Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH:
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI SI. PERBANKAN SYARIAH
SEMESTER II
Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun,
sehingga kami dapat berusaha lebih baik lagi sesuai kemampuan yang kami miliki
dalam penyusunan tugas di masa yang akan datang. Atas kritik dan saran dari para
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
..........................................................................................................................i
..........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................
..........................................................................................................................iii
BAB II PEMBAHASAN............................................................................
1
A. Pemahaman Syariat Islam.....................................................................
1
B. Empat Jenis Penghayatan Islam............................................................
7
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
12....................................................................................................
BAB I
PEMBAHASAN
Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu
perkara yang Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya maka umat
Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini
didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa
hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Dengan
demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya
kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut
sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang
masuk dalam kategori Furu’ Syara’.
• Asas Syara’
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau
Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari’at Islam dimana Al Quran itu Asas
Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada dasarnya
mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi
Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang
terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan
keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya,
demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika
keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at yang
berlaku.
Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun pada hari
Arafah saat Rasulullah Muhammad menunaikan haji. Karena itulah, sebagian ahli
tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah mengenai ibadah, mulai
salat sampai haji. Sebagian ahli tafsir menganggap potongan ayat ini turun saat
fathu Makkah. Dengan demikian, dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk
takut kepada kaum kafir, penggalan ayat "kesempurnaan" tersebut dibaca dengan
makna, "Sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian."
Selain itu, sejumlah ulama memandang bahwa kesempurnaan yang dimaksud
dalam ayat tersebut terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak
menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu, syariat Islam telah
sempurna. Sebab, ternyata setelah ayat tersebut, masih ada ayat Quran lain yang
turun, seperti ayat yang berbicara tentang riba dan kalalah. Kedua, klaim
kesempurnaan syariat Islam juga didasarkan pada al-Nahl ayat 89, "Dan Kami
turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu."
Menurut Mahmud Syaltut, ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai
tibyanan likulli syay’i, bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung
segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Alquran terdapat segala pokok petunjuk
menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Jadi, cukup tidak berdasar
kiranya kalau ayat tersebut diajukan sebagai bukti bahwa syariat Islam mencakup
seluruh hal. Ketiga, dalam al-An’am ayat 38 disebutkan,
"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab." Sejumlah ahli
tafsir menjelaskan bahwa Alquran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah
dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan tujuan-tujuan pokok Alquran, yaitu masalah-masalah akidah, syariah, dan
akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia
mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum, Alquran
sebagai sumber utama hanya memberikan pokok-pokok masalah syariat, bukan
menjelaskan semua hal secara menyeluruh dan sempurna. Kalau kita buka kitab
fikih, hanya sekitar 20 persen yang berisi syariat. Selebihnya merupakan opini,
pemahaman, interpretasi, atau penerapan (tathbiq) yang kita sebut dengan fikih.
Isi fikih ini jauh lebih luas ketimbang syariat. Disadari atau tidak, ketika syariat
Islam diklaim meliputi segala sesuatu, mereka merancukan antara syariat dan
fikih. Sebagai contoh, kewajiban mendirikan negara Islam tidak terdapat dalam
ayat hukum dan hadis hukum secara jelas, langsung dan tegas, serta berkekuatan
qath’i al-dalalah. Klaim kewajiban itu lahir dari pemahaman ataupun interpretasi
yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam.
Syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata
(ushuliyah). Dan, selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih
kontekstual, humanis, plural, dan liberal.
Ajaran Islam dituliskan di dalam Alquran dan hadis. Seseorang yang ingin
mempelajari agama Islam mutlak harus menguasai bahasanya, bisa mempelajari
sendiri atau mengikuti apa-apa saja yang dikatakan oleh para buya, ustaz, kyai dan
guru mereka. Tidak semua umat Islam membaca langsung dan mampu memahami
isi Alquran dan hadis.
Sebagian besar orang Islam menempuh cara yang kedua yaitu mengikuti
apa-apa yang diucapkan para ulama. Hal ini seringkali menghasilkan
penghayatan Islam yang hanya sepotong-sepotong. Padahal Islam merupakan
dien, ajaran lengkap yang memberikan dasar acuan hidup manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada empat jenis penghayatan Islam
secara sepotong-sepotong oleh penganutnya yaitu :
1. Dogmatis
2. Rasionalistik
3. Formalistik
4. Hakikat
Yang mereka lakukan hanya doa dan ingat. Melakukan puasa cukup hanya
tidak memakan makanan tertentu saja atau puasa khusus lainnya tanpa tuntunan
syariat. Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, Islam harus
dihayati dan diamalkan secara kaffah (utuh), tidak sepotong-potong atau sebagian.
Penghayatan Islam secara kaffah dilakukan dengan cara menggabungkan
penghayatan yang sepotong-potong. sehingga menghasilkan penghayatan yang
utuh.
C. PENGAMALAN SYARIAT ISLAM
Pengamalan Syari’at Islam terdiri dari lima macam, yaitu fardlu, haram,
mandub, makruh, dan mubah. Hukum syariat Islam bisa berbentuk tuntutan untuk
melakukan sesuatu atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jika seruan itu
berbentuk tuntutan untuk untuk melakukan sesuatu, maka seruan itu dibagi ke
dalam dua macam, yaitu:
Karena itu, fardlu atau wajib adalah seluruh perbuatan yang mendapatkan
pujian bagi pelakunya, dan celaan bagi yang meninggalkannya. Atau, bagi orang
yang meninggalkannya akan memperoleh sanksi/siksaan. Sedangkan haram
adalah perbuatan yang mendapatkan celaan bagi pelakunya, dan pujian bagi yang
meninggalkannya.
KESIMPULAN
• www.google.com/search?pemahamansyariatislam