Professional Documents
Culture Documents
Para penumpang yang baru meninggalkan Roma dengan kereta api cepat malam harus
berhenti dan menunggu sampai fajar di sebuah stasiun kecil di Fabriano untuk ganti kendaraan
dengan menggunakan kereta tradisional kecil yang melewati jalur utama ke Sulmona.
Ketika fajar, dalam sebuah kereta kelas dua yang di dalamnya sudah ada lima orang
penumpang yang telah menunggu sejak tadi malam, seorang wanita berbadan gemuk seperti
buntelan tak berbentuk dibantu ditarik naik masuk ke dalam. Ia diiringi oleh suaminya, seorang
laki-laki kecil kurus dan lemah—wajahnya pucat pasi, kedua bola matanya kecil dan tajam serta
nampak malu-malu dan kikuk—yang berjalan terengah-engah.
Akhirnya setelah mendapat tempat duduk dengan sopan ia berterima kasih kepada para
penumpang yang telah menolong istrinya tadi serta bersedia meluangkan tempat duduk untuk
wanita itu. Kemudian ia berpaling kepada istrinya dan menarik kerah mantelnya, lalu dengan
halus bertanya:
Istrinya bukannya menjawab tapi malah menarik lagi kerahnya sampai ke mata seakan
ingin menyembunyikan wajahnya.
Wanita bermantel besar itu meronta-ronta kecil di tempat duduknya dan berkali-kali
menggeram seperti seekor binatang buas, dia merasa yakin bahwa segala penjelasan itu tidak
akan menumbuhkan walau hanya sekedar simpati dari orang-orang itu, yang sebagian besar
sama-sama bernasib malang seperti dirinya. Salah seorang di antara mereka itu yang
mendengarkan dengan perhatian khusus berkata:
“Seharusnya kalian bersyukur karena putra kalian baru sekarang dikirim ke front. Putraku
telah dikirim sejak hari pertama pertempuran. Ia sudah dua kali pulang dalam keadaan luka dan
setelah sembuh dikirim kembali ke front.”
“Bagaimana denganku? Aku memiliki dua orang putra dan tiga orang kemenakan di medan
perang,” sambung penumpang yang lain.
“Mungkin, tapi bagi kami ia adalah anak satu-satunya,” jawab sang suami membela diri.
“Apa bedanya? Anda bisa saja memanjakan anak satu-satunya itu dengan perhatian yang
berlebihan, tapi anda tidak bisa mencintainya lebih daripada anak-anak lainnya seandainya anda
juga punya. Kasih sayang orangtua tidak sama seperti sepotong kue yang bisa diiris-iris lalu
dibagi rata kepada semua anak. Seorang ayah akan memberika semua kasih sayangnya kepada
setiap anaknya tanpa perkecualian, tidak peduli apakah satu atau sepuluh anak. Dan kalau
sekarang aku menderita karena dua orang putraku, bukan berarti aku menderita untuk
masing-masing mereka setengah, bahkan penderitaanku berganda….”
“Benar, benar…,” desah sang suami yang nampak malu itu, “tapi seandainya (tentu saja
kita semua berharap anda tidak akan pernah mengalaminya) seorang ayah memiliki dua orang
putra di garis depan, lalu ia kehilangan salah seorang di antara mereka, maka ia masih memiliki
seorang lagi sebagai pelipur laranya, sementara….”
“Ya,” potong temannya, “masih ada seorang anak sebagai pelipur lara baginya. Tapi juga
demi anak yang satu itu ia harus tetap mempertahankan hidupnya. Sementara dalam kasus
seorang ayah yang memiliki anak tunggal, jika anak itu mati maka sang ayah pun bisa ikut mati
dan kesedihannya akan berakhir. Mana di antara dua posisi ini yang lebih buruk? Tidakkah anda
lihat bahwa keadaanku bisa lebih buruk daripada keadaan anda?”
“Nonsense!” interupsi seorang penumpang yang lain, seorang pria gemuk berwajah
kemerahan dengan mata yang lelah.
Napasnya tersengal-sengal. Dari kedua bola matanya yang menonjol keluar seolah-olah
akan menyemprotkan gejolak dahsyat dalam dirinya yang sudah tak terkendali dan hampir tidak
kuat lagi ditanggung oleh tubuhnya yang lemah.
“Nonsense,” ulangnya sambil berusaha menutupi mulutnya dengan telapak tangan seakan
untuk menyembunyikan dua gigi depannya yang sudah ompong. “Nonsense. Apakah kita
memberi kehidupan bagi anak-anak kita untuk kepentingan kita sendiri?”
Para penumpang yang lain memandangnya dengan bingung. Salah seorang yang tadi
anaknya dikirim ke front sejak hari pertama peperangan mendesah, “Anda benar. Anak-anak kita
bukan milik kita, mereka adalah milik negara ….”
“Bosh,” potong laki-laki gemuk tadi. “Apakah kita memikirkan negara saat kita memberi
hidup kepada anak-anak kita? Anak-anak kita itu lahir … ya … karena mereka memang harus
lahir. Dan ketika mereka memasuki kehidupan ini mereka membawa kehidupan kita ke dalam
kehidupan mereka. Inilah yang sesungguhnya. Kita milik mereka tapi mereka tidak pernah jadi
milik kita. Dan ketika mereka mencapai umur dua puluh, mereka pun sama seperti kita dulu
waktu seusia mereka. Kita juga punya ayah dan ibu, namun di samping itu juga ada banyak lagi
hal-hal lainnya … gadis-gadis, rokok, angan-angan, dasi baru…dan negara, tentu saja, yang
seruannya kita penuhi—ketika kita berumur dua puluh—bahkan walaupun ayah dan ibu tidak
mengijinkan. Dalam usia kita yang sekarang ini, rasa cinta kepada tanah air masih tetap besar,
tentu saja, tapi lebih kuat daripada itu adalah rasa cinta kepada anak-anak kita sendiri. Apakah
ada di antara kita di sini yang tidak dengan senang hati akan mengambil alih tempat anaknya di
medan perang jika saja ia mampu?”
“Mengapa kemudian,” lanjut laki-laki gemuk tadi, “kita tidak memikirkan perasaan
anak-anak kita ketika mereka telah berumur dua puluh? Bukankah wajar saja dalam usianya
yang sekarang ini mereka seharusnya mencintai negara mereka (tentu saja bagi seorang pemuda
yang baik) lebih besar terhadap kecintaan mereka kepada kita? Bukankah wajar saja begitu,
paling tidak mereka harus menganggap kita sebagai bocah-bocah tua yang sudah tidak bisa
apa-apa lagi dan harus tinggal di rumah? Kalau negara ada, kalau negara adalah kebutuhan
pokok seperti roti yang mana kita semua harus pergi dan membelanya. Dan putra-putra kitapun
pergi, ketika mereka telah berumur dua puluh. Mereka tidak membutuhkan air mata kita, karena
kalau mereka gugur, mereka gugur dengan penuh semangat dan kebahagiaan (bagi seorang
pemuda yang baik, tentu saja). Sekarang, jika seseorang mati muda dan bahagia, tanpa memiliki
sisi gelap kehidupan, kemuakan terhadapnya, kepicikan, kekecewaan yang pahit … apa lagi yang
bisa kita pintakan untuknya? Setiap orang harus berhenti menangis, setiap orang harus tertawa,
seperti aku … atau paling tidak bersyukur kepada Tuhan, seperti aku ini. Karena putraku
sebelum meninggalnya, mengirimkan pesan kepadaku yang mengatakan bahwa ia mati dalam
keadaan puas karena hidupnya berakhir dengan cara terbaik yang dapat diharapkannya. Itulah
sebabnya mengapa aku sekarang ini, seperti yang kalian saksikan, tidak bersedih ….”
Sementara perempuan tadi, yang terbungkus dengan mantelnya di pojokan, duduk sambil
menyimak penuh perhatian. Sudah selama tiga bulan terakhir ini ia berusaha mencari di antara
kata-kata suaminya dan kawan-kawannya sendiri sepotong kalimat yang dapat menghiburnya
untuk mengatasi kesedihan yang dalam ini. Sepotong kalimat yang dapat menunjukkan
kepadanya bagaimana seorang ibu mesti bersedia mengikhlaskan hatinya untuk melepas
putranya bukan hanya untuk kematian saja tapi bahkan untuk suatu kehidupan yang berbahaya.
Dan dari sekian banyak ucapan-ucapan itu ia belum menemukan sepatah katapun … dan
kesedihannya semakin dalam setelah merasa—menurut dugaannya—tak seorangpun yang dapat
berbagi perasaan dengannya.
Akan tetapi sekarang ucapan-ucapan dari penumpang tadi itu mengejutkannya dan hampir
membuatnya pingsan. Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa bukan hanya orang lain saja yang salah
dan tidak dapat mengerti, tapi bahkan dia sendiri juga tidak bisa menempatkan dirinya pada
tingkatan para ayah dan ibu yang sanggup merelakan, tanpa tangis, bukan hanya untuk kepergian
putra mereka saja, namun bahkan untuk kematiannya.
Rasanya bagi perempuan itu dirinya telah tersesat ke suatu dunia yang tak pernah
dibayangkannya, dunia yang begitu jauh tak dikenalnya dan dia begitu senang mendengar setiap
orang bersama-sama mengucapkan selamat kepada sang ayah yang tegar itu, yang dapat dengan
begitu tabah menceritakan tentang kematian putranya.
Kemudian sekonyong-konyong, seperti tidak pernah mendengar apa-apa dari cerita yang
baru saja diucapkan tadi dan hampir seperti terbangun dari mimpi, dia bertanya kepada laki-laki
tua itu:
Semua orang kini memandangnya. Laki-laki tua tadi juga berpaling ke arahnya. Kedua bola
matanya yang besar menonjol dan berwarna abu-abu muda dengan berkaca-kaca menatap
lekat-lekat ke wajah si perempuan. Untuk beberapa saat ia mencoba menjawab, namun
kata-katanya tersekat di tenggorokan. Ia memandangi dan memandangi terus wanita itu, seakan
baru sekarang—karena pertanyaan yang bodoh dan sembrono itu—tiba-tiba ia menyadari bahwa
pada akhirnya putranya memang sungguh-sungguh telah mati. Anak itu telah pergi untuk
selamanya, selamanya ….