Secara umum, edema didefinisikan pengumpulan cairan berlebihan pada sela-
sela jaringan atau rongga tubuh (Pringgoutomo, 2002). Edema juga dapat diartikan meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan ini dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa (Himawan, 1990). Cairan yang mengumpul dalam sebuah rongga biasanya dinamakan efusi, misalnya efusi perikardium dan efusi pleura. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneum disebut asites (Price, 2002). Edema umum yang masif sering disebut anasarka, yaitu penimbunan cairan dalam jaringan subcutis dan rongga tubuh (Himawan, 1990). Istilah dulu yang sering menunjukkan edema adalah hidrops dan drops. Edema dapat bersifat setempat atau umum. Tatanama edema pun ada hal yang harus diperhatikan. Hal yang harus diperhatikan yaitu berupa atau memperhatikan letak edema terjadi (edema yang terjadi pada rongga serosa tubuh). Contohnya hidrotoraks, hidroperikardium, dan hidroperitoneum (asites) (Pringgoutomo, 2002). Edema timbul sebagai akibat dari peningkatan daya dorong cairan dari pembuluh menuju jaringan antar sel (Pringgoutomo, 2002). Secara umum, etiologi edema yaitu sebagai berikut: 1. Peningkatan tekanan kapiler Tekanan darah berfungsi mendorong cairan dari pembuluh darah ke arah rongga interstisial (Pringgoutomo, 2002). Tekanan darah dalam kapiler bergantung kepada: A. Tonus arteriol B. Kebebasan aliran darah dalam vena C. Sikap tubuh (posture) D. Temperatur dan beberapa faktor lain Peristiwa edema yang dapat terjadi yaitu melalui mekanisme dimulai dengan tekanan vena sentral yang meningkat menghalangi darah balik vena dari perifer menuju ventrikel kanan. Peningkatan tekanan vena menyebabkan statis darah pada venula dan kapilar dan selanjutnya peningkatan tekanan intrakapiler mendorong cairan tersebut ke dalam rongga interstisial (Pringgoutomo, 2002). Edema ini terjadi pada ekstremitas bawah pasien dengan gagal jantung kongestif. Edema pulmoner terjadi pada gagal jantung kiri, yang menyebabkan peningkatan tekanan vena paru dan pengaliran cairan yang berasal dari kapiler-kapiler paru tersebut ke dalam alveol (Pringgoutomo, 2002).
2. Penurunan tekanan osmotik plasma
Tekanan osmotik koloid plasma berfungsi untuk mempertahankan cairan agar tidak mengalir ke dalam rongga interstisial. Hal ini terutama merupakan fungsi albumin. Albumin dihasilkan oleh hati dan apabila terdapat kerusakan pada hati, maka dapat terjadi keadaan hipoalbuminemia. Pada sindrom nefrotik, penyakit ginjal yang ditandai oleh proteinuria akibat peningkatan permeabilitas membran basalis glomerulus, hipoalbuminemia terjadi karena kehilangan berlebihan albumin dalam urin. Pada kasus kedua tersebut, hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan osmotik plasma, yang memungkinkan cairan tersebut merembes ke dalam rongga interstisial (Pringoutomo, 2002). Malnutrisi juga menyebabkan terjadinya penurunan masukan (intake) albumin, yang kemudian mengakibatkan penurunan tekanan osmotik plasma. Selanjutnya, timbul edema (Pringoutomo, 2002).
3. Obstruksi saluran limfe
Cairan limfe merupakan sebagian cairan hasil metabolisme yang masuk ke dalam pembuluh limfe. Saluran limfe ini berfungsi sebagai jalan utama aliran cairan interstisial (Pringgoutomo, 2002). Apabila terjadi obstruksi, maka dapat terjadai edema pada bagian distal daerah obstruksi. Hal yang menyebabkan obstruksi saluran limfe yaitu berupa kanker payudara, fibrosis pascaradiasi, dan filariasis. Tumor ganas atau fibrosis saluran limfe akibat radiasi tumor ganas payudara yang menyumbat aliran limfe di daerah aksila dapat menimbulkan edema lengan. Gangguan aliran limfe pada suatu daerah tertentu, maka cairan yang tertimbun, dinamai limfedema (Himawan, 1990). 4. Peningkatan permeabilitas kapiler Pada keadaan normal permeabilitas pembuluh darah berfungsi untuk menjaga agara protein plasma tetap tetap berada dalam pembuluh kapiler. Daya atau kesanggupan permeabilitas ini bergantung kepada substansi semen yang mengikat sel-sel endotel tersebut. Seperti, akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel, permeabilitas bertambah (Himawan, 1990). Hal ini mengakibatkan protein plasma keluar dari kapiler, sehingga tekanan osmotik koloid darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstisium bertambah. Lalu, mengakibatkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan menimbulkan edema (Himawan, 1990). Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada: A. Infeksi berat B. Reaksi anafilaktik C. Keracunan akibat obat-obatan atau zat kimiawi D. Anoxia vena yang meningkat akibat payah jantung E. Kekurangan protein dalam plasma akibat albuminuria F. Retensi natrium dan air pada penyakit ginjal tertentu Edema setempat sering terjadi akibat bertambahnya permeabilitas kapiler disebabkan oleh radang. Pembengkakan kulit setempat sering terjadi akibat: A. Reaksi alergik B. Gigitan atau sengatan serangga C. Luka besar D. Infeksi atau akibat terkena zat-zat kimiawi yang tajam seperti soda bakar atau asam-asam keras. Edema angioneurotik adalah edema setempat yang sering timbul dalam waktu yang singkat tanpa sebab jelas.
5. Gangguan pertukaran natrium atau keseimbangan elektrolit
Edema yang terjadi pada gangguan pertukaran natrium atau keseimbangan elektrolit didahului oleh keadaan hipertoni. Selanjutnya, hipertoni akan menahan air yang berada dalam pembuluh atau ruang interstisial. Gangguan ini merupakan faktor yang turut berperan dalam edema akibat payah jantung, sirosis hepatis, dan penyakit ginjal. Dalam keadaan penurunan fungsi ginjal akut, retensi natrium merupakan penyebab primer edema (Pringoutomo, 2002). Retensi natrium terjadi bila ekskresi natrium dalam air kemih lebih daripada yang masuk (intake). Retensi natrium dapat dipengaruhi atau di luar pengaruh ginjal (renal atau eksternal); hormonal atau neurogen. Eksternal dipengarui oleh saraf. Retensi natrium renal dapat terjadi akibat berkurangnya jumlah filtrasi oleh glomerulus, sedang reabsorpsi natrium oleh tubulus ginjal biasa (normal). Contohnya pada penderita payah jantung, cirrhosis hepatis dan sindrom nefrotik diketahui bahwa jumlah hormon aldosteron (suatu hormon berasal dari kortex adrenal dan yang dapat menyebabkan retensi natrium dan ekskresi kalium bertambah (Himawan, 1990). Edema akibat retensi natrium yang bersifat ekstrarenal dapat juga disebabkan oleh hormon lain. Pada penderita yang mendapat pengobatan dengan ACTH, testosteron, progesteron atau esterogen sering terjadi edema sedikit atau banyak (Himawan, 1990).
DAFTAR PUSTAKA
Himawan, S. (1990). Patologi. Jakarta: Bagian Patologi Anatomin Fakultas
Kedokteran.
Pringoutomo, S., Hiwaman, S., dan Tjarta, A. (2002). Patologi I (Umum). Jakarta: Sagung Seto.