You are on page 1of 10

Riwayat Merokok Kretek yang dihubungkan dengan Perkembangan Gejala Autonom Kranial pada Nyeri Kepala Migren

Todd D. Rozen, MD. FAAN

Tujuan Untuk melihat riwayat merokok pasien migren dan menentukan sama ada riwayat merokok kretek berhubungan dengan perkembangan gejala autonom kranial pada nyeri kepala migren. Latar belakang Baru-baru ini diketahui bahwa banyak pasien migren mengalami gejala autonom pada saat serangan nyeri kepala. Mengapa refleks autonom trigeminal teraktivasi pada beberapa pasien nyeri kepala dan tidak pada pasien lainnya masih belum diketahui. Nyeri kepala cluster lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat merokok, menunjukkan adanya hubungan antara paparan merokok dengan patogenesis nyeri kepala cluster. Dapatkah dengan merokok kretek dengan cara tertentu mengakibatkan pengaktifan refleks autonomtrigeminal pada pasien nyeri kepala? Sekiranya dengan merokok kretek dapat menurunkan ambang batas untuk aktivasi refleks autonom trigeminal, apakah pasien migren yang mempunyai riwayat merokok lebih sering mengalami gejala autonom kranial berbanding pasien migren yang tidak pernah merokok? Metode Pasien yang telah didiagnosis dengan migren (episodik atau kronik) yang ditemukan dalam waktu 7 bulan di pusat nyeri kepala ditanyakan mengenai ada atau tidaknya gejala autonom kranial pada saat serangan nyeri kepala. Pasien dikatakan positif mengalami gejala autonom yang bersamaan dengan nyeri kepala jika mengalami minimal salah satu dari gejala berikut: ptosis atau jatuhnya kelopak mata, edema kelopak mata atau orbita, injeksi konjuktiva, lakrimasi, atau kongesti nasal/rinorea. Riwayat merokok ditentukan untuk tiap pasien termasuk apakah pasien merupakan perokok yang masih aktif, pernah merokok sebelumnya, atau tidak pernah merokok sama sekali. Pasien dikatakan positif mempunyai riwayat merokok kretek jika pernah merokok secara terusmenerus minimal selama 1 tahun dalam hidupnya.

Hasil Sejumlah 117 pasien migraine telah diikutsertakan dalam analisis ini (96 wanita, 21 pria). 46 pasien mempunyai riwayat merokok yang positif sedangkan 71 pasien tidak mempunyai riwayat merokok. 70% (32/46) pasiem migren dengan riwayat merokok yang ositif mengalami gejala autonom kranial bersamaan dengan nyeri kepala, sedangkan hanya 42% (30/71) pasien bukan perokok mengalami sekurang-kuragnya satu gejala autonomy bersamaan dengan nyeri kepala dan ini merupakan sesuatu perbedaan yang sangat bermakna secara statistic (P< ,005). Totalnya, 74% perokok aktif mengalami gejala autonom bersamaan dengan nyeri kepala berbanding hanya 61% pada pasien yang pernah merokok dan secara statistik hal ini tidak ada perbedaan yang bermakna. Terdapat perbedaan yang sangat bermakna secara statistik anntara jumlah perokok aktif yang mengalami gejala autonomy pada saat nyeri kepala berbanding pasien yang tidak pernah merokok dan mengalami gejala autonom (P< ,05). Keseluruhannya, 52% pasien migren yang diteliti mengalami gejala autonom. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kejadian gejala autonom pada perokok pria dan wanita dengan bukan perokok pria dan wanita. Tiap-tiap subtipe gejala autonom kranial lebih sering erjadi pada perokok. Kesimpulan Riwayat merokok didapatkan berhubungan dengan perkembangan gejala autonom kranial pada nyeri kepala migren. Kata kunci: migren, gejala autonom kranial, merokok, kretek, nyeri kepala cluster.

Selama beberapa tahun, hanya sefalgia autonom trigeminal (TACs) yang diketahui menyebabkan gejala autonom kranial pada saat serangan nyeri kepala sebagai bagian dari manifestasinya. Baru-baru ini, telah diketahui bahwa terdapat sejumlah pasien migren yang juga mengalami gejala autonom pada saat serangan. Masih belum diketahui mengapa pada beberapa pasien nyeri kepala dapat terjadi aktivasi refleks autonom trigeminal (koneksi batang otak secara anatomi antara kompleks trigeminal servikal dengan sistem pengeluaran parasimpatis kranial)

dan kemudian membentuk nyeri kepala dan gejala autonom kranial sedangkan tidak pada yang lain. Nyeri kepala cluster yang merupkan bagian dari TACs lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat merokok meunjukkan bahwa adanya hubungan antara paparan dengan tembakau dan patogenesis nyeri kepala. Dapatkah dengan merokok kretek dengan cara tertentu dapat mengaktivasi refleks autonom trgeminal pada pasien yeri kepala? Sekiranya merokok kretek dapat merubah ambang untuk aktivasi refleks TAC, apakah pasien migren yang merokok lebih sering mengalami gejala autonom kranial berbanding pasien yang tidak pernah merokok?Prevalensi gejala autonom kranial pada pasien migren yang mempunyai riwayat merokok dan yang tidak mempunyai riwayat merokok masih belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat riwayat merokok pasien dan menentukan apakah merokok dapat dihubungkan dengan perkembanga gejala autonom kranial pada saat serangan migren. METODE Pasien baru yang didiagnosis dengan migren (episodik atau kronik)dalam periode wkatu 7 bulan yang berobat ke klinik nyeri kepala yang baru dibangun ditanyakan apakah mengalami gejala autonom kranial pada saat serangan nyeri kepala. Diagnosis migren dibuat menggunakan kriteria International Classification of Headache Disorders-2. Pasien dikatakan positif mengalami gejala autonom kranial ketika nyeri kelpala jika mengalami minimal salah satu dari gejala berikut: : ptosis atau jatuhnya kelopak mata, edema kelopak mata atau orbita, injeksi konjuktiva, lakrimasi, atau kongesti nasal/rinorea. Gejala-gejala ini harus terjadi lebih dari sekali nyeri kepala. Pasien tidak ditanyakan apakah ada keringat dahi atau wajah yang merupakan gejala autonom kranial yang lain. Riwayat merokok ditentukan untuk tiap pasien termasuk apakah pasien merupakan perokok yang masih aktif, pernah merokok sebelumnya, atau tidak pernah merokok sama sekali. Pasien dikatakan positif mempunyai riwayat merokok kretek jika pernah merokok secara terus-menerus minimal selama 1 tahun dalam hidupnya. Tidak semua yang sudah berhenti merokok dapat memberi tahu durasi yang tepat kapan mereka mulai berhenti merokok. Data-data pasien

didapatkan melalui wawancara secara langsung. Riwayat nyeri kepala termasuk data gejala autonom kranial didapatkan melalui seorang ahli neurologi nyeri kepala (penulis), sementara pengumpulan seluruh data demografi termasuk riwayat merokok dilakukan oleh perawat di bagian Neurologi. Data dimasukkan ke dalam sebuah alat rekam medis elektronik. Ahli neurologi nyeri kepala tidak mengetahui riwayat merokok pada saat mewawancara tiap pasien. Penelitian ini telah mendapat izin dari lembaga pemeriksaan institusi. Analisis statistik. Tes ketepatan Fisher telah digunakan untuk menganalisis data dengan kategori-kategori ini termasuk perokok (pernah merokok atau masih aktif) vs bukan perokok, perokok aktif vs bukan perokok, pernah merokok vs bukan perokok, perokok pria dan wanita vs bukan perokok dan ada atau tidak gejala autonom kranial. Kami juga melihat pada perbedaan prevalensi subtipe gejala autonom kranial pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Bermakna secara statistik ditentukan jika P<.0,5. Semua nilai P bersifat 2-tail. Perangkat lunak SPSS paket untuk Windows versi 18 (Chicago, IL, USA) digunakan unuk melakukan analisis. HASIL Sejumlah 117 pasien migraine telah diikutsertakan dalam analisis ini (96 wanita, 21 pria). 46 pasien mempunyai riwayat merokok yang positif sedangkan 71 pasien tidak mempunyai riwayat merokok (Tabel 1). 23 pasien mash aktif merokok sedangkan 71 orang pasien sudah berhenti meokok . Pasien yang masih aktif dan yang sudah berhenti merokok telah merokok dengan durasi rata-rata selama 5 hingga 10 tahun. . 70% (32/46) pasien migren dengan riwayat merokok yang positif mengalami gejala autonom kranial bersamaan dengan nyeri kepala, sedangkan hanya 42% (30/71) pasien bukan perokok mengalami sekurangkurangnya satu gejala autonom bersamaan dengan nyeri kepala dan ini merupakan sesuatu perbedaan yang sangat bermakna secara statistik (P< ,005) (Tabel 2). Totalnya, 74% perokok aktif mengalami gejala autonom bersamaan dengan nyeri kepala berbanding hanya 61% pada pasien yang pernah merokok dan secara statistik hal ini tidak ada perbedaan yang bermakna. Terdapat perbedaan yang

sangat bermakna secara statistik anntara jumlah perokok aktif yang mengalami gejala autonom pada saat nyeri kepala berbanding pasien yang tidak pernah merokok dan mengalami gejala autonom (P< ,05). Keseluruhannya, 52% pasien migren yang diteliti mengalami gejala autonom. Riwayat merokok (aktif atau sudah berhenti) diketahui meningkatkan resiko terjadinya gejala autonom kranial pada kedua jenis kelamin. Pada pria, 16 dari 21 pasien (76%) mengalami gejala autonom kranial pada saat nyeri kepala. Sembilan orag pasien pria mempunyai riwayat merokok dan semuanya (100%) mengalami gejala autonom kranial pada saat nyeri kepala, sedangkan 7 dari 12 pasien (58%) pria bukan perokok mengalami gejala autonom kranial. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kejadian gejala autonom pada perokok pria dengan bukan perokok pria (P=,045) (Tabel 2). Pada wanita, 47 dari 96 pasien migren menderita gejala autonom kranial pada saat nyri kepala (49%). 37 wanitta mempunyai riwayat merokok yang mana 23 darinya mengalami gejala autonom kranial. 59 wanita tidak mempunyai riwayat merokok dan hanya 23 orang (39%) mengalami gejala autonom kranial. Tiap-tiap subtipe gejala autonom kranial lebih sering erjadi pada perokok. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kejadian gejala autonom pada perokok wanita dengan bukan perokok wanita (P=,04) (Tabel 2). Pria (perokok dan bukan perokok) secara statistik lebih sering mengalami gejala autonom kranial pada saat migren berbanding wanita (P< .03). Tiap subtipe gejala autonom kranial (ptosis atau jatuhnya kelopak mata, edema kelopak mata atau orbita, injeksi konjuktiva, lakrimasi, atau kongesti nasal/rinorea) lebih sering terjadi pada perokok (Tabel 3). Dengan melihat persentasi perokok dan bukan perokok dengan gejala autonom kranial: ptosis, lakrimasi dan gejala hidung secara statiistik lebih sering pada pasien yang pernah merokok berbnding yang bukan perokok (Tabel 2). PEMBAHASAN Gejala autonom kranial yang terjadi bersamaan dengan nyeri kepala secara tipikal menunjukkan aktivasi refleks autonom trigeminal, yang merupakan suatu koneksi batang otak secara anatomi antara kompleks trigeminal servikal

dengan sistem pengeluaran parasimpatis kranial. Anatomi sistem pengeluaran parasimpatis kranial berjalan dari nukleus salivatory superior di dalam pons via saraf fasialis menuju ganglion sfenopalatina dan pembuluh darah kranial serta kelenjar saliva dan lakrimal. Mengapa refleks ini teraktivasi pada sebagian pasien nyeri kepala masih belum diketahui. Mengapa refleks ini hampir selalu teraktivasi pada TACs dan jarang pada migren juga masih belum diketahui. Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti tentang gejala autonom kranial pada pasien migren. Barbanti et al telah meneliti 177 orang pasien migren dan mendapati bahwa 46% pasien mengalami gejala autonom kranial unilateral pada saat nyeri kepala. Gejala okuler dan nasal adalah yang paling sering. Pada pasien yang mengalami gejala autonom kranial, nyeri kepala dirasakan lebih berat dan terbatas pada satu sisi jika dibandingkan dengan pasien migren tanpa gejala autonom kranial. Obermann et al dalam suatu penelitian sampel berbasis populasi mendapatkan 27% populasi migren mengalami gejala autonom kranial pada saat serangan nyeri kepala. Pasien ini juga mengalami nyeri kepala yang lebih berat dan bersifat unilateral. Penelitian yang lebih mutakhir tentang gejala autonom kranial pada pasien migren dilakukan di Taiwan yang membandingkan pasien dengan gejala autonom kranial dengan pasien nyeri kepala cluster yang disertai gejala autonom. 56% dari pasien mmigren yang diteliti mengalami sekurangkurangnya sekali gejala autonom kranial. Pada pasien migren, gejala autonom kranial biasanya bersifat bilateral, tidak pada satu sisi dan kurang intens dari nyeri kepala cluster. Intensitas nyeri kepala pada pasien migren dengan gejala autonom kranial bersifat lebih berat seperti yang didapatkan pada penelitianpenelitian sebelumnya. Pada penelitian kami, kami mendapati 52% dari seluruh pasien migren yang telah dianalisis mengalami gejala autonom kranial pada saat serangan nyeri kepala. Namun, pada perokok, persentase dengan gejala autonom kranial didapatkan lebh tinggi daripada peeitian-penelitian sebelumnya. Tidak ada satu pun penelitian yang menanyakan riwayat merokok pada pasien migren yang dianalisis. Penelitian kami menunjukan bahwa riwayat merokok berhubungan dengan perkembangan gejala autonom kranial yang menyertai nyeri kepala di mana 70% dari pasien migren mengalami gejala autonom kranial berbanding

hanya 42% pada pasien mgren yang bukan merokok (P < ,005). Riwayat merokok, baik yang masih aktif maupun yang sudah berhenti berhubungan dengan perkembangan gejala autonom kranial yang menyertai migren, namun perokok aktif lebih sering mengalami gejala autonom kranial menunjukkan kemungkinan adanya hubungan langsung antara penyebab dan efek. Riwayat merokok secara statistik dan signifikan meningkatkan resiko perkembangan gejala autonom kranial pada pasien migren pria dan wanita (Tabel 2). Pasien migren pria, tanpa melihat riwayat merokok, mempunyai prevalensi gejala autonom kranial lebih tinggi yang signifikan berbanding pasien migren wanita 76% vs 49% (P< ,03). Rinorea/kongesti nasal, lakriasi, dan ptosis lebih sering terjadi pada pasien migren yang merokok berbanding pasien migren yang bukan perokok (Tabel 3). Nyeri kepala cluster, yang merupakan sindrom nyeri kepala klasik dengan gejala autonom kranial, sangat berkaitan dengan riwayat merokok. Pada beberapa penelitian, 80% hingga 100% penderita nyeri kepala cluster mempunyai riwayat merokok. Baru-baru ini, merokok telah dikaitkan dengan presiitator serangan dan sebagai faktor resikor perkembangan migren kronik. Dapatkah paparan yang lama terhadap rokok mengubah patologi kortikal dan batang otak yang dapat mengakibatkan aktivasi aliran keluar parasimpatis kranial pada pasien nyeri kepala? Merokok dan paparan toksin pada saat erokokdapat mengubah (mengaktifkan) refleks autonon parasimpatis trigeminal pada pasien nyeri kepala. Bagaimana suatu riwayat merokok dapat mengubah ambang aktivasi refleks autonon trigeminal masih belum diketahui. Pertama seseorang harus berhipotesis bahwa merokok dapat secara langsung merusakkan batang otak pada level nukleus salivatorius superior atau pada ganglion sfenopalatina yag menyebabkan perubahan pada aktivasi sistem aliran keluar parasimpatis kranial. Kedua, fakta bahwa oksigen bekerja pada saraf parasimpatis dan fasialis yang mempersarafi pembuluh darah dapat menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi oksigen pada level batang otak akibat merokok mugkin berperan dalam aktivasi aliran keluar parasimpatis yang meningkatkan gejala autonom pada pasien migren. Oksigen telah diuji pada beberapa penelitian tentang terapi migren namun terapi oksigen

nonhiperbarik didapatkan tidak efektif dalam mengobati migren. Namun, secara anekdot penulis telah melakukan terapi pada banyak pasien migren dengan gejala autonom kranial menggunakan terapi oksigen normobarik dan didapatkan respon yang positif yang tidak hanya mengurangkan intensitats nyeri tapi juga mengurangkan keparahan gejala autonm. Menariknya, hemikrania paroksismal dan gejala SUNCT tidak berespon terhadap terapi inhalasi oksigen namun kedua kondisi ini juga tidak berkaitan dengan riwayat merokok. Maka, rangsangan jaras autonom pada perokok dengan nyeri kepala primer vs bukan perokok dengan nyeri kepala primer mungkin berbeda, misalnya, aktivasi hipotalamus vs aktivasi autonom batang otak. Ketiga, peptida intestinal vasoaktif (VIP) merupakan neurotransmiter primer sistem parasimpatis autonom kranial. Kadar VIP meningkat pada darah vena jugular pasien dengan nyeri kepala cluster dan TACs lainnya. Dapatkah paparan rokok tembakau mengubah transmisi VIP yang menyebabkan gejala autonom pada pasien migren yang merokok? VIP melakukan fungsi biologisnya melalui 2 reseptor primer; reseptor VIP tipe 1 dan 2. Dalam penelitian pada perokok, kedua subtipe reseptor ini meningkat di saluran nafas pusat. Apakah terdapat juga peningkatan ekspresi reseptor VIP di sistem saraf pusat bukan perokok? VIP telah ditunjukkan pada penelitian menggunakan hewan untuk memodulasi reseptor-reseptor nikotinik asetil kolin (nACHRs), yang merupakan subtipe reseptor yang integral untuk transmisi kolinergik parasimpatis.Penelitian otak manusia post mortem telah menunjukkan bahwa perokok memiliki konsentrasi nACHRs dengan afinitas yang lebih tinggi berbanding bukan perokok di beberapa regio otak, termasuk otak tengah dan pons. VIP pada neuron parasimpatis tikus meningkatkan afinitas reseptor nACHRs untuk agonisnya (termasuk nikotin) mengakibatkan potensiasi arus asetilkolin. Maka, seseorang dapat membuat hipotesis bahwa peningkatan jumlah reseptor nACHRs di regio batang otak/sistem aliran keluar parasimpatik pada perokok dapat meningkatkan gejala autonom setelah aktivasi trigeminal via modulasi VIP dari reseptor-reseptor ini. Akhir sekali, adalah mungkin perubahan hipotalamus yang disebabkan oleh toksin dalam rokok membantu dalam menghasilkan lebih banyak gejala pada pasien nyeri kepala cluster dan pasien migren yang merokok.

Penelitian yang potensial untuk melihat perubahan hipotalamus dan batang otak pada hewan yang dipaparkan dengan asap tembakau mungkin dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang yang menyebabkan aktivasi parasimpatis pada perokok yang mengalami nyeri kepala dan dengan itu juga dapat memberi pemahaman yang lebih baik dalam patogenesis nyeri kepala cluster dan migren. Keterbatasan dalam penelitian kami adalah kami tidak dapat menjelaskan intensitas nyeri kepala antara pasien migren yang merokok dan yang tidak merokok. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa serangan migren dengan intensitas nyeri yang tinggi lebih cenderung untuk menimbulkan gejala autonom kranial. Semua pasien dalam penelitian kami mengatakan bahwa gejala autonom kranialnya terjadi pada serangan nyeri kepala yang aling berat namun skala intensitas nyeri tidak dicatat pada saat terjadinya serangan. Pasien ditanyakan tentang rata-rata level intensitas nyerinya namun sebagian pasien tidak dapat memberikan angka yang akurat. Pasien yang merokok mungkin mengalami intensitas serangan yang lebih tinggi berbanding pasien migren yang tidak merkok dan itu merupakansatu-satunya alasan mereka mengalami gejala autonom kranial yang lebih sering. Kedua, oleh karena peneitian kami dilakukan dengan mewawancara pasien pada saat kunjungan ke dokter, pengumpulan gejala ini mungkin dipengaruhi oleh bias dan pada penelitian ini mungkin terjadi kesalahandlam jumlah gejala autonom kranial pada kedua kelompok. Sebagian asien mugkin tidak mengatakan bahwa mereka megalami injeksi konjungtiva atau edema kelopak mata karena mereka tidak melihat ke cermin pada saat serangan. Bias recall ini mungkin sama-sama mempengaruhi kedua kelompok. Riwayat merokok yang lengkap tidak diperoleh untuk penelitian ini. Oleh karena perokok aktif cenderung mengalami gejala autonom kranial dengan migren, kita dapat menyimpulkan bahwa merokok mempunyai hubungan langsung dengan perkembangan gejala autonom kranial pada pasien migren. Namun kita tidak dapat menyimpulkan dari penelitian ini jika jumlah rokok tertentu yang dihisap atau durasi paparan dengan rokok tertentu perlu untuk perkembangan gejala autonom kranial. Sampel penelitian ini relatif kecil dengan hanya 23 orang perokok aktif. Walau pun didapatkan perbedaan yang nyata pada prevalensi gejala

autonom kranial antara perokok dan bukan perokok, peluang untuk terjadinya hasil yang kebetulan tidak dapat dihindarkan. Kekurangan kami yang terakhir, riwayat gejala autonom telah diperluaskan pada penelitian kami ini dan harus diperluas juga pada penelitian yang akan datang. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan literatur gejala autonom, sekiranya gejala autonom terjadi diluar serangan migren dan juga evaluasi yang lebih objektif mengenai tanda dan gejala autonom melalui pemeriksaan secara langsung dapat membantu memahami simptomatologi pada perokok vs bukan perokok. Riwayat merokok diketahui berhubungan dengan perkembangan gejala autonom kranial pada nyeri kepala migren. Bagaimana mekanisme asap tembakau mengubah aktivasi refleks autonom trigeminal sampai sekarang masih belum difahami. Menarik untuk diketahui seberapa besar persentase penderita migren dalam penelitian-peneliian gejala autonom sebelumnya memiliki riwayat merokok. Sekiranya merokok merupakan pencetus utama dalam pengaktifan refleks autonom trigeminal pada migren dan kemungkinan juga ada nyeri kepala cluster dan kemudian mengetahui bagaimana paparan asap tembakau mengubah fisiologi batang otak, maka ini dapat membawa kita memahami dengan ebih mendalam tentang patogenesis sindrom yang terganung rokok seperti nyeri kepala cluster dan migren jika mungkin.

You might also like