Professional Documents
Culture Documents
RELIGI JAWA
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan
pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini
Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam
semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena
segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendak-
Nya.
Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat
memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga
memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas.
Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula
Lan Gusti,yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral
manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada
kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula
terhadap Gustinya.
Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap suatu tempat yang
tinggi dan paling dekat dengan dunia diatas, karena pada awalnya
dipercayai bahwa roh nenek moyang tinggal di gunung-gunung.
Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan yang telah
berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir islam, dengan
pandangan asli mengenai alam kodrati (dunia ini) dan alam adikodrati (alam
gaib atau supranatural).
Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup.
Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup
yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup orang Jawa realitas yang mengarah kepada
pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam
adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang
menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka
telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa
segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau
merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia
selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan
manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-
pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada
dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan
hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan
supranatural (adikodrati). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta
menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan
makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam
semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
2
KEJAWEN
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
3
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
4
Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang
percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya
misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng
Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.
Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi
upacara kematian yaitu medo’akan orang yang meninggal pada tiga hari,
tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun,
dan seribu harinya setelah seseorang meninggal (tahlillan). Dan tindakan
simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang
terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari
masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan
teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam
kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib
secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode
tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu
kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi
dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah
simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki
empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur
alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan
memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut.
Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju,
keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.
Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham
simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak
akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang
tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus
berkembang mengikuti berputarnya sangkakala.
Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi
sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak
laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya
sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air
(wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam
dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus,
seperti bait berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine
asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking
wawaton
Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang
merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang
magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian),
orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku,
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
5
pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang
menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum
sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain
bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima
kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima
waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim)
dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton).
Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti
(wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan
syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu
waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan
rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku
badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang
yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga
menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke
tahap kerohanian yang lebih tinggi.
Sembah Cipta ( Kalbu )
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang
disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan
Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung
kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang
momong.
Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau
keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati , maka sembah
cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan
sembah gagasan atau angan-angan.
Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh
segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan
pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai
pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning
kalbu).
Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat.
Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah.
Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa.
Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang
hina.
Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang
keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin.
Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih
menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di
badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota
tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran
yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan
menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan
keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati
dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
6
Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma ( Allah ) dengan
mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran
kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan
jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa
henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus,
seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring
Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing
jiwa sutengong
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut
terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia
disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah
akhir perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah
raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu
dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu
waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi.
Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas
pada bait berikut :
Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang
tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama
amota.
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi
perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang
laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata
cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian
jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan
kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan
menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan
pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya
mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati
untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk
diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang
telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta)
tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil
digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar
gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu,
hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa
yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait
berikut:
"Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad
agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping
alam kono."
Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang
sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
7
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
8
Iku luwih banget gawat neki / ing rar=’]asantang keneng rinasa / tan
kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening /
sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira
dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.
BUDAYA KEBATINAN
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
9
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
10
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
11
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
12
CIPTA TUNGGAL
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
13
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
14
IV : 7 kali
20 detik 20 detik 20 detik 60 detik minggu V : 7
kali
10.Karsa akan terpenuhi apabila nasehat-nasehat diatas dituruti dengan
benar, praktekkan samadi pada waktu malam hari, paling bagus tengah
malam ditempat atau kamar yang bersih. Kontrol panca indera, tutuplah
sembilan lobang dari raga, duduk bersila dengan rilek, fokuskan
pandangan kepada pucuk hidung. Tarik nafas, tahan nafas, dan
keluarkan nafas dengan tenang dan santai, konsentrasikan cipta lalu
dengarkan suara nafas. Pertama-tama akan dirasakan sesuatu yang
damai dan apabila telah sampai saatnya orang akan bisa berada berada
dalam posisi hubungan harmonis antara kawula dan Gusti ALLAH
11. Cobalah lakukan sebagai berikut :
a. Lupakan segalanya selama dua belas detik
b. Dengan sadar memusatkan cipta kepada dzat yang agung selama
seratus empat puluh detik.
c. Jernihkan pikiran dan rasa selama satu, dua atau tiga jam
( semampunya )
12. Tujuh macam tapa raga, yang perlu dilakukan
a. Tapa mata, mengurangi tidur artinya jangan mengejar pamrih.
b. Tapa telinga, mengurangi nafsu artinya jangan menuruti kehendak
jelek.
c. Tapa hidung, mengurangi minum artinya jangan menyalahkan orang
lain
d. Tapa bibir, mengurangi makan artinya jangan membicarakan
kejelekan orang lain
e. Tapa tangan, jangan mencuri artinya jangan mudah memukul orang
f. Tapa alat seksual, mengurangi bercinta dan jangan berzinah
g. Tapa kaki, mengurangi jalan artinya jangan membuat kesalahan
13. Tujuh macam tapa jiwa yang perlu dilakukan
a. Tapa raga, rendah hati melaksanakan hanya hal yang baik
b. Tapa hati, bersyukur tidak mencurigai orang lain melakukan hal yang
jahat
c. Tapa nafsu, tidak iri kepada sukses orang lain, tidak mengeluh dan
sabar pada saat menderita
d. Tapa jiwa, setia tidak bohong, tidak mencampuri urusan orang
e. Tapa rasa, tenang dan kuat dalam panalongso
f. Tapa cahaya, bersifat luhur berpikiran jernih
g. Tapa hidup, waspada dan eling
14. Berketetapan hati
a. Tidak ragu-ragu
b. Selalu yakin orang yang kehilangan keyakinan atas kepercayaan diri
adalah seperti pusaka yang kehilangan yoninya atau kekuatannya
15. Menghormati orang lain tanpa memandang jenis kelamin, kedudukan,
suku, bangsa, kepercayaan dan agama, semua manusia itu sama : saya
adalah kamu ( tat twan asi ). Artinya kalau kamu berbuat baik kepada
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
15
orang lain, itu juga baik buat kamu, kalau kamu melukai orang lain itu
juga melukai dirimu sendiri.
16. Sedulur papat kalimo pancer
Orang Jawa tradisional percaya eksistensi dari sedulur papat ( saudara
empat ) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja,
selama orang itu hidup didunia. Mereka memang ditugaskan oleh
kekuasaan alam untuk selalu dengan setia membantu, mereka tidak
tidak punya badan jasmani, tetapi ada baik dan kamu juga harus
mempunyai hubungan yang serasi dengan mereka yaitu :
a. Kakang kawah, saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu
sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih.
b. Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu sesudah
kamu, tempatnya di barat warnanya kuning.
c. Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan,
tempatnya di selatan warnanya merah
d. Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di
utara warnanya hitam.
Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah Kalima Pancer, pancer
kelima itulah badan jasmani kamu. Merekalah yang disebut sedulur
papat kalimo pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang
menyebut mereka keblat papat lima tengah, (empat jurusan yang kelima
ada ditengah). Mereka berlima itu dilahirkan melalui ibu, mereka itu
adalah Mar dan Marti, berbentuk udara. Mar adalah udara, yang
dihasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi, sedangkan
Marti adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat
melahirkan si jabang bayi. Secara mistis Mar dan Marti ini warnanya
putih dan kuning, kamu bisa meminta bantuan Mar dan Marti hanya
sesudah kamu melaksankan tapa brata ( laku spiritul yang sungguh-
sungguh ).
17.Tingkatkan sembah, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
berarti juga menghormati dan memuja-Nya, istilah lainnya ialah
Pujabrata. Ada guru laku yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak
diperkenankan melakukan pujabrata, sebelum melewati tapabrata.
a. Sembah raga
Ini adalah tapa dari badan jasmani, seperti diketahui badan hanyalah
mengikuti perintah batin dan kehendak. Badan itu maunya
menyenang-nyenangkan diri, merasa gembira tanpa batas. Mulai hari
ini, usahakan supaya badan menuruti kehendak cipta yaitu dengan
jalan: bangun pagi hari, mandi, jangan malas lalu sebagai manusia
normal bekerjalah. Makanlah makanan yang tidak berlebihan dan tidur
secukupnya saja: makan pada waktu lapar, minum pada waktu haus,
tidur pada waktu sudah mengantuk, pelajarilah ilmu luhur yang
berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
b. Sembah cipta
1. kamu harus melatih pikiranmu kepada kenyataan sejati kawula
engenal Gusti.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
16
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
17
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
18
Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur
Papat mungguhing manungsa.
Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku :
Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah,
Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu
Mutmainah kang kabeh mau bisa dibabarake kaya ukara ing ngisor iki:
Amarah : Yen manungsa ngetutake amarah iku tartamtu tansaya
bengkerengan lan padudon wae, bisa-bisa manungsa koncatan kasabaran,
kamangka sabar iku mujudake alat kanggo nyaketake dhiri marang Allah
SWT. Supiyah / Kaendahan : Manungsa kuwi umume seneng marang
kang sarwa endah yaiku wanita (asmara). Mula manungsa kang kabulet
nafsu asmara digambarake bisa ngobong jagad. Aluamah / Srakah :
Manungsa kuwi umume padha nduweni rasa srakah lan aluamah, mula kuwi
yen ora dikendaleni, manungsa kepengine bisa urip nganti pitung turunan.
Mutmainah / Kautaman : Senajan kuwi kautaman utawa kabecikan,
nanging yen ngluwihi wates ya tetep ora becik.
Contone; menehi duwit marang wong kang kekurangan kuwi becik,
nanging yen kabeh duwene duwit diwenehake satemah uripe dewe rusak,
iku cetha yen ora apik. Mula kuwi, sedulur papat iku kudu direksa lan diatur
supaya aja nganti ngelantur. Manungsa diuji aja nganti kalah karo sedulur
papat kasebut, kapara kudu menang, lire kudu bisa ngatasi krodhane
sedulur papat. Yen manungsa dikalahake dening sedulur papat iki,
ateges jagade bubrah. Ing kene dununge pancer kudu bisa dadi
paugeran lan dadi pathokan. Bener orane, nyumanggakake
TIRAKAT
Liring sepuh sepi hawa Awas roroning atunggal Tan samar pamoring
sukma Sinukmanya winahya ing ngasepi Sinimpen telenging kalbu
Pambukaning wanara Tarlen saking liyep layaping ngaluyup Pindha sesating
supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang mangkana Wus kakenan
nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming asuwung Tan karem karameyan
Ingkang sipat wisesa-winisesa wus Milih mula-mulanira Mulane wong anom
sami.
Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat tertentu rela/mau dengan
sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-
maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa
usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
19
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
20
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
21
MEDITASI
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
22
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
23
Sesuatu itu jangan dijadikan tujuan meditasi, karena hasil sesuatu itu
adalah hasil proses meditasi, bukan tujuan meditasi.
Jika dalam proses tersebut pikiran anda belum dapat anda “ kuasai
atau hilangkan “ janganlah putus asa atau berhenti, tetapi juga
memaksakan diri secara keterlaluan. Pengembangan selanjutnya dari
proses meditasi tersebut, anda sendiri yang akan menemukan dan
meneruskannya, karena berciri sangat pribadi.
Untuk dapat berhasil anda sangat perlu memiliki motivasi yang cukup
pekat dan dalam, sehingga dengan tiada terasa anda akan bisa khusuk
dalam keheningan bermeditasi. Jika menemui sesuatu, apakah itu cahaya
atau suara atau gambaran-gambaran, jangan berhenti, teruskan meditasi
anda.
Pengalaman sesudah keadaan demikian, hanya andalah yang dapat
mengetahui dan merasakannya, karena tiada kata kalimat dalam semua
bahasa bumi yang dapat menerangkan secara gamblang. Dalam keadaan
demikian anda tidak lagi merasa lapar, mengantuk bahkan tidak
mengetahui apa-apa lagi, kecuali anda tersadar kembali. Biasanya intuisi
anda akan lebih tajam sesudah mengalami proses meditasi yang demikian
itu, dan mungkin pula memperoleh “ pengetahuan “ tentang alam semesta
atau lainnya.
Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam bentuk
syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buwono IV, terdapat juga ajaran
untuk hidup secara asketik, dengan usaha menuju kasampurnaning urip.
Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling
(Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala
dan tanda-tanda. termasuk ajaran tak boleh mengumbar nafsu makan serta
tidur).
SAMADI
Samadi berasal dari kata : Sam artinya besar dan Adi artinya bagus
atau indah. Seseorang yang melakukan samadi adalah seseorang yang
mengambil posisi-patrap untuk meraih budi yang besar, indah dan suci.
Budi suci adalah budi yang diam tanpa nafsu, tanpa keinginan dan
pamrih apapun. Inilah kondisi suwung ( kosong ) tetapi sebenarnya ada
aktifitas dari getaran hidup murni, murni sebagai sifat-sifat hidup dari
Tuhan.
Budi suci terlihat seperti cahaya atau sinar yang disebut Nur, Nur itu
adalah hati dari budi. Kesatuan dari budi dan nur secara mistis disebut
curigo manjing warongko atau bersatunya kawula dan Gusti atau juga
biasa digambarkan Bima manunggal dengan Dewa Ruci.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
24
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
25
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
26
dadi kanyatan yen perangan kang sawiji iku becik, dene perangan liyane
ala.
Kasekten putih iku satemene ilmu Allah Kang Maha Luhur wis mesthi
bae kapigunakake mligi kanggo kaslametane wong akeh. Dene kasekten
ireng iku ilmu kaprajuritan kang kapigunakake luwih-luwih kanggo nelukake
kalayan paripaksa, sarta bakal anjalari kacilakaning wong liya. Ananing
sakaro karone saka sumber ilmu Allah sarta sakaro karane iku padha
dipigunakake kalawan atas asma Allah. Tinemune ilmu-ilmu kasekten iki
saranane kalawan kekuwataning pikiran pikiran iku manawa kagolongake
meleng sawiji bisa nuwuhake kekuwatan kaya panggendeng kang rosa
banget tumrap marang apa bae kang dipikir lan disedya.
Wong kang nglakonitapa kalawan nindakake laku-laku kang
tinemtokake wis mesthi bae gumolonging pikirane bebarengan padha
kumpul dadi siji sarta katujokake marang apa kang disedya kalawan
mangkono iku kekuwatan daya anarik migunakake sarosaning kekuwatane
banjur anarik apa kang dikarepake. Swasana kang katone kaya dene
kothong bae iku satemene ana drate rupa-rupa kayata : geni murub emas
kayu lemah waja, electrieiteit zunrstof koolzunr sarpaning Zunr lan isih akeh
liya-liyane maneh.
Samengko umpamane ban ana sawijining wong kang lagi tapa
kalawan duwe sedya supaya andarbeni daya prabawa kang luwih gedhe
sarta anindakake sakehing kekuwatan pikiran kalawan ditujokake marang
sedyane mau nganti nuwuhake daya prabawa. Kekuwataning daya anarik
saka pikiran iku banjur anarik dzat ing swasana kang pinuju salaras karo
daya prabawa mau kalawan saka sathithik sarta sareh dzat daya prabawa
kang ing swasana iku katarik mlebu ing dalem badane wong kang lagi tapa
mau. Kalawan mangkono dzat "prabawa" iku dadi kumpul ing dalem badane
wong narik dzat iku nganti tumeka wusanane badane wong ahli tapa, iku
bisa metokake daya prabawa kang gedhe daya karosane.
Wong kang andarbeni ilmu kang mangoko iku dadi sawijining wong
kang sakti mandraguna. Tumrap wong-wong kang nglakoni tapa ditetepake
pralambang telu : Diyan, Jubah lan Teken. Diyan minangka pralambanging
pepadhang, tumrap kahanan kang umpetan utawa gaib. Jubah minangka
dadi pralambange katentremaning ati kang sampurna, dene teken
minangka dadi pralambanging kekuwatan gaib.
Ing dalem sasuwene wong nglakoni tapa iku prelu banget kudu
migateake marang sirikane, kayata : wedi, nepsu, sengit, semang-semang
lan drengki. Rasa wedi iku sawijining pangrasa kang luwih saka angel
penyegahe. Menawa isih kadunungan rasa wedi ing dalem atine wong ora
bakal bisa kasambadan apa kang disedyaak. Kalawan "rasa wedi" iku
atining wong dadi ora bisa anduweni budi daya apa-apa.
Sajrone nglakoni tapa utawa salagine ngumpulake kekuwatan gaib,
atining wong iku mesthi kudu tetep tentrem lan ayem sanadyan ana
kadadeyan apa wae. Manawa atine wong iku nganti gugur, kasutapan iya
uga dadi gugur lan kudu lekas wiwit maneh. Gegeman kalawan wadi
sakehing ilmu gaib lkang lagi pinarsudi, luwih becik murih nyataning
kasekten tinimbang karo susumbar kalawan kuwentos kayakenthos.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
27
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
28
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
29
Terjemahan :
Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan
Agung raja atara ( 1613 - 1645 )
Ini adalah keterangan Serat Suatu pelajaran tentang Pangracutan
yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di
Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam
hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan
dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah :
1. Panembahan Purbaya
2 Panembahan Juminah
2. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
3. Panembahan Juru Kithing
4. Pangeran di Kadilangu
5. Pangeran di Kudus
6. Pangeran di Tembayat
7. Pangeran Kajuran
8. Pangeran Wangga
9. Kyai Pengulu Ahmad Katengan
1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang
telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami
bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum,
juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan
keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian pada
keadaan jenazah adalah berbagai diketengahkan dibawah ini :
1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.
Masih banyak pula kejadianya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi apa
yang menjadi penyebabnya.
Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan
suatui pendapat sebagai berikut :
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
30
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
31
kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka
keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam
keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha
Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila
menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat
welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat
haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan Ma’rifat.
2. Berbagai Jenis Kematian
Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma
merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah
disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang
berbagai jenis kematian misalnya :
1. Mati Kisas
2. Mati kias
3. Mati sahid
4. Mati salih
5. Mati tewas
6. Mati apes
Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka
yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut :
Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari
perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena
keputusan pengadilan atas wewenang raja.
Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan
misalnya: nafas atau mati melahirkan.
Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang,
dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri
karena mendapat aib atau sangat bersedih.
Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar
petir, tertimpa pohon , jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes, suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena
santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak
dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan
dekat sekali pada alam penasaran.
Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan
kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu
dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima akibat dari kematian
seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu
juga ?”
Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin
disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak
teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan
hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat
keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi
kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar
dapat mencabut seketika itu juga.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
32
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
33
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
34
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
35
3. Kajiman
Mereka hidup dirumah-rumah kuno di dalam masyarakat yang
bergaya aristokrat, hampir sama dengan bangsa siluman tetapi mereka itu
tinggal di daerah-daerah pegunungan dan tempat-tempat yang berhawa
panas. Orang biasanya menyebut merak Jim.
4. Demit
Bangsa ini bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang
hijau dan lebih sejuk hawanya, rumah-rumah mereka bentuknya sederhana
terbuat dari kayu dan bambu, mereka itu seperti manusia hanya bentuk
badannya lebih kecil.
Disamping masyarakat yang sudah teratur seperti Merkayangan,
Siluman, Kajiman, dan Demit masih ada lagi dua menjelaskannya lebih
detail, secara singkat kedua masyarakat itu adalah untuk mereka yang
jujur, suci dan bijak.
Mahkluk halus yang tidak sempurna.
Disamping tujuh macam alam permanen tersebut, ada sebuah
saluran yang terjepit, dimana roh-roh dari manusia-manusia yang jahat
menderita karena kesalahan yang telah mereka perbuat pada masa lalu,
ketika mereka hidup sebagai manusia.
Manusia yang salah itu pasti menerima hukumaan untuk kesalahan
yang dilakukannya, hukuman itu bisa dijalani pada waktu dia masih hidup di
dunia atau lebih jelek pada waktu sesudah kehidupan ( afterlife ) diterima
oleh orang-orang yang sudah melakukan : fitnah, tidak jujur, prewangan
( orang yang menyediakan raganya untuk dijadikan medium oleh mahkluk
halus ) blakmagic, guna-guna yang membuat orang lain menderita, sakit
atau mati dll, pengasihan supaya dikasihi oleh orang lain dengan cara-cara
yang tidak wajar, membunuh orang dll perbuatan yang nista.
Memuja berhala untuk menjadi kaya ( pesugihan ) yang dimaksud
dengan berhala dalam kejawen bukanlah patung-patung batu, tetapi adalah
sembilan macam mahkluk halus yang katanya, suka menolong “ manusia
supaya menjadi kaya dengan kekayaan meterial yang berlimpah.
Pemujaan terhadap kesembilan mahkluk jahat itu merupakan
kesalahan fatal, mereka itu bila dilihat dengan mata biasa kelihatan
seperti :
1. Jaran Penoreh - kuda yang kepalanya menoleh kebelakang
2. Srengara Nyarap - anjing menggigit
3. Bulus Jimbung - bulus yang besar
4. Kandang Bubrah - kandang yang rusak
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
36
Bahasa Jawa :
1. Ayat ingkang sapisan, dipun wastani pambukaning tata mahligai ing
dalem Baitalmakmur, kados makaten wewedharanipun :
Sajatine ingsun nata malige ing dalem Baitalmakmur iya iku enggon
parameyaningsun jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning
sirah iku dimak, iya iku utek kang ana antaraning Dimak iku manik,
sajroning pranawa iku sukna, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa
iku ingsun ora ana pangeran, anging ingsun dzat kang anglimputi ing
kahanan jati.
2. Ayat ingkang kaping kalih dipun wastani pambukaning tata mahlige ing
dalem Baitalmukharam, kados makten wewedharanipun :
Sajatine ingsun anata malige ing dalem baitalmukharam, iya iku
enggon laranganingsun jumeneng ana jajaning Adam, kang ana
sajroning dhada iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning
jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, sajroning jinem iku sukma,
sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran
anging ingsun dzat kang anglimputi kahanan jati.
3. Ayat ingkang kaping tiga dipun wastani pambukaning tata mahlige
ing dalem Baitalmukadas, mekaten wewejanganipun :
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
37
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
38
di dalam dada itu hati, yang berada diantara hati itu jantung, di dalam
jantung itu budi, di dalam budi itu jinem, di dalam jinem itu sukma,
didalam sukma itu rahsa dan di dalam rahsa itu aku, tidak ada Tuhan
kecuali aku, Dzat yang emliputi semua keadaan .
3. Ayat ketiga dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam Baital
Mukadas sebagai berikut :
Sebenarnya aku menata singgasana dalam Baital Mukadas, rumah
tempat yang aku sucikan berada didalam kelaminnya Adam, yang
berada di dalam kelamin itu pelir, yang berada di dalam pelir itu mutfah
yakni mani, di dalam mutfah adalah madi, di dalam madi itu manikem, di
dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itu adalah aku tidak ada Tuhan
kecuali aku, dzat yang meliputi semua keadaan.
Adapun yang ditunjuk mewedarkan wedaran Triloka ialah delapan wali,
sebagai berikut :
1. Sesuhunan di Giri Kedaton
2. Sesuhunan di Kudus
3. Sesuhunan di Panggung
4. Sesuhunan di Pajagung
5. Sesuhunan di Pancuran
6. Sesuhunan di Cirebon
7. Syeh Maulana Ibrahim Jatiswara
8. Sesuhunan di Kajenar
Adapun mereka mau mewedarkan Triloka itu, karena mereka telah
menyaksikan kehebatan ilmu kasampurnan, yang dianggap menjadi
kuncinya ilmu sorogan, misalnya :
1. Mampu mendatangkan semua yang dikehendaki
2. Mampu melumpuhkan orang yang berniat jahat, yaitu tergolong
pangatisan.
3. Mampu membuat penglihatan menjadi berubah ialah sebangsa
sulapan.
4. Mampu menggelarkan jenisnya dendam, atau puter giling dan
sebagainya, tetapi semua itu ketika masih berkumpul dengan Sunan
Kalijogo, mereka takut mempergunakan ilmu-ilmu tersebut.
Mereka membuat keanehan setelah Sunan Kalijogo sudah kayun
widaraini artinya hidup di akherat pun hidup. Ternyata abadi tidak berubah
oleh karenanya dapat menyandang sebagai Gosul Alam, artinya menjadi
mustikanya tujuh lapis Bawana mempunyai wewenang menguasai Bumi dan
langit lapis tujuh.
AL FAATIHAH ( BEBUKA )
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
39
Bahasa Arab :
1. Bismillahir rahmaanir rahim
2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin
3. Arrahmanir rahiim
4. Maaliki yaumid diin
5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in
6. Ihdinash shiraathal mustaqiim
7. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘ alaihim waladl
dlaal-liin
Bahasa Jawa :
1. Kalawan asma Allah kang Maha Murah ugi Maha Asih.
2. Kabeh pangalembana kagunganing Allah Pangeran, Sesembahaning ‘
alam jagad-rat pramudita.
3. Kang Maha Murah Maha Asih.
4. Kang Ngratoni ing dina Piwelas.
5. Namung dhumateng Paduka piyambak kita sami menembah ‘ ibadah,
saha namung dhumateng Paduka piyambak kita sami anyenyadhong
pitulungan.
6. Dhuh Gusti Allah, mugi Paduka paring pitedah ing kita sadaya lumampah
wonten ing margi ingkang leres.
7. Inggih punika margi, Agaminipun para tetiyang ingkang sampun Paduka
paringi kani’matan, sanes ingkang sami kabendon, tuwin sanes ingkang
sami sasar.
Isi maksud ingkang wigatos ing Surat Al-Faatihah :
Intisari saking isinipun Al-Quraan punika sampun kaweca pokok-
pokok ingkang fundamentil wonten salebeting Surat Al Faatihah, kados
kasebut ing ngandhap punika :
1. Bab ‘aqaid utawi kaimanan ; punika kuwajiban ingkang wiwitan
kaampil, ingkang dipun da’wahaken dening junjungan kita Nabi Muhammad
s.a.w, makaten ugi dening para andika Rasul saderengipun. Ingkang baku
inggih punika ‘ aqidah-tauhid ( memundhi saha mangeran namung
dhumateng Panjenanganipun Allah piyambak ) ‘ Aqidah-tauhid wau dados
jejering piwucal Agami, sadaya para andika Nabi Utusaning Allah kautus
ngampil tugas-pokok mbangun Tauhid ing Allah, sarta ngrebahaken sadaya
kamusyrikan, ugi ngajak Ummatipun supados samia ‘ibadah ( manembah )
ing Allah piyambak, lan nilar sadaya brahalanipun.
2. ‘Ibadah ; utawi ngumawula lan manembah ing Allah, ingkang kuwajiban
sadaya titah, langkung-langkung manungsa ( sabab manungsa punika
makhluk ingkang saged damel kabudayan wonten ing ‘ alam donya ).
Ingkang baku wonten sekawan, inggih punika : Shalat, Zakat, Shiyam lan
kesah Haji. Saking ingkang baku kasebut, lajeng tuwuh ‘ibadah memuji,
ndedonga, dzikir lan tafakkur utawi I’tikaf ing masjid. Saking zakat lajeng
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
40
tuwuh ‘ ibadah qurban sidqah, weweweh lan tetulung ing sasaminipun, lan
saking Shiyam tuwuh watak Wira’I 9 mboten ndremis lan mboten kathah
sesambat ) sumingkir saking ingkang nama lelangkungan ( gesang
prasaja ). Lajeng saking Haji tuwuh semangat ambelani sarta labuh ing
agami.
3. Angger- angger Hukum lan Pernatan- pernatan : maksudipun
Syari’at Islam damel angger-angger hukum lan pranatan punika kangge
karaharjaning ummat manungsa ing Donya dumugi ing Akheratipun.
Pramila ing salebetingQuraan ngemot pinten-pinten norma lan katamtuwan,
upami hukum, politik, tatanagari, sosial, ekonomi, perang, dahme,
sesambetan internasional, kabudayan sarta kesenian, agami,
sesambetaning manungsa kaliyan Allah, lan lingkungan sapiturutipun.
4. Janji sarta ancaman : artosipun supados ngadeg keadilan lan keleresan
ingkang saestu, sanajan wonten Donya saged lolos saking hukuman,
nanging wonten ngarsaning Allah ing dinten Qiyanat tantu nboten saged
lolos malih.
5. Sejarah : maksudipun ingkang saged dados tepa-palupi ing salebeting
sesrawungan ummat manungsa, sampun ngantos damel sejarah awon,
gesang sapisan wonten ing ‘ alam Donya.
AYAT KURSI
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
41
rumeksa ing sakarone langit lan bumi, lan Panjenengane Allah iku Maha
Luhur tur Maha Agung. (QS. Al Baqarah:255)
KAUTAMANING LAKU
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
42
Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu
MarGAne suka basuki
Dimen luWAR kang kinayun
Kalising panggawe SIsip
Ingkang TAberi prihatos
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
43
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
44
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
45
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun
Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan
makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
46
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
47
SERAT KALATIDA
Sinom
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
48
3. Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
49
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
50
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
51
SABDA TAMA
Gambuh
1. Rasaning tyas kayungyun
Angayomi lukitaning kalbu
Gambir wanakalawan hening ing ati
Kabekta kudu pitutur
Sumingkiring reh tyas mirong
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
52
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
53
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
54
Segala dosa dan cara hancur lebur, seolah-olah hati dikuasai ketakutan.
Yang beruntung adalah ular berkepala dua, sebab kepala serta buntutnya
dapat makan.
12. Ndhungkari gunung-gunung
Kang geneng-geneng padha jinugrug
Parandene tan ana kang nanggulangi
Wedi kalamun sinembur
Upase lir wedang umob
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
55
Semua itu hanya ditumpuk saja, tidak ada yang berbuat curang maupun
yang mengambil. Hewan piraan diikat diluar tanpa ditunggu namun tidak
ada yang dicuri.
19. Diraning durta katut
Anglakoni ing panggawe runtut
Tyase katrem kayoman hayuning budi
Budyarja marjayeng limut
Amawas pangesthi awon
Yang tadinya berbuat angkara sekarang ikut pula berbuat yang baik-baik.
Perasaannya terbawa oleh kebaikan budi. Yang baik dapat menghancurkan
yang jelek.
20. Ninggal pakarti dudu
Pradapaning parentah ginugu
Mring pakaryan saregep tetep nastiti
Ngisor dhuwur tyase jumbuh
Tan ana wahon winahon
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
56
Keadaan seperti itu terjadi diseluruh negeri. Banyak sekali orang-orang ahli
dalam bidang surat menyurat. Kembali seperti dijaman dahulu kala.
Semuanya berhati baja.
Gambuh
1. Jaka Lodang gumandhul
Praptaning ngethengkrang sru muwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
57
Sinom
1. Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
58
Megatruh
1. Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
59
Akan ada keadilan antara sesama manusia. Itu sudah menjadi kehendak
Tuhan.
3. Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
Malenuk samargi-margi
Marmane bungah kang nemu
Marga jroning kethuk isi
Kencana sesotya abyor
Diwaktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong
kecil)
yang berada banyak dijalan.
Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut
isinya tidak lain emas dan kencana.
RUWATAN
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
60
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
61
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
62
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
63
pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen. ). Sajen itu
dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon
keselematan.
12. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar
mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros
ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang
berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan
uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar
tercapai apa yang dicita citakan.
Yang perlu atau harus di Ruwat
Menurut kepustakaan " Pakem Ruwatan Murwa Kala " Javanologi
gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini ( Sri Paku
Buwana V ), bahwa orang yang harus diruwat disebut anak atau orang "
Sukerta " ada 60 macam penyebab malapetaka, yaitu sebagai berikut :
1. Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2. Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-
laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3. Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan
yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan
4. Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan
yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki
5. Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus
oleh selaput pembungkus bayi ( placenta )
6. Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau
kembar "dampit" yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ( yang
lahir pada saat bersamaan )
7. Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak
yang kedua-duanya perempuan
8. Kendhana-Kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan
9. Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki
10. Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan
11. Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anakyang semuanya
laki-laki
12. Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan
13. Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak
perempuan dan 1 orang anak laki-laki
14. Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan
9
1 orang anak perempuan
15. Julung Pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
16. Julung Wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya
matahari
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
64
17. Julung Sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang
18. Tiba Ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
19. Jempina, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan
sudah lahir
20. Tiba Sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
21. Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
22. Wahana, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah
23. Siwah atau Salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki
kulit dua macem warna, misalnya hitam dan putih
24. Bule, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih " bule "
25. Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam
26. Walika, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil
27. Wungkuk, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok
28. Dengkak, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol,
seperti punggung onta
29. Wujil, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek
30. Lawang Menga, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya "
Candikala " yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan
31. Made, yaitu anak yang lahir tanpa alas ( tikar )
32. Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan " Dandhang "
( tempat menanak nasi )
33. Memecahkan " Pipisan " dan mematahkan " Gandik " ( alat
landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat
tradisional).
34. Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada " tutup
keyongnya "
35. Orang tidur di atas kasur tanpa sprei ( penutup kasur ).
36. Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau
daun pisang.
37. Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan
padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap.
38. Orang yang menempatkan barang di suatu tempat ( dandhang -
misalnya ) tanpa ada tutupnya.
39. Orang yang membuat kutu masih hidup.
40. Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu.
41. Orang yang duduk didepan ( ambang ) pintu.
42. Orang yang selalu bertopang dagu.
43. Orang yang gemar membakar kulit bawang.
44. Orang yang mengadu suatu wadah atau tempat ( misalnya
dandhang diadu dengan dandhang )
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
65
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
66
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
67
kantor pencatatan sipil, dan lain sebagainya tetapi di dalam hati masih ada
keraguan.
Pertunangan dengan atau tanpa tukar cincin adalah usaha untuk
mendekatkan pria dan wanita yang menjalin kisah dan hendak hidup
sebagai suami isteri. Pertunangan tidak boleh diartikan lalu boleh bergaul
sebebas-bebasnya hingga perbuatan sebagai suami isteri. Dalam hal itu
calon isteri haruslah teguh hati, mencegah jangan sampai terjamah
kehormatannya. Ingatlah, bahwa calon suami atau istri itu bukan atau
belum suami atau istrinya. Sekali terjadi peristiwa dan sang wanita hamil
tidak mustahil menjadi persoalan sebagai pangkal persengketaan. Kalau
sang pria ingkar, pertunangan putus, sang wanita menjadi korban.
PERKUTUT
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
68
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
69
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
70
sudah berani menawar dengan harga tinggi. Terlepas dari kata tidaknya,
unsur magis menurut Ir. Suharno Budi Santosa, perkutut putih sebenarnya
merupakan kasus penyimpangan gen. Ini kasus langka dalam khasanah
perkutut. Prosentasenya sangat kecil dan belum tentu satu kasus dari seribu
perkutut.
Berdasarkan ciri fisik, akibat penyimpangan gen, perawakan maupun
suara perkutut putih lebih jelek ketimbang perkutut biasa. Serba lebih kecil.
Yang kata, perkutut putih tidak bisa ditangkarkan , karena rata-rata
perkutut putih itu mandul.
Mengamati kebiasaan serta perilakunyajenis perkutut ini ,
sebenarnya tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang mencolok dibanding
perkutut normal. Sehingga kadang mengherankan, kenapa perkutut macam
begini harganya bisa setinggi langit, bisa puluhan juta rupiah.
Perkutut putih tidak setiap saat bisa didapat, di pasar burung
tradisional apalagi begitu sulitnya mencari perkutut putih, sementara
kenyataan permintaan pasar cukup tinggi, sering membuat orang berbuat
curang, sehingga bagi pemula sulit membedakan perkutut putih asli dengan
yang " sudah dipermak "
Adapun sebagai acuan ciri ciri yang asli :
Paruhnya harus juga putih,namun agak kemerahan,kaki merah
muda,bulu ekor bagian bawah walaupun segaris/se titik biasanya ada unsur
warna coklat,demikian juga bulu sayap ada motif bintik bintik (blirik)
transparan coklat kemerahan.
GUNUNG LAWU
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
71
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
72
GUNUNG MERAPI
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
73
HA NA CA RA KA
HURU BAC
F A MAKNA HURUF
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
74
Tha Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai - tumbuh dari niatan
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
75
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh
Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul
makalah yang dibawakan Yasadipura adalah " Basa Jawi Hing Tembe
Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem
Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta Hadiningrat ".
Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 - 10 ) bahwa
Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara
ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi,
sebagai berikut.
Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan
ajaran
Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru kang sejati itu guru yang sejati
Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa itu sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa
nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia.
Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang
dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan
kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan
data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia
( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan
menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik )
dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau
sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan
berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul "
sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau
menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan
dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus
pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk
mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
76
Pupuh I
a) Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula,
suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni
tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang,
donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka.
b) Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang,
pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
77
becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung
lara prihatin, rumeksa maring siro.
c) Nora eco dahar lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul
uyah bae, tan ketang wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri
mring bengawan, pilis singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit,
mulane den rumongso.
d) Dhaharira mangke pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang
turu samben, tan ketang komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun
sira wawratana, tinatur pinangku, cinowekan ibu nira, dipun dusi esok
sore nganti resik, lamun luwe dinulang.
e) Duk sira ngumur sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang,
ibumu momong karsane, tan ketang gombal tepung, rumeksane duk sira
alit, yen sira kirang pangan nora ketang nubruk, mengko sira wus
diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira niaya.
f) Lamun sira mangke anglampahi, nganiaya ing wong tuwanira,
ingukum dening Hyang Manon, tembe yen lamun lampus, datan wurung
pulang lan geni, yen wong durakeng rena, sanget siksanipun, mulane
wewekas ingwang, aja wani dhateng ibu rama kaki, prentahe lakonano.
g) Parandene mangke sira iki, yen den wulang dhateng ibu rama, sok
balawanan ucape, sumahir bali mungkur, iya iku cegahen kaki, tan becik
temahira, donya keratipun, tan wurung kasurang-kasurang, tembe mati
sinatru dening Hyang widhi, siniksa ing Malekat.
h) Yen wong anom ingkang anastiti, tan mangkana ing pamang gihira,
den wulang ibu ramane, asilo anem ayun, wong tuwane kinaryo Gusti,
lungo teko anembah iku budi luhung, serta bekti ing sukma, hiyo iku
kang karyo pati lan urip, miwah sandhang lan pangan.
i) Kang wus kaprah nonoman samangke, anggulang polah, malang
sumirang, ngisisaken ing wisese, andadar polah dlurung, mutingkrang
polah mutingkring, matengkus polah tingkrak, kantara raganipun,
lampahe same lelewa, yen gununggungsarirane anjenthit, ngorekken
wong kathah.
j) Poma aja na nglakoni, ing sabarang polah ingkang salah tan wurung
weleh polahe, kasuluh solahipun, tan kuwama solah kang silip, semune
ingeseman ing sasaminipun, mulaneta awakingwang, poma aja na polah
kang silip, samya brongta ing lampah.
k) Lawan malih wekas ingsun kaki, kalamun sira andarbe karsa, aja sira
tinggal bote, murwaten lan ragamu, lamun derajatiro alit, aja ambek
kuwawa, lamun siro luhur, den prawira anggepiro, dipun sabar jatmiko
alus ing budi, iku lampah utama.
l) Pramilane nonoman puniki, dan teberi jagong lan wong tuwa, ingkang
becik pituture, tan sira temahipun, apan bathin kalawan lahir, lahire
tatakromo, bathine bekti mring tuhu, mula eta wekasing wong,
sakathahe anak putu buyut mami, den samya brongta lampah.
Terjemahan Pupuh I :
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
78
a) Wulang sunu yang dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara
berbakti, bergaul bersama orang tuanya, agar semuanya
memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak mau menurut,
pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya dunia
akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
79
melempar senyum, untuk itu anakku, ingatlah jangan ada yang berbuat
salah agar hidupmu tidak mengalami kesusahan.
k) Ada lagi nasehatku anakku, bila kamu mempunyai kehendak jangan
sampai memberatkan diri, jagalah badanmu, bila derajatmu kecil, jangan
merasa pesimis, bila kamu menjadi orang luhur, tegakkanlah
pendapatmu, bersabar dengan kehalusan, budi, itulah perbuatan yang
utama.
l) Maka dari itu kaum muda sekarang bersabarlah, bergaul dengan
orang tua, perhatikanlah petunjuknya yang baik, dari lahir sampai batin,
lahir dengan tatakrama, batinnya dengan berbakti kepadanya, itulah
nasehatku semua anak cucu cicitku, agar hidupmu tidak mengalami
kesusahan.
P U P U H II
1) Pupuh II ini terdiri dari 22 bait, selengkapnya penulis
sampaikan sebagai berikut :
2) Lawan malih wekas mami, anak putu butut ingwang, miwah
canggih wareng ingwang, poma padha estokna, ing pitutur kang arja, aja
ana wong tukar padu, amungsuh lawan sudara.
3) Dhahat ingsun tan nglilami, sujatma ahli dursila, cewengan lan
sudarane, temahan tan manggeh arja lan tipis kang sarira, wong liyan
kathah kan purun, mejanani mring sira.
4) Mokal sira tan miyarsa, kang kocap sujana kathah, gecul
mgrumpul bandhol ngrompol, nanging aja kalirua, babasan kaya ika, den
waskitheng surupipun, babasan kaya mangkana.
5) Dipun kumpul sira sami, aja gecul tekadira, dipun ngrompol ala
bandhol, poma iku estokna, yen sira nedya arja, aja ma kawongan
pocung, anom kumpul tuwo pisah.
6) Yen kayaa pocung ugi, salawsiro neng donya, dadi wong
pidhangan bae, dudu watek wong sujana, salawasira neng donya, lamun
sujalma kang surup, nom kumpul tuwa tan pisah.
7) Poma den astiti, pitutur ing layang iki, poma aja na maido,
lamun sira maidoa, lan mara ayonana, dumeh tutur tanpa dhapur, tinarik
tan manggih arja.
8) Yen sira karsa ngayeni, pitutur ing layang iki, anuli solahe age,
mungsuhe lawan sudara, nuli pisaha wisma, samangsane sira luput,
kalawan sujalma liyan.
9) Pasti sira den ayoni, den ira sujalma liyan, sadulur wis tega
kabeh, sanajan silih kataha, kadhang mangsa belas, sajege sira tan atut,
lawan sanak kadhangira.
10) Pan ana saloka maning, poma padha estokna, surasane,
ujaring ngong, rusak sana den karesa, mangkana tuturing wang, wonten
sima tukar padu, amungsuh kalawan wana.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
80
11) Mangkana sang sima angling, heh wana sira kapurba, denira
kuwasaning ngong, yen aja na kuwating wang, pasti sira binabat, denira
sujalma agung, temah sira lebur sirna.
12) Kang wana nyahuri bengis, apa ta samono ugo, yen aja na
kuwating ngong, amasti sira meneka, den risak jalma kathah, kiniter
winaos lampuh, samana diya-diniya.
13) Sang sima lawan manadri, anulya talak tinalak, samya arengat
manhe, samana sang sima kesah medal sing wana wasa, anjog wiring
dhusun, anglela ing ara-ara
14) Yata ganti kang winarni, wonten laren ngon maesa, saksana
anulya anon, yen wonten sima punika, anglela ngara-ara, cangkelak
anuli wangsul, apa jarwang tuwanira.
15) Kaget ingkang awawarti, anulya samya wawarta, ing prapat
monca limane, pan samya nabuh gendhala, rame poman dedesan,
suwanten lumyang gumuruh, pan samya sikep gegaman.
16) Wusraket sikeping jurit, tumulyan sigra amedal wus prapteng
jawi desane, wus prapto ing ingara-ara, sima sigra kinepung, kecandhak
winaos sampun, yata ganti kawarnaha.
17) Kocapa ingkang wanadri, tet kala wahu tinilar, dhumateng
sima lampahe, yata wonten kawarnaha, jalma samya kawawanan, arsa
badhe karsanipun, ngupados babahing tegal.
18) Wus prapta dhateng wanadri, kang wana nuli sinuksma,
suwung tan ana simane, tumulya sigra binabat, dhening sujalma kathah,
wus garing nulya tinunu, wana lebur sirna ilang.
19) Nuli tinanduran sami, pari kapas miwah jarak, kacang dhele
lombok terong, wus ilang labething wana, genggeng ponang tanduran,
lama-lama dadi dhukuh, wus ilang labething wana.
20) Pan iku saloma mami, anak putu buyut ingwang, miwah
canggah warenging ngong, puniku apan upama, tapa badan prayoga,
lamun sira karem padu, amungsuh lawan sudara
21) Benal ngammi wal ngamati, wa bena jho jhi wa jho jhit puniku
nenggih tegese, kawasa tan kawasaa, wajib sira asiha, dhumateng
sudara kakung, muwah sadulur wanodya
22) Poma-poma wekas mami, anak putu buyut ingwang, aja
katungkul uripe, aja lawas saya lawas, lawan den saya lawas, siyang dalu
dipun imut, wong anom sedya utama.
Terjemahan PUPUH II :
1) Ada lagi nasehatku anak cucu cicitku, serta canggah (anak cicit) dan
wareng (cucunya cicit) ku, supaya memperhatikan petunjuk menuju
selamat. Jangan ada yang bertengkar, bermusuhan dengan saudara
2) Aku juga tidak merestui, manusia yang melanggar kesusilaan,
bertengkar dengan saudaranya, akhirnya tidak akan menemui
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
81
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
82
PANGKUR
Jangka Kagem Tanah Jawi
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
83
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
84
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
85
KAWRUH BASA
Istila-istilah dalam Sastra Jawa
Babad :
Sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa, digunakaan untuk pengertian yang
sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan
carita, sajarah [Jawa/Sunda], hikayat, silsilah, sejarah Sumatera,
Kalimantan, dan Malaysia
Bebasan :
Ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada
keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan.
Gancaran :
Wacana berbentuk prosa.
Gatra :
Satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
Gatra purwaka :
Bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau
inti.
Guru gatra :
Aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa [tembang
macapat].
Guru lagu :
[disebut juga dhong-dhing] aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.
Guru wilangan :
Aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.
Janturan :
Kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk
memaparkan tokoh atau situasi adegan.
Japa mantra :
Mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan.
Kagunan basa :
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
86
pada: bait
Parikan :
Puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra
tebusan (isi); pantun [Melayu].
Parikan lamba :
Parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka
dan gatra tebusan.
Parikan rangkep:
Parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra
tebusan.
Pepali :
Kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
Pupuh :
Bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana
berbentuk prosa.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
87
panambang: sufiks/akhiran
Panwacara :
Satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon),
Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
Paribasan :
Ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung
perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
Pegon :
Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
Pujangga :
Orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa;
mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang
menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi
(mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan
kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara
(pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki
pengetahuan mengenai hal yang 'kasar' dan 'halus'), nawung kridha
(memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga
sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
Saloka :
Ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan
pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
Saptawara :
Satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma
(Senen), Buda (Rebo), Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak
(Setu).
Sasmitaning tembang :
Isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal
pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan)
tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang
digunakan pada pupuh berikutnya.
Sastra gagrak anyar :
Sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai
metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
Sastra gagrak lawas :
Sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat seperti--
terutama--pembaitan secara ketat.
Sastra wulang :
Jenis sastra yang berisi ajaran, terutama moral.
Sengkalan :
Kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik
dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki
ekuivalen dengan angka secara konvensional.
Singir :
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
88
PUNAKAWAN
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
89
SEMAR
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
90
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
91
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
92
Paradoks Semar
PARA pencinta wayang kulit Jawa tentu tak asing lagi dengan tokoh
Semar. Setiap pertunjukan tokoh ini selalu hadir. Semar dan anak-anaknya
selalu menjadi pelayan atau pembantu kesatria yang baik, umumnya Arjuna
atau anak Arjuna, penengah Pandawa. Semar adalah sebuah filsafat, baik
etik maupun politik. Di balik tokoh hamba para kesatria ini, terdapat pola
pikir yang mendasarinya.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
93
Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan
Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru menguasai
kahiyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi
dan manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang
muncul bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak
(suwung-awang-uwung).
Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit dan bumi
(ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan pelaku di
dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa Maya).
Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.
Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua dan
kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang
terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek
rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat
dikembangkan lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.
Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di dunia
bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar
penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi,
Batara Semar sepenuhnya urakan.
Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja, Semar adalah
simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya digambarkan sering tidak
dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering mengendaikan
nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan - kebijaksanaan. Batara Guru
berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa
wangsalan (sastra).
Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan tergesa-
gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan
majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran.
Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan raja-raja, Semar
hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru selalu hidup
di lingkungan yang "wangi", sedang Semar suka kentut sembarangan.
Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.
Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam kisah-kisah wayang
kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara Guru dan
Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih "tua"? Jawabannya
terdapat dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).
Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang Wisesa, mengapa ia
diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai kain wedelan
(biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal?) menjawab,
bahwa warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk
menyamarkan yang sejatinya "ada" itu "tidak ada", sedangkan yang "tidak
ada" diterka "bukan", yang "bukan" diterka "ya".
Dengan demikian Batara Semar lebih "tua" dari adiknya Batara Guru.
Semar itu "kakak" dan Batara Guru itu "adik", suatu pasangan kembar yang
paradoks pula.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri, ketidaktahuan
mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut sebagai
ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
94
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
95
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
96
PRAJURIT LELEMBUT
IKU KANG WEKAS INGWANG
SIRA NDEREK ANGEMONG ING TEMBE WURI
SANG NATA BINATHARA
5. WONG CILIK SAMYA SUKA ING ATI
GUMUYU MURAH SANDHANG LAN TEDHA
GUYUB RUKUN SESAMANE
SAMYA MADHEP SUMUJUD
NGARSENG HYANG WIDHI LAN NJENG GHUSTI
WEDI WEWALATIRA
WINGITING SANG RATU
MANANGKA JAMAN KENCANA
KAKANG SEMAR GYA TINDAKNA WELING MAMI
NGIRIDTA GUNG LELEMBUT
6. MANANGKA WELINGE SANG AJI
SRI JAYABAYA NATA BINATHARA
MRING SANG PAMONG KALIHE
KAKANG SEMAR UMATUR
PUKULUN JAYABAYA AJI
PUN KAKANG WUS ANAMPA
KABEH SABDANIPUN
DADYA PASEKSENING JANGKA
MANGEJA WANTAHIRA PADUKA AJI
SANG NATA BINATHAR
7. JUMENENGIRA GUSTHI PRIBADI
LAMUN JANGKANING NUSA TUMEKA
NORA ENDHAS LAN BUNTUTE
PUN KAKANG WUS SUMAGGUH
NGEMONG SANG TUNJUNG SETA AJI
LAN NGIRID BYANTOKNA
SAGUNGING LELEMBUT
SINEGEG WAWAN SABDANYA
SRI JAYABAYA LAN PAMONGNYA KEKALIH
MECA JANGKANING NUSA
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
97
DEWA RUCI
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
98
memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan juga agar untuk
mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.Perintah
inipun dituruti lagi.........
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma,
Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya,
Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas
kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh
Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang
dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu
bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi.....,
yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para
kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya
pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati,
yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa
janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat
balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang
membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi
dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun
tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan
meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan
tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak
membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik
turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-
gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak
kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam
samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa
Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang
Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar
samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan
mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah
menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam
mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut,
kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan
perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-
nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut,
wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring
tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya,
menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati,
tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya,
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
99
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
100
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam,
merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: Yang pertama kau
lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya
ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut
muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu
sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk
hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang
berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi
dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang
baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar
kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang
putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu,
perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah
penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi
melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa
Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa
bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat
tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat
di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan
diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di
tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan
menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa
daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma,
ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan
suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang
sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya
kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku,
jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi,
tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat
dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar,
tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan
akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu
dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan
manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang
yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan
kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk
memainkan panggungnya.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
101
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
102
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
103
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
104
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
105
PRANATA MANGSA
( aturan waktu musim kuno )
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
106
12. Saya, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur
padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami.
Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan)
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
107
(air pergi dari sumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang
berkeringat, sebab sangat dingin).
Demikian uraian singkat tentang Pranata Mangsa, yang jika dikaitkan
dengan kondisi saat ini, hal tersebut diatas tentunya harus diselaraskan
secara ilmiah, kondisi alam, kemajuan teknologi pengindraan satelit cuaca,
dan sebagainya.
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
108
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
109
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
110
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
111
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
112
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
113
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
114
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
115
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
116
( QS. Al Zalzalah )
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
117
“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “