You are on page 1of 5

11.

PENOBATAN SRI KRESNA KEPAKISAN (1347-1350 M)


Rekontruksi Diorama: Patih Gajah Mada mempersembahkan Keris Ki Durga
Dungkul kehadapan Sri Kresna Kepakisan sebagai Adipati di Bali atas restu Raja
Majapahit.
“Untuk mengisi kekosongan pemerintahan, setelah berhasilnya ekspedisi Mahapatih
Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi, maka dinobatkan Sri Kresna Kepakisan,
seorang keturunan brahmana dari Daha, Kediri sebagai penguasa Bali dan
membentuk Dinasti Dalem. Istana kerajaan itu berkedudukan di Samprangan, tempat
pasukan Majapahit membangun kekuatan untuk menaklukan Bali. Pada masa
pemerintahannya masih terjadi permusuhan dan pemberontakan yang dilakukan sisa-
sisa keturunan Raja Bedahulu dan para pengikutnya yang belum tunduk pada
Majapahit. Menghadapi beberapa pemberontakan, Patih Gajah Mada bahkan harus
mendatangkan prajurit tambahan dari Jawa. Sementara dalam bidang pemerintahan
untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan sistem Majapahit,
didatangkan pula para ”Manggala” atau aparat pemerintahan sehingga menambah
kewibawaan Sri Kresna Kepakisan”.
12. PEMBANGUNAN PURA DASAR GELGEL (ABAD 14 M)
Rekontruksi Diorama: Untuk mempersatukan semua lapisan masyarakat di Bali,
Dalem Ketut Ngulesir memerintahkan untuk membangun Pura Dasar Gelgel.
”Pada tahun 1380 Masehi, Dalem Ketut Ngulesir yang putra Dalem Ketut Kresna
Kepakisan diangkat menggantikan kakaknya Dalem Samprangan yang dipandang
tidak cakap memimpin. Pusat pemerintahan pun dipindah dari Samprangan ke Gelgel
dengan istananya yang bernama Swecapura. Sebagai seorang raja, beliau mempunyai
pergaulan yang dekat dengan rakyat sehingga dapat bertindak arif dan bijaksana.
Dalam menyikapi tatanan kehidupan dari Bali Aga dengan Majapahit, maka beliau
mendatangkan pendeta dari Keling untuk mengajarkan kebenaran dan ilmu spiritual.
Salah satu bentuk apresiasi Dalem Ketut Ngulesir terhadap rakyat Bali Aga, Beliau
membuat patung dan menyelenggarakan Upacara Srada bagi rakyat Bali sebelumnya,
yaitu Sri Asta Sura Ratna Bumi banten. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat,
beliau mengangkat para Pasek untuk ikut serta dalam pemerintahan Desa Adat. Untuk
mempersatukan semua lapisan masyarakat di Bali, Dalem Ketut Ngulesir
memerintahkan untuk membangun Pura Dasar Gelgel”.
13. DALEM WATURENGGONG (1460-1550 M)
Rekontruksi Diorama: Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, kesusastraan
mengalami kejayaan, tampak rRaja beserta pejabat kerajaan sedang menyaksikan
pembacaan lontar dan berbagai atraksi kesenian.
”Dalem Waturenggong bertahta menggantikan ayahnya Dalem Ketut Ngulesir pada
tahun 1460. berkat kebijaksaan pendahulunya, Dalem Waturenggong dalam
menyelenggrakan pemerintahan dengan aman dan tenteram. Keadaan ini memberi
kesempatan berjalannya tradisi kesussastraan keraton Majapahit dan Kediri dalam
kondisi yang dinamis. Namun demikian perhatian terhadap Kerajaan Bali Aga tidak
menjadi surut. Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478, terbawalah
beberapa kepustakaan Majapahit ke Bali. Demikian pula kedatangan Danghyang
Niratha padsa tahun 1489 yang mengajarkan konsepsi keesaan Tuhan (Param
Wisesa), menata kehidupan masyarakat (sesana) dan membangkitan kesusastraan.
Diperkirakan pada saat inilah Bali mengalami puncak kejayaan, termasuk lahirnya
karya-karya sastra dan kesenian bernilai tinggi”.
14. DAN HYANG NIRATHA (1489 M)
Rekontruksi Diorama: Danghyang Niratha sedang membaca hasil karyanya di pantai
Nusa Dua sambil menikmati keindahan alam sekitarnya. Tampak bangunan candi,
padmasana dan Gunung Agung.
”Kedatangan Danghyang Niratha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang
Dwijendra (Bali) atau Pangeran Sangupati (Sumbawa) atau Tuan Semeru (Lombok)
panggilan Beliau, di tanah Bali merupakan bagian dari perjalan tirta yatra Beliau dari
Gunung Ijen, Jawa Timur. Mendengar kedatangan seorang pendeta sakti dari tanah
Jawa, Dalem Waturenggong menyambut kedatangan seorang pendeta sakti dari
Tanah Jawa, Dalem Waturenggong menyambut kedatangan beliau dan memberikan
tempat di kerajaan Gelgel. Dengan keahliannya yang lengkap dari ilmu agama,
peperangan, pemerintahan dan kesusastraan, beliau sangat berperan mendorong
kemajuan peradaban rakyat di Bali. Selain melakukan misi tirta yatra, beliau menata
kehidupan keagamaan dengan Konsep Tri Purusa. Beliau juga bejasa
mengembangkan bangunan Padmasana sebagai stana Ida Sang Hyang Siwa Raditya”.
15. MASA KEJAYAAN KERAJAAN-KERAJAAN BALI (ABAD 17-19 M)
Rekontruksi Diorama: Peninggalan masa kejayaan antara lain: Kertagosa di
Klungkung, Taman Sukasada di Ujung Karangasem dan patung Singa Ambara Raja
di Buleleng.
”Pada saat kerajaan berpusat di Gelgel dengan istananya Swecapura, aktivitas
kehidupan terdorong lebih meningkat. Dampak kemajuan di Kerajaan Gelgel
mengakibatkan wilayah-wilayah sekitarnya berorientasi secara politis dan ekonomi
pada pusat kerajaan. Karena tuntutan perubahan yang semakin komplek, maka pusat
pemerintahan dipindahkan ke istana Semarapura di Klungkung. Kuatnya pengaruh
Kerajaan Klungkung terhadap wilayah seluruh Bali, memunculkan pusat-pusat
kerajaan baru pada abad 17-19 masehi yang berorientasi dan menempatan Kerajaan
Klungkung sebagai asal muasalnya (sesuhunan). Kerajaan tersebut yaitu: Kerajaan
Buleleng dengan raja I Gusti Panji Sakti, Kerajaan Karangasem dengan raja I Gusti
Panji Sakti, Kerajaan Karangasem dengan raja Anak Agung Agung Anglurah Ketut
Karangasem, Kerajaan Mengwi dengan raja I Gusti Agung Ngurah. Demikian seluruh
Bali pada periode abad 17-19 M mencapai masa kejayaan dengan hasil pembangunan
fisik yang diwarisi hingga saat ini. Klungkung dengan Taman Kertagosa dan Taman
Gilinya, Buleleng dengan istana Singaraja (yang kemudian menjadi lambang Singa
Ambara Raja), Karangasem dengan Taman Sukasada Ujung, dan Mengwi dengan
Taman Ayun”.
16. PATIH JELANTIK MEROBEK SURAT GUBERNUR JENDERAL (1846 M)
Rekontruksi Diorama: Patih I Gusti Ketut Djelantik dari kerajaan Buleleng sedang
merobek surat Gubernur Jenderal dengan keris di depan Raja Klungkung dan utusan
Belanda.
”Pada tahun 1846 sebuah perahu dari Jawa terdampar di Pantai Sangsit, wilayah
kerajaan Buleleng. Sesuai dengan Hukum Tawan Karang, Ptih Kerajaan Buleleng, I
Gusti Ketut Djelantik memerintahkan perampasan atas muatan perahu tersebut.
Sebagai balasannya, Belanda yang menghendaki penghapusan Hak Twan Karang
(Klip Recht) mengirimkan Angkatan Laut dari Batavia dan Surabaya untuk
berkumpul di Besuki. Raja Buleleng yang masih menganggap Kerajaan Klungkung
sebagai sesuhunan seluruh Bali kemudian mengutus Patih Djelantik untuk
melaporkan kejadiannya dan menyampaikan pendiriannya kepada Raja Klungkung, I
Dewa Agung Putera. Pada saat yang bersamaan di Kerajaan Klungkung hadir pula
utusan Belanda dari Batavia, Patih Djelantik, merobek surat tersebut dengan ujung
kerisnya, surat yang dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda berisi tuntutan agar Hak
Tawan Karang dihapuskan”.
17. PERANG JAGARAGA (1848-1849 M)
Rekontruksi Diorama: Perlawanan rakyat Buleleng di bawah pimpinan Patih
Djelantik melawan tentara Belanda di depan benteng Jagaraga di desa Jgaraga
wilayah Kerajaan Buleleng.
”Setelah mempertimbangkan berbagai hal berkaitan dengan tuntutan Belanda
terhadap Kerajaan Buleleng, maka sebagai siasat, Raja Buleleng, I Gusti Made
Karangasem pada tanggal 9 Juli 1846 mau menandatangani pernyataan takluk
terhadap Belanda. Dengan adanya pernyataan ini maka Belanda tidak lagi
memberikan perhatian yang seksama terhadap kegiatan di Buleleng. Namun, diam-
diam Beliau dan Patih Djelantik telah menyusun kekuatan baru di Desa Jagaraga
dengan membuat strategi Supit Urang atau Capit Udang. Pada tanggal 7 Maret
1848, Belanda mendatangkan pasukan dari Batavia untuk menggempur benteng
Jagaraga melalui Pantai Sangsit dibawah pimpinan Mayor General Van Der Wijck
dan Overste Van Swieten. Dalam serangan yang pertama ini, prajurit Bealanda
banyak yang gugur karena tidak mengetahui siasat perang yang pernah digunakan
Gajah Mada pada masa kerajaan Majapakit ini. Ekspedisi kedua pada tanggal 15
April 1849 dibawah pimpinan General Michiels dan Overste De Brau, pasukan
Belanda kembali berlabuh di Pantai Sangsit dan langsung mengadakan serangan
kedua arah yaitu dari depan dan dari belakang arah perbentangan Supit Urang.
Akhirnya laskar Patih Djelantik terkepung dan mundur ke arah timur menuju
Karangasem dengan maksud mencari bantuan, namun akhirnya beliau terbunuh
dalam perjalanan. Sementara istri beliau, Jero Jempiring tetap gigih melakukan
perlawanan namun akhirnya gugur dalam peperangan”.
18. PERANG KUSAMBA (1849 M)
Rekontruksi Diorama: Laskar Kusamba Kerajaan Klungkung dibawah pimpinan I
Dewa Agung Putra Kusamba menyerang kubu pertahanan Belanda yang didekat
pesisir pantai Kusamba. Dalam penyerangan ini Jenderal Michiels terbunuh.
”Setelah taakluknya Buleleng, Kerajaan Klungkung telah memperkirakan akan
menjadi saasaran Belanda selanjutnya, Klungkung pada saat itu diperintah oleh I
Dewa Agung Putra Kusamba yang menggantikan ayahandanya karena sudah tua.
Istananya berkedudukan di Puri Kusamba, sementara Semarapura dikendalikan oleh
Dewa Agung Istri Kanya. Tanggal 18 Mei 1849, Belanda dibawah pimpinan Jenderal
Michiels mendarat di Teluk Padang (Padang Bai) dan membangun basis kekuatan.
Tanggal 24 Mei 1849 Belanda menyerang Puri Kusamba, di garis pertahanan
sepanjang Bukit Wates dan Goa Lawah terjadi pertempuran 790 prajurit Belanda
dengan persenjataan lengkap dan modern berhadapan dengan 3000 Laskar Kusamba
yang dipimpin Raja I Dewa Agung Putra Kusamba dan Anak Agung Made Sangging.
Karena kalah persenjataan, Laskar Kusumaba mundur sambil melakukan Politik
Bumi Hangus untuk menghilangkan jejak dari kepungan Belanda. Keesekon harinya,
pagi-pagi buta pasukan istimewa Kusamaba melakukan serangan mendadak dipimpin
Anak Agung Made Sangging dengan misi membunuh Jenderal Michiels. Dalam
situasi kacau tersebut ternyata Sang Jenderal rebah, paha kirinya remuk terkena
peluru, setelah amputasi akhirnya Jenderal Michiels meninggal dan serangan atas
Kerajaan Klungkung dibatalkan”.
19. PERLAWANAN RAKYAT BANJAR
Rekontruksi Diorama: Perang frontal antara laskar Banjar Kerajaan Buleleng dibawah
pimpinan Ida Made Rai melawan Belanda yang berakhir dengan kemenangan
Belanda.
”Selama 19 tahun Belanda berkuasa atas Kerajaan Buleleng dan selama masa itu
rakyat Bali mencoba melakukan tindakan perlawanan, diantaranya I Gusti Putu
Ngurah (1856), I N yoman Gempol (1858), I Gusti Ngurah Rai dan Anak Agung
Nyoman Karangasem dari Kerajaan Buleleng (1859). Mengetahui gerak-gerik mereka
dengan alasan mengganggu keamanan dan ketentraman, Belanda menangkap dan
mengasingkan mereka di pulau Sumatra. Diwilayah Banjar, perlawanan dipimpin
oleh Ida Made Rai yang menjadi Kepala Distrik sejak 1854 dibantu Ida Nyoman
Ngurah, Ida Made Tamu, I Made Guliang, I Kamasan, Ni Blegung, dan lain-lain.
Pada tanggal 16 September 1868, Belanda berlabuh di pantai Temukus untuk
menyerang Banjar, dengan pertahanan Parit Ranjau yang dibangun pihak Banjar,
pasukan Belanda dibawah Mayor Van Hemskerck berhasil dipukul mundur. Tanggal
27 November 1868, Perang Banjar berakhir. Satu persatu desa disekitar Banjar jatuh
ketangan Belanda. Rakyat Banjar disiksa secara kejam, mula-mula sisa pasukan
wanita Ni Blegung ditangkap, kemudian Ida Made Rai dan pengikutnya di desa Den
Kayu. Pada tanggal 2 Maret 1869, I Made Guliang tewas di desa Wongaya dalam
pelariannya ke arah Mengwi dan tabanan”.
20. PUPUTAN BADUNG
Rekontruksi Diorama: Rja Badung bersama semua keluarga dan rakyatnya dengan
pakaian serba putih bertekad untuk melawan Belanda sampai mati, tekad seperti ini
dikenal dengan istilah ”PUPUTAN”
”Pada tanggal 27 Mei 1904, kapal dagang Srikomala terdampar di pantai Sanur.
Menurut pemerintah Belanda, kapal tersebut membawa banyak barang berharga dan
dinyatakan hilang karena dicuri dan dirampok oleh penduduk disekitar Pdang Galak
Sanur. Padahal rakyat Sanur merasa telah memberi pertolongan dan menyerahkan
muatan dengan rapi kepada syahbandar. Namun, Controleur Liefrink dari Batavia
meminta tebusan atas barang yang dinyatakan hilang atau dirampok. Dengan alasan
ini terjadilah penyerangan terhadap kerajaan Badung. Pada tanggal 20 September
1906, pagi-pagi buta kota Denpasar dihujani temabakan meriam Belanda dari panatai
sanur. Raja Badung beserta seluruh keluarganya, abdi, dan prajurit bertekad
melakukan perlawanan sampai mati. Maka terjadilah peperangan sengit, saling tusuk,
dan saling tikam. Dengan bersenjatakan keris dan tombak serta berpakaian serba
putih, Laskar Badung menyerbu dan menerjang pasukan Belanda. Korban pun
bergelimpangan, darah mengalir, membeku, senjata perang berserakan termasuk jasad
Raja Badung.”
21. PERSIAPAN SAGUNG WAH MELAWAN BELANDA (1906)
Rekontruksi Diorama: Tampak Sagung Wah sedang membakar semangat dan
memberi perintah kepada laskar Tabanan didesa Wongaya Gede untuk menghadapi
serangan tentara Belanda.
”Setelah jatuhnya Kerajaan Badung ke tangan Belanda pada tanggal 20 September
1906, Belanda melanjutkan serangan ke Tabanan. Guna menghindari korban yang
lebih banyak, Raja Tabanan beserta pengikutnya memilih menyerah dan sebagian
diasingkan ke Lombok. Namun salah seorang saudara perempuan raja yang bernama
Sagung Wah melarikan diri ke desa Wongaya Gede di kaki gunung Btaukaru. Didesa
ini beliau menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda. Tanggal 28 November
1906, Sagung Wah memimpin rakyat Jatiluwih, Bongli, Tegayang, Sangketan,
Tegallinggah, Rejasa, dan Cangkup bergerak menyerang kedudukan Belanda di
Tabanan. Sagung Wah memimpin pasukan paling depan dengan berpakaian serba
putih sambil memegang keris pusaka Ki Gedebong Belus dan Ki Tinjak Lesung.
Kedua pihak yang bermusuhan ini bertenu di sebelah utara desa Pasekan. Belanda
yang memilki keunggulan persenjataan dan serdadu terlatih ditambah mata-mata
dimana-mana berhasil mengetahui dan memporakporandakan laskar Sagung Wah dan
menangkapanya dan kemudian di buang ke Pulau Lombok”.
22. PUPUTAN KLUNGKUNG (1908)
Rekontruksi Diorama: Perang antara Laskar Kerajaan Klungkung melawan serdadu
Belanda di depan Puri Klungkung/ Kertagosa hampir semua keluarga raja gugur
bersama pengingnya.
”Pupitan Klungkung diawali oleh peristiwa Perang Gelgel yang meletus pada tanggal
18 April 1908. pihak Gelgel mengalami kekalahan dengan korban, antara lain:
Cokorde Made Gelgel, Cokorde Pegig, dan Ida Bagus Jumpung. Melalui Residen
Lienfrick, pemerintah Belanda pernah mengajak Raja Klungkung untuk membuat
persetujuan, namun ditolaknya. Penolakan ini menyebabkan pada tanggal 21 April
1908 Belanda mengarahkan angkatan lautnya dari pantai Jumpai. Keesokan harinya
perang berkobar dengan sengitnya.serbuan Belanda dari arah barat dihadapi oleh
Laskar Banjarangkan yang dipimpin Cokorde Gede Oka. Raja Klunkung, I Dewa
Agung Jambe beserta keluarganya dan pimpinan masyarkat lainnya bertekad
melawan Belanda habis-habisan (PUPUTAN). Laskar Klungkung dipimpin saudara
raja, Dewa Agung Semara Bawa dan putra mahkota Dewa Agung Gede Agung
bersama Ibunda Dewa Agung Muter menyongsong pasukan Belanda di depan puri
hingga semua gugur”.

You might also like