You are on page 1of 27

Analisis Kebijakan Publik

Dalam Pembangunan Daerah


Said Zainal Abidin
I. Pendahuluan
Sebagai mana halnya dengan pengertian pembangunan pada umumnya,
pembangunan daerah juga merupakan persoalan yang multi-dimensi. Banyak
aspek yang terkait, banyak pihak yang terlibat, dan karena itu banyak
kepentingan, kekuasaan dan kecenderungan dari masing-masing pihak yang
berpengaruh dan mesti dipertimbangkan dalam pembahasan pembangunan
daerah.
Yang perlu dicatat, bahwa yang dimaksudkan dengan daerah disini adalah
wilayah dalam lingkup sebuah negara, seperti Provinsi Jawa Barat, Daerah
Istimewa Jogyakarta, Daerah Otomi Khusus NAD dan sebagainya, bukan wilayah
(regional) dalam lingkup internasional, seperti ASEAN, AFTA, NAFTA dan lain-
lain. Catatan ini diperlukan, karena ada perbedaan yang harus diindahkan
berkaitan dengan kewenangan dalam pengaturan dan pendekatan yang dipakai
antara daerah dalam lingkup sebuah negara dan wilayah dalam lingkup
internasional dimaksud.
Karena berada dalam yurisdiksi administrasi satu negara, batas satu daerah
dengan daerah lain tidak terlihat secara nyata. Maksudnya, meskipun batas
administratif antara satu daerah dengan daerah lain itu ada, namun tidak boleh ada
hambatan dalam perjalanan orang dan perpindahan barang antar daerah dalam
satu negara. Baik itu batasan dalam bentuk kuota ataupun pengenaan pajak bea
masuk dalam perdagangan. Ketentuan ini merupakan konsekwensi dari adanya
kesatuan sistem administrasi dan fiscal dalam sebuah negara (kecuali ada
ketentuan lain !).
Sudah merupakan hal yang lumrah dan dipandang alamiah, bahwa tingkat
pembangunan dan perkembangan ekonomi satu daerah berbeda dengan daerah
lain. Perbedaan ini antara lain karena adanya perbedaan topographi, sumberdaya
alam, kegiatan ekonomi serta jumlah penduduk. Perbedaan yang demikian juga
dapat terjadi sebagai akibat dari perbedaan sejarah sesuatu daerah dalam proses

1
pembentukan negara yang menentukan keberadaan sesuatu daerah dalam negara
tersebut. Daerah-daerah itu dalam pasal 18 UUD 45 disebut sebagai daerah-
daerah yang bersifat otonom, yang diatur dengan perlakuan khusus dalam bidang
administrasi yang ditetapkan dengan undang-undang (UUD ’45 pasal 18).
Perbedaan tingkat pembangunan antar daerah ini selanjutnya mengalami
perubahan-perubahan sebagai akibat dari sesuatu kebijakan publik atau karena
pengaruh eksternal yang tak dapat dikendalikan, sehingga menimbulkan
kecenderungan perubahan-perubahan baru. Perubahan itu boleh jadi mengarah
pada pemerataan, atau sebaliknya mengarah pada diskripansi yang makin
melebar. Dalam kajian perencanaan pembangunan daerah (regional planning)
kecenderungan diskripansi pembangunan antar daerah (regional disparities) ini
dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (urgent). Alasannya, tanpa ada
sesuatu kebijakan yang bersahaja untuk mencegahnya, proses pembangunan yang
berlangsung sering mengakibatkan diskripansi atau ketimpangan ini cenderung
makin lebar.
Keterbukaan hubungan antar daerah dalam satu negara menyebabkan adanya
interdependensi antar daerah, baik diantara sesama daerah miskin maupun antara
daerah kaya dengan daerah miskin. Hubungan antara daerah kaya dengan daerah
miskin ini biasanya membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi daerah-
daerah miskin. Masalahnya terletak pada perbedaan kemampuan dan daya tarik
yang lebih besar dari daerah kaya.
Daerah kaya mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang tersedia. Akibatnya mereka mempunyai kemampuan
berkembang yang lebih besar. Bersamaan dengan itu, modal dan tenaga ahli/
terampil yang memangnya langka dari daerah-daerah miskin pindah kedaerah
kaya, yang relatif tersedia lebih banyak. Keadaan ini, yang oleh Gunnar Myrdal
disebut back-wash-effects, atau yang oleh Hirschmann disebutkan sebagai
polarization effects, memperparah perbedaan tingkat pembangunan antar daerah.
Karena itu hubungan antara dua daerah yang berbeda tingkat pembangunannya,
seperti dikemukakan Gunar Myrdal, dapat menimbulkan dampak negatif bagi
daerah miskin dan dampak positif bagi daerah maju (the spiral works up-ward to

2
the rich and down-ward to the poor).. (Gunnar Myrdal, 1967; dan Hirschmann,
1958). Dengan demikian, trickle-down effect dari daerah kaya ke daerah miskin
sebagaimana banyak diharapkan dalam hubungan ini, tidak pernah dapat terjadi.
Yang terjadi justeru sebaliknya, yakni trickle-up effect. Kecuali, kalau ada
intervensi pemerintah melalui kebijakan yang bersifat affirmative yang secara
bersahaja diadakan untuk mencegah terjadinya trickle-up itu.
Berhubung dengan itu, berbagai strategi pembangunan daerah telah dilaksanakan
banyak negara untuk mencegah kecenderungan diskripansi yang makin melebar
guna mewujudkan pemerataan. Negara-negara sosialis dan beberapa negara
berkembang yang mengikutinya, mulai menerapkan sistem perencanaan
pembangunan itu sejak sesudah Perang dunia II. Pelaksanaan perencanaan itu
dilakukan dibawah koordinasi sebuah badan perencanaan pembangunan nasional.
Sementara negara-negara lain yang menganut sistem pasar, melakukannya
melalui sistem pasar bebas dengan pengarahan dan intervensi pemerintah melalui
kebijakan-kebijakan fiscal, moneter dan lain-lain.
II. Masalah: Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah
Ketimpangan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai indikator, seperti perbedaan
tingkat pendapatan antar daerah (regional income disparities), indeks kualitas
hidup phisik (PQLI), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), jumlah dan persentase
penduduk miskin, persentase tingkat pertumbuhan ekonomi, harapan hidup rata-
rata, tingkat kepadatan penduduk dan lain-lain. Dasar dari penggunaan indikator-
indikator ini bermula dari pertimbangan untuk melengkapi penggunaan indikator
pendapatan per kapita dalam mengukur tingkat perkembangan pembangunan
daerah.
Seperti diketahui, perhitungan berdasarkan pendapatan per kapita mengandung
beberapa kelemahan, antara lain, pertama, cenderung menggunakan pengukuran
atas dasar nilai tukar US $. Padahal daya beli suatu mata uang suatu negara
disesuatu tempat tidak selalu sebanding dengan daya beli dollar di Amerika
Serikat. Sebab itu, dalam perhitungan pendapatan per kapita itu sendiri sekarang
dilakukan dengan penyamaan daya beli (par value) dari mata uang setempat pada
waktu tertentu terahdap nilai dollar. Kedua, perhitungan pendapatan per kapita

3
cenderung bersifat komersial. Artinya, yang dihitung adalah barang atau jasa
yang mempunyai nilai pasar. Jasa atau barang-barang yang tidak mempunyai nilai
pasar tidak termasuk dalam perthitungan tersebut. Jasa seorang ibu rumah tangga
tidak diperhitungkan, sementara jasa pembantu rumah tanga termasuk dalam
perhitungan pendapatan per kapita.
Ketimpangan-ketimpangan yang ditunjukkan oleh indikator-indikator tersebut
menunjukkan derajat permasalahan pembangunan daerah dalam suatu negara.
Ketimpangan antar daerah ini tidak selalu sama sepanjang waktu, tetapi berubah
mengikuti suatu trend yang dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pembangunan
nasional dan daerah dalam suatu negara
1. Ketimpangan pendapatan internal antar golongan dalam masyarakat
Seperti disinggung diatas, perbedaan tingkat pembangunan dan kondisi ekonomi
antar daerah merupakan hal yang biasa. Sebab itu yang menjadi persoalan
bukanlah perbedaan itu sendiri, tetapi kecenderungan melebarnya perbedaan
tersebut sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan pembangunan. Di Indonesia,
misalnya, telah lama terdapat perbedaan tingkat pembangunan antara pulau Jawa
dengan pulau-pulau lain yang terjadi sebagai akibat pembangunan di pulau Jawa
berlangsung lebih awal dibandingkan dengan apa yang terjadi di pulau-pulau lain.
Perbedaan ini dianggap sebagai kondisi awal yang normal. Pulau Jawa
mempunyai sarana dan prasarana yang lebih maju. Tambahan lagi, dengan
penduduk yang jauh lebih banyak, pulau ini menyimpan daya beli atau pasar yang
lebih luas. Sayangnya, karena Belanda yang menjajah Indonesia dahulu bukan
negara industri, daya beli potensial yang ada di pulau Jawa itu tidak
dimanfaatkan. Jumlah penduduk yang banyak itu hanya dipergunakan sebagai
tenaga kerja paksa diperkebunan-perkebunan milik kolonial atau pengusaha
kolonial. Berbeda dengan Inggeris sebagai negara industri, Belanda tidak pernah
berupaya untuk meningkatkan daya beli dalam negeri melalui peningkatan
pendapatan masyarakat. Demikian juga halnya dalam bidang administrasi
pemerintahan. Belanda menjalankan pemerintahan melalui pemerintahan anak
negeri zaman lampau, tanpa berupaya untuk mengembangkan sistem administrasi
modern. Sebab itu sampai sekarang sistem admninistrasi modern di Indonesia

4
tidak dipandang sebagai suatu profesi yang mesti dipergunakan dalam
menjalankan pemerintahan. Administrasi modern masih dipandang sebagai
commonsense yang tak perlu didalami.
Kecenderungan strategi pembangunan dari kolonial Belanda untuk memanfaatkan
sumber alam dari luar pulau Jawa dengan menggunakan tenaga kerja dari Pulau
Jawa untuk dieksport keluar negeri nampaknya juga tetap menjadi pegangan
pemerintah Indonesia dalam bentuk yang sedikit berbeda selama masa Orde Baru.
Pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan berlangsung dengan orintasi
yang lebih mengutamakan pasar luar negeri, ketimbang memanfaatkan daya beli
potensial yang ada di dalam negeri. Berbagai fasilitas disediakan untuk industri-
industri penghasil barang eksport. Dengan harapan mendapatkan devisa yang
lebih banyak. Fasilitas atau kemudahan itu antara lain meliputi bea masuk barang
modal, bahan baku, pelayanan investasi dengan kemudahan dalam mendapatkan
lokasi usaha, fasilitas perkreditan dan upah buruh murah.
Agar buruh yang upahnya murah itu dapat hidup, harga bahan makanan hasil
pertanian dijaga pada tingkat harga yang relatif sangat murah. Ini berarti
pendapatan petani dalam negeri menjadi rendah. Jika terdapat kecenderungan
harga naik, karena permintaan yang meningkat lebih tinggi dari jumlah
penawaran yang ada, diupayakan untuk mengganjalnya dengan mengimport
barang tersebut dari luar negeri dengan harga yang tentu saja lebih tinggi untuk
kemudian dijual pada tingkat harga yang rendah. Dengan cara demikian, secara
tidak langsung pemerintah telah memberi subsidi kepada pembeli dalam negeri
(buruh dan pegawai negeri), yang sekaligus juga kepada petani dari luar negeri
dengan mengorbankan kesempatan mendapatkan keuntungan kepada petani
dalam negeri. Bentuk dari kebijakan yang demikian juga dapat disebutkan sebagai
subsidi silang dari petani miskin dalam negeri kepada pengusaha industri barang
eksport yang kaya dan pertani luar negeri.
Ini semua pada gilirannya telah mengakibatkan ketimpangan internal antar
golongan dalam satu daerah yang makin lebar, antara golongan kaya (kelompok
industri penghasil barang eksport atau rumah tangga golongan atas kota bukan
pertanian) dengan golongan miskin (petani), atau antara kota dengan desa.

5
Tabel - 1
Rata-rata Pendapatan per kapita
Golongan Rumah Tangga di Indonesia(1985 - 1999)
(ribu rupiah)
Golongan rumah tangga 1985 1990 1993 1995 1998 1999
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Rumah tangga 247,4 438,4 502,2 618,1 976,5 1.631,4


buruh tani
2. Rumah tangga
petani gurem 237,7 566,5 781,9 939,7 1.553,7 1.685,8
3. Rumah tangga
pengusaha
pertanian dengn 348,1 683,3 943,1 1.205,6 1.996,9 2.663,3
lahan 0,5 – 1.0 ha
4. Rumah tangga
pengusaha
pertanian dengan 567,9 1.053,4 1.485,1 1.765,3 2.958,7 3.435,2
lahan > 1 ha
5. Rumah tangga
bukan pertanian 316,6 640,4 843,6 1.773,0 2.807.0 3.155,2
golongan rendah
desa
6. Rumah tangga
bukan angkatan 310,9 935,6 1.330,0 1.723,1 2.592,2 3.983,7
kerja desa
7. Rumah tangga
bukan pertanian 530,8 1.048,6 1.854,0 3.444,7 7.420,1 7.326,0
golongan atas
desa
8. Rumah tangga
bukan pertanian 554,1 830,4 1.054,7 2.290,4 3.373,8 4.678,8
golongan rendah
kota
9. Rumah tangga
bukan angkatan 595,0 951,1 1.314,7 2.085.3 3.180,5 4.206,4
kerja kota
10. Rumah tangga
bukan pertanian
golongan atas kota 906,6 1.882,2 3.105,7 5.244,4 8.945,0 9.316,8

Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2001

6
Tabel - 2
Perbandingan Relatif Rata-Rata Pendapatan per kapita
Golongan Rumah Tangga di Indonesia (1985 - 1999) 1)
(diolah dari Tabel 1)
Golongan rumah tangga 1985 1990 1993 1995 1998 1999
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Rumah tangga buruh tani 0.27 0.23 0.16 0.12 0.11 0.18
2. Rumah tangga petani gurem 0.26 0.30 0.25 0.18 0.17 0.18
3. Rumah tangga pengusaha
pertanian dengn lahan 0,5 – 0.38 0.36 0.30 0.23 0.22 0.29
1.0 ha
4. Rumah tangga pengusaha
pertanian dengan lahan > 1 ha 0.63 0.56 0.48 0.34 0.33 0.37
5. Rumah tangga bukan
pertanian golongan rendah
desa 0.35 0.34 0.27 0.34 0.31 0.34
6. Rumah tangga bukan
angkatan kerja desa 0.34 0.50 0.43 0.33 0.29 0.43
7. Rumah tangga bukan
pertanian golongan atas desa 0.59 0.56 0.60 0.66 0.83 0.79
8. Rumah tangga bukan
pertanian golongan rendah
kota 0.61 0.44 0.34 0.44 0.38 0.50
9. Rumah tangga bukan
angkatan kerja kota 0.66 0.51 0.42 0.40 0.36 0.45
10. Rumah tangga bukan
pertanian golongan atas kota 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2001


1).
Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga bukan pertanian golongan atas
kota (10) sebagai 1.00

Dalam Tabel 1 terlihat adanya peningkatan pendapatan absolut dari semua


golongan rumah tangga. Meskipun secara absolut naik, tetapi secara relatif
pendapatan rumah tangga buruh tani, rumah tangga petani gurem dan rumah
tangga pengusaha pertanian miskin dengan lahan 0.5 s/d 1.0 ha dan mereka yang
lahannya > 1 ha menurun terus menerus dari tahun ketahun terhadap pendapatan
rata-rata ‘rumah tangga bukan pertanian golongan atas kota’. Sedangkan rumah

7
tangga golongan bukan pertanian rendah kota dan desa secara relatif tetap
(seperti yang diperlihatkan dalam Tabel–2).
Ini menunjukkan, bahwa yang mengalami pemiskinan relatif selama masa itu
adalah kalangan petani, karena hasil usaha pertanian mengalami penurunanan
harga yang relatif cukup signifikan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang
merugikan mereka.
Kebijakan-kebijakan yang mengakibatkan tertekannya tingkat pendapatan petani
sebagai golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia, bukan saja telah
mempersempit pasar dalam negeri, bahkan juga telah mematikan inisiatif kearah
modernisai sektor pertanian. Artinya, para investor tak akan tertarik untuk
berinvestasi dalam sektor pertanian tradisional.
2.Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah
Selain ketimpangan pendapatan internal dalam satu daerah, juga terdapat
ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah. Ketimpangan ini timbul sebagai
akibat dari kondisi alam, alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak sama
antara satu daerah dengan daerah lain. Salah satu model yang biasa dan dianggap
cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita
itu adalah indeks ketimpangan daerah (index of regional inequality) yang
dikemukakan Jeffrey G. Williamson (1965).
Williamson mengemukakan model Vw (indeks tertimbang atau weighted index
terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau un-weighted index)
untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita suatu negara pada
waktu tertentu. Dari perhitungan yang dilakukan di beberapa negara terlihat
bahwa ketimpangan antar daerah itu cenderung berubah mengikuti suatu trend
yang disebut sebagai U-shape atau bentuk U. Yakni, pada tahap awal
pembangunan derajat ketimpangan pendapatan antar daerah meningkat
(increasing), kemudian mengalami masa stabil, seterusnya menjadi berkurang
(decrease). Namun demikian untuk negara-negara tertentu, bentuk U tersebut
tidak sepenuhnya berlaku demikian. Ada variasi-variasi tertentu yang bersifat
khusus.

8
fi
∑ (y − y)
2
i
n
Vw = r

f i = penduduk dari tiap daerah masing-masing

n = jumlah penduduk negara yang bersangkutan


yi = pendapatan per kapita dari daerah-daerah yang bersangkutan
y = pendapatan per kapita nasional

Dengan menggunakan rumus atau model Williamson ini, kita mengukur tingkat
ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah selama beberapa tahun di
Indonesia (Lihat Tabel 3 !) Karena jumlah penduduk masing-masing daerah di
Indonesia sangat variatif, model ketimpangan tertimbang menjadi lebih relevan.
Dengan demikian, penjelasan tentang kecenderungan meningkat atau menurunnya
ketimpangan tersebut dapat dijelaskan dengan memperhatikan pada besarnya
penyebut atau pembagi dari penduduk daerah-daerah yang bersangkutan.
Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah selama masa awal dan akhir
Orde Baru ditunjukkan disini (Tabel 3) dalam tiga perhitungan yang berbeda yang
dilakukan dengan menggunakan model tersebut. Meskipun angka-angka indeks
dari masing-masing perhitungan itu tidak sama karena mungkin berbeda dalam
penggunaan data, tetapi ketiganya menunjukkan adanya trend yang serupa. Ketiga
perhitunga itu adalah, pertama yang dilakukan oleh Hendra Esmara 1 berlaku
antara tahun 1968 sampai dengan tahun 1972. Kedua, yang dilakukan oleh
Soeeroso 2 antara tahun 1971 sampai tahun 1976. Ketiga adalah yang dilakukan
penulis antara tahun 1977 sampai tahun 1980 3 .
Ketiga koefisien yang terlihat dalam Table 3 menunjukkan bahwa selama masa
awal Orde Baru sampai tahun 1980 terjadi ketimpangan pendapatan antar daerah

1
Hendra Esmara, Regional Income Disparities, B.I.E.S., Vol. XI, No.1, March 1975, p. 41 - 57
2
Soeroso, The Distribution of Economic Activity Over Space and Economic Growth in Indonesia and
Empirical Efforts and policy Implication, (University of Pittsburgh, the Graduate School of Art and
Sciences, dissertation, 1982)
3
Said Zainal Abidin, Regionalization and Development Performance in Indonesia, (University of
Pittsburgh, the Graduate School of Public and International Affairs, dissertation, 1986)

9
yang makin melebar di Indonesia. Keadaan itu sesuai dengan apa yang dikatakan
Williamson sebagai kondisi ketimpangan dalam periode awal pembangunan.
Sebab itu sejak Repelita III 1979 s/d 1984, pemerintah memberi tekanan yang
lebih besar pada strategi pemerataan dari Trilogi Pembangunan (Pemerataan,
Pertumbuhan dan Stabilitas) yang sudah dipergunakan sejak REPELITA I.
Strategi pemerataan tersebut diberi penjelasan sebagai pemerataan kegiatan
pembangunan dan hasil-hasilnya.. Ini dimaksudkan untuk melengkapi
pengertian dari strategi pemerataan sebelumnya yang seolah-olah hanya
dimaksudkan untuk pemerataan hasil-hasil pembangunan, tidak termasuk
pemerataan kegiatan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan tidak
dilakukan hanya dengan pemerataan kegiatan, sementara hasilnya terpusat di
Jakarta, atau sebaliknya kegiatan terpusat di Jakarta, hasilnya dibagikan keseluruh
wilayah tanah air, dengan keputusan yang dibuat di Jakarta. Sejauh mana tujuan
dari strategi tersebut terwujud dilapangan menjadi objek yang perlu dibicarakan
lebih lanjut
Table 3
H. Esmara Soeroso Said Z. Abidin
Tahun Koeffisien Tahun Koeefisien Tahun Koefisien
Ketimpangan Ketimpangan Ketimpangan

1968 0,340 1971 0,872 1977 0,47

1969 0, 362 1972 0, 929 1978 0,70

1970 0, 439 1973 0, 980 1979 0,90

1971 0, 509 1974 1, 081 1980 1,09

1972 0, 522 1975 1, 162

1976 1, 216

10
3. Ketimpangan Tingkat Kesejahteraan Antar Daerah
Selain adanya ketimpangan pembangunan dalam bidang ekonomi yang diukur
dengan menggunakan indeks ketimpangan pendapatan antar daerah tersebut,
terdapat juga ketimpangan sosial yang dapat diukur melalui indeks ketimpangan
sosial lain, seperti PQLI (Physical Quality Life Indexes) dan IPM (Indeks
Pembangunan Manusia). Perhitungan tentang ketimpangan kesejahteraan sosial
secara kuantitatif ini biasanya dimaksudkan untuk melengkapi pengukuran
kesejahteraan sosial secara kualitatif. Ini diperlukan karena tingkat kesejahteraan
sosial itu dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, secara subjektif, yakni dengan
mengukur tingkat kesejahteraan itu melalui persepsi dari masing-masing pihak
yang menjadi subjek atau objek dari suatu kebijakan. Apakah petani merasa lebih
sejahtera dengan adanya kebijakan tertentu dalam bidang pertanian ? Kedua
secara objektif, dengan mengukur tingkat kesejahteraan berdasarkan angka-angka
yang dihitung dengan menggunakan sesuatu model tertentu. Berapa persen anak-
anak umur sekolah yang masuk sekolah setelah diterapkannya sistem otonomi
daerah di Indonesia ? Berapa persen tingkat kematian bayi berkurang selama
tahun 20-an atau sejak adanya otonomi daerah dalam pengelolaan kesehatan ?
Perhitungan tingkat kesejahteraan sosial ini juga dipergunakan untuk melengkapi
ukuran pembangunan yang didasarkan semata-mata pada pendapatan per kapita.
Dalam pandangan ini, pembangunan tidak dapat diukur hanya dengan tingkat
pendapatan per kapita, karena berbagai kelemahan seperti yang telah disinggung
terdahulu.
Dalam hubungan dengan pembangunan daerah, perbedaan atau ketimpangan antar
daerah ini juga menggambarkan adanya perbedaan tingkat pembangunan seperti
halnya dengan ukuran ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah. Dari sisi
lain, perbedaan antar waktu dari indeks tersebut, selanjutnya juga menunjukkan
adanya tingkat kemajuan atau kecepatan pembangunan yang relatif berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain.
Perhitungan terhadap indeks PQLI dilakukan dengan mempergunakan model
yang dikemukakan oleh Morris and Morris 4 . Indeks kualitas hidup phisik ini

4
Morris and Morris, Measuring the Condition of the Woeld’s poor: The Physical Quality of Life Index,

11
merupakan nilai rata-rata dari indeks harapan hidup (L.E.I.), indeks tingkat
kematian bayi per seribu kelahiran (I.M.I.) dan indeks melek huruf (L.I.).

PQLI =
(L.E.I + I .M .I + L..I )
3
Perhitungan tentang L.E.I., I.M.I dan DRR dapat dilihat pada catatan dibelakang
i
)

Dari hasil perhitungan PQLI atau indeks kualitas hidup phisik yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa antara tahun 1971 sampai tahun 1980 telah terjadi
kemajuan yang cukup signifikan pada semua daearh. Bersamaan dengan itu
terdapat kemajuan lebih besar pada satu-dua daerah dibandingkan dengan apa
yang terjadi pada beberapa daerah lain. Sehingga ada daerah-daerah yang pada
tahun 1971 mempunyai indeks PQLI yang relatif lebih kecil, tetapi pada tahun
1980 menjadi relatif lebih besar. D.I Aceh, Sumatera Utara dan semua provinsi di
pulau Jawa meningkat lebih tinggi daripada Sulawesi Utara, Riau, Jambi, NTB
dan NTT. Kondisi seperti ini tentu saja tidak menjadi masalah selama semua
daerah mengalami peningkatan. Yang menjadi persoalan disini, faktor apa yang
mempengaruhi pertumbuhan yang tidak sama pada daerah-daerah tersebut ?
Dengan menggunakan indeks perbedaan tingkat penurunan (Disparity Rate of
Reduction = DRR) kita dapat melihat tingkat perbaikan kesejahteraan antar
daerah dengan meniadakan pengaruh perbedaan angka awal (initial factors) yang
tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain.
Yang perlu dicatat, bahwa sampai dengan bagian ini merupakan kondisi awal dari
proses pembangunan dalam Era Orde Baru. Bagaimana kondisi ini selanjutnya
menjadi pendorong masuk dalam agenda kebijakan dalam langkah-langkah
selanjutnya.

(New York: PergamonPress, Press, 1979)

12
Table 4
Indeks Kualitas Hidup Phisik(PQLI)
Di semua Daerah di Indoenesia 5

No. Daerah 1971 1980 Perubahan


per tahun DRR
6
1 D.I.Aceh 52 64 1,3 3,1
2 Sumatera Utara 59 69 1,1 3,0
3 Sumatera Barat 51 59 0,9 2,0
4 Riau 54 59 0,6 1,3
5 Jambi 44 57 1,4 2,9
6 Sumatera Selatan 48 65 1,9 4,3
7 Bengkulu 47 60 1,4 3,1
8 Lampung 48 63 1,7 3,7
9 DKI Jakarta 57 72 1,7 4,7
10 Jawa Barat 43 54 1,2 2,4
11 Jawa Tengah 43 60 1,9 3,9
12 Yogyakarta 43 71 3,1 7,2
13 Jawa Timur 46 58 1,3 2,8
14 Kalimantan Barat 42 51 1,0 1,9
15 Kalimantan Tengah 54 64 1,1 2,7
16 Kalimantan Selatan 49 58 1,0 2,1
17 Kalimantan Timur 53 63 1,1 2,6
18 Sulawesi Utara 63 69 0,7 1,9
19 Sulawesi Tengah 50 57 0,8 1,7
20 Sulawesi Selatan 39 56 1,9 3,6
21 Sulawesi Tenggara 39 55 1,8 3,3
22 Bali 44 61 1,9 3,9
23 Nusa Tenggara Barat 31 32 0,1 0,2
24 Nusa Tenggara Timur 47 52 0,6 1,0
25 Timur Timur 7 tad tad tad tad
26 Maluku 52 58 0,7 1,5
27 Irian Jaya tad tad tad tad

INDONESIA 48 59 1,4 3,0


Sumber: Said Zainal Abidin, Regionalization and Development Performance in
Indonesia, dissertation, University of Pittsburgh, 1986 (Data diolah dari
BPS, Indikator Kesejahteraan, Jakarta, BPS, 1984)

5
Jumlah dan nama provinsi masih seperti pada waktu itu.
6
Masih menggunakan istilah Daerah Istimewa Aceh, belum berubah menjadi NAD
7
Ketika itu Timor Timur masih menjadi sebuah provinsi dalam wilayah Negara Republik Indoenesia

13
III. Agenda Kebijakan
Ketimpangan antar daerah sebagaimana ditunjukkan oleh angka-angka indeks
diatas merupakan masalah dalam pembangunan daerah yang menarik perhatian
publik. Masalahnya menjadi Agenda kebijakan publik melalui dua sebab.
Pertama, berkembangnya berbagai kajian yang dilakukan para ahli diluar negeri
Kajian itu masuk ke Indonesia melalui berbagai media dan referensi serta melalui
mereka yang mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Kajian-kajian itu
disampaikan dalam berbagai pertemuan dan diskusi, kemudian diaplikasikan di
dalam negeri serta diajarkan diperguruan-perguruan tinggi. Kedua, timbulnya
berbagai ketidak puasan dibanyak daerah. Bentuk ketidak puasan itu umumnya
berkaitan dengan manajemen pembangunan daerah yang bersifat sentralistis yang
terjadi selama Era Orde Baru. Gejolak ketidak puasan tersebut telah menimbulkan
protes-protes yang cukup keras pada bagian akhir Era Orde Baru. Meskipun
persoalan semula berkisar sekitar ketidak adilan dalam pemanfaatan sumberdaya
alam daerah dan sistem manajemen pemerintahan yang sentralistis, tetapi akibat
dari penanganan awal yang kurang tepat, ketidak puasan tersebut dibeberapa
daerah berlarut menjadi gerakan bersenjata yang bersifat pemberontakan dan
mengancam keutuhan negara.
Dipihak lain, secara konsepsional, dalam bidang perencanaan, ketidak puasan itu
telah ditenggapi dengan strategi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
seperti yang dicantumkan dalam Trilogi Pembangunan REPELITA III. Tetapi
karena kelemahan dalam bidang administrasi publik di Indonesia, yang diperparah
pula oleh sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis, perubahan-perubahan
trilogy dan Strategi Pembangunan itu dalam banyak hal lebih berupa
dokumentasi, ketimbang implementasi.
Sebab itu, begitu Presiden Suharto turun dan Orde Baru berakhir, yang pertama-
tama dibenahi oleh Presiden B.J.Habibie adalah perubahan sistem pemerintahan
daerah dengan memberikan hak otonomi kepada daerah-daerah untuk
menjalankan sistem pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan
rakyat daerah. Bersamaan dengan itu juga diberi hak kepada daerah untuk
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada didaerahnya.

14
Sejak itu, issue pemerataan pembangunan antar daerah telah masuk dalam segala
agenda kebijakan pembangunan. Artinya, sejak itu, dalam proses penyusunan
berbagai kebijakan pembangunan, pemerataan seperti yang telah disebutkan sejak
REPELITA III itu harus menjadi pertimbangan utama.
IV. Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah
Strategi kebijakan pembangunan daerah di Indonesia dapat diikuti melalui tiga
jalur. Pertama, jalur kelembagaan. Jalur ini bermula pada tahun 1969, ketika
untuk pertama kali dibentuk sebuah lembaga perencanaan pembangunan daerah di
D.I.Aceh, yang diberi nama Aceh Development Board (ADB) sebagai embrio dari
BAPPEDA. Lembaga ini yang diberi wewenang untuk menyusun rencana
pembangunan daerah dan mengkoordinasikan proses pembangunan, merupakan
perpaduan antara kalangan intelektual kampus (Universitas Syiah Kuala) dibawah
pimpinan Prof. A. Madjid Ibrahim dan pemerintah daerah dibawah pimpinan
Gubernur A. Muzakkir Walad. Lembaga yang hampir serupa kemudian dibentuk
juga di daerah-daerah lain. Pada tahun 1974, melalui Inpres Nomor 15 1974 yang
diikuti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 142 /1974 dibentuk
BAPPEDA di seluruh provinsi. Selanjutnya secara struktural BAPPEDA diberi
kedudukan yang lebih pasti dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di
Daerah. Sebagai kelengkapan dari itu, melalui Keputusan Menteri dalam Negeri
No. 185 tahun 1980 dibentuk BAPPEDA tingkat II diseluruh Indonesia.
Kedua, jalur program yang terdiri dari dua program. Yakni, Inpres Pembangunan
Daerah tingkat I yang kemudian dilengkapi dengan Inpres Pembangunan Daerah
tingkat II dan program pembangunan wilayah (PADP = The Provincial Area
Development Program) melalui pembangunan pilot proyek di delapan provinsi
dengan melibatkan seluruh jenjang pemerintahan.
Sesuai dengan Salah satu tujuan dari Inpres Pembangunan daerah tngkat I dan II
itu adalah untuk membantu daerah-daerah melaksanakan pembangunan. Besarnya
dana yang dikucurka melalui program ini dikelasifikasikan antara daerah besar
dengan daerah kecil yang didasarkan terutama pada besarnya jumlah penduduk
dan besarnya tugas yang diemban daerah berhubung dengan kegiatan
pembangunan yang harus dilaksanakan. Dengan menggunakan kriteria yang

15
demikian, daerah-daerah yang berpenduduk banyak dan lebih maju mendapat
dana Inpres yang lebih besar dibandingkan dengan dana Inpres yang diperoleh
daerah-daerah yang luas, belum maju dan berpenduduk jarang.
Program pembangunan wilayah diarahkan langsung pada pembanguna pilot
proyek didesa-desa tertentu dalam delapan provinci. Persiapan, perencanaan dan
pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan staf BAPPEDA tingkat I dan
BAPPEDA tingkat II serta staf dari instansi yang terkait didaerah. Sebab itu
program ini juga dilengkapi dengan konsultan yang diperbantukan melalui
BAPPEDA dan pelatihan aparatur.
Ketiga, jalur prosedural. Bersamaan dengan penyaluran dana yang diberikan
kedaerah, pada tingkat nasional setiap tahun diadakan Konsultasi Nasional antara
Pemerintah Daerah termasuk BAPPEDA dengan BAPPENAS di Jakarta.
Demikian juga pada tingkat daerah terdapat Konsultasi Daerah antara Dinas-
Dinas tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dengan BAPPEDA tingkat I.
Dengan cara demikian diharapkan terdapat suatu koordinasi terpusat dalam
pembangunan daerah-daerah.
Bersamaan dengan itu, setiap rencana pembangunan disampaikan ke BAPPENAS
ditingkat nasional dan ke BAPPEDA di daerah dalam bentuk DUP (daftar Usian
Proyek) untuk biaya pembangunan dan DUK (Daftar Usulan Kegiatan) untuk
biaya rutin. DUP dan DUK yang disahkan menjadi DIP (Daftar Isian Proyek) dan
DIP (Daftar Isian Kegiatan)
V. Evaluasi Kebijakan
Sesuai dengan keberadaan kebijakan pembangunan daerah itu sendiri yang dapat
diikuti melalui tiga jalur, penilaian atau evaluasi terhadap kebijakan pembangunan
daerah juga dapat ditelusuri melalui beberapa jalur. Pertama, melalui jalur
kelembagaan. Pertanyaannya, bagaimana organisasi, kedudukan dan wewenang
yang dipunyai oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan pembangunan daerah ?
Kelembagaan atau organisasi yang terkait dengan kebijakan pembangunan daerah
itu, antara lain terdiri atas organisasi perencana, organisasi pelaksana dan
organisasi pengawas. Organisasi perencana itu adalah Bappenas pada tingkat
pusat, Bappeda tingkat I di tingkat provinsi dan Bappeda tingkat II pada tingkat

16
kabupaten dan kota. Selama Era Orde Baru, Bappenas merupakan organisasi yang
paling dominan. Peranannya tidak hanya sebagai perencana, tetapi juga dalam
beberapa hal melakukan kegiatan-kegiatan operaasioanl. Antara lain yang
berhubungan dengan pelatihan dan penentuan proyek.
Sesuai dengan kedudukan yang demikian, Bappenas menjadi sangat menentukan
jika diikuti dari jalur prosedur pembangunan. Tiap awal tahun anggaran, Bappeda
dan Biro Perencanaan dari semua instansi tingkat pusat melakukan Rapat
Koordinasi dengan Bappenas. Bagi instansi-instansi itu, Rapat Kordinasi ini
secara prosedural lebih merupakan kesempatan untuk menerima keputusan dari
Bappenas, ketimbang sebagai lembaga konsultasi. Keadaan ini terjadis ebagai
akibat dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis.
Melalui Rapat Koordinasi itu semua DUK dan DUP dari semua instansi harus
mendapat pengesahan dari Bappenas untuk menjadi DUP dan DIP. Dengan
disahkannya proposal menjadi DUP dan DIP, instansi-instansi tersebut
memperoleh jatah anggaran untuk tahun yang akan datang. Disamping itu masih
perlu memperoleh pengesahan dari DPR, meskipun itu lebih bersifat proforma.
Dengan kedudukan dan wewenang Bappenas serta prosedur yang demikian,
daerah-daerah harus melaksanakan kegiatan dengan jumlah biaya tertentu. Dalam
beberapa hal, keadaan ini baik untuk menjaga efisiensi dan membatasi
kemungkinan terjadinya mark-up atau korupsi, tetapi dalam hal-hal dimana
Bappenas salah perhitungan terhadap standard biaya didaerah yang bersangkutan,
daerah akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Dalam hal ini Bappeda sebagai lembaga perencana yang ada didaerah berfungsi
menampung kepentingan dan aspirasi daerah untuk kemudian
memformulasikannya sesuai dengan batasan anggaran dan ketentuan-ketentuan
dari pemerintah pusat. Dengan demikian berlaku bottom-up planning system,
dalam pengertian, aspirasinya berasal dari bawah, tetapi keputusan berada diatas,
yakni pada pemerintah pusat.
Kedudukan daerah sebagai pelaksanan program dan kegiatan pelayanan
masyarakat masih dibatasi lagi oleh kedudukan dan wewenang dari Departemen
Dalam Negeri. Dalam banyak hal, sampai akhir Orde Baru, Departemen ini

17
melihat Pemerintah Daerah sebagai Kantor Perwakilan Departemen Dalam
Neger dengan Gubernur sebaga Kepala Kantor Perwakilannya. Karena itu,
Departeman-Departeman lain enggan melimpahkan wewenangnya kedaerah,
meskipun UU No. 5 tahun 1974 memberi wewenang kepada Gubernur sebagai
Kepala Daerah atau penguasa tunggal di daerah. Pelimpahan wewenang
departemen kepada pemerintah daerah dipandang departemn itu sebagai
pengalihan wewenangnya kepada Deprtemen Dalam Negeri. Karena itu dalam
UU NO. 22 tahun 1999 Kepala Daerah mempunyai kedudukan yang otonom,
disamping itu Gubernur juga merangkap sebagai wakil dari pemerintah pusat,
bukan sebagai wakil dari sesuatu departemen. Tetapi karena kebiasaan yang
sudah terlalu lama, kedudukan Departemen Dalam Negeri sebagai “atasan
pemerintah daerah” masih sulit dihindarkan.
Masalahnya, karena pada Era Orde Baru pemerintah pusat menguasai hampir
seluruh penerimaan, dan sekaligus juga menguasai post pengeluaran. Proses
penyelenggaraan pemerintahan di zaman itu didasarkan pada azas “kesatuan” atau
“sentralisasi” kekuasaan. Karena itu tiap pimpinan instansi berebut untuk saling
dekat dengan pusat kekuasaan, yakni Presiden Soeharto. Karena daerah letaknya
jauh dari pusat kekuasan, maka daerah selalu menjadi objek kekuasaan dari
instansi lain.
Dalam bidang pengawasan, pemerintah daerah dihadapkan pada lembaga
pengawasan internal daerah (Irwilprop.), lembaga pengawasan eksternal daerah
tapi internal pemerintah (BPKP) dan lembaga pengawasan eksternal pemerintah
(BAPEKA, DPRD dan DPR RI).
Penilaian dari jalur hasil pembangunan, pertama terlihat adanya pergeseran peran
dari penguasaan sumberdaya alam kepada pemusatan kekuasaan pemerintahan.
Pada awal Orde Baru, meskipun kekuasaan dalam pembangunan ada pada instansi
pemerintah pusat, namun hasil pembangunan masih mencerminkan pengaruh dari
keberadaan sumberdaya alam daerah. Daerah-daerah yang mempunyai
sumberdaya alam yang melimpah maju lebih cepat. Baik dalam PDRB per kapita
maupun dalam PQLI antara tahun-tahun 1970an dan 1980an (lihat table 4 dan
Tabel 5 ! ).

18
Tabel 5
Distribusi Pendapatan Per Kapita tanpa Migas
menurut Pulau-Pulau
(Rp ribu) 8

Pulau 1977 1978 1979 1980 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Sumatera 2.375,5 2.584,1 2.786,0 3.045,3 1.788,5 1.619,0 1.585,1 1.644,4 1.675,0 1.716,0
Jawa 6.870,0 7.579,7 8.012,9 8.955,9 2.144,0 1.765,1 1.707,0 1.876,3 1.925,0 1.973,0
Bali 692,7 763,5 653,5 920,4 2.508,2 2.378,0 2.365,0 2.388,0 2.438,0 2.483,2
Kalimantan 773,8 816,8 853,0 950,1 2.822,4 2.639,4 2.681,0 2.624,0 2.685,4 2.741,0
Sulawesi 183.0 209,0 235,4 275,5 1.276,2 1.197,0 1.161,0 1.227,2 1.265,3 1.304,0
Nusatenggara 223.8 245,3 260,1 289,1 1.680,4 1.606,0 1.637,2 1.864,2 1.968,3 2.025,0
Maluku 132,2 127,0 140,3 165,1 1.595,0 1.490,1 1.119,2 2.282,0 2.276,3 2.328,0
Irian 270,0 317,0 269,0 270,0 3.731,7 4.104,0 3.890,0 3.677,0 3.509,0 3.704,1

INDONESIA 11.521 12.642,4 13.210,2 14.871,4 2.002,3 1.727,0 1.683,4 1.806,2 1.849,0 1.896,0
Sumber: Said Zainal Abidin, University of Pitsburgh, PhD dissertation, 1986; BPS,
Statisk Indonesia, 2003.

8
(1977 s/d 1980 dengan harga konstan 1975;997 s/d 2002 dengan harga konstan
1993)

19
Tabel 6
Indek Pembangunan Manusia(1990 – 2002)

N0. Provinsi 1990 1993 1996 1999 2002


01 N.A.D. 45,6 49,0 69,4 65,3 66,0
02 Sum. Utara 46,6 49,4 70,5 66,6 68,7
03 Sum. Barat 45,4 48,4 69,2 65,8 67,5
04 Riau 46,1 49,8 70,6 67,3 69,1
05 Jambi 44,5 48,2 69,3 65,4 67,1
06 Sum.Selatan 45,1 47,4 68,0 63,9 65,9
07 Bangkulu 45,1 47,7 68,4 64,8 66,2
08 Lampung 43,4 45,8 67,6 63,0 65,8
09 Bangka Belitung _ _ _ _ 65,3
10 DKI Jakarta 53,5 56,7 76,1 72,5 75,6
11 Jawa Barat 41,8 44,5 68,2 64,6 65,8
12 Jawa Tengah 43,0 44,6 67,0 64,6 66,2
13 Yogyakarta 46,9 48,9 71,8 68,7 70,7
14 Jawa Timur 42,0 44,8 65,5 61,8 64,1
15 Banten _ _ _ _ 66,6
16 Bali 44,4 47,7 70,1 65,7 67,4
17 NTB 30,4 35,9 56,7 54,2 57,8
18 NTT 39,3 44,2 60,9 60,4 60,3
19 Timut Timor 29,9 34,5 _ _ _
20 Kal. Barat 39,7 43,1 63,6 60,6 62,8
21 Kal. Tengah 46,9 49,8 71,3 66,7 69,0
22 Kal. Selatan 42,7 45,6 66,3 62,2 64,3
23 Kal. Timur 47,2 49,7 71,4 67,8 69,9
24 Sul. Utara 47,7 50,1 71,8 67,1 71,3
25 Sul. Tengah 41,5 43,2 66,4 62,8 64,4
26 Sul. Selatan 41,1 45,2 66,0 63,6 65,3
27 Sul. Tenggara 41,0 45,3 66,2 62,9 64,0
28 Gorontalo _ _ _ _ 64,1
29 Maluku 45,0 48,1 68,2 67,2 66,4
30 Maluku Utara _ _ _ _ 65,8
31 Papua 38,4 40,9 60,2 58,8 60,1

Sumber: BPS,IHD Report 2001&2002 dan BPS Data dan Informasi Kemiskinan Tahun
2003.

20
Selama tahun 1990-an hasil pembangunan cukup memuaskan, meskipun
kekuasaan pemerintah pusat sangat dominan. 1. Tingkat kesejahteraan manusia
seperti yang tergambar dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat
disemua daerah, meskipun ada daerah-daerah yang meningkat lebih tinggi dari
yang lain (table 6). 2. Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah (regional
income disparities) menurun (table 7).
Namun, karena sentralisasi kekuasaan kemudian makin meningkat, pusat-pusat
usaha bisnis juga mengikuti pusat kekuasan dan berkantor pusat di Jakarta, karena
itu pembayaran pajak dan uang beredar terpusat di Jakarta atau didaerah-daerah
lain di pulau Jawa, yang dekat dengan Jakarta. Akibatnya perkembangan
pembangunan daerah tidak lagi semata-mata tergantung pada kekayaan
sumberdayaa lam, tetapi pada kedekatan dengan pusat kekuasaan. Sejak itu
pembangunan dari provinsi-provinsi yang ada di pulau Jawa tumbuh lebih cepat,
sementara provinsi lain mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat.
Berbagai fasilitas dalam bidang kesehatan, pendidikan, hiburan dan ekonmi
tumbuh memusat di Ibu kota dan kota-kota lain di Jawa. Konsekwensi dari
keadaan ini, pulau Jawa memiliki daya tarik yang lebih besar dan menyedot lebih
banyak modal dan sumberdaya manusi terampil dan terdidik dari pulau-pulau
lain. Keadaan ini dapat dilihat pada Lampiran 1 tentang distribusi pendapatan per
kapita antar pulau-pulau besar di Indonesia. Kecuali terhadap pendapatan per
kapita Bali, Kalimantan dan Irian, pendapatan per kapita P. Jawa lebih tinggi dari
pendapatan per kapita pulau-pulau lain.
Meningkatnya pendapatan per kapita di pulau Jawa yang berpenduduk sekitar 60
% dari total penduduk Indonesia membawa dampak pada adanya distribusi
pendapatan yang makin seimbang antar daerah dilihat dari segi distribusi
penduduk. Tetapi keadaan ini tidak dapat dipandang positif dilihat dari dampak
yang ditimbulkan.
Menurut pandangan Williamson, distribusi pendapatan antar daerah pada periode
awal pembangunan cenderung menjadi semakin timpang, seperti yang
ditunjukkan dalam table 3, kemudian menjadi stabil, dan akhirnya mengarah pada
keseimbnagan atau penurunan tingkat ketimpangan. Dengan demikian,

21
ketimpangan pendapatan antar daerah yang ditunjukan dalam tabel 3, setelah
melampau masa pembangunan daerah selama lebih dari dua puluh tahun, timbul
kecenderungan pada pemerataan atau penurunan tingkat ketimpangan yang
terlihat dalam table 7.
Tabel 7
Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah (tertimbang)
Tahun Vw
1997 0.015
1998 0.009
1999 0.008
2000 0.007
2001 0.006
2002 0.006

Karena komposisi penduduk pulau Jawa yang amat besar, pemerataan pendapatan
per kapita ini berarti ketimpangan distribusi PDRB antar daerah dan pada
gilirannya berarti ketimpangan distribusi investasi antar daerah dalam berbagai
bidang. Daya tarik yang makin besar terhadap pulau Jawa berarti penurunan minat
terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dari wilayah Indoensia lain
yang luasnya 93 % dari total wilayah Indonesia, dibandingkan dengan luas pulau
Jawa yang hanya sekitar 7 % dari luas Indonesia
Gejala ini juga dapat dibaca pada penurunan pendapatan per kapita di pulau Jawa
yang relatif lebih besar. Pendapatan per kapita dari hampir semua pulau-pulau
besar itu mengalami penurunan sejak tahun 1998 sampai tahun 1999 sebagai
akibat dari adanya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi di
Asia. Tetapi penurunan pendapatan per kapita yang terjadi di pulau Jawa lebih
besar dari pada yang terjadi pulau-pulau lain. Ini disebabkan karena kegiatan
ekonomi di pulau Jawa relatif lebih banyak berbentuk industri manufaktur yang
mengandung komposisi bahan baku import lebih banyak dibandingkan dengan
kondisi ekonomi yang lebih berbentuk pertanian dan pertambangan dari pulau-
pulau lain

22
VI. Kesimpulan
1. Pembangunan daerah di Indonesia selama Era Orde Baru, sejak tahun 1969, telah
membawa banyak kemajuan, antara lain terlihat dengan peningkatan pendapatan
per kapita disemua daerah, peningkatan kualitas hidup (PQLI dan IPM) dan
semakin menurunnya disparitas pendapatan antar daerah. Namun demikian
kemajuan tersebut tidak sekaligus dapat menyelesaikan masalah yang dapat
timbul sebagai akibat dari kelemahan sistem pemerintahan yang terdapat selama
Era Orde Baru. Kemajuan yang dicapai merupakan hasil optimal yang dapat
diperoleh pada tataran permukaan. Pemerataan pendapatan daerah lebih
merupakan hasil bagi dari total penghasilan, tanpa mampu meningkatkan
kemampuan daerah itu sendiri. Daerah tidak berkembang untuk mampu berdiri
sendiri lepas dari ketergantungan pada pemerintah pusat. Keadaan yang demikian,
jika dibiarkan terus berlangsung akan mengakibatkan semakin meningkatnya
beban bagi pemerintah pusat, bersamaan dengan meningkatnya kemajuan daerah
secara terus menerus.
2. Pembangunan yang berlangsung selama masa yang cukup panjang telah mampu
meningkatkan pendapatan pada hampir semua golongan dalam masyarakat.
Bersamaan dengan itu telah berlangsung proses “pemiskinan relatif” dikalangan
para petani yang merupakan golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia. Ini
terjadi sebagai akibat dari adanya prioritas dan orintasi ekonomi yang berlebihan
terhadap pasar eksport, sementara pasar dalam negeri (domestic market) menjadi
semakin sempit karena daya beli petani (domestic purchasing power) yang relatif
makin menurun. Keadaan ini pada gilirannya telah mematikan inisiatif kearah
modernisasi sector pertanian
3. Kebijakan pembangunan daerah yang berdasar atas sistem administrasi
pemerintahan yang terpusat selama Era Orde Baru telah mendorong arus
pemusatan modal, sumberdaya manusia trampil dan tenaga ahli keibu kota negara,
yang sebelumnya memang terdapat lebih banyak dibandingkan dengan apa yang
ada di daerah-daerah. Upaya yang ditempuh selama Era Reformasi untuk
meningkatkan kemampuan daerah melalui sistem otonomi daerah, menemui
banyak kendala. Selain karena ketidak mampuan daerah itu sendiri, juga

23
disebabkan karena masih terdapatnya anggapan bahwa daerah adalah bawahan
dari Departeman Dala Negeri, sehingga keinginan untuk mendorong inisiatif
daerah menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi dan
kepentingan daerah serta menggali potensi sumberdaya setempat tidak dapat
berkembang secara wajar.

Jakarta, 30 Desember 2004

24
Kepustakaan

Abidin, Said Zainal, Perspektif Baru Dalam Sistem Pengelolaan Pemerintahan, Jakarta,
Milliunium Pess, 2002
--------, -------------, Kebijakan Publik, Jakarta, Penerbit Pancur Siwah, 2004
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Jakrta, 2001
--------------------------, Statistik Indonesi, 2003
--------------------------, Data dan Informasi Kemiskinan, Buku 1: Provinsi, Tahun 2003
Hirschman, A.O. The Strategy of Economic Development, New Haven, Yale University
Press, 1958
Morris, D. , Measuring the Condition of the World’s Poor: The Physical Quality of Life
Indexes, New York: Perggamon Press, 1979
Myrdal, G., Economic Theory and Underdeveloped Regions, London, Duckworth, 1957
Williamson, Regional Inequality and the Process of National Development: a description
of the patterns, Economic Developemnt and Cutural Change, vol. XIII, No. 4,
Part. 2, 1965

25
Lampiran 1

Perbandingan PDRB Jawa dengan


PDB Indonesia tanpa Migas
(dalam juta RP)
PDRB
Tahun PDRB Jawa Total PDRB 30 Provinsi Jawa : Total
PDRB (%)

1977 6.870.000 11.521.000 59,63


1978 7.579.700 12.642.400 60,00
1979 8.012.900 13.210.200 60,66
1980 8.955.900 14.871.400 60,22

1997 248.906.566 392.076.918 63,50


1998 207.352.841 342.799.370 60,50
1999 202.910.950 337.227.920 60,20
2000 227.579.007 371.801.833 61,12
2001 236.367.378 386.174.192 61,21
2002 245.281.690 401.910.207 61,03

26
i
Indeks harapan hidup diukur dengan menggunakan formula yang berikut:

L.E I =
(L.E − 38)
0,39

L. E.I = Indeks Harapan hidup


L.E. = harapan hidup per satu tahun kelahiran
38 = batas umur terendah
0,39 = adalah angka yang mennunjukkan bila 0,39 tahun terjadi
peningkatan umur harapan hidup akan menghasilkan 1
poin angka indeks

Indeks kematian bayi (I.M.I) dihitung dengan formula sebagai berikut:

229 − tingkatkematianbayiper1000kelahran
I.M.I =
2.22

I.M.I. = indeks kematian bayi


229 = tingkat kematian bayi maksimum yang ada pada
yang pada saat perhitungan itu dibuat, terdapat di Gabon
2,22 pembagi yang jika terdapat tingkat kematian bayi
terendah, yaitu 7 bayi per seribu kelahiran, akan
didapatkan indeks = 100

Sedangkan indeks melek huruf (L.I) sama dengan persentase tingkat kemelekan
huruf. Yakni jumlah melek huruf per seratus orang dewasa.

Disparity Rate of Reduction (DRR):

1/ n
⎛ X t +1 ⎞
DRR t+1
= ⎜⎜ ⎟⎟ −t
⎝ Xt ⎠

DRR = Perbedaan Tingkat penurunan kemiskinan atau


kenaikan kesejahteraan
X = tingkat perbedaan indeks antara tahun t dengan
tahun t + 1
n = lama antara tahun t dengan tahun t +1

27

You might also like