Professional Documents
Culture Documents
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 melalui Pembangunan Nasional yang
berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta disusun dalam
satu program kesehatan dengan perencanaan terpadu yang didukung oleh data dan informasi
epidemiologi yang valid.
Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden).
Object 1
Penyakit menular masih merupakan masalah, sementara penyakit degeneratif juga muncul sebagai
masalah. Penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administrasi, sehingga menyulitkan
pemberantasannya. Dengan tersedianya vaksin yang dapat mencegah penyakit menular tertentu, maka
tindakan pencegahan untuk mencegah berpindahnya penyakit dari satu daerah atau negara ke negara
lain dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat dan dengan hasil yang efektif.
Salah satu strategi pembangunan kesehatan nasional untuk mewujudkan “Indonesia Sehat 2010” adalah
menerapkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, yang berarti setiap upaya program
pembangunan harus mempunyai kontribusi positif terhadap terbentuknya lingkungan yang sehat dan
perilaku sehat. Sebagai acuan pembangunan kesehatan mengacu kepada konsep “Paradigma Sehat”
yaitu pembangunan kesehatan yang memberikan prioritas utama pada upaya pelayanan peningkatan
kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) dibandingkan upaya pelayanan
penyembuhan/pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) secara menyeluruh dan terpadu dan
berkesinambungan.
Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, “Paradigma Sehat” dilaksanakan melalui
beberapa kegiatan antara lain pemberantasan penyakit. Salah satu upaya pemberantasan penyakit
menular adalah upaya pengebalan (imunisasi). Penerapan Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan otonomi luas kepada kabupaten/kota dan
otonomi terbatas pada provinsi, sehingga pemerintah daerah akan semakin leluasa menentukan prioritas
pembangunan sesuai kondisi daerah.
Oleh sebab itu daerah harus memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah sampai
memilih prioritas penanggulangan masalah kesehatan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
daerah, serta mencari sumber-sumber dana yang dapat digunakan untuk mendukung penyelesaian
masalah. Dalam hal ini imunisasi merupakan upaya prioritas yang dapat dipilih oleh semua wilayah
mengingat bahwa imunisasi merupakan upaya yang efektif dan diperlukan oleh semua daerah. Upaya
imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini merupakan upaya kesehatan
masyarakat yang terbukti paling cost effective.
Dengan upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacar telah terbasmi dan Indonesia
dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Mulai tahun 1977, upaya imunisasi diperluas
menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu, tuberculosis, difteri, pertusis, campak, polio,
tetanus serta hepatitis B.
Dengan upaya imunisasi pula, kita sudah dapat menekan penyakit polio dan sejak tahun 1995 tidak
ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Hal ini sejalan dengan upaya global untuk membasmi polio
di dunia dengan Program Eradikasi Polio (ERAPO).
Penyakit lain yang sudah dapat ditekan sehingga perlu ditingkatkan programnya adalah tetanus
maternal dan neonatal serta campak. Untuk tetanus telah dikembangkan upaya Eliminasi Tetanus
Maternal dan Neonatal (MNTE) sedangterhadap campak dikembangkan upaya Reduksi Campak
(RECAM). ERAPO, MNTE dan RECAM juga merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh
semua Negara di dunia. Disamping itu, dunia juga menaruh perhatian terhadap mutu pelayanan dan
menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices) yang dikaitkan dengan
pengelolaan limbah tajam yang aman (save waste disposal management), bagi penerima suntikan, aman
bagi petugas serta tidak mencemari lingkungan.
Walaupun PD3I sudah dapat ditekan, cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata.
Kegagalan untuk menjaga tingkat perlindungan yang tinggi dan merata dapat menimbulkan letusan
(KLB) PD3I. Untuk itu, upaya imunisasi perlu disertai dengan upaya surveilans epidemiologi agar
setiap peningkatan kasus penyakit atau terjadinya KLB dapat terdeteksi dan segera diatasi. Dalam PP
Nomor 25 Tahun 2000 kewenangan surveilans epidemiologi, termasuk penanggulangan KLB
merupakan kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Selama beberapa
tahun terakhir ini, kekawatiran akan kembalinya beberapa penyakit menular dan timbulnya penyakit-
penyakit menular baru kian meningkat.
Penyakit-penyakit infeksi “baru” oleh WHO dinamakan sebagai Emerging Infectious Diseases adalah
penyakit-penyakit infeksi yang betul-betul baru (new diseases) yaitu penyakit-penyakit yang tadinya
tidak dikenal (memang belum ada, atau sudah ada tetapi penyebarannya sangat terbatas; atau sudah ada
tetapi tidak menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia). Yang juga tergolong ke
dalamnya adalah penyakit-penyakit yang mencuat (emerging diseases), yaitu penyakit yang angka
kejadiannya meningkat dalam dua dekade terakhir ini, atau mempunyai kecenderungan untuk
meningkat dalam waktu dekat, penyakit yang area geografis penyebarannya meluas, dan penyakit yang
tadinya mudah dikontrol dengan obatobatan namun kini menjadi resisten. Selain itu, termasuk juga
penyakit-penyakit yang mencuat kembali (reemerging diseases), yaitu penyakit-penyakit yang
meningkat kembali setelah sebelumnya mengalami penurunan angka kejadian yang bermakna.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa program imunisasi kedalam penyelenggaraan
yang bermutu dan efisien. Upaya tersebut didukung dengan kemajuan yang pesat dalam bidang
penemuan vaksin baru (Rotavirus, Japanese encephalitis, dan lain-lain). Beberapa jenis vaksin dapat
digabung sebagai vaksin kombinasi yang terbukti dapat meningkatkan cakupan imunisasi, mengurangi
jumlah suntikan dan kontak dengan petugas imunisasi.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk mencapai tingkat
population imunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga dapat memutuskan rantai penularan
PD3I. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, upaya imunisasi dapat semakin efektif dan
efisien dengan harapan dapat memberikan sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan anak, ibu serta
masyarakat lainnya.
Jadwal Imunisasi / Vaksinasi
www.infoibu.com
Memberikan suntikan imunisasi pada bayi anda tepat pada waktunya adalah faktor
yang sangat penting untuk kesehatan bayi anda. Yakinlah bahwa dengan membawa
bayi anda untuk melakukan imunisasi adalah salah satu yang terpenting dari bagian
tanggung jawab anda sebagai orang tua. Imunisasi (atau “vaksinasi”) diberikan
mulai dari lahir sampai awal masa kanak-kanak. Imunisasi biasanya diberikan
selama waktu pemeriksaan rutin ke dokter atau klinik.
6bulan-dosis 3
5 bulan-dosis3 12tahun-booster3
5bulan-dosis 3
Yang harus diperhatikan, tanyakan dahulu dengan dokter anda sebelum imunisasi jika bayi anda
sedang sakit yang disertai panas; menderita kejang-kejang sebelumnya ; atau menderita penyakit
system saraf.
Imunisasi adalah suatu prosedur rutin yang akan menjaga kesehatan anak anda. Kebanyakan
dari imunisasi ini adalah untuk memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit
yang berbahaya dan sering terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan seorang anak. Walaupun
pengalaman sewaktu mendapatkan vaksinasi tidak menyenangkan untuk bayi anda (karena
biasanya akan mendapatkan suntikan), tapi rasa sakit yang sementara akibat suntikan ini adalah
© Dr.Suririnah-www.infoibu.com
idak ada jaminan 100%, tentu saja. Mana ada? Ini untuk vaksin apapun, dan kita berurusan dengan
mahluk hidup, dengan segala keberagamannya, bagaimana bisa menjamin hasilnya 100%?
Apakah dengan memakai helm kita tidak akan terluka? Tidak, tapi helm akan membantu melindungi
dan memperkecil risiko trauma pada kepala. Apakah ‘keberhasilan’ pemakaian helm terlihat jelas? Saya
berani bilang tidak. Kenapa? Karena mereka selamat. Yang menjadi ‘berita’, yang laris diangkat
sebagai topik di media cetak (dan elektronik), yang jadi ‘subject’ email yang ‘bagus’ untuk diteruskan
ke teman-teman, umumnya berupa berita yang cenderung negatif.
Lalu bagaimana vaksin dinyatakan aman? Seperti obat dinyatakan aman. Kuncinya ada pada statistik.
Kita bisa berkata itu hanya hasil permainan statistik oleh para produsen vaksin dan obat. Nyatanya kita
memang bermain statistik setiap hari. Kalau dimanfaatkan dengan baik, statistik dapat menyelamatkan
jiwa. Dan jika statistik hanya dijadikan alat untuk mendapat uang, uang dapat diperoleh.
Uang dan kekayaan orang lain
Satu dari sekian alasan gerakan anti-imunisasi adalah mengalirnya uang ke para produsen vaksin. Apa
ada yang salah? Tampaknya menurut mereka, kita memasukkan uang ke kantong produsen vaksin dan
menjadikan mereka kaya adalah salah.
Kenapa membuat orang menjadi kaya itu salah? Apalagi jika kita tidak rugi. Ah, saya ralat. Sebagian
besar orang (yang menerima vaksin) tidak rugi, kecuali sebagian kecil yang ‘rugi’ karena tubuhnya
memberi reaksi negatif terhadap vaksin.
Jika kita menolak mengeluarkan biaya hanya dengan alasan ‘hanya memperkaya orang lain’ atau ‘bikin
kaya juragan yang udah kaya’, kecil kemungkinan kita bisa berbuat apapun. Kecuali mungkin, hidup di
peternakan, perkebunan, atau lahan pertanian milik sendiri. Tidak perlu apa-apa dari orang lain. Masa
iya?
Anda dapat membaca email lengkapnya di sini (format pdf) atau di sini (format rtf). Mohon JANGAN
teruskan ke mana-mana TANPA anda sertakan uraian yang ada di artikel ini.
Berikut ini adalah bagian yang -bagi saya- lebih penting untuk dibahas.
- Pasien lain di RS yang sama mengatakan pada saya, anak saudaranya sampai dengan usia
2 tahun belum pernah suntik Imunisasi Hepatitis namun, setelah ada dokter (spesialis anak)
yang tahu, lalu disarankan diimunisasi Hepatitis, kemudian tidak lama setelah itu akhirnya
anak saudaranya positif terkena Hepatitis akut, dan harus bolak-balik berobat ke dokter.
Indonesia adalah daerah endemik Hepatitis B. Rasanya ini sudah cukup untuk dijadikan alasan
mengapa bayi baru lahir direkomendasikan untuk mendapat vaksin hepatitis B. Terutama pula karena
para carrier virus Hepatitis B biasanya tidak sadar mereka telah terinfeksi, akibatnya dapat dengan
mudah menularkannya kepada bayi.
Tentang terjangkit hepatitis setelah diimunisasi, tergantung jenis hepatitisnya. Hepatitis A menular
lewat oral-fecal. Bisa saja anak diberi imunisasi hepatitis B, tapi tertular hepatitis A dari makanan yang
terkontaminasi. Atau sebaliknya, diimunisasi hepatitis A tapi tertular hepatitis B dari kontak cairan
tubuh dengan carrier (misalnya lewat luka terbuka). Atau diimunisasi hepatitis A tapi sebenarnya ibu
adalah carrier virus hepatitis B dan menurunkannya ke anak, yang tidak terlindungi karena tidak diberi
vaksin hepatitis B segera setelah lahir.
Fisik lemah belum tentu karena imunisasi. Faktor lain juga perlu dipertimbangkan. Bagaimana dengan
pemberian ASI atau susu formula? Atau pola makan? Atau ada kelainan bawaan? Selain itu, anak yang
sedang bertumbuh (6 bulan ke atas), wajar saja jika bolak-balik sakit ringan. Selesma, flu, diare, sistem
kekebalan tubuhnya sedang belajar. Seiring usianya bertambah, ia akan semakin jarang sakit.
sedangkan anak keduanya sama sekali tidak pernah imunisasi namun malah sehat, hampir
tidak pernah sakit (kalaupun sakit cepat sembuh/ringan)
Anak yang diimunisasi tidak dijamin selalu sehat. Anak yang tidak diimunisasi juga tidak dijamin
selalu sehat atau selalu sakit. Bagaimana perbandingan kondisi kedua anak? Jangan hanya dilihat
diimunisasi atau tidaknya.
Bahkan bayi yang diberi ASI eksklusif -yang notabene mendapat asupan antibodi dari ibu setiap
menyusu- juga tidak dijamin selalu sehat. Pernyataan ‘yang diimunisasi sering sakit dan yang tidak
diimunisasi sehat’ ini tidak memberikan keterangan ‘sebab’ yang kuat. Anak tidak menjadi sehat jika
tidak diimunisasi.
Teman sekolah saya anaknya tidak pernah Imunisasi malah sehat, umur 10 bulan sudah
lincah berjalan, dan juga boleh dibilang tidak pernah sakit (kalaupun sakit hanya ringan
saja). dan banyak lagi kasus-kasus serupa yang tidak mungkin saya tulis satu persatu.
I condole with you. Akan jauh lebih banyak lagi deret nama yang dapat ditulis, yang terselamatkan oleh
vaksin. Tanpa maksud untuk ‘menghilangkan’ mereka yang ‘menderita’ akibat vaksin.
Usia anak dapat berjalan bervariasi. Apakah jika saya katakan anak yang tidak diimunisasi baru bisa
berjalan di usia 1,5 tahun, lalu menjadi dasar bagi pernyataan ‘anak menjadi lambat berjalan karena
tidak diimunisasi’? Tidak ada hubungannya antara imunisasi dengan berjalan. Berjalan kaitannya
dengan kesiapan mental dan motorik anak.
IMHO, tidak ada imunisasi yang aneh-aneh. Sedangkan imunisasi lanjutan bukanlah imunisasi di luar
imunisasi wajib (yang ditetapkan oleh IDAI), tapi imunisasi yang diberikan sebagai tambahan
(booster), di luar dosis ‘wajib’ atas alasan tertentu. Misalnya PIN polio, ketika anak yang sudah
diimunisasi polio juga dianjurkan ikut.
- Kita “Mendzolimi”, anak kita sendiri yang memang sedang masa pertumbuhan dan
pertahanan tubuhnya masih lemah, malah kita suntikan penyakit (walaupun sudah
dilemahkan) ke tubuhnya.
Betul, itu sudah dijawab sendiri. Bibit penyakit yang sudah dilemahkan ini dimasukkan ke tubuh dalam
dosis yang sedemikian rupa sehingga cukup untuk merangsang sistem kekebalan tubuh agar
membangun pasukan yang memadai. Bukan supaya sakit.
Justru karena kekebalan tubuhnya masih lemah, ia perlu ‘diajari, siapa yang harus dikenali sebagai
musuh dan bagaimana melawannya. Tidakkah lebih zhalim jika kita tahu bagaimana pencegahannya
tapi kita memilih diam karena ketakutan (ketimbang ada dasar pemikiran lain, misalnya anak punya
alergi terhadap putih telur atau tidak dapat menerima vaksin hidup)?
- Kita tidak pernah tahu kondisi anak kita sedang benar-benar sehat atau tidak, karena
terutama anak yang masih di bawah 1 tahun biasanya belum bisa bicara mengenai kondisi
badannya, sedangkan imunisasi harus dilakukan pada bayi/balita yang sehat (tidak sedang
lemah fisiknya/sakit).
Koreksi sedikit. Anak yang sedang selesma atau flu tidak menjadi hambatan untuk diimunisasi. Selain
itu, kita bisa kok menilai kondisi kesehatan anak. Jika tidak ada tanda fisik bahwa ia sedang sakit, jika
ia tidak memiliki kelainan bawaan sejak lahir, jika insting ibu (biasanya nurani ibu lebih peka terhadap
kondisi anaknya) tidak merasakan sesuatu yang aneh, jika perilaku anak tetap aktif dan riang, maka
tidak ada masalah.
Memang tidak ada jaminan. Sudah saya jelaskan di awal tadi. Tampaknya para orangtua memang harus
lebih aktif mencari informasi tentang vaksin, apa, bagaimana, dan sampai seberapa tinggi orangtua
dapat berharap dari vaksin.
Tentu saja kita mengeluarkan biaya untuk layanan kesehatan. Sama saja seperti kita berbelanja. Dan
tempat kita berbelanja juga umumnya tidak menjamin produk yang dijual. Konsumen yang dituntut
untuk teliti terhadap barang yang dibeli. Mengapa kita tidak memberlakukan hal yang sama dengan
produk kesehatan?
Contoh nyata yang terjadi pada anak saya, padahal anak saya sudah 2 kali imunisasi HIB
ketika berusia +/- 5 dan 7 bulan ), padahal sebelumnya dokter bilang imunisasi HIB untuk
menghindari penyakit Radang Otak, namun nyatanya anak saya malah meninggal akibat
penyakit Radang Otak.
Again, I condole. Dan anak saya baik-baik saja setelah diimunisasi HiB secara simultan dengan DPT
dan polio. Ini dapat menjadi pertimbangan bahwa tidak semua anak sama. Jika tidak semua anak
dianggap memerlukan vaksin, maka tidak semua anak pula boleh dianggap tidak memerlukan vaksin.
Apakah kuman yang menyebabkan radang otak sama dengan yang terkandung dalam vaksin? Jika
tidak, tentu dapat dimengerti.
Tanpa mengurangi rasa hormat, berita tersebut tidak benar, jika rekannya tidak berbohong. Literatur
mana? Terbitan mana? Imunisasi tidak populer di AS? Tragis sekali. Anda bisa telusuri sendiri di
internet dan situs resmi pemerintah AS, jadwal imunisasi tetap dikeluarkan setiap tahun. Bahkan anak-
anak yang tidak melengkapi jadwal imunisasinya tidak diperbolehkan mendaftar di banyak sekolah
(yang kemudian juga memancing reaksi dari para orangtua).
Atau, mungkin berita itu benar dan rekannya tidak berbohong, tapi yang dikutip sebagai
sumber/literatur berasal dari ‘golongan’ anti-imunisasi. Tentu saja anda dapat mengharapkan segala
informasi negatif tentang imunisasi ada di sana. Dan jika berawal dengan prasangka negatif, bukti
nyata di depan mata pun sanggup (mereka) (di)jadikan mentah.
Vaksin flu bahkan dikembangkan di sana dan ada program vaksinasi flu setiap tahunnya. Israel adalah
pelopor industri vaksin? Sejak kapan? Bagaimana ini bisa menjadi bukti bahwa imunisasi dihilangkan?
Menurut pengalaman saya jumlah kadar/isi setiap pipet/tabung imunisasi semua sama, jadi
imunisasi tidak melihat berdasarkan berat tubuh/perbedaan Ras/warna kulit, padahal kalau
Obat/Imunisasi itu Impor, tentulah kadarnya disesuaikan dengan berat/fisik orang Luar
(Barat) yang jelas lebih basar dan kuat fisiknya dibanding orang Asia, namun kita malah
sama-sama menggunakan dengan takaran yang sama. (akibatnya overdosis).
Maaf, vaksin wajib di Indonesia sudah diproduksi di dalam negeri, tidak lagi impor. Apakah sudah
dibandingkan antara vaksin impor dan vaksin lokal? Berbedakah jumlahnya?
Yang penting diperhatikan sebelum memberikan vaksin tertentu adalah titer antibodi, bukan berat
badan. Dan titer antibodi ini tidak berhubungan dengan berat badan, karena dinyatakan dalam
konsentrasi.
Saya menanyakan langsung kepada penyelenggara program imunisasi (NIP, National Immunization
Program) di CDC (Centers for Disease Control and Prevention) mengenai vaksin HiB ini, dan berikut
adalah salinan jawabannya:
In general terms, a vaccine dose is based on AGE and the development of the immune
system – NOT height and weight. The doses are either pediatric or adult.
Also, there are several different organisms that can cause meningitis (saya agak kesulitan
dengan radang otak yang dimaksud dalam email tersebut, karena tidak ada keterangan
apakah meningitis [radang selaput otak] atau ensefalitis [radang otak]). There are
bacterial and VIRAL organisms that can cause meningitis. HiB is NOT THE ONLY
ORGANISM that causes meningitis.
I would also remind you that NO MEDICATION, including HiB vaccine is 100% effective.
And one last point – HiB vaccine is made with INACTIVATED (dead) bacteria, which
can induce an immune response, but CANNOT cause disease.
Nah, terbantah sudah dugaan bahwa radang otak tersebut diakibatkan oleh bakteri yang terkandung
dalam vaksin HiB.
3. Jika tidak “urgent” sekali, hindari rawat inap di RS, karena banyak prosedur/step-step
pengobatan yang akhirnya akan melemahkan tubuh pasiennya. (Contoh: keharusan
berpuasa, pemasangan infus, pengambilan darah yang terus menerus, foto Rontgen, operasi,
kemoteraphy, dsb). Jikalau perlu coba dulu dengan cara pengobatan alternatif/tradisional.
Tentu saja. Langkah itu memang seharusnya tidak ditempuh jika tidak penting DAN mendesak. Juga
pilihan untuk pengobatan alternatif/tradisional. Apakah dilakukan juga jika tidak urgent?
Jika pengobatan alternatif lebih dipilih, apakah reaksinya akan tetap sama jika hasilnya negatif? Atau
mirip reaksi terhadap ramalan? Kalau berhasil, “Tuh, kan, manjur”. Kalau tidak berhasil, “Ya namanya
juga alternatif. Namanya juga usaha, boleh dong”. Tidak ‘adil’, ya.
Berpuasa memang biasanya dilakukan sebelum operasi. Kalau lambung terisi, bisa ada kemungkinan
buang air (besar/kecil) ketika operasi sedang berlangsung. Berhubung operasi harus dilakukan dalam
keadaan aseptik, maka keluarnya kotoran dapat memperbesar kontaminasi kuman patogen ke luka
operasi yang sedang terbuka. Ini bahaya.
Pengambilan darah secara periodik hanya dilakukan apabila tidak ada jalan lain untuk mengetahui
kondisi pasien. Biasanya ini untuk mengawasi keadaan yang cepat berubah, dan bisa diamati segera
dengan menganalisa darah. Misalnya trombosit, leukosit, dan sebagainya.
4. Jika perlu dengan tegas untuk menolak suatu tindakan medis yang akan dilakukan RS,
jika kita yakini manfaatnya tidak benar-benar berpengaruh terhadap kesembuhan pasien.
Bagus. Memang harus begitu. Jangan hanya berserah dan melimpahkan tanggungjawab kepada dokter.
Dengan demikian orangtua juga harus aktif memperkaya ilmu sehingga dapat berdiskusi secara sejajar
dengan dokter, tidak hanya ‘menerima sabda’.
Sayangnya, orangtua seringkali juga terima saja jika diresepkan vitamin macam-macam dengan alasan
untuk kesehatan/memperkuat kekebalan tubuh, padahal manfaatnya juga tidak benar-benar jelas. Berat
sebelah?
5. Jika perlu lakukan 2nd opinion pada RS/dokter lain yang setara/lebih baik.
Betul sekali.
6. Banyak tanya, biarlah kita dibilang “bawel”, tanyalah setiap tindakan medis yang akan
dilakukan, mengapa akan di lakukan, akibat-akibatnya, ada tidak cara-cara lain/alternatif
lain yang lebih baik/tidak terlalu menyakiti pasien.
Setuju. Dan jika memang ‘menyakiti’ adalah cara terbaik yang dapat menguntungkan, bersiaplah untuk
memilihnya.
7. Terus temani pasien (bisa bergantian dengan keluarga yang lain), karena setiap saat bisa
ada tindakan medis yang memerlukan persetujuan, dan cermati semua pekerjaan
perawatannya, jika ada yang habis/kurang jangan sungkan melaporkan ke tenaga medis
yang ada segera.
8. Terus berdoa, karena segala sesuatunya telah ditetapkan oleh “Yang Maha Kuasa”,
manusia hanya bisa ikhtiar dan berusaha.
None other than agree. Saya salut pada keluarga ini yang sanggup berlapang dada dan mengajak pada
kepasrahan.
Saya betul-betul berharap dapat membantu mencerahkan, alih-alih bikin suasana tambah runyam.
Karena itu saya khusus minta bantuan ekstra dari cak Moki (yang dokter tulen). Saya salinkan sebagian
tanggapan beliau:
“tapi kalau ternyata kejadian betulan kan ya kejam betul saya langsung menuding itu
bohong”
*Ini kata-kata dari email saya
Iya, cak, kata mbak Dinar -juga yang saya lakukan- itu tidak diedit, bahkan header-header
yang timbul akibat tindakan ‘forward’ juga dibiarkan apa adanya. saya malah ndak
memperhatikan tanggal itu hehehe…
Waks. Malu saya. Sungguh hanya ingin berbagi, kok. Saya prihatin jika banyak orangtua mengambil
keputusan dengan tergesa-gesa hanya karena takut. Sesal kemudian betul-betul tidak berguna. Apalagi
jika sudah menyangkut anak. Semesta di dunia. Terimakasih buanget ya, cak!
Anda yang ingin mengetahui langsung dapat membaca 10 Things You Need Know about
Immunization di sini, atau bahkan bertanya langsung ke CDC Information Contact Center via email.
Artikel ini juga layak dibaca: Smallpox must have never existed! Circular logic. Big thanks, Eko
KASUS IMUNISASI
Pernik
•
• Share
• 0diggsdigg
• Object 2
Eh, tiga hari belakangan ini milis rameeee banget ya... saya sampai
kewalahan nge-del satu-satu.... abis, kalau ngga' dibaca ngga' seru. Dan
bikin saya nyesel juga nih... soalnya kalau rekan-2 lagi rame-nya ngirim
email, kan jam saya bobok. Jadinya ketinggalan deh... kalau ngasih
komentarnya belakangan, udah ngga' seru! Yaaa... nasib saya tinggal 12 jam
lebih muda! Ihik.
regards,
Quinike
________________________________________________________________________
Get Your Private, Free E-mail from MSN Hotmail at http://www.hotmail.com