You are on page 1of 73

SKRIPSI

POLA DISTRIBUSI PATAH TULANG PANJANG


TERBUKA BERDASARKAN DERAJAT DAN LOKASI
PATAH TULANG SERTA USIA PASIEN DI RSUD
A.W. SJAHRANIE PERIODE 2008-2010

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ( S. Ked)

CININTA A. SAVITRI
05.48840.00241.09
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
JANUARI 2011
LEMBAR PERSETUJUAN

POLA DISTRIBUSI PATAH TULANG PANJANG TERBUKA


BERDASARKAN DERAJAT DAN LOKASI PATAH TULANG SERTA
USIA PASIEN DI RSUD A. W. SJAHRANIE PERIODE 2008-2010

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna
meraih gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh:
CININTA A. SAVITRI
NIM: 05.48840.00241.09

Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

dr. David Hariadi Masjhoer, Sp.OT dr. Eva Rachmi, M. Kes, M.Pd Ked
NIP. 19650314 199803 1001 NIP. 19761130 200501 200

Universitas Mulawarman
Fakultas Kedokteran
Dekan,

dr. H. Emil Bachtiar Moerad,Sp.P


NIP. 19530812 198111 1 001

ii
LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

POLA DISTRIBUSI PATAH TULANG PANJANG TERBUKA


BERDASARKAN DERAJAT DAN LOKASI PATAH TULANG SERTA
USIA PASIEN DI RSUD A. W. SJAHRANIE PERIODE 2008-2010009

Oleh:

CININTA A. SAVITRI
NIM: 05.48840.00241.099

Telah dipertahankan di depan Penguji


Pada tanggal 14 Januari 2011
dinyatakan telah memenuhi syarat

Komisi Penguji

Penguji I Penguji II

dr. Gregorius Tekwan, Sp.OT dr. Hary Nugroho, M.Kes


NIP. 19620509 1990301 1 008 NIP. 19740225 200604 1 001

Universitas Mulawarman
Fakultas Kedokteran
Dekan,

dr. H. Emil Bachtiar Moerad,Sp.P


NIP. 19530812 198111 1 001

iii
LEMBAR PERSEMBAHAN

"Bear in mind that the wonderful things you learn in your schools are the work of
many generations. All this is put in your hands as your inheritance in order that
you may receive it, honor it, add to it, and one day faithfully hand it on to your
children."
Albert Einstein

“You are educated. Your certification is in your degree. You may think of it as the
ticket to the good life. Let me ask you to think of an alternative. Think of it as
your ticket to change the world.‟
--Tom Brokaw

"There is a good reason they call these ceremonies 'commencement exercises'.


Graduation is not the end; it's the beginning."
--Orrin Hatch

“It is a curious thing, but perhaps those who are best suited to power are those
who have never sought it. Those who have leadership thrust upon them, and take
up the mantle because they must, and find to their own surprise that they wear it
well.”

“It is our choices that show who we truly are, far more than our abilities.”

-Albus Dumbledore-

Untuk Bapak, Ibu, dan Teteh


Keluarga ku, Guru-guru ku dan Teman-teman ku

iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Cininta A. Savitri


N.I.M : 05.48840.00241.09
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Judul Skripsi : Pola Distribusi Patah Tulang Panjang Terbuka
berdasarkan Derajat dan Lokasi Patah Tulang serta
Usia Pasien di RSUD A. W. Sjahranie Periode 2008-
2010
Dengan ini menyatakan bahwa hasil penulisan Skripsi yang telah saya buat
ini merupakan hasil karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di
kemudian hari penulisan Skripsi ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan
terhadap karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan
sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan aturan tata tertib di Universitas
Mulawarman.

Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak
dipaksakan.

Penulis,

Materai Rp.6000

[ Cininta A. Savitri ]

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat,
ridho dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini
yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Tak lupa segala shalawat dan
salam dihaturkan ke junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, atas suri tauladan
yang diberikan kepada peneliti dalam kehidupan ini.
Penulis menyadari bahwa dengan bantuan berbagai pihak penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir ini. Pada kesempatan ini peneliti ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. DR. H. Zamruddin Hasid, SE, SU, selaku Rektor
Universitas Mulawarman.
2. Bapak dr. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. Bapak dr. Ajie Syirafuddin, MMR selaku Direktur RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
4. Ibu dr. Ika Fikriah M, Kes selaku Ketua Program Studi Kedokteran
dan Bapak dr. Latief choibar Sp.PD sebagai Ketua Pendidikan
Profesi.
5. Ibu drg. Sinar Yani, M.Kes selaku Sekretaris Program Studi
Pendidikan Dokter.
6. Bapak dr. David Hariadi Masjhoer, Sp.OT selaku pembimbing I atas
kesabaran, bimbingan, motivasi, dan kesediaan waktu di tengah
kesibukan yang selalu diberikan kepada peneliti sejak awal hingga
selesainya tugas akhir ini.
7. Ibu dr. Eva Rachmi, M.Kes, M.Pd Ked selaku pembimbing II atas
kesabaran, bimbingan, motivasi, dan kesediaan waktu di tengah
kesibukan, siang dan malam, 24 jam, yang selalu diberikan kepada
peneliti sejak awal hingga selesainya tugas akhir ini.
8. Bapak dr. Gregorius Tekwan, Sp.OT dan dr. Hary Nugroho, M.Kes
selaku penguji I dan II yang telah memberikan arahan, motivasi,

vi
kritik dan saran yang membangun kepada peneliti demi
penyempurnaan tugas akhir ini.
9. Bapak dr. Rahmat Bakhtiar, MPPM selaku dosen wali yang banyak
memberikan bimbingan kepada peneliti selama menempuh masa
perkuliahan.
10. Segenap dosen dan civitas akademik FK Unmul.
11. Segenap staf Diklit dan Instalasi Rekam Medis RSUD Pendidikan
A.W. Sjahranie terima kasih atas bantuannya dalam memperlancar
perolehan data .
12. Bapak, Ibu, dan Teteh, thank you for your full, unwavering faith,
support, and love in everything I do. I’m proud to be your
daughter/sister, and I hope some day I can return the favor.
13. Kepada keluarga besar terima kasih atas do‟a dan dukungannya
14. The ”Gang” Arum, Bowo, Aul, Dwi, Giena, Pandi, Aldy, Ferdinand,
Adi, dan Raden. Thank you for being my second family, my home
away from home.
15. Dilla, Zai, Gufran, Iwan, Deddy, Yusron, Budi, Mbak Fi, Mbak Fen,
Saly, Frans, Endra, dan teman-teman 2005 yang lain yang telah
menemani 5 tahun perjuangan di sini. I couldn’t have asked for a
better class! 2005 Khas Samarinda!
16. Kakak Asuhku, Kak Livia, Kak Tyas, Kak Sandy, Kak Andriyan,
Kak Derry, Teh Arya, Mbak Wilda, Mbak Ulum, Mbak Emy, dan
Kak Adhies, terima kasih atas semua ilmu dan wejangannya yang
telah diberikan sehingga saya bisa sampai tahap ini. Serta kepada
semua kakak dan adik tingkat saya.
17. Kepada Bapak dan Ibu Kost dan teman-teman kost terima kasih atas
do‟a, pengertian, dan bantuannya, maaf saya sering pulang malam
jadi mengganggu istirahat.
18. Segenap keluarga besar SMA Negeri 1 Bogor, my bestest best friend,
Indri, and the whole of Columbus, Ohio, you’ve made me who I am
today, thank you for being a part of my life, I’m better off having
known you all.

vii
19. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Semoga apa yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala dan
balasan dari Allah SWT. Amin
Akhir kata penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan
dalam penulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik guna
kesempurnaan dan arah yang lebih baik lagi dalam penulisan yang akan datang.
Akhirnya, besar harapan penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat
bagi almamater khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

Penulis

viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, saya


yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Cininta A. Savitri
NIM : 05.48840.00241.09
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Hak Bebas Royalti atas karya
ilmiah saya yang berjudul :
Pola Distribusi Patah Tulang Panjang Terbuka berdasarkan Derajat dan Lokasi
Patah Tulang serta Usia Pasien di RSUD A. W. Sjahranie Periode 2008-2010
Dengan Hak Bebas Royalti ini Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan skripsi saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Samarinda
Pada tanggal : 9 Februari 2011
Yang menyatakan

( Cininta A. Savitri )

ix
RIWAYAT HIDUP

Nama : Cininta A. Savitri


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/ tanggal lahir : Bogor, 6 Juni 1987
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Taman Cimanggu Barat Blok
S2/No.1 Bogor 16163
Alamat Email : cols_43210@yahoo.com

Pendidikan Formal:
Taman Kanak-kanak (1991-1993) : TK Negeri Mexindo Bogor
Sekolah Dasar (1993-1995) : SD Bina Insani Bogor
(1995-1998) : Cranbrook Elementary School
SMP (1998-2001) : Mifflin International Alternative Middle
School
(2001-2002) : SMP Negeri 4 Bogor
SMA (2002-2005) : SMA Negeri 1 Bogor
Perguruan Tinggi (2005-2011) : Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman Samarinda

Pengalaman Organisasi :
- Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNMUL
- Tim Bantuan Medis Fakultas Kedokteran UNMUL
- Keluarga Mahasiswa Muslim Asy-Syifa

Kegiatan yang Pernah Diikuti :


- Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tahun 2009 di Desa Sambungan Kecamatan Tana
Lia Kabupaten Tana Tidung Kalimantan Timur
- Kepaniteraan Klinik Muda (Junior Clerkship) Tahun 2010 di RSUD A Wahab
Sjahranie Samarinda

x
ABSTRAK
Savitri, Cininta. 2010. Gambaran Pola Distribusi Patah Tulang Panjang Terbuka
berdasarkan Derajat dan Lokasi Patah Tulang serta Usia Pasien di RSUD
A. W. Sjahranie Periode 2008-2010. Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman Pembimbing: (1) dr. David Hariadi Masjhoer,
Sp.OT (2) dr.Eva Rachmi, M.Kes, M.Pd Ked

Latar Belakang: Patah tulang panjang terbuka jarang fatal, namun memiki
dampak yang serius karena menyebabkan penderitaan fisik, tekanan psikologis,
dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk sembuh. Pasien patah tulang
mengalami kerugian secara ekonomi karena sebagian besar pasien termasuk
dalam kategori usia produktif. Trauma muskuloskeletal yang paling banyak
menyebabkan morbiditas adalah patah tulang terbuka. Oleh sebab itu, penelitian
ini meneliti pola distribusi dari derajat, usia pasien, dan lokasi patah tulang
sebagai faktor yang mempengaruhi prognosa dari kejadian patah tulang terbuka.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi dari
patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat, lokasi patah tulang, dan usia
pasien id RSUD A.W Sjahranie periode 2008-2010.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif,
dengan menggunakan 106 pasien dengan patah tulang panjang terbuka di RSUD
A.W. Sjahranie pada periode 2008-2010 sebagai sampel penelitian. Catatan rekam
medis digunakan sebagai sumber data sekunder. Data di analisa dengan statistic
deskriptif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 17.0.
Hasil: Berdasarkan derajat, patah tulang panjang terbuka sering terjadi dengan
urutan sebagai berikut derajat II (47.17%), derajat I (23.58%), dan derajat IIIA
(20.75%). Berdasarkan lokasi, patah tulang panjang terbuka sering terjadi dengan
urutan sebagai berikut tibia-fibula 1/3 tengah dextra (8.5%), tibia-fibula 1/3 distal
kiri dan kanan, femur 1/3 tengah dekstra, dan tibia 1/3 proksimal sinistra (6.6%),
radius-ulna 1/3 tengah dextra dan radius-ulna 1/3 distal (5.7%). Berdasarkan usia
pasien, patah tulang panjang terbuka sering terjadi dengan urutan sebagai berikut
dewasa muda (40,57%), anak (35,85%), and dewasa (16,04%).
Kesimpulan: Sebagian besar patah tulang panjang terbuka yang terjadi termasuk
dalam derajat II, terjadi di tibia-fibula 1/3 tengah, dan dialami oleh usia dewasa
muda.
Kata Kunci: Patah tulang panjang terbuka, Derajat Gustillo-Anderson, Pola
distribusi

xi
ABSTRACT
Savitri, Cininta. 2010. Distribution Patterns of Open Long Bone Fractures
According to Grading and Location of Fracture, and Patients’ Age in A.
W. Sjahranie Hospital in 2008-2010. Final Task. Medical Faculty
Mulawarman University Counselor: (1) dr. David Hariadi Masjhoer,
Sp.OT (2) dr.Eva Rachmi, M.Kes, M.Pd Ked

Background: Open long bone fractures are rarely fatal, but have serious effects
because it causes physical pain, mental distress, and a relatively long period of
healing. Fracture patients experienced loss in economic terms, because most
patients are included in the category of productive age. Type of musculoskeletal
injuries that caused great morbidity is open fractures. Therefore, this study
described the distribution of grading, patient‟s age, and location of fracture, as
factors that determine the prognosis.
Aims: This research aims to study the distribution pattern of open long bone
fractures, based on grading, fracture‟s location, and, patient‟s age in AW
Sjahranie Hospital in the period of 2008-2010.
Methods: This research is a descriptive retrospective study, using 106 patients
with long bone open fractures at AW Sjahranie during the period of 2008-2010 as
research sample. Medical records served as secondary data sources. The data was
analyzed with descriptive statistic using Microsoft Excel 2007 and SPSS version
17.0.
Results: Based on the grading, open long bone fractures often occurs in the
ranking of grade II (47.17%) grade I (23.58%,), and grade IIIA (20.75%). Based
on the location, open long bone fractures often occurs in the ranking of middle
third of the right tibia-fibula (8.5%), distal third of the right and left tibia-fibula,
middle third of the right femur, and the proximal third of the left tibia (6.6%),
middle third of the right radius-ulna and distal third of the left radius-ulna (5.7%).
Based on the patients age, open long bone fractures often occurs in the ranking of
young adults (40,57%), children (35,85%), and adults (16,04%).
Conclusion: Most open fractures of long bones that happened falls in the degree
of category II, located in the middle third of tibia-fibula, and mostly experienced
by young adults.

Keywords: Open long bone fractures, Gustillo-Anderson Grading, Distribution


patterns

xii
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................... i
Lembar Persetujuan ................................................................................................... ii
Lembar Pengesahan .................................................................................................. iii
Lembar Persembahan ................................................................................................ iv
Halaman Pernyataan Orisinalitas .............................................................................. v
Kata Pengantar .......................................................................................................... vi
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah .......................................... ix
Riwayat Hidup .......................................................................................................... x
Abstrak ...................................................................................................................... xi
Abstract ..................................................................................................................... xii
Daftar Isi.................................................................................................................... xiii
Daftar Gambar ........................................................................................................... xvi
Daftar Tabel .............................................................................................................. xvii
Daftar Lampiran ........................................................................................................ xviii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
1.3 Tujuan ................................................................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................................ 5
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................................... 5
1.4 Manfaat ............................................................................................................... 6
1.4.1 Manfaat Ilmiah ........................................................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................................................... 6
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti................................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tulang ................................................................................................................. 7
2.1.1 Tulang Panjang........................................................................................... 8
2.2 Patah Tulang........................................................................................................ 9
2.3 Patah Tulang Terbuka ........................................................................................ 11
2.4 Penanganan Patah Tulang Terbuka ..................................................................... 12
2.5 Derajat Gustillo-Anderson .................................................................................. 15
2.6 Proses Penyembuhan Patah Tulang .................................................................... 17
2.6.1 Penyembuhan pada Cancellous Bone ........................................................ 19
2.6.2 Penyembuhan pada Cortical Bone ............................................................. 19
2.7 Komplikasi pada Patah Tulang ........................................................................... 20
2.7.1 Komplikasi Dini ......................................................................................... 20
2.7.1.1 Sindroma Kompartemen ......................................................................... 20
2.7.1.2 Infeksi ...................................................................................................... 21
2.7.1.3 Gas Gangren ............................................................................................ 21
2.7.2 Komplikasi Lambat .................................................................................... 21
2.7.2.1 Penyembuhan Terlambat ......................................................................... 21

xiii
2.7.2.2 Non-Union .............................................................................................. 22
2.7.2.3 Malunion ................................................................................................. 22
2.7.2.4 Gangguan Pertumbuhan .......................................................................... 22
2.8 Lokasi Patah Tulang............................................................................................ 23
2.9 Usia dan Kejadian Patah Tulang Terbuka ........................................................... 24

BAB III KERANGKA KONSEP ............................................................................. 27

BAB IV METODE PENELITIAN


4.1 Jenis Penelitian .................................................................................................... 28
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................. 28
4.2.1 Tempat Penelitian....................................................................................... 28
4.2.2 Waktu Penelitian ........................................................................................ 28
4.3 Subjek Penelitian................................................................................................. 28
4.3.1 Populasi Penelitian ..................................................................................... 28
4.3.2 Sampel Penelitian ....................................................................................... 28
4.3.3 Kriteria Sampel .......................................................................................... 28
4.3.3.1 Kriteria Inklusi ............................................................................... 28
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi............................................................................. 28
4.4 Cara Pengumpulan Data ...................................................................................... 29
4.5 Variabel Penelitian .............................................................................................. 29
4.6 Definisi Operasional............................................................................................ 29
4.6.1 Derajat Patah Tulang Terbuka ................................................................... 29
4.6.2 Lokasi Patah Tulang Terbuka .................................................................... 30
4.6.3 Usia Pasien ................................................................................................. 31
4.7 Pengolahan dan Penyajian data ........................................................................... 31
4.7.1 Pengolahan Data......................................................................................... 31
4.7.2 Penyajian Data ........................................................................................... 31
4.8 Analisa Data ........................................................................................................ 31

BAB V HASIL PENELITIAN


5.1 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat
Gustillo-Anderson di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 ..................... 32
5.2 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan lokasi patah
tulang di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 ........................................ 33
5.3 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan usia pasien
di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 ................................................... 37
5.4 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat
Gustillo dan sisi yang terkena ............................................................................ 38
5.5 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat
Gustilo-Anderson dan ekstremitas yang terkena ............................................... 38

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Gambaran patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-
Anderson ................................................................................................................... 40
6.2 Gambaran patah tulang panjang terbuka berdasarkan lokasi patah tulang ........ 41
6.3 Gambaran patah tulang panjang terbuka berdasarkan usia pasien ..................... 44

xiv
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 46
7.2 Saran ................................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 48

xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan derajat
Gustillo-Anderson di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 . 33
Gambar 5.2 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan tulang yang
terkena di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 ................... 35
Gambar 5.3 Distribusi patah tulang terbuka berdasarkan lokasi patah tulang di
RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 .................................... 36
Gambar 5.4 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan sisi yang
terkena di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 ................... 36
Gambar 5.5 Distribusi patah tulang terbuka berdasarkan usia pasien di RSUD
A.W. Sjahranie periode 2008-2010 ................................................ 37

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan lokasi di RSUD
A.W. Sjahranie periode 2008-2010 ................................................... 34
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat
Gustillo-Anderson dan sisi yang terkena........................................... 38
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat
Gustillo-Anderson dan eksremitas yang terkena ............................... 39

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rekapitulasi data patah tulang panjang terbuka di RSUD A.W.


Sjahranie 2008-2010 ..................................................................... 50
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian ....................................................................... 56
Lampiran 3 Nota Dinas ...................................................................................... 57

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Zaman ini berciri khas dengan adanya peningkatan kegiatan
transportasi yang serba cepat, baik lewat udara, laut, maupun darat.
Dengan berkembangnya industri yang kompleks dan adanya berbagai
macam olahraga, baik yang kompetetif maupun untuk rekreasi, membuat
zaman ini identik dengan trauma atau injury (Salter, 1999). Angka harapan
hidup yang tinggi juga berkontribusi kepada kejadian trauma dengan
meningkatkan populasi usia tua yang memiliki kemampuan koordinasi
yang berkurang sehingga sering menyebabkan kecelakaan. Oleh karena
hal-hal tersebut kejadian trauma sangat tinggi dan terus meningkat. Di
kawasan Amerika Utara trauma menjadi penyebab kematian tertinggi,
terutama pada usia 1-44 tahun, dan menjadi penyebab kematian ke tiga
tertinggi pada semua usia (Salter, 1999 dan Smith et al, 2003). Dari semua
trauma yang terjadi pada manusia dua per tiganya melibatkan sistem
muskuloskeletal , termasuk patah tulang. Dari seluruh tempat tidur di
rumah sakit di kawasan Amerika Utara 10% diisi oleh pasien trauma
(Salter, 1999). Di Amerika Serikat 3.5 juta orang masuk rumah sakit
dikarenakan kelainan muskuloskeletal, dan 40% akibat trauma (Smith et
al, 2003).
Trauma muskuloskletal jarang fatal, akan tetapi merupakan suatu
keadaan serius karena menyebabkan penderitaan fisik yang berat, mental
distress, dan kerugian waktu (Salter, 1999). Trauma muskuloskeletal
banyak memberi dampak pada pasien, keluarga, bahkan masyarakat. Hal
ini dikarenakan banyaknya efek dari trauma muskuloskeletal seperti efek
fisik dan psikis dari nyeri, keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari,
kehilangan kemandirian, dan berkurangnya kualitas hidup (Smith et al,
2003). Dapat dikatakan walaupun trauma muskuloskeletal memiliki
mortalitas yang rendah, tetapi memiliki morbiditas yang tinggi (Salter,
1999).

1
Dari segi ekonomi, trauma muskuloskeletal menyebabkan banyak
kerugian, terutama karena kelompok umur yang sering mengalami trauma
adalah kelompok umur 18-44 tahun, yaitu termasuk umur produktif (Smith
et al, 2003). Diperkirakan di negara maju seperti Amerika, mengalami
kerugian langsung dan tidak langsung sebesar 150 milyar dollar pertahun
akibat kehilangan produktivitas tenaga kerja akibat trauma (Smith et al,
2003). Di benua Amerika Utara saja trauma muskuloskeletal
menghabiskan dana 160 milyar dollar untuk perawatannya per tahun
(Salter, 1999).
Salah satu trauma muskuloskeletal yang menyebabkan morbiditas
yang tinggi adalah patah tulang panjang terbuka. Patah tulang terbuka
adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh trauma, baik trauma langsung ataupun
tidak lansung, yang berhubungan dengan dunia luar atau rongga tubuh
yang tidak steril, sehingga mudah terjadi kontaminasi bakteri dan dapat
menyebabkan komplikasi infeksi. Semua patah tulang terbuka harus
dianggap terkontaminasi, sehingga mempunyai potensi untuk terjadi
infeksi (Bedah UGM, 2009).
Epidemiologi dari patah tulang terbuka masih belum banyak
diketahui. Kejadiannya bervariasi di tempat dan institusi yang berbeda,
tergantung pada kejadian kecelakaan lalu lintas dan luka tembak. Level
satu trauma center biasanya mendapatkan lebih banyak kasus patah tulang
terbuka dari pada rumah sakit kecil di daerah terpencil (Court-Brown,
McQueen, & Tornetta, 2006). Insidens patah tulang terbuka 4% dari
semua kasus patah tulang. Pada penelitian Grecco et al tahun 2002 yang
berjudul “Epidemiology of Tibial Shaft Fractures” di Brazil, mendapatkan
dari 179 patah tulang pada tibia, 120-nya merupakan patah tulang terbuka.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ibeanusi dan Ekere (2007)
tentang patah tulang tibia terbuka di rumah sakit pendidikan Universitas
Port Hartcourt, di Nigeria menemukan dari 72 pasien, 70 merupakan patah
tulang terbuka.

2
Pada patah tulang terbuka tejadi kerusakan jaringan lunak yang
sangat besar, bahkan dapat terjadi kerusakan otot, vaskuler, dan syaraf.
Kerusakan otot dan penanganan debridemen yang kurang baik dapat
mengakibatkan komplikasi gas gangren yang bisa berakibat fatal.
Kerusakan vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kehilangan darah yang
banyak sehingga terjadi syok. Dapat pula terjadi delayed union akibat
kerusakan vaskuler, karena aliran darah yang diperlukan untuk terjadi
menyatuan tulang tidak memadai. Pada patah tulang terbuka jaringan
terpapar dengan dunia luar, sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Apabila terjadi infeksi, dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya komplikasi lain yang sangat membahayakan.
Semua komplikasi ini dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup bahkan
kematian (Apley dan Solomon, 2001)
Perdarahan dalam karena patah tulang umumnya cukup besar.
Patah di tulang panjang juga sangat beresiko terjadinya syok hipovolemik,
karena perdarahan di daerah tulang panjang adalah salah satu tempat
perdarahan yang dapat menyebabkan syok hipovolemik. Patah pada tulang
femur dapat menyebabkan kehilangan darah hingga 1,5 liter, pada tibia
dan fibula hingga 1 liter, pada humerus 0,5 liter, dan pada radius dan ulna
250 mL (de Jong et al, 2003).
Prognosa dari patah tulang terbuka bergantung pada beberapa hal
seperti derajat, usia, dan lokasi patah tulang. Sistem penilaian derajat patah
tulang terbuka yang sering digunakan di seluruh dunia adalah sistem
Gustillo-Anderson. Penilaian patah tulang terbuka sistem Gustillo-
Anderson dilakukan berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan
lunak dan kontaminasi, dan tipe fraktur (Gustillo et al, 1990). Hal-hal lain
yang juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan
pada saraf, energi transfer yang terjadi atau tingkat komunitif dan
periosteal stripping, dan wound dimension (Anonym, 2004). Terdapat tiga
macam patah tulang terbuka pada sistem klasifikasi Gustillo-Anderson,
dengan tipe yang ke tiga dibagi ke dalam tiga subtipe lagi berdasarkan
kerusakan periosteal, ada tidaknya kontaminasi dan derajat kerusakan

3
pembuluh darah (Gustillo et al, 1990). Klasifikasi ini menjadi sangat
penting untuk menentukan terapi. Klasifikasi ini juga menunjukkan resiko
terjadinya infeksi, dilihat dari derajat kontaminasi, derajat kerusakan
jaringan lunak, dan tindakan operatif pada patah tulang. Resiko infeksi
semakin meningkat seiring dengan tipe yang terjadi, yaitu pada tipe I
adalah 0-12%, pada tipe II 2-12%, dan pada tipe III 9-55%. Tipe patah
tulang terbuka ini juga sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi,
delayed union dan non-union, dan kecacatan atau penurunan fungsi
ekstermitas. Penentuan tipe patah tulang terbuka secara definitif dilakukan
setelah debridement yang adekuat telah dilakukan (Gustillo et al, 1990).
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan
sehingga menentukan prognosa adalah usia. Kecepatan terjadinya
penyembuhan tulang berbeda pada umur tertentu. Pada saat baru lahir
penyembuhan tulang dapat terjadi dalam waktu tiga minggu, pada umur
delapan tahun penyatuan terjadi dalam waktu delapan minggu, dan pada
umur dua belas tahun terjadi dalam waktu dua belas minggu. Mulai umur
dua puluh tahun, lamanya masa penyatuan tulang menjadi stabil yaitu dua
puluh minggu (Salter, 1999). Walaupun mulai umur dua puluh tahun
lamanya proses penyatuan tulang tetap 20 minggu namun pada umur yang
lebih tua dapat terjadi komplikasi-komplikasi akibat penyakit lain seperti
diabetes mellitus dan osteroporosis. Tidak lupa mempertimbangkan bahwa
pada umur lebih tua proses regenerasi sel tubuh mulai menurun. Pada
patah tulang terbuka pasti akan terjadi immobilitas yang lama. Immobilitas
yang lama akan menyebabkan komplikasi yang lebi parah, terutama pada
usia tua (Salter, 1999).
Lokasi terjadinya patah tulang juga penting. Hal ini menyangkut
proses penyembuhan tulang serta komplikasi yang bisa terjadi. Patah
tulang yang terjadi di metafisis mengalami penyembuhan yang berbeda
dengan patah tulang di diafisis. Patah tulang di daerah epifisis mengubah
proses penyembuhan tulang dan meningkatkan resiko gangguan
pertumbuhan secara lokal (Salter, 1999).

4
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) A.W. Sjahranie merupakan
rumah sakit rujukan untuk seluruh Kaltim, sehingga banyak sekali kasus
patah tulang terbuka yang dirawat di rumah sakit tersebut. Penelitian ini
atau yang serupa belum pernah dilakukan di RSUD A. W. Sjahranie.
Informasi yang bisa diadapatkan dari penelitian ini dapat berguna,
terutama untuk RSUD AW Sjahranie, dalam hal menetukan protokol atau
SOP dari penaganan patah tulang terbuka, serta mempersiapkan diri baik
dari segi tenaga maupun alat. Hal ini menyebabkan peneliti tertarik untuk
melakukan peneltian di bidang tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pola distribusi patah tulang panjang terbuka
berdasarkan derajat dan lokasi patah tulang serta usia pasien di RSUD
A.W. Sjahranie periode 2008-2010?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pola distribusi patah tulang panjang terbuka
berdasarkan derajat dan lokasi patah tulang serta usia pasien di
RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pola distribusi patah tulang panjang terbuka
berdasarkan derajat Gustillo-Anderson di RSUD A.W. Sjahranie
periode 2008-2010.
2. Mengetahui pola distribusi patah tulang panjang terbuka
berdasarkan lokasi fraktur di RSUD A.W. Sjahranie periode
2008-2010.
3. Mengetahui pola distribusi patah tulang panjang terbuka
berdasarkan usia di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010.

5
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Ilmiah
1. Menambah informasi dan pengetahuan kedokteran terutama di
bidang kedokteran orthopaedi
2. Sebagai dasar penelitian berikutnya
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Sebagai petunjuk bagi tenaga kesehatan di RSUD A.W.
Sjahranie untuk melakukan tindakan preventif
2. Sebagai acuan bagi tenaga kesehatan di RSUD A.W. Sjahranie
dalam menentukan perencanaan tindakan
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen rumah
sakit dalam perencanaan unit gawat darurat rumah sakit.
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti
1. Sebagai sarana penerapan ilmu yang telah dipelajari khususnya
ilmu bedah orthopedi
2. Mengimplementasikan ilmu yang didapatkan terhadap
permasalahan yang ada.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tulang
Tulang adalah jaringan ikat yang sangat vaskuler dan
termineralisasi, terdiri dari sel-sel dan matriks interseluler di mana
sebagian besar selnya tertanam (Standring, 2005). Tulang merupakan
jaringan hidup yang mampu merubah strukturnya sebagai respon terhadap
stress atau tekanan yang terjadi padanya. Seperti jaringan ikat yang lain,
tulang teridiri ats sel, serat, dan matriks. Tulang menjadi keras akibat
kalsifikasi dari matriks eksrtraseluler dan memiliki tingkat keelastisitas
tertentu sehingga karena adanya serat-serat organik. Tulang memiliki
fungsi protektif, sebagai contoh tulang tengkorak dan tulang belakang
melindungi otak dan korda spinalis dari trauma; sternum dan tulang rusuk
melindungi organ-organ di thoraks dan abdomen bagian atas. Tulang juga
berfungsi sebagai tuas atau pengungkit seperti pada tulang panjang dan
tempat penyimpanan garam kalsium. Dalam rongganya terdapat pula
sumsum tulang (Snell, 2004).
Terdapat dua bentuk tulang: cortical dan cancellous. Cortical bone
tampak seperti sebuah massa solid; cancellous bone terdiri dari jaringan
trabekula yang bercabang-cabang. Trabekula tersusun sebagaimana akan
dapat menahan tegangan dan tekanan yang dapat terjadi pada tulang
(Snell, 2004).
Tulang dapat dikelompokkan berdasarkan bentuknya secara umum
menjadi: tulang panjang (long bone), tulang pendek (short bone), tulang
pipih (flat bones), tulang tidak teratur (irregular bones), tulang sesamoid
(sesamoid bones). Tulang panjang adalah tulang yang panjangnya
melebihi lebarnya. Tulang panjang akan dibahas lebih dalam di paragraf
berikutnya. Tulang pendek berbentuk seperti kubus dan terdiri dari
cancellous bone yang dilapisi cortical bone. Tulang pendek ditemukan di
tangan dan kaki. Yang termasuk tulang pendek antara lain tulang talus dan
kalkaneus. Tulang pipih mencakup tulang-tulang tengkorak seperti tulang
frontal dan parietal, termasuk juga dalam kelompok ini tulang scapula.

7
Terdiri dari dua bagian, yang pertama disebut tables, yang terdiri dari
cortical bone pada lapisan dalam yang tipis dan lapisan luarnya. Lapisan
luar dan lapisan dalam dari tables dipisahkan oleh lapisan cancellous bone
yang disebut diploe. Tulang pelakang dan tulang panggul termasuk dalam
kelompok tulang tidak beraturan. Tulang ini terdiri dari lapisan luar yang
tipis yang terbuat dari cortical bone dan bagian dalamnya terdiri dari
cancellous bone. Tulang sesamoid adalah tulang berbentuk nodul kecil
yang ditemukan pada tendon tertentu di tempat di mana tendon tersebut
bergesekkan dengan permukaan tulang. Sebagian besar dari tulang
sesamoid berada di dalam tendon, dan permukaan yang tidak merada
dalam tendon dilapisi oleh tulang rawan. Tulang patella merupakan tulang
sesamoid terbesar yang ada dalam tubuh (Snell, 2004).
2.1.1 Tulang Panjang
Seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya,
dalam paragraf ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang tulang
panjang. Tulang panjang adalah tulang yang panjangnya melebihi
lebarnya. Biasanya terdiri dari sebuah batang berbentuk tabung
yang disebut diafisis dan sebuah epifsisi pada ujung-ujungnya.
Pada masa pertumbuhan diafisis dari tulang panjang dipisahkan
dari epifisis oleh sebuah epifisis tulang rawan. Bagian diafisi
yang terletak berdekatan dengan epifisis cartilage disebut dengan
metafisis. Bagian batang atau diafisis dari tulang panjang
memiliki sebuah rongga sempit di bagian tengahnya yang berisi
sumsum tulang. Pada saat anak-anak rongga tersebut berisi
sumsum tulang merah yang perlahan-lahan berubah menjadi
sumsum kuning saat dewasa. Bagian luar dari diafisis terdiri dari
cortical bone yang dilapisi jaringan ikat yaitu periosteum. Bagian
ujung dari tulang panjang, yaitu epifisis dan metafisis, terdiri dari
cancellous bone yang dikelilingi oleh lapisan cortical bone yang
tipis. Permukaan artikular dari ujung tulang panjang dilapisi oleh
cartilage hialin. Tulang panjang ditemukan pada tungkai. Yang
termasuk tulang panjang adalah femur, tibia, dan fibula dari paha

8
dan betis, humerus, radius, dan ulna dari lengan, serta metatarsal,
metacarpal, dan phalanges dari kaki dan tangan. Tulang panjang
pada kaki mencakup setengah dari tinggi manusia. Tulang
panjang terutama tumbuh akibat perpanjang diafisis.
Pertumbuhan longitudinal dari tulang panjang merupakan hasil
dari osifikasi endokondrial dari lempeng epifise. Pertumbuhan
memanjang tulang distimulasi oleh growth hormone (GH) yang
disekresikan lobus anterior dari glandula pituitary (Snell, 2004).

2.2 Patah Tulang


Patah tulang adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang.
Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan atau pengisutan korteks;
biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. (Apley dan
Solomon, 2001).
Tulang bersifat rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan tekanan. Patah tulang dapat terjadi akibat
peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan
abnormal pada tulang (Apley dan Solomon, 2001).
Sebagian besar patah tulang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-
tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran,
penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung
tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan lunak juga pasti
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan patah tulang melintang dan
kerusakan pada kulit di atasnya; penghancuran kemungkinan akan
menyababkan patah tulang kominutif disertai kerusakan jaringan lunak
yang luas. Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami
patah tulang pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu;
kerusakan jaringan lunak di tempat patah tulang mungkin tidak ada (Apley
dan Solomon, 2001).
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, yang menyebabkan patah
tulang spiral; penekukan, yang menyebabkan fraktur melintang;
penekukan dan penekanan, yang mengakibatkan patah tulang yang

9
sebagian melintang tetapi disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga
terpisah; kombinasi dari pemuntiran, penekukan, dan penekanan, yang
menyebabkan fraktur oblik pendek; atau penarikan, di mana tendon atau
ligament benar-benar menarik tulang sampai terpisah (Apley dan
Solomon, 2001).
Penjelasan di atas berlaku terutama pada tulang panjang. Pada
cancellous bone seperti vertebra atau kalkaneus, bila terkena oleh
kekuatan yang cukup besar, akan mengalami patah tulang kominutif akibat
penghancuran (Apley dan Solomon, 2001).
Menurut Oswari E, (1993) (dikutip dalam Anonymous, 2009)
patah tulang dapat terjadi akibat tiga hal:

1. Kekerasan langsung : Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang


pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung : Kekerasan tidak langsung menyebabkan
patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot : Patah tulang akibat tarikan otot
sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Keragaman dan kekhasan dari setiap kejadian patah tulang membuat
diperlukannya suatu pengelompokkan yang baku agar patah tulang yang
terjadi dapat dideskripsikan secara akurat. Pendeskripsian ini penting
secara klinis karena akan menunjukkan masalah klinis dan penganan yang
akan dibutuhkan. Maka dari itu, sebuah patah tulang dideskripsikan
berdasarkan lokasi, luasnya, hubungan antara patahan tulang, hubungan
patahan tulang dengan lingkungan luar, dan ada atau tidaknya komplikasi
(Salter, 1999).
1. Lokasi. Sebuah patah tulang dapat terjadi pada diafise, metafise,
epifise, atau intra-artikuler (Salter, 1999).

10
2. Luasnya. Sebuah patah tulang dapat terjadi lengkap atau tidak
lengkap. Lengkap apabila tulang benar-benar patah menjadi dua
fragmen atau lebih. Tak lengkap apabila tulang terpisah secara tak
lengkap dan periosteum tetap menyatu (Apley dan Solomon,
2001).
3. Bentuk. Patahan dapat bebentuk melintang, oblik, atau spiral.
Dapat terdiri dari lebih dari dua fragmen patahan yang disebut
patah tulang kominutif. Bentuk patahan terjadi sesuai dengan
energi yang menyebabkan patah tulang seperti yang telah
dijelaskan di atas (Salter, 1999).
4. Hubungan antara patahan tulang. Patah tulang dapat bergeser
ataupun tidak bergeser. Pergeseran yang terjadi dapat berupa
aposisi, kesamping, ke depan, atau kebelakang; penjajaran; rotasi;
atau berubahnya panjang (Salter, 1999).
5. Hubungan patahan tulang dengan lingkungan luar. Jika kulit di
atasnya masih utuh keadaan ini disebut patah tulang tertutup atau
sederhana; kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus,
keadaan ini disebut patah tulang terbuka atau compound, yang
cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi (Apley dan
Solomon, 2001). Patah tulang terbuka akan dibahas lebih lanjut
pada sub-bab berikutnya.
6. Ada atau tidaknya komplikasi. Sebuah patah tulang bisa tanpa
komplikasi dan tetap tanpa komplikasi, dapat pula dengan
komplikasi atau terjadi komplikasi. Komplikasi yang terjadi bisa
local atau sistemik, dan dapat terjadi akibat trauma awal atau
penanganannya (Salter, 1999).

2.3 Patah Tulang Terbuka


Seperti telah dijelaskan di atas, salah satu pengklasifikasian patah
tulang dibagi berdasarkan hubungan patah tulang dan lingkungan luar,
yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka. Patah tulang terbuka
adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang atau tulang rawan

11
yang umumnya disebabkan oleh trauma, baik trauma langsung ataupun
tidak lansung, yang berhubungan dengan dunia luar atau rongga tubuh
yang tidak steril, sehingga mudah terjadi kontaminasi bakteri dan dapat
menyebabkan komplikasi infeksi. Semua patah tulang terbuka harus
dianggap terkontaminasi, sehingga mempunyai potensi untuk terjadi
infeksi (Bedah UGM, 2009).
Patah tulang terbuka dihubungkan dengan kerusakan jaringan
lunak sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi lingkungan luar
terhadap luka (Court-Brown, 2006). Penyebab patah tulang terbuka sendiri
dapat berupa trauma, patologis, ataupun degenerasi spontan. Pada patah
tulang terbuka, kerusakan yang menyebakan fragmen tulang berhubungan
dengan lingkungan luar dapat terjdi dengan dua cara, yaitu penyebab ruda
paksa merusak kulit, jaringan lunak, hingga ke tulang sehingga terjadi
hubungan dengan lingkungan luar yang disebut dengan out in. Dapat pula
terjadi dengan cara fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus
kulit sehingga terjadi hubungan ke lingkungan luar yang disebut dengan in
out (Puja, 2009).
Manifestasi klinis pada patah tulang terbuka, selain manifestasi
patah tulang pada biasanyanya, disertai juga dengan perdarahan dengan
warna darah yang keluar terlihat lebih kehitaman dengan disertai butiran
lemak (Puja, 2009).

2.4 Penanganan Patah Tulang Terbuka


Tujuan dari penanganan patah tulang terbuka adalah untuk
mencegah infeksi, mencapai penyembuhan tulang (bone union),
menghindari malunion, dan mengembalikan ekstermitas dan pasien pada
kondisi fungsi penuh sedini mungkin. Dari semuanya, yang paling penting
adalah mencegah infeksi, karena infeksi merupakan komplikasi tersering
dan menyebabkan nonunion dan kehilangan fungsi ekstremitas (Chapman,
2001).
Saat di unit gawat darurat, nilai secara cepat fungsi vital tubuh dari
pasien dan lakukan resusitasi dan stabilisasi seperlunya. Saat resusitasi dan

12
evaluasi awal, bidai patah tulang pasien dan tutup luka terbuka dengan
balut tekan steril (Chapman, 2001).
Luka harus tetap ditutup hingga pasien tiba di kamar bedah.
Antibiotika diberikan secepat mungkin, tak peduli berapa kecil laserasi itu,
dan dilanjutkan hingga bahaya infeksi infeksi terlewati. Pada umumnya,
pemberian kombinasi benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap enam jam
selama 48 jam akan mencukupi; kalau luka amat terkontaminasi,
sebaiknya mencegah organism Gram-negatif dengan menambah
gentamisin atau metronidazol dan melanjutkan terapi selama empat atau
lima hari. Pemberian profilaksis tetanus juga penting. Toksoid diberikan
pada mereka yang sebelumnya telah diimunisasi, jika belum diberi
antiserum manusia (Apley dan Solomon, 2001).
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari bahan asing dan
dari jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh
bagian itu. Dalam anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu
asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan
menahannya agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada
luka diganti dengan bantalan steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan
dan dicukur. Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya
dengan sejumlah besar garam fisiologis; irigasi akhir dapat disertai obat
antibiotika misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan
lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur
yang mati. Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut. Saat
melakukan debridement, hanya sesedikit mungkin kulit yang dieksisi dari
tepi luka; pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka sering perlu
diperluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka
yang memadai; setelah diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat
dilepas. Lalu, fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak
terhalang. Otot yang mati berbahaya, karena dapat menjadi makanan bagi
bakteri. Otot yang mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan
warna yang keungu-unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat
berkontraksi bila dirangsang dan tak berdarah bila dipotong. Semua otot

13
mati dan yang kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi. Pembuluh
darah yang banyak mengalami pendarahan diikat dengan cermat tetapi,
untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka,
pembuluh yang kecil dicepit dengan gunting tang arteri dan dipilin. Saraf
yang terpotong biasanya lebih baik dibiarkan saja, tetapi, bila luka itu
bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit dengan
bahan yang tak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan di belakang
hari. Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya
saraf, penjahitan diperbolehkan hanya kalau luka itu bersih dan diseksi tak
perlu dilakukan. Permukaan patah tulang dibersihkan secara perlahan dan
ditempatkan kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus
diselamatkan, dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas sama
sekali. Cedera sendi terbuka sebaiknya diterapi dengan pembersihan luka,
penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotika sistemik: drainase atau
irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat (Apley
dan Solomon, 2001).
Perlu ditutupnya atau tidak kulit pada patah tulang terbuka
tergantung derajat luka dan kontaminasi yang terjadi. Luka derajat I yang
kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa jam setelah
cedera, setelah debridement, dapat dijahit, dengan syarat tanpa tegangan,
atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka lain harus dibiarkan terbuka
hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati. Luka itu dibalut
sekadarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah lima hari: kalau bersih,
luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit (Apley dan Solomon,
2001).
Stabilitas diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi,
maka dari itu pada patah tulang terbuka perlu dilakukan stabilisasi.
Stabilisasi yang dilakukan disesuaikan dengan derajat patah tulang terbuka
yang terjadi. Untuk luka derajat I atau derajat II yang kecil dengan patahan
yang stabil, boleh menggunakan gips yang dibelah secara luas atau untuk
femur digunakan traksi pada bebat. Tetapi pada luka yang lebih berat (dan
luka tembak) patah tulang perlu difiksasi secara ketat. Metoda yang paling

14
aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan pen intramedula dapat
digunakan untuk femur atau tibia, dan dengan penguncian apabila patah
tulang kominutif, sebainya jangan melakukan pelebaran luka (reamaining)
yang akan meningkatkan risiko infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan
untuk patah tulang metafisis atau artikuler (Apley dan Solomon, 2001).
Selama dalam perawatan tungkai ditinggikan di atas tempat tidur
dan sirkulasinya diperhatikan. Kalau luka dibiarkan terbuka, periksa
setelah 5-7 hari. Jika terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan
pencangkokan kulit (Apley dan Solomon, 2001).

2.5 Derajat Gustillo-Anderson


Tujuan dari sistem klasifikasi patah tulang terbuka manapun adalah
untuk mengira keadaan fraktur dan parameter penatalaksanaan(Cross and
Swiontkowski, 2008). Walau banyak sistem klasifikasi untuk patah tulang
terbuka, sistem klasifikasi Gustillo-Anderson-lah yang paling sering
digunakan di seluruh dunia. Sistem ini menilai patah tulang terbuka
berdasarkan ukuran luka, derajat kerusakan jaringan lunak dan
kontaminasi, dan derajat fraktur (Gustillo et al, 1990). Hal-hal lain yang
juga diperhatikan antara lain adalah ada atau tidaknya kerusakan pada
saraf, energy transfer (derajat comminution dan periosteal stripping), dan
wound dimension (Anonymous, 2004). Terdapat tiga macam patah tulang
terbuka pada sistem klasifikasi Gustillo-Anderson, dengan derajat yang ke
tiga dibagi ke dalam tiga subtype lagi berdasarkan kerusakan periosteal,
ada tidaknya kontaminasi dan derajat kerusakan pembuluh darah (Gustillo
et al, 1990).
Pengklasifikasian patah tulang terbuka menurut Gustillo-Anderson
adalah sebagai berikut:
1. Derajat I: Luka biasanya berupa tusukan kecil dan bersih,
berukuran kurang dari 1 cm. Terdapat tulang yang muncul dari
luka tersebut. Sedikit kerusakan jaringan lunak tanpa adanya
crushing dan patah tulang tidak kominutif. Patah tulang

15
biasanya berupa sederhana, melintang, atau oblik pendek.
Biasanya berupa patah tulang energi rendah.
2. Derajat II: Luka lebih besar dari 1 cm, tanpa adanya skin flap
ataupun avulsion. Kerusakan pada jaringan lunak tidak begitu
banyak. Kominusi dan crushing injury terjadi hanya sedang.
Juga terdapat kontaminasi sedang. Bisanya juga berupa patah
tulang energi rendah.
3. Derajat III: Terdapat kerusakan yang luas pada kulit, jaringan
lunak, struktur neurovaskuler, dengan adanya kontaminasi pada
luka. Dapat juga terjadi kehilangan jaringan lunak. Luka yang
berat dengan adanya high-energy transfer ke tulang dan
jaringan lunak. Biasanya disebabkan oleh trauma kecepatan
tinggi sehingga fraktur tidak stabil dan banyak komunisi.
Amputasi traumatik, patah tulang segemental terbuka, luka
tembak kecepatan tinggi, patah tulang terbuka lebih dari 8 jam,
patah tulang terbuka yang memerlukan perbaikan vaskuler juga
termasuk dalam derajat ini. derajat III ini dibagi lagi menjadi
tiga subtype:
a. Derajat IIIA : Tulang yang patah dapat ditutupi oleh
jaringan lunak, atau terdapat penutup periosteal yang cukup
pada tulang yang patah.
b. Derajat IIIB : Kerusakan atau kehilangan jaringan lunak
yang luas disertai dengan pengelupasan periosteum dan
komunisi yang berat dari patahan tulang tersebut. Tulang
terekspos dengan kontaminasi yang massif.
c. Derajat IIIC : Semua patah tulang terbuka dengan
kerusakan vaskuler yang perlu diberbaiki, tanpa meilhat
kerusakan jaringan lunak yang terjadi (Apley dan Solomon,
2001 dan Gustillo et al, 1990).
Klasifikasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan terapi.
Klasifikasi ini juga menunjukkan resiko terjadinya infeksi, dilihat dari
derajat kontaminasi, derajat kerusakan jaringan lunak, dan tindakan

16
operatif pada patah tulang. Resiko infeksi semakin meningkat seiring
dengan derajat yang terjadi. Resiko terjadinya infeksi pada derajat I adalah
0-12%, pada derajat II 2-12%, dan pada derajat III 9-55%. Derajat patah
tulang terbuka ini juga sangat erat kaitannya dengan kejadian amputasi,
delayed union dan non-union, dan kecacatan atau penurunan fungsi
ekstermitas. Penentuan derajat patah tulang terbuka secara definitive
dilakukan setelah debridement yang adekuat telah dilakukan (Gustillo et
al, 1990).

2.6 Proses Penyembuhan Patah Tulang


Tulang adalah jaringan yang unik karena tulang sembuh
membentuk jaringan tulang yang normal, bukan jaringan parut. Apabila
terjadi respon fibroblastic pada penyembuhan tulang dan bukan
pembentukan tulang, hal ini dianggap non-union. Tulang dari bagian
manapun akan memiliki struktur fibroid yang halus, sehingga semua
tulang akan sembuh dalam mekanisme yang sama. Penyembuhan patah
tulang dapat dibagi berdasarkan proses biologis yang terjadi menjadi
empat fase: kalus seluler; kalus termineralisasi; kalus tulang; dan
remodeling (Smith et al, 2003).
Kalus seluler merupakan fase inflamasi awal yang bercirikan
akumulasi dari sel mesenkim disekitar lokasi patah tulang. Asal dari sel-sel
ini masih deperdebatkan. Pada patah tulang di mana periosteum tetap utuh,
sel-sel ini mungkin berasal dari kambium. Pada patah tulang akibat energi
tinggi di mana periosteum sudah tidak utuh lagi, adanya sel-sel berbentuk
gelendong yang mampu berdifferensiasi menjadi sel-sel osteogenik telah
dihubungkan dengan timbulnya tunas kapiler. Sel-sel ini mungkin
merupakan turunan dari perisit yang ditemukan di sekitar kapiler, arteriol,
dan venul. Sel-sel ini melapisi patah tulang tersebut dan berdifferensiasi
menjadi kondrosit atau osteoblast. Kondisi dengan tekanan oksigen
rendah, pH rendah, dan pergerakan akan membuat sel-sel tersebut
berdifferensiasi menjadi kondrosit, sedangkan tekanan oksigen yang
tinggi, pH yang tinggi, dan stabilisasi akan membuat sel-sel tersebut

17
berdifferensiasi menjadi osteoblast. Secara klinis, patahan tulang sudah
mulai melekat walaupun masih terdapat sedikit pergerakan, patah tulang
pada saat ini dianggap stabil (Smith et al, 2004).
Onset dari fase kalus termineralisasi ditandai dengan adanya bukti
radiologis dari formasi mineral. Tulang rawan pada kalus digantikan oleh
tenunan tulang melalui suatu proses yang mirip dengan proses
endochondral ossification yang terjadi pada fetus. Mekanisme dari
mineralisasi belum sepenuhnya dipahami, diduga melibatkan transpor aktif
mineral dan presipitasi dari larutan jenuh. Mineralisasi menyebabkan
kondrosit berdegenerasi dan mati. Tunas kapiler menginvasi tulang rawan
yang termineralisasi, membawa osteoblast, yang mengabsorbsi sebagian
dari tulang rawan yang terkalsifikasi dan menggantikannya dengan tulang
fibroid yang kasar. Bila kondisi memungkinkan, lapisan kambium dari
periosteum juga membentuk tulang baru pada permukaan tulang yang
terpapar. Fase ini akan menyebabkan lokasi patah tulang terbungkus oleh
massa berupa jaringan termineralisasi yang terdiri dari tulang rawan
terkalsifikasi, tenunan tulang terbuat dari tulang rawan, dan tenunan tulang
yang terbentuk langsung (Smith et al, 2004).
Agar tulang dapat berfungsi kembali secara normal tenunan tulang
yang terbuat dari kalus termineralisasi harus digantikan oleh tulang
lamellar yang disusun berdasarkan sistem osteonal. Sebelum hal ini dapat
terjadi, harus terjadi konsolidasi pada lokasi patah tulang. Konsolidasi
secara kasar merupakan proses pelengkapan tulang dari fase-fase
sebelumnya, yang disebut juga gap-healing bone. Tulang yang terbentuk
memiliki ciri-ciri: terbentuk pada kondisi tulang stabil, mampu
menggantikan jaringan fibrous dan otot, membentuk dalam batas-batas
kecacatan tulang tersebut. Gap-healing bone bukan merupakan tulang
lamellar normal (Smith et al, 2004).
Fase terakhir, yaitu fase remodeling, melibatkan proses perubahan
tenunan tulang menjadi tulang lamellar. Osteoclast dan osteoblast adalah
sel yang berperan dalam proses ini. Osteoclast adalah sel besar berinti
banyak yang menghilangkan tulang, osteoclast ini berasal dari monosit.

18
Osteoclast berada di permukaan resorpsi dari tulang. Osteoblast berinti
satu dan bertugas dalam proses pertumbuhan tulang (Smith et al, 2004).
Proses penyembuhan pada tulang selain dipengaruhi faktor-faktor
luar juga tergantung pada jenis tulang yang patah. Secara umum
perbedaanya terlihat pada proses penyembuhan cortical bone dan
cancellous bone.
2.6.1 Penyembuhan pada Cancellous Bone
Proses penyembuhan dari patah tulang pada cancellous
bone terjadi terutama lewat pembentukkan sebuah kalus internal
atau kalus endosteal. Trabekula yang tipis pada tulang ini memiliki
suplai darah yang banyak sehingga nekrosis yang terjadi pada
tulang di permukaan patahan sangat sedikit, dan terdapat daerah
pertemuan tulang yang luas pada lokasi patah tulang. Hal ini yang
menyebabkan penyembuhan fragmen tulang pada patah tulang
cancellous yang tidak bergeser lebih cepat dibandingkan pada
cortical bone. Terdapat sel-sel osteogenic dari penutup endosteal
dari trabekula yang berproloferasi membentuk tenunan tulang
primer di dalam hematoma internal dari patah tulang. Hasilnya
adalah kalus internal mengisi ruangan-ruangan pada permukaan
patah tulang dan menyebar ke lokasi patah tulang di mana terdapat
kontak tulang yang baik. Setelah terjadi penyembuhan pada titik
kontak, patah tulang secara klinis telah tersambung dan
penyembuhan akan menyebar seluas tulang tersebut. Selanjutnya,
tenunan tulang akan berubah menjadi tulang lamellar seiring
dengan terkonsolidasi patahan. Lalu, pola trabekula dapat kembali
dengan remodeling internal (Salter, 1999).
2.6.2 Penyembuhan pada Cortical Bone
Ketika terjadi patah tulang pada diafise dari tulang panjang,
pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli di dalam sistem
havers akan terobek pada lokasi patah tulang. Terjadi perdarahan
local di dalam, tapi tidak berlangsung lama karena terjadi
pembekuan darah secara normal. Akibat dari proses pembekuan

19
darah yang terjadi osteosit di dalam lacuna yang terletak dekat
lokasi patah tulang kekurangan darah dan mati. Tulang yang mati
nanti akan digantikan dengan tulang baru yang hidup melalui
proses resorpsi dan deposisi tulang. Perdarahan internal akan
membentuk hematoma patah tulang (Salter, 1999).
Hematoma patah tulang ini menjadi medium terjadinya fase
awal penyembuhan lewat reaksi dari jaringan lunak sekitar
patahan. Setelah itu terjadi proses penyembuhan tulang lewat fase-
fase sesuai yang telah diuraikan di atas, melalui terbentuknya sel-
sel yang osteogenik yang membentuk kalus. Kalus terbentuk
hingga terjadi clinical union, yang akhirnya menjadi konsolidasi
(radiographic union) ketika kalus-kalus berubah menjadi tulang
lamellar (Salter, 1999).

2.7 Komplikasi pada Patah Tulang


Pada patah tulang terbuka, terjadi kerusakan yang hebat, sehingga
dapat terjadi bermacam-macam komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada
patah tulang terbuka bisa berupa komplikasi lokalis maupun generalis.
Komplikasi langsung dapat berupa kehilangan darah, shock, fat embolism,
dan kegagalan kardiovaskular. Komplikasi lokalis yang terjadi dapat
dibagi menjadi komplikasi dini yaitu yang terjadi bersamaan dengan
terjadinya patah tulang atau dalam minggu pertama dan komplikasi lambat
(Apley dan Solomon, 2001).
2.7.1 Komplikasi Dini
2.7.1.1. Sindroma Kompartemen
Patah tulang pada lengan kaki dapat menimbulkan
iskemia hebat sekalipun tidak ada kerusakan pembuluh
besar. Perdarahan, edema, radang, dan infeksi dapat
meningkatkan tekanan pada salah satu kompartemen
osteofasia. Terjadi penurunan aliran kapiler yang
mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan
edema lebih jauh, sehingga mengakibatkan tekanan

20
yang lebih besar lagi dan iskemia yang lebih hebat.
Lingkaran setan ini terus berlanjut dan berakhir dengan
nekrosis saraf dan otot dalam kompartemen setelah
kurang lebih 12 jam (Apley dan Solomon, 2001).
2.7.1.2. Infeksi
Patah tulang terbuka dapat terjadi infeksi, berbeda
dengan patah tulang tertutup yang hamper tidak pernah
infeksi kecuali kalau dibuka dengan operasi. Infeksi
luka pasca trauma sekarang paling sering
menyebabkan osteitis kronis. Keadaan ini tidak
mencegah penyembuhan patah tulang, tetapi
penyembuhan akan berjalan lambat dan kesempatan
mengalami patah tulang kembali meningkat (Apley
dan Solomon, 2001).
2.7.1.3. Gas Gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh
infeksi klostridium, terutama C. welchii. Organisme
anaerob ini dapat hidup dan berkembang biak hanya
dalam jaringan dengan tekanan oksigen yang rendah;
karena itu, tempat utama infeksinya adalah luka yang
kotor dengan otot mati yang telah ditutup tanpa
debridemen yang memadai. Toksin yang dihasilkan
oleh organisme ini menghancurkan dinding sel dan
dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan,
sehingga memudahkan penyebaran penyakit itu (Apley
dan Solomon, 2001).
2.7.2 Komplikasi Lambat
2.7.2.1. Penyembuhan Terlambat
Pada patah tulang panjang yang sangat tergeser dapat
terjadi robekan pada periosteum dan terjadi gangguan
pada suplai darah intramedular. Kekurangan suplai
darah ini dapat menyebabkan pinggir dari patah tulang

21
menjadi nekrosis. Nekrosis yang luas akan
menghambat penyembuhan tulang. Kerusakan jaringan
lunak dan pelepasan periosteum juga dapat
mengganggu penyembuhan tulang (Apley dan
Solomon, 2001).
2.7.2.2. Non-Union
Bila keterlambatan penyembuhan tidak diketahui,
meskipun patah tulang telah diterapi dengan memadai,
cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah
adanya celah yang terlalu lebar dan interposisi jaringan
(Apley dan Solomon, 2001).
2.7.2.3. Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tak
memuaskan, missal angulasi, rotasi, atau pemendekan
yang tak dapat diterima.Penyebabnya adalah tidak
tereduksinya patah tulang secara cukup, kegagalan
mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan,
atau kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang
osteoporotik atau kominutif (Apley dan Solomon,
2001).
2.7.2.4. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak, kerusakan pada fisis dapat
mengakibatkan pertumbuhan yang abnormal atau
terhambat. Patah tulang melintang pada lempeng
pertumbuhan tidak membawa bencana; patahan
menjalar di sepanjang lapisan hipertrofik dan lapisan
berkapur dan tidak pada daerah germinal maka,
asalkan patah tulang ini direduksi dengan tepat, jarang
terdapat gangguan pertumbuhan. Tetapi patah tulang
yang memisahkan bagian epifisi pasti akan melintasi
bagian fisis yang sedang tumbuh, sehingga
pertumbuhan selanjutnya dapat asimetris dan ujung

22
tulang berangulasi secara khas; kalau seluruh fisis
rusak, mungkin terjadi perlambatan atau penghentian
pertumbuhan sama sekali (Apley dan Solomon, 2001).

2.8 Lokasi Patah Tulang


Lokasi patah tulang merupakan salah satu hal yang penting untuk
diketahui pada kasus patah tulang terbuka. Hal ini karena lokasi patah
tulang menetukan penatalaksanaan serta prognosa penyembuhan dan
kemungkinan komplikasi (Salter, 1999). Pada tulang panjang patahan
secara umum dapat terjadi pada bagian epifisis, metafisis, atau diafisis
(Salter, 1999).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya epifisis adalah bagian
tulang panjang yang berada di kedua ujung dari tulang panjang tersebut
(Snell, 2004). Epifisis terdiri dari cancellous bone yang dilapisi cortical
bone, sehingga apabila terjadi patah tulang di bagian epifise proses
penyembuhan yang terjadi sesuai dengan penyembuhan cancellous bone.
Berbeda dengan epifisis, diafisis terdiri dari cortical bone, sehingga
apabila terjadi patah tulang di bagian diafisis proses penyembuhannya
sesuai dengan proses penyembuhan pada cortical bone (Salter, 1999).
Proses penyembuhan pada cortical bone berbeda dengan cancellous bone
dalam hal pada cancellous bone terjadi penyembuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan cortical bone karena pada cancellous bone terdapat
suplai darah yang banyak sehingga membantu proses terjadinya
penyembuhan tulang yang sangat bergantung pada suplai darah (Keating,
2000 dan Salter, 1999).
Patah tulang dibagian metafisis mengikuti proses penyembuhan
seperti pada epifisis karena metafisis juga terdiri dari cancellous bone,
sehingga proses penyembuhannya relatif cepat dibandingkan patah tulang
yang terjadi pada bagian diafisis. Namun, karena metafisis meliputi
lempeng epifisis atau growth plate yang berperan terhadap pertumbuhan
longitudinal tulang, sehingga apabila terjadi patah tulang di bagian

23
metafisis sangat rawan untuk lempeng epifisis terkena dan menyebabkan
komplikasi berupa gangguan pertumbuhan (Salter, 1999).
Selain lokasi patah tulang yang dapat terjadi sesuai penjelasan di
atas, terdapat pula lokasi-lokasi khusus terjadinya patah tulang. Pada
femur dapat terjadi patahan pada collum femoris, intertrochanterica,
subtrochanterica dan trocahanterica. Pada tibia dapat terjadi tibial plateau
fracture, yaitu patah tulang pada bagian atas tibia yang melibatkan
permukaan tulang rawan sendi lutut, karena melibatkan persendian
penanganan patah tulang ini berbeda dengan patah tulang pada bagian tibia
lainnya. Pada humerus dapat terjadi patah tulang suprakondiler, dan pada
radius dapat terjadi patahan di bagian capitulum maupun collum radii, dan
pada ulna dapat terjadi patah tulang di bagian olecranon (Springfield, 2005
dan Keating, 2000).
Pada penelitian ini penentuan lokasi berdasarkan penggunaan
secara klinis yaitu sepertiga proksimal, sepertiga tengah, dan sepertiga
distal (Springfield, 2005).

2.9 Usia dan Kejadian Patah Tulang Panjang Terbuka


Usia atau umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan seseorang, terhitung sejak lahir hingga saat ini. Sangatlah sulit
untuk menetapkan batasan-batasan usia secara tegas pada masing-masing
perkembangan yang dialami (Parni, 2010). Pada bidang orthopedi
pembagian usia dibedakan berdasarkan laju pertumbuhan dan kemampuan
rekonstruksi tulang. Usia anak-anak adalah usia 0-20 tahun (Wilkins dan
Aroojis ,2001). Sedangkan diatas 20 tahun dianggap dewasa karena
kecepatan rekonstruksi tulang sudah menurun dibandingkan masa anak-
anak dan cukup stabil hingga usia tua (Salter, 1999). Walaupun kecepatan
penyembuhan tulang cukup stabil dari dewasa muda hingga usia tua,
namun perlu dipertimbangkan adanya penyakit-penyakit lain pada usia tua
serta aktivitas pada umur tersebut yang dapat mempengaruhi keadaan
pasien, sehingga usia 20 ke atas dapat dibagi lagi menjadi dewasa muda

24
(20-39 tahun), dewasa (40-59 tahun) dan tua (60 tahun ke atas) (Wong,
1967).
Usia memiliki hubungan yang cukup bermakna dengan kejadian
patah tulang panjang terbuka. Usia dapat menjadi faktor resiko terjadinya
patah tulang panjang terbuka maupun menjadi faktor prognosa
kesembuhan (Salter, 1999).
Pada usia 20-30 tahun dalam beberapa penilitian ditemukan bahwa
sering terjadi patah tulang, seperti pada penelitian Ibeanusi dan Ekere
tentang patah tulang terbuka pada tibia dan penelitian Grecco et al tentang
patah tulang tibia. Hal ini diperkirakan karena usia tersebut adalah
kelompok usia produktif yang memiliki aktivitas yang banyak sehingga
kemungkinan terjadi kecelakaan lebih besar. Terdapat juga pendapat lain
bahwa usia tua menjadi faktor resiko terjadinya patah tulang terbuka
diakarenakan kemampuan koordinasi yang menurun sehingga lebih sering
terjadi kecelakaan (Salter, 1999). Namun apabila dilihat dari susunan
tulangnya, anak-anak lebih beresiko. Hal ini karena tulang pada anak-anak
kurang termineralisasi dan memiliki lebih banyak saluran vaskuler
dibandingkan orang dewasa, akibatnya tulangnya memiliki modulus
elastisitas yang lebih rendah. Sehingga apabila diberikan beban stress yang
sama, pada tulang anak, akan terjadi ketegangan yang lebih, dibandingkan
yang akan terjadi pada tulang dewasa (Price, Phillips, & Devito, 1990).
Usia juga dapat menetukan pronosa suatu patah tulang panjang
terbuka. Anak cenderung mengalami penyembuhan patah tulang lebih
cepat dari pada dewasa. Hal ini dikarenakan potensi osteogenik yang
dimiliki anak-anak serta besarnya respon vaskuler pada anak-anak (Price,
Phillips, & Devito, 1990). Pada tulang panjang anak-anak terdapat lebih
banyak sumsum tulang merah yang membantu proses penyembuhan
tulang, dibandingkan dengan tulang panjang dewasa yang mengandung
sumsum tulang kuning, karena sumsum tulang merah lebih osteogenik dari
pada sumsum tulang kuning, sehingga membantu proses penyembuhan
tulang (Chapman, Madison, & Martin, 2001). Periosteum pada anak juga
lebih kuat dan lebih aktif, sehingga pada saat terjadi patah tulang

25
periousteum tidak lepas sehingga dapat digunakan pada closed reduction.
Periosteum pada anak juga lebih osteogenik (Salter, 1999). Pada proses
penyembuhan diperlukan suplai darah yang cukup, sehingga pada tulang
anak-anak yang memiliki lebih banyak saluran vaskuler akan terjadi
penyembuhan tulang yang lebih cepat (Lovell, 1990 dan Keating, 2000).
Komplikasi berupa non-union pada anak-anak jarang terjadi, namun
komplikasi berupa gangguan pertumbuhan dapat terjadi apabila lokasi
patah tulang pada lemppeng epifisis yang merupakan tempat lempeng
pertumbuhan (Lovell, 1990 dan Salter, 1999). Pada umur yang lebih tua,
prognosa kesembuhan dapat menjadi buruk akibat adanya penyulit-
penyulit lain berupa penyakit degenerative, seperti diabetes mellitus.
Akibat patah tulang panajng terbuka seseorang akan menjadi dalam
keadaan imobilisasi yang cukup lama, sehingga dapat terjadi komplikasi
akibat kejadian tersebut berupa ulkus dekubitus bahkan kematian (Salter,
1999).

26
BAB III
KERANGKA KONSEP

Jenis Kelamin

Faktor Resiko
Umur

Underlying Disease

Mekanisme Injury

Patah Tulang
Panjang Patofisiologi Lokasi
TerbukaTerbuka
Variabel yang diteliti :

Derajat (Gustillo-
Anderson)

Prognosa

Variabel yang diteliti :

27
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif
retrospektif.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


4.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di ruang rekam medik RSUD A. W.
Sjahranie Samarinda.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November-Desember 2010.

4.3 Subjek Penelitian


4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua kasus patah tulang
yang terdapat di RSUD A. W. Sjahranie berdasarkan rekam medik
yang ada.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah kasus patah tulang terbuka di
RSUD A. W. Sjahranie periode 2008-2010 berdasarkan rekam medik
yang ada.
4.3.3 Kriteria Sampel
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
Kasus patah tulang panjang terbuka di RSUD A. W.
Sjahranie periode 2008-2010 berdasarkan rekam medik yang
ada.
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Kasus patah tulang panjang terbuka di RSUD A. W.
Sjahranie periode 2008-2010 dengan catatan rekam medik
yang tidak lengkap atau tidak terbaca.

28
2. Kasus patah tulang panjang terbuka di RSUD A. W.
Sjahranie periode 2008-2010 dengan lokasi patah di tulang
clavicula, metacarpal, metatarsal, dan phalanges.
3. Kasus patah tulang panjang terbuka di RSUD A. W.
Sjahranie periode 2008-2010 dengan lokasi patah di
intraartikuler.

4.4 Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data menggunakan data sekunder yang diperoleh dari
rekam medik di RSUD A. W. Sjahranie Samarinda.

4.5 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Derajat patah tulang terbuka
2. Lokasi patah tulang terbuka
3. Usia pasien

4.6 Definisi Operasional


4.6.1 Derajat Patah Tulang Terbuka
Derajat patah tulang terbuka adalah derajat patah tulang terbuka
yang dinilai berdasarkan Sistem Gustillo-Anderson, yang didiagnosis
oleh dokter spesialis orthopedi di RSUD A. W. Sjahranie, sebagaimana
yang tercantum dalam rekam medik.
Kriteria Objektif : Derajat patah tulang dikategorikan sebagai
berikut.
1. Derajat I
2. Derajat II
3. Derajat III A
4. Derajat III B
5. Derajat III C

29
4.6.2 Lokasi Patah Tulang Terbuka
Lokasi patah tulang terbuka adalah lokasi terjadinya patah tulang
terbuka yang didiagnosa oleh dokter spesialis orthopedi sebagaimana
yang tercantum dalam rekam medik.
Kriteria Objektif: Lokasi patah tulang dikategorikan sebagai
berikut.
1. Femur : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
2. Tibia : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
3. Fibula : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
4. Tibia-Fibula : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
5. Humerus : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
6. Ulna : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
7. Radius : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
8. Radius-Ulna : a. 1/3 proximal
b. 1/3 tengah
c. 1/3 distal
9. Multipel lokasi

30
4.6.3 Usia Pasien
Usia pasien pada saat terjadi patah tulang terbuka yang
dinyatakan dalam tahun, sebagaimana yang tercantum dalam rekam
medik.
Kriteria Objektif : Usia pasien dikategorikan sebagai berikut.
1. Usia < 20 tahun : Anak
2. Usia 20-39 tahun : Dewasa muda
3. Usia 40-59 tahun : Dewasa
4. Usia ≥ 60 : Tua

4.7 Pengolahan dan Penyajian Data


4.7.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program
pengolah data Excel dan SPSS dan narasi.
4.7.2 Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dilakukan dalam bentuk tabel dan
grafik.

4.8 Analisa Data


Data yang diperoleh ditabulasikan menurut distribusi frekuensi dan
narasi.

31
BAB V
HASIL PENELITIAN

Dari hasil penelitian didapatkan jumlah kasus patah tulang di RSUD A.W.
Sjahranie selama periode 2008-2010 sebanyak 794 kasus, 190 kasus pada tahun
2008, 366 kasus pada tahun 2009, dan 243 kasus pada tahun 2010. Dari 794 kasus
tersebut terdapat 204 kasus patah tulang terbuka. Dari total 204 kasus patah tulang
terbuka, hanya 106 kasus patah tulang panjang terbuka yang memenuhi kriteria
inklusi, sedangkan 98 kasus lainnya tereksklusi karena data yang terdapat dalam
rekam medis tidak lengkap, patah tulang terjadi pada clavicula, phalanges,
metatarsal, dan metacarpal, atau pada intraartikuler.
Dari 106 sampel penelitian didapatkan 22 kasus pada tahun 2008, 49 kasus
pada tahun 2009, dan 35 kasus pada tahun 2010. Dari sampel ini didapatkan 87
(82,08%) laki-laki, dan perempuan 19 (17,92%). Penyebab terjadinya patah tulang
panjang terbuka paling sering adalah kecelakaan lalu lintas dengan 88 kasus
(83,02%), dengan penyebab kecelakaan lalu lintas terbanyak adalah motor (60
kasus, 68,18%), penyebab kedua terbanyak adalah jatuh dari ketinggian sebanyak
8 kasus (7,55%), dan sisanya merupakan penyebab lain (tertembak dan
kecelakaan kerja) sebanyak 10 kasus (9,43%).

5.1 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-


Anderson di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010
Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-
Anderson di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010 dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

32
Derajat Patah Tulang Terbuka

50

Jumlah Kasus
40
30
20
10
0
I II IIIA IIIB IIIC
Derajat Gustillo-Anderson

Gambar 5.1 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-Anderson
di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010

Dari gambar di atas, distribusi patah tulang terbuka berdasarkan derajat


Gustillo-Anderson paling banyak ditemukan adalah derajat II dengan jumlah
50 kasus (47,17%), dan paling sedikit derajat IIIC dengan jumlah 1 kasus
(0,94%).

5.2 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan lokasi patah


tulang di RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010
Berikut ini adalah table distribusi patah tulang terbuka berdasarkan
lokasi.

33
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan lokasi di RSUD A.W. Sjahranie
periode 2008-2010

Lokasi Frekuensi Persen

tibia-fibula 1/3 tgh D 9 8.49


femur 1/3 tgh D 7 6.60
tibia 1/3 prox S 7 6.60
tibia-fibula 1/3 dist D 7 6.60
tibia-fibula 1/3 dist S 7 6.60
radius-ulna 1/3 tgh D 6 5.66
radius-ulna 1/3 dist S 6 5.66
tibia 1/3 tgh D 5 4.72
tibia 1/3 dist D 4 3.77
tibia 1/3 dist S 4 3.77
tibia-fibula 1/3 tgh S 4 3.77
humerus 1/3 tgh D 3 2.83
humerus 1/3 dist D 3 2.83
femur 1/3 tgh S 3 2.83
femur 1/3 dist D 3 2.83
humerus 1/3 dist S 2 1.89
ulna 1/3 prox D 2 1.89
ulna 1/3 tgh S 2 1.89
radius-ulna 1/3 tgh S 2 1.89
radius-ulna 1/3 dist D 2 1.89
tibia 1/3 tgh S 2 1.89
tibia-fibula 1/3 prox D 2 1.89
femur 1/3 tgh D, tibia-fibula 1/3 tgh D 2 1.89
humerus 1/3 tgh S 1 .94
radius 1/3 tgh D 1 .94
radius 1/3 dist D 1 .94
ulna 1/3 dist S 1 .94
femur 1/3 dist S 1 .94
tibia 1/3 prox D 1 .94
fibula 1/3 tgh D 1 .94
fibula 1/3 dist D 1 .94
fibula 1/3 dist S 1 .94
radius 1/3 prox D, ulna 1/3 dist D 1 .94
tibia 1/3 tgh D, fibula 1/3 prox D 1 .94
radius 1/3 dist D+S 1 .94
Total 106 100.00

34
Lokasi yang paling sering tejadi pada patah tulang terbuka adalah tibi-
fibula 1/3 tengah dekstra dengan 9 kasus (8,49%).
Di bawah ini adalah gambar distribusi patah tulang terbuka berdasarkan
tulang yang terkena.

Tulang yang terkena


30
Jumlah Kasus

25
20
15
10
5
0

Tulang

Gambar 5.2 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan tulang yang terkena di
RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010

Dari gambar 5.2.1, dapat dilihat bahwa distribusi patah tulang terbuka
berdasarkan tulang yang terkena banyak terjadi pada tulang tibia-fibula (ICD
10: S.82.2.1) dengan jumlah total 30 kasus (28,30%), diikuti dengan tulang
tibia dengan jumlah 23 kasus (21.70%), sedangkan tulang yang paling jarang
mengalami patah tulang terbuka adalah tulang radius (ICD 10: S.42.3.1) dan
fibula masing-masing sebanyak 3 kasus (2,83%). Terdapat pula patah tulang
terbuka yang terjadi di lebih dari 2 tulang yaitu sebanyak 2 kasus (1,89%)
pada tulang femur dan tibia-fibula.
Gambar berikut ini menunjukkan distribusi patah tulang terbuka
berdasarkan lokasi.

35
Lokasi Patah Tulang Terbuka

50
Jumlah Kasus 40

30

20

10

0
1/3 proksimal 1/3 tengah 1/3 distal multiple
Lokasi

Gambar 5.3 Distribusi patah tulang terbuka berdasarkan lokasi patah tulang di RSUD A.W.
Sjahranie periode 2008-2010

Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan lokasi


memiliki kencenderungan kejadian lebih banyak pada 1/3 tengah dengan
jumlah 48 kasus (45,28%). Terdapat pula 2 kasus dengan lebih dari satu lokasi
yaitu patah tulang pada 1/3 proksimal radius dan 1/3 distal ulna, serta 1/3
tengah tibia dan 1/3 proksimal fibula.
Di bawah ini adalah gambar ditribusi frekuensi patah tulang panjang
terbuka berdasarkan sisi yang terkena.

Sisi yang Terkena

80
Jumlah Kasus

60
40
20
0
kanan kiri bilateral
Sisi

Gambar 5.4 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan sisi yang terkena di RSUD
A.W. Sjahranie periode 2008-2010

36
Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan sisi
yang terkena terdapat kencenderungan kejadian pada sisi kanan dengan
kejadian sebanyak 62 kasus (58,49%), dan terdapat 1 kasus bilateral (0,94%).

5.3 Distribusi frekuensi patah tulang terbuka berdasarkan usia pasien di


RSUD A.W. Sjahranie periode 2008-2010
Di bawah ini adalah gambar distribusi frekuensi patah tulang panjang
terbuka berdasarkan usia pasien.

Usia

50
40
Jumlah Kasus

30
20
10
0
Anak Dewasa Dewasa Tua
Muda
Usia

Gambar 5.5 Distribusi patah tulang terbuka berdasarkan usia pasien di RSUD A.W.
Sjahranie periode 2008-2010

Distribusi patah tulang terbuka berdasarkan usia pasien terbanyak pada


usia dewasa muda yaitu 20-39 tahun sebanyak 43 kasus (40,57%), dan paling
sedikit usia tua yaitu lebih dari 60 tahun sebanyak 8 kasus (7,55%). Rata-rata
usia pasien adalah 28,81 ± 16,38 tahun dengan umur termuda 4 tahun dan
tertua 80 tahun, serta usia yang paling sering mengalami patah tulang terbuka
adalah 35 tahun dengan 7 kasus.

37
5.4 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat
Gustillo-Anderson dan sisi yang terkena
Di bawah ini adalah table yang menunjukkan distribusi frekuensi sisi yang
terkena terhadap derajat patah tulang terbuka.
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-
Anderson dan sisi yang terkena

Derajat Patah Tulang


I II IIIA IIIB IIIC Total
sisi kanan Jumlah 13 31 13 4 1 62
% 21.0% 50.0% 21.0% 6.5% 1.6% 100.0%
dalam
sisi
kiri Jumlah 12 19 8 4 0 43
% 27.9% 44.2% 18.6% 9.3% 100.0%
dalam
sisi
bilateral Jumlah 0 0 1 0 0 1
% 100.0% 100.0%
dalam
sisi
Total Jumlah 25 50 22 8 1 106
% 23.6% 47.2% 20.8% 7.5% .9% 100.0%
dalam
sisi

Dapat dilihat dari table di atas bahwa semua derajat kecuali derajat I
terjadi lebih banyak pada sisi kanan. Derajat IIIC hanya terjadi pada sisi kanan
dan pada patah tulang bilateral terjadi derajat IIIA.

5.5 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat


Gustillo-Anderson dan ekstremitas yang terkena
Tabel berikut ini menampilkan distribusi frekuensi ekstremitas yang
terkena terhadap derajat patah tulang terbuka.

38
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-
Anderson dan eksremitas yang terkena

Derajat Patah Tulang


I II IIIA IIIB IIIC Total
Lokasi extremitas Jumlah 12 14 7 1 0 34
atas % dalam 35.3% 41.2% 20.6% 2.9% . 100.0%
Lokasi
extremitas Jumlah 13 36 15 7 1 72
bawah % dalam 18.1% 50.0% 20.8% 9.7% 1.4% 100.0%
Lokasi
Total Jumlah 25 50 22 8 1 106
% dalam 23.6% 47.2% 20.8% 7.5% .9% 100.0%
Lokasi

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa semua derajat kecuali derajat
I lebih sering terjadi pada ekstremitas bawah dari pada ekstremitas atas.
Derajat IIIC hanya terjadi pada ekstremitas bawah.

39
BAB VI
PEMBAHASAN
Dari 204 kasus patah tulang terbuka hanya terdapat 106 kasus yang memenuhi
kriteria inklusi sebagai sampel penelitian. Hal ini disebabkan oleh pencatatan
rekam medis yang tidak lengkap seperti tidak dicatatnya lokasi patah tulang secara
lengkap dan derajat patah tulang. Pencatatan rekam medis yang kurang lengkap
ini karena pada kasus patah tulang panjang terbuka, sering kali disertai trauma
lain, sehingga pencatatan pada rekam medis hanya tercantum „mutiple trauma‟
atau „multiple fraktur‟, sehingga kurang menerangkan secara rinci lokasi dan
derajat patah tulang yang terjadi. Adapun catatan rekam medis yang sering tidak
lengkap adalah lembar registrasi, lembar resume pulang, CM 4, CM 3, dan CM 8.
6.1 Gambaran patah tulang panjang terbuka berdasarkan derajat Gustillo-
Anderson
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat yang paling banyak
adalah derajat II dengan 50 kasus (47.2%). Hasil berbeda dengan penelitian
lain yang menunjukkan prevalensi adalah derajat I (Saied et al, 2007; Grecco
et al, 2002). Penelitian Court-Brown, et al (1998) juga menunjukkan hasil
yang berbeda, yaitu derajat III sebagai prevalensi yang paling sering terjadi
khususnya derajat IIIB. Hal senada juga diungkapkan oleh Arruda et al (2009)
yang mendapatkan derajat terbanyak adalah derajat III dengan derajat IIIA
yang paling sering terjadi.
Hasil yang bervariasi pada berbagai penelitian ini bergantung pada
lokasi setempat, yaitu ciri-ciri dan kebiasaan masyarakat setempat, peraturan
lalu lintas, dan apakah rumah sakit tempat penelitian merupakan trauma
center atau bukan (Saied et al, 2007). Pada penelitian yang dilakukan di kota
besar dengan penduduk banyak atau di kota dengan peraturan lalu-lintas yang
kurang tertib akan mendapatkan kasus patah tulang panjang terbuka dengan
derajat yang lebih tinggi, sedangkan pada penelitian di kota kecil atau di
tempat dengan lalu lintas yang tertib akan mendapatkan kasus patah tulang
panjang dengan derarajat yang lebih rendah. Terdapat pula penelitian yang
menyatakan bahwa sistem penilaian derajat patah tulang oleh Gustillo-
Anderson kurang dapat dipercaya karena adanya ketidak seragaman dalam

40
menentukan derajat (Brumback & Jones, 1994). Perbedaan persepsi dalam
menentukan derajat ini dapat mempengaruhi hasil yang berbeda pada tiap
penelitian. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Saied et al (2007),
Grecco et al (2002), Court-Brown, et al (1998), Arruda et al (2009) bahwa
pada ke empat penelitian tersebut merupakan penelitian prospektif, yang
mengambil data primer, sedangkan penelitian saat ini adalah penelitian
retrospektif dengan menggunakan data primer, yang mungkin mempengaruhi
hasil akibat ketidaklengkapan data. Pada penelitian Saied et al (2007) dan
Grecco et al (2002), mereka hanya meneliti patah tulang terbuka pada tibia
saja, sehingga hasil berbeda pada penelitian ini mungkin akibat perbedaan
lingkup penelitian.

6.2 Gambaran patah tulang panjang terbuka berdasarkan lokasi patah


tulang
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tulang yang paling sering
mengalami patah tulang terbuka adalah tibia-fibula (ICD 10: S.82.2.1)
sebanyak 30 (28,30%). Hasil ini serupa dengan penelitian lain, yang
mendapatkan bahwa patah tulang terbuka paling sering terjadi pada tibia atau
tibia dan fibula secara bersamaan (Court-Brown et al, 1998; Lateef, 2002).
Hal yang serupa didapatkan pada penelitian Arruda et al (2009) dan
Oluwadiya et al (2004) yang mendapatkan bahwa patah tulang terbuka sering
terjadi pada kaki bagian bawah, namun pada kedua penelitian ini tidak
menyebutkan secara spesifik tulang apa yang sering terkena. Didapatkan pula
hasil lokasi tersering adalah 1/3 tengah dengan 48 kasus (45,28%). Hal ini
sejalan dengan penelitian lain yang juga menemukan bahwa lokasi tersering
adalah 1/3 tengah. (Saied et al, 2007; Grecco et al, 2002; Court-Brown &
Mcbirnie, 1995). Namun terdapat satu penelitian yang menyatakan bahwa
patah tulang lebih sering terjadi pada 1/3 distal (Emami et al, 1996).
Patah tulang tibia adalah patah tulang panjang yang paling sering
terjadi (Court-Brown, 2001;Champman, 2001). Pada populasi rata-rata, dapat
terjadi kira-kira 26 patah tulang pada tibia per 100.000 populasi per tahun
(Court-Brown, 2001). Letak tibia yang subkutan pada permukaan

41
anteromedialnya membuatnya lebih rentan terhadap trauma (Ibeanusi dan
Ekere, 2007; Imran & Vishnvanathan, 2004). Letaknya yang subkutan ini
menyebabkan kerusakan tulang dan jaringan lunak yang parah pada trauma
tibia, sehingga terdapat kejadian patah tulang terbuka pada tibia yang lebih
tinggi dari pada tulang panjang lain (Court-Brown, 2001;Oluwadiya, 2004).
Lima penyebab patah tulang tibia tersering adalah jatuh, cedera olahraga,
hantaman langsung, kecelakaan lalu lintas, dan luka tembak. Fibula terletak di
daerah cruris, lateral dari tibia, sehingga pada trauma dengan energi tinggi
pada tibia, fibula juga dapat menjadi patah. Patah tulang terbuka merupakan
patah tulang yang diakibatkan transfer energi tinggi, sehingga pada patah
tulang terbuka di regio cruris patah tibia sering disertai patah fibula.
Sedangkan patah tulang pada tulang tibia secara tunggal jarang terjadi. Tulang
fibula yang letaknya lebih profundus dari tulang tibia membuatnya lebih
jarang terjadi patah tulang terbuka, karena terlindungi oleh lapisan-lapisan otot
dan fascia. Begitu pula dengan radius, jarang terjadi patah tulang terbuka
karena letaknya yang juga lebih profundus sehingga lebih terlindungi oleh
lapisan-lapisan otot. Patah tulang lebih sering terjadi pada sepertiga tengah
karena, pada distal dan proksimal terdapat ligamentum yang menahan tulang
apabila terkena suatu tenaga atau tekanan. Ligamentum tersebut juga dapat
menyerap sebagian tekanan yang dikenakan pada tulang tersebut. Pada bagian
tengah tidak terdapat mekanisme tersebut sehingga lebih sering patah apa bila
terkena tekanan.
Pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa kecenderungan kejadian patah
tulang terbuka lebih sering terjadi pada sisi kanan dengan total 62 kasus
(58,49%). Penemuan ini serupa dengan penelitian lainnya yang juga
mendapatkan bahwa sisi kanan lebih sering mengalami patah tulang dari pada
sisi kiri (Grecco et al, 2002; Saied et al, 2007; Imran & Vishvanathan, 2004;
Bradbury & Robertson, 1993). Hanya ditemukan dua penelitian yang
mendapatkan bahwa sisi kiri lebih sering terjadi patah tulang yaitu penelitian
Arruda et al (2009) dan Ibeanusi dan Ekere (2007).
Penelitian-penelitian yang mendapatkan hasil patah tulang lebih sering
pada sisi kanan melakukan penelitiannya di negara-negara yang berlalu-lintas

42
di sebelah kiri, seperti di Indonesia, yaitu penelitian Imran dan Vishnathan
(2004) yang dilakukan di Malaysia dan penelitian Bradbury dan Robertson
(1993) di Scotlandia. Sedangkan penelitian yang mendapatkan kejadian patah
tulang lebih sering di sebelah kiri dilakukan di negara yang lalu-lintasnya
berjalan disebelah kanan, yaitu penelitian Ibeanusi dan Ekere (2007) di
Nigeria dan penelitian Arruda et al (2009) di Brazil. Sehingga diduga bahwa
kejadian patah tulang lebih sering di salah satu sisi akibat dari sisi mana lalu
lintas berjalan. Sisi kanan lebih sering terjadi patah tulang di negara yang
berlalu lintas di sebelah kiri karena sisi tersebut lebih mudah terkena hantaman
dengan kendaraan dari sisi yang berlawanan dan kendaraan dari lajur yang
sama yang mendahului dari sisi kanan (Imran dan Vishnathan, 2004).
Terdapat pula penelitian yang dilakukan pada negara yang berlalulintas di
kanan namun patah tulang tetap cenderung di sebelah kanan (Grecco et al,
2002; Saied et al, 2007) yaitu di negara Brazil dan negara Iran. Hal ini diduga
karena 70-90% penduduk dunia dominan di sisi kanan (Holder, 1997)
sehingga pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas maka orang akan menumpu
pada sisi dominannya dan jatuh ke arah kanan, sehingga sisi kanan lebih
cedera.
Penelitian terdahulu menyatakan cedera yang terjadi pada sisi kanan
juga cenderung lebih parah dari pada sisi kiri (Imran dan Vishvanathan, 2004;
Bradbury & Robertson, 1993). Pernyataan ini sesuai dengan hasil yang
didaptkan pada penelitian ini yaitu pada semua derajat kecuali derajat I patah
tulang terbuka pada sisi kanan menunjukkan persentase kejadian yang lebih
tinggi. Pada penelitian ini derajat IIIC hanya terjadi pada sisi kanan, sama
seperti pada penelitian lain (Imran & Vishvanathan, 2004). Terdapat pula
penelitian yang tidak mendapatkan patah tulang terbuka pada sisi kanan akan
menglami derajat yang lebih parah (Saied & Mobarake, 2007).
Terdapat pula pernyataan bahwa patah tulang terbuka pada ekstremitas
bawah lebih tinggi derajat keparahannya dibandingkan patah tulang terbuka
yang terjadi pada ekstremitas atas (Arruda et al, 2009; Court-Brown et al,
1998). Hal yang serupa ditemukan pada penelitian ini pada semua derajat
kecuali derajat I, persentase kejadian lebih besar pada ekstremitas atas. Hal ini

43
mungkin disebabkan karena kejadian yang paling banyak menyebabkan patah
tulang panjang terbuka adalah kecelakaan lalu lintas melibatkan motor. Motor
menyebabkan banyak patah tulang terbuka diduga selain karena kurang
kelihaian dalam membawa motor serta tidak adanya alat pelindung atau tidak
menggunakan alas kaki yang tepat, juga rakitan ban belakang yang kurang
baik (Lateef, 2002).

6.3 Gambaran patah tulang panjang terbuka berdasarkan usia pasien


Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa kelompok usia yang sering
mengalami patah tulang terbuka adalah kelompok usia dewasa muda (20-39
tahun) dengan jumlah kasus 43 (40,57%). Hasil ini serupa dengan hasil
penelitian lainnya yang mendapatkan bahwa kelompok usia tersering
mengalami patah tulang terbuka adalah kelompok usia 21-30 tahun (113
kasus) (Arruda et al, 2009).
Rata-rata usia pada penelitian ini adalah 28,81 ± 16,38 tahun dengan
rentang umur 4-80 tahun, dan usia yang paling sering mengalami usia patah
tulang terbuka adalah 35 dengan 7 kasus. Penelitian lain memiliki hasil yang
berbeda-beda, Arruda et al (2009) mendapatkan usia rata-rata 30,41 dengan
rentang umur 1-80 tahun, dan usia yang paling sering mengalami patah tulang
terbuka adalah 21 tahun dengan 17 kasus. Pada penelitian Court-Brown et al
(1998) mendapatkan usia rata-rata 44,9 tahun.
Usia yang dianggap rentan terhadap terhadap kejadian patah tulang
terbuka adalah usia 18-44, hal ini dikarenakan karena usia tersebut adalah
kelompok usia produktif yang memiliki aktivitas yang banyak sehingga
kemungkinan terjadi kecelakaan lebih besar (Smith et al, 2004). Orang-orang
pada usia tersebut memiliki aktivitas yang banyak sehingga kemungkinan
untuk terjadi kecelakaan lalu-lintas lebih tinggi, serta karena usia tersebut
adalah usia di mana orang masih bekerja, kemungkinan terjadi kecelakaan
kerja yang menyebabkan patah tulang panajng terbuka juga lebih tinggi. Pada
usia tersebut pula orang sangat senang berolahraga, dan bisa terjadi cedera
pada saat itu. Banyaknya kasus patah tulang terbuka pada usia tersebut

44
memberi dampak terhadap sosioekonomi, karena usia tersebut termasuk dalam
usia yang produktif (Smith et al, 2004).

45
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
1. Derajat patah tulang terbuka yang paling sering terjadi adalah derajat II
(47,17%), derajat I (23.58%), dan derajat IIIA (20.75%).
2. Lokasi yang paling sering mengalami patah tulang terbuka adalah
tibia-fibula 1/3 tengah dekstra (ICD 10: S.82.7.1) (8,49%), tibia-fibula
1/3 distal kiri dan kanan (ICD 10: S.82.7.1), femur 1/3 tengah dekstra
(ICD: S.72.3.1), dan tibia 1/3 proksimal sinistra (ICD: S.82.7.1)
(6.6%), radius-ulna 1/3 tengah dextra (ICD 10: S.52.4.1) dan radius-
ulna 1/3 distal sinistra (ICD 10: S.52.4.1) (5.7%).
3. Usia yang paling sering mengalami patah tulang adalah kelompok usia
dewasa muda (20-39 tahun) (40,57%), anak (kurang dari 20 tahun)
(35,85%), and dewasa (40-59 tahunS) (16,04%).
7.2 Saran
1. Dengan banyaknya kejadian patah tulang pada daerah tibia-fibula
terutama sisi kanan, yang sering disebabkan kecelakaan motor, perlu
dipertimbangkan adanya penggunaan pelindung pada daerah tibia-
fibula saat berkendaraan motor seperti shin guard atau sejenisnya.
2. Setiap pengendara yang menggunakan fasilitas umum diwajibkam
memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Tenaga kesehatan di rumah sakit sebaiknya membuat catatan rekam
medik dengan lengkap dan penyimpanan rekam medis diharapkan
dapat lebih terorganisir.
4. Diharapkan pada catatan rekam medis dijelaskan secara rinci mengenai
mekanisme terjadinya patah tulang panjang terbuka.
5. Dengan banyaknya kejadian patah tulang terbuka yang ada di RSUD
A.W. Sjahranie diharapkan rumah sakit memiliki alat yang sesuai
untuk penangan patah tulang terbuka terutama di UGD.
6. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih banyak
atau dengan cara prospektif agar mendapatkan gambaran yang lebih
jelas serta mendalam dan mendapatkan data secara lengkap.

46
7. Perlu adanya penelitian lebih lanjut yang melibatkan lebih banyak
variable seperti komplikasi dan masa penyembuhan.
8. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang kerentanan sisi kanan
terhadap trauma terutama pada kecelakaan lalu lintas.

47
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A.G., Nagayam S., Solomon, L., Warwick, D. (2001). Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. :Arnold

Anonymous.(2004). Open Fratures. Retrieved from


http://www.rcsed.ac.uk/fellows/lvanrensburg/classification/commonfiles/o
pen.htm

Anonymous.(2009). Fraktur: Patah Tulang. Retrieved from


http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/03/fraktur-patah-tulang.html

Anymous. (2010). Why Do Some Countries Drive On the Right and Others On the
Left?. Retrieved from
http://users.telenet.be/worldstandards/driving%20on%20the%20left.htm

Arruda, L. R. P., Silva, M. A. d. C., Malerba, F. G., Fernandes, M. d. C., Turibio,


F. M., Matsumoto, M. H. (2009). Open Fractures: Prospective and
Epidemiological Study. Acta Ortopedica Brasileira. 17(6). 326-330

Bedah UGM.(2009). Fraktur Terbuka. Retrieved from


http://www.bedahugm.net/tag/fraktur-terbuka/

Bradbury, A. & Robertson, C. (1993). Pattern and Severity of Injury Sustained by


Motorcyclist in Road Traffic Accidents in Edinburgh, Scotland. Health
Bulletin. 51(2). 86-91

Chapman, M.W. (2001). Fractures of the Shafts of the Tibis and Fibula in M. W.
Chapman (Eds) Chapman‟s Orthopedic Surgery 3rd Edition. Baltimore:
Lippincott Williams and Wilkins

Chapman, M. W. (2001).Open Fractures in M. W. Chapman (Eds) Chapman’s


Orthopaedic Surgery 3rd Edition. Baltimore: Lipincott Williams & Wilkins

Chapman, M. W., Madison, M. & Martin, R. B.(2001),Fracture Healing and


Closed Treatment of Fractures and Dislocations in M. W. Chapman, (Eds)
Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd Edition. Baltimore: Lipincott
Williams & Wilkins

Court-Brown, C.M. (2001). Fractures of the Tibia and Fibula in C.A. Rockwood
(Eds) Rockwood and Green’s Fractures in Adults. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins

Court-Brown, C.M. & McBirnie, J. (1995). The Epidemiology of Tibial Fractures.


The Journal of Bone and Joints Surgery. 77-B(3). 417-421

Court-Brown, C. M., McQueen, M.M., Tornetta, P.(2006).Open Fractures in P.


Tornetta (Eds) Trauma. Baltimore: Lipincott Williams & Wilkins

48
Court-Brown, C.M., Rimmer, S. (1998). The Epidemiology of Open Long Bone
Fractures. Injury. 29(7). 529-534

Cross & Swiontkowski. (2008). Treatment Principles in the Management of Open


Fractures. Indian Journal of Orthopaedics. 42(4). 377-386

De Jong, W. & Sjamsuhidajat, R.(2003).Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC

Grecco, M. A. S., Junior, I., Rocha, M. A., Barros, J.(2002).Epidemiology of


Tibial Shaft Fractures.Acta Ortopedica Brasileira.10(4).10-17

Gustillo, R. B., Merkow, R. L., Templeman, D.(1990).The Management of Open


Fractures. The Journal of Bone and Joints Surgery.72-A(2).299-304

Holder, M. K. (1997). Why are more people right-handed?. Retrieved from


http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=why-are-more-people-
right

Ibeanusi, S.E.B. & Ekere, A.U.(2007).Epidemiology of Open Tibial fractures in a


Teaching Hospital. Port Harcourt Medical Journal.1.156-160

Imran, Y. & Vishvanathan, T. (2004). Does the Right Leg Require Extra
Protection? Five-Year Review of Type 3 Open Fractures of the Tibia.
Singapore Medical Journal. 45(6). 280-282

Keating J.(2000).Fractures in B. W. Ellis & S. Patterson-Brown (Eds.) Hamilton


& Bailey’s Emergency Surgery 13th Edition.London:Arnold

Lateef, F. (2002). Riding Motorcycle : Is it a Lower Limb Hazard. Singapore


Medical Journal. 43(11). 566-569

Nather, A., Ong, H.C.J., Aziz, Z.(2010).Structure of Bone. Retrieved from


http://www.worldscibooks.com/etextbook/5695/5695_chap01.pdf

Oluwadiya, K.S., Oginni, L.M, Olansinde, A.A., Fadiora, S.O. (2004). Motorcycle
Limb Injuries in a Developing Country. West African Journal of Medicine.
23(1). 42-47

Parni, L.(2010).Batasan Usia Pada Setiap Masa Perkembangan.Retrieved from


http://permatabunda.com/batasan-usia-pada-setiap-masa-perkembangan

Price, C. T., Phillips, J. H., & Devito, D. P.(1990).General Fractures in Children


in W. W. Lovell & R. T. Morrisy (Eds.) Lovell and Winter’s Pediatric
Orthopaedics 3rd Edition. Baltimore: LippincottWilliams & Wilkins

Puja.(2006). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Patah Tulang Terbuka.


Retrieved from http://wayanpuja.blinxer.com/?page_id=231

49
Saied, A. R. & Mobarake, M.K. (2007). Epidemiology of Extraarticular Tibia
Fractures, Shahid Mohammadi Hospital-Bandar Abbass-Iran 2002, 2003.
Journal of Applied Sciences. 7(23). 3823-3826

Salter, R. B.(1999).Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal


System. Baltimore: Lipincott Williams & Wilkins

Smith, W. R., Shank, J. R., Skinner, H. B., Diao, E., Lowenberg, D.


W.(2003).Musculoskeletal Trauma Surgery in (Eds.) Currrent Diagnosis
& Treatmentin Orthopaedics 3rd Edition.New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.

Snell, R. S.(2004).Clinical Anatomy.Baltimore: Lipincott Williams & Wilkins


Standring S.(2005).Functional Anatomy of the Musculoskeletal System in Gray’s
Anatomy.Edinburgh: Elsevier Ltd

Springfield, D.(2005).Orthopaedics in F. C. Brunicardi (Eds.) Schwartz Principles


of Surgery 8th Edition.New York: McGraw Hill

Wilkins, K.E. & Aroojis, A.J. (2001). The Present Status of Children‟s Fracture in
J.H. Beaty (Eds) Rockwood and Wilkins’ Fractures in Children, 5th
Edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins

Wong, P.C.N. (1967). Epidemiology of Fractures of Bones of the Leg. An Index


of Severe Accident Rate in A Defined Community (Singapore). Singapore
Medical Journal. 8(1). 43-50

50
Lampiran 1 Rekapitulasi data patah tulang panjang terbuka di RSUD A.W. Sjahranie 2008-2010
No. No. RM Nama L/P Usia Derajat Lokasi Kejadian
1 9299 Tn. Jr L 50th II radius-ulna 1/3 tgh D diseruduk babi hutan
2 8639 Tn. M L 17th II femur 1/3 dist D KLL
femur 1/3 tgh D, tibia-fibula 1/3
3 5589 Ny. Rs P 50th II tgh D KLL
4 5857 Tn. Sg L 22th II femur 1/3 dist S motor vs mobil
5 10433 Tn. Am L 28th II tibia 1/3 tgh D motor vs mobil
6 6460 Tn. Ad L 14th I tibia 1/3 prox S motor vs mobil
7 28520 An. Bl P 8th II tibia 1/3 tgh D ditabrak motor
8 4342 Tn. Dr L 54th II tibia 1/3 prox S KLL
9 29538 Tn. Gn L 16th I tibia-fibula 1/3 dist D motor vs mobil
10 11918 Tn. As L 16th II femur 1/3 tgh D jatuh dr motor
11 30276 Tn. Al L 28th I radius-ulna 1/3 tgh D jatuh dr motor
12 40075 Tn. Mc L 28th I radius-ulna 1/3 dist D
13 33810 Tn. Sr L 45th II tibia-fibula 1/3 dist S KLL
14 43401 An. Ha P 12th II tibia 1/3 tgh D ditabrak motor
15 34643 Tn. Nn L 20th I radius-ulna 1/3 tgh D jatuh main bola
16 11074 Tn. Mo L 53th IIIA tibia 1/3 tgh S jatuh dr motor
17 28130 Tn.Sd L 70th II tibia 1/3 tgh S ditabrak motor
18 34352 Tn. My L 27th IIIA humerus 1/3 tgh D tertembak
19 42931 Tn. RJ L 29th II ulna 1/3 tgh S KLL
20 41894 Tn. Jt L 12th IIIB tibia-fibula 1/3 dist S KLL
21 35343 Ny.Ru P 41th IIIA radius-ulna 1/3 dist D jatuh dr rumah
22 29677 Tn. So L 35th IIIB tibia 1/3 dist S motor vs motor

51
No. No. RM Nama L/P Usia Derajat Lokasi Kejadian
23 437294 Tn. Sm L 26th IIIA tibia-fibula 1/3 dist S kena besi
24 432974 Ny. Tm P 35th IIIA tibia-fibula 1/3 prox D motor vs mobil
25 418364 Nn. UK P 16th II radius-ulna 1/3 tgh D jatuh dr motor
26 416614 Tn. As L 80th II ulna 1/3 tgh S nangkis kayu
27 449509 Tn. Aw L 15th IIIA tibia-fibula 1/3 dist D kejatuhan kayu
28 420339 Nn. Ll P 15th II femur 1/3 tgh D motor vs mobil
29 437299 Nn. Si P 17th II tibia 1/3 dist D jatuh dr motor
30 437889 Ny. Bn P 40th I tibia-fibula 1/3 tgh D Ditabrak
31 414999 Tn. Su L 62th II radius-ulna 1/3 dist S ditabrak motor
32 429929 Tn. Ih L 37th II tibia-fibula 1/3 prox D KLL
33 437409 Tn. Md L 11th II tibia-fibula 1/3 tgh D jatuh dr motor
34 439911 Tn. Cm L 30th II tibia 1/3 prox S kena chainsaw
35 424661 Tn. Is L 13th I femur 1/3 tgh S KLL motor
36 414880 Tn. Wh L 35th IIIA radius 1/3 dist D+S mobil terbalik
37 433071 Tn. Sj L 65th II tibia 1/3 tgh D motor vs motor
38 435197 Tn. AA L 49th II tibia-fibula 1/3 dist S jatuh dr motor
39 431997 Tn. Hr L 22th II femur 1/3 tgh D motor vs mobil
40 420668 Tn. Is L 29th IIIA tibia 1/3 dist S KLL
41 435268 Tn. Ep L 18th I tibia-fibula 1/3 tgh D motor vs motor
42 415268 Tn. St L 41th IIIB ulna 1/3 prox D
femur 1/3 tgh D, tibia-fibula 1/3
43 437617 Tn. Jm L 22th IIIC tgh D jatuh dr mobil
44 429863 Tn. Hm L 35th II tibia-fibula 1/3 tgh S jatuh dr motor
45 429533 Tn. Bd L 30th II femur 1/3 tgh D jatuh dr tower

52
No. No. RM Nama L/P Usia Derajat Lokasi Kejadian
46 437872 Tn. Wd L 18th I tibia-fibula 1/3 tgh D motor vs truk
47 435982 Tn. Hl L 13th IIIA ulna 1/3 prox D motor vs truk
48 422317 An. Er L 9th I radius-ulna 1/3 tgh S Jatuh
49 422935 Tn. Mr L 32th I fibula 1/3 dist S kejatuhan besi
50 424846 Tn. Dn L 19th I radius-ulna 1/3 dist S KLL
51 432176 Tn. AR L 19th II femur 1/3 tgh D motor vs motor
52 407586 An. Ys L 4th I tibia 1/3 dist S KLL motor
53 418366 Tn. Ar L 65th IIIA fibula 1/3 tgh D ditabrak motor
54 432966 Tn. Jl L 45th II tibia-fibula 1/3 tgh D ditabrak motor
55 416455 An. Af L 7th II humerus 1/3 tgh S sepeda vs motor
56 418575 Tn. Ms L 21th II femur 1/3 tgh S motor vs motor
57 408555 Ny. Hy P 33th I radius 1/3 prox D, ulna 1/3 dist D motor vs mobil
58 408834 An. Ad L 25th II femur 1/3 tgh D KLL
59 435998 An. Rt P 8th II tibia-fibula 1/3 tgh S jatuh dr motor
60 446270 Tn Nn L 20th IIIA tibia-fibula 1/3 tgh D motor vs mobil
61 433038 Tn. Hz L 19th II tibia 1/3 prox S motor vs mobil
62 43551 Tn. Sa L 24th IIIB tibia 1/3 prox S Ditabrak
63 432773 Tn. DT L 28th II humerus 1/3 dist D KLL mobil
64 444767 Tn. MA L 31th II radius-ulna 1/3 tgh D motor vs motor
65 424846 Tn. DH L 19th I radius-ulna 1/3 dist S KLL
tangan msk mesin
66 418587 Tn. Tw L 28th IIIA ulna 1/3 dist S sedot
67 439500 Tn. Tn L 17th II tibia 1/3 dist S jatuh dr motor
68 412290 Tn. Su L 34th II humerus 1/3 dist D jatuh dr tangga

53
No. No. RM Nama L/P Usia Derajat Lokasi Kejadian
69 414411 Tn. Sf L 38th II radius-ulna 1/3 dist S motor vs mobil
70 444465 Tn. MS L 40th IIIA radius 1/3 dist D jatuh dr pohon
71 420955 Nn. VS P 16th II humerus 1/3 tgh D motor vs mobil
72 452269 Tn. Tn L 38th II tibia-fibula 1/3 dist D KLL dibonceng
73 481274 Tn. KV L 15th IIIA humerus 1/3 dist S jatuh dr motor
74 499824 An. AJ L 5th IIIA tibia 1/3 dist D tabrak motor
75 457894 An. BD L 4th IIIA tibia-fibula 1/3 tgh S KLL
76 477984 Ny. Wt P 42th II radius-ulna 1/3 tgh S jatuh dr sepeda
77 484294 An.Al L 9th II tibia-fibula 1/3 dist D motor vs mobil
78 464754 Tn. Fa L 30th II tibia-fibula 1/3 dist D jatuh dr motor
79 465324 Ny. SA P 35th IIIA tibia 1/3 prox S motor vs motor
80 455434 An. As L 14th IIIA tibia-fibula 1/3 dist D jatuh dr motor
81 455144 An. Ad L 14th I radius-ulna 1/3 tgh D motor vs motor
82 467929 An. Fz L 9th I tibia 1/3 prox D ditabrak motor
83 486788 Tn. MS L 34th II tibia-fibula 1/3 tgh D motor vs mobil
84 462597 Tn. FY L 26th I radius 1/3 tgh D
85 459907 Tn. Dl L 35th IIIA tibia 1/3 dist D KLL
86 478027 Tn. My L 40th II tibia 1/3 tgh D KLL
87 482842 Tn. Rd L 43th II tibia-fibula 1/3 dist S ditabrak motor
88 462572 Tn. Nd L 12th I femur 1/3 tgh D KLL
89 462572 Tn. Nd L 12th II tibia 1/3 dist D KLL
90 462692 Ny. Gl P 65th II humerus 1/3 tgh D motor vs motor
91 495592 Tn. As L 62th IIIA tibia-fibula 1/3 dist S

54
No. No. RM Nama L/P Usia Derajat Lokasi Kejadian
92 453032 Ny. So P 35th IIIA femur 1/3 dist D motor vs mobil
93 493486 An. SJ P 6th II tibia-fibula 1/3 tgh D ditabrak motor
94 477743 An. GR L 12th I humerus 1/3 dist S Motor
95 500836 Tn. Bb L 31th IIIA femur 1/3 dist D Tertembak
96 454283 Tn. Su L 50th IIIB tibia 1/3 prox S motor vs truk
97 452935 Tn. MA L 20th IIIB tibia 1/3 tgh D, fibula 1/3 prox D motor vs tanki
98 473765 Tn. St L 16th IIIB fibula 1/3 dist D motor vs mobil
99 479993 Tn. MK L 26th II tibia-fibula 1/3 tgh S motor vs motor
100 469430 Ny, Tu P 40th I radius-ulna 1/3 dist S Jatuh
101 482740 Ny. Ro P 60th I radius-ulna 1/3 dist S jatuh dr tangga
102 491190 Tn. YS L 56th II humerus 1/3 dist D tertembak
103 495580 Tn. MA L 30th I tibia-fibula 1/3 dist D motor vs motor
104 452550 Tn. Jk L 23th I tibia-fibula 1/3 dist S motor vs mobil
105 475731 Tn. Gn L 33th IIIB tibia-fibula 1/3 tgh D mobil vs mobil
106 464511 Tn. Rh L 22th I femur 1/3 tgh S motor vs mobil

55

You might also like