You are on page 1of 10

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat dan

RahmatNyalah sehingga Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar,

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu dan wawasan tentang

Empat Perubahan Mendasar dalam Perekonomian Indonesia, di dalam penyusunan

tugas ini tidak sedikit hambatan dan rintangan yang dihadapi, namun dengan bantuan,

bimbingan, dorongan dan petunjuk berbagai pihak, akhinya semua hambatan dan

rintangan tersebut dapat teratasi.

Kami sadari bahwa apa yang ditulis dalam Makalah ini masih jauh dari apa

yang diharapkan, oleh sebab itu kami mohon adanya keritik dan saran dalam rangka

perbaikan/ penyempurnaan dimasa yang akan datang.

Demikan penyusunan tugas ini dan semoga Allah SWT. Memberikan

kekuatan kepada kami.

Maros, …………….. 2010


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1. Latar Belakang ..................................................................................... 1

2. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3

A. EMPAT PERUBAHAN MENDASAR................................................ 2

1. Penurunan Investasi Riil ................................................................. 2

2. Perubahan saldo dan komposisi Neraca Transaksi Berjalan ........... 3

3. Penurunan Daya Saing .................................................................... 5

4. Penurunan Ekonomi yang Tidak Seimbang .................................... 6

BAB III PENUTUP .................................................................................... 8

1. Kesimpulan ......................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

1.2. PERMASALAHAN

1. Penurunan Investasi Riil


2. Perubahan saldo dan komposisi Neraca Transaksi Berjalan
3. Penurunan Daya Saing
4. Penurunan Ekonomi yang Tidak Seimbang

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. EMPAT PERUBAHAN MENDASAR


1. Penurunan Investasi Riil
Tingkat pertumbuhan investasi tahunan Indonesia telah mengalami
penurunan yang luar biasa tajam di tahun 2006, yakni hanya 2,9 persen,
sementara di tahun 2005 masih mencapai 10,87 persen, sementara pada periode
sebelum krisis (1993 – 1996) bahkan sampai 12,2 persen per tahun. Namun kita
masih memerlukan data tambahan untuk menelaah sejauh mana penururnan
Investasi ril itu, tingkat pertumbuhan investasi riil Indonesia memang cenderung
terus turun, baik dalam besaran pertumbuhannya sendiri, maupun sebagai
presentase terhadap GDP, dan pertumbuhan investasi riil yang ada masih terlalu
kecil untuk dapat mengompensasi kemerosotan pada periode – periode
sebelumnya.
Mengapa perununan investasi riil sangat serius? Kalau investasi turun,
maka kegiatan produksi secara nasional pun akan ikut turun (sejauh mana
dampaknya, tentu bervariasi tergantung pada sektornya). Jika kegiatan produksi
turun, dengan sendirinya output pun merosot, dan kalau output nasional terus
menerus turun, maka pada gilirannya laju pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan juga akan merosot, baik dalam angka presentase pertumbuhannya
sendiri dan ini akan lebih penting, dalam kualitasnya. Celakanya, hal kedua yang
fatal itu (yakni, penurunan kualitas laju pertumbuhan ekonomi) sesungguhnya
cukup lama terjadi di Indonesia, dan lebih celaka lagi tidak banyak diantara kita
yang mengetahui keberadaannya atau menyadari resiko – resikonya yang
berjangkauan luas, sehingga hal yang membahayakan kekukuhan perekonomian
nasional itu selama ini dibiarkan saja tanpa ada upaya koreksi.
Hal yang sama juga dialami oleh negara – negara Asia yang dahulu
dijuluki “macan – macan Asia”. Hanya saja, kompleksitas permasalahannya tidak
serumit yang ada di Indonesia. Tingkat investasi riil di Korea (Selatan) memang

2
turun, tetapi tidaklah setajam yang terjadi di negara – negara ASEAN. Pada sisi
yang lain data itu dapat diartikan pula bahwa Asia Tenggara, khususnya
Indonesia, kian lemah dalam melakukan pemupukan investasi tetap (fixed
investiment). Pertumbuhan investasi tetap di Indonesia sampai tahun 2008 masih
terus di bawah tingkatan yang ada pada masa sebelum krisis. Padahal investasi
tetap ini secara langsung menentukan investasi riil (real investasi) atau investasi
langsung (direct investment) yakni investasi yang secara langsung berkaitan
dengan produksi, yakni (berupa dengan pendirian pabrik, pengadaan teknologi
baru, pembukaan lahan baru, perekrutan tenaga kerja baru, dan sebgainya, yang
secara langsung akan menciptakan produksi baru atau menambah produksi yang
sudah ada) baik oleh investor dalam maupun luar negeri.
Data menunjukkan bahwa investasi langsung, termasuk investasi asing
langsung (FDI. Foreign Direct Investmen) yang dilakukan oleh perusahaan –
perushaan besar dari berbagai negara selama ini merupakan kekuatan utama yang
menggerakkan perekonomian di Asia Pasifik. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, investasi langsung merupakan “bahan makanan” yang paling bergizi
bagi organisme perekonomian.
Kalau investasi dikatakan sebagai makanan paling bergizi, maka
tentunya sumber – sumber pertumbuhan lain tidaklah sebaik investasi. Selama ini
konsumsi meningkat dan kian kuat pengaruhnya dalam menopang pertumbuhan
ekonomi, demikian pula dengan belanja pemerintah. Tetapi karena konsumsi dan
belanja pemerintah (diluar belanja investasi) tidak berhubungan langsung dengan
output atau produksi, maka pertumbuhan ekonomi yang dibuahkannya juga tidak
mencerminkan kenaikan kapasitas atau produksi riil dari ekonomi yang
bersangkutan. Disamping itu guna memungkinkan kedua hal itu terus
berlangsung secara berkesinambungan, maka tentunya harus ada pemasukan
lebih besar dari selisih ekspor dan inpor.
2. Perubahan saldo dan komposisi Neraca Transaksi Berjalan
Sebelum krisis semua negara yang mengalaminya mencatat deficit
neraca transaksi berjalan (current account). Kebalikannya, setelah krisis semua

3
Negara mencatat surplus. Ini dikarenakan pada periode pascakrisis, begitu
memungkinkan, setiap Negara kini berusaha keras mencetak surplus neraca
transaksi berjalan. Berkat langkah ini, maka jumlah cadangan internasional
semua Negara, termasuk Indonesia, juga mengalami kenaikan. Tiap Negara kini
juga berusaha meperbesar cadangan internasional, karena sesuai krisis, gunanya
bukan bukan cuma untuk menjamin nilai tukar mata uang nasional. Inilah
perubahan atau transpormasi kedua dalam perekonomian Indonesia pascakrisis
yang juga mengandung konsekuensi dan menimbulkan dampak yang sangat luas.
Setelah krisis, persamaan yang lebih banyak digunakan adalah yang
lebih memperhitungkan sisi pendapatan Artinya, defisit satu neraca akan
diusahakan sepenuhnya ditutup dengan menggunakan surplus dari neraca yang
lain. Sebagai contoh, dan memang ini yang paling sering terjadi, defisit APBN
(defisit anggaran) akan ditutup dengan surplus dari neraca transaksi berjalan.
Dari ketiga neraca, yang paling diandalkan untuk menutupi defisit adalah neraca
transaksi berjalan yang dengan sendirinya lantas diprioritaskan untuk mencetak
surplus bahwa neraca trasaksi berjalan mencatat surplus tentunya merupakan
suatau hal positif memang demikian, asalkan sumbernya adalah selisih output
atau surplus yang bertolak dari investasi tetap. Tetapi dalam kenyataannya,
sumber surplus neraca transaksi berjalan adalah arus masuk investasi portofolio
dari mancanegara yang kebanyakan berjangka pendek akan sangat berbahaya jika
surplus neraca transaksi berjalan yang digunakan untuk menutup defisit APBN
bersumber dari dana investasi portofolio pihak asing yang biasanya mudah
menguap atau terbang ketempat lain tanpa memerlukan alasan yang kuat.
Andaikan pemerintah SBY tidak kelewat sibuk terhadap persoalan tebar
pesona dan serba ragu – ragu dalam membuat keputusan ditahun pertama
pemerintahannya, bisa jadi cadangan devisa Indonesa akan lebih besar lagi.
Akibat kegamangan di tahun di tahun pertama, pemerintah SBY bukan hanya
memegang rekor tertinggi dalam kepemilikan cadangan devisa, tetapi sekaligus
juga yang paling terendah (US$ 30 miliar pada semester kedua 2005).
Selanjutnya akibat depresiasi rupiah sehubungan dengan krisis keuangan global

4
pada semester kedua 2008, cadangan devisa Indonesia susut. Menurut keterangan
pers Gubernur BI Boediono, hingga akhir desember 2008 total cadangan devisa
Indonesia sekitar US$ 51,6 miliar. Meskipun susut hampir 15 persen dari nilai
puncaknya, cadangan devisa ini masih dipandang aman untuk membiayai
keperluan devisa nasional hingga empat bulan ke muka.
Secara politik memang subsidi tidak pernah mudah dilakukan karena
dapat dipastikan akan memicu reaksi perlawanan massa. Betapa tidak, dilepas
begitu saja menghadapi fluktuasi harga pasar internasional, dan pemerintah
secara berangsur meninggalkan fungsinya sebagai pelindung ekonomi rakyatnya.
Kalau penambahan beban masih tertanggungkan, mungkin tidak menjadi soal.
Akan tetapi, kalau bebannya begitumenekan, maka mau tidak mau rakyat akan
bertanya – Tanya, bahkan menggugat, “untuk apasih, apasih punya pemerintah?”
akan lebih buruk lagi kalau pencabutan subsidi justru dilakukan lebih dahulu
ketimbang langkah – langkah lain yang sepatutnya memang harus diusahakan
sebelumnya seperi penghematan anggaran, peninjauan kembali pos – pos
pengeluaran, dan pemberantasan korupsi, khususnya Negara korupsi berjamaah
yang dilakukan partai – partai politik yang memiliki wakil kabinet.
Pendekatan surplus neraca transaksi untuk menutup defisit APBN juga
punya masalah sendiri. Sinyalemen perekonomian bubble mungkin dinilai
kelewat keras, namun dalam kenyataannya pasar modal di Indonesia selama ini
memang sangat didominasi oleh pihak asing. Nilai totalnya mendekati Rp. 574
Triliun. Apa jadinya jika mendadak dana asing ini pindah ke tempat lain ?
kemungkinan hengkang seluruh dana asing dari bursa memang kecil, namun
meskipun kecil kemungkinan itu tetap ada, dan sekiranya benar – benar terjadi,
maka dipastikan pasar modal di Indonesia akan guncang.
3. Penurunan Daya Saing
Dalam survey rutin yang dilakukan oleh Internasional Institute for
Management Development, dari tahun ke tahun Indonesia secara tersu menerus
berada di urutan bawah, dan lebih memperhatingkan lagi, kian lama
kedudukannya tersu semakin merosot. Pada tahun 2007, Indonesia malahan

5
sudah menyentuh titik dasar dengan menempati urutan ke – 54 dari 55 Negara
yang disurvei. Hanya surut lagi Indonesia sudah akan menduduki peringkat
Negara yang perekonomiannya paling tidak berdaya saing.
Hasil survey dimuat dalam tabel dilakukan sejak tahun 1997 hingga
2006. Tampaklah jelas bahwa urutan Indonesia terus – menerus turun, dan juga
tinggal selangkah lagi untuk menempati urutan terbawah.kemerosotan Indonesia
koparatif antara waktu yang dialami Indonesia adalah yang terburuk. Pada tahun
1997, tapat ketika krisis dimulai. Indonesia masih menempati peringkat ketiga di
mata para pengusaha jepang, Indonesia masih lebih tinggi daya tarik
perekonomiannya disbanding Negara – Negara ASEAN. Namun pada periode
pascakrisis, kedudukan Indonesia tersu melorot, dan sejak tahun 2003 malah
sudah teringgal dari Vietnam dan mulai tahun 2003 Indonesia sudah ditinggalkan
oleh suma Negara ASEAN. Itu pendapat para pengusaha jepang yang selama ini
sudah banyak berinvestasi di Indonesia.
Penilaian berbagai lembaga internasional tentang kualitas perekonomian
Indonesia sebgai tujuan Investasi Internasional ternyata juga tidak
meggembirakan. Berdasarkan kulifikasi yang ditetapkan oleh Badan PBB urusan
Perdaganan dan Pembangunan atau UNCTAD (Unit National Conference on
Tade and Development), Indonesia sebagai tujuan investasi lagi – lagi masuk
dalam kelompok terbawah, yakni kelompok negara yang kinerja maupun potensi
investasinya sama- sama rendah.

4. Penurunan Ekonomi yang Tidak Seimbang


Pada masa pascakrisis, Indonesia mengalami laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik dalam soal besaran pertumbuhannya. Inilah indicator utama
senantiasa digunakan para presiden mulai dari Habibie hingga SBY untuk
mengklaim bahwa perekonomian Indonesia sudah back on track, kembali kejalur
semestinya, karena tidak menunjukkan seluruh kenyataan yang ada. Bahwa
perekonomian Indonesai kembali tumbuh dengan mantap, sekalipun belum
setinggi ada masa sebelum krisis, itu memang benar, dan ini sudah merupakan

6
satu hal yang patut disyukuri. Masalahnya, pertumuhan ekonomi di Indonesia itu
sendiri ternyata tidak berjalan sebagaimana seharusnya, karena ternyata sangat
tidak seimbang.
Yang dimaksudkan dengan pertumbuhan tidak seimbang di sini adalah
pertumbuhan ekonomi Indonesia terlalu bertumpu pada perkembangan sector
jasa – jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional dengan leluasa
(non tradable). Sedangkan sector barang yang erat kaitannya dengan produksi
dan perdagangan dalam pengertian konvensioanl biasa disebut sector tradable
mengalami pertumbuhan yang sangat terbatas.
Pertumbuhan tercepat terjadi di berbagai sektor yang padat teknologi,
dan paling minim menyerap tenaga kerja seperti subsektor transportasi dan
komunikasi (khusunya telekomunikasi, lebih spesifik lagi telekomunikasi
seluler). Menyusul kemudian sektor utilitas yang biasanya tumbuh beriringan
dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, disusul oleh sub-sektor
keuangan, termasuk perbankan dan pasar modal. Ketiga sub-sektor ini menjadi
motor utama penggerak perekonomian nasional selama periode 2005 -2007, dan
posisi ini tampak bertahan selama tahun 2008 dan mungkin juga tahun – tahun
berikutnya.
Lalu mengapa pertumbuhan yang terlalu bertumpu pada sektor
nontradable itu buruk, khususnya bagi indonesia? Pertama – tama pola
pertumbuhan ekonomi yang bertumpuh pada sektor jasa adalah khas negara maju
yang sudah memiliki sarana dan prasarana ekonomi relatif baik dan lengkap;
berbagai sektor ekonomi sudah berkembang cukup mapan, bahkan sudah
mencapai status kematangan; tingkat kesejahteraan rata – rata penduduknya juga
sudah cukup tinggi; serta tingkat pendidikan maupun akses rata – rata penduduk
terhadap sumber – sumber daya ekonomi relatif merata.

7
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Sebelum krisis semua negara yang mengalaminya mencatat deficit


neraca transaksi berjalan (current account). Kebalikannya, setelah krisis semua
Negara mencatat surplus. Ini dikarenakan pada periode pascakrisis, begitu
memungkinkan, setiap Negara kini berusaha keras mencetak surplus neraca
transaksi berjalan. Berkat langkah ini, maka jumlah cadangan internasional
semua Negara, termasuk Indonesia, juga mengalami kenaikan. Tiap Negara kini
juga berusaha meperbesar cadangan internasional, karena sesuai krisis, gunanya
bukan bukan cuma untuk menjamin nilai tukar mata uang nasional.

Setelah krisis, persamaan yang lebih banyak digunakan adalah yang


lebih memperhitungkan sisi pendapatan Artinya, defisit satu neraca akan
diusahakan sepenuhnya ditutup dengan menggunakan surplus dari neraca yang
lain. Hal yang sama juga dialami oleh negara – negara Asia yang dahulu dijuluki
“macan – macan Asia”. Hanya saja, kompleksitas permasalahannya tidak serumit
yang ada di Indonesia. Tingkat investasi riil di Korea (Selatan) memang turun,
tetapi tidaklah setajam yang terjadi di negara – negara ASEAN. Pada sisi yang
lain data itu dapat diartikan pula bahwa Asia Tenggara, khususnya Indonesia,
kian lemah dalam melakukan pemupukan investasi tetap (fixed investiment).
Pertumbuhan investasi tetap di Indonesia sampai tahun 2008 masih terus di
bawah tingkatan yang ada pada masa sebelum krisis.

You might also like