You are on page 1of 100

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Kebutuhan hidup keseharian manusia sangat erat dengan proses

kimia. Sandang, pangan, dan papan yang dikonsumsi oleh manusia

merupakan suatu produk yang dihasilkan melalui proses produksi yang

berkaitan dengan proses kimia. Sehingga setiap orang senantiasa

melakukan analisis dalam kehidupan kesehariannya dalam rangka

mendapatkan hasil terbaik dan menguntungkan dirinya. Analisis tersebut

dinamakan analisis kimia yang sangat diperlukan dalam rangka menjamin

keamanan dan memenuhi kebutuhan hidup keseharian manusia. Analisis

kimia menjadi semakin penting sejalan dengan semakin banyaknya

produk bahan kimia yang diperkenalkan, digunakan, dan ditawarkan

dipasaran. Selain itu, penggunaan bahan kimia juga semakin luas, baik

jenis maupun jumlahnya, sehingga dapat dikatakan tidak ada titik di muka

bumi yang tidak tersentuh bahan kimia.

Sejalan dengan luasnya penggunaan bahan kimia dalam

kehidupan manusia, aplikasi analisis kimia, baik kualitatif maupun

kuantitatif, sangat luas penggunaannya dalam semua bidang, antara lain

bidang lingkungan, kesehatan, obat-obatan, pangan, pertanian, geologi,

kelautan, bahkan penelitian kedirgantaraan. Bertolak dengan kenyataan

itu, agar mampu menjawab tantangan yang semakin meningkat, maka

metode analisis kimia semakin berkembang. Perkembangan itu bukan


2

saja skalanya yang semula makro harus dikembangkan ke skala mikro

bahkan nano, tetapi juga metode analisis dituntut memberikan ketelitian,

ketepatan, selektifitas, dan kecepatan tinggi. Untuk memenuhi tuntutan itu

telah berkembang metode analisis instrumental seperti kromatografi,

spektroskopi, elektrokimia, aktivasi+radioaktif, dan sebagainya. Sehingga

kemajuan dunia teknologi dan perkembangan kurikulum di dunia

akademik harus disesuaikan dengan kapasitas kemampuan pengajar

serta fasilitas yang mendukung kegiatan di Universitas. Begitu juga sangat

erat hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan

ilmu kimia terhadap suatu proses produksi sandang, pangan, dan papan.

1.1 Latar Belakang PKL

Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban

untuk mengembangkan potensi dirinya sebagai bekal untuk menghadapi

lingkungan kerja. Era globalisasi merupakan salah satu tantangan yang

mau tidak mau harus dihadapi agar negara kita tidak ketinggalan dengan

negara-negara lainnya. Oleh karena itu, penulis sebagai mahasiswa

Diploma III Kimia Terapan Universitas Indonesia diberikan kesempatan

untuk menyelesaikan tugas akhir sebanyak 4 sks sesuai dengan

kurikulum dengan melakukan praktik kerja lapangan di industri atau

lembaga atau balai penelitian sehingga diharapkan dapat membandingkan

dan menerapkan pengetahuan akademis yang diperoleh selama di

bangku kuliah, dengan memberikan kontribusi pengetahuan pada instansi


3

di mana mahasiswa tersebut bekerja, secara jelas dan konsisten dengan

komitmen tinggi. Selain itu, untuk mempersiapkan diri dengan berbagai

macam pengalaman yang selalu mengikuti dan tanggap terhadap

perkembangan dan perubahan yang terjadi di dunia industri saat ini.

Dengan begitu diharapkan dapat menjadi lulusan terampil serta

berkualitas yang siap terjun ke dalam dunia kerja.

Dalam PKL, penulis memiliki kesempatan untuk melihat aplikasi

dari teori yang selama ini dipelajari maupun varian dari teori yang telah

ada. Dengan melihat langsung penerapan-penerapan ilmu yang diperoleh

selama menuntut ilmu kimia pada dunia industri, diharapkan mahasiswa

mempunyai gambaran yang nyata tentang penerapannya di bidang

industri kimia. Dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pihak industri

tentang sejauh mana persiapan lembaga pendidikan dalam upaya

menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk mencapai

maksud tersebut, maka setiap mahasiswa Diploma III Kimia Terapan

FMIPA-UI diharuskan untuk mengikuti praktik kerja lapangan sebagai

salah satu syarat dan penilaian sebanyak 4 sks sesuai dengan kurikulum

yang berlaku.

1.2 Waktu dan Tempat PKL

Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL) ini berlangsung pada:

Periode : 15 April 2008-Juni 2008

Tempat : Balai Pengujian dan Identifikasi Barang Jakarta


4

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Alamat : Jalan Letjen Suprapto Nomor 66 Cempaka Putih

Jakarta Pusat

1.3 Tujuan

Tujuan PKL meliputi tujuan umum dan khusus, antara lain:

1.3.1 Tujuan Umum

1) Mendapatkan pengalaman kerja sebelum memasuki dunia

kerja.

2) Mengembangkan sikap profesional serta mendisiplinkan diri

sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja.

3) Mempelajari dan menambah wawasan mahasiswa mengenai

teknologi, sistem, dan manajemen produksi yang saat ini tengah

berkembang.

4) Menyerap pengalaman operasional pada suatu industri dalam

menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sistem

produksi perusahaan serta penggunaan sumber dayanya.

5) Sebagai syarat untuk menyelesaikan studi di Program Diploma

III Kimia Terapan Departemen Kimia FMIPA-UI.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui syarat mutu sampel gula kristal mentah

berdasarkan SNI 01-3140.1-2001 sebelum diproses menjadi


5

gula kristal rafinasi, sehingga dapat diketahui sampel tersebut

sesuai dengan syarat mutu berdasarkan SNI atau tidak.

2) Mendapatkan kesempatan mengaplikasikan ilmu dan

pengetahuan yang diperoleh selama masa pembelajaran dalam

kegiatan produksi.

3) Meningkatkan wawasan mahasiswa dalam aspek potensial

dunia kerja seperti struktur organisasi disiplin, lingkungan,

safety, dan sistem kerja serta penerapannya dalam upaya

menganalisis hasil suatu produksi.

4) Menjalin kerjasama yang baik antara pihak Program Diploma III

Kimia Terapan FMIPA-UI dengan pihak industri atau instansi

pemerintah sehingga membuka peluang bagi mahasiswa lain

yang ingin melakukan PKL di tempat yang sama.


6

BAB 2

INSTITUSI TEMPAT PKL

2.1 Nama dan Lokasi PKL

Penulis melaksanakan PKL di Balai Pengujian dan Identifikasi

Barang (BPIB) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan berlokasi di

jalan Letjen Suprapto Nomor 66 Cempaka Putih, Jakarta Pusat

2.2 Sejarah dan Perkembangan Balai Pengujian dan Identifikasi

Barang (BPIB) Jakarta

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah unit eselon satu

yang memiliki tugas dan fungsi di Departemen Keuangan dalam bidang

kepabeanan dan cukai dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. Tugas

dan fungsi pokok DJBC adalah:

1) Memfasilitasi perdagangan,

2) Memproteksi komunitas, dan

3) Mengumpulkan penerimaan negara berupa bea masuk dan cukai.

Unit struktural pada DJBC sebagai berikut:

1) Direktur Jenderal,

2) Direktorat pada kantor pusat DJBC,

3) 17 kantor wilayah yang tersebar di daerah Indonesia,

4) 120 kantor pelayanan,


7

5) Tiga pangkalan sarana operasi, dan

6) Tiga balai pengujian dan identifikasi barang

Sembilan Direktorat pada kantor pusat DJBC, sebagai berikut:

1) Kesekretariatan DJBC

2) Direktorat Teknis Kepabeanan

3) Direktorat Fasilitas Kepabeanan

4) Direktorat Cukai

5) Direktorat Pelaksanaan dan Penyelidikan

6) Direktorat Audit

7) Direktorat Kepabeanan Internasional

8) Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai

9) Direktorat Informasi Bea dan Cukai

Balai Pengujian dan Identifikasi Barang (BPIB) adalah unit

pelaksana teknis pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di bawah

Direktorat Teknis Kepabeanan yang ditangani oleh penguji laboratorium

dan pengidentifikasi barang-barang yang mengandung bahan kimia. Unit

ini telah didirikan pada tahun 1990, berdasarkan pada Surat Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 784/KMK/.01/1990, dalam

organisasi dan pimpinan BPIB Jakarta memegang pertanggungjawaban

kepada Direktur Kepabeanan. Pada 1993, berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 752/KMK.01/1993 BPIB

memegang pertanggungjawaban kepada Direktur Tarif dan Nilai. Pada

1998, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik


8

Indonesia Nomor 32/KMK/.01/1998 BPIB memegang

pertanggungjawaban kepada Direktur Teknis Kepabeanan. Sejak 23 Juli

2001, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik

Indonesia Nomor 449/KMK.01/2001 BPIB memegang

pertanggungjawaban kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai tetapi

secara teknis memegang pertanggungjawaban kepada Direktur Teknis

Kepabeanan.

Sejalan dengan kemajuan era globalisasi, sejak 6 November 2002,

BPIB Jakarta telah mendapatkan akreditasi sesuai dengan SNI

19.17025.2000 atau ISO 17025 sebagai laboratorium pengujian. Sekarang

ini, ada tiga BPIB di Indonesia yang berlokasi di Jakarta, Surabaya, dan

Medan.

2.3 Struktur Organisasi

Struktur organisasi BPIB (pada bagan organisasi BPIB di lampiran

1 halaman 87 dan lampiran 2 halaman 88) berdasarkan Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 449/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Balai

Pengujian dan Identifkasi Barang Jakarta, terdiri atas:

1) Kepala Balai

2) Kepala Subbagian Umum

3) Kepala Seksi Program dan Evaluasi

4) Kepala Seksi Pelayanan Teknis


9

5) Kelompok Jabatan Fungsional

2.4 Tugas Pokok dan Fungsi BPIB Jakarta

Balai pengujian dan Identifikasi Barang (BPIB) mempunyai tugas

melaksanakan pengujian laboratorium dan identifikasi barang berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam melaksanakan tugasnya BPIB Jakarta memiliki:

1) Personil manajerial dan teknis di samping tanggung jawabnya yang

lain, memiliki kewenangan dan sumber daya yang cukup untuk

melaksanakan tugasnya, termasuk implementasi, pemeliharaan, dan

peningkatan sistem manajemen, dan untuk mengidentifikasi kejadian

penyimpangan dari sistem manajemen atau dari prosedur untuk

melaksanakan pengujian, dan untuk memulai tindakan untuk

mencegah atau meminimalkan penyimpangan tersebut.

2) Kepala seksi pelayanan teknis sebagai manajer teknis yang

bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis dan ketersediaan sumber

daya yang diperlukan untuk memastikan mutu kegiatan laboratorium.

Kepala seksi pelayanan teknis juga berfungsi sebagai penyelia

(supervisor)

3) Kepala seksi program dan evaluasi sebagai manajer mutu terlepas

dari tugas atau tanggung jawab lainnya, bertanggung jawab dan

berwenangan untuk memastikan sistem manajemen diterapkan dan


10

diikuti setiap waktu serta mempunyai akses langsung ke pemimpinan

tertinggi (Kepala BPIB Jakarta).

4) Kepala subbagian umum sebagai manajer administrasi.

Laboratorium kepabeanan juga mempunyai beberapa fungsi di

antaranya:

a) Penyusunan rencana strategi, program, dan evaluasi laboratorium

pengujian dan pengidentifikasi barang-barang yang mengandung

bahan kimia.

b) Pelaksanaan pengujian laboratorium dan pengujian ulang, dan

pengidentifkasi barang-barang yang mengandung bahan kimia.

c) Penelitian, pengembangan, dan pengevaluasi dengan metode uji.

d) Penyelenggara standardisasi material dan validasi dengan metode uji.

e) Pemeliharaan, dan perawatan laboratorium instrument.

f) Pengorganisasi administrasi BPIB

2.5 Sumber Daya Manusia

Laboratorium kepabeanan Jakarta dibantu oleh 51 pegawai, terdiri

atas:

1) Satu orang : Kepala laboratorium BPIB

2) Satu orang : Kepala subbagian umum

3) Satu orang : Kepala seksi pelayanan teknis

4) Satu orang : Kepala seksi program dan evaluasi

5) Empat orang : Koordinator pelaksana


11

6) Tiga puluh dua orang : Pelaksana teknis analisa

7) Sebelas orang : Pelaksana bagian umum

2.6 Ruang Lingkup BPIB Jakarta

BPIB Jakarta mempunyai ruang lingkup pengujian sebagai berikut :

1) Pengujian Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA)

a. Kadar etil alkohol dalam MMEA

2) Pengujian Garam (NaCl)

a. Kadar NaCl

b. Kadar Iodium

c. Kadar Air

d. Kadar Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg)

e. Kadar cemaran logam Timbal (Pb)

f. Kadar cemaran logam Tembaga (Cu)

3) Pengujian Minyak Pelumas

a. Viskositas kinematik pada suhu 40 0C dan 100 0C

b. Indeks viskositas

c. Flash point

d. Dielectric strength

e. Total Acid Number (TAN)

f. Kadar abu

4) Pengujian Polimer

a. Jenis polimer (kualitatif) untuk semua jenis polimer


12

5) Pengujian Tepung Terigu

a. Kadar air

b. Kadar abu

c. Keasaman

d. Bentuk

e. Bau

f. Rasa

g. Warna

h. Benda asing

i. Serangga dalam semua bentuk stadia dari potongannya yang

tampak

j. Kadar cemaran logam Pb

k. Kadar cemaran logam Cu

l. Kadar cemaran logam Besi (Fe)

m. Kadar cemaran logam Seng (Zn)

n. Kadar vitamin B1 (Thiamin)

o. Kadar vitamin B2 (Ribovlafin)

6) Pengujian Gula Kristal Mentah

a. Warna larutan (ICUMSA)

b. Derajat polarisasi

c. Kadar abu konduktiviti

d. Susut pengeringan

7) Pengujian Gula Kristal Rafinasi


13

a. Warna larutan (ICUMSA)

b. Derajat polarisasi

c. Kadar abu konduktiviti

d. Susut pengeringan

e. Kadar cemaran logam Pb

f. Kadar cemaran logam Cu

g. Kadar cemaran logam Zn

h. Kadar cemaran logam Arsen (As)

8) Pengujian Gula Kristal Putih

a. Warna larutan (ICUMSA)

b. Derajat polarisasi

c. Kadar abu konduktiviti

d. Susut pengeringan

e. Kadar cemaran logam Pb

f. Kadar cemaran logam Cu

g. Kadar cemaran logam Zn

h. Kadar cemaran logam Arsen (As)

9) Pupuk

a. Kadar Borat
14

2.7 Pelayanan Analisis

Tugas pelayanan analisis terdiri atas permohonan analisis oleh

Kantor Pelayanan Bea dan Cukai dan unit lain di dalam DJBC, serta

pengguna jasa eksternal.

BPIB Jakarta bertanggung jawab melakukan pengujian sedemikian

rupa untuk memenuhi persyaratan World Custom Organization Laboratory

Guide dan ISO/IEC 17025-2005 serta untuk memuaskan kebutuhan

customer, pihak yang berwenang, atau organisasi yang memberikan

pengakuan.

Kantor unit kerja DJBC yang telah mengirim sebagian besar

sampel pada BPIB dari periode Januari-Desember 2007 adalah Kantor

Pelayanan Utama DJBC Tanjung Priok, Direktorat Teknis Kepabeanan,

Direktorat Verifikasi dan Audit, Direktorat Cukai, Direktorat Pelaksanaan

dan Penyelidikan, dan unit kerja lainnya.

2.8 Peralatan Analisis

Macam-macam instrument analisis, antara lain :

1) Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FTIR)

2) Gas Chromatography (GC)

3) Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GC-MS)

4) High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

5) Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)

6) UV-Visible Spectrophotometer
15

7) X-Ray Diffractometer (XRD)

8) X-Ray Fluorescence (XRF)

9) Thermogravimetri/Differential Thermal Analysis (TG/DTA)

Peralatan analisis lainnya, antara lain:

a) Viscometer

b) Automatic Surface Tension Balance

c) Petroleum Destilator ASTM D 92

d) Automatic Instrument Destilator

e) Electric Muffle Furnace

f) Electronic Analytical Balance

g) Melting Point Apparatus

h) Electronic Drying Oven

i) Centrifuge

j) Digital pH Meter

k) Constant-Temperatur Water Bath

l) Flash Point Aparratus

m) Infra Red Lamp

n) Stereo and Optical Microscope

o) Refractometer Abbe

p) Conductometer

q) Rotary Evaporator

r) Dan lain-lain
16

BAB 3

PELAKSANAAN PKL

3.1 Jadwal Kegiatan PKL

Penulis melakukan PKL di BPIB dari tanggal 15 April 2008 s/d Juni

2008 dari pukul 07.30 sampai dengan 17.00

3.2 Tinjauan Pustaka

3.2.1 Gula Kristal Mentah (Raw Sugar)

a.1 Perkembangan Produksi Gula di Indonesia

Gula merupakan komoditas strategis mengingat keberadaannya

sebagai salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat.

Gula sebagai pemanis yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan dalam

kegiatan industri makanan dan minuman adalah gula murni atau refinery

sugar karena dapat menghasilkan produk yang bermutu baik.

Produksi gula di Indonesia sebagian besar (90%) berupa gula putih

(plantation white sugar) Superieure Hoofd Suiker (SHS). Produksi gula

tersebut dihasilkan langsung dari tebu dengan proses karbonitasi atau

sulfitasi. Jenis gula semacam ini biasanya digunakan untuk konsumsi

langsung namun kurang memenuhi syarat untuk keperluan industri

makanan-minuman. Berkembangnya industri makanan-minuman di

Indonesia akhir-akhir ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan gula

yang bermutu tinggi (rafinasi) yang memenuhi syarat untuk keperluan


17

industri, di mana salah satu bahan bakunya adalah raw sugar (gula kristal

mentah) baik yang diproduksi sendiri maupun berasal dari impor.

Berdasarkan proses yang lazim dan telah ditetapkan dalam Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula Pasal 1 maka di

dalam negeri dikategorikan tiga macam produk gula, yaitu:

1) Raw sugar (gula kristal mentah/GKM), diproduksi langsung dari tebu

dengan proses defikasi,

2) Refined sugar (gula kristal rafinasi/GKR), diproduksi dari kilang

refinery menggunakan bahan baku GKM, dan

3) Plantation white sugar (gula kristal putih/GKP), berasal dari bit dan

tebu dengan proses karbonitasi atau sulfitasi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas untuk perlindungan

konsumen dan mengamankan produk gula dalam negeri perlu dilakukan

standarisasi mutu gula. Pada tahun 2000 telah dilakukan perubahan

standar mutu gula yang lama menjadi SNI Gula 2001 yang meliputi GKM,

GKR, dan GKP. Walaupun SNI tersebut masih bersifat sukarela tetapi

hendaknya dapat menjadi acuan industri gula (dalam negeri) dalam

memproduksi gula. Pada waktunya nanti terutama kalau ada tuntutan dari

konsumen, secara bertahap SNI gula yang bersifat sukarela akan diubah

menjadi SNI wajib. Konsekuensinya apabila mutu produk tidak memenuhi

syarat minimal GKP maka produk tersebut tidak boleh beredar untuk

dikonsumsi langsung.
18

Sejak 5 Januari 2002 diberlakukan penerapan SNI 01-3140.1-2001

GKM secara wajib, selain berisi kriteria mutu GKM juga dinyatakan bahwa

GKM sebagai bahan mentah yang harus diolah lebih lanjut dan tidak

dapat dikonsumsi langsung oleh manusia. Penerapan wajib berlaku untuk

gula impor maupun produk dalam negeri, sehingga harus diwaspadai

karena pada kenyataannya di lapangan masih banyak produk pabrik gula

dalam negeri yang mutunya sulit dibedakan dengan GKM impor. Berkaitan

dengan hal itu, untuk membantu aparat pengawas peredaran GKM

diperlukan Laboratorium Penguji Mutu (LPM) yang kompeten.

a.2 Kriteria Mutu Gula

a.2.1 Kriteria Menurut SHS

Kriteria yang berlaku di Indonesia saat ini pada dasarnya mengacu

pada kriteria lama yang dikenal dengan SHS, yang perkembangannya

kemudian mengalami modifikasi dan terakhir SNI 2000. Secara garis

besar kriteria mutu gula yang kita ikuti meliputi kadar air, polarisasi, zat tak

larut, warna larutan, warna kristal, kadar SO2, dan besar jenis butir.

a.2.2 Kriteria Mutu Gula Pasir Pada Masa Bulog

Ada dua macam kualitas SHS adalah SHS I yang lebih putih

dengan nilai remisi di atas 60, dan SHS II yang kurang putih dengan nilai

remisi 58-60. Sejak diberlakukannya sistem premi penalti oleh Bulog


19

tahun 1982, gula SHS I diklasifikasikan menjadi SHS IA, IB, IC, dan

standar. Pemberlakuan sistem premi mutu ini pada kenyataannya dapat

meningkatkan kualitas gula, yang sebelumnya kualitas gula sangat

memprihatinkan.

a.2.3 Standarisasi Mutu Gula Nasional SNI 2000

Sejak adanya perubahan tata niaga gula tahun 1998 sebagai

dampak era perdagangan bebas, penjualan gula petani/pabrik gula tidak

lagi melalui Bulog tetapi langsung dipasarkan sendiri oleh petani/pabrik

gula, praktis kriteria SHS tidak digunakan lagi. Sementara itu dipasaran

beredar gula impor baik GKM maupun GKR dengan standar mutu yang

tidak jelas. Oleh karena itu, atas dasar alasan untuk melindungi konsumen

dan menjaga mutu produk gula nasional perlu dibuat standar mutu gula

nasional yang lebih komprehensip (SNI). Deperindag bekerja sama

dengan P3GI pada awal tahun 2000 memprakarsai penyusunan draft gula

yang kemudian diajukan pada rapat konsesus nasional di Jakarta. Ada

tiga macam SNI gula yaitu GKP (tiga grade), GKR (dua grade), dan GKM

(satu grade).

a.2.4 Persyaratan Mutu Gula Kristal Mentah

Ada 4 kriteria uji untuk gula kristal mentah (GKM) yang diperlukan

oleh pabrik rafinasi. Pada saatnya penyusunan SNI tersebut sudah ada

indikasi beredarnya GKM impor di pasar diperdagangkan untuk konsumsi


20

langsung. Salah satu instrument untuk menangkal perdagangan GKM

adalah dengan pemberlakuan SNI wajib bagi GKM. Dalam SNI GKM

disebutkan bahwa GKM tidak boleh diperdagangkan untuk dikonsumsi

oleh manusia sebelum diolah lebih lanjut. Status wajib untuk SNI GKM

sedang dalam proses dan akan selesai dalam waktu dekat.

Pemberlakuan wajib SNI GKM saat ini dapat diibaratkan seperti

pisau bermata dua. Aturan yang telah dibuat tidak dapat diperlakukan

sepihak. Namun, harus berlaku untuk semua pihak. Industri gula dalam

negeri harus siap apabila SNI GKM berlaku wajib, sebagai konsekuensi

apabila produk pabrik gula termasuk dalam kriteria GKM maka produk

tersebut dilarang untuk beredar di pasar untuk konsumsi manusia. Harus

diakui bahwa masih banyak pabrik gula di Indonesia yang memproduksi

gula dengan mutu setara dengan GKM, oleh karena itu harus menjadi

pemikiran kita bersama.

Berdasarkan SNI 01-3140.1-2001, definisi GKM adalah gula

setengah jadi, gula kristal sukrosa yang dibuat dari tebu melalui proses

defikasi, yang tidak dapat langsung dikonsumsi oleh manusia sebelum

proses lebih lanjut. Di Indonesia tidak ada pabrik gula dengan proses

defikasi, sehingga tidak ada gula produk berkualitas GKM. Oleh karena

GKM produk setengah jadi, maka GKM diproduksi dalam bentuk curah

untuk memudahkan peleburan sebagai bahan baku pembuatan gula

industri (gula rafinasi).


21

Persyaratan mutu gula kristal mentah (raw sugar), seperti tabel 1 di

bawah ini :

Tabel 1. Syarat Mutu Gula Kristal Mentah

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan


1. Warna larutan (ICUMSA) IU Min.600
2. Susut pengeringan %b/b Maks.0,5
3. Polarisasi (0Z, 20 0C) 0
Z Min.95
4. Abu konduktiviti %b/b Maks.0,5

3.2.2 Pengujian Warna Larutan (ICUMSA)

Pengujian ini didasarkan atas tingkat warna larutan atau yang

disebut sebagai warna ICUMSA sebagai salah satu parameter kualitas

gula kristal mentah. Pengujian kualitas warna gula ini sangat berguna

untuk menentukan harga gula, dan sangat diperlukan oleh para pengolah

gula untuk lebih lanjut diolah menjadi gula yang lebih murni (gula rafinasi).

Metode analisis pengujian ini berdasarkan metode ICUMSA (International

Commission for Uniform Methods of Sugar Analyse). Dalam penetapan

metode ini menggunakan dua alat sebagai penguji warna larutan gula

kristal mentah yaitu spektrofotometri, dan refraktometri.

Spektrofotometri

Sebuah spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur

transmitans atau absorbans suatu contoh sebagai fungsi panjang

gelombang. Spektrofotometri tersusun dari sumber spektrum tampak yang

kontinue, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau


22

blangko, dan untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan

blangko ataupun pembanding.

Instrumen yang beroperasi dalam daerah spektrum mempunyai

komponen-komponen sebagai berikut:

a) Sumber radiasi

Sebagai sumber radiasi pada spektrofotometer, haruslah memiliki

pancaran radiasi yang stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber energi

cahaya yang biasa untuk daerah tampak, ultraviolet dekat, dan inframerah

dekat adalah sebuah lampu pijar dengan kawat rambut terbuat dari

wolfram (tungsten). Lampu ini mirip dengan bola lampu pijar biasa, daerah

panjang gelombang (λ) adalah 350 – 2200 nanometer (nm).

Gambar 1. Lampu wolfram

Di bawah kira-kira 350 nm, keluaran lampu wolfram itu tidak

memadai untuk spektrofotometer dan harus digunakan sumber yang

berbeda. Paling lazim adalah lampu tabung tidak bermuatan (discas)

hidrogen (atau deuterium) 175 ke 375 atau 400 nm. Lampu hidrogen atau

lampu deuterium digunakan untuk sumber pada daerah ultraviolet (UV).


23

Gambar 2. Lampu deuterium

Kebaikan lampu wolfarm adalah energi radiasi yang dibebaskan

tidak bervariasi pada berbagai panjang gelombang. Sumber cahaya untuk

spektrofotometer inframerah, sekitar 2 ke 15 µm menggunakan pemijar

Nernst (Nernst glower).

b) Peralatan optik

Kebanyakan spektrofotometri melibatkan larutan, dan karenanya

kebanyakan wadah sampel adalah sel yang menaruh cairan ke dalam

berkas cahaya spektrofotometer. Sel itu haruslah meneruskan energi

cahaya dalam daerah spektral yang diminati, jadi sel kaca melayani

daerah tampak, sel kuarsa atau kaca silika tinggi istimewa untuk daerah

ultraviolet, dan garam dapur alam untuk inframerah. Dalam instrumen

yang kurang mahal, tabung reaksi silindris kadang-kadang digunakan

sebagai wadah sampel.

Pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau kuvet kaca

corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita

harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada
24

daerah ini. Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil

ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan

berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan. Kita harus

menggunakan kuvet yang bertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik

adalah kuarsa atau gelas hasil leburan serta seragam keseluruhannya.

Bahan lensa harus sesuai dengan daerah panjang gelombang yang

digunakan. Gunanya agar dapat melewatkan daerah panjang gelombang

yang digunakan.

• UV : fused silika, kuarsa

• Visible : gelas biasa, silika atau plastik

• IR : KBr, NaCl, IRTRAN atau kristal dari senyawa ion

Tabel 2. Peralatan optik sesuai panjang gelombang

Bahan Daerah λ (nm)


Silika 150 – 3000
Gelas 375 – 2000
Plastik 380 – 800
25

Gambar 3. Peralatan optik pada spektrofotometer

c) Detektor

Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap

cahaya pada berbagai panjang gelombang. Detektor akan mengubah

cahaya menjadi sinyal listrik yang selanjutnya akan ditampilkan oleh

penampil data dalam bentuk jarum penunjuk atau angka digital.

Jenis detektor dari berbagai spektrofotometer sebagai berikut:

Tabel 3. Jenis detektor

Jenis detektor λ range (nm) Sifat pengukuran Penggunaan


Phototube 150 – 1000 arus listrik UV
Photomultiplier 150 – 1000 arus listrik UV/Vis
Solid state 350 – 3000 berbagai macam berbagai

macam
Thermocouple 600 – 20.000 arus listrik IR
Thermistor 600 – 20.000 hambatan listrik IR

d) Pemilihan panjang gelombang

Pelbagai satuan digunakan untuk panjang gelombang, bergantung

pada daerah spektrum, untuk radiasi UV dan tampak digunakan satuan

0
a ngstrom dan nanometer dengan meluas. Sedangkan mikrometer

merupakan satuan yang lazim untuk daerah inframerah. Satu mikrometer,

µm, didefinisikan sebagai 106 m dan satu nanometer, nm, 109 m atau
26

0  0
107 cm. Satu satuan a ngstrom  A  adalah 1010 atau 108 cm. Jadi 1 nm =
 

0
10 A .

Gambar 4. Spektrum elektromagnetik

Benda bercahaya seperti matahari atau bohlam listrik

memancarkan spektrum yang lebar terdiri atas panjang gelombang.

Panjang gelombang yang dikaitkan dengan cahaya tampak itu mampu

mempengaruhi selaput pelangi mata manusia dan karenanya

menimbulkan kesan subyektif akan ketampakan (vision). Namun, banyak

radiasi yang dipancarkan oleh benda panas terletak di luar daerah di

mana mata itu peka, mengenai daerah UV dan inframerah dari spektrum

yang terletak di kiri dan kanan daerah tampak. Dalam analisis secara

spektrofotometri terdapat tiga daerah panjang gelombang elektromagnetik

yang digunakan, yaitu:

Daerah UV ;  = 200 – 380 nm

Daerah visible (tampak);  = 380 – 700 nm

Daerah inframerah (IR);  = 700 – 0,3 


27

Manusia dengan ketampakan warna yang normal, dapat

mengkorelasikan panjang gelombang cahaya yang mengenai mata

dengan indera subjektif mengenai warna, dan memang warna kadang-

kadang digunakan agar tidak repot untuk menandai porsi-porsi spektrum

tertentu, seperti dipaparkan dalam klasifikasi kasar dalam tabel 4 di bawah

ini.

Tabel 4. Spektrum Tampak dan Warna-warna Komplementer

Panjang gelombang Warna Warna

(nm) Komplementer
400 – 435 Lembayung (violet) Kuning-hijau
435 – 480 Biru Kuning
480 – 490 Hijau-biru Jingga
490 – 500 Biru-hijau Merah
500 – 560 Hijau Ungu (purple)
560 – 580 Kuning-hijau Lembayung

(violet)
580 – 595 Kuning Biru
595 – 610 Jingga Hijau-biru
610 – 750 Merah Biru-hijau

Tabel 5. Spektrum cahaya tampak (visible)

Warna Interval λ Interval ν


Red 625 to 740 nm 480 to 405 THz
Orange 590 to 625 nm 510 to 480 THz
Yellow 565 to 590 nm 530 to 510 THz
Green 520 to 565 nm 580 to 530 THz
Cyan 500 to 520 nm 600 to 580 THz
Blue 430 to 500 nm 700 to 600 THz
Violet 380 to 430 nm 790 to 700 THz
28

e) Aspek kuantitatif absorpsi

Spektra serapan dapat diperoleh dengan menggunakan sampel

dalam pelbagai bentuk gas, lapisan tipis cairan, larutan dalam pelbagai

pelarut, dan bahkan zat padat. Kebanyakan analitis melibatkan larutan,

dengan cara mengembangkan pemerian kuantitatif dari hubungan antara

konsentrasi suatu larutan dan kemampuannya menyerap radiasi.

Prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan hukum Lambert Beer,

bila cahaya monokromatik (Io) melalui suatu media (larutan), maka

sebagian cahaya tersebut diserap (Ia), sebagian dipantulkan (Ir), dan

sebagian lagi dipancarkan (It). Ilustrasi jalannya sinar pada

spektrofotometer dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Ir

Media
Ia It
Io

Gambar 5. Ilustrasi jalannya sinar spektrofotometri

Keterangan gambar:

Io  cahaya monokromatik

Ir  cahaya yang dipantulkan


29

Ia  cahaya yang diserap

It  cahaya yang dipancarkan

I o  Ia  I r  I t

Besarnya Ia oleh media tergantung pada kepekatan dan jenis media serta

panjang media yang dilalui. Biasanya panjang media sudah tetap dalam

suatu alat.

Persamaan hukum Lambert Beer adalah:

It
T 
Io

It
log   .b.c
Io

log T   .b.c

 log T   .b.c

 log T  A   .b.c

A  absorbansi

Transmitans adalah perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan

ketika melewati sampel (It) dengan intensitas cahaya mula-mula sebelum

melewati sampel (Io).  adalah absorpsifitas molar atau koefisien molar

”extinction”, nilainya dipengaruhi oleh sifat-sifat khas dari materi yang

diradiasi. Jika konsentrasi dalam satuan gram/liter maka  dapat diganti

dengan a disebut sebagai ”absorpsivitas spesifik”. Jadi, A  a.b.c .

Persyaratan hukum Lambert Beer, antara lain:


30

1. Radiasi yang digunakan harus monokromatik,

2. Energi radiasi yang diabsorpsi oleh sampel tidak menimbulkan reaksi

kimia, jadi proses yang terjadi benar-benar absorpsi,

3. Sampel (larutan) yang mengabsorpsi harus homogen,

4. Tidak terjadi fluoresensi atau phosporesensi, dan

5. Indeks refraksi tidak berpengaruh terhadap konsentrasi, jadi larutan

tidak pekat (harus encer).

Refraktometri

Refraktometer adalah alat untuk mengukur kerapatan atau densitas

media. Dalam hal larutan gula digunakan untuk mengukur brix atau zat

padat terlarut dalam larutan tersebut. Prinsip dasar pengukuran adalah

hubungan antara indeks bias dengan brix larutan. Gambaran arah sinar

pada refraktometer seperti gambar di bawah ini.

Gambar 6. Arah sinar dalam refraktometer

Bila ada sinar datang dari media yang kurang rapat (udara) ke

media yang lebih rapat (larutan gula), maka arah sinar akan dibelokkan
31

mendekati garis normal. Besarnya indeks bias merupakan perbandingan

antara sinus sudut dan sinus sudut bias.

sin I
Indeks bias    
sin r

Indeks refraksi larutan gula tergantung jumlah zat-zat yang telarut,

dan densitas suatu zat cair, meskipun demikian dapat digunakan untuk

mengukur kandungan gula. Cara ini hanya valid untuk pengukuran larutan

gula murni, karena adanya zat selain gula mempengaruhi indeks refraksi

terhadap sukrosa. Oleh sebab itu, pengukuran indeks refraksi dapat

digunakan untuk memperkirakan penentuan kandungan zat kering larutan

terutama sukrosa. Jika larutan gula mengandung zat tersuspensi dan atau

kristal gula, biasanya perlu dilakukan pemanasan. Pengukuran dengan

refraktometer, gula (sugar refractometers graduated) dinyatakan dalam %

sukrosa (g/100 g). Sebagai alternatif hasil ini dapat diperoleh dari tabel

indeks refraksi untuk larutan sukrosa (Lampiran 4 halaman 90 – 91).

Refraktometer dikalibrasi dengan angka bias atau secara langsung

dengan timbangan pemusatan gula, yaitu 0Brix, suatu parameter yang

sesuai dengan sukrosa %b/b. Dalam hal ini, instrument-instrument ini

digunakan hanya dengan solusi sukrosa. Refraktometer modern secara

elektronis terkendali dan secara teoritis membebaskan diri dari error

operator, tidak seperti instrumen yang lebih tua yang niscaya memerlukan

ketrampilan tertentu untuk penggunaan mereka. Pengukuran biasanya

pada 20 0C menggunakan Garis D sebagai sumber cahaya. Angka bias

dipengaruhi oleh perubahan suhu dan panjang gelombang dari sumber


32

terang. Instrumen seperti itu hanyalah teliti dengan solusi sukrosa murni,

meski mereka adalah juga secara luas digunakan untuk makanan yang

mengandung gula-gula lain seperti sirop-sirop glukosa atau gula inversi.

3.2.3 Penentuan Derajat Polarisasi Gula Kristal Mentah

Dalam bahan yang kemurniannya tinggi seperti gula polarisasi (pol)

dapat dianggap sebagai kadar sukrosa, meskipun dalam gula mungkin

masih terdapat gula reduksi yang juga memutar bidang polarisasi. Namun

dalam bahan yang kemurniannya rendah seperti tetes, pol tidak dapat

dikatakan sebagai kadar sukrosa karena pol merupakan resultan sukrosa

dan gula reduksi. Pengukuran kadar pol dilakukan dengan alat ukur

polarimeter.

Polarimeter adalah alat yang didesain untuk mempolarisasikan

cahaya dan kemudian mengukur sudut rotasi bidang polarisasi cahaya

oleh suatu senyawa aktif optis yang prinsip kerjanya berdasarkan pada

pemutaran bidang polarisasi. Besarnya perputaran itu bergantung pada:

1) Struktur molekul,

2) Temperatur,

3) Panjang gelombang,

4) Konsentrasi,

5) Panjangnya pipa polarimeter,

6) Banyaknya molekul pada jalan cahaya, dan

7) Pelarut.
33

Pemutaran dapat berupa dextrorotary (+) bila arahnya berlawanan

dengan jarum jam ataupun laevo-rotary (-) bila arahnya berlawanan

dengan jarum jam.

Sudut putar jenis (specific rotation) adalah besarnya perputaran

oleh 1,00 gram zat dalam 1,00 ml larutan yang berada dalam tabung

dengan panjang jalan (cahaya) 1,00 dm (decimeter), pada temperatur dan

panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang yang lazim digunakan

ialah 589,3 nm (garis D natrium) di mana 1 nm = 10-9 m. Sudut putar jenis

untuk suatu senyawa (misalnya pada suhu 20 0C) dapat dihitung dari

sudut putar yang diamati, dengan menggunakan rumus:


D
20

lc

dengan    D = sudut putar jenis garis D natrium pada 20 0 C


20

 = sudut putar teramati pada 20 0 C


l = panjang tabung dalam dm (1,0 dm = 10 cm)
c = konsentrasi larutan contoh dalam g/mL.

Atau
34

   20 / D  C  L
sudut putar =  
100
dengan    20 / D = rotasi jenis, D line pada suhu 20 0C
C = konsentrasi dalam g/100 ml
L = panjang kolom larutan (dm)
Rotasi jenis sukrosa = 66,536 0cm 3 g 1dm 1

Tabel 6. Rotasi spesifik

Senyawa   D
20

d-Glukosa + 52,7
d-Fruktosa - 92,4
Maltosa + 130,4
Sukrosa + 66,5
Asam tartarat + 14,1

Pemakaian polarimeter

Di industri gula Indonesia, polarimeter dipergunakan ada yang

manual dan ada yang digital. Yang manual menggunakan pengukuran

sudut putar International Sugar Scale (0S), sedangkan yang digital

umumnya sudah menunjukkan 0S atau 0Z.

French Sugar Scale: Dari hasil sidang di Paris tahun 1896

(Congres International de Chimie Appliquee) menetapkan beral normal

berdasarkan sudut putar dari pelat kuarsa dengan ketebalan 1 mm, diukur

dengan sinar natrium akan diperoleh angka 100 0 (21,6670). Dari hasil

penelitian diperoleh berat normal yaitu 16,19 g.


35

Ventzke Scale: Ventzke mengemukakan bahwa 1000 akan

diperoleh dengan melarutkan sukrosa 26,048 g (Bj 1,1) dalam 100 ml,

pada suhu 17,5 0C dan panjang tabung 200 mm.

International Sugar Scale: Suhu yang dipergunakan oleh Ventzke

17,5 0C ternyata kurang sesuai, hal ini disebabkan suhu tersebut terlalu

rendah di bawah suhu rata-rata laboratorium. Akhirnya ICUMSA pada

sidang di Paris tahun 1900 menetapkan suhu standar 20 0C. Dilakukan

koreksi terhadap sudut putar (-0,000184), pemuaian tabung gelas

(+0,000008), kuarsa (-0,000130), dan metal (-0,000018), setelah dihitung

diperoleh berat sukrosa yang ditimbang 26,0000 g.

Pada tahun 1932, ICUMSA menetapkan berat normal yaitu 26,0000

g sukrosa dilarutkan dalam 100 ml air diukur pada tabung 2 dm, pada

suhu 20 0C akan diperoleh angka 100 0S.

Pada tahun 2000, ICUMSA menetapkan berat normal yaitu larutan

gula yang mengandung 26,0160 g sukrosa (dalam ruang hampa atau

26,0000 g dalam udara terbuka) setiap 100 ml larutan pada suhu 20 0C.

Larutan ini jika diukur di polarimeter panjang gelombang 546,2271 nm

pada tabung 2 dm menunjukkan skala 100 0Z.

Dari definisi berat normal ini menurut hukum BIOT’s dapat dihitung

sudut putar dari larutan normal adalah:

   20 / D  C  L
 
100
66,535  26  2
=
100
= 34,6200
36

Larutan gula normal = 100 0S = 34,6170  0,002

 0

pada panjang gelombang    5892,5 A ,
 


suhu 20 0C 1 0
 2,8885 0S 

3.2.4 Penentuan Susut Pengeringan Gula Kristal Mentah

Air dalam gula terdapat dalam tiga bentuk, yaitu air bebas yang

terdapat pada lapisan gula, air yang terikat pada permukaan lapisan gula,

dan air yang membentuk ikatan dengan struktur kristal. Jadi, pada

pemanasan 105 0C hanya mengukur kadar air bebas yang terdapat pada

lapisan gula, oleh karena itu kadar air ini sama dengan susut pengeringan.

Kadar air dalam suatu bahan terutama bahan makanan perlu ditetapkan,

karena makin tinggi kadar air yang terdapat dalam suatu makanan, makin

besar kemungkinan bahan tersebut cepat rusak atau tidak tahan lama,

atau dengan kata lain penetapan kadar air dilakukan oleh mengetahui

kondisi makanan yang dibandingkan dengan kondisi standar. Contohnya

pada gula yang mengandung kadar air tinggi cepat mengalami penurunan

kualitas/mutu selama dalam penyimpanan, yaitu perubahan warna lebih

cepat, kerusakan karena mikroorganisme dan daya simpan yang rendah.

Ada beberapa cara dalam penetapan kadar air, antara lain:

Metode gravimetri penguapan secara langsung

Penetapan ini relatif sederhana adalah contoh yang telah ditimbang

atau diketahui bobotnya yang dipanaskan dalam oven sampai tercapai


37

bobot tetap. Selisih bobot yang diperoleh adalah air yang menguap.

Contoh ditimbang dalam wadah timbang yang tidak bereaksi dengan

contoh. Ke dalam dasar wadah timbang sering ditambahkan pasir, batu

apung, kertas saring berlipat atau asbes untuk mempercepat pengeringan.

Kalau contoh berupa padatan biasanya dihaluskan lebih dahulu

(ditumbuk, digerus, atau diiris-iris) setelah itu dimasukkan ke dalam oven

yang bersuhu 105 0C atau sedikit di atas titik didih air, pendinginan

dilakukan dalam eksikator.

Tidak semua contoh dapat ditetapkan kadar airnya dengan cara ini

karena ada zat-zat tertentu yang ikut menguap atau rusak pada suhu

tersebut, sehingga harus dilakukan dengan cara yang lain. Untuk contoh

yang mudah terurai, penguapan dilakukan pada suhu < 70 0C dengan

bantuan vakum.

Perhitungan:

kehilangan bobot
Kadar air   100%
bobot contoh

3.2.5 Penetapan Kadar Abu Konduktiviti Gula Kristal Mentah

Pengertian secara umum penetapan kadar abu

Secara umum, abu adalah unsur-unsur mineral atau sisa yang

tertinggal setelah dibakar sampai bebas karbon. Dalam pengabuan,

unsur-unsur ini membentuk oksida-oksida atau bergabung dengan radikal-

radikal negatif seperti fosfat, sulfat, nitrat, atau klorida. Dalam pengabuan
38

ini, untuk zat yang mengandung air mula-mula diuapkan dulu setelah

cukup kering baru diabukan sampai berwarna putih atau abu-abu yang

bebas karbon. Apabila abu yang terbentuk dari hasil pemijaran masih

hitam saja, biasanya merupakan indikasi bahwa contoh yang dianalisis

mengandung NaCl yang tinggi, maka karbon harus dihilangkan dengan

cara menambahkan beberapa ml air hangat ke dalam cawan yang telah

dingin, sehingga NaCl larut kemudian disaring. Residu dipijarkan lagi

sampai putih atau abu-abu. Setelah didinginkan saringan dicampur ke

dalamnya, diuapkan sampai kering dan dipanaskan dengan hati-hati,

dipijarkan, didinginkan, dan ditimbang sampai bobot tetap.

Dari penetapan kadar abu ini dapat ditetapkan:

1. Kadar unsur mineralnya, seperti NaCl, Fe, Mg, dan sebagainya.

2. Kebasaan.

3. Kotoran-kotoran zat organik, seperti pasir atau silikat-silikat.

Analisis abu konduktiviti gula kristal mentah

Abu secara harfiah diartikan sebagai sisa hasil pembakaran,

sehingga kadar abu dalam gula secara tepat ditentukan dengan metode

gravimetri sebagai abu sulfat. Cara ini memakan waktu yang cukup lama

(sekitar 24 jam), menggunakan beberapa bahan kimia (H2SO4 dan HNO3)

serta memerlukan panas pembakaran dengan muffle furnace (500-650


0
C). Kadar abu dapat juga ditentukan dengan metode konduktometris,

baik yang berbasis pengukuran Siemens (S), ohm (), maupun %, yaitu
39

dengan cara mengukur daya hantar larutan elektrolit pembentuk abu

(garam, asam, dan basa).

Penyebab utama dari kadar abu tersebut adalah impuritis bawaan

dari tebu. Pembentuk abu gula adalah bahan anorganik seperti K+1, Na+1,

Ca+2, Mg+2, SO4-2, SO3-2, dan Cl-1.

Daya hantar (konduktiviti) suatu larutan dapa diukur dengan

menggunakan sebuah konduktometer. Alat ini digunakan untuk mengukur

derajat ionisasi suatu larutan elektrolit dalam air dengan cara menetapkan

hambatan suatu kolom cairan. Seperti telah disebutkan sebelumnya gula

mengandung bahan anorganik dalam bentuk garam. Jika gula dilarutkan

dalam air, maka garam tersebut menjadi suatu elektrolit, dan dengan

konduktometer larutan gula tersebut terespon mempunyai daya hantar

listrik (konduktiviti).

Sekilas teori konduktometri

Larutan ada dua jenis yaitu larutan elektrolit dan nonelektrolit.

Larutan elektrolit sering kali diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya

dalam menghantarkan arus listrik digolongkan ke dalam elektrolit kuat,

dan elektrolit lemah. Elektrolit kuat adalah suatu senyawa bila dilarutkan

dalam pelarut (misalnya air) akan menghasilkan larutan yang dapat

menghantarkan arus listrik dengan baik. Sedangkan, elektrolit lemah

adalah elektrolit yang sifat penghantaran listriknya buruk. Suatu elektrolit

dapat berupa asam, basa, dan garam.


40

Aliran listrik dalam suatu elektrolit akan memenuhi hukum Ohm,

yang menyatakan bahwa: besarnya arus listrik (I ampere) yang mengalir

melalui larutan sama dengan perbedaan potensial (V volt) dibagi dengan

tahanan (R ohm). Secara matematika hukum Ohm akan dapat ditulis

sebagai:

V
I 
R

Pengukuran dasar yang digunakan untuk mempelajari gerakan ion

adalah pengukuran tahanan listrik larutan. Konduktansi (G) larutan

merupakan kebalikan dari tahanan R: makin rendah tahanan larutan,

makin besar konduktansinya. Karena tahanan dinyatakan dalam ohm, Ω,

maka konduktansi sampel dinyatakan dalam Ω-1. Kebalikan ohm biasanya

disebut mho, tetapi sekarang satuan resminya adalah Siemens, S, dan 1

S = 1 Ω-1. Tahanan sampel bertambah dengan pertambahan panjang l dan

berkurang dengan pertambahan luas penampang lintang A.

l
R   
A

Dengan R = tahanan, ohm

ρ = tahanan spesifik atau resistivitas, ohm cm (satuan SI:

ohm m)

l = panjang, cm (SI: m)
41

A = luas penampang lintang, cm2 (SI: m2)

Konstanta perbandingan ρ disebut resistivitas sampel.

Konduktivitas K merupakan kebalikan resistivitas, sehingga:

1 l l
R   atau K =
K A RA

Dengan tahanan dalam Ω dan dimensi dalam m, maka satuan K

adalah Sm-1 (kadang-kadang lebih mudah Scm-1).

Besarnya daya hantar bergantung pada beberapa faktor, antara

lain:

Jumlah partikel-partikel bermuatan dalam larutan {(+)&(-)}

Jenis ion yang ada

Mobilitas ion

Media/pelarutnya

Suhu

Gaya tarik menarik ion (+) dan (-)

Jarak elektroda
42

3.3 Percobaan

3.3.1 Pengujian Warna Larutan (ICUMSA)

a.1 Acuan

1) ICUMSA methodes book GS1-7 (1994)

2) SNI 01-3140.1-2001

a.2 Ruang lingkup

Metode ini digunakan untuk menetapkan syarat mutu dan cara uji

warna larutan gula kristal mentah (raw sugar).

a.3 Aplikasi

Metode ini dapat digunakan untuk GKM, GKP, dan GKR dengan

melarutkannya terlebih dahulu kemudian disaring. Metode ini dirancang

untuk warna larutan gula antara 500-7000 ICUMSA Unit, atau terlebih

dahulu dengan mengatur konsentrasi larutan.

a.4 Definisi

Brix (derajat brix, 0bx)

Satuan yang biasa digunakan dalam industri gula, yang

menyatakan persen berat/berat (b/b) zat padat terlarut larutan gula. Indeks

absorbsi larutan atau indeks ekstingsi ( as ):


43

As
as 
bc

As = absorbsi

b = panjang sel (cm)

c = konsentrasi larutan (g/mL)

a.5 Prinsip

Gula mentah dilarutkan dalam air, kemudian larutan dikondisikan

pada pH 7,0. Larutan disaring dengan filter membran untuk

menghilangkan kekeruhan. Absorbansi larutan hasil saringan diukur pada

panjang gelombang 420 nm dan dihitung warna larutan tersebut.

a.6 Pereaksi/bahan kimia

1) Larutan HCl 0,1 mol/L

2) Larutan NaOH 0,1 mol/L

3) Filter aid, misalnya filter cel (celite corp)

a.7 Peralatan

1) Spektrofotometer atau kolorimeter pada panjang gelombang 420

nm.

2) Tabung optical cell (kuvet) tebal (1,0±0,001)cm, (2,0±0,001)cm,

atau (5,0±0,001)cm.
44

3) Membran filter 0,45 µ dan diameter 50 mm.

4) Membran filter holder.

5) pH meter.

6) Magnetic stirrer

7) Refraktometer.

8) Vakum oven (vacuum decatot atau penangas ultrasonic)

9) Timbangan analitik

a.8 Prosedur

1) Persiapan contoh

Campur contoh gula dengan air ke dalam Erlenmeyer 250 mL

pada suhu kamar

Tabel 7. Jumlah gula dan air serta panjang sel untuk pengukuran warna

Warna ICUMSA Jumlah gula (g) Jumlah air (g) Panjang sel (b)

cm
100 – 200 50 ± 0,1 50 ± 0,1 5
200 – 500 50 ± 0,1 50 ± 0,1 2
500 – 2000 30 ± 0,1 70 ± 0,1 1
2000 – 7000 10 ± 0,1 90 ± 0,1 1
7000 – 13000 5 ± 0,1 95 ± 0,1 1

Saring larutan contoh dengan vakum membran filter 0,45 µ

diameter 50 mm dalam Erlenmeyer yang sudah bersih dan

kering. Jika larutan sulit tersaring gunakan filter aid (1% dari

berat gula), singkirkan filtrat bagian awal jika warna keruh.


45

Bersihkan dan keringkan elektroda pH meter dan celupkan pada

larutan gula, kondisikan pada pH 7,0 dengan penambahan HCl

0,1 mol/L atau NaOH 0,1 mol/L dengan menambahkan tetes

demi tetes, aduk dengan magnetic stirrer sampai pH yang

diinginkan.

Lakukan deaerasi larutan selama 1 jam pada suhu kamar dalam

oven vakum atau dengan desikator, alternatif lain deaerasi

dengan cara masukkan Erlenmeyer yang berisi larutan tersebut

ke dalam penangas ultrasonic selama 3 menit.

Ukur nilai indeks bias (η) dengan alat refraktometer

menggunakan cara kerja RDS, yaitu:

a. Persiapan contoh

Zat larut yang bukan gula dan adanya warna gelap

dalam larutan gula cenderung mengurangi ketajaman

dari pada garis pembatas pada refraktometer.

Jika di dalamnya terdapat suspensi gula kristal, maka

panaskan larutan gula sampai suhu 60 oC , aduk sampai

kristal larut. Dalam keadaan ini penguapan air harus

dapat dicegah dengan menempatkan larutan gula dalam

botol tertutup.

Setelah gula larut, dinginkan secepatnya sampai suhu

yang diperlukan sebelum pembacaan refraktometer.

b. Pembacaan refraktometer
46

Masukkan peralatan yang telah dipersiapkan dan diteliti

menurut buku panduan alat dan bersihkan permukaan

prisma lalu keringkan.


o
Alirkan air pengontrol 20 C melalui mantel prisma

supaya terjadi kesetimbangan (± 5 menit ) dalam

keadaan prisma tertutup.

Pindahkan satu tetes aquadest ke prisma untuk

menentukan titik nol atau digunakan sebagai koreksi;

Pindahkan sedikit larutan gula ke gelas piala dan atur

suhu larutan gula antara 18 –28 oC.

Buka prisma dan teteskan larutan gula ke prisma dengan

batang pengaduk. Sebarkan larutan gula ke permukaan

prisma dengan cepat menggunakan batang pengaduk

tanpa menyentuh permukaan prismanya, hindarkan

terbentuknya gelembung kemudian tutup prisma dengan

cepat.

Baca refraktometer sesuai dengan petunjuk panduan alat.

Gunakan beberapa skala koreksi untuk mendapatkan

pembacaan terkoreksi.

Apabila dikerjakan pada suhu selain 20 oC, maka harus

dikoreksi dengan tabel koreksi suhu (lampiran 3, tabel 15

halaman 89).
47

2) Pengukuran nilai absorbansi

Hidupkan spektrofotometer, biarkan ± 10 menit. Atur panjang

gelombang pada 420 nm.

Siapkan larutan blanko untuk menentukan titik nol warna

menggunakan aquadest yang telah mengalami penyaringan dan

deaerasi.

Masukkan larutan contoh ke dalam kuvet yang tebalnya 1 cm

(b) yang sebelumnya telah dibilas dengan larutan contoh dan

tentukan absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang

gelombang 420 nm.

a.9 Pernyataan hasil

Perhitungan

Tentukan densitas (ρ) larutan sampel menggunakan tabel hubungan

antara % RDS dengan densitas pada lampiran 5 tabel 19 halaman 95)

Hitung warna ICUMSA

108  As
Warna (ICUMSA) = IU
b  RDSterkoreksi  

Keterangan:

  densitas larutan kg
m3
48

RDS terkoreksi  Refraktometry Dry Substance


(refraktometri bahan kering) terkoreksi
b  tebal kuvet

A s  absorbansi

3.3.2 Penentuan Derajat Polarisasi Gula Kristal Mentah

a.1 Acuan

1) SNI 01-3140.1-2001

2) ICUMSA Methods Book GS1/2/3-1 (1994)

a.2 Ruang lingkup

Metode ini mengukur putaran optik dari larutan gula putih

dibandingkan dengan putaran optik dari larutan gula murni.

a.3 Aplikasi

Metode ini dipergunakan untuk semua gula mentah, gula-gula

putih, dan gula-gula khusus/gula kristal dengan menggunakan aluminium

sulfat dan NaOH sebagai bahan penjernih.

a.4 Prinsip

Metode ini adalah analisis fisika yang terdiri dari 3 tahap:

1) Persiapan larutan normal dari sampel sebanyak 100 mL.

2) Pengukuran berat larutan untuk menghitung koreksi volume.


49

3) Pengukuran putaran optik sampel.

a.5 Pereaksi/bahan kimia

Bahan penjernih yang terdiri atas:

1) Aluminium sulfat 0,9 M, timbang 30,76 gram aluminium sulfat,

larutkan dengan air suling, masukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan

tepatkan isinya.

2) Natrium hidroksida 4,4 M, ditimbang 17,6 gram NaOH, larutkan

dengan air suling, masukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan tepatkan

isinya.

a.6 Peralatan

1) Polarimeter

Polarimeter dengan Internasional Sugar Scale dalam ”Z” dengan

ketelitian ± 0,01 0Z.

2) Labu ukur 100 mL

Labu ukur yang digunakan termasuk dalam kelas A sesuai dengan

spesifikasi dari ISO (International Organization for Standardization)

dengan penyimpangan tidak lebih dari 0,1 mL.

3) Tabung polarimeter

Digunakan tabung polarimeter 200 mm sesuai dengan ICUMSA

kelas A, toleransi yang diizinkan 0,01%.

4) Timbangan analitik
50

a.7 Prosedur

1) Pengukuran polarimeter larutan gula

Timbang (26,0000 ± 0,001) g sampel yang telah dikeringkan

selama 1 jam pada suhu 105 0C pindahkan ke dalam labu ukur

yang kering, tambahkan aquadest bersuhu 20 0C sebanyak 60

mL dan larutkan, dan tambahkan penjernih masing-masing ± 1

mL.

Letakkan dalam penangas air yang bersuhu 20 0C, keringkan

bagian atas dari labu dengan kertas saring, diamkan selama 30

menit agar tercapai kesetimbangan suhu, kemudian tepatkan

100 mL dengan aquadest bersuhu 20 0C.

Saring dengan kertas saring Whatman 91 atau yang sepadan,

filtrat ditampung dalam gelas penampung filtrat. Setelah itu,

letakkan dalam penangas air, diamkan selama 30 menit agar

tercapai kesetimbangan suhu.

Isi tabung polarimeter dengan filtrat. Letakkan tabung pada sel

kompartemen dan catat pembacaan polarisasinya.

a.8 Pernyataan hasil

Perhitungan

Kadar sukrosa contoh (polarisasi) pada suhu 20 0C adalah P20:


51

P20  S     2,8885
0

P20  Z     2,8885  0,99971


0

Keterangan :

α = pembacaan polarimeter larutan contoh

1o = 2.8885 oS

1 oS = 0.99971 oZ

3.3.3 Penentuan Susut Pengeringan Gula Kristal Mentah

a.1 Acuan

1) SNI 01-3140.1-2001

2) ICUMSA Methods Book No. GS2/1/3-15 (1994)

a.2 Ruang lingkup

Metode ini digunakan dalam penentuan kadar air GKM, GKR, dan

GKP yang mengandung air tidak lebih dari 0,5% (air bebas yang terdapat

pada lapisan gula).

a.3 Prinsip

Pengurangan bobot setelah dikeringkan pada suhu 105 0C selama

3 jam pada tekanan atmosfir ruangan dengan pendinginan setelah

pemanasan. Air dalam gula terdapat dalam tiga bentuk:

1) Air bebas yang terdapat pada lapisan gula,


52

2) Air yang terikat pada permukaan lapisan gula, dan

3) Air yang membentuk ikatan dengan struktur kristal.

Jadi, pada pemanasan 105 0C hanya mengukur kadar air bebas

yang terdapat pada lapisan gula, oleh karena itu kadar air ini sama

dengan susut pengeringan.

a.4 Peralatan

1) Pengering oven 105 0C,

2) Timbangan analitik,

3) Botol timbang, dan

4) Eksikator yang bagian bawahnya terdapat pengering silika gel.

a.5 Prosedur

1) Timbang 20 gram sampai 30 gram contoh dalam botol timbang

yang telah diketahui bobotnya,

2) Masukkan ke dalam pengering oven pada suhu 105 0C selama 3

jam, dan

3) Dinginkan dalam eksikator dengan pengering silika gel dan

timbang.

a.6 Pernyataan hasil

Perhitungan
53

W1  W2
Susut Pengeringan   100%
W3

Keterangan:

W1 = bobot botol timbang dan contoh.

W2 = bobot botol timbang dan contoh setelah pengeringan selama 3

jam.

W3 = bobot contoh.

3.3.4 Penetapan Kadar Abu Konduktiviti Gula Kristal Mentah

a.1 Acuan

1) SNI 01-3140.1-2001

2) ICUMSA Methods Book No. GS1/3/4/7/8-13 (1994)

a.2 Ruang lingkup

Abu konduktiviti sampai 500 µS/cm atau pada konsentrasi bahan

sampai 5 g/100 mL H2O yang menunjukkan konsentrasi garam terlarut

dalam bentuk ion.

a.3 Aplikasi

Metoda ini dapat digunakan untuk mengukur kadar abu gula

mentah, gula merah, sari buah(nira), sirup, dan tetes tebu.


54

a.4 Definisi

Kadar abu yang ditentukan dengan cara konduktometri disebut

“abu konduktiviti” yang tidak dapat dibandingkan langsung dengan

penentuan kadar abu menggunakan cara gravimetrik yang ditentukan oleh

pengabuan dan penimbangan abu. Abu konduktiviti mempunyai makna

individu sendiri. Faktor-faktor untuk mengubah konduktiviti menjadi abu

adalah bilangan abu konduktiviti yang bersesuaian untuk menilai abu

sulfat. Koefisien ini adalah konvensional dan tidak bisa secara eksperimen

dibuktikan.

a.5 Prinsip

Pengukuran konduktivitas adalah mendapatkan nilai konsentrasi

garam yang terlarut (%) dalam contoh setelah terkonduktiviti sampai pada

500 µS/cm pada konsentrasi 5 g/100 mL. Konduktivitas spesifik dari

larutan gula pada konsentrasi 5 g/100 mL atau kurang tanpa dengan

penambahan gula dapat ditetapkan. Nilai abu (ash equivalent) dihitung

dengan menggunakan faktor koreksi.

a.6 Pereaksi/bahan kimia

1) Aquades

2) KCl 0,0025 mol/L

Timbang 0,01864 gram KCl lalu masukkan ke dalam labu ukur 100

ml. Larutkan dan encerkan dengan aquades himpitkan hingga


55

tanda batas. Larutan ini mempunyai konduktivitas 328 µS/cm pada


0
suhu 20 C (setelah dikurangi konduktiviti pelarut). Jika

penimbangan KCl tidak tepat 0,01864 g, maka nilai konduktiviti


0
larutan pada suhu 20 C dikoreksi dengan menggunakan

328 S / cm  m
persamaan C ,dengan C = konduktiviti KCl pada
0,01864

suhu 20 0C (setelah dikurangi konduktiviti pelarut), dan m = berat

penimbangan KCl.

a.7 Peralatan

1) Konduktometer (dengan data hasil pembacaan µS/cm atau ohm),

2) Labu ukur terkalibrasi 100 mL, dan

3) Timbangan analitik.

a.8 Prosedur

1) Siapkan larutan sampel dengan melarutkan 5 gram contoh ke dalam

air dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL kondisikan pada suhu 20
0
C kemudian himpitkan hingga tanda batas.

2) Tuangkan larutan sampel ke dalam gelas kimia yang bersih dan

kering.

3) Pengukuran dilakukan dengan menggunakan konduktometer yang

telah dikalibrasi.
56

4) Celupkan elektroda ke dalam larutan sampel, diamkan beberapa saat

hingga diperoleh pembacaan yang stabil.

5) Catat suhu (T) dan konduktiviti (C1) larutan sampel. Jika pembacaan

C1 lebih dari 500 µS/cm, maka berat sampel dikurangi, misalnya untuk

tetes ditimbang 0,25 g/100 mL.

6) Dengan cara yang sama, lakukan pengukuran terhadap pelarut yang

digunakan

7) Catat suhu (T) dan konduktiviti (C2) pelarut

a.9 Pernyataan hasil

Perhitungan

Jika C1 adalah hasil pengukuran konduktivitas dalam µS/cm pada suhu 20


0
C.

C2 adalah konduktivitas spesifik aquades pada suhu 20 0C, sehingga

konduktivitas (C), adalah:

C  C1  C2

Kadar Abu Konduktiviti   16, 2  0, 36 D   104  C  f %b/b

Keterangan:

D adalah konsentrasi bahan kering larutan yang ditetapkan dalam g/100

mL.

S adalah bobot contoh dalam 100 mL.

f adalah faktor pada larutan dalam perbandingan 5 g/100 mL; misal f = 5/S
57

Koreksi suhu

Bila penelitian hasil dilakukan pada suhu  20  5 0C , buatlah

koreksi suhu pada akhir pengujian:

CT
C20 
1  0, 023  T  20 

Keterangan:

CT adalah abu konduktivitas pada suhu T 0C.

C20 adalah kadar abu konduktiviti pada suhu 20 0C.

CATATAN: Konduktivitas larutan standar KCl 0,0025 mol/L ditentukan

pada suhu 20 ± 5 0C, maka konduktivitas KCl standar ditentukan dengan

rumus:

Konduktivitas KCl 0,0025 mol/L pada suhu T 0 C


 328  1  0, 023  T  20   S/cm

3.4 Hasil dan Pembahasan

Data pengamatan pada sampel

Uji organoleptik

a. Jenis sampel : Gula Kristal Mentah (Raw Sugar)

b. Warna : Coklat

c. Rasa : Manis

d. Bau : Harum
58

e. Bentuk : Serbuk kristal

3.4.1 Pengujian Warna Larutan Gula Kristal Mentah (ICUMSA)

Data pengamatan abbe refractometre

Tabel 8. Data pengamatan pada indeks bias rata-rata

Pengukuran η1 η2 η3 η Rata-rata
Zat pengkoreksi 1,3347 1,3348 1,3348 1,33476
Sampelsimplo 1,3417 1,3417 1,3418 1,34173
Sampelduplo 1,3419 1,3419 1,3419 1,3419

Tabel 9. Data pengamatan pada bobot awal

Sampelsimpl Aquades Sampelduplo Aquades

o 1 2

Bobot (g) 5,0003 94,9997 5,0006 94,9994

Data pengamatan spektrofotometer UV/Vis

Tebal kuvet, cm (b) : 1

Tabel 10. Data pengamatan absorbansi pada sampel


Pengukuran As1 As2 As3 Asrata  rata
Sampelsimplo 0,7230 0,7229 0,7230 0,72297
Sampelduplo 0,8091 0,8091 0,8090 0,80907

Perhitungan

1. Mencari indeks bias sampel (η)

Dari tabel hubungan antara suhu dengan indeks bias (lampiran 3, tabel

15, halaman 89).


59

Faktor koreksi   fk   GKM1

 aq (20 0C) tabel = 1,33299


Fk  = air literatur  air alat
= 1,33299  1,33476
= -0,00177

sampel terkoreksi = sampel  fk 


= 1,34173   -0,00177 
= 1,33996

Faktor koreksi   fk   GKM2

 aq (20 0C) tabel = 1,33299

Fk  = air literatur  air alat


= 1,33299  1,33476
= -0,00177

sampel terkoreksi = sampel  fk 


= 1,3419 + (-0,00177)
= 1,34013

2. Mencari % RDS terkoreksi

Dari tabel hubungan antara indeks bias dengan fraksi massa sukrosa

(lampiran 4, halaman 90 – 91). Dan pada % RDS terkoreksi pada suhu

200C (lampiran 5, tabel 17, halaman 92).

% RDS Sampelsimplo

Tabel 11. Perhitungan mencari % RDS sampelsimplo dengan cara sisipan

dalam
60

Sukrosa g/100 g Indeks bias


4,8 1,339967
 1,33996
4,7 1,339819

4,8  4,7 1,339967  1,339819



4,8   1,339967  1,33996



Jadi, % RDS pada sampelsimplo  4,80472

Maka % RDS terkoreksi pada sampelsimplo = 4,80472 + 0 = 4,80472

% RDS Sampelduplo

Tabel 12. Perhitungan mencari % RDS sampelduplo dengan cara sisipan

dalam

Sukrosa g/100 g Indeks bias


5,0 1,340264
 1,34013
4,9 1,340116

5  4,9 1,340264  1,340116



5 1,340264  1,34013

 

Jadi, % RDS pada sampelduplo  4,90946

Maka, % RDS terkoreksi sampelduplo = 4,90946 + 0 = 4,90946

3. Mencari densitas sampel (), kg/m3


61

Dari tabel hubungan antara densitas dengan fraksi massa sukrosa (pada

lampiran 6, tabel 18, halaman 93-96).

ρ Sampelsimplo

Tabel 13. Perhitungan ρ sampelsimplo dengan sisipan dalam

w (%)  (kg/m3)
4,9 1017,406
4,80472 
4,8 1017,007

4,9  4,8 1017,406  1017,007



4,9  4,80472 1017,406  

  1017,02583

 Sampelduplo

Tabel 14. Perhitungan ρ sampelsimplo dengan sisipan dalam

w (%)  (kg/m3)
5 1017,805
4. Menghitung
4,90946 
4,9 1017,406
warna larutan (ICUMSA) sampel

108  Asrata rata


Warna larutan Sampelsimplo  1

b  %RDS  

108  0,722967

1 4,80472  1017,02583

 14795,11712 IU
62

108  ASrata rata


Warna larutan Sampelduplo  2

b  %RDS  

108  0,80907

1 4,90946  1017,44375

 16197,2753 IU

Pembahasan

Sebelum melakukan pengidentifikasi GKM, maka dilakukan uji

organoleptik, yaitu sampel yang berwarna serbuk kristal coklat, berbau

wangi atau harum, dan rasanya sangat manis karena terbuat dari tebu asli

tanpa diproses lebih lanjut menjadi gula kristal rafinasi. Sampel tersebut

berwarna coklat pekat tersebut masih mengandung kotoran, dan mineral-

mineral sehingga dilarutkan dalam air, berwarna coklat sangat pekat atau

dengan konsentrasi tinggi larutan tersebut tidak dapat terukur oleh alat-

alat uji yang digunakan seperti spektrofotometer, polarimeter, dan lain-lain.

Sebelum diolah lebih lanjut dan dikonsumsi oleh manusia, maka sampel

ini diperiksa atau dilakukan pengidentifikasi di BPIB yang berdasarkan

Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah ditetapkan di Indonesia,

apakah sudah sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam SNI 01-3140.1-

2001 atau tidak sebelum diproses menjadi gula kristal rafinasi. Cara

mengidentifikasi sampel tersebut menggunakan metode uji yang berbeda-

beda, di antaranya: warna larutan (ICUMSA) menggunakan metode

Refractometric Dry Substance (RDS) dan spektrofotometri UV/Vis, susut

pengeringan menggunakan metode penguapan langsung, derajat


63

polarisasi menggunakan polarimetri, dan kadar abu konduktiviti

menggunakan konduktometri.

Sampel tersebut dibuat duplo untuk mengetahui hasil yang

didapat/diuji. Tujuan dibuatnya duplo ataupun triplo adalah untuk melihat

adanya pengaruh dari luar yang dapat mempengaruhi keakuratan data

pengukuran terhadap sampel, sehingga dapat dilihat penyimpangan yang

terjadi.

Percobaan yang pertama dilakukan adalah pengujian warna larutan

(ICUMSA) terhadap sampel. Pada percobaan ini, mula-mula dilakukan

penimbangan (secara analitik) sampel yang sebelumnya sudah diperiksa

terlebih dahulu dalam uji organoleptik dengan melihat warnanya yang

pekat, coklat, apabila dilarutkan dalam air, maka warna sampel tersebut

terlihat coklat pekat, sehingga praktikan melakukan penimbangan sesuai

dengan tabel 7 jumlah gula dan air serta panjang sel untuk pengukuran

warna. Jadi, penimbangan pada sampel simplo sebesar 5,0003 gram

dengan perbandingan bobot air nya sebesar 94,9997 gram. Pada sampel

duplo sebesar 5,0006 gram dengan perbandingan bobot airnya sebesar

94,9994 gram. Penimbangan sampel ini boleh memakai penimbangan

analitik ataupun secara kasar, tetapi lebih bagus penimbangan secara

analitik. Alasannya: prosedurnya berdasarkan SNI 01-3140.1-2001, jadi

praktikan melakukan semua percobaan secara analitik kuantitatif,

termasuk peralatan gelas, seperti labu ukur 100 mL, oven, desikator,

refraktometer, dan lain-lain. Agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan
64

masuk standar berdasarkan SNI 01-3140.1-2001. Dan selanjutnya sesuai

dengan prosedur di atas. Sampel tersebut mengandung asam, dan harus

dinetralkan dengan NaOH 0,1 M agar mencapai pH 7, pH sampel

disetarakan dengan pelarutnya yaitu air. Disaring dengan menggunakan

kertas saring membran 0,45 m diameter 50 mm untuk menghilangkan

kekeruhan sehingga kotorannya tersaring secara sempurna dan larutan

tersebut menjadi coklat bening, agar larutan mudah terbaca oleh alat

instrumen yang dipakai. Penyaringan menggunakan vakum membran

filter, dan wadah gelas (menampung filtrat). Selama penyaringan tidak

terjadi hambatan, sebaliknya sangat mudah disaring. Lalu, melakukan

deaerasi menggunakan vakum ultrasonic selama 3 menit, supaya

terbebas CO2. Pengukuran warna larutan gula ini memakai dua metode

yaitu pengukuran pertama diukur indeks bias larutan dengan

refractometer, yang bertujuan untuk mencari % RDS pada sampel, yang

sebelumnya dijelaskan perhitungan, di antaranya: 1. Mencari indeks bias

pada zat pengkoreksi menggunakan air yang akan dibandingkan dengan

tabel 15, lampiran 3, halaman 92, dengan tujuan mengkalibrasi alat

refraktometer sehingga didapatkan faktor koreksi dan indeks bias sampel

terkoreksi; 2. Mencari % RDS terkoreksi. Semua pengukuran dilakukan

tiga kali, supaya hasil yang didapatkan lebih akurat. Indeks bias rata-rata

zat pengkoreksi 1,33476, hasil yang didapat lebih rendah daripada

sampel, karena aquades tidak berwarna atau berupa cairan bening yang

mudah terukur oleh refraktometer. Beda dengan sampel yang berwarna


65

coklat bening hasil pengukurannya lebih besar dari aquades. Selain itu,

untuk mengukur indeks bias menggunakan refraktometer haruslah

berwarna jernih/tidak gelap, karena pada warna gelap dapat mengurangi

ketajaman dari garis pembatas pada refraktometer. Yang kedua,

melakukan pengukuran absorbansi pada kedua larutan memakai

spektrofotometer UV/Vis pada panjang gelombang 420 nm karena pada

warna larutan tersebut berwarna coklat bening (setelah disaring) sesuai

dengan tabel 4 halaman 27 dengan warna komplementer kuning – hijau

pada panjang gelombang 400 – 435 nm. Dengan ketebalan kuvet 1 cm,

sesuai tabel 7, dilakukan tiga kali pengukuran. Dapat dilihat hasil yang

diperoleh dari tabel data pengamatan spektrofotometer UV/Vis,

absorbansi rata-rata. Dalam perolehan absorbansi masing-masing larutan,

deretan hasil yang didapat sangat bagus atau rentang nilai absorbansi

antara As1 , As2 , dan As3 tidak terlalu jauh. Begitu juga dengan hasil yang

diperoleh pada indeks biasnya juga tidak terlalu jauh. Tetapi, pada sampel

simplo dengan duplo perolehannya juga sesuai dengan bobot awal dari

sampel tersebut. Sebelum diperoleh hasil warna larutan gula (ICUMSA)

kedua larutan tersebut, maka dilakukan tiga tahap perhitungan, di

antaranya: mencari indeks bias sampel (η), mencari % RDS, dan mencari

densitas sampel (ρ). Lalu, terakhir perhitungan warna larutan gula

(ICUMSA), sesuai rumusnya, maka didapatkan pada sampel simplo

sebesar 14795,11712 IU dan sampel duplo sebesar 16197,2753 IU. Dari

semua pengukuran yang didapat, faktor eksternal sangat berpengaruh


66

sekali, terutama pada suhu. Didapatkan hasilnya bahwa sampel tersebut

tergolong gula kristal mentah yang berdasarkan SNI 01-3140.1-2001.

Untuk menjamin hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, maka

spektrofotometer dan refraktometer harus dikalibrasi dan diverifikasi

sebelum digunakan. Kalibrasi menggunakan standar ukur atau acuan dari

institusi yang diakui secara nasional/internasional. Kalibrasi

spektrofotometer menggunakan Didynium filter atau larutan CoCl2 2 -2,3

% dalam HCl 1 %. Penempatan alat dalam ruangan yang bersih dan

terhindar dari radiasi langsung matahari. Lebih baik ruangan ber-AC untuk

mengurangi kelembaban. Suhu ruang diusahakan mendekati suhu

standar alat.

3.4.2 Penentuan Derajat Polarisasi Gula Kristal Mentah

Data pengamatan

Pada Sampelsimplo

Last z: 13.45 05/05/08

Scale: zx

Temp comp: uc

P20  96, 79

Pada Sampelduplo

Last z: 11.00 06/05/08

Scale: zx
67

Temp comp: uc

P20  96, 26

Pembahasan

Percobaan kedua yaitu penentuan derajat polarisasi, mula-mula

dilakukan penimbangan sebesar 26,0000 ± 0,001 gram sesuai prosedur

SNI 01-3140.1-2001. Praktikan melakukan pengujian dibuat duplo, maka

bobot awal pada sampel sebesar 52,0000 ± 0,001 gram, lalu dikeringkan

dalam oven selama 1 jam, lalu dimasukkan dalam desikator selama

setengah jam. Sehubungan warnanya yang terlalu pekat, maka diambil

bobot awal dari 52,0000 ± 0,001 gram sebesar 6,5000 ± 0,001 gram (pada

sampel simplo maupun sampel duplo), lalu dilarutkan oleh air (sebagai

pelarut), dan diaduk oleh stirer. Setelah itu, kedua larutan tersebut

dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang sudah terkalibrasi, dan

ditambahkan aluminium sulfat dan NaOH sebanyak 1 ml (sebagai

penjernih larutan gula agar warnanya juga tidak terlalu pekat sekali dan

bisa terbaca dalam polarimeter), lalu dimasukkan ke dalam termostat

dengan suhu 20 0C selama 30 menit agar tercapai kesetimbangan suhu.

Setelah itu, dihimpitkan dengan pelarutnya yang bersuhu 20 0C , lalu

dikocok sampai homogen. Dan disaring dengan kertas penyaring

whatman 91, supaya endapan dan kotoran yang berada di larutan

tersebut terpisah. Sebelum pengukuran di ruang polarimeter juga

diperhatikan suhu ruangannya 20 0C, dan dinyalakan alat polarimeter,


68

didiamkan selama 10 menit, dengan memakai tabung polarimeter 1 dm

yang sudah dibersihkan oleh alkohol, alatnya di set terlebih dahulu yaitu

dalam faktor skala di polarimeter bellingham 8 kali, temperatur dalam

polarimeternya dengan pilihan uc (dengan suhu yang sudah otomatis

dalam alat tersebut 20 0C, walaupun di alat suhunya terbaca 23,4 0C), dan

satuan polarimeter 0Z. Sebelum sampelnya diukur, alatnya di set nol

dengan tabung polarimeter 1 dm yang sudah bersih dalam keadaan

kosong, lalu sampelnya dimasukkan ke dalam tabung lalu ukur dan di alat

terbaca 96,79 0Z. Pengukuran derajat polarisasi dilakukan satu hari untuk

sampel simplo, dan hari berikutnya untuk sampel duplo, karena dalam

pengerjaan ini sampel yang sudah dipreparasi lebih bagus tidak disimpan

dalam termostat selama 24 jam supaya konsentrasi sampelnya tidak

bertambah atau tidak terlalu pekat, agar hasil derajat polarisasinya

menjadi stabil. Derajat polarisasi sampel duplo 96,26 0Z.

Pada pemeliharaan alat untuk menjamin hasil yang lebih akurat, di

antaranya:

a. Kondisi lingkungan

• Alat ditempatkan pada meja yang datar da bebas getaran.

• Ditempatkan pada tempat yang redup.

• Diletakkan pada ruangan AC, suhu ruangan pada 20 0C.

• Ruangan bebas dari gangguan binatang.

• Pergunakan aliran listrik dengan tegangan yang stabil.

b. Kalibrasi internal
69

• Kotoran yang menempel pada lensa dibersihkan terlebih

dahulu.

• Letakkan pelat kuarsa dekat alat dan lakukan pemanasan

terhadap alat sekitar 20 menit.

• Atur suhu ruangan sekitar 20 0C.

• Tunggu sekitar 1 jam sehingga suhu pelat kuarsa dan

polarimeter sama.

• Lakukan pengujian dengan empat macam ukuran kuarsa,

masing-masing tiga kali.

3.4.3 Penentuan Susut Pengeringan

Kadar air Sampelsimplo

Bobot kosong (a) = 38,6084 gram

Bobot sampel (b) = 26,0089 gram

Bobot setelah oven (c) = 64,5152 gram

Kadar air =
 a+b   c  100%
b


 38,6084+26,0089   64,5152  100%
26,1071

= 0,3926%
70

Kadar air Sampelduplo

Bobot kosong (a) = 46,7071 gram

Bobot sampel (b) = 26,1071 gram

Bobot setelah oven (c) = 72,7120 gram

Kadar air =
 a+b   c  100%
b

=
 46,7071+26,1071  72,7120  100%
26,1071

0,3926%+0,3915%
Rata-rata kadar air =  0,3921%
2

Pembahasan

Percobaan ketiga, penentuan susut pengeringan pada sampel gula

kristal mentah. Penentuan susut pengeringan disebut juga kadar air dalam

sampel. Percobaan ini memakai metode oven/cara pengeringan yang

sesuai dengan SNI 01-3140.1-2001. Sebelumnya ditimbang bobot kosong

pada wadah sampel yang digunakan yaitu cawan petri, lalu timbang 20 –

30 gram, praktikan menimbang sampel 26,0089 gram (simplo), dan 26,

1071 gram. Lebih lanjut lihat pada data pengamatan. Hasil akhir pada

kadar air sampel simplo sebesar 0,3926 %, dan kadar air sampel duplo

0,3915 %. Kadar air rata-rata sebesar 0,3921 %. Hal ini menunjukkan


71

bahwa pada sampel gula kristal mentah kadar air yang dihasilkan masuk

deretan SNI 01-3140.1-2001, tidak lebih dari 0,5. Jadi, pada sampel ini

tahan lama/tidak mengalami penurunan kualitas selama dalam

penyimpanan, tidak cepat rusak oleh mikroorganisme, dan daya simpan

yang tinggi.

Pada pemeliharaan alat untuk menjamin hasil yang lebih akurat, di

antaranya:

a. Kondisi lingkungan

• Letakkan pengering/oven pada meja datar dan kokoh.

• Ditempatkan pada ruangan yang penerangannya cukup dan

sedikit sekali terdapat hembusan angin.

• Ruangan bebas dari gangguan binatang.

• Pergunakan aliran listrik dengan tegangan yang stabil.

b. Kalibrasi internal

• Hidupkan pemanas, set pada suhu 105 0C dengan memutar

skala ke 105, tunggu sampai 60 menit.

• Letakkan termometer standar skala 0 – 120 0C pada pemanas

• Amati suhu sampai stabil.

• Bila suhu belum mencapai 105 0C, naikkan skala dengan suhu

105 0C.

• Pengujian dilakukan tiga kali pengulangan.

• Catat semua hasil pengujian dalam buku kalibrasi.


72

3.4.4 Penetapan Kadar Abu Konduktiviti

Data pengamatan Sampelsimplo

Bobot sampel (g) = 5,0006

Suhu aq (T 0C) = 23,1

Konduktivitas aq (CT µS/cm) = 3,6

Suhu sampel (T 0C) = 22,3

Kond. sampel (CT µS/cm) = 211

Kadar air (%) = 0,3921 %

Perhitungan

CT sampel
Kond. sampel T 20 0C  C1  
1  0,023(T  20)

211

1  0,023  22,3  20 

 200,3989 S/cm

CT aq
Kond. aq T 20 0C  C2  
1  0,023(T  20)

3,6

1  0,023(23,1  20)

 3,3604 S/cm
73

Kond. terkoreksi (C)  C1  C2

 200,3989  3,3604

 197,0385 S/cm

Konsentrasi bahan kering analit, g/100 ml (D)


 100%  kadar air   bobot sampel
100%


 100%  0,3921%  5,0006
100%

 4,9810 g/100 ml

Faktor pengenceran (f)  5  1


5

Kadar abu konduktiviti pada suhu 20 0C

  16,2  0,36D   104  C  f %

  16,2   0,36  4,981   104  197,0385  1

 0,3545%

Data pengamatan Sampelduplo

Bobot sampel (g) = 5,0002

Suhu aq (T 0C) = 23,1

Konduktivitas aq (CT S/cm) = 3,6

Suhu sampel (T 0C) = 22,0


74

Kond. sampel (CT µS/cm) = 207

Kadar air (%) = 0,3921 %

Perhitungan

CT sampel
Kond. sampel T 20 0C  C1  
1  0,023(T  20)

207

1  0,023  22  20 

 197,897 S/cm

CT aq
Kond. aq T 20 0C  C2  
1  0,023(T  20)

3,6

1  0,023(23,1  20)

 3,3604 S/cm

Kond. terkoreksi (C)  C1  C2

 197,897  3,3604

 194,5366 S/cm
75

Konsentrasi bahan kering analit, g/100 ml (D)


 100%  kadar air   bobot sampel
100%


 100%  0,3921%  5,0002
100%

 4,9806 g/100 ml

Faktor pengenceran (f)  5  1


5

Kadar abu konduktiviti pada suhu 20 0C

  16,2  0,36D   104  C  f %

  16,2   0,36  4,9806    10 4  194,5366  1

 0,35%

Pembahasan

Percobaan yang keempat, penetapan kadar abu konduktiviti pada

gula. Hal yang pertama dilakukan yaitu menimbang sampel (dibuat duplo)

masing-masing 5 gram, memakai timbangan analitik. Di masukkan ke

dalam gelas kimia, lalu dilarutkan dengan pelarut yang mengalami dua kali

penyulingan, aquabides. Di masukkan ke dalam labu ukur 100 ml yang

terkalibrasi, dan di kondisikan dalam termostat pada suhu 20 0C selama

30 menit, kemudian dihimpitkan dengan pelarutnya sampai tanda batas,

lalu kocok sampai homogen. Sebelumnya pemakaian konduktometer

dilakukan kalibrasi menggunakan larutan KCl 0,0025 M, sebelumnya KCl


76

ini ditimbang sebesar 0,01864 gram. Apabila tidak tepat pengukurannya,

maka perhitungannya yaitu:

0,0186gr
CKCl  328 S / cm   327,296 S / cm
0,01864gr

KCl ini dipreparasinya sama dengan perlakuan dengan sampel

yaitu, dilarutkan oleh aquabides, dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100

ml yang terkalibrasi, lalu suhunya dikondisikan ke dalam termostat 20 0C,

lalu dihimpitkan sampai tanda batas. Lalu, diukur menggunakan

konduktometer, suhu terbaca di alat 21 0C. Jadi,

Konduktivitas KCl pada suhu 20 0C

 
 327,296  1  0,023 21  200 C 
 334,823 S / cm

Kadar abu konduktiviti pada sampel tersebut masuk dalam deretan

standar SNI 01-3140.1-2001. Dengan hasil sampel simplo 0,3545%, dan

duplo 0,35 %. Pada perhitungan juga diperlukan kadar air rata-rata yang

telah diperoleh sebelumnya, untuk mengetahui konsentrasi bahan kering

pada analitnya. Di mana kadar abu konduktiviti ini mengandung

konsentrasi bahan analitnya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan konduktometer,

antara lain:

a. Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh konduktometer:

• Ditempatkan pada ruang yang ber-AC


77

• Diletakkan pada meja yang datar dan kokoh

• Ruangan bebas dari gangguan luar

• Digunakan listrik dengan tegangan yang stabil

b. Cara pengoperasian

Cara pengoperasian sesuai dengan instruksi kerja, baik dari cara

menghidupkan, pengoperasian (pengukuran), dan mematikan.

c. Kalibrasi

Kalibrasi alat dilakukan secara rutin tiap pengukuran, dengan

menggunakan larutan KCl yang konsentrasi dan daya hantar

dihasilkan adalah sebagai berikut:

 Larutan standar KCl 0,1 M pada 20 0C, maka konduktivitasnya

sebesar 1670 µS/cm.

 Larutan standar KCl 0,01 M pada 20 0C, maka konduktivitasnya

sebesar 1278 µS/cm.

0
 Larutan standar KCl 0,0025 M pada 20 C, maka

konduktivitasnya sebesar 328 µS/cm.

Kesimpulan

Dari percobaan yang dilakukan, maka didapatkan:

a. Warna larutan

Sampelsimplo : 14795,11712 IU

Sampelduplo : 16197,2753 IU
78

b. Derajat polarisasi

Sampelsimplo : 96,79 0Z

Sampelduplo : 96,26 0Z

c. Susut pengeringan

Sampelsimplo : 0,3926 %

Sampelduplo : 0,3915 %

d. Abu konduktiviti

Sampelsimplo : 0,3545 %

Sampelduplo : 0,35%

Hal ini menunjukkan bahwa sampel gula kristal mentah sesuai

dengan persyaratan mutu pada SNI 01-3140.1-2001, dan tidak

dikonsumsi oleh manusia.


79

BAB 4

PENUTUP

4.1 Hasil

Hasil yang didapat setelah PKL antara lain :

1. Mahasiswa dapat mengetahui lingkungan kerja dan cara bersosialisasi

di dunia kerja.

2. Mahasiswa memperoleh data hasil pekerjaan yang telah dilakukan

selama bekerja dan telah diolah sesuai dengan standar di

perusahaan/lembaga/balai untuk pembuatan laporan.

3. Mahasiswa memahami cara menghadapi masalah yang terjadi dalam

dunia kerja.

4. Mahasiswa mengetahui cara identifikasi gula kristal mentah sesuai

penentuan berdasarkan SNI 01-3140.1-2001.

5. Menambah keterampilan dalam menggunakan alat-alat yang terdapat

di BPIB.

4.2 Manfaat

Ada beberapa manfaat yang didapat antara lain :

1. Menambah kedisiplinan dan rasa tanggung jawab terhadap suatu

pekerjaan yang diberikan.

2. Mahasiswa mendapatkan pengalaman kerja yang kelak akan

bermanfaat dimasa depan.


80

3. Menambah ilmu pengetahuan berupa teori dan pengalaman yang

belum pernah diperoleh selama menuntut ilmu di masa kuliah.

4. Memperluas sosialisasi dan dapat membina hubungan baik dengan

karyawan BPIB.

4.3 Saran

Adapun saran yang akan penulis sampaikan dalam kesempatan

kali ini, antara lain:

1. Adanya peralatan laboratorium yang jauh lebih baik, untuk menunjang

keakuratan data hasil pengamatan yang akan diperoleh, sebagai

contoh alat spektrofotometer, konduktometer, polarimeter bellingham,

dan lain-lain.

2. Oleh karena adanya keterbatasan kemampuan praktikan, maka

penulis mengharapkan untuk selalu ada pengawasan terhadap kinerja

praktikan, agar kesalahan relatif selama pengamatan dapat ditekani

sekecil mungkin.

3. Dalam melakukan pengujian sampel yang masuk ke BPIB, pengukuran

lebih baik dan seharusnya kuantitatif agar hasil yang diperoleh sesuai

dengan ketentuan yang ada.

4. Untuk menjaga ketepatan hasil analisis pada polarimeter bellingham


0
dan konduktometer, sebaiknya dijaga suhu 20 C pada saat

pengukuran sesuai dengan prosedur yang ada.

Beberapa saran yang dapat menjadi perhatian untuk pihak BPIB:


81

1. Agar lebih menjaga K3 di laboratorium BPIB.

2. Dalam peminjaman alat gelas terkalibrasi (khususnya) ataupun tidak

terkalibrasi sebaiknya dengan sukarela memberi pinjaman terhadap

mahasiswa PKL.

3. Semoga hubungan ikatan antara DJBC BPIB dengan FMIPA

Universitas Indonesia khususnya Departemen Kimia semakin erat

dengan adanya program Praktik Kerja Lapangan di DJBC BPIB.

4. Keselamatan dalam bekerja lebih utama dan lebih ditingkatkan lagi.

Beberapa saran yang dapat menjadi perhatian untuk Jurusan Kimia

Terapan :

1. Dapat meningkatkan kerjasama dengan Balai Pengujian dan

Identifikasi Barang karena menurut penulis balai ini memiliki

manajemen yang baik dalam pengujian sampel/barang yang masuk ke

DJBC BPIB yang sudah terkenal di seluruh Indonesia.

2. Memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi ataupun hal

yang berkaitan dengan akademik agar mahasiswa merasa semuanya

mudah untuk dijalankan sesuai dengan peraturan yang semestinya.

DAFTAR PUSTAKA

Atkins, P.W. 1997. Kimia Fisika Jilid 2 edisi keempat. Jakarta: Erlangga

Bird, Tony. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. Jakarta: PT Gramedia

Deman, M, John, Ph.D. 1997. Kimia Makanan edisi kedua. Bandung: ITB
82

Fessenden and Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 1 edisi ketiga.

Jakarta: Erlangga

ICUMSA Methods Book No. GS 1/2/3-1. 1994. The Determination of the

Polarisation of Raw Sugar by Polarimetry

ICUMSA Methods Book No. GS 1/3/4/7/8-13. 1994. The Determination of

Conductivity Ash in Raw Sugar, Brown Sugar, Juice, Syrup,

and Molasses

ICUMSA Methods Book No. GS 1-7. 1994. The Determination of Raw

Sugar Solution Colour

ICUMSA Methods Book No. GS 2/1/3-15. 1994. The Determination of Raw

Sugar Moisture by Loss on Drying

Jr, Day R.A.and A.L.Underwood. 1992. Analisis Kimia Kuantitatif edisi

kelima. Terjemahan Aloysius Pudjaatmaka Ph.D. Jakarta:

Erlangga

Khopkar, S.M. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan A.

Saptorahardjo. Jakarta: UI-Press

Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen

Perindustrian dan Perdagangan Nomor:

31/DAGLU/KP/X2004. Tentang Ketentuan Teknis

Pelaksanaan Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 Serta Prosedur

dan Tata Cara Verfikasi atau Penelusuran Teknis Impor Gula.


83

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen

Perindustrian dan Perdagangan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor: 527/MPP/Kep/9/2004. Tentang Ketentuan Impor Gula.

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor: 594/MPP/Kep/9/2004. Tentang Penunjukan Surveyor

Sebagai Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor

Gula. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 03/Kpts/K8.410/1/2003. Tentang

Penerapan Secara Wajib SNI Gula Kristal Mentah. Menteri

Pertanian Republik Indonesia.

Ministry of Finance of Republic Indonesia. Directorate General of Customs

and Excise and Directorate of Customs Technique. Jakarta

Nollet, M.L, Leo. 1996. Handbook of Food Analysis Volume 1 Physical

Characterization and Nutrient Analysis. Belgium: Hogeschoo

Gent Ghent

Patilla, Ronny.dan Okke Achmad Bacharuddin. 2003. Laporan

Sinkronisasi Uji Mutu Gula Kristal Mentah Di Pusat Penelitian

Perkebunan Gula Indonesia Pasuruan Jawa Timur. Jakarta:

DJBC BPIB
84

Pawirosemadi, Marsadi, Dr.Ir.H. 1987. Balai Penelitian Perusahaan

Perkebunan Gula Prosiding Pertemuan Teknis Tengah

Tahunan Tahun 1986. Indonesia: Pasuruan

Penuntun Praktikum Kimia Bahan Hayati Untuk Mahasiswa Program D III

Kimia Terapan. 2007. Depok: FMIPA-UI

Pusat Standardisasi dan Akreditasi-PSA Departemen Pertanian. SNI 01-

3140-2001 Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Jakarta

Pusat Standardisasi dan Akreditasi-PSA Departemen Pertanian. SNI 01-

3140.1-2001 Gula Kristal Mentah (Raw Sugar). Jakarta

Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia Di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT

Grasindo

Sunardi. 2006.Penuntun Praktikum Kimia Analisa Instrumentasi Untuk

Mahasiswa Program D III Kimia Terapan. Depok: FMIPA-UI

Tim Kimia Fisik. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Fisika Untuk Mahasiswa

Program D III Kimia Terapan. Depok: FMIPA-UI

LAMPIRAN

Lampiran 1
85

Lampiran 2

Lampiran 2
86

Lampiran 3: Hubungan antara indeks refraksi dengan suhu

Tabel 15. Hubungan indeks bias dengan suhu

Temperature Refractive Index

(0C) (η)
18 1,33316
19 1,33308
20 1,33299
21 1,33289
22 1,33280
23 1,33270
24 1,33260
25 1,33250
26 1,33239
27 1,33228
28 1,33217
29 1,33205
87

30 1,33193

Lampiran 4: Nilai hubungan untuk indeks refraksi dengan fraksi

massa sukrosa

Tabel 16. Skala Indeks refraksi Internasional ICUMSA untuk larutan Sukrosa

murni suhu 20 0C dan 589 nm


88

Tabel 16 (lanjutan)
89
90

Lampiran 5: Tabel 17. Hubungan bobot gula dengan RDS terkoreksi

pada panjang gelombang 589 nm dengan suhu 20 0C


91

Lampiran 6: Hubungan antara densitas sukrosa dengan %RDS pada

20 0C

Tabel 18. Ini menunjukkan hubungan antara density values of pure sucrose

solutions at 20 0C
Tabel 18 (lanjutan)
Table 18 (lanjutan)
Table 18 (lanjutan)
Lampiran 7: Syarat mutu gula kristal putih (SNI 01-3140-2001)

Tabel 19. Persyaratan mutu gula kristal putih

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan


0
1. Polarisasi Z Min. 99,50
2. Warna krital CT 5 – 10
3. Susut pengeringan (basis basah) %, b/b Maks. 0,15
4. Warna larutan (ICUMSA) IU Maks. 300
5. Abu konduktiviti %, b/b Maks. 0,15
6. Besar jenis butir mm 0,8 – 1,2
7. Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks. 70
8. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0
9. Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
10. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2,0

Keterangan:

Z = Zuiker = sukrosa

IU = International UNIT

CT = Colour type

Lampiran 8: Syarat mutu gula kristal rafinasi (SNI 01-3140.2-2001)

Tabel 20. Persyaratan mutu gula kristal rafinasi

No. Kriteria uji Satuan Persyaratan


1. Warna larutan (ICUMSA) IU Maks. 50
2. Susut pengeringan %, b/b Maks. 0,06
0
3. Polarisasi Z Min. 99,86
4. Abu konduktiviti %, b/b Maks. 0,02
5. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2
6. Arsen (As) mg/kg Maks. 2
7. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2
8. Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks. 2

Lampiran 9: Sampel Gula Kristal Mentah

Gambar 7. Sampel Gula Kristal Mentah


Gambar 8. Pengujian warna larutan (ICUMSA)

Gambar 9. Penentuan derajat polarisasi

Gambar 10. Penentuan susut pengeringan


Gambar 11. Penetapan kadar abu konduktiviti

Lampiran 10: Foto-foto alat tiap percobaan

Gambar 12. Spektrofotometer UV/Vis untuk ICUMSA


Gambar 13. Refractometer abbe untuk ICUMSA

Gambar 14. Polarimeter Bellingham untuk derajat polarisasi


Gambar 15. Konduktometer untuk abu konduktiviti

Gambar 16. Oven dan desikator untuk susut pengeringan

You might also like