You are on page 1of 38

Menuntut Negara:

Hak Azasi Manusia, Konflik dan Pendudukan Tanah


Hilma Safitri1

I. Menuju kepada Permasalahan:


Perebutan Hak atas Tanah dan Perjuangan Menegakan Hak Azasi Manusia

Hak atas tanah dalam konsepsi HAM harus diletakan dalam konteks hak seseorang untuk
memperoleh penghidupan yang layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan
tempat tinggal; maupun dalam konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk
melanjutkan kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya
baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan terhadap tanah,
maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi mutlak: semutlak hak azasi
manusia itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka atas tanah dalam luasan
yang memadai secara berkelanjutan akan membuat mereka mendapatkan penghidupan yang
layak secara berkelanjutan pula. Dalam hal ini Negara harus menjamin terjadinya
keberlanjutan hak mereka atas tanah (security of tenure) yang berarti memberikan jaminan
atas kesempatan bagi warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk
berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik sebagai warga
Negara maupun sebagai manusia.
Banyaknya kasus-kasus konflik agraria yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu
disusul dengan aksi-aksi penggusuran dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan kembali
(reclaiming actions) menunjukan bahwa Negara tidak menjalankan fungsinya untuk
memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup sekelompok orang yang kehidupan sosial,
ekonomi dan budayanya sangat bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut
juga mencerminkan adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara,
khususnya pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang sangat dibutuhkan
tersebut.
Dalam perspektif hak azasi manusia jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk
mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan secara tidak langsung
terkandung di dalam sejumlah dokumen tentang penegakan hak azasi seperti Universal
Declaration on Human Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social and
Culture Rights (ICESCR), International Covenant on Civil Politic Rights (ICCPR) dan
International Covenant on Indigenous People Rights (ICIPR).2 Beberapa klausul yang terkait
dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang
hak pangan dan gizi yang cukup, pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan,
hak untuk bekerja, hak atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya3 tercermin misalnya dalam
beberapa pasal dari dokumen-dokumen tersebut. Misalnya dalam Universal Declaration on
Human Rights (UDHR), khususnya pasal 25 (1), dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas
1
Saat ini menjadi salah satu peneliti bidang agraria di Yayasan AKATIGA – Bandung dan Agrarian
Resource Center (ARC) – Bandung.
2
Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006.
Undang-undang No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan Undang-undang
No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006.
Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati
dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut.
3
Hak-hak untuk melestarikan identitas kebudayaan kelompok minoritas.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 1


tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya,
termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-
usaha social yang diperlukan …..”.
International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) pasal 6
menyebutkan: “(1) Setiap Negara peserta kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan,
termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan yang
dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas dan akan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan guna menjamin hak ini; (2) Langkah-langkah yang diambil oleh suatu
Negara Peserta Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus
meliputi juga pembinaan teknis dan kejuruan serta program latihan, kebijakan dan berbagai
teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, social dan budaya yang mantap, dan
pekerjaan yang penuh dan produktif dengan persyaratan yang menjamin kebebasan politik
maupun ekonomi yang hakiki bagi individu”. Sementara pasal 9, 10 dan 11 menegaskan
tentang kewajiban Negara untuk mengakui, melindungi dan memberikan jaminan terhadap
penegakan hak-hak di atas. Dalam pasal 9 ICESCR disebutkan “[N]egara-negara Peserta
Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial”;
sementara pasal 10 (ayat 1) menyebutkan “[S]eharusnya diberikan perlindungan dan
bantuan seluas-luasnya kepada keluarga, sebagai satuan kelompok dasar yang alami dari
masyarakat khususnya untuk membentuknya dan selama ia bertanggung jawab untuk
perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih ditanggung…..” Sedangkan dalam pasal
11 (ayat 1) dari dokumen yang sama (ICESCR) dikatakan “[N]egara-negara peserta kovenan
ini mengakui hak setiap orang atas taraf kehidupan yang layak baginya dan keluarganya,
termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal dan perbaikan yang terus menerus dari
lingkungannya. …”.
Hak seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak mengenal diskriminasi.
Artinya setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang layak dan
memiliki hak yang sama untuk memperoleh jaminan atas penegakan haknya tersebut; apalagi
jika ia hidup di negara yang secara tegas telah menyatakan jaminan setiap orang dihadapan
umum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa ada perbedaan karena ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal usul kebangsaan atau status sosial (harta)
(ICCPR pasal 26). Demikian juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial dan berhak
atas atas pilihan-pilihan pribadinya untuk melakukan usaha seperti diuraikan dalam UDHR
pasal 22, sehingga hal ini telah memberikan jaminan bagi setiap manusia untuk
mengembangkan martabat pribadinya. Selanjutnya dalam pasal 23 UDHR ditegaskan bahwa
“setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas
syarat-syarat perburuhan yang adil dan baik atas perlindungan kepada pengangguran”.
Jaminan bagi keberlangsungan hidup setiap manusia juga tercantum dalam UDHR,
khususnya pasal 25 (1), yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup
yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal
makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang
diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia
atau mengalami kekurangan nafkah ketiadaan mata pencaharian yang lain dalam keadaan
di luar pengusaannya”.
Meskipun tidak ada satu klausul pun yang menyatakan secara langsung bahwa hak atas tanah
adalah hak yang mendasar dalam konsepsi hak asasi manusia, namun hak atas tanah bagi
kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah dalam rangka
mencapai penghidupan yang layak dapat dimaknai terliput/terkandung di dalam klausul-
klausul di atas (lihat juga Plant 1984: 189). Posisi Negara sebagaimana diatur di dalam

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 2


sejumlah kovenan tersebut adalah pihak yang harus menjamin terselenggaranya penegakan
hak-hak azasi seperti disebutkan di atas, termasuk dalam hal ini adalah memberikan jaminan
bagi penegakan hak-hak sekelompok warga negara yang hidupnya sangat bergantung kepada
tanah; bukan sebaliknya. Dengan demikian, kelalaian Negara untuk menyediakan jaminan-
jaminan bagi keberlangsungan hidup dan perbaikan kualitas kehidupan warganya sudah
merupakan bagian dari pelanggaran terhadap HAM; apalagi jika dengan ‘sengaja’ melanggar
hak, seperti hak atas tanah, yang secara nyata sudah dikuasai sebelumnya, maka jelas Negara
telah mengambil posisi berlawanan dengan kerangka penegakan hak azasi manusia.
Di sisi lain, konsepsi Hak Atas Tanah dalam konsepsi HAM sangat lekat dengan Hak Atas
Pangan (right to food), karena pada intinya pangan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari
hak-hak lainnya, karena terkait dengan pancapaian hak atas pangan itu yaitu untuk mencapai
penghidupan yang layak. Terkait dengan hak atas tanah, proporsi atas lahan serta aksesnya
untuk menjamin ketersediaan pangan menjadi indicator utama (Muhtaj 2008: 123).
Karenanya, permasalahan ketimpangan penguasaan dan akses atas tanah perlu menjadi
perhatian utama, karena akan berimplikasi langsung kepada terpenuhinya hak-hak mendasar
masyarakat. Demikian juga dengan yang sudah dihasilkan oleh International Conference on
Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) di Porto Alegre bulan Maret 2006,
bahwa kedaulatan pangan adalah hal yang sangat mendasar yang dibutuhkan dalam kebijakan
pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan guna mengurangi kemiskinan, melindungi
lingkungan, sekaligus bagian dari pembangunan ekonomi. Pilar pokok dari kedaulatan
pangan adalah penghormatan dan pemberdayaan rakyat hak atas pangan dan hak atas
pemilikan dan penguasaan tanah (Plant 1984: 189).
Dalam konteks memerangi kelaparan dan kemiskinan khususnya yang terjadi di Negara-
negara terbelakang maupun yang sedang berkembang, hal ini terkait dengan penilaian yang
sudah diletakkan oleh Sekjen PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002) yang telah
meletakkan perlunya agenda Reforma Agraria dalam melawan kelaparan dan kemiskinan
serta kunci hak atas pangan sebagaimana sudah tertuang dalam ICESCR pasal 11, hak atas
tanah dan perjuangan hak atas tanah menjadi sesuatu yang wajar (Gunawan 2009). Komisi
HAM PBB telah membentuk Special Rapporteur on The Rights to Food, dimana didalamnya
berisi bahwa akses terhadap tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi
kelaparan di dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa pilihan kebijakan Reforma Agraria atau
Land Reform harus memainkan peranan penting dalam suatu strategi Negara dalam hal
ketahanan pangan, dan akses terhadap tanah adalah hal mendasar untuk mewujudkan
ketahanan pangan tersebut (Gunawan 2009, Muhtaj 2008: 124-129).
Di Indonesia, perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya serta hak-hak sipil politik, sesungguhnya dapat ditemukan dalam sejumlah peraturan
perudangan-undangan yang ada. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (yang lebih dikenal dengan UUPA 1960) misalnya telah memuat sejumlah peraturan
yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi
kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah. UUPA juga mengatur
bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh
sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah
dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah.
Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan
tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang
sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Dengan

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 3


kata lain, UUPA 1960 sudah mencakup prinsip-prinsip pemenuhan hak-hak rakyat,
khususnya kaum tani, tersebut.
Walaupun UUPA 1960 telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum
tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan
fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan
sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca
1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul
dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan
proses peningkatan ‘ketuna-kismaan’ (landlessness).
Pada kenyataannya di banyak tempat seperti di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, banyak
tanah-tanah bekas hak erfpacht dalam bentuk perkebunan besar pada jaman kolonial Belanda
yang telah dikukuhkan kembali keberadaannya oleh pemerintah Indonesia4 dalam bentuk
HGU tidak diusahakan secara produktif oleh pemegang haknya. Sebagian atau bahkan ada
juga yang seluruh lahan tersebut kemudian hanya disewakan kepada penduduk setempat
untuk ditanami tanaman-tanaman pangan seperti yang terjadi di perkebunan PT Ambarawa
Maju dan PT Tratak yang kemudian berkembang menjadi kasus konflik pertanahan. Ketika
kesadaran para penyewa lahan perkebunan tersebut akan hak-hak mereka atas tanah yang
dijamin oleh undang-undang meningkat, mereka menuntut hak atas tanah yang selama ini
mereka garap yang tentu saja tidak dikehendaki oleh para pemegang HGU perkebunan
tersebut. Dalam hal ini proses menyewakan tanah perkebunan kepada penduduk setempat,
yang sesungguhnya merupakan praktek yang melanggar hukum, telah menjadi bom waktu
yang meledak di kemudian hari khususnya ketika gerakan-gerakan sosial yang membela hak-
hak rakyat dan menentang rejim Orde Baru mulai menguat sejak akhir tahun 90an dan
semakin berkembang ketika kekuasaan politik rejim itu mulai melemah sejak pertengahan
tahun 90an.
Konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Batang di satu sisi mencerminkan berlanjutnya
kebijakan yang lebih mengutamakan penguasaan tanah dalam skala besar oleh badan-badan
usaha komersial dan, di sisi lain, menunjukan semakin terbatasnya akses penduduk setempat
terhadap tanah untuk kepentingan keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosialnya.
Gambaran ketimpangan penguasaan tanah tersebut dapat tergambar sebagai berikut:
1) Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luas wilayah 78.895,00 ha5, terdapat 12 HGU
perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan, baik perusahaan swasta maupun badan
usaha milik negara, dengan total luas lahan yang dikuasai sebanyak 6.308,75 ha6 (atau
sama dengan sekitar 7,9% dari luas keseluruhan wilayah kabupaten tersebut).
2) Di Kabupaten Batang, berdasarkan data tahun 2006, terdapat wilayah yang dinyatakan
sebagai wilayah “kehutanan” seluas 18.194,70 ha7 (atau sama dengan 23,06% dari luas
kabupaten). Kawasan “hutan” ini merupakan kawasan yang dikuasai oleh Perum
4
Berdasarkan UUPA Pasal 55 (1) berbunyi “Hak-hak Asing menurut ketentuan Konversi pasal I, II, III,
IV dan V dijadikan hak guna usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama
sisa-sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun”. Hal ini berarti, dengan
ditetapkannya UUPA pada tahun 1960, maka paling lama hak-hak tersebut akan berakhir pada tahun
1980.
5
Sumber: Badan Pusat Statistik, „Jawa Tengah Dalam Angka 2007“, BPS Jawa Tengah dan
Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Tabel I.2.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah Tahun 2006 (ha)
6
Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang
Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN dan Dokumen “Inventarisasi
Masalah Pertanahan di Kabupaten Batang”, tt.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 4


Perhutani baik yang dijadikan Hutan Suaka Alam/Hutan Wisata, Hutan Lindung maupun
Hutan Produksi.
3) Dengan demikian terdapat sekitar 68% dari seluruh luas Kabupaten Batang yang
merupakan lahan-lahan yang dipergunakan untuk pertanian rakyat, hutan rakyat, sarana
umum, sarana transportasi, gedung-gedung pemerintahan dan perkantoran, kawasan
perkotaan, desa-desa, pemukiman dan perumahan serta sarana-sarana lainnya.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah Rumah Tangga Pertanian adalah sebanyak
91.141 rumah tangga8 atau sekitar 50.05% dari jumlah keseluruhan rumah tangga di
Kabupaten Batang. Sementara menurut hasil Sensus Pertanian 2003 rata-rata penguasaan
tanah oleh rumah tangga tani adalah 0.36 ha.9 Sedangkan berdasarkan data dari sensus
yang sama Gini Ratio kepemilikan lahan di Kabupaten ini adalah 0.486, yang berarti
tingkat ketimpangan penguasaan lahan mendekati ketimpangan yang cukup parah.10
Ketimpangan penguasaan tanah menjadi penyebab utama terjadinya aksi-aksi pendudukan
tanah di sejumpah tempat di Kabupaten Batang khususnya di areal-areal perkebunan besar.
Aksi-aksi pendudukan tanah perkebunan oleh petani ini pada saatnya mendapatkan
perlawanan dari pihak penguasa tanah (pemegang HGU) melalui sejumlah penggusuran,
Meskipun lahan-lahan yang telah digarap oleh penduduk setempat tersebut dalam waktu yang
sudah sejak lama merupakan lahan-lahan yang tidak digarap secara efektif/produktif oleh
pemegang HGU tersebut.
Penggusuran-penggusuran yang terjadi misalnya terjadi dalam bentuk sebagai berikut:
• Pada Kasus PT Perkebunan Pagilaran yang terletak di Desa Keteleng (Pagilaran), Bismo,
Bawang, Kalisari dan Gondang Kecamatan Blado pengusiran penduduk dari tempat
tinggalnya tanpa diberikan ganti rugi telah terjadi sejak masa Hindia Belanda ketika di
daerah itu hendak dibangun emplacement untuk buruh perkebunan. Penduduk setempat
dihadapkan pada pilihan untuk menjadi buruh perkebunan jika mereka hendak tetap
tinggal di wilayah tersebut atau jika tidak mau menjadi buruh perkebunan, mereka harus
meninggalkan kampungnya. Memasuki masa perang kemerdekaan dan pada masa
pendudukan Jepang di tahun 40-an, banyak perkebunan asing yang ditinggalkan oleh para
pemiliknya. Penduduk setempat menjadi leluasa untuk menguasai tanah-tanah yang dulu
mereka klaim sebagai miliknya. Tetapi ketika pengakuan kedaulatan Indonesia melalui
Konferensi Meja Bundar pada Desember 1948 dimana pemerintah Indonesia harus
mengakui kembali keberadaan perkebunan-perkebunan asing penggusuran kembali
terjadi karena para penggarap tanah tidak dapat membuktikan surat sewa tanah
pertaniannya yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Jepang.
• Penggusuran kembali terjadi pada tahun 1966, dimana penduduk setempat mengalami
pengusiran dari lahan garapannya dengan menggunakan stigma PKI. Di dalam surat

7
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1.
8
Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”,
BPS,Jakarta, Tabel 1.C.
9
Diolah dari Tabel 4.c. “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa
Tengah”, BPS – Jakarta.
10
Angka Gini Ratio penguasaan tanah merupakan indeks atas konsentrasi penguasaan tanah. Hasil
perhitungan gini ratio akan menghasilkan besaran antara 0 – 1. Semakin mendekati angka 1, maka
kesimpulannya struktur penguasaan tanah semakin timpang. Sebaliknya, jika angka gini memiliki
kecenderungan mendekati 0, maka penguasaan tanah relatif merata.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 5


instruksi pengosongan lahan tertera bahwa operasi yang sedang dijalankan adalah upaya
untuk melakukan pembersihan atau penutupan “tanah Gestok”.11
• Dalam kasus tanah HGU PT Tratak penggusuran terjadi pada tahun 1998 dengan cara
melakukan perjanjian dengan pihak lain (PT Sragi/Pabrik Gula) di atas tanah yang masih
dalam status sewa dengan petani penggarap setempat. Penggusuran semacam ini juga
terjadi pada kasus petani penggarap dengan PT Segayung. Perbedaannya pada kasus
Segayung penggusuran terjadi secara terbuka dimana pihak perusahaan mengerahkan
sejumlah alat berat untuk membersihkan tanaman palawija rakyat yang tidak lama lagi
siap panen, sama halnya dengan PT Tratak, pihak PT Segayung pun bermaksud
menyewakan tanah tersebut kepada salah satu pemilik pabrik tebu di daerah Batang-
Pekalongan.
• Dalam kasus lain yang terjadi di atas lahan HGU Kebun Sluwok milik PTPN IX
penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari12 diusir begitu
saja ketika pihak perusahaan tidak mau memperpanjang ‘kerja sama’ tersebut. Sejak
tahun 1989 penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari
secara formal dengan dikeluarkannya surat perjanjian antara penduduk setempat dan
Sinder Afdeling PTPN IX. Perjanjian terus diperbarui dalam jangka waktu tertentu dan
yang terakhir adalah tahun 2002 (perjanjian sebelumnya dikeluarkan tahun 1989, 1995,
dan 1998). Pada saat perjanjian tahun 2002 itu berakhir pada tahun 2005, pihak PTPN IX
tidak bermaksud memperpanjang perjanjian dan penduduk yang menggarap lahan
tersebut diperintahkan untuk keluar dari lahan garapannya. Alasan pihak PTPN IX untuk
tidak memperpanjang kerjsama tumpangsari ini dikarenakan tanaman utama perkebunan,
yakni Kapuk Randu, sudah siap ditebang. Rakyat penggarap tidak mempunyai pilihan
selain tergusur karena dengan skema kerjasama tumpangsari sesungguhnya mereka tidak
memiliki kekuatan untuk bertahan di atas tanah garapan tersebut.
Ketika gerakan pembelaan terhadap hak-hak petani atas tanah berkembang marak di
Indonesia sejak pertengahan tahun 1980an, gelombang protes terhadap penggusuran-
penggusuran yang disusul dengan aksi-aksi pendudukan tanah juga terjadi di Batang. Pada
masa pasca reformasi 1998 aksi-aksi untuk mempertahankan dan merebut hak atas tanah
tersebut semakin berkembang dan membesar. Di satu sisi, aksi-aksi ini menegaskan kembali
bahwa petani setempat, khususnya di daerah yang struktur penguasaan tanahnya timpang,
sedang memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara seperti yang ditentukan oleh
ketentuan perundang-undangan. Di sisi lain, dalam perkembangannya kemudian, seperti akan
diuraikan pada bab-bab selanjutnya, terlihat nyata bahwa gerakan-gerakan pendudukan tanah
11
Istilah ini dipergunakan dan tertera didalam Surat Instrukti tertanggal 11 April 1966 yang
ditandatangani oleh PN Pagilaran UGM, Bag. Pagilaran, judul surat tersebut adalah “Penutupan
Tanah-tanah Gestok”. Tanah-tanah Gestok adalah tanah-tanah yang diindikasikan terkait dengan
Gerakan Satu oktober (Gestok) dan wilayah Pagilaran termasuk salah satunya. (Wawancara dengan
salah seorang warga Desa Keteleng bulan Februari 2008)
12
Sejak tahun 1989, penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX Kebun SLuwok dengan skema
Tumpangsari. Perjanjiannya dilakukan antara penduduk setempat dengan Sinder Afdeling PTPN IX
yang juga ditandatangani oleh Kepala Desa Kuripan. Perjanjian tersebut, berisi sejumlah ketentuan
sebagai berikut: (1) penduduk setempat diijinkan untuk menggarap masing-masing 0,20 hektar; (2)
tanaman yang diperbolehkan adalah tanaman musiman; (3) tidak diperkenankan memperluas areal
tumpangsari tanpa ijin; (4) diwajibkan melakukan penjagaan terhadap areal PTPN IX Kebun SLuwok
dengan menjaga dari kemungkinan terjadinya kebakaran; (5) tidak diperkenankan menabang dan
mengambil hasil karet; (6) jika pihak perkebunan memerlukan lahan tersebut, maka petani harus
menyerahkannya dengan tanpa menuntut ganti rugi; dan (7) pembagian hasil dari perjanjian ini
adalah 1/5 untuk perusahaan dan 4/5 untuk petani. (Berdasarkan Surat Perjanjian No.
054/KMR/TS/2002).

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 6


atau gerakan-gerakan untuk mempertahankan tanah yang diklaim dan dikuasai sejak lama
oleh penduduk setempat semakin menjurus kepada upaya-upaya mereka untuk memperoleh
kepastian hukum atas penguasaan tanah sebagai Hak Milik ketimbang sekedar
memperjuangkan tanah untuk basis penghidupannya. Hal yang terakhir ini tentu saja
memiliki implikasi lain karena ketika tanah-tanah yang dikusai oleh seseorang berstatus Hak
Milik maka yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk memperlakukannya sesuai dengan
kepentingannya melampaui dari sekedar kepentingan untuk mendukung keberlanjutan
kehidupan sosial-ekonominya sebagai petani.

II. Hak atas Tanah Dalam Perspektif Hukum Indonesia

Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan


manusia, karena tanah adalah asal sumber makanan. Soal
tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap
manusia (Tauchid 1952: 6)

Di Indonesia, hak atas tanah bagi warga negara dan khususnya bagi kaum tani yang hidupnya
sangat bergantung kepada tanah telah diatur dengan sangat baik melalui UUPA 1960. Dalam
konteks penegakan HAM seperti diuraikan di atas, kita dapat mengatakan bahwa dengan
adanya UUPA 1960 sesungguhnya Indonesia telah cukup maju untuk memberikan ketentuan
hukum formal mengenai jaminan hak atas tanah bagi warga negara yang membutuhkannya.
UUPA 1960, meskipun tidak disusun dengan mengacu secara khusus kepada sejumlah
ketentuan hak azasi manusia seperti yang tertuang di dalam sejumlah instrumen internasional
penegakan HAM, mengandung sejumlah penekanan yang penting bagi perwujudan keadilan
agraria dalam rangka menegakan keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Ketika UUPA dirumuskan sejak tahun 1948 hingga mulai diberlakukan pada tahun 1960
konsepsi domein verklaring yang menjadi dasar dari hukum agraria kolonial dihapuskan.
UUPA becita-cita menasionalkan peraturan-peraturan tentang agraria dan hak-hak atas tanah
agar lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia yang telah merdeka. Dengan semangat untuk
mengembalikan seluruh kedaulatan tanah air Indonesia kepada bangsa Indonesia maka para
perumus UUPA 1960 menggunakan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) yang bersumber
dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sebagai pengganti dari konsepsi domein verklaring. Menurut
Harsono perbedaan penting antara konsepsi domenin verklaring dengan HMN adalah target
atau tujuan pengaturannya, dimana ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam konsep domein
verklaring adalah semata-mata untuk kepentingan pengusaha besar, sedangkan konsep HMN
tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia seperti yang sudah tertuang di
dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (Harsono 1996: 36).
Dalam UUPA 1960 (pasal 2:2) HMN menegaskan bahwa Negara mempunyai kewenangan
untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut; (2) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa; (3) mengatur dan menentukan
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa. Konsepsi HMN, didalam konteks politik pengaturan sumber-sumber
agrarian pada saat itu, kemudian menjadi dasar penting dari dua konsepsi penting lainnya
dalam hukum agrarian di Indonesia hingga saat ini, yakni konsep Tanah Negara dan Hutan

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 7


Negara. Kedua konsepsi tersebut di dalam hukum agraria Indonesia, telah merefleksikan
dominasi Negara dalam hal penguasaan tanah.
Asal muasal konsepsi Tanah Negara dan Hutan Negara serta prakteknya dapat ditelusuri
sejak era kolonial ketika pada masa itu diterapkan konsep Landsdomein (tanah-tanah adalah
milik Negara atau Raja) untuk mengontrol tanah di Hindia Belanda.13 Pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles (1808-1811) konsep Landsdomein (tanah Negara)
diterapkan di Jawa untuk mengontrol produksi kayu jati dari kawasan hutan di pulau ini.14
Penerapan konsep ini diperkuat kembali pada masa pemerintahan Gubernur Letnan Inggris di
Jawa, Raffles (1811-1816), yang menjalankan prinsip yang sama untuk tujuan pengumpulan
pajak tanah (landrente).15 Gubernur Jenderal Belanda lainnya yakni Van den Bosch juga
memperkukuh penerapan konsep landsdomein untuk menjalankan cultuurstelsel (1830-
1870)16 sebelum peraturan kolonial Belanda yang berorientasi Liberal memodifikasinya
menjadi prinsip domein verklaring melalui pembentukan Agrarisch Wet (Hukum Tanah)
1870 yang bertujuan untuk mengijinkan investor asing untuk menyewa tanah, baik tanah
Negara maupun tanah penduduk setempat untuk kepentingan pembangunan industri
perkebunan di Hindia Belanda.17 Prinsip domein verklaring juga menjadi dasar baru dalam
pembentukan Undang-undang Eksploitasi Hutan tahun 1865 (Staatsblad No. 96)18 yang berisi
tentang perluasan kawasan Hutan Negara di pulau Jawa dan Madura.19
Dari sejarah kemunculannya Agrarische Wet 1870 sesungguhnya merupakan perwujudan dari
gelombang revolusi liberalisme yang melanda Eropa sejak pertengahan abad ke-18 dan
menerpa tanah-tanah jajahan dalam bentuk lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang
memberikan fasilitas kepada usaha-usaha swasta untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan
manusia di tanah-tanah jajahan (Wiradi 2000: 125-126). Dalam konsepsi domein verklaring
ditegaskan bahwa “semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak
eigendomnya, adalah domein (milik) Negara atau Landsdomein” (Soetiknjo 1987: 34-37,
Gautama 1993: 55, Harsono 1996: 41-43, Wiradi 2000: 128).20 Konsepsi landsdomein ini lah
yang kemudian dijadikan dasar untuk mengukuhkan konsep “Tanah Negara” dan “Hutan
Negara” pada era pasca kemerdekaan.
Konsepsi “Tanah Negara” yang diberlakukan di wilayah-wilayah non hutan dan diatur dalam
PP No. 8/1953 tentang Tanah Negara yang menyatakan bahwa ‘Tanah Negara adalah tanah

13
Pada saat itu kebijakan ini dibuat untuk tujuan menambah pemasukan melalui pajak tanah atau
menambah peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan pasar Eropa yang cukup tinggi atas
hasil-hasil pertanian dan hutan
14
Lihat Boomgaard, 1988: 73-75; Peluso 1990 and 1992; Bachriadi and Lucas 2002
15
Lihat Wiradi 1986: 11-12 and 2000: 121-123; Boomgaard 1989: 5-7
16
Lihat Van Niel 2003 and 1992: 5-28; Boomgaard 1989: 7-9; Wiradi 2000: 124
17
Lihat Tauchid 1953, Wiradi 1986: 15-17 and 2000: 127-132, Kartodirdjo and Suryo 1991, Harsono
1999: 35-37.
18
Staatsblad 1865-96: Reglement voor het beheer en de exploitative der houtbosschen van de Lande
op Java en Madura.
19
Lihat Peluso 1990: 34 and 1992: 53; Bachriadi and Lucas 2002: 82
20
Menurut Harsono (1995:37) Konsep ini adalah konsepsi yang terdapat dalam pasal 1 Agrarisch
Besluit. Konsepsi ini adalah konsep yang secara khusus diberlakukan di pulau Jawa dan Madura,
sementara untuk aturan yang berlaku di luar pulau Jawa tercantum di dalam ketentuan perundang-
undangan yang lain. Pernyataan Domein yang ada didalam Domeinverklaring juga kemudian
diberlakukan di wilayah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura dengan suatu ordonansi
yang diundangkan dalam S.1875-119a. Selain Agrarisch Besluit juga dijumpai pernyataan-pernyataan
serupa untuk daerah-daerahtertentu, yaitu yang dicantumkan dalam pasal 1 peraturan-peraturan
tentang Hak Erpacht, yaitu yang diundangkan dalam S.1874-94f, S.1877-55 dan S.1888-55.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 8


yang keseluruhannya dipegang dan dikuasai oleh negara’ (pasal 1).21 Di dalam peraturan
pemerintah ini intinya yang dimaksud dengan Tanah Negara adalah tanah-tanah yang
merujuk pada semua tanah di luar kawasan Hutan Negara yang tidak dimiliki oleh siapapun
dan/atau tanah-tanah yang tidak ada kekuatan hukumnya termasuk yang tanah-tanah
diperoleh berdasarkan/melalui hukum adat. Di atas Tanah Negara, yang dalam hal ini adalah
tanah-tanah non kehutanan, sejumlah hak baru dapat diterbitkan oleh pemerintah termasuk
HGU (Hak Guna Usaha) yang menjadi jenis hak atas tanah untuk membangun perkebunan
besar. Pada kenyataannya, berdasarkan peraturan tanah di Indonesia, Tanah Negara juga
menjadi objek land reform.
Sedangkan konsepsi “Hutan Negara” diberlakukan pada kawasan-kawasan yang secara
arbitrer ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara berdasarkan Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK).22 Menurut UU Kehutanan yang dimaksud dengan Hutan Negara
adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (UU No. 41/1999
Pasal 1 ).23
Dalam konteks menegakan prinsip nasionalitas peraturan agraria, UUPA 1960 juga
berkehendak mengganti sejumlah hak-hak atas tanah berdasarkan konsepsi hukum adat yang
telah berkembang pada masyarakat dengan cara mengkonversinya menjadi bentuk hak-hak
baru. Misalnya konsepsi penguasaan tanah dengan hak agrarisch eigendom, yasan,
andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand sultan, landerinjbezitrech,
altijddurende erpacht, hak usaha atas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun
serta hak gogolan dan pekulen akan diubah menjadi hak milik sesuai dengan ketentuan di
dalam UUPA 1960. Hak eigendom berdasarkan fungsinya akan dikonversi menjadi hak
milik, hak pakai dan hak guna bangunan; sementara hak postal dan hak erpacht berdasarkan
fungsinya dikonversi menjadi hak guna bangunan dan hak guna usaha (UUPA Bagian II
Ketentuan-ketentuan Konversi). Hak gogolan dan pekulen atau sanggan yang selama ini
berkembang dalam masyarakat Jawa melalui prosedur tertentu harus/akan dikonversi menjadi
Hak Milik.24
Di dalam UUPA 1960, diatur tentang bagaimana hak atas tanah di Indonesia diberlakukan,
termasuk hak atas tanah untuk setiap warga Negara Indonesia, dimana tanah ditujukan untuk
memberikan jaminan keberlangsungan hidup warganya. Dalam beberapa pasal UUPA 1960
seperti yang disebutkan di bawah sudah terkandung pernyataan-pernyataan hukum yang
terkait dengan isu penegakan HAM. Misalnya:
“Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat

21
Liat kajian Harsono (1996: 881 dan 1999: 270) yang memperlihatkan semua terminology dan
definisi yang ada didalam peraturan tersebut masih merujuk (berdasarkan) pada prinsip-prinsip
domeinverklaring. Jelas bahwa PP ini merujuk kepada Agrarisch Besluit yang terurai dalam bagian
penjelasan umum (no. 1)berisi “berdasarkan prinsip Domeinverklaring, yang dinyatakan dalam
Agrarisch Besluit pasal 1, semua tanah yang tidak dihak-I oleh seseorang … Semua tanah-tanah
tersebut didalam peraturan ini disebut sebagai Tanah Negara.”
22
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah kebijakan penetapan kawasan Hutan Negara dalam
satu wilayah administratif tertentu yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah
daerah dan pemegang otoritas kehutanan setempat.
23
Pada tahun 2004, Undang-undang Kehutanan ini diperbarui menjadi UU No…19/2004 yang
merupakan peraturan yang menetapkan berlakunya Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang yang diterbitkan sebelumnya.
24
Berdasarkan UUPA Bagian Kedua tentang Ketentuan-ketentuan Konversi pasal VII.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 9


manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” [UUPA 5/1960,
9:2]
“… dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga negara yang
lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya… yang
bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain
yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan
dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.” [Penjelasan UUPA 1960
Bagian II:6]
Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang
boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau
badan hukum. [UUPA5/60, 17:1]
Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat
(2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah. [UUPA5/60, 17:3]
… perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh
orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri
sendiri dan keluarganya [Penjelasan UUPA Bagian II (7)]
Hal terpenting dalam pengaturan soal hak atas tanah ini adalah UUPA 1960 mensyaratkan
peran Negara yang besar untuk mengatur soal penguasaan tanah dan pemberian hak atas
tanah untuk keadilan dan kesejahteraan sosial melalui konsepsi Hak Menguasai Negara
(HMN). Bukan sebaliknya, dominasi negara melalui penerapan konsepsi HMN berarti
Negara memiliki seluruh sumber-sumber agraria yang ada di Indonesia, atau menjadi
sewenang-wenang untuk memberikan hak atas tanah dengan mengabaikan prinsip-prinsip
keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian sesungguhnya jika dijalankan dengan
baik dan konsisten UUPA 1960 sejalan dengan apa yang menjadi prinsip ICESCR, yakni
dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya setiap warga
negara maka Negara harus memegang peranan yang besar.
Di dalam UUPA 1960 jelas terkandung peraturan yang merujuk pada keadilan dalam
penguasaan tanah dengan prioritas utamanya adalah petani, khususnya petani penggarap dan
keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa UUPA hendak
mengatur struktur penguasaan tanah untuk kepentingan semua pihak dan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan hidup petani sebagai tulang punggung perekonomian desa dan
pembangunan nasional. Meskipun demikian, UUPA 1960 juga mengatur soal pembatasan
penguasaan (: bukan hanya pemilikan) tanah oleh tiap-tiap keluarga tani.25 Jadi UUPA
menentukan bahwa setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki dan perempuan memiliki
hak yang sama atas sumber-sumber agraria dan luas penguasaanya diatur dalam aturan
tentang batas luas minimum dan maksimum bagi setiap rumah tangga.26 Untuk menegaskan

25
UUPA mengatur pembatasan maksimal penguasaan tanah oleh setiap keluarga tani, yaitu Dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat
(3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut
dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum., berdasarkan UUPA 1960, pasal 17 ayat 1
26
Lihat UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, UU No. 38 Prp Tahun
1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman Tertentu, dan Keputusan
Menteri Agraria No. SK 922/Ka tanggal 28 November 1960 tentang Penetapan Minimum Luas Tanah
Yang Harus Ditanami Tebu.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 10


pentingnya petani menguasai tanah yang cukup untuk peningkatan produktivitas mereka,
bahkan UUPA mengatur soal perlunya diupayakan tiap rumah tangga tani menguasai tanah
pertanian minimal seluas 2 hektar. Untuk itu, seperti ditegaskan dalam undang-undang ini,
Negara berkewajiban mengusahakannya secara bertahap.27
Selain itu UUPA 1960 juga mengatur soal larangan monopoli dalam aktivitas-aktivitas yang
berkaitan dengan agraria oleh badan-badan usaha swasta.28 Pengaturan-pengaturan ini dapat
dimaknai sebagai adanya larangan penguasaan tanah dalam jumlah besar yang menjurus
kepada monopoli atau konsentrasi penguasaan tanah baik oleh badan usaha maupun oleh
perorangan.
Upaya-upaya untuk menata ulang struktur penguasaan tanah dengan jalan membatasi dan
melakukan redistribusi penguasaan tanah-tanah yang berlebihan serta redistribusi terhadap
Tanah-tanah Negara dan memberikan prioritas kepada penguatan ekonomi rakyat di pedesaan
ini lah yang dikenal dengan prinsip land reform29 di dalam UUPA 1960. Dalam hal ini land
reform menurut UUPA 1960 adalah satu jalan untuk mengukuhkan penguasaan tanah secara
individual yang terkontrol melalui redistribusi. Dalam prakteknya program land reform yang
sesuai dengan amanah UUPA 1960 hanya sempat dijalankan selama kurun waktu 4 tahun,
sejak 1961 hingga 1965, sebelum terhenti akibat gonjang-gonjing perebutan kekuasaan yang
mengakhiri pemerintahan Soekarno dan menjadi awal berkuasanya rejim yang menyebut
dirinya sebagai Orde Baru (Wiradi 2000: 136, Hutagalung 1985, Utrecht 1969, Lucas and
Bachriadi 2009).
Selain mengandung banyak pasal yang memperkuat hak rakyat, khususnya hak kaum tani,
atas tanah, menurut banyak ahli UUPA 1960 memiliki sejumlah kelemahan di dalam
rumusan-rumusannya khususnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat terhadap
tanah (lihat misalnya Ruwiastuti 1998 dan McAuslan 1986: 30). Di dalam UUPA tidak
dijelaskan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan “Masyarakat Hukum Adat”
(Ruwiastuti 1998: 130, McAuslan 1986: 31) akibatnya juga menjadi tidak jelas rumusan
“tanah adat” di dalam undang-undang ini yang dikemudian hari menjadi salah satu sumber
dari konflik akibat proses “negara-isasi” tanah-tanah adat. UUPA 1960 memang menegaskan
bahwa tanah-tanah adat (yang bersumber dari hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat) diakui selama sepanjang menurut kenyataannya. masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3).
Sayangnya sejumlah pengaturan dalam UUPA 1960 yang dirumuskan dengan proses panjang
sejak 1948 hingga 1960 tidak diterapkan secara konsisten oleh rejim penguasa yang berganti
sejak tahun 1965.30 Seiring dengan berkuasanya rejim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden
Soeharto UUPA 1960 tidak dengan tegas dihapuskan atau diganti dengan peraturan
perudang-undangan yang lain, melainkan hanya di ‘bekukan’ atau keberadaannya tidak
dijalankan sebagaimana mestinya (Wiradi 2000: 137, Tjondronegoro 2007). Kemudian
pemerintahan Orde Baru lebih memilih menciptakan kebijakan-kebijakan dan peraturan

27
Lihat UUPA Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II nomor (8).
28
Sayangnya UUPA 1960 tidak mengatur soal pembatasan penguasaan tanah oleh badan-badan
usaha ini secara lebih tegas.
29
Lihat UUPA 1960 Pasal 10 ayat (1) dan (2) dan Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II
nomor (7).
30
Mengenai proses perdebatan dan penyusunan UUPA lihat misalnya Soetiknjo 1987.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 11


perundangan-undangan baru yang sifatnya sektoral dan cenderung hanya untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan pengusaha untuk mengekstraksi sumber daya alam di Indonesia
(Bachriadi 2001; Bachriadi, Safitri, Bachrioktora 2004; Bachriadi dan Fauzi 2006).
Pada perkembangannya, walaupun UUPA 1960 masih berlaku dan dianggap relatif sangat
baik sebagai sebuah produk undang-undang, di Indonesia jumlah konflik dan pelanggaran
HAM banyak terjadi. Konflik-konflik tersebut, di berbagai kasus-kasus pertanahan yang ada,
lebih banyak disebabkan oleh diabaikannya sejumlah ketentuan di dalam UUPA 1960 oleh
rejim yang berkuasa baik melalui pelanggaran-pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan yang
secara langsung maupun pelanggaran yang dilakukan dengan cara menciptakan peraturan
perundangan-undangan lainnya yang bertentangan dengan amanat UUPA 1960 (lihat
misalnya Wiradi 2000: 140; Bachriadi dan Lucas 2001; dan Bachriadi, Bachrioktora dan
Safitri 2005).
Prinsip Land Reform dalam rangka mencapai tujuan pemenuhan jaminan kebutuhan
ekonomi, sosial dan budaya seluruh warga melalui pemerataan penguasaan tanah yang
terkandung dalam UUPA 1960 tidak lagi dijalankan secara sistematik dan sesuai ketentuan
setelah tahun 1965. Land reform yang merupakan alat/program yang efektif untuk
memberikan jaminan untuk penguasaan dan pemilikan tanah oleh kaum tani yang miskin
(petani pengarap dan tak bertanah) bagi peningkatan kualitas kehidupannya tidak pernah lagi
dijalankan secara sistematik sejak terhenti pada tahun 1966 (lihat misalnya Hutagalung 1985,
Lucas and Bachriadi 2009). Selain itu, politik agraria yang dikembangkan rejim Orde Baru
hingga kini tidak lagi menempatkan tanah sebagai dasar pembangunan, melainkan hanya
menempatkan aspek pengaturan hak atas tanah sebagai suatu pekerjaan administratif rutin
semata (Wiradi 2000: 143). Aspek peningkatan produksi dijadikan orientasi utama dan
mengabaikan soal keadilan di dalam struktur-struktur usaha produksi tersebut. Peningkatan
produksi pangan kemudian disandarkan kepada program Revolusi Hijau yang dijalankan
dengan mengabaikan kecenderungan-kecenderungan negatif yang ditimbulkannya khususnya
dalam soal penguasaan tanah (lihat misalnya Franke 1972, Manning 1988, Husken 1998: 37-
38, dan Wiradi 2000: 141-148).
Peningkatan produksi juga dilakukan melalui dikembangkannya usaha perkebunan, dengan
cara merevitalisasi perkebunan-perkebunan besar peninggalan kolonial Belanda, yang
kemudian disusul dengan penerbitan sejumlah HGU baru untuk perusahaan perkebunan
swasta. Banyak perusahaan perkebunan swasta berkehendak mengambil alih pengelolaan
sejumlah perkebunan besar peninggalan Belanda yang sudah tidak beroperasi yang dalam
banyak kasus tanah-tanah eks-perkebunan tersebut sesungguhnya sudah digarap secara
produktif oleh masyarakat setempat (lihat misalnya Bachriadi 1997 dan 2002; dan Bachriadi
dan Lucas 2001). Akibatnya tidak sedikit kasus-kasus dimana sekelompok petani penggarap
harus meninggalkan lahan pertaniannya dengan ganti rugi yang tidak memadai atau bahkan
tanpa kompensasi apa pun hanya untuk alasan pembangunan perkebunan.
Begitu pula di wilayah-wilayah yang diklaim sebagai kawasan “hutan negara”,- penduduk
setempat harus “mengalah’ karena lahan garapan atau kawasan tempat tinggalnya sudah
diberikan persetujuan hak kuasanya kepada perusahaan tertentu untuk dikelola sebagai bagian
dari pembangunan industri kehutanan maupun pertambangan (lihat misalnya Djuweng 1996
dan Bachriadi 1998). Ketika seluruh perencanaan ini dibuat dan terdapat kajian yang telah
memperhitungkan dampak yang akan timbul, termasuk dampak harus memindahkan
sekelompok rakyat dari wilayah tertentu untuk proses pembangunan, maka ‘proyek-proyek
pembangunan’ tersebut akan dinilai positif. Tetapi, seringkali dan umumnya, proses ini
dilakukan secara sepihak dan dampak yang terbesar adalah tergusurnya rakyat dari lahan
pertaniannya. Jika ada skema ganti rugi di dalam proses alih kuasa atas lahan-lahan tersebut,

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 12


biasanya ganti rugi yang diberikan tidak setara dengan nilai ekonomis dari tanah dan potensi
yang dikandungnya yang dapat menyokong kehidupan kelompok masyarakat yang tergusur,
tidak hanya pada saat sebelum penggusuran terjadi, tetapi juga bagi masa depan mereka.
Penggusuran dan alih kuasa atas lahan untuk beragam ‘proyek pembangunan’ yang
sesungguhnya kebanyakan adalah proyek-proyek komersial, lebih banyak mengorbankan
kehidupan dan masa depan kelompok yang tergusur.

III. Tanah Perkebunan dan Perhutani versus Tanah Pertanian Rakyat di


Batang
Batang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah
terletak di jalur pantura 84 km sebelah barat kota Semarang.
Terletak antara 6º 51' 46" dan 7º 11' 47" Lintang Selatan dan
antara 109º 40' 19" dan 110º 03' 06" Bujur Timur. Merupakan salah
satu kabupaten propinsi Jawa Tengah dikukuhkan dengan
berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1965 dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 20 Tahun 1965.
Tepatnya tanggal 8 April 1966, Kab. Batang resmi menjadi
Kabupaten Daerah Tingkat II Batang.31
Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luasan wilayah 78.895 Ha32, terdapat 12 HGU
perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan yang menguasai 6.308,75 ha33. Artinya, sekitar
7.99% wilayah Kabupaten Batang merupakan wilayah yang dikuasai oleh perkebunan besar
swasta dan Negara. Berdasarkan data yang ada didalam buku “Daftar Perkebunan-
perkebunan Asing” yang disusun oleh Ismet (1970), jumlah perkebunan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perkebunan yang
ada pada saat ini yaitu sejumlah 8 perkebunan; 4 diantaranya masih beroperasi dengan nama
dan pemilik yang tentu saja sudah berbeda, yakni perkebunan Pagilaran, Tratak, Simbangjati
dan Kebun Sluwok (milik PTPN IX).

31
Mengenai sejarah pembentukan Kabupaten Batang lihat “Sejarah Pembentukan Kab. Batang”, di
http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm
32
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1. Luas Penggunaan Lahan dan Luas Kawasan
Hutan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006..
33
Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang
Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN dan Dokumen “Inventarisasi
Masalah Pertanahan di Kabupaten Batang”, tt.
Sementara menurut data tahun 2006, luas perkebunan Negara di Kabupaten Batang adalah 7.910
ha, yaitu 10,03% dari keseluruhan luas Kabupaten Batang. Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka
Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah,
Tabel 1.2.4. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun
2006. Sumber lain menyatakan bahwa perkebunan besar di kabupaten Batang seluruhnya berjumlah
19 perkebunan, jumlah ini didasarkan pada jenis tanaman yang dihasilkan setiap tahunnya. Dari 19
perkebunan besar yang tercatat tersebut disebutkan bahwa total luas lahan yang dipergunakan
adalah 5.930,82 ha. Hal ini menunjukkan terdapat selisih luas lahan dari jumlah yang diperuntukkan
untuk perkebunan yaitu lahan perkebunan yang dikeluarkan sertifikat HGU-nya oleh Badan
Pertanahan Nasional hingga tahun 2006 dengan pemanfaatannya untuk menghasilkan komoditi
perkebunan yang tercatat di Dinas Pertanian. Lihat situs resmi Pemerintah Propinsi Jawa
Tengah: .http/www.jawatengah.go.id/

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 13


Tabel 3.1.
Daftar Perkebunan Besar di Batang
No. Perkebunan Besar Sejak Jaman Kolonial* Perkebunan Besar Pemegang HGU**
Onderneming Pemilik/ex Pemilik Tanaman Nama
No. HGU Peruntukan Tanaman
Perusahaan
1. Pagilaran NV Mij ter Expl. Der Teh PT Pagilaran 15/HGU/DA/1983 Teh
Lokasi: Blado-Batang Pamanukan en Tjiasem- 14/HGU/DA/1977 Kakao dan Kelapa
landen Subang
2. Tratak I sd. V dan Tjipoko NV Cult. Mij Tratak, Kopi, Kapok, PT 61/HGU/DA/88 Kopi dan Cengkeh
Lokasi: Bandar - Batang Pekalongan Vanili Perkebunan
Tratak
3. Sawangan (Siluwuk) Cult. Mij. “Siluwuk Karet, Kopi, PTPN IX 53/HGU/DA/80 Karet dan Kakao
Lokasi: Batang Sawangan” Semarang Coklat 59/HGU/DA/1976 Kopi dan Teh
60/HGU/DA/1980 Karet, Kopi dan Peternakan
4. Simbang Djati NV. Handel Mailian Hiong/ NV. Kopi Didistribusikan kepada 800 KK pada tahun 2002
Lokasi: SUbah – Batang Handel Mij Sing Bie Demak (PT
Ambarawa Maju)
5. Semugih NV. Cult. Mij. “Semugih” Teh Kopi
Lokasi: Randu Dongkal – Demak
Batang
6. Sidomukti NV. Landb. Mij “Tombo- Kopi
Lokasi: Bandar - Batang Wonodadi” Rijswijk den
Haag
7. Kedongdong (Si Pendem) NV. Pekalongansche Cult. Kopi, Coklat,
Lokasi: Subah - Batang Mij. Totterdam Kapok
8. Subah Negara Republik Indonesia Karet
Lokasi: Subah - Batang
9. PT Segayung 49/HGU/DA/86 Randu dan Kelapa
10. PT Aneka 08/HGU/DA/1990 Randu dan Kopi
Usaha
11. PT Estu Subur 06/HGU/DA/1978 Kakao dan Kelapa
12. PT Puspita 21/HGU/DA/1985 Cengkeh, Kopi dan Melinjo
Nicky
13. PT Rehobat 116/HGU/DA/1997 Karet, Kopi dan Peternakan
*Sumber: Ismet (1970), 156-157
**Sumber: Daftar HGU Seluruh Indonesia, tanggal 1 Juni 2006, BPN-Jakarta

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 14


Selain wilayah yang menjadi areal perkebunan-perkebunan besar, wilayah yang dinyatakan
sebagai areal kehutanan mengambil porsi cukup luas di Kabupaten Batang. Pada tahun 2006
terdapat wilayah Hutan Negara seluas 13.299 ha34; artinya sekitar 16,86% dari seluruh luas
Kabupaten Batang.
Di luar wilayah-wilayah perkebunan dan hutan adalah areal yang dipergunakan untuk lahan
sawah, bangunan/pekarangan, tegal/kebun, hutan rakyat dan lahan untuk penggunaan lain-
lain yang jumlah keseluruhannya adalah 73.13% dari keseluruhan luas Kabupaten Batang.
Dengan memperhatikan proporsi luas lahan dan jumlah orang yang mengusahakannya serta
yang mendapatkan manfaat dari lahan tersebut, maka dapat dikatakan proporsi lahan yang
dipergunakan untuk perkebunan besar dan wilayah hutan cukup besar, yakni sekitar 26.87%.
Tabel di bawah memperlihatkan alokasi penggunaan tanah di Kabupaten Batang pada tahun
2006.
Tabel 3.2.
Penggunaan Lahan di Kabupaten Batang, 2006.
Prosentase dari
Peruntukkan Luas (ha) keseluruhan luas
Kab. Batang (%)
Hutan Negara (dikuasai Perhutani) 13.299 16.85
Hutan Rakyat 35 0.04
Perkebunan Besar 7.910 10.02
Tegal/Kebun 19.249 24,40
Lahan Sawah 22.409 28,40
Bangunan/Pekarangan 12.127 15.37
Padang Rumput 90 0.11
Tambak, Kolam/Tebat 138 0.20
Lain-lain 3.638 4,61
Total 78.895 100.00
Sumber: “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah
Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.1. dan 1.2.4.
Jumlah populasi di Kabupaten Batang, berdasarkan Sensus Ekonomi tahun 2006, adalah
689.917 Jiwa (345.864 Laki-laki dan 330.288 Perempuan) yang membentuk 166.656 rumah
tangga.35 Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, sekitar 50,05% dari jumlah keseluruhan rumah
tangga di Kabupaten Batang adalah Rumah Tangga Petanian pengguna lahan,36 yang
menguasai 32.563 ha lahan pertanian dengan rata-rata kepemilikan sekitar 0,36 ha.

34
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.4. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah
Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006
35
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 3.1.1. Penduduk Jawa Tengah Menurut
Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin tahun 2006 dan Tabel 3.1.5. Banyaknya Rumah Tangga dan
Rata-rata Anggota Rumah Tangga Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006.
36
Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”,
Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. Tabel 1.c. Banyaknya Rumah Tangga, Rumah Tangga
Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani GUrem Menurut Kabupaten/Kota. Data yang
tersedia tidak menyajikan jumlah rumah tangga pertanian yang tidak menguasai lahan (landless).

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 15


Tabel 3.3.
Penguasaaan Tanah Rumah Tangga Petani Pengguna Lahan di Kabupaten Batang,
2003
Kelas Rumah Tangga Petani Luas
Penguasaan Rata-rata
Jumlah % Luas Lahan
Tanah %
< 0,10 14,800 16.24 539.70 1.66 0.04
0.10 - 0.19 25,119 27.56 3,717.42 11.42 0.15
0.20 - 0.49 31,008 34.02 9,220.84 28.32 0.30
0.50 - 0.99 13,225 14.51 8,667.76 26.62 0.66
1.00 - 1.99 5,702 6.26 6,383.79 19.60 1.12
2.00 - 2.99 851 0.93 1,926.69 5.92 2.26
3.00 - 3.99 299 0.33 978.91 3.01 3.27
4.00 - 4.99 - 0.00 - 0.00 0.00
≥ 5.00 152 0.17 1,128.72 3.47 7.43
Total 91,156 100.00 32,563.83 100.00 0,36
Sumber: Data Sensus Pertanian tahun 2003(diakses langsung dari Kantor BPS di Jakarta)

Sumber statistik yang lain menyebutkan bahwa di Kabupaten Batang pada tahun 2006 ada
sekitar 115 ribu orang yang bekerja sebagai buruh tani. 37 Sejarah perkebunan di Kabupaten
Batang yang telah dimulai sejak masa kolonial hingga kini masih menerapkan pola yang
relatif sama khususnya dalam hal mengeksploitasi tenaga kerja setempat tanpa
memperhatikan kesejahteraan mereka. Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Jateng Ir. Siswanto
mengatakan““sejumlah areal perkebunan besar tidak lepas dari kesan kolonialisme,
eksploitasi tenaga kerja dan kurang memperhatikan lingkungan sosial masyarakat. Hal
inilah yang melahirkan konflik sosial antara perkebunan besar dan masyarakat sekitar
kebun dan perkebunan besar dengan plasmanya, terutama menyangkut keberadaan HGU
Perkebunan”.38
Upah buruh perkebunan yang besarnya rata-rata Rp. 504.000 perbulan39 jumlahnya masih di
bawah Upah Minimum Propinsi/UMP atau Upah Minimum Kabupaten/UMK yang
ditetapkan oleh Gubernur Jawa Tengah tahun 200740 yaitu Rp. 615.000 yang diberlakukan
sepanjang tahun 2008. Kondisi ini, pada saat ini menjadi lebih buruk karena seperti yang
diuraikan oleh salah seorang buruh perkebunan di PT Pagilaran menyatakan perubahan
kepemilikan perusahaan dari dibawah pemerintahan Hindia Belanda kepada pihak swasta
(Yayasan Universita Gajah Mada) telah membuat mereka kehilangan beberapa kompensasi
yang biasanya diperoleh. Ia mengatakan“… sekarang buruh pekerja tidak mendapatkan
jaminan sosial, kalau dulu sebelum diserahkan kepada UGM, buruh perkebunan masih
mendapatkan jatah beras dan sembako setiap bulan..”.41

37
Berdasarkan “Hasil Sensus Ekonomi 2006, Pendataan Potensi Desa/Kelurahan”, Badan Pusat
Statistik – Jakarta.
38
Lihat “Sertifikat Status HGU Sering Munculkan Konflik”, Harian Suara Merdeka tanggal 1 Juni 2004
39
Dengan perhitungan mereka bekerja dalam sebulan adalah 28 hari dengan upah harian sebagai
buruh tetap adalah Rp. 18.000 perhari, akan berbeda dengan upah buruh harian lepas yang upahnya
rata-rata Rp. 15.600/hari atau (jika waktu kerja dalam sebulan adalah 28 hari) Rp. 436.800. (Sumber:
hasil wawancara dengan salah satu buruh perkebunan Pagilaran).
40
Berdasarkan SK Gubernur No. 561.4/51/2007
41
Wawancara dengan salah satu petani Pagilaran, 7 Februari 2008

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 16


Keberadaan perkebunan-perkebunan besar telah menjadi sumber utama munculnya sejumlah
konflik pertanahan di Kabupaten Batang. Perusahaan-perusahaan perkebunan menguasai
lahan secara luas, sementara banyak penduduk setempat yang tingkat kesejahteraannya
rendah sehingga menjadikannya “lapar tanah”. Pada masa Orde Baru beberapa perkebunan
besar yang dikembangkan dengan cara mengambil alih secara sepihak lahan-lahan garapan
penduduk setempat telah mengubah petani penggarap lahan menjadi buruh perkebunan atau
buruh bangunan dan pedagang kecil di daerah perkotaan.
Meskipun pada sejumlah lahan perkebunan penduduk setempat dapat mengolah lahan dengan
cara bagi hasil, khususnya pada lahan-lahan yang tidak dikerjakan secara produktif oleh
pemegang HGU-nya, hal itu tidak mengurangi potensinya menjadi sumber konflik
pertanahan. Hal ini terjadi karena ada cara pandang yang berbeda diantara kedua belah pihak
(petani penggarap/penduduk setempat dan pemegang HGU) seperti yang terjadi di
perkebunan Tratak misalnya. Di perkebunan ini Bagi Hasil dilakukan antara penduduk
setempat yang membutuhkan tanah dengan Mandor Perkebunan tanpa sepengetahuan
perusahaan pemegang HGU. Pada mulanya pihak PT Tratak selaku pemegang sertifikat HGU
tidak mengusahakan tanahnya, sementara penduduk setempat membutuhkan tanah untuk
sumber penghidupannya, sehingga terjadilah ‘perjanjian’ antara Mandor dan penduduk
setempat tentang pemanfaatan lahan perkebunan tersebut. Konflik kemudian muncul karena
penduduk setempat beranggapan bahwa pihak perusahaan tidak lagi membutuhkan tanah
tersebut. Sementara pada suatu waktu PT Tratak bermaksud menyewakan lahannya kepada
pabrik gula sebagai upaya memanfaatkan tanah yang sudah menjadi haknya tersebut. Pada
kasus Tratak ini konflik yang terjadi tidak sampai pada tindakan penggusuran petani dari
lahan garapannya. Berbeda dengan kasus Segayung yang polanya kurang lebih sama dengan
kasus Tratak tetapi petani penyewa lahan diusir ketika pihak perusahaan pemegang HGU
hendak menyewakan lahannya kepada perusahaan lainnya
Demikian juga dengan pola tumpangsari yang diterapkan oleh pemegang HGU Kebun
Sluwok, yakni PTPN IX, telah berkontribusi terhadap kemunculan aksi pendudukan tanah di
dalam kawasan “hutan” di Kabupaten Batang. Pada kasus HGU kebun Sluwok ini, penduduk
setempat menggarap lahan dengan skema Tumpangsari diatas wilayah yang selama ini
dianggap wilayah hutan, tetapi kemudian lahan garapan penduduk setempat tersebut diklaim
sebagai bagian dari lahan HGU Kebun Sluwok PTPN IX42. Hal ini sama halnya dengan kasus
Tratak dan Segayung, karena begitu lamanya skema tumpangsari yang diterapkan di atas
tanah yang bersertifikat HGU membuat penduduk setempat berpikir bahwa pihak perusahaan
sudah tidak membutuhkan lagi tanah tersebut. Sementara kehidupan ekonomi penduduk
setempat yang menggarap lahan dengan pola tumpangsari tersebut sangat terbantu karena
sebelumnya mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap.
Dalam kasus-kasus seperti di atas, di satu sisi, petani berpikir bahwa para pemegang HGU
tidak lagi membutuhkan tanah karena mereka sudah menerapkan pola Bagi Hasil dan
Tumpangsari dalam jangka waktu yang cukup lama. Di sisi lainnya, didorong oleh
pengetahuan mereka tentang hak atas tanah, sebagai petani penggarap mereka berkeyakinan
bahwa sebagian dari tanah HGU tersebut bisa diberikan haknya oleh pemerintah kepada
mereka jika diusahakan. Pada saat itulah konflik muncul ke permukaan, petani-petani yang
kemudian mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tani mengajukan tuntutan hak atas

42
Berdasarkan surat perjanjian Tumpangsari yang dimiliki oleh salah seorang penduduk setempat.
Didalam surat perjanjian Tumpangsari ini disebutkan bahwa lahan yang dijadikan areal Tumpangsari
adalah lahan yang termasuk kedalam HGU Kebun Sluwok PTPN IX. Secara formal, tidak
dimungkinkan kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan menjadi bagian dari areal
HGU, karena HGU hanya bisa diterbitkan diatas Kawasan Budidaya Non Kehutanan/KNBK.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 17


tanah yang sudah mereka garap selama ini sementara tentu saja para pemegang HGU hendak
mempertahankan asetnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tingkat kesejahteraan penduduk setempat baik sebagai
buruh perkebunan maupun petani penggarap lahan perkebunan (dengan skema bagi hasil)
yang tidak memadai, juga telah menjadi pemicu utama munculnya sengketa-sengketa tanah di
Kabupaten Batang. Rendahnya tingkat kesejahteraan yang disertai dengan sejumlah
penggusuran menjadi alasan utama bagi penduduk setempat yang tinggal di sekitar areal
perkebunan besar dan kawasan kehutanan untuk melakukan aksi-aksi pendudukan tanah yang
mulai marak pada akhir tahun 1990-an. Pada akhir era Orde Baru, yang ditandai dengan
lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, aksi-aksi pendudukan tanah semakin banyak
terjadi. Sejak era reformasi, petani penggarap yang mulanya terlibat dalam pola Bagi Hasil
dengan pihak perkebunan atau yang terlibat Tumpangsari di wilayah hutan tidak lagi
melakukan penyerahan hasil panennya sebagaimana telah menjadi kesepakatan di antara
mereka dengan ‘pemilik’ lahan. Sedangkan penduduk setempat yang sebelumnya tidak
mempunyai akses terhadap tanah (landless) mencoba melakukan penggarapan lahan-lahan
perkebunan yang sudah dipenuhi semak belukar karena tidak dimanfaatkan secara produktif
oleh perusahaan pemegang HGU. Aksi-aksi penduduk tanah yang mulai berkembang sejak
1998 di Batang ini, walau bagaimana pun, merupakan akumulasi dari gejolak-gejolak yang
ada di masyarakat sejak tahun 1990-an awal atau bahkan sebelumnya. Selama ini mereka
menunggu saat yang tepat untuk melakukan gerakan terbuka, dan tahun 1998 adalah waktu
yang dianggap tepat untuk memulai aksi-aksi yang lebih terbuka seperti pendudukan tanah
secara langsung.

IV. Gerakan untuk Mengklaim kembali Hak atas Tanah di Batang

Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang


hidup manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah,
mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup
selanjutnya (Tauchid 1952:6)

Meskipun telah ditetapkan melalui sejumlah peraturan yang jelas, mengapa tuntutan hak atas
tanah masih terus bermunculan di Indonesia? Apa yang menyebabkan tuntutan-tuntutan dan
aksi-aksi untuk mengklaim tanah oleh penduduk setempat (reclaiming actions) terus terjadi?
Seperti telah diungkapkan di atas, hal ini terkait dengan bagaimana UUPA 1960 diterapkan
dari waktu ke waktu yang sangat terkait dengan orientasi politik dan ekonomi pemerintahan
yang berkuasa pada waktu tersebut. Di sini lah letak titik krusial dalam soal pemenuhan hak
atas tanah di Indonesia yang sekaligus menjadi upaya untuk pemenuhan hak dasar kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah.
Sejumlah studi telah menunjukan bahwa alih-alih menjalankan amanat UUPA 1960 untuk
menjamin hak-hak penduduk setempat atas tanah, rejim yang berkuasa di Indonesia
khususnya pasca 1965 lebih berorientasi kepada pemberian fasilitas bagi eksploitasi kekayaan
alam secara berlebihan untuk kepentingan komersial yang kemudian mengabaikan hak-hak
dari penduduk setempat terhadap sumber-sumber yang sama (=tanah) untuk keberlangsungan
dan peningkatan kualitas hidupnya (lihat misalnya Fauzi 1998 dan 1999; Wiradi 2000;
Bachriadi 1998a, 1998b, 2002 dan 2004; Suryaalam 2003; dan Bachriadi, Bachrioktora dan
Safitri 2005).
Melihat kasus-kasus penggusuran dan pola-pola perjuangan petani penggarap untuk merebut
kembali hak-hak mereka atas tanah ternyata sebagian besar alasan yang mendasari

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 18


perjuangannya itu adalah merebut kembali tanah yang dianggap sebagai alat produksi yang
terpenting jika tidak dikatakan sebagai satu-satunya alat produksi yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Perjuangan yang ada selama ini adalah
perjuangan atas sebidang tanah oleh keluarga petani agar mereka dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya dari hari ke hari. Juga tertanam di dalam kerangka perjuangan mereka sebuah
harapan bahwa dari sebidang tanah yang dikuasainya dapat memberikan manfaat yang lebih
besar untuk kebutuhan anak-anaknya untuk dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik
dan tabungan untuk masa mendatang. Dalam perkataan yang lain, sesungguhnya perjuangan
mereka untuk menguasai sebidang tanah, jika dapat mendekati batas minimal penguasaan
tanah seperti yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sejak tahun 1960,
adalah pengejawantahan dari perjuangan menegakan Hak Asasi Manusia. Terlebih dari itu
perjuangan-perjuangan tersebut adalah bagian dari perjuangan mereka untuk merebut hak-
haknya sebagai warga negara sebagaimana telah ditentukan oleh Konstitusi dan undang-
undang yang berlaku.
Dalam hal ini mereka sangat sadar bahwa kehidupan politik di Indonesia sangat tidak
berpihak, sehingga hak atas tanah yang menjadi bagian dari hak azasi manusia tersebut harus
diperjuangkan bahkan dalam banyak kasus dilakukan dengan cara direbut. Selanjutnya, jika
tanah-tanah sudah berhasil dikuasai, mereka mengetahui bahwa kewenangan pemberian
haknya secara formal tetap ada di tangan pemerintah. Karena itu, dalam banyak kasus
perjuangan untuk mempertahankan atau merebut hak atas tanah kemudian disusul dengan
upaya-upaya untuk memperoleh pengakuan secara formal; jika dapat pengakuan yang
dilegitimasi melalui sebuah sertifikat.
Dalam kasus-kasus konflik pertanahan seperti yang terjadi di Kabupaten Batang, Negara,
dalam hal ini pemerintah yang berkuasa di Indonesia, ternyata lebih mengambil posisi bukan
sebagai pemberi jaminan akan keberlangsungan hidup dan peningkatan kualitas kehidupan
sejumlah penduduk setempat yang hidupnya sangat membutuhkan/bergantung kepada tanah.
Sebaliknya, pemerintah yang berkuasa telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap
hak azasi manusia di sana, yang lebih spesifik lagi adalah hak atas tanah bagi kelompok
masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Lebih ironis lagi pelanggaran
tersebut dilakukan terhadap hak-hak (azasi) yang sesungguhnya telah diatur secara rinci
dalam seperangkat peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Di Kabupaten Batang, banyak penduduk setempat melakukan pendudukan terhadap lahan-
lahan perkebunan dan kehutanan dengan alasan tidak memiliki satu petak lahan pun,
sementara keahlian mereka hanya bertani. Secara kasat mata mereka melihat banyak tanah-
tanah yang dikuasai perkebunan tidak dikelola dengan baik dan tampak tidak dimanfaatkan
dalam rentang waktu tertentu yang cukup panjang (bertahun-tahun). Kondisi penelantaran
tanah ini kemudian dilihat sebagai peluang bagi petani-petani yang tinggal di sekitar tanah-
tanah perkebunan dan kehutanan tersebut, yang umumnya adalah kelompok petani yang
kerjanya selama ini hanya sebagai buruh tani dengan penghasilan yang sangat tidak memadai,
Selain karena kebutuhan mendasar tersebut mereka pun menganggap bahwa wilayah-wilayah
perkebunan dan kehutanan itu adalah wilayah yang dikuasai oleh Negara yang “seharusnya”
digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Kasus sengketa tanah di Kabupaten Batang salah satunya menunjukkan sengketa antara
petani penggarap dengan perusahaan perkebunan pemegang HGU (lawan sengketa),
khususnya HGU yang diterbitkan pada masa Orde Baru sekitar tahun 1980-an. Selain
sengketa antara penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan, terdapat juga sengketa
yang diakibatkan oleh tidak sempurnanya pelaksanaan Land Reform pada tahun 1960-an,
yang menjadikan munculnya tuan tanah baru diatas lahan-lahan objek Land Reform (lihat

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 19


Mamock 1995), juga terdapat sengketa yang disebabkan karena sedimentasi laut yang
menimbulkan sengketa di atas “tanah timbul“ sebagaimana yang dialami oleh salah satu
anggota FPPB yaitu kelompok tani Paguyuban Tani Tritunggal Sejahtera (PT3S).
Dalam rangka mengkonsolidasi perjuangannya, para petani di Batang kemudian bersepakat
membentuk satu wadah perjuangan bersama. Kasus-kasus atau konflik tanah yang mereka
hadapi dan juga dialami oleh penduduk setempat lainnya, membuat mereka berpikir untuk
membentuk satu organisasi agar perjuangannya dapat dilakukan secara bersama-sama dan
mencapai hasil seperti yang diharapkan, yaitu mendapatkan hak atas tanah dan mendapatkan
penghidupan yang lebih baik. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB) adalah organisasi tani
di tingkat kabupaten yang dibentuk untuk mewadahi berbagai kelompok petani yang ada di
Kabupaten Batang untuk memperjuangkan secara bersama-sama kepentingan tersebut.
Perjuangan bersama di lingkup kabupaten juga diyakini sebagai strategi untuk mendesakkan
kepentingannya kepada pemerintah daerah setempat khususnya ketika pemerintahan pasca
1998 menerapkan kebijakan otonomi daerah.
Pembentukkan wadah-wadah perjuangan seperti FPPB di Kabupaten Batang juga sangat
terkait dengan perjuangan untuk menegakan HAM dari sisi kebebasan untuk berserikat
seperti yang tercantum didalam klausul ICCPR pasal 22(1) yang menyatakan “[S]etiap orang
berhak untuk bergabung berasosiasi dengan orang-orang lain, termasuk hak untuk
membentuk dan memasuki serikat sekerja untuk menjaga kepentingan-kepentingannya
sendiri. Kebebasan untuk berserikat ini juga adalah hak warga Negara dan bagian dari hak
azasi manusia yang dilenyapkan ketika Orde Baru berkuasa, dan baru berhasil mereka
peroleh kembali setelah gerakan reformasi berhasilkan menumbangkan Soeharto di tahun
1998. Dengan kata lain, walaupun tidak pernah secara tegas dinyatakan oleh FPPB bahwa
mereka sedang memperjuangkan penegakan HAM bagi kaum tani di Batang, sesungguhnya
perjuangan kelompok-kelompok petani yang tergabung di dalam FPPB telah mewakili
bentuk-bentuk perjuangan menegakan HAM khususnya di Kabupaten Batang.
Di sini akan dibahas 5 kasus sengketa tanah yang melibatkan penduduk setempat dengan
perusahaan perkebunan, yakni (1) Kasus PT Perkebunan Pagilaran dengan Paguyuban Petani
Korban Perkebunan Pagilaran (P2KPP)/Persatuan Masyarakat Gunung Kamulyaan (PMGK);
(2) Kasus Perkebunan PT Tratak dengan Persatuan Petani Penggarap Perkebunan Tratak
(P4T); (3) Kasus PTPN IX Kebun Sluwok dengan Persatuan Petani Brontok Sejahtera
(P2BS); (4) Kasus perkebunan PT Ambarawa Maju dengan Kelompok Petani Kembang Tani;
dan (5) Kasus Perkebunan PT Segayung dengan Persatuan Petani Sido Dadi (P2SD). Empat
perkebunan besar yang terlibat di dalam konflik ini merupakan perkebunan-perkebunan besar
yang telah ada di Kabupaten Batang sejak masa kolonial yaitu PT Pagilaran, PT Tratak,
PTPN IX Kebun Sluwok dan PT Ambarawa Maju. Sementara PT Segayung adalah
perkebunan yang dibentuk pada masa Orde Baru. Dari perkebunan tersebut, hanya empat
perusahaan yang memiliki sertifikat HGU atas kebun-kebun yang disengketakan, yaitu PT
Pagilaran, PT Tratak, PT Segayung dan PTPN IX. Perkebunan dari keempat perusahaan ini
juga dinyatakan aktif yang mengusahakan tanaman yang sekarang menjadi komoditas
andalan daerah Jawa Tengah seperti cengkeh, kapok, kelapa, coklat dan teh. Satu perusahaan
lagi, yaitu PT Ambarawa Maju tidak mempunyai sertifikat HGU. Perkebunan ini tidak
sesungguhnya sudah tidak memperpanjang haknya sejak hak erpacht-nya (RVE Verponding
No.67) berakhir pada 13 Juni 1968.

4.1. Perjuangan Hak Atas Tanah

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 20


Ringkasan kelima konflik pertanahan yang dikaji dalam tulisan ini tersaji dalam matriks di
bawah yang menggambarkan tipologi kasus konfliknya. Matriks yang memperbandingkan
kelima kasus ini memungkinkan untuk melihat siapa saja lawan sengketa dari kelompok
petani di Batang, siapa saja yang melakukan perjuangan dan bagaimana strategi yang mereka
kembangkan, serta hasil-hasil dari perjuangannya.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 21


Tabel 4.1.
Matriks 5 Kasus Sengketa Tanah Anggota FPPB
Kasus/Sengketa Tanah
Deskripsi Perkebunan Perkebunan PTPN IX Kebun PT Ambarawa Perkebunan
Pagilaran Tratak Sluwok Maju Segayung
Status Hak HGU HGU HGU Eks hak Erpacht HGU
Tentang Lawan Sengketa

Legal Formal Hak SK No. SK No. SK No. Eks RVE Verp. SK


15/HGU/DA/1983 61/HGU/DA/88 53/HGU/DA/1980 No. 67 No.49/HGU/DA/86
SK No.
14/HGU/DA/1977
Pemegang Hak dan PT Pagilaran (BUMN) PT Perkebunan PTPN IX (BUMN) PT Ambarawa PT Segayung
Pemilik Tratak (swasta) Maju (swasta) (swasta)
Peruntukan Kebun The (SK No. Kebun Kopi dan Kebun Karet dan Kebun Karet Kebun Randu dan
15) Cengkeh Kakao Kelapa
Kebun Kakao (SK
No, 14)
Lokasi SK No. 15 Desa Tumbrep, Desa Gondang, Desa Kebumen (1) Desa Posong
(1) Desa Kalisari kec. Bandar Kec. Subah kec. Tulis (2) Desa Batiombo
(2) Desa Bismo Desa Simbang Kec. Bandar
(3) Desa Gondang kec. Subah (3) Desa Sembojo
(4) Desa Bawang Kec. Tulis
(5) Desa Keteleng
(6) Desa Kembang
Kec. Blado
SK No. 14
(1) Desa
Kenconorejo
(2) Desa Tulis
(3) Desa Beji
(4) Desa Simbang
Jati
Kec. Tulis
Luas Keseluruhan 1.113,85 ha 89,64 ha 1.227,082 ha 52,5 ha 243,535 ha

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 22


OTL Peasatuan Petani Paguyuban Paguyuban Kembang Tani Paguyuban Petani
Tentang Organisasi Tani
Korban Perkebunan Petani Petani Brontok Sidodadi
Pagilaran (P2KPP) Penggarap Sejahtera (P2BS)
berubah menjadi Perkebunan
PMGK (Persatuan Tratak (P4T)
Masyarakat Gunung
Kamulyaan)
Jumlah Anggota 2000 Kk 420 KK 141 KK 800 KK 1500 KK
Cakupan wilayah 5 Desa, 1 3 Desa, 2 1 desa, 1 2 desa, 2 4 desa, 2
kecamatan Kecamatan. kecamatan kecamatan kecamatan
(1) Keteleng (1) Tumbrep (1) Kuripan Desa Kebumen (1) Posong
(2) Gondang (2) Wonomerto Kec. Subah Kec. Tulis (2) Batiombo
(3) Kalisari Kec. Bandar Desa Simbang Kec. Bandar
(4) Bismo (3) Kambangan kec. Subah (3) Wonosegoro
(5) Bawang Kec. Blado (4) Sembojo
Kecamatan Blado Kec. Tulis
Tahun berdiri 1999 1999 2002 1999 1999
Tahun menjadi 2000 (pendiri) 2000 (pendiri) 2002 2000 (pendiri) 2000
anggota FPPB
Tahun mulai (belum mulai 1980, 1988 dan 1994, 1998, 1945 1995
Tentang Gerakan Menggarap Lahan

penggarapan menggarap) 1999 2002


Jumlah yg terlibat 1.200 KK 450 KK 141 KK 800 KK 1500 KK
Luas yang 450 hektar 89,64 ha 42 ha 52,5 ha 243,535 ha
digarap/dituntut
Alasan utama mengambil kembali (1) Tidak (1) Tidak memiliki Tidak memiliki
menggarap haknya. mempunyai memanfaatkan tanah garapan tanah garapan
matapencaharian tanah timbul
lain (2) Tidak
memiliki lahan
garapan
Strategi memasuki Pembabatan (1) 1980; (1) meneruskan (1) membuka (1) 1995;
lahan garapan tanaman teh. membuka lahan garapan lahan lahan yang Membuka lahan
hutan petani yang tidak bertuan yang dipenuhi
(2) 1988; skema ditinggalkan peninggalan semak belukar.
bagi hasil (2) Tumpang sari perusahaan (2) 2000; skema
dengan mandor di lahan PTPN IX Belanda Tumpangsari
PT Tratak (3) menggarap (2) Memohon dengan PT
(3) lahan hak Segayung

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 23


memanfaatkan Tumpangsari kepemilikan
lahan yang tanpa lahan
diterlantarkan PT skemaTumpangs
Tratak ari
Strategi perjuangan (1) Menggalang Lobi, negosiasi, Lobi, negosiasi, Lobi, negosiasi Lobi, negosiasi,
lainnya dukungan terutama aksi dan aksi dan dan kampanye aksi dan
buruh perkebunan kampanye media kampanye media media massa kampanye media
lain. massa massa massa
(2) Mendudukan
kader di posisi
Kepala Desa
(3) Lobi, negosiasi,
aksi dan kampanye
media massa
Keadaan terakhir Belum mulai Masih digarap Masih digarap Sudah sah Kembali dikuasai
menggarap, dan oleh petani oleh petani dimiliki petani oleh PT Segayung,
masih menjadi penggarap penggarap penggarap dan ditanami tebu.
buruh di mendapatkan (sejak Nov 2007)
perkebunan sertifikat, dan
Pagilaran sebagian sudah
dijual.

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 24


Dari matriks diatas, dapat dilihat terdapat 3 kelompok kasus yang di dalamnya
menggambarkan tahapan perjuangan penduduk setempat untuk memperoleh/menuntut hak
atas tanah, yaitu:
1) Kategori pertama adalah kelompok yang hingga saat ini masih dalam upaya perjuangan
untuk mendapatkan legalitimasi formal atas tanah yang sudah mereka garap sejak awal
tahun 1980-an, yaitu kelompok tani P4T, P2BS dan P2SD.43 Anggota P4T dan P2BS
sudah berhasil melakukan penggarapan lahan dan saat ini upayanya adalah melakukan
lobi dan negosiasi kepada instansi terkait dengan pemegang otoritas pertanahan dan
Pemda setempat untuk pengakuan atas tanah yang sudah mereka garap. Lobi dan
negosiasi telah dan terus kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Batang, Kanwil BPN
Jawa Tengah bahkan ke Kantor BPN Pusat di Jakarta. Begitu juga dengan P2SD,
khususnya pasca penggusuran di akhir tahun 2007 yang lalu, mereka melakukan lobi dan
negosiasi tidak hanya ke Kantor Pertanahan dan BPN setempat saja, melainkan juga
meminta dukungan kepada Pemda Kabupaten Batang. Selain proses-proses lobi dan
negosiasi tersebut, untuk menekan pemerintah setempat mereka juga melakukan aksi-aksi
bersama di halaman depan Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang. Dalam kategori
pertama ini, upaya-upaya melakukan desakan-desakan kepada instansi terkait telah
menunjukkan bagaimana dinamika birokrasi yang terkait dengan administrasi pertanahan
didalam upaya penyelesaian kasus tanah di kabupaten Batang. Selain memang banyak
prosedur yang diatur didalam proses mendapatkan legitimasi, prosesnya pun tidak mudah.
Kelompok tani seringkali harus berulang-ulang mengadakan pertemuan dengan instansi
terkait namun hingga saat ini belum tampak penyelesaiannya khususnya kelompok tani
belum mendapatkan legitimasi atas tanah-tanah garapannya.
2) Kategori kedua adalah kelompok yang dapat digolongkan belum menggarap lahan
perkebunan untuk kegiatan pertanian mereka, tetapi kelompok petani dalam kategori ini
masih/telah bertempat tinggal di areal lahan yang sekarang mereka tuntut. Kelompok tani
yang masuk dalam kategori ini adalah P2KPP/PMGK. Petani-petani yang tergabung
dalam P2KPP/PMGK hingga saat ini masih menempati tempat tinggal yang disediakan
oleh PT Pagilaran (emplacement) karena mereka secara turun temurun sesungguhnya
adalah buruh perkebunan PT Pagilaran dan sebelumnya lokasi emplacement yang saat ini
mereka tinggali merupakan wilayah perkampungan mereka (sebelum perkebunan
Pagilaran dibangun pada masa kolonial). Sejak tahun 1999 sebagian anggota
P2KPP/PMGK tidak lagi menjadi buruh perkebunan PT Pagilaran, sebagian lagi tetap
menjadi buruh di perkebunan ini. Mereka yang masih beratahan menjadi buruh
perkebunan memang sengaja mempertahankan statusnya karena hanya dengan cara
demikian mereka dapat tetap tinggal di emplacement perkebunan. Didasari oleh
keyakinan bahwa emplacement yang mereka tinggali saat ini dahulunya adalah wilayah
kampung mereka selama beberapa generasi sebelum perkebunan Pagilaran dibangun,
sekarang mereka menuntut agar areal yang sekarang menjadi emplacement perkebunan
tersebut dikeluarkan dari HGU PT Pagilaran dan dikembalikan kepada haknya
sepenuhnya kepada mereka. Selain menuntut tanah yang sekarang menjadi emplacement
perkebuanan, angota-anggota P2KPP/PMGK juga menuntut beberapa bagian dari areal
perkebunan Pagilaran diserahkan kembali kepada mereka karena tanah-tanah tersebut
merupakan areal pertanian keluarga mereka yang diambil alih ketika perkebunan
Pagilaran dibangun.
43
Perkembangan terakhir dalam konflik antara P2SD vs PT Segayung tanah yang disengketakan
kembali dikuasai oleh PT Segayung setelah terjadi pengambilalihan kembali secara paksa pada
bulan November tahun 2007. Meskipun demikian, konflik ini masih dapat dikategorikan dalam
kelompok ini.

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 25


Perkembangan terakhir (akhir tahun 2007), PT Pagilaran sudah mengajukan perpanjangan
HGU-nya dan prosesnya sudah memasuki penerbitan SK perpanjangan yang akan
dikeluarkan oleh Kepala BPN Pusat. Dengan adanya perkembangan mutakhir ini, maka
segala upaya lobi dan negosiasi sebagai upaya untuk mendapatkan hak atas tanah dapat
dikatakan menemui hambatan. Saat ini anggota-anggota kelompok tani P2KPP/PMGK
sedang menyusun strategi baru untuk melakukan pendudukan lahan perkebunan Pagilaran
dan secara bersamaan kembali melakukan negosiasi dengan instansi terkait yaitu seperti
BPN, Dinas Perkebunan dan Pemerintah Daerah (Tingkat Kabupaten dan Propinsi) untuk
mendapatkan pengakuan atas tuntutan mereka.
3) Kategori ketiga adalah kelompok yang sudah mencapai tujuan akhir perjuangannya yaitu
pengakuan formal atas tanah yang dituntutnya. Kelompok tersebut adalah kelompok tani
Kembang Tani yang menggarap lahan perkebunan PT Ambarawa Maju. Sebagaimana
diuraikan dalam matriks di atas, sebanyak 800 KK anggota kelompok Kembang Tani
akhirnya pada tahun 2002 mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah garapannya yang
sebelumnya dikuasai oleh PT Ambarawa Maju. Keberhasilan perjuangan kelompok
Kembang Tani ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa areal lahan perkebunan yang
mereka garap dan tuntut haknya adalah areal eks perkebunan yang sudah tidak aktif dan
juga sudah tidak melekat lagi hak apa pun di atasnya (bukan lahan HGU).
Menurut luasan tanah yang dituntut versus luasan yang dikuasai oleh pemegang HGU, kasus-
kasus di atas bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) petani penggarap yang
menuntut seluruh tanah yang dikuasai pemegang HGU; dan (2) petani penggarap yang hanya
menuntut sebagian tanah yang dikuasai pemegang HGU. Kelompok pertama adalah
kelompok tani P4T yang menuntut seluruh areal HGU seluas 89,64 hektar yang saat ini
dikuasai oleh PT Tratak, kelompok tani Kembang Tani yang menuntut seluruh lahan
perkebuanan seluas 52,5 hektar yang dikuasai PT Ambarawa Maju dan kelompok tani P2SD
yang menuntut seluruh areal HGU seluas 243,535 hektar yang saat ini masih berada di tangan
PT PT Segayung. Sementara kelompok kedua yakni kelompok P2KPP/PMGK menuntut
hanya 450 hektar dari keseluruhan HGU seluas 1.113,85 hektar yang dikuasai PT Pagilaran,
dan kelompok tani P2BS yang hanya menuntut 42 hektar dari keseluruhan HGU (1.227,082
hektar) yang dikusai oleh PTPN IX Kebun Sluwok.
Perbedaan-perbedaan tuntutan dari masing-masing kelompok tani tersebut di atas
dilatarbelakanginya oleh alasan-alasan yang berbeda yang terkait dengan ’sejarah’ tanah yang
dituntutnya dan kepentingan terhadap tanah yang dituntutnya. P2KPP/PMGK hanya
menuntut 450 hektar karena mereka meyakini bahwa tanah yang mereka tuntut adalah tanah
yang dulunya menjadi lahan garapan mereka sebelum PT Pagilaran mengambil secara paksa
untuk kepentingan perluasan usaha perkebunan. Anggota P2KPP/PMGK dapat membuktikan
bahwa tanah tersebut seharusnya tidak masuk menjadi bagian dari areal HGU yang sekarang
dikuasai oleh PT Pagilaran. Mereka beralasan bahwa tanah sudah digarap sebagai areal
pertanian rakyat sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda berdampingan dengan kegiatan
perkebunan Pagilaran. Ada persamaan antara kasus di Pagilaran dengan tuntutan penduduk
setempat atas tanah di Kebun Sluwok PTPN IX. Anggota P2BS telah menggarap tanah
timbul karena proses sedimentasi laut yang letaknya berdampingan dengan areal perkebunan
yang saat ini menjadi lahan HGU Kebun Sluwok PTPN IX. Tetapi lahan garapan mereka
kemudian diklaim secara sepihak oleh PTPN IX sebagai bagian dari areal Kebun Sluwok.
Sementara di perkebunan Tratak dan perkebunan Segayung, anggota P4T dan P2SD
menuntut hak atas tanah karena mereka berkeyakinan perusahaan pemegang HGU Tratak dan
Segayung sama sekali tidak aktif atau tidak melakukan aktivitas produksi sama sekali sejak

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 26


HGU untuk kedua perkebunan tersebut diterbitkan;44 apalagi pemilik HGU memberikan
kesempatan kepada penduduk setempat untuk menggarap lahan perkebunan tersebut dengan
skema Bagi Hasil. Karena itu mereka beranggapan sudah semestinya tanah tersebut menjadi
hak sepenuhnya dari anggota-anggota P4T dan P2SD yang selama ini menggarap tanah
secara aktif.
Dari kelima kasus yang dikaji, penduduk setempat menunjukan bahwa mereka memiliki
keterikatan dengan tanah yang dituntut sekarang. Dalam kasus Pagilaran baik lahan pertanian
yang sekarang dituntut maupun areal tempat tinggal (emplacement perkebunan) mereka saat
ini adalah wilayah dimana orang tua mereka hidup dan melakukan aktivitas pertanian sejak
jaman kolonial. Mereka membuktikan hal ini dengan cara mengidentifikasi adanya kesamaan
nama emplacement yang mereka tinggali dengan nama-nama kampung dimana orang tua
mereka (pernah) tinggal.
Dalam tiga kasus lainnya, yakni Tratak, Simbangjati dan Segayung para penuntut tanah
menuturkan cerita bahwa orang tua mereka bersama-sama dengan penduduk lainnya telah
membuka lahan yang sebelumnya adalah semak belukar untuk diubah menjadi lahan
pertanian sebelum kemudian di atas tanah-tanah tersebut diterbitkan HGU. Sementara dalam
kasus areal Kebun Sluwok PTPN IX, para penuntut tanah menjelaskan bahwa mereka
menggarap tanah timbul (tidak termasuk areal Kebun Sluwok) yang sebelumnya sudah
dimanfaatkan oleh sekelompok warga dari Kendal. Sekelompok warga dari Kendal tersebut
kemudian pergi meninggalkan lahan pertaniannya (kembali ke tempat asalnya di Kendal) dan
pemanfaatannya dilanjutkan oleh penduduk setempat. Setelah penduduk setempat
melanjutkan penggarapan lahan yang ditinggalkan oleh orang-orang asal Kendal, beberapa
tahun kemudian tanah tersebut diklaim oleh perusahaan perkebunan (PTPN IX) sebagai
bagian dari areal HGU perkebunan Sluwok. Seluruh petani penggarap – penduduk setempat –
yang sudah terlanjur beraktivitas di atas lahan tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena
memang mereka tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah atas tanah-tanah
tersebut. Untuk melanjutkan kehidupannya kemudian petani penggarap anggota P4T (di
perkebunan Tratak), P2BS (di perkebunan Sluwok PTPN IX) dan P2SD (di perkebunan
Segayung) menerima tawaran dari Mandor/Sinder Afdelling untuk mengikuti skema Bagi
Hasil atau tumpangsari. Sementara kelompok tani Kembang Tani, karena sudah berhasil
mendapatkan hak atas tanah berupa sertifikat, melanjutkan kehidupannya dengan
memanfaatkan tanahnya dengan caranya masing-masing.

4.2. Strategi Perjuangan


Berdasarkan tahap-tahap perjuangan mereka saat ini untuk menuntut hak atas tanah, dari
kelima kasus ini terlihat adanya strategi yang berbeda-beda yang dijalankan oleh masing-
masing kelompok tani. Dalam kategori pertama penuntut tanah, yang telah diuraikan di atas,
kelompok-kelompok yang masih dalam upaya untuk memperoleh legilitimasi formal atas
tanah yang mereka garap selama ini (kelompok tani P4T, P2BS dan P2SD), untuk mencapai
tujuan perjuangannya ini mereka melanjutkan terus penggarapan tanah meskipun saat ini
sudah tidak lagi terikat dalam perjanjian Bagi Hasil dengan pihak perusahaan. Pertimbangan
yang paling menonjol adalah pertimbangan ketiadaan lahan lain yang dapat menjadi sumber
mata pencahariannya. Bersamaan dengan itu mereka terus mengupayakan memperoleh
pengakuan hak atas tanah dengan cara melakukan lobi dan negosiasi kepada pihak-pihak
terkait khususnya Kantor Pertanahan Kab. Batang, Kanwil BPN Jawa Tengah, Bupati

44
HGU untuk PT Tratak terbit tahun 1988 dan HGU untuk PT Segayung tahun 1986.

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 27


Batang, Gubernur Jawa Tengah selain (yang terpenting) melakukan rangkaian pertemuan
dengan pihak perusahaan pemegang HGU.
Dari rangkaian kegiatan lobi dan negosiasi kepada instansi-instansi terkait tersebut, FPPB dan
perwakilan kelompok taninya bermaksud meminta kejelasan posisi birokrat dan pemerintah
setempat atas tanah yang mereka tuntut. Dalam pertemuan dengan pejabat di Kantor
Pertanahan Kabupaten Batang, FPPB berupaya menjelaskan status hukum tanah yang
dituntut oleh kelompok-kelompok tani anggotanya. Pada umumnya, dari berbagai dialog
yang terjadi antara mereka dengan pejabat Kantor Pertanahan setempat, pejabat Kantor
Pertanahan setempat hanya menegaskan bahwa yang berwenang untuk memutuskan bisa atau
tidaknya tuntutan atas tanah tersebut dikabulkan adalah pejabat di tingkat Propinsi Jawa
Tengah dan Pusat. Dalam hal ini mereka menyatakan bahwa dalam hal penerbitan maupun
perpanjangan termasuk pencabutan HGU tertentu pejabat di tingkat kabupaten hanya
berfungsi sebagai ‘petugas administrasi’ saja, sehingga untuk menerbitkan hak baru di atas
tanah-tanah yang berstatus HGU posisi Kantor Pertanahan hanya dapat memberikan
rekomendasi kepada Kanwil BPN Propinsi yang kemudian diteruskan ke tingkat pusat. Bagi
FPPB posisi dan fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Batang yang berwenang memberikan
rekomendasi sudah cukup, dan FPPB memang menuntut agar Kantor Pertanahan Kabupaten
Batang mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tersebut yang terkait dengan tuntutan
mereka: pembatalan sejumlah HGU yang ada di Kabupaten Batang, dan pemberian hak baru
kepada kelompok-kelompok tani anggotanya. Akibat berbagai tekanan dari FPPB dan
kelompok-kelompok tani anggotanya ini diperoleh komitmen dari pejabat Kantor Pertanahan
Kabupaten Batang bahwa instansi pertanahan ini akan memberikan rekomendasi kepada BPN
Pusat melalui Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah yang intinya menegaskan ada sejumlah
tanah-tanah yang sekarang berstatus HGU (yaitu PT Tratak, PT Pagilaran dan PT Segayung)
yang sangat dibutuhkan oleh penduduk setempat sehingga diperlukan peninjauan ulang atas
HGU ketiga perkebunan itu.
Dalam konteks penerbitan, perpanjangan maupun pencabutan HGU, hal yang sama juga
berlaku bagi Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah. Dalam batas-batas tertentu mereka tidak
memiliki kewenangan memutuskan proses pemberian dan perpanjangan HGU. Kanwil BPN
tingkat Propinsi dapat memutuskan proses pemberian dan perpanjangan HGU, jika luas
tanahnya dibawah 200 ha, jika lebih dari itu, maka kewenangan berada di tingkat Pusat.45
Dengan kata lain, untuk HGU yang luasnya kurang dari 200 ha, meskipun kewenangan untuk
memutuskan pemberian maupun perpanjangan HGU ada di tangan pejabat tingkat propinsi,
tetap saja penetapannya secara formal menjadi kewenangan BPN tingkat Pusat. Sehingga
dengan kenyataan prosedural penetapan HGU ini, mau tidak mau FPPB harus melakukan
serangkaian lobi dan negosiasi di tiga tingkat instansi kewenangan BPN tersebut, yaitu BPN
di tingkat kabupaten (Kantor Pertanahan), propinsi (Kanwil BPN) dan BPN pusat.
Berdasarkan situasi ini, maka FPPB mempertimbangkan strategi advokasi yang berbeda-beda
untuk masing-masing kasus. Kelompok Tani P4T, P2SD dan Kembang Tani, memfokuskan
lobi dan negosiasinya di Kanwil Propinsi Jawa Tengah,46 sementara P2KPP/PMGK dan
P2BS lobi dan negosiasinya diarahkan ke Kantor BPN Pusat di Jakarta. Selain ke instansi
BPN, FPPB juga melakukan lobi dan negosiasi ke Pemda Kabupaten dan Kantor Gubernur
Jawa Tengah. FPPB menggunakan keberadaan Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Propinsi)
untuk (mempermudah) melakukan dialog dengan pihak perusahaan pemegang HGU dan
sekaligus juga dengan pihak BPN.
45
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Hak, Pasal 3-4.
46
P4T yang berhadapan dengan Perkebunan Tratak, luasan HGU yang sedang dituntut dibawah 200
ha.

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 28


Dalam setiap kesempatan yang ada dalam rangkaian lobi dan negosiasi yang dilakukan FPPB
sesungguhnya mereka selalu mendapat pernyataan-pernyataan dari pihakyang berwenang
yang mengindikasikan adanya titik terang penyelesaian sengketa di Batang (khususnya untuk
kelima kasus ini).47 Salah satunya adalah pernyataan Kepala Kanwil BPN Jawa Tengah pada
pertengahan tahun 2005 yang menyatakan akan memberikan prioritas penyelesaian sengketa
tanah di Batang.48 Pernyataan Kepala Kanwil BPN Jawa Tengah itu kemudian dengan cepat
ditanggapi oleh Kantor Pertanahan Kab. Batang dan Pemda Kab. Batang. Dalam jangka
waktu kurang dari 6 bulan setelah itu, pemerintahan kabupaten yang terdiri dari Pemda
Kabupaten Batang, masing-masing Kantor Kecamatan, Kantor Pertanahan serta instansi
kepolisian, kerap melakukan dialog-dialog dengan kelompok petani serta dengan pihak
perusahaan pemegang HGU. Terkait dengan upaya-upaya pertemuan dengan pihak
perusahaan, kelompok-kelompok tani, khususnya ketiga kelompok tani ini seringkali
menemui kesulitan. Seringkali pertemuan yang sudah direncanakan gagal karena
ketidakhadiran pihak perusahaan. Hasil dari rangkaian dialog ini adalah bahwa setiap pihak
(aparat pemerintahan, Kantor Pertanahan dan pihak perusahaan) “dapat memahami” posisi
kasus tanah yang ada dan akan meneruskan proses selanjutnya dengan melakukan koordinasi
terlebih dahulu dengan pejabat di tingkat propinsi. Hal ini pun membuat kepercayaan
kelompok petani menjadi meningkat dan membuat mereka mendapatkan harapan atas
penyelesaian kasusnya. Namun, setelah itu perkembangannya seakan-akan terhenti dan setiap
ditanyakan kepada Pemda maupun Kantor Pertanahan Kabupaten Batang mereka selalu
mengatakan bahwa prosesnya masih berlangsung.
Selain melakukan lobi dan negosiasi kepada pihak-pihak yang terkait, kelompok-kelompok
tersebut secara bersama-sama melakukan aksi mobilisasi massa (minimal FPPB merancang
aksi bersama setiap satu tahun sekali pada saat Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal
24 September), yang tujuannya untuk lebih memberikan gaung dan desakan yang kuat
terhadap tuntutan-tuntutan mereka. Aksi-aksi dengan cara mobilisasi massa ini ditujukan
kepada instansi-instansi pemerintah terkait dengan tujuan meminta penjelasan langsung
tentang tuntutan hak atas tanah yang sedang mereka perjuangkan. Melalui aksi-aksi ini juga
diupayakan untuk mendapat pernyataan resmi dari pejabat terkait yang pada gilirannya
kemudian dapat dijadikan pegangan untuk menagih realisasinya. Misalnya, pada saat aksi
mobilisasi massa di kantor Pertanahan Kabupaten Batang, Kepala Kantor Pertanahan
setempat memberikan janji akan segera membentuk tim penyelesaian kasus sengketa di
Kabupaten Batang setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Kanwil BPN Propinsi Jawa
Tengah. Namun, seperti halnya kesepakatan yang didapatkan dari kegiatan lobi dan negosiasi
yang sudah diuraikan diatas, janji Kepala Kantor Pertanahan tidak kunjung diwujudkan, dan
ketika ditanyakan kembali oleh FPPB, jawabannya adalah prosesnya sedang dilakukan oleh
pejabat di tingkat yang lebih tinggi, yaitu di tingkat propinsi. Menanggapi perkembangan ini,
FPPB tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menunggu.
Hingga saat ini, upaya-upaya yang dilakukan FPPB masih terus berlanjut karena belum
semua tuntutan anggota-anggotanya terkabul, kecuali kelompok tani Kembang Tani yang
sudah berhasil mendapatkan sertifikat tanah pada tahun 2002. Sesungguhnya, tidak ada yang
membedakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memperjuangkan kelompok tani
Kembang Tani dengan empat kelompok tani lainnya, perbedaannya keempat kelompok tani
lainnya belum berhasil. Sedangkan keberhasilan kelompok Kembang Tani seperti telah
47
Selain kelima kasus yang dikaji dalam tulisan ini FPPB juga mewadahi perjuangan beberapa
kelompok tani lainnya. Hingga saat ini ada sekitar 14 kelompok tani yang memperjuangkan hak atas
tanah di Kabupaten Batang yang bernaung dalam FPPB.
48
Lihat Dokumen “Kesepakatan Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah”, tanggal 15 Juni 2005, tertanda
Kepala BPN Jawa Tengah, Bambang Widjanarko

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 29


dijelaskan di atas sangat terkait dengan status tanah yang mereka garap saat itu yang tidak
lagi melekat hak apa pun (tidak berstatus HGU setelah hak erfpacht verpoding No. 67
berakhir).
Dalam upaya perjuangannya tersebut bahkan kelompok tani P2SD di tengah-tengah upaya
melakukan lobi dan negosiasi dengan pihak-pihak terkait pada bulan November tahun 2007
harus menghadapi kenyataan tanah garapannya “dibersihkan” oleh pihak perkebunan karena
ternyata tanah tersebut sudah disewakan kepada Pabrik Gula. Demikian juga dengan
P2KPP/PMGK, pada awal tahun 2009 mereka mendapatkan informasi bahwa PT Pagilaran
sudah mendapatkan persetujuan perpanjangan HGU untuk 25 tahun mendatang. Hal ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya hasil-hasil yang mereka dapatkan selama melakukan lobi
dan negosiasi tidak terlalu banyak berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan di
tubuh pemerintahan (khususnya BPN). Sementara itu pada dua kelompok tani lainnya, yaitu
P2BS dan P4T, walaupun masih belum menunjukan kejelasan atas tuntutannya mereka relatif
masih bisa melakukan kegiatan menggarap di lahan garapannya relatif tanpa gangguan.

4.3. FPPB: Wadah Perjuangan Petani Batang


FPPB dibentuk pada tahun 2000 melalui kongres pertamanya atau Rembug Tani I FPPB.
Pada saat pembentukannya, FPPB terdiri dari 3 kelompok tani yang berasal dari kecamatan
Tulis, Bandar dan Blado. Mereka adalah 3 kelompok tani yang masing-masing bersengketa
dengan Perkebunan Ambarawa Maju, Tratak dan Pagilaran. FPPB dibentuk dengan
kesadaran penuh petani di 3 kelompok tani tersebut, karena mereka memiliki kesamaan
permasalahan dan memerlukan satu wadah perjuangan agar koordinasi dan penyelesaian
masalah sengketa tanah yang mereka hadapi dapat lebih cepat diselesaikan. Dengan
demikian, mandat utama FPPB adalah untuk mencarikan jalan keluar atas permasalahan
petani khususnya permasalahan yang terkait dengan sengketa tanah yang dihadapi khususnya
dan umumnya yang terjadi di kabupaten Batang.
Melalui FFPB kemudian dilakukan serangkaian aktivitas untuk memperkuat kelompok
maupun ikatan antar kelompok tani yang menjadi anggotanya. Sejumlah pertemuan atau
kumpulan antar pengurus OTL sering dilakukan di bawah koordinasi FPPB untuk
mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan isu-isu yang berkembang (misalnya isu-isu
tentang bagaimana meningkatkan produksi pertanian, modal produksi pertanian atau isu-isu
yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang ada terkait dengan masalah sengketa tanah)
maupun untuk mendiskusikan langkah kerja jika satu kelompok tani menghadapi
permasalahan yang perlu segera ditindaklanjuti secara bersama. Untuk mengambil sikap
terhadap isu-isu atau persoalan yang penting yang menyangkut kepentingan keseluruhan
kelompok yang menjadi anggotanya, FPPB memiliki mekanisme untuk pengambilan
keputusan yang disebut dengan Rembug Tani. Dengan kata lain Rembug Tani adalah sarana
pengambilan keputusan organisasi tertinggi dalam FPPB.
Beberapa topik diskusi dalam pertemuan-pertemuan tersebut biasanya menyangkut berbagai
perkembangan kebijakan agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu contohnya
adalah membahas PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang secara terbuka
dinyatakan oleh Presiden SBY akan dijalankan secara nasional mulai tahun 2007. Seringkali
diskusi dilakukan tidak hanya dikalangan anggota FPPB, tetapi dengan melibatkan jaringan
gerakan sosial lainnya baik jaringan organisasi tani di Jawa Tengah maupun organisasi-
organisasi gerakan sosial lainnya di tingkat nasional seperti Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), PEGERAKAN, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) khususnya

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 30


Kantor LBH-Semarang, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), dan Asosiasi Petani
Indonesia (API).
Selain pertemuan-pertemuan yang membahas tentang perkembangan masing-masing
tuntutan, FPPB juga merencanakan melakukan serangkaian pendidikan yang dilakukan
secara berkala yang melibatkan seluruh pengurus kelompok tani maupun kader-kader muda
dari masing-masing kelompok tani. Pelatihan-pelatihan tersebut dilakukan oleh FPPB secara
bersama-sama dengan kelompok-kelompok yang menjadi pendukung perjuangan FPPB
selama ini, khususnya kelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Persaudaraan
Warga Tani (PEWARTA)49.
Pada Rembug Tani II tahun 2005 digodok secara bersama-sama langkah-langkah perjuangan
selanjutnya untuk lebih memperkuat dan mempertajam perjuangan politik mereka. Pada saat
itu diputuskan untuk mempersiapkan dengan baik kader-kader organisasi untuk dapat
menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat
Kabupaten Batang. Bahkan secara rinci mereka sudah menargetkan untuk mendudukkan
kadernya sebagai anggota DPRD Kabupaten Batang pada Pemilu 2009. Untuk itu, sejumlah
persiapan di tingkat lokal dilakukan. Salah satu langkah yang dianggap strategis untuk
ditempuh adalah menguji kapasitas politik kelompok-kelompok tani yang ada saat ini dalam
sejumlah pemilhan kepala desa yang berlangsung sepanjang tahun 2007. Selain untuk
menguji kemampuan kelompok-kelompok tani ini dalam mengumpulkan dan meraih suara
dukungan, posisi kepala desa dianggap satu faktor penting yang dapat menghambat
perpanjangan atau penerbitan sertifikat HGU. Karena pada proses yang paling awal,
persetujuan penerbitan dan perpanjangan HGU, didahului dengan persetujuan secara formal
dari masing-masing kepala desa dimana lokasi HGU itu berada.
Dari lima kasus yang dikaji dalam tulisan ini, ada tiga kelompok tani (P2KPP/PMGK, P2SD,
dan P2BS) yang kader-kadernya diikutkan dalam pemilihan kepala desa pada tahun 2007.
Proses persiapannya bukanlah proses yang pendek, karena sejak proses sosialisasi hingga
pemilihannya itu sendiri pengurus FPPB dan pengurus kelompok tani melakukan serangkaian
kegiatan persiapan sejak tahun 2005. Mereka melakukan serangkaian kegiatan kumpulan
secara intensif di masing-masing kelompok dan masing-masing desa serta melakukan
pendampingan dan pendidikan kader yang dicalonkan agar menjalankan mandat
organisasi/kelompok jika nantinya terpilih. Pendidikan juga diberikan kepada para pemilih
khususnya anggota kelompok tani, yang tujuannya agar seluruh kelompok tani memilih calon
yang dicalonkan oleh organisasi. Hal ini perlu dilakukan, karena pengalaman pemilihan

49
PEWARTA berdiri sejak tahun 2000. PEWARTA awalnya adalah kelompok mahasiswa yang
tergabung dalam Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR), berdomisili di kota
Yogyakarta. SMKR memiliki agenda penguatan kapasitas setiap mahasiswa yang bergabung
didalamnya. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengirimkan beberapa orang mahasiswa
ke desa-desa di sekitar Jawa Tengah, dengan tujuan agar seluruh mahasiswa yang tergabung dapat
memahami seutuhnya kehidupan rakyat dimanapun berada termasuk rakyat di pedesaan. Pada tahun
1999, desa yang menjadi target adalah desa-desa di sekitar dimana anggota FPPB berada.
Bertepatan dengan kedatangannya, petani penggarap penuntut tanah perkebunan Pagilaran
mendapatkan perlawanan dari pihak perkebunan. Sejak saat itu, beberapa orang mahasiswa yang
tergabung dalam SMKR itu terus melanjutkan kebersamaannya dengan FPPB, padahal agenda
SMKR sudah berakhir, Ketika FPPB dideklarasikan pada tahun 2000, SMKR pun kemudian
berdiskusi untuk meneguhkan kerja-kerjanya dengan FPPB. Kemudian diputuskan bahwa SMKR
perlu membentuk satu sayap khusus untuk menfokuskan kerja-kerjanya dengan kelompok petani,
maka dibentuklah Persaudaraan Warga Tani – PEWARTA. Bagi FPPB, keberadaan PEWARTA
kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari FPPB, karena baik FPPB dan PEWARTA
memiliki kesepahaman bagiamana memposisikan dan berperan didalam penguatan petani di Batang,
sejak saat itu, PEWARTA secara khusus memegang peran melaksanakan rangkaian pendidikan
untuk anggota seluruh FPPB.

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 31


kepala desa yang sudah dilakukan sebelumnya, faktor kekerabatan antara calon dan pemilih
sangat kuat, hal ini perlu diantisipasi dengan memberikan arahan kepada seluruh anggota
agar mereka memilih calon dari organisasi. Di dalam pendidikan itu juga dijelaskan bahwa
jika memang calon yang diusung oleh organisasi bukan kerabatnya, maka pilihannya tetap
calon dari organisasi, karena hal ini adalah salah satu agenda perjuangan organisasi.
Penekanannya adalah bahwa ketika kader organisasi yang memimpin desa, maka akan
didapatkan dua keuntungan sekaligus, yaitu penyelesaian sengketa atas tanah dan harapan
akan perubahan kehidupan di pedesaan.
FPPB juga melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan pembiyaan
yang muncul akibat pencalonan kader-kader kelompok tani mereka sebagai kepala desa.
Sebagaimana ketentuan yang berlaku, setiap calon kepala desa harus menanggung biaya
pemilihan Kepala Desa di desanya secara bersama-sama dengan calon lainnya. Artinya,
setiap calon harus menyediakan sejumlah dana untuk terselenggaranya pemilihan didesanya,
yaitu jumlah yang sama dengan calon lainnya, tergantung jumlah biaya yang diperkirakan
oleh panitia pemilihan dan tergantung jumlah calon kepala desa. Intinya, berdasarkan
ketentuan tentang pemiliha kepala desa, biaya pemilihan adalah tanggungjawab calon yang
akan maju didalam proses pemilihan. Hampir keseluruhan calon kepala desa dari kelompok-
kelompok tani anggota FPPB adalah calon-calon yang tidak mempunyai kecukupan dalam
hal ekonomi, sehingga FPPB perlu memikirkan bagaimana agar seluruh konsekuensi
administratif bisa diatasi dan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk ikut pemilihan.
Salah satu caranya yang ditempuh adalah dengan melakukan pengumpulan dana dari seluruh
anggota melalui iuran uang atau mengumpulkan hasil pertaniannya. Dengan cara ini, FPPB
bias menanggulangi satu persoalan administratif pemilihan kepala desa yang menyangkut
soal dana pemilihan.
Selain itu, satu sayap organisasi FPPB yang memfokuskan pada pengorganisasian kaum
perempuan, yakni SITA (Suara Ibu Tani) juga melakukan rangkaian kegiatan yang tujuannya
untuk memperkuat gerakan tani FPPB. SITA melakukan pertemuan secara bergiliran di
masing-masing desa kelompok taninya dan menyusun jadwalnya sendiri. Pendamping FPPB
– dalam hal ini adalah PEWARTA – kemudian mengikuti jadwal yang sudah dibuat oleh
SITA dan datang pada waktunya untuk menjadi partner diskudi dalam setiap pertemuan. Inti
dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan adalah untuk melakukan pengorganisasian kaum
perempuan di masing-masing desa-desa, dan khususnya di kalangan kelompok-kelompok tani
anggota FPPB. SITA juga mengambil peran untuk menjalankan fungsi penguatan ekonomi
organisasi FPPB, dimana pada tahap awal pendiriannya, SITA melakukan upaya-upaya untuk
pembentukan koperasi di FPPB. Setiap anggota SITA, setiap bulan bersepakat untuk
mengumpulkan uang iuran sebagai upaya pembentukan modal untuk pendirian koperasi di
kelompok taninya masing-masing.
Di tingkat kelompok tani, upaya-upaya penguatan organisasi dilakukan sesuai dengan situasi
yang berkembang dari waktu ke waktu, misalnya pada saat muncul isu akan terjadi
‘penyerangan’ dari sekelompok orang yang berpihak pada perusahaan perkebunan. Di
kelompok tani P4T pada saat muncul isu akan terjadi penyerangan kepada anggota-anggota
kelompok tani P4T, mereka mengadakan Nariyahan50 selama 40 malam secara berturut
sebagai bagian dari upaya untuk konsolidasi juga menunjukan kepada pihak luar bahwa
kelompok mereka cukup solid; selain tentu saja sebagaimana layaknya pertemuan yang
bersifat religious, pertemuan nariyahan itu juga diisi dengan doa-doa bersama untuk
keselamatan bagi mereka dalam menggarap lahan dan dibebaskan dari ganguan-gangguan
kelompok-kelompok lainya.

50
Nariyahan adalah kegiatan pengajian

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 32


V Penutup
Gerakan Petani Batang dan Perjuangan Penegakkan HAM

Telah dijelaskan di muka bahwa perjuangan kelompok-kelompok masyarakat yang hidupnya


sangat bergantung kepada tanah tetapi tidak memiliki akses yang cukup terhadap sumber
kehidupanya tersebut (tanah) adalah bagian dari perjuangan kehidupan mereka, bukan saja
untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupannya, tetapi perjuangan tersebut
menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk menegakan HAM. Gerakan petani
Batang adalah salah satu gambaran tentang perjuangan tersebut. Perjuangan 5 kelompok tani
di sana untuk memperoleh hak atas tanah yang sesungguhnya telah dijamin oleh undang-
undang sekaligus perjuangan mereka dalam membangun organisasi tani lokal adalah
gambaran nyata bagaimana kelompok-kelompok petani setempat memperjuangkan hak-hak
azasinya.

5.1. Merebut Kembali Hak-hak Atas Tanah yang Dijamin oleh Undang-undang
Perjuangan petani di Batang yang diwakili oleh lima kasus diatas, didasarkan atas asumsi
sejarah bahwa orang tua mereka sebelumnya adalah penggarap diatas tanah yang sekarang
sedang diberikan kuasa HGU kepada perusahaan perkebunan, yaitu PT Pagilaran, PT
Segayung, PTPN IX Kebun Sluwok dan PT Ambarawa Maju. Berdasarkan penuturan orang
tua yang masih hidup hingga sekarang, kawasan empat perkebunan tersebut dahulunya adalah
berupa kawasan hutan, dan atas dasar kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka
berkelompok membuka kawasan hutan untuk dijadikan kawasan pertanian mereka. Tetapi
kemudian, datang perusahaan perkebunan dengan berbekal surat formal untuk mengelola
lahan tersebut, dengan seketika petani yang sudah menggarap diatas lahan yang sama tersebut
harus segera meninggalkan lahan pertaniannya tanpa ganti rugi. Pada saat itu, keadaan tidak
memungkinkan bagi petani untuk melawan dan mempertanyakan mengapa mereka harus
pergi dan mengapa penerbitan ijin bagi perusahaan-perusahaan tersebut tanpa koordinasi
dengan petani yang sedang menggarap lahan tersebut. Pada saat itu sangat kental stigma PKI
bagi siapa saja yang mencoba melawan keputusan Negara termasuk jika petani mencoba
mempertanyakan lahan pertaniannya yang diambil alih dengan cara sepihak.
Dengan pemahaman sejarah yang dipahami bersama mereka pun mengaitkan produk
perundang-undangan yang berlaku (UUPA 1960) dengan jaminan dari Negara bagi mereka
yang tidak memiliki tanah. Perjuangan hak atas tanah yang berlangsung, yang pada akhirnya
berakumulasi pada strategi pendudukan tanah-tanah perkebunan tersebut, pada hakekatnya
adalah perjuangan menagih jaminan-jaminan dari Negara seperti yang sudah dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan merujuk kepada sejarah penguasaan lahan di lima kelompok tani di Batang dan cara
pemerintah menanggapinya terlihat bahwa masih ada ‘keraguan’ dari penguasa Negara saat
ini untuk menjalankan visi kemerdekaan republik ini. Padahal pada tahun 1960 sudah
diterbitkan UUPA 1960 yang secara jelas menguraikan visi kenegaraan tersebut dalam
perspektif pembangunan kemandirian masyarakat desa. Di satu sisi, hingga saat ini UUPA
1960 belum dicabut keberadaannya. Pada sisi lainnya banyak kelompok petani yang sangat
membutuhkan tanah tidak hanya sebagai alat untuk berproduksi tetapi juga untuk
mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi dan budaya secara layak. Tetapi dengan merujuk

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 33


kembali kepada kelima kasus yang dikaji, terlihat jelas bahwa Negara tidak menjalankan
fungsi pokoknya untuk melindungi dan menjamin tersedianya kebutuhan yang pokok bagi
kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan tanah tersebut. Dalam perspektif HAM
dengan tidak diberikannya kepastian hukum hak atas tanah kepada warga yang sangat
membutuhkannya maka dapat dikatakan bahwa hak azasi kelompok masyarakat ini telah
dilanggar, dan Negara yang seharusnya melindungi hak-hak azasi tersebut justru terlibat
dalam serangkaian pelanggaran itu. Dengan kata lain, Negara sudah mengabaikan hak-hak
azasi warganya yang berkaitan dengan tanah dan sekaligus sudah melanggar konstitusi.
Ditengah-tengah pelanggaran yang sudah dilakukan oleh Negara kepada warganya itu,
situasinya diperparah lagi dengan kondisi-kondisi dimana warga yang membutuhkan tanah
harus tersingkir dari tanah garapannya bahkan dari tempat tinggalnya. Dalam hal ini,
khususnya melihat apa yang dialami petani di Batang, setelah mereka tidak diberikan hak atas
tanah yang mereka butuhkan kemudian mereka secara ‘sah’ digusur dari lahan garapannya,
karena pada era Orde Baru terbit berbagai macam peraturan yang dapat membenarkan
tindakan-tindakan penggusuran. Pada titik ini, keberadaan Negara yang telah melanggar
HAM dengan tidak menjalankan ketentuan hukum yang berlaku mengenai jaminan kepastian
hak atas tanah bagi warga yang membutuhkannya diperparah dengan mendukung proses-
proses penggusuran warga dari tanah garapannya.
Setelah peristiwa-peristiwa yang terjadi dialami oleh penduduk setempat di Batang, tidak ada
pilihan lagi bagi mereka untuk tetap berjuang mendapatkan sumber penghidupan dengan cara
menguasai sebidang tanah pertanian. Pada sekitar tahun 1990-an (era Orde Baru) mereka
‘terpaksa’ mengikuti skema-skema yang disediakan oleh pihak perusahaan perkebunan
melalui Mandor Perkebunan, yaitu skema Tumpangsari dan Bagi Hasil, kemudian pada era
Reformasi mereka tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban atas tanah yang mereka
garap yang sebelumnya adalah tanah garapan dengan skema Tumpangsari atau Bagi Hasil.
Bahkan, bentuk yang paling berbeda adalah seperti yang terjadi di Perkebunan Pagilaran, di
tengah-tengah sebagian anggota keluarganya tetap menjadi buruh perkebunan, mereka tetap
menuntut pencabutan atas sebagian tanah yang termasuk dalam sertifikat HGU. Apapun yang
dilakukan oleh petani di Batang tersebut adalah bentuk-bentuk perjuangan mereka atas
penghidupannya, dan tidak hanya untuk merebut kembali akses mereka terhadap sumber
penghidupan tetapi lebih dari itu mereka sedang berjuang untuk memperoleh kepastian bagi
masa depan keluarganya. Sedangkan perjuangan mereka untuk memperoleh pengakuan
hukum atas tanah-tanah yang sekarang sedang digarap kembali atau dituntut adalah bagian
dari perjuangan mereka untuk memperoleh security of tenure, yang dalam arti sempit adalah
terbebas dari upaya-upaya penggusuran-penggusuran yang merugikan, seperti yang pernah
mereka alami di masa lalu.
Dalam konteks kehidupan bernegara, perjuangan kelompok-kelompok petani di Batang
malah dapat dikatakan sebagai bagian dari partisipasi warga negara untuk mengingatkan
pemerintah yang berkuasa untuk menjalankan amanat-amanat konstitusi dan undang-undang
untuk menegakan keadilan sosial dan mensejahterakan rakyat. Perjuangan petani di Batang
seharusnya dipandang sebagai bagian dari upaya nyata kelompok petani untuk mengingatkan
kembali pemerintah yang berkuasa tentang perlunya dijalankan land reform, perlunya
meninjau kembali keberadaan penguasaan tanah dalam skala besar yang merugikan penduduk
setempat, dan perlunya diberikan kepastian-kepastian hukum atas tanah-tanah yang sudah
digarap oleh penduduk setempat apalagi jika mereka hidupnya sangat bergantung kepada
tanah tersebut.

5.2. Merebut Kembali Hak-hak untuk Berorganisasi

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 34


Gerakan petani Batang yang terhimpun dalam satu wadah perjuangan FPPB, merupakan
salah satu cara bagi petani untuk mengefektifkan strategi perjuangannya secara bersama-sama
di tingkat kabupaten. Ketika permasalahan yang mereka hadapi memiliki kesamaan, maka
merekapun merumuskan secara bersama-sama agar pemerintah daerah kabupaten Batang
dapat menyelesaikan permasalahan petani di wilayahnya.
Di sisi lain, kesadaran petani di Batang untuk menghimpun dirinya menjadi satu wadah FPPB
juga merupakan upaya yang mereka lakukan untuk juga merebut hak-hak mereka untuk
berorganisasi atau berkumpul untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Dalam
sejarah Indonesia, khususnya sejak Orde Baru berkuasa, kebebasan berorganisasi yang
merupakan bagian dari HAM ini telah diberangus. Bahkan bersamaan dengan itu, rejim Orde
Baru juga memberikan stigma-stigma politik yang terkait dengan peristiwa tahun 1965 dan
komunisme atas berbagai inisiatif kelompok masyarakat yang mencoba berorganisasi untuk
memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya .
Karena itu baru setelah reformasi 1998 berhasil menjatuhkan Soeharto, kelompok-kelompok
perjuangan petani di Batang menyatukan diri dalam wadah FPPB. Meskipun hal itu tidak
berarti para petani dan aktivis-aktivis gerakan sosial di Batang tidak terlibat dalam gerakan
reformasi. Perjuangan petani di Pagilaran dan Ambarawa Maju, misalnya, yang telah mulai
muncul sejak 1990-an awal telah turut mendelegitimasi kekuasaan Orde Baru dengan
mempertanyakan kebijakan-kebijakan pemerintah ini terhadap keberadaan perkebunan besar
yang mengambil tanah-tanah yang seharusnya menjadi hak masyarakat.
Dalam hal ini, mereka dengan FPPB-nya sesungguhnya sedang melakukan perebutan
kembali terhadap hak-hak mereka untuk bebas berkumpul dan berorganisasi yang tidak
terakomodasi selama masa Orde Baru.

[]

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 35


Referensi:
Bachriadi, Dianto. Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer. Dalam Bachriadi, Faryadi
dan Setiawan (ed.). Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda
Pembaruan Agraria di Indonesia. KPA dan LP FE Universitas Indonesia. 1997.
Bachriadi, Dianto. Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Kembali Lembaga
Peradilan Yang Independen. Kertas Posisi KPA No. 2 Tahun 1998. Bandung.
Konsorsium Pembaruan Agraria. 1998a.
Bachriadi, Dianto. Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran-pelanggaran HAM pada
Industri Pertambangan di Indonesia. Jakarta. ELSAM. 1998b.
Bachriadi, Dianto. Memandang Selayang Kedalam: Latar Belakang Munculnya Usulan
Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alamyang Adil dan Berkelanjutan. Dalam Meneguhkan Komitmen Mendorong
Perubahan. Bandung. KSPA-KPA,Pokja PAPSDA. 2001.
Bachriadi, Dianto. Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan
Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat. Dalam Lounela dan Zakaria (ed.). Berebut
Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta. Insist
Press. 2002.
Bachriadi Dianto. Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu
Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA). Jurnal
Dinamika Masyarakat Vol. III, No. 3, November 2004, hal. 497-521. 2004.
Bachriadi, Dianto, dan Noer Fauzi. The Resurgence of Agrarian Movements in Indonesia:
Scholar-Activists, Popular Education and Peasant Mobilization—Some Sketches For
Discussion. Paper presentasi the International Conference on Social Movement
Perspectives: Land, Poverty, Social Justice and Development. The Hague: ISS. 2006.
Bachriadi, Dianto dan Lucas, Anton. Merampas Tanah Rakyat. Jakarta. Kepustakaan Populer
Gramedia. 2001.
Bachriadi, Safitri, Bachrioktora. Menuju Integrasi Sistem Hukum Agraria Nasional – Kajian
Kebijakan dan Pengaturan Perundang-undangan di Bidang Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Bandung. KPA-Pokja PAPSDA-BPN-HuMA-ICRAF. 2004.
Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri. Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang.
Yogyakarta. Lapera Pustaka Utama. 2005.
Boomgaard, Peter. Between Sovereign Domain and Servile Tenure: The Development of
Rights to Land in Java, 1780-1870. Amsterdam. Free University Press. 1988.
Djuweng, Stepanus. Land Disputes Cases – The Strawberry of Development: Global Causes
of Local Conflict vs Local Cost of Global Problems. Paper pada 10th INFID
Conference: ‘Land and Development’. Canberra 26-28 April 1996. 1996.
Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia.
Yogyakarta. Insist Press, KPA, Pustaka Pelajar. 1999.
Franke, Richard. The Green Revolution in a Javanese Village. (tidak dipublikasi) Ph.D. thesis
at Harvard University. Cambridge. Massachusetts. 1972.
Gautama, Sudargo. Tafsiran UUPA. Jakarta. Citra Aditya Bakti. 1993
Gunawan. Pembaruan Agraria, Pembaruan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dokumen
Focus Group Meeting “Merumuskan Pokok-pokok Pikiran tentang RUU Reforma

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 36


Agraria”. Diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Jakarta, 29-
30 Januari 2009. 2009.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukkan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta. Djambatan. 1996.
Husken, Frans. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di
Jawa, 1830-1980. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 1998.
Hutagalung, Arie Sukanti. Program Redistribusi Tanah di Indonesia: Suatu Sarana ke Arah
Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah. Jakarta, Rajawali Pers.
1985.
Ismet. Daftar Tanah Perkebunan-perkebunan di Indonesia. Bandung. CV Biro Sinar. 1970.
Kartodirdjo, Sartono dan Suryo, Djoko. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial
Ekonomi. Aditya Media. 1991
Lucas, Anton and Dianto Bachriadi. Loosing Rights to Land: the Fate of Land Reform in
Five Villages in West Java. dalam Land Laws, Conflicts and Liveilihood in Indonesia.
Anton Lucas and Carol Warren (ed.). Athen: Ohio Univ. Press. 2009
Mammock, Kasus Tanah Ujung Negoro Batang, Jawa Tengah. Dalam Pluralisme Hukum
Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah. Harman et al (ed.). Jakarta. YLBHI. 1995
Manning, Chris. The Green Revolution, Employment, and Economic Change in Rural Java:
A Reassessment of Trends under the New Order. ISEAS Occasional Paper No. 84,
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 1988.
McAuslan, Patrick. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Jakarta. Gramedia dan
Walhi. 1986
Muhtaj, Majda El. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Jakarta. Rajawali Pers. 2008
Peluso, Nancy Lee. A History of State Forest Management in Java. Dalam Keeper of The
Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia, pp 27-55. Mark
Poffenberger (ed.). Connecticut. Kumarian Press. 1990
Peluso, Nancy Lee. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java.
Berkeley. University of California Press. 1992.
Plant, Roger. The Right To Food and Agrarian System: Law and Practice in Latin. Dalam
The Right To Food. Alston dan Tomasevski (ed.). International Studies in Human
Rights. SIM dan Martinus Nijhoff Publishers. 1984
Ruwiastuti, Maria R. Menuju Pluralisme Hukum Agraria: Analisa dan Kritik Terhadap
Marginalisasi Posisi Hukum-hukum dan Hak-hak Adat Penduduk Asli atas Tanah
dan Sumber-sumber Agraria oleh UUPA 1960. Dalam Usulan Revisi UUPA: Menuju
Penegakkan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria. Bandung. Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria. Oktober 1998.
1998.
Soesangobeng, Herman. Kontekstualisasi Filosofi Adat tentang Tanah dan Penerapannya
Setelah UU No. 5/1960 Serta Advokasi Pertanahan di Indonesia. Makalah Diskusi di
AKATIGA – Bandung, 21 Februari 1998. 1998.
Soetiknjo, Iman. Proses Terjadinya UUPA: Peranserta Seksi Agraria Universitas Gdjah
Mada. Jogjakarta. Gadjah Mada University Press. 1987.

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 37


Suryaalam, Maria R. (ed.). Menguak Rahasia: Di balik Merebaknya Konflik-konflik Agraria
di Flores dan Timor. Denpasar. VeCo-Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
2003.
Tauchid, Mohammad. Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakjat Indonesia. Jakarta. Penerbit Tjakrawala. 1952.
Tjondronegoro, Sediono MP. A Brief Quarter Century Overview of Indonesia’s Agrarian
Policies. Makalah pada the National Seminar of ‘Land and Households Economy
1979-2005: Changing Roads for Poverty Reduction’. ICASEPS and UNESCAP-
CAPSA, Bogor 25 June 2007. 2007.
Utrecht, E. Land Reform. Bulletin of Indonesia Economics Studies 5(3) (November 1969).
Pp. 71-88. 1969
Van Niel, Robert. Sistem Tanam Paksa di Jawa: Kumpulan Tulisan. Jakarta. LP3ES. 2003.
Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bandung. KPA dan
Insist Press. 2000.
BPS. Sensus Pertanian 2003: Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumah Tangga. Jakarta,
Badan Pusat Statistik, 2004.
BPS. Jawa Tengah dalam Angka 2007. Bappeda Propinsi Jawa Tengah dan BPS Propinsi
Jawa Tengah. 2008.
BPN. Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006. Jakarta. Deputi Bidang
Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN. 2006.
Sejarah Pembentukan Kab. Batang. di http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Undang-undang No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara
Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak.
Keputusan Menteri Agraria No. SK 922/Ka tanggal 28 November 1960 tentang Penetapan
Minimum Luas Tanah Yang Harus Ditanami Tebu.

FINAL – Menuntut Negara by HS Page 38

You might also like