You are on page 1of 12

Esensi Sebuah Filsafat

Oleh : Sena Zaeni Aqwam

Syaikh Al-mauzun berkata:…………..para filosof mendefinisikan bahwa


“filsafat adalah upaya menyelidiki hakikat semua yang ada,” atau
“filsafat ialah ilmu tentang prinsip yang paling mendasar” dan lain-
lain. Sementara aku sendiri lebih suka mendefinisikannya sebagai “upaya rasio untuk mengetahui
hakikat prinsip-prinsip yang paling mendasar.” Kelak engkau akan mengetahui kebenaran definisi
tersebut.
……………

Kemudian Syaikh Al-Mauzun mengeluarkan buku besar dari bawah bantalnya dan mengajak Hayran
untuk memulai kembali dialog mereka.
Hayran : Buku apa itu, Syaikh?
Syaikh : Buku ini berbicara kepada kita tentang para pemikir yang mencari Allah.
Hayran : Apa judulnya?
Syaikh : Para Filosof Yunani.
Hayran : Bagaimana Syaikh bisa mengatakan bahwa buku tersebut menceritakan para
pemikir yang mencari Allah?
Syaikh : Memang benar, buku tersebut membicarakan para pemikir yang mencari Tuhan
Yang Sebenarnya (Allah). Bukankah sudah aku katakana bahwa esensi filsafat adalah mencari
TUHAN?
Hayran : Saya telah membaca sebagian pemikiran para filosof Yunani klasik, ternyata
mereka adalah orang-orang kafir.
Syaikh : Memang benar, mereka kafir kepada dewa-dewa Yunani. Namun, tentang Tuhan
yang Sebenarnya, mereka masih mencari-Nya. Ada yang mendapat petunjuk, ada yang akalnya tidak
sanggup menggambarkan-Nya, dan ada pula yang sesat karena tidak mampu memikirkan-Nya. Nanti,
engkau akan bahwa pemikiran-pemikiran mereka, meskipun menunjukkan kecerdasan dan
keikhlasan didalam pembahasan, namun masing-masing mempunyai pandangan yang meremehkan
dan meragukan alam semesta. Di dalam pemikiran mereka, masih terdapat kebenaran yang terletak
ditengah-tengah kejanggalan, ketidakjelasan, pertentangan pikiran, keragu-raguan dan
pemutarbalikkan kebenaran.

Thales memulai pemikirannya dengan keruwetan berpikir yang menipu, yang kemudian melekat
pada rasio para filosof, bahkan juga pada semua orang. Ia tidak percaya prinsip cretio ex nihilo, yakni
bahwu “alam tidak mungkin tercipta dari ketiadaan mutlak.”setiap permulaan pada hakikatnya
adalah perubahan. Oleh karena itu, mesti ada materi pertama yang bersifat azaliyang menjadi sebab
timbulnya semua eksistensi. Materi yang azali tersebut adalah air. Apa yang melatar-belakangi
Thales memilih air?

Ketika membahas tentang berbagai eksistensi, ia menemukan setiap materi memiliki potensi untuk
berubah dan berganti rupa. Ia menemukan bahwa air itu cair. Kadang-kadang air itu menjadi salju
yang tebal; kadang-kadang menjadi uap yang halus; dan kemudian kembali lagi menjadi air. Thales
melihat bahwa basah menjadi syarat bagi adanya kehidupan. Oleh karena itu, ia yakin bahwa air
yang memiliki karakteristik tertentu merupakan asal dari semua eksistensi.

Akan tetapi Anaximenes berpendapat bahwa udara lebih lunak dan lebih mudah berganti daripada
air. Udara apabila dingin, ia mencair, dan apabila panas ia menguap. Kemudian ia bertambah
kerenggangannya, dan akhirnya kembali menjadi udara. Anaximenes menganggap bahwa bika
kerenggangan udara semakin bertambah, ia tentu akan menjadi api. Dari api itu, terciptalah
matahari dan bulan. Apabila semakin menebal, udara iu menjadi awan, dan kemudian menjasi air.
Apabila kepadatannya semakin bertambah, ia akan menjadi pasir dan bebatuan. Anaximenes juga
berpendapat bahwa udara adalah sesuatu yang niscaya bagi kehidupan.

Sedangkan Anaximender mengatakan bahwa sesungguhnya pendapat tentang udara sebagai asal-
muasal, tidak relevan dengan sifat-sifat semua yang ada. Air mempunyai sifat-sifat tersendiri, begitu
juga udara, serta semua eksistensi yang ada. Oleh karena itu, tidak masuk akal, apabila semua yang
ada mengandung sifat-sifat yang berbeda. Yang berbeda-beda inimesti timbul dari asal yang
mempunyai sifat-sifat khusus yang berbeda dari semua yang ada. Dari sinilah, akal Anaximender
yang sehat mengharuskan dirinya untuk berkata bahwa asal uasal semua yang ada adalah materi
yang tidak berbentuk, tidak berkesudahan dan tidak berbatas.

Hayran : Saya akui pembahasan Anaximender menunjukkan adanya pemikiran yang


mendalam. Akan tetapi, apa perlinya disebut materi, apabila materi itu tidak berbentuk, tidak
berkesudahan dan tidak berbatas?
Syaikh : dari sini, engkau akan melihat kebenaran perkataanku tadi. Para filosof klasik dapat
dimaafkan ketika mereka mengingkari dewa-dewa Yunani. Mereka juga dapat dibenarkan apabila
rasio mereka yang bebas berusaha mencari asal mula alam. Mereka tidak menisbatkan asal mula
alam pada dewa-dewa yang memiliki moral seperti manusia tersebut. Rasio mereka tidak
mempercayaibahwa alam semesta ini ciptaan dewa-dewa yang rakus, pembohong, pemabuk,
penipu dan cabul. Secara tidak disadari, mereka sedang mencari Tuhan Yang Sebenarnya.
Kemudian, datang Phytagoras yang tidak puas dengan cara tersebut karena berisi penafsiran alam
dengan cara naturalis. Ia menempuh metode matematis. Ia berkata bahwa tidak ada sifat yang
mencakup alam kecuali sifat angka (le nombre). Kita dapat membayangkan sesuatu tanpa warna,
rasa, bau atau volume. Tapi kita tidak bisa membayangkan sesuatu yang tidak menerima angka.
Jadi, angka adalah satu-satunya sifat yang dimiliki bersama oleh semua yang ada di alam. Angka
itulah satu-satunya yang pantas menjadi asal muasal alam, sebab semua yang ada di alam
merupakan gambaran angka yang berulang-ulang. Angka itu sendiri merupakan gambaran
pengulangan dari satu. Jadi, satu itulah yang menjadi asal muasal alam semesta ini, menjadi sebab
keberadaannya dan merupakan hakikatnya.

Pemikiran-pemikiran abstrak ini tenggelam dalam fantasi. Namun, itu semua menunjukkan adanya
upaya-upaya manusia untuk sampai pad aide tentang Tuhan Yang Sebenarnya, Tuhan Yang terlepas
dari sifat-sifat materi, baik yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan oleh mereka.

Hayran : Apakah di kalangan orang Yunani klasik terdapat pemikiran tentang eksistensi
Tuhan (lain) yang bukan dewa-dewa mereka?
Syaikh : Bumi ini tidak pernah sunyi dari pemikiran tentang eksistensi Tuhan Yang
sebenarnya sejak manusia menjadi manusia. Dengan akalnya yang mampu berpikir, manusia
menjadi makhluk yang berbeda dengan yang lainnya.
Xenophanes, salah seorang filosof Yunani klasik yang mengungguli orang-orang lain pada masanya,
membuang jauh-jauh sejumlah mitos Yunani yang berisi gagasan tentang bersatunya jasad manusia
dengan Tuhan (antropomorphisme). Ia mencemooh tuhan-tuhan mereka yang makan, minum,
beranak dan mati. Ia mengatakan bahwa manusia sendirilah yang mengada-adakan tuhan dan
melukiskannya seperti bentuk mereka. Seandainya sapi, singa, atau kuda bisa melukis, tentu mereka
akan melukiskan tuhan seperti bentuk mereka. Tidak. Sama sekali tidak demikian! Tidak ada tuhan
selain yang satu;eksistensi yang paling tinggi;yang tidak tersusun seperti bentuk kita; dan tidak
berpikir seperti kita berpikir. Akan tetapi seluruhnya , ia lihat, ia dengar dan segalanya ia pikirkan.
Sedangkan untuk mengetahui hakikat Tuhan Yang MahaEsa, Xenophanes menganggapnya sebagai
sesuatu hal yang mustahil bagi akal kita. Ia mengucapkan perkataannya yang melompat jauh ke
muka-2000 tahun dari masanya. Di dalam sejarah metafisika, tidak ada seorangpun yang sanggup
mengetahui Tuhan dengan teliti, meskipun-andaikata secara kebetulan di dalam menyifati Tuhan- ia
menyatakan suatu kebenaran. Ia sendiri tidak mengetahui bahwa ia berkata yang benar.
Hayran : dari ucapan Syaikh yang mengatakan bahwa Xenophanes, dengan kata-katanya itu,
telah melompat 2000 tahun dari masanya, saya bsa memahami bahwa filsafat telah sampai pada
keyakinan akan eksistensi Tuhan. Jika demikian persoalannya, saya berharap Syaikh membebaskan
diri dan jiwa saya dari kebodohan orang-orang dahulu, yang sebagiannya pernah say abaca ketika di
Peshawar. Sebaliknya, saya berharap agar Syaikh membawa saya pada filsafat modern. Syaikh: Aku
telah berwasiat sebelumnya agar engkau bersabar. Sekarang aku ulangi wasiat itu untukmu, karena
tidak ada faedahnya sama sekali untuk membawamu kepada kesimpulan yang telah dicapai oleh
filsafat yang selama ini membingungkan pikiranmu, tanpa mengetahui dahulu apa yang dikatakan
oleh filsafat klasik dan orang-orang abad pertengahan. Boleh jadi pendapat orang-orang modern
tidak menarik perhatianmu, dan pada saat yang sama, datang orang yang meniupkan kepadamu
bahwa kebenaran itu hanya milik orang-orang dahulu, sehingga engkau kembali ragu dan bimbang.
Hayran, engkau tidak akan dapat memahami secara sempurna orang-orang modern, kecuali jika
engkau mengetahui orang-orang sebelum mereka. Oleh karena itu, hendaklah engkau bersabar!

Hayran : Sekarang saya telah memahami hikmah dari keterikatan Syaikh diantara rangkaian
pemikiran itu. Saya berharap Syaikh tidak memarahi saya.
Syaikh : Selanjutnya, datang Parmenides yang menganggap bahwa air, udara dan bilangan
atau sesuatu yang lain, tidak pantas menjadi asal muasal semua yang ada. Sebab semua yang ada
senantiasa berubah. Sedangkan yang kita ketahui, hanya sifat-sifat lahir yang berubah. Semua sifat-
sifat ini mengalami perubahan dan kehancuran kecuali satu sifat saja, yaitu sifat wujud (l’etre).
Wujud yang abadi inilah yang dapat kita jadikan asal muasal semua yang ada.
Hayran : Apakah yang dimaksud sifat wujud itu?
Syaikh : Wujud disini, yang dimaksud Parmenides, adalah wujud yang azali, yang tidak
berubah-rubah dan tidak hancur. Ia tidak mempunyai masa lampau dan masa depan. Akan tetapi ia
meliputi keazalian dan keabadian. Ia tidak bergerak dan tidak dapat dibagi-bagi. Sebab, gerak adalah
gambaran dari adanya perubahan. Dengan demikian, ia sempurna dan tidak ada wujud lain
dibelakangnya.
Hayran : Bagaimana wujud itu bisa terbebas dari gerak dan perubahan, padahal kita melihat,
semua yang ada ini bergerak dan berubah?
Syaikh : Parmenides tidak menganggap bahwa yang kita lihat dan kita rasakan ini adalah
bagian dari wujud. Akan tetapi, ia memandangnnya sebagai gejala atau fantasi (apparences), karena
ia hancur dan berubah-ubah. Sedangkan wujud adalah abadi. Sebaliknya, perubahan itu sendiri
mengharuskan berkumpulnya wujud dan tanpa wujud. Hal ini adalah mustahil.
Hayran : Saya beum paham. Mungkinkah Parmenides hendak berkata tentang panteisme?
Syaikh : Begitulah, Hayran. Ia membuat abstraksi didalam pikirannya. Sebab, sebenarnya
para filosof tersebut tidak ingin mengingkari wujud. Mereka hanya berusaha mencari yang asal dan
sempurna, yang tidak berubah-ubah; yang terlepas dari sifat-sifat wujud, dan yang pantas menjadi
penciptanya. Menurutku, ini adalah upaya pencarian Tuhan, meskipun mereka tidak menghendaki
dan merasakannya.

Sesudah Parmenides, datanglah muridnya, Milissus. Ia melengkapi pendapat gurunya yang


menyatakan wujud itu tidak berakhir, dan ia identik dengan “kehidupan yang berakal”. Apabila
engkau mendengarkan pembuktiaannya yang menyatakan bahwa wujud itu azali, abadi dan tidak
berakhir, tidak pula bergerak, serta ia mempunyai “kehidupan yang berakal”, tentu engkau
sependapat denganku bahwa pikiran para filosof, disadari atau tidak, senantiasa mencari Tuhan Yang
Maha Esa.

Milissus mengatakan bahwa setiap yang baru pasti ada permulaannya. Sedangkan zat yang wujud itu
tidaklah baru. Sebab, seandainya baru, tentu berasal dari zat yang tidak wujud. Jadi, yang wujud
tersebut tidak ada permulaannya. Apa yang tidak ada permulaannya, tidak pula mempunyai akhir.
Karena ia tidak berakhir, ia tidak pula bergerak, sebab tidak ada lagi tempat sesudahnya untuk
bergerak menuju tempat itu. Ia juga tidak berubah-ubah, karena kalau ia berubah-ubah, berarti ia
menjadi lebih dari satu. Oleh karena itu, ia adalah esa, azali, abadi, hidup, berakal, dan tidak
berubah-ubah. Coba engkau renungkan, Hayran.

Setelah itu datanglah Heraclitus yang pemikirannya senantiasa skeptis; berada diantara corak
tendensi abstraktif dan tendensi natural. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu itu, seperti yang kita
lihat, senantiasa berubah, berganti-ganti secara terus menerus, dan tidak pernah tetap di dalam
suatu keadaan; meskipun hanya sebentar saja. Ketetapan relative yang selama ini kita saksikan
adalah suatu khayalan saja sebagai akibat ketidakmampuan kita untuk melihat adanya perubahan
itu. Dari semua itu, ia berkesimpulan bahwa suatu benda, antara yang wujud dan yang bukan wujud
itu adalah akhir yang menjadi hakikat wujud.

Namun, Heraclitus tidak selalu bersandar pada pendapat tersebut didalam menfsirkan alam semesta
ini. Ia bahkan kembali lagi kepada tendensi natural klasik. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa asal
muasal alam semesta ini adalah api yang kemudian berubah menjadi udara, dari udara berubah
menjadi air, dari air berubah menjadi kering, dari kering ini kembali lagi menjadi air, udara dan api.
Demikianlah, seolah-olah ia melihat kehidupan binatang yang disertai dengan panas, lalu ia mengira
bahwa ruh itu sendiri ibarat api.

Kemudian, datanglah Empedocles, filosof “empat unsur”. Awalnya ia hendak mengkompromikan


pendapat Parmenides dan Heraclitus. Ia mengatakan bahwa wujud ini terdiri dari atom-atom. Apa
yang dikatakan oleh Parmenides tentang wujud, bahwa ia tidak bertambah dan berkurang, adalah
sesuai dengan atom-atom. Sedangkan apa yang dikatakan oleh Heraclitus tentang akhir kejadian
yang terus menerus, membenarkan adanya gambaran yang berubah pada benda-benda. Dari sini,
Empodocles ingin mengambil jalan tengah diantara mereka yang menyatakan bahwa alam ini
terbentuk dari suatu materi yang mengalami perubahan seperti air, udara dan api, dengan mereka
yang mengatakan bahwa materi dari yang wujud itu tidak berubah-ubah. Oleh karena itulah ia
membuat teori empat unsur yang terus dipertahankan hingga abad ke-18.

Ia mengira bahwa wujud ini merupakan kumpulan dari empat unsur yaitu tanah, api, air dan udara.
Semua yang ada adalah perpaduan dari keempat unsur ini. Perbadaan yang ada padanya hanyalah
perbedaan didalam perbandingan unsur-unsurnya.

Sampai disini, Empodocles tampak sejalan dengan sains pada masanya. Bahkan ia mendahului
masanya dalam meletakkan teori tentang atom. Akan tetapi, ketika ia berbicara tentang rahasia yang
menggerakkan atom-atom tersebut, awalnya ia berpijak pada pemikiran yang benar, tetapi
kemudian berakhir dengan suatu khayalan yang hampa. Ketika ia mengatakan bahwa bahan alam
semesta ini adalah swesuatu yang tidak bernyawa, tidak pula mempunyai gerakan yang timbul dari
dirinya, serta harus menerima kenyataan bahwa gerakannya berasal dari kekuatan yang berada
diluarnya, maka kita melihat bahwa ia telah condong pada fantasi.

Ia mengatakan bahwa gerakan benda adalah gambaran dari pertemuan dan perpisahan. Keduanya
adalah suatu hal yang berlawanan yang tidak timbul dari satu kekuatan. Bahkan ia berasal dari dua
kekuatan, yang satu mendorong, yang lainnya menarik. Dua kekuatan tersebut adalah cinta dan
benci (l’amour et la discorde). Keempat unsur tersebut bertemu karena adanya kekuatan cinta. Lalu
ia dipisahkan oleh kekuatan benci, sehingga menjadi empat unsur. Kemudian cinta mengumpulkan
kekuatannya dan mulai mengadaka pemaduan antara empat unsur tersebut, sehingga terbentuklah
semua yang ada dan yang kita saksikan.
Hayran : akan tetapi, dari manakah datangnya kekuatan cinta dan benci?
Syaikh : maukah engkau mendiskusikan suatu pendapat yang dibangun diatas fantasi?
Empedocles tidak merasa cukup sampai disini saja. Bahkan ia menganggap bahwa jiwa-jiwa tersusun
dari empat unsur, meskipunia lebih menekankanunsur udara dan api. Api adalah dewa Zeus, udara
adalah dewa Hera, bumi ialah dewa Arcus dan air adalah dewa Nestis, yakni dewa yang menangis,
kemudian air matanya berjatuhan layaknya embun yang berjatuhan diatas bumi. Dari sini,
Empedocles semakin jauh mengigau, sehingga ia menganggap bahwa kita semua ini adalah dewa-
dewa.

Kemudian datang Demokritus sebagai pencipta teori atom. Dialah orag yang pertama kali
menguraikan bahwa alam semesta ini terdiri dari bilangan atom-atom yang tiada habisnya. Atom-
atom ini serupa, sejenis, azali, abadi, dan bergerak dengan sendirinya didalam kekosongan. Dari
gerakannya dan percampurannya, tersusunlah semua yang ada dan terciptalah alam semesta ini.
Tentang perbedaan sifat yang ada hal itu timbul karena perbedaan pertalian, susunan dan letak
atom-atom didalam benda, serta perbedaan orang yang menelitinya.

Demokritus beralasan bahwa keazalian dan keabadian atom adalah karena segala wujud tidak bisa
timbul dari yang bukan wujud, sebagaimana yang wujud tidak mungkin berubah menjadi tidak ada.
Seandainya atom itu tidak berada dalam kekosongan, ia tidak mungkin bergerak. Dari sinilah, ia
sampai pada kesimpulan bahwa di alam ini, ada tiga realitas dasar yaitu atom, kekosongan dan gerak
(les atoms, le vide, le mouvement).

Hayran : Bukankah didalam susunan ala material yang terdiri dari atom-atom ini terdapat
sesuatu yang jauh dari jangkauan akal?lantas siapakah yang menciptakan atom-atom ini, dan siapa
pula yang menggerakkannya?
Syaikh : Jawaban atas pertanyaanmu itu tidak dimiliki oleh Demokritus melainkan oleh yang
lainnya. Demokritus telah menyimpang dari kebenaran berpikir ketika ia mengira bahwa gerak atom-
atom itu merupakan akibat dari “keniscayaan mutlak” yang mendorongnya untuk bergerak dan
bertemu, berjalan dan bercampur. Susunan alam ini, termasuk benda-benda mati, tumbuh-
tumbuhan dan hewan, hingga ruh-ruh dan dewa-dewa, menurut pendapatnya tersusun dari atom-
atom yang berjalan dengan “keniscayaan mutlak”.
Sesudah Demokritus, datanglah Anaxagoras yang menyerang ide-ide Demokritus tentang
“keniscayaan mutlak” dan meremehkannya pula. Ia mengatakan –seolah-olah ia seorang mukmin
yang agung- bahwa mustahil kekuatan “keniscayaan mutlak” itu mampu menciptakan keindahan
dan tata aturan yang Nampak jelas pada alam ini. Kekuatan tersebut tidak menghasilkan apapun
melainkan hanya kekacauan. Zat yang menggerakkan benda tidak lain adalah akal, kesadaran dan
pandangan yang bijak.

Hayran : Ini sesuatu yang agung sekali. Apakah mungkin Anaxagoras, dengan kata-katanya
itu, bermaksud menetapkan eksistensi Allah?
Syaikh : aku tidak tahu,Hayran. Sebab, petunjuk Allah melalui lisan para rosul-Nya adalah
terlebih dahulu daripada orang Yunani dan filsafat mereka. Akan tetapi, menurut pikiranku, lebih
tepat untuk dikatakan, bahwa sebagian besar filsafat klasik di Mesir, di Tiongkok, di India,
merupakan sisa-sisa ajaran-ajaran kenabian yang telah dilupakan oleh sejarah. Mereka yang
mempunyai pemikiran ini kemudian dimasukkan kedalam kelompok filosof. Boleh jadi diantara
mereka adalah termasuk para nabi, atau setidaknya, pengikut ajaran nabi. Yang jelas dari kata-kata
Anaxagoras ini, ia masih berputar-putar di sekitar masalah keimanan ini ketika ia menyadari –dengan
akalnya yang sehat- bahwa susunan yang teratur ini tidak mungkin timbul kecuali dari “akal yang
bijaksana”. Oleh karena itu, Anaxagoras dianggap sebagai orang pertama yang membuka pintu
filsafat spiritualisme dan datang dengan pikiran yang masih mengembara di sekitar kebenaran. Inilah
yang membuat Aristoteles mengatakan bahwa Anaxagoras adalah satu-satunya orang yang tetap
menjaga kesadaran akalnya di hadapan “igauan” orang-rang sebelumnya.
Hayran : Alhamdulillah, kita telah sampai kepada tempat munculnya filsafat yang lebih tinggi
daripada sekedar igauan.
Syaikh : Memang, filsafat berjalan kea rah kebenaran, meskipun dengan lengkah yang
lambat. Kadang-kadang ia dirintangi oleh kaum skeptic seperti, misalnya orang-orang sofis. Dengan
gaya perdebatan mereka yang menakjubka, yang nyaris mematikan semua pemikiran yang sehat.
Hayran: saya mendengar kata sofisme berarti perdebatan yang menipu.
Syaikh : Memang, dari kata sofis timbullah kata sofisme. Sofisme adalah suatu metode yang
ditempuh untuk memutar balikkan kebenaran oleh mereka yang pandai mengajari manusia melalui
perdebatan bohong. Kata sofis, ddidalam bahasa Yunani, berarti guru dalam ilmu terapan dan ilmu
murni. Kemudian kata ini dipakai untuk menyebut guru-guru tersebut. Dari kata ini pula orang-orang
Arab mengambil istilah safsathah.
………………………………………………………………………………………………………………………………………… Hayran,
disini engkau akan melihat igauan itu begitu lemah dan rendah, sehingga tidak pantas dimasukkan
ke dalam pembahasan filsafat, meskipun Giorgias telah berjasa karena ia telah melahirkan Socrates.
Hayran :Bagaimana igauan itu dapat melahirkan Socrates yang bijak?
Syaikh : Socrates adalah orang yang berjasa meletakkan dasar dan membangun filsafat
pengetahuan (epistemologi). Karena jasanya, epistemology masih menawan akal yang sehat sejak
lebih 2000 tahun yang lalu hingga masa kita sekarang ini, betapapun orang ramai membicarakannya,
Hayran. Tujuan Socrates dalam filsafat tiada lain adalah untuk meletakkan kaidah-kaidah
pengetahuan diatas rasio dan menguatkan dasar keutamaan pada hati orang banyak diatas landasan
kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi. Filosof yang suci ini melihat bahwa moral manusia pada
masanya telah bobrok gara-gara orang Sofis yang telah mengingkari rasio, kebenaran, keyakinan dan
keutamaan-keutamaan moral. Mereka telah mengembalikan dasar-dasar pengetahuan seluruhnya
kepada perasaan (persepsi indra). Oleh karena itulah, Socrates berusaha untuk mengembalikan
dasar-dasar pengetahuan kepada rasio yang keputusan-keputusannya disepakati oleh semua orang
tanpa ada perselisihan. Dengan itu, definisi keutamaan bisa dibakukan.

Socrates berpendapat, adalah tidak rasional apabila pengetahuan bisa diperoleh hanya dengan
indra, karena indra berbeda-beda berdasarkan perbedaan individu, suasana dan keadaan. Oleh
karena itu, kita harus mencari sumber yang pasti untuk pengetahuan yang tidak diperselisehkan
orang selamanya. Apabila kita memperhatikan pengetahuan kita saat ini, kita melihat bahwa
pengetahuan itu meliputi hal-hal yang particular yang datang pada kita melalui metode pengindraan,
dan hal-hal universal yang tidak mempunyai wujud diluar pikiran yang bisa diindra.

Untuk itu, Socrates membuat satu contoh tentang makna spesies. Makna spesies dapat diketahui
oleh akal kita dengan cara mengumpulkan sifat-sofat yang sama yang diiliki oleh setiap spesies dan
meninggalkan sifat-sifat yang menonjol yang tampak pada sebagian spesies. Selanjutnya,
Socratesbmengatakan bahwa pengetahuan ini, yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat
ditangkap oleh indra dan tidak mempunyai wujud yang nyata diluar pikiran, adalah pengetahuan
universal yang keberadaannya tidak diragukan lagi oleh seorang yang berakal, yakni bahwa ia
semata-mata merupakan hasil dari aktivitas rasio.pengetahuan universal dan rasional inilah yang
seharusnya menjadi dasar pengetahuan. Oleh karena itu, seandainya objek indra yang particular
berbeda-beda menurut perbedaan individu, suasana, keadaan, dan konteksnya, berarti akal –
sebagai sesuatu yang umum dan dimilki bersama oleh semua orang- tidak mungkin berbeda-beda
selama akal itu sehat. Dengan pengetahuan yang rasional dan universal ini, kita dapat membuat
standarisasi yang benar dan permanen tentang kebenaran, dan juga mengetahui apa yang dimaksud
dengan keutamaan.

Sesudah Socrates,, datanglah muridnya, yaitu Plato yang terkenal itu. Ia menguatkan teori
pengetahuan yang dibuat oleh gurunya itu dan menambahkan argumentasinya sendiri. Aka tetapi,
kita tidak tahu, mengapa ia meletakkan pengetahuan ini diatas dasar sejumlah ide. Lantas apa pula
yang dimaksud dengan ide-ide itu?

Plato berpendapat bahwa makna yang universal bukanlah sesuatu yang bisa dicapai oleh indra,
melainkan oleh akal semata. Keindahan dan keburukan, misalnya, adalah dua hal yang dapat kita
ketahui pada perkara yang banyak sekali, yang berbeda-beda gejala dan bentuknya. Lalu, apakah
yang menyebabkan kita mendefinisikan bahwa semua perkara ini berkaitan dengan keindahan dan
perkara yang lain berkaitan dengan keburukan? Bukan indra kita yang mengetahui keterkaitan itu,
melainkan rasio kitalah yang empertemukan dan memperbandingkan perkara-perkara didala hal
keindahan, sehingga ia mengetahui bahwa pada perkara-perkara itu terdapat keindahan. Namun,
agar rasio dapat mempertemukan dan memperbandingkan perkara-perkara ini, ia mesti mempunyai
suatu ide yang asli dan orisinil tentang keindahan dan keburukan. Seandainya kita mengatakan
bahwa ide itu berasal dari kreasi akal kita, berarti kita mundur ke belakang mengikuti orang-orang
Sofis yang mengukur kebenaran berdasarkan standarisasi individu murni (subjektivisme). Jadi, kita
harus mengatakan bahwa pengertian universal itu mempunyai wujud hakiki dibaik akal pikiran kita.
Inilah yang dimaksud oleh Plato dengan ide (les idees).

Ia juga mengatakan bahwa jiwa-jiwa kita, sebelum menitis kedalam jasad, telah hidup di dunia ide.
Ketika jiwa telah menyatu kedalam jasad, ia agak melupakan dunia ide. Akan tetapi ia meletakkan
pandangannya tentang jiwa berdasarkan pengertian yang universal, seperti pengertian keindahan
dan keburukan, engkau akan teringat terhadap contoh yang dikemukakannya melalui jalan
perbandingan, engkaupun akan mengetahui kebaikan dan keburukan pada suatu perkara.
Demikianlah keadaan semua pengertian universal seperti keutamaan, keadila, kebaikan, dan lain-
lain. Dengan demikian, ilmu ialah upaya mengingat-ingat ide, sedangkan kebodohan ialah keadaan
lupa terhadap ide. Sementara pengalaman-pengalaman didalam kehidupan dunia, tidak lain
merupakan wasilah untuk membangunkan dan mengingatkan akal terhadap apa yang pernah
diketahui sebelumnya di dunia ide.
Hayran : Akan tetapi Syaikh, apa yang dimaksud dengan dunia ide itu dan bagaimana
hakikatnya?
Syaikh : Adalah hakmu untuk merasa heran, sebagaimana juga dialami oleh Aristoteles yang
hidup sebelumnya. Plato menguraikan dunia ide tersebut dengan sifat-sifat yang banyak sekali
sehingga dunia ide itu tidak dapat dimengerti dan tidak rasional, kecuali apabila diiehendakinya
dengan ide tersebut adalah segala perkara yang ada didalam ilmu Tuhan. Aku menduganya
demikian, Hayran. Sebab, Plato mengatakan bahwa ide terseut bukanlah materi, melainkan
pengertian yang abstrak. Unsur-unsur dan Unsur-unsur dan keberadaannya berasal dari dirinya,
bukan dari hal-hal diluarnya. Dunia ide menjadi dasar segala sesuatu. Ia tidak bersandar pada suatu
perkara yang lain, tetapi yang lain itu bersandar padanya. Ide bersifat langgeng, permanen,abadi,
diam, sempurna dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidakkah engkau memahami sifat-sifat
tersebut? Artinya, bahwa Plato hamper menghendaki perkara-perkara yang ada di dalam ilmu Allah?
Hayran : Apakah Plato mempercayai eksistensi Allah?
Syaikh : Plato termasuk salah seorang filosof pertama yang berbicara tentang eksistensi
Tuhan, yakni bahwa Tuhan adalah Pencipta alam semesta dan Yang Mengaturnya. Untuk itu, Plato
mengemukakan bukti-bukti. Diantaranya yang terpenting ialah bukti tentang kerapian. Ia
berpendapat bahwa alam ini merupakan suatu tanda keindahan dan kerapian. Selamanya, ala mini
tidak mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan ia adalah ciptaan Zat Yang Berakal,
Mahasempurna, Pemilik kebaikan, dan Pengatur segala sesuatu berdasarkan suatu maksud dan
hikmah tertentu.

Akan tetapi, ketika Plato hendak menggambarkan dan melukiskan bagaimana Tuhan membuat alam
ini, akalnya terbentur pada suatu problem yang biasa kita jumpai. Ia tidak mampu membayangkan
bagaimana makhluk tercipta dari ketiadaan (cretio ex nihilo). Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa
semua makhluk tersusun dari materi dan bentuk (forme). Bentuk inilah yang membuat materi itu
menjadi benda tertentu. Bentuk ini pula yang merupakan akibat dari ide-ide yang member corak dan
bentuk tertebtu pada sesuatu tersebut. Jadi, sesuatu, sebelum mengambil bentuk berdasarkan
idenya, sehingga ia memperoleh hakikat wujud setelah asalnya tidak ada. Zat yang memberikan
corak yang sesuai dengan idenya sehingga materi itu menemukan bentuknya –setelah sebelumnya
tidak ada- itulah Tuhan.
Hayran : saya tidak mengerti, mengapa benda itu tidak ada sebelum mengambil bentuknya?
Syaikh : engkau tidak mengerti, demikian juga aku. Plato sendiri, dengan rasionya yang
lurus dan sempurna, juga tidak mengerti, bagaimana mungkin sesuatu itu merupakan sebuah materi
dan ketiadaan pada saat bersamaan? Akan tetapi, rasio Plato yang terlalu memaksakan diripun
akhirnya terjerumus kadalam anggapan yang salah tersebut, karena tidak sanggup menggambarkan
cretio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan murni). Ketidakberdayaan ini timbul dari analogi yang
menipu dan menguasai alam pikiran kita yang tidak biasa menggambarkan terjadinya sesuatu dari
ketiadaan. Akal kita terbiasa melihat sesuatu yang selalu berubah-ubah dari satu bentuk ke bentuk
yang lain, sehingga bentuk tersebut divonis sebagai sesuatu yang baru.

Insya Allah bersambung pada dialog selanjutnya yang akan membahas tentang Aristoteles

You might also like