You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Pre-eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edem akibat


kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke 3 kehamilan, atau segera setelah
persalinan.1,2 Sampai sekarang etiologi pre eklampsia masih belum diketahui. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal yang paling tinggi dalam ilmu kebidanan.3,4
Faktor Risiko Pre-eklampsia meliputi kondisi-kondisi medis yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskuler (missal, Diabetes Melitus, Hipertensi kronik, kelainan
vaskuler dan jaringan ikat), antifosfolipid antibody syndrome, dan nefropati.5
Mortalitas maternal pada pre eklampsia disebabkan oleh karena akibat komplikasi
dari pre eklampsia dan eklampsianya seperti: Hellp syndrome, solusio plasenta,
hipofibrigonemia, hemolisis, perdarahan otak, gagal ginjal, dekompensasi kordis dengan
oedema pulmo dan nekrosis hati. Mortalitas perinatal pada pre eklampsia dan eklampsia
disebabkan asfiksia intra uterin, prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intrauterin.
Asfiksia terjadi karena adanya gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme arteriole
spiralis.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PRE-EKLAMPSIA BERAT

Definisi
Pre-eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan . Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke 3 kehamilan, atau segera
setelah persalinan.1,2 Penyakit ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga
terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.6
Definisi lain menyebutkan bahwa pre eklamsia adalah kelainan multisystem spesifik
pada kehamilan yang ditandai oleh timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur
kehamilan 20 minggu. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria
meningkat secara bermakna atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ (termasuk gangguan
pertumbuhan janin). 7

PEB dapat menjadi impending eklampsia. Impending eklampsia adalah gejala-gejala


oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif antara
lain : nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara
lain : hiperreflexia, eksitasi motorik dan sianosis.8

Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada kasus hipertensi karena
kehamilan yang fulminan dapat terjadi eklampsia. Bentuk serangan kejangnya ada kejang
‘grand mal’ dan dapat timbul pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang
yang timbul lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan lesi
lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat.9

Eklampsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan pada susunan saraf.
Penyebab eklampsia adalah kurangnya cairan darah ke otak, hipoksik otak atau edema otak.3

Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti. Teori yang dewasa
ini dapat dikemukakan sebagai penyebab preeklampsia ialah iskemia plasenta, yaitu
pembuluh darah yang mengalami dilatasi hanya arteri spirales di decidua, sedangkan
pembuluh darah di miometrium yaitu arteri spirales dan arteria basalis tidak melebar.
Pada preeklamsi invasi sel-sel thropoblast ini tidak terjadi sehingga tonus pembuluh darah
tetap tinggi dan seolah-olah terjadi vasokonstriksi.1,2
Hipotesa factor-faktor etiologi Preeklampsia bisa diklasifikasikan menjadi 4
kelompok, yaitu : genetic, imunologik, gizi dan infeksi serta infeksi antara factor-faktor
tersebut.
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan
tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal dengan “The disease of theory” adapun
teori-teori tersebut antara lain :5
1. Peran prostasiklin dan tromboksan S
pada Preeklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGI-2) yang pada kehamilan normal meningkat,
aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan
tromboksan (TxA2) dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
2. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama, hal ini dihubungkan dengan
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta yang tidak sempurna.
Beberapa wanita dengan Preeklampsia mempunyai kompleks imun dalam serum.
Beberapa study yang mendapati aktivasi komplemen dan system imun humoral pada
Preeklampsia.
3. Peran faktor genetik / familial
Beberapak bukti yang mendukung factor genetik pada Preeklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
b. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak-
anak dari ibu yang menderita Preeklampsia.
c. Kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak-anak cucu
ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia dan bukan ipar mereka.
d. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron-System (RAAS).
Faktor Resiko
Faktor Risiko Preeklampsia meliputi kondisi-kondisi medis yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskuler (missal, Diabetes Melitus, Hipertensi kronik,
kelainan vaskuler dan jaringan ikat), antifosfolipid antibody syndrome, dan nefropati.5
Faktor Resiko Preeklampsia
Faktor yang berhubungan Faktor yang berhubungan Faktor yang berhubungan
dengan kehamilan dengan kondisi maternal dengan pasangan
 Abnormalitas  Usia > 35 tahun atau  Partner lelaki yang
kromosom <20 tahun pernah menikahi
 Mola hidatidosa  Ras kulit hitam wanita yang kemudian
 Hidrops fetalis  Riwayat Preeklampsia hamil dan mengalami

 Kehamilan ganda pada keluarga preeklampsia

 Donor oosit atau  Nullipara  Pemaparan terbatas

inseminasi donor  Preeklampsia pada terhadap sperma

 Anomali struktur kehamilan sebelumnya  Primipaternity

kongenital  Kondisi medis khusus :


 ISK DM, HT Kronik,
Obesitas, Penyakit
Ginjal, trombofilia
 Stress
 Antibody
antifosfolipid syndrom

Patofisiologi
Patofisiologi pre-eklampsia adalah :1,2,10
1. Penurunan kadar angiotensin II
Penurunan angiotensia II menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap basan-basan vaso aktif. Pada kehamilan normal terjadi penigkatan yang
progresif angiotensia II, sedangkan pada preeklamsi terjadi penurunan
angiotensia II
2. Perubahan volume intravaskuler
Pada kehamilan preeklamsi terjadi vasokontriksi menyeluruh pada sistem
pembuluh darah astiole dan prakapiler pada hakekatnya merupakan kompensasi
terhadap terjadinya hipovolemi.
3. Sistem kogulasi tidak normal
Terjadinya gangguan sistem koagulasi bisa menyebabkan komplikasi hemologik
seperti hellp syndrom (hemolytic anemia, elevated liver enzyme, low platelet)
Patofisiologi terpenting pada pre-eklampsia adalah perubahan arus darah di uterus
koriodesidua, dan plasenta yang merupakan faktor penentu hasil akhir kehamilan.1,2
1. Iskemia uteroplasenter
Ketidakseimbangan antara masa plasenta yang meningkat dengan perfusi darah
sirkulasi yang berkurang.
2. Hipoperfusi uterus
Produksi renin uteroplasenta meningkat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi
vaskular dan meningkatkan kepekaan vaskuler pada zat – zat vasokonstriktor
lain ( angiotensi dan aldosteron ) yang menyebabkan tonus pembuluh darah
meningkat
3. Gangguan uteroplasenter
Suplai O2 jain berkurang sehingga terjadi gangguan pertumbuhan / hipoksia /
janin mati
Skema patofisiologi Pre-eklampsia

Faktor Predisposisi Pre-eklampsia


( umur, paritas, genetik, dll )

Perubahan plasentasi

Obstruksi mekanik dan fungsi dari arteri spiralis

Menurunkan perfusi uteroplasenter

PGE2/PGI2 ↓ Renin/angiotensin II ↑ Tromboksan ↑ Disfungsi endotel


↑ endotelin, ↓ NO

Vasokonstriksi arteri Kerusakan endotel Aktivasi intravascular koagulasi

Hipertensi sistemik DIC

Ginjal SSP Hati Organ lainnya

Proteinuri kejang LFT abnormal iskemi


GFR ↓ koma

Edema
Frekuensi
Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah
primigravida, kedaan sosial ekonomi, perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam
kepustakaan frekuensi di lapangan berkisar antara 3-10%.
Pada primigravida frekuensi pre eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida terutama primigravida muda, DM Tipe I, Diabetes gestasional, Mola
hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat
pernah eklampsia, hipertensi kronik, dan penyakit ginjal, merupakan faktor predisposisi
untuk terjadinya pre eklampsia.6

Klasifikasi
Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :2
a. Pre eklampsia ringan
− Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang; atau
kenaikan sistolik ≥ 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik ≥ 15 mmHg.
− Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
− Edem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan ≥ 1 kg
per minggu.
− Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada urin kateter
atau mid stream.
b. Pre eklampsia berat
− Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.
− Proteinuria ≥ 5 gram/liter.
− Oligouria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc/24 jam.
− Adanya gangguan serebral, gangguan visus dan nyeri epigastrium.
− Terdapat oedem paru dan sianosis.
− Thrombosytopenia berat
− Kerusakan hepatoseluler
− Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
Klasifikasi pre-eklampsia lain , yaitu :1,10
a. Genuine pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu disertai dengan edem
(pitting) dan kenaikan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sampai 160/90. Juga terdapat
proteinuria ≥ 300 mg/24 jam (Esbach)
b. Super imposed pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu disertai proteinuria ≥ 300
mg/24 jam (Esbach), dan bisa disertai edem. Biasanya disertai hipertensi kronis
sebelumnya.
Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya pre
eklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko terjadinya pre eklampsia. 4 Tidak
ada alat ukur yang pasti untuk mencegah preeclampsia. Walaupun demikian, beberapa
usaha untuk mencegah preeclampsia telah dilakukan, antara lain :
A. Pencegahan non medical
1. Restiksi garam
Tidak terbukti dapat mencegah terjadinya preeclampsia
2. Suplementasi diet yang mengandung :
a. Minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh, misalnya Omega-3
PUFA.
b. Antioksidan : vit C, vit E, B karoten, CoQ1o-N-Acethyl cysteine, zinc,
magnesium, calcium.
3. Tirah baring tidak terbukti :
a. Mencegah terjainya preeclampsia
b. Mecegah persalinan preterm
Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada mereka yang mempunyai resiko
tinggi terjadinya preeclampsia.

B. Pencegahan dengan Medikal


1. Diuretik : tidak terbukti mencegah terjadinya preeclampsia bahkan memperberat
hipovolemia.
2. Anti hipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya preekalmpsia
3. Kalsium : 1500-2000 mg/ hari, dapat dipakai sebagai suplemen pada resiko tinggi
terjadinya preeclampsia, meskipun belum terbuktibermanfaat untuk mencegah
preeclampsia.
4. Zinc : 200 mg / hari
5. Magnesium 365 mg / hari
6. Obat anti hrombotic :
a. Aspirin dosis rendah : rata-rata dib awah 100 mg / hari, tidak terbukti
mencegah terjadinya preeclampsia.
b. Dipyridamol
7. Abat-obatan antioksidan : vit C, vit E, B karoten, CoQ1o-N-Acethyl cysteine,
asam lipoik-6.
Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah, banyak kematian akibat kelainan ini
dapat dicegah. Deteksi awal, monitoring ketat dan terapi preeclampsia sangat penting dalam
mencegah mortalitas akibat kelainan ini.7,11

Komplikasi 2
- HELLP syndrom
- Perdarahan otak
- Gagal ginjal
- Hipoalbuminemia
- Ablatio retina
- Edema paru
- Solusio plasenta
- Hipofibrinogenemia
- Hemolisis
- Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin

Penatalaksanaan Pre-eklampsia Berat


Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah timbulnya kejang,
mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta kerusakan dari organ-
organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat.6
Perawatannya dapat meliputi :4
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah mendapat terapi
medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Indikasi :
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1). Ibu :
a). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
- Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan darah yang persisten
- Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten
b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c). Gangguan fungsi hepar
d). Gangguan fungsi ginjal
e). Dicurigai terjadi solutio plasenta
f). Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
2). Janin :
a). Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
b). Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST nonreaktif dan
profil biofisik abnormal)
c). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat (IUGR berat)
berdasarkan pemeriksaan USG
d). Timbulnya oligohidramnion
3). Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP syndrome.

Pengobatan Medisinal :
1). Segera masuk rumah sakit
2). Tirah baring miring ke satu sisi. Tanda vital diperiksa setiap 30
menit, refleks patella setiap jam.
3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500
cc (60-125 cc/jam)
4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis lanjutan.
5). Anti hipertensi diberikan bila :
a. Desakan darah sistolis lebih 180 mmHg, diastolis lebih 110
mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Sasaran pengobatan adalah
tekanan diastolis kurang 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg)
karena akan menurunkan perfusi plasenta.
b. Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada
umumnya.
c. Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat
diberikan obat-obat antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu),
catapres injeksi. Dosis yang biasa dipakai 5 ampul dalam 500 cc
cairan infus atau press disesuaikan dengan tekanan darah.
d. Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan
tablet antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam,
maksimal 4-5 kali. Bersama dengan awal pemberian sublingual maka
obat yang sama mulai diberikan secara oral.
6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung
kongestif, edema anasarka
7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
8). Kardiotonika, indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah
jantung, diberikan digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
9). Lain-lain :
- Konsul bagian penyakit dalam / jantung, mata.
- Obat-bat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih 38,5 derajat celcius
dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau
xylomidon 2 cc IM.
- Antibiotik diberikan atas indikasi.(4) Diberikan ampicillin 1 gr/6
jam/IV/hari.
- Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus.
Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-
lambatnya 2 jam sebelum janin lahir.
Pemberian Magnesium Sulfat
Cara pemberian magnesium sulfat :
1. Dosis awal sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 % dalam 20 cc) selama 1
gr/menit kemasan 20% dalam 25 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit).
Diikuti segera 4 gr di bokong kiri dan 4 gram di bokong kanan (40 %
dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang 3,7 cm. Untuk mengurangi nyeri
dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang tidak mengandung adrenalin pada
suntikan IM.(6)
2. Dosis ulangan : diberikan 4 gram intramuskuler 40% setelah 6 jam
pemberian dosis awal lalu dosis ulangan diberikan 4 gram IM setiap 6 jam
dimana pemberianMgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.(3)
3. Syarat-syarat pemberian MgSO4 :(4,7)
- Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10%
dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
- Refleks patella positif kuat
- Frekuensi pernapasan lebih 16 kali per menit.
- Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).
4. MgSO4 dihentikan bila :
a. Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks
fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan
dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-
otot pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat
adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10
mEq/liter. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan
lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.
b. Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat :
- Hentikan pemberian magnesium sulfat
- Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV
dalam
waktu 3 menit.
- Berikan oksigen.
- Lakukan pernapasan buatan.
c. Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan
sudah
terjadi perbaikan (normotensif).
b. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap dipertahankan sehingga
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan, meningkatkan kesejahteraan bayi baru
lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.1,2
1. Indikasi : Bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-
tanda inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
2. Pengobatan medisinal : Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan
aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup
intramuskuler saja dimana 4 gram pada bokong kiri dan 4 gram pada bokong
kanan.
3. Pengobatan obstetri :
a. Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
b. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre eklampsia
ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
c. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan
medisinal gagal dan harus diterminasi.
d. Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu
MgSO4 20% 2 gram intravenous.
4. Penderita dipulangkan bila :
a. Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia ringan dan
telah dirawat selama 3 hari.
b. Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan :
penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan
(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat
diberikan:
i. Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada bokong
kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam
menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan bila
diuresis baik, reflek patella positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16
kali per menit
ii. klorpromazin 50 mg IM
iii. diazepam 20 mg IM.
Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat diperlukan karena
dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia serebri
menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi
glukosa 20 % secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan sedativa lebih
banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya
perdarahan dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah
terpenuhi, hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat
janin, dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan
ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum.13
Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8 –
20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 – 48,9%. Kematian ini
disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita
eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya
karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi
cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra uterin.6

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG Mac Donal P.C. William Obsetric, Edisi 18, Appletion &
Lange, 1998 : 881-903.
2. Fernando Arias, Practicial Guide to Hight Risk Pregnancy and Delivery, 2 nd
Edition, St. Louis Missiori, USA, 1993 : 100-10, 213-223.
3. Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Editor:
Delfi Lutan, EGC, Jakarta.
4. Abdul Bari S., 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB POGI,
FKUI. Jakarta.
5. Luciano E. Mignini, MD, Jose Villar, MD, Khalid S, Khan, MD. 2006. Mapping the
Theories of Preeclampsia : The Need for Systemetic reviews of Mechanism of Disease.
American Journal of Obstetrics and Gynecology 194. Pp: 317-21

http://www.ajog.org

6. Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro. 1999. Ilmu kandungan. FK UI, Jakarta


7. Lana K. Wagener, M.D. 2004. Diagnosis and Management of Preeklampsia. American
Family Physician. Volume 70, Number 12 Pp : 2317-24.
http://www. Aafp.org
8. M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-Gestosis).
Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.
9. Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark, 1997, William’s
Obstetrics 20th Prentice-Hall International,Inc.

10. Hacker Moore, Essential Obstetries dan Gynekology, Edisi 2, W.B


Saunder Company, Philadelphia, Pennsylvania, 297-309.

11. Ridwan Amirudin, dkk. 2007. Issu Mutakhir Tentang Komplikasi Kehamilan
(Preeklampsia dan Eklampsia). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanudin Makasar.

12. Hidayat W., 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, RSUP
dr.Hasan Sadikin. Edisi ke-2. Penerbit: SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Univ. Padjajaran, RSUP dr.Hasan Sadikin, Bandung.

13. Budiono Wibowo. (1999). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

You might also like