Professional Documents
Culture Documents
Sumber : GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, Edisi Desember 1966 No.
1 Thn. I, yang dicetak oleh P.T. Tema Baru.
Selamat membaca!
jurnalsegiempat
Dewasa ini santer diperdengarkan, supaya
kepada seniman diberikan kebebasan mencipta.
Malahan keanggotaan seorang seniman pada
salah satu organisasi kebudayaan, apalagi yang
berafiliasi kepada partai politik telah dianggap
sebagai pembatasan kepada gerak kreatif
seorang Seniman.
Pembatasan- Seperti juga kepada perguruan tinggi diberikan
kebebasan mimbar dan kepada pers diberikan
kebebasan untuk mengemukakan pendapat,
demikian juga kepada kesenian hendaknya
Pembatasan diberikan kesempatan
kehadirannya secara bebas.
untuk menyatakan
Karena ini berarti, dia harus membatasi diri Maka, biasanya para sineas yang tidak ingin
dalam selera yang dianut oleh publik pemegang dibelenggu oleh nafsu angkara murka para
saham tersebut. Makin ambisisus dia untuk penonton pemegang saham itu, lantas
mencapai perfeksi di dalam karyanya, makin membatasi ambisnya kepada membuat film‐film
terjerat lehernya oleh selera publik itu. Karena di kecil, artinya kecil dalam pembiayaannya, hingga
dalam film perfeksi berarti anggaran belanja yang dengan demikian dia tidak perlu terlalu
makin besar dan anggaran belanja yang besar mendewakan para penonton yang terlalu besar
berarti harus berkompromi dengan apa yang jumlahnya, tetapi terlebih lagi berusaha untuk
ingin dilihat dan didengar oleh sang maharaja mencari kawan‐kawan sehati antara penonton
yang bernama penonton itu. yang tidak mencari kepuasan nafsu kasar dalam
melihat film, tetapi mencari horison‐horison baru
Di sini lah banyak pembuat film tergelincir.
bagi kepuasan hidup batiniahnya, hingga setiap
Karena akhirnya tujuan bukanlah lagi bagaimana
kali dia selesai menonton sebuah film, hatinya
dapat membuat film yang baik dan bermutu,
makin lega karena dia telah memperoleh
tetapi bagaimana dapat mengelus‐elus selera
beberapa jawaban dari pengalaman menonton
penonton yang banyak mintanya itu. Telah
tersebut, bagi beberapa persoalan di dalam
dialami sendiri oleh para pembuat film di mana
hidupnya sendiri. dan syukurlah, bahwa dunia
pun dia ada, bahwa sang penonton itu adalah
makin kaya juga dengan manusia‐manusia yang
umpama naga yang dahaganya tidak kunjung
dapat berpikir bebas untuk memberikan
habis‐habisnya, malahan tambah banyak diberi
penilaian‐penilaian secara sendiri‐sendiri dengan
makan yang enak‐enak tambah lapar.
tidak menggantungkan pendapatnya kepada
Para produser yang memang berminat untuk selera umum yang bernama publik!
mengorek kantong sang penonton itu sebanyak‐
Tetapi seperti juga dalam segala hal, justru
banyaknya, senantiasa berusaha untuk
orang‐orang yang mengambil jalan tengahlah
memberikan suguhan‐suguhan yang dahsyat‐
yang menguasai dunia, yaitu orang‐orang yang
dahsyat kepadanya, yang kalau dapat
mencari kepuasan rohaniah, di samping dia juga
menggoncangkan sendi‐sendi urat syarafnya,
tidak menolak kemakmuran jasmaniah.
seperti suguhan‐suguhan adegan sex yang
menggiurkan, adegan kekejaman yang membikin Dan juga seperti biasanya, memang banyak
penonton bisa sakit jantung, adegan‐adegan tari‐ juga yang jatuh dalam melewati titian serambut
tarian dan nyanyian yang bisa menyebabkan dia dibelah tujuh itu, artinya jatuh ke dalam
kesukaan kepada kepuasan materil dari pada wajar. Cerita itu pernah saya perlihatkan kepada
kelegaan serta kemenangan moril. Almarhum Jenderal Sutojo dan beliau
mengatakan masanya belum matang untuk
Di Indonesia, di samping segala pembatasan‐
mengemukakan itu. Dan adalah amat tragis,
pembatasan yang saya sebut tadi, banyak lagi
bahwa beliau akhirnya menjadi korban tirani yang
pembatasan‐pembatasan lain yang kebanyakan
sama sifatnya.
sifatnya abstrak, tidak dapat dipegang, apalagi
ditangkap dengan erat. Yang saya maksud adalah Memang ada sifat bangsa Indonesia yang baik,
pembatasan‐pembatasan yang diletakkan oleh yaitu perasaan “belonging”, perasaan senasib
norma‐norma serta nilai‐nilai setempat kondisi‐ antara sesama yang tergolong dalam satu
kondisi kemasyarakatan yang rapat hubungannya kelompok, baik politis, sosial ataupun kesukuan.
dengan hukum‐hukum adat dan syara’.
Tetapi akses‐akses dari pada sifat ini antara
Oleh para sineas yang tidak kenal menyerah, lain adalah ketidaksabaran (in tolerance)
ada beberapa kali pembatasan‐pembatasan itu terhadap kritik yang dihadapkan kepada golongan
dielakkan dengan cara‐cara abstrak pula, sendiri. Misalnya, kritik terhadap seorang dokter
misalnya dengan menggunakan simbol‐simbol akan menimbulkan reaksi dari korps dokter
dan perbandingan‐perbandingan. keseluruhannya.