You are on page 1of 7

A.

KASUS

Dr.A dokter praktek swasta di kota X telah melakukan praktek kedokteran sejak 25
tahun yang lalu. Dalam memberikan layanan medis, selain pemeriksaan dan
menentukan diagnosis, dr.A juga sekaligus memberikan obat kepada pasiennya
sebagai bagian dari “paket” pengobatannya walaupun tidak jauh dari tempat
praktiknya terdapat apotek. Pasien tidak dapat membeli obat di luar karena dokter
tidak pernah memberikan kertas resep, namun langsung memberikan obat.

B. PEMBAHASAN

1. Pelanggaran Kode Etik Profesi

Pelanggaran Kode Etik Profesi Merupakan penyimpangan terhadap


norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang
mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana
seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata
masyarakat.Tak pelak lagi, kode etik profesi akan bisa dijadikan sebagai acuan
dasar dan sekaligus alat kontrol internal bagi anggota profesi; disamping juga
sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat dari perbuatan-
perbuatan yang tidak profesional.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran kode etik profesi,


antara lain:

a. Tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dri masyarakat.


b. Organisasi profesi tidak di lengkapi denga sarana dan mekanisme bagi
masyarakat untuk menyampaikan keluhan.
c. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik
profesi, karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak profesi sendiri.
d. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban
profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya.
e. Tidak adanya kesadaran etis pada moralitas diantara para pengemban
profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya.

Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk,


meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus
utama, yaitu:
a. Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek
terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu.
Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar
keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan
ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar
kode etik profesi

b. Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang


mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggung-
jawabkan menurut standar maupun kriteria professional.

2. Definisi Self Dispensing

Dispensing berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu to dispense, yang


secara harfiah berarti membagikan. Jadi apabila dokter dispensing obat,
artinya dokter membagikan obat kepada pasien. Namun di dalam praktiknya
dokter tidak hanya membagikan obat, juga menyimpan sejumlah obat di
tempat praktik kedokteran pribadinya.

3. Dasar Hukum

a. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 35

(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan
praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang
dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di
daerah terpencil yang tidak
ada apotek.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan
lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

b. UU No 36 tahun 2009tentang kesehatan (pasal 108 ayat (1), pasal 198)


Pasal 108 Ayat (1) menentukan, bahwa praktik kefarmasian dalam
pengadaan, distribusi & pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan tertentu yang mempunyai keahlian & kewenangan untuk
itu & Ayat (2) menentukan pengaturan lebih lanjut akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah (PP).

Pasal 198, ditetapkan tentang barangsiapa yang tanpa kewenangan &


keahlian melakukan pekerjaan seperti Pasal 108 Ayat (1), maka akan
dikenakan sanksi pidana denda Rp. 100.000.000,-.

PP No. 72/98 tentang Pengaman Sediaan Farmasi & Alat Kesehatan, yang
memberikan hak kepada apotek untuk menyerahkan obat.

4. Self dispensing hanya dibenarkan jika:

a. Tidak ada sarana, seperti apotek, di sekitar tempat praktik, setidaknya


jarak praktik dokter dengan apotek minimal 10 kilometer ( staf pengajar
Forensik dan Hukum Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro (Undip) Semarang, dr. Gatot Suharto, S.H., Dipl. For.Med.).
b. Pada situasi darurat dan hanya untuk dosis awal

C. ANALISIS

Masalah dispensing obat adalah masalah nasional, dari Sabang hingga ke


Marauke banyak dokter di daerah melakukannya, bahkan sebagian kecil dokter di
kota besar juga melakukan. Hal ini mencuat ke permukaan karena adanya upaya
penegakan hukum terhadap dispensing obat oleh aparat hukum di beberapa tempat
tertentu, yang menggunakan UU no.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(selanjutnya disebut UUPK) yang diberlakukan tanggal 6 Oktober 2005 dan UU
no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK), sebagai dasar
untuk melakukan penegakan hukum.

Menurut UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 35 (i)


dan (j) self dispensing hanya boleh dilakukan oleh dokter dokter dan dokter gigi
untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan
pasien. Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang
memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang boleh disediakan pun
terbatas pada kebutuhan pelayanan. Selain itu UUK melalui Pasal 108 Ayat (1)
menentukan, bahwa praktik kefarmasian dalam pengadaan, distribusi & pelayanan
sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu yang mempunyai
keakhlian & kewenangan untuk itu & Ayat (2) menentukan pengaturan lebih
lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Kemudian ketentuan Pidana dalam UUK melalui Pasal 198, ditetapkan tentang
barangsiapa yang tanpa kewenangan & keakhlian melakukan pekerjaan seperti
Pasal 108 Ayat (1), maka akan dikenakan sanksi pidana denda Rp. 100.000.000,-.
Kedua ketentuan ini, untuk dapat dilaksanakan membutuhkan Peraturan
Pelaksanaan, karena disyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur
lebih lebih lanjut, PP tentang pengadaan, penyimpanan & pendistribusian obat
telah dibentuk yakni PP No. 72/98 tentang Pengaman Sediaan Farmasi & Alat
Kesehatan, yang memberikan hak kepada apotek untuk menyerahkan obat. .
Berdasarkan kedua Undang-undang ini jelaslah tidak benar bila dokter melakukan
praktek self dispensing dalam pemberian pelayanannya karena tidak sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.

Bila dilihat kebelakang, sebenarnya kebiasaan dispensing obat oleh para


dokter merupakan hal yang sudah terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Hal ini
diawali dari minimalnya sarana dan prasarana kesehatan pada masa lampau,
antara lain belum banyaknya tenaga farmasi dan sarana pendistribusian obat
(dalam hal ini apotek) yang menjangkau sampai pelosok tanah air. Selain itu
banyaknya apotek yang beroperasi tidak sesuai standar, misalnya saja,apoteker
tidak selalu berada di tempat, pelayanan di apotek dimana yang menyediakan &
memberikan obat, bukan lulusan Sekolah Menengah Farmasi, apotek yang
menjual obat yang kedaluarsa juga membuat para dokter, terutama di daerah
dalam menjalankan praktek kedokterannya juga merangkap sebagai penyedia
obat-obatan bagi pasien mereka.

Kebiasaan dispensing obat ini tentu saja memiliki efek positif dan negatif
baik untuk dokter maupun untuk pasien. Efek positif yang dapat dirasakan oleh
dokter,antara lain:

a. Memastikan pasien mendapat obat yang diresepkan


Ada kalanya resep yang diresepkan dokter (dan memang
diperlukan pasien) sangat sulit dicari di lokasi tersebut (misalnya saja
diazepam, obat ini termasuk sulit dicari padahal obat ini termasuk obat
penting dalam penanganan kejang). Dalam hal ini dispensing akan
menjamin obat yang diresepkan tersedia di tempat praktek dokter tersebut.

b. Memastikan pasien mendapat informasi yang tepat

Contoh kasus: dokter Spesialis saraf yang bercerita, beliau


memberikan resep gabapentin 100 mg 2 kali sehari dan amitripin 10 mg
kepada pasien Polineuropati. Seminggu kemudian pasien tersebut diminta
control. Ternyata pada saat kontrol pasien tersebut berkata “Ada satu obat
yang tidak saya beli, saya bingung karena petugas di Apotek memberitahu
bahwa ini obat anti epilepsy”. Informasi yang diberikan petugas apotek
tersebut memang tidak salah. Namun memberikan kesan yang salah.
Gabapentin merupakan obat anti epilepsy, namun juga berperan sebagai
obat anti nyeri akibat kerusakan saraf. Dispensing dalam hal ini berperan
agar pasien mendapatkan informasi yang utuh dan lengkap

Sedangkan efek positif yang dapat dirasakan oleh pasien, terutama


efisiensi waktu dan biaya transportasi. Praktik self dispensing oleh dokter
merupakan “One Stop Service” sehingga pasien tidak perlu lagi direpotkan untuk
menunggu obat ataupun mencari apotek untuk membeli obat.

Namun kita juga tidak boleh menutup mata bahwa ada beberapa oknum
dokter yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal ini sebagai cara
mendapatkan keuntungan lebih dengan “menjual obat “ lebih dari harga eceran
tertinggi, karena ia adalah satu-satunya penyedia obat. Hal inilah yang
sebenarnya ingin diberantas dengan ditetapkannya Undang-Undang Praktek
Kedokteran dan Undang-Undang Kesehatan.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi, saat ini jumlah


tenaga kefarmasian baik apoteker maupun asisten apoteker kian bertambah,
sehingga saat ini tidaklah sulit untuk menemukan apotek di daerah-daerah baik di
tingkat kabupaten maupun kecamatan. Selain itu di bidang hukum juga terjadi
perubahan yang mendasar dengan dikeluarkannya Undang-undang Praktek
Kedokteran dan Undang-undang Kesehatan. Hal-hal yang dahulu dianggap
“biasa” seperti praktek self dispensing oleh para dokter saat ini merupakan sesuatu
yang bertentangan dengan Undang-undang dan tentu saja ada sanksinya.

Dengan adanya perubahan-perubahan ini seharusnya praktek penyediaan obat


oleh dokter bergeser ke tenaga farmasi sebagaimana seharusnya. Namun pada
kenyataannya dispensing obat oleh dokter masih banyak terjadi,terutama di daerah.
Bila kita ingin mengkaji lebih jauh,terdapat beberapa faktor yang berperanan, yaitu:

a. Tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dari masyarakat terhadap


praktek dispensing obat oleh dokter.
b. Rendahnya pengetahuan masyarakat bahwa praktik dispensing obat
merupakan suatu pelanggaran etik profesi bagi dokter yang
menjalankannya.
c. Rendahnya kontrol dari organisasi profesi terhadap anggotanya yang
masih menjalankan praktek dispensing obat.
d. Belum adanya kesadaran penuh para dokter bahwa praktik dispensing
obat yang menyalahi etik profesi maupun hukum.
e. Adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari praktik
ini.
f. Ketidak percayaan dokter terhadap penyedia obat (dalam hal ini
apotek).

Mengacu kepada hal-hal diatas bila kita ingin menghilangkan praktik


dispensing obat,maka hendaknya yang harus dilakukan adalah:

a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang dispensing obat


melalui penyuluhan, media masa, maupun elektronik sehingga
masyarakat dapat menjalankan perannya dalam mengkontrol praktek self
dispensing oleh dokter.
b. Meningkatkan peran IDI sebagai organisasi profesi dalam mengkontrol
anggotanya yang masih melakukan praktek self dispensing dengan
pemberian peringatan dan sanksi moral.
c. Memberikan sosialisasi UU Praktek Kedokteran dan UU Kesehatan
terutama pada dokter-dokter di daerah agar lebih memahami aspek etik
dan medikolegal dari praktik dispensing obat sehingga timbul kesadaran
untuk menghentikan praktik tersebut.
d. Memperbaiki sistem distribusi dan penyediaan obat di daerah, serta
standarisasi pengelolaan apotek sehingga terjalin kepercayaan yang baik
antara dokter dan apotek yang pada akhirnya menguntungkan masyarakat
sebagai konsumen.
e. IDI sebagai organisasi profesi menindak tegas oknum yang tetap
dengan sengaja melakukan praktik dispensing obat demi keuntungan
pribadi baik dengan surat peringatan maupun sanksi administratif, bila
perlu ditindak secara hukum.

PENUTUP

Penanganan terhadap masalah dispensing obat harus diselesaikan secara


bijaksana & menyeluruh, karena bukan hanya menyangkut tenaga kesehatan
(dokter & apoteker), namun juga menyangkut masalah kebutuhan orang sakit.
Yang sebagian besar menyangkut orang sakit yang kurang mampu secara
ekonomi, yakni golongan masyarakat yang untuk biaya berobat pun mengalami
kesulitan.

Penertiban praktik self dispensing oleh dokter hendaknya dibarengi dengan


perbaikan pelayanan kefarmasian agar pasien sebagai konsumen tidak dirugikan.

You might also like