Professional Documents
Culture Documents
Hak atas tanah dalam konsepsi HAM harus diletakan dalam konteks hak seseorang untuk
memperoleh penghidupan yang layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan
tempat tinggal; maupun dalam konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk
melanjutkan kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya
baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan terhadap tanah,
maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi mutlak: semutlak hak azasi
manusia itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka atas tanah dalam luasan
yang memadai secara berkelanjutan akan membuat mereka mendapatkan penghidupan yang
layak secara berkelanjutan pula. Dalam hal ini Negara harus menjamin terjadinya
keberlanjutan hak mereka atas tanah (security of tenure) yang berarti memberikan jaminan
atas kesempatan bagi warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk
berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik sebagai warga
Negara maupun sebagai manusia.
Banyaknya kasus-kasus konflik agraria yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu
disusul dengan aksi-aksi penggusuran dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan kembali
(reclaiming actions) menunjukan bahwa Negara tidak menjalankan fungsinya untuk
memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup sekelompok orang yang kehidupan sosial,
ekonomi dan budayanya sangat bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut
juga mencerminkan adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara,
khususnya pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang sangat dibutuhkan
tersebut.
Dalam perspektif hak azasi manusia jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk
mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan secara tidak langsung
terkandung di dalam sejumlah dokumen tentang penegakan hak azasi seperti Universal
Declaration on Human Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social and
Culture Rights (ICESCR), International Covenant on Civil Politic Rights (ICCPR) dan
International Covenant on Indigenous People Rights (ICIPR).2 Beberapa klausul yang terkait
dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang
hak pangan dan gizi yang cukup, pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan,
hak untuk bekerja, hak atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya3 tercermin misalnya dalam
beberapa pasal dari dokumen-dokumen tersebut. Misalnya dalam Universal Declaration on
Human Rights (UDHR), khususnya pasal 25 (1), dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas
1
Saat ini menjadi salah satu peneliti bidang agraria di Yayasan AKATIGA – Bandung dan Agrarian
Resource Center (ARC) – Bandung.
2
Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006.
Undang-undang No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan Undang-undang
No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006.
Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati
dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut.
3
Hak-hak untuk melestarikan identitas kebudayaan kelompok minoritas.
7
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1.
8
Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”,
BPS,Jakarta, Tabel 1.C.
9
Diolah dari Tabel 4.c. “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa
Tengah”, BPS – Jakarta.
10
Angka Gini Ratio penguasaan tanah merupakan indeks atas konsentrasi penguasaan tanah. Hasil
perhitungan gini ratio akan menghasilkan besaran antara 0 – 1. Semakin mendekati angka 1, maka
kesimpulannya struktur penguasaan tanah semakin timpang. Sebaliknya, jika angka gini memiliki
kecenderungan mendekati 0, maka penguasaan tanah relatif merata.
Di Indonesia, hak atas tanah bagi warga negara dan khususnya bagi kaum tani yang hidupnya
sangat bergantung kepada tanah telah diatur dengan sangat baik melalui UUPA 1960. Dalam
konteks penegakan HAM seperti diuraikan di atas, kita dapat mengatakan bahwa dengan
adanya UUPA 1960 sesungguhnya Indonesia telah cukup maju untuk memberikan ketentuan
hukum formal mengenai jaminan hak atas tanah bagi warga negara yang membutuhkannya.
UUPA 1960, meskipun tidak disusun dengan mengacu secara khusus kepada sejumlah
ketentuan hak azasi manusia seperti yang tertuang di dalam sejumlah instrumen internasional
penegakan HAM, mengandung sejumlah penekanan yang penting bagi perwujudan keadilan
agraria dalam rangka menegakan keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia.
Ketika UUPA dirumuskan sejak tahun 1948 hingga mulai diberlakukan pada tahun 1960
konsepsi domein verklaring yang menjadi dasar dari hukum agraria kolonial dihapuskan.
UUPA becita-cita menasionalkan peraturan-peraturan tentang agraria dan hak-hak atas tanah
agar lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia yang telah merdeka. Dengan semangat untuk
mengembalikan seluruh kedaulatan tanah air Indonesia kepada bangsa Indonesia maka para
perumus UUPA 1960 menggunakan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) yang bersumber
dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sebagai pengganti dari konsepsi domein verklaring. Menurut
Harsono perbedaan penting antara konsepsi domenin verklaring dengan HMN adalah target
atau tujuan pengaturannya, dimana ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam konsep domein
verklaring adalah semata-mata untuk kepentingan pengusaha besar, sedangkan konsep HMN
tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia seperti yang sudah tertuang di
dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (Harsono 1996: 36).
Dalam UUPA 1960 (pasal 2:2) HMN menegaskan bahwa Negara mempunyai kewenangan
untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut; (2) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa; (3) mengatur dan menentukan
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa. Konsepsi HMN, didalam konteks politik pengaturan sumber-sumber
agrarian pada saat itu, kemudian menjadi dasar penting dari dua konsepsi penting lainnya
dalam hukum agrarian di Indonesia hingga saat ini, yakni konsep Tanah Negara dan Hutan
13
Pada saat itu kebijakan ini dibuat untuk tujuan menambah pemasukan melalui pajak tanah atau
menambah peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan pasar Eropa yang cukup tinggi atas
hasil-hasil pertanian dan hutan
14
Lihat Boomgaard, 1988: 73-75; Peluso 1990 and 1992; Bachriadi and Lucas 2002
15
Lihat Wiradi 1986: 11-12 and 2000: 121-123; Boomgaard 1989: 5-7
16
Lihat Van Niel 2003 and 1992: 5-28; Boomgaard 1989: 7-9; Wiradi 2000: 124
17
Lihat Tauchid 1953, Wiradi 1986: 15-17 and 2000: 127-132, Kartodirdjo and Suryo 1991, Harsono
1999: 35-37.
18
Staatsblad 1865-96: Reglement voor het beheer en de exploitative der houtbosschen van de Lande
op Java en Madura.
19
Lihat Peluso 1990: 34 and 1992: 53; Bachriadi and Lucas 2002: 82
20
Menurut Harsono (1995:37) Konsep ini adalah konsepsi yang terdapat dalam pasal 1 Agrarisch
Besluit. Konsepsi ini adalah konsep yang secara khusus diberlakukan di pulau Jawa dan Madura,
sementara untuk aturan yang berlaku di luar pulau Jawa tercantum di dalam ketentuan perundang-
undangan yang lain. Pernyataan Domein yang ada didalam Domeinverklaring juga kemudian
diberlakukan di wilayah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura dengan suatu ordonansi
yang diundangkan dalam S.1875-119a. Selain Agrarisch Besluit juga dijumpai pernyataan-pernyataan
serupa untuk daerah-daerahtertentu, yaitu yang dicantumkan dalam pasal 1 peraturan-peraturan
tentang Hak Erpacht, yaitu yang diundangkan dalam S.1874-94f, S.1877-55 dan S.1888-55.
21
Liat kajian Harsono (1996: 881 dan 1999: 270) yang memperlihatkan semua terminology dan
definisi yang ada didalam peraturan tersebut masih merujuk (berdasarkan) pada prinsip-prinsip
domeinverklaring. Jelas bahwa PP ini merujuk kepada Agrarisch Besluit yang terurai dalam bagian
penjelasan umum (no. 1)berisi “berdasarkan prinsip Domeinverklaring, yang dinyatakan dalam
Agrarisch Besluit pasal 1, semua tanah yang tidak dihak-I oleh seseorang … Semua tanah-tanah
tersebut didalam peraturan ini disebut sebagai Tanah Negara.”
22
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah kebijakan penetapan kawasan Hutan Negara dalam
satu wilayah administratif tertentu yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah
daerah dan pemegang otoritas kehutanan setempat.
23
Pada tahun 2004, Undang-undang Kehutanan ini diperbarui menjadi UU No…19/2004 yang
merupakan peraturan yang menetapkan berlakunya Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang yang diterbitkan sebelumnya.
24
Berdasarkan UUPA Bagian Kedua tentang Ketentuan-ketentuan Konversi pasal VII.
25
UUPA mengatur pembatasan maksimal penguasaan tanah oleh setiap keluarga tani, yaitu Dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat
(3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut
dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum., berdasarkan UUPA 1960, pasal 17 ayat 1
26
Lihat UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, UU No. 38 Prp Tahun
1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman Tertentu, dan Keputusan
Menteri Agraria No. SK 922/Ka tanggal 28 November 1960 tentang Penetapan Minimum Luas Tanah
Yang Harus Ditanami Tebu.
27
Lihat UUPA Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II nomor (8).
28
Sayangnya UUPA 1960 tidak mengatur soal pembatasan penguasaan tanah oleh badan-badan
usaha ini secara lebih tegas.
29
Lihat UUPA 1960 Pasal 10 ayat (1) dan (2) dan Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II
nomor (7).
30
Mengenai proses perdebatan dan penyusunan UUPA lihat misalnya Soetiknjo 1987.
31
Mengenai sejarah pembentukan Kabupaten Batang lihat “Sejarah Pembentukan Kab. Batang”, di
http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm
32
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1. Luas Penggunaan Lahan dan Luas Kawasan
Hutan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006..
33
Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang
Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN dan Dokumen “Inventarisasi
Masalah Pertanahan di Kabupaten Batang”, tt.
Sementara menurut data tahun 2006, luas perkebunan Negara di Kabupaten Batang adalah 7.910
ha, yaitu 10,03% dari keseluruhan luas Kabupaten Batang. Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka
Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah,
Tabel 1.2.4. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun
2006. Sumber lain menyatakan bahwa perkebunan besar di kabupaten Batang seluruhnya berjumlah
19 perkebunan, jumlah ini didasarkan pada jenis tanaman yang dihasilkan setiap tahunnya. Dari 19
perkebunan besar yang tercatat tersebut disebutkan bahwa total luas lahan yang dipergunakan
adalah 5.930,82 ha. Hal ini menunjukkan terdapat selisih luas lahan dari jumlah yang diperuntukkan
untuk perkebunan yaitu lahan perkebunan yang dikeluarkan sertifikat HGU-nya oleh Badan
Pertanahan Nasional hingga tahun 2006 dengan pemanfaatannya untuk menghasilkan komoditi
perkebunan yang tercatat di Dinas Pertanian. Lihat situs resmi Pemerintah Propinsi Jawa
Tengah: .http/www.jawatengah.go.id/
34
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.4. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah
Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006
35
Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 3.1.1. Penduduk Jawa Tengah Menurut
Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin tahun 2006 dan Tabel 3.1.5. Banyaknya Rumah Tangga dan
Rata-rata Anggota Rumah Tangga Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006.
36
Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”,
Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. Tabel 1.c. Banyaknya Rumah Tangga, Rumah Tangga
Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani GUrem Menurut Kabupaten/Kota. Data yang
tersedia tidak menyajikan jumlah rumah tangga pertanian yang tidak menguasai lahan (landless).
Sumber statistik yang lain menyebutkan bahwa di Kabupaten Batang pada tahun 2006 ada
sekitar 115 ribu orang yang bekerja sebagai buruh tani. 37 Sejarah perkebunan di Kabupaten
Batang yang telah dimulai sejak masa kolonial hingga kini masih menerapkan pola yang
relatif sama khususnya dalam hal mengeksploitasi tenaga kerja setempat tanpa
memperhatikan kesejahteraan mereka. Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Jateng Ir. Siswanto
mengatakan““sejumlah areal perkebunan besar tidak lepas dari kesan kolonialisme,
eksploitasi tenaga kerja dan kurang memperhatikan lingkungan sosial masyarakat. Hal
inilah yang melahirkan konflik sosial antara perkebunan besar dan masyarakat sekitar
kebun dan perkebunan besar dengan plasmanya, terutama menyangkut keberadaan HGU
Perkebunan”.38
Upah buruh perkebunan yang besarnya rata-rata Rp. 504.000 perbulan39 jumlahnya masih di
bawah Upah Minimum Propinsi/UMP atau Upah Minimum Kabupaten/UMK yang
ditetapkan oleh Gubernur Jawa Tengah tahun 200740 yaitu Rp. 615.000 yang diberlakukan
sepanjang tahun 2008. Kondisi ini, pada saat ini menjadi lebih buruk karena seperti yang
diuraikan oleh salah seorang buruh perkebunan di PT Pagilaran menyatakan perubahan
kepemilikan perusahaan dari dibawah pemerintahan Hindia Belanda kepada pihak swasta
(Yayasan Universita Gajah Mada) telah membuat mereka kehilangan beberapa kompensasi
yang biasanya diperoleh. Ia mengatakan“… sekarang buruh pekerja tidak mendapatkan
jaminan sosial, kalau dulu sebelum diserahkan kepada UGM, buruh perkebunan masih
mendapatkan jatah beras dan sembako setiap bulan..”.41
37
Berdasarkan “Hasil Sensus Ekonomi 2006, Pendataan Potensi Desa/Kelurahan”, Badan Pusat
Statistik – Jakarta.
38
Lihat “Sertifikat Status HGU Sering Munculkan Konflik”, Harian Suara Merdeka tanggal 1 Juni 2004
39
Dengan perhitungan mereka bekerja dalam sebulan adalah 28 hari dengan upah harian sebagai
buruh tetap adalah Rp. 18.000 perhari, akan berbeda dengan upah buruh harian lepas yang upahnya
rata-rata Rp. 15.600/hari atau (jika waktu kerja dalam sebulan adalah 28 hari) Rp. 436.800. (Sumber:
hasil wawancara dengan salah satu buruh perkebunan Pagilaran).
40
Berdasarkan SK Gubernur No. 561.4/51/2007
41
Wawancara dengan salah satu petani Pagilaran, 7 Februari 2008
42
Berdasarkan surat perjanjian Tumpangsari yang dimiliki oleh salah seorang penduduk setempat.
Didalam surat perjanjian Tumpangsari ini disebutkan bahwa lahan yang dijadikan areal Tumpangsari
adalah lahan yang termasuk kedalam HGU Kebun Sluwok PTPN IX. Secara formal, tidak
dimungkinkan kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan menjadi bagian dari areal
HGU, karena HGU hanya bisa diterbitkan diatas Kawasan Budidaya Non Kehutanan/KNBK.
Meskipun telah ditetapkan melalui sejumlah peraturan yang jelas, mengapa tuntutan hak atas
tanah masih terus bermunculan di Indonesia? Apa yang menyebabkan tuntutan-tuntutan dan
aksi-aksi untuk mengklaim tanah oleh penduduk setempat (reclaiming actions) terus terjadi?
Seperti telah diungkapkan di atas, hal ini terkait dengan bagaimana UUPA 1960 diterapkan
dari waktu ke waktu yang sangat terkait dengan orientasi politik dan ekonomi pemerintahan
yang berkuasa pada waktu tersebut. Di sini lah letak titik krusial dalam soal pemenuhan hak
atas tanah di Indonesia yang sekaligus menjadi upaya untuk pemenuhan hak dasar kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah.
Sejumlah studi telah menunjukan bahwa alih-alih menjalankan amanat UUPA 1960 untuk
menjamin hak-hak penduduk setempat atas tanah, rejim yang berkuasa di Indonesia
khususnya pasca 1965 lebih berorientasi kepada pemberian fasilitas bagi eksploitasi kekayaan
alam secara berlebihan untuk kepentingan komersial yang kemudian mengabaikan hak-hak
dari penduduk setempat terhadap sumber-sumber yang sama (=tanah) untuk keberlangsungan
dan peningkatan kualitas hidupnya (lihat misalnya Fauzi 1998 dan 1999; Wiradi 2000;
Bachriadi 1998a, 1998b, 2002 dan 2004; Suryaalam 2003; dan Bachriadi, Bachrioktora dan
Safitri 2005).
Melihat kasus-kasus penggusuran dan pola-pola perjuangan petani penggarap untuk merebut
kembali hak-hak mereka atas tanah ternyata sebagian besar alasan yang mendasari
44
HGU untuk PT Tratak terbit tahun 1988 dan HGU untuk PT Segayung tahun 1986.
49
PEWARTA berdiri sejak tahun 2000. PEWARTA awalnya adalah kelompok mahasiswa yang
tergabung dalam Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR), berdomisili di kota
Yogyakarta. SMKR memiliki agenda penguatan kapasitas setiap mahasiswa yang bergabung
didalamnya. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengirimkan beberapa orang mahasiswa
ke desa-desa di sekitar Jawa Tengah, dengan tujuan agar seluruh mahasiswa yang tergabung dapat
memahami seutuhnya kehidupan rakyat dimanapun berada termasuk rakyat di pedesaan. Pada tahun
1999, desa yang menjadi target adalah desa-desa di sekitar dimana anggota FPPB berada.
Bertepatan dengan kedatangannya, petani penggarap penuntut tanah perkebunan Pagilaran
mendapatkan perlawanan dari pihak perkebunan. Sejak saat itu, beberapa orang mahasiswa yang
tergabung dalam SMKR itu terus melanjutkan kebersamaannya dengan FPPB, padahal agenda
SMKR sudah berakhir, Ketika FPPB dideklarasikan pada tahun 2000, SMKR pun kemudian
berdiskusi untuk meneguhkan kerja-kerjanya dengan FPPB. Kemudian diputuskan bahwa SMKR
perlu membentuk satu sayap khusus untuk menfokuskan kerja-kerjanya dengan kelompok petani,
maka dibentuklah Persaudaraan Warga Tani – PEWARTA. Bagi FPPB, keberadaan PEWARTA
kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari FPPB, karena baik FPPB dan PEWARTA
memiliki kesepahaman bagiamana memposisikan dan berperan didalam penguatan petani di Batang,
sejak saat itu, PEWARTA secara khusus memegang peran melaksanakan rangkaian pendidikan
untuk anggota seluruh FPPB.
50
Nariyahan adalah kegiatan pengajian
5.1. Merebut Kembali Hak-hak Atas Tanah yang Dijamin oleh Undang-undang
Perjuangan petani di Batang yang diwakili oleh lima kasus diatas, didasarkan atas asumsi
sejarah bahwa orang tua mereka sebelumnya adalah penggarap diatas tanah yang sekarang
sedang diberikan kuasa HGU kepada perusahaan perkebunan, yaitu PT Pagilaran, PT
Segayung, PTPN IX Kebun Sluwok dan PT Ambarawa Maju. Berdasarkan penuturan orang
tua yang masih hidup hingga sekarang, kawasan empat perkebunan tersebut dahulunya adalah
berupa kawasan hutan, dan atas dasar kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka
berkelompok membuka kawasan hutan untuk dijadikan kawasan pertanian mereka. Tetapi
kemudian, datang perusahaan perkebunan dengan berbekal surat formal untuk mengelola
lahan tersebut, dengan seketika petani yang sudah menggarap diatas lahan yang sama tersebut
harus segera meninggalkan lahan pertaniannya tanpa ganti rugi. Pada saat itu, keadaan tidak
memungkinkan bagi petani untuk melawan dan mempertanyakan mengapa mereka harus
pergi dan mengapa penerbitan ijin bagi perusahaan-perusahaan tersebut tanpa koordinasi
dengan petani yang sedang menggarap lahan tersebut. Pada saat itu sangat kental stigma PKI
bagi siapa saja yang mencoba melawan keputusan Negara termasuk jika petani mencoba
mempertanyakan lahan pertaniannya yang diambil alih dengan cara sepihak.
Dengan pemahaman sejarah yang dipahami bersama mereka pun mengaitkan produk
perundang-undangan yang berlaku (UUPA 1960) dengan jaminan dari Negara bagi mereka
yang tidak memiliki tanah. Perjuangan hak atas tanah yang berlangsung, yang pada akhirnya
berakumulasi pada strategi pendudukan tanah-tanah perkebunan tersebut, pada hakekatnya
adalah perjuangan menagih jaminan-jaminan dari Negara seperti yang sudah dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan merujuk kepada sejarah penguasaan lahan di lima kelompok tani di Batang dan cara
pemerintah menanggapinya terlihat bahwa masih ada ‘keraguan’ dari penguasa Negara saat
ini untuk menjalankan visi kemerdekaan republik ini. Padahal pada tahun 1960 sudah
diterbitkan UUPA 1960 yang secara jelas menguraikan visi kenegaraan tersebut dalam
perspektif pembangunan kemandirian masyarakat desa. Di satu sisi, hingga saat ini UUPA
1960 belum dicabut keberadaannya. Pada sisi lainnya banyak kelompok petani yang sangat
membutuhkan tanah tidak hanya sebagai alat untuk berproduksi tetapi juga untuk
mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi dan budaya secara layak. Tetapi dengan merujuk
[]