You are on page 1of 122

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja adalah masa peralihan antara kanak-kanak menuju

dewasa. Remaja mempunyai keinginan yang kuat untuk mengetahui

dan memahami perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja

termasuk masalah masalah kesehatan reproduksi. Akan tetapi sampai

saat ini pemberian informasi terhadap remaja tentang kesehatan

reproduksi dari orang tua masih rendah. (Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional,2007)

Dibanyak negara, anak perempuan dan laki-laki yang belum

menikah sudah aktif secara seksual sebelum mencapai umur 15 tahun.

Survei terakhir terhadap anak laki-laki yang berusia 15-19 tahun di

Brazil, Hungaria, Kenya, menemukan bahwa lebih dari seperempat

dilaporkan telah melakukan hubungan seksual sebelum usia mereka

mencapai 15 tahun. ( UNICEF & WHO, 2002)

Hasil riset Synovate tahun 2004 yang dilakukan di empat kota

yakni Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. Dari 450 responden,

44% mengaku berhubungan seks pertama kali pada usia 16-18 tahun.

Bahkan ada 16 responden yang mengenal seks sejak usia 13-15

tahun. Sebanyak 40% responden melakukan hubungan seks di rumah.

Sedangkan 26% melakukannya di tempat kos, dan 20 % lainnya di

hotel. (PKBI, 2008)


2

Berdasarkan survei terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja

putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2%

remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya

dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini

sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan

pada remaja putri (42,3%). Dari survei yang sama juga didapatkan

bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko untuk

tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51%

mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila

berhubungan seks dengan pekerja seks komersial.

(www.kesrepro.com, 2007)

Usaha-usaha untuk memasyarakatkan kesehatan reproduksi

melalui keluarga telah dilakukan oleh pemerintah melalui beberapa

program antara lain Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) telah membentuk kelompok-kelompok Bina keluarga Remaja

(BKR) yang sasarannya adalah keluarga yang memiliki anak remaja.

Namun demikian dari program pemerintah yang telah dilaksanakan,

masih banyak kendala yang ditemui di lapangan diantaranya

komunikasi antara orang tua dan remaja masih lemah. Kondisi

tersebut didukung dengan beberapa penemuan dari berbagai studi.

Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia yang

dilakukan pada tahun 2002 – 2003, menemukan bahwa remaja wanita

yang melakukan diskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang


3

tuanya sebesar 49 %, sedangkan pada remaja pria hanya sebesar 13

%. Sejauh ini relatif sedikit remaja yang menerima informasi mengenai

kesehatan reproduksi dari orang tua atau keluarga. Informasi yang

tersering diterima remaja dari orang tua nya tentang haid (42,2%),

senggama (15,5%), PMS (16,9%).

Remaja laki-laki lebih senang membahas masalah seksualitas

dengan teman (24,4%), dari pada dengan ayah (15%) atau ibunya

(20,6%). Sedangkan pada remaja perempuan lebih suka membahas

permasalah seksualitas dengan pasangannya (46%) dari pada dengan

ayah (2,2%) atau ibunya (38,2%). Remaja usia 10-24 tahun yang

pernah membicarakan masalah kesehatan reproduksi remaja dengan

ibunya sekitar (46%), sedangkan yang membicarakan dengan ayahnya

(17%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ekasari di

kecamatan Soreang dan Banjaran Kabupaten Bandung tahun 2007,

dengan subjek penelitian adalah ayah yang mempunyai anak remaja

berusia 10-19 tahun menunjukkan hasil bahwa remaja putri yang

berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang tuanya sebesar

49 % sedangkan remaja putri hanya sebesar 13 %. Selain itu

penelitian ini menemukan bahwa 51 % responden memperlihatkan

pola komunikasi dan pemberian informasi yang kurang.

Penelitian ini menunjukkan variabel ketersediaan waktu ayah

pada hari kerja terlihat berhubungan secara bermakna dengan pola

komunikasi dan pemberian informasi kesehatan reproduksi antara


4

ayah dan anak remaja. Ayah dengan waktu sedikit berisiko lebih besar

untuk mempunyai pola komunikasi dan pemberian informasi yang

kurang.

Jalinan komunikasi dengan teman lebih baik bila dibandingkan

dengan orang tua. Diantara kedua orang tua, ibu lebih akrab dengan

anak-anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Ayah cenderung

kurang dekat dengan anak-anak karena cepat marah, jarang ada

waktu untuk ngobrol, ditakuti oleh anak, serta jika berhubungan

dengan ayah umumnya karena anak-anak memerlukan.

(Ekasari,2007)

Peneliti dari Boston College, Rebekah Levine Coley

menyatakan terdapat kemungkinan bahwa hubungan dekat antara

ayah dan putrinya bisa membantu mencegah anak remaja melakukan

aktivitas seksual berisiko, seperti berhubungan badan di luar nikah

dan berhubungan badan tanpa pengaman dengan rekan sebayanya.

Semakin penuh perhatian si ayah, semakin ia mengetahui lebih

banyak teman-teman anaknya, maka semakin besar pula dampaknya

terhadap kehidupan seksual sang anak, demikian yang ditemui dalam

riset terhadap 3.206 remaja usia 13-18 tahun di Amerika. Meski sang

ibu juga memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang sama, namun

ketika sang ayah yang memberi nasihat akan berdampak 2 kali lipat.

(bkkbn.go.id)

Dampak pergaulan bebas mengantarkan pada kegiatan

menyimpang seperti seks bebas, tindak kriminal termasuk aborsi,


5

narkoba, serta berkembangnya penyakit menular seksual (PMS). Dari

aspek medis meburut Dr. Budi Martino L, SPOG, seks bebas memiliki

banyak konsekuensi misalnya penyakit menular seksual (PMS), selain

juga infeksi infertilitas, dan kanker.

Menurut WHO di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan

sekitar 40-60 juta ibu yang tidak menginginkan kehamilan melakukan

aborsi. Setiap tahun diperkirakan 500.000 ibu mengalami kematian

oleh kehamilan dan persalinan. Sekitar 30-50% diantaranya meninggal

akibat komplikasi abortus yang tidak aman dan 90% terjadi di negara

berkembang termasuk Indonesia. (halalsehat.com)

Berdasarkan survei yang dilakukan pada delapan SMU/SMK

periode September hingga Oktober tahun 2008 oleh PKBI terhadap

sejumlah siswa-siswi di Samarinda, dari 300 sampel yang diambil

disetiap sekolah, dari pengetahuan remaja tentang seksual, 49%

remaja mengartikan perilaku seksual adalah hubungan seksual, 24%

bergandengan tangan, 11% berpelukan, 16% bercumbu. Dari aktivitas

yang dilakukan pada saat pacaran, 45% berpegangan tangan, 24%

berpelukan, 18% berciuman, 9% melakukan hubungan seksual, dan

4% tidak melakukan apa-apa. Dari 300 sampel sebanyak 12% atau 36

siswa-siswi diantaranya pelajar di Samarinda (Kalimantan Timur)

mengaku pernah melakukan hubungan seks di luar nikah.

Survei yang dilakukan dengan menggunakan metode

kuisioner ini menunjukkan, 33% karena alasan dorongan seksual, 28%

sebagai bukti cinta, 22% suka sama suka, 17% terpaksa melakukan
6

hubungan seks. Dari tempat melakukan hubungan seksual, sebanyak

14 % hubungan seks tersebut dilakukan di sekolah, 28% responden

mengaku melakukannya dirumah. Umumnya siswa melakukan

hubungan badan diluar nikah dengan pekerja seks komersial (PSK),

sisanya dengan teman sekolah dan lainnya. Sementara siswi

melakukan hubungan seks dibawah umur diperkirakan didominasi

faktor nafsu (kurang moral), serta mengikuti trend (pergaulan bebas).

(PKBI KALTIM, 2008)

Pengetahuan seksualitas yang diterima oleh remaja dari

sumber yang benar dapat menjadikan faktor untuk memberikan dasar

yang kuat bagi remaja dalam menyikapi segala perilaku seksual yang

semakin menuju kematangan. Masalah-masalah perilaku seksual di

kalangan remaja diakibatkan karena kurangnya pengetahuan

mengenai seksualitas, sehingga praktis mereka buta terhadap

masalah seks. (http : eprints.ums.ac.id)

Berdasarkan paparan diatas, bahwa pengetahuan remaja

tentang kesehatan reproduksi mereka sangatlah penting, kemudian

upaya-upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, hasil upaya tersebut

menunjukkan bahwa peran ayah masih sangat rendah serta belum

adanya penelitian tentang hubungan pengetahuan remaja tentang dan

peran ayah dalam komunikasi tentang kesehatan reproduksi terhadap

perilaku seks remaja maka dipandang perlu diadakan penelitian untuk

mengetahui hal tersebut.


7

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan peran ayah

dalam komunikasi terhadap perilaku seks remaja. Populasi dari

penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Katolik WR. Soepratman

Samarinda. Penelitian ini dilakukan di SMA Katolik WR.Soepratman

Samarinda didasarkan kepada beberapa pertimbangan antara lain

belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan

remaja dan peran ayah dalam komunikasi tentang kesehatan

reproduksi terhadap perilaku seks remaja.

SMAK WR. Soepratman Samarinda terletak dengan pusat

kota Samarinda dengan akses transportasi yang sangat mudah yang

tentunya juga memudahkan para siswa-siswi untuk mendapatkan

berbagai informasi pengetahuan termasuk informasi pengetahuan

mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja melalui

berbagai sumber. Selain itu siswa-siswi termasuk dalam golongan

usia remaja yang sudah mulai melakukan aktivitas berpacaran,

walaupun tidak semua bersikap terbuka terhadap aktivitas berpacaran

mereka. Mereka selalu ingin tahu tentang masalah seksualitas dan

kesehatan reproduksi, yang biasanya malah mereka dapatkan melalui

teman sebaya. Pengetahuan yang salah tentang kesehatan reproduksi

akan berisiko terhadap mereka untuk melakukan hal yang

membahayakan bagi kesehatan mereka seperti melakukan hubungan

seks pra nikah.


8

Di SMAK WR.Soepratman diketahui bahwa jenis pekerjaan

orang tua khususnya ayah lebih di dominasi oleh pekerjaan pegawai

perusahaan swasta dan wiraswasta apabila di bandingkan dengan

pegawai negeri sipil yaitu dengan perbandingan 70% : 30%. Hal itu

sangat berbanding terbalik apabila di bandingkan dengan SMA Negeri.

Berdasarkan informasi yang didapatkan di SMA Negeri 1 Samarinda

diketahui bahwa jenis pekerjaan orang tua khususnya ayah lebih di

dominasi oleh pekerjaan pegawai negeri sipil apabila di bandingkan

dengan pekerjaan pegawai perusahaan swasta dan wiraswasta yaitu

dengan perbandingan 75% : 25%.

Dimana biasanya jumlah kerja swasta lebih banyak apabila

dibandingkan dengan PNS. Sehingga secara langsung akan

mempengaruhi ketersediaan waktu ayah di rumah dan intensitas

dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya.

Penelitian ini berkaitan dengan pilar kesehatan masyarakat

yaitu tentang pendidikan ilmu dan perilaku kesehatan, khususnya

kesehatan reproduksi remaja. Selain itu melihat tingginya angka

hubungan seks pra nikah pada remaja SMA serta latar belakang di

atas maka dengan demikian perlunya melakukan penelitian dengan

judul : “Hubungan pengetahuan remaja tentang kesehatan

reproduksi dan peran ayah dalam komunikasi terhadap perilaku

seks remaja.di SMA Katolik WR. Soepratman Kota Samarinda

Tahun 2009 ”
9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas

maka dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Apakah ada hubungan pengetahuan remaja tentang kesehatan

reproduksi dan peran ayah dalam komunikasi terhadap perilaku seks

remaja di SMA Katolik WR. Soepratman Kota Samarinda Tahun 2009”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan remaja tentang

kesehatan reproduksi dan peran ayah dalam komunikasi terhadap

perilaku seks remaja di SMA Katolik WR. Soepratman Kota

Samarinda Tahun 2009.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan pengetahuan remaja tentang kesehatan

reproduksi terhadap perilaku seks remaja di SMA Katolik WR.

Soepratman di Kota Samarinda.

b. Mengetahui hubungan peran ayah dalam komunikasi terhadap

perilaku seks remaja di SMA Katolik WR. Soepratman di Kota

Samarinda.
10

D. Manfaat

1. Bagi Instansi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

bagi Instansi Kesehatan Kota Samarinda dalam rangka penentuan

arah kebijakan di bidang kesehatan, khususnya mengenai

kesehatan reproduksi remaja.

2. Bagi Fakultas

Memberikan tambahan informasi ilmiah yang berhubungan

dengan ilmu dan perilaku kesehatan khususnya tentang kesehatan

reproduksi remaja.

3. Bagi Sekolah

Sebagai bahan masukan untuk kurikulum lokal agar

memasukkan mata pelajaran kesehatan reproduksi di sekolah.

4. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan bagi peneliti

mengenai hubungan pengetahuan remaja dan peran ayah dalam

komunikasi tentang kesehatan reproduksi terhadap perilaku seks

remaja.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

1. Pengertian
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil

tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang di milikinya

(mata, hidung, telinga dan sebagainya ). Dengan sendirinya, pada

waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut

sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap

objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui

melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan

(mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai

intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2005)

2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Bloom yang dikutip Notoatmodjo (2005) bahwa

pengetahuan secara garis besar dibagi dalam enam tingkatan ,

yaitu :

a. Tahu ( know)
12

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang

telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek

tersebut, tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus

dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang

diketahui tersebut.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apbila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip

yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan

dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara

komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau

objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu

sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang telah

dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan

membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek

tersebut.

e. Sintesis (synthesis)
13

Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakan dalam suatu hubungan yang logis

dari komponen-komponen pengetahuan yang dimilki. Dengan

kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi-formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek

tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu

kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku

di masyarakat.

Berdasarkan survei yang dilakukan pada delapan SMU/SMK

periode September hingga Oktober tahun 2008 oleh PKBI terhadap

sejumlah siswa-siswi di Samarinda, sebanyak 300 sampel yang

diambil disetiap sekolah. Pengetahuan remaja tentang seksual, 49%

remaja mengartikan perilaku seksual adalah hubungan seksual, 24%

bergandengan tangan, 11% berpelukan, 16% bercumbu. Pengertian

remaja pendidikan seks, 46% mempelajari organ reproduksi dan 3%

mempelajari cara bercinta. Kapan pendidikan seks diberikan pada

remaja, 38% sedini mungkin, 13% masa pacaran. (PKBI KALTIM,

2008)

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang


14

ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman

pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan

dengan tingkat-tingkat tersebut di atas. (Notoatdmodjo, 2005)

Skala Guttman akan didapat jawaban yang tegas yaitu

“ya-tidak”, “benar-salah”, “positif-negatif”, “Pernah- tidak pernah”dan

lain-lain. Penelitian dengan menggunakan skala Guttman dilakukan

bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu

permasalahan yang ditanyakan. (Riduwan, 2009)

Skala ini dapat digunakan untuk mengukur berbagai macam

fenomena yang berbeda, misalnya pengetahuan, penggunaan obat-

obatan terlarang, kepemilikkan. (Prasetyo dan Jannah, 2008)

B. Peran Ayah

Memahami Peran Ayah

Sejak tahun 1970-an, banyak ahli psikologi secara langsung

meneliti peran ayah dalam keluarga. Hasil penelitian terhadap

perkembangan anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian

ayah menyimpulkan, perkembangan anak menjadi pincang.

Kelompok anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya

cenderung memiliki kemampuan akademis menurun, aktivitas

sosial terhambat dan interaksi sosial terbatas. Bahkan bagi anak

laki-laki ciri-ciri maskulinnya bisa menjadi kabur.

Jumlah waktu bukanlah faktor penentuan dalam

menimbulkan pengaruh orang tua pada anaknya. Yang menjadi inti


15

sesungguhnya adalah bagaimana kualitas dan intensitas

pertemuan ini. Keseringan kontak orang tua dengan anaknya

bukanlah suatu ukuran dan jaminan. Pernyataan yang lebih

mendasar adalah bukan jumlah waktu seorang ayah bersama

anaknya setiap hari tetapi apa dan bagaimana yang ia lakukan

pada saat bersama anaknya.

Tidak diragukan lagi ayah berperan penting dalam

perkembangan anaknya secara langsung. Ayah juga dapat

mengatur serta mengarahkan aktivitas anak. Misalnya

menyadarkan anak menghadapi lingkungannya dan situsi di dunia

luar. Semua tindakan ini adalah cara ayah (orang tua) untuk

memperkenalkan anak dengan lingkungan hidupnya dan dapat

mempengaruhi anak dalam menghadapi perubahan sosial dan

membantu perkembangan kognitifnya di kemudian hari.

Peran Ayah pada Pengasuhan Anak

Tugas seorang ayah tidaklah mudah, mencari nafkah dan

mengusahakan keutuhan keluarga adalah dua tugas penting yang

harus disandangnya. Disamping itu ayah juga harus berperan

dalam menciptakan kebersamaan dan komunikasi dengan

keluarganya. Kebersamaan dan komunikasi yang baik dapat

diciptakan melalui beberapa kegiatan yang bisa dilakukan ayah

bersama keluarga. Kegiatan tersebut dapat dibagi ke dalam tiga

jenis, yaitu melakukan aktivitas sehari-hari, berolahraga, dan

bermain bersama istri dan anak-anak.


16

Keluarga yang sehat memerlukan keterlibatan kedua orang

tua dalam mengasuh dan mendidik anak, dengan demikian anak

pun akan mempunyai figur orang tua yang seimbang serta memiliki

hubungan emosional yang lebih kuat dengan ayah ibunya.

Ikatan antara ayah dan anak memberikan warna tersendiri dalam

pembentukan karakter anak. Hal ini dikarenakan karakter pria yang

berbeda dengan sosok wanita yang akan memberikan sumbangan

unik pada anak.

Ayah membantu anak bersifat tegar, kompetitif, menyukai

tantangan, dan senang bereksplorasi. Jika ibu memerankan sosok

yang memberikan perlindungan dan keteraturan, sedangkan ayah

membantu anak bebas bereksplorasi dan menyukai tantangan. Jika

anak diasuh oleh keduanya secara optimal, maka akan terbentuk

rasa aman dan percaya dalam diri anak.

Peranan Ayah dalam Perkembangan Seksual Anak

Orang tua memperlihatkan sikap jelas terhadap anak laki-

laki dan perempuan. Keinginan harapan dan perilaku orang tua

terhadap anaknya akan membentuk suatu pola. Dan semenjak ini

pula awal perbedaan kisah pri-wanita. Tetapi pada masyarakat

sekarang sudah ada gejala untuk memperkecil jurang perbedaan

tersebut. Ayah mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan

peran seksual.

Hubungan timbal-balik ayah dengan anak putri yang

mengatakan, figur ayah itu penting bagi anak putri dalam


17

mempelajari lawan jenisnya. Dikatakan gejala ini mulai sebelum

masa remaja. Biasanya anak putri dari seorang ibu yang janda

akan memperlihatkan sikap malu dan perasaan tidak enak bila

berada di sekitar anak laki-laki. Berbeda dengan anak putri yang

hidup dengan ayahnya. Ia lebih tegas terhadap anak laki-laki dan

laki-laki umumnya. Anak putri ini bahkan lebih memberikan respon

terhadap kaum pria.

Anak laki-laki dalam perkembangannya menuju dewasa juga

situasi keluarga. Tergantung pada siapakah yang paling berperan

dalam keluarga. Bila posisi ibu lebih dominan maka hal itu dapat

menyebabkan si anak menganggap bahwa ayah bukan model

panutannya. Situasi ini bagi anak laki-laki akan mengakibatkan

kurang memperlihatkan sikap sebagai seorang laki-laki. Tetapi bila

dalam keluarga yang lebih dominan berperan adalah ayah maka

anak menganggap ayahnya sebagai tokoh panutan. Sementara

pada anak putri keadaan ini kurang dipengaruhi.

Ayah memang mempengaruhi putrinya namun dengan cara

yang berbeda. Sifat kewanitaan seorang putri berkaitan dengan

cara yang berbeda. Sifat kewanitaan seorang putri berkaitan

dengan sifat kelaki-lakian seorang ayah. Ketika menginjak usia

remaja pergaulan seorang anak putri terhadap lawan jenisnya akan

lebih ditentukan bagaimana hubungan awal antara ayah dengan

anak putrinya itu. Bila hubungan itu tidak intim maka dapat
18

membawa kesulitan bagi putrinya dalam bergaul dengan teman

pria di kemudian hari.

Ada cara lain bagaimana seorang ayah mempengaruhi

anaknya untuk bersikap sesuai dengan peran jenis kelaminnya,

yaitu dengan cara mendidik dan mendikte secara pribadi. Dauglas

Sawin dan Ross de Parke telah menemukan bahwa perhatian

seorang ayah terhadap putrinya secara pribadi jauh lebih kuat

daripada terhadap putranya. Ayah mempengaruhi perkembangan

anak-anaknya dengan berbagai cara. Penampilan mereka

merupakan model panutan bagi anak-anaknya dalam pergaulan

dan sikap sehari-hari. Malah lebih dari ibu, ia lebih memberikan

kesan mendalam dalam perkembangan sikap putra-putrinya.

Revolusi Peran Ayah

Beberapa sejarahwan berkeyakinan bahwa kecilnya peran

ayah terhadap anaknya bukan sebagai akibat perbedaan biologis.

Perubahan pandangan ini mulai berkembang sejak revolusi

industri. Pola pikiran tradisional yang membedakan siapa yang

bekerja di luar rumah dan siapa di rumah tidak pelak lagi dalam

perjalanan sejarah sudah mulai berubah. Adanya perubahan sosial

pada saat ini, misalnya ayah tidak bekerja dan berdiam di rumah,

serta adanya fleksibilitas jam kerja memungkinkan seorang ayah

mempunyai lebih banyak waktu bersama anaknya.

Jumlah Waktu Ayah


19

Baru-baru ini pemerintah Swedia mengeluarkan peraturan

yang mengizinkan semua kaum pria untuk tinggalkan pekerjaan

pada waktu tertentu, pada saat istrinya bersalin. Dan bahkan 15 %

di antaranya tinggal bersama bayinya selama sebulan atau lebih.

Fleksibilitas jam kerja seorang ayah dapat menyebabkan ia lebih

banyak waktu dengan anaknya. Misalnya ia masih sempat

mengurus keperluan ketika anaknya pergi atau pulang sekolah.

Hubungan antara ayah dengan anaknya dapat menjadi dekat sekali

jika setiap hari secara rutin ada bersama anak-anaknya.

Banyak perubahan lain yang muncul dalam bidang

pekerjaan, yang menimbulkan kemungkinan lebih besar bagi kaum

laki-laki untuk mengambil bagian dalam mengasuh anak.

Perubahan di bidang kerja ini menjadi biasa di Amerika dan Eropa.

Juga muncul bentuk jam kerja yang lain seperti bekerja hanya

penggal waktu, juga membawa dampak dalam keluarga.

Fleksibilitas jam kerja dapat memunculkan hal-hal baru antara lain

dapat mempengaruhi hubungan ayah dengan anak. (Dagun,Save

M, 2002)

Peran ayah dapat menurunkan potensi seks dini pada anak

Kemudahan untuk mengakses informasi yang semakin

terbuka membuat anak-anak mudah terekspos pada hal-hal yang

sebenarnya belum waktunya mereka ketahui. Masalah seks

misalnya. Apalagi jika ditambah dengan dorongan untuk

berhubungan badan di usia dini mendapat "stimulasi" dari teman-


20

teman sebayanya. Untuk mencegah hal ini terjadi pada anak

perempuan, diperlukan sebuah usaha lebih dari seorang ayah

untuk mendekatkan diri dan membantu mereka lebih pandai

menjaga diri.

Peneliti dari Boston College, Rebekah Levine Coley

menyatakan terdapat kemungkinan bahwa hubungan dekat antara

ayah dan putrinya bisa membantu mencegah anak remaja

melakukan aktivitas seksual berisiko, seperti berhubungan badan

di luar nikah dan berhubungan badan tanpa pengaman dengan

rekan sebayanya. Semakin penuh perhatian si ayah, semakin ia

mengetahui lebih banyak teman-teman anaknya, maka semakin

besar pula dampaknya terhadap kehidupan seksual sang anak,

demikian yang ditemui dalam riset terhadap 3.206 remaja usia 13-

18 tahun di Amerika. Meski sang ibu juga memiliki kemampuan

untuk melakukan hal yang sama, namun ketika sang ayah yang

memberi nasihat akan berdampak 2 kali lipat.

Tolan juga menyatakan, semakin banyak orang tua

menghabiskan waktu bersama anak-anak, semakin sedikit waktu

yang mereka habiskan di luar pengawasan orang tua. Juga, ketika

orang tua menyisihkan waktu untuk berbincang dengan anak-anak,

mereka akan mempelajari nilai-nilai yang orang tua miliki. Dan

mereka akan lebih banyak berpikir sebelum bertindak. Mereka akan

memikirkan apa yang akan pikir tentang mereka sebelum mereka

memutuskan melakukan tindakan-tindakan tertentu.


21

Namun, waktu yang dihabiskan bersama anak pun harus

diisi dengan kegiatan yang berkualitas. Jika anak-anak

menghindari orangtuanya karena atmosfer di rumahnya tegang,

menambah waktu bersama tak akan membantu. Diperlukan usaha

ekstra dari ayah dan ibu untuk bisa tetap memiliki hubungan yang

erat dengan anak-anak remajanya meski si anak menolak mereka.

(www.bkkbn.go.id)

Penelitian yang dilakukan oleh Ekasari tentang pola

komunikasi dan informasi kesehatan reproduksi antara ayah dan

remaja menemukan 51 (51 %) responden dengan pola komunikasi

dan pemberian informasi kategori kurang 49 (49%) responden

dengan pola komunikasi dan pemberian informasi kategori baik.

Ditemukan ayah yang bekerja 78 orang (78%) dan ibu yang bekerja

62 orang (62%) responden menyatakan istrinya tidak bekerja.

Responden yang mempunyai anak laki-laki 41 (41%) responden,

yang mempunyai anak perempuan 41 (41%) responden, dan yang

mempunyai anak laki-laki dan perempuan adalah 18 (18%).

Responden dengan pengetahuan tinggi 47 (47%) responden.

Ketersediaan waktu ayah dibedakan atas ketersediaan

waktu ayah pada hari kerja dan ketersediaan waktu ayah hari libur.

Ketersediaan waktu ayah pada hari kerja yang sedikit (< 3 jam)

adalah 72 (72%) dan ketersediaan waktu ayah pada hari libur yang

sedikit (< 3 jam) adalah 51 (51%) dan dengan waktu banyak (> 3

jam) 49 (49%) responden. Keterpaparan media informasi


22

dikategorikan berdasarkan akses responden dalam mendapatkan

informasi. Responden pernah mendapatkan informasi tentang

kesehatan reproduksi remaja meskipun hanya 1 kali dan dari media

apapun, maka dikategorikan terpapar. Responden yang tidak

pernah terpapar informasi tentang kesehatan reproduksi dari media

51 (51%).

Penelitian ini menunjukkan variabel ketersediaan waktu ayah

pada hari kerja terlihat berhubungan secara bermakna dengan pola

komunikasi dan pemberian informasi kesehatan reproduksi antara

ayah dan anak remaja. Ayah dengan waktu sedikit berisiko lebih

besar untuk mempunyai pola komunikasi dan pemberian informasi

yang kurang. (Ekasari,2007)

C. Pola Komunikasi dalam Keluarga

1. Pengertian

Komunikasi adalah inti dari semua perhubungan.

Komunikasi dapat berlangsung setiap saat, kapan saja, oleh siapa

saja dan dengan siapa saja. Kelompok pertama yang dialami oleh

individu yang baru lahir ialah keluarga. Hubungan yang dilakukan

oleh individu itu dengan ibunya, bapaknya dan anggota keluarga

lainnya.

Karena tanggung jawab orang tua adalah mendidik anak,

maka komunikasi yang berlangsung dalam keluarga bernilai

pendidikan. Dalam komunikasi itu ada sejumlah norma yang ingin


23

diwariskan oleh orang tua kepada anaknya dengan pengandalan

pendidikan. Norma-norma itu misalnya norma agama, norma

akhlak, norma sosial norma etika, norma estetika dan norma moral.

Fungsi komunikasi dalam keluarga yaitu sebagai fungsi

komunikasi sosial dan fungsi komunikasi kultural. Fungsi

komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting

untuk membangun konsep diri, aktualiasi diri, untuk kelangsungan

hidup, untuk memperoleh kebahagian, untuk menghindarkan diri

dari tekanan dan ketegangan. Sedangkan fungsi komunikasi

kultural turut menentukan memelihara, mengembangkan atau

mewariskan budaya.

Tanpa adanya komunikasi dalam keluarga akibatnya adalah

kerawanan hubungan antara anggota keluarga, oleh karena itu

komunikasi dalam keluarga perlu dibangun secara harmonis dalam

rangka membangun pendidikan yang baik dalam keluarga.

(Bahri, 2004)

Komunikasi yang efektif penting dalam kehidupan

berkeluarga. Namun tidak semua orang memahami bagaimana

resep bagaimana berkomunikasi yang efektif antara ayah dan ibu

serta orang tua dan anak.

2. Tipe Komunikasi
24

Tipe komunikasi yang dikemukakan oleh F. Philip Rice

yang dikaitkan dengan pola asuh yaitu :

a. Tipe Terbuka

Tipe ini merupakan tipe komunikasi paling sehat. Antara

anak dan orang tua terjalin komunikasi saling terbuka. Orang

tua mau mendengarkan anak dan anak secara leluasa dapat

bercerita, mengekspresikan perasaan dan pikirannya sera

berdiskusi dengan orang tua. Tipe komunikasi seperti ini ada

pada pola asuh demokratis atau authoritative. Umpamanya,

saat kedua orang tua berbicara mereka memperbolehkan anak

menanggapi dan menghargai pendapatnya.

b. Tipe Permukaan

Komunikasi yang terjali bukan pada hal-hal penting, tidak

detail, tidak nyata, dan sekedar basa-basi saja sebatas

permukaan. Di saat orang tua atau anak ingin menggali cerita

lebih dalam, komunikasi tidak dapat terwujud karena tidak ada

saling keterbukaan. Penyebabnya dapat berupa perasaan takut

mengecewakan, malu dan sebagainya. Tipe ini biasanya ada

pada pola asuh permisif atau indulgent.

c. Tipe Mengabaikan (avoidance)


25

Komunikasi dimana masing-masing anggota keluarga

saling menghindar sehingga tidak terjalin komunikasi. Hal ini

bisa disebabkan karena hubungan orang tua yang tidak

harmonis atau memang karena pribadi orang tua yang tidak

terbuka terhadap anak, dan tidak peduli dengan kebutuhan

komunikasi anak dan orang tua. Tipe ini biasanya ada pada

pola asuh cuek atau neglectful. Sebenarnya tipe ini hampir

sama dengan tipe permukaan hanya saja pada tipe

mengabaikan ini cara bicara orang tua seringkali terbawa

emosi.

d. Tipe komunikasi salah

Biasanya terjadi pada pola asuh otoriter dimana orang

tua cenderung menuntut anak. Bila tidak sesuai dengan

keinginan yang diharapkan orang tua langsung marah-marah.

Akibatnya anak selalu takut berbuat salah. Sehingga anak akan

lebih sering berbohong. Anak selalu berusaha untuk

menceritakan yang baik-baik saja atau berbicara seadanya.

Pola asuh seperti ini bisa membuat anak jadi tertutup kepada

orang tuanya.

e. Tipe Komunikasi Satu Arah

Tipe komunikasi satu arah terjadi jika dalam keluarga

hanya ada satu figur dominan dalam berkomunikasi.

f. Tipe Tanpa Ada Komunikasi


26

Antara anggota keluarga jarang terjadi pembicaraan

walaupun sedikit sebenarnya diantara mereka tida ada konflik

nyata. Namun akibat darti tipe komunikasi seperti ini adalah

orang tua tidak tahu keadaan dan kebutuhan anak.

(http : afficeria.multiply.com)

3. Hubungan orang tua dengan anak

Salah satu ciri yang menonjol dari remaja yang

mempengaruhi relasinya dengan orang tua adalah perjuangan

untuk memperoleh otonomi baik secara fisik dan psikologis.

Orang tua tidak lagi dipandang sebagai otoritas yang serba

tahu. Secara optimal remaja mengembangkan pandangan-

pandangan yang lebih matang dan realistis dari orang tua mereka,

kesadaran bahwa mereka adalah seseorang yang memiliki

kemampuan, bakat dan pengetahuan tertentu, mereka memandang

orang tua sebagai orang yang dihormati dan sekaligus sebagai

orang yang dapat berbuat kesalahan.

Hubungan orang tua yang suportif memungkinkan untuk

mengungkapkan perasaan positif dan negatif, yang membantu

perkembangan kompetensi social dan otonomi yang bertanggung

jawab.

Keterikatan dengan orang tua selama masa remaja dapat

berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana


27

remaja dapat, menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan

baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang

sehat secara psikologis. Keterikatan yan kokoh dengan orang tua

akan meningkatkan relasi dengan teman sebaya yang lebih

kompeten dan hubungan erat yang positif di luar keluarga.

Keterikatan yang kokoh dengan orang tua juga dapat menyangga

remaja dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai

akibat dari masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

(Mar’At, 2008)

4. Konflik Orang Tua - Remaja

Masa awal remaja adalah waktu dimana konflik orang tua –

remaja meningkat lebih dari konflik orang tua-anak (Montermayor

1982; Steinberg,1991) dalam Santrock,2003. Peningkatan ini bisa

terjadi karena beberapa faktor yang telah dibicarakan yang

melibatkan pendewasaan orang tua seperti perubahan biologis

pubertas, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati

diri, harapan yang tak tercapai, dan perubahan fisik, kognitif dan

sosial orang tua sehubungan dengan usia paruh baya. Kebanyakan

konflik tersebut jarang melibatkan kejadian sehari-hari dalam

kehidupan keluarga. Konfik tersebut jarang melibatkan dilema-

dilema utama seperti obat-obatan dan kenakalan. Tingkat konflik

yang tinggi menandai beberapa hubungan orang tua – remaja.

Suatu perkiraan presentase orang tua dan remaja yang terlibat


28

dalam konflik tidak sehat berulang-ulang dan berkepanjangan

adalah sekitar satu dalam lima keluarga (Montemayor, 1982 dalam

Santrock, 2003)

5. Pendidikan seks oleh orang tua

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi

atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah

dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan

yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi, dan

perasaan berdosa.

Pandangan pro-kontra pendidikan seks ini pada hakikatnya

tergantung sekali pada bagaimana kita mendefinisikan pendidikan

seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberian

informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses faal dari

reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik

pencegahannya (alat kontrasepsi), kecemasan yang disebutkan

diatas memang beralasan.

Pandangan yang pro menyatakan bahwa remaja yang telah

mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung lebih sering

melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah

mendapat pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami

kehamilan yang tidak diinginkan.

Penelitian oleh Fox dan Inazu (1980) dalam Sarwono (2006)

menunjukkan hasil yang mendukung perlunya pendidikan seks


29

untuk remaja khususnya yang dilakukan oleh orang tua. Penelitian

yang dilakukan terhadap 449 pasangan ibu-anak remaja putri (kulit

hitam dan kulit putih) ini membuktikan bahwa semakin sering terjadi

percakapan tentang seks antara ibu dan anak, tingkah laku seksual

anak makin bertanggung jawab. Selanjutnya mereka mengatakan

bahwa jika komunikasi antara ibu dan anak dilakukan sebelum

anak melakukan hubungan seks, hubungan seks dapat dicegah.

Makin awal komunikasi dilakukan, fungsi pencegahannya

makin nyata. Akan tetapi jika komunikasi dilakukan setelah

hubungan seks terjadi, komunikasi itu justru akan mendorong lebih

sering dilakukannya hubungan seks. Meskipun demikian dalam hal

ini, pengaruh positif dan komunikasi itu tetap ada, yaitu hubungan

seks yang terjadi tidak sampai menimbulkan kehamilan yang tidak

diharapkan. (Sarwono,2006)

Berdasarkan hasil penelitian Universitas Muhamadiyah

Surakarta (2006) terdapat hubungan yang sangat signifikan antara

pengetahuan seksualitas dan kualitas komunikasi orang tua-anak

dengan perilaku seksual pra-nikah (R= 0,531 dengan p<0,01).

(http : eprints.ums.ac.id)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMA

kelas XI di kota Bandung tahun pelajaran 2005/2006 hasil

perhitungan membuktikan terdapat korelasi positif antara pola

komunikasi orang tua-anak dengan stabilitas emosi remaja yaitu

sebesar 30.9% dengan tingkat signifikansi sebesar 99%. Pola


30

komunikasi yang dirasakan remaja SMA kelas XI di kota Bandung

cenderung pada pola komunikasi interaksional dengan persentase

sebesar 87.17%.

Sedangkan gambaran emosi remaja SMA Kelas XI di kota

Bandung berada pada kategori stabil dengan persentase sebesar

95.23%. Hubungan masing-masing pola komunikasi terhadap

stabilitas emosi berbeda-beda. Pola komunikasi stimulus respon

dan simetri tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan

stabilitas emosi remaja, sedangkan pola komunikasi interaksional

memiliki hubungan yang signifikan sebesar 20.9% pada tingkat

kepercayaan 99% dengan stabilitas emosi remaja.

(www. digilib.upi.edu, 2006)

D. Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat baik secara

fisik, jiwa maupun sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan

proses reproduksi. Reproduksi sendiri merupakan prose salami untuk

melanjutkan keturunan. Reproduksi sehat berkaitan dengan sikap dan

perilaku sehat dan bertanggung jawab seseorang berkaitan dengan

alat reproduksi dan fungsi-fungsinya serta pencegahan terhadap

gangguan-gangguan yang mungkin timbul. Maka pemeliharaan

kesehatan reproduksi mutlak diperlukan dalam rangka

mengembangkan keturunan yang sehat dan berkualitas di masa

dewasanya.
31

Masa remaja merupakan pancaroba yang pesat, baik secara

fisik, psikis, dan sosial. Masuknya berbagai informasi yang bebas tidak

melalui saringan yang benar menurut etika dan moral, menyebabkan

remaja rentan terhadap pengaruh yang merugikan. Keadaan ini

diperberat dengan kurang pedulinya keluarga dan masyarakat, bahkan

menganggap tabu membicarakan masalah reproduksi. Inilah sebabnya

remaja perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan kesehatan

reproduksi agar peduli serta dapat menentukan sikap dan bertanggung

jawab. Definisi remaja menurut WHO adalah 10-19 tahun dan UU

perlindungan anak No. 23 tahun 2002 adalah 10-18 tahun.

Anatomi dan fungsi Organ Reproduksi Perempuan :

a. Ovarium (indung telur), terdapat pada kiri dan kanan ujung

tuba (fimbria dan umbai-umbai) dan terletak di rongga panggul,

merupakan kelenjar yang memproduksi hormon estrogen dan

progesteron.

b. Tuba fallopii (saluran telur), merupakan dua saluran pada

kanan dan kiri rahim sepanjang +10 cm yang menghubungkan

uterus dan ovarium melalui fimbrae.

c. Fimbrae (Umbai-umbai), berfungsi untuk menangkap sel

telur yang dikeluarkan indung telur.

d. Uterus (rahim),bila tidak terjadi pembuahan maka lapisan

uterus akan terlepas dan keluar melalui vagina yang disebut

menstruasi.
32

e. Serviks (leher rahim), merupakan daeran bagian bawah

rahim yang berhubungan dengan bagian atas vagina.

f. Vagina (liang kemaluan), merupakan saluran yang elastis,

panjangnya sekitar 8-10 cm, dan berakhir pada rahim. Vagina

dilalui darah pada saat menstruasi dan merupakan jalan lahir.

g. Klitoris (kelentit), organ kecil yang berada di atas uretra dan

dilindungi lipatan labium minora.

h. Labia (bibir kemaluan), terdiri dari dua bibir yaitu bibir luar

dan bibir dalam.

Remaja perempuan akan mengalami menstruasi, menstruasi

adalah proses peluruhan lapisan dalam atau endometrium yang

banyak mengandung pembuluh darah dari uterus melalui vagina.

Menstruasi yang pertama (menarche) merupakan tanda awal

pubertas. Biasanya siklus menstruasi pada remaja belum teratur,

dapat terjadi 2 kali dalam sebulan, atau beberapa bulan tidak

menstruasi lagi. Hal ini beralangsung kira-kira tiga tahun.

Masalah keperawanan pada remaja, dikatakan perawan

apabila belum pernah melakukan hubungan seksual (penis masuk

ke dalam vagina). Di mulut vagina terdapat selaput dara (hymen),

suatu selaput yang akan robek pada saat bersenggama,

kecelakaan, masturbasi/onani yang terlalu dalam, olah raga dan

sebagainya. Sunat pada perempuan / pemotongan kulit klitoris

tidak bermanfaat bahkan bila dilakukan tidak steril menimbulkan

infeksi, sehingga secara medis tidak dianjurkan.


33

Anatomi dan fungsi Organ Reproduksi Laki-laki :

a. Testis (buah pelir), merupakan organ (2 buah)

penghasil hormon testosteron dan spermatozoa.

b. Skrotum, kantong kulit yang melindungi testis,

berwarna gelap dan berlipat – lipat. Scrotum adalah tempat

bergantungnya testis ke dinding perut dengan maksud

mengatur testis agar relatif tetap.

c. Vas deferens (saluran sperma), saluran yang

menyalurkan sperma dari testis epididimis menuju ke uretra /

saluran kencing pars prostatika.

d. Prostat, vesikula seminalis dan beberapa kelenjar

lainnya. Kelenjar-kelenjar yang menghasilkan cairan sperma

yang berguna untuk memberi makanan pada sperma.

e. Penis, berfungsi sebagai alat senggama dan sebagai

saluran untuk pengeluaran sperma dan air seni. Banyak

mengandung pembuluh darah dan syaraf. Dapat berubah dari

yang semula kecil dan lemas menjadi besar dan tegang saat

ereksi. Hal ini terjadi karena penis terisi darah saat terangsang.

Penis tidak mengandung tulang dan tidak terbentuk dari otot.

Ukuran dan bentuk penis bervariasi, namun umumnya bila penis

ereksi ukurannya hampir sama.

f. Preputium, lekukan kulit yang melindungi kepala penis.

Mekanisme fungsi yang khusus dari organ reproduksi laki-

laki dapat ditunjukkan dengan beberapa peristiwa seperti :


34

Ereksi, pengerasan dan pembesaran pada penis yang terjadi

ketika pembuluh darah dipenuhi dengan darah. Ereksi diperlukan

laki-laki untuk melakukan hubungan seksual. Ereksi bisa terjadi

karena rangsangan seksual. Misalnya, ketika orang lain atau diri

sendiri menyentuh penis atau buah pelir. Kita juga bisa terangsang

ketika kita menonton adegan erotis di televisi, melihat gambar-

gambar seksi, atau berfantasi seksual yaitu membayangkan

adegan-adegan erotis.

Ejakulasi, keluarnya cairan sperma melalui saluran kemih,

bisa terjadi melalui rangsangan maupun tanpa rangsangan (mimpi

basah). Ejakulasi yang dilakukan dengan rangsangan terhadap

organ seks sendiri disebut masturbasi atau onani.

Mimpi basah, peristiwa keluarnya sperma saat tidur, sering

pada saat mimpi tentang seks. Mimpi basah sebetulnya merupakan

salah satu cara alami berejakulasi. Ejakulasi terjadi karena sperma,

yang terus menerus diproduksi dan perlu keluar.

Masturbasi atau onani merupakan aktifitas merangsang

dengan menyentuh atau meraba organ genitalia dengan cara

merangsang diri sendiri pada penisnya sehingga terjadi ereksi dan

berakhir dengan ejakulasi. Dengan demikian produksi spermatozoa

yang bertumpuk akan dilepaskan secara paksa. ( Depkes RI, 2007)

Kelompok remaja adalah segmen yang besar dan berkembang

sebagai bagian dari populasi. Walaupun masa remaja secara umum

adalah suatu periode yang sehat dalam kehidupan, banyak anak


35

remaja sering kurang mendapatkan penerangan, kurang pengalaman,

dan kurang nyaman mengakses pelayanan keluarga berencana dan

jasa kesehatan reproduksi jika dibandingkan dengan orang dewasa.

Kelompok remaja kemungkinan mengalami kesulitan, bahkan

permusuhan dari kelompok dewasa, ketika mereka mencoba untuk

memperoleh jasa dan informasi kesehatan reproduksi yang mereka

butuhkan. Sebagai akibatnya, mereka kemungkinan mengalami

kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan PMS dan HIVAIDS.

(Zohra & Raharjo, 1999)

Unwanted Pregnancy atau dikenal sebagai kehamilan yang

tidak diinginkan adalah suatu kehamilan yang karena suatu sebab

maka keberadaannya tidak diinginkan oleh salah satu atau kedua

calon orang tua bayi. Kehamilan ini bisa merupakan akibat dari suatu

perilaku seksual atau hubungan seksual baik yang disengaja maupun

tidak disengaja. (Yani, Anita dan Yuliasti, 2009)

Kehamilan yang tidak diinginkan disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan yang lengkap dan benar mengenai proses terjadinya

kehamilan dan metode-metode pencegahan kehamilan.

Kehamilan yang tidak diinginkan dilatarbelakangi oleh:

a. Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan.

b. Kehamilan yang datang pada saat yang belum diharapkan.

c. Janin ternyata diketahui menderita cacat berat.

d. Kehamilan yang terjadi akibat hubungan seksual di luar nikah.

(Zohra & Raharjo, 1999)


36

Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh remaja terhadap

kehamilan yang tidak diinginkan, yaitu mempertahankan kehamilan

dan mengakhiri kehamilan. Aborsi adalah upaya terminasi kehamilan

dengan alasan sosial, ekonomi, dan kesehatan. (Yani, Anita dan

Yuliasti, 2009)

Melakukan gugur kandung tetap belum dapat diterima karena

bertentangan dengan ajaran agama. Akibat gugur kandung yang

ditangani orang yang kurang dapat dipertanggung jawabkan akan

terjadi pendarahan, kerusakan alat reproduksi remaja, dan infeksi yang

mengakibatkan kematian. Disamping itu kesembuhan yang kurang

sempurna mengakibatkan kerusakan alat reproduksi dan menimbulkan

infeksi menahun dan infertilitas. (Manuaba, 1999)

Penelitian PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 me-

nunjukkan data angka sebesar 722 kasus kehamilan tidak diinginkan

pada remaja. Menurut Fakta HAM 2002 data PKBI Pusat menunjukkan

2,3 juta kasus aborsi setiap tahun dimana 15 % diantaranya dilakukan

oleh remaja (belum menikah). Faktor penyebab dari perilaku tersebut

antara lain yaitu: semakin panjangnya usia remaja, informasi tentang

seks yang terbatas, melemahnya nilai-nilai keyakinan serta lemahnya

hubungan dengan orang tua. (http://eprints.ums.ac.id)

Selain masalah kehamilan remaja, tingkah laku seksual yang

menyimpang dapat menyebabkan remaja terjangkit PMS ( Penyakit

Menular Seksual). Penyakit menular seksual merupakan salah satu

infeksi saluran reproduksi yang ditularkan melalui hubungan kelamin.


37

Kuman penyebab infeksi tersebut dapat berupa jamur, virus, parasit.

Termasuk didalam kelompok PMS adalah gonore, sifilis, HIV/AIDS,

Hepatitis B, C.

Cara penularan PMS termasuk HIV/AIDS, dapat melalui :

1. Hubungan seksual yang tidak terlindungi, baik melalui

vagina, anus maupun oral.

2. Penularan dari ibu ke janin selama kehamilan, persalinan,

sesudah bayi baru lahir.

3. Melalui tranfusi darah, suntikan atau kontak langsung

dengan cairan darah. (Yani, Anita dan Yuliasti, 2009)

Hampir setengah dari infeksi HIV secara keseluruhan terjadi

pada pria dan perempuan dengan usia di bawah 25 tahun, dan di

banyak negara berkembang, data menunjukkan bahwa sampai 60 %

dari semua infeksi HIV baru terjadi pada kelompok usia antara 15-24

tahun. (Bunga Rampai,2005)

Di sebuah daerah, 36% penderita penyakit menular seksual

adalah pelajar. Dalam sebuah survei ditemukan hanya 27% remaja

Indonesia yang tahu kegunaan kondom, artinya kurang lebih 27% pula

yang tahu bahwa kondom dapat mengurangi risiko tertular penyakit

seksual. Dari jumlah itu, 1% pernah memakai, 10% mungkin akan

membeli bila perlu, sedangkan 12% menyatakan tidak tahu . Dari

14.628 kasus HIV/AIDS, 242 kasus di antaranya adalah anak muda

berusia 15-19 tahun (98 kasus karena penggunaan narkoba


38

suntik),4.884 kasus terjadi pada remaja 20-29 tahun (3.089 kasus

karena penggunaan narkoba suntik ).

Ini artinya, 1 dari 2 penderita HIV/AIDS adalah remaja berusia

15-29 tahun. Jumlah ini masih dapat berlipat ganda dan nyatanya

banyak remaja memiliki informasi yang salah tentang HIV/AIDS. Hasil

survei UNICEF menunjukkan bahwa 20% dari responden remaja yakin

bahwa Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pasti terlihat sangat sakit, 7%

mengenali ODHA dari bercak di kulitnya, 4% dari wajah yang pucat

pasi, dan 41% mengaku tidak tahu bagaimana mengenali ODHA.

Hanya 12% yang percaya pada hasil tes darah. (www.dunia-

wanita.com)

E. Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin

adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang

berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolesence,

seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas

mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan

ini diungkapkan oleh Piaget (121) dalam (Hurlock,2006) dengan

mengatakan ” Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana

individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak

tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua

melainkan dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam

masalah hak.
39

Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak

aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber,

termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi

intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya

untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang

kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode

perkembangan ini”.

Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara

seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang

secara hukum. Namun, penelitian tentang perubahan perilaku, sikap

dan nilai-nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan

bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada awal masa remaja

daripada tahap akhir masa remaja, tetapi juga menunjukkan bahwa

perilaku, sikap dan nilai-nilai pada awal masa remaja berbeda dengan

pada akhir masa remaja. Dengan demikian secara umum masa remaja

dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja.

Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun

sampai enam belas atau tujuh belas tahun dan akhir masa remaja

bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan belas tahun.

Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat

singkat. (Hurlock, 2006)

Mohammad (1994) dalam Notoatmodjo (2007) mengemukakan

bahwa remaja adalah anak berusia 13-25 tahun, di mana usia 13


40

tahun merupakan batas usia pubertas pada umumnya, yaitu ketika

secara biologis sudah mengalami kematangan seksual dan usia 25

tahun adalah usia ketika mereka pada umunya secara sosial dan

psikologis mampu mandiri. Berdasarkan uraian di atas ada dua hal

penting menyangkut batasan remaja, yaitu mereka sedang mengalami

perubahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dan perubahan

tersebut menyangkut perubahan fisik dan psikologis.

Aspek Perubahan pada Remaja :

Dua aspek pokok dalam perubahan remaja, yakni perubahan

fisik atau biologis dan perubahan psikologis.

a. Perubahan Fisik Pubertas

Masa remaja diawali dengan pertumbuhan yang sangat

cepat dan biasanya disebut pubertas. Seperti yang

dikemukakan oleh santrock (1993) dalam Notoatmodjo (2007)

puberty is a rapid change to phisycal maturation involving

hormonal and bodily changes that occur primarily during early

adolescence. Dengan adanya perubahan yang cepat itu

terjadilah perubahan fisik yang dapat diamati seperti

pertambahan tinggi dan berat badan pada remaja atau biasa

disebut pertumbuhan dan kematangan seksual sebagai hasil

dari perubahan hormonal.

Antara remaja putra dan remaja putri kematangan

seksual terjadi dalam usia yang agak berbeda. Coleman and


41

Hendry (1990) dan Walton (1994) dalam Notoatmodjo (2007)

mengatakan bahwa kematangan seksual pada remaja pria

biasanya terjadi pada usia 10,0 – 13,5 tahun sedangkan pada

remaja putri terjadi pada usia 9,0 – 15,0 tahun. Bagi anak laki-

laki perubahan itu ditandai oleh perkembangan pada organ

seksual mulai tumbuhnya rambut kemaluan, perubahan suara

dan juga ejakulasi pertama melalui wet dream atau mimpi basah

sedangkan pada remaja putri pubertas ditandai dengan

menarche (haid pertama), perubahan pada dada (mamae),

tumbuhnya rambut kemaluan, dan juga pembesaran panggul.

Usia menarche rata-rata juga bervariasi dengan rentang umur

10 hingga 16,5 tahun.

b. Perubahan Psikologis

Masa remaja merupakan masa transisi antara masa

kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi sering kali

menghadapkan individu yang bersangkutan pada situasi yang

membingungkan, di satu pihak ia masih kanak-kanak dan di lain

pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa. Situasi-

situasi yang menimbulkan konflik itu sering menyebabkan

banyak tingkah laku yang aneh, canggung, dan kalu tidak

dikontrol bisa menimbulkan kenakalan.

Masa remaja merupakan masa dimana banyak terjadi

perubahan fisik sebagai akibat mulai berfungsinya kelenjar


42

endrokin yang menghasilkan berbagai hormon yang akan

mempengaruhi pertumbuhan secara keseluruhan dan

pertumbuhan organ seks pada khususnya. Masa remaja serinng

disebut juga sebagai masa pancaroba, masa krisis dan masa

pencarian identitas. Kenakalan remaja terjadi pada umumnya

karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka seperti

kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan konformitas,

kebutuhan seksual, kebutuhan yang berhubungan dengan

kehidupan keluarga dan kebutuhan akan identitas diri serta

kebutuhan popularitas.

Dalam usahanya untuk mencari identitas diri, seorang

remaja sering membantah orang tuanya karena ia mulai

mempunyai pendapat-pendapat sendiri, cita-cita dan nilai-nilai

sendiri yang berbeda dengan orang tuanya. Sebenarnya

mereka belum cukup mampu untuk berdiri sendiri oleh karena

itu sering mereka terjerumus ke dalam kegiatan-kegiatan yang

menyimpang dari aturan atau disebut dengan kenakalan

remaja. Salah satu bentuk kenakalan remaja itu adalah perilaku

seksual remaja pranikah.

Determinan Perkembangan Remaja :

Keluarga, sekolah, dan tetangga merupakan aspek yang

secara langsung mempengaruhi kehidupan remaja. Sedangkan

struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya lingkungan merupakan


43

aspek yang memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap

kehidupan remaja. Secara garis besarnya ada dua tekanan pokok

yang berhubungan dengan kehidupan remaja, yaitu internal

pressure (tekanan dari dalam diri remaja) dan external pressure

(tekanan dari luar).

Tekanan dari dalam (internal pressure) merupakan tekanan

psikologis dan emosional. Sedangkan teman sebaya, orang tua

dan masyarakat merupakan sumber dari luar (external pressure).

Teori ini akan membantu kita memahami masalah yang dihadapi

remaja salah satunya adalah masalah kesehatan reproduksi.

(Notoatmodjo,2007)

F. Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan aktivitas

organisme (mahluk hidup)yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari

sudut pandang biologis, semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-

tumbuhan mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang

dimaksud dengan peilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan

atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan

yang sangat luas antara lain berbicara, menangis, tertawa, bekerja,

kuliah menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua

kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung,

maupun tidak dapat diamati dari pihak luar. (Notoatmodjo,2003)


44

Bloom dalam Notoatmodjo (2003), membagi perilaku kedalam 3

domain (ranah/ kawasan), yang terdiri dari : ranah kognitif (cognitive

domain), ranah afektif (affective domain), ranah psikomotor (pcychomotor

domain). Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan

dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini

diukur dari:

a. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang

diberikan (knowledge).

b. Sikap dan anggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang

diberikan (attitude).

c. Praktek dan tindakan yang dilakukan peserta didik sehubungan

dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan

melalui dua cara, secara langsung maupun secara tidak langsung.

Pengukuran yang paling baik adalah secara langsung, yakni dengan

pengamatan (observasi), yaitu mengamati tindakan tindakan dari

subjek dalam rangka memelihara kesehatannya. Sedangkan cara tidak

langsung dengan menggunakan metode mengingat kembali (recall).

Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek

tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu.

(Notoatmodjo, 2005)
45

G. Perilaku Seksual Remaja

Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya

dorongan seksual. Bentuknya bermacam- macam, mulai dari

bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, sampai dengan

berhubungan seks. (PKBI, 2004).

Perilaku seksual remaja terdiri dari tiga buah kata yang memiliki

pengertian yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perilaku dapat

diartikan sebagai respons organisme atau respon seseorang terhadap

stimulus (rangsangan) yang ada. Sedangkan seksual adalah

rangsangan – rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan

dengan seks. Jadi perilaku seksual remaja adalah tindakan yang

dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang

datang baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

(Notoatmodjo, 2007)

Adanya penurunan usia rata-rata pubertas mendorong remaja

untuk aktif secara seksual lebih dini. Dan adanya persepsi bahwa

dirinya memiliki risiko yang lebih rendah atau tidak berisiko sama

sekali yang berhubungan dengan perilaku seksual, semakin

mendorong remaja memenuhi dorongan seksualnya pada saat

sebelum menikah. Persepsi seperti ini disebut youth vulnerability oleh

Quadrel et.al (1993) dikutip dalam (Notoatmodjo,2007) juga

menyatakan bahwa remaja cenderung melakukan underestimate

terhadap vulnerability dirinya. Banyak remaja mengira bahwa

kehamilan tidak akan terjadi pada intercourse (senggama) yang


46

pertama kali atau mereka merasa bahwa dirinya tidak akan pernah

terinfeksi HIV/ AIDS karena pertahanan tubuh yang kuat.

Ada beberapa konsep mengenai kesehatan reproduksi. Batasan

kesehatan reproduksi menurut International Conference on Population

and Development (ICPD) hampir berdekatan dengan batasan ‘sehat’

dari WHO. Kesehatan reproduksi menurut ICPD adalah keadaan sehat

jasmani, rohani, dan bukan hanya terlepas dari ketidak hadiran

penyakit atau kecacatan semata, yang berhubungan dengan sistem,

fungsi dan proses reproduksi (ICPD,1994) dalam Notoatmodjo (2007).

Beberapa tahun sebelumnya Rai dan nassim mengemukakan

definisi kesehatan reproduksi mencakup kondisi dimana wanita dan

pria dapat melakukan hubungan seks secara aman, dengan atau

tanpa tujuan terjadinya kehamilan, dan bila kehamilan diinginkan,

wanita dimungkinkan menjalani kehamilan dengan aman, melahirkan

anak yang sehat serta di dalam kondisi siap merawat anak yang

dilahirkan (iskandar 1995) dalam Notoatmodjo (2007).

Dari definisi kesehatan reproduksi tersebut ada beberapa faktor

yang berhubungan dengan status kesehatan reproduksi seseorang

yaitu faktor sosial, ekonomi, budaya perilaku lingkungan yang tidak

sehat, dan ada tidaknya fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu

mengatasi gangguan jasmani dan rohani. Dan tidak adanya akses

informasi merupakan faktor tersendiri yang juga mempengaruhi

kesehatan reproduksi.
47

Secara umum terdapat 4 (empat) faktor yang berhubungan

dengan kesehatan reproduksi yakni :

1. Faktor sosial ekonomi dam demografi. Faktor ini

berhubungan dengan kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah

dan ketidaktahuan mengenai perkembangan seksual dan proses

reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil.

2. Faktor budaya dan lingkungan, antara lain adalah

praktik tradisional yang berdampak buruk terhadap kesehatan

reproduksi, keyakinan banyak anak banyak rezeki dan informasi

yang membingungkan anak dan remaja mengenai fungsi dan

proses reproduksi.

3. Faktor psikologis. Keretakan orang tua akan

memberikan dampak pada kehidupan remaja, depresi yang

disebabkan ketidak seimbangan hormonal, rasa tidak berharganya

wanita di mata pria yang membeli kebebasan dengan materi.

4. Faktor biologis, antara lain cacat sejak lahir, cacat

pada saluran reproduksi dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2007)

Menurut Pendidikan Penelitian Kesehatan (1999). Sebuah

stándar untuk mengukur strategi interpersoneal heterogen perilaku

dikalanagn kaum muda Adolescent Seksual Activity Indeks (ASAI).

Tujuan dari ASAI adalah untuk menyajikan tentang data baru

yang mengukur aktivitas seksual dari remaja. ASAI adalah alat ukur

pertama dari aktivitas seksual yang menggunakan skala Guttman

sebagai dasar skala penciptaan.


48

Ada 13 Indeks ASAI yang digunakan dalam pengukuran, yaitu

sebagai berikut :

1. Berpelukan (Hugging).

2. Memegang tangan.

3. Menghabiskan waktu berduaan.

4. Berciuman (kissing).

5. Bermanja-manjaan (cuddling).

6. Tidur bersama-sama.

7. Membiarkan pasangan/kekasih meraba anggota tubuh.

8. Meraba anggota tubuh pasangan/kekasih.

9. Melepaskan pakaian dan memperlihatkan alat kelamin.

10. Terlibat dalam hubungan badan (intercourse).

Tiga (3) item tambahan yaitu sebagai berikut :

11. Frekuensi melakukan hubungan seks selama 30 hari sebelumnya.

12. Jumlah pasangan seksual yang berbeda selama 30 hari.

13. Jumlah pasangan seksual yang berbeda selama 1 tahun.

Dalam pengukuran ASAI terdapat 11 poin indeks ( 0-10), yang

potensial digunakan untuk menilai individu dengan kelompok skor,

misalnya secara praktis dapat menetapkan nilai 7,0 pada ASAI


49

sebagai skor relatif. Subjek dengan skor 6,0 mendekati resiko untuk

melakukan hubungan seksual. Sedangkan subjek dengan skor 3,0

memiliki resiko kurang untuk melakukan hubungan seksual dan subjek

dengan skor yang melebihi 8,0 memiliki karakteristik aktif melakukan

hubungan seksual. (http://her.oxfordjournals.org)

Hubungan seksual yang pertama dialami oleh remaja

dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu :

1. Waktu atau saat mengalami pubertas. Saat itu

mereka tidak pernah memahami tentang apa yang

akan dialaminya.

2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu kurang tepat

atau terlalu longgar.

3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka

mempunyai kesempatan untuk melakukan

pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang

baik sehingga hubungan akan makin mendalam.

4. Hubungan antar mereka makin romantis.

5. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk

mendidik anak-anak untuk memasuki masa remaja

dengan baik.
50

6. Kurangnya kontrol dari orang tua, orang tua terlalu

sibuk sehingga perhatian terhadap anak kurang

baik.

7. Status ekonomi, mereka yang hidup dengan fasilitas

yang berkecukupan akan mudah melakukan pesiar

ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan

adanya kesempatan melakukan hubungan seksual.

8. Korban pelecehan seksual yang berhubungan

dengan fasilitas antara lain sering mempergunakan

kesempatan yang rawan misalnya pergi ke tempat-

tempat sepi.

9. Tekanan dari teman sebaya, kelompok sebaya

kadang-kadang saling ingin menunjukkan

penampilan diri yang salah untuk menunjukkan

kematangannya, misal mereka ingin membujuk

seorang perempuan untuk melayani kepuasan

seksualnya.

10. Peningkatan penggunaan obat terlarang dan alkohol

makin lama makin meningkat.

11. Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan

batas-batasnya mana yang boleh dan mana yang

tidak boleh.
51

12. Mereka merasa sudah saatnya untuk melakukan

aktifitas seksual sebab sudah merasa matang

secara fisik.

13. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya

14. Penerimaan aktifitas seksual pacarnya

15. Sekedar untuk menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya

16. Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat

peningkatan kadar hormon reproduksi seksual.

(Soetjiningsih, 2004)

Penelitian yang dilakukan pusat penelitian UGM (1991) pada

remaja 14-24 tahun di Manado mengungkapkan laki-laki 151 orang

dari 146 wanita terbukti 26,6 % melakukan perilaku seks pranikah.

Studi PKBI di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan

Tasikmalaya (2001) menunjukkan Sebanyak 17 % remaja telah

melakukan hubungan seksual pra nikah Studi DKT di Surabaya,

Medan, Jakarta dan Bandung sebanyak 67% pernah melakukan

hubungan seksual pra nikah. Pusat studi kesehatan UI (2002)

menunjukkan 30 % dari kasus aborsi dilakukan oleh remaja.

Survei yang dilakukan pada delapan SMU / SMK di Samarinda

periode September hingga Oktober 2008 terhadap sejumlah siswa-

siswi di Samarinda, dari 300 sampel yang diambil di seluruh sekolah ,

sebanyak 73 % siswa-siswi mengaku pernah berpacaran, 49 % dari

mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perilaku seksual


52

adalah apabila melakukan hubungan seksual, sebanyak 12 %

diantaranya mengaku pernah melakukan hubungan badan (seks), 30

% menjawab untuk mencegah terjadinya kehamilan maka

menggunakan alat kontrasepsi pada saat berhubungan seks.

H. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Ekasari (2007)

tentang pola komunikasi dan informasi kesehatan reproduksi antara

ayah dan remaja menunjukkan bahwa remajaputri yang berdiskusi

tentang kesehatan reproduksi dengan orang tuanya (49%), sedangkan

remaja putra hanya (13%).

Penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional ini

dilakukan di kecamatan Soreang dan Banjaran, Kabupaten Bandung

dengan subjek penelitian adalah ayah yang mempunyai anak remaja

usia 10 – 19 tahun. Variabel yang diteliti meliputi faktor predisposisi,

faktor pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi meliputi

status pekerjaan ayah, status bekerja ibu, pendidikan ayah, jenis

kelamin anak pengetahuan kesehatan reproduksi. Faktor pemungkin

meliputi waktu kumpul ayah dan anak, pajanan dan media informasi.

Faktor penguat meliputi dukungan keluarga dan masyarakat.

Penelitian ini menemukan bahwa (51%) responden

memperlihatkan pola komunikasi dan pemberian informasi yang

kurang. Pada analisis multivariat ditemukan variabel independen yang


53

berhubungan secara bermakna adalah waktu kumpul, dukungan

keluarga dan masyarakat. (Ekasari, 2007)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh SMA Negeri 2 Denpasar

April 2007 yang lalu, diperoleh informasi bahwa dari 766 responden

terdapat 526 responden yang menyatakan mereka telah melakukan

aktivitas seksual seperti pelukan, 458 responden sudah berciuman

bibir, 202 responden sudah pernah mencium leher (necking), disusul

138 responden sudah menggesek-gesekkan alat kelamin tanpa

berhubungan seks (petting), 103 responden sudah pernah hubungan

seksual, dan 159 menyatakan aktivitas seksual lain selain yang

disebutkan tadi.

Hasil penelitian Persatuan Keluarga Berencana Indonesia pada

tahun 2002 diperoleh informasi bahwa minimnya pengetahuan remaja

mengenahi kesehatan reproduksi remaja dapat menjerumuskan

remaja pada perilaku seks pra nikah dan sebaliknya, pengetahuan

tentang kesehatan reproduksi remaja dapat menunda prilaku seks pra

nikah dikalangan remaja. Sementara itu hasil penelitian Soetjiningsih

terhadap 398 siswa SMA di Yogyakarta menunjukkan bahwa 95% dari

mereka menyatakan pernah mendapat pendidikan yang berkaitan

dengan seksualitas dan mereka (94.80%) juga setuju dengan

pemberian pendidikan seks bagi kalangan remaja dan figure yang

dianggap cocok memberikan pendidikan seks adalah dokter, psikolog

dan seksolog. (http:h2dy.wordpress.com)


54

I. Kerangka Teori

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003), mencoba

menganalisis perilaku manusia, berangkat dari tingkat kesehatan.

Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua

faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar

perilaku (non behavior causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari

tiga faktor, yakni:

a. Faktor predisposisi

Merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang menjadi

dasar atau motivasi bagi perilaku, yang termasuk kedalam faktor

ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Meskipun

faktor demografi seperti status sosio ekonomi, umur, jenis

kelamin, jumlah anggota keluarga yang juga menyebabkan

timbulnya masalah kesehatan.

b. Faktor pemungkin

Faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan

suatu motivasi atau inspirasi terlaksana. Yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan, seperti puskesmas, obat-obatan, alat

kontrasepsi, jamban dan lain-lain.

c. Faktor penguat

Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah

tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Faktor


55

penguat merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah)

perilaku yang memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman atas

perilaku dan berperan bagi memantap dan lenyapnya perilaku itu.

Yang termasuk dalam faktor ini adalah tenaga kesehatan, tokoh

masyarakat, keluarga dan teman sebaya.

Secara matematis, perilaku menurut Green itu dapat

digambarkan sebagai berikut :

B = F ( Pf , Ef , Rf )

Keterangan :

B = Behavior

F = Fungsi

Pf = Predisposising Faktors

Ef = Enabling Faktors

Rf = Reinforcing Faktors

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat

tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap,

kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat

yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan

perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan

mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.


56

Berikut ini adalah acuan kerangka teori penelitian :

Faktor Predisposisi
- Pengetahuan.
- Sikap
- Nilai

Faktor Pemungkin
- Lingkungan fisik (tersedia
atau tidak nya fasilitas atau
sarana kesehatan)
Contoh : puskesmas,obat-
Perilaku
obatan,alat
kontrasepsi,jamban.

Faktor Penguat
- Tenaga kesehatan, tokoh
masyarakat, keluarga dan
teman sebaya.

Gambar kerangka konsep berdasarkan acuan dari teori Lawrence Green dalam

Notoadmodjo (2005)
57

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian

Observasional dengan rancangan Cross Sectional Study yaitu

suatu rancangan penelitian yang mempelajari hubungan antara

variabel bebas dengan variabel tergantung dengan melakukan

pengukuran sesaat.

Penggunaan Cross Sectional Study dalam penelitian ini untuk

mengetahui hubungan pengetahuan remaja dan peran ayah dalam

komunikasi tentang kesehatan reproduksi terhadap perilaku seks

remaja, dengan cara pengumpulan data pada suatu saat atau periode

yang sama, dengan langkah-langkah:

1. Merumuskan pertanyaan penelitian beserta hipotesis yang sesuai

2. Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung.

3. Menetapkan subyek penelitian.

4. Melaksanakan pengukuran.
58

5. Melakukan analisis. (Sastroasmoro dan Ismael, 2002)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di SMAK WR. Soepratman
Samarinda yang merupakan salah satu sekolah swasta katolik yang
ada di Samarinda.
2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 28 November

sampai dengan 04 Desember tahun 2009.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Penelitian ini dilaksanakan di sekolah pada setiap

kecamatan di wilayah Samarinda termasuk Kecamatan Samarinda

Ulu. Dengan kriteria inklusi sebagai berikut :

1. Bukan merupakan sekolah kejuruan

2. Bukan merupakan sekolah yang berasrama


59

3. Bukan merupakan sekolah unit malam dan unit mobil

4. Sekolah yang memiliki jumlah siswa minimal 100

siswa

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMAK

WR. Soepratman Samarinda tahun 2009. SMAK WR. Soepratman

merupakan salah satu SMA yang terletak di kecamatan samarinda

Ulu Pada saat penelitian dilakukan jumlah seluruh siswa yang aktif

bersekolah adalah 436 siswa.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan kriteria

inklusi sebagai berikut :

1. Siswa yang pernah berpacaran ataupun yang sedang

berpacaran dan siswa yang ayah nya masih hidup.

Sampel di SMAK WR. Soepratman Samarinda, yang terpilih

untuk dijadikan responden, yang meliputi kelas X, XI dan XII

sebanyak 163 siswa.

Besar sampel ini menurut Lemeshow (1997), diperoleh

dengan menggunakan rumus :

N=
(
Z 2 1 − α / 2 p 1 − p1 )
d2

N =
(
1,96 2 × 0,12 1 − 0,12 1 )
( 0,05 ) 2
60

1,96 2 ×0,1056
N =
N= 162,27
( 0,0025 )
N = 163

Keterangan :

N : besar sampel

Z (1- α/2) : z skore berdasarkan derajat kepercayaaan

(α) yang Dikehendaki

p1 dan p2 : proporsi penelitian sebelumnya

d : preposisi yang diinginkan

Dari jumlah sampel di atas maka jumlah tersebut menjadi

163 sampel.

3. Cara Pengambilan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan secara Proporsional Stratified

Random Sampling dengan menggunakan prosedur pengambilan

sampel sebagai berikut :

a. Menghitung jumlah siswa pada SMAK WR. Soepratman

Samarinda berdasarkan daftar absensi untuk mengetahui jumlah

populasi. Jumlah seluruh populasi adalah 436 siswa.

b. Menghitung besar sampel dengan menggunakan rumus

Lemeshow sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 163

siswa.
61

c. Menghitung sampel untuk masing-masing tingkatan kelas di

SMAK WR. Soepratman Samarinda. Diperoleh hasil sebagai

berikut :

Jumlah sampel untuk SMAK WR. Soepratman Samarinda:

1. Sampel kelas X = Jumlah siswa kelas X x Sampel


Jumlah seluruh siswa SMAK
= 150 x 163
436
= 56
2. Sampel kelas XI = Jumlah siswa kelas XI x Sampel
Jumlah seluruh siswa SMAK
= 150 x 163
436
= 56
3. Sampel kelas XII = Jumlah siswa kelas XII x Sampel

Jumlah seluruh siswa SMAK


= 136 x 163
436
= 51

D. Kerangka Konsep

Kerangka konsep menggambarkan hubungan antara konsep-

konsep spesifik yang berbeda-beda ingin diteliti dan bersumber dari

konsep-konsep teoritis yang telah digunakan dan dijabarkan di atas.


62

Berdasarkan konsep di atas maka disusunlah pola pikir variabel

yang diteliti sebagai berikut :


Faktor predisposisi
(predisposing factors)
- Pengetahuan remaja
terhadap kesehatan
reproduksi dan seksualitas

- Faktor penguat
(reinforcing factors)
Peran ayah dalam
komunikasi tentang Perilaku
kesehatan reproduksi dan Seksual
seksualitas

1. Pernah atau tidaknya ayah


berkomunikasi tentang
kesehatan reproduksi dan
seksualitas
2. Ketersediaan waktu ayah
untuk berkomunikasi

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoritis dan empiris maka dapat dirumuskan

jawaban sementara yaitu :

a. Ada hubungan antara pengetahuan remaja terhadap

perilaku seksual pada siswa SMAK WR. Soepratman

Samarinda.
63

b. Ada hubungan antara pernah atau tidaknya ayah

berkomunikasi tentang masalah kesehatan reproduksi dan

perilaku seksual terhadap perilaku seksual pada siswa SMAK

WR. Soepratman Samarinda.

c. Ada hubungan antara ketersediaan waktu ayah untuk

berkomunikasi terhadap perilaku seksual pada siswa SMAK

WR. Soepratman Samarinda.

d. Ada hubungan antara peran ayah dalam komunikasi

tentang kesehatan reproduksi terhadap perilaku seksual remaja

pada siswa SMAK WR. Soepratman Samarinda.

E. Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri atas :

1. Variabel terikat atau dependen

Perilaku seks pranikah pada siswa SMAK WR.Soepratman

Kota Samarinda

2. Variabel bebas atau independen

a. Pengetahuan remaja

b. Pernah atau tidak ayah berkomunikasi tentang kesehatan

reproduksi

c. Ketersediaan waktu ayah untuk berkomunikasi

d. Peran ayah dalam komunikasi

F. Definisi Operasional
64

Tabel 1. Definisi Operasional

Alat Kriteria Objek


NO Variabel Definisi Skala Ukur
Ukur

Aktivitas/kegiatan responden
terhadap perilaku seksual dengan
menggunakan ASAI yang terdiri
dari berpelukan, berpegangan
tangan, memeluk, berciuman,
menghabiskan waktu berduaan,
bermanjaan, tidur bersama-sama, 0. 7-10 = Resiko Tinggi
membiarkan pasangan meraba Ordinal Angket
Perilaku
1 anggota tubuhnya, meraba 1. 4-6 = Resiko sedang
seksual
anggota tubuh orang lain, ya= 1
melepaskan pakaian dan tidak= 0 2. 1-3 = Resiko rendah
memperlihatkan organ seks,
frekuensi melakukan hubungan 3. 0 = tidak beresiko
seks selama 30 hari, jumlah
pasangan seksual berbeda selama
30 hari, jumlah pasangan seks
yang berbeda selama 12 bulan.

Sejauh mana responden tahu


Pengetahuan tentang organ reproduksi, 1. Cukup : ≥ 80%
tentang pubertas, ciri-ciri seks sekunder, Ordinal dari skor total
2 kespro dan pengertian dan jenis perilaku Angket 0. Kurang : < 80%
perilaku seksual, seks pranikah, akibat Benar = 1
seksual seks pranikah (PMS, Salah= 0
kehamillan, aborsi ).

1. Pernah : Pernah
berkomunikasi tentang
Pernah atau kesehatan reproduksi dan
tidak nya Pernah atau tidak nya anak Ordinal masalah perilaku seksual
berkomunikasi berkomunikasi tentang kesehatan kepada ayahnya
3 Angket
tentang reproduksi dan masalah perilaku Pernah = 1 0. Tidak Pernah : tidak
kesehatan seksual kepada ayahnya Tidak Pernah = pernah berkomunikasi
reproduksi 0 tentang kesehatan
reproduksi dan masalah
perilaku seksual kepada
ayahnya

Lanjutan Tabel 1. Definisi Operasional

Alat Kriteria Objek


NO Variabel Definisi Skala Ukur
Ukur

4 Ketersediaan Lamanya ketersediaan waktu ayah Ordinal Angket 1. cukup = jika lama
waktu ayah untuk berkomunikasi dengan ketersediaan waktu
anaknya dalam sehari ayah untuk
berkomunikasi dengan
anak > 3 jam
0. kurang = jika lama
ketersediaan waktu
ayah untuk
berkomunikasi dengan
65

anak < 3 jam

1. Baik: jika anak


pernah berkomunikasi
tentang kesehatan
reproduksi dan masalah
perilaku seksual kepada
ayahnya dan jika lama
ketersediaan waktu
ayah untuk
Peran ayah
Pernah atau tidak nya anak berkomunikasi dengan
dalam
berkomunikasi tentang kesehatan anak > 3 jam
komunikasi
reproduksi dan masalah perilaku Ordinal
tentang
5 seksual kepada ayahnya dan Angket 0. kurang baik : jika
kesehatan
Lamanya Ketersediaan waktu ayah ya= 1 anak tidak pernah
reproduksi
untuk berkomunikasi dengan tidak= 0 berkomunikasi tentang
(Variabel
anaknya dalam sehari kesehatan reproduksi
Komposit)
dan masalah perilaku
seksual kepada
ayahnya dan jika lama
ketersediaan waktu
ayah untuk
berkomunikasi dengan
anak < 3 jam

G. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui daftar pertanyaan (Angket) yang

telah disusun sebelumnya berdasarkan tujuan penelitian kemudian

diberikan dan diisi sendiri oleh responden.

2. Data Sekunder

Diperoleh dari instansi terkait yaitu Tata Usaha Sekolah

bersangkutan dan instansi kesehatan.

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data
66

a. Coding

Adapun langkah dalam tahap pengkodean variabel adalah :

1) Pembuatan daftar variabel, yaitu untuk memberi kode pada

semua variabel yang ada dalam angket.

2) Pemindahan hasil pengisian angket ke dalam daftar kode

yang ada di dalam angket.

3) Pembuatan daftar koding, yaitu untuk memindahkan hasil

pengisian daftar koding angket ke dalam daftar koding

tersendiri yang siap untuk dimasukkan di dalam program

pemasukan data di komputer.

b. Entry Data

Proses pemindahan data kedalam komputer agar diperoleh

data masukan yang siap diolah sistem dengan menggunakan

perangkat lunak pengolahan data statistik.

c. Tabulating

Mengelompokkan data sesuai dengan tujuan penelitian

kemudian dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan.

2. Analisis Data

Model analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Analisis Univariat

Dilakukan dengan menghitung frekuensi dalam bentuk

persentase dari variabel tingkat pengetahuan remaja dan peran

ayah dalam komunikasi tentang kesehatan reproduksi terhadap


67

perilaku seks remaja di SMAK WR. Soepratman Kota

Samarinda.

b. Analisis Bivariat

Dilakukan terhadap tiap variabel untuk melihat hubungan

pengetahuan remaja dan peran ayah dalam komunikasi

tentang kesehatan reproduksi terhadap perilaku seks remaja di

SMAK WR. Soepratman Kota Samarinda dengan

menggunakan uji Chi Square dengan tingkat signifikansi ( α )

= 0,05.

I. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel distribusi dan

persentase disertai penjelasannya. Selain itu dilakukan dalam bentuk

tabel analisis disertai dengan narasi

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
68

1. Gambaran Umum SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda terletak di jalan

WR Supratman No. 18 Samarinda, Kalimantan Timur. SMA Katolik

WR. Soepratman di Samarinda berdiri tahun 1963. SMA Katolik

WR. Soepratman mempunyai visi terwujudnya SDM yang berilmu

pengetahuan dan cerdas terampil dan kreatif serta bermoral

kristiani.

Sarana dan prasarana yang ada di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda antara lain : 13 ruang kelas, laboratorium

IPA, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, ruang osis,

ruang UKS, gudang dan ruang perpustakaan. Jumlah siswa pada

saat dilaksanakan penelitian berjumlah 436 siswa. Sebanyak 150

siswa kelas X, sebanyak 150 siswa kelas XI, dan sebanyak 136

siswa kelas XII.

Jumlah guru di SMA Katolik sebanyak 27 orang, yaitu

sebanyak 22 guru tetap dan 5 guru tidak tetap. Tingkat pendidikan

tenaga pengajar tetap, yaitu 1 orang dengan tingkat pendidikan

strata-2, 20 orang dengan tingkat pendidikan strata-1 dan 1 orang

dengan tingkat pendidikan SLTA. Sedangkan untuk tenaga

pengajar tidak tetap, sebanyak 3 orang dengan tingkat pendidikan

strata-1, 1 orang dengan tingkat pendidikan D-3, dan 1 orang

dengan tingkat pendidikan SLTA. Dimana seluruh guru memiliki


69

latar belakang pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang

diajarkan.

2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi kelas, jenis kelamin, umur,

pekerjaan ayah, pendidikan ayah.

a. Karakteristik responden berdasarkan kelas

Karakteristik responden berdasarkan kelas pada siswa

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 2. Distribusi responden Berdasarkan Kelas Pada Siswa


SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda tahun 2009

Kelas Jumlah Persentase


X 56 34.4
XI 56 34.4
XII 51 31.3
Total 163 100

Berdasarkan kelas, maka responden pada SMA Katolik

WR. Soepratman Samarinda untuk masing-masing tingkatan

kelas yaitu kelas X sebanyak 56 siswa, kelas XI sebanyak 56

siswa dan untuk kelas XII sebanyak 51 siswa.


70

b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada

siswa SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 3. Distribusi responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Pada Siswa SMA Katolik WR. Soepratman
Samarinda tahun 2009.

Jenis Kelamin Jumlah Persentase


Laki-laki 81 49.7
82 50.3
Perempuan
163 100
Total

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah responden di

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 49,7% dan yang berjenis kelamin perempuan

sebanyak 50.3 %

c. Karakteristik responden berdasarkan Umur

Karakteristik responden berdasarkan umur pada siswa

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda dapat dilihat pada

tabel berikut :
71

Tabel 4. Distribusi responden Berdasarkan Umur Pada Siswa


SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda tahun 2009

Umur Responden Jumlah Persentase


< 17 tahun 114 69.9
≥17 tahun 49 30.1
Total 163 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar

responden di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda

berumur kurang dari 17 tahun yaitu dengan persentase sebesar

69.9%.

d. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ayah

Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ayah

pada siswa SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5. Distribusi responden Berdasarkan Pekerjaan Ayah


Pada Siswa SMA Katolik WR. Soepratman
Samarinda tahun 2009

Pekerjaan Ayah Jumlah Persentase


Swasta 139 85.3
PNS 24 14.7
Total 163 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar

ayah responden di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda

bekerja di sektor swasta yaitu dengan persentase sebesar

85.3%.

e. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

ayah
72

Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

ayah pada siswa SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Distribusi responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Ayah Pada Siswa SMA Katolik WR. Soepratman
Samarinda tahun 2009

Tingkat Pendidikan Ayah Jumlah Persentase


SD 8 4.9
14 8.6
SMP
85 52.1
SMA
4 2.5
D3
44 27
Strata-1
8 4.9
Strata-2
163 100
Total

Dari tabel berdasarkan tingkat pendidikan ayah diketahui

sebagian besar ayah responden di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda dengan pendidikan akhir SMA yaitu

dengan persentase sebesar 52.1%.

3. Analisa Univariat

Analisa ini dilakukan untuk memperoleh gambaran deskripsi

tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian, data yang

dianalisis berasal dari distribusi frekuensi.

a. Perilaku Seksual
73

Perilaku seksual remaja adalah Aktivitas/kegiatan

responden terhadap perilaku seksual dengan menggunakan

ASAI yang terdiri dari berpelukan, berpegangan tangan,

memeluk, berciuman, menghabiskan waktu berduaan,

bermanjaan, tidur bersama-sama, membiarkan pasangan

meraba anggota tubuhnya, meraba anggota tubuh orang lain,

melepaskan pakaian dan memperlihatkan organ seks, frekuensi

melakukan hubungan seks selama 30 hari, jumlah pasangan

seksual berbeda selama 30 hari, jumlah pasangan seks yang

berbeda selama 12 bulan.

Perilaku seksual Remaja di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda dibedakan berdasarkan jenis kelamin.

dapat dilihat melalui tabel di bawah ini :

Tabel 7. Distribusi Perilaku Seksual Responden di SMA


Katolik WR. Soepratman Samarinda tahun 2009.
Perempuan Laki-Laki
Ya tidak Ya tidak
No Perilaku seksual n % n % n % n %
1. Berisiko 80 97.56 78 96.3
Tidak berisiko 2 2.44 3 3.7
2. Aktivitas yang dilakukan
dengan lawan jenis
74

/pasangan
- Berpelukan 70 85.4 12 14.6 66 81.5 15 18.5
- Berpegangan tangan 80 97.6 2 2.4 77 95.1 4 4.9
- Menghabiskan waktu
berduaan 64 78 18 22 66 81.5 15 18.5
- Ciuman 56 68.3 26 31.7 53 65.4 28 34.6
- Bermanjaan, mengusap
rambut 57 69.5 25 30.5 56 69.1 25 50.9
- Tidur-tiduran (baring)
bersama 23 28 59 72 34 42 47 58
- Pasangan meraba anggota
tubuh dibalik pakaian 13 15.9 69 84.1 27 33.3 54 66.7
- Meraba anggota tubuh
pasangan didalam
pakaiannya 12 14.6 70 85.4 28 34.6 53 65.4
- Melepaskan pakaian &
memperlihatkan alat kelamin 3 3.7 79 96.3 22 27.2 59 72.8
- Hubungan intim/ seks
seperti suami istri 2 2.4 80 97.6 20 24.7 61 75.3
Pasangan melakukan
3. aktivitas perilaku seksual :
- Pacar 82 100 - - 81 100 - -
- Teman atau TTM 21 25.6 61 74.4 35 43.2 46 56.8
- Sahabat 29 64.6 53 35.4 12 14.8 69 85.2
- Keluarga 1 1.2 81 98.8 2 2.5 79 97.5
- Pekerja seks komersil / PSK - - 82 100 3 3.7 78 96.3
Tempat melakukan aktivitas
4. perilaku seksual :
- Rumah 61 74.4 21 25.6 44 54.3 37 45.7
- kost/kontrakan 1 1.2 81 98.8 11 13.6 70 86.4
- sekolah 26 31.7 56 68.3 26 32.1 55 67.9
- tempat wisata 17 20.7 65 79.3 24 29.6 57 70.4
- rumah makan/warung 25 30.5 57 69.5 6 7.4 75 92.6
- hotel, motel, losmen - - 82 100 27 33.3 54 66.7
- bioskop 41 50 41 50
- lain-lain

Lanjutan Tabel 7. Distribusi Perilaku Seksual Responden di


SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda tahun
2009.
Perempuan Laki-Laki
Ya Tidak Ya Tidak
No Perilaku seksual n % n % n % % %
Usia pertama kali melakukan
5. hubungan seksual
- 13 - - - - 7 35
- 14 - - - - 2 10
- 15 - - - - 7 35
- 16 1 50 1 5
75

- 17 1 50 3 15
Pasangan melakukan
6. hubungan seksual:
- Pacar 2 100 19 95 1 5
- Teman atau TTM - - 2 100 9 45 11 55
- Sahabat - - 2 100 2 10 18 90
- Keluarga - - 2 100 20 100
- Pekerja seks komersil / PSK - - 2 100 4 20 16 80
- Pacar dan PSK 3 15 17 85
- Melakukan hubungan
seksual selama satu bulan
7. terakhir 1 50 1 50 9 45 11 55
- Berapa kali melakukan
hubungan seks
a. 2 1 50 1 50 7 35
b. 3 - - 2 100 4 20
Memiliki pasangan seks yang
berbeda selama satu bulan
8. terakhir - - 2 100 6 30 14 70
Memiliki pasangan seks yang
berbeda selama satu tahun
9. terakhir - - 2 100 11 55 9 45
10. Sedang berpacaran 52 63.4 32 36.6 43 53.1 38 46.9
11. Pernah Berpacaran 82 100 - - 81 100 - -
Usia pertama kali tertarik
12. dengan lawan jenis
- < 15 tahun 74 90.2 75 92.6
- ≥ 15 tahun 8 9.8 6 7.4
13. Usia mulai berpacaran
- < 15 tahun 58 70.7 62 76.5
- ≥ 15 tahun 24 29.3 19 23.5

Dari tabel berdasarkan perilaku seksual pada semua

siswa yang pernah berpacaran ataupun sedang berpacaran di

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda diketahui bahwa dari

seluruh jumlah responden perempuan sebanyak 81 responden

terdapat 2 responden yang tidak berisiko melakukan perilaku

seksual dengan persentase (2.44%) sedangkan untuk

responden laki-laki dari 82 responden terdapat 3 responden


76

yang tidak berisiko melakukan perilaku seksual dengan

persentase (3.7%).

Pada responden terdapat juga yang melakukan perilaku

seksual yang mengkhawatirkan seperti melepaskan pakaian &

memperlihatkan alat kelamin pada responden perempuan

sebesar (3.7%) dan pada responden laki-laki (27.2%). Bahkan

terdapat responden yang sampai melakukan hubungan

intim/seks seperti suami istri yaitu sebesar (2.4%) pada

responden perempuan dan (24.7%) pada responden laki-laki.

Sebagian besar responden melakukan aktivitas seksual

tersebut di rumah dengan persentase sebesar (74.4%) pada

responden putri sedangkan (54.3%) pada responden laki-laki,

dan terdapat responden yang berani melakukan aktivitas

seksual di lingkungan sekolah dengan persentase sebesar

(31.7%) pada responden perempuan dan (32.1%) pada

responden laki-laki.

Dari 81 responden perempuan diketahui sebanyak 2

orang atau sebesar (2.4%) yang melakukan hubungan seks

pranikah sedangkan pada 82 responden laki-laki diketahui

sebanyak 20 orang yang melakukan hubungan seks pranikah

atau sebesar (24.7%). Responden perempuan yang telah

melakukan seks pra nikah mengatakan usia pertama kali saat

melakukan hubungan seksual yaitu usia 16 tahun (50%) dan 17


77

tahun (50%). Sedangkan pada responden laki-laki usia pertama

kali saat melakukan hubungan seksual yang paling besar yaitu

pada usia 13 tahun (35%) dan 15 tahun (35%).

Kemudian pada responden perempuan pasangan

mereka pada saat melakukan hubungan seks adalah dengan

pacar (100%) namun pada responden laki-laki terdapat juga

responden yang melakukan hubungan seks selain dengan

pacar yaitu juga melakukan hubungan seks dengan teman

(45%) dan sahabat (10%) bahkan dengan pekerja seks komersil

/ PSK yaitu sebesar (20%). Yang melakukan hubungan seks

sekaligus dengan pacar dan PSK sebanyak 3 orang (15%).

Dari pertanyaan tentang aktivitas atau kegiatan

responden terhadap perilaku seksual dengan menggunakan

kriteria ASAI yang terdiri dari berpelukan, berpegangan tangan,

memeluk, berciuman, menghabiskan waktu berduaan,

bermanjaan, tidur bersama-sama, membiarkan pasangan

meraba anggota tubuhnya, meraba anggota tubuh orang lain,

melepaskan pakaian dan memperlihatkan organ seks, frekuensi

melakukan hubungan seks selama 30 hari, jumlah pasangan

seksual berbeda selama 30 hari, jumlah pasangan seks yang

berbeda selama 12 bulan maka dapat dilihat kriteria resiko

perilaku seksual responden di SMA Katolik WR. Soepratman

Samarinda melalui tabel berikut :


78

Tabel 8 Distribusi responden Berdasarkan Kriteria Perilaku


Seksual Pada Siswa SMA Katolik WR. Soepratman
Samarinda tahun 2009

Total Sampel
Perempuan Laki-laki
Kriteria Perilaku
Seksual n % n n n %
Tidak Beresiko 2 2.4 3 3.7 5 6.1
Resiko Rendah 23 28 25 30.9 47 58.9
Resiko Sedang 44 53.7 26 32.1 70 85.8
Resiko Tinggi 13 15.9 27 33.3 41 49.2
Total 81 100 82 100 163 200

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah responden

di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda dengan kriteria

perilaku seksual tidak beresiko pada responden perempuan

sebesar (3.7 %) dan pada responden laki-laki (2.4%), beresiko

rendah sebesar (28%) pada responden perempuan dan (30.9%)

pada responden laki-laki, beresiko sedang (53.7%) pada

responden perempuan dan (33.3%) pada responden laki-laki,

sedangkan yang beresiko tinggi sebesar (15.9%) pada

responden perempuan dan (33.3%) pada responden laki-laki.

b. Pengetahuan

Pengetahuan adalah Sejauh mana responden tahu

tentang organ reproduksi, pubertas, ciri-ciri seks sekunder,

pengertian dan jenis perilaku seksual, seks pranikah, akibat


79

seks pranikah. Pengetahuan siswa di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda di bedakan berdasarkan kelas dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 9. Distribusi Pengetahuan Responden Mengenai Perilaku


Seksual di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda
tahun 2009.
KELAS X KELAS XI KELAS XII
Ya tidak Ya tidak Ya tidak
No Pengetahuan n % n % n % n % n % n %
Pengertian kesehatan
1. reproduksi 47 83.9 9 16.1 48 85.7 8 14.3 47 92.2 4 7.8
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
organ Reproduksi
2. laki-laki 1 1.8 55 98.2 3 5.4 53 94.6 5 9.8 46 90.2
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
Organ reproduksi
3. perempuan 1 1.8 55 98.2 4 7.1 52 92.9 10 19.6 41 80.4
4. Pubertas 56 100 54 96.4 2 3.6 50 98 1 2
5. Pengertian pubertas
- Masa peralihan dari
masa kanak-kanak
menjadi dewasa 29 51.8 27 48.2 31 55.4 25 44.6 25 49 26 51
- Periode dalam
kehidupan anak yang
mulai matang secara
seksual 42 75 14 25 37 66.1 19 33.9 41 80.4 10 19.6
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
ciri-ciri seks sekunder
6. pada laki-laki 11 19.6 45 80.4 23 46.1 33 53.9 26 51 25 49
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
Ciri-ciri seks sekunder
7. pada perempuan 19 33.9 37 66.1 25 44.6 31 43.6 25 49 26 51

Lanjutan Tabel 9. Distribusi Pengetahuan Responden


Mengenai Perilaku Seksual di SMA Katolik
WR. Soepratman Samarinda tahun 2009.

No Pengetahuan KELAS X KELAS XI KELAS XII


Ya tidak Ya tidak Ya tidak
80

n % n % n % % n % % n %
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
hal-hal yang termasuk
8. perilaku seksual 2 3.6 54 96.4 2 3.6 54 96.4 1 2 50 98
Tahu akibat seks pra
9. nikah 55 98.2 1 1.8 53 94.6 3 5.4 50 98 1 2
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
hal-hal yang
disebabkan seks pra
10. nikah 17 30.4 39 69.6 17 30.4 39 69.6 13 25.5 38 74.5
Bersenggama
menyebabkan
11. kehamilan 53 94.6 3 5.4 48 85.7 8 14.3 48 94.1 3 5.9
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
cara mencegah
12. kehamilan - - 56 100 - - 56 100 1 2 50 98
Tahu tentang penyakit
13. menular seksual 53 94.6 3 5.4 48 85.7 8 14.3 43 84.3 8 15.7
Pengertian penyakit
14. menular seksual 53 94.6 3 5.4 52 92.9 4 7.1 46 90.2 5 9.8
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
macam-macam
penyakit menular
15. seksual 4 7.1 52 92.9 6 10.7 50 89.3 8 15.7 43 84.3
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
hal-hal yang
16. menyebabkan PMS 10 17.9 46 82.1 16 28.6 40 71.4 22 43.1 29 56.9
Pengertian kehamilan
17. yang tidak diinginkan 42 75 14 25 36 64.3 20 35.7 34 66.7 17 33.3
Mengetahui tentang
18. aborsi 56 100 - - 49 87.5 7 12.5 50 98 1 2
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
19. pengertian aborsi 2 3.6 54 96.4 5 8.9 56 100 6 11.8 45 100
Menjawab benar
seluruhnya mengenai
20. akibat aborsi 3 5.4 53 94.6 10 17.9 46 82.1 13 25.5 38 74.5

Pada tabel distribusi pengetahuan dapat dilihat bahwa

secara umum pengetahuan responden mengenai kesehatan

reproduksi dan perilaku seksual di SMA Katolik WR.


81

Soepratman Samarinda tahun 2009 belum cukup baik. Hal ini

terlihat dari persentase jawaban ya masih ada yang mendapat

persentase di bawah 50 %.

Secara umum, pengetahuan responden yang sudah

cukup baik yang dibedakan berdasarkan kelas di SMA Katolik

WR. Soepratman Samarinda yaitu pengetahuan mengenai

pengertian kesehatan reproduksi sudah terlihat dari persentase

(83.9%) pada kelas X, (85.7%) pada kelas XI dan (92.2%) pada

kelas XII. Sebagian besar responden juga mengetahui bahwa

bersenggama menyebabkan kehamilan terlihat dari persentase

(94.6%) pada kelas X, (85.7%) pada kelas XI, dan (94.1%) pada

kelas XII. Sebagian besar responden juga mengetahui

mengenai penyakit menular seksual terlihat dari besarnya

persentase yaitu (94.6%) pada kelas X, (85.7%) pada kelas XI,

dan (84.3%) pada kelas XII.

Sedangkan secara umum, pengetahuan responden yang

belum cukup baik yang dibedakan berdasarkan kelas di SMA

Katolik WR. Soepratman Samarinda yaitu pengetahuan

mengenai organ reproduksi laki-laki hanya sebagian kecil

responden yang mengetahui organ reproduksi laki-laki secara

lengkap terlihat dari persentase (1.8%) pada kelas X, (5.4%)

pada kelas XI, dan (9.8%) pada kelas XII. Begitu juga

pengetahuan mengenai organ reproduksi perempuan hanya

sebagian kecil responden yang mengetahui organ reproduksi


82

perempuan secara lengkap terlihat dari persentase (1.8%)

pada kelas X, (7.1%) pada kelas XI, dan (19.6%) pada kelas XII.

Untuk pertanyaan mengenai ciri-ciri seks sekunder pada

laki-laki responden pada kelas X hanya sebagian kecil yang

mengetahuinya secara lengkap terlihat dari persentase (19.6%)

begitu juga mengenai ciri-ciri seks sekunder pada perempuan

(33.9%). Untuk pertanyaan mengenai hal-hal yang termasuk ke

dalam perilaku seksual hanya sebagian kecil responden yang

mengetahui secara lengkap terlihat dari persentase (3.6%) pada

kelas X, (3.6%) pada kelas XI, dan (2%) pada kelas XII.

Untuk pertanyaan mengenai cara mencegah kehamilan

hanya responden pada kelas XII yang mengetahui cara

mencegah kehamilan secara lengkap dengan persentase (2%).

Untuk pertanyaan mengenai macam-macam penyakit menular

seksual hanya sebagian kecil responden yang mengetahuinya

secara lengkap terlihat dari persentase (7.1%) pada kelas X,

(10.7%) pada kelas XI, dan (15.7%) pada kelas XII. Begitu juga

pada pertanyaan mengenai akibat aborsi yang menjawab

lengkap hanya (5.4%) pada kelas X, (17.9%) pada kelas XI, dan

(25.5%) pada kelas XII.

Dari keseluruhan pertanyaan tentang pengetahuan

tersebut maka dapat dilihat pengelompokan kriteria


83

pengetahuan responden berdasarkan kelas di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda melalui tabel di bawah ini :

Tabel 10. Distribusi responden Berdasarkan Kriteria


Pengetahuan Pada Siswa SMA Katolik WR.
Soepratman Samarinda tahun 2009
Total Sampel
Kelas X Kelas XI Kelas XII
Kriteria
Pengetahuan n % n % n % n %
Cukup 2 3.6 6 10.7 12 23.5 20 37.8
Kurang 54 96.4 50 89.3 39 76.5 143 262.2
Total 56 100 56 100 51 100 163 300

Dari tabel diatas dapat dilihat kriteria pengetahuan cukup di

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda yaitu (3.6%) pada

kelas X, (10.7%) pada kelas XI, dan (23.5%) pada kelas XII.

Sedangkan kriteria pengetahuan kurang yaitu (96.4%) pada

kelas X, (89.3%) pada kelas XI, dan (76.5%) pada kelas XII.

c. Peran Ayah dalam komunikasi tentang kesehatan reproduksi

Pernah atau tidaknya anak berkomunikasi tentang

kesehatan reproduksi dan masalah perilaku seksual kepada

ayahnya dan Lamanya Ketersediaan waktu ayah untuk

berkomunikasi dengan anaknya dalam sehari.

Peran ayah tersebut dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut :


84

Tabel 11. Distribusi responden Berdasarkan Pernah atau


Tidaknya Ayah Berkomunikasi mengenai
Kesehatan Reproduksi Pada Siswa SMA Katolik
WR. Soepratman Samarinda tahun 2009
Anak berkomunikasi tentang
kesehatan reproduksi dan masalah
perilaku seksual kepada ayahnya Jumlah Persentase
Pernah 75 46
Tidak Pernah 88 54
Total 163 100.0

Dari tabel diatas terlihat responden yang pernah

berkomuniaksi dengan ayahnya mengenai kesehatan

reproduksi dan perilaku seksual sebanyak (46%) dan yang tidak

pernah berkomunikasi mengenai hal tersebut sebesar (54%).

Tabel 12. Distribusi responden Berdasarkan Lamanya


Ketersediaan waktu ayah untuk berkomunikasi
dengan anaknya dalam sehari Pada Siswa SMA
Katolik WR. Soepratman Samarinda tahun 2009

Lama berkomunikasi dalam


sehari Jumlah Persentase
≥ 3 jam (Baik) 72 44.2
< 3 jam (Kurang baik ) 91 55.8
Total 163 100

Dari hasil tabel terlihat ketersediaan waktu ayah

responden, untuk berkomunikasi dalam sehari kurang dari 3 jam

sebanyak (55.8%), dan sama dengan atau lebih dari 3 jam

sebanyak (44.2%).
85

Selain kedua tabel tabel di bawah ini diatas juga menunjukkan

distribusi peran ayah :

Tabel 13. Distribusi Peran Ayah dalam komunikasi tentang


kesehatan reproduksi di SMA Katolik WR.
Soepratman Samarinda tahun 2009.
Ya Tidak
No Peran ayah dalam komunikasi n % n %
1. Tinggal dengan siapa
- orang tua (ayah / ibu) 163 100 - -
- saudara 33 20.2 130 79.8
Pertama kali mendapatkan
2. informasi tentang pubertas
- orang tua (ayah / ibu) 74 45.4 89 54.6
- saudara 29 17.8 134 82.2
- teman 73 44.8 90 55.2
- media 146 89.6 17 10.4
- lain-lain 17 10.4 146 89.6
Anak pernah bertanya informasi
tentang kesehatan reproduksi dan
3. perilaku seksual. 75 46 88 54
Ayah pernah memberikan
informasi tentang kesehatan
4. reproduksi dan perilaku seksual. 75 46 88 54
Anak berkomunikasi tentang
kesehatan reproduksi dan masalah
5. perilaku seksual kepada ayahnya 75 46 88 54
Langsung ditanggapi apabila
bertanya kesehatan reproduksi dan
masalah perilaku seksual pada
6. ayahnya 75 46 88 54
Pernah berdiskusi dengan ayah
7. mengenai:
-Menstruasi 17 22.7 58 77.3
-Mimpi basah 25 33.3 50 66.7
-Ciri-ciri memasuki remaja/pubertas 54 72 21 28
-Hubungan seksual 34 45.3 41 54.7
-Kehamilan 43 57.3 32 42.7
-Alat kontrasepsi 20 26.7 55 73.3
-HIV/AIDS 50 66.7 25 33.3
86

Lanjutan Tabel 13. Distribusi Peran Ayah dalam komunikasi tentang


kesehatan reproduksi di SMA Katolik WR.
Soepratman Samarinda tahun 2009.
Ya Tidak
No Peran ayah dalam komunikasi n % n %
Bercerita masalah pubertas dan
8. berpacaran 54 33.1 109 66.9
9. Lama ayah bekerja dalam sehari
- ≥ 8 jam 118 72.4 45 27.6
- < 8 jam 45 27.6 118 72.4
Pernah atau tidaknya ayah
mendapatkan informasi tentang
10. kesehatan reproduksi 114 69.9 49 30.1

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak (100%)

responden tinggal dengan orang tua (ayah dan ibu). Untuk

informasi tentang pubertas pertama kali sebagian besar

responden mendapatkannya melalui media yaitu (89.6%).

Kemudian Sebanyak (46.0%) responden pernah bertanya

informasi tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual

kepada ayahnya.

Sebanyak (46.0%) Ayah responden pernah memberikan

informasi tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual,

Sebanyak (46.0%) responden pernah berkomunikasi tentang

kesehatan reproduksi dan masalah perilaku seksual kepada

ayahnya, dan juga sebanyak (46.0%) responden Langsung


87

ditanggapi apabila bertanya kesehatan reproduksi dan masalah

perilaku seksual pada ayahnya.

Dari 75 orang responden yang pernah berdiskusi atau

berkomunikasi dengan ayahnya hal-hal yang pernah

didiskusikan dengan ayah yang paling besar persentasenya

adalah ciri-ciri memasuki remaja/pubertas (72.0%) dan

HIV/AIDS (66.7%). Kemudian dari 163 responden sebanyak

(33.1%) responden yang pernah bercerita masalah pubertas

dan berpacaran kepada ayahnya. Untuk waktu kerja ayah

dalam satu hari kurang dari 8 jam sebanyak (27.6%) dan sama

dengan atau lebih dari 8 jam sebanyak (72.4%). Dan sebanyak

(69,9%) ayah responden pernah mendapatkan informasi

tentang kesehatan reproduksi baik melalui media cetak,

elektronik ataupun penyuluhan.

Dari pertanyaan tentang pernah atau tidaknya ayah

berkomunikasi tentang kesehatan reproduksi dan lamanya

ketersediaan waktu ayah berkomunikasi dalam sehari maka

dapat dilihat kriteria peran ayah responden di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda dalam komunikasi melalui tabel di

bawah ini :

Tabel 14 Distribusi responden Berdasarkan Kriteria Peran Ayah


dalam Komunikasi Pada Siswa SMA Katolik WR.
Soepratman Samarinda tahun 2009

Kriteria Peran Ayah Jumlah Persentase


88

Baik 54 33.1
Kurang Baik 109 66.9
Total 163 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah responden di

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda dengan peran ayah

yang kurang baik sebesar (66.9%) dan peran ayah dengan

kriteria baik sebanyak (33,1%).

4. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan

pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan peran

ayah dalam komunikasi terhadap perilaku seksual remaja di SMA

Katolik WR. Soepratman Kota Samarinda.

a. Hubungan pengetahuan remaja tentang kesehatan

reproduksi terhadap perilaku seks remaja di SMA Katolik WR.

Soepratman Kota Samarinda.

Hubungan rata-rata pengetahuan responden mengenai

kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual remaja di SMA

Katolik WR. Soepratman Samarinda dapat dilihat pada tabel di

bawah ini :

Tabel 15. Distribusi Rata-rata Hubungan Pengetahuan


Responden Mengenai Kesehatan Reproduksi dengan
Perilaku Seksual Remaja di SMA Katolik WR.
Soepratman Samarinda tahun 2009.
Kriteria Pengetahuan Perilaku seksual Total P
value
89

tidak
resiko resiko resiko bere
tinggi sedang rendah siko
Cukup 0 7 11 2 20
(0%) (35%) (55%) (10%) (100%)
Kurang 40 63 37 3 143
(28%) (44.1%) (25.9%) (2.1%) (100%) 0.002
Total 40 70 48 5 163
(24.5% (42.9%) (29.4%) (3.1%) (100%)

Dari tabel tersebut dapat dilihat responden dengan

kriteria pengetahuan kurang resiko tinggi untuk melakukan

perilaku seks sebesar (28.0%), sedangkan untuk responden

dengan kriteria pengetahuan cukup resiko tinggi untuk

melakukan perilaku seks sebesar (0%). Dari hasil uji statistik

diperoleh nilai p value = 0.002 berarti pada alpha 5% terlihat

ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan responden

mengenai kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual

remaja di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda.

b. Hubungan antara pernah atau tidaknya ayah berkomunikasi

tentang masalah kesehatan reproduksi dan perilaku seksual

terhadap perilaku seksual remaja di SMA Katolik WR.

Soepratman Kota Samarinda.

Hubungan rata-rata antara pernah atau tidaknya ayah

berkomunikasi tentang masalah kesehatan reproduksi dan

perilaku seksual terhadap perilaku seksual remaja di SMA

Katolik WR. Soepratman Kota Samarinda dapat dilihat pada

tabel berikut :
90

Tabel 16. Distribusi Rata-rata Hubungan antara pernah atau


tidaknya ayah berkomunikasi tentang masalah
kesehatan reproduksi dan perilaku seksual terhadap
perilaku seksual remaja di SMA Katolik WR.
Soepratman Kota Samarinda tahun 2009.

Pernah atau tidak P


ayah berkomunikasi kriteria seks Total value
tentang kesehatan tidak
reproduksi dan resiko resiko resiko bere
perilaku seksual tinggi sedang rendah siko
Ya pernah 7 26 39 3 75
(9.3%) (34.7%) (52.0%) (4.0%) (100%)
Tidak pernah 33 44 9 2 88
0.000
(37.5%) (50.0%) (10.2%) (2.3%) (100%)
Total 40 70 48 5 163
(24.5% (42.9%) (29.4%) (3.1%) (100%)

Dari tabel diatas dapat dilihat responden yang tidak

pernah berkomunikasi tentang masalah kesehatan reproduksi

dan perilaku seksual dengan ayahnya beresiko tinggi untuk

melakukan perilaku seks sebesar (37.5%), sedangkan untuk

responden yang pernah berkomunikasi tentang masalah

kesehatan reproduksi dan perilaku seksual dengan ayahnya

beresiko tinggi untuk melakukan perilaku seks sebesar (9.3%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.000

berarti pada alpha 5% terlihat ada hubungan yang signifikan

antara pernah atau tidaknya ayah berkomunikasi tentang

masalah kesehatan reproduksi dan perilaku seksual terhadap

perilaku seksual remaja di SMA Katolik WR. Soepratman

Samarinda.
91

c. Hubungan antara ketersediaan waktu ayah untuk

berkomunikasi terhadap perilaku seksual pada siswa SMAK

WR. Soepratman Samarinda.

Hubungan rata-rata antara ketersediaan waktu ayah

untuk berkomunikasi terhadap perilaku seksual pada siswa

SMAK WR. Soepratman Samarinda dapat dilihat pada tabel 17 :

Tabel 17. Distribusi Rata-rata Hubungan antara ketersediaan


waktu ayah untuk berkomunikasi terhadap perilaku
seksual pada siswa SMAK WR. Soepratman
Samarinda tahun 2009.

P
kriteria seks Total value
Lama tidak
berkomunikasi resiko resiko resiko bere
dalam satu hari tinggi sedang rendah siko
. Cukup 8 23 37 4 72
(≥3 jam) (11.1%) (31.9%) (51.4%) (5.6%) (100%)
Kurang (< 3 32 47 11 1 91
0.000
jam) (35.2%) (51.6%) (12.1%) (1.1%) (100%)
Total 40 70 48 5 163
(24.5% (42.9%) (29.4%) (3.1%) (100%)

Dari tabel diatas dapat dilihat responden yang lama

berkomunikasi dengan ayahnya dalam satu hari kurang dari 3

jam beresiko tinggi untuk melakukan perilaku seks sebesar


92

(35.2%), sedangkan untuk responden yang lama berkomunikasi

dengan ayahnya dalam satu hari sama dengan atau lebih dari 3

jam beresiko tinggi untuk melakukan perilaku seks sebesar

(11.1%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.000

berarti pada alpha 5% terlihat ada hubungan yang signifikan

antara ketersediaan waktu ayah untuk berkomunikasi dalam

sehari terhadap perilaku seksual remaja di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda.

d. Hubungan antara peran ayah


dalam komunikasi terhadap perilaku seksual remaja pada siswa
SMAK WR. Soepratman Samarinda.
Hubungan rata-rata antara peran ayah dalam komunikasi

terhadap perilaku seksual remaja pada siswa SMAK WR.

Soepratman Samarinda dilihat dari pernah atau tidaknya ayah

berkomunikasi tentang kesehatan reproduksi dan ketersediaan

waktu ayah untuk berkomunikasi dalam sehari. Maka dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 17. Distribusi Rata-rata Hubungan antara peran ayah


dalam komunikasi terhadap perilaku seksual pada
siswa SMAK WR. Soepratman Samarinda tahun
2009.
Peran Ayah dalam P
Komunikasi kriteria seks Total value
resiko resiko resiko tidak
tinggi sedang rendah bere
93

siko
Baik 4 14 33 3
54
(7.4%) (25.9%) (61.1%) (5.6%)
Kurang Baik 36 56 15 2 109
0.000
(33.0% (51.4%) (13.8%) (1.8%) (100%)
Total 40 70 48 5 163
(24.5% (42.9%) (29.4%) (3.1%) (100%)

Dari tabel tersebut dapat dilihat responden dengan kriteria

peran ayah dalam komunikasi yang kurang baik beresiko tinggi

untuk melakukan perilaku seks sebesar (33.0%), sedangkan untuk

responden kriteria peran ayah dalam komunikasi yang baik

beresiko tinggi untuk melakukan perilaku seks sebesar (7.4%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.000 berarti pada

alpha 5% terlihat ada hubungan yang signifikan antara peran ayah

dalam komunikasi terhadap perilaku seksual remaja di SMA

Katolik WR. Soepratman Samarinda.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data maka dilakukan

pembahasan hasil penelitian sesuai dengan variabel yang diteliti.

1. Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena

adanya dorongan seksual. Bentuknya bermacam- macam, mulai

dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, sampai dengan

berhubungan seks. (PKBI, 2004).


94

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda didapatkan hasil bahwa sebagian besar

perilaku seksual pada responden baik putri maupun putra tergolong

dalam kriteria perilaku seksual beresiko sedang terlihat dari

persentase (32.1%) pada responden putri dan (53.7%) pada

responden putra. Namun juga terdapat responden yang tidak

beresiko pada responden putri sebanyak 3 orang (3.7%) dan pada

responden putra sebanyak 2 orang (2.4%). Perilaku seks pranikah

ini meliputi aktivitas berpacaran sampai pada aktivitas melakukan

seks pranikah. Aktivitas ini terdiri dari berpelukan, berpegangan

tangan, memeluk, berciuman, menghabiskan waktu berduaan,

bermanjaan, tidur bersama-sama, membiarkan pasangan meraba

anggota tubuhnya, meraba anggota tubuh orang lain, melepaskan

pakaian dan memperlihatkan organ seks, frekuensi melakukan

hubungan seks selama 30 hari, jumlah pasangan seksual berbeda

selama 30 hari dan jumlah pasangan seks yang berbeda selama

12 bulan.

Berpacaran sebagai proses perkembangan kepribadian

seorang remaja karena ketertarikan antar lawan jenis. Namun,

dalam perkembangan budaya justru cenderung permisif terhadap

gaya pacaran remaja. Akibatnya, para remaja cenderung

melakukan hubungan seks pranikah.

Perilaku reproduksi terwujud dalam hubungan sosial antara

pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita tersebut dalam
95

waktu yang lama menyebabkan munculnya norma-norma dan nilai-

nilai yang akan menentukan bagaimana perilaku reproduksi

disosialisasikan. Berbagai bentuk perilaku yang diwujudkan

lazimnya sejalan dengan norma-norma yang berlaku. Ada perilaku

yang diharapkan dan sebaliknya ada perilaku yang tidak

diharapkan dalam hubungan sosial masyarakat; begitu pula

hubungan antara pria dan wanita dalam perilaku reproduksi.

Perilaku reproduksi dalam hal ini adalah mengacu kepada perilaku

seks pranikah di kalangan remaja. Perilaku seks remaja

dipengaruhi oleh berbagai faktor. (http.ejournal.unud.ac.id)

Perilaku seks pranikah cenderung dilakukan karena

pengaruh teman sebaya yang negatif. Terutama bila remaja itu

bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang

kurang sensitif terhadap remaja. Selain itu, lingkungan negatif juga

akan membentuk remaja yang tidak punya proteksi terhadap

perilaku orang-orang di sekelilingnya. Bahkan, remaja yang merasa

bebas dan tidak terkekang, ternyata lebih mudah melakukan

perilaku seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol. Pada

akhirnya dari perilaku itu, pelajar akan berperilaku negatif seperti

mengonsumsi narkoba dan melakukan seks pranikah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena revolusi seks bebas

sedang merebak di kalangan remaja Indonesia.banyak sekali

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut

salah satu penyebab yang ditengarai adalah kurangnya informasi


96

yang didapatkan remaja dalam hal reproduksi dan seks. Rasa

keingintahuan yang besar dan rasa haus akan informasi tentang

perkembangan reproduksi yang mengalami pertumbuhan pesat .

sebuah penelitian menyimpulkan bahwa 94% remaja menyatakan

butuh nasehat tentang seks dan kesehatan reproduksi dalam

usaha mengerti perubahan pada diri mereka sendiri. Tetapi pada

kenyataannya malah sulit untuk mengakses informasi yang benar

dari jalur formal seperti dari petugas kesehatan atau dari sekolah

karena adanya asumsi bahwa informasi tersebut malah mendorong

remaja untuk melakukan tindakan coba-coba, sehingga mereka

memenuhi rasa ingin tahu mereka dengan mencoba mencari tahu

sendiri dari jalur non formal seperti seperti membahas dengan

teman, membaca buku-buku seks, menonton film porno, dan

berakhir dengan mengadakan percobaan untuk melakukan

hubungan seks. (karya-ilmiah.um.ac.id)

Namun dari hasil penelitian tidak semua siswa yang pernah

berpacaran ataupun sedang berpacaran di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda beresiko melakukan perilaku seksual hal

ini terlihat dari hasil yang didapat bahwa terdapat 5 orang

responden yang tidak beresiko melakukan perilaku seksual.

Apabila dilihat dan ditelaah dari latar belakang responden

untuk pendidikan ayah sebagian besar sarjana yaitu sebesar

(60%), walaupun pekerjaan ayah pada 5 orang responden tersebut

di sektor swasta dengan jumlah jam kerja yang cukup namun lama
97

berkomunikasi dalam sehari dengan anaknya sebagian besar lebih

dari 3 jam yaitu sebesar (80%), selain itu ayah responden

seluruhnya juga pernah mendapatkan informasi mengenai

kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang juga disampaikan

dan dikomunikasikan kepada anak-anak mereka sehingga terjadi

komunikasi dengan intensitas dan kualitas yang baik yang tentunya

akan mempengaruhi anak dalam berperilaku dan dalam bertindak

terhadap segala hal.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Patrick Tolan,

profesor, psikiater, dan Direktur Institute for Juvenile Research di

University of Illinois di Chicago mengatakan semakin banyak orang

tua menghabiskan waktu bersama anak-anaknya maka semakin

sedikit waktu yang dihabiskan di luar pengawasan orang tua. Juga,

ketika orang tua menyisihkan waktu untuk berbincang dengan

anak-anaknya, maka anak akan mempelajari nilai-nilai yang orang

tua miliki dan anak akan lebih banyak berpikir sebelum bertindak.

(www.bkkbn.go.id)

Dari 163 Responden yang diteliti didapatkan yang sudah

pernah melakukan hubungan seks di SMA Katolik WR Soepratman

Samarinda yaitu sebanyak 22 orang, 2 orang pada responden putri

(2.4 %) dan 20 orang pada responden putra (24.7%). Dari 22

responden yang telah melakukan hubungan seks para nikah

tersebut terdapat 4 orang yang melakukan hubungan seks dengan

pekerja seks komersial.


98

Dari hasil tersebut terlihat bahwa perilaku remaja putra lebih

agresif daripada remaja putri dan jumlah seks pranikah yang

dilakukan oleh remaja putra pun lebih besar apabila dibandingkan

dengan remaja putri. Hasil tersebut sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Damayanti (2007), penelitian yang dilakukan di

Depok, Jawa menunjukkan perilaku remaja laki-laki dan perempuan

hingga cium bibir masih sama. Akan tetapi, perilaku laki-laki

menjadi lebih agresif dibandingkan remaja perempuan mulai dari

tingkatan meraba dada. Seks pranikah yang dilakukan remaja laki-

laki pun dua kali lebih banyak dibandingkan remaja perempuan.

(http:h2dy.wordpress.com)

Dari hasil penelitian diketahui dari 22 responden terdapat

(20%) yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks

komersil. Perilaku melakukan seks berganti pasangan juga begitu

beresiko terhadap penularan penyakit menular seksual (PMS) dan

HIV/AIDS. Hampir setengah Hampir setengah dari infeksi HIV

secara keseluruhan terjadi pada pria dan perempuan dengan usia

di bawah 25 tahun, dan di banyak negara berkembang, data

menunjukkan bahwa sampai 60 % dari semua infeksi HIV baru

terjadi pada kelompok usia antara 15-24 tahun. (Bunga

Rampai,2005).

Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa umur pertama kali

melakukan seks pra nikah terbanyak yaitu umur 13 dan 15 tahun


99

dengan persentase masing-masing (35%). Hasil tersebut sejalan

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh KISARA PKBI Bali

(2002) sebanyak (2.28%) dari siswa SMP kelas 3 hingga SMA

kelas 1 (dibawah usia 17 tahun) telah melakukan hubungan

seksual pra nikah. Hubungan seks pra nikah pada usia dini tersebut

tentunya banyak berdampak negatif bagi remaja mulai dari

kehamilan yang tidak diinginkan hingga terjadinya penyakit menular

seksual (www.matabumi.com)

Dari hasil penelitian juga diketahui sebagian besar

responden melakukan aktivitas seksual tersebut di rumah dengan

persentase sebesar (74.4%) pada responden putri dan (54.3%)

pada responden putra, bahkan terdapat responden putra yang

sengaja menyewa hotel/motel/losmen untuk melakukan aktivitas

seksual yaitu sebesar (7.4%), dan terdapat responden yang berani

melakukan aktivitas seksual di lingkungan sekolah dengan

persentase sebesar (31.7%) pada responden putri dan (32.3%)

pada responden putra.

Cukup besarnya persentase responden yang melakukan

perilaku seksual di rumah dapat disebabkan karena kurangnya

ketetatan pengawasan dari orang tua sehingga orang tua tidak tahu

bahwa anak mereka telah melakukan berbagai aktivitas seksual di

rumah. Begitu juga responden yang melakukan aktivitas seksual di

sekolah, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengawasan

dari pihak sekolah dan dapat juga terjadi karena tata tertib dan
100

peraturan yang kurang tegas dari sekolah sehingga banyak siswa

yang berani melakukan aktivitas seksual tersebut.

Menurut Willis (2005), sebagian remaja mengatakan bahwa

orang tua mereka dan bahkan guru, tidak pernah memberikan

pengawasan terhadap tingkah laku remaja sehingga menimbulkan

berbagai kenakalan. Pengawasan terhadap remaja dimaksudkan

untuk menghindari tingkah laku yang kurang baik dan

menumbuhkan tingkah laku yang positif bermanfaat bagi dirinya

dan masyarakat. Pengawasan bukan berarti menutup kebebasan

remaja, melainkan memberikan bimbingan ke arah perkembangan

yang wajar dengan berbagai kegiatan pendidikan remaja di

lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Di lingkungan keluarga kenakalan remaja dapat terjadi

karena kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orang tua

terhadap anak, maka apa yang dibutuhkan oleh remaja mereka cari

di luar rumah, yang banyak mereka cari melalui teman-teman

sebayanya. Sedangkan sekolah merupakan tempat pendidikan

kedua setelah rumah tangga karena itu cukup berperan dalam

membina anak untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung

jawab. Dalam hal ini peranan guru sangat diperlukan sekali, selain

itu peranan sekolah juga berpengaruh terhadap kenakalan remaja.

Hal ini mungkin bersumber dari guru, fasilitas pendidikan dan

norma-norma tingkah laku yang ada di sekolah.


101

Aktivitas beresiko saat berpacaran yang dilakukan siswa

Katolik WR Soepratman Samarinda cukup mengkhawatirkan. Hal

itu terlihat dari hasil yang telah dipaparkan diatas. Aktivitas berisiko

ketika berpacaran ini terjadi karena beberapa hal yang

mempengaruhi, seperti kurangnya pengawasan dari orang tua

mengenai perilaku berpacaran anak mereka, pengaruh lingkungan

pergaulan yang membawa pada perilaku berisiko, serta karena

begitu besarnya keingintahuan remaja mengenai sesuatu hal yang

belum mereka ketahui. Keingintahuan yang besar namun tidak

diimbangi dengan pengetahuan yang benar, maka akan

menimbulkan suatu perilaku yang salah.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Persatuan Keluarga

Berencana Indonesia pada tahun 2002 dimana diperoleh informasi

bahwa minimnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan

reproduksi remaja dapat menjerumuskan remaja pada perilaku

seks pra nikah dan sebaliknya, pengetahuan tentang kesehatan

reproduksi remaja dapat menunda prilaku seks pra nikah

dikalangan remaja. (http:h2dy.wordpress.com)

Berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (the

Cairo Consesus) tentang kesehatan reproduksi yang berhasil

ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan

tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah

satu butir konsesus tersebut ditekankan tentang upaya

menyediakan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi


102

dan seksual yang benar, bertanggung jawab dan komperhensif

bagi remaja.

Menurut tokoh nasional Arif Rahman Hakim, pendidikan

seks adalah perlakuan proses sadar dan sistematis di sekolah,

keluarga, dan masyarakat untuk menyampaikan proses

perkelaminan menurut agama dan yang sudah ditetapkan

masyarakat. Dengan demikian pendidikan tentang seks tersebut

bukanlah pendidikan tentang how to do (bagaimana melakukan

hubungan seks) atau tentang hubungan seks aman, tidak hamil,

dan lain sebagainya tetapi pendidikan seks diberikan sebagai

upaya preventif.

(karya-ilmiah.um.ac.id).

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh IRRMA di 5

Propinsi di Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi,

Lampung dan Bengkulu) terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku

seksual remaja tahun 2003 misalnya, dari 1,450 remaja yang

menjadi responden, sebanyak 78,95% remaja tidak memiliki

pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Dampak

dari rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan

seksual menjadi sangat luar biasa terhadap sikap dan perilaku

seksual mereka, dibandingkan dengan remaja yang memiliki

pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi dan

seksual. (saeroni.wordpress.com)
103

Dari 1,450 responden, sebanyak 22,36% pernah melakukan

hubungan seksual sejak usia 16 tahun untuk remaja perempuan

dan 17 tahun untuk remaja laki-laki. Dari remaja yang telah aktif

melakukan hubungan seksual, sebanyak 19,70% melakukannya

dengan pelacur dan 79,30% dengan pacar. Sebagian besar

( 86,87%) dari mereka yang telah melakukan seksual aktif tidak

memiliki pengetahuan sedikitpun tentang kesehatan reproduksi,

sedangkan selebihnya, pengetahuannya hanya sepotong-sepotong

yang mereka peroleh dari teman atau melalui media.

(saeroni.wordpress.com)

Survei yang dilakukan pada delapan SMU / SMK di

Samarinda periode September hingga Oktober 2008 juga

mendapatkan hasil bahwa subjek yang melakukan hubungan

seksual terhadap sejumlah siswa-siswi di Samarinda dari 300

sampel yang diambil di seluruh sekolah , sebanyak 73 % siswa-

siswi mengaku pernah berpacaran, 49 % dari mereka mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah apabila

melakukan hubungan seksual, sebanyak 12 % diantaranya

mengaku pernah melakukan hubungan badan (seks), 30 %

menjawab untuk mencegah terjadinya kehamilan maka

menggunakan alat kontrasepsi pada saat berhubungan seks.

(www.pkbi.com)

Perilaku seksual ini memang kasat mata, namun ia tidak

terjadi dengan sendirinya melainkan didorong atau dimotivasi oleh


104

faktor-faktor tertentu. Secara lebih terinci perilaku manusia

sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan

seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, dan sikap. Persepsi

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang. Apabila dalam kehidupan seseorang sudah

terbentuk persepsi, maka persepsi ini akan menentukan cara

seseorang dalam bertingkah laku terhadap obyek persepsi

tersebut. Persepsi merupakan dasar dari proses kognisi, yaitu

termasuk di dalamnya merupakan proses mengolah informasi.

Notoatmodjo (2003).

2. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia, atau

hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang di

milikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan

sendirinya, pada waktu pengindraan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian

dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap

objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior)

(Notoatmodjo, 2005).

Menurut Lawrence Green, pengetahuan merupakan salah

satu faktor predisposisi yang membentuk suatu perilaku seseorang,


105

disamping adanya faktor pendukung (enabling factor) dan faktor

pendorong perilaku tersebut (reinforcing factor). Sedangkan

menurut teori kognitif yang dikemukakan oleh Piaget (Sarwono,

2006), remaja sudah berada pada suatu tahapan berfikir formal

operasional.

Pada tahap ini, seorang remaja dianggap mampu menerima

informasi secara tepat, untuk kemudian dianalisa dan diserap untuk

dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan.

Disisi lain, remaja secara umum sudah mencapai tahapan

pemikiran tertinggi yang mampu melakukan analisis terhadap

informasi yang telah diterimanya serta dapat menimbang terhadap

baik atau tidaknya informasi tersebut sebelum dia mengadopsi dan

mencoba perilaku barunya sesuai dengan tingkat pengetahuan,

kesadaran dan sikap terhadap informasi tersebut.

Pengetahuan siswa mengenai seks pranikah didapat melalui

pendengaran dan penglihatan, bahkan sebagian beradasarkan

pengalaman pribadi. Melalui beberapa hal itulah siswa di SMA

Katolik WR. Soepratman Samarinda memperoleh pengetahuan

mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual. Seperti

melalui buku, internet, cerita teman, majalah porno, televisi dan

sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda diketahui kriteria pengetahuan cukup di

yaitu (3.6%) pada kelas X, (10.7%) pada kelas XI, dan (23.5%)
106

pada kelas XII. Sedangkan kriteria pengetahuan kurang yaitu

(96.4%) pada kelas X, (89.3%) pada kelas XI, dan (76.5%) pada

kelas XII.

Dari hasil tersebut dapat dilihat perbedaan jumlah dan

persentase kriteria pengetahuan pada tiap kelas. Terlihat semakin

tinggi tingkatan kelas maka jumlah dan persentase kriteria

pengetahuan cukup semakin besar. Dan begitu sebaliknya semakin

tinggi tingkatan kelas maka jumlah dan persentase kriteria

pengetahuan kurang semakin kecil. Hal ini dikarenakan semakin

tinggi tingkatan kelas maka materi pendidikan yang berhubungan

dengan kesehatan reproduksi di sekolah akan semakin banyak

diperoleh dan dipelajari.

Dari hasil tersebut juga menunjukkan tingkat pengetahuan

mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual di SMA

Katolik WR. Soepratman Samarinda masih tergolong rendah hal ini

terlihat dari besarnya persentase responden yang berpengetahuan

kurang.

Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan

perilaku seksual ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik

faktor eksternal maupun internal. Faktor-faktor itu antara lain

kurangnya sarana dan prasarana untuk memperoleh informasi,

pengaruh pergaulan atau teman sebaya, serta pendidikan yang


107

diberikan orang tua di rumah khususnya mengenai kesehatan

reproduksi dan perilaku seksual.

Kurangnya pengetahuan mengenai organ reproduksi dan

ciri-ciri seks sekunder pada remaja juga dapat mempengaruhi body

image yang dipikirkan oleh remaja. Sehingga dapat menimbulkan

permasalah bagi mereka. Menurut dr. Ramona Permasalahan

akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika

mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai

masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik

yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan

mereka terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya tidak

sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan.

Kebanyakan remaja mempersiapkan diri menyambut

perubahan fisik ketika masa puber. Remaja putri berharap agar

payudara mereka bertambah besar sedangkan remaja putra

berharap otot-otot di tubuh mereka bertambah kekar. Tetapi, tubuh

sering mengalami serangkaian proses perubahan sebelum,

selama, dan setelah puber. Perubahan yang terjadi terkadang

sangat berbeda dibanding yang diharapkan. Misalnya pada remaja

putri maupun putra menemukan ada perubahan yang terjadi pada

bagian lain yang kurang familiar, seperti pantat. Atau berubah

menjadi lebih tinggi atau lebih kurus.


108

Perubahan yang terjadi pada masa puber dapat

mempengaruhi bagaimana mereka menilai tubuh mereka dan diri

mereka sendiri di masa mendatang. Memahami perubahan pada

tubuh tidak hanya melihat perubahan bentuk. Kebanyakan remaja

melihat image tubuh mereka berdasarkan perasaan dan

penampilan. (wwwaatartunhalu.multiply.com)

Masalah body image juga dapat berpengaruh terhadap

perilaku seksual remaja. Remaja yang memiliki pemahaman secara

benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung

memahami risiko perilaku serta alternatif cara yang dapat

digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual secara sehat dan

bertanggung jawab.

Faktor lain yang kadang-kadang diduga sebagai pendorong

perilaku seksual adalah citra diri yang menyangkut keadaan tubuh

(body images) dan kontrol diri. Mengenai citra diri terhadap tubuh

ada pendapat bahwa orang yang kurang mengenal keadaan

tubuhnya sendiri atau menilai keadaan tubuhnya kurang sempurna

cenderung mengompensasikannya dengan perilaku seksual.

Biasanya tipe ini membutuhkan "pengakuan" dari lawan jenis atau

pasangan tentang tubuhnya (ingin dikagumi) sehingga kontrol diri

terhadap perilakunya berkurang. Orang-orang yang percaya bahwa

ia mampu mengatur dirinya sendiri akan berkurang perilaku

seksualnya ketimbang orang-orang yang merasa dirinya mudah


109

dipengaruhi atau merasa bahwa keadaan dirinya lebih banyak

ditentukan oleh faktor-faktor luar. (wwwaatartunhalu.multiply.com)

Berdasarkan penelitian ini juga diperoleh data bahwa dari

163 responden terdapat 40 responden (28.0%) yang

berpengetahuan kurang dan beresiko tinggi untuk melakukan

perilaku seksual, 63 responden (44.1%) yang berpengetahuan

kurang dan beresiko sedang untuk melakukan perilaku seksual.

Didapatkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.002

berarti pada alpha 5% terlihat ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan responden mengenai kesehatan reproduksi dengan

perilaku seksual remaja di SMA Katolik WR. Soepratman

Samarinda.

Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan tinjauan teori yang

dikemukakan pada paragraf sebelumnya, dan dengan

mempertimbangkan berbagai informasi yang sudah diterima, dan

dengan hasil tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan

reproduksi terlihat bahwa pengetahuan tentang kesehatan

reproduksi pada responden yang kurang berpengaruh terhadap

resiko perilaku seksual pada diri remaja.

Informasi seputar kesehatan reproduksi (kespro) hingga saat

ini belum banyak menyentuh kaum remaja. Hampir semua akses

kepada pelayanan kesehatan reproduksi dan program-program

pemerintah lebih banyak diberikan kepada mereka yang telah


110

dewasa. Padahal, jumlah remaja saat ini mencapai hampir

setengah dari jumlah penduduk negeri. Sehingga banyak remaja

mencari lewat caranya sendiri dan salah dalam memahami

pentingnya menjaga kesehatan reproduksi.

Prevalensi penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS di

kalangan remaja masih sangat tinggi. Sementara pengetahuan

remaja akan kesehatan reproduksi masih sangat rendah. Bahkan,

Survei Data Dasar Kesehatan Reproduksi Remaja yang dilakukan

BKKBN dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD-UI)

pada (1999) menyimpulkan, tidak banyak remaja mengetahui

proses reproduksi, padahal kehidupan remaja saat ini, di desa

maupun di kota, lebih toleran terhadap hubungan seks sebelum

menikah.

Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih

berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Kata-kata bijak ini

nampaknya juga berlaku bagi para remaja tentang pengetahuan

seks kendati dalam hal ini ketidaktahuan bukan berarti lebih tidak

berbahaya. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi maupun

seks pranikah juga cenderung lebih banyak didapatkan dari teman

sebaya dan media massa. Padahal informasi yang diberikan belum

tentu benar dan banyak yang keliru. Sehingga informasi mengenai

seksualitas cenderung menciptakan pengetahuan yang salah.

Kehamilan tidak dikehendaki, aborsi ilegal dan tidak aman,

peningkatan kasus penyakit menular seksual termasuk infeksi


111

HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan reproduksi remaja di

Indonesia. Hal tersebut sebagai akibat perilaku seksual remaja

yang cenderung permisif dan berani serta adanya keterbatasan

pengetahuan tentang kesehatan reproduksi.

Faktor lain yang mendukung adalah mudahnya akses

informasi seksualitas yang keliru dari teman sebaya dan media

massa serta adanya anggapan dari orang tua atau guru bahwa

pengetahuan kesehatan reproduksi masih dianggap tabu,

membangkitkan keingintahuan remaja terhadap hal seputar seksual

menjadi besar dan mempengaruhi kebebasan remaja mengambil

keputusan terhadap situasi tertentu khususnya terkait

kecenderungan melakukan hubungan seksual (intercourse)

pranikah. (gemari.or.id)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sirajudin (2004)

mengenai hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi pada

remaja dengan kecenderungan remaja melakukan hubungan

seksual (intercourse) pranikah di Indonesia, didapatkan hasil bahwa

terdapat hubungan bermakna secara statistik pengetahuan

kesehatan reproduksi pada remaja pria dan wanita dengan

kecenderungan remaja pria dan wanita melakukan hubungan

seksual (intercourse) pranikah p<0,05. Pengetahuan Kesehatan

reproduksi yang lebih rendah pada remaja pria berpeluang 1,37 kali

dan wanita 1,55 kali cenderung lebih tinggi melakukan hubungan


112

seksual (intercourse) pranikah dibanding remaja pria dan wanita

yang berpengetahuan lebih tinggi.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh IRRMA di 5

Propinsi di Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi,

Lampung dan Bengkulu) terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku

seksual remaja tahun 2003 misalnya, dari 1,450 remaja yang

menjadi responden, sebanyak 78,95% remaja tidak memiliki

pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Dampak

dari rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan

seksual menjadi sangat luar biasa terhadap sikap dan perilaku

seksual mereka, dibandingkan dengan remaja yang memiliki

pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi dan

seksual. (saeroni.wordpress.com)

Pada masa remaja, rasa ingin tahu mengenai seksualitas

sangat penting dalam pembentukan hubungan baru dengan lawan

jenisnya karena hal ini sesuai dengan perkembangan fisio-logis

remaja. Besarnya keingintahuan remaja mengenai hal–hal yang

ber-hubungan dengan seksualitas, me-nyebabkan remaja selalu

berusaha mencari tahu lebih banyak informasi mengenai

seksualitas. Karena ber-kaitan dengan perkembangannya, hal ini

tentu saja tidak dapat dicegah. Bersamaan dengan itu pula, ber-

kembang aspek psikoseksual dengan lawan jenis dan remaja akan

berusaha untuk bereksplorasi dengan kehidupan seksual.


113

Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja tidak

mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan.

Seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan

seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari hu-bungan

seksual tersebut (eprints.ums.ac.id)

3. Peran Ayah dalam Komunikasi

Ayah berperan penting dalam perkembangan anaknya

secara langsung. Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan

aktivitas anak. Semua tindakan ini adalah cara ayah (orang tua)

untuk memperkenalkan anak dengan lingkungan hidupnya dan

dapat mempengaruhi anak dalam menghadapi perubahan sosial

dan membantu perkembangan kognitifnya di kemudian hari.

Disamping itu ayah juga harus berperan dalam menciptakan

kebersamaan dan komunikasi dengan keluarganya.

Berdasarkan hasil penelitian di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda responden dengan kriteria peran ayah

yang kurang baik sebanyak (66.9 %) dan peran ayah dengan

kriteria baik sebanyak (33,1%). Hal ini menunjukkan peran ayah

responden di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda dalam

komunikasi dengan anaknya masih tergolong rendah hal ini terlihat

dari besarnya persentase responden dengan kriteria peran ayah

yang kurang baik. Peran ayah ini dilihat dari pernah atau tidaknya

ayah berkomunikasi tentang kesehatan reproduksi dan lamanya


114

ketersediaan waktu ayah berkomunikasi dalam sehari. Persentase

responden yang pernah berkomunikasi dengan ayahnya mengenai

kesehatan reproduksi dan perilaku seksual sebesar (46.0%) dan

ketersediaan waktu ayah yang cukup untuk berkomunikasi dalam

sehari dengan kriteria sama dengan atau lebih dari 3 jam sebes ar

(44.2%).

Berdasarkan penelitian ini juga diperoleh data bahwa dari

163 responden terdapat 36 responden (33.0%) dengan peran

Ayah dalam Komunikasi kurang baik beresiko tinggi untuk

melakukan perilaku seksual, 56 responden (51.4%) beresiko

sedang, 15 responden (13.8%) beresiko rendah, dan 2 responden

(1.8%) tidak beresiko untuk melakukan perilaku seksual.

Sedangkan responden dengan peran ayah baik beresiko tinggi

untuk melakukan perilaku seksual sebanyak 4 responden (7.4%),

beresiko sedang 14 responden (25.9%), beresiko rendah 33

responden (61.1%), dan 3 responden (5.6%) tidak beresiko untuk

melakukan perilaku seksual.

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.000

berarti pada alpha 5% terlihat ada hubungan yang signifikan antara

peran ayah dalam komunikasi dengan perilaku seksual remaja di

SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda.

Selain itu dari hasil penelitian ini juga diperoleh data bahwa

dari 163 responden terdapat 114 ayah responden (69.9%) yang


115

pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan

seksualitas baik melalui media maupun penyuluhan kesehatan

namun hanya (46.0%) yang langsung menanggapi apabila anak

bertanya mengenai masalah kesehatan reproduksi dan perilaku

seksual, (46.0%) yang pernah mengkomunikasikan hal tersebut

dengan anak, (46.0%) yang pernah memberikan informasi tersebut

dan juga sebesar (46.0%) anak yang pernah bertanya tentang

kesehatan reproduksi dan seksualitas. Kemudian dari hasil

penelitian juga terlihat sebagian besar responden mendapatkan

informasi mengenai pubertas melalui media yaitu sebesar (89.6%).

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Psikolog Elly

Risman yaitu banyak orang tua tidak siap mempersiapkan anaknya

menghadapi informasi. Banyak dari mereka yang tidak siap

mengetahui bahwa anaknya lebih siap dan lebih tahu dari mereka.

Pada akhirnya anak mencari sarana lain yang bisa memberikan

apa yang mereka inginkan. (http:// digilib.unnes.ac.id/)

Selain itu hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor

apabila dilihat dari rata-rata pekerjaan ayah responden di SMA

Katolik WR. Soepratman Samarinda yang bekerja di sektor swasta

yang memiliki jumlah jam kerja cukup lama bahkan lebih dari 8 jam

per hari hal ini tentunya akan mempengaruhi intensitas pertemuan

antara ayah dan anak sehingga berpengaruh terhadap kuantitas

dan kualitas komunikasi antara ayah dan anak hal ini terlihat dari
116

hasil yang ditemukan pada penelitian ini sebanyak (55.8%) ayah

yang berkomunikasi dengan anaknya kurang dari 3 jam perhari.

Dari seluruh Hasil tersebut menunjukkan peran ayah yang

penting dalam mencegah anak remaja melakukan aktivitas seksual

berisiko. Peneliti dari Boston College, Rebekah Levine Coley

menyatakan terdapat kemungkinan bahwa hubungan dekat antara

ayah dan putrinya bisa membantu mencegah anak remaja

melakukan aktivitas seksual berisiko, seperti berhubungan badan

di luar nikah dan berhubungan badan tanpa pengaman dengan

rekan sebayanya.

Semakin penuh perhatian si ayah, semakin ia mengetahui

lebih banyak teman-teman anaknya, maka semakin besar pula

dampaknya terhadap kehidupan seksual sang anak, demikian yang

ditemui dalam riset terhadap 3.206 remaja usia 13-18 tahun di

Amerika. Meski sang ibu juga memiliki kemampuan untuk

melakukan hal yang sama, namun ketika sang ayah yang memberi

nasihat akan berdampak 2 kali lipat.

Arus informasi yang makin terbuka dan mudah diakses

membuat anak-anak mudah terekspos pada hal-hal yang

sebenarnya belum saatnya mereka ketahui, seperti masalah seks.

Apalagi jika dorongan untuk berhubungan badan di usia dini itu

mendapat stimulasi dari teman-teman sebayanya. Untuk mencegah

hal ini terjadi pada anak perempuan, diperlukan sebuah usaha lebih
117

dari ayah untuk mendekatkan diri dan membantu mereka lebih

pandai menjaga diri.

Peran ayah juga beragam, sebagai pemberi nafkah yang tak

pernah ada di rumah, partner ibu dalam membesarkan anak. Pada

anak-anak, mereka seringkali menilai ayah sebagai hukum di

rumah. Ayahlah yang memegang kendali di rumah. Umumnya,

peran ibu sebagai pengemong lebih bersifat konstan, sementara

ketika si ayah ada di rumah, peran dan kekuatan si ibu jadi berkali-

kali lipat karena ada pendukung.

Patrick Tolan, profesor, psikiater, dan Direktur Institute for

Juvenile Research di University of Illinois di Chicago mengatakan

bahwa penelitian ini masih menggarisbawahi pentingnya peran

kedua orangtua secara keseluruhan untuk membantu anak

berkembang optimal dan tidak melakukan aktivitas seksual yang

tak aman. Tolan juga menyatakan, semakin banyak orang tua

menghabiskan waktu bersama anak-anaknya maka semakin sedikit

waktu yang dihabiskan di luar pengawasan orang tua. Juga, ketika

orang tua menyisihkan waktu untuk berbincang dengan anak-

anaknya, maka anak akan mempelajari nilai-nilai yang orang tua

miliki. Dan anak akan lebih banyak berpikir sebelum bertindak.

Anak akan memikirkan apa yang akan pikir tentang mereka

sebelum mereka memutuskan melakukan tindakan-tindakan

tertentu. (www.bkkbn.go.id).
118

Penelitian Ekasari (2007), menunjukkan variabel

ketersediaan waktu ayah pada hari kerja terlihat berhubungan

secara bermakna dengan pola komunikasi dan pemberian

informasi kesehatan reproduksi antara ayah dan anak remaja. Ayah

dengan waktu sedikit berisiko lebih besar untuk mempunyai pola

komunikasi dan pemberian informasi yang kurang. Fleksibilitas jam

kerja dapat memunculkan hal-hal baru antara lain dapat

mempengaruhi hubungan ayah dengan anak. (Dagun,Save M,

2002).

Salah satu ciri remaja adalah memiliki rasa keingintahuan

yang besar dan rasa haus akan informasi. Diantaranya adalah

informasi tentang kesehatan reproduksi yang mengalami

perubahan pesat pada usia remaja. Sebuah penelitian

menyimpulkan bahwa 94% remaja menyatakan butuh nasehat

tentang seks dan kesehatan reproduksi dalam usaha mengerti

perubahan pada mereka sendiri. Tapi kebanyakan dari mereka

mencoba mencari tahu sendiri seperti membahas dengan teman,

membaca buku-buku seks, menonton film porno, dan berakhir

dengan mengadakan percobaan untuk melakukan hubungan seks.

(karya-ilmiah.um.ac.id)

Pemahaman yang keliru mengenai seksualitas pada remaja

menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai

masalah seks tanpa menyadari bahaya yang timbul dari

perbuatannya, dan ketika permasalahan yang ditimbulkan oleh


119

perilaku seksnya mulai bermunculan, remaja takut untuk

mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang tua. Remaja

lebih senang menyimpan dan memilih jalannya sendiri tanpa berani

mengungkapkan kepada orang tua. Hal ini disebabkan karena

ketertutupan orang tua terhadap anak terutama masalah seks yang

dianggap tabu untuk dibicarakan serta kurang terbukanya anak

terhadap orang tua karena anak merasa takut untuk bertanya.

Agar pengetahuan tentang masalah seks yang diberikan

optimal, maka diperlukan komunikasi yang efektif antara orang tua

dengan remaja. Komunikasi orang tua–anak dikatakan efektif bila

kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan komunikasi

diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan

adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi

yang efektif dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan duku-

ngan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan

baik apa yang disampaikan oleh orang tua.

Komunikasi antara orang tua dengan anak dikatakan

berkualitas apabila kedua belah pihak memiliki hubungan yang baik

dalam arti bisa saling memahami, saling mengerti, saling

mempercayai dan menyayangi satu sama lain, sedangkan

komunikasi yang kurang berkualitas mengindikasikan kurangnya

perhatian, pengertian, kepercayaan dan kasih sayang di antara

keduanya. (eprints.ums.ac.id)
120

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan

responden mengenai kesehatan reproduksi dengan perilaku

seksual remaja di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda. Dari

hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0.002.

2. Ada hubungan yang signifikan antara pernah atau tidaknya

ayah berkomunikasi tentang masalah kesehatan reproduksi dan

perilaku seksual terhadap perilaku seksual remaja di SMA Katolik

WR. Soepratman Samarinda. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p

value = 0.000.

3. Ada hubungan yang signifikan antara ketersediaan waktu

ayah untuk berkomunikasi dalam sehari terhadap perilaku seksual

remaja di SMA Katolik WR. Soepratman Samarinda. Dari hasil uji

statistik diperoleh nilai p value = 0.000.

4. Ada hubungan yang signifikan antara peran ayah dalam

komunikasi terhadap perilaku seksual remaja di SMA Katolik WR.

Soepratman Samarinda. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p

value = 0.000
121

B. Saran

Dari hasil kesimpulan yang dikemukakan maka ada beberapa

hal yang dapat disarankan :

Dari hasil kesimpulan yang dikemukakan maka ada beberapa hal

yang dapat disarankan :

1. Meningkatkan pengetahuan siswa, khususnya pengetahuan

tentang kesehatan reproduksi mengenai organ reproduksi, ciri-ciri

seks sekunder, penyakit menular seksual, dan mengenai aborsi

serta perilaku seks yang benar kepada siswa SMA Katolik WR.

Soepratma Samarinda dengan cara memasukkan mata pelajaran

mengenai kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah

2. Kerjasama pihak dinas pendidikan, sekolah dan lembaga-lembaga

yang bergerak dibidang pendidikan kesehatan khususnya

kesehatan reproduksi atau seks pranikah untuk memberikan

promosi kesehatan secara terintegrasi dengan pendidikan

kesehatan reproduksi remaja sesuai keilmuan, moral dan agama.

3. Mengadakan promosi kesehatan dengan tema yang didasarkan

pada pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach),

yakni penyuluhan disertai kesempatan berkonsultasi dengan guru,

konsultan psikologi sekolah, atau guru agama.


122

4. Kerjasama sekolah dengan pakar untuk memadukan berbagai

disiplin ilmu yang terkait dalam masalah seks dari berbagai sudut

pandang, seperti pakar kesehatan, psikologi, psikiatri dan lainnya..

5. Keterbukaan komunikasi yang dimulai dari lingkungan keluarga

dengan kuantitas komunikasi yang cukup dan kualitas komunikasi

yang baik, agar perilaku anak dapat lebih terkontrol dan berpikir

sebelum bertindak.

6. Memberikan pendidikan seks usia dini kepada anak yang dimulai

dari lingkungan keluarga. Pendidikan kesehatan reproduksi dan

seks bukan hanya menginformasikan mengenai kesehatan

reproduksi manusia tetapi juga menanamkan pada remaja bahaya

melakukan free sex dan bagaimana cara bergaul yang baik.

Sehingga pada akhirnya mereka memiliki kesadaran yang kuat

untuk menghindari free sex.

7. Meningkatkan IMTAQ siswa dengan cara melakukan kegiatan

keagamaan secara rutin atau kegiatan lain sesuai dengan

keyakinan masing- masing siswa.

You might also like