You are on page 1of 11

Soalan 2 : LISAN TIDAK BERTULANG ~ KURNIAAN ALLAH KEPADA MAKHLUKNYA ,

BEGITU HEBAT CIPTAAN ILAHI. BANYAK BERBICARA MENGGUNAKAN LISAN, TIDAK


DIIMBANGI DENGAN ILMU AGAMA, SESEORANG ITU AKAN TERJERUMUS DALAM
KESALAHAN DOSA ? KOMEN USTAZ ?

JANGAN BERKATA TANPA ILMU

Ketahuilah wahai orang Muslim bahwa di antara penyakit-penyakit dakwah Ilallah Azza wa
Jalla adalah meyakini suatu pendapat sebelum mengetahui dalilnya. Ini merupakan salah satu
bentuk perbuatan “berkata atas Allah tanpa ilmu”.

Allah swt telah mengharamkan perkataan tanpa ilmu, terutama pada permasalahan yang berkenaan
tentang Allah, urusan haram dan halal tanpa hujjah syar’iyyah.

1. Al-Quran

Allah swt berfirman:

               
 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung
jawabannya.” ( Al Israa:36)

Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa [walaa taqfu] artinya [walaa taqul] (jangan berkata).

Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas berkata:

“Sesungguhnya Allah melarang perkataan tanpa ilmu, juga perkataan dengan zhan
(persangkaan).”

Allah mengkategorikan perbuatan berkata atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dosa yang
paling besar. Allah Azza wa Jalla berfirman :

             
               
Katakanlah: “Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan seusatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al A’raf:33)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman :

            
              
 
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta,
“ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih. ( An Nahl : 116-117)

2. Hadits Rasulullah

“Barangsiapa yang berbicara tentang sesuatu berkenaan dengan Al-Quran tanpa ilmu, maka
bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka.”

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah menempati tempat
kembalinya di neraka.”

“Cukuplah seseorang disebut sebagai pendusta jika mengatakan segala apa yang
didengarnya.”

3. Perkataan Salaf

Abu Bakar berkata:

“Bumi mana yang akan melindungiku, dan langit mana yang akan menaungiku bila aku berkata
sesuatu tentang Allah yang aku tidak ketahui.”

Abu Hushaim berkata:

“Sungguh salah seorang di antara kalian mudah berfatwa dalam suatu urusan yang seandainya
ditanyakan kepada Umar, ia akan mengumpulkan seluruh Ahli Badar (untuk menjawabnya).”

Perhatikanlah kerasnya ancaman Allah kepada orang yang berkata “ini halal ini haram” tanpa
merujuk kepada dalil-dalil syar’i. Larangan ini tertuju kepada kita semuanya, kepada orang yang
bodoh dan yang berilmu, kepada hakim dan yang dihakimi.

Bila seorang berijtihad dalam suatu masalah yang belum sampai kepadanya hukum syar’i, maka
tidak layak baginya untuk mengatakan ini “hukum Allah” bahkan hendaknya dia mengatakan
“ini hukumku, hasil ijtihadku”.

Imam Muslim, Imam Ahli Hadits yang empat (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
serta Darimi telah meriwayatkan dari hadits Buraidah bin Al Hashib radliyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepada salah seorang pemimpin saat
memberi wasiat :
“ … jika kalian mengepung suatu benteng lantas mereka menginginkan untuk diterapkan
kepada mereka hukum Allah maka janganlah kalian menerapkan hukum Allah kepada mereka
namun terapkanlah pada mereka hukummu, sesungguhnya kamu tidak mengetahui apakah
kamu sesuai dengan hukum Allah atau tidak dalam perkara mereka?”

Alangkah indahnya kalau mereka –saudara-saudara kita yang berfatwa dalam masalah pemilu–
mengatakan : “Sebagian ulama telah berijtihad … .” Atau ulama mereka sendiri mengatakan :
“Kami berijtihad … mungkin kami sesuai dengan kebenaran dan mungkin juga kami keliru dan
mungkin juga ada yang menyelisihi kami sedangkan mereka orang yang memiliki kedudukan
ilmiah yang lebih tinggi … .” Dan seterusnya.

Namun mereka mengeluarkan berbagai fatwa hukum dengan mengatakan : “Barangsiapa yang
tidak memilih maka dia munafik, sesungguhnya pemilu wajib, orang yang tidak memilih berarti
telah berbuat dosa … .”

Dan semua hukum ini keluar dari jalan hawa nafsu. Bagaimana tidak? Dia memaksa manusia
untuk menerima hukum, sistem dan proses legislasi ala musuh-musuh Allah yang telah
diketahui oleh semua akan bahaya dan kerusakannya? Sedangkan mereka tidak mampu
mendatangkan satu dalil pun yang menunjukkan dengan jelas bolehnya pemilu tersebut.

Sementara dalil-dalil yang berbicara tentang pengharaman pemilu ada jelas-jelas. Mereka hanya
bersandar kepada ayat-ayat yang sangat jauh maknanya dari apa yang mereka dakwakan.
Mereka juga memakai kaidah-kaidah fiqhiyyah bukan pada tempatnya.

BAHAYA BICARA AGAMA TANPA ILMU


Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu
‘alaihi wassallam bersabda:

َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِري‬


‫ضةٌ َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم‬
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas
bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan
disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat
berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama
tanpa ilmu:

.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.1


:Alloh Ta’ala berfirman
            
              
 

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang
Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu
termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada
kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan
mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya,
syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini
lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-
Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin
Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
َ ‫ب إِ َّن الَّ ِذينَ يَ ْفتَرُونَ َعلَى هللاِ ْال َك ِذ‬
َ‫ب الَ يُ ْفلِحُون‬ َ ‫ب هَ َذا َحالَ ٌل َوهَ َذا َح َرا ٌم لِّتَ ْفتَرُوا َعلَى هللاِ ْال َك ِذ‬
َ ‫َصفُ أَ ْل ِسنَتُ ُك ُم ْال َك ِذ‬
ِ ‫َوالَ تَقُولُوا لِ َما ت‬
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal
dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-
adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
‫ْق عَالِ ًما اتَّ َخ َذ النَّاسُ ُر ُءوسًا ُجهَّاالً فَ ُسئِلُوا فَأ َ ْفتَوْ ا‬
ِ ‫ْض ْال ُعلَ َما ِء َحتَّى ِإ َذا لَ ْم يُب‬
ِ ‫إِ َّن هَّللا َ اَل يَ ْقبِضُ ْال ِع ْل َم ا ْنتِ َزاعًا يَ ْنت َِز ُعهُ ِمنَ ْال ِعبَا ِد َولَ ِك ْن يَ ْقبِضُ ْال ِع ْل َم بِقَب‬
‫ض ُّلوا‬ َ َ‫ض ُّلوا َوأ‬ َ َ‫بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم ف‬
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan
mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-
pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya,
kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.
(HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan
apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa
dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan.
(Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul
Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka
sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
َ َ‫َو َم ْن أ‬
ِ‫ضلُّ ِم َّم ِن اتَّبَ َع ه ََواهُ بِ َغي ِْر هُدًى ِّمنَ هللا‬
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat
petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-
Thahawiyah, hal: 393)

5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
ِ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا الَ تُقَ ِّد ُموا َب ْينَ يَد‬
‫َي هللاِ َو َرسُولِ ِه َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللاَ َس ِمي ٌع َعلِي ُُم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh
dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan
kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya,
yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu
berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar
mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata,
dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-
Hujurat:1)

6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia
sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh
karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi
wassallam:
‫ضالَلَ ٍة َكانَ َعلَ ْي ِه ِمنَ ْا ِإل ْث ِم ِم ْث ُل آثَ ِام َم ْن‬ ُ ُ
ِ ‫َم ْن َدعَا إِلَى هُدًى َكانَ لَهُ ِمنَ ْاألَجْ ِر ِم ْث ُل أج‬
ِ ‫ُور َم ْن تَبِ َعهُ الَ يَ ْنقُصُ َذلِكَ ِم ْن أج‬
َ ‫ُور ِه ْم َش ْيئًا َو َم ْن َدعَا إِلَى‬
‫م َش ْيئًا‬šْ ‫ك ِم ْن آثَا ِم ِه‬ َ ِ‫تَبِ َعهُ الَ يَ ْنقُصُ َذل‬
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang
yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada
kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak
mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)

7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.


Alloh Ta’ala berfirman:
َ ِ‫ص َر َو ْالفُؤَ ا َد ُكلُّ أُوْ الَئ‬
ً‫ك َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُوال‬ َ َ‫ك بِ ِه ِع ْل ٌم إِ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬ َ ‫َوالَ تَ ْقفُ َما لَي‬
َ َ‫ْس ل‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ :
36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:
“Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa
ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-
Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami t menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah
tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”.
Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
َ‫َو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َمآ أَن َز َل هللاُ فَأُوْ الَئِكَ هُ ُم ْالكَافِرُون‬
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir. (QS. 5:44)

9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang
masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang
ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.


Allah berfirman:
َ‫إِنَّ َما يَأْ ُم ُر ُكم بِالسُّو ِء َو ْالفَحْ شَآ ِء َوأَن تَقُولُوا َعلَى هللاِ َما الَ تَ ْعلَ ُمون‬
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah
apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)

Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah
dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish
showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Soalan 4 : DALAM AL ADZKAR, IMAM AS SYAFI’E BERKATA : ‘APABILA DIA HENDAK BERCAKAP,
HENDAKLAH BERFIKIR DULU. BILA JELAS MASLAHATNYA BERCAKAPLAH, JIKA DIA RAGU , MAKA
JANGANLAH DIA BERCAKAP HINGGA NAMPAK MASLAHATNYA ! KOMEN USTAZ….

TUNTUTAN MEMELIHARA LIDAH


Walaupun lidah merupakan anggota zahir yang kecil bagi setiap insan tetapi ia tetap mempunyai peranan
yang besar dalam kehidupan manusia. Sejarah membuktikan lidah mampu menimbulkan pelbagai
sentimen yang menyebabkan manusia terus memburu dendam dan saling bermusuhan antara satu sama
lain. Jika tidak dikawal, lidah boleh membawa berlakunya pelbagai kejahatan.Justeru itu, memelihara
lidah adalah sangat dituntut oleh Islam.Bahaya lidah yang tidak bertanggungjawab boleh mengugat
keharmonian masyarakat dan keluarga, Beberapa banyak penaniayaan, keruntuhan rumah tangga,
permusuhan dan pembunuhan berlaku hanya disebabkn oleh lidah.

Bagi orang yang beriman, lidah yang dikurniakan Allah itu tidak digunakan untuk berbicara sesuka hati
dan sia-sia. Sebaliknya digunakan untuk mengeluarkan mutiara-mutiara yang berhikmah.Oleh itu, Islam
menganjurkan bagi manusia untuk berdiam daripada mengucap perkataan sia-sia.

Nabi Muhmmad pernah bersabda yang bermaksud

Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah ia berkata yang baik atau “
diam.”(riwayat Bukhari dan Muslim)

Sebagai jalan selamat, ajaran Islam sejak mula lagi menganjurkan kepada kita agar tidak terlalu banyak
bercakap kecuali percakapan yang jelas ada manfaatnya. Bahkan apabila berdiam diri itu sama saja
manfaatnya dengan manfaat menutur percakapan, maka dalam kedudukan begini, adalah lebih utama
bagi seseorang itu untuk diam sahaja. Sebab kadang-kadang apabila percakapan yang harus itu tidak
.dapat dikawal, ia boleh membawa kepada yang haram dan dilarang oleh ajaran Islam

Rasulullah pernah ditanya tentang sebesar-besar perkara yang menyebabkan manusia masuk neraka. Lalu
baginda meyebutkan dua perkara iaitu mulut dan kemaluan. Yang dimaksudkan mulut adalah bahaya
lidah. Anas bin Malik pernah meriwayatkan hadith daripada Rasulullah yang menyebutkan bahawa
tidaklah teguh seorang hamba sehingga teguh hatinya, dan tidaklah teguh hatinya sehingga teguh
lidahnya, Dan tidak masuk syurga, orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya. Oleh itu, Islam
menganjurkan kata-kata yang memberi faedah atau diam kerana kesalahan anak Adam yang paling
.banyak itu pada lidahnya

Manusia tidak dapat mengalahkan syaitan kecuali dengan diam kerana ia dapat mengelakkan daripada
perkataan yang sia-sia, mengumpat dan fitnah. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahawa nabi menyuruh
.umatnya memelihara lidah dari perkataan yang keji dan buruk

: Sabdanya yang bermaksud

Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan. Sesungguhnya dengan demikian kamu dapat “
mengalahkan syaitan.” Di dalam percakapan terdapat bencana dan di dalam diam terdapat
.kebahagiaan kerana itulah keutamaan diam amat besar

; Firman Allah yang bermaksud


        
tiada suatu ucapan yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu “
hadir” (Qaaf, ayat 18)

Antara bahaya lidah adalah berkata tentang sesuatu yang tidak penting kerana ia mensia-siakan waktu
dan menyebabkan dirinya dihitung. Modal seorang manusia adalah waktu-waktunya.Apabila ia
menggunakan untuk sesuatu yang tidak penting dan bernilai, nescaya ia telah mensia-siakan modal
pokoknya. Kerana itulah

: Rasulullah bersabda yang bermaksud

Termasuk dalam kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yng tidak penting “
baginya.” (riwayat Turmizi dan Ibn Majah)
Pengertian ‘meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya’ adalah diutamakan di dalam perkara
meninggalkan percakapan yang sia-sia atau yang tidak berfaedah aau meninggalkan percakapan yang
boleh menyebabkan terjadinya fitnah dan permusuhan. Termasuk perkataan yang tidak penting adalah
menanyakan kepada seseorang tentang sesuatu yang tidak penting atau memanjangkan perbicaraan dan
kata-kata dengan maksud agar kelihatan lebih akrab atau sekadar mengisi masa lapang dengan
.menceritakan hikayat-hikayat yang tidak memberi manfat kecuali sekadar mengubah suasana hening

Berlebihan dalam bicara juga termasuk daripada sifat tercela. Ia bermaksud menambah perbicaraan
melebihi kadar keperluan. Orang yang menganggap penting sesuatu perkara , maka ia menyebutkan
dengan perkataan yang ringkas dan padat. Apabila dengan sepatah kata sesuatu yang dimaksudkan telah
diperolehi, maka kata yang kedua merupakan berlebihan. Walaupun perkataan yang berlebihan itu tidak
dapat didefinisikan dengan sesuatu batasan, namun batasan yang pokok telah termaktub dalam firman
: Allah yang bermaksud
             
          
   
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan orang yang “
menyuruh manusia memberi sedekah atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara
mereka.” (Al-Nisa’, ayat 114)

Antara bahaya lidah juga ialah mengeluarkan perkataan yang batil dan keji seperti membincangkan
urusan maksiat, menceritakan kisah-kisah lucah, tempat-tempat minuman keras dan tempat orang-orang
fasiq. Perkara tersebut perlulah dihindari oleh umat Islam. Di samping itu, pertengkaran juga termasuk
perbuatan tercela yang biasanya terjadi akibat perdebatan dan perbantahan. Keburukan perdebatan dan
bantahan itu kerana ia rasa untuk menampakkan ilmu dan kelebihan diri dan rasa untuk menjatuhkan
orang lain dengan menampakkan kekurangan lawannya. Apatah lagi sekiranya berlaku di kalangan cerdik
pandai kerana perdebatan merupakan saat bodohnya orang alim dan di saat itu syaitan mengharapkan
tergelincirnya. Rasulullah sering mengingatkan umatnya dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh
: Aisyah bermaksud

Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang sangat sengit dalam “
bertengkar.” (riwayat Bukhari, Muslim, Turmizi dan Nasa’i)

Orang Islam sentiasa memelihara lidah dengan menjauhi perkataan keji. Diriwayatkan oleh Turmizi
: bahawa nabi bersabda yang bermaksud

”.Orang mukmin itu bukan pencaci maki, pengutuk, berkata keji dan tidak berlidah kotor “

Islam juga melarang seseorang itu mengutuk dengan menggunakan perkataan laknat, kemurkaan
Allah dan neraka jahanam. Tdaklah sesuatu bangsa dan kaum yang kutuk mengutuk melainkan mereka
akan menangung akibat perkataannya. Mengutuk kepada binatang juga adalah tercela. Nabi pernah
melalui satu tempat dan mendengar seorang wanita sedang mengutuk untanya, lalu Rasulullah melarang
perkara tersebut. Berdasarkan penyataan di atas, Islam sama sekali melarang umatnya mengutuk orang
lain walaupun dalam apa jua keadaan kerana ia akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.
Seseorang itu tidak boleh menuduh orang lain berbuat fasiq atau kufur tanpa ada bukti. Rasulullah
: bersabda yang bermaksud

Tidaklah seseorang menuduh kafir kepada orang lain dan tidaklah ia menuduhnya dengan “
kefasikan melainkan tuduhan tersebut kembali kepada dirinya kalau temannya tidak seperti apa yang
dituduhnya.” (riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadith ini melarang orang Islam mengkafirkan orang lain padahal ia mengerti bahawa orang tersebut
orang Islam. Sekiranya orang itu melakukan bidah atau maksiat, maka perkara itu bukan termasuk dalam
kategori mengeluarkannya daripada agama Islam. Rasulullah juga melarang orang Islam memaki orang
yang telah mati. Bagi orang yang telah meninggal dunia perlulah menyebut kebaikan-kebaikan yang ada
.padanya

Dalam ajaran Islam, seorang yang tidak menjaga lidahnya iaitu berkata-kata tanpa memikirkan akibat
buruk dari kata-katanya boleh menjerumuskannya masuk ke dalam neraka seperti kata-kata yang
membawa kufur seperti menghina Allah dan para nabi. Ajaran Islam mernhendaki hubungan sesama
manusia terutama saudara Islam itu terselamat daripada segala penganiayaan sama ada berbentuk
perbuatan atau perkataan. Orang Islam yang lebih utama ialah mereka yang memelihara lidah dan
: tangannya.Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari bahawa Rasulullah bersabda yang bermaksud

Wahai Rasulullah! Orang muslimin yang bagaimanakah yang paling utama?” Nabi menjawab: “
”.“Orang yang orang-orang Islam yang lain selamat dari lidah dan tangannya

Dari perspektif ajaran Islam, percakapan yang baik adalah percakapan atau perbualan yang membawa
kepada mengingat Allah, menyeru kepada kebaikan dan mencegah daripada kemungkaran.Oleh itu, umat
Islam perlu memelihara lidahnya dari melakukan perkara yang dilarang oleh ajaran Islam. Jalan selamat
dalam memelihara lidah adalah membanyakkan membaca al-Quran, berzikir dan mempelajari ilmu.
Dengan itu, lidah akan mengangkat seseorang itu menjadi mulia dan membawa kejayaan kepada tuannya
.apabila digunakan pada jalan yang betul dan benar

Soalan 6 : APA LANGKAH ATAU KAEDAH UNTUK KITA SELALU MENJAGA LISAN SEPERTI YANG DI AJAR
OLEH AGAMA KITA ? TAKKAN DIAM MEMANJANG JE USTAZ..!!!

Lidah perlu dijaga drp percakapan keji

SESEORANG Muslim mesti memelihara lidahnya daripada menuturkan kata-kata yang tidak berfaedah,
percakapan kosong, mengumpat keji dan mengadu-domba.

Nabi Muhammad saw memberi banyak ingatan mengenai perkara itu. Antaranya sabda Baginda
bermaksud: "Tidaklah dihumbankan muka manusia ke dalam neraka itu sebagai hasil tuaian (jelek)
lidahnya." (Hadis riwayat at-Tirmizi)

Rasulullah juga bersabda bermaksud: "Bukanlah dia seorang mukmin (jika) dia suka menuduh, suka
melaknat, bercakap kotor dan keji." (Hadis riwayat at-Tirmizi).

Pesan Rasulullah lagi bermaksud: "Sesiapa yang banyak bercakap banyaklah kesalahannya, sesiapa
yang banyak kesalahannya banyaklah dosanya dan siapa yang banyak dosanya, api nerakalah paling
layak untuk dirinya." (Diriwayatkan oleh Baihaqi).

Imam Nawawi ketika membicarakan hal yang sama berkata:


"Ketahuilah, seseorang mukallaf itu sewajarnya menjaga lidahnya daripada sebarang percakapan kecuali
percakapan yang menghasilkan kebaikan.

"Apabila bercakap dan berdiam diri adalah sama saja hasilnya, maka mengikut sunnahnya adalah lebih
baik berdiam diri. Hal ini kerana percakapan yang diharuskan mungkin membawa kepada yang haram
atau makruh.

"Kejadian demikian telah banyak berlaku, tetapi kebaikan daripadanya adalah jarang."

Rasulullah bersabda bermaksud: "Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka
hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik dan kalau tidak, hendaklah diam." (Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim). Hadis di tersebut membawa maksud bahawa seseorang yang beriman itu perlu
sentiasa mengawasi lidahnya dan apabila berkata hanya kepada perkara yang memberi kebaikan
kepada dirinya dan orang lain. Kalau tidak dapat memberi sesuatu yang membawa kebaikan, maka
adalah lebih baik berdiam diri saja.

Rasulullah ditanya mengenai kelakuan yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam syurga.
Jawab baginda: "Takwa kepada Allah dan keindahan akhlak." Ketika Baginda ditanya apakah yang paling
banyak memasukkan orang ke dalam neraka? Baginda menjawab: "Kejahatan mulut dan kemaluan."

Nabi Muhammad lagi bersabda lagi bermaksud: "Sesiapa mengawal lidahnya (daripada memperkatakan
kehormatan orang), maka Allah akan menutup kecelaannya (hal yang memalukan). Sesiapa yang
menahan kemarahannya, Allah akan melindunginya daripada seksa-Nya. Dan sesiapa yang meminta
kelonggarannya kepada Allah, maka Allah akan menerima permintaan kelonggarannya."
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunya, Rasulullah bermaksud : "Tidak akan lurus iman seseorang
hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sehingga lurus pula lidahnya. Dan
seorang hamba tidak akan masuk syurga selagi tetangganya belum aman daripada kejahatannya."

Begitulah pentingnya seseorang itu memelihara lidahnya daripada percakapan yang buruk, keji dan tidak
mendatangkan faedah. Allah mengurniakan umatnya dengan sebaik-sebaiknya nikmat. Oleh itu, nikmat
lidah yang diberikan, hendaklah digunakan ke jalan yang diredai-Nya.

You might also like