkan saja? Keputusan para ulama
sekarang ini adalah, jika ingin tetap menjadi Muslim, maka janganlah shalat. Sebab, jika
tidak, shalat bermakmum di belakang siapa sajapun, kalian akan dinyatakan kafir dan ahli
neraka. Satu-satunya jalan yang tersisa untuk selamat adalah tidak shalat bermakmum di
belakang siapapun. Jadi, jalan inipun sudah ditutup bagi orang-orang Ahmadi. Dan telah
132
pula difatwakan bahwa siapa saja yang shalat bermakmum di belakang golongan lain
maka dia akan menjadi kafir; dan yang shalat di belakang non-Muslim minoritas juga
akan menjadi kafir; jika tidak shalat sama-sekalipun akan menjadi kafir. Akhirnya,
kemana lagi harus pergi ? Atau, sebagaimana yang dikatakan oleh Aatish: "Jangan-
jangan ada yang mati/korban. Jika ada, apa yang harus dilakukan?"
Orang-orang bijak telah menuliskan sebuah kisah yang mengejek keadilan
semacam itu. Yakni, ada seekor anak domba yang sedang minum di sebuah anak sungai.
Lalu datang seekor srigala dari bagian atas/hulu, dan membentak: "Apa engkau tidak tahu
bahwa aku sedang minum tadi ? Berani-beraninya engkau mengotori air ini?" Anak
domba itu berkata, "Yang Mulia, saya minum air di bagian bawah/hilir. Bagaimana pula
air Tuan bisa tercemar, padahal Tuan minum di bagian atas/hulu?" Srigala itu marah lalu
berkata,"Oh, engkau berani macam-macam di hadapanku ? Engkau katakan aku berdusta
? Terkutuk ! Sudah, sudah, hukuman bagimu adalah, engkau harus dikoyak-koyak lalu
dimakan."
Para ulama ini hendaknya diingatkan sedikit agar takut kepada Tuhan. Anda
membaca kisah srigala dan anak domba ini. Anda merasa kasihan terhadap anak domba
itu, dan kesal terhadap srigala tersebut. Namun, saat ini yang ada di hadapan mata anda
bukanlah anak-anak domba, justru perlakuan seperti itu sedang diterapkan kepada anak-
anak manusia. Bukan dalam kisah dongeng, justru di dalam kehidupan sehari-hari di
dunia ini keaniayaan itu sedang dilancarkan sebagai suatu kenyataan yang mengerikan.
Dan tidak ada satu kata protespun yang keluar dari mulut anda.
Demi Allah, paling tidak, katakanlah kepada para ulama ini, seandainya mereka
memang harus mengambil jalan aniaya ini dan ingin menerapkan hukum rimba, serta
kebanggaan atas kekuatan zahiriah telah mengambil keputusan untuk melanggar hukum
keadilan Allah Ta'ala dengan harga apapun, maka setidak-tidaknya berhentilah mereka
melibatkan nama suci Islam dalam sikap-sikap mereka itu. Mohon mereka berbuat baik
sedikit, yakni jangan nodai Rasul Arabi shallallaahu 'alaihi wasallam -- yang deminya
kami korbankan ayah dan ibu kami -- dalam perkara ini. Apalah perlunya bagi rasa
bangga mengandalkan kekuatan dan jumlah besar itu untuk bertumpu pada dalil-dalil
yang lemah dan rapuh ini ?
Jika mereka memang harus memenuhi tekad-tekad mereka itu dengan
mengorbankan nilai-nilai keadilan Islami, maka tinggalkanlah "dalil-dalil" ini dan
janganlah bertumpu pada lidi-lidi halus ini. Dengan jantan masuklah ke arena
"pertempuran," dan lakukanlah apa yang harus mereka lakukan. Kemudian mereka
saksikanlah dengan mata mereka sendiri, Tuhan Islam dan Rasul Islam berada di pihak
siapa ? Dan kancah bala-bencana serta penderitaan-penderitaan ini telah membuktikan
siapa yang merupakan hamba Yang Mulia Muhammad Mushthafa shallallaahu 'alaihi
wasallam yang sejati, tulus, yang penuh pengorbanan, yang paling cinta, dan yang paling
setia ?
Insya Allah, anda akan menyaksikan dan waktu akan membuktikan bahwa setiap
Ahmadi adalah benar dalam penda'waannya ini:
"Ya, wahai Rasul s.a.w. yang kucintai! Jika di kawasan engkau hanya
berlaku tradisi pemenggalan kepala bagi orang-orang yang dimabuk cinta,
133
maka akulah dan akulah orang pertama yang akan meneriakkan slogan
kecintaan!!" (Mubarak Mahmud, Raam Gali no.3, Branderth Road,
Lahore).
Ada satu lagi tuduhan sangat aniaya dan penuh kedustaan yang telah dilontarkan.
Yakni, bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah dan para pengikut beliau -- ma'adzallaah --
telah melakukan perubahan pada teks dan makna dalam Quran Majid. Padahal Pendiri
Jemaat Ahmadiyah dan Jemaat beliau adalah satu-satunya golongan yang menganut
akidah bahwa tidak ada satupun ayat atau kata dalam Quran Majid yang bisa mansukh
maupun dapat dirubah. Dan Quran Syarif itu adalah sebuah kitab yang terpelihara untuk
selamanya.
Disayangkan bahwa para ulama, semata-mata untuk menghasut emosi, pada masa
mereka masing-masing telah melontarkan tuduhan atas Jemaat Ahmadiyah melakukan
perubahan dalam Alquran. Mereka memaparkan dari beberapa buku Jemaat Ahmadiyah
sejumlah ayat yang salah cetak akibat kesilapan dalam penulisan, lalu mereka lakukan
upaya tercela untuk membuktikan bahwa -- na'udzubillaah -- Jemaat Ahmadiyah telah
bersalah melakukan perubahan dalam Quran Karim. Namun, mereka lupa bahwa
kesalahan cetak yang mereka paparkan sebagai bukti tuduhan melakukan perubahan itu,
juga terdapat di dalam buku-buku setiap penulis.
Dalam berbagai terbitan media Jemaat Ahmadiyah, Al-Fadhl, telah dipaparkan
contoh-contoh dari berbagai buku terbitan para ulama berikut ini, yang di dalamnya
terdapat kesalahan cetak beberapa ayat Quran Karim:
11. Imam Ghazali rahmatullaah 'alaihi (Arba'iin Fii Ushuluddiin, terjemahan Urdu,
terbitan Malik Fazluddin dsb., Lahore).
12. Pimpinan Daarul 'Uluum Deoband, Qari Muhammad Thayyib. (Ta'limaat-e-Islam
Aor Masihi Aqwaam, terbitan Nadwatul Mushanniffiin, Delhi).
13. Maulana Sayyid Muhammad Daud Ghaznawi (Mingguan Al-I'tishaam, 4 April 1958).
14. Maulwi Tsanaaullah Amritsari (Fatawa Tsanaaiyyah, jld.1, Mohinpura, Bombay,
no.11, Maktabah Isyaa'at Diniyaat).
15. Maulwi Muhammad Bakhs Muslim, Lahore. (Kitaabul Akhlaaq).
16. Maulwi Abdurrauf Rahmani (Mingguan Al-I'tishaam, Lahore, 11 Januari 1963).
17. Maulwi Muhammad Ismail, Amir Ahli Hadits. (Mingguan Al-I'tishaam, Lahore, 28
Januari 1963).
18. 'Allamah Sayyid Manazhir Ahsan Gilaani (Thabqaat, terjemahan 'Allamah Manazhir
Ahsan Gilaani, Al-Lajnatul Ilmiyah, Hyderabad).
19. Maulana Kautsar Niyazi, Menteri Urusan Waqaf dan Haji (Islam Hamara Diin Hein,
Feroze Sons, Lahore).
20. Mullah Wahidi Dhelwi. (Hayaat-e-Sarwar-e-Kaainaat, jld.2).
21. Mufti Mahmud, Sekjen Jam'iyyat Islam. (Adzaan-e-Sihr, kumpulan interview dan
pidato Mufti Mahmud, terbitan Aziz Publications, Lahore).
22. Maulana Mahmud Ahmad, editor Ridhwan. (Mingguan Ridhwan, Lahore, 28 Februari
1953).
23. Mufti Muhammad Naimuddin (Majmu'ah Afadhat-e-Shadrul Afadhil, terbitan Idarah
Naimiyyah Ridhwiyyah, Lahore).
24. Maulana Sayyid Abul A'laa Maududi (Al-Jihad Fil-Islam, cetakan kedua, 1948 M,
terbitan Achrah, Lahore).
25. Maulana Syamsul Haq Afghani Bahawalpur (Mingguan Laulaak, Lailpur, 7 Juni
1968).
26. Ghulam Jailani Baraq (Harf-e-Muharramanah, Ahmadiyyat Par Eik Nazhar).
Jika menyatakan kesalahan cetak itu sebagai upaya merubah [Alquran] adalah
benar, maka apakah segenap ulama terhormat ini akan dinyatakan sebagai orang-orang
yang melakukan perubahan pada Quran Syarif ? Dalam kaitan ini kami melampirkan
sebuah pamplet yang berjudul Hadhrat Baani Silsilah Ahmadiyyah Aor Tahrif-e-Qur'an
Ke Buhtaan Ki Tardiid (suplemen no.12).
Tuduhan melakukan perubahan pada makna, sebenarnya adalah tanpa dasar. Para
ulama telah melakukan berbagai penerjemahan terhadap Quran Majid, dan telah
menuliskan tafsir-tafsir. Jika perbedaan [makna] itu dinyatakan sebagai upaya merubah,
berarti segenap mufassir dan ulama-ulama terpaksa akan dinyatakan bersalah telah
melakukan perubahan pada Alquran.
Hendaknya diingat bahwa makrifat-makrifat dan hakikat-hakikat Alquran terbuka
kepada orang-orang yang bersih dan suci. Allah Ta'ala berfirman:
---------ooo0ooo---------
136
PERMOHONAN PENTING
KE HADAPAN PARA ANGGOTA
PARLEMEN TERHORMAT
mengadu-domba dan menghapuskan umat Islam Pakistan. Hal itu sejak lama sudah
dipaparkan oleh Ketua Bazm-e-Tsaqaafat-e-Islamiyah, Khalifah Abdul Hakim di dalam
kata-kata berikut. Beliau menuliskan:
Dari tulisan di atas tampak jelas latar-belakang gerakan yang telah dijalankan di tanah
yang suci ini (Pakistan) dengan menggunakan nama suci Khatamun Nubuwwat. Abul
A'laa Maududi, dengan mengisyaratkan pada peristiwa tahun 1953, telah memberikan
keterangan yang mengejutkan ini dalam sebuah penjelasan khusus [mengenai kelompok
Ahrar]:
"Dari upaya itu ada dua hal yang betul-betul tampil di hadapan saya.
Pertama, di hadapan Ahrar yang menjadi persoalan inti bukanlah
Tahaffudz Khatamun Nubuwwat (pembelaan terhadap Khatamun
Nubuwwat), melainkan nama dan penghargaan. Dan orang-orang ini ingin
mempertaruhkan nyawa dan harta umat Islam dalam perjudian untuk
tujuan-tujuan mereka. Yang kedua, setelah tercapai kesepakatan mengenai
sebuah resolusi, pada malam hari beberapa orang ini berkumpul terpisah
melakukan persekongkolan dan menyusun sebuah resolusi tersendiri….
Saya merasakan bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan niat dan
cara-cara itu tidak pernah dapat menimbulkan kebaikan di dalamnya.
Orang-orang yang bermain dengan nama Allah dan Rasul untuk tujuan-
tujuan mereka, yang menggunakan kepala-kepala umat Islam seperti buah-
26
Sekte yang mendewakan Ali r.a. -peny.
138
Dengan latar belakang ini, jika diteliti masa lampau Pakistan dan kondisi yang
sudah terbentuk saat ini, maka dengan jelas akan diketahui bahwa walaupun pada tahap
ini hanya Jemaat Ahmadiyah saja yang gencar dinyatakan non-Muslim minoritas, tetapi
di bawah suatu perencanaan yang sudah dibentuk sejak lama oleh para musuh Pakistan,
jelas sudah terbuka suatu jalan lebar untuk menimbulkan fitnah/serangan-serangan
terhadap firqah-firqah lain dalam umat Islam. Dan setelah tahun 1953, selain terhadap
orang-orang Ahmadi, telah mulai timbul juga suara-suara tinggi untuk menyatakan
beberapa golongan lain sebagai non-Muslim minoritas. Pada permulaan Maret 1953, di
seluruh tempat di Karachi telah dipasang selebaran dengan judul Muthaalabaat
(Tuntutan). Selebaran itu disalin seutuhnya di bawah ini:
MUTHAALABAAT
(Tuntutan)
Golongan Deobandi Harus Dinyatakan Sebagai
Golongan Minoritas Tersendiri
Kekhawatiran yang telah dipaparkan oleh Al-Muntazhar itu, dua tahun kemudian telah
menjadi kenyataan. Bukti dokumennya adalah resolusi Konferensi Khilafat Rasyidah di
Multan, berikut ini:
Para ulama golongan Ahli Hadits secara amalan telah mengumumkan dukungan
mereka terhadap resolusi tersebut di atas. Dan seperti orang-orang Ahmadi, orang-orang
Syi'ah inipun terus menerus dinyatakan sebagai pengingkar Khatamun Nubuwwat.
Maulana Hanif Nadwi menuliskan:
----------ooo0ooo-----------
142
AKIDAH-AKIDAH
BERBAGAI GOLONGAN DI PAKISTAN
YANG MENJADI SOROTAN
GOLONGAN LAINNYA
143
Golongan Brelwi
12. Mereka percaya bahwa yang membuat Rasulullah s.a.w. mencapai Arasy adalah
Sayyid Abdul Qadir Jaelani. (Guldastah-e-Karaamaat, h. 18).
13. Mereka berakidah bahwa Rasulllah s.a.w. adalah 'aalimul-ghaib (mengetahui segala
hal ghaib), haadhir (berada dimana-mana) dan naazhir (menyaksikan segala sesuatu).
(Al-'Aqaaid, h.24, oleh Abul Hasanaat Sayyid Muhammad Ahmad Qadiri).
14. Mereka percaya bahwa Jibril senantiasa turun hingga hari Kiamat. (Dalaailus Suluk,
h. 127, oleh Maulana Allah Yaar Khan, Chakralah, distrik Mianwali).
15. Mereka menghinakan Fatimah r.a. dan Aisyah r.a.. (Irsyaad-e-Rahmaani wa Fadhl-e-
Yazedaani, oleh Maulwi Muhammad Ali Munggiri, h. 51, 52; Guldastah-e-
Karaamaat, h.94).
Golongan Deobandi
Kebanyakan rujukan yang tertera di atas diambil dari buku Deobandi Mazhab karangan
Maulana Ghulam Meher Ali Syah.
Ahli Hadits
27
1957 (? ) -peny.
146
Jama'at Islami
Kebanyakan rujukan yang tertera di atas, terdapat di dalam buku Maududi Syeh Paare.
1. Secara Syari'at, mereka tidak mengakui hadits-hadits sebagai sesuatu yang dapat
dipercayai.
2. Mereka mengartikan kata Allah sebagai masyarakat Qur'ani. (Nizhaam-e-Rabubiyyat,
h. 172, oleh Ghulam Ahmad Parwez).
3. Pemerintahan Qur'ani mempunyai kuasa untuk mengurangi dan menambah bagian-
bagian shalat dan zakat. (Qur'ani Fayshle, h. 12; Firdaus-e-Gum Gasytah, h.351;
Khudaa Aor Sarmaayahdaar, h. 136, terbitan Idarah Thulu'-e-Islam).
4. Rasulullah s.a.w. bukanlah Khaatamun Nabiyyiin, melainkan Quran Majid-lah yang
merupakan Khaatamun Nabiyyiin. (Isyaa'atul Qur'an, 15 Juni 1924, h. 31).
5. Setiap orang yang mengamalkan Alquran, adalah Mahdi.( Isyaa'atul Qur'an, Lahore,
15 Nopember 1924).
6. Mereka mengingkari Mi'raj. (Nawaadiraat, h. 17, oleh 'Allamah Aslam Jirachpuri).
7. Mereka menyambut kedatangan Pemerintahan Inggris. (Isyaa'atul Qur'an, 15 Juni
1924, h. 29-32).
Golongan Syi'ah
6. Selama seseorang belum mengikrarkan keitaatan terhadap bagian ketiga, yakni Ulul
Amri, maka selama itu pula dia tidak dapat dikatakan Muslim. (Ma'aarif-e-Islam,
Lahore, Ali dan Fatimah, no. Oktober 1968, h. 74).
7. Alquran sebenarnya diturunkan kepada Ali r.a.. (Risalah Nurtan, h.37).
8. Ali r.a. lebih afdhal dari segenap nabi. (Ghinyatuth Thaalibiin dan Haqqul Yaqiin
Majlisi, bab 5).
9. Jika tidak ada Ali r.a. pada malam Mi'raj, maka sedikitpun tidak ada artinya
Muhammad Rasulullah. (Jalaaul 'Ayuun Majlisi, Khilaafat-e-Syekhein, h. 17).
10. Alquran asli ada pada Imam Mahdi, yang terdiri dari 40 juz. Alquran yang ada saat
ini merupakan kitab Usmani, dan di dalamnya terdapat kekurangan sebanyak 10 juz
(Asbaaqul Khilafat, Tafsir Lawaami'ut Tanziil, jld. 4, oleh Sayyid Ali Al-Haairi,
Lahore; Tafsir Shaafi, jld. 22, h. 411).
11. Izrail mencabut nyawa-nyawa adalah atas perintah Ali r.a.. (Tadzkiratul Aimmah, h.
91).
12. Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. suka pada kecantikan Fatimah, dan karena itulah ia
hijrah. (Kaamil Bhai dan Khilaafat-e-Syekhein, h. 41).
13. Umar r.a. menderita suatu penyakit yang mengakibatkannya tidak tenang jika tidak
menyalurkan syahwatnya. (Az-Zahra, dikutip dari Syi'ah Sunni Ittihaad, h. 4).
14. Yang pertama kali melakukan bai'at Khilafat kepada Abu Bakar r.a. di mimbar
Nabawi di Masjid Nabawi adalah setan. (Imaami Imaam A'zham Thausi Syi'i dan
Khilaafat-e-Syekhein, h. 25).
15. Di mana saja dalam Quran Majid terdapat kata "wa qaalasy-syaythaan," di situ yang
dimaksud adalah sang Tsaani (Umar). (Dikutip dari Maqbul Qur'an Imaamiyah, h.
512).
16. Abu Bakar r.a., Umar r.a. dan Usman r.a. adalah kafir dan fasiq. (Hayaatul Qulub
Majlisi, bab 51).
17. Setan menjelma dalam rupa Ali r.a., lalu telah dibunuh. (Tadzkiratul Aimmah, h. 91).
18. Selain enam orang sahabah… selebihnya segenap sahabah Rasul adalah murtad dan
munafik. (Wafaatun Nabi, Salim ibnu Qasir Al-Halaali; Majaalisul Mu'miniin,
majelis ke-3, Qadhi Nurullah; Hayaatul Qulub, bab 51, h. 11).
19. Umar r.a. menjelma dalam bentuk anjing betina, lalu melahirkan enam ekor anak,
sangat hina. ('Iysaaiyyat Aor Islam Musalmaan Baadsyaahung Ke Tahat, h. 242).
20. Banyak tuduhan sangat kotor terhadap Rasulullah …. (Khulaashatul Minhaj Qalamy,
jld. 1, di bawah ayat surah An-Nisaa).
21. Ali r.a. dan imam-imamnya yang lain adalah lebih mulia dari segenap nabi. (Haqqul
Yaqiin Majlisi, bab 5).
22. Selain kelompok kami, semua orang adalah anak-anak para pelacur. (Al-Furuu' Minal
Jaami'il Kaafi, jld. 3; Kitaabur Raudhah, h. 135).
23. Jika suatu jenazah itu bukan Syi'ah, dan merupakan musuh Ahlul Bait, dan shalat
terpaksa dilakukan, maka setelah takbir keempat bacalah "Allaahumma…." Yakni,
"Wahai Allah, masukkanlah dia ke dalam azab api neraka." (Tuhfatul 'Awaam, h. 216,
217, edisi ke-4).
149
"Tugas kita adalah mengakui setiap orang yang mempercayai 'Laa ilaaha
illallaah Muhammadur rasulullaah' sebagai Muslim, dan untuk
selamanya meninggalkan [upaya] pengkafiran terhadap orang Muslim.
Bahkan sudah tiba saatnya agar Pemerintah Islam menyatakan [upaya]
pengkafiran terhadap orang-orang Muslim itu sebagai suatu
kejahatan/pelanggaran secara hukum. Sehingga masyarakat Islam
menjadi bersih dari kutukan ini untuk selamanya." (Harian Aafaaq, 5
Desember 1952).
-----------ooo0ooo-----------
150
PERINGATAN TEGAS
DARI PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH
151
"Dunia tidak mengenal saya. Namun, Dia yang telah mengutus saya,
mengenal saya. Ini adalah kesalahan orang-orang itu, dan sebenarnya
merupakan kesialan nasib mereka bahwa mereka menghendaki
kehancuran saya. Saya adalah pohon yang ditanam sendiri oleh Malik
Haqiqi melalui tangan-Nya….
Wahai orang-orang! Pahamilah oleh kalian dengan seyakin-
yakinnya, pada saya terdapat 'Tangan' yang sampai saat akhir akan terus
setia. Jika kaum laki-laki kalian, kaum perempuan kalian, para pemuda
kalian, orang-orang tua kalian, anak-anak kecil kalian, dan orang-orang
dewasa kalian semuanya bersatu memanjatkan doa-doa untuk
membinasakan saya, sampai-sampai hidung mereka hancur karena terus-
menerus bersujud dan tangan-tangan menjadi kebas keletihan, maka tetap
saja Tuhan sama-sekali tidak akan mendengarkan doa-doa kalian. Dan Dia
tidak akan berhenti selama Dia belum menyelesaikan pekerjaan-Nya. Dan
jika dari antara manusia tidak ada seorangpun yang menyertai saya, maka
malaikat-malaikat Tuhan akan menyertai saya. Dan jika kalian
menyembunyikan kesaksian, maka sudah dekat saatnya batu-batupun akan
memberi kesaksian untuk saya. Jadi, janganlah berbuat aniaya terhadap
jiwa-jiwa kalian sendiri. Wajah para pendusta adalah lain, dan wajah
orang-orang yang benar juga lain. Tuhan tidak membiarkan suatu perkara
tanpa keputusan. Saya mengutuk kehidupan yang disertai kedustaan dan
kebohongan. Dan kemudian, [saya juga mengutuk] kondisi dimana
seseorang menjauhi perintah Khaliq karena takut terhadap makhluk.
Pengkhidmatan yang telah diserahkan kepada saya oleh Tuhan Yang
Mahakuasa tepat pada waktunya ini, dan untuk itulah Dia telah
menciptakan saya, sama-sekali saya tidak mungkin jadi malas
152
---------oo0oo---------
153
DOA
Kami berdoa semoga Allah Ta'ala menganugerahkan dari sisi-Nya kebijaksanaan
sedemikian rupa kepada para anggota Parlemen yang terhormat, sehingga mereka
mencapai keputusan-keputusan yang berlandaskan kebenaran dan shadaqat, yang
bersesuaian dengan tuntutan-tuntutan Alquran dan Sunnah. Dan semoga Pakistan
mencapai kemajuan, kemuliaan, kejayaan dan kesuksesan serta martabat agung yang
gambarannya telah dipaparkan oleh Imam kedua Jemaat Ahmadiyah, Yang Mulia Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a. pada tahun 1947, dalam kata-kata
berikut:
Dan kami akhiri seruan kami ini dengan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
154
---------oo0oo---------