You are on page 1of 117

1

RELIGI JAWA

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan
pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini
Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam
semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena
segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendak-
Nya.
Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat
memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga
memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas.
Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula
Lan Gusti,yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral
manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada
kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula
terhadap Gustinya.
Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap suatu tempat yang
tinggi dan paling dekat dengan dunia diatas, karena pada awalnya
dipercayai bahwa roh nenek moyang tinggal di gunung-gunung.
Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan yang telah
berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir islam, dengan
pandangan asli mengenai alam kodrati (dunia ini) dan alam adikodrati (alam
gaib atau supranatural).
Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup.
Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup
yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup orang Jawa realitas yang mengarah kepada
pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam
adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang
menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka
telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa
segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau
merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia
selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan
manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-
pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada
dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan
hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan
supranatural (adikodrati). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta
menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan
makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam
semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
2

kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna ( dunia


atas - dunia manusia - dunia bawah ). Alam semesta terdiri dari empat arah
utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi
keseimbangan.
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata ( mikrokosmos ) adalah
tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan
manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala
sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia
yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan
jiwanya.
Bagi orang Jawa dahulu, pusat dunia ini ada pada pimpinan atau raja
dan keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja dianggap
perwujudan wakil Tuhan di dunia, sehingga dalam dirinya terdapat
keseimbangan berbagai kekuatan dari dua alam. Jadi raja dipandang
sebagai pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos
dari wakil Tuhan dengan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton
merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena
rajapun dianggap merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang
mengalir ke daerah kedaulatannya dan membawa ketentraman, keadilan
dan kesuburan wilayah.
Hal hal diatas merupakan gambaran umum tentang alam pikiran
serta sikap dan pandangan hidup yang dimiliki oleh orang Jawa pada jaman
kerajaan. Alam pikiran ini telah berakar kuat dan menjadi landasan falsafah
dari segala perwujudan yang ada dalam tata kehidupan orang Jawa.

KEJAWEN

Mari kita mengutip satu tembang Jawa


Tak uwisi gunem iki saya akhiri pembicaraan ini
Niyatku mung aweh wikan saya hanya ingin memberi
tahu
Kabatinan akeh lire kabatinan banyak
macamnya
Lan gawat ka liwat-liwat dan artinya sangat
gawat
Mulo dipun prayitno maka itu berhati-hatilah

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
3

Ojo keliru pamilihmu Jangan kamu salah pilih


Lamun mardi kebatinan kalau belajar kebatinan

Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh)


kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya
perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha
mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam
keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta)
( jumbuhing kawula Gusti ) /pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara
total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya
kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur.
beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati
yang mantap. Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk
melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui
kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik,
benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci
jumbuhing Kawulo Gusti : hati suci itu adalah hubungan yang serasi
antara Kawulo dan Gusti, kejawen merupakan aset dari orang Jawa
tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat
hidup yang mengandung nilai-nilai.
Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham
yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran
manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam.
Manusia mempergunakan simbol sebagai media penghantar komunikasi
antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan
perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu
selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang
diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah
dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah
difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap
yang berberda-beda.
Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah
sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah
barat-nya bukan wilayah pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat
yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong
dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “ yang berarti sekata satu
tujuan.
Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya
pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis
sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan
digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka.
Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang
muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui
adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkembang
dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam
religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
4

Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang
percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya
misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng
Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.
Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi
upacara kematian yaitu medo’akan orang yang meninggal pada tiga hari,
tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun,
dan seribu harinya setelah seseorang meninggal (tahlillan). Dan tindakan
simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang
terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari
masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan
teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam
kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib
secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode
tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu
kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi
dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah
simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki
empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur
alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan
memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut.
Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju,
keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.
Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham
simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak
akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang
tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus
berkembang mengikuti berputarnya sangkakala.
Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi
sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak
laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya
sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air
(wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam
dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus,
seperti bait berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine
asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking
wawaton
Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang
merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang
magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian),
orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku,

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
5

pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang
menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum
sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain
bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima
kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima
waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim)
dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton).
Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti
(wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan
syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu
waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan
rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku
badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang
yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga
menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke
tahap kerohanian yang lebih tinggi.
Sembah Cipta ( Kalbu )
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang
disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan
Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung
kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang
momong.
Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau
keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati , maka sembah
cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan
sembah gagasan atau angan-angan.
Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh
segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan
pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai
pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning
kalbu).
Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat.
Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah.
Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa.
Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang
hina.
Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang
keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin.
Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih
menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di
badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota
tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran
yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan
menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan
keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati
dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
6

Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma ( Allah ) dengan
mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran
kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan
jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa
henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus,
seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring
Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing
jiwa sutengong
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut
terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia
disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah
akhir perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah
raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu
dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu
waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi.
Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas
pada bait berikut :
Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang
tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama
amota.
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi
perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang
laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata
cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian
jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan
kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan
menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan
pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya
mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati
untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk
diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang
telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta)
tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil
digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar
gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu,
hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa
yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait
berikut:
"Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad
agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping
alam kono."
Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang
sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
7

ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk


semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat
batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti
menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa
berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat
batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling
halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati
yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling
halus).
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia
terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh
(telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan
urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan
bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan
salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara
IV dalam bait berikut:
Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur /
sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan
kasing batos.
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses
pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah
rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu,
melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan
kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir
perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap
dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan
sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat
sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan
sembah rasa.
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah
rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah
memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli
dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek
batiniahnya sendiri.
Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang
salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang
menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada
Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian
dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami
dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena
itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala
ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur
diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan.
Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait
berikut:

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
8

Iku luwih banget gawat neki / ing rar=’]asantang keneng rinasa / tan
kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening /
sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira
dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.

BUDAYA KEBATINAN

Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam bentuk


syair) yang ditulis oleh Sunan Paku Buono IV, terdapat juga ajaran untuk
hidup secara asketik, dengan mana usaha menuju kasampurnaning urip
(kesempurnaan hidup) dan mendekat Yang Maha Widi (Allah Yang Maha
Kuasa) bisa dicapai.
Dalam tembang Kinanthi ajaran itu bertutur :
Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling
(Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala
dan tanda-tanda. Orang pun tak boleh mengumbar nafsu makan serta
tidur).
Sejarah budaya Kebatinan
Pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan
kongres dari berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada di berbagai daerah
di jawa dengan tujuan untuk mempersatukan semua organisasi yang ada
pada waktu itu. Kongres berikutnya yang diadakan pada tanggal 7 Agustus
tahun berikutnya di Surakarta sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari
2.000 peserta yang mewakili 100 organisasi. Pertemuan-pertemuan itu
berhasil mendirikan suatu organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan
Indonesia (BKKI) (Badan 1956), yang kemudian juga menyelenggarakan dua
kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1959,
1961 dan 1962 (Pakan 1978:98).
Kebanyakan budaya kebatinan di Jawa awalnya merupakan budaya
lokal saja dengan anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari
200 orang. Budaya seperti itu secara resmi merupakan “aliran kecil”,
seperti Penunggalan, perukunan kawula manembah gusti, jiwa ayu dan
pancasila handayaningratan dari Surakarta; ilmu kebatinan kasunyatan dari
yogyakarta; ilmu sejati dari madiun; dan trimurti naluri majapahit dari
mojokerto dan lain-lain.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
9

Sebagian kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai


anggota tak lebih dari 200 orang namun ada yang beranggotakan lebih dari
1000 orang yang tersebar di berbagai kota di jawa dan terorganisasi dalam
cabang-cabang. dan lima yang besar adalah hardapusara dari purworejo,
susila budi darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di semarang,
paguyuban ngesti tunggal (pangestu) dari surakarta, paguyuban
sumarah dan sapta dari yogyakarta.
Hardapusara adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang
terbesar itu, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra,
seorang petani desa kemanukan dekat purworejo. Ia konon menamatkan
ilmu dari menerima wangsit dan ajaran-ajarannya semula disebut kawruh
kasunyatan gaib. Para pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari
Purworejo dan beberapa kota lain di daerah bagelan. organisasi ini dahulu
pernah berkembang dan mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di
Jawa Tengah, Jawa timur, dan juga Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah
mencapai beberapa ribu orang. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua
buah buku yang oleh para pengikutnya sudah hampir dianggap keramat,
yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati.
Susila budi (SUBUD) didirikan pada tahun 1925 di semarang,
pusatnya sekarang berada di Jakarta. Budaya ini tidak mau disebut budaya
kebatinan, melainkan menamakan dirinya “Pusat Latihan Kejiwaan”.
Anggota-anggotanya yang berjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai
kota diseluruh Indonesia dan mempunyai sebanyak 87 cabang di luar
negeri. Banyak dari para pengikutnya adalah orang Asia, Eropa, Australia
dan Amerika. Doktrin ajaran organisasi itu dimuat dalam buku berjudul
susila budhi dharma; selain itu gerakan itu juga menerbitkan majalah
berkala berjudul Pewarta Kejiwaan Subud.
Pagguyuban ngesti tunggal, atau lebih terkenal dengan nama
Pangestu adalah sebuah budaya kebatinan lain yang luas jangkauannya.
Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933
menerima wangsit yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat dan
kemudian diterbitkan menjadi buku sasangka djati.
Pangestu didirikan di surakarta pada bulan mei 1949, dan anggota-
anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000 orang tersebar di banyak
kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun anggota yang
berasal dari daerah pedesaan juga banyak yaitu yang tinggal di pemukiman
transmigrasi di sumatera dan kalimantan. Majalah yang dikeluarkan
organisasi itu dwijawara merupakan tali pengikat bagi para anggotanya
yang tersebar itu.
Paguyuban sumarah juga merupakan organisasi besar yang
dimulai sebagai suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng.
Sukirno Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada
tahun 1935. Pada akhir tahun 1940-an gerakan itu mulai mundur, namun
berkembang kembali tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini
sudah mencapai 115.000 orang baik yang berasal dari golongan priyayi
maupun dari kelas-kelas masyarakat lain.
Sapta darma adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan
yang terbesar di jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama bernama

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
10

Hardjosaputro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri


Gutomo. Beliau berasal dari desa keplakan dekat pare. Berbeda dengan
keempat organisasi yang lain, sapta darma beranggotakan orang-orang dari
daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota.
Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang
berisi ajarannya adalah kitab pewarah sapta darma.
Walaupun budaya kebatinan ada di seluruh daerah di jawa, namun
Surakarta sebagai pusat kebudayaan jawa agaknya masih merupakan
tempat dimana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang
terpenting. Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan di sana; lima
diantaranya dengan anggota sebanyak antara 30-70 orang, tetapi ada satu
yang anggotanya sekitar 500 orang dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya
adalah organisasi-organisasi yang besar, yang berpusat dikota-kota lain
seperti Jakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri dan sebagainya (jong 1973: 10-
12).
S. de jong yang mempelajari budaya kebatinan jawa di jawa tengah,
melaporkan bahwa dalam propinsi jawa tengah saja tercatat sebanyak 286
organisasi kebatinan dalam tahun 1870, dengan kemungkinan bahwa masih
ada organisasi-organisasi kecil lainnya yang tidak terdaftar di sana.
Pengikut-pengikut terkemuka dari budaya kebatinan, yang
diantaranya ada yang berlatar belakang pendidikan psikologi, biasanya
menjelaskan bahwa timbulnya berbagai budaya itu disebabkan karena
sebagian besar orang jawa butuh mencari hakekat alam semesta, intisari
kehidupan dan hakekat Tuhan. Ahli sosiolagi Selosoemardjan berpendirian
bahwa orang jawa pada umumnya cenderung untuk mencari keselarasan
dengan lingkungan dan hati nuraninya, yang sering dilakukannya dengan
cara-cara metafisik.
Mistik Kebatinan
Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan orang jawa, kehidupan
manusia merupakan bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan
hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari kehidupan alam semesta
yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan hanya berhenti sebentar
untuk minum.
Sikap. Gaya hidup, dan banyak aktivitas sebagai latihan upacara yang
harus diterima dan dilakukan oleh seorang, yang ingin menganut mistik
dibawah pimpinan guru dan panuntun agama itu, pada dasarnya sama pada
berbagai gerakan kebatinan jawa yang ada. Hal yang mutlak perlu adalah
kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki
sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan
untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki.. melalui sikap rohaniah ini
orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh
dunia kebendaan di sekitarnya. Sikap menyerah serta mutlak ini tidak boleh
dianggap sebagai tanda sifat lemahnya seseorang; sebaliknya ia
menandakan bahwa orang seperti itu memiliki kekuatan batin dan
keteguhan iman.
Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan
kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima
nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasib dengan rela.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
11

Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh


dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih,
tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara kegiatan
upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan
mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi. Melalui latihan
bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari
keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan
serta nafsu jasmaninya.
Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya
mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara
kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban
kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa
tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan
( jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling kawula-Gusti ) /Pendekatan
kepada Illahi.
Namun dengan tercapainya pamudharan, yang memungkinkan orang
untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan, orang itu juga tidak
terbebas dari kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang konkret;
bahkan, orang yang sudah mencapai pamudharan, wajib amemayu ayuning
bawana, atau berupaya memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara
dan memperindah dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup
dengan penuh tanggung jawab.
Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
Semua organisasi kebatinan yang besar umumnya, memang bersifat
mistis; banyak gerakan kebatinan, terutama yang jumlah anggotanya
sedikit, hanya berusaha untuk mencapai purifikasi jiwa, Hal yang mereka
inginkan adalah memperoleh suatu kehidupan kerohanian yang mantap,
tanpa rasa takut dan rasa ketidak-pastian. Inilah yang oleh orang jawa
disebut orang yang sudah “bebas” (kamanungsan, kasunyatan).
Cara untuk kamanungsan pada umumnya sama dengan cara untuk
mencapai pamudharan tersebut diatas. Kecuali beberapa variasi kecil, maka
cara untuk mencapai purifikasi jiwa pada dasarnya adalah dengan
menjalankan kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik secara moral,
sederhana, mampu membebaskan diri dari keduniawian, mempunyai sikap
yang baik terhadap kehidupan, nasib dan kematian dan melakukan samadi
secara ketat. Oleh karena gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari
kebebasan rohaniah individu, maka orang mudah mengerti bahwa sifatnya
agak individualis; gerakan-gerakan seperti itu paling tidak menarik bagi
orang-orang yang membutuhkan kehidupan keagamaan, tanpa harus
menaati peraturan-peraturan keagamaan yang resmi secara ketat, namun
menyesuaikan dengan adat istiadat (Said 1972-a: 153-154)
Kebatinan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib
Di seluruh daerah tempat tinggal orang jawa banyak terdapat
gerakan-gerakan kebatinan yang hanya beranggotakan beberapa puluh
orang saja. Kebanyakan dari gerakan seperti itu berpusat di kota-kota dan
pada umumnya bersifat rahasia, yaitu dengan tujuan-tujuan yang bersifat
mistik, moralis, atau etis dan dipimpin oleh seorang guru. Untuk mencapai

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
12

tujuannya, para anggota gerakan seperti itu banyak melakukan praktek-


praktek ilmu gaib, disamping studi dan bersamadi.
Banyak dari budaya semacam itu pada awalnya adalah suatu
organisasi yang mengajar seni bela diri pencak. Kecuali memberi latihan
fisik, gurunya juga melatih murid-muridnya untuk melakukan meditasi.
Untuk menciptakan suasana keramat, ada juga yang ditambah berbagai
ritus ilmu gaib secara rahasia yang dimaksudkan agar para muridnya,
memperoleh kekebalan dan kesaktian tertentu.

CIPTA TUNGGAL

Cipta bermakna: pengareping rasa, tunggal artinya satu atau


difokuskan ke satu obyek. Jadi Cipta Tunggal bisa diartikan sebagai
konsentrasi cipta.
1. Cipta, karsa ( kehendak ) dan pakarti ( tindakan ) selalu aktif selama
orang itu masih hidup. Pakarti bisa berupa tindakan fisik maupun non
fisik, pakarti non fisik misalnya seseorang bisa membantu memecahkan
atau menyelesaikan masalah orang lain dengan memberinya nasehat,
nasehat itu berasal dari cipta atau rasa yang muncul dari dalam.
Sangatlah diharapkan seseorang itu hanya menghasilkan cipta yang baik
sehingga dia juga mempunyai karsa dan pakarti / tumindak yang baik,
dan yang berguna untuk diri sendiri atau syukur -syukur pada orang lain.
2. Untuk bisa mempraktekkan tersebut diatas, orang itu harus selalu
sabar, konsestrasikan cipta untuk sabar, orang itu bisa makarti dengan
baik apabila kehendak dari jiwa dan panca indera serasi lahir dan batin.
Ingatlah bahwa jiwa dan raga selalu dipengaruhi oleh kekuatan api,
angin, tanah dan air.
3. Untuk memelihara kesehatan raga, antara lain bisa dilakukan :
a. Minumlah segelas air dingin dipagi hari, siang dan malam sebelum
tidur, air segar ini bagus untuk syarat dan bagian-bagian tubuh yang
lain yang telah melaksanakan makarti.
b. Jagalah tubuh selalu bersih dan sehat, mandilah secara teratur di
negeri tropis sehari dua kali.
c. Jangan merokok terlalu banyak.
d. Konsumsilah lebih banyak sayur-sayuran dan buah-buahan dan
sedikit daging, perlu diketahui daging yang berasal dari binatang
yang disembilah dan memasuki raga itu bisa berpengaruh kurang

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
13

baik, maka itu menjadi vegetarian ( tidak makan daging ) adalah


langkah yang positif.
e. Kendalikanlah kehendak atau nafsu, bersikaplah sabar, narima dan
eling. Janganlah terlalu banyak bersenggama, seminggu sekali atau
dua kali sudah cukup.
4. Berlatihlah supaya cipta menjadi lebih kuat, pusatkan cipta kontrol
panca indera. Tenangkan badan (heneng) dengan cipta yang jernih dan
tentram (hening). Bila cipta bisa dipusatkan dan difokuskan kearah satu
sasaran itu bagus, artinya cipta mulai mempunyai kekuatan sehingga
bisa dipakai untuk mengatur satu kehendak.
5. Buatlah satu titik atau biru ditembok atau dinding ( . ) duduklah
bersila dilantai menghadap ke tembok, pandanglah titik itu tanpa
berkedip untuk beberapa saat, konsentrasikan cipta, kontrol panca
indera, cipta dan pikiran jernih ditujukan kepada titik tersebut. Jangan
memikirkan yang lain, jarak mata dari titik tersebut kira-kira tujuh puluh
lima sentimeter, letak titik tersebut sejajar dengan mata, lakukan itu
dengan santai.
6. Lakukan latihan pernafasan dua kali sehari, pada pagi hari sebelum
mandi demikian juga pada sore hari sebelum mandi tarik nafas dengan
tenang dalam posisi yang enak.
7. Lakukan olah raga ringan (senam) secara teratur supaya badan tetap
sehat, sehingga mampu mendukung latihan olah nafas dan konsentrasi.
8. Hisaplah kedalam badan Sari Trimurti pada hari sebelum matahari terbit
dimana udara masih bersih, lakukan sebagai berikut :
Tarik nafas Tahan Nafas Keluarkan Jumlah
Nafas
10 detik 10 detik 10 detik 30 detik minggu I :
3 kali
15 detik 10 detik 15 detik 40 detik minggu II :
3 kali
20 detik 10 detik 20 detik 50 detik minggu III :
3 kali
26 detik 8 detik 26 detik 60 detik minggu IV :
3 kali
9. Untuk memperkuat otak tariklah nafas dengan lobang hidung sebelah
kiri, dengan cara menutup lobang hidung sebelah kanan dengan jari, lalu
tahan nafas selanjutnya keluarkan nafas melalui lobang hidung sebelah
kanan, dengan menutup lobang hidung sebelah kiri dengan jari.
Tarik Tahan Keluarkan Jumlah
nafas Nafas Nafas
4 detik 8 detik 4 detik 16 detik minggu I : 7
kali
10 detik 7 detik 10 detik 27 detik minggu II : 7
kali
10 detik 10 detik 10 detik 30 detik minggu III &

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
14

IV : 7 kali
20 detik 20 detik 20 detik 60 detik minggu V : 7
kali
10.Karsa akan terpenuhi apabila nasehat-nasehat diatas dituruti dengan
benar, praktekkan samadi pada waktu malam hari, paling bagus tengah
malam ditempat atau kamar yang bersih. Kontrol panca indera, tutuplah
sembilan lobang dari raga, duduk bersila dengan rilek, fokuskan
pandangan kepada pucuk hidung. Tarik nafas, tahan nafas, dan
keluarkan nafas dengan tenang dan santai, konsentrasikan cipta lalu
dengarkan suara nafas. Pertama-tama akan dirasakan sesuatu yang
damai dan apabila telah sampai saatnya orang akan bisa berada berada
dalam posisi hubungan harmonis antara kawula dan Gusti ALLAH
11. Cobalah lakukan sebagai berikut :
a. Lupakan segalanya selama dua belas detik
b. Dengan sadar memusatkan cipta kepada dzat yang agung selama
seratus empat puluh detik.
c. Jernihkan pikiran dan rasa selama satu, dua atau tiga jam
( semampunya )
12. Tujuh macam tapa raga, yang perlu dilakukan
a. Tapa mata, mengurangi tidur artinya jangan mengejar pamrih.
b. Tapa telinga, mengurangi nafsu artinya jangan menuruti kehendak
jelek.
c. Tapa hidung, mengurangi minum artinya jangan menyalahkan orang
lain
d. Tapa bibir, mengurangi makan artinya jangan membicarakan
kejelekan orang lain
e. Tapa tangan, jangan mencuri artinya jangan mudah memukul orang
f. Tapa alat seksual, mengurangi bercinta dan jangan berzinah
g. Tapa kaki, mengurangi jalan artinya jangan membuat kesalahan
13. Tujuh macam tapa jiwa yang perlu dilakukan
a. Tapa raga, rendah hati melaksanakan hanya hal yang baik
b. Tapa hati, bersyukur tidak mencurigai orang lain melakukan hal yang
jahat
c. Tapa nafsu, tidak iri kepada sukses orang lain, tidak mengeluh dan
sabar pada saat menderita
d. Tapa jiwa, setia tidak bohong, tidak mencampuri urusan orang
e. Tapa rasa, tenang dan kuat dalam panalongso
f. Tapa cahaya, bersifat luhur berpikiran jernih
g. Tapa hidup, waspada dan eling
14. Berketetapan hati
a. Tidak ragu-ragu
b. Selalu yakin orang yang kehilangan keyakinan atas kepercayaan diri
adalah seperti pusaka yang kehilangan yoninya atau kekuatannya
15. Menghormati orang lain tanpa memandang jenis kelamin, kedudukan,
suku, bangsa, kepercayaan dan agama, semua manusia itu sama : saya
adalah kamu ( tat twan asi ). Artinya kalau kamu berbuat baik kepada

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
15

orang lain, itu juga baik buat kamu, kalau kamu melukai orang lain itu
juga melukai dirimu sendiri.
16. Sedulur papat kalimo pancer
Orang Jawa tradisional percaya eksistensi dari sedulur papat ( saudara
empat ) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja,
selama orang itu hidup didunia. Mereka memang ditugaskan oleh
kekuasaan alam untuk selalu dengan setia membantu, mereka tidak
tidak punya badan jasmani, tetapi ada baik dan kamu juga harus
mempunyai hubungan yang serasi dengan mereka yaitu :
a. Kakang kawah, saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu
sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih.
b. Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu sesudah
kamu, tempatnya di barat warnanya kuning.
c. Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan,
tempatnya di selatan warnanya merah
d. Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di
utara warnanya hitam.
Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah Kalima Pancer, pancer
kelima itulah badan jasmani kamu. Merekalah yang disebut sedulur
papat kalimo pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang
menyebut mereka keblat papat lima tengah, (empat jurusan yang kelima
ada ditengah). Mereka berlima itu dilahirkan melalui ibu, mereka itu
adalah Mar dan Marti, berbentuk udara. Mar adalah udara, yang
dihasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi, sedangkan
Marti adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat
melahirkan si jabang bayi. Secara mistis Mar dan Marti ini warnanya
putih dan kuning, kamu bisa meminta bantuan Mar dan Marti hanya
sesudah kamu melaksankan tapa brata ( laku spiritul yang sungguh-
sungguh ).
17.Tingkatkan sembah, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
berarti juga menghormati dan memuja-Nya, istilah lainnya ialah
Pujabrata. Ada guru laku yang mengatakan bahwa seseorang itu tidak
diperkenankan melakukan pujabrata, sebelum melewati tapabrata.
a. Sembah raga
Ini adalah tapa dari badan jasmani, seperti diketahui badan hanyalah
mengikuti perintah batin dan kehendak. Badan itu maunya
menyenang-nyenangkan diri, merasa gembira tanpa batas. Mulai hari
ini, usahakan supaya badan menuruti kehendak cipta yaitu dengan
jalan: bangun pagi hari, mandi, jangan malas lalu sebagai manusia
normal bekerjalah. Makanlah makanan yang tidak berlebihan dan tidur
secukupnya saja: makan pada waktu lapar, minum pada waktu haus,
tidur pada waktu sudah mengantuk, pelajarilah ilmu luhur yang
berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
b. Sembah cipta
1. kamu harus melatih pikiranmu kepada kenyataan sejati kawula
engenal Gusti.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
16

2. Kamu harus selalu mengerjakan hal-hal yang baik dan benar,


kontrollah nafsumu dan taklukan keserakahan. Dengan begitu rasa
kamu akan menjadi tajam dan kamu akan mulai melihat kenyataan.
Berlatih cipta sebagai berikut :
1. Lakukan dengan teratur ditengah, ditempat yang sesuai.
2. Konsentrasikan rasa kamu
3. Jangan memaksa ragamu, laksanakan dengan santai saja
4. Kehendahmu jernih, fokuskan kepada itu
5. Biasakanlah melakukan hal ini, sampai kamu merasa bahwa
apa yang kamu kerjakan itu adalah sesuatu yang memang harus
kamu kerjakan, dan sama sekali tidak menjadi beban.
Kini kamu berada dijalan yang menuju ke kenyataan sejati, kamu
merasa seolah-olah sepi tidak ingat apapun, seolah-olah badan astral
dan mental tidak berfungsi, kamu lupa tetapi jiwa tetap eling ( sadar )
itulah situasi heneng dan hening dan sekaligus eling kesadaran dari
rasa sejati. Ini hanya bisa dilaksanakan dengan keteguhan hati
sehingga hasilnya akan terlihat.
c. Sembah jiwa
Sembah jiwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan rasa yang
mendalam menggunakan jiwa suksma yang telah kamu temui pada
waktu pada heneng, hening dan eling, ini adalah sembah batin yang
tidak melibatkan lahir. Apabila kamu melihat cahaya yang sangat
tenang tetapi tidak menyilaukan itu pertanda kamu sudah mulai
membuka dunia kenyataan. Cahaya itu adalah pramana kamu sendiri,
kamu akan merasa yakin pada waktu bersamadi, kamu dan cahaya itu
saling melindungi.
d. Sembah rasa artinya sejati ( rasa sejati )
1. Kita bisa mengerti dengan sempurna untuk apa kita diciptakan
dan selanjutnya apakah tujuan hidupmu.
2. Kita akan mengerti dengan sempurna atas kenyataan hidup
dan keberadaan semua mahluk melalui olah samadi atau
memahami Sangkan Paraning Dumadi, hubungan harmonis antara
kawula dan Gusti layaknya seperti manisnya madu dan madunya,
tidak terpisahkan.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
17

PAPAT LIMA PANCER

Ing Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana


kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi
mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa. Kewan cacah papat mau
nggambarake nafsu patang warna yaiku : Macan nggambarake nafsu
Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu
Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah.
SEDULUR PAPAT LIMA PANCER Njupuk sumber saka Kitab Kidungan
Purwajati seratane , diwiwiti saka tembang Dhandanggula kang
cakepane mangkene :
Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira
Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami
Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku
kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi
Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun
Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang
ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang Ing
tembang dhuwur iku disebutake yen " Sedulur Papat " iku Marmati,
Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi
mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.
Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati,
kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi?. Marmati iku tegese Samar Mati
! lire yen wong wadon pas nggarbini ( hamil ) iku sadina-dina pikirane uwas
Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge
metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku
banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas
babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge
laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe
diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire
bayi, sakwise kuwi banjur disusul wetune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku
metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan
kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah
( Getih ) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir,
mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku
umume PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel
kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur
Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen " SEDULUR PAPAT LIMA PANCER " 0
Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
18

Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur
Papat mungguhing manungsa.
Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku :
Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah,
Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu
Mutmainah kang kabeh mau bisa dibabarake kaya ukara ing ngisor iki:
Amarah : Yen manungsa ngetutake amarah iku tartamtu tansaya
bengkerengan lan padudon wae, bisa-bisa manungsa koncatan kasabaran,
kamangka sabar iku mujudake alat kanggo nyaketake dhiri marang Allah
SWT. Supiyah / Kaendahan : Manungsa kuwi umume seneng marang
kang sarwa endah yaiku wanita (asmara). Mula manungsa kang kabulet
nafsu asmara digambarake bisa ngobong jagad. Aluamah / Srakah :
Manungsa kuwi umume padha nduweni rasa srakah lan aluamah, mula kuwi
yen ora dikendaleni, manungsa kepengine bisa urip nganti pitung turunan.
Mutmainah / Kautaman : Senajan kuwi kautaman utawa kabecikan,
nanging yen ngluwihi wates ya tetep ora becik.
Contone; menehi duwit marang wong kang kekurangan kuwi becik,
nanging yen kabeh duwene duwit diwenehake satemah uripe dewe rusak,
iku cetha yen ora apik. Mula kuwi, sedulur papat iku kudu direksa lan diatur
supaya aja nganti ngelantur. Manungsa diuji aja nganti kalah karo sedulur
papat kasebut, kapara kudu menang, lire kudu bisa ngatasi krodhane
sedulur papat. Yen manungsa dikalahake dening sedulur papat iki,
ateges jagade bubrah. Ing kene dununge pancer kudu bisa dadi
paugeran lan dadi pathokan. Bener orane, nyumanggakake

TIRAKAT

Liring sepuh sepi hawa Awas roroning atunggal Tan samar pamoring
sukma Sinukmanya winahya ing ngasepi Sinimpen telenging kalbu
Pambukaning wanara Tarlen saking liyep layaping ngaluyup Pindha sesating
supena Sumusiping rasa jati Sajatine kang mangkana Wus kakenan
nugrahaning Hyang Widhi Bali alaming asuwung Tan karem karameyan
Ingkang sipat wisesa-winisesa wus Milih mula-mulanira Mulane wong anom
sami.
Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat tertentu rela/mau dengan
sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-
maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa
usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
19

mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam


hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka
juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama
bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan
mendapatkan pahala.
Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali
nasi putih saja (Mutih) pada hari senin dan kamis, dengan jalan berpuasa
pada bulan puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa
hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda
Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura.
Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak
lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah
makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan
menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang
melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat
ditembus oleh sinar cahaya (patigeni).
Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada
waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam
keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat
juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa
bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam
keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa
prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam
keadaan bahaya.
Bertapa ( Tapabrata )
Tapabrata dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal
yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa
dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal
dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap
sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan
kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa
nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam
cerita-cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan
yang menjalankan tapa.
Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah
disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai
kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara
menjalankan tapa adalah :
1. Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat
pada dahan sebuah pohon.
2. Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang
anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu
tertentu.
3. Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa
semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
4. Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka
waktu tertentu.
5. Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
20

6. Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan


tumbuh-tumbuhan
7. Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama
beberapa waktu yang sudah ditentukan.
8. Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri
dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
9. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa
makan apa-apa.
10.Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.
11.Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan.
Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan
oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas
antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian
bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang
dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut
tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.
Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapa pada orang
hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional
antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan
tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh
wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan
kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa
tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan
Tuhan.
Meditasi atau Semedi.
Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara
keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-
teknik serta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-
macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian
pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga yang sukar dan berat
dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam
sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar
belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam
berturut-turut.
Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama
dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya
duduk diatas rakitnya saja sambil bengong, tidak berbuat apa-apa, ia
biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan
bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan
berpuasa atau tirakat.
Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-
macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi
krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran
berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan
wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh
tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang
dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
21

kesaktian ( kasekten ) disamping untuk menyatukan diri dengan sang


Pencipta.

MEDITASI

Dalam olah batin, meditasi menjadi salah satu topik pembicaraan


yang tiada habis-habisnya. Tentu hal tersebut ada sebabnya, sebabnya
tiada lain karena meditasi adalah salah satu usaha proses untuk
meningkatkan pengembangan pribadi seseorang secara total. Tulisan ini
didasari dari berbagai literatur mengenai meditasi.
Tulisan ini merupakan usaha melengkapi tulisan J. Sujianto yang
berjudul “ Pengembangan Kwalitas Pribadi di Bidang Kebatinan, suatu
Proses Meningkatkan Kreatifitas dan Pengetahuan Dunia Gaib “
Apakah Meditasi ?
Mengusahakan rumus yang pasti mengenai arti meditasi tidaklah
mudah, yang dapat dilakukan adalah memberi gambaran berbagi
pengalaman dari mereka yang melakukan meditasi, berdasarkan
pengalaman meditasi dapat berarti :
1. Melihat ke dalam diri sendiri
2. Mengamati, refleksi kesadaran diri sendiri
3. Melepaskan diri dari pikiran atau perasaan yang berobah-obah,
membebaskan keinginan duniawi sehingga menemui jati dirinya yang
murni atau asli.
Tiga hal tersebut diatas baru awal masuk ke alam meditasi, karena
kelanjutan meditasi mengarah kepada sama sekali tidak lagi
mempergunakan panca indera ( termasuk pikiran dan perasaan ) terutama
ke arah murni mengalami kenyataan yang asli.
Perlu segera dicatat, bahwa pengalaman meditasi akan berbeda dari
orang ke orang yang lain, karena pengalaman dalam bermeditasi banyak
dipengaruhi oleh latar belakang temperamen, watak dan tingkat
perkembangan spiritualnya serta tujuan meditasinya dengan kulit atau
baju kebudayaan orang yang sedang melaksanakan meditasi.
Secara gebyah uyah (pada umumnya) orang yang melakukan
meditasi yakin adanya alam lain selain yang dapat dijangkau oleh panca
indera biasa. Oleh karena itu mungkin sekali lebih tepat jika cara-cara
meditasi kita masukkan ke golongan seni dari pada ilmu. Cara dan hasil
meditasi dari banyak pelaku olah batin dari berbagai agama besar maupun
perorangan dari berbagai bangsa, banyak menghasilkan kemiripan-
kemiripan yang hampir-hampir sama, tetapi lebih banyak mengandung
perbedaan dari pribadi ke pribadi orang lain. Oleh karena itu kita dapat
menghakimi hasil temuan orang yang bermeditasi, justru keabsahan
meditasinya tergantung kepada hasilnya, umpamanya orang yang
bersangkutan menjadi lebih bijaksana, lebih merasa dekat dengan Tuhan,
merasa kesabarannya bertambah, mengetahui kesatuan alam dengan
dirinya dan lain-lainnya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
22

Keadaan hasil yang demikian, sering tidak hanya dirasakan oleh


dirinya sendiri, tetapi juga oleh orang-orang ( masyarakat ) di sekitar diri
orang tersebut karena tingkah-lakunya maupun ucapan-ucapannya serta
pengabdiannya kepada manusia lain yang membutuhkan bantuannya,
mencerminkan hasil meditasinya.
Cara-cara dan akibat bermeditasi.
Cara bermeditasi banyak sekali.
Ada yang memulai dengan tubuh, arti meditasi dengan tubuh adalah
mempergunakan menyerahkan tubuh ke dalam situasi hening. Lakunya
adalah dengan mempergunakan pernafasan, untuk mencapai keheningan,
kita menarik nafas dan mengeluarkan nafas dengan teratur. Posisi
tubuh carilah yang paling anda rasakan cocok / rileks, bisa duduk tegak,
bisa berbaring dengan lurus dan rata. Bantuan untuk lebih khusuk jika anda
perlukan, pergunakan wangi-wangian dan atau mantra, musik yang cocok
dengan selera anda, harus ada keyakinan dalam diri anda, bahwa alam
semesta ini terdiri dari energi dan cahaya yang tiada habis-habisnya.
Keyakinan itu anda pergunakan ketika menarik dan mengeluarkan nafas
secara teratur.
Ketika menarik nafas sesungguhnya menarik energi dan cahaya alam
semesta yang akan mengharmoni dalam diri anda, tarik nafas tersebut
harus dengan konsentrasi yang kuat. Ketika mengelurkan nafas dengan
teratur juga, tubuh anda sesungguhnya didiamkan untuk beberapa saat.
Jika dilakukan dengan sabar dan tekun serta teratur, manfaatnya tidak
hanya untuk kesehatan tubuh saja tetapi juga ikut menumbuhkan rasa
tenang.
Bermeditasi dengan usaha melihat cahaya alam semesta,
yang dilakukan terus menerus secara teratur, akan dapat menumbuhkan
ketenangan jiwa, karena perasaan-perasaan negatif seperti rasa kuatir atau
takut, keinginan yang keras duniawi, benci dan sejenisnya akan sangat
berkurang, bahkan dapat hilang sama sekali, yang hasil akhirnya tumbuh
ketenangan. Meditasi ini harus juga dilakukan dengan pernafasan yang
teratur.
Kesulitan yang paling berat dalam bermeditasi adalah
“mengendalikan pikiran dengan pikiran“ artinya anda berusaha “
mengelola “ pikiran-pikiran anda, sampai mencapai keadaan “ Pikiran tidak
ada “ dan anda tidak berpikir lagi, salah satu cara adalah “ mengosongkan
pikiran “ dengan cara menfokuskan pikiran anda kepada suatu cita-cita,
umpamanya cita-cita ingin menolong manusia manusia lain, cita-cita ingin
manunggal dengan Tuhan. Cita-cita ingin berbakti kepada bangsa dan
negara, cita-cita berdasarkan kasih sayang dan sejenis itu menjadi sumber
fokus ketika hendak memasuki meditasi.
Secara fisik ada yang berusaha “ mengosongkan pikiran “ dengan
memfokuskan kepada “ bunyi nafas diri sendiri “ ketika awal meditasi, atau
ada juga yang menfokuskan kepada nyala lilin atau ujung hidung sendiri.
Jika proses meditasi yang dilukiskan tersebut diatas dapat anda
lakukan dengan tepat, maka anda dapat menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat dalam pengertian spiritual, yang akibatnya pasti baik untuk diri
anda sendiri, mungkin juga bermanfaat untuk manusia lain.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
23

Sesuatu itu jangan dijadikan tujuan meditasi, karena hasil sesuatu itu
adalah hasil proses meditasi, bukan tujuan meditasi.
Jika dalam proses tersebut pikiran anda belum dapat anda “ kuasai
atau hilangkan “ janganlah putus asa atau berhenti, tetapi juga
memaksakan diri secara keterlaluan. Pengembangan selanjutnya dari
proses meditasi tersebut, anda sendiri yang akan menemukan dan
meneruskannya, karena berciri sangat pribadi.
Untuk dapat berhasil anda sangat perlu memiliki motivasi yang cukup
pekat dan dalam, sehingga dengan tiada terasa anda akan bisa khusuk
dalam keheningan bermeditasi. Jika menemui sesuatu, apakah itu cahaya
atau suara atau gambaran-gambaran, jangan berhenti, teruskan meditasi
anda.
Pengalaman sesudah keadaan demikian, hanya andalah yang dapat
mengetahui dan merasakannya, karena tiada kata kalimat dalam semua
bahasa bumi yang dapat menerangkan secara gamblang. Dalam keadaan
demikian anda tidak lagi merasa lapar, mengantuk bahkan tidak
mengetahui apa-apa lagi, kecuali anda tersadar kembali. Biasanya intuisi
anda akan lebih tajam sesudah mengalami proses meditasi yang demikian
itu, dan mungkin pula memperoleh “ pengetahuan “ tentang alam semesta
atau lainnya.
Di dalam serat Wulang Reh, karya "kasusastran" Jawa (dalam bentuk
syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buwono IV, terdapat juga ajaran
untuk hidup secara asketik, dengan usaha menuju kasampurnaning urip.
Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling
(Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala
dan tanda-tanda. termasuk ajaran tak boleh mengumbar nafsu makan serta
tidur).

SAMADI

Samadi berasal dari kata : Sam artinya besar dan Adi artinya bagus
atau indah. Seseorang yang melakukan samadi adalah seseorang yang
mengambil posisi-patrap untuk meraih budi yang besar, indah dan suci.
Budi suci adalah budi yang diam tanpa nafsu, tanpa keinginan dan
pamrih apapun. Inilah kondisi suwung ( kosong ) tetapi sebenarnya ada
aktifitas dari getaran hidup murni, murni sebagai sifat-sifat hidup dari
Tuhan.
Budi suci terlihat seperti cahaya atau sinar yang disebut Nur, Nur itu
adalah hati dari budi. Kesatuan dari budi dan nur secara mistis disebut
curigo manjing warongko atau bersatunya kawula dan Gusti atau juga
biasa digambarkan Bima manunggal dengan Dewa Ruci.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
24

Istilah lainnya ialah Pangrucatan atau Kamukswan, pangrucatan itu


artinya dilepas, apa yang dilepas ? pengaruh dari nafsu . Mukswa
artinya dihapus, apa yang dihapus ? pengaruh dari nafsu, oleh karena itu
samadi adalah satu proses dari penyucian budi, budi menjadi nur. Di dalam
nur ini, kawula bisa berkomunikasi dengan Gusti untuk menerima tuntunan
sesuai dengan kedudukannya sebagai kawula.
Praktek Samadi
Waktu bersamadi orang bisa mengambil posisi duduk atau tidur
telentang diatas tempat tidur. Pilihlah tempat yang bersih, tenang dan
aman, bernafaslah dengan santai, pada posisi tidur kaki diluruskan, kedua
tangan diletakkan didada. Dengarkanlah dengan penuh perhatian suara
nafas dengan tenang, menghirup dan mengeluarkan udara melalui hidung.
Ini akan membuat pikiran menjadi tidak aktif. Nikmatilah suara nafas
dengan jalan menutup mata, ini sama seperti kalau memusatkan
pandangan kepada pucuk hidung.
Dengan melakukan ini, pikiran dinetralisir demikian juga angan-angan
dan pengaruh panca indera. Sesudah itu nafsu dinetralisir didalam indera ke
enam. Bila berhasil orang akan berada dalam suwung dan nur mendapatkan
tuntunan mistis yang simbolis.
Manusia.
Manusia diciptakan oleh Tuhan, manusia adalah makluk
yangmempunyai :
1. Badan jasmani = badan kasar.
2. Badan jiwa = badan alus.
3. Badan cahaya = nur atau suksma
Dengan susunan seperti tersebut diatas, diharapkan akan mampu
mengetahui “ Sangkan Paraning Dumadi “ ( makna perjalanan kehidupan ).
Memahami Jagad Raya.
Sebelum adanya jagad raya, tidak ada apa-apa kecuali kekosongan
dan suwung. Didalam suwung terdapat sifat-sifat hidup dari Tuhan, jagad
raya adalah suatu Causa prima. Sifat-sifat hidup Tuhan terasa seperti
getaran dan getaran ini terus menerus.
Ada tiga elemen yang terdiri dari :
1. Elemen merah dengan sinar merah, ini panas
2. Elemen biru dengan sinar biru, ini dingin
3. Elemen kuning dengan sinar kuning, ini menakjubkan.
Elemen-elemen ini selalu bergetar. Sebagai hasil dari perpaduan
ketiga elemen tersebut, elemen ke empat lahir dengan warna putih atau
putih keperak-perakan dan inilah yang disebut nur. Nur itu adalah sari dari
jagad raya, ada yang menjadi calon planet, ada yang menjadi badan budi
atau jiwa yaitu badan jiwa dari manusia, ketika nur menjadi sari dari badan
jasmani manusia. Itu artinya didalam jagad raya dan galaksi akan selalu
dilahirkan planet-planet dan bintang-bintang baru. Kondisi dari plenet-planet
yang baru dilahirkan bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain,
karena tergantung kepada pengaruh dari tiga elemen tersebut, ada planet
yang bisa dihuni dan yang tidak bisa dihuni.
Miyos saking renteging hawa

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
25

ambedah anggit prayitnaing pikir


sesumeh bayu ayuning asih
njembari pajar latuning titah
ilang lunganing ngawang
nemoni asrep reseping wening
Ono sanepa kagem pepiling
Wong kang ambudi daya kalawan anglakoni tapa utawa semedi kudu
kanthi kapracayan kang nyukupi apa dene serenging lan kamempengan
anggone nindhakake. Atine kudu santosa temenan supaya wong kang
nindhakake sedyane mau ora nganti kadadeyan entek pengarep-arepe yen
kagawa saka kuciwa dening kahanane badane, wong mau kudu nindakake
pambudi dayane luwih saka wewangening wektu saka katamtuwaning laku
kang dikantekake marang sawiji-wijining mantram lan ajaran ilmu gaib awit
gede gedening kagelan iku ora kaya wong kang gagal enggone nindakake
lakune rasa kuciwa kang mangkono iku nuwuhake prihatin lan getun, nganti
andadekake ciliking ati lan enteking pangarep-arep. Sawise wong mau
entek pangarep arepe lumrahe banjur trima bali bae marang panguripan
adat sakene mung dadi wong lumrah maneh.
Kawruhana wong kang lagi miwiti ngyakinake ilmu gaib sok sok
dheweke iku mesthi nemoni kagagalan kagagalan kang nuwuhake rasa
kuciwa. Sawijining wewarah kang luwih becik tumrap wong kang lagi
nglakoni kasutapan iya iku ati kang teguh santosa aja kesusu-susu lan aja
bosenan ngemungake wong kang anduweni katetepan ati lan santosaning
sedya sumedya ambanjurake ancase iya iku wong kang bakal kasembadan
sedyane. Wong ngyakinake prabawa gaib iku anduweni kekarepan supaya
dadi wong lanang temenan kang diendahake dening wong akeh, iya anaa
ing ngendi wae enggone nyugulake dirine, Amarehe diwedeni ing wong
akeh panguwuhe gawe kekesing wong yen anyentak dadi panggugupake
lan gawe gemeter dirine, ditrisnani ing wong akeh pitembungane
digatekake lan pakartine diluhurake ing wong akeh, iya pancen nyata wong
liyane mesthi tunduk marang sawijining wong kang ahli ilmu.
Wong ahli kasutapan tansah yakin enggone ngumpulake kekuwatan
gaib ing dalem dhirine. Ana paedahe kang migunani banget manawa wong
nindakake pambudi daya kalawan misah dheweke ana ing papan kang sepi
karana tinimune kekuwatan gaib iku sok-sok tinemu dhewekan ana ing
sepen. Wong ahli kasutapan kudu budidaya bisane nglawan marang
nepsune kekarepan umum (kekarepan wong akeh kang campur bawur
ngumandang ana ing swasana), kalawan tumindak mangkono wong ahli
kasutapan mau dadi nduweni pikiran-pikiran kang mardhika, iya pikiran-
pikiran kang mangkono iku kang bisa nekakake kasekten gaib.
Sangsaya akeh kehing kang kena tinides, uga sangsaya gedhe
tumandhoning kekuwatan gaib kang kinumpulake. Kekuwatan gaib iku
tansah makarti tanpa kendhat enggone mujudake sedya lan nganakake
kekarepan. Wong ahli kasutapan kudu anduweni ati kang tetep lan
kekarepan kan dereng, kalawan ora maelu marang anane pakewuh
pakewuhe lan kagagalan-kagagalaning. Kasekten iku kaperang ana rong
warna, iya iku kasekten putih (Witte magie/white magic) utawa kasekten
ireng (Zwarte magie/Black Magic). Awit saka anane perangan mau banjur

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
26

dadi kanyatan yen perangan kang sawiji iku becik, dene perangan liyane
ala.
Kasekten putih iku satemene ilmu Allah Kang Maha Luhur wis mesthi
bae kapigunakake mligi kanggo kaslametane wong akeh. Dene kasekten
ireng iku ilmu kaprajuritan kang kapigunakake luwih-luwih kanggo nelukake
kalayan paripaksa, sarta bakal anjalari kacilakaning wong liya. Ananing
sakaro karone saka sumber ilmu Allah sarta sakaro karane iku padha
dipigunakake kalawan atas asma Allah. Tinemune ilmu-ilmu kasekten iki
saranane kalawan kekuwataning pikiran pikiran iku manawa kagolongake
meleng sawiji bisa nuwuhake kekuwatan kaya panggendeng kang rosa
banget tumrap marang apa bae kang dipikir lan disedya.
Wong kang nglakonitapa kalawan nindakake laku-laku kang
tinemtokake wis mesthi bae gumolonging pikirane bebarengan padha
kumpul dadi siji sarta katujokake marang apa kang disedya kalawan
mangkono iku kekuwatan daya anarik migunakake sarosaning kekuwatane
banjur anarik apa kang dikarepake. Swasana kang katone kaya dene
kothong bae iku satemene ana drate rupa-rupa kayata : geni murub emas
kayu lemah waja, electrieiteit zunrstof koolzunr sarpaning Zunr lan isih akeh
liya-liyane maneh.
Samengko umpamane ban ana sawijining wong kang lagi tapa
kalawan duwe sedya supaya andarbeni daya prabawa kang luwih gedhe
sarta anindakake sakehing kekuwatan pikiran kalawan ditujokake marang
sedyane mau nganti nuwuhake daya prabawa. Kekuwataning daya anarik
saka pikiran iku banjur anarik dzat ing swasana kang pinuju salaras karo
daya prabawa mau kalawan saka sathithik sarta sareh dzat daya prabawa
kang ing swasana iku katarik mlebu ing dalem badane wong kang lagi tapa
mau. Kalawan mangkono dzat "prabawa" iku dadi kumpul ing dalem badane
wong narik dzat iku nganti tumeka wusanane badane wong ahli tapa, iku
bisa metokake daya prabawa kang gedhe daya karosane.
Wong kang andarbeni ilmu kang mangoko iku dadi sawijining wong
kang sakti mandraguna. Tumrap wong-wong kang nglakoni tapa ditetepake
pralambang telu : Diyan, Jubah lan Teken. Diyan minangka pralambanging
pepadhang, tumrap kahanan kang umpetan utawa gaib. Jubah minangka
dadi pralambange katentremaning ati kang sampurna, dene teken
minangka dadi pralambanging kekuwatan gaib.
Ing dalem sasuwene wong nglakoni tapa iku prelu banget kudu
migateake marang sirikane, kayata : wedi, nepsu, sengit, semang-semang
lan drengki. Rasa wedi iku sawijining pangrasa kang luwih saka angel
penyegahe. Menawa isih kadunungan rasa wedi ing dalem atine wong ora
bakal bisa kasambadan apa kang disedyaak. Kalawan "rasa wedi" iku
atining wong dadi ora bisa anduweni budi daya apa-apa.
Sajrone nglakoni tapa utawa salagine ngumpulake kekuwatan gaib,
atining wong iku mesthi kudu tetep tentrem lan ayem sanadyan ana
kadadeyan apa wae. Manawa atine wong iku nganti gugur, kasutapan iya
uga dadi gugur lan kudu lekas wiwit maneh. Gegeman kalawan wadi
sakehing ilmu gaib lkang lagi pinarsudi, luwih becik murih nyataning
kasekten tinimbang karo susumbar kalawan kuwentos kayakenthos.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
27

"Nepsu" iku andadekake tanpa dayane kekuwataning batin.


"Semang-semang" iku andadekake ati kang peteng ora padhang terang.
"Sengit utawa drengki" iku uga dadi mungsuhing kekuwatan gaib. Wong
kang lagi nindakake katamtuwan ing dalem kasutapan kudu kalawan ati
kang sabar anteng lan tetep.
Patrapebadan kang kaku lan kagugupan kudu didohake .
⇒ Aja sok singsot
⇒ Aja duwe lageyan sok nethek nethek kalawan driji tangan marang
meja kursi utawa papan liyane.
⇒ Aja ngentrok-entrokake sikil munggah mudhun.
⇒ Aja sok anggigit kukuning dariji tangan.
⇒ Aja mencap-mencepake lambe.
⇒ Aja molahake lidhah lan andhilati lambe.
⇒ Aja narithilake kedheping mata.
⇒ Ngedohake sakehing saradan utawa bendana kang ora becik, kayata
glegak-glegek molah-molahake sirah, kukur-kukur sirah, ngangkat
pundhak lan liya-liyane sabangsane saradan kabeh.
Satemene perlu banget nyirnakake kekarepan "drengki" luk wit
ngrasaning karep drengki iku banget nindhih marang diri pribadi. Ana
maneh "drengki" iku kaya anggawa sawijining pikulan abot kang tansah
nindhes marang dhiri lan sarupa ana barang atos medhokol kang angganjel
pulung ati. "Drengki lan meri" iku mung anggawa karugiyan bae tumrap
kita, ora ana gunane sathithik -thithika. Salawase wong isih anduweni
pangrasan karep "drengki lan meri" iku ora bakal bisa tumeka kamajuwane
tumrap dunya prabawaning gaib.
Ora mung tumindak bae tumrap sawijining wong bae bisa
maluyakake wong liya kalawan kekuwatan gaib nanging uga tumindak
tumrap sawijining wong maluyakake dhiri pribadi kalawan kekuwatan iku.
Bisane maluyakake larane wong liya, mesthine kudu ngirima kekuwatan
waluya marang sajroning badane wong kang lara. Manawa wong gelem
naliti yen wong iku bisa ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem badane
dhewe lan ngetokake sabageyan kekuwatan gaib kawenehake marang
wong liyane mestheni uwong bisa ngreti yen arep migunakake kekuwatan
iku nganggo paedahe dhiri dhewe uga luwih gampang.
Supaya bisa nindhakake pamaluya marang dhirine dhewe kalawan
sampurna wong ngesthi kudu mahamake cara-carane maluyakake panyakit.
Iya iku cara-cara kang katindakake kanggo maluyakake wong liya lan
wusanane ambudidaya supaya bisa migunakake obah-obahan iku marang
awake dhewe.
Kawitane wong kudu nindakake patrape mangreh napas, kanggo
negahake asabat. Dene carane ngatur napas iku kaprathelakake kalayan
ringkes kaya ing ngisor iki :
 Madika panggonan kang sepi.
 Lungguha ing sawijining palinggihan kang endhek lan kepenak,
sikil karo pisan tumapak ing lemah.
 Badan kajejegake lan janggute diajokake.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
28

 Benik-beniking klambi kang kemancing padha kauculan, sabuk


uga diuculi supaya sandangan dadi longgar lan kepenak kanggo
tumindhak ing napas.
 Pikiran katarik mlebu, supaya luwar saka sakehing geteran pikiran
kaya saka ing jaba.
 Sakehing urat-urat kakendokake.
 Banjur narika napas kalawan alon lan nganti jero banget tahanen
napas iku sawatara sekon/detik (kira-kira 6 detik) lan wusanane wetokna
napas iku kalawan sareh.
Anujokna gumolonging pikiran kalawan ngetut marang napas kang
mlebu metu iku kalawan giliran. Cara nindakake napas kaya ing ngisor iki :
⇒ Narik napas kalawan alon lan nganti jero ing sabisane, nganti dhadha
mekar lan weteng dadi nglempet.
⇒ Nahan napas iku kira-kira nem saat utawa luwih suwe ing dalem
paru-paru dhadhane cikben lestari mekare, lan wetenge cikben
lestaringlempetake kalawan mangkono iku gurung dalaning napas
tansah tetep menga.
⇒ Ambuangna napas kalawan alon nganti entek babar pisan nganti
dhadha dadi kempes, lan weteng dadi mekar.
⇒ Banjurna marambah-rambah matrapake mangkono iku suwene kira-
kira saka lima tumeka limolas menit utawa luwih suwe nganti bisa
nemoni pangrasa anteng lan tentrem ing sajroning badan.
Carane matrapake kasebut ing dhuwur iku sawijining cara kanggo
napakake napas, iki kena lan kudu ditindakake saben dina telung
rambahan, dening sapa bae kang nglakoni tapa supaya oleh ilmu gaib.
Daya kang luwih bagus iya iku miwiti makarti miturut pituduhan. Aja weya
nindakake patrap kanggo napakake napas iku.
Cara matrapake tumindaking napas iku kena uga ditindakake kalayan
leyeh-leyeh mlumah : ngendokake sakabehing urat-urat nyelehake tangan
karo pisan sadhuwuring weteng lan nindakake lakuning napas miturut
aturan. Daya ngisekake Prana Ngadeg kalawan jejeg sikil karo pisan
kapepetake dadi siji lan driji -drijining tangan karo pisan dirangkep dadi siji
kalawan longgar.
Banjur matrapa lakuning napas sawatara rambahan miturut aturan.
Gawe segering utek lungguha kalawan jejeg lan nyelehna tangan karo pisan
ing sandhuwuring pupu kiwa tengen: mripat mandheng marang arah ing
ngarep kalawan tetep: sikil karo pisan tumadak ing lemah. Kalawan jempol
tangan tengen anutup lenging grana sisih tengen lan anarika napas liwat
lenging grana sisih kiwa, wusana nglepasake jempol iku banjur ambuwang
napas lan nutupa lenging grana kiwa kalawan driji narika napas liwat
lenging grana tengen, lepasna driji panutup iku lan ambuwanga napas.
Mangkono sabanjure kalawan genti-genten kiwa lan tengen.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
29

SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN

Terjemahan :
Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan
Agung raja atara ( 1613 - 1645 )
Ini adalah keterangan Serat Suatu pelajaran tentang Pangracutan
yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di
Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam
hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan
dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah :
1. Panembahan Purbaya
2 Panembahan Juminah
2. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
3. Panembahan Juru Kithing
4. Pangeran di Kadilangu
5. Pangeran di Kudus
6. Pangeran di Tembayat
7. Pangeran Kajuran
8. Pangeran Wangga
9. Kyai Pengulu Ahmad Katengan
1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang
telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami
bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum,
juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan
keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian pada
keadaan jenazah adalah berbagai diketengahkan dibawah ini :
1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.
Masih banyak pula kejadianya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi apa
yang menjadi penyebabnya.
Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan
suatui pendapat sebagai berikut :

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
30

Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah


meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa
disebabkan karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya
demikian karena pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi
mayat pun akan mengalami sesuatu masuk kedalam alam penasaran.
Karena pada waktu pada saat sedang memasuki proses sakaratul maut
hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat
memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi maut.
Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti yang akan
kami utarakan berikut ini :
1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam
kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai
akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian
menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat
diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada
saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut
sudah termasuk lampah maka kejadiannya tidak akan demikian.
2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka tetapi tidak
mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya maka mayatnya
akn terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu
menjadi sanggar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi
walaupun begitu bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar
artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan
perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah seperti diatas
kejadiannya pada akhir hidupnya.
3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur
tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat
kematiannya kelak maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya
karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun
sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa
hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan keliru jalannya.
4. Siapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks
tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan
lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus
lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau
menempel pada orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang
masih senang mengganggu wanita kalau berada pada pohon yang besar
kalau pohon itu di potong maka benalu tadi akan ikut mati walaupun
begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat
mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan
haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya
kelak.
5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa
nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati didalamnya hidup,
misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona muka
manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu
janganlah sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
31

kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka
keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam
keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha
Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila
menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat
welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat
haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan Ma’rifat.
2. Berbagai Jenis Kematian
Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma
merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah
disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang
berbagai jenis kematian misalnya :
1. Mati Kisas
2. Mati kias
3. Mati sahid
4. Mati salih
5. Mati tewas
6. Mati apes
Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka
yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut :
Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari
perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena
keputusan pengadilan atas wewenang raja.
Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan
misalnya: nafas atau mati melahirkan.
Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang,
dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri
karena mendapat aib atau sangat bersedih.
Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar
petir, tertimpa pohon , jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes, suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena
santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak
dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan
dekat sekali pada alam penasaran.
Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan
kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu
dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima akibat dari kematian
seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu
juga ?”
Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin
disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak
teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan
hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat
keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi
kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar
dapat mencabut seketika itu juga.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
32

Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas


menurut pendapat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana
apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa
kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau
mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan
suatu pendapat yang lebih masuk akal.
Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah
benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah
Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut
jasad seketika , tidak terduga siapa yang dapat menyamainya
3. Wedaran Angracut Jasad
Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Kangjeng
Susuhunan Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak
cucu seperti ini caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak
diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya,
didunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari
kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang
yang kukehendaki”.
4. Wedaran Menghancurkan Jasad
Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut
: “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau
terjadinya mukjizat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para
Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khos, dengan cara
menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel
Denta :
1. Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya
sekalian.
2. Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
3. Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan
malam
4. Puasa padam api, tujuh hari tujuh malam
5. Jaga, lamanya tiga hari tiga malam
6. Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.
Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu
beginilah caranya :
o Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan
dengan
o Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga
dengan
o Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan
o Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan
o Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan
o Pati raga selama sehari semalam.
Adapun caranya Pati Raga adalah : tangan bersidakep kaki membujur
dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak bergerak-gerak, menahan
tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
33

sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan


nafas, anapas, tanapas nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang
tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.

DUNIA MAHKLUK HALUS

Pada kenyataannya banyak orang yang tertarik menelaah pada dunia


mahkluk halus, barang kali mereka mendengar beberapa cerita atau
membaca tulisan atau dari buku-buku. Bagi orang yang telah mencapai ilmu
sejati dalam kejawen atau mungkin yang sudah menguasai metafisika,
dunia mahkluk halus itu biasa adanya, bukannya omong kosong. Dibawah
ini digambarkan informasi dari dunia-dunia mereka versi kejawen,dimana
( lebih dari satu dunia ) paling tidak yang terjadi ditanah Jawa.
Banyak ahli kejawen mempunyai pendapat yang sama bahwasanya di
dalam dunia yang satu dan sama ini, sebenarnya dihuni oleh tujuh macam
alam kehidupan, termasuk alam yang dihuni oleh manusia. Di dunia ini
memiliki tujuh saluran kehidupan yang ditempati oleh bermacam-macam
mahkluk. Mahkluk-mahkluk dari tujuh alam tersebut, pada prinsipnya
mereka mengurusi alamnya masing-masing, aktivitas mereka tidak
bercampur setiap alam mempunyai urusannya masing-masing. Dari tujuh
alam itu hanyalah alamnya manusia yang mempunyai matahari dan
penduduknya yang terdiri dari manusia, binatang dan lain-lain mempunyai
badan jasmani.
Penduduk dari 6 alam yang lain mereka mempunyai badan dari
cahaya ( badan Cahya ) atau yang secara populer dikenal sebagai mahkluk
halus (wong alus) mahkluk yang tidak kelihatan. Di 6 alam itu tidak ada hari
yang terang berderang karena tidak ada matahari. Keadaannya seperti
suasana malam yang cerah dibawah sinar bulan dan bintang-bintang yang
terang, maka itu tidak ada sinar yang menyilaukan seperti sinar matahari
atau bagaskoro ( Jawa halus ).

Konon Ada 2 macam mahkluk halus :


1. Mahkluk halus asli yang memang dilahirkan – diciptakan sebagai
mahkluk halus.
2. Mahkluk halus yang berasal dari manusia yang telah meninggal.
Seperti juga manusia ada yang baik dan jahat, ada yang pintar dan
bodoh.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
34

Mahkluk-mahkluk halus yang asli mereka tinggal di dunianya masing-


masing, mereka mempunyai masyarakat maka itu ada mahkluk halus yang
mempunyai kedudukan tinggi seperti Raja-raja, Ratu-ratu, Menteri-menteri
dan lain-lain, sebaliknya ada yang berpangkat rendah seperti prajurit,
pegawai, pekerja dan lain-lain.
Inilah kenyataannya yang bukan hanya merupakan ilusi atau bayangan
semata, alam lain itu antara lain :
1. Merkayangan
Kehidupan di saluran ini hampir sama seperti kehidupan di dunia
manusia, kecuali tidak adanya sinar terang seperti matahari.
Dalam dunia merkayangan mereka merokok, rokok yang sama
seperti dunia manusia, membayar dengan uang yang sama, memakai
macam pakaian yang sama, ada banyak mobil yang jenisnya sama di jalan-
jalan, ada banyak pabrik-pabrik persis seperti di dunia manusia. Yang
mengherankan adalah, mereka itu memiliki tehnologi yang lebih canggih
dari manusia, kota-kotanya lebih modern ada pencakar langot, pesawat-
pesawat terbang yang ultra modern dan lain-lain.
Ada juga hal-hal yang mistis di dunia Merkayangan ini, kadang-
kadang bila perlu ada juga manusia yang diundang oleh mereka antara lain
untuk : melaksanakan pertunjukkan wayang kulit, menghadiri upacara
perkawinan, bekerja di batik, rokok dan manusia-manusia yang telah
melakukan pekerjaan di dunia tersebut, mereka itu dibayar dengan uang
yang syah dan berlaku seperti mata uang di dunia ini.
2. Jin - Siluman
Mahkluk halus ini konon suka tinggal didaerah yang ber air seperti di
danau-danau, laut , samudera dan lain-lain, masyarakat siluman diatur
seperti masyarakat jaman kuno. Mereka mempunyai Raja, Ratu, Golongan
Aristokrat, Pegawai-pegawai Kerajaan, pembantu-pembantu, budak-budak
dll. Mereka bisa tinggal di Keraton-keraton, rumah-rumah bangsawan,
rumah-rumah yang bergaya kuno dan lain-lain.
Kalau orang pergi berkunjung ke Solo-Yogyakarta atau jawa Tengah,
orang akan mendengar cerita tentang beberapa siluman antara lain :
Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan), Ratu legendaris, berkuasa dan
amat cantik, yang tinggal di istananya di Laut Selatan, dengan pintu
gerbangnya Parangkusumo.
Parangkusumo ini terkenal sebagai tempat pertemuan antara
Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, dalam pertemuan itu,
Kanjeng Ratu Kidul berjanji untuk melindungi semua raja dan kerajaan
Mataram.
Beliau mempunyai seorang patih wanita yang setia dan sakti yaitu
Nyai Roro Kidul, kerajaan laut selatan ini terhampar di Pantai Selatan Pulau
Jawa, di beberapa tempat kerajaan ini mempunyai Adipati. Seperti layaknya
disebuah negeri kuno di kerajaan laut selatan ini juga ada berbagai upacara,
ritual dan lain-lain dan mereka juga mempunyai angkatan perang yang
kuat.
Sarpo Bongso-Penguasa Rawa Pening.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
35

Sebuah danau besar yang terletak di dekat kota Ambarawa antara


Magelang dan Semarang. Sarpo Bongso ini siluman asli, yang telah tinggal
di telaga itu untuk waktu yang lama bersama dengan penduduk golongan
siluman. Sedangkan kanjeng Ratu Kidul bukanlah asli siluman, beberapa
abad yang lalu beliau adalah seorang Gusti dikerajaan di Jawa, tetapi
patihnya Nyai Roro Kidul adalah siluman asli sejak beberap ribu tahun yang
lalu.

3. Kajiman
Mereka hidup dirumah-rumah kuno di dalam masyarakat yang
bergaya aristokrat, hampir sama dengan bangsa siluman tetapi mereka itu
tinggal di daerah-daerah pegunungan dan tempat-tempat yang berhawa
panas. Orang biasanya menyebut merak Jim.
4. Demit
Bangsa ini bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang
hijau dan lebih sejuk hawanya, rumah-rumah mereka bentuknya sederhana
terbuat dari kayu dan bambu, mereka itu seperti manusia hanya bentuk
badannya lebih kecil.
Disamping masyarakat yang sudah teratur seperti Merkayangan,
Siluman, Kajiman, dan Demit masih ada lagi dua menjelaskannya lebih
detail, secara singkat kedua masyarakat itu adalah untuk mereka yang
jujur, suci dan bijak.
Mahkluk halus yang tidak sempurna.
Disamping tujuh macam alam permanen tersebut, ada sebuah
saluran yang terjepit, dimana roh-roh dari manusia-manusia yang jahat
menderita karena kesalahan yang telah mereka perbuat pada masa lalu,
ketika mereka hidup sebagai manusia.
Manusia yang salah itu pasti menerima hukumaan untuk kesalahan
yang dilakukannya, hukuman itu bisa dijalani pada waktu dia masih hidup di
dunia atau lebih jelek pada waktu sesudah kehidupan ( afterlife ) diterima
oleh orang-orang yang sudah melakukan : fitnah, tidak jujur, prewangan
( orang yang menyediakan raganya untuk dijadikan medium oleh mahkluk
halus ) blakmagic, guna-guna yang membuat orang lain menderita, sakit
atau mati dll, pengasihan supaya dikasihi oleh orang lain dengan cara-cara
yang tidak wajar, membunuh orang dll perbuatan yang nista.
Memuja berhala untuk menjadi kaya ( pesugihan ) yang dimaksud
dengan berhala dalam kejawen bukanlah patung-patung batu, tetapi adalah
sembilan macam mahkluk halus yang katanya, suka menolong “ manusia
supaya menjadi kaya dengan kekayaan meterial yang berlimpah.
Pemujaan terhadap kesembilan mahkluk jahat itu merupakan
kesalahan fatal, mereka itu bila dilihat dengan mata biasa kelihatan
seperti :
1. Jaran Penoreh - kuda yang kepalanya menoleh kebelakang
2. Srengara Nyarap - anjing menggigit
3. Bulus Jimbung - bulus yang besar
4. Kandang Bubrah - kandang yang rusak

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
36

5. Umbel Molor - ingus yang menetes


6. Kutuk Lamur - senagsa ikan, penglihatannya tidak terang
7. Gemak Melung - gemak, semacam burung yang berkicau
8. Codot Ngising - kelelawar berak
9. Bajul Putih - buaya putih.
Bagi mereka yang telah melakukan kesalahan dengan jalan memuja
atau menggunakan “ jasa-jasa Baik “ berhala diatas, mereka tentu akan
mendapat hukuman sesudah “ kematiannya “ badan dan jiwa mereka
mendapat hukuman persyaratan sangkan paraning dumadi ( datang dari
suci, di dunia inii hidup suci dan kembali lagi ke suci ).
Berbagai macam hukuman sesudah kehidupan :
Ini merupakan hukuman yang teramat berat, tidak ada penderitaan
yang seberat ini, maka itu setiap orang harus berusaha untuk
menghindarinya. Bagaimana caranya ? mudah saja : bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa dengan melakukan perbuatan yang baik dan
benar, berkelakuan baik, jujur, suka menolong, jangan menipu, jangan
mencuri, jangan membunuh, jangan menyiksa, jangan melakukan hal-hal
yang jelek dan nista.
Ada pepatah Jawa yang bunyinya “ Urip iku mung mampir
ngombe “ artinya hidup didunia ini hanyalah untuk mampir minum, itu
artinya orang hidup didunia ini hanya dalam waktu singkat maka itu
berbuatlah yang pantas/ " pene r".
WEWEDHARANIPUN TRI BAWANA
[ Jabaran tiga dunia ]

Bahasa Jawa :
1. Ayat ingkang sapisan, dipun wastani pambukaning tata mahligai ing
dalem Baitalmakmur, kados makaten wewedharanipun :
Sajatine ingsun nata malige ing dalem Baitalmakmur iya iku enggon
parameyaningsun jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning
sirah iku dimak, iya iku utek kang ana antaraning Dimak iku manik,
sajroning pranawa iku sukna, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa
iku ingsun ora ana pangeran, anging ingsun dzat kang anglimputi ing
kahanan jati.
2. Ayat ingkang kaping kalih dipun wastani pambukaning tata mahlige ing
dalem Baitalmukharam, kados makten wewedharanipun :
Sajatine ingsun anata malige ing dalem baitalmukharam, iya iku
enggon laranganingsun jumeneng ana jajaning Adam, kang ana
sajroning dhada iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning
jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, sajroning jinem iku sukma,
sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran
anging ingsun dzat kang anglimputi kahanan jati.
3. Ayat ingkang kaping tiga dipun wastani pambukaning tata mahlige
ing dalem Baitalmukadas, mekaten wewejanganipun :

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
37

Sajatine ingsun anata Malige ing dalem Baitalmukadas, iya iku


enggon pasucen ingsun jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana
ing sajroning konthol iku pringsilan, kang ada antaraning iku mutfah, iya
iku mani sajroning mutfah iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning
wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahso sajroning rahso iku
ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi ing
kahanan jati.
Menggah ingkang sami kapareng amedharaken wedharan triloka wau para
wali 8 :
1. Susuhunan ing Giri Kadhaton
2. Susuhunan ing Kudus
3. Susuhunan ing Panggung
4. Susuhunan ing Majagung
5. Susuhunan ing Pancuran
6. Susuhunan ing Cirebon
7. Syeh Maulana Ibrahim Jatiswara
8. Susuhunan ing Kajenar
Dene anggenipun sami karsa amedharaken Triloka punika saking
anggenipun sami ambabar kaelokaning Ilmi kasampurnan, ingkang kaangge
witting Ilmi bangsa Sorogan, kadosta :
1. Kawasa saget andhatengaken salwiring sedya.
2. Anggenipun kawasa saget adamel lumpuhing para cidra, inggih
punika bangsaning pangetisan.
3. Sami kawasa saget adamel sarana wewelikaning pandulu inggih
punika kalebet Aji Sesulapan.
4. Sami anggelaraken bangsaning gendam, urawi puter giling
sapanunggalanipun, nanging sadya kal wau nalika pakumpulan kaliyan
Kanjeng Susuhunan ing Kalijogo inggih sami ajrih anggelaraken.
Purunipun adamel kaelokan sareng Kanjeng Susuhunan Ing Kalijaga
sampun kayun widaraini, tegesipun gesang toya kalih wonten ing donya
gesang, ing kahanan akhir inggih gesang, sanyata langgeng boten ewah
gingsir mila waget jumeneng Gosul Alam, tegesipun dados musthikaning
Sapta Bawana, inggih punika winenang mengku Bumi langit sap pitu, tetep
gesang piyambak boten wonten ingkang anggesangi
Terjemahan :
1. Ayat yang pertama dinamakan terbukanya tata mahligai Baital Makmur
wedarnya/jabarannya sebagai berikut :
Sebenarnya aku mengatur singgasana di dalam Baital Makmur, di
situlah tempat kesenangan-KU, berada di kepala Adam, yang berada
didalam kepala disebut dimak yaitu otak, yang berada diantara dimak itu
manik, didalam manik itu pramana adalah pranawa, didalam pranawa itu
adalah sukma itu adalah rahsa, didalam rahsa itu adalah aku, tidak ada
Pangeran hanya dzat yang meliputi disemua keadaan.
2. Ayat yang kedua dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam
Baital Mukharam sebagai berikut :
Sebenarnya aku menata singgasana dalam Baital Mukharam itulah
tempat larangan-larangan-KU, yang berada didada Adam, yang berada

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
38

di dalam dada itu hati, yang berada diantara hati itu jantung, di dalam
jantung itu budi, di dalam budi itu jinem, di dalam jinem itu sukma,
didalam sukma itu rahsa dan di dalam rahsa itu aku, tidak ada Tuhan
kecuali aku, Dzat yang emliputi semua keadaan .
3. Ayat ketiga dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam Baital
Mukadas sebagai berikut :
Sebenarnya aku menata singgasana dalam Baital Mukadas, rumah
tempat yang aku sucikan berada didalam kelaminnya Adam, yang
berada di dalam kelamin itu pelir, yang berada di dalam pelir itu mutfah
yakni mani, di dalam mutfah adalah madi, di dalam madi itu manikem, di
dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itu adalah aku tidak ada Tuhan
kecuali aku, dzat yang meliputi semua keadaan.
Adapun yang ditunjuk mewedarkan wedaran Triloka ialah delapan wali,
sebagai berikut :
1. Sesuhunan di Giri Kedaton
2. Sesuhunan di Kudus
3. Sesuhunan di Panggung
4. Sesuhunan di Pajagung
5. Sesuhunan di Pancuran
6. Sesuhunan di Cirebon
7. Syeh Maulana Ibrahim Jatiswara
8. Sesuhunan di Kajenar
Adapun mereka mau mewedarkan Triloka itu, karena mereka telah
menyaksikan kehebatan ilmu kasampurnan, yang dianggap menjadi
kuncinya ilmu sorogan, misalnya :
1. Mampu mendatangkan semua yang dikehendaki
2. Mampu melumpuhkan orang yang berniat jahat, yaitu tergolong
pangatisan.
3. Mampu membuat penglihatan menjadi berubah ialah sebangsa
sulapan.
4. Mampu menggelarkan jenisnya dendam, atau puter giling dan
sebagainya, tetapi semua itu ketika masih berkumpul dengan Sunan
Kalijogo, mereka takut mempergunakan ilmu-ilmu tersebut.
Mereka membuat keanehan setelah Sunan Kalijogo sudah kayun
widaraini artinya hidup di akherat pun hidup. Ternyata abadi tidak berubah
oleh karenanya dapat menyandang sebagai Gosul Alam, artinya menjadi
mustikanya tujuh lapis Bawana mempunyai wewenang menguasai Bumi dan
langit lapis tujuh.

AL FAATIHAH ( BEBUKA )

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
39

Surat kaping 1 : 7 ayat


( Tumuruning wahyu ana ing Mekkah, tumurun sawuse surat Al-
Muddatstsir )

Bahasa Arab :
1. Bismillahir rahmaanir rahim
2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin
3. Arrahmanir rahiim
4. Maaliki yaumid diin
5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in
6. Ihdinash shiraathal mustaqiim
7. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘ alaihim waladl
dlaal-liin
Bahasa Jawa :
1. Kalawan asma Allah kang Maha Murah ugi Maha Asih.
2. Kabeh pangalembana kagunganing Allah Pangeran, Sesembahaning ‘
alam jagad-rat pramudita.
3. Kang Maha Murah Maha Asih.
4. Kang Ngratoni ing dina Piwelas.
5. Namung dhumateng Paduka piyambak kita sami menembah ‘ ibadah,
saha namung dhumateng Paduka piyambak kita sami anyenyadhong
pitulungan.
6. Dhuh Gusti Allah, mugi Paduka paring pitedah ing kita sadaya lumampah
wonten ing margi ingkang leres.
7. Inggih punika margi, Agaminipun para tetiyang ingkang sampun Paduka
paringi kani’matan, sanes ingkang sami kabendon, tuwin sanes ingkang
sami sasar.
Isi maksud ingkang wigatos ing Surat Al-Faatihah :
Intisari saking isinipun Al-Quraan punika sampun kaweca pokok-
pokok ingkang fundamentil wonten salebeting Surat Al Faatihah, kados
kasebut ing ngandhap punika :
1. Bab ‘aqaid utawi kaimanan ; punika kuwajiban ingkang wiwitan
kaampil, ingkang dipun da’wahaken dening junjungan kita Nabi Muhammad
s.a.w, makaten ugi dening para andika Rasul saderengipun. Ingkang baku
inggih punika ‘ aqidah-tauhid ( memundhi saha mangeran namung
dhumateng Panjenanganipun Allah piyambak ) ‘ Aqidah-tauhid wau dados
jejering piwucal Agami, sadaya para andika Nabi Utusaning Allah kautus
ngampil tugas-pokok mbangun Tauhid ing Allah, sarta ngrebahaken sadaya
kamusyrikan, ugi ngajak Ummatipun supados samia ‘ibadah ( manembah )
ing Allah piyambak, lan nilar sadaya brahalanipun.
2. ‘Ibadah ; utawi ngumawula lan manembah ing Allah, ingkang kuwajiban
sadaya titah, langkung-langkung manungsa ( sabab manungsa punika
makhluk ingkang saged damel kabudayan wonten ing ‘ alam donya ).
Ingkang baku wonten sekawan, inggih punika : Shalat, Zakat, Shiyam lan
kesah Haji. Saking ingkang baku kasebut, lajeng tuwuh ‘ibadah memuji,
ndedonga, dzikir lan tafakkur utawi I’tikaf ing masjid. Saking zakat lajeng

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
40

tuwuh ‘ ibadah qurban sidqah, weweweh lan tetulung ing sasaminipun, lan
saking Shiyam tuwuh watak Wira’I 9 mboten ndremis lan mboten kathah
sesambat ) sumingkir saking ingkang nama lelangkungan ( gesang
prasaja ). Lajeng saking Haji tuwuh semangat ambelani sarta labuh ing
agami.
3. Angger- angger Hukum lan Pernatan- pernatan : maksudipun
Syari’at Islam damel angger-angger hukum lan pranatan punika kangge
karaharjaning ummat manungsa ing Donya dumugi ing Akheratipun.
Pramila ing salebetingQuraan ngemot pinten-pinten norma lan katamtuwan,
upami hukum, politik, tatanagari, sosial, ekonomi, perang, dahme,
sesambetan internasional, kabudayan sarta kesenian, agami,
sesambetaning manungsa kaliyan Allah, lan lingkungan sapiturutipun.
4. Janji sarta ancaman : artosipun supados ngadeg keadilan lan keleresan
ingkang saestu, sanajan wonten Donya saged lolos saking hukuman,
nanging wonten ngarsaning Allah ing dinten Qiyanat tantu nboten saged
lolos malih.
5. Sejarah : maksudipun ingkang saged dados tepa-palupi ing salebeting
sesrawungan ummat manungsa, sampun ngantos damel sejarah awon,
gesang sapisan wonten ing ‘ alam Donya.

AYAT KURSI

Allahu laa ilaaha illaa huwal-hayyul qayyuumu laa ta’khudzuhuu


sinatuw wa laa nauum, lahuu maa fis-samaawaati wa maa fil ardhi man
dzal-ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa bi-idznihii ya’lamu maa baina aidiihim
wamaa khalfahum, walaa yuhiithuuna bisyai-im min ‘ilmihii illaa bimaa
syaa-a wasi’a kursiyyu hus-samaawaati wal-ardha walaa ya-uuduhuu hif
zhuhumaa wa huwal ‘aliyyul ‘azhiim.
Allah ora ana Pangeran kang sinembah kajaba mung Panjenengane
piyambak kang Sugeng sarta kang Jumeneng Pribadi,Allah iku ora kataman
ngantuk lan ora kataman sare,Kagungane ALLAH samubarang kang ana ing
langit lan samubarang kang ana ing bumi.Ora ana kang bisa aweh syafa’at
ana ing ngarsaning Allah, kajaba manawa oleh palilahe. Allah iku
Ngawuningani samubarang kang ana ing ngarep lan saburine wong-wong
mau, dheweke mau ora ana kang padha bisa nglimputi sathithik bahe saka
ilmuNE ALLAH, kajaba barang kang dadi kaparenging Karsane. Jembare
kursine Allah iku amot langit lan bumi, panjenengane ora rekaos anggone

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
41

rumeksa ing sakarone langit lan bumi, lan Panjenengane Allah iku Maha
Luhur tur Maha Agung. (QS. Al Baqarah:255)

KAUTAMANING LAKU

1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran.


2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran.
3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku
paraboting urip kang utama.
4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapunira.
5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe
sesamaning jalma.
6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den
agung, panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa
bener lawan becik, ginantungan bebenduning Pangeran.
7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang
samubarang kang sinedya, den prayitna barang karya.
8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi.
9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala.
10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan,
datan nyulayani.
11. Tapa ngluwat, tegese mendhem atine aja ngatonake kabecikane dhewe.
12. Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga
ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik

sing sapa reka arsa anglakoni


amutiha lawan amawasa
patangpuluh dina wae
lan tangi wektu subuh lan den sabar sukur ing ati

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
42

Isya ALLAH tinekan sak karsaniku,


nyawabi nakrakyatira.
saking sawab ing ilmu pangiket mami,
duk uneng Kalijaga

SERAT SABDO JATI

Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu
MarGAne suka basuki
Dimen luWAR kang kinayun
Kalising panggawe SIsip
Ingkang TAberi prihatos

Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,


agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-
cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar
prihatin.
2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
43

Tumanggap dimen tumanggon

Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,


intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.
3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos

Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,


mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini
kosong
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.
4. Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon

Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.


Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon

Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,


sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-
kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang
baik,
seolah-olah mabuk kepayang.
6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon

Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan


yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
44

7. Parandene kabeh kang samya andulu


Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon

Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir,


tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga
yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.
8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor

Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran


melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon

Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon

Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan


setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi
segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.
11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon

Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung


yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
45

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh


Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon

Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,


cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.
13. Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos

Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan


tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.
14. Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong

Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun
Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon

Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan
makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
46

Mulih mring jatining enggon

Sayang sekali "pengelihatan" Sang Pujangga belum sampai selesai,


bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
17.Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon

Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi, sudah sampai waktunya,


kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
18. Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon

Tanggal 5 bulan Sela


(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
19. Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802.
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi
1873).

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
47

SERAT KALATIDA

Sinom

1. Mangkya darajating praja


Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot.


Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang
dapat diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh
keragu-raguan).
Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.
2. Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Paranedene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angrebedi
Beda-beda ardaning wong saknegara

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik,


Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka
masyarakat baik,
namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.
Oleh karena daya jaman Kala Bendu.
Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi.
Lain orang lain pikiran dan maksudnya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
48

3. Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka

Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan,


mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur
sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.
4. Dasar karoban pawarta
Bebaratun ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yan pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka

Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu.


Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak
benar,
bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi
pemuka/pemimpin ?
Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja.
Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah
kerepotan.
5. Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna

Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada


peringatan.
Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang
berbudi tidak terpakai.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
49

Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin


akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat
karya-karya kisah jaman dahulu kala.
6. Keni kinarta darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan

Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala,


guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul.
Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama,
mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya "nrima"
dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.
7. Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada

Hidup didalam jaman edan, memang repot.


Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya
jaman
tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun
orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang
senantiasa ingat dan waspada.
8. Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
50

Yah segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ?


Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian.
Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua,
apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan
dari Tuhan.
9. Beda lan kang wus santosa
Kinarilah ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar

Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan.


Bagaimanapun nasibnya selalu baik.
Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah.
Namun demikian masih juga berikhtiar.
10. Sakadare linakonan
Mung tumindak mara ati
Angger tan dadi prakara
Karana riwayat muni
Ikhtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma

Apapun dilaksanakan. Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak


menimbulkan persoalan.
Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu
wajib ikhtiar,
hanya harus memilih jalan yang baik.
Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan
waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.
11. Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
51

Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih,


mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat
menjelang akhir ini.
Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana.
Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.
12. Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruraha
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya

Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa,


seolah-olah dapat mati didalam hidup.
Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat
ampunan sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami.

SABDA TAMA

Gambuh
1. Rasaning tyas kayungyun
Angayomi lukitaning kalbu
Gambir wanakalawan hening ing ati
Kabekta kudu pitutur
Sumingkiring reh tyas mirong

Tumbuhlah suatu keinginan melahirkan perasaan dengan hati yang hening


disebabkan ingin memberikan petuah-petuah agar dapat menyingkirkan
hal-hal yang salah.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
52

2. Den samya amituhu


Ing sajroning Jaman Kala Bendu
Yogya samyanyenyuda hardaning ati
Kang anuntun mring pakewuh
Uwohing panggawe awon

Diharap semuanya maklum bahwa dijaman Kala Bendu


sebaiknya mengurangi nafsu pribadi yang akan membenturkan kepada
kerepotan.
Hasilnya hanyalah perbuatan yang buruk.
3.Ngajapa tyas rahayu
Nyayomana sasameng tumuwuh
Wahanane ngendhakke angkara klindhih
Ngendhangken pakarti dudu
Dinulu luwar tibeng doh

Sebaiknya senantiasa berbuat menuju kepada hal-hal yang baik.


Dapat memberi perlindungan kepada siapapun juga.
Perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka,
melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan dan terbuang jauh.
4. Beda kang ngaji mumpung
Nir waspada rubedane tutut
Kakinthilan manggon anggung atut wuri
Tyas riwut ruwet dahuru
Korup sinerung agoroh

Hal ini memang lain dengan yang ngaji pumpung.


Hilang kewaspadaannya dan kerepotanlah yang selalu dijumpai,
selalu mengikuti hidupnya. Hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta.
5. Ilang budayanipun
Tanpa bayu weyane ngalumpuk
Sakciptane wardaya ambebayani
Ubayane nora payu
Kari ketaman pakewoh

Lenyap kebudayaannya. Tidak memiliki kekuatan dan ceroboh.


Apa yang dipikir hanyalah hal-hal yang berbahaya.
Sumpah dan janji hanyalah dibibir belaka tidak seorangpun
mempercayainya.
Akhirnya hanyalah kerepotan saja.
6. Rong asta wus katekuk
Kari ura-ura kang pakantuk
Dandanggula lagu palaran sayekti
Ngleluri para leluhur

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
53

Abot ing sih swami karo

Sudah tidak berdaya. Hanya tinggallah berdendang.


Mendendangkan lagu dandang gula palaran hasil karya nenek moyang
dahulu kala,
betapa beratnya hidup ini seperti orang dimadu saja.
7. Galak gangsuling tembung
Ki Pujangga panggupitanipun
Rangu-rangu pamanguning reh harjanti
Tinanggap prana tumambuh
Katenta nawung prihatos

Ki Pujangga didalam membuat karyanya mungkin ada kelebihan dan


kekurangannya.
Olah karena itu ada perasaan ragu-ragu dan khawatir,
barangkali terdapat kesalahan/kekeliruan tafsir, sebab sedang prihatin.
8. Wartine para jamhur
Pamawasing warsita datan wus
Wahanane apan owah angowahi
Yeku sansaya pakewuh
Ewuh aya kang linakon

Menurut pendapat para ahli, wawasan mereka keadaan selalu berubah-


ubah.
Meningkatkan kerepotan apa pula yang hendak dijalankan.
9. Sidining Kala Bendu
Saya ndadra hardaning tyas limut
Nora kena sinirep limpating budi
Lamun durung mangsanipun
Malah sumuke angradon

Azabnya jaman Kala Bendu, makin menjadi-jadi nafsu angkara murka.


Tidak mungkin dikalahkan oleh budi yang baik.
Bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan makin luar biasa.
10. Ing antara sapangu
Pangungaking kahanan wus mirud
Morat-marit panguripaning sesami
Sirna katentremanipun
Wong udrasa sak anggon-anggon

Sementara itu keadaan sudah semakin tidak karu-karuwan,


penghidupan semakin morat-marit, tidak ketenteraman lagi, kesedihan
disana-sini.
11. Kemang isarat lebur
Bubar tanpa daya kabarubuh

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
54

Paribasan tidhem tandhaning dumadi


Begjane ula dahulu
Cangkem silite angaplok

Segala dosa dan cara hancur lebur, seolah-olah hati dikuasai ketakutan.
Yang beruntung adalah ular berkepala dua, sebab kepala serta buntutnya
dapat makan.
12. Ndhungkari gunung-gunung
Kang geneng-geneng padha jinugrug
Parandene tan ana kang nanggulangi
Wedi kalamun sinembur
Upase lir wedang umob

Gunung-gunung digempur, yang besar-besar dihancurkan


meskipun demikian tidak ada yang berani melawan.
Sebab mereka takut kalau disembur (disemprot ular) berbisa.
Bisa racun ular itu bagaikan air panas.
13. Kalonganing kaluwung
Prabanira kuning abang biru
Sumurupa iku mung soroting warih
Wewarahe para Rasul
Dudu jatining Hyang Manon

Tetapi harap diketahui bahwa lengkungan pelangi yang


berwarna kuning merah dan biru sebenarnya hanyalah cahaya pantulan air.
Menurut ajaran Nabi itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya.
14. Supaya pada emut
Amawasa benjang jroning tahun
Windu kuning kono ana wewe putih
Gegamane tebu wulung
Arsa angrebaseng wedhon

Agar diingat-ingat. Kelak bila sudah menginjak tahun windu kuning


(Kencana) akan ada wewe putih (setan putih), yang bersenjatakan tebu
hitam akan menghancurkan wedhon (pocongan setan).
(Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).
15. Rasa wes karasuk
Kesuk lawan kala mangsanipun
Kawises kawasanira Hyang Widhi
Cahyaning wahyu tumelung
Tulus tan kena tinegor

Agaknya sudah sampai waktunya, karena kekuasaan Tuhan telah datang


jaman kebaikan, tidak mungkin dihindari lagi.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
55

16, Karkating tyas katuju


Jibar-jibur adus banyu wayu
Yuwanane turun-temurun tan enting
Liyan praja samyu sayuk
Keringan saenggon-enggon

Kehendak hati pada waktu tersebut hanya didasarkan kepada ketentraman


sampai ke anak cucu. Negara-negara lain rukun sentosa dan dihormati
dimanapun.
17. Tatune kabeh tuntun
Lelarane waluya sadarum
Tyas prihatin ginantun suka mrepeki
Wong ngantuk anemu kethuk
Isine dinar sabokor

Segala luka-luka (penderitaan) sudah hilang.


Perasaan prihatin berobah menjadi gembira ria.
Orang yang sedang mengantuk menemukan kethuk (gong kecil)
yang berisi emas kencana sebesar bokor.
18. Amung padha tinumpuk
Nora ana rusuh colong jupuk
Raja kaya cinancangan angeng nyawi
Tan ana nganggo tinunggu
Parandene tan cinolong

Semua itu hanya ditumpuk saja, tidak ada yang berbuat curang maupun
yang mengambil. Hewan piraan diikat diluar tanpa ditunggu namun tidak
ada yang dicuri.
19. Diraning durta katut
Anglakoni ing panggawe runtut
Tyase katrem kayoman hayuning budi
Budyarja marjayeng limut
Amawas pangesthi awon

Yang tadinya berbuat angkara sekarang ikut pula berbuat yang baik-baik.
Perasaannya terbawa oleh kebaikan budi. Yang baik dapat menghancurkan
yang jelek.
20. Ninggal pakarti dudu
Pradapaning parentah ginugu
Mring pakaryan saregep tetep nastiti
Ngisor dhuwur tyase jumbuh
Tan ana wahon winahon

Banyak yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kurang baik.


Mengikuti peraturan-peraturan pemerintah. Semuanya rajin mengerjakan

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
56

tugasnya masing-masing. Yang dibawah maupun yang diatas hatinya sama


saja. Tidak ada yang saling mencela.
21.Ngratani sapraja agung
Keh sarjana sujana ing kewuh
Nora kewran mring caraka agal alit
Pulih duk jaman runuhun
Tyase teteg teguh tanggon

Keadaan seperti itu terjadi diseluruh negeri. Banyak sekali orang-orang ahli
dalam bidang surat menyurat. Kembali seperti dijaman dahulu kala.
Semuanya berhati baja.

SERAT JOKO LODANG

Gambuh
1. Jaka Lodang gumandhul
Praptaning ngethengkrang sru muwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor

Joko Lodang datang berayun-ayun diantara dahan-dahan pohon


kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras.
Ingat-ingatlah sudah menjadi kehendak Tuhan
bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah
sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan
(akan terjadi wolak waliking jaman), karena kalah perang maka akan diusir
dari negerinya.
2.Nanging awya kliru
Sumurupa kanda kang tinamtu
Nadyan mendak mendaking gunung wis pasti
Maksih katon tabetipun
Beda lawan jurang gesong

Namun jangan salah terima menguraikan kata-kata ini.


Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung
akan tetap masih terlihat bekasnya.
Lain sekali dengan jurang yang curam.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
57

3. Nadyan bisa mbarenjul


Tanpa tawing enggal jugrugipun
Kalakone karsaning Hyang wus pinasti
Yen ngidak sangkalanipun
Sirna tata estining wong

Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung,


namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor.
(Ket. Karena ini hasil sastra maka tentu saja multi dimensi.
Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah pisik
tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan).
Semuanya yang dituturkan diatas sudah menjadi kehendak Tuhan
akan terjadi pada tahun Jawa 1850.
(Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1).
Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.

Sinom
1. Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira

Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud,


apa yang dicita-citakan buyar, apa yang dirancang berantakan,
segalanya salah perhitungan, ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela.
Orang besar kehilangan kebesarannya, lebih baik tercemar nama daripada
mati,
sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya.
2. Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njero kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban kethu putih mamprung
Wadon nir wadorina
Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira

Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka.


Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
58

Banyak ulama berbuat maksiat.


Mengerjakan madat, madon minum dan berjudi.
Para haji melemparkan ikat kepala hajinya.
Orang wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta
benda.
Semua saja waktu itu hanya harta bendalah yang menjadi tujuan.
3. Para sudagar ingargya
Jroning jaman keneng sarik
Marmane saisiningrat
Sangsarane saya mencit
Nir sad estining urip
Iku ta sengkalanipun
Pantoging nandang sudra
Yen wus tobat tanpa mosik
Sru nalangsa narima ngandel ing suksma

Hanya harta bendalah yang dihormati pada jaman tersebut.


Oleh karena itu seluruh isi dunia penderitaan kesengsaraannya makin
menjadi-jadi.
Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1).
Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930.
Penghabisan penderitaan bila semua sudah mulai bertobat dan
menyerahkan diri
kepada kekuasaan Tuhan seru sekalian alam.

Megatruh
1. Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon

Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.


Kemudian Joko Lodang berkata lagi :
"Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,
didalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya
segera dan dapat terjadi ".
2. Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon

Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.


Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).
Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
59

Akan ada keadilan antara sesama manusia. Itu sudah menjadi kehendak
Tuhan.
3. Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
Malenuk samargi-margi
Marmane bungah kang nemu
Marga jroning kethuk isi
Kencana sesotya abyor
Diwaktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong
kecil)
yang berada banyak dijalan.
Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut
isinya tidak lain emas dan kencana.

RUWATAN

Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan


penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak
kesialan didalam hidupnya.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia,
telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup
umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas dan
karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek
moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai
perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi isian jiwa seni dan budaya Jawa.
Dalam ungkapan " Crah Agawe Bubrah - Rukun Agawe Santosa "
menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
60

menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang


mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya :
 Ojo Dumeh : Merasa dirinya lebih
 Mulat sarira, Hangrasa wani : Mawas diri, instropeksi diri
 Mikul Duwur, Mendem Jero : Menghargai dan menghormati
serta menyimpan - rahasia orang lain.
 Jer Basuki Mawa Beya : Kesuksesan perlu atau butuh
pengorbanan
 Ajining diri saka obahing lati : Harga diri tergantung ucapannya
Prinsip pengendalian diri dengan " Mulat Sarira " suatu sikap
bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta "
Aja Dumeh " adalah peringatan kepada kita bahwa jangan takabur dan
jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya yang
masih mempunyai arti sangat luas.
Kepercayaan terhadap keberadaan roh nenek moyang, menyatu
dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama dan bahkan memberi
warna khususu dalam kehidupan religiusitas serta adat istiadat masyarakat
Jawa, yaiku : Sinkretisme, Tantularisme dan Kejawen yang bersifat Toleran,
Akomodatif serta Optimistik.
Berbagai ungkapan dan ungkapan Jawa, merupakan cara
penyampaian terselubung yang bisa bermakna " Piwulang " atau pendidikan
moral, karena adanya pertalian budi pekerti dengan kehidupan spiritual,
menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati.
Terkemas hampir sempurna dalam seni budaya gamelan dan
gending-gending serta kesenian wayang kulit purwa yang perkembanganya
mempunyai warna yang unik, yaitu dari akar yang kuat, berpegang pada
kepercayaan terhadap roh nenek moyang, kemudian bertambah maju
setelah mengenal segala bentuk kesenian dari India dan menjadi sempurna
begitu masuk agama Islam di Pulau Jawa.
Paham mistik Jawa yang berpokok " Manunggaling Kawula Gusti "
( persatuan manusia dengan Tuhan ) dan " Sangkan Paraning Dumadi "
( asal dan tujuan ciptaan ) bersumber pada pengalaman religius, berawal
dari sana manusia itu rindu untuk bersatu dengan yang Illahi, ingin
menelusuri arus kehidupan sampai ke sumber muaranya. Perumusan
pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh-
pengaruh agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta dengan
mistiknya yang khas, seperti terlihat dalam kitab-kitab Tutur, Kidung dan
Suluk.
Wayang sebagai pertunjukan, merupakan ungkapan-ungkapan dan
pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang,
bahasa gerak,suara, warna dan rupa. Dalam wayang terekam ungkapan
pengalaman religius yang " kuno " seperti tampak bahwa pada tahap
perkembangannya dewasa ini, masih berperan pula mitos dan ritus,
misalkan pada lakon Ruwat atau Murwa Kala.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
61

Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan


masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak hanya sekedar
tontonan dan tuntunan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam
kehidupannya, namun juga merupakan tatanan yang harus dititeni kanti
titis. ( merupakan hukum alam yang maha teratur yang harus diketahui dan
disikapi secara bijaksana ) untuk menuju kasunyatan serta mencapai
kehidupan sejati. Bagi manusia jawa ( manusia yang mengerti sejati )
wayang merupakan pedoman hidup, bagaimana mereka bertingkah laku
dengan sesama dan bagaimana menyadari hakekatnya sebagai manusia
serta bagaimana dapat berhubungan dengan sang penciptanya.
Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan
orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas
dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam
cerita "wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa
( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno,
yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa
yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti:
mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara
mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang
mengambil tema/cerita Murwakala.
Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami
nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali,
perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang
manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala.
Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir
karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang
kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi
raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang
gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk
meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia
yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan
solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan.
Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia)
,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas
ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan
serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya
diperlukan perlengkapan sebagai berikut :
1. Alat musik jawa ( Gamelan )
2. Wayang kulit satu kotak ( komplit )
3. Kelir atau layar kain
4. Blencong atau lampu dari minyak
Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa:
1. Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang
dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading
(kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo,
daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun
kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
62

depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan


permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan
dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di
tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara
Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.
2. Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan
(ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama
pertunjukan.
3. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan
dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir)
sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai
alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat
duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
4. Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas
layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya
kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4
ikat pada sebelah menyebelah).
5. Bermacam-macam nasi antara lain :
a. Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang
kluwih, pecel ayam, sayur menir, dan sebagainya.
b. Nasi wuduk dilengkapi dengan; ikan lembaran, lalaban, mentimun,
cabe besar merah dan hijau brambang, kedele hitam.
c. Nasi kuning dengan perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji.
Srundeng asmaradana.
6. Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih,
jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
7. Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang
raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan
kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang
ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi
yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak,
kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
8. Benang lawe, minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu
blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong.
9. Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa
sepasang, bebek sepasang.
10. Yang berupa sajen antara lain : rujak ditempatkan pada bumbung,
rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa
garam), bambu gading linma ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah
yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban
panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut
dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada
muka Kyai Dalang.
11. Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir
besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
63

pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen. ). Sajen itu
dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon
keselematan.
12. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar
mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros
ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang
berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan
uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar
tercapai apa yang dicita citakan.
Yang perlu atau harus di Ruwat
Menurut kepustakaan " Pakem Ruwatan Murwa Kala " Javanologi
gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini ( Sri Paku
Buwana V ), bahwa orang yang harus diruwat disebut anak atau orang "
Sukerta " ada 60 macam penyebab malapetaka, yaitu sebagai berikut :
1. Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2. Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-
laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3. Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan
yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan
4. Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan
yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki
5. Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus
oleh selaput pembungkus bayi ( placenta )
6. Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau
kembar "dampit" yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ( yang
lahir pada saat bersamaan )
7. Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak
yang kedua-duanya perempuan
8. Kendhana-Kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan
9. Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki
10. Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan
11. Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anakyang semuanya
laki-laki
12. Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan
13. Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak
perempuan dan 1 orang anak laki-laki
14. Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan
9
1 orang anak perempuan
15. Julung Pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
16. Julung Wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya
matahari

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
64

17. Julung Sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang
18. Tiba Ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
19. Jempina, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan
sudah lahir
20. Tiba Sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
21. Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
22. Wahana, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah
23. Siwah atau Salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki
kulit dua macem warna, misalnya hitam dan putih
24. Bule, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih " bule "
25. Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam
26. Walika, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil
27. Wungkuk, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok
28. Dengkak, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol,
seperti punggung onta
29. Wujil, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek
30. Lawang Menga, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya "
Candikala " yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan
31. Made, yaitu anak yang lahir tanpa alas ( tikar )
32. Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan " Dandhang "
( tempat menanak nasi )
33. Memecahkan " Pipisan " dan mematahkan " Gandik " ( alat
landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat
tradisional).
34. Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada " tutup
keyongnya "
35. Orang tidur di atas kasur tanpa sprei ( penutup kasur ).
36. Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau
daun pisang.
37. Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan
padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap.
38. Orang yang menempatkan barang di suatu tempat ( dandhang -
misalnya ) tanpa ada tutupnya.
39. Orang yang membuat kutu masih hidup.
40. Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu.
41. Orang yang duduk didepan ( ambang ) pintu.
42. Orang yang selalu bertopang dagu.
43. Orang yang gemar membakar kulit bawang.
44. Orang yang mengadu suatu wadah atau tempat ( misalnya
dandhang diadu dengan dandhang )

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
65

45. Orang yang senang membakar rambut.


46. Orang yang senang membakar tikar dengan bambu ( galar ).
47. Orang yang senang membakar kayu pohon " kelor ".
48. Orang yang senang membakar tulang.
49. Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar
sekaligus.
50. Orang yang suka membuang garam.
51. Orang yang senang membuang sampah lewat jendela.
52. Orang yang senang membuang sampah atau kotoran dibawah
( dikolong ) tempat tidur.
53. Orang yang tidur pada waktu matahari terbit.
54. Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam ( wayah
surup ).
55. Orang yang memanjat pohon disiang hari bolong atau jam 12 siang
( wayah bedhug )
56. Orang yang tidur diwaktu siang hari bolong jam 12 siang.
57. Orang yang menanak nasi, kemudian ditinggal pergi ketetangga
58. Orang yang suka mengaku hak orang lain.
59. Orang yang suka meninggalkan beras di dalam " lesung " ( tempat
penumbuk nasi )
60. Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran " wijen " ( biji-
bijian )
Demikainlah 60 jenis " Sukerta " yaitu jenis-jenis manusia yang telah
dijanjikan oleh Sang Hyang Betara Guru kepada Batara Kala untuk menjadi
santapan atau makananya, bahkan menurut Pustaka Raja Purwa ( jilid I
halaman 194 ) karya pujangga R.Ng Ranggawarsito disebutkan ada 136
macam Sukerta.
Menurut mereka yang percaya, orang-orang yang tergolong di dalam
kriteria tersebut di atas dapat menghindarkan diri dari malapetaka
( menjadi makanan Betara Kala ) tersebut, jika ia mempergelarkan
wayangan atau ruwatan dengan cerita Murwakala. Ada juga lakon ruwatan
yang misalanya : Baratayuda, Sudamala, Kunjarakarna dan lain-lain.
Selain Sukerta, terdapat juga " Ruwat Sengkala atau Sang Kala "
yang artinya menjadi mangsa Sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah
terbelenggu serta penuh kesulitan, tidak bisa sejalan dengan alur hukum
alam ( ruang dan waktu ) ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan
perbuatan atau tingkah lakunya pada masa lalu.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
66

BIBIT – BOBOT - BEBET

Fatwa leluhur tersebut bermaksud agar orangtua malaksanakan


pemilihan yang seksama akan calon menantunya atau bagi yang
berkepentingan memilih calon teman hidupnya. Pemilihan ini jangan
dianggap sebagai budaya pilih-pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada
kecocokan multi dimensi antara sepasang anak manusia. Kriteria yang
dimaksud yaitu :
Bibit : yang berarti biji / benih
Bebet : yang berarti jenis / tipe
Bobot : yang berarti nilai / kekuatan
Untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri
oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang berasal dari benih
(bibit) yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang
berat.
Fatwa itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata-
mata memandang lahiriyah yang terlihat berupa kecantikan dan harta
kekayaan. Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta
benda dapat melupakan tujuan “ngudi tuwuh” mendapatkan keturunan
yang baik, saleh, berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat, dan sebagainya.
Cinta, Waspada dan Pertunangan.
Peribahasa mengatakan: “cinta itu buta”. Berpedoman, bahwa hidup
suami isteri itu mengandung cita-cita luhur yaitu mendapatkan keturunan
yang baik, maka janganlah menuruti kata peribahasa tersebut. Pada
hakekatnya peribahasa itu sendiri pun mengandung “peringatan”.
Memperingatkan, agar supaya dalam bercinta tidak buta mata hati, mata
kepala, dan pikiran.
Cinta kasih yang berhubungan erat dengan cita-cita justru harus
diliputi oleh waspada dalam hati dan pikiran. Waspada akan tingkah
kelakuan satu sama lain dan waspada akan penggoda di dalam hatinya
sendiri. Kewaspadaan itu menghendaki pengamatan dan penghayatan satu
sama lain mengenai sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting
yang sudah pasti dijumpai dalam hidup antara lain soal keluarga, agama,
kemasyarakatan, dan sebagainya.
Perbedaan sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting
(prinsip) seperti diatas, niscaya akan mengakibatkan kesukaran dikemudian
hari. Persesuaian haruslah timbul dari keyakinan dan tidak dengan
membohongi diri sendiri, misalnya dengan berjanji atau memberi
berkesanggupan dengan sumpah lisan atau tulisan, pernikahan di muka

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
67

kantor pencatatan sipil, dan lain sebagainya tetapi di dalam hati masih ada
keraguan.
Pertunangan dengan atau tanpa tukar cincin adalah usaha untuk
mendekatkan pria dan wanita yang menjalin kisah dan hendak hidup
sebagai suami isteri. Pertunangan tidak boleh diartikan lalu boleh bergaul
sebebas-bebasnya hingga perbuatan sebagai suami isteri. Dalam hal itu
calon isteri haruslah teguh hati, mencegah jangan sampai terjamah
kehormatannya. Ingatlah, bahwa calon suami atau istri itu bukan atau
belum suami atau istrinya. Sekali terjadi peristiwa dan sang wanita hamil
tidak mustahil menjadi persoalan sebagai pangkal persengketaan. Kalau
sang pria ingkar, pertunangan putus, sang wanita menjadi korban.

PERKUTUT

Kegemaran memelihara burung perkutut /klangenan Perkutut


merupakan warisan budaya jawa yang hingga kini masih dilestarikan, hal ini
dimungkinkan di dalamnya mengandung nilai-nilai ajaran yang adiluhung
sifatnya. Para leluhur kita, khususnya orang Jawa, telah menempatkan
burung Perkutut begitu terhormat dibanding jenis burung yang lain. Burung
Perkutut dianggap punya tuah mistis yang bisa disejajarkan dengan tuah
mistis pusaka (keris dan azimat lainnya).
Berkaitan dengan tuah mistis Perkutut tersebut leluhur Jawa
mewariskan ilmu tentang "katuranggan Perkutut" ( ilmu hal ihwal
perkutut ). Berdasar ilmu katuranggan tersebut, bisa diketahui pengaruh
burung Perkutut (yang mempunyai ciri-ciri tertentu) terhadap pemiliknya.
Ada burung yang setengah dianjurkan untuk dipelihara, ada juga jenis yang
tidak boleh dipelihara oleh sembarang orang.
Memelihara Perkutut dulunya lebih cenderung kepada suatu
klangenan. Artinya barang (dalam hal ini, burung) yang dimiliki bisa
memberikan rasa senang dalam batin atau bisa mempersembahkan
keindahan kepada pemiliknya. Dalam bahasa Jawa Kuno
mempersembahkan keindahan istilahnya kalangon atau kalangwan.
Barangkali pula kata klangenan dalam bahasa Jawa kini berasal dari kata
kalangon atau kalangwan tadi. Sudah barang tentu yang bisa mempunyai
klangenan pada waktu dulu adalah golongan masyarakat priyayi, berduit,
atau punya kedudukan penting di tengah masyarakat. Dengan demikian
pengetahuan tentang Perkutut tidak bisa merambah ke rakyat biasa.
Alasannya, rakyat kebanyakan belum pas mempunyai klangenan,
dikarenakan kesibukannya dalam mencari nafkah.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
68

Bagi rakyat biasa biasanya hanya sebagai penangkap burung (tukang


pikat). Dikarenakan Perkutut sebagai klangenan, maka para penangkap
burung memburu burung yang bagus kualitas suaranya memenuhi pesanan
para priyayi yang tinggal di kota. Sebaliknya para pemelihara yang
menganggap burung yang dipelihara sebagai klangenan, maka tidak
terpikirkan untuk membudidayakan atau mengembang biakkan dengan
cara diternak. Akibatnya Perkutut di alam bebas semakin langka yang
bagus, bahkan cenderung punah.
Jaman sekarang kegemaran memelihara Perkutut sebagai klangenan
khas Jawa ini, rupanya telah menular kepada etnis Tionghoa yang tinggal di
bumi Jawa. Barangkali oleh orang Tionghoa yang bernaluri bisnis tinggi,
menganggap Perkutut bisa dijadikan sarana berhubungan dengan
kekuasaan yang ada. Dan kalau hubungan dengan kekuasaan terjadi, maka
lancarlah bisnisnya.
Orang-orang Tionghoa memang sangat jeli melihat peluang bisnis.
Begitu mengetahui burung Perkutut di alam bebas Indonesia mendekati
kepunahan, mereka mendatangkan burung Perkutut dari Thailand. Semula
Perkutut Bangkok kurang menarik bagi penggemar di Indonesia, karena
suaranya kurang memenuhi selera. Kesannya hanya besar tapi tanpa lagu.
Para pedagang burung Thailand (yang awalnya kebetulan juga etnis
Tionghoa) sangat kreatif untuk memenuhi selera pasar di Indonesia.
Disamping mereka mengekspor burung ke Indonesia, juga membeli burung
dari Indonesia.
Perkutut Indonesia itu kemudian disilangkan dengan Perkutut
Bangkok. Bahkan persilangan begitu berkembang dengan berbagai jenis
Perkutut yang ada di Asia Tenggara. Dan hasilnya burung Perkutut Bangkok
yang di ekspor ke Indonesia bisa memenuhi selera penggemar di Indonesia.
Sampai saat ini hubungan silang menyilang Perkutut antara Indonesia dan
Thailand terus berlanjut. Maka semakin menarik dan menjadi tantangan
bagi kita, Bangsa Indonesia, untuk menggeluti Budidaya Perkutut agar
warisan budaya ini bisa dilestarikan.
Pada awal pertama seseorang berminat untuk memelihara burung
Perkutut seyogyanya berusaha memahami lebih dahulu tentang dasar suara
burung Perkutut. Pada masa sekarang, bunyi yang diminati para
penggemar sudah mengalami perubahan.
Meskipun demikian tetap saja menggunakan 5 (lima) pokok dasar penilaian
suara :
1. Suara depan : hoor, kini telah berkembang dari nilai rendah ke atas :
Hoor, Klaar, Wee, Kleo, dan Klao.
2. Suara tengah : kete, berkembang dalam beberapa jenis : - telon : te ,
sehingga bunyinya : hoor te kuung - engkel : tete, sehingga bunyinya :
hoor tete kuung - satu setengah : tetete, sehingga bunyinya : hoor tetete
kuung - double : tete tete, sehingga bunyinya : hoor tete tete kuung -
double setengah : tete tetete, sehingga bunyinya : hoor tete tetete
kuung - triple : tete tete tete, sehingga bunyinya : hoor tete tete tete
kuung

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
69

3. Suara belakang : kuung merupakan yang terbaik, dibawahnya kooo,


kemudian kuuk yang terendah nilainya.
4. Irama : merupakan perpaduan suara depan, tengah, dan belakang.
Yang bagus lelah atau laras (Jawa). Ketukan iramanya terdengar merdu
menyentuh rasa keindahan, seolah-olah menjadi perantara antara yang
ada dan suwung.
Ibarat suara gamelan dalam Pathet Manyura atau Pathet 9 yang
mempunyai pengaruh menenangkan. Sedang irama yang kurang baik
adalah yang groyok dan rentet, suaranya mempengaruhi perasaan
menjadi gelisah.
5. Dasar suara atau latar. Jenisnya beberapa macam, diantaranya : -
Cowong tembus : bening merdu dan mendengung, kira-kira seperti
suaranya Pavaroti atau Nyi Condro Lukito. - Cowong : merdu jangkauan
suaranya sedang, Kristal : melengking tinggi dan terdengar jelas bunyi
(ng). - Arum : suara sedang tanpa bunyi (ng) - Alus atau ulem (Jw.) - Kaku
atau keras (atos, Jw.), belakangnya terkunci bunyi (k) : hoor kete kuuk -
Tebal (Kandel) : mantap terdengarnya. - Tipis (lemah) : lirih suaranya.
Perpaduan lima dasar penilaian suara tersebut yang menentukan
bagus tidaknya suara Perkutut. Hal ini sulit dijelaskan dengan tulisan, maka
kami anjurkan untuk mendengar langsung secara praktek kalau ada lomba
atau latihan lomba. Pada dasarnya suara burung Perkutut tidak ada yang
sama persis meskipun berasal dari induk yang sama. Maka memilih suara
butung Perkutut untuk klangenan subyektif sekali sifatnya. Kecocokan hati
setiap orang terhadap suatu jenis suara burung perkutut tidak sama.
Maka suatu anjuran yang sederhana dan sekiranya bisa dijadikan
pedoman adalah memilih suara burung yang cocok dengan hati dan
perasaan kita masing-masing. Dengan demikian semakin mengendap
kemampuan spiritual seseorang akan semakin mudah menemukan suara
burung Perkutut yang sesuai dengan citarasanya.
Maka bisa dipahami juga kalau pada para penghayat Spiritualisme
Jawa kebanyakan juga penggemar Perkutut. Memang pada dasarnya untuk
bisa memahami tentang suara Perkutut dituntut pula pemahaman tentang
hidup yang selaras dan tenteram serta menjauhi semua kemungkinan
persengketaan dengan siapapun termasuk dengan alam.
Yang diinginkan adalah keindahan yang selaras sebagaimana
kebanyakan orang Jawa berpandangan hidup. Dalam bahasa Jawa Kuno
dikenal kata Kalangwan atau Kalangon yang artinya mempersembahkan
keindahan. Dari akar kata Kalangon itulah muncul kata Klangenan yang
barangkali artinya menangkap atau bergumul dengan keindahan.
Perkutut Putih.
Menurut wacana kejawen, perkutut putih dipercaya membawa
kekuatan magis. RM Ng Prodjosudardjo yang paranormal menyebutkan
sebagi burung siluman, jelmaan roh. Konon bisa membawa keberuntungan
bagi yang memelihara, tak heran berung jenis ini tidak hanya diburu para
hobi. tetapi juga mereka yang meyakini akan manfaat tuahnya
Sayangnya perkutut putih amat sangat langka, jangankan yang
sudah " kung " belum bisa apa pun asal seluruh bulunya warna putih orang

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
70

sudah berani menawar dengan harga tinggi. Terlepas dari kata tidaknya,
unsur magis menurut Ir. Suharno Budi Santosa, perkutut putih sebenarnya
merupakan kasus penyimpangan gen. Ini kasus langka dalam khasanah
perkutut. Prosentasenya sangat kecil dan belum tentu satu kasus dari seribu
perkutut.
Berdasarkan ciri fisik, akibat penyimpangan gen, perawakan maupun
suara perkutut putih lebih jelek ketimbang perkutut biasa. Serba lebih kecil.
Yang kata, perkutut putih tidak bisa ditangkarkan , karena rata-rata
perkutut putih itu mandul.
Mengamati kebiasaan serta perilakunyajenis perkutut ini ,
sebenarnya tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang mencolok dibanding
perkutut normal. Sehingga kadang mengherankan, kenapa perkutut macam
begini harganya bisa setinggi langit, bisa puluhan juta rupiah.
Perkutut putih tidak setiap saat bisa didapat, di pasar burung
tradisional apalagi begitu sulitnya mencari perkutut putih, sementara
kenyataan permintaan pasar cukup tinggi, sering membuat orang berbuat
curang, sehingga bagi pemula sulit membedakan perkutut putih asli dengan
yang " sudah dipermak "
Adapun sebagai acuan ciri ciri yang asli :
Paruhnya harus juga putih,namun agak kemerahan,kaki merah
muda,bulu ekor bagian bawah walaupun segaris/se titik biasanya ada unsur
warna coklat,demikian juga bulu sayap ada motif bintik bintik (blirik)
transparan coklat kemerahan.

GUNUNG LAWU

Di atas ketinggian 3.265 meter dari permukaan laut, puncak Gunung


Lawu yang merupakan bentukkan dari sisa kawah tak aktif, menjadi daerah
tujuan wisatawan menikmati lembah Tawangmangu yang menawan,
Sarangan dengan danau indahnya, birunya Laut Selatan, hingga suguhan
sunset dan sunrise.
Bahkan, desa dan kota-kota di sekitarnya, termasuk Solo,
menyuguhkan pesona dan keindahan luar biasa jika dinikmati dari Puncak
Lawu. Keindahan kian mencekam saat awan datang menebarkan selimut
mayanya. Perbukitan sontak disulap bak pulau kecil berbatas lautan awan.
Tak ubahnya, pengunjung seolah berada di atas awan laiknya kahyangan.
Di balik keindahan yang memukau, Puncak Lawu merupakan sosok
angker yang menyimpan misteri. Setidaknya ada tiga tempat yang
dikeramatkan, yaitu; Puncak Argo Dalem, Argo Dumilah dan Argo Dumiling.
Diyakini, Argo Dalem adalah tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya,
sedangkan Arga Dumiling sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon.
Sementara Arga Dumilah masih tetap menjadi misteri yang sering dipakai
sebagai arena olah batin dan meditasi.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
71

Keangkeran Puncak Lawu tak lepas dari cerita tentang Raja


Majapahit, Prabu Brawijaya. Konon, melihat salah seorang anaknya, Raden
Patah, masuk Islam dan mendirikan kerajaan islam di Demak, Sang Prabu
yang memeluk agama Budha merasa gelisah. Muncul kegamangan tentang
kelangsungan Kerajaan Majapahit.
Untuk itu, dia bermeditasi, memohon petunjuk Sang Maha Kuasa.
Wisik pun datang yang mewartakan adanya kerajaan dan agama baru.
Rampung meditasi Sang Prabu berpesan kepada para abdinya mengenai
saatnya ia turun dari kejayaan. Sang Prabu juga berbagi wilayah kepada
para abdinya, siapa yang menguasai Gunung Lawu dan semua mahluk gaib
hingga batas yang ia tentukan. Yakni ke barat hingga Merapi/Merbabu, ke
Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan, dan ke utara
sampai pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu.
Dan Prabu Barawijaya pun moksa di Argo Dalem, dan abdinya,
Sabdopalon moksa di Arga Dumiling. Tinggalah dua abdinya yang lainnya,
Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian
dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga
kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Prabu Brawijaya.
Selain tiga puncak tadi, masih banyak tempat lain di Gunung lawu
yang diyakini mempunyai nilai spiritual, diantaranya:
 Sumur Jolotundo = Lokasi yang diyakini Prabu Brawijaya menerima
wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu. Gua yang gelap dan
curam sedalam kurang lebih 5 meter sering dipakai untuk bertapa.
 Lumbung Selayur = Di lokasi ini terdapat sumur yang digunakan
untuk menyimpan bahan makanan para pengikut Prabu Brawijaya.
 Pawon Sewu = Terletak pada pertengahan perjalanan pendakian
menuju ke Puncak Lawu. Di tempat ini para pengikut Prabu Brawijaya
mendirikan dapur untuk memasak makanan.
 Gua Selarong = Gua ini dimanfaatkan para pengikut Prabu
Brawijaya untuk bermalam sekaligus sebagai tempat pemantauan.
 Sendang Intan = Menurut kepercayaan penduduk setempat, di
sendang ini para wisatawan dapat memohon berkah dengan cara minum
air langsung ke mulut masing-masing dengan menengadahkan muka.
Semakin banyak air yang didapat semakin banyak pula berkah yang
diperoleh.
 Jurang Pangari-Arip = Bila para pendaki sudah mencapai tempat
ini, mereka mempunyai harapan untuk dapat mencapai Puncak Lawu.
Dari tempat ini para pendaki dapat melihat Kawah Condrodimuko.
 Sendang Derajad = Menurut kepercayaan masyarakat setempat,
apabila para wisatawan mempunyai cita-cita atau niat tertentu dapat
terkabul apabila mandi di sendang ini.
 Kepatihan:Tengen = Lokasi ini merupakan tempat peristirahatan
pengikut Prabu Brawijaya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
72

 Pasar Diyeng : Di sini para pengikut Prabu Brawijaya mendirikan


pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
 Pandean Suroloyo : Di tempat ini para pengikut Prabu Brawijaya
membuat pusaka dan persenjataan mereka.
 Telaga Kuning : Telaga ini merupakan tempat mandi putra-putri
pengikut Prabu Brawijaya.
 Argo Fruso : Di tempat ini Raja Brawijaya menyimpan pusaka-
pusakanya.
 Kayangan : Tempat ini merupakan taman yang sangat indah tempat
istirahat sambil menikmati pemandangan alam yang indah.
 Selo Pundutan : Merupakan tempat untuk latihan olah kanuragan
pengkiut Prabu Brawijaya dan masih dipergunakan sampai sekarang oleh
para pendaki puncak Lawu.
Patuhi aturan
Karena keangkerannya, siapa pun yang hendak pergi ke puncaknya
diharap mematuhi 'aturan'. Yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan
sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu
dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Menurut penduduk setempat, beberapa pantangan yang tak boleh
dilanggar, diantaranya jangan mendaki jika jumlahnya ganjil, karena
'penguasa' gunung akan menggenapkannya dengan mengambil salah satu
dari mereka. Pantangan lain, jangan pernah sekali-kali menyombongkan
diri, misalkan dengan angkuh mengatakan bahwa mendaki Gunung Lawu
tidak sulit dan sebagainya, karena akan mengalami celaka.

GUNUNG MERAPI

Kepercayaan serta kosmologi manusia Gunung Merapi didasarkan


dalam Legenda Kyai Sapujagad. Cerita legenda itu terjadi pada waktu
Kerajaan Mataram kedua muncul dan mengambarkan hubungan pendiri
kerajannya yaitu ‘Panembahan Senopati’ dengan dunia gaib.
Kosmologi manusia Daerah Gunung Merapi terdiri dari lima bagian
yaitu Kraton Mataram Yogyakarta di tengah yang berada di dunia manusia
dan Kraton Mahluk Halus Gunung Merapi ke utara, Kraton Laut Selatan ke
selatan, Gunung Lawu ke timur dan Khayangan, Dlephih ke barat yang
berada dalam dunia gaib. Akibatnya dari Legenda Kyai Sapujagad adalah
perjanjian bahwa Kraton Mataram Yogyakarta bertanggungjawab untuk
memberi sesajian kepada para mahluk halus di empat tempat yang lain
dalam kosmologi manusia. Dalam kembalinya rakyatnya akan dilindungi
oleh para mahluk halus tersebut. Perjanjian itu berbentuk Upacara Labuhan
yang dilakukan setiap tahun sekali dan mulai pada tanggal 25 bulan
Bakdamulud di Laut Selatan.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
73

Kraton Mahluk Halus Merapi di dalam kosmologi Kraton Yogyakarta


dipercayai oleh penduduk dipimpin oleh mahluk halus bernama ‘Empu
Rama’ dan ‘Permadi’ dan menurut orang yang lain oleh ‘Kyai Merlapa.
Selain pemimpin di dalam kratonnya penduduk juga percaya dalam macam-
macam tokoh lain yang mendiami kraton itu. Kepercayaan manusia tentang
Kraton Mahluk Halus Merapi tidak hanya dipercayai oleh Kraton Yogyakarta
tetapi juga memperluas sampai rakyat desa-desa di lereng gunungnya.
Rakyat tersebut punya kepercayaan tentang dunia akhirat.
Menurut mereka waktu manusia meninggal rohnya akan mendiami
tempat-tempat yang tergantung pada perlakuan hidupnya. Kalau orang
waktu manusia melakukan hidupnya yang baik, rohnya akan tinggal di
dalam Kraton Mahluk Halus Merapi atau Kraton laut Selatan. Sebaliknya
kalau orang waktu manusia melakukan hidupnya yang tidak baik, rohnya
akan dibuang dari kratonnya dan mendiami batu, pohon, tempat sepi dan
sebagainya. Selain kepercayaan dunia akhirat itu manusia Gunung Merapi
juga punya kepercayaan mengenai tempat-tempat angker serta binatang-
binatang sakral di daerahnya.
Menurut kepercayaan penduduk daerah Gunung Merapi kalau
gunungnya akan meletus mahluk halus Kraton Merapi akan memberikan
tanda kepada manusia. Biasanya tanda itu dalam bentuk mimpi yang termia
oleh para dukun atau ‘juru kunci’ Gunung Merapi.
Dari dua daerah penelitian ditemukan beberapa persamaan dan
hanya sedikit saja perbedaan. Walaupun kepercayaan manusia di dalam
kedua daerah penelitian memang adalah kepercayaan berbeda,
kepercayaannya didasarkan dalam asal usul yang sama. Dalam
pemeriksaan ke dalam asal usulnya ditemukan tiga unsur yang bersama.
Semua legenda dan upacara didasarkan dan disah dalam sejarah, yaitu
Daerah Tengger bersejarah kerajaan Majapahit dan Daerah Gunung Merapi
bersejarah kerajaan Mataram kedua.
Lagi pula kebanyakan kepercayaan manusia terhadap gunung
berunsur agama Hindu-Budha dari zaman kerajaan Hindu-Budha atau
kepercayaan animisme dari zaman prasejarah. Kalau orang Jawa beragama
Islam, Kristen atau agama yang lain biasanya mereka juga punya
kepercayan yang berasal Jawa. Dalam kepercayaan manusia berasal Jawa
tersebut gunung-gunung memang berperan yang sangat penting.

HA NA CA RA KA

HURU BAC
F A MAKNA HURUF

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
74

Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak


Ha
dari yang Maha Suci
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-
Na
pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan
Ca
tujuan pada Yang Maha Tunggal
Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta
Ra
kasih nurani
Karsaningsun memayuhayuning bawana - hasrat
Ka
diarahkan untuk kesajetraan alam
Dumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima
Da
hidup apa adanya
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar ,totalitas,satu
Ta
visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang
Sa
seperti kasih Tuhan
Wujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas
Wa
namun implikasinya bisa tanpa batas
Lir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada
La
tuntunan Illahi
Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala
Pa
arah
Dhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas
Dha
tentu dimulai dari dasar
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu
Ja
-memahami kehendak Nya
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi -
Ya
yakin atas titah /kodrat Illahi
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami
Nya
kodrat kehidupan
Madep mantep manembah mring Ilahi - yakin - mantap
Ma
dalam menyembah Ilahi

Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani

Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak


Ba
alam

Tha Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai - tumbuh dari niatan

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
75

Ngracut busananing manungso - melepaskan egoisme


Nga
pribadi -manusia

Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh
Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul
makalah yang dibawakan Yasadipura adalah " Basa Jawi Hing Tembe
Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem
Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta Hadiningrat ".
Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 - 10 ) bahwa
Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara
ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi,
sebagai berikut.
Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan
ajaran
Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru kang sejati itu guru yang sejati
Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa itu sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa
nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia.
Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang
dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan
kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan
data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia
( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan
menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik )
dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau
sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan
berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul "
sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau
menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan
dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus
pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk
mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
76

Serat Wulang Sunu


Karya : PakuBuwono IV

Latar belakang dan tujuan ditulisnya Serat Wulang Sunu


Pada abad 18-19 M, kondisi politik kerajaan Surakarta dalam
penjajahan bangsa Eropa, Paku Buwana IV telah beberapa kali berusaha
mengusir penjajah tersebut. Akibat dari penjajahan bangsa Eropa telah
membuat rakyat Surakarta menjadi sengsara baik lahir maupun bathin.
Suasana kehidupan semakin berat dan sulit, tidak ada kegembiraan kerena
kesusahan yang tiada akhir. Pihak istana yang diharapkan sebagai
perlindungan rakyat Surakarta, sudah tidak mampu lagi kerena
kekuasaannya telah dirampas oleh penjajah, untuk itulah Paku Buwana IV
dan para pujangga lainya mencoba mengalihkan kegiatan istana kepada
kerohanian. Hal tersebut mempunyai maksud untuk memberikan
pengajaran atau panutan kepada rakyat Surakarta khususnya dan
masyarakat pada umumnya.
Untuk mengembalikan atau membuat suasana tentram, damai dan
makmur rakyat Surakarta, maka Paku Buwana IV mencoba menulis nasehat-
nasehat dalam bentuk karya sastra, diantaranya adalah Serat Wulang Sunu.
Dengan karya sastra tersebut Paku Buwana IV berharap kepada rakyat
Surakarta mempunyai pegangan hidup di dunia ini untuk menjalani
kehidupan sehari-hari dalam kaitannya mencari ilmu, etika, terhadap guru,
terhadap orang tua dan sesama manusia.
Dalam hal menyembah kepada Allah juga sangat ditekankan oleh
Paku Buwana IV, beberapa hal tersebut merupakan ajaran pokok Paku
Buwana IV dalam rangka menciptakan perikehidupan masyarakat Jawa yang
damai dan tentram tidak melanggar aturan dan larangan sehingga nantinya
akan selamat baik di dunia maupun di akherat yang menjadi tujuan bagi
seluruh umat manusia.

Pupuh I
a) Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula,
suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni
tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang,
donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka.
b) Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang,
pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
77

becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung
lara prihatin, rumeksa maring siro.
c) Nora eco dahar lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul
uyah bae, tan ketang wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri
mring bengawan, pilis singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit,
mulane den rumongso.
d) Dhaharira mangke pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang
turu samben, tan ketang komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun
sira wawratana, tinatur pinangku, cinowekan ibu nira, dipun dusi esok
sore nganti resik, lamun luwe dinulang.
e) Duk sira ngumur sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang,
ibumu momong karsane, tan ketang gombal tepung, rumeksane duk sira
alit, yen sira kirang pangan nora ketang nubruk, mengko sira wus
diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira niaya.
f) Lamun sira mangke anglampahi, nganiaya ing wong tuwanira,
ingukum dening Hyang Manon, tembe yen lamun lampus, datan wurung
pulang lan geni, yen wong durakeng rena, sanget siksanipun, mulane
wewekas ingwang, aja wani dhateng ibu rama kaki, prentahe lakonano.
g) Parandene mangke sira iki, yen den wulang dhateng ibu rama, sok
balawanan ucape, sumahir bali mungkur, iya iku cegahen kaki, tan becik
temahira, donya keratipun, tan wurung kasurang-kasurang, tembe mati
sinatru dening Hyang widhi, siniksa ing Malekat.
h) Yen wong anom ingkang anastiti, tan mangkana ing pamang gihira,
den wulang ibu ramane, asilo anem ayun, wong tuwane kinaryo Gusti,
lungo teko anembah iku budi luhung, serta bekti ing sukma, hiyo iku
kang karyo pati lan urip, miwah sandhang lan pangan.
i) Kang wus kaprah nonoman samangke, anggulang polah, malang
sumirang, ngisisaken ing wisese, andadar polah dlurung, mutingkrang
polah mutingkring, matengkus polah tingkrak, kantara raganipun,
lampahe same lelewa, yen gununggungsarirane anjenthit, ngorekken
wong kathah.
j) Poma aja na nglakoni, ing sabarang polah ingkang salah tan wurung
weleh polahe, kasuluh solahipun, tan kuwama solah kang silip, semune
ingeseman ing sasaminipun, mulaneta awakingwang, poma aja na polah
kang silip, samya brongta ing lampah.
k) Lawan malih wekas ingsun kaki, kalamun sira andarbe karsa, aja sira
tinggal bote, murwaten lan ragamu, lamun derajatiro alit, aja ambek
kuwawa, lamun siro luhur, den prawira anggepiro, dipun sabar jatmiko
alus ing budi, iku lampah utama.
l) Pramilane nonoman puniki, dan teberi jagong lan wong tuwa, ingkang
becik pituture, tan sira temahipun, apan bathin kalawan lahir, lahire
tatakromo, bathine bekti mring tuhu, mula eta wekasing wong,
sakathahe anak putu buyut mami, den samya brongta lampah.

Terjemahan Pupuh I :

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
78

a) Wulang sunu yang dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara
berbakti, bergaul bersama orang tuanya, agar semuanya
memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak mau menurut,
pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya dunia
akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka.

b) Bila nanti kamu melaksanakan petunjuk yang tertuang dalam serat


pasti baik pada akhirnya berbakti kepada ibu bapak, ketika pertama kali
diperlihatkan akan perbuatan baik dan buruk dari ibu bapak ketika kamu
masih bayi, ibumu lebih sakit dan menderita memelihara kamu.
c) Tidak enak makan dan tidur, ibumu memelihara kamu walau hanya
makan nasi garam walaupun hanya untuk membasahi kerongkongan ,
makan kelapa pun dilakukannya setiap hari mandi dan mencuci di sungai
dengan langkah terseok-seok ibumu memelihara kamu ketika kecil untuk
itu rasakanlah hal itu.
d) Keadaan pahit getir ibumu memelihara kamu dia tidur hanya
sambilan meskipun penuh dengan air seni terkena tinja dilakukannya
bila kamu buang air besar ditatur dan dipangku, dibersihkan oleh ibumu
dimandikan setiap pagi dan sore sampai bersih, bila kamu lapar disuapi.
e) Ketika kamu berumur sembilan bulan, pada saat kamu bisa
merangkak pekerjaan ibumu hanya menjagamu walau hanya memakai
kain sambungan, memeliharamu ketika kamu masih kecil, bila kamu
kurang makan, dicarikan sampai dapat, nanti kalau kamu sudah dewasa,
tidak bisa pembalasanmu kecuali berbuat baik dan berbakti kepadanya.
f) Bila kamu nanti berbuat aniyaya terhadap orang tuamu, dihukum
oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, besok kalau mati niscaya akan
kembali bersama api, kalau orang senang durhaka, siksanya sangat
berat, maka aku berpesan jangan berani ibu bapak anakku, lakukan
perintah keduanya.
g) Adapun kamu nanti, bila dididik ibu bapak ucapanmu sering
berlawanan menyahut lalu berpaling, cegahlah itu anakku, tidak baik
pada akhirnya, dunia akherat akan sia-sia, besok kalau mati dimusuhi
Tuhan, disiksa oleh Malaikat.
h) Sedangkan anak muda yang baik, pendapatnya tidak begitu dididik
ibi bapaknya, duduk bersila dihadapannya, orang tuanya bagaikan
Tuhan, pergi pulang bersujud, itu adalah budi yang luhur serta berbakti
kepada Tuhan Yang Maha Hidup yaitu yang menciptakan mati dan hidup
serta pemberi sandang dan pangan.
i) Yang sudah kaprah bagi anak muda, bertingkah malang melintang
memanjakan diri, bertingkah yang keterlaluan duduk seenaknya dan tak
tahu kesopanan, berlaku congkak, senang memperlihatkan badannya,
kelakuannya tidak terarah, bila badannya tersentuh menjingkat dan
selalu membuat onar orang banyak.
j) Ingat-ingat jangan ada yang melakukan, segala tingkah yang salah,
tingkahnya pasti akan terkuak (diketahui orang banyak), ia akan tersuluh
dan tidak kuat menyandangnya, seolah-olah semua orang hanya

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
79

melempar senyum, untuk itu anakku, ingatlah jangan ada yang berbuat
salah agar hidupmu tidak mengalami kesusahan.
k) Ada lagi nasehatku anakku, bila kamu mempunyai kehendak jangan
sampai memberatkan diri, jagalah badanmu, bila derajatmu kecil, jangan
merasa pesimis, bila kamu menjadi orang luhur, tegakkanlah
pendapatmu, bersabar dengan kehalusan, budi, itulah perbuatan yang
utama.
l) Maka dari itu kaum muda sekarang bersabarlah, bergaul dengan
orang tua, perhatikanlah petunjuknya yang baik, dari lahir sampai batin,
lahir dengan tatakrama, batinnya dengan berbakti kepadanya, itulah
nasehatku semua anak cucu cicitku, agar hidupmu tidak mengalami
kesusahan.

P U P U H II
1) Pupuh II ini terdiri dari 22 bait, selengkapnya penulis
sampaikan sebagai berikut :
2) Lawan malih wekas mami, anak putu butut ingwang, miwah
canggih wareng ingwang, poma padha estokna, ing pitutur kang arja, aja
ana wong tukar padu, amungsuh lawan sudara.
3) Dhahat ingsun tan nglilami, sujatma ahli dursila, cewengan lan
sudarane, temahan tan manggeh arja lan tipis kang sarira, wong liyan
kathah kan purun, mejanani mring sira.
4) Mokal sira tan miyarsa, kang kocap sujana kathah, gecul
mgrumpul bandhol ngrompol, nanging aja kalirua, babasan kaya ika, den
waskitheng surupipun, babasan kaya mangkana.
5) Dipun kumpul sira sami, aja gecul tekadira, dipun ngrompol ala
bandhol, poma iku estokna, yen sira nedya arja, aja ma kawongan
pocung, anom kumpul tuwo pisah.
6) Yen kayaa pocung ugi, salawsiro neng donya, dadi wong
pidhangan bae, dudu watek wong sujana, salawasira neng donya, lamun
sujalma kang surup, nom kumpul tuwa tan pisah.
7) Poma den astiti, pitutur ing layang iki, poma aja na maido,
lamun sira maidoa, lan mara ayonana, dumeh tutur tanpa dhapur, tinarik
tan manggih arja.
8) Yen sira karsa ngayeni, pitutur ing layang iki, anuli solahe age,
mungsuhe lawan sudara, nuli pisaha wisma, samangsane sira luput,
kalawan sujalma liyan.
9) Pasti sira den ayoni, den ira sujalma liyan, sadulur wis tega
kabeh, sanajan silih kataha, kadhang mangsa belas, sajege sira tan atut,
lawan sanak kadhangira.
10) Pan ana saloka maning, poma padha estokna, surasane,
ujaring ngong, rusak sana den karesa, mangkana tuturing wang, wonten
sima tukar padu, amungsuh kalawan wana.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
80

11) Mangkana sang sima angling, heh wana sira kapurba, denira
kuwasaning ngong, yen aja na kuwating wang, pasti sira binabat, denira
sujalma agung, temah sira lebur sirna.
12) Kang wana nyahuri bengis, apa ta samono ugo, yen aja na
kuwating ngong, amasti sira meneka, den risak jalma kathah, kiniter
winaos lampuh, samana diya-diniya.
13) Sang sima lawan manadri, anulya talak tinalak, samya arengat
manhe, samana sang sima kesah medal sing wana wasa, anjog wiring
dhusun, anglela ing ara-ara
14) Yata ganti kang winarni, wonten laren ngon maesa, saksana
anulya anon, yen wonten sima punika, anglela ngara-ara, cangkelak
anuli wangsul, apa jarwang tuwanira.
15) Kaget ingkang awawarti, anulya samya wawarta, ing prapat
monca limane, pan samya nabuh gendhala, rame poman dedesan,
suwanten lumyang gumuruh, pan samya sikep gegaman.
16) Wusraket sikeping jurit, tumulyan sigra amedal wus prapteng
jawi desane, wus prapto ing ingara-ara, sima sigra kinepung, kecandhak
winaos sampun, yata ganti kawarnaha.
17) Kocapa ingkang wanadri, tet kala wahu tinilar, dhumateng
sima lampahe, yata wonten kawarnaha, jalma samya kawawanan, arsa
badhe karsanipun, ngupados babahing tegal.
18) Wus prapta dhateng wanadri, kang wana nuli sinuksma,
suwung tan ana simane, tumulya sigra binabat, dhening sujalma kathah,
wus garing nulya tinunu, wana lebur sirna ilang.

19) Nuli tinanduran sami, pari kapas miwah jarak, kacang dhele
lombok terong, wus ilang labething wana, genggeng ponang tanduran,
lama-lama dadi dhukuh, wus ilang labething wana.
20) Pan iku saloma mami, anak putu buyut ingwang, miwah
canggah warenging ngong, puniku apan upama, tapa badan prayoga,
lamun sira karem padu, amungsuh lawan sudara
21) Benal ngammi wal ngamati, wa bena jho jhi wa jho jhit puniku
nenggih tegese, kawasa tan kawasaa, wajib sira asiha, dhumateng
sudara kakung, muwah sadulur wanodya
22) Poma-poma wekas mami, anak putu buyut ingwang, aja
katungkul uripe, aja lawas saya lawas, lawan den saya lawas, siyang dalu
dipun imut, wong anom sedya utama.

Terjemahan PUPUH II :
1) Ada lagi nasehatku anak cucu cicitku, serta canggah (anak cicit) dan
wareng (cucunya cicit) ku, supaya memperhatikan petunjuk menuju
selamat. Jangan ada yang bertengkar, bermusuhan dengan saudara
2) Aku juga tidak merestui, manusia yang melanggar kesusilaan,
bertengkar dengan saudaranya, akhirnya tidak akan menemui

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
81

keselamatan, tetapi apabila kamu suka membantu banyak orang yang


senang menjalin hubungan denganmu.
3) Mustahil kalau kamu tidak mendengar yang diucapkan oleh orang
banyak, penjahat berkumpul dengan penjahat, agar dirimu tidak keliru,
seperti peribahasa tadi, perhatikanlah bagaimana akhirnya, demikian itu
peribahasanya.
4) Bila kamu berkumpul, janganlah berniat jahat, berkumpul janganlah
berbuat jahat, perhatikanlah itu bila ingin selamat, jangan ada orang
seperti pocung, waktu mudanya berkumpul setelah tua berpisah.
5) Bila seperti pocung juga, selamanya kamu didunia hanya menjadi
hinaan orang, itu bukan watak orang yang baik selama hidup di dunia,
sedang orang yang baik adalah waktu muda berkumpul sampai tua tidak
berpisah.
6) Agar diperhatikan petunjuk dalam serat ini jangan ada yang
membantah, bila kamu membantah cepat datang dan lakukan, jangan
dikira petunjuk tanpa dasar, digunakan tidak bermanfaat.
7) Bila kamu membentah petunjuk dalam serat ini, cepatlah berbuat,
bermusuhlah dengan saudara, lalau berpisahlah dengan rumahnya,
sewaktu-waktu kamu berbuat salah, terhadap orang lain.
8) Bila kamu lakukan juga saudaramu kau anggap orang lain,
saudaramu juga ikhlas semua, meski telah banyak berkorban,
saudaramu tidak akan membela, selama kamu tidak pantas, tinggal
bersama sanak saudaramu.
9) Dan ada seloka lagi, agar diperhatikan, isi dari perkataanku, rusaknya
karena kehendaknya, begini petunjukku, ada harimau bertengkar
bermusuhan dengan hutan.
10) Harimau berkata begini, hai hutan, dari dulu kamu ada dalam
kekuasaanku, kalau tidak ada kekuatanku, kamu pasti sudah terbabat
oleh kekuatan manusia, akhirnya kamu hilang lebur.
11) Hutan menyahut dengan kasar, begitu juga kamu, kalau tidak
ada kekuatanku, meskipun kamu memanjat, akan diburu oleh orang
banyak dan ditangkap sampai mati, begitulah mereka saling menghina.
12) Harimau dan hutan kemudian saling bertengkar, hatinya sama-
sama terbakar, seketika harimau pergi keluar dari hutan belantara
sesampainya dibatas perkampungan tiduran di tanah lapang.
13) Kemudian berganti yang dibicarakan, ada seseorang anak
menggembala kerbau, tiba-tiba ia melihat ada seekor harimau sedang
tiduran di tanah lapang, kemudian anak tersebut pulang secepatnya,
menceritakan kepada orang tuanya.
14) Semua orang yang diberitahu terkejut, semua orang kemudian
diberitahu, disetiap perempatan orang menabuh kentongan, keadaan
desa menjadi ramai, terdengarlah suara gemuruh, semua orang telah
siap menjadi senjata.
15) Setelah diatur seperti prajurit, mereka segera keluar mereka
sudah sampai diluar desanya, sesampainya di tanah lapang, harimau

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
82

segera dikepung, tertangkap sudah sekarang, kemudian berganti


keadaannya.
16) Sementara itu hutan yang tadi ditinggalkan oleh harimau
sudah berganti, banyak manusia mencari ladang yang luas.
17) Sesampainya di hutan, hutan tersebut diperhatikan kosong
tidak ada harimaunya, kemudian segera ditebang oleh orang banyak,
setelah kering tanahnya dioleh hutan telah kehilangan dirinya.
18) Kemudian secara bersama-sama mereka tanami, padi kapas
dan jarak, kacang kedele dan terong, lama-lama menjadi kampung,
hutan telah kehilangan dirinya.
19) Demikian selokaku, anak cucu cicitku, serta canggah dan
warengku, itu tadi adalah sebuah perumpamaan, menyepikan diri itu
lebih baik, bila kamu senang bertengkar, bermusuhan dengan saudara.
20) Dan telah terungkap dalam dalil, perintah dari Tuhan Yang
Maha Hidup, yang diturunkan kepada Rasul, yang terucap dalam
khutbah, beginilah perintahnya, la budda an tuhibbahu bainal ikhwat wal
akhwat.
21) Bainal ‘ammi wal ‘ammati wabainaz zauji waz zaujati,
maksudnya adalah mau tidak mau kamu wajib mengasihi terhadap
saudara laki-laki serta saudara perempuan.
22) Jangan lupa nasehatku, anak cucu cicitku hidupmu jangan
sampai terbius, jangan semakin lama semakin terlena, sertailah dengan
kewaspadaan, siang malam harus diingat, anak muda hendaknya
mempunyai niat yang utama.

PANGKUR
Jangka Kagem Tanah Jawi

Sekar Pangkur Ginupita


Wonten Resi Saking Ngatas Angin
Ngejawa Njujug Ing Gunung

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
83

Ing Kendheng Tanah Ngayogja


Asung Weca Yen Hardi Merapi Njebluk
Mbenjang Pecah Hardi Sigar
Dadi Kali Tanggung Nami
Ngayogja Lawan Sala
Mbenjang Pecah Datan Anunggil Siti
Sinelanan Kali Tanggung
ILINE PONANG TIRTA
Langkung Banter Anjoging Seganten Kidul
Para Dhemit Kagegeran
Wadyana Sang Ratu Dewi
Njeng Ratu Kidul Punika
Para Dhemit Mbenjang Ndarat Wor Jalmi
Sarengan Lindhu Ping Pitu
Obahing Bumi Pra Tinepa
Gara – Gara Gonjang – Ganjing Gumuruh
Gunung Kendheng Larag Gempal
Udan Awu Miwah Krikil
Cleret Tahun Nggegranjang
Kilat Thathit Kekuwung Lan Obar – Abir
Surakarta Pindhahipun
Tan Kenging Yen Dinuwa
Papan Iku Wus Kersaning Hyang Agung
Yeku Nagri Surakarta
Keratonipun Mbenjanng Ngalih
Kacarita Wetan Bengnawan
Ing Wana Ketangga Manggih Mukti
Mangsuli Riwayat Wau
Longsor Pecahing Arga
Ingkang Tirta Amalih Wor Lan Endhut
Lan Rawa Pening Mbarawa
Mubal Geni Keh Jalma Mati
Sinareng Ing Tanah Jawa
Nuli Wonten Pernyakit Ndatengi
Lamine Hari Wulan Puniku
Satanah Jawa Warata
Para Kawula Sami Nggiris Manahipun
Ketaman Benduning Hyang
Nyarengi Mangsa Paceklik
Jumenengira Narendra
Kalamercu Candrane Sri Nara Pati
Kala Sesa Patihipun
Nglamat Praja Rengka
Nagri Pindah Kathah Bot Repotipun
Kawula Saya Ndadra

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
84

Ing Pakarti Kang Tanjuti


Kawastanan Jaman Edan
Kathah Jalma Nglampahi Sungsang Balik
Kataman Ing Kala Bendu
Para Hambek Sarjana Katur Kasingkur
Hardaning Angkara Murka
Mustaka Candhaning Ati
Wong Agung Remen Mbebahak
Marang Raja Hartane Wong Cilik
Ilang Tabeting Budi Ayu
Kesruh Handeling Praja
Para Kawula Sami Nandhang Pakewuh
Wuwuh – Wuwuh Tanpa Mendha
Pinuju Pajeg Mas Picis

Kathah Salahing Kawula


Kekumpul Lan Arsa Ngupaya Budi
Nanging Ta Ketawar – Tawur
Tinalen Ing Pepacak
Dening Praja Ingkang Ngasta Hukum
Kang Tan Welas Mring Kawula
Ratu Nangkoda Mbekjuti
PUNIKA PINANGKANIRA
Nanging Wurti Badhe Timbul Malih
Angsal Pitulunganing Hayang Agung
Wangsul Wahyu Nurbuat
Tanah Jawi Pulih Kadi Duk Rumuhun
Majapahit Dukung Kuna
Nagri Mandhiri Pribadi
Gemah Ripah Kerta Raharja
Tata Tentrem Ing Salami – Lami
Ilang Kang Samya Laku Dur
Murah Sandhang Lan Boga
Kang Amengku Asih Mring Kawulanipun
Lumintu Salire Dana
Sahasta Pajek Saripis
Siti Sajung Mung Sareyal
Tanpa Uba Rampe Sanese Malih
Antinen Wae Meh Rawuh
Mulyaning Tanah Jawa
Awit Saking Tan Keregon Liyanipun
Nakoda Wus Datan Kuwasa
Pulih Asal Mung Gegrami

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
85

KAWRUH BASA
Istila-istilah dalam Sastra Jawa

Babad :
Sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa, digunakaan untuk pengertian yang
sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan
carita, sajarah [Jawa/Sunda], hikayat, silsilah, sejarah Sumatera,
Kalimantan, dan Malaysia
Bebasan :
Ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada
keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan.
Gancaran :
Wacana berbentuk prosa.
Gatra :
Satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
Gatra purwaka :
Bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau
inti.
Guru gatra :
Aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa [tembang
macapat].
Guru lagu :
[disebut juga dhong-dhing] aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.
Guru wilangan :
Aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.
Janturan :
Kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk
memaparkan tokoh atau situasi adegan.
Japa mantra :
Mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan.
Kagunan basa :

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
86

Penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif;


ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan,
bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
Kakawin:
Puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India;
salah satu unsur pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata
pendek [guru dan laghu].
Kidung :
Puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait,
jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum
yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih
dari satu pola metrum.
Macapat :
Puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap
bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku
kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan
pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun
menggunakan pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan;
secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,
yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma, pangkur, mijil, kinanthi,
maskumambang, pucung, jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh,
megatruh, dan girisa.
Manggala :
" Kata pengantar " yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks; dalam
tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi
pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang
memerintahkan penulisan, serta-meskipun tak selalu ada--penanggalan saat
penulisan dan nama penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula
dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru.

pada: bait
Parikan :
Puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra
tebusan (isi); pantun [Melayu].
Parikan lamba :
Parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka
dan gatra tebusan.
Parikan rangkep:
Parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra
tebusan.
Pepali :
Kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
Pupuh :
Bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana
berbentuk prosa.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
87

panambang: sufiks/akhiran
Panwacara :
Satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon),
Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
Paribasan :
Ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung
perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
Pegon :
Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
Pujangga :
Orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa;
mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang
menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi
(mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan
kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara
(pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki
pengetahuan mengenai hal yang 'kasar' dan 'halus'), nawung kridha
(memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga
sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
Saloka :
Ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan
pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
Saptawara :
Satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma
(Senen), Buda (Rebo), Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak
(Setu).
Sasmitaning tembang :
Isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal
pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan)
tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang
digunakan pada pupuh berikutnya.
Sastra gagrak anyar :
Sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai
metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
Sastra gagrak lawas :
Sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat seperti--
terutama--pembaitan secara ketat.
Sastra wulang :
Jenis sastra yang berisi ajaran, terutama moral.
Sengkalan :
Kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik
dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki
ekuivalen dengan angka secara konvensional.
Singir :

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
88

Syair dalam tradisi sastra Jawa.


Sot :
Kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi
yang memperolehnya.
Suluk :
[1] jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran
gaib yang bersumberpada ajaran Islam;
[2] wacana yang 'dinyanyikan' oleh dalang dalam pergelaran wayang untuk
menciptakan 'suasana' tertentu sesuai dengan situasi adegan.
Supata :
Kata atau suara yang 'menetapkan kebenaran' dengan bersumpah.
Tembung entar :
Kata kiasan, misalnya kuping wajan.
Wangsit :
Disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib,
biasanya berupa petunjuk atau nasihat.
Wayang purwa :
Cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon
bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
Weca :
Kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa
mendatang.
Wirid :
Jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.

PUNAKAWAN

Punakawan adalah karakter yang khas dalam wayang Indonesia.


Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan
bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi
sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Dalam wayang Jawa
karakter punakawan terdiri atas Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Dalam
wayang Bali karakter punakawan terdiri atas Malen dan Merdah (abdi dari
Pandawa) dan Delem dan Sangut (abdi dari Kurawa)

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
89

Semar adalah pengasuh dari Pendawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang


Ismaya. Meskipun ia berwujud manusia jelek, ia memiliki kesaktian yang
sangat tinggi bahkan melebihi para dewa.
Gareng adalah anak Semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan
memuja. Nalagareng adalah seorang yang tak pandai bicara, apa yang
dikatakannya kadang- kadang serba salah. Tetapi ia sangat lucu dan
menggelikan. Ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama
Pandubergola. Ia diangkat sebagi raja atas nama Dewi Sumbadra. Ia sangat
sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.
Bagong berarti bayangan Semar. Alkisah ketika diturunkan ke dunia, Dewa
bersabda pada Semar bahwa bayangannyalah yang akan menjadi
temannya. Seketika itu juga bayangannya berubah wujud menjadi Bagong.
Bagong itu memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh. Ia juga sangat
lucu.
Petruk anak Semar yang bermuka manis dengan senyuman yang menarik
hati, panda berbicara, dan juga sangat lucu. Ia suka menyindir
ketidakbenaran dengan lawakan-lawakannya. Petruk pernah menjadi raja di
negeri Ngrancang Kencana dan bernama Helgeduelbek. Dikisahkan ia
melarikan ajimat Kalimasada. Tak ada yang dapat mengalahkannya selain
Gareng

SEMAR

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya


Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul

Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah


Allah demi kesejahteraan manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah
makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan
perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang.
Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang
Maha Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan
mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang =
gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar "kuncung"
(jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning
sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
90

Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa


pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak
manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang
keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat".
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah
(untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan
keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas
nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan
terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar,
jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah
Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang
bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis
tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi,
persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi
spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa
orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an
yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan
dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan
Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau
konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber
bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan
Mardika artinya "merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan
tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju
kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam
membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane
sirna durka murkamu) artinya : "dalam menguji budi pekerti secara
sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu
menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup".
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar
dalam pewayangan adalah punakawan " Abdi " Pamomong " yang paling
dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati
para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah
pengayomannya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
91

Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa


atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang
berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia
merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno,
1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa,
bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua
dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah " menjelma " ( menjadi manusia )
yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya
yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa (
Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang
pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi
yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena
sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan
pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe " sepi akan maksud, rajin
dalam bekerja dan memayu hayuning bawana " menjaga kedamaian dunia (
Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat
bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar " cahaya ". jadi Semar
berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia
disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam
dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat
Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi
mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol
yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 - Suseno 1988 : 191 ).
Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan
menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh
dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang
berarti " pimpinan rahmani " yakni pimpinan yang penuh dengan belas
kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling " rasa
ingat " ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan
segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah
itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono
1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan
dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam
pementasan wayang disuguhkan lakon " Semar Mbabar Jati Diri ". gagasan
itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang
mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari
1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan
program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk
pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para
dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah
mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom
Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo
1995 : 5 - Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam
pementasan wayang kulit dengan lakon " Semar Mbabar Jadi Diri "

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
92

diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh


sangkan paraning dumadi " ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari
falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh
sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan
dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-
Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan
tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu
dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana.
Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 )
bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila
pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut
bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka

KAKANG SEMAR LAN ANTAGA KAKI


WECAN TUNJUNG SETA
TUMEKA KAKI SEMAR
GINUBAH DENING : PANEMBAHAN PRAMANA SETA ING GIRIMAYA
dandang gulo
1. INGSUN MELING MRING SIRA KALIHNYA
KANG DADYA SESENGGEMANE
NGIRIDA GUNG LELEMBUT
BALA SILUMAN NUSA JAWI
KABYANTOKNA SANG NATA
HERUCAKRAPRABU
NATA TEDHAKING BARATA
WIJILIRA ING KETANGGA SONYARURI
SAJRONING ALAS PUDHAK
2. DUK TIMURNYA BABARAN SURANDHIL
INGKANG IBU TEDHAKING MATARAM
KANG RAMA TRAHING RASULE
GINAIP MIYOSIPUN
SANG TUNJUNG SETA JEJULUK NEKI
DUK SIH KINEKER MARANG HYANG
KESAMPAR KESANDUNG
JALMA SAMYA KATAMBUHAN
TAN WIKAN MRING PUDHAK SINUMPET SINANDI
DEWA MANGEJAWANTAH

Paradoks Semar
PARA pencinta wayang kulit Jawa tentu tak asing lagi dengan tokoh
Semar. Setiap pertunjukan tokoh ini selalu hadir. Semar dan anak-anaknya
selalu menjadi pelayan atau pembantu kesatria yang baik, umumnya Arjuna
atau anak Arjuna, penengah Pandawa. Semar adalah sebuah filsafat, baik
etik maupun politik. Di balik tokoh hamba para kesatria ini, terdapat pola
pikir yang mendasarinya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
93

Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan
Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru menguasai
kahiyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi
dan manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang
muncul bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak
(suwung-awang-uwung).
Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit dan bumi
(ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan pelaku di
dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa Maya).
Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.
Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua dan
kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang
terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek
rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat
dikembangkan lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.
Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di dunia
bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar
penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi,
Batara Semar sepenuhnya urakan.
Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja, Semar adalah
simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya digambarkan sering tidak
dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering mengendaikan
nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan - kebijaksanaan. Batara Guru
berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa
wangsalan (sastra).
Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan tergesa-
gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan
majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran.
Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan raja-raja, Semar
hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru selalu hidup
di lingkungan yang "wangi", sedang Semar suka kentut sembarangan.
Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.
Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam kisah-kisah wayang
kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara Guru dan
Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih "tua"? Jawabannya
terdapat dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).
Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang Wisesa, mengapa ia
diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai kain wedelan
(biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal?) menjawab,
bahwa warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk
menyamarkan yang sejatinya "ada" itu "tidak ada", sedangkan yang "tidak
ada" diterka "bukan", yang "bukan" diterka "ya".
Dengan demikian Batara Semar lebih "tua" dari adiknya Batara Guru.
Semar itu "kakak" dan Batara Guru itu "adik", suatu pasangan kembar yang
paradoks pula.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri, ketidaktahuan
mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut sebagai
ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
94

Mengingat genealogi Semar yang semacam itu dalam budaya Jawa,


maka tidak mengherankan bahwa tokoh Semar selalu hadir dalam setiap
lakon wayang, dan merupakan tokoh wayang yang amat dicintai para
penggemarnya. Meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin,
hitam legam, namun di balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia,
yakni mengayomi, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana,
penuh humor.
Kulitnya, luarnya, kasar, sedang dalamnya halus. ** DALAM ilmu
politik, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang
kekuasaan, yakni "manunggaling kawula-Gusti" (kesatuan hamba-Raja).
Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini.
Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia ini harus memadukan
antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi
kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum
negara dan kepentingan objek hukum.
Hukum-hukum negara yang baik dari atas, belum tentu berakibat
baik, kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan dan
kondisi rakyat. Manunggaling kawula-Gusti. Pemimpin sejati bagi rakyat itu
bukan Batara Guru, tetapi Semar. Pemimpin sejati itu sebuah paradoks.
Semar adalah kakak lebih tua dari Batara Guru yang terhormat dan
penuh etiket kenegaraan-kahiyangan, tetapi ia menyatu dengan rakyat
yang paling papa. Dengan para dewa, Semar tidak pernah berbahasa halus,
tetapi kepada majikan yang diabdinya (rakyat) ia berbahasa halus.
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa-
dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tetapi kerjanya
membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan
kewajibannya. Semar itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di bawah.
Badan halusnya, karakternya, kualitasnya adalah tingkat tinggi,
tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar gampang menangis melihat
penderitaan manusia yang diabdinya, itulah sebabnya wayang Semar
matanya selalu berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada
menangisi dirinya sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak
memikirkan dirinya sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang
lain. Ego Semar itu telah lenyap, digantikan oleh "yang lain".
Semar itu seharusnya penguasa dunia atas yang paling tinggi dalam
fenomena, tetapi ia memilih berada di dunia bawah yang paling bawah.
Karena penguasa tertinggi, ia menguasai segalanya. Namun, ia memilih
tidak kaya. Semar dan anak-anaknya itu ikut menumpang makan dalang,
sehingga kalau suguhan tuan rumah kurang enak karena ada yang basi,
maka Semar mencegah anak-anaknya, yang melalui dalang, mencela
suguhan tuan rumah. Makanan apa pun yang datang padanya harus
disyukuri sebagai anugerah. Batara Semar, di tanah Sunda, dikenal dalam
wujud Batara Lengser.
Lengser, longsor, lingsir, selalu berkonotasi "turun". Semar itu adalah
pemimpin tertinggi yang turun ke lapis paling bawah. Seorang pemimpin
tidak melihat yang dipimpinnya dari atas singgasananya yang terisolasi,
tetapi melihat dari arah rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimin tidak
menangisi dirinya yang dihujat rakyat, tetapi menangisi rakyat yang dihujat

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
95

bawahanbawahannya. Seorang pemimpin tidak marah dimarahi rakyatnya,


tetapi memarahi dirinya akibat dimarahi rakyat.
Pemimpin sejati itu, menurut filsafat Semar, adalah sebuah paradoks.
Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat
kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar
dan mana yang salah namun tetap berkasih sayang. Filsafat paradoks
kepemimpinan ini sebenarnya bersumber dari kitab Hastabrata atau
Delapan Ajaran Dewa.
Dewa Kekayaan berseberangan dengan Desa Kedermawanan, yang
bermakna seorang pemimpin harus mengusahakan dirinya (dulu, sebagai
raja) agar kaya raya, tetapi kekayaan itu bukan buat dirinya, tetapi buat
rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin Indonesia sekarang ini selayaknya
seorang enterpreneur juga, yang lihai menggali kekayaan buat negara.
Dewa Keadilan berseberangan dengan watak Dewa Kasih Sayang.
Seorang pemimpin harus membela kebenaran, keadilan, tetapi juga
mempertimbangkan rasa keadilannya dengan kasih sayang untuk
memelihara kehidupan.
Dewa Api (keberanian) itu berseberangan dengan Dewa Laut (air),
yakni keberaniannya bertindak melindungi rakyatnya didasari oleh
pertimbangan perhitungan dan kebijaksanaan yang dingin-rasional. Dewa
Maut berseberangan dengan watak Dewa Angin.
Menumpas kejahatan dalam negara itu harus dipadukan dengan
ketelitiannya dalam mengumpulkan detail-detail data, bagai angin yang
mampu memasuki ruang mana pun.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari Hastabrata tersebut,
dan dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks itu. Etika kekuasaan itu
ada dalam diri tokoh Semar. Ia Dewa Tua tetapi menjadi hamba.
Ia berkuasa tetapi melayani. Ia kasar di kalangan atas, tetapi ia halus
di kalangan bawah. Ia kaya raya penguasa semesta, tetapi memilih
memakan nasi sisa. Ia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil, ia
menyindir dalam bahasa metafora apabila yang dilayaninya berbuat salah.
Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tetapi juga mirip
lelaki, kombinasi ketegasan dan kelembutan

3. WUS PINASTI KANG MURBENG DUMADI


SANG TUNJUNG SETA KINARYA DHUTA
JUMENENG PARANPARANE
NGADILI NUSANIPUN
NGASTHA DARMANING UMUM’
KALIS ING MAYANE NDOYA
WUS WINELEG MUKTI WIBAWANING DIRI
ING KETANGGA SILUMAN
4. SATRU MUNGSUH SAMYA HANGEMASI
TUMPES TAPIS KATAMAN PRABAWA
KASEKTEN SABDA CIPTANE
NGGEGIRISI BALANIPUN
WUJUD KALABANG KALAJENGKING
SIRULLAH AJINIPUN

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
96

PRAJURIT LELEMBUT
IKU KANG WEKAS INGWANG
SIRA NDEREK ANGEMONG ING TEMBE WURI
SANG NATA BINATHARA
5. WONG CILIK SAMYA SUKA ING ATI
GUMUYU MURAH SANDHANG LAN TEDHA
GUYUB RUKUN SESAMANE
SAMYA MADHEP SUMUJUD
NGARSENG HYANG WIDHI LAN NJENG GHUSTI
WEDI WEWALATIRA
WINGITING SANG RATU
MANANGKA JAMAN KENCANA
KAKANG SEMAR GYA TINDAKNA WELING MAMI
NGIRIDTA GUNG LELEMBUT
6. MANANGKA WELINGE SANG AJI
SRI JAYABAYA NATA BINATHARA
MRING SANG PAMONG KALIHE
KAKANG SEMAR UMATUR
PUKULUN JAYABAYA AJI
PUN KAKANG WUS ANAMPA
KABEH SABDANIPUN
DADYA PASEKSENING JANGKA
MANGEJA WANTAHIRA PADUKA AJI
SANG NATA BINATHAR
7. JUMENENGIRA GUSTHI PRIBADI
LAMUN JANGKANING NUSA TUMEKA
NORA ENDHAS LAN BUNTUTE
PUN KAKANG WUS SUMAGGUH
NGEMONG SANG TUNJUNG SETA AJI
LAN NGIRID BYANTOKNA
SAGUNGING LELEMBUT
SINEGEG WAWAN SABDANYA
SRI JAYABAYA LAN PAMONGNYA KEKALIH
MECA JANGKANING NUSA

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
97

DEWA RUCI

Cerita Ajaran Dewa Ruci tentang Arya Wrekudara / Arya


sena/Bima ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas
gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta), yang disadur dari bentuk
kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta, Yosodipuro berjudul: "Serat
Dewaruci Kidung" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa
halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta
dan Jawa Kuna.
Intisari kisahnya yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri
Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang
sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui
perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru
Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi
kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk
mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah
gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran
Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun
sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah
menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai
kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu,
mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya
dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah
Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia
mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana,
untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena
berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di
gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan
dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata
tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan
Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena.
Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu
karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi
perkelahian .......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah,
ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian
Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia
bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci
tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud : "Wahai
cucuku yang sedang bersedih,enkau mencari tidak menjumpai, engkau
tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kau cari
itu, sungguh menderita dirimu". Diceritakan saat Sena sudah pasrah.....
suara itu yang ternyata adalah dua dewa, Sang Hyang Endra dan Batara
Bayu, yang memberitahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena,ternyata

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
98

memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan juga agar untuk
mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.Perintah
inipun dituruti lagi.........
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma,
Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya,
Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas
kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh
Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang
dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu
bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi.....,
yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para
kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya
pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati,
yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa
janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat
balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang
membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi
dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun
tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan
meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan
tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak
membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik
turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-
gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak
kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam
samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa
Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang
Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar
samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan
mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah
menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam
mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut,
kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan
perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-
nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut,
wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring
tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya,
menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati,
tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya,

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
99

kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga


besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh
iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak
akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti
akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang
Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil
menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia
bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main
di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu,
apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di
makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering
yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan
pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika
tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya
serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang
untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau
keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun
keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang
memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga
dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai
penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan
Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk
Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih,
karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka
orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan : "Jangan pergi bila belum jelas
maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan,
janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu”. Kau bisa
tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan,
demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas,
oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula
orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang
Kenyataan.
" Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku ", kata
Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya
bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin
masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan
dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua
isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui
telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana
utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan
belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar,
dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
100

Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam,
merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: Yang pertama kau
lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya
ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut
muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu
sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk
hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang
berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi
dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang
baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar
kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang
putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu,
perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah
penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi
melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa
Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa
bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat
tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat
di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan
diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di
tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan
menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa
daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma,
ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan
suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang
sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya
kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku,
jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi,
tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat
dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar,
tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan
akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu
dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan
manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang
yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan
kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk
memainkan panggungnya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
101

Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri,


hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun
jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa
tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana,
tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan
suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan
menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga
merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala
keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri
manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan
tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di
dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati
itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang
menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang
benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap
mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan
oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada
ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari,
kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah
dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak
bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan,
gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna
dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang
tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya
tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan,
namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah
dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai
kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman
berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan
petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh
dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran
tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari
pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan
bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang
dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak
hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan
layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat
berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan
diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa
itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
102

oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian


mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya,
semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang
kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya
Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak
berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam
kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi
kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak
kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan,
itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang
berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang
membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka
disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan
tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang
memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air
penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku
ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada
kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan
gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan
Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.
Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci
Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya
inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka


Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung
Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini
melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta).
Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang
dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati
melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau
menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus
pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai
adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat
artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang
yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara
lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
103

Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan


Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan
Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh
keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk
mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang
berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya,
menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material
antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain
(kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan
sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih
dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten
dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua
raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa
menghapus halangan-halangan tersebut.
Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi
sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia
menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang
berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra,
yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut
dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam
pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima
hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga
menghilangkan kejahatan didalam hatinya.
Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri
kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat
kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak
kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti
untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu
waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak
atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada
kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
104

8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan


semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah
lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang
enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu
harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk
dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh
terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan
pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka,
Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya
persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui
telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas
seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur
pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa
hening.
Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci,
diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya
segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi.
Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa
dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak
terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam
istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam
mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya.
Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus
tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan
lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang
yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana
dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana
artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang
terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng :
Kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan
putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan
mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk
mengendalikan nafsunya.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
105

Tusuk konde besar dari kayu asem


Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya
tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada
kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari
persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah
orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku
pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah
mencapai ilmu sejati.

PRANATA MANGSA
( aturan waktu musim kuno )

Pranata Mangsa atau aturan waktu musim biasanya digunakan oleh


para petani pedesaan, yang didasarkan pada gejala naluriah alam dan
mencoba memahami asal-usul dan bagaimana uraian satu-satu kejadian
cuaca di dalam setahun. Petani di Jawa dahulu masih memakai patokan
untuk mengolah pertanian dengan prantan ini. Uraian mengenai Pranata
Mangsa ini diambil dari buku sejarah para raja di Surakarta, yang tersimpan
di musium Radya-Pustaka.
Yang menurut riwayatnya, sebetulnya baru mulai dikenalkan pada
tahun 1856, saat kerajaan Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII,
yang memberi patokan bagi para petani agar mempunyai hasil panen yang
baik dalam bertani, tepatnya dimulai tanggal 22 Juni 1856, dengan urut-
urutan :
1. Kasa, mulai 22 Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami
yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija,
sejenis belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan.
Penampakannya/ibaratnya : lir sotya (dedaunan) murca saka
ngembanan (kayu-kayuan).

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
106

2. Karo, mulai 2 Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai tumbuh, pohon


randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang.
Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka (retak).
3. Katiga, mulai 25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya lahan
tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen,
berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya : suta (anak)
manut ing Bapa (lanjaran).
4. Kapat, mulai 19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada
(jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap
sawah untuk ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-
burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya : waspa
kumembeng jroning kalbu (sumber).
5. Kalima, mulai 14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan, selokan
sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah,
mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-
ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya : pancuran (hujan) emas
sumawur (hujannya) ing jagad.
6. Kanem, mulai 10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai
menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan
(durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai
kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya : rasa
mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan).
7. Kapitu, mulai 23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai
ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir.
Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta (bisa larut
dengan angin, itu masanya banyak penyakit).
8. Kawolu, mulai 4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali 27
hari. Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya :
anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin).
9. Kasanga, mulai 1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang
dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin,
cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara
mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara).
10. Kasepuluh, mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning,
mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas
telurnya. Penampakannya/ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa
hewan sedang hamil).
11. Desta, mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memane n padi.
Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi
makanan).

12. Saya, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur
padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami.
Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan)

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
107

(air pergi dari sumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang
berkeringat, sebab sangat dingin).
Demikian uraian singkat tentang Pranata Mangsa, yang jika dikaitkan
dengan kondisi saat ini, hal tersebut diatas tentunya harus diselaraskan
secara ilmiah, kondisi alam, kemajuan teknologi pengindraan satelit cuaca,
dan sebagainya.

WUKU dan KELAHIRAN

Tiap-tiap wuku mempunyai watak sendiri-sendiri. Watak wuku dapat


dipergunakan untuk mengetahui dasar watak bayi lahir :
1. Sinta..dewanya sangyang Yamadipati = wataknya seperti raja dan
pendita, banyak kemauan, keras, cepat bahagia, bakat kaya harta benda.
Memanggul tunggul = mudah mendapatkan kesenangan hidup. Kaki
belakang direndam dalam air = perintahnya panas didepan dingin
belakang. Pohonnya : Kendayakan = jadi pelindung orang susah, dan orang
minggat.
Burungnya : Gagak = mengerti petunjuk gaib. Gedungnya didepan =
memperlihatkan simbul kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya :
Berada di pertengahan umur. Tangkalnya : selamatan nasi pulen beras
sepitrah dikukus, lauknya daging kerbau seharga 21 keteng dimasak
pindang, membelinya tidak menawar. Selawatnya 4 keteng. Doanya : Tolak
bilahi. Candranya : Endra = gemar bertapa brata, angkuh, suka kepada
kepanditan. Ketika kala wuku berada ditimu laut, selama 7 hari tak boleh
mendatangi tempat kala.
2. Landep.dewanya sangyang Mahadewa = bagus rupanya, terang hatinya,
gemar bersemadi. Kakinya direndam dalam air = perintahnya keras
didepan dingin dibelakang, kasih sayang. Pohonnya : Kendajakan = jadi
pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burungnya :
Atatkembang = jadi kesukaan para agung, jika menghambakan diri jadi
kesayangan. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, pradah
hanya lahir.
Bahayannya : korobohan pohon. Tangkalnya : Selamatan tumpeng
beras sepitrah dikukus. Lauknya daging rusa dicacah lalu dibakar.
Selawatnya 4 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Surating raditya = tajam
ingatannya, dapat mengerjakan segala pekerjaan, dapat menggrirangkan
hati orang lain.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
108

3. Wukir.dewanya sangyang Mahayekti = besar hatinya, menghendaki


lebih dari sesama. Tunggalnya : didepan = akhirnya hidup senang.
Menghadapi air di jembung besar = baik budi pekertinya. Pohonnya :
Nagasari = bagus rupaya, sopan-santun, jika bekerja dicintai oleh
majikannya. Burungnya : Manyar = tak mau kalah dengan sesama, dapat
mengerjakan segala pekerjaan. Gedungnya didepan = memperlihatkan
kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : dianiaya.
Penangkalnya : selamatan nasi uli, beras sepritah dikukus, daging
ayam ayam putih dimasak pakai santan dan sayur lima macam. Selawatnya
4 keteng. Doanya rajukna. Candranya : Gunung artinya jika didekati sulit
dan berbahaya jika dilihat dari jauh menyedapkan pemandangan. Ketika
kolo wuku berada ditenggara, dalam 7 hari tidak boleh mendatangi tempat
kolo.
4. Kurantil.dewanya sangyang Langsur = pemarah. Memanggul tunggal =
akhirnya mendapat kesenangan hidup. Air dalam jimbung besar disebelah
kiri = serong hatinya. Pohonnya : Ingas = tak dapat untuk berlindung,
karena panas. Burungnya : Salinditan = tangkas. Gedungnya terbalik
didepan = murah hati. Bahayanya : jatuh memanjat.
Penangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, lauknya
daging ayam lereng dipecal. Selawatnya 7 keteng. Doanya : rajukna dan
pina. Candranya : Woh-wohan = tak tentu rejekinya.Ketika kolo wuku
berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan tak boleh
menggali tanah.
5. Tolu.dapat menyenangkan hati orang lain, kalau marah berbahaya, tak
dapat dicegah, Tunggulnya : dibelakang = kebahagiannya terdapat
dibelakang hari. Pohonnya : Wijayamulya = sangat indah rupanya, tajam
roman mukanya, tinggi adat-istiadatnya, teliti, suka pada kesunyian,
selamat hatinya. Burungnya : Branjangan = riang tangan, cepat bekerjanya.
Gedungnya didepan = suka memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya
lahir. Bahayanya = ditanduk atau disiung.
Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus, lauknya
daging ayam dimasak dengan santan. Selawatnya 3 keteng. Doanya :
Kabul. Candranya : Wangkawa = angkuh, tidak tetap, suka bohong.Ketika
kolo wuku berada dibarat-laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat
kala.
6. Gumbreg.dewanya sangyang cakra = keras budinya, segala yang
dikehendakinya segera tercapai, tak mau dicegah, pengasih. Kakai sebelah
yang didepan direndam dalam air = perintahnya dingin didepan, panas
dibelakang. Pohonnya : beringin = jadi pelindung keluarganya, budinya
tinggi. Burungnya : ayam hutan = liar, dicintai oleh para agung, suka
tinggal ditempat sunyi. Gedungnya dikirikan = penyayang, jika marah taka
sayang kepada harta bendanya.
Bahayanya : tenggelam atau kejatuhan dalam. Tangkalnya :
selametan nasi pulen beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam
berumbun yang masih muda dan daun-daun 9 macam. Selawatnya 4
keteng. Doanya : Rajukna. Candranya : Geter nekger ing wijati = hening

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
109

pikirannya, perkataannya nyata redhoan.Ketika “kala wuku” berada di


Selatan menghadap utara, dalam 7 hari tidak boleh memandang wajah kala.
7. Warigalit, dewanya sangyang asmara = bagus rupanya,senang asmara,
cemburuan, hatinya mudah tersentuh, Pohonnya : sulastri = bagus rupanya,
banyak yang cinta. Burungnya : kepodong – cemburuan, tak suka
berkumpul dengan orang banyak. Bahayanya : tersangkut suatu perkara.
Tangkalnya : selametan nasi urap beras sepitrah dikukus, lauknya
daging kerbau ranjapan (pembelian bersama-sama), dimasak getjok.
Selawatnya 8 keteng. Doanya : tolak bilahi. Candranya : kaju kemladean
ngajak sempal = dimana-mana dapat tumbuh. Ketika “kala wuku” berada
diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala
8. Warigagung, dewanya sanghyang mahajekti = berat tanggungannya,
berkeinginan. Tunggulnya : dibelakang – rejekinya dibelakang hari.
Pohonnya : cemara = rame bicaranya, lemah lembut perintahnya dan
dihormati. Burungnya : betet = keras kemauannya, pandai mencari
kehidupan. Gedungnya dua buah dibelakang dan didepan = ichlasnya
hanya setengah. Bahayanya : dimarahi temannya.
Penangkalnya : selamatan nasi uduk bers sepitrah dikukus, lauknya
daging bebek dimasak gurih dan daun-daunan 5 macam. Selawatnya 5
keteng. Doanya : rasul. Candranya : Ketug lindu = menepati perkataannya,
jika marah menakutkan, tidak mau menerima takdir. Ketika “kala wuku”
berada di utara menghadap ke selatan, dalam 7 hari tidak boleh
mendatangani tempat kala.
9. Julungwangi, dewanya sanghyang sambu = tinggi perasaannya, tidak
boleh disamai. Mengahadap air dijembung = pradah ikhlasan, akan tetapi
harus diperlihatkan harum = dicintai oleh orang banyak. Burungnya kutilang
= banyak bicara dan perkataannya dipercayai orang, dicintai para
pembesar.
Bahayanya : diterkam harimau. Tangkalnya : selamatan nasi pulen
beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam brumbun dan uang suwang
(+/- 81 ½ sen). Selawatnya : kucing. Doanya Tolak bilahi. Candranya :
kasturi arum angambar = segala kehendaknya belum terjadi telah tersiar
banyak yang cinta.
10 Sungsang, dewanya sanghyang gana = pemaranh, gelap hati. Air
dijebung didepannya +/- pradah, ikhlasan, harus diperlihatkan
pemberiannya, banyak rejekinya. Pohonnya : tanganan = tak suka
menganggur, keras budinya, suka kepada kepunyaan orang lain. Burungnya
: nori = pemboros, jauh kebahagiaannya, murka. Gedungnya terbalik
dibelakang = ikhlasan dengan tidak pakai perhitungan.
Bahayanya : kena besi. Tangkalnya : selamatan nasi megana dan
tumpeng betas 2 pitrah, daun-daunan 9 macam dicampur dalam tumpeng.
Selawatnya 10 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : sekar wora-wari bang =
besar amarahnya, tetapi mudah dicegah. Ketika “kala wuku” berada di
timur dalam 7 hari tidak boleh mendatangani tempat kala.
11. Galungan, dewanya sangyang Komajaya = teguh hatinya, dapat
melegakan hati orang susah, cinta pada perbuatan baik, jauh kepada
perbuatan jahat. Memangku air dalam bokor =suka bersedekah, pengasih,

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
110

namun sedikit rejekinya. Pohonnya : Tanganan = ringan tangan, keras


budinya, gampang suka pada kepunyaan orang lain. Burungnya : Bido =
besar nafsunya, murka.
Bahayanya : berselisih.Penangkalnya : selamatan nasi beras sepitrah
dikukus, lauknya daging kambing. Doanya : Selamat pina. Candranya : peksi
wonten ing luhur = jika mencari hasil dengan menundukkan kepala, sebab
gora-goda. Ketika kolo wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh
mendatangi tempat kala.
12.Kuningan, dewanya sangyang Indra = melebihi sesama, tinggi
derajatnya. Pohonnya : Wijayakusuma = rupanya sangat indah, sangat
puaka, tinggi budinya dan teliti, menghindari keramaian, selamat hatinya.
Burungnya : Urang-urangan = cepat bekerjanya, lekas marah, pemalu.
Gedungnya dibelakang, jendelanya tertutup = hemat. Bahayanya =
diamuk..Penangkalnya : selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus,
lauknya daging kerbau membelinya beramai-ramai, digoreng. Selawatnya
11 keteng. Doanya : Kabul. Candranya : Garojogan = rame bicaranya,
banyak bohong.Ketika kolo wuku berada di Barat, dalam 7 hari tak boleh
mendatangi tempat kala
13. Langkir, dewanya sangyang Kala menggigit bahunya sendiri = besar
nafsunya, tidak sayang kepada badannya sendiri, yang melihat takut, buruk
adat-istiadatnya, tidak mau menurut, murka, banyak larangan. Pohonnya :
Ingas dan cemara tumbang = panas hati, tak boleh didekati orang,
Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras sepitrah dikukus,
lauknyadaging kambing dan ikan dimasak pakai santan, sayuran
secukupnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Slametpina. Candranya : Redi
gumaludug = bicaranya menakutkan, tetapi tidak mengapa.Ketika kolo
wuku berada di selatan daya, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat
kala.
14. Mandasia,dewanya sangyang Brama, kuat budinya, pemaran, tak mau
memberi ampun, jika marah tak dapat dicegah, tegaan. Pohonnya : Asam =
kuat dan dicintai orang banyak, jadi pelindung sengsara. Burungnya :
Platukbawang = kuat budinya, cepat pekerjaannya, tidak sabaran.
Gedungnya terguling didepan = hemat dan banyak rejekinya. Bahayanya :
Kena api dan dijahili orang.
Penangkalnya : selamatan nasi merah beras sepitrah dikukus, sayur
bayam merah, daging ayam merah dipindang dan bunga setaman yang
merah. Selawatnya uang baru 40 keteng. Doanya : Slamat. Candranya :
Watu item munggeng papreman lan wreksa gung lebet tancepnya = sabar,
tetapi jika marah kejam.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak
boleh mendatangi tempat kala.
15. Djulungpujut, dewanya sangyang guretno, = suka kepada keramaian,
tersiar baik, mempunyai kedudukan yang lumayan. Menghendaki bukit =
besar kemaunnya, tak suka diatasi, menghendaki memerintah. Pohonnya :
Rembuknya = indah warnanya, tidak berbau, dimana-mana jadi kunjungan
orang.
Burung : Prijohan = besar kemauannya, halus budinya. Bahayanya :
diteluhPenangkalnya : selamatan tumpeng beras sepitrah dikukus, daging

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
111

ayam merah dipanggang, daun- daunan 9 macam. Selawatnya 30 keteng.


Doanya : Balasrewu dan Kunut. Candranya : Palwa ing samodra = kesana-
kemari mencari nafkah, rejekinya tidak kurang.Ketika kolo wuku, berada di
utara dan selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
16. Pahang, dewanya sangyang tantra = perkataannya melebihi sesama,
tidak sabaran menepati janji. Jembungnya disebelah kiri dibelakangnya =
suka jalan serong. Memanggul senjata tajam = waspada, kasar
perkataannya, panas hati, suka bertikai. Pohonya : Kendayaan = jadi
pelindung orang sakit, orang sengsara dan orang minggat. Burung : Cocak
= gelatak bicaranya. Gedung telentang = boros.
Bahayanya : dianiaya.Penangkalnya : selamatan nasi uduk beras
sepitrah, lauknya daging ayam dimasak sansan, daun-daunan 11 macem.
Selawatnya 9 keteng. Doanya : Rasul.Candranya : Pulo katinggal saking
tebih = tersiar semua tingkah lakunya, lahirnya suci, batinnya kotor,
angkuh, selalu susah.Ketika kolo wuku berada di Barat-Laut dalam 7 hari tak
boleh mengunjungi tempat kala.
17. Kuruwelut, dewanya sanhyang wisnu : tajam ciptanya, tinggi dan
selamat budinya, melebihi sesama dewa. Memanggul : cakra = tajam
hatinya, berhati-hati. Pohonnya : parijata = jadi pelindung dan besar
kebahagiaannya. Burungnya : puter = jika berbicara mula-mula kalah,
akhirnya menang, tidak pernah bohong, tidak suka terhadap perkataan
yang remeh. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya, puaka
tak dapat dipermudah.
Bahayanya : kena racun daun. Tangkalnya : selamatan bermacam-
macam sayuran, jajan pasar, sekar boreh, tindihnya uang lama
sebaranDoanya : tawil. Candranya : tirta wening = sedikit bicaranya, suci
hatinya, diturut perintahnya, jadi tempat pengungsian. Ketika “kala wuku”
berada diatas, dalam 7 hari tidak boleh mendatangitempat kala.
18. Mrakeh, dewanya sangsyang surenggana = tawakal hatinya, agak
ingatan, berkesanggupan, berani kepada kesulitan. Tunggulnya membalik =
lekas hidup senang. Pohonnya : Trengguli = buahnya tidak berguna. Tak
mempunyai burung = tak boleh disuruh jauh, tentu mendapat bahaya.
Gedungnya dipanggul = memperlihatkan pemberian. Bahayanya :
tenggelam.
Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam mulus dimasak dengan
santan dan bermacam-macam ketan. Selawatnya 100 keteng.Doanya : tolak
bilahi. Candranya : pandam ageng amerapit = tawakal, mempunyai hati
kasihan kepada orang miskin. Ketika “kala wuku” berada di utara, dalam 7
hari tak boleh mendatangi tempat kala.
19. Tambir, dewanya sanghyang siwa = lahir dan batinnya terkadang
berlainan. Pohonnya : Upas = bukan tempat perlindungan, tajam
perkataannya. Burungnya : prenjak = tahu petunjuk gaib, suka membuat
perkabaran yang mengherankan, . Gedongnya ditengah = tinggi percaya
dirinya Bahayanya : terkena pasangan. Tangkalnya : selamatan nasi pulen
beras sepitrah diliwet, lauknya daging bebek dan ayam dipindang, kuah
merah dan putih dan ketimun 25 buah.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
112

Selawatnya : pisau baja dan jarum satu. Doanya : slamet dina.


Candranya : idune lir upas ratjun = dihargai semua perkataannya. Ketika
“kala wuku” berada di barat daya, dalam 7 hari tidak boleh mengunjungi
tempat kala.
20. Madangkungan, dewanya sanghyang basuki : ahli bicara, tawakal,
tetap hatinya. Pohonnya : plasa = hanya jadi perhiasan hutan, tidak ada
gunanya. Burungnya : pelug = suka tinggal di air, suka tinggal ditempat
sunyi. Gedungnya di atas = mendewa-dewakan kekayaannya, tawakal,
hemat. Bahayanya : dibunuh pada waktu malam. Tangkalnya
Selamatan nasi punar beras sepitrah dikukus, lauknya daging ayam
kuning (wiring kuning) dan berumbun, digoreng, jenang merah pada waktu
hari kelahirannya. Selawatnya : 5 keteng. Doanya : ngumur. Candranya :
umajang kang tetabuhan = menepati perkataan, dan dapat menyenangkan
hati orang lain. Ketika “kaa wuku” berada di timur, dalam 7 hari tak boleh
mendatangi kala
21. Maktal, dewanya sanghyang sakri = lurus hatinya, baik pekerjaannya.
Pohonnya : nagasari = bagus rupanya, lemah lembut tutur katanya, dicintai
oleh pembesar. Burungnya : ayam hutan = liar dan tinggi budinya, banyak
tanda-tandanya akan mendapat bahagia, suka tinggal ditempat sunyi.
Gedungnya ditumpangi tunggal = kaya benda dan dihormati. Bahayanya =
bertikai.
Tangkalnya : selamatan nasi uduk, daging ayam dan bebek dimasak
2 macam, dipindang dan dimasak dengan santan, niatnya : ngrasul.
Selawatnya 4 keteng. Doanya : rasul. Candranya : lesus awor lan pancawara
= lebar pemandangannya, dalam pikirannya. Ketika “kala wuku” berada di
timur laut, dalam 7 hari tak boleh mendatangi kala
22. Wuje, dewanya betara kuwera = menggirangkan hati orang lain,
perkataannya lurus dan mengherankan, singkat hati, tetapi sebentar baik.
Memasang keris terhunus disebelah kaki = waspada dan tajam hatinya.
Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar tanda kebahagiannya, kuat dan
tetap hatinya. Burungnya : gogik = cemburuan, tak suka kepada keramaian.
Gedungnya terlentang didepan = pengasih.
Bahayanya : diteluh. Tangkalnya : selamatan jajan pasar secukupnya
dan bermacam-macam ketan seharga sataksawe (+/- 10 sen). Yang dibeli
dahulu madu untuk selanunggal rum arum = peteng hati, sukar dijalani,
suka kepada bau harum, besar kehendaknya. Ketika “kala wuku “ berada di
barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
23. Manahil, dewanya sangyang Citragatra = menjunjung diri sendiri,
dapat berkumpul ditempat ramai, bakat angkuh, selalu bersedia-sedia untuk
membela diri. Air dijembung dibelakangnya = Arum perintahnya, akan
tetapi tak mempunyai pangkat. Memangku tombak terhunus = waspada
dan tajam hatinya.
Pohonnya : Tageron = sedikit faedahnya, liat hatinya. Burungnya :
Sepahan = liar budinya, tajam pikirannya. Bahayannya : terkena senjata
tajam.Penangkalnya : selamatan nasi liwet beras sepitrah, lauknya daging
ayam dan ikan, sayuran secukupnya, sambal gepeng. Selawatnya 8 keteng.
Doanya : Selamat tolak bilahi. Candranya : Trenggana abra ing wijit = sabar

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
113

segala kemauannya, tak suka menganggur, banyak kemauannya.Ketika


kala wuku berapa di Tenggara, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat
kala.
24. Prangbakat, dewanya sangyang Bisma = pemarah, tangkas, pemalu,
memperlihatkan watak prajurit, menghendaki jadi pemimpin orang, lurus
pembicaraannya, segala yang dikehendaki tak ada sukarnya. Kakinya kanan
direndam dalam air jembung = perintahnya dingin didepan panas
dibelakang. Pohonnya : Tirisan = panjang umurnya, cukup rejekinya, tetap
pikiranya.
Burungnya : urang-urangan = cepat kerjanya. Bahayanya : memanjat
atu karena tingkahnya sendiri. Tangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras
sepitrah, lauknya daging sapi, dimasak bumbu manis, sayuran secukupnya.
Selawatnya : pacul. Doanya : aelamat pina. Candranya : wesi trate pulasani
= keras hatinya, cepat kerjanya, pemberi, jujur, belas kasihan. Ketika “kala
wuku” berada dibawah, dalam 7 hari tak boleh turun dari gunung dan
menggali tanah.
25. Bala, dewanya batari Durga = suka berbuat huru-hara,membuat berita,
jahil, suka bercampur dengan kejahatan, tak ada yang ditakuti, pandai
sekali bertindak jahat. Pohonnya : cemara = ramai bicaranya, lemah lembut
perintahnya dan dihormati.
Burungnya : Ayam hutan = liar budinya, dicintai oleh pembesar,
tinggi budinya, banyak tanda-tanda akan mendapat bahagia, suka tinggal
ditempat yang sunyi. Gedungnya didepan = memperlihatkan kekayaannya,
pradah dilahir. Bahayanya : diteluh dan kena upas.Penangkalnya :
selamatan nasi tumpeng beras sepitrah dikukus, sayur 7 macam, panggang
ayam hitam. Selawatnya 40 keteng. Doanya : Rajukna : Udan salah mangsa
= rejekinya dari jual beli.Ketika kala wuku berada di Barat-Laut, dalam 7
hari tak boleh mendatangi tempat kala.
26. Wugu, dewanya sangyang Singajala = banyak akal, lekas mengerti,
baik budinya. Pohonya : Wuni sedang berbuah = siapa yang melihat
bagaikan mengidam, akan tetapi jika telah makan, sering mencela, banyak
rejekinya. Burungnya : Podang = cemburuan, tidak suka berkumpul.
Gedungnya tertutup dibelakang = hemat dan pendia. Bahayanya : digigit
ular dan disia-sia.
Penangkalnya : selamatan nasi pulen beras sepitrah dikukus dan
bermacam-macam ketan, jajan pasar, lauknya daging bebek putih sejodoh
dimasak dengan santan. Selawatnya 10 keteng. Doanya: Selamat.
Candranya : awang-uwung = baik budinya.Ketika kala wuku berada di
sebelah Selatan, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
27. Wayang, dewanya batari Sri = banyak rejekinya, pradah, bakti, teliti,
dingin perintahnya dicintai oleh orang banyak. Jembung berisi air didepan
dan duduk disitu = sejuk hatinya, sabar, rela hati, akan tetapi harus
diperlihatkan pemberiannya. Pasang keris terhunus = perintahnya mudah
didepan, sukar dibelakang. Pohonnya = Cempaka = dicintai oleh orang
banyak
Burungnya = Ayam hutan = dicintai oleh pembesar, liar budinya,
berbakat angkuh, senang tinggal ditempat yang sunyi. Bahayanya : kenah

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
114

tulah dan difitnah.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah


dikukus, daging kambing kendit dimasak macam-macam ketan, ayam
dimasak sesukanya, sayuran secukupnya. Selawatnya 40 keteng. Doanya :
selamat. Candranya : damar murub, bumi langit = selamat, banyak
ilmunya.Ketika kolo wuku berada diatas, dalam 7 hari tak boleh naik.
28. Kulawu, dewanya sangyang Sadana = kuat budinya, besar
harapannya. Duduk dijembung berisi air ditepi kolam = sejuk hatinya, dingin
perintahnya. Membelakangi senjata tajam = pikirannya terdapat
dibelakang, kurang pandai. Pohonnya : Tal = panjang umurnya, besar
harapannya, kuat budinya.
Burungnya : Nori, boros, murka. Gedungnya didepan =
memperlihatkan kekayaannya, pradah hanya lahir. Bahayanya : terkena
bisa. Penangkalnya : selamatannasi golong beras sepitrah dikukus, lauknya
daging ayam dan bebek yang berwarna merah, ikan dan daging burung,
dimasak sekehendahnya. Selawatnya 5 keteng. Doanya : Kabula. Candranya
: Bun tumetes ing sendang = ketika kecil miskin, akhirnya besar
kebahagiannya, banyak rejekinya.Ketika kala wuku berada di Utara, dalam 7
hari tak boleh mendatangi tempat kala.
29. Dukut, dewanya sangyang Sakri = keras hatinya. Menghadapi keris
terhunus = waspada, tajam pikirannya, segala yang dilihatnya berhasrat
dipunyainya. Pohonnya : Pandan wangi = kiri tempatnya, dengki, tak boleh
didekati. Burungnya : Ayam hutan = dicintai oleh para pembesar, liar dan
tinggi budinya, besar harapannya, suka tinggal ditempat sunyi.
Membelakangi gedungnya = hemat dan pendiam. Bahayanya :
dimedan perang.Penangkalnya : selamatan nasi tumpeng beras sepitrah
dikukus, lauknya panggang ayam putih mulus dan ayam brumbun.
Selawatnya satakswawe. Doanya : Slamet. Candranya : tunggul asri
sesengkeraning nata = bagus rupanya, penakut.Ketika kala wuku berada di
Barat, dalam 7 hari tak boleh mendatangi tempat kala.
30. Watugunung, dewanya sangyang Antaboga dan batari Nagagini.
Antaboga = senang tinggal alam untuk bertapa. Nagagini = gemar kepada
asamara. Menghendaki janji = suka bertapa ditempat yang sunyi, jika
menjadi pendita, mendapat kehormatan, gemar bersemedi, sering bersedih
hati. Pohonnya : Wijayakusuma = rupawan, tinggi budinya, tidak suka pada
keramaian, terlihat angkuh, teliti. Burungnya : Gogik = cemburuan.
Bilahinya : teraniaya.
Penangkalnya : selamatan beras sepitrah dikukus, lauknya daging binatang
yang diburu, binatang berliang, burung, semuanya yang halal, dimasak
bermacam-macam jenang, daun-daunan 7 macam. Selawatnya 9 keteng.
Doanya : Mubarak. Candranya : Lintang wulan keraianan = terang hatinya,
tetapi tidak bercahaya.Ketika kala wuku berapa di timur, dalam 7 hari tak
boleh mendatangi tempat kala.

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
115

Memayu hayuning buwana


Amung sami adremi nengga
Sabda Gusti hing wasana
Nemahi jaman buwana yudha
Ilanging bumi sakabehe
Nuli ganti alam lestari
Ojo nganti padha rugi
"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat),

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
116

dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya,


dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?",
pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya
Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam,
supaya diperlihatkan kepada
mereka (balasan) pekerjaan mereka.
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya.
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula.

( QS. Al Zalzalah )

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “
117

“ Selasa Pon, 21 Dulkangidah 1939 ~ 21 Dzulqa’dah 1427 H ~ Selasa malam, 12 Desember 2006 M “

You might also like