You are on page 1of 8

Pembatasan-Pembatasan Pembuatan Film di Indonesia*

Penulis : Usmar Ismail

Sumber : GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, Edisi Desember 1966 No.
1 Thn. I, yang dicetak oleh P.T. Tema Baru.

*Artikel ini dipublikasikan atau disebarkan kembali oleh http://jurnalsegiempat.blogspot.com


dengan tujuan pendidikan, bukan tujuan komersil. Tidak ada niat dari kelompok diskusi ada ide
nggak? (A.I.G.?) atau http://jurnalsegiempat.blogspot.com untuk mencuri hak cipta, melainkan
untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan demi mencapai tujuan dan cita-cita generasi
sineas muda yang mengerti dan memahami dunia perfileman Indonesia. Dilarang keras men-
copy artikel ini untuk tujuan komersil. Jika tujuan penyebarannya adalah untuk pendidikan,
sesuai dengan visi dan misi dari kelompok diskusi A.I.G.? maka hal itu, menurut kami, adalah
suatu hal yang diperbolehkan, karena tujuannya mulia.

Tulisan Usmar Ismail yang berjudul "Pembatasan-Pembatasan Pembuatan Filem di Indonesia"


ini kami muat demikian adanya, tanpa merubah isi, kecuali penyesuaian ejaan bahasa yang
berlaku saat ini. Penyuntingan/penyesuaian ejaan tersebut dilakukan oleh tim redaksi
jurnalsegiempat.

Selamat membaca!

jurnalsegiempat
Dewasa  ini  santer  diperdengarkan,  supaya 
kepada  seniman  diberikan  kebebasan  mencipta. 
Malahan  keanggotaan  seorang  seniman  pada 
salah  satu  organisasi  kebudayaan,  apalagi  yang 
berafiliasi  kepada  partai  politik  telah  dianggap 
sebagai  pembatasan  kepada  gerak  kreatif 
seorang Seniman.

Pembatasan- Seperti juga kepada perguruan tinggi diberikan 
kebebasan  mimbar  dan  kepada  pers  diberikan 
kebebasan  untuk  mengemukakan  pendapat, 
demikian  juga  kepada  kesenian  hendaknya 
Pembatasan diberikan  kesempatan 
kehadirannya secara bebas. 
untuk  menyatakan 

Pembuatan Tetapi  orang  tidak  perlu  berfikir  secara 


lekraistis  untuk  mengakui,  bahwa  kebebasan 
mencipta di dalam kesenian adalah sangat relatif. 

Film di Sekarang  ini  saja,  jika  seorang  seniman 


mencipta  dapat  jujur  kepada  dirinya  sendiri, 
sudah harus mengakui, bahwa dia tidaklah bebas 

Indonesia seperti  yang  dikehendakinya.  Banyak  faktor‐


faktor  yang  harus  diperhitungkannya  yang 
terletak di luar kekuasaannya. 

Dia  tidak  bebas  untuk  menyatakan  sesuatu 


secara  yang  dikehendakinya  sendiri,  kalau  dia 
tidak  hendak  bentrokan  dengan  norma‐norma 
serta  nilai‐nilai  yang  dianut  orang  banyak  pada 
Oleh
suatu ketika. 
Usmar Ismail
Persoalannya  bukanlah  hanya  politis  sifatnya, 
tetapi lebih jauh lagi. Kalau sekedar hanya politis 
saja,  dewasa  ini  telah  diucapkan  orang‐orang 
segala  sesuatu  yang  tadinya  untuk  orang  dapat 
dihukum  gantung  atau  dimasukkan  ke  dalam 
rumah tahanan dengan tiada batas waktu. 

Jika  hendak  diteliti,  maka  seorang  seniman 


masih  paling  bebas,  jika  dia  menyatakan 
pendapat  atau  pemikirannya  secara  tulisan. 
Pengaruh  bacaan  rupanya  paling  kurang  dianggap  pantas  untuk  dipertunjukkan  di  depan 
dirasakan,  jika  dibandingkan  pengaruh  sesuatu  umum,  yang  lain  itu  adalah  berbau  nekolim  atai 
yang dapat dilihat apalagi jika sekaligus dapa pula  manikebuis. Dapatlah dipahami, bahwa membuat 
didengar.  film  di  masa  itu  adalah  suatu  pekerjaan  yang 
mematahkan nafsu. 
Sebuah  sajak  akan  lebih  meresap  jika 
dideklamasikan.  Dan  sajak  itu  akan  tambah  Tetapi,  pada  hakikatnya,  sejak  bertumbuhnya 
merasuk  ke  dalam  sanubari  pendengar,  apalagi  kesadaran  nasional  di  antara  para  pembuat  film 
disertai dengan lukisan.  di  Indonesia,  pada  permulaan  tahun  1950,  film 
Indonesia  telah  dikenakan  kerangkeng  yang 
Dapatlah dipahami, bahwa film dan karena itu 
berbagai ragam rupanya. 
juga  televisi  yang  mempergunakan  cara‐cara 
audio  visual  dengan  dinamik  yang  hampir  tiada  Sebagai contoh otentik dapat saya kemukakan 
batas,  akan  mempunyai  pengaruh  yang  paling  film Perfini yang pertama, “Darah dan Do’a” (The 
hebat dari segala media komunikasi massa. Ditilik  Long March).  
dari  sudut  ini,  maka  dari  semua  golongan 
Pertama‐tama  Sensor  telah  menggunting  dari 
seniman,  seorang  sineas  diharapkan  masyarakat 
film itu adegan‐adegan pertempuran yang terlalu 
akan  membawakan  ciptaan‐ciptaannya  dengan 
realistis  (yang  sebenarnya  dengan  ukuran 
penahanan  diri  dan  tanggung  jawab 
sekarang  sangat  jinak!)  Kemudian  sesudah  film 
kemasyarakatan yang besar. 
itu  mulai  diputar,  maka  datang  reaksi  hebat  dari 
Pada  umumnya  orang  menganggap  sensor  pihak  TNI/AD  di  berbagai  daerah  yang  tidak 
terhadap hasil‐hasil kesenian adalah sesuatu yang  setuju  dengan  penggambaran  seorang  perwira 
melanggar hak‐hak asasi manusia.  yang  terlalu  human  dan  lemah  (menurut  ukuran 
mereka). 
Tetapi  juga  pada  umumnya  orang  menerima 
sensor  terhadap  hasil‐hasil  karya  seorang  sineas  Juga  tidak  disetujui  adanya  kisah  percintaan 
adalah  wajar.  Baik  di  negara‐negara  liberal  antara  sang  perwira  dan  seorang  gadis  Eropa.  Di 
sekalipun, sensor terhadap film dianggap lumrah.  daerah  lain  penguasa  setempat  tidak  setuju 
dipertunjukkan adegan‐adegan yang menyangkut 
Indonesia, dalam jaman apa pun, tidak pernah 
kegiatan‐kegiatan  D.I.  (‘Darul  Islam’),  karena 
tidak mengenal badan sensor film. Juga di dalam 
dianggap  justru  akan  dapat  membangkitkan 
jaman orde baru ini, sensor film tidak lebih lunak 
semangat jihad umat Islam lainnya. 
dari yang sudah‐sudah, khususnya terhadap film‐
film  dalam  negeri.  Misalnya  adanya  botol‐botol  PKI  yang  masih  harus  mengatasi  malu  besar 
whiskey  di  atas  meja  sudah  dapat  dijadikan  peristiwa  Madiun  pun  turut‐turut  pula 
alasan  untuk  memotong  adegan  yang  menyatakan protes, karena orang‐orang komunis 
bersangkutan.  Antara  semua  negara  di  dunia,  di sana digambarkan sebagai orang‐orang fanatik 
Indonesia  mempunyai  sistem  sensor  yang  paling  yang  pembalas  dendam  (yang  memang  terbukti 
ketat.  Kita  tidak  perlu  menggugat‐gugat  masa  sekarang!).  Demikian  hebatnya  reaksi  terhadap 
sebelum pra‐gestapu, pada waktu hanya film‐film  film  itu,  hingga  film  Perfini  yang  kedua,  “Enam 
yang  dibuat  orang‐orang  Lekra‐lah  yang  hanya 
Jam di Jogja” menjadi film yang manis‐legit (zoet‐ karena jika kepada mereka ini sekalipun diberikan 
sappig).  kebebasan  mencipta  betatapun  luasnya,  mereka 
akan  tetap  terikat  sangat  oleh 
Dijaga  sekali  jangan  ada  yang  merasa 
ketidakmampuannya. 
tersinggung  ,  orang‐orang  jahat  hanyalah  orang‐
orang  Belanda  saja,  orang‐orang  Indonesia  Itu  pun  merupakan  suatu  pembatasan 
semuanya  baik‐baik  dan  kalau  dia  suatu  waktu  ketidaktahanan  dan  ketidakmampuan! 
menjadi  pengkhianat,  maka  tabu  untuk  Pembatasan  lain  yang  rapat  hubungannya 
menyebutkan  soal  golongannya.  Tidaklah  dengan  ini,  ialah  ketidakadaan  peralatan‐
mengherankan,  bahwa  sesudah  itu  film‐film  peralatan  fisik  yang  minimum  diperlukan  untuk 
Indonesia, makin menjauh dari menceritakan hal‐ menghasilkan  karya‐karya  sinematografis. 
hal  yang  benar‐benar  menyangkut  kehidupan  Persoalan  kekurangan  peralatan‐peralatan  fisik 
sehari‐hari bangsa Indonesia seperti adanya.  ini  di  Indonesia  memang  telah  menjadi  masalah 
yang akut, malahan menjadi masalah yang paling 
Selama  17  tahun  bergerak  di  bidang 
utama.  
pembuatan  film  Indonesia,  satu  pertanyaan  tiap 
kali  dihadapkan  kepada  saya,  ialah  kenapa  film‐ Sungguh  pun  demikan,  pada  hakikatnya 
film  Indonesia  tidak  menarik,  seperti  misalnya  persoalan  peralatan  yang  makin  lama  makin 
umumnya film‐film Amerika atau film‐film Eropa.  menjadi  barang  antik  itu,  tidaklah  merupakan 
pembatasan  terbesar  bagi  seorang  sineas  yang 
Untuk menjawab pertanyaan ini, di atas sudah 
kreatif. 
saya  kemukakan  sekadar  ungkapan  dan  untuk 
menelitinya  lebih  jauh  lagi  diperlukan  Meskipun  harus  diakui,  bahwa  sekalipun 
pembahasan  berbagai  masalah  yang  kompleks  penonton  Indonesia  yang  paling  sederhana  cara 
yang  tidak  hanya  mempunyai  hubungan  dengan  berpikirnya,  akah  tetap  dapat  membedakan 
persoalan‐persoalan film saja.  antara  gambar  yang  terang  dan  enak  dengan  
gambar  yang  bureng  dan  dapat  mendengar 
Pertama‐tama  memang  harus  diakui  bahwa 
perbedaan  antara  yang  penuh  gemerisik  dan 
syarat  mutlak  bagi  berkembangnya  sesuatu 
suara yang bening. 
cabang kesenian, adalah diberikannya kebebasan 
bagi  sang  seniman  untuk  mencipta  menurut  Pembatasan‐pembatasan  itu  bagi  seorang 
bakat  dan  panggilan  hati  nuraninya.  Jika  saya  seniman  yang  kreatif  tidaklah  terutama  terletak 
bicara tentang seniman, maka yang saya maksud  pada  terbatasnya  perlengkan‐perlengkan 
ialah  mereka  yang  tidak  saja  mempunyai  bakat  peralatan, kecuali jika dia hendak membuat film‐
kesenian,  tetapi  juga  sudah  menguasai  segala  film  yang  ambisius  di  dalam  pengungkapannya, 
peralatan  yang  diperlukan  buat  berkarya  di  seperti  film‐film  raksasa  a  la  “Ben  Hur”,  “Ten 
bidangnya.  Di  dalam  pembuatan  film  peralatan  Commandments”  dan  lain‐lain.  Sebab  pada 
ini tidak saja berbentuk peralatan fisik, tetapi juga  hakikatnya,  jika  kita  bicara  mengenai  film‐film 
peralatan ilmu pengetahuan teknis.  raksasa  itu,  maka  kita  masuk  ke  dalam 
pembatasan  di  bidang  lain,  yaitu  pembatasan 
Saya  tidak  bicara  tentang  mereka  yang  masih 
harus  belajar  teknik  dan  mekanik  membuat  film, 
yang  diberikan  oleh  publik  yang  membayar  lupa  daratan,  pendeknya  segala  sesuatu  yang 
kepada si pembuat film.  tidak  akan  pernah  dijumpai  di  dalam  hidupnya 
yang tunggal‐nada dan sunyi itu. 
Dan  pembatasan  yang  dikenakan  oleh  publik 
yang  turut  mempunyai  saham  langsung  dalam  Maka dalam hal demikan, bukanlah lagi politik 
pembuatan  sebuah  film,  pada  hakikatnya  adalah  yang  jadi  panglima  sang  produser,  tetapi 
pembatasan yang terberat bagi seorang seniman  penonton  adalah  maharaja‐dirajanya  yang 
film.  disembah dan dijunjungnya di atas kepalanya. 

Karena  ini  berarti,  dia  harus  membatasi  diri  Maka,  biasanya  para  sineas  yang  tidak  ingin 
dalam  selera  yang  dianut  oleh  publik  pemegang  dibelenggu  oleh  nafsu  angkara  murka  para 
saham  tersebut.  Makin  ambisisus  dia  untuk  penonton  pemegang  saham  itu,  lantas 
mencapai  perfeksi  di  dalam  karyanya,  makin  membatasi  ambisnya  kepada  membuat  film‐film 
terjerat lehernya oleh selera publik itu. Karena di  kecil, artinya  kecil  dalam pembiayaannya, hingga 
dalam film perfeksi berarti anggaran belanja yang  dengan  demikian  dia  tidak  perlu  terlalu 
makin  besar  dan  anggaran  belanja  yang  besar  mendewakan  para  penonton  yang  terlalu  besar 
berarti  harus  berkompromi  dengan  apa  yang  jumlahnya,  tetapi  terlebih  lagi  berusaha  untuk 
ingin  dilihat  dan  didengar  oleh  sang  maharaja  mencari  kawan‐kawan  sehati  antara  penonton 
yang bernama penonton itu.  yang  tidak  mencari  kepuasan  nafsu  kasar  dalam 
melihat film, tetapi mencari horison‐horison baru 
Di  sini  lah  banyak  pembuat  film  tergelincir. 
bagi  kepuasan  hidup  batiniahnya,  hingga  setiap 
Karena  akhirnya  tujuan  bukanlah  lagi  bagaimana 
kali  dia  selesai  menonton  sebuah  film,  hatinya 
dapat  membuat  film  yang  baik  dan  bermutu, 
makin  lega  karena  dia  telah  memperoleh 
tetapi  bagaimana  dapat  mengelus‐elus  selera 
beberapa  jawaban  dari  pengalaman  menonton 
penonton  yang  banyak  mintanya  itu.  Telah 
tersebut,  bagi  beberapa  persoalan  di  dalam 
dialami  sendiri  oleh  para  pembuat  film  di  mana 
hidupnya  sendiri.  dan  syukurlah,  bahwa  dunia 
pun  dia  ada,  bahwa  sang  penonton  itu  adalah 
makin  kaya  juga  dengan  manusia‐manusia  yang 
umpama  naga  yang  dahaganya  tidak  kunjung 
dapat  berpikir  bebas  untuk  memberikan 
habis‐habisnya,  malahan  tambah  banyak  diberi 
penilaian‐penilaian  secara  sendiri‐sendiri  dengan 
makan yang enak‐enak tambah lapar. 
tidak  menggantungkan  pendapatnya  kepada 
Para  produser  yang  memang  berminat  untuk  selera umum yang bernama publik! 
mengorek  kantong  sang  penonton  itu  sebanyak‐
Tetapi  seperti  juga  dalam  segala  hal,  justru 
banyaknya,  senantiasa  berusaha  untuk 
orang‐orang  yang  mengambil  jalan  tengahlah 
memberikan  suguhan‐suguhan  yang  dahsyat‐
yang  menguasai  dunia,  yaitu  orang‐orang  yang 
dahsyat  kepadanya,  yang  kalau  dapat 
mencari  kepuasan  rohaniah,  di  samping  dia  juga 
menggoncangkan  sendi‐sendi  urat  syarafnya, 
tidak menolak kemakmuran jasmaniah. 
seperti  suguhan‐suguhan  adegan  sex  yang 
menggiurkan,  adegan  kekejaman  yang  membikin  Dan  juga  seperti  biasanya,  memang  banyak 
penonton bisa sakit jantung, adegan‐adegan tari‐ juga  yang  jatuh  dalam  melewati  titian  serambut 
tarian  dan  nyanyian  yang  bisa  menyebabkan  dia  dibelah  tujuh  itu,  artinya  jatuh  ke  dalam 
kesukaan  kepada  kepuasan  materil  dari  pada  wajar.  Cerita  itu  pernah  saya  perlihatkan  kepada 
kelegaan serta kemenangan moril.  Almarhum  Jenderal  Sutojo  dan  beliau 
mengatakan  masanya  belum  matang  untuk 
Di  Indonesia,  di  samping  segala  pembatasan‐
mengemukakan  itu.  Dan  adalah  amat  tragis, 
pembatasan  yang  saya  sebut  tadi,  banyak  lagi 
bahwa beliau akhirnya menjadi korban tirani yang 
pembatasan‐pembatasan  lain  yang  kebanyakan 
sama sifatnya. 
sifatnya  abstrak,  tidak  dapat  dipegang,  apalagi 
ditangkap dengan erat.  Yang saya maksud adalah  Memang ada sifat bangsa Indonesia yang baik, 
pembatasan‐pembatasan  yang  diletakkan  oleh  yaitu  perasaan  “belonging”,  perasaan  senasib 
norma‐norma  serta  nilai‐nilai  setempat  kondisi‐ antara  sesama  yang  tergolong  dalam  satu 
kondisi kemasyarakatan yang rapat hubungannya  kelompok, baik politis, sosial ataupun kesukuan. 
dengan hukum‐hukum adat dan syara’. 
Tetapi  akses‐akses  dari  pada  sifat  ini  antara 
Oleh  para  sineas  yang  tidak  kenal  menyerah,  lain  adalah  ketidaksabaran  (in  tolerance) 
ada  beberapa  kali  pembatasan‐pembatasan  itu  terhadap kritik yang dihadapkan kepada golongan 
dielakkan  dengan  cara‐cara  abstrak  pula,  sendiri.  Misalnya,  kritik  terhadap  seorang  dokter 
misalnya  dengan  menggunakan  simbol‐simbol  akan  menimbulkan  reaksi  dari  korps  dokter 
dan perbandingan‐perbandingan.   keseluruhannya. 

Tetapi  persoalannya  ialah,  apakah  seorang  Apalagi kritik misalnya terhadap salah seorang 


sineas  bebas  dalam  memilih  tema  cerita  yang  anggota  ABRI  mungkin  bisa  menimbulkan 
hendak  difilmkannya,  bebas  dalam  serangan  pembalasan  secara  fisik.  Inilah  menjadi 
mengungkapkan cerita itu dengan cara‐cara yang  salah  satu  sebab,  bahwa  dalam  film‐film 
dianggapnya  efektif?  Karena  pada  hakikatnya,  Indonesia  yang  menjadi  bandit  itu  selalu 
perasaan  dibatasi  itulah  yang  menyebabkan  golongan  yang  paling  lemah  posisi  sosialnya, 
pembuat‐pembuat  film  di  Indonesia  menjadi  antara lain kaum pengusaha! 
steril.  Tiap  kali  dia  hendak  menggugat  sesuatu 
Hal  ini  tentu  tidaklah  menggambarkan 
persoalan  kemasyarakatan,  dia  terperosok  ke 
keadaan  yang  sebenarnya.  Jika  diteliti  cerita‐
dalam  bermacam‐macam  perangkap  dan 
cerita  film‐film  Indonesia  selama  17  tahun 
terdorong  masuk  ke  dalam  daerah‐daerah 
terakhir ini, maka pada umumnya cerita‐cerita ini 
terlarang. 
dapat dibagi dalam beberapa kategori. 
Sebagai  contoh  saya  kemukakan,  sudah  lebih 
Pertama,  yang  paling  disukai  adalah  cerita‐
dari  15  tahun,  saya  berkehendak  untuk 
cerita  Cinderella  (Assepoester,  Bawang  Merah‐
memfilmkan sebuah cerita yang berdasarkan atas 
Bawang Putih, dll.) mengisahkan dukacerita anak 
kejadian‐kejadian  yang  benar,  yaitu  tentang 
gadis yang harus menderita karena kezaliman ibu 
seorang  Kapten  Romli  yang  karena  keadaan  dan 
tiri, saudara tiri dan lain‐lain (Puteri Solo). 
revolusi  terlontar  ke  atas  ke  tempat  pimpinan, 
tetapi karena kurang persiapan dan perlengkapan  Kedua,  yang  populer  adalah  cerita‐cerita 
akhirnya  tergelincir  menjadi  tiran,  karena  tidak  fantasi  1001  malam  yang  telah  diindonesiakan, 
dapat  mencernakan  puji‐puja  rakyat  secara  seperti “Djula‐djuli Bintang Tiga” dan sebagainya. 
Ketiga,  cerita‐cerita  silat,  yang  penuh  aksi  (Si  mencari  jalan  yang  paling  aman.  Kita  tidak  akan 
Tjonat,  Si  Pitung!)  dengan  variasi  terakhir  bicara, jika dia memang harus membuat film atas 
“Rausin, Matjan Kemajoran”  perintah  seperti  kejadian  tahun‐tahun  terkahir 
ini. 
Keempat,  cerita  komik  dengan  menonjolkan 
Bing  Slamet,  Atmonadi,  Alwi‐Oslan  dan  yang  Dalam  keadaan  demikian,  pembatasan‐
semacamnya.  pembatasan  itu  telah  ditetapkan  oleh  si 
pemesan,  adegan  ini  harus  masuk,  yang  mesti 
Kelima,  cerita‐cerita  yang  umumnya 
dielakkan  etc.!  Tetapi  kendati  pun  dia 
menunjukkan  perlawanan  terhadap  kezaliman 
mempergunakan  uang  sendiri  atau  modal 
tuan‐tuan  tanah  dan  semacamnya  di  desa‐desa 
perusahaannya,  dia  masih  tetap  harus 
(Tjambuk Api, Tiga Buronan, dll.) 
memperhitungkan,  supaya  filmnya  itu  ditonton 
Keenam,  cerita‐cerita  dari  jaman  sekarang  orang. 
yang pada umumnya berkisar sekitar petualangan 
Dan  sampailah  kita  kepada  persoalan 
para  pedagang  hidung  belang,  atau  anak‐anak 
pembatasan  yang  lain,  yaitu  masalah  pasaran. 
muda yang cengeng yang mencoba menipu gadis‐
Dihitung secara jumlah ia kemungkinan memutar 
gadis  cantik  yang  masih  perawan  dengan 
sebuah  film  di  Indonesia,  maka  makin  terasalah 
mengajaknya ke Puncak atau ke tempat lain. 
pembatasan  itu.  Dewasa  ini  hanyalah  ada  400 
Nyata  kiranya,  bahwa  kebanyakan  film‐film  buah  bioskop  yang  masih  jalan  (bandingkan 
Indonesia  ceritanya  berkisar  dari  itu  ke  itu  juga.  dengan  Jepang  5000  buah).  Jika  semua  bioskop 
Salah  satu  sebab  tidak  adanya  inisiatif  untuk  yang  ada  sudah  direhabilitasi  kembali,  maka 
menggarap persoalan‐persoalan yang lebih aktuil,  jumlahnya  itu  tidak  akan  melebihi  700  buah 
iala  karena  takut  terperosok  ke  dalam  daeran‐ (bandingkan USA 20.000 buah). 1 
daerah  terlarang  yang  mengakibatkan 
Ditaksir  tidak  sampai  1%  dari  seluruh  rakyat 
kemungkinan harus berkonfrontasi dengan badan 
Indonesia  yang  boleh  disebut  movie‐goer 
sensor atau badan‐badan pemerintah dan ekstra‐
(penonton  bioskop).  Maka  timbullah  bermacam‐
pemerintah. 
macam  wish‐full‐thinking  tentang  kemungkinan 
Maka semboyan para pembuat film ialah, “cari  menerobos  ke  pasaran  luar  negeri.  Untuk 
jalan  aman”  dan  jika  toh  harus  sedikit  vivere  menyegarkan  otak  mereka  yang  suka  ngelamun, 
percoloso,  maka  itu  biasanya  adalah  demi  segi‐ baiklah  saya  kemukakan  fakta,  bahwa  misalnya 
segi  komersilnya,  seperti  memperlihatkan  sedikit  film‐film  Hongkong  (Shaw  Brothers)  yang  mutu 
paha Sri Rejeki di dalam film “Madju tak gentar”!  teknisnya  cukup  tinggi,  berwarna,  dalam  layar 
Seperti  keadaanya  dewasa  ini,  amatlah  sukar                                                              
1
 Data tersebut adalah data yang ada berkisar pada 
di  Indonesia  untuk  membuat  film  seperti  yang  tahun tulisan ini dibuat oleh Usmar Ismail. Menurut 
tumbuh  dan  berkembang  di  dalam  pemikiran  si  data kisran tahun sekarang, tahun 2007 jumlah 
sineas.  Dia  senantiasa  harus  bersedia  untuk  bioskop di Indonesia adalah 483 bioskop dengan 959 
layar. Diakses dari 
mempimpong  idenya  dari  satu  pojok  ke  pokok  http://www.kedaifilmnusantara.com/index.php?optio
yang  lain,  dalam  pada  itu  senantiasa  mencoba  n=com_content&view=article&id=110:bioskop‐
kfn&catid=3:sekilas‐berita&Itemid=50 
lebar  segala,  hingga  saat  ini  belum  lagi  bisa  orang‐orang Eropa pembuat filmnya, ingin hanya 
masuk  pasaran  Jepang.  Dan  bahwa  film‐film  mengeksploitir  keindahan  alam  Indonesia  saja, 
Indonesia  secara  agak  luas  baru  diputar  di  Uni  terpasuk  para  wanitanya  (kalau  dapat  yang 
Soviet  (demi  politik!)  dan  dalam  jumlah  terbatas  terbuka  dadanya,  seperti  di  Bali!).  Dan  kalau 
pula  (3  buah!),  sedang  pasaran  Malaya  dan  mengenai cerita, orang‐orang kulit putih haruslah 
Singapura  dari  dulu  sampai  sekarang  selama  15  menjadi “hero”‐nya dan kebanyakan cerita‐cerita 
tahun  barulah  merupakan  idam‐idaman  saja  dan  yang  disodorkan  adalah  a  la  Sayonara  yang  di 
pasaran  Filipina  barulah  di  atas  kertas  melulu.  Indonesia  dianggap  merendahkan  derajat  wanita 
Untuk  mendapatkan  kesempatan  masuk  ke  kulit warna. 
dalam  pasaran  film  di  Asia  Tenggara  ini  saja,  si 
Kalau  demikian  halnya,  maka  pembatasan‐
pembuat  film  harus  pula  berani  mengenakan 
pembatasan  yang  dibebankan  ke  atas  pundak 
kerengkeng  pada  badannya,  karena  yang  kena 
para  pembuat  film  di  Indonesia  hampir  tidak 
dengan  selera  penonton  di  daerah‐daerah  ini 
terhitungnya jumlah banyaknya dan hampir tidak 
adalah  film‐film  yang  umumnya  tidak  mungkin 
terdukung  beratnya,  hingga  timbul  kesangsian 
diperbolehkan  dibikin  di  Indonesia,  baik  oleh 
apakah karyawan‐karyawan film Indonesia benar‐
resmi sensor apalagi oleh “pressure groups” baik 
benar  akan  dapat  melepaskan  diri  dari  landasan 
yang  bersifat  agama,  sosial  ataupun  moral. 
dan  terbang  mengarungi  angkasa  kekaryaan, 
Karena  yang  didoyani  itu  adalah  film‐film  yang 
seperti  diperlihatkan  oleh  rekan‐rekannya  di 
melukiskan kekerasan a la James Bond (violence), 
negara‐negara  lain?  Hanyalah  satu  jawaban 
kekelaminan sex dan kemewahan (glamour) 
untuk  ini,  revolusi  juga  harus  dicetuskan  dan 
Banyak  yang  mau  coba  dengan  kerjasama  dikobarkan di alam perfilman Indonesia! 
produksi  (joint  production)  tetapi  juga  di  sini 
Orde  Baru,  pemikran  baru,  mentalitas  baru, 
orang  akan  tercekik.  Karena  pada  umumnya 
juga bagi dunia film nasional!  

You might also like