Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
JATINANGOR
2011
Pengembangan Produk Berdasarkan Korelasi In Vitro Dan In Vivo
banyak disesuaikan dengan perubahan sikap dari dokter, pejabat pemerintah, dan
masyarakat terhadap obat. Pada 10-20 tahun yang lalu industri-industri farmasi
banyak menekankan pada penemuan-penemuan obat baru, dan peta kefarmasian pada
saat itu ditandai dengan cepatnya suatu molekul obat baru ditemukan. Obat-obat yang
oleh instansi setempat. Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
melalui Peraturan Kepala BPOM-RI, 29 Maret 2005, tentang: Pedoman Uji BE dan
Peraturan Kepala BPOM-RI, 18 juli 2005 tentang: Tata Laksana Uji Bioekivalensi,
beredar. Udjianto menjelaskan, penerapan uji BA/BE merupakan bagian dari fungsi
BadanPOM.
aktif terapetik yang mencapai sirkulasi sistemik. Dalam perjalanan suatu obat menuju
sirkulasi sistemik, terutama untuk obat per oral pada umumnya produk obat
mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi
disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; disolusi obat dalam media
proses disintegrasi obat, disolusi dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem
sikulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat (rate limiting step) dalam
rangkaian di atas. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju
pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu
Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
disolusinya cepat sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membrane merupakan
penelitian pada manusia yang tidak diperlukan (Shargel et.al, 2005). Dimana untuk
memperkirakan efek klinik suatu obat adalah dengan pengukuran kadar obat dalam
darah, karena ada hubungan yang erat antara kadar obat dalam darah dengan efek
klinik obat tersebut. Tapi menurut Drs. Victor S. Ringoringo Apt, dalam hal ini juga
ditemukan beberapa kelemahan diantaranya uji kadar obat dalam darah biayanya
mahal, memerlukan peralatan analisis yang canggih, tenaga ahli yang terampil, dan
sejumlah sukarelawan sehat. Sehingga saat ini tidak mungkin untuk melakukan uji
ditunjukan dengan fakta yang diperoleh in vitro yang dilakukan dalam lingkungan
seperti in vivo yang sering disebut sebagai disolusi terbanding. Obat-obat ini
terlarut. Laju disolusi obat dari produk obat tersebut diukur in vitro. Data laju disolusi
in vitro harus berhubungan dengan data bioavailabilitas in vivo untuk obat tersebut
reproduksibilitas produksi antar batch. Untuk tujuan penelitian uji disolusi merupakan
pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi dalam
Untuk produk-produk tertentu, uji disolusi terbanding dilakukan sebagai pengganti uji
ekivalensi in vivo sehingga apabila suatu produk telah lolos uji disolusi terbanding
yang diabsorpsi dan kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu terjadi. Extent biasanya
dinyatakan dalam F. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif)
atau metabolit aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.
Bioavaibilitas terbagi menjadi 2, yaitu:
sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat aktif
dari suatu sediaan obat dibandingakan dengan bentuk sediaan lain selain intra
vena.
Rute pemberian
Tujuan bioavaibilitas:
Pengembangan ilmu
Pengembangan produk/formulasi
Pengembangan senyawa baru
Kesetaraan obat:
mempunyai aktivitas yang sama dan melekat pada substrat molekul aktif yang
sama. Misalnya bentuk ester dan garam dari sutu zat aktif.
apabila mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama serta
bentuk sediaan yang sama dan memenuhi standar kompendial yang sama
farmasetik yang sama dan pada pemberian molar yang sama akan
Obat dengan bentuk sediaan yang sama tetapi diproduksi oleh industri yang
berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, formulasi, dan cara
Apabila terdapat perbedaan yang bermakna pada bioavaibilitas dari produk obat yang
diuji dengan produk obat pembanding, maka kedua produk itu dapat dikatakan
inekivalen secara terapetik. Dalam hal ini harus dilakukan reformulasi dan uji
2. Pemilihan metode analisis yang tepat: hal ini diperlukan untuk mengetahui
mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik terlebih dahulu.
1. Sediaan pembanding
3. Jumlah subjek
4. Desain percobaan
2. Protokol harus lolos kajian ilmiah dan kajian etik sebelum penelitian dimulai.
Rancangan penelitian:
4. Untuk obat yang memiliki waktu paruh panjang dapat dipertimbangkan desain
2 kelompok paralel.
Rancangan percobaan:
Uji paralel: dengan 2 kelompok berbeda dilakukan bila waktu paruh eliminasi
Uji pada keadaan tunak diperlukan bila: farmakokinetik non linier; kinetik
Non-linier farmakokinetik
(berdasarkan kelarutan/permeabilitas):
2. BCS 2: kelarutan jelek, permeabilitas baik. Tidak perlu uji BE, disolusi
terbanding saja.
terbanding.
terbanding.
Subjek dan jumlah subjek:
Sukarelawan sehat
publikasi.
Jika ternyata koefisien variasi yang diperoleh lebih besar, maka jumlah dapat
ditambah.
Kriteria subjek:
Inklusi
Eksklusi
Kriteria lain tergantung obat yang diuji misalnya riwayat alergi, wanita hamil
Kondisi penelitian
Harus dibakukan agar tidak terjadi variabilitas. Yang harus dibakukan adalah:
Lamanya berpuasa
supplement).
Produk uji
Produk dengan tujuan registrasi harus identik dengan produk yang akan
dipasarkan.
Harus diambil dari batch skala industri atau skala pilot yang besarnya 1/10
Sampel harus disimpan selama 2 tahun atau 1 tahun lebih lama dari waktu
mampu memberikan suatu efek terapi optimal kepada pemakai obat (Masri, 1985).
Availabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun
yang belum disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) untuk dipasarkan.
Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik sebelum dipasarkan harus
disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk obat untuk dipasarkan
harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label indikasi
penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus memenuhi seluruh standar yang
dan bila perlu persyaratan ekuivalensi untuk semua produk (Shargel et al, 2005).
a. Bioavailabilitas in vivo dari suatu produk obat dilakukan jika laju dan jumlah
terukur (misal konsentrasi bahan obat aktif dalam darah, laju ekskresi urin dan
b. Teknik analisis statistik yang dipakai hendaknya cukup peka untuk menemukan
perbedaan laju dan jumlah absorpsi yang tidak disebabkan oleh adanya perbedaan
subjek.
c. Suatu produk obat yang berbeda dari bahan pembanding dalam hal laju absorpsi,
tetapi tidak berbeda dalam jumlah absorpsi, dapat dianggap berada dalam
sistematik jika perbedaan laju absorpsi disengaja dan dinyatakan dengan tepat
dalam label dan atau laju absorpsi tidak mengganggu keamanan dan efektifitas
yang diperoleh secara in vitro. Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama
dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Availabilitas suatu formula obat
larutan dari obat murni (Shargel et al., 2005). Sebagai produk standar dapat
yang sudah teruji secara klinik dengan hasil terapi yang baik (biasanya ditentukan
oleh lembaga resmi, misalnya FDA). Penelitian availabilitas relatif dapat diterapkan
untuk:
a. Memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama dengan
formulasi yang berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik, sehingga
c. Mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk sediaan yang
penunjuk berhasil tidaknya suatu formulasi obat yang dilakukan pada saat clinical
trial (suatu percobaan untuk membuktikan keamanan dan khasiat obat). Apabila
dilakukan formulasi ulang terhadap produk obat tersebut atau dilakukan produksi
obat yang setara secara generik yang mengandung zat aktif yang sama pada industri
farmasi lain, maka harus memiliki penampilan availabilitas yang sesuai dengan obat
a. Pelepasan Obat
bahwa tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan
media pelarut manjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di
dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang
diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak
memberi jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
kualitas tablet terhadap ketersediaan hayati yang menawarkan persyaratan lebih baik
untuk pelepasan obat. Oleh karena itu kecepatan kelarutan dari bahan aktif sering kali
dissolution-test lebih nyata. Uji disolusi menggambarkan seluruh sediaan obat atau
hancurnya sediaan obat dalam cairan penguji diinterpretasikan secara analisis dan
dikembangkan bagi hampir seluruh tablet (Ansel et al., 1999). Laju absorpsi dari
obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan
sering ditetapkan dengan laju larut obat dari tablet. Bila yang menjadi tujuan adalah
untuk memperoleh kadar yang tinggi di dalam darah, maka cepatnya obat dan tablet
melarut biasanya menjadi sangat menentukan. Laju larut dapat berhubungan langsung
dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet dan perbedaan bioavailabilitas dari berbagai
sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji.
Akibatnya uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan
secara tidak langsung dipakai sebagai pengukur availabilitas obat, terutama pada
Pembebasan bahan obat dari sediaannya dapat ditentukan secara in vitro. Hal
ini sering kali dilakukan dengan menggunakan alat yang diatur sedemikian rupa
sehingga melalui kelarutan bahan obat dan pembebasannya (model melarut) dan
hubungannya dengan proses distribusi dimungkinkan untuk memberikan informasi
kesulitan dalam mengatur secara persis suatu imitasi proses alam. Oleh karena itu,
cara ini lebih mudah dibuat melalui prinsip dasar pengkondisian yang dinormalkan.
Yang lebih tepat adalah pengembangan metode in vitro, cara in vitro untuk sediaan
obat jenis ini masih dinilai cocok mengingat pentingnya peranan sediaan obat peroral
menunjukkan (1) pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 % dan (2) laju
pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari
batch yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara klinis (Lachman et
al., 1994).
b. Ekivalensi
signifikan/bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat yang
memiliki kesetaraan farmasetik (Rahmat, 2004). Industri obat yang telah memiliki
data efektifitas obat melalui uji klinik dari suatu formulasi obat, maka industri obat
lainnya yang ingin memasarkan obat yang sejenis haruslah melakukan suatu
kadar puncak yang sama, kecepatan absorbsi yang sama, dan jumlah obat yang
diabsorbsi yang sama dengan formulasi dari industri obat yang pertama. Jika ketiga
kriteria di atas dipenuhi merupakan alasan untuk mengharapkan bahwa formulasi
yang dikembangkan industri obat kedua akan memberikan efek terapetik yang sama
dengan produk obat pertama. Aplikasi konsep bioavailabilitas yang semacam ini
merupakan tes komparatif yang formal antara produk generik dan produk dagang. Tes
bermakna atau tidak. Bila tenyata tidak ada perbedaan bermakna, maka produk
di dalam desain, produsen dan pemasaran dari setiap agen terapeutik. Tergantung
pada desain dan tujuan pengiriman dari suatu bentuk sediaan tertentu, proses
pengembangan dan optimasi formulasi ini mungkin memerlukan jumlah waktu yang
pembuatan, peralatan dan ukuran batch. Di masa lalu ketika jenis ini diterapkan untuk
perlakuan in-vivo seperti formulasi yang lama. Tentu saja persyaratan ini akan
menunda pemasaran formulasi baru dan menambahkan waktu dan biaya untuk proses
optimasi formulasi. Baru-baru ini adalah pedoman peraturan telah dikembangkan
desain formulasi. Pedoman ini disebut sebagai, Pedoman Korelasi In Vitro/ In vivo
yang telah dikembangkan oleh Badan Obat dan Makanan dan berdasarkan pada
penelitian ilmiah.
mengevaluasi suatu IVIVC adalah untuk memungkinkan uji disolusi untuk menjadi
pengganti dalam uji bioavailabilitas in vivo. Hal ini dapat mengurangi jumlah uji
perubahan pasca-persetujuan.
antara sifat in-vitro dari suatu bentuk sediaan dan reaksi in- vivo. Pada dasarnya,
sifat in-vitro adalah laju atau tingkat pemisahan obat atau pelepasan obat sedangkan
respon in-vivo adalah konsentrasi obat di dalam plasma atau jumlah obat yang
diserap.
hubungan antara suatu sifat biologi, atau sebuah parameter yang dihasilkan dari sifat
biologi yang dihasilkan dari suatu bentuk sediaan dan sifat fisikokimianya sama
dengan bentuk sediaan. Persamaannya, parameter yang dihasilkan dari sifat biologi
adalah AUC atau Cmax, dan juga sifat fisikokimianya adalah profil disolusi in vitro.
Pengujian disolusi in vitro merupakan pedoman penting dalam
pengembangan produk obat padat, seperti dalam kontrol kualitas batch. Tujuan dari
uji ini adalah untuk melihat bahwa obat terlarut sempurna di dalam saluran
pencernaan dan dapat diserap dengan baik. Oleh karena itu diharapkan bahwa dengan
tes in vitro dapat memberikan data yang dapat dihubungkan dengan situasi in vivo.
Namun, hasil yang diperoleh IVIVC sering mengalami kegagalan dan konsep dari
biofarmasetika dapat digunakan sebagai batasan untuk memprediksi saat IVIVC bisa
diharapkan untuk produk padat IR (Immediate Release) atau lepas cepat, seperti yang
dirangkum dalam Tabel. Hal ini penting untuk memahami bahwa dalam Uji disolusi
in vitro hanya contoh pelepasan dan pemisahan zat aktif obat dari formulasi, dan itu
terjadi hanya pada saat proses cepat-terbatas dalam proses absorpsi dimana IVIVC
diharapkan.
Tabel. Perkiraan korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) untuk produk lepas cepat (IR)
Dalam kasus obat kelas I, dosis lengkap akan dilarutkan di dalam lambung ,
membatasi kecepatan kelarutan obat. Ini jelas bukan faktor yang diinginkan dalam uji
disolusi in vitro. Dengan demikian, tidak diharapkan ada IVIVC untuk obat-obatan
kelas I selama pelepasan obat lebih cepat dari pengosongan lambung. Waktu paruh
pengosongan cairan lambung pada saat puasa biasanya 10 menit, meskipun hal ini
bisa bervariasi karena beberapa faktor seperti waktu pemberian obat dalam kaitannya
dengan fase motilitas lambung, dan juga volume cairan. Hubungan antara disolusi in
vitro, digambarkan sebagai waktu untuk melarutkan setengah dosis (T50%), dan
dicontohkan pada Gambar. 21,12. Jenis hubungan in vitro / in vivo hanya diharapkan
diharapkan memiliki absorpsi pemisahan terbatas. Dengan demikian, untuk jenis obat
yang IVIVC mungkin dapat ditetapkan dengan menggunakan rancangan yang baik
Kecepatan pengosongan
lambung
Disolusi in
vitro
Gambar. 21,12. Tahap pokok C korelasi in vitro / in vivo untuk formula lepas-cepat
Salah satu cara untuk meneliti dan menentukan hubungan seperti itu adalah
dengan mempelajari suatu formulasi yang mengandung partikel obat dengan area
permukaan yang berbeda. Salah satu contoh penelitian ditampilkan pada Gambar.
21,13, dimana profil disolusi in vitro (Gambar 21,13 (a)) dan konsentrasi plasma-
waktu (Gambar 21,13 (b)) diberikan untuk administrasi tablet yang mengandung
bahan obat dengan dua ukuran rata-rata partikel yang berbeda. Rata-rata penurunan
sekitar 30% di Cmax untuk partikel yang lebih besar diperkirakan agak lambat dalam
disolusi in vitro.
Gambar. 21,13.
Gambar. 21,13. (a) Nilai rata-rata disolusi in vitro dan (b) konsentrasi tablet
candersartan cilexitil dalam plasma manusia yang mengandung partikel obat dengan
tiga partikel yang diameter rata-ratanya berbeda (A, 3,9 mm, B, 5,7 mm; C, 9,1 mm).
Dua kasus bisa diidentifikasi untuk obat kelas II pada saat penetapan IVIVCs
yang tidak dapat dikerjakan dengan mudah. Pertama, ada beberapa dasar formulasi
yang dapat meningkatkan laju disolusi dan kelarutan senyawa dengan kelarutan
rendah, seperti dibahas di atas. Hal ini akan menjadi mungkin untuk mencapai
pemisahan obat yang cepat dan sempurna dari obat kelas II bahwa dengan
pengosongan lambung akan membatasi laju larut obat, yaitu, ketersediaan hayati dari
bentuk-bentuk sediaan padat sama halnya dengan larutan oral. Jadi, dalam kasus
seperti prasyarat untuk IVIVC akan identik dengan situasi untuk obat kelas I, yaitu,
tidak akan diperoleh korelasi selama kecepatan disolusi secara signifikan lebih cepat
Situasi kedua ketika IVIVC tidak seperti untuk obat kelas II dimana absorpsi
lebih dibatasi oleh kelarutan jenuh di dalam saluran pencernaan daripada laju
disolusi , seperti yang dibahas lebih terinci di atas. Dalam situasi ini, konsentrasi obat
dalam saluran pencernaan akan dekat dengan kelarutan jenuh, dan perubahan laju
kondisi sink, yaitu, kondisi pada konsentrasi yang jauh di bawah kelarutan jenuh.
Dengan demikian, efek yang terkait untuk menilai disolusi hanya dapat diprediksi
secara in vitro. Jika uji disolusi ini lebih menggunakan media fisiologis, yang tidak
harus selalu memberikan kondisi sink, kemungkinan untuk IVIVC bisa diperbaiki,
sebagaimana telah ditunjukkan oleh hasil studi terbaru dengan menggunakan media
simulasi usus.
Absorpsi obat kelas III dibatasi oleh permeabilitas obat tersebut di sekitar
dinding usus. Dengan demikian, karena proses ini sama sekali tidak diperagakan oleh
keunggulan uji disolusi in vitro , tidak ada IVIVC yang diharapkan. Ketika disolusi
ketersediaan hayati dapat dilihat dari laju disolusi yang lebih lambat sebagai waktu
dimana obat yang tersedia akan berkurang karena diserap oleh permukaan dinding
usus di dalam usus kecil. Dengan demikian, jenis hubungan yang sama dapat
Obat kelas IV memiliki kelarutan yang rendah dan permeabilitas obat yang
rendah. Obat-obatan yang termasuk dalam kelas ini menunjukkan banyak kesulitan
untuk pemberian oral yang efektif. Misalnya Obat untuk kelas III dan IV masing-
Dalam uji in vitro memiliki beberapa tujuan. Ini menjadi pedoman penting
menentukan dengan memilih antara bentuk sediaan alternatif yang berbeda untuk
pengembangan lebih lanjut masing-masing produk obat. Juga, data disolusi in vitro
dapat membantu dalam evaluasi dan interpretasi risiko, terutama dalam hal bentuk
sediaan lepas diperlambat, misalnya efek makanan dumping, dan interaksi obat-
obatan. Selain itu,data disolusi in vitro sangat dibutuhkan ketika menilai perubahan
kecil dalam proses produksi atau proses pembuatan dan keperluan keputusan pada
studi bioavailabilitas. Tak satu pun dari tujuan ini dapat terpenuhi dalam pengujian
disolusi in vitro tanpa cukup pengetahuan yang berhubungan dengan in vivo, yaitu
Jika korelasi dapat diterapkan terhadap obat individu, uji disolusi in vitro
dapat berfungsi tidak hanya sebagai panduan untuk pengembangan formulasi atau
stabilitas, tetapi juga sebagai peramal handal proses absorpsi obat (Nattee and Natalie
D. 2011).
DAFTAR PUSTAKA