You are on page 1of 22

1

PENATA-GUNAAN
SUMBERDAYA LAHAN

Intisari

Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang


pembangunan telah meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan
sumberdaya lahan di Indonesia. Selain itu, pengembangan sumberdaya
lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang
pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan
lainnya. Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang
dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat
kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini, dapat
menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak
berkelanjutan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, telah disusun suatu strategi dalam
perencanaan pemanfaatan sumberdaya lahan yang efisien, berkeadilan dan
berketanjutan guna mencegah dampak negatif dari kegiatan yang dilakukan,
yang dijabarkan dalam empat bidang prospektif sebagai berikut:
A. Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Tata
Ruang.
B. Peraturan Daerah Pertanahan.
C. Penataan Kelembagaan Pertanahan.
D. Sistem lnformasi dan Pendataan.

1. Dasar Pemikiran

1.1. Latar Belakang


D alam uraian ini dibahas tentang permasalahan, kendala, serta
potensi-potensi yang terkait dengan perencanaan sumberdaya lahan di
Indonesia. Di samping itu, juga akan mengulas kegiatan-kegiatan pokok
yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas perencanaan sumberdaya
lahan serta garis-garis besar pelaksanaannya. Secara umum agenda ini
diharapkan dapat menjadi landasan bagi perumusan kebijakan
pengembangan sumberdaya lahan di Indonesia, untuk menuju pemanfaatan
sumberdaya lahan secara efisien, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Tantangan yang dihadapi dalam bidang pertanahan memasuki
pembangunan di masa yang akan datang akan bertambah berat. Hal ini
karena setiap kegiatan harus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi
yang ditargetkan rata-rata 6% per tahun (Harsono, 1995). Di lain pihak,
kebijakan pertanahan harus dapat meningkatkan nilai keberlanjutan dalam
pemeliharaan lahan dan lingkungan hidup.
2

Pada dasarnya ada tiga aspek makro yang akan sangat


mempengaruhi bidang pertanahan di Indonesia adalah: (1) Globalisasi
perekonomian; (2) Transformasi struktur perekonomian nasional dan (3)
Peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi kuat.
Upaya-upaya kebijakan yang akan dilakukan harus terarah pada
peningkatan kemampuan dari kapasitas kelembagaan (institusi),
administrasi, dan manajemen pertanahan; peningkatan efisiensi,
keberlanjutan dan pemerataan; peningkatan efektivitas peraturan-peraturan
terkait dan pengembangan sumberdaya manusia.
Berdasarkan hal tersebut, secara lebih sistematik pada hakikatnya
ada empat pokok bidang program yang saling terkait bagi perencanaan
sumberdaya lahan di Indonesia, yaitu:
1. Peningkatan efektivitas perencanaan pengembangan lahan dan tata
ruang;
2. Penataan peraturan daerah;
3. Penataan kelembagaan (institusi) dan
4. Pengembangan sistem informasi dan pendataan.

Pilihan tersebut diagendakan mengingat adanya fakta menarik untuk


melihat kecenderungan dan proyeksi-proyeksi yang mempengaruhi
perkembangan penggunaan lahan di Indonesia untuk masa kini dan yang
akan datang.

Ada tiga aspek yang perlu dibahas dalam kecenderungan dan


proyeksi yang berdampak pada tata guna lahan dan tata ruang, yaitu:
1. Laju konversi tanah pertanian ke non-pertanian;
2. Perkembangan kegiatan sosial-ekonomi perkotaan; dan
3. Laju pertumbuhan penduduk.

Bila konversi lahan pertanian beririgasi teknis ke non-pertanian tidak


dapat dikendalikan, maka akan terjadi pengurangan luasan lahan produktif
di Indonesia yang akan berdampak langsung pada produksi pertanian baik
tanaman pangan dan industri, kejadian tersebut mempunyai arti kerugian
bagi Indonesia.
Situasi kontradiktif telah terjadi di Indonesia, dimana luas lahan
pertanian semakin menurun sedangkan permintaan pangan terus meningkat,
hal ini merupakan suatu fenomena yang harus dicermati secara hati-hati.
Apabila tidak segera diadakan monitoring dan evaluasi, tidak mustahil akan
terjadi defisit pangan dimasa yang akan datang.
Dengan perkembangan kegiatan ekonomi non-pertanian dan
perkembangan perkotaan yang sangat pesat, tampaknya sangat sulit untuk
membendung konversi lahan pertanian, namun yang perlu dilakukan adalah
mengarahkan proses ini secara lebih bijaksana, tidak hanya menguntungkan
sekelompok pihak tertentu saja dan mengikuti suatu rencana dan prosedur
serta proses yang dampaknya tidak merugikan masyarakat luas. Rencana,
3

prosedur, serta proses teknis inilah yang perlu dikembangkan, yang memang
telah diantisipasi dengan diterbitkannya Keppres No. 53 tahun 1989
mengenai kawasan industri dan Keppres No. 33 tahun 1990 tentang
penggunaan tanah bagi pembangunan kawasan industri, Perda Jatim No. 11
Tahun 1991.
Sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi non-pertanian dan
perkembangan kota yang dikemukakan diatas, tampaknya altenatif lain
seperti: reklamasi pantai akan semakin menjadi suatu pilihan bagi
pengembangan kota. Saat, ini telah dimulai dengan rencana reklamasi
pantai beberapa kota besar seperti Surabaya, Probolinggo, Pasuruan, Gresik,
Banyuwangi dan beberapa kota lainnya.
Hal ini cenderung akan menjadi model untuk pembangunan kota-
kota dipantai Indonesia di masa yang akan datang. Masalahnya, hingga kini
belum ada prosedur yang baku untuk proses reklamasi tersebut, sehingga
menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya berbagai dampak sosio-
ekonomis maupun lingkungan, seperti terjadinya banjir dan rusaknya hutan
bakau (mangrove) yang mempunyai fungsi ekologis.
Di lain pihak, hal tersebut mengindikasikan begitu cepatnya
perkembangan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya kegiatan
swasta, yang tidak diimbangi dengan kemampuan perencanaan tata ruang
dan penatagunaan lahan yang memadai. Sehingga menimbulkan kesan
pengenyampingan fungsi lahan sebagai fungsi ekologis.
Di balik kecenderungan perkembangan yang dikemukakan di atas,
perlu pula dicatat bahwa selama ini telah terjadi fragmentasi penguasaan
lahan khususnya di Kota-kota berkembang (Surabaya, Malang, Jember,
Gresik). Dari data pemilikan yang ada bahwa rata-rata pemilikan lahan di
Indonesia mencapai adalah 0,58 ha/KK. Ciri fragmentasi ini lebih dipertegas
lagi dengan pertambahan jumlah petani gurem, yaitu keluarga petani dengan
pemilikan tanah kurang dari 0,1 ha. Mengamati gambaran tersebut di atas,
masalah pertanahan di masa yang akan datang akan jauh lebih berat bila
dibandingkan dengan dewasa ini.

1.2. Strategi Penata-gunaan

1.2.1. Visi
Mempertahankan fungsi lahan sebagai sumberdaya ekonomi dan
sumberdaya ekologis untuk penunjang kehidupan masyarakat, sehingga
tetap berfungsi optimal dan layak untuk diwariskan kepada generasi
mendatang.

1.2.2. Misi
Penataan Penggunaan Lahan di Indonesia mempunyai misi: (1)
pemanfaatan lahan disesuaikan dengan kemampuannya; (2) dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal, minimize diseconomic externalities, (3)
4

mengendalikan laju konversi (alih fungsi) tanah, dan (4) mempunyai


kepastian hukum.

1.2.3. Tujuan
Dengan berbagai pertimbangan baik fakta, strategi dan menghadapi
situasi dimasa yang akan datang, maka tujuan dari penataan penggunaan
lahan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sinkronisasi perencanaan, pengembangan dengan
kemampuan lahan;
2. Penataan kembali tata kepemilikan lahan;
3. Pemantapan kelembagaan pertanahan;
4. Sistem infromasi pertanahan;
5. Monitoring dan evaluasi pertanahan secara terpadu dan
berkesinambungan.

Atas dasar proyeksi dan kecenderungan tersebut di atas, uraian


selanjutnya membahas masing-masing bidang program yang meliputi:
Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang;
Peraturan Daerah tentang Pertanahan; Kelembagaan; dan Sistem lnformasi.

2.1. Bidang A. PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN


SUMBERDAYA LAHAN DAN TATA RUANG

2.1.1. Dasar Pertimbangan


Laju perkembangan penduduk dan aktivitas ekonomi di Indonesia
sangat pesat, sehingga menimbulkan masalah lahan dan tata ruang menjadi
sangat strategis. Hal ini terjadi karena lahan pada hakikatnya adalah lokasi
di mana kegiatan sosial-ekonomi penduduk dilakukan.
Di Indonesia masalah pertanahan dicerminkan misalnya terjadinya
konversi hutan ke lahan pertanian atau dari lahan pertanian menjadi lahan
non-pertanian. Lebih hebat lagi yang terjadi pada dewasa ini adalah
konversi tanah pertanian subur secara besar-besaran menjadi kawasan
perkotaan, khususnya kawasan industri dan permukiman berskala besar
(pemekaran kota-kota baru).
Demikian pula alih fungsi lahan di kota-kota besar seperti Surabaya,
Malang, Sidoarjo, Jember, Banyuwangi dan beberapa kota lainnya
khususnya dari kawasan permukiman menjadi kawasan komersial dan
perkantoran telah terjadi kecepatan yang sangat tinggi.
Kondisi tata ruang di wilayah perkotaan dicirikan dengan
penggunaan lahan yang tidak efisien. Pembangunan permukiman-
permukiman baru, khususnya untuk perumahan mewah sesungguhnya
bukanlah karena sebagai respon atas kebutuhan perkembangan kota,
melainkan cerminan perkembangan bisnis properti. Banyak kawasan-
kawasan perumahan tersebut yang tingkat huniannya (occupancy rate)
rendah karena hanya merupakan rumah kedua atau ketiga dari pemliknya.
5

Demikian pula beberapa kawasan industri yang lahannya sudah


dibebaskan sejak lama, namun pembangunannya baru sebagian kecil saja,
sedangkan sisanya terlantar menjadi lahan tidur (sleeping land), tidak
didayagunakan seperti yang diusulkan semula. Memang menanam investasi
(modal) dalam lahan sangat menguntungkan, karena tingkat bunga di bank
pada umumnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan laju kenaikan
harga lahan. Dengan kata lain, harga cenderung lebih merupakan suatu
spekulasi lahan. Padahal seperti telah ditegaskan penguasaan lahan secara
absente dan terlantar perlu dicegah agar terjamin fungsi lahan sebagai sebap
faktor produksi dan sumber kehidupan bagi masyarakat.
Adalah sesuatu yang diketahui oleh umum bahwa proses
pembebasan lahan seringkali merupakan hal yang sangat menyakitkan
rakyat sebagai pemilik, dan melibatkan calo yang memborong lahan di suatu
daerah yang akan dibangun oleh pemerintah dan swasta, sedangkan ijin
lokasi dan ijin pembebasan belum diperoleh.
Secara garis besar alih fungsi lahan pertanian di Indonesia,
khususnya sawah ke non-pertanian telah mengalai peningkatan yang sangat
pesat. Alih fungsi kawasan pertanian subur beririgasi teknis, seperti yang
tengah terjadi di sebagian besar Indonesia, jelas merupakan pemborosan
dalam investasi pembangunan irigasi yang telah dilakukan. Memang secara
mikro bagi petani pemilik menjual tanah kepada investor akan jauh lebih
menguntungkan ketimbang mengolah tanah tersebut untuk menghasilkan
komoditi pertanian. Sebaliknya, secara makro alih fungsi tersebut
merupakan suatu kerugian, di samping juga kekuatiran penurunan produksi
pangan akibat menyusutnya lahan pertanian, serta masalah sosial-ekonomi,
politis maupun ekologis.
Dalam banyak kasus alih fungsi lahan pertanian terjadi pula pada
kawasan lindung yang dalam rencana tata ruangnya telah ditetapkan sebagai
kawasan yang tidak boleh dibangun secara intensif, seperti misalnya telah
terjadi kawasan Batu, Prigen, Poncokusumo, Bromo-Tengger-Semeru, Alas
Purwo (jalan tembus ke Plengkung) dan beberapa kawasan lindung lainnya.
Dalam perkembangan kota yang sangat cepat seperti yang terjadi
pada dewasa ini, penyediaan lahan merupakan kendala utama. Tidak
mengherankan bila harga lahan di pusat perkembangan/kota membumbung
dengan luar biasa. Untuk itu tampaknya kehadiran suatu kebijakan
pengembangan lahan perkotaan, termasuk penyediaan lahan untuk
perkembangan kota, semakin penting untuk diagendakan.
Salah satu komponen perkotaan yang membutuhkan lahan yang
sangat luas adalah perumahan. Untuk itu perlu dilihat secara spesifik
mengenai kecenderungan kebutuhan lahan bagi perumahan, khususnya bagi
perumahan sederhana dan sangat sederhana (RS/RSS). Untuk itu peraturan
tentang kebijakan rasio dengan rumah mewah perlu ditegakkan, karena
dalam pelaksanaannya banyak pengembang yang tidak mengikuti ketentuan.
6

Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan keterkaitan antara konsep


hunian berimbang dengan rencana umum tata ruang kota. Namun demikian,
kesulitan muncul karena pengembang diharuskan membangun dengan
konsep 1:3:6 pada suatu lokasi, yang memacu terbentuknya
pengelompokan-pengelompokan (konsentrasi hunian yang tidak terintegrasi
dengan rencana peruntukan wilayah permukiman kota secara keseluruhan.
Dengan demikian, dari sudut pandang tata ruang kota pembangunan hunian
berimbang harus dilihat dalam skala kota secara keseluruhan, bukan pada
unit-unit lokasi pembangunan yang dikuasai oleh pengembang.
Di samping kecenderungan yang terjadi di wilayah perkotaan seperti
yang dikemukakan di atas perlu dikaji kecenderungan yang terjadi di
wilayah perdesaan. Telah diantisipasi pula untuk penduduk perdesaan yang
masih tergantung pada kegiatan pertanian makin besar, sedangkan di lain
pihak lahan untuk usaha pertanian akan semakin berkurang karena
pembangunan perkotaan dan industri.
Hal ini pada gilirannya akan menjadi dorongan untuk pembukaan
(konversi) kawasan-kawasan hutan menjadi lahan pertanian baru, karena
lahan pertanian di sekitar kota-kota telah beralih fungsi menjadi kawasan
perkotaan dan industri.
Kegiatan lain yang dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya lahan
adalah pertambangan. Seperti yang tejadi di daerah industri semen, kapur,
dan galian C lainnya (Gresik, Tuban, Tulung Agung, Malang Selatan)
bahwa pembangunan dalam sektor pertambangan/galian C berkembang
dengan pesat di samping dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan
hidup dan mempercepat penurunan (degradasi) sumberdaya lahan.
Hal ini khususnya tedadi pada wilayah-wilayah yang semula
merupakan tempat produksi hasil tambang yang sangat potensial, namun
karena sesuatu hal antara lain karena ditemukan bahan sintetis bagi hasil
tambang tersebut, atau merosotnya harga di pasar internasional, eksplorasi
tambang tersebut terpaksa dihentikan karena tidak ekonomis lagi walaupun
cadangannya cukup banyak, seperti yang terjadi dengan penambangan pasir
dan batu (sirtu), marmer, dan beberapa bahan lainnya.
Dalam konteks pengembangan wilayah (regional development) dan
tata ruang yang lebih luas, kegiatan penambangan sejak awal perlu
dipadukan dengan pengembangan wilayah secara keseluruhan, dan
biasanya hanya difokuskan pada kegiatan penambangan semata, yang telah
terbukti pada akhirnya dapat menimbulkan masalah. Dimasa yang akan
datang perlu diagendakan pemanfaatan lahan untuk pertambangan yang
ramah lingkungan, sehingga reklamasi lahan bekas tambang perlu
dilaksanakan.
Di samping itu ketidakserasian program-program, baik dalam sektor
yang sama ataupun antar sektor, menyebabkan kesulitan bagi Pemerintah
Propinsi Indonesia dan masyarakat dalam penataan ruang. Suatu contoh
misalnya, pihak-pihak yang terkait langsung dengan upaya peningkatan
produksi pangan untuk tujuan swasembada pangan sangat menganjurkan
7

penggunaan lahan untuk pangan. Di lain pihak, pihak-pihak yang terkait


dengan intensifikasi penanaman tebu untuk produksi gula tentu saja sangat
menganjurkan penanaman tebu. Demikian pula untuk kehutanan
mempunyai alasan tersendiri untuk memanfaatkan tanah untuk konservasi
tanah dan air. Hal ini menggambarkan konflik kepentingan baik intra sektor
maupun antarsektor, yang kerapkali muncul dalam penataan ruang. Contoh
yang lain adalah pengembangan kawasan-kawasan pariwisata yang tidak
selaras dengan pengembangan kawasan-kawasan industri yang mencemari
lingkungan dan seterusnya.
Masalah lain yang sering terkait dengan tata ruang adalah ketidak
taatan asas (inconsistency) antara rencana umum tata ruang (RUTR) dengan
apa yang terjadi dalam pelaksanaannya. Sesungguhnya rencana tata ruang
dimaksudkan sebagai alat koordinasi pembangunan sektor, artinya
pembangunan sektor-sektor haanya mengacu kepada rencana tata ruang.
Dengan kata lain, sering terjadi pelaksanaan pembangunan wilayah kota
yang karena sesuatu hal menyimpang dari RUTR semula. lni bisa terjadi
karena lemahnya koordinasi pelaksanaan pembangunan yang seharusnya
dimotori oleh Bappeprop, atau memang karena ada "tekanan-tekanan"
tertentu.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa transformasi kegiatan


sosio-ekonomi yang juga digerakkan oleh gagasan forces telah membawa
dampak pada konversi tanah pertanian ke non-pertanian secara besar-
besaran. Masalah kelangkaan lahan khususnya di perkotaan di masa yang
akan datang akan semakin memacu konversi penggunaan lahan dii
Indonesia dimasa yang akan datang.
Di samping itu, pada saat ini terjadi penguasaan lahan dalam skala
besar oleh pihak-pihak tertentu. Sebaliknya di wilayah perdesaan
fragmentasi pemilikan tanah. Masalah lain yang dihadapi adalah semakin
berkurangnya hutan kawasan lindung serta munculnya tanah-tanah kritis
baik di Indonesia.

2.1.2. Tujuan
Upaya untuk meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan
serta evaluasi untuk pendayagunaan sumberdaya tanah;
Formulasi pokok-pokok upaya untuk meningkatkan efektivitas
perencanaan, pelaksanaan serta tata cara evaluasi untuk pendayagunaan
sumberdaya tanah;
Policy reforms dalam pendayagunaan sumber tanah dan tata ruang
yang lebih efisien dan berkelanjutan dan berkeadilan.

2.1.3. Rencana Strategis


Untuk dapat melaksanakan program tersebut diperlukan pentahapan
yang dituangkan dalam rencana strategis sebagai berikut:
(1) memperkuat proses dan prosedur perencanaan,
8

(2) perbaikan pelaksanaan pengembangan sumberdaya tanah,


(3) memperkuat proses dan prosedur perencanaan,
(4) perbaikan mekanisme dan pelaksanaan,
(5) pengembangan sumberdaya manusia perencana.

Prioritas Periode 2002-2010


Memperkuat Proses dan Prosedur Perencanaan, terdiri atas beberapa
kegiatan yang harus dilakukan adalah:
1. Mempercepat penyelesaian konsep Strategi Pengembangan Pola Tata
Ruang (SPPTR), bagi acuan penataan ruang pada tingkat Propinsi,
Kabupaten dan Kota, maupun Kecamatan/ Desa;
2. Inventarisasi lokasi serta kondisi lahan kritis dan upaya reklamasinya;
3. Mengkaji proses perencanaan serta manajemen konservasi tanah hutan
luar hutan, termasuk tanah-tanah rusak pada areal-areal bekas
penambangan, dan kemudian merumuskan konsep yang lebih sistematis
mengenal konservasi tanah;
4. Penetapan prosedur dan proses reklamasi pantai, waduk dan rawa untuk
tujuan pengembangan lahan;
5. Penetapan prosedur dan proses alih fungsi penggunaan lahan (land use)
baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan;
6. Penetapan prosedur, proses dan standar perencanaan tata ruang yang
masih cukup fleksibel dengan kondisi-kondisi geografis di Indonesia
yang sangat beragam;
7. Melakukan pengkajian dan pengembangan konsep-konsep manajemen
lahan perkotaan, khususnya penyediaan lahan bagi pembangunan kota,
seperti konsolidasi lahan (land consolidation) dan kawasan siap bangun
serta penyediaan lahan/bank tanah ( land banking) dan lainnya;
8. Melakukan evaluasi, Revisi dan Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah baik untuk Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota;
9. Melaksanakan AMDAL untuk pengembangan lahan berskala besar.

Perbaikan Pelaksanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, tediri


atas beberapa kegiatan antara lain:
1. Identifikasi kelemahan-kelemahan mekanisme perencanaan,
2. Koordinasi pelaksanaan pembangunan antarsektor serta pemantauan
maupun penegakan peraturan-peraturan yang terkait dengan tata ruang
dan pengembangan lahan di Indonesia, dalam upaya pencapaian tujuan;
3. Pendayagunaan sumberdaya lahan dan penataan ruang yang
berkelanjutan, efisien dan berkeadilan;
4. Memformulasikan mekanisme partisipasi swasta dan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pengembangan sumberdaya
lahan dan penataan ruang;
5. Mengkaji instrumen-instrumen kontrol dalam perencanaan tata ruang
dan tata guna lahan (development control), termasuk instrumen-
instrumen pajak, ijin lokasi dan penguasaan tanah dan ijin mendirikan
9

bangunan (IMB). Dalam hal ini khususnya perlu mengkaji sistem


property tax dan land evaluation, seperti: Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) yang berlaku sekarang, serta kemungkinan penerapan pajak nilai
tanah (land value tax), pajak pertambahan nilai tanah (land increment
tax), pajak nilai lokasi (location value tax), dan pajak penggantian
prasarana (betterment levies) di dalam konteks peraturan daerah
propinsi, kabupaten dan kota tentang perpajakan di Indonesia;
6. Pengkajian kemungkinan penerapan instumen dampak fiskal atas
proyek-proyek pembangunan yang mempunyai dampak publik yang
luas;
7. Pengkajian kemungkinan penetapan suatu lembaga untuk melakukan
pemantauan, evaluasi dan menentukan harga tanah, yang selanjutnya
dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti transaksi jual-beli,
perpajakan dan lainnya.

Pengembangan Sumberdaya Manusia untuk Perencanaan, terdiri atas


beberapa kegiatan, yaitu:
1. Menyelenggarakan program-program pelatihan teknis dalam bidang
perencanaan;
2. Pelaksanaan serta evaluasi pengembangan sumberdaya lahan dan tata
ruang;
3. Pengiriman tenaga ke luar negeri untuk mengikuti program yang serupa
maupun program kesarjanaan baik untuk staf pemerintah propinsi,
kabupaten dan kota bahkan dari LSM, untuk meningkatkan kemampuan
tenaga-tenaga teknis;

Periode 2010-2020
Memperkuat Proses dan Prosedur Perencanaan, terdiri atas kegiatan:
1. Perbaikan dalam Proses dan Prosedur Perencanaan;
2. Pembaruan data dan pemantauan lokasi serta kondisi tanah-tanah kritis;
3. Mengembangkan konsep konservasi tanah secara kontinyu;
4. Melakukan pengkajian dan pengembangan konsep-konsep manajemen
tanah perkotaan, khusus penyediaan lahan bagi pembangunan
pedesaan/kota;
5. Penetapan prosedur, proses dan standar perencanaan tata ruang yang
masih cukup fieksibel dengan kondisi-kondisi geografis di Indonesia
yang sangat beragam;
6. Melakukan evaluasi, Revisi dan Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah baik untuk Propinsi maupun Kabupaten dan Kota;
Perbaikan Mekanisme Perencanaan dan Pelaksanaan:
1. Mengkaji kelemahan-kelemahan mekanisme perencanaan,
koordinasi pelaksanaan antarsektor, pemantauan maupun penegakan
peraturan-peraturan yang terkait dengan tata ruang pengembangan lahan
di Indonesia, dalam kaitannya menuju pendayagunaan sumberdaya tanah
penataan ruang yang berkelanjutan, efisien dan "berkeadilan";
10

2. Memformulasikan mekanisme partisipasi swasta dan


masyarakat untuk berpartisipasi akif di pelaksanaan pengembangan
sumberdaya lahan dan penataan ruang;
3. Mengkaji secara kontinyu instrumen-instrumen kendaii
dalam perencanaan tata ruang dan tata guna lahan, termasuk sistem
property tax dan land valuation.

Pengembangan Sumberdaya Manusia untuk Perencanaan, terdiri atas


beberapa kegiatan sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan program-program pelatihan teknis dalam bidang
perencanaan,
2. Pelaksanaan serta pengembangan sumberdaya lahan dan tata ruang;
3. Pengiriman tenaga keluar negeri untuk mengikuti program yang
serupa maupun program kesarjanaan baik untuk staf pemerintah
propinsi, kabupaten dan kota bahkan dari LSM, untuk meningkatkan
kemampuan tenaga-tenaga teknis.

Kebijakan Pertanahan, terdiri atas kegiatan:


Pembaharuan dalam kebijakan pengembangan lahan dan penataan
ruang yang terintegrasi dengan memperhatikan dimensi-dimensi
perkembangan kota, khususnya di Kota besar dan tujuan pengembangan
wilayah di pedesaan;
Alokasi lahan (land allocation) bagi penyedia pangan (food supply),
fauna dan flora sebagai sumberdaya alam terbarukan (renewable resource ),
permukiman, hutan, natural estetics, dan pemanfaatan sumberdaya alam
yang tak terbarukan.

2.2. Bidang B. PERATURAN DAERAH TENTANG


PERTANAHAN

2.2.1. Dasar Pertimbangan


Peraturan Daerah tentang pertanahan di Indonesia belum jelas arah
dan kebijakannya, hal ini terlihat pada sistem administrasi pertanahan yang
kompleks, karena sangat banyak dan beragamnya dinas/instansi yang terkait
dengan administrasi pertanahan di samping juga tumpang tindihnya
peraturan yang ada. Dalam bidang peraturan daerah dan keputusan
Gubernur menghadapi masalah yang cukup serius. Misalnya, sekurang-
kurangnya terdapat 1 Keputusan dan 2 Instruksi Gubernur Jatim yang
menyakut masalah pertanahan (Kepgub Nomor.295 Taun 1984; Ingub No.7
Tahun 1988 dan Ingub 38 Tahun 1988).
Pada saat ini Kantor Badan Pertanahan Nasional telah mempunyai
software untuk menginventarisasi hukum, peraturan maupun keputusan-
keputusan pengadilan mengenai pertanahan untuk memudahkan dan
menyederhanakan referensi. Hasil ini selanjutnya akan dicoba dijadikan
11

computerised data base, meliputi subjec index dan cross-referencing yang


lengkap (World Bank, 1994). Berdasarkan inventarisasi ini akan dilakukan
pengkajian dan kemudian kemungkinan penyederhanaan serta revisi
peraturan pertanahan. Tentu saja hal ini bukan pekerjaan yang mudah, dan
jelas akan memakan waktu yang cukup lama. Dengan demikian kini langkah
awal untuk perbaikan peraturan yang terkait dengan pertanahan perlu
segera dimulai dan diagendakan.
Semakin berkembangnya kegiatan sosial-ekonomi maupun politik
masyarakat mengakibatkan bervariasinya masalah pertanahan di Indonesia.
Hal ini pada gilirannya tentu saja membutuhkan pranata-pranata peraturan
daerah tentang pertanahan yang secara spesifik relevan dengan kebutuhan
yang terus berkembang.
Walaupun banyak peraturan yang terkait dengan pertanahan menurut
catatan World Bank (1994) Indonesia pada dasarnya terdapat empat undang-
undang pokok yang terkait langsung dan berdampak pada pertanahan, yaitu
Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960); Undang-Undang
Kehutanan (UU No. 5 tahun 1967); dan Undang-Undang Penataan Ruang
(UU No. 24 tahun 1992, Undang-Undang Pertambangan (UU No. 11 tahun
1967). Belum serasinya peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penataan ruang dan pertanahan telah menyebabkan terjadinya
tumpang tindih wewenang dan tanggung jawab antar instansi dalam
pengelolaan pertanahan dan penataan ruang.
Hal ini mengindikasikan, peraturan perundang-undangan yang ada
belum cukup dasarnya untuk memecahkan masalah memberikan landasan
hukum bagi pemecahan masalah pertanahan dan penataan ruang yang
semakin kompleks. Di lain pihak, sangat rumitnya peraturan-peraturan ini
menjadikan transaksi tanah menjadi berbelit-belit dan penuh risiko.
Masalah lain yang sering mencuat kepermukaan adalah kompensasi
penggusuran ataupun land transfer umumnya. Pihak penghuni lama merasa
sering diperlakukan tidak adil, dengan memperoleh penggantian yang tidak
sesuai dengan harga pasar. Menurut Simanungkalit (1995) paling sedikit ada
dua faktor yang menyebabkan terjadinya distorsi harga lahan, yang pada
gilirannya menyebabkan pasar pertanahan tidak bekerja secara efektif:
Pertama, seringkali pembebasan lahan oleh pengembang yang dilakukan
dengan harga "musyawarah" tapi tidak "mufakat" pada dasarnya adalah
telah menempatkan pengembang pada posisi monopsoni, karena rakyat
selaku pemilik tanah tidak mempunyai pilihan kepada siapa lahan mereka
harus dijual, dan sebaliknya pengembang berada dalam posisi oligopoli
ketika mereka menjual tanah kepada konsumen. Kedua, pada dasarnya
harga tanah di Indonesia bersifat oligopolistik di mana para pengembang
telah menguasai sebagaian besar lahan, sementara kemampuan memasok
rumah (tanah matang) hanya sekitar 12% saja. Kondisi pasaran yang
terdistorsi ini akan cenderung mendorong terjadinya pengusaan lahan dan
spekulasi secara besar-besaran, yang akan semakin sukar untuk
12

dikendalikan sekalipun dengan kebijakan kontraksi moneter, karena teibuka


kemungkinan untuk menggunakan modal asing.
Salah satu instrumen dalam pengaturan penggunaan lahan adalah
peraturan perpajakan. Secara spesifik ada dua jenis pajak lahan yang dapat
mengurangi spekulasi tanah, yaitu pajak properti dan pajak pertambahan
nilai. Pajak yang tinggi seyogianya dikenakan pada tanah-tanah "tidur”,
yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan.
Selanjutnya menurut Parengkuan (1995) beberapa masalah yang
terkait dengan PBB pada dewasa ini, bila hendak dijadikan sebagai
instrumen pengontrol penggunaan tanah, meliputi: (1) Sistem pendataan
pada saat belum dapat mengikuti pertumbuhan dan perkembangan yang
cepat obyek pajak di wilayah perkotaan. Sebagai instrumen pengatur
penggunaan tanah perkotaan, PBB seharusnya dapat mengantisipasi
pembangunan yang akan terjadi di masa yang akan datang ; (2) Belum
baiknya sistem penilaian PBB. Sistem penilaian obyek pajak dan penetapan
PBB belum mengacu pada kategori pola penggunaan tanah dan kriteria
kelas tanah sebagai salah satu variable utama dalam penilaian, sangat
membingungkan; (3) Sistem evaluasi PBB pada dewasa ini belum dapat
mengakomodasi perubahan-perubahan obyek pajak di wilayah perkotaan;
(4) Tarif PBB yang ditetapkan merupakan tarif tunggal yang relatif rendah
bila dibandingkan dengan tarif di negara-negara berkembang lainnya.
Demikian pula tarif ini tidak merupakan tarif progresif.
Demikian pula pada dewasa ini tidak ada sistem insentif dan
disinsentif bagi perubahan tata guna lahan (land use changes). Hal ini
sangat diperlukan untuk mencegah munculnya dampak negatif dari
perubahan tata guna lahan, serta mengupayakan manfaatnya sebesar-
besamya bagi masyarakat dan pemerintah. Sejauh ini perubahan tata guna
lahan mudah saja terjadi dan kemudian disahkan pada evaluasi rencana kota.
Hal ini idak dapat dibenarkan, bahkan sering menyebabkan ketidakpuasan
masyat-akat, karena perubahan tata guna lahan yang terjadi tidak sesuai
bahkan menyimpang dari rencana peruntukan yang diketahui masyarakat
(Winarso, 1995).
Instrumen lain yang sesungguhnya dapat dipakai untuk
mengendalikan penggunaan lahan ialah mekanisme ijin penggunaan, yang
pada dewasa ini di Indonesia mencakup ijin prinsip, ijin lokasi, pemberian
flak, ijin tapak (tata letak), dan IMB (ijin mendirikan bangunan). Beberapa
ketentuan perijinan yang belum lama dikeluarkan, meliputi Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2 tahun 1993 tentang,
memperoleh ijin lokasi dan hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka
penanaman modal serta peraturan pelaksanaannya yaitu berupa Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 22 tahun 19993 tentang ijin
lokasi, dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 21 tahun
1994 perihal perolehan, bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal
(Harsono, 1996). Namun demikian, dalam kennyataannya ijin prinsip dan
ijin lokasi yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengembang,
13

seakan-akan memberikan kuasa kepada para pengembang untuk melakukan


pembebasan tanah dengan, penggantian yang ditetapkan secara sepihak,
karena land market tidak bekerja secara efektif. Bank Dunia (1994) menilai
sistem ijin prinsip dan ijin lokasi yang berlaku pada dewasa ini mendorong
adanya spekulasi tanah. Demikian juga dalam banyak hal kenaikan harga
tanah yang terjadi karena pembangunan nfrastruktur tidak banyak
menyebabkan kenaikan dalam public revenue, bahkan kenaikan ini lebih,
dinikmati oleh para pengembang. Untuk menghadapi hal ini tampaknya
Pemerintah Propinsi harus memberlakukan masa waktu ijin lokasi secara
ketat.
Belum sinkronnya undang-undang dan peraturan-peraturan yang
terkait dengan penataan ruang pendayagunaan sumberdaya lahan banyak
tercermin dalam penyusunan maupun pelaksanaan tata ruang, mana sering
dijumpal "konflik" atau ketakserasian antarsektor dalam kepentingan dan
tujuan penggunaan lahan. Berbagai pihak sangat menonjolkan undang-
undang terkait yang menekankan fungsi dan perannya dalam penataan ruang
dan pembangunan pada umumnya, sehingga ada kecenderungan penataan
hendak dibawa kepada pendekatan pembangunan yang sektoral sifatnya.

2.2.2. Tujuan

Tujuan dari program ini adalah:


1. Sinkronisasi peraturan-perundangan yang terkait dengan pertanahan di
Indonesia;
2. Memberikan kepastian hukum bagi kepemilikan lahan;
3. Menghindari adanya konflik kepentingan lahan;
4. Identifikasi kelemahan peraturan yang berkaitan dengan lahan.

2.2.3. Rencana Strategis


Untuk dapat melaksanakan program tersebut diperlukan pentahapan
yang dituangkan dalam rencana strategis sebagai berikut: (1)
penyederhanaan peraturan dan mendorong peran serta masyarakat, (2)
pembaharuan peraturan sesuai dengan tuntutan kebutuhan, (3) peraturan
pendukung manajemen pertanahan.

Prioritas Periode 2002-2010

Menyederhanakan peraturan pertanahan dan meningkatkan


efektivitas, penerapan peraturan bagi kepeduan perencanaan dan manajemen
pengembangan sumberdaya lahan;
Menciptakan peraturan yang mendorong dan merangsang peranserta
masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan ruang, sesuai dengan
perkembangan sosial-ekonomi masyarakat kemajuan teknologi.

Periode 2010 - 2020


14

1. Melanjutkan penyederhanaan peraturan pertanahan dan


meningkatkan efektivitas penerapan peraturan bagi keperluan
perencanaan dan manajemen pengembangan sumberdaya lahan;
2. Meneruskan penciptaan peraturan yang mendorong dan merangsang
peranserta masyarakat dan swasta dalam perencanaan dan
pengembangan ruang, sesuai dengan perkembangan sosial-ekonomi
masyarakat dan kemajuan teknologi;
3. Mencapai pembaharuan dalam peraturan yang terkait dengan
penataan ruang dan tata guna lahan, sesuai dengan transformasi
sosial-ekonomi masyarakat agraris ke masyarakat industri
(perkotaan).

2.3. Bidang C. PENATAAN KELEMBAGAAN PERTANAHAN

2.3.1. Dasar Pertimbangan


Secara kelembagaan terdapat paling sedikit terdapat beberapa
dinas/isntasi yang terlibat dengan pertanahan, yang meliputi BPN (Badan
Pertanahan Nasional) dengan tanggung jawab dalam pendaftaran dan
administrasi hak tanah dan sertifikat, pengelolaan lahan negara dan juga
perencanaan tata guna lahan; Departemen Keuangan yang terkait dalam
perpajakan tanah; Bappenas yang melakukan koordinasi pembangunan
sektoral dan koordinasi penataan ruang secara nasional; Dinas Kehutanan
yang merupakan lembaga pengelola lahan kehutanan yang mencakup sekitar
25% dari luas daratan Indonesia; Dinas Pertambangan dan
BAPPEDALPROP dengan tugas menangani aspek lingkungan dalam
pendayagunaan lahan; Bakosurtanal yang bertanggung jawab dalam
pemetaan: serta Kantor Menteri Negara Penggerak lnvestasi dan BKPM
(Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang menilai pengajuan
pengembangan investasi asing maupun domestik. Koordinasi lembaga-
lembaga ini serta pemerintah daerah adalah bukan suatu yang mudah,
apalagi dalam pelaksanaannya di Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Dalam hal ini peningkatkan koordinasi adalah salah satu kendala
sekaligus tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sumberdaya lahan
dan penataan ruang di Indonesia. Bahwa kurangnya keterpaduan antar
bidang-bidang tersebut dirasakan sebagai kendala, sehingga cenderung
terjadi egoisme sektoral dalam penataan ruang yang berlindung pada
undang-unddng dan peraturan sektor-sektor tersebut.
Dalam banyak hal juga dirasakan banwa kelembagaan bagi
pengelolaan lahan dan tata ruang sangat sentralistik, sehingga seringkali
sukar untuk memecahkan masalah yang seharusnya ditanggulangi dengan
segera. Suatu kelembagaan yang lebih desentralistis dalam pengambilan
keputusan mengenai pertanahan sangat didambakan kehadirannya, dengan
catatan bahwa kesiapan serta kemampuan kelembagaan di Propinsi,
Kabupaten dan Kota maupun personelnya harus ditingkatkan.
15

Masalah lain yang dihadapi dalam kelembagaan untuk tujuan


perencanaan dan pengembangan sumberdaya lahan adalah masih belum
memadainya kuantitas maupun kualitas sumberdaya manusia. Kondisi ini
lebih buruk lagi di tingkat Kabupaten, Kota dan bahkan di Kecamatan dan
pedesaan.

2.2.3. Tujuan

Tujuan dari program ini adalah:


Menyiapkan landasan untuk penataan kelembagaan yang terkait
dengan perencanaan sumberdaya lahan secara terpadu (building
institusional capacity). Dalam hal ini termasuk pula terbentuknya
mekanisme partisipasi berbagai pihak yang terlibat dalam pengambilan
keputusan mengenai pengelolaan pemanfaatan lahan, khususnya,
masyarakat pada tingkat Kecamatan/Desa;
Melanjutkan penataan kelembagaan yang terkait dengan
perencanaan sumberdaya lahan secara terpadu. Dalam hal ini termasuk pula
terbentuknya mekanisme partisipasi berbagai pihak yang terlibat dalam
pengambilan keputusan mengenal pengelolaan pemanfaatan lahan,
khususnya masyarakat pada tingkat Kecamatan/desa;
Penyederhanaan kelembagaan perencanaan sumberdaya lahan dan
penataan ruang.

2.3.4. Tahapan

Periode 2002-2010
Penyempurnaan Tata Kerja dan Pembagian Fungsi Kelembagaan:
1. Mengkaji pembagian kerja, kewenangan serta tanggung jawab institusi
pemerintah dalam hal pengembangan sumberdaya lahan;
2. Mengefektifkan fungsi Tim Koordinasi Tata Ruang Propinsi (TKTRP);
3. Membentuk Tim Pelaklsanan Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten/Kota
dengan titik sentral ada pada Bappeprop/Bapekab/Bapekot;

Peningkatan Kemampuan Kelembagaan terdiri atas beberapa


kegiatan:
Memperkuat fungsi dan peran Bappepprop, Bapekab dan Bapekot
sehingga betul-betul dapat melaksanakan fungsi koordinasi pembangunan
sektor-sektor di daerah;
Menyiapkan dan melaksanakan program-program pelatihan dalam
perencanaan dan manajemen (pelaksanaan dan pengawasan) serta
pengiriman tenaga ke luar negeri untuk mengikuti program latihan maupun
program kesarjanaan yang terkait dengan pengembangan sumberdaya lahan,
untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan maupun personelnya baik
pada di Propinsi, Kabupaten dan Kota, maupun LSM.
16

Peningkatan Kepekaan Masyarakat, terdiri atas:


Meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat luas akan hak dan
kewajiban mereka yang terkait dengap pengembangan sumberdaya lahan,
dengan orientasi pembangunan yang berkelanjutan;
Menyamakan persepsi masyarakat luas tentang eksistensi
sumberdaya lahan sebagai sumberdaya ekonomi dan sekaligus berfungsi
ekologis.

Kemitraan Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta, terdiri atas


kegiatan:
Meningkatkan kemitraan dengan swasta untuk tujuan pengembangan
sumberdaya lahan, dengan prinsip menguntungkan baik pemerintah,
masyarakat maupun dunia usaha itu sendiri;
Melakukan mengkaji konsep-konsep serta memformulasikan konsep
dan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan swasta.

Periode 2010-2020
Penyempurnaan Tata Kerja dan Pembagian Fungsi Kelembagaan
Pertanahan:
Melanjutkan mengkaji pembagian kerja, kewenangan serta tanggung
jawab institusi pemerintah propinsi, kabupaten dan kota dalam hal
pengembangan sumberdaya lahan secara kontinyu;
Pengembangan Kemampuan Kelembagaan, dengan cara melanjutkan
upaya penguatan fungsi dan peran Bappeprop, Bappekab dan Bappekot,
sehingga betul-betul dapat melaksanakan fungsi koordinasi pembangunan
sektor-sektor di daerah, dalam fungsinya sebagai motor pada Tim
Koordinasi Tata Ruang Propinsi, Kabupaten dan Kota;
Meneruskan upaya-upaya penyiapan dan pelaksanaan program-
program pelatihan dalam perencanaan dan manajemen (pelaksanaan dan
pengawasan) serta pengiriman tenaga ke luar negeri untuk mengikuti
program latihan maupun program kesarjanaan yang terkait dengan
pengembangan sumberdaya lahan, untuk meningkatkan kemampuan
kelembagaan maupun personelnya baik pada tingkat propinsi, kabupaten
dan kota, maupun LSM,

Peningkatan Kepekaan Masyarakat, terdiri atas kegiatan:


Meneruskan upaya-upaya peningkatkan kesadaran (awareness)
masyarakat luas akan hak dan kewajiban mereka yang terkait dengan
pengembangan sumberdaya lahan, dengan orientasi pembangunan yang
berkelanjutan;
Peningkatan keberdayaan masyarakat untuk mencegah degradasi
lahan.

Kemitraan Pemerintah, Masyarakat dan Swasta, terdiri atas:


17

Melanjutkan upaya-upaya peningkatan kemitraan dengan swasta


untuk tujuan pengembangan sumberdaya lahan;
Mengintensifkan kemitraan tersebut dengan prinsip menguntungkan
baik pemerintah, masyarakat maupun untuk dunia usaha itu sendiri.

Penataan Kelembagaan Pertanahan di Indonesia:


Desentralisasi otoritas mengenai pengembangan lahan kepada
Pemerintah Kabupaten dan Kota;
Penetapan dan penyederhanaan mekanisme kerja antar lembaga dan
antar disiplin untuk tindakan penyelamatan lahan, dengan memperhatikan
kaitannya pada pengembangan wilayah sungai dan reboisasi, serta untuk
penataan ruang pada umumnya.

2.4. Bidang D. SISTEM INFORMASI DAN PENDATAAN


LAHAN

2.4.1. Dasar Pertimbangan


Sistem informasi dan data pertanahan yang baik akan menunjang
terciptanya sistem perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi dan pemantauan
pendayagunaan sumberdaya lahan dan penataan ruang maupun transaksi
jual beli atau perpajakan tanah secara efektif. Dengan kata lain, sangat
diperlukan sistem registrasi tanah yang minimal mencakup data kadaster,
pemilikan serta jenis hak, dalam bentuk peta. Demikian pula, sesungguhnya
diperlukan data mengenai transaksi yang sudah terjadi serta pemutahiran
data pemilik dan lainnya. Hal ini khususnya sangat diperlukan untuk
penilaian nilai properti guna keperluan perpajakan. ldealnya, diperlukan
suatu sistem data kadastral baku yang berlaku di Indonesia bahkan secara
nasional.
Masalah utama yang dihadapi dalam penataan pertanahan dan
penataan ruang adalah ketersediaan yang masih sangat terbatas, padahal
untuk kepentingan ini sangat diperlukan informasi yang akurat dan rinci.
Hingga dewasa ini belum ada suatu pendataan tanah yang sistematik
dan kontinyu, sehingga tidak mengherankan bila peta pertanahan yang
seharusnya dibuat berdasarkan pendataan tersebut belum lengkap adanya.
Padahal data dan peta seperti ini diperlukan bukan saja untuk keperluan
perencanaan, namun juga untuk perpajakan. ldealnya pencatatan seperti ini
harus dilakukan baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan, bahkan
untuk wilayah yang belum berkembang sekalipun.
Perlu pula dicatat bahwa sejauh ini telah ada beberapa kerjasama
BPN baik dengan perguruan tinggi di Indonesia maupun professional swasta
dalam bidang pemetaan, namun belum banyak dalam bidang pengukuran
bidang tanah atau disebut juga survey kadaster. Untuk itulah sangat
dibutuhkan tenaga-tenaga dari disiplin ini, termasuk juru ukur yang handal.
jelas dalam hal ini kebutuhan tenaga tersebut tidak mungkin disuplai dari
18

BPN saja karena jumlahnya sangat terbatas, sehingga perlu pula


dikembangkan konsultan swasta yang handal dibidang survey dan pemetaan
kadaster.
Masalah lain yang dihadapi pada dewasa ini adalah fragmentasi
kelembagaan yang terkait dengan masalah data pertanahan di Indonesia.
Berbagai instansi mempunyai kepentingan tersendiri dalam pengumpulan
data dan informasi pertanahan, sehingga mempunyai sistem pendataan
sendiri-sendiri. Hal ini diperburuk lagi dengan belum adanya kerjasama
yang memadai dalam pertukaran informasi, sehingga menimbulkan
duplikasi serta inefisiensi dalam pengumpulan data pertanahan.
Harus pula diakui adanya peluang-peluang yang telah ada untuk
dimanfaatkan lebih jauh. Peluang ini khususnya adalah perkembangan
dalam teknologi foto udara (aerial photograph), pemetaan digital,
penginderaan jarak jauh (inderaja) dan citra satelit seperti SPOT atau
LandSat misalnya, serta pemanfaatanya untuk Sistem lnformasi Geografis
maupun Sistem lnformasi Pertanahan yang telah dikembangkan oleh
berbagai instansi dan Perguruan Tinggi di Indonesia. Demikian pula,
hingga dewasa ini telah dikembangkan s stem evaluasi dan perencanaan
sumberdaya lahan (LREP) yang telah digunakan di hampir tiap
Propinsi/Kabupaten dan Kota dan telah dimanfaatkan untuk kegiatan
penataan ruang. Kendala yang dihadapi pada dewasa ini adalah sangat
terbatasnya sumberdaya manusia maupun peralatan teknis untuk dapat
mengembangkan teknologi canggih ini guna kepentingan perencanaan,
pelaksanaan serta pemantauan pendayagunaan sumberdaya lahan,
khususnya di daerah.

2.4.2. Tujuan Program


Mengembangkan sistem informasi bagi perencanaan,
pendayagunaan, pengelolaan dan penggunaan sumberdaya lahan dan
penataan ruang;
Meneruskan pengembangan sistem informasi bagi perencanaan,
pendayagunaan, pengelolan, pengendalian sumberdaya lahan dan penataan
ruang;
Menata kelembagaan pendataan pertanahan, serta meningkatkan
technical support systerns, pengembangan sumberdaya lahan maupun
perpajakan.

2.4.3. Rencana Strategis


Agar program tersebut dapat dilakukan dengan, maka perlu disusun
rencana strategis yang terdiri atas: (1) pengembangan system informasi
pertanahan yang mudah dan sederhana sehingga dapat dioperasikan
ditingkat operator di pedesaan, (2) menyamakan sistem agar dapat diakses
bersama.
19

2.4.4. Tahapan Kegiatan

Periode 2002-2010

Pengembangan Sistem lnformasi


Menyempurnakan sistem administrasi dan pendataan pertanahan;
Menetapkan secara teknis sistem informasi pertanahan yang terpadu
dan cocok untuk kondisi Indonesia, untuk kepeduan pengumpulan,
penyimpanan, pemrosesan, transmisi, pencarian kembali maupun
pemutahiran data pertanahan;
Pemetaan tata guna lahan untuk dijadikan peta dasar (base maps)
untuk berbagai keperluan perencanaan, perpajakan dan lainnya. Pada
wilayah yang berkembang dengan cepat pemutahiran peta ini harus
dilakukan dalam periode yang lebih sering, misalnya setiap 1-2 tahun;
Mengkoordinasi lembaga-lembaga penelitian yang terkait dengan
sistem informasi pertanahan, membentuk kerangka jaringan di antara
mereka;
Mengadakan perangkat keras dan lunak untuk sistem informasi
pertanahan di tiap-tiap Kabupaten dan Kota;
Menyelenggarakan dan mengembangakan pelatihan tentang sistem
informasi pertanahan dan foto udara (aerial photography) di dalam negeri
maupun mengirim tenaga keluar negeri untuk mengikuti pendidikan sistem
informasi pertanahan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di
setiap Kabupaten/Kota;
Mengembangkan peran professional swasta dalam survey dan
pemetaan kadastar guna menunjang administrasi pertanahan.

Periode 2010-2020
Mengkoordinasi lembaga-lembaga penelitian yang terkait dengan
sistem informasi pertanahan, membentuk kerangka jaringan di antara
mereka.

Penataan Kelembagaan Sistem lnformasi, yang meliputi:


1. Formulasi dan dan pengembangan kerjasama, tanggung jawab dan
kewenangan kelembagaan dalam hal penyimpanan, serta penyampaian
informasi pertanahan, termasuk informasi mengenai perubahan dan
perkembangan tata guna lahan;
2. Menuntaskan registrasi dan sertifikasi pertanahan secara keseluruhan.

Peranan Stakeholder
Dewasa ini perencanan, pendayagunaan dan pengendalian
sumberdaya lahan dan penataan ruang masih terfokus sebagai kegiatan
pemerintah, baik pusat maupun daerah, hampir secara eksklusif. Artinya
pemerintah sangat mendominasi seluruh kegiatan-kegiatan ini, sedangkan
peran serta masyarakat masih sangat terbatas pada peran DPRD pada saat
20

pengesahan rencana atau dalam perubahan-perubahan rencana. Tanpa


mengecilkan peran wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan
tersebut, sesungguhnya kini semakin dituntut pelibatan masyarakat secara
langsung.
Di masa yang akan datang perencanaan sumberdaya lahan dan
pelaksanaan serta evaluasinya tidak mungkin diselenggarakan secara
eksklusif oleh pemerintah semata, karena mesin pembangunan ini akan
semakin membesar, sementara itu pula perkembangan sosial-ekonomi dan
politik, mendorong masyarakat semakin kritis dan semakin menuntut agar
aspirasi mereka dapat diakomodasi. Dengan kata lain masyarakat akan
semakin menuntut untuk ikut serta di dalam pengambilan keputusan dalam
perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pengembangan sumberdaya
lahan dan tata ruang. Hal ini semakin nyata, khususnya bagi sekelompok
masyarakat yang secara langsung terkena dampak oleh kebijakan
pengembangan lahan.
Hal tersebut sesungguhnya bermakna bahwa pengembangan
sumberdaya lahan, mungkin juga dalam pembangunan sektor-sektor
lainnya, harus lebih demokratis sifatnya, dengan melibatkan kelompok
masyarakat yang terkena dampaknya secara langsung mulai dari tahap awal
pembangunan; tidak cukup hanya melalui lembaga perwakilan, seperti
DPRD saja. Dengan demikian cara maupun perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan akan jauh berbeda dengan yang ada sekarang dimana
pemerintah sangat dominan dan sangat menentukan. Model pembangunan
sumberdaya lahan dan tata ruang akan bersifat partisipatif, terbuka
(transparan) dan jauh lebih demokratis.
Tujuan jangka pendek peningkatan peran kelompok-kelompok
utama masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan sumberdaya
lahan dan penataan ruang adalah meningkatkan efektivitas partisipasi
kelompok stake-holders, yaitu masyarakat dari berbagai kelompok
fungsional dan swasta dalam pengembangan sumberdaya lahan yang lebih
partisipatif dan terbuka. Termasuk dalam hal ini adalah meningkatkan
peran dan partisipasi swasta yang inovatif dalam pengembangan
sumberdaya lahan yang berkelanjutan.

Guna pencapaian tujuan-tujuan ini maka perlu dilakukan:


1. Membangun proses konsultasi dengan kelompok masyarakat sebagai
stakeholders pengembangan sumberdaya lahan, baik pada tingkat lokal,
regional maupun nasional, sebagai mekanisme dialog untuk mencapai
kesepakatan. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk forum
informal dengan anggota terdiri dari wakil-wakil kelompok masyarakat,
pemerintah, swasta cendekiawan, dalam berbagai program maupun
proyek pengembangan lahan yang mempunyai dampak publik yang
luas;
2. Membuka akses informasi kepada kelompok-kelompok masyarakat
mengenai rencand pelaksanaan pengembangan lahan dan tata ruang;
21

3. Memberikan peluang bagi kelompok perempuan untuk berpartisipasi


aktif dalam upaya-upaya pengembangan lahan dan penataan ruang;
4. Memantapkan sikap menerima LSM sebagal mitra dalam
pengembangan lahan dan penataan ruang;
5. Mendukung upaya-upaya yang telah dilakukan oleh LSM maupun
insiatif kelompok-kelomy. masyarakat lokal dalam pengembangan
sumberdaya lahan dan penataan ruang yang berkelanjutan;
6. Mengembangkan dan meningkatkan teknologi pengembangan
sumberdaya lahan yang telah dilakukan secara turun temurun oleh
masyarakat lokal (masyarakat setempat);
7. Mengidentifikasi dan mengembangkan metoda kemitraan antara
pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan lahan yang
berkelanjutan dan efisien;
8. Mengembangkan insentif dan disinsentif bagi swasta dan masyarakat
luas dalam pengembanganlahan yang efisien dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

Anwar, A. 1993. Dampak Alih fungsi Tanah Sawah Menjadi Tanah Non-
pertanian di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota No. 10, Desember, 1993.
Harsono, S. 1995. Kebijakan Pertanahan di Indonesia dalam Perspektip
Pertumbuhan dan Pemerataan, Makalah disampaikan pada
lokakarya, diselenggarakan oleh CIDES, Bappenas dan Kantor
Menteri Negara Agraria/BPN, Bandung 10 Oktober 1995.
Hidayat, M. 1995. Mekanisme Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Perumahan.. Tantangan dan Harapan di Masa Depan. Makalah
disampaikan pada lokakarya, diselenggarakan oleh CIDES,
Bappenas clan Kantor Menteri Negara Agraria/BPN, di Bandung 10
0ktober 1995.
Insrtuksi Gubernur Nomor 7 Tahun 1988. Pelaksanaan Permendagri 3/87
tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah untuk keperluan
perusahaan pembangunan perumahan di Indonesia.
Insrtuksi Gubernur Nomor 8 Tahun 1988. Tentang penetapan lokasi/letak
tepat dan pembebasan tanah untuk usaha/kegiatan bukan pertanian di
Indonesia.
Kartasasmita, G. 1995. Penataan Ruang dalam Perspektif Pertumbuhan dan
Pemerataan Pembangunan. Makalah disampaikan pada lokakarya,
diselenggarakan oleh CIDES, Bappenas dan Kantor Menteri Negara
Agraria/BPN, Bandung 1 0 Oktober 1995.
Keputusan Gubernur Nomor 295 Tahun 1984. Tata Cara Penyediaan dan
Pemberian Hak atas tanah bagi perusahaan yang tidak menggunakan
fasilitas penanaman modal. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi
Indonesia.
22

Munir, M. 1994. Studi Karateristeik dan Pola enyebaran Lahan Kritis di


Indonesia. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Munir, M. 2000. Invetarisasi dan Optimasi Lahan Irigasi Teknis di Wilayah
Pantai Utara (Kabupaten Gresik, Tuban dan Lamongan). Jurusan
Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Parengkuan, E.P. 1991. Studi Permasalahan Pajak Tanah Kota Dalam
Kaitannya Dengan Penggunaan Tanah dan Aspek Pengendalian
Guna Tanah di Kotamadya Bandung. Jumal Perencanaan Wilayah
dgn Kota, April: 24-27.
Parlindungan, A. P. 1995. Apakah ada Hak Asasi Manuasia dalam Memiliki
Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia. ' Makalah disampaikan pada
lokakarya, diselenggarakan oleh CIDES, Bappenas dan Kantor
Menteri Negara Agraria/BPN, Bandung 10 Oktober 1995.
Simanungkalit, P. 1995. Distorsi Pasar dan Property Crash. Suara
Pembaruan. 22 Desember 1995.
Sumitro Djojohadikusumo 1995. Sumberdaya Alam dan Pembangunan
dalam Alumni FEUI dan Tantangan Masa Depan:Beragam
Pemikiran, hal. 209-222. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Winarso, H. 1995. Tarif ljin Tata Guna Tanah Perkotaan Sebagai Bentuk
Kontrol Pelaksanaan Penataan Ruang Kota. ]urnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, Edisi Februari: 30-39.

You might also like