You are on page 1of 76

Goosebumps - Pembalasan Kurcaci Ajaib

R.L. Stine

PDF & ePub by fotoselebriti.net


1

KLAK, klak, klak.

Bola pingpong itu melompat-lompat di lantai ruang bawah tanah. "Yes!" seruku ketika
melihat Mindy pontang-panting mengejar bola itu.

Udara sore di bulan Juni itu gerahnya minta ampun. Ini hari pertama liburan musim
panas. Dan Joe Burton baru saja melayangkan satu lagi pukulan mematikan.

Joe Burton itu aku. Umurku dua belas. Dan bagiku tak ada yang lebih asyik daripada
melancarkan smes tajam yang tak terjangkau oleh kakak perempuanku, dan menonton ia
kocar-kacir mengejar bola.

Jangan salah sangka. Aku bukannya sok jago. Aku cuma mau memperlihatkan kepada
Mindy bahwa ia tidak sehebat yang disangkanya.

Ibarat kucing dan anjing, aku dan Mindy memang sering bertengkar. Dan kenyataannya,
dibanding dengan anggota keluarga yang lain, aku memang berbeda.

Mindy, Mom, dan Dad berambut pirang, bertubuh kurus dan jangkung. Sedang aku
berambut cokelat, bertubuh agak gemuk dan pendek. Mom bilang itu karena aku belum
memasuki masa pertumbuhan yang pesat.

Oke, aku memang pendek. Bahkan aku mengalami kesulitan untuk melihat ke seberang
net. Tapi, meski dengan sebelah tangan terikat pun aku tetap bisa mengalahkan Mindy.

Aku senang sekali kalau menang. Sebaliknya Mindy marah sekali kalau kalah. Dan ia
selalu ingin menang sendiri. Setiap kali aku membuatnya pontang-panting, segera saja ia
menuduhku curang.

"Joe, bolanya tidak boleh ditendang ke seberang net," keluh Mindy ­ambil meraih bola ke
bawah sofa.

"Jangan ngawur!" seruku. "Semua Juara pingpong juga melakukannya. Itu yang disebut
Soccer Slam!"

Mindy memutar-mutar bola mata. "Oh, yang benar saja," ia bergumam. "Giliran aku yang
serve."

Mindy memang aneh. Mungkin ia anak umur empat belas yang paling aneh di seluruh
kota.

Misalnya saja, di kamarnya Mindy mengatur buku-bukunya menurut abjad-berdasarkan


nama pengarangnya. Ada-ada saja, kan?
Dia membuat kartu untuk setiap buku, yang disusunnya di laci paling atas di meja
belajarnya. Seperti di perpustakaan umum saja.

Kalau bisa, ia tak keberatan memangkas bagian atas buku-bukunya supaya semua
berukuran sama.

Pokoknya ia serba rapi. Baju-baju di lemarinya disusun sesuai urutan warna pelangi.
Pertama merah. Lalu jingga. Terus kuning. Setelah itu hijau, biru, dan ungu.

Kalau makan malam, ia menghabiskan makanannya mengelilingi piring, searah jarum


jam. Pertama-tama ia makan bubur kentangnya. Kemudian kacang polong. Sesudah itu
daging gulung. Kalau sampai ada satu kacang polong nyasar ke bubur kentangnya, ia
pasti langsung sewot!

Aneh. Benar-benar aneh.

Aku sama sekali berbeda. Aku sih cool. Tidak serius seperti kakakku. Kalau mau, aku
bisa lucu sekali. Teman-teman bilang, aku pelawak. Malah semua orang bilang begitu.
Kecuali Mindy.

"Ayo cepat serve, dong!" seruku. "Apa aku harus tunggu sampai tahun depan?!"

Mindy bersiap-siap. Setiap kali serve ia berdiri di tempat yang persis sama. Dengan gaya
persis sama. Sampai-sampai jejak kakinya membekas di karpet.

"Sepuluh-delapan, dan aku serve," kata Mindy. Ia selalu menyebutkan skor sebelum
melakukan servis. Lalu tangannya terayun ke belakang.

Kutempelkan betku ke mulut seperti mikrofon. "Ia mengambil ancang-ancang," aku


berkomentar. "Penonton terdiam. Suasana menjadi tegang."

"Joe, jangan macam-macam," hardiknya. "Aku tak bisa konsentrasi."

Aku paling suka berlagak jadi komentator olah raga. Sebaliknya Mindy paling jengkel
melihatku begitu.

­Tangannya kembali terayun ke belakang. Ia melemparkan bola, dan...

"Awas! Labah-labah!" teriakku. "Di pundakmu!"

"Ihhhhh!" Mindy langsung melepaskan betnya dan sibuk menepuk-nepuk pundak. Bola
jatuh ke bidang permainannya sendiri.

"Hah, ketipu!" seruku. "Tambah satu angka untukku. "


"Enak saja!" balas Mindy gusar. "Kau curang, Joe." Dengan saksama ia merapikan T-
shirt pinknya, memungut bola dan memukulnya melewati net.

"Aku mungkin curang, tapi tak kehilangan daya tarik!" sahutku. Aku berputar di tempat
dan menghajar bola yang melayang ke arahku. Tapi bolanya mengenai bidang
permainanku dulu sebelum melewati net.

"Foul!" teriak Mindy. "Kau selalu bikin kesalahan."

­Aku menudingnya dengan bet. "Huh, ngotot amat, sih," kataku. "Ini kan cuma
permainan. Sekadar bersenang-senang."

"Kau akan kalah. Itu yang membuatku senang."

Aku angkat bahu. "Memangnya kenapa? Kalah-menang kan tidak jadi soal."

"Siapa bilang?" Sekali lagi ia memutar-mutar bola matanya. Aku yakin suatu hari
matanya bakal copot dari kepalanya!

Aku menirunya. Kuputar bola mata ke belakang hingga mataku tinggal putihnya saja.
"Hebat, ya?"

"Lucu sekali, Joe," gumam Mindy. "Lucu sekali. Hati-hati, bisa-bisa matamu tidak balik
lagi lho. Tapi mungkin lebih baik begitu!"

"Huh, norak!" sahutku. "

Mindy kembali memijakkan kaki di tempat yang sama.

"Ia mengambil posisi serve," aku berkata sambil menempelkan bet ke mulut. "Ia
kelihatan gugup. Ia..."

"Joe!" Mindy merengek. "Jangan ribut terus, dong!"

Ia melemparkan bola ke udara, mengayunkan bet, dan-

"Idih!" seruku. "Di hidungmu kok ada gumpalan hijau?"

Kali ini Mindy tidak tertipu. Bola memantul satu kali sebelum melewati net.

Aku menerjang maju dan menghajar dengan ujung betku. Bola melayang tinggi, jatuh di
sudut ruang bawah tanah. Di antara mesin cuci dan pengering.

Mindy mengejar bola, kakinya yang panjang dan kurus bergerak lincah. "Hei, Buster
mana? Biasanya ia tidur-tiduran di samping pengering."
Buster anjing kami, jenis Rottweiler besar berbulu hitam. Kepalanya saja sebesar bola
basket. Ia paling senang tidur-tiduran di kantong tidur tua yang kami gelar di pojok ruang
bawah tanah. Terutama saat kami main pingpong di situ.

Orang yang pertama kali melihat Buster pasti ngeri. Tapi tidak lama. Karena setelah itu
Buster mulai menjilat-jilat dengan lidahnya yang panjang dan basah. Atau telentang di
lantai minta perutnya digaruk-garuk. Sesungguhnya dia memang anjing ramah. Cuma
badannya saja yang besar.

"Di mana dia, Joe?" Mindy menggigit bibir.

"Pasti di sekitar sini," sahutku. "Kenapa sih kau selalu kuatir soal Buster? Beratnya lebih
dari lima puluh kilo. Ia bisa jaga diri."

Mindy langsung mengerutkan kening. "Ia tidak bisa apa-apa kalau sampai tertangkap
oleh Mr. McCall. Masih ingat ancaman Mr. McCall ketika Buster menginjak-injak
tanaman tomatnya?"

Mr. McCall tetangga kami. Ia tinggal di rumah sebelah. Buster senang sekali bermain-
main di pekarangan keluarga McCall. Ia suka tidur di bawah pohon elm yang besar. Dan
menggali lubang-lubang kecil-kadang-kadang Juga lubang-lubang besar- di seluruh
halaman. Sering juga ia mencari makanan kecil di kebun sayur mereka.

Tahun lalu Buster menggali semua tanaman kol kepunyaan Mr. McCall. Tak lupa
melahap terongnya yang paling besar untuk hidangan pencuci mulut.

Itu sebabnya Mr. McCall begitu benci pada Buster. Ia mengancam bahwa kalau sekali
lagi memanen tanpa izin tanaman di pekarangannya Buster bakal dijadikan pupuk.

Dad dan Mr McCall selalu bersaing ketat untuk menjadi tukang kebun paling hebat di
kota kami. ­Mereka benar-benar serius. Malah bisa dibilang tergila-gila pada berkebun.

Menurutku berkebun itu memang cukup mengasyikkan. Tapi teman-temanku bilang


berkebun cuma cocok untuk orang jompo.

Setiap tahun Dad dan Mr. McCall adu hebat di pameran perkebunan. Biasanya sih Mr.
McCall yang keluar sebagai juara pertama. Tapi tahun lalu Dad dan aku memenangkan
hadiah pertama untuk tomat-tomat kami.

Mr. McCall benar-benar jengkel. Ketika nama Dad diumumkan, muka Mr. McCall
langsung semerah tomat-tomat kami.

Jadi tahun ini Mr. McCall bertekad bulat hendak membalas kekalahannya. Sejak
beberapa bulan lalu, ia mulai menimbun pupuk tanaman dan obat pembasmi hama.
Dan ia menanam sesuatu yang belum pernah ditanam orang lain di North Bay. Melon
aneh berwarna jingga-hijau yang dinamakan casaba.

Dad bilang Mr. McCall melakukan kesalahan besar. Menurutnya, casaba itu tak mungkin
tumbuh lebih besar dari bola tenis. Soalnya musim tanam di Minnesota terlalu singkat.

"Mr. McCall bakal kalah," ujarku dengan yakin. "Tomat-tomat kita pasti menang lagi
tahun ini. Dan berkat ramuan tanahku yang khusus, kali ini ukurannya bakal sebesar bola
pantai!"

"Kepalamu yang sebesar bola pantai," balas Mindy.

­Aku menjulurkan lidah dan membelalakkan mata. Menurutku itu jawaban yang paling
pantas.

"Siapa yang serve?" tanyaku. Saking lamanya aku sampai lupa.

"Masih aku," Mindy menyahut sambil mengambil posisi seperti biasa.

Tapi sekonyong-konyong terdengar langkah berdebam-debam di tangga di belakang


Mindy

"Siapa itu?" seru Mindy

Dan kemudian sebuah kepala muncul di belakangnya. Mataku nyaris copot.

"Waw!" pekikku. "Itu... McCall!"

­2

"JOE!" ia berseru. Suaranya menggelegar. Lantai bergetar ketika ia memasuki ruang


bawah tanah.

Wajah Mindy langsung pucat pasi. Ia menggenggam gagang bet erat-erat, begitu erat
hingga buku-buku tangannya putih semua. Ia berusaha membalik untuk melihat ke
belakang, tapi tidak sanggup bergerak. Kakinya tidak mau beranjak dari posisi serve-nya.

McCall mengepalkan kedua tangannya. Rupanya ia benar-benar marah.

"Awas kau. Kali ini aku pasti menang. Mana betku ?"

"Dasar brengsek!" seru Mindy. "A-aku sudah tahu itu bukan Mr. McCall. Aku sudah tahu
itu cuma si Moose."

Moose putra Mr. McCall sekaligus sahabat karibku. Nama sebenarnya Michael tapi
semua orang memanggilnya Moose. Termasuk orang tuanya.
Moose anak paling besar di kelas enam. Juga yang paling kuat. Pahanya sebesar batang
pohon. Begitu pula lehernya. Dan ia cerewet sekali. Persis ayahnya.

­Mindy tidak suka pada Moose. Menurutnya Moose Jorok dan norak.

Menurutku sih, ia benar-benar cool.

"Hei, Joe! Mana betku?" Otot-otot lengan Moose menggembung ketika ia hendak
merebut bet yang sedang kupegang.

Aku cepat-cepat mundur. Tapi tangan Moose yang besar langsung menepuk pundakku.
Saking kerasnya, rasanya kepalaku hampir copot.

"Aduuuuh!" aku memekik.

Tawa Moose meledak. Seketika seluruh ruangan seperti terguncang-guncang. Lalu ia


mengakhirinya dengan bersendawa.

"Moose, kau benar-benar memuakkan," Mindy mengomel.

Moose menggaruk-garuk rambut cokelatnya yang dipotong cepak. "Wah, thanks,


Mindy:"

"Thanks untuk apa?"

"Untuk ini." Tangan Moose melesat maju, dan secepat kilat ia merebut bet dari tangan
Mindy:

Moose langsung mengayun-ayunkan bet itu. Hampir saja mengenai lampu gantung. "Siap
untuk pertandingan sungguhan, Joe?"

Ia melempar bola ke atas dan mengambil ancang-ancang dengan lengannya yang berotot.
Pang! Bola melesat melintasi ruangan, memantul pada dua dinding, lalu melayang
melewati net dan terbang ke arahku.

"Foul!" teriak Mindy: "Itu tidak boleh."

­"Wow, keren!" seruku Aku berusaha memukul bola, tapi meleset. Servis Moose
memang hebat.

Moose kembali melakukan serve. Kali ini bola langsung menghantam dadaku.

Plokkk!

"Hei!" aku memekik. Kugosok-gosok dadaku yang perih.


"Hebat juga, ya?" katanya sambil nyengir.

"Yeah. Tapi seharusnya kena meja dulu," protesku kesal.

Moose mengacungkan tinjunya. "Super Moose!" soraknya lantang. "Sekuat pahlawan


super!"

Moose memang agak urakan. Mindy bilang tingkahnya seperti orang gila. Tapi
menurutku, ia cuma terlalu bersemangat.

Aku melakukan serve sementara ia masih mengacung-acungkan tangan.

"Hei! Curang!" teriaknya. Moose menerjang meja dan menghantam bola. Bolanya
langsung gepeng. Gepeng seperti panekuk putih yang mungil.

Aku mengerang. "Ini bola kelima belas dalam sebulan ini."

Kuraih panekuk kecil itu dan melemparkannya ke peti plastik biru bekas botol susu. Peti
itu sudah penuh bola pingpong gepeng. Jumlahnya lusinan.

"Hei! Kurasa kau baru saja memecahkan rekormu sendiri!" kataku.

"Yeah!" seru Moose. Ia naik ke atas meja pingpong dan melompat-lompat. "Super
Moose!" teriaknya.

­" Berhenti, brengsek!" Mindy menjerit. "Mejanya bisa rusak tuh!" Ia menutupi wajah
dengan kedua tangan karena tak berani melihat.

"Super Moose! Super Moose!"

Meja pingpong bergoyang-goyang. Lalu berderak, tidak kuat menahan berat badan
Moose. Ini sudah kelewatan. "Hei, turun! Turun, Moose!" aku membentak.

"Kalau aku tidak mau, kalian mau apa?" tantangnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi kraaak yang keras sekali.

"Awas!" Mindy menjerit. "Mejanya ambruk!"

Moose segera melompat turun. Ia menghampiriku, kedua tangan terangkat lurus ke


depan, seperti zombie dalam film TV Killer Zombie from Planet Zero. "Sekarang kau
akan mati!"

Lalu ia menerjang maju.


Moose menabrakku, aku mundur terhuyung-huyung dan jatuh ke lantai semen yang
berdebu.

Moose cepat-cepat menduduki perutku. "Katakan 'Tomat Moose’ yang terbaik!'"


perintahnya padaku. Kemudian ia bergoyang-goyang di dadaku.

"To... tomat," Aku terengah-engah. "Tomat... Moose... aku... tidak... bisa... napas...
sungguh... ampun." .

"Katakan!" Moose memaksa. Ia mencengkeram leherku dengan tangannya yang kuat lalu
mulai mencekik.

"Uhhhhh" aku mengerang. Aku tidak bisa bernapas. Aku tidak bisa bergerak.

­Kepalaku terkulai lemas.

"Moose!" kudengar jeritan Mindy. " Lepaskan! Lepaskan! Apa yang kaulakukan?"

­3

­"M-MIIINDY" aku mengerang.

Moose melepaskan tangannya dari leherku dan berdiri pelan-pelan.

"Apa yang kaulakukan? Apa yang kaulakukan?" Mindy menjerit-jerit. Ia berlutut di


sampingku dan membungkuk. Dengan lembut disibakkannya rambut yang menutupi
mataku.

"Ka-kau..." aku tergagap lalu batuk-batuk.

"Apa, Joe? Ada apa?" Mindy bertanya lembut.

"Kau KETIPU!" seruku. Serta-merta aku tertawa terbahak -bahak.

Mindy langsung berdiri. "Kurang ajar kau!"

"Ketipu! Ketipu!" aku" bersorak riang.

"Yeah, keren, dude!" ujar Moose sambil nyengir.

Aku cepat-cepat bangkit dan mengajaknya ber-high five. "Ketipu! Ketipu!" kami
bersenandung tanpa henti.

Mindy menyilangkan tangannya yang kurus sambil melotot ke arah Moose dan aku.
"Tidak lucu!" hardiknya. "Mulai sekarang aku takkan percaya apa pun yang kaukatakan.
Tidak akan!"
"Oh aku jadi ngeriiii!" sahutku. Kubiarkan kedua lututku beradu. "Lihat, nih? Kakiku
sampai gemetaran.

"Aku juga," Moose menimpali sambil menggoyang-goyangkan badan.

"Kalian seperti anak kecil!" seru Mindy. "Ya sudah, aku pergi saja."

Ia menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana dan langsung angkat kaki. Tapi
sebelum mencapai tangga tiba-tiba ia berhenti. Pada dinding dekat tangga terdapat
jendela yang menghadap ke pekarangan depan Mr. McCall.

Sejenak Mindy memandang ke luar. Ia memicingkan mata, lalu memekik, "Ya, ampun!"

"Mau balas dendam, ya?" tanyaku sambil mencibir. "Tak ada apa-apa di luar. Sori, aku
tidak bakal ketipu!"

"Itu Buster!" seru Mindy. "Ia ada di sebelah!"

''Hah?'' Aku langsung berlari ke jendela. Dan melompat ke atas kursi Terburu-buru
kusibakkan gorden yang tipis.

Ya. Buster memang ada di sana. Ia sedang duduk di tengah-tengah kebun sayur Mr.
McCall. "Wah, gawat. Mau apa ia ke sana?" aku bergumam.

"Di kebunku? Awas kalau ia berani macam-macam!" seru Moose sambil menghampiri
jendela. Ia mendorongku dari kursi supaya bisa melihat lebih jelas. "Kalau ayahku
memergokinya, ia bakal dicincang dan dijadikan pupuk!" .

"Ayo! Cepat!" Mindy menarik tanganku "Buster harus kita bawa pergi. Sebelum ayah
Moose menangkapnya!"

Moose, Mindy, dan aku berlari menaiki tangga dan menyerbu keluar lewat pintu depan.
Kami melintasi pekarangan, menuju rumah keluarga McCall.

Di batas pekarangan, kami melompati deretan bunga petunia berwarna kuning dan putih
yang ditanam Dad. Deretan bunga itu memisahkan pekarangan kami dari pekarangan
keluarga McCall.

Mindy mencengkeram lenganku erat-erat. "Buster mulai menggali!" pekiknya. "Ia bakal
merusak melonnya!"

Buster bekerja keras dengan kaki depannya yang kuat. Ia mengais tanah dan tanaman-
tanaman hijau. Tanah dan daun-daun beterbangan ke segala arah.

"Stop, Buster!" Mindy berusaha membujuknya. "Berhenti!"


Buster terus menggali.

Moose melirik arloji plastiknya. "Sebaiknya kalian segera menyingkirkan dia dari sini.
Sudah hampir jam enam. Sebentar lagi ayahku keluar untuk menyiram tanaman!"

Terus terang saja aku benar-benar ngeri kalau harus berurusan dengan Mr. McCall.
Tubuhnya tinggi besar. Tampangnya galak. Dibandingkan ayahnya Moose tak ada apa-
apanya!

"Buster, kemari!" Mindy dan aku memanggil-manggil anjing itu.

Tapi Buster tidak menghiraukan seruan-seruan kami.

­"Jangan diam saja. Kenapa anjing konyol itu tidak kalian tarik saja?" tanya Moose.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak bisa. Ia terlalu besar. Dan sangat keras kepala. Ia
takkan mau mengalah."

Aku meraih ke balik T-shirt mencari peluit anjing yang selalu tergantung di leherku.
Peluit yang terbuat dari logam mengilap itu tak pernah kulepas, baik siang maupun
malam. Aku bahkan memakainya kalau tidur. Peluit itulah satu-satunya cara untuk
mengendalikan Buster

"Jam enam kurang dua menit," Moose memperingatkan sambil menatap arlojinya.
"Ayahku akan keluar pukul enam tepat!"

"Tiup peluitnya, Joe!" seru Mindy

Kutempelkan peluit ke mulut. Lalu kutiup keras-keras Moose ketawa. "Peluitnya rusak,"
katanya. "Aku tidak dengar apa-apa."

"Itu peluit anjing," ujar Mindy dengan nada menggurui. "Nadanya tinggi sekali. Anjing
bisa mendengarnya, tapi manusia tidak. Nah, betul, kan ?"

Ia menunjuk Buster. Anjing itu berhenti menggali dan menegakkan telinga.

Sekali lagi kutiup peluit. Buster menggoyang-goyangkan badan untuk membersihkan


tanah yang menempel pada bulunya.

"Tiga puluh detik lagi" Moose memberi tahu kami.

­Aku meniup sekali lagi.

“Yes!”
Perlahan-lahan Buster berjalan ke arah kami. Ia melangkah sambil mengibas-ngibaskan
ekornya yang pendek.

"Cepat, Buster!" desakku. "Cepat!" Kedua tanganku kurentangkan lebar-lebar.

"Buster-lari-jangan melenggang!" Mindy memohon.

Terlambat.

Kami mendengar bantingan keras. Pintu rumah Moose membuka.

Dan Mr. McCall melangkah ke luar.

"JOE! Kemari. Cepat!" ayah Moose menghardikku.

Ia melangkah ke kebun. Perutnya yang buncit berayun-ayun di balik T-shirt birunya.


“Ayo kemari, Nak - sekarang juga!"

Mr. McCall pensiunan tentara. Ia terbiasa main perintah. Dan semua perintahnya harus
dituruti.

Aku tidak berani membangkang. Buster ikut berjalan di sampingku.

“Anjing itu habis dari pekaranganku lagi, ya?"

Mr. McCall bertanya sambil menatapku dengan tajam. Darahku serasa membeku.

"Tidak, S-Sir!" aku tergagap-gagap. Buster duduk di sebelahku sambil menguap lebar.

Aku tidak biasa berbohong. Kecuali pada Mindy. Tapi ini masalah hidup-mati bagi
Buster. Aku harus menyelamatkannya. Ya, kan?

Mr. McCall berjalan ke lajur sayur-mayur. Ia mengelilingi tomat-tomatnya, jagungnya,


terongnya, melon casabanya. Setiap batang dan setiap daun diperiksanya dengan.
saksama.

Wah, gawat, pikirku. Masalahnya bisa berbelit-belit.

­Akhirnya setelah puas melakukan inspeksi, ia menoleh ke arah kami. Matanya


memicing. "Kalau anjing itu tidak masuk kemari, kenapa ada tanah berserakan di mana-
mana?"

"Ehm, ba-barangkali karena angin?" sahutku pelan. Tak ada salahnya mencoba. Siapa
tahu ia percaya.
Moose tegak sambil berdiam diri di sampingku. Kalau di dekat ayahnya ia memang
mendadak bisu.

"Ehm, Mr. McCall," Mindy bicara. "Kami berjanji Buster takkan masuk ke pekarangan
Anda lagi. Sungguh!" Kemudian ia mengembangkan senyumnya yang paling manis.

Mr. McCall merengut. "Baiklah. Tapi, awas! Kalau ia sampai kepergok mengendus-
endus melon-melonku, aku akan memanggil polisi, biar ia dibawa ke tempat
penampungan binatang. Aku tidak main-main."

Aku menelan ludah. Aku tahu ia tidak main-main. Mr. McCall tidak pernah main-main.

"Moose!" panggilnya dengan ketus. "Ambil slang dan siram casaba ini! Kan sudah
kubilang tanaman ini harus disiram paling tidak lima kali sehari."

"Sampai nanti," Moose bergumam padaku. Ia menundukkan kepala, bergegas ke


belakang rumahnya untuk mengambil slang.

Sekali lagi Mr. McCall mendelik ke arah kami. Kemudian ia masuk ke rumah dan
membanting pintu.

­"Barangkali karena angin?" Mindy kembali memutar-mutar bola mata. "Wo­ itu alasan
paling bagus yang pernah kudengar," komentarnya sambil tertawa mengejek.

"Oh, yeah? Paling tidak aku masih bisa menjawab," sahutku. "Dan jangan lupa, Buster
selamat berkat peluitku. Kau cuma cengar-cengir saja."

Mindy dan aku pulang. Sepanjang jalan kami terus berdebat. Tapi segera diam ketika
terdengar erangan tertahan. Bunyi itu membuat bulu kudukku berdiri. Buster pun
langsung menegakkan telinga.

"Si-siapa itu?" bisikku.

Sedetik kemudian kami mendapatkan jawabannya. Dad muncul dari samping rumah. Ia
membawa kaleng besar yang biasa dipakainya untuk menyiram tanaman.

Dad memakai baju berkebun kegemarannya - sepatu kets yang sudah berlubang, celana
pendek kotak-kotak dan T-shirt merah dengan tulisan 'Berkebun? Ogah la yauw!’

Dad mengerang lagi. Ini aneh. Soalnya Dad selalu riang gembira saat berkebun. Biasanya
ia bersiul-siul, senyum-senyum, dan asyik menceritakan lelucon-lelucon yang tidak lucu
pada tanaman-tanamannya.

Tapi hari ini tidak.


Pasti ada yang tidak beres.

"Anak-anak..." Dad menghampiri kami dengan langkah gontai. "Dari tadi aku mencari
kalian"

"Dad-ada apa?" tanya Mind­

­Dad memegang kepalanya dan menggoyangkannya dari kiri ke kanan. Ia mengambil


napas dalam-dalam.

"Aku punya kabar buruk untuk kalian."

­5

­"ADA apa, Dad?" seruku. "Ada apa?"

Dad menjawab dengan suara parau. "Aku menemukan... lalat buah di tomat kita! Di
tomat kita yang paling besar. Si Ratu Merah!"

Dad mengusap keningnya yang basah karena keringat. "Bagaimana ini bisa terjadi? Aku
sudah menyemprotnya. Menyiramnya. Memangkas daun-daunnya. Minggu ini saja sudah
dua kali."

Dad menggeleng-geleng sedih. "Oh, tomat-tomatku yang malang. Kalau si Ratu Merah
sampai rusak akibat lalat buah itu, aku terpaksa mengundurkan diri dari pameran
perkebunan!"

Mindy dan aku bertukar pandang. Aku tahu pikiran kami sama. Tingkah orang-orang
dewasa di sini mulai agak aneh.

"Dad, lalatnya kan cuma seekor," ujarku.

"Satu saja sudah cukup, Joe. Cuma satu ekor lalat buah. Dan harapan kita untuk
memenangkan hadiah pertama bisa dikubur dalam-dalam. Kita harus melakukan sesuatu.
Sekarang juga."

"Bagaimana dengan pembasmi hama yang baru?" ­aku mengingatkannya. "Yang dikirim
minggu lalu dari katalog Green Thumb."

Mata Dad langsung berbinar-binar. Dengan sebelah tangan ia mengusap rambutnya yang
acak-acakan. "Ya, Bug Be Gone!" serunya.

Serta-merta ia berlari ke garasi. "Ayo, anak-anak!" panggilnya. "Mari kita coba!"


Semangatnya bangkit lagi.

Mindy dan aku berlari mengikutinya.


Dad mengeluarkan tiga kaleng pembasmi hama dari kotak di bagian belakang garasi.
Label ketiga kaleng itu bertulisan "Ucapkan Selamat Tinggal Hama dengan Bug Be
Gone," dihiasi gambar kumbang sedang menggotong koper sambil meneteskan air mata
dan melambaikan tangan.

Mindy dan aku masing-masing mendapat satu kaleng. “Ayo, kita usir lalat buah itu!" seru
Dad. Kami kembali ke pekarangan.

Kami melepaskan tutup kaleng Bug Be Gone di tangan masing-masing. "Satu, dua tiga...
semprot!"

Dad memberi aba-aba.

Dad dan aku menyemprot tanaman-tanaman tomat yang terikat pada tiang-tiang kayu di
tengah pekarangan.

Mindy tidak menyemprot. Dia sedang sibuk meneliti zat apa saja yang terkandung dalam
pembasmi hama itu.

"Ada apa ini?" Mom keluar lewat pintu belakang. Mom memakai baju yang biasa
dipakainya di rumah. Celana pendek kotak-kotak kepunyaan Dad, dipadu T-shirt biru
yang dihadiahkan Dad sepulang dari perjalanan dinas beberapa tahun lalu. T-shirt itu
bertulisan "I Mist You!" -Kusiram Dirimu. Biasa, lelucon kebun yang tidak lucu.

"Hai, Sayang,” balas Dad. "Aku dan anak-anak sedang membantai lalat buah. Mau
nonton?”

Mom tertawa, sudut matanya berkerut-kerut. "Kedengarannya menarik juga. Tapi aku
harus menyelesaikan rancangan untuk kartu ucapan.”

Mom seorang seniman grafis. Ia berkantor di lantai atas rumah kami. Dengan
komputernya Mom bisa membuat gambar-gambar yang bagus sekali. Matahari terbenam,
pegunungan, dan bunga-bunga.

"Makan malam jam setengah delapan. Oke?"

"Oke," jawab Dad. Mom kembali masuk ke rumah. "Nah, anak-anak. Mari kita
selesaikan misi penting kita!"

Sekali lagi Dad dan aku menyemprotkan obat pembasmi hama ke tanaman tomat dan
labu. yang tumbuh di lajur sebelahnya. Mindy memicingkan mata Ia membidik si Ratu
Merah. Lalu menyemprot satu kali.

Seekor lalat buah mengepak-ngepakkan sayap dan jatuh ke tanah. Mindy tersenyum puas.
"Tembakan jitu!" Dad memuji. Ia menepuk punggung Mindy dan aku. "Ini harus
dirayakan!" katanya. “Aku punya ide bagus! Bagaimana kalau kita pergi sebentar ke
Lawn Lovely?"

"Aduh, tidak usah, deh," Mindy dan aku mengeluh berbarengan.

­Lawn Lovely berjarak dua blok dari rumah kami. Di toko itulah Dad biasa membeli
hiasan untuk pekarangan. Ia paling suka berkunjung ke sana.

Dad tergila-gila pada dua hal: yang pertama, berkebun, yang kedua, hiasan taman. Saking
banyaknya hiasan taman, pekarangannya sendiri sampai tidak kelihatan lagi!

Pekarangan kami benar-benar ramai! Ada sepasang burung flamingo berwarna pink yang
terbuat dari plastik. Patung malaikat dari semen dengan sepasang sayap putih yang sangat
lebar. Bola krom pada pelataran perak. Satu keluarga sigung yang terbuat dari gips. Air
mancur dengan dua angsa yang sedang berciuman. Anjing laut yang melakukan atraksi
keseimbangan dengan bola di ujung hidung. Dan rusa dari gips yang sudah rompal di
sana-sini. Ajaib, bukan?

Tapi Dad menyukai semuanya. Ia menganggap benda-benda itu sebagai karya seni. Yang
lebih gila lagi, setiap hari raya hiasan-hiasan itu dipakaikan baju. Topi kuno saat Thanks-
giving. Kostum bajak laut untuk kedua flamingo di malam Halloween. Topi tinggi
lengkap dengan janggut palsu untuk kedua angsa di hari ulang tahun Lincoln.

Mindy yang selalu rapi tentu saja tidak menyukai hiasan taman. Begitu juga Mom. Setiap
kali Dad membawa pulang hiasan baru, Mom pasti mengancam akan membuangnya ke
tong sampah.

"Dad hiasan-hiasan taman ini benar-benar memalukan!" keluh Mindy. "Semua orang
yang lewat pasti menoleh dan mengambil foto. Memangnya rumah kita obyek wisata!"

"Ah, jangan mengada-ada" sahut Dad. "Cuma satu orang yang mengambil foto."

Peristiwa itu terjadi hari Natal yang lalu. Waktu itu semua hiasan taman dijadikan anak
buah Sinterklas oleh Dad.

"Yeah. Dan foto itu akhirnya muncul di koran," Mindy berkomentar dengan kesal. "Siapa
yang tidak malu kalau begitu?­"

"Ah, menurutku hiasan-hiasan ini cukup bagus," ujarku. Siapa lagi yang membela Dad
kalau bukan aku.

Mindy cuma mengerut-ngerutkan hidung dengan kesal.

Aku tahu alasan sebenarnya Mindy tidak menyukai hiasan-hiasan taman. Yang
membuatnya sebal adalah cara Dad mengatur semuanya, yaitu tanpa aturan sama sekali.
Kalau saja Mindy yang menempatkan hiasan-hiasan itu, ia akan menaruhnya seperti
sepatu-sepatunya. Berderet rapi

"Ayo," Dad mendesak. Ia sudah berjalan ke trotoar. "Siapa tahu ada hiasan baru."

Kami tidak punya pilihan.

Mindy dan aku menyusuri trotoar di belakang Dad. Kami mengikutinya sambil berpikir-
biar sajalah. Sebentar lagi toh sudah waktu makan malam. Paling-paling kami cuma lihat-
lihat sebentar di toko, lalu pulang.

­Kami sama sekali tidak menyangka bahwa itulah awal petualangan paling mengerikan
seumur hidup kami.

­6

"KENAPA sih tidak naik mobil saja?" Mindy mengomel sementara kami menyusuri jalan
menanjak Summit Avenue, menuju Lawn Lovely. "Udaranya terlalu panas untuk jalan
kaki."

"Oh,. jangan mengeluh terus, Mindy. Jaraknya kan cuma dua blok. Sekalian
berolahraga," jawab Dad sambil berjalan dengan langkah panjang.

Mindy benar. Udaranya memang panas. Tapi kenapa ia mesti berkeluh-kesah segala?
Jarak dua blok kan tidak ada apa-apanya.

"Dibandingkan dirimu, aku lebih kepanasan lagi," aku menggodanya. Kemudian aku
membungkuk ke arah Mindy dan menggeleng-gelengkan kepalaku yang basah karena
keringat. "Betul, kan?"

Beberapa butir keringat mengenai T-shirt Mind. "Ih, dasar jorok!" ia memekik sambil
melompat mundur. "Dad! Suruh ia berhenti menggangguku."

"Kita sudah hampir sampai," sahut Dad. Suaranya seakan berasal dari tempat yang jauh
sekali. Sepertinya ia sudah asyik berkhayal mengenai hiasan taman yang akan dibelinya.

Di ujung blok aku melihat atap Lawn Lovely yang tinggi dan runcing. Atap itu
menjulang ke langit jauh lebih tinggi daripada atap rumah-rumah di sekitarnya.

Aneh benar toko itu, ujarku dalam hati. Lawn Lovely merupakan rumah tua berlantai tiga
yang menjorok ke dalam dari jalanan. Seluruh bangunannya dicat pink. Pink menyala.
Jendela-jendelanya diberi penutup yang dicat warna-warni. Tapi warnanya tidak cocok
satu sama lainnya. Rasanya ini satu alasan lagi kenapa Mindy tidak menyukainya.

Kondisi rumah tua itu juga tidak begitu baik. Papan-papan kayu di lantai beranda depan
sudah melengkung semua. Dan di situ juga ada lubang.
Musim panas lalu Mr. McCall kejeblos di situ. Ketika kami melewati tiang bendera di
pekarangan depan, kulihat Mrs. Anderson berdiri di depan garasi. Ia pemilik Lawn
Lovely yang tinggal di lantai dua dan tiga rumah itu.

Mrs. Anderson sedang berlutut di depan sekawanan flamingo plastik berwarna pink. Ia
melepaskan bungkus plastik setiap burung, lalu mengaturnya dalam deretan menyilang di
pekarangan.

Mrs. Anderson mengingatkanku pada seekor flamingo. Tubuhnya sangat kurus dan
pakaiannya selalu serba pink. Warna rambutnya pun mendekati pink. Mirip kembang
gula.

Lawn Lovely tidak menjual apa pun selain hiasan taman. Tupai dari gips. Patung-patung
malaikat yang sedang berciuman. Kelinci pink dengan kumis dari kawat. Cacing panjang
hijau dengan topi hitam kecil. Sekawanan bebek putih. Dan ratusan hiasan taman lainnya
yang tersebar memenuhi pekarangan, tangga beranda, dan lantai dasar rumah.

Dengan hati-hati Mrs. Anderson membuka bungkus plastik seekor flamingo, lalu -
ditaruhnya bersebelahan dengan seekor rusa. Ia mengamati sunannya, lalu menggeser
rusa dua senti ke kiri.

"Halo, Lilah," Dad menyapanya.

Mrs. Anderson tidak menyahut. Pendengarannya memang kurang baik.

"Halo, Lilah!" Dad mengulangi. Kali ini ayahku melingkarkan tangan ke sekeliling mulut
agar suaranya lebih keras.

Mrs. Anderson menoleh. Begitu melihat Dad, wajahnya langsung berseri-seri. "Jeffrey!"
serunya. "Apa kabar?"

Mrs. Anderson selalu ramah pada Dad. Kata Mom, Dad langganannya yang paling setia.
Barangkali juga satu-satunya langganannya!

"Baik, terima kasih," sahut Dad. Ia memandang berkeliling sambil menggosok-gosok


tangan penuh semangat.

Mrs. Anderson memasang flamingo yang terakhir, kemudian menghampiri kami.


Tangannya yang kotor diusapkan ke T-shirt pinknya.

"Ingin sesuatu yang khusus hari ini?" tanyanya.

"Rusa kami kesepian" Dad terpaksa berteriak, supaya Mrs. Anderson bisa mendengar.
"Dia butuh teman."
­"Ya ampun, Dad. Kita tidak butuh hiasan taman lagi," gerutu Mindy. "Mom pasti marah
nanti."

Mrs. Anderson tersenyum. "Oh, pekarangan bergaya Lawn Lovely selalu punya tempat
untuk satu hiasan lagi. Betul kan, Jeffrey?"

"Betul!!" Dad menegaskan.

Mindy cemberut. Untuk keseratus kalinya hari itu ia memutar-mutar bola mata.

Dad menghampiri sekawanan rusa gips bermata lebar yang berkumpul di pojok
pekarangan. Mindy dan aku mengikutinya.

Tinggi rusa-rusa itu sekitar satu setengah meter. Tubuh mereka yang cokelat kemerahan
penuh bintik-bintik putih. Sangat mirip dengan hewan aslinya. Dan juga sangat
membosankan.

Sejenak Dad mengamati rusa-rusa itu. Kemudian perhatiannya beralih ke tempat lain.
Sepasang kurcaci gendut berdiri di tengah pekarangan.

"Wah, wah, apa ini?" gumam Dad sambil tersenyum. Matanya berbinar-binar. Ia
membungkuk untuk mengamati kurcaci-kurcaci itu dari dekat.

Mrs. Anderson langsung bertepuk tangan. "Jeffrey, matamu memang jeli. Kau pintar
menilai hiasan taman!" serunya. "Aku sudah tahu kau pasti menyukai kurcaci-kurcaci ini!
Mereka buatan Eropa, lho. Pahatannya halus sekali."

Aku menatap kedua kurcaci ini. Mereka mirip orang tua berbadan kerdil. Tingginya tidak
sampai satu meter, tapi perutnya buncit. Mata mereka merah dan telinga mereka lebar.
Mulut mereka melengkung sehingga kelihatan seperti tersenyum lebar. Kepala mereka
ditutup rambut cokelat kasar.

Keduanya memakai baju lengan pendek hijau cerah, celana cokelat, dan topi tinggi
runcing warna jingga. Ditambah ikat pinggang hitam yang melingkari pinggang mereka
yang lebar.

"Wah, bagusnya!" puji Dad. "Lihatlah anak-anak. Mereka bagus sekali, bukan?"

"Lumayan," sahutku.

"Lumayan?" seru Mind­ "Mereka mengerikan! Jelek sekali! Tampangnya... jahat. Aku
benci mereka!"

"Hei, kau benar, Mindy," ujarku. "Mereka memang jelek. Persis sepertimu."
"Joe, kau memang..." Mindy mulai berkata. Tapi Dad segera menyela, "Kita ambil dua-
duanya!"

"Dad-jangan!" Mindy meraung. "Mereka jelek sekali. Beli rusa saja, deh. Atau flamingo.
Asal jangan kurcaci-kurcaci jelek ini. Coba lihat senyum mereka yang jahat. Mereka
terlalu seram!"

"Oh, jangan mengada-ada, Mindy. Mereka serasi sekali untuk pekarangan kita," kata
Dad. "Mereka bisa dijadikan hantu saat Halloween. Dan pada Hari Natal mereka akan
kupakaikan kostum Sinterklas Pasti mereka mirip peri-peri Sinterklas."

Dad mengeluarkan kartu kreditnya, lalu bersama Mrs. Anderson masuk ke toko untuk
mengurus pembayaran. "Tunggu sebentar," seru Dad pada kami.

"Ini hiasan taman paling jelek yang dibeli Dad," Mindy mengomel. "Benar-benar
memalukan. Mulai sekarang aku tidak mau mengajak teman-temanku ke rumah."

Kemudian ia menuju ke trotoar sambil mengentak-entakkan kaki karena kesal.

Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari kedua kurcaci itu. Mereka memang jelek.
Meski tersenyum, senyum mereka berkesan tidak ramah. Mata mereka yang berwarna
merah menyorot dingin.

"Hei! Mindy! Lihat, nih! Kurcacinya bisa bergerak!"

Mindy berpaling ke arahku.

Mendadak sepasang tangan yang kekar mencengkeram pergelanganku. Aku menggeliat-


geliat berusaha membebaskan diri

"Lepaskan!" aku memekik. "Lepaskan aku! Mindy-tolong!"

"Tu-tunggu!" sahut Mindy bergegas menghampiriku.

­7

DENGAN cepat Mindy melintasi pekarangan Ia melompati kawanan flamingo dan


berlari mengelilingi gerombolan rusa.

"Cepat!" aku mengerang. "Aku ditangkapnya!"

Tapi, ketika melihat Mindy mendekat dengan wajah pucat karena cemas, aku tidak tahan
lagi. Serta-merta aku tertawa terbahak-bahak.

"Ketipu! Ketipu!" aku memekik-mekik. Sambil menari-nari kujauhi sepasang kurcaci itu.
Mindy langsung melayangkan pukulan. Tapi meleset.
"Jadi kau percaya aku ditangkap kurcaci?" tanyaku geleng-geleng kepala. "Wah, kau
ternyata lebih bodoh dari yang kuduga selama ini!"

Mindy tidak sempat menyahut karena Dad sudah menuruni tangga beranda yang juga
dicat pink.

"Nah, sekarang kita bawa pulang mereka," katanya sambil nyengir lebar.

Dia berdiri di depan kedua kurcaci itu, menatap mereka dengan sinar mata bahagia. "Tapi
kita harus cari nama dulu untuk mereka." Semua hiasan taman Dad punya nama.

­Mindy mengeluh keras. Dad tidak menghiraukannya

Kepala salah satu kurcaci ditepuk-tepuknya.

"Yang ini kita panggil Hap saja. Soalnya ia kelihatan begitu happy! Biar aku yang bawa
Hap. Kalian bawa..."

Dad terdiam, dengan mata terpicing menatap kurcaci yang satu lagi. Gigi depan kurcaci
itu chipped-pecah-sedikit. "Chip. Yap, yang ini kita beri nama Chip."

Dad mengangkat Hap. "Wah, ternyata berat juga!" Sambil terhuyung-huyung ia menuju
ke trotoar.

Mindy menatap Chip. "Kau pegang kakinya," katanya padaku. "Aku kepalanya. Ayo.
Satu, dua, tiga... angkat!"

Aku membungkuk dan mengangkat kaki kurcaci itu.

"Oh!" Tanganku tergores sepatu bot merahnya.

"Jangan mengeluh terus," Mindy menegurku. "Kau masih beruntung. Coba lihat aku.
Ujung topi yang konyol ini menyenggol hidungku."

Dengan susah-payah kami menuruni bukit, mengikuti Dad.

Mindy dan aku berjalan pelan-pelan. "Aduh, jadi tontonan gratis, deh," Mindy
menggerutu lagi.

Memang benar. Dua anak cewek yang sedang bersepeda mendaki bukit, berhenti dan
menatap kami Lalu mereka meledak tertawa.

Wajah Mindy yang pucat jadi semerah tomat-tomat milik Dad. "Malunya takkan habis
sampai tua. Ayo, Joe. Cepat sedikit, dong."
Aku menggoyang-goyang kaki Chip supaya pegangan Mindy terlepas. Mindy langsung
marah-marah. "Jangan macam-macam, Joe," hardiknya. "Angkat kakinya lebih tinggi."

Ketika hampir tiba di rumah, Mr. McCall melihat kami menyusuri trotoar. Ia berhenti
memangkas semak-semak untuk mengamati iring-iringan.

"Beli hiasan taman lagi, Jeffrey?" serunya pada Dad. Aku mendengarnya tertawa pelan.

Mr. McCall selalu galak terhadap Mindy dan aku. Tapi dengan Dad ia cukup ramah.
Meski mereka selalu saling mengejek soal kebun masing-masing. Mrs. McCall
menyembulkan kepala dari pintu depan. "Wah, lucu sekali!" ujarnya. Ia mengamati kami
sambil tersenyum, lalu berpaling pada suaminya, "Adikmu menelepon, Bill."

Mr. McCall meletakkan gunting tanaman dan masuk ke rumahnya.

Kami menggotong. Chip melewati jalan mobil keluarga McCall dan menyusul Dad yang
sudah tiba di pekarangan kami.

"Sebelah sini!" Dad memberi instruksi sambil menaruh Hap di pojok. Di sebelah Deer-
lilah, rusa kami yang dinamai seperti nama Lilah-pemilik Lawn Lovely!.

Dengan sisa-sisa tenaga, Mindy dan aku menggotong Chip ke tempat Dad menunggu.
Kurcaci ­itu beratnya minta ampun. Jauh lebih berat dari hiasan-hiasan taman yang lain.

Mindy dan aku menurunkannya ke rumput, lalu kami ambruk di sampingnya.

Sambil bersiul-siul riang, Dad menaruh Chip di sebelah kiri rusa. Dan Hap di sebelah
kanannya.

Kemudian ia mundur sedikit untuk mengamati penempatan itu dari jauh. "Mereka
kelihatan gembira sekali!" katanya. "Ayo, kita kasih tahu Mom. Ia pasti senang melihat
kurcaci-kurcaci yang lucu ini!"

Dad bergegas melintasi pekarangan dan masuk ke rumah.

"Hei!" Moose memanggil dan segera berlari menghampiri kami. "Kalian beli hiasan
taman lagi, ya?"

Ia menghampiri kedua kurcaci dan mengerutkan kening. "Wow, jelek sekali," serunya
keras.

Moose membungkuk dan menjulurkan lidah kepada Hap. "Mau berkelahi, heh, Cebol?"
ia bertanya kepada patung kecil itu. "Nih! Makan, nih!" Ia berlagak memukul dada Hap..

"Sikat saja!" seruku.


Moose merangkul kurcaci itu dan memukul perutnya.

Aku berdiri. "Awas! Habis ini kau takkan bisa cengar-cengir lagi!" aku menghardik Chip.
Kutaruh kedua tanganku di leher si kurcaci dan pura-pura mencekiknya.

"Sekarang giliran aku!" Moose mengangkat kakinya yang berotot dan melayangkan
tendangan karate ke topi Hap. Patung gendut itu sempat oleng.

"Awas! Jangan macam:macam!" Mindy mewanti-wanti. "Nanti pecah, lho!"

"Oke" kataku. "Kalau begitu mereka kita gelitik saja!"

"Gelitik, gelitik!" Moose berseru sambil menggelitik ketiak Hap.

"Dasar kampungan," Mindy berkomentar. "Moose, kau benar-benar..."

Moose dan aku menunggu ejekan apa yang hendak dipakai Mindy kali ini. Tapi Mindy
malah menunjuk ke pekarangan Mr. McCall dan menjerit,

"Ya, ampun! Buster!"

Moose dan aku langsung berbalik dan melihat Buster kembali sedang mengais-ngais
tanaman Mr. McCall.

"Buster! Jangan!" teriakku.

Cepat-cepat kuraih peluit anjing yang tergantung di leherku lalu kutempelkan ke mulut.
Tapi sebelum aku sempat meniup, Mr. McCall sudah keluar dari rumahnya!

"Lagi-lagi anjing brengsek itu!" serunya sambil mengepal-ngepalkan tangan. "Ayo,


pergi! Hus!"

Buster merintih, berbalik, dan kembali ke pekarangan kami. Kepalanya merunduk,


ekornya terlipat di antara kedua kaki belakangnya.

Oh-oh, pikirku sambil mengamati wajah Mr. McCall yang merah karena marah. Kali ini
kami tidak bisa berkelit lagi.

­Tapi sebelum Mr. McCall mendamprat kami Dad membuka pintu depan. "Anak-anak,
kata Mom makan malam sudah hampir e siap."

"Jeffrey!" Mr. McCall berseru. "Kau sengaja menyuruh anjingmu kemari untuk
menginjak-injak melonku ?"

Dad nyengir lebar. "Bukan salah Buster!" sahutnya. "Ia mengira melonmu itu bola golf!"
"Yang kautanam itu tomat atau arbei?" balas ayah Moose.

"Kau tidak lihat tomat yang kubawa masuk kemarin?" jawab Dad tak mau kalah. "Aku
terpaksa pakai gerobak untuk mengangkutnya!"

Buster melompat-lompat di pekarangan. Seakan tahu dirinya baru saja selamat dari
masalah besar.

Kami menuju ke rumah. Tapi mendadak terdengar bunyi berdebam.

Aku segera membalik dan melihat Hap tergeletak di rumput. Buster sedang menjilat-jilat
wajahnya.

"Anjing nakal," Dad memarahinya. Kurasa Dad sebenarnya juga kurang senang pada
Buster, sama seperti Mr. McCall. "Kau menjatuhkan kurcaci itu, ya? Ayo, jangan dekat-
dekat!"

"Buster, kemari!" aku memanggilnya. Tapi Buster tidak menggubris, malah makin asyik
menjilat-jilat wajah Hap.

Kutempelkan peluit anjing ke bibir dan meniupnya satu kali. Buster mengangkat kepala
dan menegakkan telinga. Ia langsung melupakan kurcaci itu dan berjalan menghampiriku.

"Joe, coba angkat Hap, ya?" Dad berkata dengan jengkel.

Mindy memegang Buster. Aku meraih pundak kurcaci itu dan mendirikannya lagi.
Kemudian kuperiksa apakah ada yang rusak. Kaki. Tangan. Leher. Semua masih utuh.
Pandanganku beralih ke wajah Hap. Dan seketika aku tersentak.

Aku berkedip-kedip, lalu kembali menatap kurcaci itu.

"Ba-bagaimana mungkin?" gumamku tergagap-gagap.

­8

­SENYUM di wajah kurcaci itu lenyap.

Mulutnya menganga lebar seakan hendak menjerit.

"Hei...!" teriakku dengan suara parau.

"Ada apa?" seru Dad. "Ada yang rusak, ya?"

"Senyumnya!" sahutku kalang-kabut. "Senyumnya hilang! Sepertinya ia ketakutan!"


Dad langsung turun dari beranda dan bergegas menghampiriku. Moose dan Mr. McCall
juga ikut.

Mindy menyusul pelan-pelan. Mukanya cemberut. Ia pasti menyangka aku cuma


bercanda.

"Lihat!" seruku ketika semua sudah berkerumun di sekelilingku. "Aneh sekali!"

"Hahaha! Benar-benar kocak, Joe!" ujar Moose. Langsung saja ia menonjok pundakku.
"Lucu sekali."

"Hah?" Aku menatap patung kecil itu.

Hap sudah tersenyum lagi. Senyum konyol seperti semula. Raut mukanya yang ketakutan
hilang sama sekali.

Dad juga tertawa. "Kau memang pintar bersandiwara, Joe," katanya. "Kau berhasil
mengelabui kami semua."

"Barangkali anakmu itu berbakat jadi bintang film," ujar Mr. McCall sambil menggaruk-
garuk kepala.

"Aku tidak ketipu," Mindy berkoar. "Aku langsung tahu ia cuma iseng."

Sebenarnya apa yang terjadi? Aku sendiri bingung. Apakah cuma khayalanku bahwa
mulut Hap menganga lebar?

Mr. McCall berpaling pada Dad. “Begini, Jeffrey." katanya. "Aku prihatin soal anjingmu
itu. Kalau ia sekali lagi menerobos ke pekaranganku..."

"Kalau Buster sampai masuk ke pekaranganmu lagi, ia akan kami ikat sepanjang hari,"
Dad berjanji.

"Aduh, jangan," kataku. "Buster kan paling tidak suka diikat!"

"Sori," sahut Dad. "Aku tidak mau berdebat tentang ini. Ini kesempatan terakhir untuk
Buster," katanya sambil melangkah masuk.

Aku membungkuk dan membelai-belai kepala Buster. "Ini kesempatan terakhir untukmu"
aku berbisik ke telinganya. "Kau dengar? Kesempatan terakhir."

Keesokan pagi aku bangun dan melirik weker pada meja di samping tempat tidurku
Pukul delapan, hari Selasa. Hari kedua liburan musim panas.

Asyik!
­Cepat-cepat aku memakai kaus Vikings ungu-putih dan celana olahraga. Kemudian aku
bergegas menuruni tangga. Sudah waktunya memotong rumput.

Dad dan aku punya kesepakatan. Kalau aku memotong rumput sekali seminggu selama
musim panas, Dad akan membelikanku sepeda baru. Aku sudah tahu model sepeda yang
akan kupilih. Dua puluh satu gigi dengan ban yang benar-benar tebal. Sepeda gunung
paling keren yang pernah ada. Dengan itu aku bisa terbang melewati batu-batu besar!

Aku keluar lewat pintu depan dan menghadap matahari pagi. Sinarnya terasa hangat di
wajahku. Rumput di pekarangan masih basah dan berkilau-kilau karena embun

"Joe!" seseorang berseru dengan lantang. Itu suara Mr. McCall. "Cepat kemari!"

Mr. McCall sedang berdiri di kebun sayurnya. Urat nadi di pelipisnya tampak berdenyut-
denyut.

Oh-oh, pikirku sambil menghampirinya. Ada apa lagi sekarang?

"Ini sudah kelewatan," ia langsung menukas marah. "Kalau anjing kalian tidak diikat aku
akan memanggil polisi. Dan aku tidak main-main!"

Mr. McCall menunjuk ke tanah. Salah satu melon casabanya tergeletak, pecah
berantakan. Biji-biji melon berserakan di mana-mana. Dan hampir semua jeruknya habis
digerogoti.

Aku membuka mulut tapi tak ada suara yang keluar. Aku tidak tahu harus berkata apa.
Untung Dad segera muncul. Ia hendak berangkat ke kantor.

"Astaga, Bill! Kau minta saran soal berkebun dari anakku?" gurau Dad.

"Hari ini tidak ada kelakar," balas Mr. McCall ketus. Ia memungut sisa-sisa melon dan
menyodorkannya ke depan hidung Dad. "Lihat apa yang dilakukan anjingmu yang liar
itu! Sekarang melonku tinggal empat!"

Dad berpaling padaku. Raut mukanya jadi serius.

"Kan aku sudah memperingatkanmu, Joe! Sudah kubilang anjing itu harus kaujaga,
jangan sampai keluar dari pekarangan kita."

"Tapi ini bukan perbuatan Buster," aku memprotes. "Ia tidak suka melon, kok!"

Buster bersembunyi di balik kawanan flamingo. Telinganya terkulai lemas. Ekornya pun
terselip di antara kedua kaki belakangnya. Ia kelihatan bersalah.

"Hah, siapa lagi kalau bukan dia?" Mr. McCall menantang. .


Dad menggelengkan kepala. "Joe, ikat Buster di belakang. Sekarang juga!"

Aku sadar aku tidak punya pilihan. Aku tahu tak ada gunanya berdebat.

"Oke, Dad," gumamku lesu. Aku berjalan mengelilingi kawanan flamingo dan meraih
ikat leher Buster. Kutarik ia sampai ke pojok pekarangan belakang dan kusuruh ia duduk
di samping rumah-rumahan yang kami buatkan untuknya. "Duduk sini!"

­Aku memeriksa garasi dan menemukan seutas tali yang cukup panjang. Aku mengikat
Buster ke pohon ek di samping rumah-rumahannya. Buster merintih. Ia paling tidak suka
diikat begini.

"Sori, Buster," bisikku. "Aku tahu bukan kau yang makan melon itu."

Buster menegakkan telinga ketika Dad muncul untuk memeriksa. "Buster memang harus
diikat hari ini," katanya. "Tukang-tukang yang mau mencat rumah akan datang nanti sore
Aku tak mau Buster mengganggu mereka."

"Tukang cat?" aku bertanya dengan heran. Aku sama sekali tak tahu rumah kami mau
dicat lagi. Aku benci bau cat basah!

Dad mengangguk. "Mereka akan melapis cat kuning yang sudah kusam. Semua dinding
akan dicat putih, sedang bagian tepinya hitam."

"Dad, soal Buster..." aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

Dad langsung mengangkat tangan menyuruhku diam. "Aku harus berangkat sekarang.
Biarkan ia terikat begitu. Nanti kita bicarakan lagi."

Ini semua gara-gara Mr. McCall, pikirku. Dia yang salah! Aku menunggu sampai Dad
masuk ke mobil dan berangkat ke kantor. Dengan jengkel aku masuk ke garasi dan
mengambil mesin potong rumput. Aku mendorong mesin itu melewati bagian samping
rumah, menuju pekarangan depan. Mindy duduk membaca di beranda. Dengan gusar aku
mulai bekerja.

­"Aku kesal pada Mr. McCall!" seruku. Kudorong mesin potong rumput mengitari seekor
flamingo. Rasanya aku ingin membabat kakinya yang ceking. "Ia memang brengsek.
Mestinya keempat melon lainnya kuinjak-injak sekalian! Biar hancur semuanya, dan Mr.
McCall berhenti mengganggu kita!"

"Joe, jangan marah-marah melulu!" seru Mindy sambil mengalihkan pandangan dari
bukunya.

Selesai memotong rumput, aku berlari masuk dan mengambil kantong plastik besar untuk
memasukkan rumput yang sudah kupotong. Ketika keluar lagi, Moose sudah telentang di
rumput. Gelang-gelang plastik warna-warni berserakan di sekelilingnya.
"Hei, tangkap!" serunya. Serta-merta ia melemparkan gelang plastik biru ke arahku. Aku
langsung melepaskan kantong dan menangkap gelang itu.

"Boleh juga!" kata Moose bangkit. "Kita main lempar-lemparan, yuk? Topi-topi kurcaci
itu kita jadikan sasaran."

"Kenapa bukan kepala Mindy saja?" sahutku.

"Huh, dasar bocah," ejek Mindy. Ia berdiri dan melangkah ke pintu. "Aku mau cari
tempat tenang agar bisa membaca tanpa diganggu."

Moose memberiku sejumlah gelang. Ia melemparkan gelang ungu ke arah Hap.


Lemparannya tepat pada sasaran.

"Wow, hebat!" serunya.

Aku meraih dua gelang kuning, berputar-putar seperti atlet lempar cakram. Lalu
kulemparkan ke arah Chip. Keduanya membentur muka Chip dan jatuh ke rumput.

Moose tertawa. "Lemparanmu seperti cewek. Lihat, nih. Begini caranya!" Ia


mencondongkan tubuh ke depan dan melontarkan dua gelang. Lagi-lagi tepat pada
sasaran.

"Yes!" seru Moose. Ia mengembungkan otot-ototnya yang kekar. "Super Moose tetap
jaya!"

Kami bergantian melempar gelang-gelang yang tersisa. Moose berhasil mengalahkan


aku. Tapi cuma selisih dua angka-sepuluh lawan delapan.

"Ulang lagi!" aku menantangnya. "Ayo, kita bertanding sekali lagi!"

Aku bergegas menghampiri kedua kurcaci untuk mengambil gelang. Ketika aku
mengambil cincin- yang melingkar di topi Chip, mendadak aku terenyak.

Dan menahan napas.

Apa itu?

Kelihatannya seperti biji. Biji berwarna jingga dengan panjang sekitar dua senti.
Tersangkut di antara kedua bibir kurcaci itu

"EH, bukankah ini biji melon?" tanyaku dengan suara gemetar.


"Apa?" Moose menghampiriku dari belakang.

"Biji melon," kataku sekali lagi.

Moose menggelengkan kepala. Ia menepuk pundakku dengan tangannya yang besar.


"Kau salah lihat," katanya. "Ayo, kita main lagi."

Aku menunjuk mulut Chip. "Aku tidak salah lihat. Coba kaulihat sendiri?"

Moose ikut memperhatikan mulut Chip. "Yeah, Ada biji. Memangnya kenapa?"

"Itu biji melon casaba, Moose. Seperti ­biji-biji yang berserakan di kebun ayahmu."

Bagaimana biji casaba itu bisa sampai ke mulut Chip? Pasti ada penjelasan yang masuk
akal.

Aku memeras otak. Tak satu penjelasan pun terpikir olehku.

Aku menepis biji itu dari bibir si kurcaci dan memperhatikannya jatuh ke rumput.

Lalu kutatap wajah kurcaci yang nyengir lebar itu. Kutatap matanya yang dingin dan
datar.

­Ia membalas tatapanku. Aku merinding, padahal saat itu udara sudah mulai panas.

Bagaimana biji itu bisa sampai ke situ? aku bertanya-tanya. Bagaimana caranya?

­Malam itu aku bermimpi tentang melon. Aku bermimpi ada melon casaba tumbuh di
pekarangan kami. Melon itu tumbuh dan tumbuh dan tumbuh. Sampai lebih besar dari
rumah kami

Entah kenapa, aku terbangun di tengah mimpiku. Dengan terkantuk-kantuk aku meraih
weker. Ternyata baru pukul satu pagi.

Lalu kudengar suara melolong di luar rumah. Lolongannya panjang dan menyayat hati.

Cepat-cepat aku melompat dari tempat tidur dan bergegas ke jendela. Aku memandang
ke pekarangan depan yang gelap. Semua hiasan taman berdiri membisu.

Lolongan itu terdengar lagi. Lebih keras. Lebih panjang.

Rupanya Buster. Anjingku yang malang. Ia masih terikat di pekarangan belakang.

Aku menyelinap keluar dari kamar dan mengendap-endap di koridor yang gelap.
Suasananya sunyi. Perlahan-lahan aku menuruni tangga yang dilapisi karpet.
Sebuah anak tangga berderak ketika kuinjak. Aku tersentak.

Sedetik kemudian kudengar bunyi berderak lagi.

Lututku gemetaran.

Tenang saja, Joe, kataku dalam hati. Itu cuma bunyi tangga.

Sambil mengendap-endap aku melintasi ruang duduk yang gelap dan masuk ke dapur. Di
belakangku sesuatu mendesir pelan sekali. Jantungku langsung berdegup-degup.

Aku berbalik.

Tidak ada apa-apa.

Mungkin cuma khayalanku saja.

Aku maju dalam kegelapan. Meraih gagang pintu. Dan sekonyong-konyong sepasang
tangan yang kuat mencengkeramku dari belakang.

­
10

­"MAU ke mana kau?"

Mindy!

Aku menarik napas lega. Dan cepat membebaskan diri dari cengkeramannya.

"Aku lapar. Aku mau cari makanan kecil," bisikku sambil menggosok-gosok tengkuk.
"Melon milik Mr. McCall akan kusikat habis."

Aku pura-pura mengisi mulut sampai penuh dan mengunyah. "Hmm. Casaba. Aku mau
casaba lagi!"

"Joe! Jangan macam-macam!" Mindy berbisik kesal.

"Hei, aku cuma bercanda," kataku. "Buster melolong terus. Aku mau keluar sebentar
untuk menenangkannya."

Mindy menguap. "Kalau Mom dan Dad tahu kau keluar malam-malam begini..."

"Sebentar saja." Aku melangkah keluar. Udara malam yang lembab membuatku
merinding. Aku menatap langit yang tak berbintang.

Buster melolong-lolong di belakang.


"Tunggu, Buster," seruku dengan suara tertahan. "Aku datang."

Buster menjawab dengan rintihan.

Aku maju selangkah. Sesuatu melintas di rumput, membuatku langsung berhenti. Sambil
memicingkan mata aku memandang ke kegelapan di hadapanku. Dua sosok kecil tampak
bergegas di sisi rumah, menyeberangi pekarangan dan menghilang dalam kegelapan
malam.

Kelihatannya seperti berang-berang!

Berang-berang?

Ya, itu jawabannya! Berang-beranglah yang makan melon Mr. McCall! Rasanya aku
ingin membangunkan Dad dan memberitahunya saat itu juga. Tapi kemudian kuputuskan
untuk menunggu sampai esok pagi.

Perasaanku langsung jauh lebih enak. Berarti Buster bisa dilepas. Aku menghampiri
anjingku dan duduk di sampingnya, di rumput yang basah oleh embun.

"Buster," bisikku. “Aku sudah datang.”

Matanya yang cokelat tampak sedih. Kupeluk lehernya yang berbulu tebal. "Sebentar lagi
kau sudah bisa dilepas, Buster," aku berjanji. "Tunggu saja. Begitu Dad bangun aku akan
memberitahunya soal berang-berang itu."

Buster menjilat-jilat tanganku, seakan-akan berterima kasih. "Dan besok aku akan
mengajakmu jalan-jalan," bisikku. "Bagaimana? Setuju? Nah, sekarang tidur lagi, deh."

Aku kembali ke dalam rumah dan naik ke tempat tidur. Hatiku puas. Misteri melon
casaba sudah
kupecahkan. Masalah dengan Mr. McCall sudah selesai, pikirku.

Tapi ternyata aku keliru.

Masalah kami justru baru dimulai.

­"Kelewatan! Kelewatan!" Teriakan Mr. McCall memecahkan keheningan pagi,


membangunkanku dari tidur yang lelap.

Kugosok-gosok mata untuk mengusir kantuk. Kulirik weker di samping tempat tidurku.
Pukul setengah tujuh.

Ya ampun, kenapa sih ia berteriak-teriak begitu, persis orang kesurupan?


Aku turun dari tempat tidur dan bergegas menuruni tangga. Mom, Dad, dan Mindy sudah
berdiri di pintu depan. Semua masih pakai baju tidur.

"Ada apa?" tanyaku.

"Entahlah" sahut Dad. "Mr. McCall marah-marah. Ayo!"

Kami keluar satu per satu dan memandang ke pekarangan sebelah.

Mr. McCall memakai kimono bermotif kotak-kotak biru-putih. Ia berdiri di kebun


sayurnya, memegang-megang melon casabanya sambil berteriak-teriak gusar.

Moose dan ibunya berdiri di belakang Mr. McCall. Keduanya membelalakkan mata
sambil membisu. Mrs. McCall, yang biasanya ramah tampak mengerutkan kening.

Mr. McCall berpaling pada istrinya. "Hancur!" ia meraung." "Hancur semua!"

"Oh-oh" Dad bergumam. "Sebaiknya kita segera ke situ, Marion." Ia melintasi


pekarangan kami. Mom, Mindy, dan aku menyusul.

"Sabar, Bill," Dad berkata setenang mungkin ketika memasuki pekarangan tetangga
kami. "Tak ada yang pantas diributkan seperti ini."

"Sabar? Bagaimana aku bisa sabar?" teriak Mr. McCall. Urat nadi di pelipisnya
berdenyut-denyut.

Berang-berang, pikirku. Melon Mr. McCall dimakan berang-berang lagi semalam. Aku
harus memberi tahu Dad. Sekarang juga. Sebelum mereka menyalahkan Buster lagi.

Mr. McCall mendekap keempat melon casabanya.

"Aku keluar untuk menyiram casabaku, tapi ternyata... ternyata..." Ia terlalu marah untuk
menyelesaikan kalimatnya. Dengan. geram keempat melon itu disodorkannya ke hadapan
kami

"Hei!" seruku kaget.

Ini bukan perbuatan berang-berang.

Tidak mungkin.

Seseorang-dengan spidol hitam-menggambar wajah tersenyum pada keempat melon itu!

Mindy mendorongku ke samping agar dapat melihat lebih jelas.

"Joe!" pekiknya. "Keterlaluan. Tega kau berbuat begitu!"


­11

­"APA maksudmu?" Mr. McCall bertanya dengan nada mendesak.

"Ya, Mindy, apa yang kaumaksud?" Mom menimpali.

"Semalam aku melihat Joe menyelinap keluar," jawab Mindy. "Tengah malam buta. Ia
bilang mau menyikat habis semua melon yang masih tersisa."

Semua menatapku sambil membelalakkan mata. Termasuk Moose, sahabat karibku.


Wajah Mr. McCall sudah semerah tomat. Tangannya dikepal-kepal berulang kali.

Mereka menatapku seakan tidak percaya. Wajah-wajah tersenyum pada keempat melon
pun seolah memandang ke arahku.

"Tapi-tapi-tapi..." aku tergagap-gagap.

Sebelum aku sempat menjelaskan duduk perkaranya, Dad sudah meledak. "Joe, kau harus
menjelaskan persoalan ini. Kenapa kau menyelinap keluar di tengah malam buta?"

Wajahku terasa panas karena marah. "Aku keluar untuk menenangkan Buster," ujarku
tegas. "Ia melolong terus. Melon-melon itu sama sekali tidak kusentuh. Mana mungkin
aku berbuat begitu Aku cuma bercanda waktu aku bilang pada Mindy bahwa semuanya
mau kusikat habis!"

"Tapi ini tidak lucu!" Dad berseru dengan geram. "Kau dihukum tidak boleh keluar main
selama satu minggu."

"Tapi, Dad..." aku berusaha membela diri. "Bukan aku yang membuat gambar-gambar
itu!"

"Tambah satu minggu lagi!" katanya ketus. "Dan sudah sepantasnya kau memotong
rumput dan menyiram tanaman di pekarangan Mr. McCall selama satu bulan. Anggaplah
sebagai permintaan maaf."

"Tunggu dulu, Jeffrey,” Mr. McCall memotong. "Aku tidak mau anakmu-apalagi
anjingmu-menginjak pekaranganku lagi. Sampai kapan pun."

Ia menggosok-gosok salah satu melon casaba dengan telunjuknya yang besar untuk
menghilangkan corat-coret hitam. "Mudah-mudahan bisa hilang. Sebab kalau tidak,
Jeffrey urusan ini akan kubawa ke pengadilan. Dan percayalah, aku tidak main-main!"

­Dua jam setelah musibah melon, aku berbaring di lantai kamarku. Aku dihukum tidak
boleh keluar. Sementara di rumah tak ada yang bisa kulakukan untuk mengisi waktu.
Aku tidak bisa bermain dengan Buster di luar, soalnya tukang-tukang cat sudah mulai
bekerja.

Jadi aku cuma duduk di kamar dan membaca ulang semua buku komik Super Gamma
Man.

­Aku memesan gumpalan muntah palsu yang terbuat dari karet. Harganya lima dolar di
katalog Joker's Wild. Itu menghabiskan hampir seluruh uang saku mingguanku. Setelah
itu aku menyusup ke kamar Mindy, mengacak-acak isi lemari pakaiannya. Jadi, tak ada
lagi pakaian yang tersusun menurut warna pelangi.

Ketika selesai, ternyata waktu makan siang belum juga tiba.

Huh, hari ini betul-betul membosankan pikirku sambil turun ke lantai dasar.

"Tolong ambilkan cat yang kuning," suara Mindy terdengar dari ruang baca.

Aku mengendap-endap dan mengintip. Mindy dan sahabatnya, Heidi, duduk bersila di
lantai. Mereka sedang menghias T-shirt dengan cat khusus untuk tekstil.

Heidi hampir sama menjengkelkan seperti Mindy. Selalu saja ada yang tidak beres
baginya. Kalau udara tidak terlalu dingin, ya menurutnya terlalu panas. Atau perutnya
sakit. Atau ikatan tali sepatunya terlalu kencang.

Tanpa bersuara aku memperhatikan mereka bekerja. Heidi menggambar kalung perak
pada leher kucing ungu yang besar.

Mindy membungkuk, penuh konsentrasi. Dengan hati-hati ia menggambar sekuntum


bunga kuning.

Aku melompat maju! "Buuuuu!" teriakku.

"Yaiiiii!" Heidi memekik.

Mindy langsung berdiri, dan celana pendek merahnya langsung berlepotan cat kuning.
"Brengsek!" jeritnya. "Coba lihat apa yang kaulakukan!"

Dikorek-koreknya percikkan cat itu dengan kuku.

"Pergi sana, Joe," ia mengusirku. "Kami lagi sibuk."

"Aku tidak sibuk" sahutku. "Berkat dirimu, Tukang Ngadu."

"Salahmu sendiri, kenapa iseng menggambari melon-melon Mr. McCall," katanya ketus.
Ia menghitung bukti-bukti dengan jari sebelah tangan. "Kau bangun di tengah malam
buta. Kau keluar rumah. Dan kau bilang mau menyikat habis melon-melon itu."

"Aku cuma bercanda!" seruku. "Kau tidak punya selera humor, ya? Makanya, jangan sok
serius."

Heidi meregangkan kedua tangannya. "Huh, panasnya. Bagaimana kalau kita berenang
dulu? Nanti saja kita selesaikan baju-baju ini."

Mindy menoleh ke arahku. "Joe, kau mau ikut berenang?" tanyanya dengan manis. "Oh.
Aku lupa. Kau kan lagi dihukum." Lalu ia tertawa terbahak-bahak.

Aku berbalik, meninggalkan mereka di ruang baca. Aku harus keluar dari rumah ini,
pikirku.

Aku menuju ke dapur. Mom dan salah satu tukang cat sedang duduk di meja makan
membahas contoh-contoh warna.

"Kami minta warna hitam mengilap untuk bagian tepi. Bukan hitam pekat," katanya
sambil menunjuk-nunjuk. "Menurut saya, Anda keliru membawa cat."

­Aku menarik-narik lengan bajunya. "Mom, Buster sudah bosan diikat terus. Apa aku
boleh mengajaknya jalan-jalan?"

"Tentu saja tidak," Mom langsung menyahut. "Kau kan lagi dihukum."

"Mom," aku merengek. "Buster perlu diajak jalan-jalan. . Lagi pula bau cat di sini bikin
aku mual," aku menambahkan sambil memegangi perut.

Si tukang cat kelihatan tidak sabar. "Oke, oke," ujar Mom. "Kau boleh mengajak Buster."

"Asyik! Thanks, Mom!" seruku. Aku berlari melintasi dapur dan keluar ke pekarangan
belakang.

"Ada kabar gembira, Buster!" ujarku penuh semangat. "Kita bebas!"

Buster menggoyang-goyangkan ekornya yang pendek. Kulepaskan tali yang panjang, dan
memasang rantai pendek ke ikat lehernya.

Kami sudah berjalan kira-kira tiga kilometer ketika sampai di Buttermilk Pond. Tepi
kolam itu tempat yang paling asyik untuk bermain kejar tongkat.

Kulemparkan tongkat kayu ke air. Buster langsung terjun ke kolam dan mengambilnya.
Kami melakukan permainan itu berulang-ulang sampai pukul tiga sore. Waktunya
pulang.
Dalam perjalanan pulang kami mampir di Creamy Cow. Di situ dijual es krim yang
paling enak di seluruh kota.

Kuhabiskan sisa uang sakuku untuk membeli dua cone es krim double-dip chocolate-
chip. Buster melahap es krimnya tapi membiarkan semua serpihan cokelat jatuh ke tanah.

Sehabis makan es krim kami meneruskan perjalanan. Buster menarik-narik rantai ketika
kami membelok dari trotoar. Sepertinya ia senang sekali sampai di rumah.

Ia menarikku ke pekarangan depan dan mengendus-endus berbagai hiasan taman. Semak-


semak. Kawanan flamingo. Rusa. Kedua kurcaci.

Kedua kurcaci.

Tampaknya ada yang berbeda. Cuma apa, ya? Kulepaskan rantai Buster dan
membungkuk untuk memeriksa dari dekat.

Kuamati tangan keduanya. Apa itu yang berwarna gelap di ujung jari mereka? Tanah?

Segera kugosok-gosok jari-jemari mereka. Tapi noda itu tak mau hilang.

Hmm, rupanya bukan tanah.

Aku membungkuk lebih dekat lagi. Ternyata cat. Cat hitam.

12

CAT hitam. Sama seperti goresan wajah-wajah nyengir pada melon casaba Mr. McCall!

Aku menelan ludah. Ada apa ini? aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa tangan kedua
kurcaci ini berlepotan cat?

Ini harus kuceritakan pada seseorang, kataku dalam hati.

Mom! Ia ada di rumah. la bakal membantuku memecahkan teka-teki ini.

Aku sudah hampir membuka pintu depan ketika terdengar suara gemerencing dari
pekarangan keluarga McCall.

"Buster! Jangan!" seruku.

Ternyata Buster sedang mengelilingi kebun sayur Mr. McCall. Rantainya terseret-seret di
belakangnya.

Cepat-cepat aku merogoh ke balik T-shirt dan mengambil peluit anjing. Kutiup keras-
keras.
Buster segera menghampiriku.

"Anjing pintar!" seruku lega. Lalu, dengan tampang serius aku menudingnya, memberi
peringatan keras. " Buster, kalau kau tidak mau diikat, jangan masuk ke pekarangan itu
lagi!"

Buster menjilat-jilat jariku dengan lidahnya yang panjang dan lengket. Kemudian ia
menoleh untuk menjilat-jilat kedua kurcaci.

Aku memperhatikannya menjilat kedua kurcaci itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Eh, kok begini lagi!" seruku.

Mulut Chip dan Hap menganga lebar. Wajah mereka ketakutan, seperti kulihat saat itu.
Mereka seakan-akan hendak menjerit.

Aku langsung memejamkan mata. Lalu sebelah mata kubuka pelan-pelan.

Raut muka mereka belum berubah.

Ada apa ini? Apakah kurcaci-kurcaci itu takut pada Buster? Atau jangan-jangan aku yang
mulai tidak waras?

Tanganku gemetar ketika mengikat Buster ke pohon. Kemudian aku berlari masuk untuk
menemui Mom.

"Mom! Mom!" aku berseru dengan kalut. Ternyata Mom ada di atas, di ruang kerjanya.
"Mom harus ke luar! Sekarang!"

Mom segera berpaling dari komputernya.

"Ada apa ?"

"Kurcaci-kurcaci itu!" seruku. "Ada cat hitam di tangan mereka. Dan mereka tidak
nyengir lagi. Coba Mom ikut keluar. Agar bisa lihat sendiri!"

Pelan-pelan Mom mendorong kursinya menjauhi komputer. "Awas Joe, kalau ini lelucon
lagi..."

"Cepat, Mom. Sebentar saja. Ini bukan lelucon. Sungguh!"

­Mom menuruni tangga. la berhenti di ambang pintu depan dan memandang ke arah
kedua kurcaci!.
"Tuh, kan!" seruku sambil berdiri di belakangnya. "Apa kubilang! Coba lihat tampang
mereka. Mereka kelihatan seperti lagi menjerit!"

Mom memicingkan mata. "Joe, jangan macam-macam. Kenapa k­u menggangguku yang
sedang kerja? Mereka tetap tersenyum seperti biasa."

"Masa?" aku memekik tak percaya, lalu berlari keluar dan menatap kedua kurcaci.

Mereka membalas tatapanku. Sambil nyengir lebar.

"Joe, kalau bercanda jangan keterusan," Mom berkata ketus. "Lama-lama semua orang
jadi bosan. Lelucon kurcaci itu tidak lucu. Sama sekali tidak lucu."

"Tapi bagaimana dengan cat di jari mereka?"

"Itu cuma noda," sahut Mom dengan jengkel. "Ayo, lebih baik kau baca buku saja. Atau
bereskan kamarmu. Cari kesibukan lain untuk mengisi waktu. Mom jadi pusing kalau
begini terus!"

Aku duduk di rumput. Sendirian. Aku perlu berpikir.

Aku memikirkan biji casaba di bibir kurcaci. Aku teringat pertama kali mereka meringis
ketakutan, yaitu saat Buster pertama kali menjilat-jilat mereka.

Dan sekarang ada cat di jari mereka.

Bukti-bukti itu tidak bisa disangkal.

­Mereka hidup.

Dan merekalah yang mengacak-acak kebun Mr. McCall.

Kurcaci-kurcaci itu? Mengacak-acak kebun? Aduh, rupanya aku benar-benar sudah mulai
sinting!

Tiba-tiba aku merasa kurang sehat. Semuanya tidak masuk akal.

Aku bangkit untuk masuk ke rumah.

Saat itulah kudengar bisikan pelan.

Bisikan yang pelan dan parau. Dari dekat kakiku.

"Tidak lucu, Joe," bisik Hap.

"Sama sekali tidak lucu," Chip menimpali dengan suara serak.


­13

PERLUKAH aku memberi tahu Mom dan Dad tentang kejadian tadi? aku bertanya-tanya
ketika kami makan malam.

"Apa saja yang kalian kerjakan hari ini?" Dad bertanya dengan riang sambil mengambil
kentang.

Mereka takkan percaya.

"Heidi dan aku naik sepeda ke kolam renang," jawab Mindy. Ia menyusun potongan ikan
­tuna panggang menjadi bujur sangkar yang rapi di piringnya. Kemudian ia menggeser
kacang polong

yang kesasar. "Tapi kaki Heidi kram, jadi kami lebih banyak berjemur saja."

Aku harus menceritakannya.

"Aku mendengar sesuatu yang aneh tadi sore," ujarku menyela. "Benar-benar aneh."

"Hei, aku belum selesai!" Mindy memprotes. Ia menyeka mulutnya dengan serbet.

"Tapi ini lebih penting!" seruku. Saking gugupnya, aku mulai merobek-robek serbet
kertas. "Aku sedang di pekarangan depan, sendirian, ketika tiba-tiba ada yang berbisik-
bisik."

Kurendahkan suaraku supaya parau dan berat.

"Suara-suara itu bilang, 'Tidak lueu, Joe. Tidak lucu.' Aku tidak tahu siapa yang
ngomong. Selain aku, tidak ada siapa pun di sana. Tapi... ehm... sepertinya kurcaci-
kurcaci itu, deh."

Mom langsung menaruh gelasnya ke meja. Keras sekali. "Aku tidak mau mendengar
lelucon kurcaci lagi!" katanya. "Lelucon itu tidak lucu, Joe."

"Tapi ini benar!" seruku sambil meremas-remas serbet sampai berbentuk bola. "Mereka
jelas-jelas berbisik. "

Mindy ketawa mengejek. "Huh, bosan," ujarnya. "Dad, tolong rotinya, dong."

"Silakan, Sayang," sahut Dad sambil menyerahkan baki kayu berisi potongan-potongan
roti.

Setelah itu Mindy meneruskan ceritanya yang terpotong tadi.


­Sehabis makan malam Dad mengajak kami menyiram tomat-tomatnya.

"Oke," kataku sambil angkat bahu. Sebenarnya aku tidak terlalu berminat, tapi yang
penting aku bisa keluar rumah.

"Perlu kuambilkan Bug Be Gone?" tanyaku ketika kami melangkah keluar.

"Oh! Oh!" Dad mendadak memekik. Wajahnya langsung pucat pasi.

"Ada apa, Dad? Ada apa?"

Dia menunjuk tanaman-tanaman tomat di hadapan kami tanpa sanggup berkata-kata.

"Aduh " gumamku. "Kok bisa begini?"

­Tomat-tomat kami yang merah dan ranum sudah gepeng, remuk, hancur lebur-biji dan
daging buahnya yang merah berserakan di mana-mana.

Dad sampai terbengong-bengong. Dengan geram ia mengepal-ngepalkan tangan. "Ya


ampun siapa yang tega berbuat begini?" gumamnya.

Jantungku langsung berdegup-degup.

Aku tahu apa yang telah terjadi. Dan sekarang semua orang pasti akan percaya.

"Pasti kurcaci-kurcaci itu, Dad!" Aku menarik lengan bajunya, mencoba menyeretnya ke
pekarangan depan. "Aku punya bukti! Dad bisa lihat sendiri!"

"Joe, jangan tarik-tarik bajuku. Ini bukan waktu untuk bercanda. Tidak sadarkah kau, kita
terpaksa batal ikut pameran perkebunan. Kita kehilangan kesempatan untuk
memenangkan hadiah pertama! Oh, jangankan hadiah pertama, hadiah hiburan juga tak
bakal kita dapa!."

"Dad harus percaya. Ayo, kita lihat ke sana!"

Aku tetap mencengkeram lengan bajunya. Sambil menariknya, aku bertanya-tanya apa
yang akan kami temukan di situ.

Sari tomat berwarna merah darah mengotori wajah mereka yang jelek?

Daging buah melumuri tangan mereka?

Ratusan biji tomat menempel pada kaki mereka?

Kami menghampiri kedua kurcaci. Aku menatap mereka sambil memicingkan mata. Dan
akhirnya kami berhenti di hadapan keduanya.
Dan aku seakan-akan tidak percaya pada mataku.

­14

TERNYATA tidak ada apa-apa.

Tak ada sari tomat.

Tak ada daging buah.

Tak ada biji. Tak satu pun.

Kuperiksa seluruh tubuh kedua kurcaci Perasaanku kacau-balau. Dari wajah mereka yang
nyengir jelek sampai ke kaki mereka yang kecil.

Tak ada apa-apa. Sama sekali.

Bagaimana mungkin aku keliru? Perutku serasa diaduk-aduk ketika aku berbalik
menghadap Dad.

"Dad..." suaraku bergetar.

Ia segera memotongku dengan lambaian tangan.

"Tak ada yang perlu dilihat di sini, Joe," gumamnya. "Dan mulai sekarang aku tak mau
dengar cerita kurcaci lagi. Mengerti? Aku sudah bosan."

Matanya yang cokelat menyala-nyala karena marah. "Aku tahu siapa yang bertanggung
jawab!" katanya dengan getir. "Dan ia tidak bakal lolos begitu saja!"

Seketika ia berbalik, menuju ke pekarangan belakang. Dipungutnya sepotong tomat yang


sudah hancur. Air menetes-netes dari sela jarinya ketika ia kembali ke depan dan
bergegas ke rumah Mr. McCall.

­Aku mengamati Dad berhenti di depan pintu keluarga McCall, dan menekan bel.
Sebelum pintu terbuka, ia sudah berteriak-teriak. "Hei, Bill! Cepat keluar kau! Sekarang
juga!"

Aku terus mengamati. Seumur hidup aku belum pernah melihatnya semarah ini.

Terdengar bunyi kunci diputar. Pintu membuka. Lalu muncullah Mr. McCall,
mengenakan baju joging putih, menggenggam iga sapi yang tengah dimakannya.

"Jeffrey, ada apa, sih? Ribut-ribut begini, bikin pencernaanku terganggu saja." Ia tertawa
sendiri.
"Hah, coba kaucerna ini!" teriak Dad. Dia mengayunkan tangan dan melemparkan
tomatnya.

Tomat itu menghantam T-shirt Mr. McCall yang putih, menetes-netes ke celananya.
Bahkan menetes ke sepatunya yang putih bersih.

Dengan terbengong-bengong Mr. McCall menatap bajunya. "Kau sudah gila?" serunya
lantang.

"Bukan aku, tapi KAU!" teriak Dad. "Bisa-bisanya kau berbuat begini? Cuma demi
kejuaraan yang konyol!"

"Apa maksudmu?"

"Oh, kau pura-pura bodoh, ya. Kau berlagak tidak tahu apa-apa. Hah, pokoknya urusan
ini takkan kubiarkan begitu saja."

Mr. McCall melangkah maju dan berdiri persis di depan Dad. Sambil bertolak pinggang
ia membusungkan dadanya yang bidang.

"Aku tidak menyentuh sama sekali tomatmu yang brengsek itu!" teriaknya dengan suara
menggelegar. "Berani-beraninya kau menuduhku! Jangan-jangan tomatmu yang menang
tahun lalu sebenarnya kau beli!"

Dad mengacung-acungkan kepalan tinju di depan hidung Mr. McCall. "Tomatku


memang yang terbaik di pameran itu! Tomatmu kelihatan seperti kismis dibandingkan
tomatku! Lagi pula, mana ada yang menanam casaba di Minnesota? Kau bakal jadi bahan
tertawaan di pameran nanti!"

Seluruh tubuhku gemetar. Gawat, pikirku. Mereka bisa berkelahi kalau begini. Dan aku
yakin Dad bakal babak belur.

"Bahan tertawaan?" Mr. McCall menggeram. “Kau yang patut ditertawakan. Kau dan
tomat-tomatmu yang masam. Dan hiasan tamanmu yang konyol! Pergilah sebelum aku
lupa diri!"

Mr. McCall kembali ke pintu rumahnya, lalu berbalik dan berkata, "Mulai sekarang aku
melarang anakku bergaul dengan Joe! Paling-paling ia yang merusak tomatmu.. Kan ia
juga yang merusak melon-melonku!"

Ia melangkah masuk dan membanting pintu. Saking kerasnya seluruh beranda depan ikut
bergetar.

­Malam itu aku tidak bisa tidur. Selama berjam-jam aku cuma berguling-guling di tempat
tidur
Melon-melon bergambar wajah. Tomat-tomat yang remuk. Kurcaci-kurcaci yang
berbisik. Semua itu tak mau hilang dari benakku.

­Aku melirik weker. Sudah lewat tengah malam, tapi aku belum juga terlelap. Kurcaci-
kurcaci itu seakan menari-nari di depan mataku. Mereka tersenyum mengejek. Dan
tertawa. Menertawakan aku.

Tiba-tiba kamarku terasa panas dan pengap. Kusingkirkan selimut tipis yang
membungkus kakiku. Tapi aku tetap saja kepanasan.

Aku melompat turun dari tempat tidur dan melangkah menuju ke jendela. Langsung saja
kubuka jendela lebar-lebar. Udara hangat dan lembab mengalir masuk.

Kusandarkan tangan ke ambang jendela dan kupandang kegelapan di luar. Kabut tebal
menyelubungi pekarangan depan. Meskipun sedang kepanasan aku merinding. Belum
pernah aku melihat kabut seperti ini.

Kabut menipis sedikit. Samar-samar aku bisa melihat patung malaikat di pekarangan.
Patung anjing. Dan keluarga sigung. Kawanan angsa. Bayangan berwarna pink-kawanan
flamingo.

Lalu aku melihat Deer-lilah, si rusa.

Sendirian.

Tanpa teman.

Kedua kurcaci telah lenyap.

­15

"MOM! Dad!" seruku. Terburu-buru aku berlari ke kamar mereka. "Bangun, Dad!
Bangun, Mom! Kurcacinya hilang!"

Mom langsung duduk tegak. "Ada apa? Apa yang hilang?"

Dad tidak bergerak sedikit pun.

"Kurcacinya!" aku berseru sambil mengguncang-guncangkan bahu Dad. "Bangun, Dad!"

Dad membuka sebelah mata, menatap sambil mengerutkan kening. "Jam berapa
sekarang?" ia bergumam.

"Bangun, dong!" aku memohon.


Sambil mendesah Mom menyalakan lampu bacanya. "Joe. Ini sudah tengah malam.
Kenapa kau membangunkan kami?"

"Mereka-mereka kabur!" aku tergagap-gagap. "Hilang! Aku tidak bercanda. Aku serius."

Orang tuaku berpandangan, lalu menatapku dengan tajam. "Cukup!" seru Mom. "Kami
sudah bosan mendengar lelucon-leluconmu. Apalagi tengah malam buta seperti sekarang.
Ayo, kembali ke kamarmu!"

­"Sekarang juga!" Dad menimpali. "Kami sudah cukup sabar selama ini. Besok pagi kita
akan bicara serius."

"Tapi-tapi-tapi..." aku tergagap-gagap.

"Kembali ke kamarmu!" seru Dad.

Pelan-pelan aku keluar dari kamar mereka.

Seharusnya sejak awal aku sudah tahu mereka takkan percaya. Tapi aku harus bisa
meyakinkan seseorang.

Aku berlari menyusuri koridor yang gelap, menuju kamar Mindy. Ketika aku mendekati
tempat tidurnya, aku mendengar suara mirip siulan, seperti biasa kalau ia tidur telentang.
Ia asyik bermimpi.

Sejenak aku menatapnya dengan bimbang. Perlukah aku membangunkannya? Apakah ia


akan percaya?

Kutepuk-tepuk pipinya. "Mindy Bangun," bisikku.

Tak ada reaksi.

Sekali lagi kupanggil namanya. Sedikit lebih keras.

Dengan enggan Mindy membuka mata. "Joe?" ia bertanya dengan suara mengantuk.

"Bangun. Cepat!" bisikku dengan nada mendesak. "Kau harus lihat ini!"

"Lihat apa?" ia mengerang.

"Kurcaci. Kurcacinya hilang! Kurasa mereka kabur. Ayo, bangun! Cepat, dong!"

"Kurcaci?"

­"Ayo, Mindy. Bangun. Ada keadaan darurat!"


Mata Mindy langsung terbelalak lebar. "Hah? Darurat? Apanya yang darurat?"

"Kurcacinya. Mereka hilang. Kau harus ikut keluar denganku."

"Itu yang kau bilang darurat?" ia memekik. "Yang benar saja! Aku tidak mau ikut
denganmu. Kau sudah gila, Joe. Betul-betul gila."

“Tapi..”

"Sudah, jangan ganggu aku lagi. Aku mau tidur."

Dia memejamkan mata dan menarik selimut sampai menutupi kepala.

Aku berdiri di kamarnya yang hening dan gelap.

Tak ada yang mau percaya padaku. Tak ada yang mau ikut denganku. Apa yang harus
kulakukan sekarang?

Kubayangkan kurcaci-kurcaci itu mencabik-cabik semua tanaman di kebun kami.


Mencabut ubi jalar, meremukkan labu. Dan sebagai penutup, menginjak-injak melon Mr.
McCall yang masih tersisa!

Aku harus bertindak. Sekarang juga!

Aku berlari keluar dari kamar Mindy, bergegas menuruni tangga. Terburu-buru aku
membuka pintu depan dan menghambur keluar.

Kabut tebal menyambutku.

Aku langsung tertelan kabut. Aku hampir tidak bisa melihat apa-apa. Semua kelihatan
hitam dan kelabu. Penuh bayang-bayang. Tak ada apa pun selain bayangan-bayangan
gelap.

Perlahan-lahan aku melangkah maju. Gerakanku ­seperti sedang di bawah air.


Rumputnya begitu basah. Aku menunduk, tapi saking tebalnya kabut, kakiku sendiri
tidak kelihatan.

Seperti dalam mimpi. Mimpi yang gelap dan menakutkan. Begitu sunyi. Begitu seram.

Jantungku berdegup-degup.

Aku kehilangan arah. Apakah aku sedang menuju ke jalanan?

"Ohhh!" aku memekik ketika ada sesuatu yang mencengkeram mata kakiku.

Dengan kalang-kabut aku mengayun-ayunkan kaki. Berusaha membebaskannya.


Tapi cengkeraman itu tak mau lepas.

Dan menarikku ke bawah.

Ke kegelapan yang berputar-putar.

Ularkah?

Bukan. Bukan ular. Ternyata cuma slang air. Slang air yang lupa kugulung lagi sehabis
menyiram tanaman tadi malam.

Tenang, Joe, kataku dalam hati. Jangan panik.

Aku bangkit dan maju terhuyung-huyung. Kabut tebal sekali. Aku harus memicingkan
mata agar bisa melihat lebih jelas. Sosok-sosok gelap seakan berusaha menjangkauku,
menangkap tubuhku.

Rasanya aku ingin kembali saja. Masuk ke rumah. Dan naik ke tempat tidur yang hangat
dan nyaman.

Ya. Itu yang harus kulakukan.

Perlahan-lahan aku membalik.

Saat i tulah kudengar suara. Suara langkah. Di dekatku.

Aku pasang telinga.

­Sekali lagi aku mendengarnya. Suara langkah ringan seolah melayang.

Napasku terengah-engah. Jantungku berdegup kencang. Kakiku yang telanjang dingin


dan basah.

Aku merinding. Seluruh tubuhku gemetaran.

Sayup-sayup kudengar tawa terkekeh-kekeh. Salah satu Kurcaci?

Aku mencoba berbalik. Mencoba melihat dalam kegelapan yang pekat.

Tapi tiba-tiba aku disergap dari belakang. Pinggangku dicengkeram erat.

Dan kudengar tawa bengis ketika aku terempas ke tanah.

16
­TAWA bengis itu terdengar kembali ketika aku tergeletak di rumput.

Tapi kali ini aku mengenalinya.

"Moose?"

"Kau pasti sudah ketakutan setengah mati!" gumamnya. la membantuku berdiri. Di


tengah kabut tebal pun aku bisa melihatnya nyengir lebar.

"Moose-kenapa kau ada di sini?" seruku dengan heran.

"Aku tidak bisa tidur. Sepertinya aku terus mendengar suara-suara aneh. Lalu kubuka
jendela kamar tidurku - dan aku melihatmu. Kau sedang apa sih, Joe? Mau bikin masalah
lagi?"

Kutepis rumput basah yang menempel di tanganku. "Bukan aku yang bikin masalah,"
ujarku.

"Kau harus percaya. Lihat tuh-kedua kurcaci-mereka hilang."

Aku menunjuk ke arah rusa. Moose segera melihat bahwa Hap dan Chip tidak ada di
tempat seharusnya

Lama ia memandang tanpa berkedip. "Ini pasti lelucon konyol lagi - ya, kan?"

­"Bukan. Ini sungguh-sungguh. Aku harus menemukan mereka."

Moose menatapku sambil mengerutkan kening. "Kau apakan mereka? Kausembunyikan,


ya? Di mana mereka? Ayo, mengaku saja!"

"Aku tidak menyembunyikan mereka."

"Cepat, bilang saja," ia mendesak sambil merapatkan wajahnya ke wajahku. "Atau kau
ingin merasakan Sepuluh Siksaan dariku?"

Moose mendorong dadaku dengan tangannya yang besar. Aku jatuh, kembali tergeletak
di rumput yang basah. Moose langsung menduduki perutku dan menahan lenganku
dengan sikunya.

"Ayo, buka mulut!" ia mengancam. "Katakan di mana mereka!" Lalu ia mulai.


bergoyang-goyang.

"Berhenti!" ujarku sambil terengah. "Sudah, berhenti!"

Ia berhenti karena lampu mendadak menyala di rumah kami.


"Wah, gawat," bisikku. "Kita bakal dimarahi habis-habisan."

Aku mendengar pintu rumahku membuka. Disusul kemudian pintu rumah Moose.

Moose dan aku terdiam. "Jangan ribut," bisikku.

"Barangkali mereka tidak melihat kita."

"Siapa itu?" Dad memanggil dari beranda.

"Ada apa ini, Jeffrey?" kudengar Mr. McCall berseru. "Siapa yang ribut-ribut di luar?"

"Entahlah," sahut Dad. "Tadinya kupikir si Joe..."

Uh, selamat, pikirku. Kami terlindung oleh kabut.

Kemudian aku mendengar bunyi klik. Berkas sinar senter yang panjang dan sempit
menyapu pekarangan. Lalu berhenti ketika menerangi Moose dan aku.

"Joe!" teriak Dad. "Sedang apa kau di situ? Kenapa kau tidak menjawab tadi?"

"Moose!" Mr. McCall berseru dengan geram.

"Ayo, masuk! Cepat!"

Moose berdiri dan berlari ke rumahnya. Untuk kedua kalinya malam itu aku bangkit dari
rumput yang basah. Pelan-pelan aku masuk ke rumah.

Dad menyilangkan tangan di depan dada. "Dua kali dalam semalam kau membangunkan
kami! Dan kau berkeliaran di luar saat tengah malam. Ada apa sih denganmu?"

"Begini, Dad, aku keluar cuma karena kurcaci-kurcaci itu hilang. Coba lihat sendiri," aku
memohon.

Dad menatapku sambil memicingkan mata. "Aku sudah capek mendengar cerita-cerita
kurcaci ini!" hardiknya. "Ini sudah kelewatan! Cepat naik ke kamarmu. Sebelum kau
kuhukum sampai akhir musim panas!"

"Aduh, Dad. Aku tidak mengada-ada. Coba lihat dulu, deh," aku merengek. "Coba, deh.
Coba."

Lalu aku menambahkan, "Aku takkan minta apa-apa lagi setelah ini."

Kelihatannya janji itu berhasil meyakinkannya.

­"Oke," ia berkata sambil mendesah. "Tapi kalau ini lelucon lagi..."


Dad menghampiri jendela ruang duduk dan memandang ke luar.

Semoga kurcaci-kurcaci itu masih hilang! aku berdoa dalam hati. Semoga Dad tahu
bahwa aku tidak mengarang-ngarang cerita. Semoga...

­17

­"JOE kau benar! Hap dan Chip tidak ada!"

Ia percaya! Akhirnya ia percaya padaku! Aku langsung berdiri dan mengacungkan tinju.
"Yes!"

Dad menyapu kaca jendela yang berembun dengan lengan piama, lalu kembali
memandang ke luar.

"Betul kan, Dad! Betul kan!" seruku gembira. "Aku tidak bohong. Aku tidak bercanda."

"Hmmm. Deer-lilah juga tidak kelihatan," ujarnya pelan.

"Apa?" aku memekik. Perutku serasa diaduk-aduk. "Ia ada di situ, kok! Tadi aku masih
melihatnya!"

"Tunggu sebentar," Dad bergumam. "Ahhh. Itu dia. Tadi dia tertutup kabut. Dan
kurcacinya! Itu mereka! Mereka masih ada! Mereka juga tertutup kabut. Lihat, tuh!"

Aku memandang ke luar jendela. Dua topi runcing menyembul dari balik kabut. Kedua
kurcaci itu berdiri di tempat semula, di samping rusa.

"Aduuuuh!" aku mengerang. "Mereka tidak ada tadi. Aku tidak bercanda, Dad Aku
serius!"

"Kabut memang bisa menipu pandangan kita" Dad menjelaskan. "Suatu hari aku pernah
naik mobil di tengah kabut yang amat tebal. Tiba-tiba aku melihat sesuatu di depan.
Berbentuk bulat mengilap. Kelihatannya seperti melayang-layang di udara. Ya ampun,
pikirku saat itu. Ada UFO! Piring terbang! Aku sendiri hampir tidak percaya!"

Ia menepuk-nepuk pundakku. "Nah, UFO yang kulihat ternyata cuma balon perak yang
diikat ke tiang lampu. Oke, Joe. Kembali ke soal kurcaci," tampang Dad berubah jadi
serius, "aku tidak mau mendengar cerita konyol lagi. Kurcaci-kurcaci itu cuma hiasan
taman. Cuma itu. Oke. Jangan kausinggung-singgung lagi. Janji?"

Aku tidak punya pilihan. "Aku berjanji," ujarku sambil menundukkan kepala.

Lalu aku naik ke kamarku.


Aku telah mengalami satu hari-plus satu malam-yang betul-betul brengsek. Dad
menganggapku pembohong. Tomat-tomat kami hancur. Dan Moose tak boleh lagi
bermain denganku. Lengkaplah sudah penderitaanku. Takkan ada yang lebih buruk dari
ini.

Perasaanku tidak enak ketika aku terbangun keesokan pagi. Perutku teras a berat, seolah
aku baru saja makan semangkuk semen. Kurcaci-kurcaci itu tak bisa kusingkirkan dari
pikiranku.

Mereka telah merusak liburan musim panasku. Mereka telah merusak seluruh hidupku!

­Lupakan mereka, Joe, kataku dalam hati. Lupakan mereka.

Aku agak terhibur karena yakin hari ini pasti lebih baik dan kemarin. Tak mungkin ada
yang lebih parah dari yang kualami kemarin.

Aku memandang ke luar jendela kamarku. Kabut semalam tak tersisa sedikit pun,
matahari bersinar cerah dan hangat. Buster masih tidur di rumput. Tali pengikatnya yang
panjang meliuk-liuk di pekarangan.

Aku melirik ke rumah keluarga McCall. Barangkali Moose sedang membantu ayahnya di
kebun, pikirku.

Aku melongok dari jendela supaya bisa melihat lebih jelas.

"Oh, ya ampun!" aku mengerang. "Kok jadi begini?"

­18

­MOBIL Jeep kuning Mr. McCall berlepotan cat putih! Atapnya! Kap mesinnya!
Jendelanya! Seluruh mobil itu berlumuran cat.

Aku langsung tahu bakal ada masalah besar.

Cepat-cepat kupakai celana jeans dan T-shirt-ku yang kemarin. Lalu bergegas keluar.
Moose sudah ada di depan garasi. Tampangnya tegang sekali. Ia mengelilingi mobil
sambil geleng-geleng kepala.

"Gila, hmm?" katanya, berpaling padaku. "Ayahku langsung mengamuk melihat ini!"

"Kenapa ia tidak parkir di garasi?" tanyaku. Mr. McCall biasa memarkir Jeep-nya di
garasi mereka.

Moose angkat bahu. "Ibuku baru saja membereskan ruang bawah tanah dan gudang di
bawah atap. Barang-barang yang sudah tidak terpakai, akan dijualnya. Mungkin ada
sejuta kardus yang ia letakkan di garasi. Jadi ayahku terpaksa parkir di luar semalam."
Moose menepuk-nepuk atap Jeep. "Catnya masih basah. Coba pegang."

Aku menyentuhnya. Cat itu lengket di tanganku.

"Ayahku marah sekali," ujar Moose. "Mula-mula ­ia pikir ini perbuatan ayahmu, yang
membalas dendam gara-gara urusan tomat semalam. Tapi ibuku bilang itu tidak masuk
akal. Jadi ayahku menelepon polisi. Ia bilang ia takkan diam sebelum orang yang
melakukan perbuatan ini masuk penjara."

"Ia bilang begitu?" tanyaku. Mulutku mendadak kering. "Moose, begitu polisi mulai
mengusut peristiwa ini, yang dituduh adalah kau dan aku!"

"Kita? Yang benar saja? Kenapa mereka menuduh kita?"

"Soalnya kita sama-sama ada di luar semalam!" sahutku. "Dan semua orang tahu!"

Moose langsung ketakutan. "Wah, benar juga," katanya. "Apa yang harus kita lakukan
sekarang?"

"Aku sendiri tidak tahu," sahutku lesu. Sambil berpikir keras aku mondar-mandir di
depan garasi Moose. Aspal di bawah kakiku yang telanjang terasa hangat dan lengket.

Aku pindah ke bagian yang ditumbuhi rumput. Dan di situ kulihat tetes-tetes cat putih
yang membentuk garis.

"Hei, apa ini?" seruku.

Jejak itu kuikuti melintasi rumput. Melewati bunga-bunga petunia. Sampai ke pojok
pekaranganku.

Tetes-tetes cat itu berakhir di tempat kedua kurcaci berdiri sambil nyengir.

"Apa kubilang! Apa kubilang!" aku berseru-seru. "Moose, coba lihat jejak ini. Kurcaci-
kurcaci ini yang mencorat-coret mobil kalian. Mereka yang membuat kekacauan di sini."

"K-kurcaci hiasan taman?" Moose tergagap-gagap. "Sudah deh, Joe. Mana ada yang
percaya? Jangan mengada-ada."

"Tapi coba lihat bukti-buktinya!" aku mendesak. "Biji melon di bibir si kurcaci. Tetes-
tetes cat putih. Aku bahkan sempat melihat cat hitam di jari mereka. Persis setelah
ayahmu menemukan gambar wajah tersenyum di melon casaba-nya!"

"Aneh," Moose bergumam. "Ini benar-benar aneh. Tapi kurcaci-kurcaci ini cuma hiasan
taman, Joe. Mereka tidak mungkin mondar-mandir berbuat iseng."
"Bagaimana kalau aku bisa membuktikan bahwa mereka yang bersalah?"

"Hah? Bagaimana caranya?"

"Kita harus menangkap basah mereka," sahutku.

"Hah? Ini tidak masuk akal, Joe."

"Ayo, Moose. Nanti malam kita pasang jebakan. Kita keluar diam-diam, terus kita
sembunyi di samping rumah, mengawasi mereka."

Moose menggelengkan kepala. "Sori," katanya. "Aku sudah kenyang dimarahi gara-gara
kejadian semalam "

"Itu belum apa-apa ketimbang yang bakal terjadi kalau polisi sudah mulai mengusut
kejadian ini."

Aku melirik ke mobilnya.

"Oke. Oke. Aku ikut. Tapi aku yakin kita cuma buang-buang waktu."

­"Kurcaci-kurcaci itu akan kita jebak, Moose," ujar- ku dengan geram. "Biarpun kita
harus begadang semalam suntuk."

Ahhh!

Wekerku! Wekerku tidak bunyi!

Dan sekarang sudah hampir tengah malam. Aku terlambat. Aku sudah janji bertemu
Moose di luar, pukul setengah dua belas tepat.

Serta-merta aku melompat dari tempat tidur. Aku masih memakai jeans dan T-shirt.
Terburu-buru kusambar sepatu ketsku lalu berlari keluar.

Tak ada bulan. Tak ada bintang. Pekarangan depan terselubung kegelapan yang hitam
pekat.

Suasananya hening. Terlalu hening.

Aku memandang berkeliling, mencari-cari Moose. Tapi sosoknya tidak kelihatan.


Mungkin ia sudah masuk lagi karena terlalu lama menungguku.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Tinggal sendirian di luar? Atau kembali ke tempat
tidur?

Semak-semak di dekatku berdesir. Aku menahan napas.


"Joe. Joe. Sebelah sini," Moose berseru dengan suara tertahan.

Kepalanya menyembul dari balik semak-semak di depan rumahku. Ia melambai-


lambaikan tangan.

Aku segera menghampirinya.

Moose menonjok lenganku. "Kupikir kau tidak berani keluar."

­"Enak saja," sahutku. "Kan aku yang punya ide ini!”

"Yeah, ide gila," balas Moose. "Coba pikir, kita bersembunyi di balik semak-semak. Di
tengah malam buta. Untuk mengintai hiasan taman."

"Aku tahu kedengarannya tidak masuk akal, tapi..”

"Sst. Bunyi apa itu?" ia memotong.

Aku juga mendengarnya. Bunyi gesekan.

Aku menjulurkan tubuh, membelah ranting-ranting berdaun lebat yang menghalangi


pandanganku. Tangan dan lenganku tertusuk duri. Cepat-cepat kutarik tanganku. Darah
menetes dari luka di ujung jariku.

Bunyi itu semakin dekat.

Jantungku mulai berdegup kencang.

Moose dan aku saling merapat. Kami bertukar pandang. Kurasa ia sama ngerinya
denganku.

Tapi aku harus mengintip. Aku harus tahu dari mana bunyi itu berasal.

Sekali lagi kubelah ranting-ranting di hadapan kami. Dan mengintip lewat sela daun-
daun. Sepasang mata menyala membalas tatapanku!

"Tangkap dia, Moose! Tangkap!" aku memekik.

Moose langsung menerjang maju-dan melihat sosok gelap berlari menjauh.

"Berang-berang! Ya ampun, ternyata cuma berang-berang..."

Aku menghela napas. "Sori, Moose."


Kami kembali menunggu. Setiap beberapa menit kami membelah ranting-ranting untuk
mengintai kedua kurcaci. Lenganku sudah penuh luka goresan.

Tapi Chip dan Hap tidak beranjak sedikit pun. Keduanya tetap berdiri di tempat semula
sambil nyengir lebar.

Aku mengerang. Kakiku kaku dan mulai kram.

Moose melirik arlojinya. "Sudah lebih dari dua jam kita di sini," bisiknya. "Kurcaci-
kurcaci itu sama sekali tak bergerak. Aku mau pulang saja."

"Sebentar lagi, deh," aku memohon. "Kita akan menangkap mereka. Aku yakin kita akan
berhasil."

"Kau betul-betul teman yang baik," kata Moose sambil membelah semak-semak untuk
kesejuta kali.

"Sebenarnya aku tidak tega bilang begini, Joe, tapi kau benar-benar sinting dan..."

Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya menganga lebar, matanya nyaris copot dari
kepalanya.

Aku ikut mengintip-dan melihat kedua kurcaci mulai bergerak. Mereka meregangkan
tangan ke atas. Mengusap-usap dagu.

Mereka menggoyang-goyangkan kaki. Lalu merapikan baju masing-masing.

"M-mereka bergerak!" seru Moose.

Seruannya terlalu keras.

Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tengah semak-semak.

Sekarang mereka tahu kami sedang mengintip, pikirku.

Selanjutnya apa yang akan terjadi?

­19

­OH! Bagaimana ini? Bagaimana ini?" bisik Moose dengan panik. Ia menarikku berdiri.
"Mereka.. mereka benar-benar bergerak!"

Moose dan aku mengamati Hap dan Chip dari balik semak-semak. Kami sama-sama
membelalakkan mata karena ngeri.
Kedua kurcaci itu menekuk lutut, lalu kembali berdiri tegak. Kemudian mereka mulai
melangkah dengan kaku. Satu langkah. Dua langkah.

Ternyata aku benar. Mereka memang hidup, pikirku.

Dan sekarang mereka hendak menangkap Moose dan aku.

Kami harus lari! kataku dalam hati. Kami harus kabur dari sini!

Tapi Moose dan aku tidak bisa melepaskan pandangan dari kedua kurcaci ajaib itu!

Bulan tiba-tiba muncul di atas pepohonan. Pekarangan depan menjadi terang, seakan ada
yang menyalakan lampu. Kedua sosok buncit itu mengayunkan tangan mereka yang
pendek gemuk dan mulai berlari. Tangan mereka membelah udara seperti sirip hiu
membelah air.

Mereka bergegas ke arah kami. Moose dan aku langsung berlutut dan mencoba
bersembunyi. Tubuhku gemetar. Saking kerasnya, semak-semak di hadapan kami ikut
bergetar!

Kedua kurcaci semakin dekat. Begitu dekat sampai aku bisa melihat mata mereka yang
menyala merah dan gigi mereka yang putih mengilap.

Kukepalkan tanganku hingga terasa pegal.

Apa yang akan mereka lakukan terhadap kami?

Aku memejamkan mata-dan mendengar mereka berlari melewati tempat kami


bersembunyi. Langkah mereka berdebam-debam. Napas mereka mendesis-desis.

Aku membuka mata dan melihat mereka berlari menyusuri jalan setapak di samping
rumah.

"Moose-mereka tidak melihat kita!" aku berbisik lega.

Kami saling membantu berdiri. Kepalaku pening. Tanah di bawah kakiku seakan-akan
oleng. Kakiku terasa lembek seperti agar-agar.

Moose mengusap alisnya yang basah karena keringat. "Mau ke mana mereka?" bisiknya.

Aku menggelengkan ke.pala. "Entahlah. Tapi kita harus mengikuti mereka. Ayo!"

Kami saling mengacungkan jempol dan keluar dari tempat persembunyian. Aku berjalan
di depan. Kami menyusuri jalan setapak, bergegas melewati beranda, menuju ke bagian
samping rumahku
Aku berhenti ketika mendengar suara bisik-bisik parau. Persis di depan kami.

Moose meraih pundakku. Matanya terbelalak lebar. "Aku mau pulang saja. Sekarang
juga!"

Aku berbalik. "Jangan! Kau harus tetap di sini dan membantuku menangkap mereka. Kita
harus memberi tahu orang tua kita siapa biang keladi sesungguhnya."

Moose menghela napas. Aku merasa lebih enak setelah tahu bahwa anak sebesar Moose
ternyata juga bisa takut seperti aku. Akhirnya ia mengangguk. "Oke. Ayo, kita tangkap
mereka."

Kami mengendap-endap dalam bayang-bayang rumah, menuju ke pekarangan belakang.


Aku. melihat Buster sedang tidur lelap di samping rumah-rumahannya di tengah
pekarangan.

Dan kemudian kulihat kedua kurcaci. Mereka berdiri di depan tumpukan cat dan kuas
yang ditinggalkan para tukang cat di samping garasi.

Moose dan aku mundur ketika Hap dan Chip mengambil dua kaleng cat hitam. Mereka
membuka kaleng-kaleng itu dengan jari mereka yang gemuk.

Sambil tertawa cekikikan, kedua kurcaci mengambil ancang-ancang dan menyiramkan


cat ke sisi rumahku. Dinding yang baru dicat putih itu langsung berlumuran cat hitam.

Cepat-cepat aku menutup mulut dengan sebelah tangan, supaya tidak berteriak

Apa kataku. Sejak awal aku sudah tahu. Tapi tak


ada yang mau percaya padaku. Kurcaci-kurcaci itulah biang keladi semua kekacauan di
sini Mereka kembali ke tumpukan untuk mengambil cat lagi "Kita harus menghentikan
mereka" bisikku pada Moose. "Tapi bagaimana caranya?"

"Kenapa tidak kita sergap saja? Kita sergap mereka dari belakang, terus kita duduki."

Kedengarannya mudah. Badan mereka kan kecil. Lebih kecil dari kami. "Oke," bisikku
dengan gugup. "Setelah itu kita seret mereka ke dalam rumah, dan kita tunjukkan pada
orang tuaku."

Aku menarik napas panjang dan menahannya. Lalu bersama Moose beringsut-ingsut
maju.

Sedikit demi sedikit.

Kalau saja kakiku tidak gemetar begitu keras!


Lebih dekat lagi.

Lalu aku melihat Moose jatuh.

Ia jatuh ke depan-dan menghantam tanah dengan suara berdebam sambil memekik,


"Aduuuh'"

Baru aku sadar bahwa kakinya tersandung tali pengikat Buster.

Cepat-cepat ia bangkit. Tapi kakinya terlilit tali. Diraihnya tali itu dengan kedua tangan,
dan ditariknya keras-keras.

Gerakan itu membangunkan Buster!

"Guk! Guk! Gukgukguk!" Rupanya Buster melihat kedua kurcaci itu, sebab ia langsung
menyalak sekeras-kerasnya.

Hap dan Chip berbalik.

Dan menatap kami dengan mata mereka yang merah. Dalam cahaya bulan yang terang,
wajah mereka tampak mengerikan.

"Tangkap mereka!" Chip menggeram. "Jangan biarkan mereka lolos!"

­20

­"LARI!" teriakku.

Moose dan aku melesat ke bagian depan rumah. Buster masih menggonggong terus.

Tapi selain gonggongan Buster, aku juga mendengar tawa cekikikan yang melengking
tinggi. Kurcaci-kurcaci itu cekikikan sambil mengejar kami.

Langkah mereka berdebam-debam. Aku melirik ke belakang, dan melihat kaki mereka
yang pendek bergerak cepat sekali.

Kupercepat langkahku. Tersengal-sengal aku berlari lewat samping rumah.

Tawa cekikikan kedua kurcaci terdengar begitu dekat di belakang kami.

"Tolong!" teriak Moose. "Tolooong!"

Mulutku menganga lebar. Aku sampai megap-megap menarik napas. Mereka terus
mendekat.
Aku tahu aku harus berlari lebih kencang. Tapi kakiku mendadak terasa berat sekali,
seakan terbuat dari besi.

"Tolooong!" Moose memekik.

Aku melirik ke rumah. Kenapa tidak ada yang terbangun?

Kami tiba di depan, dan terus berlari.

Kenapa Hap dan Chip cekikikan seperti itu?

Karena mereka tahu Moose dan aku akan tertangkap?

Pinggangku serasa ditusuk-tusuk. "Wah gawat!" Aku nyaris kram.

Moose menarikku. "Jangan berhenti, Joe. Lari terus!"

Rasa nyeri di pinggangku semakin parah. Rasanya seperti disayat-sayat. "Tidak bisa..."
ujarku dengan susah payah. .

"Joe-jangan berhenti! Jangan berhenti!" seru Moose sambil menarik tanganku.

Tapi aku tidak sanggup lagi. Aku membungkuk sambil bertolak pinggang.

Tamat deh riwayatku kataku dalam hati. Aku takkan bisa lolos.

Lalu pintu depan terbuka. Lampu teras menyala.

"Ada apa ini?" terdengar suara yang sangat kukenal.

Mindy!

Ia melangkah keluar sambil mengencangkan tali kimono pinknya Aku melihatnya


memicingkan mata ke arah kegelapan malam.

"Mindy!" aku bersern. "Mindy-awas!"

Terlambat.

Kedua kurcaci itu sudah menyergapnya.

Sambil tertawa cekikikan, mereka menekan tangan Mindy di punggungnya dan


menyeretnya dari beranda. Mindy diseret ke jalanan.

­21
­MINDY mengayun-ayunkan tangan. Kakinya menendang-nendang, mencoba
melepaskan diri. Tapi kurcaci-kurcaci yang gemar cekikikan itu ternyata sangat kuat
sekali.

"Tolong!" Mindy berteriak pada Moose dan aku "Jangan diam saja-tolong aku!"

Aku menelan ludah. Rasa nyeri di pinggangku tak kuhiraukan lagi.

Moose dan aku langsung mengejar mereka. Mindy sudah diseret sampai ke jalan.
Langkah para kurcaci berdebam-debam di aspal. Di bawah cahaya lampu jalanan, kulihat
Mindy meronta-ronta untuk membebaskan diri.

Moose dan aku berlari ke trotoar. "Lepaskan dia!" teriakku terengah. "Lepaskan kakakku!
Sekarang juga!"

Hap dan Chip malah cekikikan lagi. Mereka bergegas melewati rumah Moose. Melewati
dua rumah berikutnya.

Moose dan aku terus mengejar. Kami berseru-seru, memohon mereka berhenti.

Lalu, di luar dugaan, mereka berhenti.

Mereka melepaskan Mindy di bawah pagar tanaman yang tinggi, lalu berpaling pada
Moose

dan aku. "Kami tidak bermaksud jahat," ujar Chip.

Raut muka kedua kurcaci tampak serius sekarang. Mata mereka yang merah bersinar
dalam kegelapan.

"Ini pasti cuma mimpi!" seru Mindy sambil merapikan kimononya. "Ini tidak masuk
akal! Tidak masuk aka!!"

"Memang benar," sahutku.

"Dengarkan kami," Hap berkata dengan suara parau.

"Kami tidak bermaksud jahat," Chip mengulangi.

"Tidak bermaksud jahat?!" Mindy memekik. "Tidak bermaksud jahat?! Ka-kalian baru
saja menculikku dari rumahku sendiri! Kalian... kalian..."

"Kami hanya ingin menarik perhatian kalian," sahut Hap pelan-pelan.

"Dan sekarang kalian sudah mendapatkannya!" seru Mindy dengan gusar.


"Kami tidak bermaksud jahat," Chip berkata sekali lagi. "Percayalah."

"Bagaimana kami bisa percaya?" sergahku. "Lihat semua kekacauan yang kalian buat.
Kalian menghancurkan kebun! Kalian mencipratkan cat ke mana-mana ! Kalian..."

"Kami terpaksa," Hap memotong.

"Sungguh, kami terpaksa," Chip menimpali.

"Soalnya, kami ini Kurcaci Pembuat Onar"

"Apa?" seru Mindy.

­"Kurcaci Pembuat Onar. Kami membuat onar. Itulah tujuan hidup kami," Hap
menjelaskan.

"Di mana ada onar di dunia, di situlah kami berada," Chip menambahkan. "Membuat
onar adalah tugas kami. Kami tidak bisa berbuat lain."

Ia membungkuk dan mematahkan sepotong beton dari pinggiran trotoar. Kemudian ia


membuka kotak surat di seberang jalan dan menyelipkan potongan beton itu.

"Tuh! Aku tidak bisa menahan diri. Aku harus membuat onar ke mana pun aku pergi."

Hap cekikikan. "Tanpa kami, dunia ini pasti membosankan sekali-ya, kan?"

"Justru dunia akan lebih baik," Mindy berkeras sambil menyilangkan tangan di depan
dada.

Sejak tadi Moose belum mengucapkan sepatah kata pun. Ia cuma berdiri sambil menatap
kedua kurcaci yang bisa bicara.

Hap dan Chip cemberut. "Tolong jangan menyakiti hati kami," Chip berkata parau.
"Hidup kami tidak mudah."

"Kami butuh bantuan kalian," Hap menambahkan.

"Kalian minta bantuan untuk membuat onar?" seruku. "Enak saja! Aku sudah cukup
mendapat banyak masalah gara-gara kalian."

"Bukan. Kami butuh bantuan kalian untuk memperoleh kebebasan," Chip berkata
sungguh-sungguh.

"Kumohon-dengarkanlah ceritaku dan percayalah kata-kataku."

­"Dengar dan percaya" Hap membeo.


"Dulu kami tinggal di negeri yang jauh sekali dari sini," Chip mulai bercerita. "Di hutan
yang lebat dan hijau. Kami menjaga tambang-tambang dan melindungi pepohonan.
Sesekali kami memang berbuat jail, tapi kami juga banyak berbuat baik."

"Bangsa kami bekerja keras," Hap melanjutkan sambil garuk-garuk kepala. "Dan kami
hidup bahagia di tengah hutan."

"Tapi kemudian tambang-tambang ditutup dan pohon-pohon ditebang," Chip kembali


bicara. "Kami ditawan. Diculik. Dibawa pergi dari rumah kami. Kami dibawa ke negeri
kalian dan dipaksa bekerja sebagai hiasan taman."

"Sebagai budak," ujar Hap sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih. "Kami
dipaksa berdiri siang dan malam."

"Keterlaluan!" seru Mindy. "Apa kalian tidak bosan? Bagaimana kalian tahan berdiri
begitu lama tanpa bergerak?"

"Kami disihir," Chip menjelaskan. "Waktu berjalan tanpa kami sadari. Baru setelah
malam kami terbangun dan melakukan tugas."

"Maksudnya, membuat onar!" kataku.

Mereka mengangguk.

"Tapi kami ingin bebas," Hap meneruskan. "Kami ingin bisa pergi ke mana pun kami
mau. Kami ingin tinggal di tempat yang kami pilih sendiri. Kami ingin mencari hutan lain
tempat kami bisa hidup bebas." Dua butir air mata kurcaci mengalir di pipinya yang
gemuk.

Chip menghela napas dan menatapku. "Maukah kalian membantu kami?"

"Membantu apa?" tanyaku.

"Membantu kami dan teman-teman kami melarikan diri," jawab Chip.

"Masih ada enam kawan kami," Hap menjelaskan. "Mereka disekap di ruang bawah
tanah. Di Lawn Lovely. Kami butuh bantuan kalian untuk membebaskan mereka."

"sebetulnya kami bisa masuk lewat jendela ruang bawah tanah," sambung Chip. "Tapi
kami terlalu pendek untuk memanjat keluar lagi. Dan terlalu pendek untuk meraih gagang
pintu supaya bisa keluar .lewat pintu."

"Maukah kalian membantu kami melarikan diri?" Hap memohon sambil menarik-narik
bajuku. "Kalian cuma perlu masuk lewat jendela. setelah itu kalian bantu keenam kawan
kami keluar lewat pintu."
"Tolonglah kami," Chip meratap, air matanya bercucuran. "setelah itu kami akan pergi.
Ke hutan yang lebat. Kami takkan pernah membuat onar lagi."

"Kedengarannya cukup menarik!" seru Mindy.

"Jadi kalian mau?" Hap memekik.

Mereka menarik-narik kami sambil berceloteh

"Bantulah kami! Bantulah kami!"

Moose, Mindy, dan aku berpandangan dengan gelisah.

Apa yang harus kami lakukan?

­22

­"BANTULAH kami! Bantulah kami!"

"Ayo, kita bantu mereka," ajak Moose, akhirnya bisa bicara lagi.

Aku berpaling pada Mindy. sebenarnya aku enggan meminta saran padanya, tapi
bagaimanapun juga dialah yang tertua di antara kami. "Bagaimana menurutmu?"

Mindy menggigit bibir. "Hmm, kau tahu sendiri bahwa Buster paling tidak senang
diikat," katanya. "Ia selalu ingin bebas. Kurasa semua makhluk berhak hidup bebas.
Termasuk kurcaci hiasan taman."

Aku kembali berpaling pada Chip dan Hap.

"Oke!" kataku. "Kami akan membantu kalian!"

"Oh, terima kasih! Terima kasih! Terima kasih!"

Chip berseru-seru gembira. Saking senangnya ia melompat dan mengayunkan kedua


kakinya, sehingga tumit sepatunya beradu. "Ayo! Cepat!"

"sekarang?" Mindy memekik. "sekarang sudah tengah malam! Apa tidak bisa ditunda
sampai besok?"

"Tidak. Ayo, sekarang," Hap berkeras.

­"Selagi gelap," Chip menambahkan. "Selagi tokonya tutup. Ayo. Kita harus cepat-
cepat."
"Aku belum berpakaian," sahut Mindy: "Dan kurasa kita tidak bisa pergi sekarang.
Kurasa..."

"Kalau kalian tidak berangkat sekarang juga, kami terpaksa membuat onar lagi" Chip
berkata sambil mengedipkan mata.

Aku tentu saja keberatan. "Ayo, kita berangkat sekarang saja!" ujarku.

Maka kami berlima menyusuri jalan yang gelap, mendaki bukit ke Lawn Lovely. Wow,
rasanya aneh sekali! Berjalan-jalan di tengah malam buta bersama sepasang hiasan
taman! Dan kami berniat menyusup ke toko untuk membebaskan enam hiasan taman
lainnya!

Pada siang hari pun, rumah tua berwarna pink itu sudah cukup aneh. Tapi malam-malam
begini kesannya benar-benar seram. Semua hiasan taman menatap kami dengan
pandangan kosong dalam kegelapan malam. Rusa, anjing laut, dan kawanan flamingo.

Jangan-jangan mereka sebenarnya juga hidup? aku bertanya-tanya.

Pikiranku itu seakan-akan terbaca oleh Hap. "Mereka cuma hiasan," katanya mencibir.

Kedua kurcaci langsung melintasi pekarangan depan yang lebar, lalu menyusuri bagian
samping rumah Mrs. Anderson. Moose, Mindy dan aku mengikuti mereka.

Mindy berpegangan pada lenganku. Tangannya sedingin es. Kakiku juga masih
gemetaran. Tapi jantungku berdegup-degup karena senang-bukan karena ngeri.

Hap dan Chip menunjuk jendela rendah yang menuju ke ruang bawah tanah. Aku berlutut
dan mengintip ke dalam. Keadaannya gelap gulita.

"Kalian yakin kawan-kawan kalian ada di bawah sana?" aku bertanya.

"Oh, ya," sahut Chip berapi-api. "Semuanya berenam. Mereka menunggu diselamatkan
oleh kalian."

"Cepatlah," Hap memohon sambil mendorongku ke jendela. "Sebelum perempuan tua itu
mendengar kita, dan bangun."

Aku menyelinap lewat jendela yang terbuka. Lalu berpaling pada Moose dan Mindy di
belakangku.

"Kami segera menyusul," bisik Moose.

"Cepat selamatkan mereka," Mindy mendesak, "biar kita bisa segera pergi dari sini."

"Oke, bersiap-siaplah," ujarku pelan-pelan.


Aku menyilangkan jari dan merosot ke dalam kegelapan.

­23

AKU melepaskan peganganku pada kusen jendela dan mendarat dalam posisi berdiri.
Beberapa detik setelah itu aku mendengar Moose dan Mindy menyusul.

Sambil memicingkan mata aku memandang berkeliling dalam kegelapan yang


menyelubungi ruangan. Aku tidak bisa melihat apa pun. Aku mengendus-endus sambil
menjilati bibirku yang kering. Bau menyengat memenuhi ruang bawah tanah yang panas
dan lembab itu. Baunya seperti cuka. Bau keringat, pikirku. Keringat kurcaci.

Aku mendengar tawa cekikikan dari luar. Chip dan Hap menerobos lewat lubang jendela
dan melompat turun.

"Hei..." bisikku.

Tapi mereka sudah menghilang dalam kegelapan.

"Ada apa ini?" tanya Moose.

"Kita harus cari sakelar lampu," bisik Mindy

Tapi sebelum kami sempat bergerak, lampu di langit-langit sudah menyala. Aku
berkedip-kedip karena silau oleh cahaya yang terang-benderang.

Kemudian aku memekik tertahan ketika melihat isi ruang bawah tanah yang luas itu. Di
hadapanku terbentang lautan kurcaci!

Bukan enam! Tapi enam ratus! Baris demi baris, berdesakan, dan semuanya menatap
kami.

"Wah!" seru Moose. "Mereka segerombolan!"

"Kita dibohongi! Hap dan Chip bohong!" teriakku.

Warna baju mereka berbeda-beda. Tapi tampang mereka persis sama. Semua memakai
topi runcing dan ikat pinggang hitam. Semua bermata merah dan berhidung pesek. Semua
nyengir lebar, dan semua bertelinga besar dan lancip.

Saking kagetnya melihat makhluk-makhluk jelek itu, aku tidak segera menemukan Hap
dan Chip.

Akhirnya kulihat mereka berdiri di sisi ruangan.


Hap bertepuk tangan tiga kali. Lalu tiga kali lagi. Tepukannya pendek dan keras,
memantul dari dinding-dinding.

Gerombolan kurcaci itu mendadak hidup. Mereka membungkuk dan meregangkan otot
cengar-cengir dan cekikikan, berceloteh dengan suara yang melengking tinggi.

Mindy meraih tanganku. "Aduh, bagaimana ini? Kita harus keluar dari sini."

Suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk yang mengelilingi kami. Aku melirik
ke jendela. Tiba-tiba jendela itu tampak begitu tinggi, begitu jauh.

Ketika aku berbalik lagi Hap dan Chip sudah berdiri di hadapan kami. Mereka bertepuk
tangan, meminta perhatian rekan-rekan mereka.

­Ratusan kurcaci lainnya segera diam.

"Kami membawa tiga manusia muda!" Hap mengumumkan sambil nyengir gembira.

"Kami menepati janji!" seru Chip.

Ucapan itu disambut sorak-sorai dan tawa cekikikan.

Aku membelalakkan mata karena ngeri ketika semua kurcaci itu mulai bergerak maju.
Mata mereka tampak berbinar-binar. Tangan mereka terulur untuk meraih kami. Topi
mereka yang runcing berayun dan merosot ke depan, seperti ikan hiu yang hendak
menyerang.

Mindy, Moose, dan aku melangkah mundur, sampai membentur dinding.

Gerombolan kurcaci itu mendesak kami dari segala arah. Tangan mereka yang kecil
menarik-narik bajuku menampar-nampar wajahku, menjambak-jambak rambutku.

"Stop!" aku menjerit. "Pergi! Pergi!"

"Kami datang untuk membantu kalian!" kudengar Mindy memekik. "Kami datang untuk
membantu kalian melarikan diri!"

Semua kurcaci tertawa cekikikan.

"Tapi kami tidak mau melarikan diri," salah satu dari mereka berkata sambil nyengir
"Dengan kalian di sini kami akan bersenang-senang!"

­24

­BERSENANG-SENANG?
Apa maksudnya dengan bersenang-senang?

Hap dan Chip menerobos kerumunan rekan-rekan mereka dan melangkah ke samping
kami. Sekali lagi mereka bertepuk tangan sebagai isyarat diam bagi kawan-kawan mereka
yang terus berceloteh sambil cekikikan.

Seketika ruang bawah tanah jadi sunyi.

"Kalian menipu kami!" Mindy menghardik kedua kurcaci itu. "Kalian bohong!"

Mereka malah tertawa cekikikan dan saling menepuk pundak.

"Aku sendiri heran kalian percaya kisah sedih yang kami ceritakan," Hap berkata sambil
geleng-geleng.

"Kami kan sudah bilang kami Kurcaci Pembuat Onar," Chip mengejek. “Seharusnya
kalian tahu bahwa kami bakal menipu kalian!"

"Lelucon yang bagus," ujarku sambil memaksakan tawa serak. "Kalian berhasil menipu
kami. Hebat. Tapi sekarang biarkan kami pulang, oke?"

"Yeah. Biarkan kami pulang!" Moose mendesak.

­Tawa mereka langsung meledak.

Hap menggelengkan kepala. "Tapi keisengan kami baru mulai!" ujarnya.

Sorak-sorai dan tawa cekikikan kembali membahana.

Chip berpaling pada kawan-kawannya. "Jadi apa yang harus kita lakukan dengan
tawanan kita yang lucu-lucu ini? Ada usul?"

"Coba lihat apakah mereka bisa membal!" salah satu kurcaci berseru dari belakang.

"Yeah. Kita pakai mereka untuk dribble."

"Kita bikin kontes dribble."

"Jangan-lemparkan mereka ke dinding. Kita main lempar dan tangkap!"

Sorak sorai lagi.

"Jangan! Lebih seru mereka dilipat-lipat sampai jadi bujur sangkar kecil! Aku paling
suka melipat-lipat manusia!"

"Ya! Kontes lipat!" kurcaci lain menimpali.


"Lipat mereka! Lipat mereka! Lipat mereka!" berapa kurcaci berseru-seru.

"Bagaimana kalau mereka kita gelitik saja?" kurcaci di depan mengusulkan.

"Gelitik mereka sampai mati!"

"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"

Seluruh mangan bergema oleh seruan-seruan yang berapi-api.

"Lipat mereka! Lipat mereka! Lipat mereka!"

"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"

"Dribble! Dribble! Dribble! Dribble!"

­Aku berpaling pada Moose. Dia menatap kerumunan kurcaci yang hiruk-pikuk, tampak
sangat ketakutan. Matanya terbelalak lebar dan dagunya gemetaran.

Mindy merapatkan punggung ke dinding ruang bawah tanah. Rambutnya yang pirang
melekat di keningnya. Kedua tangan diselipkannya dalam kantong kimono.

"Aduh, kita harus bagaimana, nih?" tanyanya di tengah sorak-sorai yang mengelilingi
kami.

Tiba-tiba aku dapat ide.

Tanganku kuangkat tinggi-tinggi. "Diam!" aku memekik.

Semua kurcaci langsung terdiam. Ratusan pasang mata merah menatapku sambil
mendelik

"Lepaskan kami!" aku menuntut. "Atau kami bertiga akan berteriak-teriak dengan sekuat
tenaga. Teriakan kami akan membangunkan Mrs. Anderson. Dan ia langsung akan turun
untuk menyelamatkan kami!"

Hening.

Berhasilkah aku menggertak mereka?

Tidak. Mereka tertawa berbahak-bahak, mengejek. Mereka saling menepuk pundak,


menyoraki kami sambil cekikikan.

"Kalian harus cari ide yang lebih bagus dari itu!" ujar Hap, menyunggingkan senyum
lebar.
"Kami tahu Mrs. Anderson tidak bisa mendengar apa-apa."

"Ayo, teriaklah," Chip mendesak. "Teriaklah sampai puas. Kami suka mendengar
manusia berteriak-teriak." Ia berpaling pada Hap. Mereka pun saling menepuk pundak,
berguling di lantai tertawa cekikikan sambil menendang-nendang.

Sorak-sorai kembali riuh.

"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"

"Lipat mereka! Lipat mereka! Lipat mereka!"

" Dribble! Dribble! Dribble!"

Sambil menghela napas aku berpaling pada kakaku dan sahabatku yang sama-sama
ketakutan.

"Celakalah kita," aku bergumam. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa."

­25

"T ARIK tambang! Tarik tambang!"

Seman lain terdengar di bagian belakang dan segera menyebar sampai ke depan.

"Yes!" Hap dan Chip berseru dengan gembira.

"Ini baru asyik!" sorak Hap.

"Kita pakai mereka untuk tambang! Biar melar!" Chip menimpali.

"Biar melar! Biar melar!"

"Tarik tambang! Tarik tambang!"

"Joe-kita harus bagaimana?" aku mendengar suara Mindy yang ketakutan di tengah
sorak-sorai yang membahana.

Cepat cari ide, Joe, kataku dalam hati. Berpikirlah! Pasti ada jalan keluar dari ruang
bawah tanah ini.

Tapi otakku mendadak tumpul. Sorak-sorai itu mengiang-ngiang di telingaku. Ke mana


pun aku memandang, yang kulihat hanyalah wajah-wajah yang' tersenyum mengejek.
Pikiranku jadi kacau-balau.
"Biar melar! Biar melar!"

"Lipat mereka! Lipat mereka!"

"Gelitik! Gelitik!"

­Tiba-tiba, di tengah teriakan para kurcaci yang melengking tinggi aku mendengar bunyi
yang akrab di telingaku.

Gonggongan anjing.

Gonggongan Buster.

"Buster!" seru Mindy. "Aku mendengar gonggongannya!"

"A-aku juga!" ujarku. Aku berbalik dan memandang ke jendela di atas kami. "Ia
mengikuti kita! Sepertinya ia di depan jendela!"

Coba Buster bisa bicara. Coba ia berlari pulang dan memberitahu Mom dan Dad bahwa
kami sedang dalam kesulitan.

Tapi ia cuma bisa menggonggong. Atau... barangkali ada lagi yang bisa dilakukannya?

Sekonyong-konyong aku teringat betapa ngeri tampang Hap dan Chip setiap kali Buster
muncul. Aku teringat raut wajah mereka yang ketakutan. Aku seolah mendapat harapan
baru. Barangkali kurcaci-kurcaci itu takut anjing. Barangkali Buster bisa menakut-nakuti,
supaya mereka mau melepaskan kami. Barangkali ia bahkan bisa membuat mereka begitu
takut, hingga mereka kembali tersihir dan tidak sadar.

Dengan punggung menempel ke dinding aku bergeser mendekati kakakku. "Mindy


kurcaci-kurcaci ini sepertinya takut pada Buster. Kalau Buster bisa kita panggil ke sini
barangkali ia bisa menyelamatkan kita."

Kami tidak membuang-buang waktu. Bersama-sama kami memanggil-manggil ke


jendela. "Buster! Buster! Ayo, kemari!"

Bisakah Buster mendengar seruan kami di tengah hiruk-piruk ini?

Ya!

Kepalanya yang besar muncul di jendela.

"Anjing pintar!" aku memujinya. "Ayo, turun ke sini. Turun ke sini, Buster!"

Buster membuka mulut. Ia menjulurkan lidahnya yang berwarna pink dan mulai
terengah-engah.
"Anjing pintar," aku merayunya. "Anjing pintar. Ayo, turun. Cepat! Ayo, Buster! Ayo!"

Buster menyembulkan kepala lewat lubang jendela. Lalu menguap lebar.

"Turun, Buster!" perintah Mindy: "Ayo, turun ke sini!"

­Buster malah menarik kepalanya keluar. Dan berbaring di depan jendela. Aku bisa
melihatnya berbaring sambil menaruh kepala pada kaki depannya.

"Jangan, Buster!" aku berteriak untuk mengalahkan suara-suara di sekelilingku. "Turun


ke sini! Jangan tidur! Turun, Buster! Turun!"

"Guk?" Ia kembali menyembulkan kepala lewat lubang jendela. Semakin dekat. Semakin
dekat.

"Begitu, dong! Ayo, lagi!" aku memohon-mohon. "Sedikit lagi... sedikit lagi... Kalau kau
mau turun ke sini, kau akan kuberi biskuit kesukaanmu lima kali sehari"

Buster memiringkan kepala, mengendus-endus udara yang lembab dan berbau keringat di
mang bawah tanah.

Aku merentangkan tangan. " Ayo, Buster. Hanya kau yang bisa menyelamatkan kami.
Ayo, dong-cepat! Turun ke sini!"

Tapi Buster malah menarik kepalanya lagi.

Ia berbalik.

Dan melangkah pergi.

­26

­MINDY dan Moose langsung mendesah kecewa.

"Buster meninggalkan kita," ujar Mindy pelan. Tampangnya berkerut-kerut. Moose jatuh
berlutut sambil menggelengkan kepala, seakan-akan tidak percaya.

"Trampolin! Trampolin!"

Seman para kurcaci berubah lagi.

Hap menatap kami sambil nyengir. "Mungkin kalian akan kami pakai sebagai trampolin!
Untuk main lompat-lompatan! Rasanya asyik juga!"

"Sudah tiba waktunya untuk memungut suara!"


Chip menambahkan. Ia menggosok-gosok tangan dengan gembira.

"Trampolin! Trampolin!"

"Tarik tambang! Tarik tambang!"

Kututup telingaku dengan kedua tangan untuk menghalau suara-suara mereka yang
melengking.

Aku butuh ketenangan, pikirku. Ketenangan!

Aku tidak mau mendengar suara apa pun.

Tiba-tiba aku mendapat ide.

Peluit anjingku!

Seketika aku tahu bagaimana cara memanggil Buster kembali.

­"Mindy!" aku berseru. "Peluit anjing! Buster selalu datang kalau peluitnya kutiup!"

Mindy menoleh ke arahku. Wajahnya jadi cerah.

"Benar!" katanya. "Cepat, Joe!"

Aku meraih peluit logam di balik T-shirt-ku. Peluitnya basah oleh keringat. Ini pasti
berhasil, ujarku dalam hati. Buster pasti datang kalau mendengarnya.

Kutarik peluit keluar.

"Peluit!" beberapa kurcaci memekik.

Seketika semua terdiam.

Kutempelkan peluit itu ke bibirku.

"Cepat-tiup!" jerit Mindy

Tiba-tiba Hap dan Chip menerjang tubuhku. Mereka melompat-lompat, berusaha


menepis peluitku.

Peluit terlepas dari tanganku.

"Aduh!" aku memekik.


Tergopoh-gopoh aku berusaha meraihnya kembali. Tapi peluit itu malah terdorong dan
terpental melintasi lantai ruang bawah tanah.

­27

MINDY, Moose, dan aku serentak melompat maju untuk meraih peluitku.

Tapi kurcaci-kurcaci itu lebih gesit Kurcaci berbaju biru cerah mengangkat peluit yang
tergenggam di tangannya. "Aku dapat!"

"Siapa bilang?" seru Moose. Secepat kilat ia menerjang kurcaci itu.

Kurcaci itu memekik kaget, tubuh gendutnya terempas ke lantai.

Peluitku terlepas dari tangannya.

Dan menggelincir ke arahku.

Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Langsung saja aku memungutnya dan


menempelkannya ke bibir.

Tiga kurcaci melompat ke pundakku sambil cekikikan dan mendengus-dengus.

"Ohhh!" seruku ketika mereka berhasil merebut peluit itu. Aku terjatuh ke lantai ditindih
tiga kurcaci.

Dengan susah payah aku berhasil menyingkirkan mereka. Lalu aku berdiri, kalang-kabut
mencari peluitku.

Aku melihat beberapa kurcaci berusaha memungutnya dari lantai. Tidak jauh dari situ,
Moose sedang melawan empat atau lima kurcaci yang membentuk barisan untuk
menghalaunya. Mindy berjuang melawan sekelompok kurcaci lain, yang menahannya
dengan memeluk kaki dan pinggangnya.

Kemudian kulihat Hap menaruh peluitku di lantai. Diangkatnya kakinya tinggi-tinggi.

Ia hendak menginjaknya sampai remuk!

"Jangaaaan!" aku menjerit. Tanpa pikir panjang aku berjibaku untuk menyelamatkan
peluitku-setengah merangkak, setengah menerjang.

Aku mengulurkan tangan persis ketika kaki Hap yang berat mulai bergerak ke bawah.

Tanganku menggapai-gapai.

Menyambar peluitku.
Terburu-buru aku berguling ke samping sebelum kaki si kurcaci menghantam lantai,
hanya beberapa senti dan kepalaku.

Aku duduk tegak. Kutempelkan peluit ke bibir. Dan meniup dengan sekuat tenaga.

Sekarang bagaimana?

Apakah usahaku akan berhasil?

Apakah Buster akan kembali dan menyelamatkan kami?

­28

­SEKALI lagi kutiup peluit yang tak bersuara itu.

Kemudian aku berpaling ke jendela. Ayo dong, Buster. Kenapa kau belum muncul juga?

Rupanya para kurcaci juga berpikir sama. Karena mereka pun berdiri seperti patung.
Segala coleteh, tawa cekikikan, dan sorak-sorai mendadak berhenti.

Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah helaan napasku. .

Aku menatap jendela. Buster belum kelihatan.

"Hei...!'" Aku berpaling ketika mendengar seruan Moose.

"Lihat mereka!" suara Moose bergema dalam keheningan.

"Lihat-semua tiba-tiba diam!" ujar Mindy. Ia menempelkan kedua tangan pada topi
merah salah satu kurcaci-dan mendorongnya sampai terbalik.

Kurcaci itu jatuh ke lantai. Tidak bergerak.

"Ada apa ini?" tanya Moose sambil garuk-garuk kepala.

Aku berjalan ke sana ke mari sambil menggenggam peluitku. Setiap kurcaci yang
kulewati kuamati dengan saksama, lalu kudorong hingga terbalik.

­Aku betul-betul menikmati suasana yang mendadak sunyi.

"Mereka tersihir lagi" Mindy bergumam.

"Tap kenapa?" tanya Moose. "Kan, Buster tidak muncul. Kalau mereka tidak takut
anjing, kenapa mereka tiba-tiba jadi patung lagi?"
Sekonyong-konyong aku mendapatkan jawabannya. Kuangkat peluitku dan kutiup sekali
lagi. "Karena peluit ini," aku menjelaskan. "Bukan karena Buster. Aku keliru. Mereka
tidak takut anjing. Mereka takut peluit ini."

"Ayo, kita pulang saja," ujar Mindy pelan. "Seumur hidup aku tidak mau melihat kurcaci
lagi."

"Tunggu sampai kuceritakan semuanya ini pada orang tuaku!" kata Moose dengan
berapi-api.

"Wah!" seruku sambil meraih bahunya. "Kita tidak boleh menceritakan ini pada siapa
pun. Jangan!"

"Kenapa tidak?" tanya Moose.

"Soalnya takkan ada yang percaya," sahutku.

Moose menatapku agak lama. "Hmm, benar juga," akhirnya ia bergumam. "Benar juga."

Mindy menghampiri dinding dan memandang ke jendela. "Bagaimana cara kita keluar
dari sini?"

"Aku tahu," ujarku. Aku mengangkat Hap dan Chip, menegakkan keduanya di bawah
jendela. Kemudian aku naik ke topi mereka, meraih ambang jendela, dan memanjat
keluar. "Terima kasih atas bantuannya!" seruku.

Mereka diam saja.

­Dalam hati aku berharap mereka tetap jadi patung untuk selama-lamanya.

Mindy clan Moose segera menyusul. Buster tentu saja sudah menunggu di pekarangan.
Ekornya yang pendek langsung bergoyang-goyang ketika melihat kami datang. Ia berlari
menghampiri dan menjilat-jilat wajahku sampai basah dan lengket.

"Sori, Buster. Kau agak terlambat," kataku padanya. "Kau tidak banyak membantu!"

Ia kembali menjilat-jilat. Sesudah itu ia menyambut Mindy dan Moose.

"Hore! Kita bebas! Kita bebas!" Moose bersorak-sorai sambil menepuk pundakku.
Saking kerasnya, serasa gigiku rontok semua.

Aku berpaling pada Mindy "Gelitik! Gelitik! Gelitik!"

"Jangan macam-macam!" seru Mindy sambil memutar-mutar bola mata untuk keseribu
kalinya hari itu.
"Gelitik! Gelitik! Gelitik!" Aku berlagak mau menggelitiknya, mengejarnya sampai ke
jalanan.

"Joe-sudah! Jangan gelitiki aku! Awas kau!"

"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"

Aku tahu aku takkan pernah bisa melupakan sorak-sorai yang melengking-lengking itu.
Aku tahu aku akan terus mendengarnya dalam mimpi, sampai waktu yang sangat lama.

­Malam berikutnya Mindy dan aku sedang menonton MTV di ruang baca ketika Dad
pulang dari kantor.

"Kalian harus bersikap manis pada Dad," Mom sempat berpesan sebelumnya. "Dad
marah sekali karena kedua kurcacinya dicuri orang."

Ya, Hap dan Chip memang tidak ada lagi di tempat, sewaktu Dad bangun.

Tentu saja.

Saking gembiranya, Mindy dan aku tak sekali pun bertengkar hari itu.

Dan kini kami gembira karena Dad sudah pulang - hanya saja - parasnya kelihatan agak
aneh.

"Ehm... ada kejutan kecil yang kubawa pulang," katanya sambil melirik ke arah Mom,
seakan merasa bersalah.

"Apa lagi sekarang?" Mom segera mengeluh.

"Ayo, lihat sendiri, deh." Dad mengajak kami ke pekarangan depan.

Matahari sudah mulai terbenam di balik pepohonan, dan langit tampak kelabu. Tapi aku
masih bisa melihat dengan jelas apa yang dibeli Dad di Lawn' Lovely kali ini.

Patung gorila raksasa berwarna cokelat!

Tingginya paling tidak dua setengah meter. Matanya hitam dan besar sekali dadanya
ungu. Tangan gorila itu sebesar sarung tangan baseball, kepalanya sebesar bola basket.

"Ini benda paling jelek yang pernah kulihat!" seru Mom. "Kau tidak bermaksud menaruh
monster mengerikan ini di pekarangan kita, bukan?"

­Apa sajalah, asal jangan kurcaci-kureaei pikirku.

Apa pun lebih baik dari kurcaci-kurcaci yang selalu membuat onar itu.
Aku melirik ke arah Mindy. Sepertinya kami berpikiran sama.

"Menurutku patung ini bagus sekali, Dad," kataku. "Ini patung gorila paling bagus yang
pernah kulihat."

"Ya, bagus sekali, Dad," Mindy membenarkan.

Dad tersenyum.

Mom berbalik, masuk ke rumah sambil geleng-geleng kepala.

Kutatap wajah gorila yang dicat cokelat dan ungu itu. "Jangan nakal, ya," gumamku.
"Jangan seperti kurcaci-kurcaci brengsek itu."

Aku hendak membalik, dan saat itulah sang gorila mengedipkan sebelah matanya padaku.

– Selesai – PDF & ePub by fotoselebriti.net

You might also like