You are on page 1of 12

TUGAS MATA KULIAH

STRUKTUR KOTA

KONSENTRASI
MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA

CRITICAL REVIEW BUKU KOTA TANPA WARGA

Oleh :

OKTOVIANUS SUBANPULO, ST. NIM. 21040110400016

PROGRAM STUDI
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
TAHUN 2011
BAGIAN 1
TRANSFORMASI SISTEM PERKOTAAN DAN
STRATEGI DALAM ERA GLOBAL

Kebijakan Pembangunan kota dalam sistem global kota-kota didunia


diupayakan untuk memacu perkembangan kota yang dapat berkembang
(tidak tertinggal) dalam sistem yang tersebut, maka hal yang paling penting
bagaimana Pemerintah kota mempersiapkan kota dalam menghadapi era
Global, bagaimana posisi kota tersebut terhadap kota-kota lain? Keberhasilan
sebuah kota dalam sistem ekonomi global akan sangat tergantung dari
kesediaan dan kemampuan kota tersebut menjadi bagian integral dari sistem
global. Hal yang utama adalah Pemerintah kota harus dapat mengukur kinerja
kota (urban performances indicators) yang dapat diukur dari beberapa
indikator-indikator yang relevan terhadap pembangunan kota antara lain:
Indikator, Indikator Perumahan dan Permukima , Indikator keamanan,
Indikator kesehatan, Indikator sosial, Indikator pelayanan masyarakat,
Indikator ekonomi kota, serta Indikator Transportasi. Indikator tersebut diatas
dapat membantu Pemerintah dan Pengelola kota dalam melaksanakan
pekerjaannya. Untuk itu pemerintah kota harus mampu memilih indikator
mana saja yang menjadi perhatian utama, contoh di kota Bangkok; ditemukan
penyebab utama penurunan kualitas lingkungan adalah akibat kemacetan,
oleh karena itu dilakukan perhitungan bahwa kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh kemacetan berkisar USD270 – 1000 juta setiap tahun, maka
dilakukan pembangunan sky-train sebesar USD1300 juta, tidak terlalu tinggi
jika dibandingkan dengan manfaatnya untuk mengurangi dampak kemacetan
dalam jangka panjang. Hal ini memperlihatkan peran penting indikator kinerja
kota: sebagai alat pembanding kuantitatif untuk melakukan analisa
perbandingan biaya (cost-comparative analysis).
Fungsi indikator selain sebagai dasar argumen penunjang rasional bagi
Pemerintah Kota juga digunakan sebagai cara untuk meningkatkan daya
saing kota terhadap kota-kota lain. Indikator yang rasional dan terukur dapat
membantu kita menentukan kondisi dan kinerja kota. Pemerintah pusat telah
merencanakan pengembangan konsep pengelolaan terpadu yang bersifat
aplikatif dan terfokus pada peningkatan kualitas kehidupan perkotaan secara
langsung, maka telah disusunlah RPP tentang pedoman pengelolaan kawasan
perkotaan (walaupun belum diberlakukan) sebagi bentuk dari Good
govenance yang termuat beberapa hal penting antara lain;
• Mengenai Partisipasi masyarakat; Pemerintah kota perlu
menyelenggarakan Forum perkotaan secara periodik.
• Mengenai Transparansi dan kesetaraan kemitraan; Pemberdayaan
masyarakat umum merupakan syarat terwujudnya demokrasi yang
menganut prinsip-prinsip transparansi.
• Mengenai Peran Forum Perkotaan; Pemerintah secara rutin
memfasilitasi kegiatan forum perkotaan secara terjadwal, dan
berkelanjutan.
• Mengenai Dengar pendapat; dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
rencana Pembangunan tersebut berakibat pada masyarakat secara
substansial, seperti pada kesehatan, mata pencaharian, kehidupan
sosial dll.
• Mengenai Jajak Pendapat; Perlu dikembangkan sebagai wujud kewajiban
serta tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan dan kotanya,
demi meningkatkan kesadaran dan rasa memiliki warga terhadap
lingkungan dan kotanya.
• Mengenai Perencanaan partisipatif; Prinsipnya masyarakat umum
berperan serta dalam proses fungsi manajemen pemerintah, sejak awal
proses perencanaan melalui dialog, tukar pendapat, usulan/aspirasi
guna menentukan kebijakan perencanaan pemerintah daerah/kawasan
perkotaan.
• Mengenai Petisi; sebagai umpan balik bagi perencanaan yang sudah
dibuat.
• Mengenai Inovasi; RPP merupakan suatu upaya kreatif dalam mengatasi
berbagai hambatan pengelolaan perkotaan.

Dari penyusunan RPP ini diperkirakan berpotensi sukses bila diterapkan


dalam usaha peningkatan pengelolaan kota yang generik seperti pelayanan
umum dan peningkatan efisiensi. Seperti diketahui sebab keterpurukan
kota-kota di Indonesia terletak pada akar historis sistem perkotaan
indonesia, pokok permasalahan terletak pada pandangan dan sikap
hidup masyarakat kota di Indonesia yang masih tradisional,
feodalistik, dan secara keseluruhan anti urban., orientasi sistem nilai
masyarakat urban Indonesia saat ini masih kepada kepentingan
kelompok kelompok tradisional tempat mereka berasal dan secara
politis terorganisasi.
Oleh karena itu penerapan good governance dengan prinsip-prinsip
seperti telah disebutkan diatas dapat merupakan cara efektif untuk mengatasi
masalah-masalah perkotaan yang generik, mengukur kota dengan indikator
kinerja kota adalah seperti melakukan pemeriksaan kesehatan, yang hasilnya
memberi kita informasi fungsi mana yang masih normal dan dimana terjadi
penyimpangan. Namun jika cara memperbaiki indikator kinerja kota tidak
berjalan akibat adanya hambatan atau malfungsi pada sistem perkotaan itu
sendiri tidak dapat mengatasi hanya dengan formula generik ala good (city)
governance seperti uaraian diatas, untuk mengetahui letak permasalahan
sistemik kota-kota di Indonesia kita harus mengenal konsep dasar kota-kota
kita, sejarah perkembangannya, sistem nilai yang berlaku, sumber daya yang
dipunyai atau tidak dipunyai, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya
dan sederetan pengetahuan dasar serta khusus yang memampukan kita
mendiagnosis permasalahan sistemiknya secara lebih tepat. Permasalahan
prinsipil dari kota-kota di Indonesia terletak pada terhambatnya
proses transformasi sistem perkotaan, dari sistem tradisional
feodalistik menjadi sistem yang industrial kapitalistik. Ekosistem kota
modern hanya dapat berfungsi dengan baik bila dilandasi konsep kehidupan
bersama, yang juga berdasarkan kaidah-kaidah kehidupan modern yang
rasional. Kota modern adalah bentuk peradaban dengan konsep berkota yang
berbeda dengan kota tradisional. Pada kota-kota tradisional seperti pada
pusat-pusat dijawa, jalinan kehidupan bersama terjadi antar-kelompok etnik
dan didasari nilai-nilai budaya tradisional yang feodalistik yang akhirnya
menjadi sistem nilai dominan.
Beberapa tipologi kota di Indonesia dalam sejarahnya pernah muncul
antara lain; (1) Kota-kota Tradisional (pusat-pusat kerajaan), (2) Kota-kota
Dagang prakolonial dimana merupakan konsep kota tradisional yang
mengalami modifikasi, (3) Kota-kota Kolonial modern. Konsep kota tradisional
adalah kota yang berakar pada peradaban agraris yang bersifat despotik
(otoriter) dan tertutup, keberadaan seseorang didalam kota tidak berdasarkan
hak individualnya melainkan terkait dengan hak kelompok etnis tempatnya
berasal, konsep kota tradisional tidak terbentuk komunitas urban yang
terbuka, didominasi oleh kekuasaan otoriter yang berorientasi kepada sistem
nilai tradisional yang sakral. Sebaliknya prinsip kota modern adalah bersifat
terbuka bagi semua dan merupakan komunitas yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan antar kelompok setara dalam tujuan membangun hidup
bersama. Kota modern adalah tempat tawar menawar, jual beli, memberi dan
mendapatkan sesuatu, dan bukan tempat untuk kuasa-menguasai. Kota
modern adalah tempat para penghuninya mengaktualisasikan diri mereka
secara kelompok, terutama secara individu tanpa harus menginjak-injak hak
kelompok dan individu lain. Sebuah masyarakat urban seperti itu hanya
dapat terbentuk bila setiap kelompok sosial-religius atau etnis
melepaskan klaim mereka akan sistem nilai yang mereka anut.
Sejarah kota kita menunjukan bahwa masyarakat tradisional prakolonial
bukanlah sebuah komunitas urban yang utuk melainkan semacam ”kerajaan
kota” atau ”negara kota” dengan struktur sosial politis dan sifat feodal yang
kental. Warisan tradisional ini masih hadir kental didalam kehidupan kota kita
sampai saat ini. Kota-kota di Indonesia tidak mengenal ruang publik, setiap
ruang yang ada selalu menjadi perebutan antarkelompok , sementara usaha
pemerintah untuk tetap ”netral” selalu sia-sia. Hal ini dikarenakan pada
masyarakat tradisional setiap ruang memiliki penguasa sendiri, dan setiap
orang, baik secara individu atau kelompok selalu berusaha untuk menguasai
kota seluas mungkin. Sementara konsep dari kota modern adalah bahwa
ruang kota terbagi menjadi ruang privat yang berada di bawah kewenangan
setiap pemilik, dan ruang publik yang merupakan milik bersama yang
penggunaannya ditentukan bersama berdasarkan konsensus.
Tugas bagi Pemerintah mengajak seluruh warga kota sebagai individu
yang otonom berpartisipasi dalam proses pembelajaran membangun
peradaban urban yang modern dan mampu berkompetisi di kota-kota kita.
Pemantauan indikator kinerja kota yang meliputi sikap dan perubahan sistem
nilai budaya perlu dilakukan oleh semua pemangku kepentingan
(stakeholders), karena dengan memantau secara seksama proses
transformasi sistem perkotaan yang terjadi maka kita bisa mengetahui
kebijakan dan program kota yang diambil sudah efektif atau belum.
BAGIAN 2
REVIEW TRANSFORMASI SISTEM
PERKOTAAN
KABUPATEN FLORES TIMUR

A. KARAKTERISTIK KOTA-KOTA DI KABUPATEN FLORES TIMUR


Kabupaten Flores Timur merupakan
Kabupaten kepulauan yang terdiri dari
3 Pulau yaitu; Pulau Flores daratan,
Pulau Adonara dan Pulau Solor.
Masyarakat dimasing masing pulau
tersebut memiliki akar budaya dan
kebiasaan yang berbeda-beda;

Masyarakat Kota-kota di Kabupaten


Flores Timur masih memiliki sifat
gotong-royong tinggi, satu sama lainnya masih saling mengenal dalam satu
kecamatan hingga antar kecamatan. Beberapa karakteristiknya kondisi sosial
penduduk di Kabupaten Flores Timur di bedakan:
• Kawasan Perdesaan
− Hubungan sosial masih tinggi
− Sifat gotong-royong tinggi
− Satu sama lain dalam satu desa masih saling mengenal
− Masih terdapat seni musik dan tarian daerah
• Kawasan perkotaan
− Dalam satu desa diperkotaan masih saling mengenal satu sama
lain sehingga meskipun identik dengan kawasan perkotaan masih
mencerminkan karakteristik perdesaan.
− Hubungan sosial masih tinggi
− Satu sama lain dalam satu desa masih saling mengenal
• PENDEKATAN PENGELOLAAN KOTA LARANTUKA DI KABUPATEN
FLORES TIMUR BERBASIS SEJARAH
Larantuka adalah kota pelabuhan yang cukup sibuk yang terletak di
ujung Timur Flores yang dipisah selat sempit dengan Pulau Solor dan Pulau
Adonara. Kota dengan penduduk sekitar 30 ribu jiwa ini terletak di kaki
Gunung lli Mandiiri yang merupakan gunung vulkanis.
Pelabuhan Larantuka
merupakan tempat
keberangkatan kapal yang akan
menuju ke Kepulauan Solor yang
berada di Timur Flores dan kapal
feri yang akan menuju ke
Kupang.
Walaupun letaknya agak
terpencil dengan wilayah lain di
Indonesia namun dalam
sejarahnya Larantuka adalah
salah satu tempat yang pertama kali didatangi para pedagang Eropa. Tempat
ini didatangi pedagang Portugis ketika mereka singgah dalam perjalanan
menuju ke Timor untuk mencari kayu cendana. Pada sekitar tahun 1575,
pedagang Portugis membangun benteng di daerah ini dan lebih dari 20 lokasi
pusat penyebaran agama Kristen oleh para misionaris.
Pengaruh Katolik dan Portugis terasa masih sangat kuat di Larantuka. Di
sini terdapat gereja besar atau kathedral dan rumah ibadah Kapela Tuan
Maria yang memiliki ornamen perunggu dan perak bergaya Portugis. Pada
setiap hari Sabtu, peribadatan di kapela ini dilaksanakan dalam bahasa
Portugis dan pada setiap Hari Jum'at Agung dilakukan prosesi membawa
patung Perawan Maria dari Kapela mengelilingi kota dengan nyanyian dalam
bahasa Latin. Di sekitar Larantuka terdapat beberapa lokasi menarik yang
dapat dikunjungi wisatawan antara lain sebuah pantai berpasir putih yang
berada di Weri yang terletak sekitar 6 km di Utara Larantuka dan dapat
dicapai dengan kendaraan umum dari terminal Larantuka.
Lokasi menarik lainnya di sekitar Larantuka adalah Mokantarak yang
berada 10 km dari Larantuka. Tempat ini merupakan desa adat dengan
rumah-rumah tradisionalnya. Sementara di Lewoloba di dekat desa Oka kerap
menggelar tarian tradisional untuk menyambut wisatawan yang berkunjung.
LARANTUKA adalah sebuah kerajaan turunan langsung dari "Pati Golo Ara
Kian" dan Isterinya "Wato Wele Ata Utan". Pasangan purba ini diyakini sebagai
manusia yang terlahir dari rahim gunung "Mandiri". Tercatat dalam sejarah, pada
abad XI-XIII, antara Kerajaan Larantuka dan Kerajaan Majapahit telah terjadi kontak
dagang yang sekaligus membawa pengaruh Hindu yang berkembang di Larantuka
dan sekitarnya. Sedangkan pengaruh Islam terdapat di Lamahala, Terong, Adonara,
dan sekitarnya. Kerajaan Larantuka adalah sebuah Kerajaan Tua, yang menurut
taksiran telah berusia sekitar 700 tahun. Gelombang perpindahan suku-suku, baik
yang berasal dari Barat maupun Timur dalam perkembangannya kemudian berbaur
dalam proses perkawinan dan asimilasi kebudayaan. Dan akhirmya menjelma dalam
ke dalam suatu ikatan sosial yang lebih besar meliputi seluruh wilayah Kepulauan
Solor, dikenal dengan sebutan suku "Lamaholot", dan bahasa yang digunakan adalah
bahasa "Lamaholot" dan juga adat istiadat "Lamaholot". Dalam sejarah Kerajaan
Larantuka, hanya dapat satu dinasti yang memerintah sebagai Raja, yang kemudian
menggunakan nama barat, Diaz Viera de Godinho (DVG).

B. ASPIRASI PENDUDUK DALAM PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN


Diketahui bahwa setiap desa menyusun profil desa yang didalamnya
dicantumkan potensi dan permasalahan tiap-tiap desa mulai dari pendidikan,
ekonomi, kesehatan, sosial budaya, agama, hankam, sarana/prasarana.
Melalui profil desa itulah masyarakat tiap-tiap desa menyalurkan aspirasi,
mengajukan potensi dan membantu memberi saran masukan dalam
mengatasi setiap permasalahan yang ada kepada pemerintah mulai tingkat
Desa, Kecamatan, Kabupaten hingga Propinsi. Potensi budaya dan tari-tarian
yang ada di masing-masing kecamatan dapat di lestarikan dan dikembangkan
sebagai obyek wisata dengan mengadakan kalender wisata yang dapat
dilaksanakan acara-acara adat di desa, dikecamatan, dan lingkup kabupaten.

C. PENGARUH SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KOTA KOTA DI


KABUPATEN FLORES TIMUR TERHADAP PENATAAN RUANG
Kondisi sosial budaya masyarakat sangat berpengaruh terhadap
pelaksanaan pembangunan. Secara umum, masyarakat Kota kota di
Kabupaten Flores Timur terdiri atas masyarakat asli dan pendatang dengan
kecendrungan terbuka terhadap perubahan yang terjadi.
Secara umum, kondisi ini memudahkan kegiatan penataan ruang
karena pada dasarnya masyarakat tidak menutup diri terhadap perubahan
maupun pembangunan. Namun disadari terdapat beberapa hal yang menjadi
kendala menyangkut pola pikir dan budaya masyarakat. Kondisi tersebut
antara lain:
1. Kualitas SDM
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan
pemeliharaan hasil pembangunan. Jika
diukur dengan parameter pendidikan,
secara umum masyarakat Kota kota di
Kabupaten Sikka memiliki kualitas SDM
yang rendah. Berdasarkan data,sekitar
30% penduduk berstatus buta huruf
maupun putus sekolah. Tingginya
angka putus sekolah di Kota Insana
Utara disebabkan oleh keterbatasan lapangan kerja yaitu disektor
pertanian serta pengaruh kebiasaan masyarakat untuk tidak melanjutkan
pendidikan setamat SD. (sumber: Hasil Wawancara, 2006). Kondisi ini
diperparah dengan lingkungan pergaulan yang didominasi oleh budaya
minuman keras (Miras) yang cenderung menimbulkan masalah sosial dan
keamanan.
2. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam memeilihara hasil-hasil
pembangunan
Hal ini terlihat dari berbagai sarana dan prasaranan khususnya jaringan
jalan, air bersih dan irigasi yang kondisinya rusak namun masyarakat tidak
merasa berkewajiban untuk memelihara bahkan memperbaiki.
Ketergantungan terhadap pemerintah sangat tinggi sehingga masyarakat
cenderung pasif, menunggu inisiatif dan bantuan pemerintah.
3. Kebiasaaan masyarakat
Beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat mempengaruhi penataan
ruang antara lain:
- Kebiasaan menjadikan halaman sebagai tempat sampah
menyulitkan pengelolaan sampah secara terpusat
- Kebiasaan memakamkan anggota keluarga di bagian depan
kapling menyulitkan upaya penyediaan fasilitas TPU sebagai upaya
mengkonsentrasikan lokasi pemakaman pada lokasi tertentu.
4. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam penataan
ruang. Hal ini terlihat dari sulitnya kesepakatan penggunaan lahan untuk
alokasi fasilitas umum. Masyarakat beranggapan bahwa pemerintah wajib
menyediakan ganti rugi terhadap tanah yang akan dimanfaatkan untuk
membangun sarana dan prasarana bagi kepentingan masyarakat.
Dalam kaitan dengan penataan ruang Kota-kota di Kabupaten Flores
Timur, pendekatan secara persuasif dan sosialisasi kepada masyarakat
merupakan langkah utama dalam merangkul masyarakat agar berperan
secara aktif membangun Kota kota di Kabupaten Flores Timur.
DAFTAR PUSTAKA

BPPMD Kabupaten Flores Timur 2008, Rencana Tata Ruang Wilayah


Kabupaten Flores Timur; Larantuka

Dirjen Penataan Ruang, 2006, Metropolitan di Indonesia Kenyataan dan


Tantangan dalam Penataan Ruang. Jakarta: Departemen Pekerjaan
Umum

Dr. P.J.M.Nas, 1984, Kota di dunia ketiga, Pengantar Sosiologi Kota. Jakarta:
Bhratara Karya Aksara

Drs. N. Daldjoeni, 2003, Geografi Kota dan Desa. Bandung: PT. Alumni

Nia K. Pontoh & Iwan Kustiawan, 2009, Pengantar Perencanaan Perkotaan.


Bandung: Institut Teknologi Bandung

You might also like