You are on page 1of 12

MAKALAH

PEMAHAMAN SYARIAT ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri


Dalam Mata Aswaja

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD IBNU SOIM


NPM. 10130011

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI SI. PERBANKAN SYARIAH
SEMESTER II

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


MA’ARIF
METRO-LAMPUNG
2010/2011
KATA PENGATAR

Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat melaksanakan

makalah ini sebagai tugas kelompok dalam Mata Kuliah Aswaja.

Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari

sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun,

sehingga kami dapat berusaha lebih baik lagi sesuai kemampuan yang kami miliki

dalam penyusunan tugas di masa yang akan datang. Atas kritik dan saran dari para

pembaca kami ucapkan terimakasih.

Metro, Maret 2011

PENULIS
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

..........................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ...................................................................................

..........................................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................

..........................................................................................................................iii

BAB II PEMBAHASAN............................................................................
1
A. Pemahaman Syariat Islam.....................................................................
1
B. Empat Jenis Penghayatan Islam............................................................
7

BAB III KESIMPULAN................................................................................


11....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

12....................................................................................................
BAB I
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN/ PEMAHAMAN SYARIAT ISLAM


Syariat Islam itu adalah kumpulan nilai-nilai Ilahiah (Ketuhanan) yang
dijadikan dasar bagi pembentukan ketentuan-ketentuan hukum, interaksi sosial,
perdamaian, keadilan, ekonomi, dsb. Artinya kita mempercayakan sesuatu
kepada Sang Maha Pencipta akan arti dan nilai serta hakikat sesuatu itu. misalnya
: dalam konsep kepemilikan harta dalam ilmu ekonomi kapitalis ia bersifat hak
penuh bagi si pemilik. Namun, dalam syariat Islam Harta adalah milik Allah yang
pengaturannya harus berlandaskan Kehendak Allah yaitu bahwa di dalam harta
kita ada hak bagi kita dan ada hak bagi fakir miskin. pemerintah wajib
mengambil hak fakir dan si pemiliik harta. Syariat Islam itu adalah kumpulan
nilai-nilai Ilahiah (Ketuhanan) yang dijadikan dasar bagi pembentukan ketentuan-
ketentuan hukum, interaksi sosial, perdamaian, keadilan, ekonomi, dsb. Artinya
kita mempercayakan sesuatu kepada Sang Maha Pencipta akan arti dan nilai serta
hakikat sesuatu itu. misalnya : dalam konsep kepemilikan harta dalam ilmu
ekonomi kapitalis ia bersifat hak penuh bagi si pemilik. Namun, dalam syariat
Islam Harta adalah milik Allah yang pengaturannya harus berlandaskan Kehendak
Allah yaitu bahwa di dalam harta kita ada hak bagi kita dan ada hak bagi fakir
miskin. pemerintah wajib mengambil hak fakir dan si pemiliik harta.

Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu
perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya maka umat
Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini
didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa
hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Dengan
demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya
kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut
sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang
masuk dalam kategori Furu’ Syara’.

• Asas Syara’

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau
Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari’at Islam dimana Al Quran itu Asas
Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada dasarnya
mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi
Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang
terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan
keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya,
demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika
keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at yang
berlaku.

Belakangan ini, ada kecenderungan sebagian umat Islam menjadikan


syariat Islam seolah-olah bagaikan obat antibiotik yang dapat menyembuhkan
semua penyakit di setiap tempat dan di segala zaman. Mereka berpandangan
bahwa syariat Islam itu sempurna sehingga mengatur seluruh aspek kehidupan
masyarakat, mulai ibadah, muamalah, sampai sistem pemerintahan. Klaim
kesempurnaan syariat Islam tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai
kesempatan. Implikasinya adalah syariat islam seakan-akan tidak membutuhkan
teori atau ilmu non-syariah. Semua problematika ekonomi, politik, sosial, budaya,
dan hukum bisa dipecahkan oleh syariat Islam yang telah diturunkan Allah 15
abad yang lampau. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan tinjauan ulang terhadap
klaim kesempurnaan syariat Islam. Tiga Dalil Klaim kesempurnaan di atas
biasanya didasarkan pada tiga dalil. Pertama, dalam al-Maidah ayat 3, Allah telah
menyatakan, "Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama
bagimu." Kalimat ini sebenarnya hanyalah penggalan ayat yang sebelumnya
berbicara mengenai keharaman makanan tertentu dan larangan mengundi nasib
serta larangan untuk takut kepada orang kafir. Karena itulah, konteks ayat itu
menimbulkan pertanyaan atas kata "sempurna": apakah kesempurnaan itu
berkaitan dengan larangan-larangan di atas atau berkaitan dengan keseluruhan
syariat Islam?

Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun pada hari
Arafah saat Rasulullah Muhammad menunaikan haji. Karena itulah, sebagian ahli
tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah mengenai ibadah, mulai
salat sampai haji. Sebagian ahli tafsir menganggap potongan ayat ini turun saat
fathu Makkah. Dengan demikian, dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk
takut kepada kaum kafir, penggalan ayat "kesempurnaan" tersebut dibaca dengan
makna, "Sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian."
Selain itu, sejumlah ulama memandang bahwa kesempurnaan yang dimaksud
dalam ayat tersebut terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak
menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu, syariat Islam telah
sempurna. Sebab, ternyata setelah ayat tersebut, masih ada ayat Quran lain yang
turun, seperti ayat yang berbicara tentang riba dan kalalah. Kedua, klaim
kesempurnaan syariat Islam juga didasarkan pada al-Nahl ayat 89, "Dan Kami
turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu."
Menurut Mahmud Syaltut, ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai
tibyanan likulli syay’i, bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung
segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Alquran terdapat segala pokok petunjuk
menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Jadi, cukup tidak berdasar
kiranya kalau ayat tersebut diajukan sebagai bukti bahwa syariat Islam mencakup
seluruh hal. Ketiga, dalam al-An’am ayat 38 disebutkan,
"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab." Sejumlah ahli
tafsir menjelaskan bahwa Alquran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah
dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan tujuan-tujuan pokok Alquran, yaitu masalah-masalah akidah, syariah, dan
akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia
mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum, Alquran
sebagai sumber utama hanya memberikan pokok-pokok masalah syariat, bukan
menjelaskan semua hal secara menyeluruh dan sempurna. Kalau kita buka kitab
fikih, hanya sekitar 20 persen yang berisi syariat. Selebihnya merupakan opini,
pemahaman, interpretasi, atau penerapan (tathbiq) yang kita sebut dengan fikih.
Isi fikih ini jauh lebih luas ketimbang syariat. Disadari atau tidak, ketika syariat
Islam diklaim meliputi segala sesuatu, mereka merancukan antara syariat dan
fikih. Sebagai contoh, kewajiban mendirikan negara Islam tidak terdapat dalam
ayat hukum dan hadis hukum secara jelas, langsung dan tegas, serta berkekuatan
qath’i al-dalalah. Klaim kewajiban itu lahir dari pemahaman ataupun interpretasi
yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam.
Syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata
(ushuliyah). Dan, selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih
kontekstual, humanis, plural, dan liberal.

B. MENGETAHUI NAN EMPAT JENIS PENGHAYATAN ISLAM


SECARA SEPOTONG-SEPOTONG OLEH PENGANUTNYA

Ajaran Islam dituliskan di dalam Alquran dan hadis. Seseorang yang ingin
mempelajari agama Islam mutlak harus menguasai bahasanya, bisa mempelajari
sendiri atau mengikuti apa-apa saja yang dikatakan oleh para buya, ustaz, kyai dan
guru mereka. Tidak semua umat Islam membaca langsung dan mampu memahami
isi Alquran dan hadis.

Sebagian besar orang Islam menempuh cara yang kedua yaitu mengikuti
apa-apa yang diucapkan para ulama. Hal ini seringkali menghasilkan
penghayatan Islam yang hanya sepotong-sepotong. Padahal Islam merupakan
dien, ajaran lengkap yang memberikan dasar acuan hidup manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada empat jenis penghayatan Islam
secara sepotong-sepotong oleh penganutnya yaitu :

1. Dogmatis

Ajaran dari ulama diterima bulat-bulat dan ditelan mentah-mentah tanpa


sikap kritis, sehingga memunculkan sikap fanatisme yang membuta. Sikap
fanatisme ini dapat dijadikan hiburan bagi si miskin dan perisai bagi si kaya

2. Rasionalistik

Menerima ajaran Islam sebatas jangkauan pikirannya saja; yang


dilaksanakan hanyalah syariat agama yang menurutnya berguna bagi dirinya.

3. Formalistik

Melaksanakan ajaran Islam sebagai formalitas belaka, misalnya karena


keturunan orang Islam. Agama sering difungsikan sebagai perisai, alat politik
dalam pergaulan.

4. Hakikat

Inti ajaran diserap/diterima tetapi syariatnya tidak dilaksanakan.


Contohnya, karena inti ajaran sholat adalah berdoa dan ingat kepada Allah, maka
mereka meninggalkan sholat.

Yang mereka lakukan hanya doa dan ingat. Melakukan puasa cukup hanya
tidak memakan makanan tertentu saja atau puasa khusus lainnya tanpa tuntunan
syariat. Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, Islam harus
dihayati dan diamalkan secara kaffah (utuh), tidak sepotong-potong atau sebagian.
Penghayatan Islam secara kaffah dilakukan dengan cara menggabungkan
penghayatan yang sepotong-potong. sehingga menghasilkan penghayatan yang
utuh.
C. PENGAMALAN SYARIAT ISLAM

Pengamalan Syari’at Islam terdiri dari lima macam, yaitu fardlu, haram,
mandub, makruh, dan mubah. Hukum syariat Islam bisa berbentuk tuntutan untuk
melakukan sesuatu atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jika seruan itu
berbentuk tuntutan untuk untuk melakukan sesuatu, maka seruan itu dibagi ke
dalam dua macam, yaitu:

1. Pertama, yang berkaitan dengan tuntutan yang harus dikerjakan, yang


dinamakan fardlu atau wajib. Tidak ada perbedaan antara dua istilah
tersebut.
2. Kedua, yang berkaitan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan, yaitu
apa yang dinamakan mandub.

Jika hukum syara’ berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan suatu


perbuatan, maka seruan itu juga dibagi dua macam.

1. Pertama, yang berkaitan dengan tuntutan yang harus ditinggalkan, yang


dinamakan haram atau mahdlur. Tidak ada perbedaan antara kedua istilah
tersebut.
2. Kedua, jika berkaitan dengan tuntutan yang tidak mengharuskan
meninggalkannya. Inilah yang dinamakan makruh.

Karena itu, fardlu atau wajib adalah seluruh perbuatan yang mendapatkan
pujian bagi pelakunya, dan celaan bagi yang meninggalkannya. Atau, bagi orang
yang meninggalkannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Sedangkan haram
adalah perbuatan yang mendapatkan celaan bagi pelakunya, dan pujian bagi yang
meninggalkannya.

Dengan kata lain, orang yang melakukannya akan memperoleh


sanksi/siksaan. Adapun mandub adalah pujian bagi pelakunya, tetapi tidak
mendapatkan celaan bagi yang meninggalkannya.
Sedangkan makruh adalah pujian bagi yang meninggalkannya, atau
meninggalkannya lebih utama dari pada melakukannya. Mubah, adalah apa yang
dituju oleh dalil sam’i (wahyu) terhadap seruan Syari’ yang di dalamnya terdapat
pilihan, antara melakukan atau meninggalkannya.
BAB II

KESIMPULAN

1. Syariat Islam itu adalah kumpulan nilai-nilai Ilahiah (Ketuhanan) yang


dijadikan dasar bagi pembentukan ketentuan-ketentuan hukum, interaksi
sosial, perdamaian, keadilan, ekonomi.
2. Penghayatan Syariat Islam itu dibagi menjadi empat bagian yaitu:
• Dogmatis
• Rasionalistik
• Formalistik
• Hakikat
3. Pengamalan Syari’at Islam terdiri dari lima macam, yaitu fardlu, haram,
mandub, makruh, dan mubah.
DAFTAR PUSTAKA

• Teologi Islam: “aliran-aliran sejarah analisis perbandingan”, Harun


Nasution, UI Press, Jakarta.1986 (hal 21-58).

• Kontroversi Aswaja-Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, Imam Baihaqi,


LKIS. Yogyakarta. 1999.

• www.google.com/search?pemahamansyariatislam

You might also like