Dalam tiga bulan terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melakukan gebrakan besar dengan mengumumkan penanganan kasus korupsi Abdullah Puteh pada tanggal 24 Mei 2004 lalu. Lembaga negara yang khusus menangani upaya pemberantasan tindak pidana korupsi itu memeriksa Puteh atas dugaan skandal korupsi pengadaan helikopter MI-2 PLC Rostov dari Rusia. Abdullah Puteh selaku Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan juga sekaligus Penguasa Darurat Militer Daerah, diduga kuat menggelembungkan anggaran pembelian helikopter MI-2 PLC Rostov yang berpotensi merugikan negara 4 milyar lebih. Harga helikopter tersebut ternyata jauh lebih mahal dari pada heli sejenis yang dibeli TNI-AL. Dugaan itu didukung oleh laporan Tim Monitoring Terpadu yang dibentuk oleh Badan Pelaksana (BP) Penguasa Darurat Militer Daerah. Dalam laporannya, Tim Monitoring Terpadu menyebutkan telah terjadi beberapa tindak pidana korupsi selama pelaksanaan darurat militer pertama dan kedua. Disamping itu, sebuah LSM menemukan pula bukti-bukti keterlibatan Puteh dalam penyimpangan dana berbagai proyek di Aceh. Menyikapi laporan Tim Monitoring Terpadu, KPK mengeluarkan surat tertanggal 10 Juni 2004 bernomor B 317/KPK/VI/2004 kepada Menko Polkam, yang berisi permintaan untuk memperoleh laporan lengkap yang dibuat Tim Monitoring Terpadu Badan Pelaksana (BP) Penguasa Darurat Militer Daerah. Langkah KPK berikutnya, menetapkan Abdullah Puteh sebagai tersangka kasus korupsi helikopter MI-2 pada akhir Juni 2004 lalu. Bahkan lebih jauh lagi, KPK berencana melakukan penjemputan paksa ketika Puteh tidak menghadiri dua kali panggilan untuk diperiksa tim penyidik KPK. Meskipun penjemputan paksa ini akhirnya urung dilakukan karena pada panggilan yang ketiga, Puteh bersedia memenuhi panggilan KPK. Berbagai langkah yang dilakukan KPK khususnya dalam kasus Puteh menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana wewenang KPK dalam menjalankan tugas-tugasnya. Apakah prosedur yang ditempuh KPK masih dalam kerangka UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Pembentukan KPK UU No. 30 Tahun 2002 Pasal 3 menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berpegang pada asas: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Dengan terbentuknya KPK, maka Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) menjadi bagian bidang pencegahan pada KPK. Tujuan pembentukan KPK adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini mengingat lembaga pemerintah yang ada belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Menurut Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 KPK mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sesuai Dengan Ketentuan Hukum Langkah KPK memeriksa Abdullah Puteh merupakan bagian dari wewenang KPK. Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 menegaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit satu milyar rupiah. Kasus Puteh memenuhi ketiga unsur di atas. Pertama Puteh merupakan penyelenggara negara (sebagai Gubernur NAD). Kedua kasus itu menimbulkan reaksi keras dari rakyat Aceh sendiri, masyarakat umum, dan berbagai LSM, sehingga telah meresahkan masyarakat. Ketiga Puteh diduga kuat merugikan negara sekurang-kurangnya empat milyar rupiah. Dengan demikian apa yang dilakukan KPK dalam kasus Puteh telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Permintaan KPK kepada Menko Polkam untuk meminta laporan lengkap Tim Monitoring Terpadu telah sesuai dengan wewenangnya. Pasal 39 ayat 1 menyatakan, Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pada ayat 2 berbunyi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 5 (1) butir a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa penyelidik berwenang mencari keterangan dan barang bukti. Namun sayangnya permintaan KPK tersebut ditolak Menko Polkam ad interim selaku ketua BP Harian Penguasa Darurat Sipil Pusat. Dalam surat bernomor R 39/Menko/Polkam/2004, KPK disarankan berkoordinasi langsung dengan departemen atau instansi terkait yang bersangkutan karena hasil Tim Monitoring Terpadu yang dibentuk oleh BP Penguasa Darurat Militer Daerah telah diserahkan sepenuhnya kepada instansi terkait untuk ditindaklanjuti. Sehubungan dengan keinginan KPK menjemput paksa Gubernur NAD itu —meskipun tidak jadi—juga masih merupakan wewenangnya. Pasal 12 ayat 1 butir i UU No. 30 Tahun 2002 menyatakan KPK dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berwenang meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Mengenai tata caranya disebutkan dalam Pasal 38. Isinya, kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 berlaku bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK. Menurut Pasal 112 (2) diatur bahwa orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Kewenangan Luar Biasa Mengingat tindak pidana korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi rakyat, maka pemberantasannya perlu dilakukan oleh lembaga yang memiliki “kewenangan luar biasa”. Sebagai lembaga yang khusus menangani tindak pidana korupsi, KPK memiliki kewenangan luar biasa yang dapat dikatakan melebihi wewenang instansi lainnya seperti polisi dan jaksa. Dalam kasus Puteh, KPK hendaknya mampu mengoptimalkan wewenang luar biasa yang diberikan oleh UU No. 30 Tahun 2002. Antara lain memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka dari jabatannya (Pasal 12 ayat 1 butir e). Instansi-instansi terkait lainnya juga harus mendukung langkah- langkah KPK menggunakan wewenang luar biasanya agar tercipta pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien. Terlepas dari terbukti tidaknya Abdullah Puteh di pengadilan nanti, proses hukum harus ditegakkan. Hukum harus dijalankan tanpa melihat siapa yang bersalah. Semua orang harus mendapat perlakuan sama dimuka hukum. Tentunya dengan penegakan hukum yang tidak melanggar hukum.