You are on page 1of 11

Tahapan Dalam Karya Ilmiah

A. Pendahuluan
Suatu karya ilmiah (scientific paper) adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang
memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau
sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh
masyarakat keilmuan. Terdapat berbagai jenis karangan ilmiah, antara lain laporan
penelitian, makalah seminar atau simposium, artikel jurnal, yang pada dasarnya kesemuanya
itu merupakan produk dari kegiatan ilmuwan. Data, simpulan, dan informasi lain yang
terkandung dalam karya ilmiah tersebut dijadikan acuan (referensi) bagi ilmuwan lain dalam
melaksanakan penelitian atau pengkajian selanjutnya. Di perguruan tinggi, mahasiswa
dilatih untuk menghasilkan karya ilmiah, seperti makalah, laporan praktikum, dan skrispsi
(tugas akhir). Yang disebut terakhir umumnya merupakan laporan penelitian berskala kecil
tetapi dilakukan cukup mendalam. Sementara itu makalah yang ditugaskan kepada
mahasiswa lebih merupakan simpulan dan pemikiran ilmiah mahasiswa berdasarkan
penelaahan terhadap karya-karya ilmiah yang ditulis pakar-pakar dalam bidang persoalan
yang dipelajari. Penyusunan laporan praktikum ditugaskan kepada mahasiswa sebagai
wahana untuk mengembangkan kemampuan menyusun laporan penelitian. Dalam beberapa
hal ketika mahasiswa melakukan praktikum, ia sebetulnya sedang melakukan “verifikasi”
terhadap proses penelitian yang telah dikerjakan ilmuwan sebelumnya. Kegiatan praktikum
didesain pula untuk melatih keterampilan dasar untuk melakukan penelitian.

B. Tahapan Dalam Karya Ilmiah

1. Pendahuluan Karya Ilmiah

a. Judul Karya Ilmiah


Dalam judul karya ilmiah sebaiknya sudah mengambarkan apa yang telah
diteliti. Dalam penetapan judul pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, jika penelitian itu bersifat kualitatif judul bisa dirumuskan dari perasan hasil
temuan yang telah ada. Sebaliknya jika penelitian itu bersifat kuantitatif, maka judul
telah ditentukan secara deduktif dan menggambarkan masalah yang akan diteliti.
Apapun proses penetapan judul yang dilakukan (induktif atau deduktif) maka
hendaknya judul jangan terlalu luas cakupannya atau sebaliknya terlalu sempit.
Judul yang terlalu luas, misalnya, Pengumuman Kabinet Baru dan Reaksi Pasar.
Demikian juga judul penelitian juga jangan bersifat simbolik, terlalu abstrak atau
mungkin puitis. Misalnya judul “Masjid dan Pasar”, mungkin maksudnya dialektika
antara moralitas dan sistem perdagangan bebas, tetapi judul semacam ini, disamping
terlalu simplistik juga terlalu luas. Judul yang baik, diluar memperlihatkan korelasi
antara variable secara jelas, juga, mencerminkan arah penelitian yang akan
dilakukan.
Judul yang terlalu sempit seperti “Pengaruh Profesionalisme Guru terhadap
Hasil Belajar Siswa Kelas Satu Sekolah Mengah Atas Negeri 56 di Jakarta. Judul
semacam ini disamping terlalu sempit cakupannya, juga tidak problematik sebagai
bahan penelitian. Tanpa penelitian pun sudah diketahui bahwa profesionalisme guru
akan memiliki pengaruh atas hasil belajar siswa. Jadi, dalam pembuatan judul, di
luar harus diperhatikan skopenya, yang lebih penting adalah apakah judul telah
mencerminkan masalah yang membutuhkan penelitian.

b. Latar Belakang Masalah.

Meskipun tidak ada rumusan baku bagaimana latarbelakang penelitian harus


dibuat, namun isi pokok dari latarbelakang adalah membangun argumen: mengapa
penelitian itu penting untuk dilakukan. Tentu saja arti “penting” disini bukan
menurut pengertian peneliti yang subyektif, tetapi harus dilihat dari kepentingan
yang lebih luas dan obyektif. Misalnya, dari segi akademik mungkin akan
melahirkan teori baru dan/atau membatalkan teori lama. Sedangkan dari kepentingan
yang lebih pragmatik akan dapat memecahkan masalah (problem solving) yang
sedang dihadapi masyarakat, misalnya. Dengan demikian masalah penelitian bukan
hanya bermula dari sensitifitas peneliti terhadap fenomena sosial yang ada, tetapi
juga, adanya kesenjangan fakta sosial yang ingin diketahui atau dipecahkan. Yang
jelas masalah penelitian bukan semata-mata didasarkan interest peneliti yang
subyektif.

Dalam membangun argumen mengapa penelitian itu perlu dilakukan bisa saja
terinspirasi oleh hasil penelitian orang lain, data-data statistik, hasil bacaan jurnal
penelitian, studi pustaka, pengamatan yang menceritakan terjadinya kesenjangan
antara yang “seharusnya” (das sollen) dengan fakta-fakta sosial “yang ada” (das
sein), misalnya. Yang terpenting, sekali lagi, latarbelakang hendaknya berisikan
argumentasi mengapa penelitian itu perlu dilakukan.

Masalah lain yang secara teknis biasanya disampaikan dalam latar belakang
adalah apakah penelitian yang akan dilakukan dimungkinkan untuk dilaksanakan:
baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya. Bisa saja problem penelitian yang
dikemukakan sangat menarik tetapi dari segi waktu dan biaya tidak mungkin
dilaksanakan.

c. Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada dasarnya sangat berkaitan dengan tujuan dan sifat
penelitian yang akan dilakukan. Artinya perumusan masalah sangat tergantung
dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai dan jenis penelitian yang akan
dilakukan. Sementara bentuk perumusan masalah dapat berupa pertanyaan atau
berbentuk peryataan. Jika tujuan penelitian itu bersifat deskriptif (to describe),
misalnya, maka bentuk pertanyaannya biasanya dirumuskan dengan pertanyaan
“apakah” (what), tetapi jika jenis penelitiannya bersifat eksplanasi (to explain), maka
perumusan masalahnya biasanya didahului oleh pertanyaan “mengapa” (why) atau
sejauhmana (how). Tentu saja kententuan ini bukan rumus matematis. Apa yang
dikemukakan dalam rumusan masalah sebenarnya berupa pertanyaan-pertanyaan
yang ingin ditemukan jawabannya dalam penelitian yang akan dilakukan. Sementara
hal-hal yang dapat dipilih sebagai masalah antara lain: kontribusi terhadap khasanah
ilmu pengetahuan; menindaklanjuti temuan-temuan sebelumnya; dan mencari
jawaban dari (sesuatu) masalah dan sebagainya. Dan yang lebih penting pertanyaan-
pertanyaan yang dikemukakan dalam perumusan masalah minimal harus menyatakan
hubungan antar dua gejala, apa yang akan diteliti harus dapat ditiliti secara empiris
dan dikemukakan secara eksplisit.1

Sebenarnya ada beberapa prinsip perumusan masalah yang lazim digunakan


dalam penelitian kualitatif seperti dirumuskan Moleong (1998): Pertama, fungsi
perumusan masalah pada dasarnya sekedar untuk arahan, bimbingan, atau acuan
untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Sedangkan masalah yang sebenarnya
baru mungkin ditemukan ketika peneliti sudah mulai melakukan pengumpulan data.
Kedua, jika penelitian yang dilakukan bukan memverifikasi teori (kuantitatif),
melainkan upaya untuk menemukan teori subtanstif (kualitatif), maka masalah yang
dirumuskan akan berfungsi sebagai patokan untuk analisa data atau menjadi hipotesa
kerja. Ketiga, rumusan masalah mungkin akan terdiri dari dua faktor atau lebih. Ada
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada waktu merumuskan masalah: (1)
adanya dua faktor atau lebih: (2) faktor-faktor itu dihubungkan dalam suatu
hubungan yang logis atau bermakna (3) hasil menghubungkan itu mungkin berupa
pertanyaan yang membutuhkan jawaban atau membutuhkan pemecahan masalah.
Inilah yang biasanya disebut sebagai tujuan penelitian. Keempat, dalam upaya untuk
membatasi studi dalam perumusan masalah harus konsisten dengan paradigma yang
digunakan. Kelima, rumusan masalah yang dibangun harus jelas dan tegas. Keenam,
rumusan masalah: (1) dapat berbentuk deskriptif atau tanpa pertanyaan penelitian; (2)
dapat secara langsung menghubungkan faktor-faktor hubungan logis dan bermakna:
(3) secara gabungan antara bentuk diskriptif (pernyataan) dan pertanyaan. Ketujuh,
unsur lain yang biasanya berkaitan erat dengan perumusan masalah adalah
“latarbelakang masalah”, “tujuan penelitian” dan “metode penelitian”. Meskipun
tidak ada acuan baku apakah latarbelakang masalah harus dipisahkan atau digabung
dengan rumusan masalah: atau rumusan masalah harus dipisah atau digabung dengan
tujuan penelitian dan seterusnya, tetapi yang paling lazim, antara latarbelakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan metode penelitian adalah
dipisahkan. Kedelapan, untuk mempertajam perumusan masalah diperlukan hasil
kajian pustaka yang relevan. Kesembilan, dalam merumuskan masalah sebaiknya

1
Yulfita Rahardjo, Metodologi Penelitian, PPK-LIPI,2004. hal.2.
mempertimbangkan faktor bahasa dalam pengertian siapa yang dibidik sebagai
pembacanya.2

d. Tujuan Penulisan /Penelitian

Seperti dikemukakan diatas bahwa antara rumusan masalah dan tujuan


penelitian idealnya merupakan satu kesatuan. Seperti diketahui ada beberapa tujuan
penelitian yang biasanya digunakan dalam ilmu social: To explore, jika tujuan
penelitiannya hanya untuk penjelajahan: To describe, jika tujuan penelitiannya hanya
untuk menggambarkan realitas sosial: To explain, jika tujuan penelitiannya untuk
menjelaskan (hubungan sebab-akibat) atau membuktikan suatu teori tertentu: To
understand: jika tujuan penelitiannya hanya untuk memahami realitas yang akan
diteliti: To predict, jika tujuan penelitiannya untuk meramalkan dst4. Yang paling
penting dalam tujuan penelitian adalah mengemukakan secara jelas apa yang ingin
dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Baik dari kepentingan pragmatik
(problem solving) maupun dalam kepentingan akademik (kemungkinan
ditemukannya bangunan konsep atau teori). Semua itu akan sangat tergantung pada
jenis penelitian yang akan dilakukan: apakah penelitian akademik, penelitian
kebijakan, penelitian aksi atau penelitian jenis lainnya. Biasanya yang sering
ditemukan dalam research design adalah ketidakkonsistenan antara rumusan
masalah, tujuan penelitian dan kesimpulan. Seringkali kesimpulan yang dimuat sama
sekali tidak ada hubungannya dengan tujuan yang telah dirumuskan. Karena itu yang
perlu dilihat secara cermat dan teliti adalah apakah antara rumusan masalah, tujuan
penelitian dan kesimpulan sudah terjadi konsistensi dan koherensi.

e. Kegunaan Penulisan /Penelitian

Kegunaan penelitian sebenarnya lebih diperuntukkan untuk menjawab


kebutuhan yang lebih pragmatik daripada kebutuhan akademik. Karena itu rumusan
yang dikemukakan, jika penelitian itu akan menjanjikan rekomendasi, maka

2
Lexi J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kulitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2008), cet ke XXV
h. 36
rumusannya harus menyakinkan dan berhasil-guna seperti yang telah ditawarkan
dalam tujuan penelitian. Dalam banyak kasus antara tujuan dan kegunaan penelitian
tidak jarang dijadikan satu, meskipun umumnya dipisahkan.

f. Tinjauan Pustaka/ Kerangka Teori


Tinjauan pustaka atau kerangka teori berisi prinsip-prinsip teori yang
memengaruhi dalam pembahasan. Prinsip-prinsip teori itu berguna untuk membantu
gambaran langkah dan arah kerja. Kerangka teori akan membantu penulis dalam
membahas masalah yang sedang diteliti. Artinya, kerangka teori harus bisa
memberikan gambaran tata kerja teori itu. Tinjauan pustaka pada dasarnya berisi
kajian literatur yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan dan
kegunaannya untuk menunjang rencana penelitian yang diajukan. Sementara
kerangka teori merupakan masalah yang paling pokok dalam sebuah penelitian.
Dengan penelitian peneliti dapat menemukan teori baru atau sekedar membuktikan
kebenaran teori lama. Dalam penelitian eksplanasi sangat jelas jika sebuah hipotesa
itu terbukti dengan cara verifikasi dan/atau falsifikasi yang terus menerus, maka
posisinya bisa naik menjadi theory, middle theory, atau mungkin malah menjadi
grand theory. Sebaliknya dalam penelitian kualitatif (grounded), posisi teori bukan
untuk diuji tetapi sekedar untuk membantu memahami atau menafsirkan realitas
sosial yang akan diteliti. Misalnya, mengapa masalah agama dan etnis merupakan
ikatan sub-primordial yang paling sensitif dalam provokasi politik dan konflik sosial.
Jika tujuan kita melakukan penelitian adalah untuk memahami, maka di sini jelas
tidak ada verifikasi teori. Posisi teori hanya dimanfaatkan untuk membantu
memahami atau menafsirkan gejala sosial yang ada. Sebaliknya dalam penelitian
kuantitatif (survei) yang bersifat eksplanasi atau prediksi maka posisi teori sudah
sangat jelas. Dengan demikian cukup jelas bahwa rumusan penelitian merupakan
satu-kesatuan dengan tujuan penelitian, sedangkan tujuan penelitian akan sangat
menentukan jenis teori yang akan digunakan. Jika tujuan penelitian hanya
mendiskripsikan realitas sosial, maka posisi teori hanyalah diposisikan untuk
memahami atau menafsirkan temuan-temuan lapangan. Sebaliknya jika tujuan
penelitiannya untuk eksplanasi, maka posisi teori untuk verifikasi (pembuktian teori).
Dalam posisi ini teori didefinisikan; pertama, merupakan serangkaian proposisi
antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, menerangkan secara
sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep
dan bagaimana bentuk hubungannya .3 Misalnya, kita akan meneliti gejala bunuh diri
yang sangat marak di Gunung Kidul, Propinsi DIY, dengan menggunakan teori
bunuh dirinya Emile Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan antara kohesi
sosial dengan pemahaman keagamaan. Menurut temuan Durkheim orang Protestan
atau orang yang sendirian ternyata lebih mudah melakukan bunuh diri dibandingkan
orang Katolik dan orang yang sudah berkeluarga. Alasannya hirarkhi gereja yang
ketat dalam agama Katolik dan keterikatan orang yang sudah berkeluarga, membuat
kohesi sosial lebih kuat dibandingkan agama Protestan dan orang yang sendirian
yang ikatan sosialnya lebih longgar. Namun ternyata orang-orang yang banyak
bunuh diri di Wonosari, Gunung Kidul, Yogjakarta, itu malah orang-orang Katolik
atau Islam yang sudah berkeluarga, misalnya. Jadi disini uji teori telah dilakukan,
termasuk mencari jawab atas tidak berlakunya teori Durkheim dan kemungkinan
pengaruh variable lain.

Sementara fungsi teori sebagai prediksi, misalnya, telah ditemukan sebuah


hitungan bahwa dalam situasi krisis ekonomi yang sekarang ini setiap pertumbuhan
negatif 1 persen akan ada 400.000 orang yang menganggur. Dengan demikian jika
sekarang pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi 15 %, paling tidak akan ada 6 juta
angkatan kerja baru yang menganggur. Di sini posisi teori sebagai peramal realitas
sosial sangatlah jelas.

Yang biasanya agak membingungkan bagi peneliti, ketika harus meletakkan


posisi teori sebagai alat untuk memahami atau menafsirkan realitas sosial, yang
umumnya dikerjakan dalam penelitian kualitatif. Misalnya, mengapa etnis Minang
itu lebih memiliki bakat kewirausahaan dibandingkan etnis lain. Apakah hal ini
berkaitan dengan sistem kekerabatan yang matrilineal: dimana laki-laki secara
kultural memiliki posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris, atau ada faktor lain.
Sehingga seorang laik-laki akan dianggap “cacat” secara kebudayaan jika mereka
tidak merantau guna mempertegas identitas diri. Dengan kata lain merantau bukanlah
3
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (eds), Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 37
sekedar upaya mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga, merupakan tugas
kebudayaan. Namun, mengapa keberhasilan suku ini cenderung ada plafonnya (sulit
menjadi pengusaha besar) dibandingkan etnik Cina. Lalu kita menggunakan teori
Max Weber tentang afinitas antara kesadaran keagamaan (sekte Calvin) dengan
tingkah laku ekonomi, misalnya. Disini jelas posisi teori bukan untuk diverifikasi
tetapi sebagai usaha pemahaman (verstehen) atas realitas yang ada.

Dengan demikian dalam bentuk penelitian apapun, dalam tahap tertentu,


penggunaan teori tetap diperlukan. Hanya saja posisi teori pada dasarnya sangat
ditentukan oleh tujuan penelitiannya. Jika dalam penelitian itu antara lain untuk
menguji hipotesa, maka jelas bahwa posisi teori adalah sebagai alat pembuktian.
Sebaliknya jika penelitian itu bersifat deskriptif maka posisi teori untuk membantu
mengkategorisasikan data atau memahami fenomena sosial yang ada. Yang paling
sering ditemui, meskipun teori sudah disusun sedemikian rupa, tetapi teori ternyata
tidak dibunyikan dalam analisa. Seolah-olah bab teori menjadi bagian yang terpisah
sama sekali dengan temuan lapangan.

g. Masalah Hipotesa

Dalam penelitian kuantitatif hipotesa pada dasarnya merupakan hasil deduksi


dari teori atau preposisi, yang lebih spesifik sehingga lebih siap untuk diuji secara
empiris. Misalnya kita ingin menjelaskan mengapa perilaku agresif lebih menonjol
pada suatu lingkungan masyarakat tertentu jika dibandingkan dengan masyarakat
lainnya. Untuk menjelaskan gejala itu kita membutuhkan teori agresif yang salah satu
preposisinya menyatakan bahwa frustasi menyebabkan tindakan agresif. Tentu saja
proposisi semacam ini masih membutuhkan hipotesa yang lebih rinci, misalnya
tindakan agresif lebih tinggi pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi daripada tingkat kepadatan penduduk yang lebih
rendah’. Di sini sangat jelas bahwa hipotesa dalam penelitian kuantitatif adalah untuk
memverifikasi teori.4

4
ibid, hal. 43
Sedangkan dalam penelitian kualitatif hipotesa (kerja) lebih merupakan
semacam petunjuk jalan, yang bisa disusun sebelum dan/atau ketika penelitian itu
sedang berlangsung. Tujuannya bukan untuk diverifikasi melainkan untuk dijadikan
pedoman kerja, yang setiap saat bisa berubah jika ada temuan-temuan yang berbeda
dengan asumsi semula. Jadi dalam penelitian kualitatif hipotesa bisa dipungut
dijalan.

h. Metodologi Penelitian
Penelitian ilmiah harus menggunakan metode atau teknik penelitian. Dengan
kata lain dapat dikatakan sebagai sebuah paparan mengenai apa yang dilakukan
dalam suatu penelitian (langkah-langkah) yang dilakukan sebelum melakukan suatu
penelitian dan dikemas dalam bagian metode penelitian. Menurut Moloeng metode
adalah seperangkat langkah yang tersusun secara sistematis. Adapun jenisnya
diantaranya seperti deskriptif, komparatif, eksperimen, sensus, survai, kepustakaan,
dan metode penelitian tindakan kelas (PTK)5.

i. Instrumen

Seperti dijelaskan diatas bahwa instrumen pokok dalam penelitian kuantitatif


adalah kuestioner, sedangkan dalam penelelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
Oleh karena itu dalam research design sudah harus disertakan kuestionernya.
Sayangnya karena terbatasnya tempat tentang bagaimana tehnik membuat kuestioner
yang baik tidak dapat diuraikan disini. Namun yang jelas dalam kuestioner harus ada
variabel yang akan diukur termasuk penurunan indikatornya harus konsisten dengan
hipotesa dan tujuan yang telah dirumuskan. Demikian juga untuk penelitian kualitatif
harus sudah disertakan cheklistnya dan pedoman wawancara meskipun wawancara
yang akan dilakukan tak berstruktur.

2. Isi Karya Ilmiah

5
Lexi J. Moloeng, Op. Cit, hal. 4
a. Analisis atau Pembahasan
Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam penelitian kuantitatif seringkali
menggunakan statistik yang salah satu fungsinya adalah untuk menyederhanakan
data penelitian untuk lebih mudah difahami. Setelah data dianalisa dan informasi
yang lebih sederhana diperoleh, hasil-hasilnya harus diinterpretasikan untuk mencari
makna dan implikasi yang lebih luas dari hasil-hasil penelitian6
Sebagaimana kita ketahui dalam analisa kuantitatif ada beberapa teknik
analisa, seperti: Description (Distribution; numerical and graphical, Central
tendency and dispersion) : Association (Correlation; simple, partion and multiple,
Analisysis of variance and covariance; Regression : simple, partial and multiple:
Causation (factor analysis, path analysis, regression: simple, partial and multiple:
Inference (sample statistic to population parameter, sample difference to
population differences. Semua pemilihan analisa data itu sangat tergantung pada
tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Sedangkan dalam penelitian kualitatif kita
kenal teknik analisa: Description; Theory generation; Analytic induction,
Grounded theory (open and axial coding), Categorizing and connecting, From
everyday typications to typologies Untuk analisa kuantitatif telah dipermudah dengan
adanya program SPSS. Sedangkan dalam analisa penelitian kualitatif, dapat
7
menggunakan analysis interactive model yang dikembangkan Miles dan Huberman
seperti mulai data collection and timing, data display, data reduction and analysis,
hingga conclution. Yang terpenting dalam analisa data harus ada konsistensi antara
tujuan penelitian, hipotesa yang telah dirumuskan dengan teori yang telah digunakan.
Jangan sampai teori yang telah dirumuskan tidak digunakan untuk menganalisa data.

3. Penutup Karya Ilmiah

a. Simpulan dan Saran

6
Sofian Effendi dan Chris Manning, Prinsip-prinsip Analisa Data, dalam Masri Singarimbun dan Soffian
Effendi (ed) , Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 264.
7
Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis, Second Edition, Sage Publications
International Educational and Professional Publisher, Thousand Oaks London, New Delhi, 1994, p.12.
Pada bagian ini berisi simpulan yang diperoleh dari penelitian yang
dilakukan. Simpulan yang dimaksud adalah gambaran umum seluruh analisis dan
relevansinya dengan hipotesis yang sudah dikemukakan. Simpulan ini diperoleh dari
uraian analisis, interpretasi, dan deskripsi yang tertera pada bab analisis. Selanjutnya,
saran-saran penulis tentang metodologi penelitian lanjutan, penerapan hasil
penelitian, dan beberapa saran yang mempunyai relevansi dengan hambatan yang
dialami selama penelitian.

C. Penutup
Dalam penulisan karya ilmiah, penulis membagi kepada tiga fase fase pertama
pendahuluan yang terdiri dari judul, latar belakang, rumusan masalah, manfaat dan kegunaan,
Tinjauan pustaka serta metodelogi penelitian. Fase kedua yaitu Isi karya ilmiah yang terdapat
didalamnya yaitu hasil analisis atau pembahasan masalahan yang diteliti dan fase terakhir
yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Demikian makalah ini kami susun. Meskipun kami sadari masih banyak terdapat
kekurangan baik dalam segi penulisan maupun uraian materi. Namun kami berharap makalah
ini dapat bermanfaat, guna memotivasi diri dalam mempelajari lebih mendalam mengenai
Penulisan karya ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan tahapan dalam penulisan karya
ilmiah.

Daftar Pustaka

Rahardjo. Yulfita, Metodologi Penelitian, PPK-LIPI, 2004


Moloeng. Lexi J., Metodologi Penelitian Kulitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2008, cet
ke XXV
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (eds), Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989

You might also like