You are on page 1of 11

Proses optimasi untuk produksi biodiesel dari minyak Jarak, Karanja dan Polanga

Sumber bahan bakar minyak bumi yang sekarang dikenal luas merupakan sumber bahan bakar
yang tidak dapat diperbaharui karena penipisan bahan bakar fosil dan degradasi lingkungan.
Renewable, karbon netral, dan bahan bakar transportasi diperlukan untuk ketahanan lingkungan dan
ekonomi. Biodiesel yang berasal dari minyak tanaman berpotensi dapat diperbaharui dan alternatif
karbon netral untuk bahan bakar minyak bumi. Secara kimiawi, biodiesel merupakan monoalkil ester
dari rantai panjang asam lemak yang berasal dari sumber pangan yang dapat diperbaharui seperti
minyak nabati dan lemak hewan. Biodiesel dihasilkan melalui transesterifikasi dimana, minyak atau
lemak direaksikan dengan monohydric alkohol dengan bantuan katalis. Proses transesterifikasi
dipengaruhi oleh cara pengkondisian reaksi, rasio molar alkohol untuk minyak, jenis alkohol, jenis dan
jumlah katalis, waktu reaksi, suhu dan kemurnian reaktan. Dalam jurnal ini berbagai metode persiapan
biodiesel dari non-edible filtered minyak Jatropha (Jatropha curcas), Karanja (Pongamia pinnata) dan
Polanga (Calophyllum inophyllum) yang telah diuraikan. Mono ester (biodiesel) yang dihasilkan,
dicampur dengan diesel yang telah dievaluasi. Pemonitoran reaksi transesterifikasi digunakan alat
seperti TLC, GC dan HPLC.

Kata Kunci : Biodiesel, Jatropha Curcas, Pongamia Pinnata, Calophyllum inophyllum

1. PENDAHULUAN

Peningkatan krisis energi (bahan bakar) dan degradasi lingkungan, menjadikan biodiesel sebagai
salah satu sumber untuk menggantikan petro-diesel, sehingga mampu mengurangi ketergantungan
suatu negara pengimpor minyak mentah dari luar negeri. Sumber minyak bumi mentah sangat terbatas
sehingga perlu mencari bahan bakar alternative secara berkelanjutan di seluruh pelosok dunia.
Peningkatan harga bahan bakar minyak bumi, penipisan cadangan minyak dan peraturan yang ketat
tentang emisi gas buang telah mengharuskan penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang
dapat diperbaharui yang lebih sedikit menimbulkan polusi dan mudah tersedia untuk digunakan dalam
mesin pembakaran internal. Pengembangan biodiesel sebagai sumber energi alternatif dan dapat
diperbaharui untuk mekanisasi sektor pertanian dan transportasi menjadi penting dalam upaya bangsa
menuju kemandirian/self-reliance maksimum untuk batu loncatan dari strategi ketahanan energi kita.

Konsep penggunaan biofuel dalam mesin diesel bermula dari demonstrasi mesin diesel pertama
dengan penemu mesin diesel ''Rudolf Diesel "di World Exhibition di Paris pada 1900 dengan
menggunakan minyak kacang sebagai bahan bakar. Namun, karena melimpahnya pasokan petro-diesel,
kegiatan R&D pada minyak nabati tidak serius diteruskan. Hal tersebut baru mendapatkan perhatian
ketika disadari bahwa persediaan bahan bakar minyak bumi berkurang semakin cepat dan pengganti
yang dapat terbaharui yang ramah lingkungan harus diidentifikasi [1]. Beberapa tahun terakhir, usaha
serius telah dibuat oleh beberapa peneliti untuk menggunakan sumber energi yang berbeda sebagai
bahan bakar mesin diesel. Penggunaan minyak nabati rantai lurus terkendala oleh beberapa sifat fisik
yang tidak menguntungkan, terutama viskositas mereka. Karena viskositas yang tinggi dari minyak
nabati rantai lurus menyebabkan sedikitnya atomisasi bahan bakar, tidak lengkapnya pembakaran dan
pengendapan karbon pada bagian injector dan katup (valve) menyebabkan penyumbatan yang serius
pada mesin. Telah dilaporkan bahwa ketika mesin injeksi langsung dijalankan dengan minyak nabati
murni sebagai bahan bakar, injector akan tersendat setelah beberapa jam dan menyebabkan sedikitnya
atomisasi bahan bakar, kurang efisien pembakaran dan pengenceran minyak pelumas oleh minyak
nabati yang terbakar sebagian. Salah satu metode yang mungkin untuk mengatasi masalah viskositas
yang lebih tinggi adalah campuran minyak nabati dengan solar dalam proporsi yang benar dan yang lain
adalah transesterifikasi minyak untuk menghasilkan biodiesel.

Sebuah studi telah dilakukan pada sebelas minyak nabati rantai lurus yaitu kastor, jagung, biji
kapas, crambe, biji rami, kacang tanah, canola, safflower, wijen, kedelai dan bunga matahari dan
ditentukan sifat bahan bakar mereka [2]. Studi tersebut melaporkan bahwa dibandingkan dengan bahan
bakar diesel komersial, semua minyak nabati itu jauh lebih kental, jauh lebih
reaktif terhadap kelebihan oksigen dan mempunyai kekeruhan (cloud) dan titik tuang (pour point) yang
tinggi. Viskositas minyak nabati yang ditemukan 10-20 kali lebih besar daripada solar. Bertambahnya
panjang rantai karbon dan berkurangnya jumlah ikatan rangkap dikaitkan dengan bertambahnya
viskositas minyak, bilangan cetane dan berkurangnya kandungan panas kotor (gross) . Hal tersebut
ditemukan kecuali pada minyak jarak, terdapat sedikit perbedaan antara kandungan panas kotor dari
salah satu minyak nabati. Kandungan panasnya kira-kira 88% dari minyak solar. Peterson [3] meninjau
ulang minyak nabati sebagai pengganti mungkin untuk minyak solar.

Tanaman yang mengandung minyak paling dominan diperlakukan sebagai pengganti bahan
bakar adalah bunga matahari, safflower, kedelai, kapas,winter rape, kanola dan kacang. Lebih lanjut,
peneliti membahas transesterifikasi, pengolahan minyak, penyimpanan, dan penyaringan maupun aspek
pengujian pada mesin. Sebuah kajian komprehensif telah dilakukan pada minyak nabati sebagai bahan
bakar untuk mesin pembakaran internal [4]. Perbedaan utama antara solar dan minyak nabati
mencakup, secara signifikan viskositas lebih tinggi, kerapatan cukup tinggi, nilai kalor lebih rendah, rasio
stoikhiometrik udara-bahan bakar meningkat karena adanya molekul oksigen dan kemungkinan
keretakan termal (thermal cracking) pada suhu tertentu yang bertemu dengan percikan bahan bakar
dalam mesin diesel yang disedot secara alami. Karakteristik ini sering mengakibatkan sedikitnya
atomisasi, cenderung terjadi coking, memakai dan mendepositkan karbon. Hal ini umumnya dialami
dalam sebagian besar tes yang berpengaruh kurang baik terhadap daya tahan mesin. Viskositas yang
tinggi dan volatilitas yang rendah dari minyak nabati menjadi kekurangan utama dalam pemanfaatannya
sebagai bahan bakar dalam mesin diesel [5]. Minyak nabati yang berviskosita tinggi menyebabkan
masalah dalam proses injection yang mengakibatkan meningkatnya jumlah asap yang dihasilkan dan
volatilitas yang rendah menyebabkan menempelnya minyak pada injector atau dinding silinder, yang
menyebabkan deposit yang mengganggu proses pembakaran.

Bari et al. [6] melakukan tes menggunakan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai bahan
bakar dalam mesi diesel dan menunjukkan CPO dapat menjadi pengganti solar yang sesuai. Namun,
penggunaan CPO yang lama dapat menyebabkan performa mesin memburuk. Setelah 500 jam berjalan
secara kumulatif dengan CPO, tenaga maksimum berkurang sekitar 20% dan konsumsi bahan bakar
minimal untuk pengereman meningkat sekitar 26%. Pengujian pada bagian berbeda setelah mesin
dibuka nampak penumpukan karbon dalam ruang pembakaran, bekas penggunaan pada ring piston
seperti halnya pada pengisap (plunger) dan katup pengirim pompa injeksi, pelecetan pada tabung
silinder dan semprotan yang tidak rata dari mulut pipa (nozzles). Alasan utama buruknya performa
mesin adalah katup yang lengket (valve sticking) yang disebabkan oleh penumpukan karbon pada
tempat dan batang katup. Hal ini disebabkan selama kebocoran, tekanan dan langkah kerja serta
perbandingan tekanan efektif berkurang yang sesudah itu mempengaruhi penghematan tenaga dan
bahan bakar.

Schlock et al. [7] mengevaluasi performa dari suntikan langsung, 3-silinder, mesin traktor Ford
seri 2600 dengan perbandingan 1:3 (v/v) campuran minyak kacang kedelai dan minyak bunga matahari
dengan bahan bakar solar dengan waktu operasi mesin selama 200 jam. Setelah 200 jam tes,
disimpulkan bahwa sejauh dengan memperhatikan tenaga yang dikeluarkan, efisiensi thermal dan
minyak pelumas, performa campuran 1:3 (v/v) minyak kacang kedelai dan minyak bunga matahari
dengan bahan bakar solar memuaskan. Namun, setelah 200 jam bagian ruang pembakaran beroperasi,
ujung injector terlapisi dengan timbunan karbon. Peneliti mengusulkan jika salah satu kondisi operasi
atau modifikasi minyak nabati berbeda dapat membantu meningkatkan kondisi mesin. Gerhard [8]
melaporkan bahwa transesterifikasi minyak nabati menjadi metil esternya dapat mengurangi berat
molekulernya dan viskositasnya serta dapat meningkatkan bilangan cetanenya.

Peterson et al. [9] melaoprkan bahwa proses transesterifikasi telah terbukti secara luas sebagai
cara yang efektif untuk memproduksi biodiesel dan mengurangi viskositas dari minyak nabati. Seperti
yang telah dijelaskan diawal, transesterifikasi adalah proses reaksi trigliserida dengan alcohol dengan
adanya katalis yang menghasilkan gliserol dan ester asam lemak. Suhu, jenis katalis, rasio konsentrasi
alcohol/bahan bakar dan kecepatan rata pengaduk mempengaruhi proses transesterifikasi sampai
jumlah tertentu. Freedman et al. [10] menemukan perbandingan 30:1 metanol/minyak kacang kedelai
dengan 1% asam sulfat memberikan konversi tertinggi setelah 44 jam pemanasan pada suhu 60°C.
Mereka menegaskan jika minyak nabati memiliki kandungan asam lemak bebas lebih dari 1% dan katalis
asam lebeh efektif dari pada katalis basa.

Canacki dan Gerpen [11] mempelajari pengaruh variable proses pada transesterifikasi dengan
katalis asam dari minyak kacang kedelai. Mereka melaporkan bahwa konversi ester diperoleh 98,4%
pada rasio molar methanol/minyak 30:1 dengan asam sulfat sebagai katalis pada suhu 60°C. selain itu
juga diperoleh konversi ester 8,3% ; 57,2% dan 87,8% secara berturut-turut pada suhu 25, 45 dan 60°C.
Berat jenis ester menurun dengan meningkatnya suhu reaksi. Mereka mempelajari pengaruh jumlah
katalis dengan pelaksanaan reaksi selama 48 jam pada suhu 60°C dengan rasio molar methanol/minyak
6:1. Mereka melaporkan bahwa pembentukan ester meningkat dari 72,7% menjadi 90.5% dengan
menaikkan jumlah katalis dari 1% menjadi 5%. Peneliti juga mempelajari pengaruh perbandingan metil
alcohol, etil alcohol, propel alcohol dan butyl alcohol pada hasil produksi biodiesel. Konversi ester
meningkat dari 87,8% menjadi 95,5% ketika waktu reaksi meningkat dari 48 jam menjadi 96 jam.
Konversi menjadi etil ester yaitu 95,8% , lebiha besar dari pada konversi menjadi 2-propil ester 92,9% ;
1-butil ester 92,1% dan metil ester 87,8%. Mereka menambahkan jumlah air destilasi berbeda pada
minyak nabati untuk mempelajari pengaruh air pada proses transesterifikasi, penambahan 5% air dapat
mengurangi konversi ester 5,6%.

Ramadhas et al. [12] mengembangkan proses dua langkah untuk memproduksi biodiesel dari
minyak biji karet yang mengandung asam lemak bebas tinggi dimana minyak biji karet mentah
direaksikan dengan 0,5% asam sulfat bersama dengan 200 ml metnol per liter minyak mentah pada
tahap pertama untuk mengurangi FFA sampai sekitar 2% diikuti dengan transesterifikasi dengan katalis
basa pada tahap kedua. Mereka menemukan bahwa penambahan asam yang berlebihan dapat
menyebabkan produk gelap. Konversi ester maksimum dicapai pada suhu reaksi 45 ± 5°C dan viskositas
biodiesel mendekati solar.

Ramadhas et al. [13] juga menemukan tidak ada masalah mesin yang signifikan dalam tes skala
besar dengan armada bus kota yang berjalan pada B20. Bahan bakar yang murah dibandingkan dengan
bahan bakar solar dan konsumsi bahan bakar biodiesel campuran hanya 2 – 5% lebih tinggi
dibandingkan dengan solar konvensional. Mereka mengamati keuntungan lain dari biodiesel campuran
yaitu kesederhanaan dalam penyiapan bahan bakar yang hanya membutuhkan campuran dari
komponen-komponen. Ester campuran stabil, sebagai contoh campuran 20% ester minyak kacang tanah
dengan 80% solar tidak memisah pada suhu kamar selama lebih dari tiga bulan. Yang membatasi
penggunaan biodiesel adalah kecendrungannya mengkristal pada suhu rendah dibawah 0°C. Metil dan
etil ester minyak nabati cenderung mengkristal dan memisah dari solar pada suhu yang sering dialami
selama operasi di musim dingin. Seperti Kristal yang dapat menyumbat tabung bahan bakar dan
penyaring yang menyebabkan masalah dalam pemompa bahan bakar dan operasi mesin.

Masjuki et al. [14] melakukan studi singkat mengenai penggunaan biodiesel dari minyak kelapa
(campuran 50/50), “B50” pada bus. Studi ini menyatakan bahwa biodiesel minyak kelapa adalah bahan
bakar alternative praktis dan dapat diproduksi terus untuk servis mesin tua. Hampir tidak zat partikulat
uyang berarti dengan penggunaan bahan bakar ini. Operator melaporkan bahwa uji pada kendaraan
tidak ada permasalahan nyata dalam berkendaraan. Pada sisi lain teramati kendaraan mempunyai
performa tenaga yang meningkat ketika berjalan di kondisi lalu lintas kota besar.

Ali et al. [15] mengoperasikan mesin diesel Cummins N14-410 dengan perbandingan campuran
bahan bakar solar, metil tallowate dan etanol 80:13:7. Tenaga yang dikeluarkan, tenaga putaran yang
dihasilkan dan konsumsi bahan bakar spesifik untuk pengereman dari mesin lebih atau kurang konstan
sepanjang tes. Studi mereka terhadap bahan bakar hybrid yang dibentuk dengan membuat emulsi mikro
larutan etanol dalam minyak kacang kedelai yang dievaluasi melalui pembakaran dalam mesin diesel.
Performa bahan bakar ini mendekati seperti halnya solar disamping bilangan cetane yang rendah dan
kurangnya kandungan energy. Namun, bahan bakar hybrid umumnya terlalu mahal untuk bersaing
dengan bahan bakar solar tapi dapat menjadi bahan bakar emergency jika persediaan minyak tanah
kurang.

Penyelidikan yang berkenaan dengan persen yang lebih tinggi dari pengganti bahan bakar solar
dengan biodiesel yang diperoleh dari minyak non-edible dalam penyalaan kompresi mesin hamper tidak
dilaporkan dlam literature ini. Oleh karena itu, butuh dilakukan penyelidikan lagi untuk proses produksi
yang cocok untuk menghasilkan biodiesel dari berbagai minyak non-edible yang menjaga kestabilan
campuran biodiesel-solar dan kemudian memilihara kualitas bahan bakar seperti bilangan cetane, nilai
kalori dan viskositas untuk operasi yang tepat mesin diesel. Selain itu teknologi bulum dikembangkan
dengan bai di india. Studi secara luas harus dilakukan untuk memproduksi biodiesel, pemanfaatan yang
tepatguna dan peningkatan pembakaran biodiesel dan campuran biodiesel-solar. Lebih lanjut, penilaian
komperatif terhadap performa mesin, karakteristik emisi dan pembakaran biodiesel dari minyak biji
Jatropha, Karanja dan Polanga dilaporkan dalam literature kurang. Oleh karena itu dalam pekerjaan kali
ini mengusulkan untuk menilai lingkup perkembangan proses produksi biodiesel dari minyak biji
Jatropha, Karanja dan Polanga.

2.Langkah-langkah dan prosedur percobaan untuk produksi biodiesel

Biodiesel dari Jatropha, Karanja dan Polanga diproduksi dalam skala laboratorium (Gambar 1)
dengan set up alat terdiri dari mantel pemanas, labu reaksi dan mesin pengaduk. Kapasitas kerja labu
reaksi adalah 1 L. Labu rekasi tersebut terdiri dari tiga leher untuk pengaduk, kondensor dan tempat
untuk memasukkan reaktan seperti halnya untuk penempatan termokopel untuk mengamati suhu
reaksi. Labu reaksi memiliki keran penutup di bagian bawah untuk pengumpulan produk akhir. Prosedur
untuk persiapan macam-macam metil ester dari minyak ke minyak tergantung pada komposisi kimia
dan kandungan asam lemak bebasnya (FFA). Parameter proses yang dioptimalkan dalam percobaan ini
antara lain kondisi tempat reaksi, rasio molar alkohol/minyak, jenis alkohol, jenis dan jumlah katalis,
waktu reaksi, suhu dan kemurnian reaktan.

2.1 Analisis Minyak Nabati Rantai Lurus (Karanja, Jatropha & Polanga)

Minyak nabati tidak larut dalam air dan merupakan zat hidrofobik yang berasal dari tanaman
dan hewan terutama yang tersusun oleh lemak ester dari gliserol, atau yang biasa disebut trigliserida.
Struktur kimia minyak nabati, pada umumnya, ditunjukkan pada gambar. 2. R1, R2 dan R3 menunjukkan
rantai hidrokarbon dari asam lemak. R1, R2 dan R3 mungkin sama, tergantung pada komposisi minyak,
tetapi yang biasanya berbeda adalah panjang rantai dan jumlah ikatan rangkap. Asam lemak bebas
memainkan peranan penting selama proses produksi biodiesel, dimana dapat menyebabkan
pembentukan sabun dan air. Jenis dan persentase asam lemak yang terkandung dalam minyak nabati,
tergantung pada spesies tanaman dan kondisi pertumbuhan pohon. Hasil dari proses esterifikasi dan
kualitas biodiesel jauh berkurang jika nilai asam lebih besar dari 4 mg KOH / g, yaitu kandungan asam
lemak bebas lebih dari 2%. Oleh karena itu, perlu untuk menentukan kandungan FFA dari minyak –
minyak yang dipilih ini untuk pembelajaran.
Gambar 2. Struktur Kimia dari trigliserida (minyak nabati)

Nilai keasaman minyak nabati didefinisikan sebagai jumlah miligram potasium hidroksida yang
diperlukan untuk menetralkan asam bebas yang ada dalam 1 gm cuplikan minyak. Nilai keasaman
minyak ini ditentukan oleh metode standar titrimetry. Komposisi persentase FFA juga ditentukan
dengan analisis kromatografi gas dan persentase total FFA dihitung dari nilai keasaman yaitu setengah
dari nilai keasaman.

2.2 Pemurnian Minyak Jatropha, Karanja, dan Polanga

Minyak nabati mentah mengandung beberapa pengotor seperti batangan benih yang tidak
hancur dan partikulat lainnya. Oleh karena itu, perlu untuk memurnikan minyak nabati mentah tersebut.
Minyak mentah non-edible seperti minyak Jatropha, Karanja dan Polanga dimurnikan dalam
laboratorium melalui metode penyaringan sederhana. Minyak nabati mentah yang mengandung
pengotor disaring dengan menggunakan kertas saring ukuran 4 mikron di bawah kondisi vakum. Minyak
yang telah disaring ini dikeringkan dalam pengering vacuum pada suhu konstan 60 °C selama 4 jam
untuk menghilangkan bekas uap(trace of moisture). Minyak kering disimpan dalam kaleng PVC kering
yang kedap udara. Minyak diisi penuh sampai meluap kaleng untuk menghindari kemungkinan oksidasi.
Kaleng-kaleng ini disimpan dalam sebuah ruangan pada suhu ambien. Komposisi dari minyak Jatropha,
Karanja dan Polanga yan telah disaring secara fisik ditentukan di laboratorium dengan mengikuti metode
dan teknik standar

2.3 Proses optimasi untuk preparasi biodiesel dari minyak mentah dalam skala laboratorium

Telah dilaporkan bahwa kandungan FFA yang tinggi dari minyak nabati mentah menyebabkan
pembentukan sabun dan hasil biodiesel yang lebih rendah. Oleh karena itu, metode-metode berikut ini
diadopsi untuk proses optimisasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari minyak Jatropha, Karanja
dan Polanga yang pada dasarnya adalah biodiesel dalam 1 L reaktor (Gambar 1). Progres reaksi diamati
dengan mengukur nilai keasaman. Dalam rangkaian tes tersebut, teramati bahwa kualitas yang tepat
dari biodiesel bisa diproduksi dari minyak Jatropha, Polanga Karanja dalam tiga tahap berikutnya agar
sifat fisik dan kimianya mendekati petro-diesel. Kesempurnaan transesterifikasi untuk setiap percobaan
dalam semua tahap dipantau dengan metode standar HPLC.
2.3.1 Transesterifikasi Tanpa Katalis (Zero- catalyzed transesterification)

Tahap pertama menghilangkan zat-zat organik dan pengotor lain yang ada dalam minyak
polanga, karanja dan jatropha yang telah disaring dan dimurnikan menggunakan reagen. Minyak
polanga mentah diekstrak dengan pengepres mekanis ( mechanical expeller) dimana dalam minyak
mentah tersebut masih terdapat zat organik, air dan pengotor lain. Bahan-bahan ini menimbulkan
masalah-masalah dalam hasilnya nanti dan dalam fase pemisahan antara glyserin dan ester sehingga
diperlukan perlakuan awal terhadap minyak nabati dalam tahap pertama. Ini merupakan
transesterifikasi tanpa katalis (Zero- catalyzed transesterification) dimana campuran minyak mentah,
methanol, asam orto-fosfat, dan toluene distirer pada kecepatan dan suhu konstan selama 0,5 – 4 jam.
Satu liter minyak yang dicampur dengan 350 ml metal alcohol, 5 ml toluene dan 5 ml asam orto-fosfat
sebgai reagen. Toluena membantu dalam membubarkan zat organik dengan methanol dan
memisahkannya dari minyak murni lalu selanjutnya dengan pengotor lain. Rasio minyak/methanol yang
berbeda dalam prosen volume (6 % sampai 40 %) dan waktu reaksi (0,5, 1.0, 1.5, 2.0, 2.5, 3.0, 3.5 dan
4,0 jam) digunakan unutk menyelidiki optimisasi dan pengaruh mereka dalam nilai keasaman dari
minyak nabati mentah. Campuran distirer dalam labu reaksi kedap udara selama 2 jam pada suhu 60°C.
Pemanas harus diseting diatas titik didih dari alcohol (60°C) untuk menyempurnakan reaksi. Kecepatan
reaksi dijaga konstan selama semua uji berjalan yaitu 450 rpm. Produk dari tahap pertama didiamkan
selama 1 jam agar terlihat fase pemisahannya secara sempurna. Lapisan atas yang terdiri dari fraksi
methanol – air, zat organik, gum, toluene dan pengotor lain dipisahkan dari lapisan bawah. Nilai
keasaman dari lapisan bawah yang merupakan bahan dasar untuk langkah kedua dihitung dan dibahas.

2.3.2 Transesterifikasi dengan Katalis Asam


Katalis asam yang digunakan dalam transesterifikasi kali ini yaitu asam sulfat anhidrat (98,4%).
Produk dari tahap pertama dicampur dengan berbagai variasi perbandingan asam sulfat anhidrat
(98,4%) yang dimulai dari 0,1 % (v/v) bersama dengan methanol dalam volume dasar dan distirer pada
suhu 55°C dengan waktu reaksi 0,5 ; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; dan 4 jam. Kecepatan pengaduk dipertahankan
pada 350 rpm pada semua percobaan.

2.3.3 Transesterifikasi dengan katalis basa


Produk dari tahap intermediet (pertengahan) (trigliserida murni) ditransesterifikasi menjadi
asam lemak mono ester (biodiesel) menggunakan katalis basa (KOH). Produk pada tahap kedua yang
mempunyai FFA lebih kecil dari 2% digunakan sebagai bahan dasar untuk tahap terakhir. Perlakuannya
seperti halnya pada transesterifikasi dengan katalis asam diadopsi untuk tahap ketiga. Setelah reaksi
berjalan sempurna, produk akan memisah menjadi dua lapisan. Lapisan bawah mengandung pengotor
dan gliserol. Lapisan ester bagian atas dipisahkan dan dimurnikan dengan menggunakan air hangat.
Setelah dicuci, produk akhir dipanaskan sampai 70°C selama 15 menit dibawah kondisi vakum untuk
menghilangkan air dan disimpan untuk kegunaan selanjutnya. Hasilnya berupa cairan bening berkilau
dengan viskositas yang mendekati petro – diesel.

2.4 Karakterisasi Biodiesel


Sifat fisika dan kimia dari minyak polanga, karanja dan jatropha berdasarkan pada biodiesel
(B100) dan berbagai campurannya dengan solar dievaluasi sesuai dengan standar ASTM dan prosedur
percobaan untuk mengevaluasi sifat fisika dan kimia yang diikuti. Data sifat bahan bakar dari meti;l ester
minyak polanga, karanja dan jatropha dan campuran berbeda minya – minyak tersebut dengan solar
diringkas dalam bentuk table seperti yang terlihat dalam table 1.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Komposisi Minyak Polanga, Karanja Dan Jatropha
Komposisi asam lemak dan sifat fisika dan kimia lain dari minyak Polanga, Karanja dan Jatropha
ditunjukkan pada table 2. Teramati bahwa kandungan asam lemak bebas (FFA) dari sebagian besar
minyak – minyak ini lebih dari 2% kecuali minyak Jatropha. Oleh karena itu, pengembangan metode
untuk memproduksi biodiesel dengan kualitas yang tepat dari minyak – minyuak ini sangat penting
terutama untuk mempelajari performance dan karakteristik pembakaran dan emisi dari mesin diesel.
Minyak Polanga mengandung 24,96% asam lemak tak jenuh (oleat, linoleat, dan linolenat). Alkil
ester asam lemak jenuh meningkatkan titik kekeruhan (cloud point), bilangan cetane dan stbilitas.
Minyak Karanja terdiri dari 94,09% ester trigliserida murni dan sisanya adalah campuran dari asam
lemak bebas dan lemak terutama flavonoida yang merupakan ukuran zat yang tidak tersabunkan.
Kandungan asam lemak bebas dari minyak jatropha tidak murni sekitar 1,9%. Hasil dari proses
esterifikasi menurun sekali jika nilai FFA lebih besar dari 2%. Hal ini ditemukan ketika proses
transesterifikasi dengan katalis basa tidak sesuai untuk menghasilkan ester dari minyak yang tidak
dimurnikan yang mempunysi FFA lebih besar dari 2% karena adanya uap menyebabkan pembentukan
sabun dan fase pemisahannya berkurang. Pentingnya sifat fisika dan kimia serta komposisi asam lemak
dari minyak biji Polanga, Karanja, dan Jatropha diperlukan dalam pertimbangan untuk produksi metil
ester melalui transesterifikasi tiga tahap.

3.2 Transesterifikasi Tiga Tahap


Dalam minyak nabati yang bagus, nilai keasamannya harus minimum (< 4 mg KOH/gm).
Meningkatnya nilai keasaman dijadikan sebagai indicator oksidasi minyak yang dapat menyebabkan
pembentukan gum dan endapan selain korosi. Hal ini dapat diamati pada table 1 nilai keasaman dari
minya karanja dan polanga murni lebih besar dari 4 mg KOH/gm atau dengan kata lain kandungan FFA
nya lebih besar dari 2%. Ini dikarenakan adanya gum dan zat organik dalam minyak nabati murni.
Tahap pertama transesterifikasi untuk semua ketiga minyak ini menghasilkan nilai keasaman
yang rendah. Hal ini teramati pada bahan dasar yang terdiri dari mono-ester (biodiesel), di-ester,
trigliserida dan FFA untuk tahap kedua dan ketiga setelah trasnesterifikasi tanpa katalis mempunyai
kandungan FFA dibawah 2% kecuali minyak Polanga. Parameter optimisasi seperti suhu reaksi, waktu
reaksi, kecepatan pengadukan, jumlah katalis dan volume methanol per liter minyak Polanga, Karanja
dan Jatropha murni untuk semua tahap tiga disajikan pada table 3.
Pada rangkaian tes pendahuluan, teramati bahwa reduksi kandungan FFA menjadi dibawah 2%
sangat penting untuk minyak Polanga yang mempunyai kandungan FFA tinggi (14,5%). Tahap tambahan
ini sangat dibutuhkan (transesterifikasi dengan katalis asam) untuk minyak polanga dengan cara lapisan
bawah hasil dari transesterifikasi tanpa katalis direaksikan dengan asam sulfat anhidrat sebagai katalis
dan metaol selama 4 jam. Selama transesterifikasi tahap kedua, FFA tambahan dari minyak Polanga
dikonversikan menjadi trigliserida. Kandungan FFA akhir dari campuran minyak Polanga yang terdiri dari
mono-ester (biodiesel), di-ester, trigliserida dan FFA adalah 1,62%. Secara eksperimen, telah
dioptimisasi sebesar 0,65% dengan volume asam sulfat dan rasio volumetric minyak terhadap methanol
7,5 : 1 memberi efesiensi konversi maksimum asam lemak bebas menjadi trigliserida dan dengan cara
pereduksian nilai keasaman produk pada tahap kedua dibawah 4 mg KOH/gm. Waktu reaksi optimum
terjadi selama 4 jam.
Hal itu juga diamati pada table 3 dari percobaan-percobaan yang telah dilakukan untuk
transesterifikasi dengan katalis basa, rasio volumetric minyak/methanol optimum pada 11,5 : 1 dan 0,9%
berat per volume kalium hidroksida memberikan hasil metil ester minyak Polanga (POME) maksimum
untuk waktu reaksi 4 jam menghasilkan 85% hasil ester. Pembentukan metil ester minyak Jatropha
(JOME) dan metil ester minyak Karanja melalui transesterifikasi dengan katalis basa membutuhkan rasio
volumetric minyak/methanol optimum 9,7 : 1 dan 10 : 1 untuk setiap liter trigliserida yang cukup
memberikan hasil ester secara berturu-turut 93% dan 91%. Hal yang memungkinkan untuk
mengantisipasi hal itu seperti dalam system kesetimbangan, fase pemisahan yang teramati dari produk
samping (gliserol), yang memainkan peranan penting dalam kesuksesan sebuah konversi mendekati 100
%. Namun, transesterifikasi adalah sebuah reaksi kesetimbangan yang membutuhkan alcohol berlebih
untuk menjalankan reaksi agar mencapai kesempurnaan.

3.2.1 Pengaruh Jumlah Metanol dalam Pembentukan Biodiesel


Jumlah alcohol yang ditambahkan ke minyak naati adalah salah satu factor penting yang
mempengaruhi efesiensi konversi dalam segi biaya produksi biodiesel. Efesiensi konversi didefinisikan
sebagai hasil dari suatu proses yang digambarkan dalam bentuk persentase.jumlah methanol yang
dibutuhkan untuk transesterifikasi yang mnggunakan katalis basa dianalisis dalam rasio volumetric.
Secara stoikiometri, rasio molar methanol/trigliserida yang dibutuhkan adalah 3:1. Tetapi dalam praktek,
hal ini tidak cukup untuk menyempurnakan reaksi. Alkohol yang dibutuhkan lebih banyak lagi untuk
menjalankan reaksi agar selesai lebih cepat.
Teramati bahwa semakin sedikit jumlah methanol yang dibutuhkan maka semakin lama waktu
untuk bereaksi. Hubungan antara efesiensi konversi dari transesterifikasi dengan katalis basa dengan
jumlah alkohol yang diperoleh selama study ini ditunjukan pada table 3. Efisiensi konversi maksimum
yang dicapai sangat mendekati dengan rasio volumetric dari minyak/methanol yaitu 11:1 ; 11.5:1 ; dan
12:1 untuk minyak Jatropha, Karanja dan Polanga secara berturut-turut. Dengan peningkatan rasio
volumetrik lebih lanjut tidak akan menaikan efisiensi konversi. Selain itu, telah ditemukan bahwa
pengurangan viskositas meningkat seiring dengan peningkatan volume metanol dalam campuran.

3.2.2 Pengaruh Katalis Dalam Hasil Metil Ester

Katalis basa yang digunakan dalam analisis eksperimental ini adalah kalium hidroksida yang
konsentrasinya berkisar antara 0,5 – 1,5% (berat KOH/volume minyak). Pengaruh junlah katalis pada
efesiensi konversi ditunjukkan pada gambar 3b. Efesiensi konversi maksimum selama transesterifikasi
dengan katalis basa dicapai untuk minyak Jatropha, Karanja, dan Polanga secara berturu-turut pada
1,1%; 1% dan 0,9%. Dalam rangkaian uji coba teramati bahwa penambahan jumlah katalis yang
berlebihan menyebabkan pembentukan emulsi yang dapat meningkatkan viskositas dan menyebabkan
pembentukan gel. Selain itu juga teramati bahwa katalis yang berlebihan dapat mengurangi hasil total.
Transesterifikasi tidak akan terjadi selama jumlah KON yang ditambahkan tidak cukup.

3.2.3 Pengaruh Lamanya Reaksi Terhadap Hasil Metil Ester

Agar dicapai interaksi yang efektif antara katalis dan minyak selama proses transesterifikasi,
maka perlu diaduk dengan baik dengan kecepatan yang constant. Hal ini teramati dari gambar 3c
dimana hasil ester meningkat dengan meningkatnya lamanya reaksi. Hasil – hasil yang diperoleh dari
percobaan minyak biji Jatropha, Karanja, dan Polanga ini mengungkapkan bahwa waktu reaksi sekitar
120 menit cukup untuk menyempurnakan reaksi transesterifikasi dengan katalis basa.

3.3 Karakterisasa Biodisesl dari Minyak Jatropha, Karanja dan Polanga


Sifat bahan bakar dari JOME, KOME, POME dan perpaduan mereka dengan solar dengan
perbandingan tertentu ditunjukkan pada table 1. Sebagian besar sifat bahan bakar dari JOME, KOME,
POME dan perpaduan mereka sebanding dengan solar. Hasil yang diperoleh ini menujukkan bahwa
proses transesterifikasi meningkatkan sifat bahan bakar minyak seperti densitas (kg/m 3), nilai kalori
(kJ/kg), viskositas (cSt), titik nyala (°C), titik kekeruhan (°C), titik tuang (°C). Perbandingan sifat – sifat ini
dengan solar menunjukkan bahwa metil ester dari minyak Jatropha, Karanja, dan Polanga relative lebih
dekat dengan sifat sifat dari solar. Oleh karena itu tidak ada modifikasi dengan perangkat keras yang
dibutuhkan untuk menangani bahan bakar ini (biodiesel dan campurannya) di mesin yang ada.

Nila kalori dari semua biodiesel dan campurannya lebih kecil dari solar karena kandungan
oksigen mereka. Adanya oksigen dalam biodiesel membantu untuk menyempurnakan pembakaran
bahan bakar dalam mesin. Titik nyala dari semua biodiesel dan campurannya diperendah melalui proses
transesterifikasai, tetapi masih lebih tinggi dari solar. Penambahan sejumlah kecil biodiesel dengan solar
meningkatkan titik nyala dari solar. Oleh karena itu, lebih aman menyimpan campuran biodiesel dengan
solar daripada solar sendirian.

4. KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti produksi kualitas bahan bakar biodiesel dari biaya rendah dan
sumber pangan yang mempunyai FFA tinggi. Tiga langkah proses “asam-basa”; pretreatment asam
diikuti dengan reaksi transesterifikasi dengan katalis basa menggunakan methanol sebagai reagen, H 2SO4
sebagai katalis asam dan KOH sebagai katalis basa yang diikuti produksi biodiesel dari minyak Polanga
sedangkan produksi minyak Jatropha dan Karanja hanya menggunakan satu tahap yaitu transesterifikasi
dengan katalis basa.

Produksi biodiesel dari sumber pangan dengan FFA tinggi sangat sulit menggunakan proses
transesterifikasi dengan katalis basa karena katalis basa bereaksi dengan FFA membentuk sabun yang
mencegah pemisahan gliserin dan ester. Minyak Jatropha dan Karanja menggunakan dua tahap
transesterifikasi sedangkan minyak Polanga menggunakan tiga tahap transesterifikasi yang
dikembangkan untuk menkonversikan minyak dengan FFA tinggi menjadi ester. Tahap pertama
(transesterifikasi tanpa katalis) mengurangi kandungan FFA minyak Jatropha dan Karanja agar lebih kecil
dari 2%. Tahap kedua (transesterifikasi dengan katalis asam) mengurangi kandungan FFA minyak
Polanga agar lebih kecil dari 2%. Proses transesterifikasi dengan katalis basa mengkonversi produk dari
tahap pertama untuk minyak Jatropha dan Karanja, dan tahap kedua dari minyak Polanga menjadi
monoester dan gliserol. Pengaruh volume methanol/minyak, jumlah katalis dan lamanya reaksi dianalisi
setiap tahap. Penambahan asam sulfat yang berlebihan menggelapkan produk.

Efesiensi konversi sangat mempengaruhi jumlah alcohol. Rasio volumetrik minyak/methanol


untuk minyak Jatropha, Karanja dan Polanga secara berturut-turut 11:1 ; 11,5:1 dan 12:1 mendukung
penyempurnaan proses transesterifikasi dengan katalis basa dengan lama reaksi 2 jam untuk
pembentukan JOME, KOME, dan POME yang masing-masing cukup memberikan 93%, 91% dan 85% hasil
ester. Viskositas biodiesel mendekati viskositas dari solar. Titik nyala biodiesel lebih besar dari pada solar
dan nilai kalornya sedikit lebih rendah dari solar. Metode transesterifikasi dengan tiga tahap dapat
mengurangi ongkos produksi biodiesel secara keseluruhan seperti halnya ongkos murah untuk
pembuatan minyak non-edible tidak murni. Penambahan biodiesel pada bahan bakar solar mengubah
sifat fisika-kimia dari campuran. Dengan meningkatnya konsentrasi biodiesel dalam campuran solar-
biodiesel, densitas, viskosias kinematik, angka cetane, nilai panas yang tinggi, titik nyala dan titik bakar
dari campuran juga akan meningkat.

Analisis sekarang ini menunjukkan bahwa biodiesel dari minyak biji Jarak, Karanja dan Polanga
tidak murni sangat cocok sebagai alternatif solar. Namun, penelitian dan pengembangan lebih lanjut
tentang tambahan pengukuran sifat bahan bakar, langkah-langkah jangka panjang dan analisis
penggunaan mesin berbahan bakar biodiesel juga perlu dilakukan bersama-sama dengan modifikasi
perangkat lunak mesin.

You might also like