Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Proses berpikir pseudo telah dikaji oleh banyak peneliti dengan istilah yang berbeda-
beda. Vinner (1997) menggunakan istilah Pseudo-Analytic versus Analytic. Lithner (2000)
menggunakan istilah Established Experience (EE) versus Plausible Reasoning (PR).
Kahneman (2002) mengkaji Dual Process Theory (proses System 1 versus proses System 2).
Dan Pape (2004) menggunakan istilah Direct Translation Approach (DTA) versus Meaning
Based Approach (MBA).
Proses berpikir pseudo (analitik pseudo, Established Experience, proses S1, Direct
Translation Approach) dihasilkan dari proses “spontan, tidak fleksibel (sulit berubah), dan
tidak terkontrol”, serta superficial similarities dan fuzzy memory. Pada saat diberikan masalah
matematika, siswa yang proses berpikirnya “pseudo” akan cenderung mengaitkan dengan
masalah yang dianggapnya sama, meskipun kesamaan yang dibuatnya bersifat dangkal
/tergesa-gesa (superficial similarities). Siswa juga akan mengaitkan dengan apa yang di-
ingatnya, meskipun ingatannya masih samar-samar/kabur (fuzzy memory). Selanjutnya siswa
secara spontan menyelesaikan masalah tanpa memahami secara mendalam struktur yang
terlibat dalam masalah tersebut dan tidak melakukan pengecekan kembali (kontrol/refleksi)
terhadap apa yang dikerjakannya. Karena itu, proses berpikir pseudo siswa masih merupakan
proses berpikir yang “mentah” dan bukan proses berpikir yang sesungguhnya.
Dalam proses belajar mengajar, masih banyak pengajar matematika yang mengajarkan
prosedur dengan tanpa menjelaskan mengapa prosedur tersebut digunakan. Akibatnya siswa
beranggapan bahwa dalam menyelesaikan masalah, cukup memilih prosedur penyelesaian
yang sesuai dengan masalah yang diberikan. Dalam hal ini fokus pembelajaran tidak pada
mengapa prosedur tertentu itu yang digunakan untuk menyelesaikan, tetapi prosedur mana
yang dipilih untuk menyelesaikan masalah dan pada bagaimana menyelesaikan dengan
prosedur tersebut. Dengan penekanan pembelajaran hanya pada prosedur mengakibatkan
penalaran siswa tidak berkembang secara optimal. Seringkali dalam menyelesaikan suatu
masalah, siswa berpikir seolah-olah mengikuti proses penalaran, namun sebenarnya proses
berpikir siswa tersebut belum sesuai dengan proses penalaran. Selanjutnya proses berpikir
siswa seperti ini disebut sebagai proses berpikir penalaran pseudo. Penalaran pseudo adalah
penalaran yang semu. Proses penalaran pseudo merupakan proses berpikir yang nampak
“seperti” proses penalaran, namun sebenarnya belum merupakan proses penalaran, karena
tidak menggunakan proses berpikir yang logis atau bersifat analitis.
Dalam penelitian ini dikaji proses berpikir pseudo pada penalaran kovariasional, karena
itu digunakan istilah penalaran kovariasional pseudo.. Carlson (2002) mendefinisikan
penalaran kovariasional sebagai aktifitas kognitif melibatkan pengkoordinasian dua macam
3
kuantitas yang berkaitan dengan cara-cara dua kuantitas tersebut berubah satu terhadap yang
lain. Slavit (1997) mendefinisikan penalaran kovariasional sebagai kegiatan menganalisa,
memanipulasi, dan memahami hubungan antara perubahan kuantitas. Selanjutnya dalam
penelitian ini, penalaran kovariasional didefinisikan sebagai aktifitas mental dalam
pengkoordinasian dua kuantitas (variabel bebas dan variabel terikat) yang berkaitan dengan
cara-cara perubahan satu kuantitas terhadap kuantitas yang lain.
Hasil dari proses berpikir penalaran kovariasional pseudo disebut perilaku penalaran
kovariasional pseudo. Perilaku penalaran kovariasional pseudo bisa nampak dari jawaban
”benar” tetapi mahasiswa tidak mampu memberikan justifikasi, atau jawaban ”salah” tetapi
sebenarnya mahasiswa memahaminya (mampu menyelesaikan) setelah melakukan refleksi.
Dalam menyelesaikan suatu masalah, terdapat beberapa kemungkinan jawaban yang
terjadi pada mahasiswa. Untuk mahasiswa yang memberikan jawaban benar dan mampu
memberikan justifikasi, berarti jawabannya ”benar sungguhan”, hal ini sudah wajar.
Sebaliknya, mahasiswa yang menunjukkan jawaban benar, tetapi tidak mampu memberikan
justifikasi terhadap jawabannya, maka kebenaran dari jawabannya hanya ”kebetulan”. Sedang-
kan mahasiswa yang menunjukkan jawaban salah dan setelah refleksi tetap menghasilkan
jawaban salah, berarti penalaran mahasiswa tersebut memang ”salah sungguhan”. Perilaku lain
yang mungkin adalah mahasiswa memberikan jawaban salah, tetapi setelah melakukan refleksi
mampu membenahinya sehingga menjadi jawaban benar. Ini berarti penalaran mahasiswa
(sebelum refleksi) tersebut masih belum sesungguhnya (atau masih pseudo). Selanjutnya peri-
laku mahasiswa ini disebut pseudo penalaran kovariasional dari jawaban ”salah”. Dalam pene-
litian ini hanya dibahas penalaran kovariasional pseudo dari jawaban ”salah”, selanjutnya han-
ya disebut penalaran kovariasional pseudo. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa pseudo
”salah” akan merugikan mahasiswa, karena sebenarnya mahasiswa mampu menyelesaikan, te-
tapi karena proses refleksinya tidak maksimal, sehingga jawaban yang dihasilkan masih salah.
Masalah kovariasi yang dikaji dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari
masalah yang dikaji oleh Carlson (2002), yakni mengkonstruksi grafik fungsi kejadian
dinamik. Adapun perbedaannya disajikan seperti berikut.
Perhatikan gambar di samping!
Bayangkan botol di samping ini Dua botol disambung dengan pipa yang
diisi dengan air. Gambarkan dilengkapi kran. Botol atas terisi air “penuh”
sebuah grafik fungsi antara dan botol bawah “kosong”. Ketika kran
ketinggian air dalam botol dan dibuka, maka air mengalir dari botol atas ke
banyaknya air yang botol bawah. Gambarkan bentuk grafik antara
dimasukkan! Berikan alasan ketinggian air botol bawah dan ketinggian air
terhadap jawaban saudara! botol atas! Berikan penjelasan terhadap
jawaban saudara!
Gambar 1.1. Masalah kovariasi Carlson Gambar 1.2. Masalah kovariasi penelitian ini
4
Terdapat 3 (tiga) perbedaan antara masalah kovariasi Carlson dan masalah kovariasi
dalam penelitian ini. Pertama, karakteristik grafik. Konstruksi grafik fungsi kejadian dinamik
yang disajikan oleh Carlson adalah senilai, artinya semakin besar nilai suatu variabel akan
menyebabkan semakin besar pula nilai variabel yang lain atau sebaliknya. Dalam konstruksi
grafik fungsi yang dikaji dalam penelitian ini adalah berkebalikan. Artinya semakin kecil nilai
suatu variabel, menyebabkan semakin besar nilai variabel yang lain atau sebaliknya.
Kedua, proses kovariasi. Masalah yang disajikan Carlson merupakan proses kovariasi
langsung. Artinya perubahan suatu variabel (tinggi air) dipengaruhi secara langsung oleh
perubahan variabel lain (bertambahnya tinggi air dipengaruhi langsung oleh bertambahnya
volume air dalam botol). Proses kovariasi penelitian ini merupakan proses kovariasi tidak
langsung. Artinya perubahan suatu variabel (tinggi air di botol bawah) tidak secara langsung
dipengaruhi oleh perubahan variabel lain (tinggi air di botol atas). Dalam hal ini, tinggi air
botol atas dipengaruhi oleh berkurangnya air di botol atas. Berkurangnya air botol atas
menyebabkan bertambahnya air di botol bawah. Selanjutnya, bertambahnya air di botol bawah
menyebabkan bertambahnya ketinggian air di botol bawah.
Ketiga, tingkat kovariasi. Kovariasi Carlson merupakan kovariasi tingkat satu, karena
hanya terdapat satu hubungan langsung antara suatu variabel (tinggi air) dengan variabel lain
(volume air) (seperti Diagram 1.1). Kovariasi dalam penelitian ini merupakan kovariasi tingkat
tiga. Dalam hal ini, volume air di botol atas secara langsung mempengaruhi ketinggian air di
botol atas dan volume air di botol bawah. Berarti kovariasi antara ketinggian air botol atas dan
volume botol bawah merupakan kovariasi dua tingkat (tidak langsung). Selanjutnya volume air
botol bawah secara langsung mempengaruhi ketinggiannya. Dalam hal ini kovariasi antara
volume dan ketinggian air botol bawah adalah tingkat satu. Karena itu hubungan antara tinggi
air botol bawah dan tinggi air botol atas merupakan kovariasi tingkat tiga (seperti Diagram
1.2). Perbedaan proses dan tingkat kovariasi antara masalah Carlson dan penelitian ini dapat
digambarkan seperti berikut.
Diagram 1.1: Proses dan tingkat Diagram 1.2: Proses dan tingkat
kovariasi Carlson kovariasi penelitian ini
5
Selanjutnya kejadian dinamis yang dikaji dalam penelitian ini adalah perubahan salah
satu variabelnya adalah konstan (botol atas) dan perubahan variabel yang lain adalah dinamis
(botol bawah). Pada kejadian ini, botol atas berbentuk tabung, sehingga perubahan ketinggian
airnya adalah konstan; botol bawah berbentuk bola, sehingga perubahan ketinggian airnya
adalah dinamis (Gambar 1.2). Adapun deskripsi secara lengkap pengembangan masalah
penelitian ini disajikan pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1. Pengembangan Masalah kovariasi
Unsur-unsur Kovariasi Carlson Kovariasi Penelitian ini
pengembangan
Karakteristik - kovariasi langsung - kovariasi tak langsung
Masalah - kovariasi senilai - kovariasi berbalik nilai
- kovariasi tingkat satu - kovariasi tingkat tiga
Kajian - pseudo penalaran kovariasional dari - pseudo penalaran kovariasional
jawaban benar dari jawaban salah
- kajian bukan pada proses berpikir (hanya - kajian pada proses berpikir
menunjukkan adanya pseudo penalaran pseudo penalaran kovariasional
kovariasional)
memanfaatkan potensinya secara optimal. Karena itu, sangat perlu dilakukan kajian proses
berpikir pseudo dari jawaban salah.
Selanjutnya proses berpikir penalaran kovariasional pseudo (PKP) dikaji berdasarkan
kerangka kerja asimilasi dan akomodasi dari Piaget. Dalam hal ini, ketika seseorang
berinteraksi dengan lingkungan, maka akan terjadi proses adaptasi. Pada saat beradaptasi,
seseorang mengalami dua proses kognitif, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Proses asimilasi merupakan proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang
sudah terbentuk. Menurut Piaget (Brooks and Brooks,1993), assimilation is the incorporation
of new events into intelligence as a scheme or concept. Dalam proses asimilasi, stimulus
diinterpretasikan berdasarkan skema yang dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini, asimilasi
merupakan proses pengintegrasian stimulus ke dalam skema yang sudah dimiliki oleh
seseorang. Untuk mempermudah proses asimilasi, maka stimulus/informasi baru perlu
dimodifikasi sedemikian hingga sesuai dengan skema yang sudah dimiliki.
Akomodasi merupakan proses pengintegrasian stimulus baru melalui pembentukan
skema baru untuk menyesuaikan dengan stimulus yang diterima. Piaget (Brooks and
Brooks,1993) menegaskan bahwa dalam accommodation, existing schemes are modified to
account for new information. Dalam memecahkan masalah, proses kognitif (asimilasi dan ako-
modasi) terus berlangsung sampai terjadi keseimbangan (equilibrium).
Dalam penelitian ini menggunakan proses asimilasi dan akomodasi dari Piaget tersebut
untuk mengkaji terjadinya proses berpikir penalaran kovariasional pseudo. Selanjutnya, untuk
lebih memperjelas terjadinya proses asimilasi dan akomodasi, dilakukan visualisasi seperti
Gambar 1.3 berikut.
Asimilasi Akomodasi
Struktur Masalah Skema
Struktur Masalah Skema
Asimilasi
Akomodasi
Integrasi
Pada proses asimilasi, struktur masalah sudah sesuai dengan struktur berpikir (skema)
yang dimiliki oleh siswa. Sehingga stimulus tersebut dapat diinterpretasi secara langsung oleh
siswa. Dalam hal ini terjadi pengintegrasian stimulus ke dalam skema yang sudah dimiliki.
Ketika struktur masalah belum sesuai dengan skema yang dimiliki, maka akan terjadi proses
modifikasi skema lama atau pembentukan skema baru sehingga struktur masalah dapat
diintegrasi ke skemanya. Dalam proses pemecahan masalah, kedua proses, asimilasi dan
akomodasi bisa terjadi secara bersama-sama.
Untuk masalah yang strukturnya kompleks, maka akan sulit terjadi asimilasi atau
akomodasi. Karena itu harus dilakukan pemecahan struktur masalah ke bagian-bagian yang
lebih sederhana sedemikian hingga proses asimilasi dan akomodasi dapat berlangsung.
Pemecahan masalah ke bagian-bagiannya yang lebih sederhana ini disebut sebagai proses
analitik. Dalam penelitian ini juga akan menggunakan proses analitik berkaitan dengan
asimilasi dan akomodasi untuk melihat terjadinya penalaran kovariasional pseudo.
Proses asimilasi dan akomodasi berlangsung sampai terjadi kondisi equilibrium.
Ketika seseorang telah memperoleh penyelesaian, namun belum puas dengan penyelesaian itu
(karena masih dirasakan ada kekurangan), maka pada diri orang tersebut masih terjadi
disequilibrium. Dengan kondisi ini akan mendorong seseorang untuk mengadakan refleksi
(pengecekan kembali) terhadap jawaban yang sudah diperolehnya. Sebaliknya, ketika
seseorang telah puas dengan jawabannya, maka proses berpikir orang tersebut sudah terjadi
kondisi equlibrium.
Asimilasi dan akomodasi merupakan suatu proses, karena itu dimungkinkan adanya
ketidaksempurnaan. Dalam hal ini ketidaksempurnaan asimilasi atau akomodasi tidak
diimbangi oleh disequilibrasi (kecurigaan terhadap jawaban), sehingga tidak terjadi refleksi.
Ketika sudah memperoleh jawaban, seseorang sudah merasa puas. Hal ini yang mendominasi
proses berpikir pseudo.
Adanya berpikir pseudo dalam pemecahan masalah matematika telah banyak dikaji
(Vinner, 1997; Lithner, 2000; Leron, 2005; dan Pape, 2004), namun kajian tersebut belum
sampai pada terjadinya proses berpikir pseudo. Karena itu, dalam penelitian ini, mengkaji
terjadinya proses berpikir pseudo mahasiswa dalam memecahkan masalah kovariasi (disebut
penalaran kovariasional pseudo) berdasarkan kerangka kerja asimilasi dan akomodasi.