You are on page 1of 37

BAB I PENDAHULUAN Penyakit kanker merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi dalam perkembangan kehidupan manusia

khususnya di zaman modern seperti sekarang ini. Seperti kita ketahui banyak terdapat jenis kanker, dan sampai saat ini para peneliti masih berusaha untuk terus mengembangkan bagaimana penanganan terhadap penyakit ini yang dapat mencakup semua aspek secara menyeluruh. Untuk di Indonesia sendiri salah satu kanker yang menjadi momok seiring dengan meningkatnya jumlah insidensnya dari tahun ke tahun adalah kanker payudara. Berdasarkan data yang didapatkan dari Pathological Based Registration kanker payudara di sini mempunyai insidens relatif lebih kurang sebesar 11,5%.1 Penderita kanker dapat menderita nyeri akut maupun kronik. World Health Organization menyebutkan bahwa dua pertiga dari penderita penyakit kanker akan meninggal karena penyakitnya dan bahwa dalam perjalanan penyakitnya, 45-100% dari mereka akan mengalami nyeri yang ringan sampai berat. Dikatakan pula bahwa sekitar 1,2 juta orang Amerika mengalami nyeri yang berhubungan dengan kanker setiap tahunnya.2 Pasien dan sebagian petugas pelayanan kesehatan hingga saat ini masih beranggapan bahwa nyeri yang tidak terkontrol merupakan hal yang wajar sebagai konsekuensi dari penyakit kanker. Pada masa lampau, nyeri dihubungkan dengan kanker stadium lanjut, namun sekarang diketahui bahwa nyeri kanker dapat muncul secara signifikan pada tiap stadium kanker dan bisa berlangsung dalam periode yang lama. Nyeri kanker yang tidak tertangani dengan baik akan menurunkan kualitas hidup penderita kanker beserta keluarganya dan bahkan pasien dapat mengalami depresi hingga bunuh diri. Aktivitas rutin sehari-hari dari pasien kanker akan sangat berpengaruh seiring dengan bertambah parahnya nyeri seperti bergerak, nafsu makan, tidur, emosional, dan hubungan sosial.3 Penanganan nyeri kanker merupakan salah satu faktor penting dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penderita kanker beserta orang-orang di sekitarnya. Penerapan prinsip dasar manajemen nyeri pada nyeri kanker telah

terbukti dapat membantu mengatasi nyeri pada 88% kasus nyeri kanker. Mengingat semakin meningkatnya jumlah penderita kanker di dunia dan 45100% dari mereka akan mengalami nyeri yang ringan sampai berat maka penanganan nyeri kanker harus mendapatkan perhatian serius dari para pemberi pelayanan kesehatan di seluruh dunia, termasuk pula di Indonesia.4 Namun terdapat beberapa batasan yang mempengaruhi keefektifan dari manajemen nyeri kanker yaitu tidak adanya perlindungan nasional terhadap perawatan paliatif dan penyembuhan kanker, kurangnya kepercayaan masyarakat bahwa nyeri kanker dapat disembuhkan, kurangnya dana dan keterbatasan sistem dan personil pelayanan kesehatan, kepercayaan masyrakat bahwa pada pemberian obat-obatan anti nyeri tersebut dapat menyebabkan ketergantungan dan penyalahgunaan obat. Jadi dalam laporan kasus kali ini bertujuan untuk melakukan manajemen perioperatif pada pasien-pasien yang mengalami kanker payudara agar dapat mencakup semua aspek dari perioperatif tersebut, jadi tidak hanya menangani nyeri saja khususnya di sini pada nyeri pasca pembedahannya, tetapi juga untuk melakukan penanganan dari berbagai komponen lainnya seperti manajemen terhadap aspek psikologis, sosial, dan spiritual sebagaimana manajemen komprehensif penanganan nyeri kanker.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Nyeri Berdasarkan definisi dari The International Association for the Study of Pain nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual.5 Nyeri, selain menimbulkan penderitaan juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif, serta penunjang diagnostik. Khusus pada penderita kanker pada stadium lanjut, di sini nyeri yang diderita akan menambah beban hidup penderita dan akan menimbulkan penderitaan yang semakin berat.6 2.2 Gambaran Umum Mengenai Penderita Kanker Payudara7 Kanker payudara mempunyai target organ untuk metastasis yang paling sering umumnya pada tulang, kemudian kejaringan lunak seperti kelenjar limpe, paru, hati, otak dan jaringan lunak lainnya. Kanker payudara memiliki gejala tersendiri dan biasanya gejala akan memberat sesuai dengan peningkatan stadiumnya. Berikut ini adalah pembagian stadium kanker payudara berdasarkan staging dari stadium TNM dari Protokol PERABOI. Grup Stadium : Stadium Stadium Stadium 0 1 IIA : : : Tis T1* T0 T1* T2 T2 T3 T0 T1 T2 T3 T3 T4 T4 N0 N0 N1 N1 N0 N1 N0 N2 N2 N2 N1 N2 N0 N1 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0

Stadium Stadium

IIB IIIA

: :

Stadium

IIIB

T4 Stadium Stadium IIIc IV : : TiapT TiapT

N2 N3 Tiap N

M0 M0 M1

Catatan : * T1: termasuk T1 mic Di mana penjelasan dari tabel di atas adalah sebagai berikut: T = ukuran tumor primer Ukuran T secara klinis , radiologis dan mikroskopis adalah sama. Nilai T dalam cm, nilai paling kecil dibulatkan ke angka 0,1 cm. Tx T0 Tis Tis(DCIS) Tis (LCIS) Tis (Paget) : Tumor primer tidak dapat dinilai. : Tidak terdapat tumor primer. : Karsinoma in situ. : Ductal carcinoma in situ. : Lobular carcinoma in situ. : Penyakit Paget pada puting tanpa adanya tumor.

Catatan : Penyakit Paget dengan adanya tumor dikelompokkan sesuai dengan ukuran tumornya. T1 T1mic T1a T1b T1c T2 T3 T4 : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya 2 cm atau kurang. : Adanya mikroinvasi ukuran 0,1 cm atau kurang. : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,1 cm sampai 0,5 cm. : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,5 cm sampai 1 cm. : Tumor dengan ukuran lebih dari 1 cm sampai 2 cm. : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya lebih dari 2 cm sampai 5 cm. : Tumor dengan ukuran diameter terbesar lebih dari 5 cm. : Ukuran tumor berapapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada atau kulit.

Catatan : Dinding dada adalah termasuk iga, otot interkostalis, dan serratus anterior tapi tidak termasuk otot pektoralis. T4a T4b T4c T4d : Ekstensi ke dinding dada (tidak termasuk otot pektoralis). : Edema ( termasuk peau d'orange ), ulserasi, nodul satelit pada kulit yang terbatas pada 1 payudara. : Mencakup kedua hal diatas. : Mastitis karsinomatosa.

N = Kelenjar getah bening regional. Klinis :

Nx : Kelenjar getah bening (kgb) regional tidak bisa dinilai ( telah diangkat sebelumnya ). N0 : Tidak terdapat metastasis kgb. N1 : Metastasis ke kgb aksila ipsilateral yang mobil. N2 : Metastasis ke kgb aksila ipsilateral terfiksir, berkonglomerasi, atau adanya pembesaran kgb mamaria interna ipsilateral ( klinis*) tanpa adanya metastasis ke kgb aksila. N2a : Metastasis pada kgb aksila terfiksir atau berkonglomerasi atau melekat ke struktur lain. N2b : Metastasis hanya pada kgb mamaria interna ipsilateral secara klinis * dan tidak terdapat metastasis pada kgb aksila. N3 : Metastasis pada kgb infraklavikular ipsilateral dengan atau tanpa metastasis kgb aksila atau klinis terdapat metastasis pada kgb mamaria interna ipsilateral klinis dan metastasis pada kgb aksila ; atau metastasis pada kgb supraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa metastasis pada kgb aksila / mamaria interna. N3a : Metastasis ke kgb infraklavikular ipsilateral. N3b : Metastasis ke kgb mamaria interna dan kgb aksila. N3c : Metastasis ke kgb supraklavikula. Catatan : * Terdeteksi secara klinis : terdeteksi dengan pemeriksaan fisik atau secara imaging (diluar limfoscintigrafi). Patologi (pN )a pNx pN0 : Kgb regional tidak bisa dinilai (telah diangkat sebelumnya atau tidak diangkat) : Tidak terdapat metastasis ke kgb secara patologi , tanpa pemeriksaan tambahan untuk "isolated tumor cells" ( ITC ).

Catatan : ITC adalah sel tumor tunggal atau kelompok sel kecil dengan ukuran tidak lebih dari 0,2 mm yang biasanya hanya terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimia (IHC) atay metode molekular lainnya tapi masih dalam pewarnaan H&E. ITC tidak selalu menunjukkan adanya aktifitas keganasan seperti proliferasi atau reaksi stromal. pN0(i-) pN0(i+) : Tidak terdapat metastsis kgb secara histologis , IHC negatif.

: Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, IHC positif, tidak terdapat kelompok IHC yang lebih dari 0,2 mm. pN0(mol-) : Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, pemeriksaan molekular negatif ( RT-PCR) b. pN0(mol +): Tidak terdapat metastasis kgb secara histologis, pemeriksaan molekular positif (RT-PCR). Catatan :

a: klasifikasi berdasarkan diseksi kgb aksila dengan atau tanpa pemeriksaan sentinel node. Klasifikasi berdasarkan hanya pada diseksi sentinel node tanpa diseksi kgb aksila ditandai dengan (sn) untuk sentinel node, contohnya : pN0(i+) (sn). b: RT-PCR : reverse transcriptase / polymerase chain reaction. pN1 : Metastasis pada 1-3 kgb aksila dan atau kgb mamaria interna (klinis negatif*) secara mikroskopis yang terdeteksi dengan sentinel node diseksi. pN1mic : Mikrometastasis (lebih dari 0,2 mm sampai 2,0 mm). pN1a : Metastasis pada kgb aksila 1 - 3 buah. pN1b : Metastasis pada kgb mamaria interna (klinis negatif*) secara mikroskopis terdeteksi melalui diseksi sentinel node. pN1c : Metastasis pada 1-3 kgb aksila dan kgb mamaria interna secara mikroskopis melalui diseksi sentinel node dan secara klinis negatif (jika terdapat lebih dari 3 buah kgb aksila yang positif, maka kgb mamaria interna diklasifikasikan sebagai pN3b untuk menunjukkan peningkatan besarnya tumor). pN2 : Metastasis pada 4-9 kgb aksila atau secara klinis terdapat pembesaran kgb mamaria interna tanpa adanya metastasis kgb aksila. pN2a : Metastasis pada 4-9 kgb aksila (paling kurang terdapat 1 deposit tumor lebih dari 2,0 mm). pN2b : Metastasis pada kgb mamaria interna secara klinis tanpa metastasis kgb aksila. pN3 : Metastasis pada 10 atau lebih kgb aksila ; atau infraklavikula atau metastasis kgb mamaria interna (klinis) pada 1 atau lebih kgb aksila yang positif ; atau pada metastasis kgb aksila yang positif lebih dari 3 dengan metastasis mikroskopis kgb mamaria interna negatif ; atau pada kgb supraklavikula. pN3a : Metastasis pada 10 atau lebih kgb aksila (paling kurang satu deposit tumor lebih dari 2,0 mm), atau metastasis pada kgb infraklavikula. pN3b : Metastasis kgb mamaria interna ipsilateral (klinis) dan metastasis pada kgb aksila 1 atau lebih; atau metastasis pada kgb aksila 3 buah dengan terdapat metastasis mikroskopis pada kgb mamaria interna yang terdeteksi dengan diseksi sentinel node yang secara klinis negatif pN3c : Metastasis pada kgb supraklavikula ipsilateral. Catatan :* tidak terdeteksi secara klinis / klinis negatif : adalah tidak terdeteksi dengan pencitraan (kecuali limfoscintigrafi) atau dengan pemeriksaan fisik. M : Metastasis Jauh.

Mx M0 M1

: Metastasis jauh belum dapat dinilai. : Tidak terdapat metastasis jauh. : Terdapat metastasis jauh.

2.3 Etiologi Serta Mekanisme Nyeri Pada Penderita Kanker Payudara8 Penyebab nyeri kanker ada 3 macam yaitu: 1. Penyebab langsung dari tumor (75-80%), misalnya penekanan massa tumor pada tulang dan saraf, infiltrasi kanker pada jaringan lunak dan alat dalam, peningkatan tekanan dalam rongga kepala, serta adanya tukak (luka). 2. Pengobatan anti kanker (15-19%) misalnya nyeri pasca-operasi, pasca kemoterapi, atau pasca radiasi. 3. Tidak berhubungan dengan kanker ataupun pengobatannya (3-5%) misalnya penyakit lain yang menimbulkan nyeri yaitu gangguan pada otot dan tulang arthritis, gangguan jantung, dan migrain. 2.4 Tipe-tipe Nyeri Pada Kanker Payudara8 Nyeri kanker diklasifikasikan menjadi beberapa kategori berikut ini : 1. Berdasarkan jenisnya a) Nyeri nosiseptif

Gambar 2.1 Lintasan nyeri nosiseptif (http://www.usask.ca/cme/articles/pain/Slide14.jpg)

Nyeri nosiseptif dihasilkan ketika sensor nyeri lintasan nyeri distimulasi. Khususnya reseptor pada ujung akhir akson saraf, nosiseptor (serabut A-delta dan serabut C) terminal, mendeteksi

rangsanagan mekanik, kimia dan suhu, menghasilkan suatu aktivitas listrik pada saraf. Sinyal ini akan ditransmisikan sepanjang lintasan saraf di otak. Di otak kemudian diintegrasikan dengan aktivitas kortikal yang lain dan menghasilkan persepsi nyeri pada penderita . Nyeri nosiseptif dapat berasal dari somatik atau visceral atau keduanya. Nyeri somatik dihasilkan dari kulit, otot, tulang serta fascia, dan dimediasi oleh sistem saraf somatik. Inervasinya sangat spesifik, sehingga nyerinya terlokalisir. Nyeri somatik ditandai dengan rasa nyeri yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan. Sedangkan nyeri visceral berasal dari struktur tubuh bagian dalam seperti organ organ gastrointestinal. Nyeri ini dimediasi oleh sistem saraf otonom. Kurangnya spesifisitas dari inervasi dan adanya crosover saraf, menyebabkan nyeri visceral menjadi sulit untuk dilokalisir. Nyeri visceral ditandai dengan rasa perih dan kram. b) Nyeri Neuropati Nyeri neuropati adalah nyeri yang disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem sensor nyeri dari saraf. Lesinya dapat terjadi pada sistem saraf visceral atau somatik (somatosensoris) perifer atau pusat. Saraf tersebut rusak karena kompresi, infiltrasi, iskemia, kelainan metabolik atau transeksi. Nyeri ini juga dapat disebabkan karena disfungsi saraf seperti misalnya nyeri nosiseptif kronik yang dapat meningkatkan sensitifitas saraf spinal, dimana prosesnya disebut fasilitasi sentral atau wind up. Walaupun sarafnya tidak rusak, terjadi sistem sinyal yang abnormal pada saraf yang membentuk stimulus noksius, dan menghasilkan nyeri yang lebih hebat dari normal, atau stimulus non noksius, menghasilkan nyeri. Hal tersebut juga dapat menyebabkan alodinia, dimana tekanan/ sentuhan yang ringan dapat menyebabakan nyeri. Enzim siklooksigenase (COX) dan neurotransmiter glutamat, serta reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) berpengaruh terhadap

terjadinya nyeri. Nyeri neuropati digambarkan sebagai nyeri terbakar, menusuk , seperti tersengat listrik. c) Nyeri idiopatik / nyeri total Nyeri idiopatik pada umumnya digunakan bila keluhan nyeri tidak dapat diterangkan secara adekuat dengan proses patologis, diperkirakan disebabkan oleh proses organik tersembunyi atau faktor non fisik yang menghasilkan nyeri. Misalnya, Faktor psikologis (cemas, depresi), faktor sosial (dijauhi keluarga), faktor spiritual atau eksistensi (takut mati, hilangnya harapan hidup), sehingga sangat sulit untuk mengontrol nyeri jika hal ini juga tidak kita tangani. 2. Berdasarkan timbulnya nyeri a) Nyeri akut Nyeri yang timbul mendadak dan sementara dan ditandai aktivitas saraf otonom berupa takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat, dan midriasis b) Nyeri kronis Nyeri berkepanjangan , dapat berbulan-bulan tanpa adanya aktivitas otonom. 3. Berdasarkan penyebabnya a) Nyeri karena penyakit kankernya b) Nyeri karena pengobatan kankernya 4. Berdasarkan derajat nyeri a) Nyeri ringan Nyeri yang hilang timbul terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menghilang bila tidur b) Nyeri sedang Nyeri yang dirasakan terus menerus, serta menyebabkan aktivitas terganggu yang hanya hilang apabila penderita tidur c) Nyeri berat Nyeri yang dirasakan terus menerus sepanjang hari dan penderita tidak dapat tidur, serta sering terjaga karena nyeri.

2.5 Patofisiologi Terjadinya Nyeri Pada Penderita Kanker Payudara9 Nyeri merupakan masalah yang sering dijumpai pada penderita kanker. Kanker menghasilkan nyeri dengan dua cara yaitu melalui pertumbuhan dan metastasis dan melalui pengobatan atau tindakan yang dilakukan untuk menekan pertumbuhan kanker. Intensitas nyeri yang dirasakan pasien kanker tergantung kepada jenis kanker, letak kanker, stadium kanker dan berapa banyak nervus yang rusak karena kanker itu sendiri maupun diakibatkan oleh pengobatan yang dilakukan. Serangkaian penelitian yang mengukur derajat nyeri berdasarkan keluhan penderita dan skala pengukur nyeri menunjukkan bahwa 50% penderita kanker yang merasakan nyeri menderita nyeri sedang dan kuat dan 30 % menderita nyeri sangat hebat dan tak tertahankan. Selain itu, nyeri meningkat sejalan dengan semakin parahnya penyakit. Pertumbuhan dan metastasis sel-sel kanker akan menyebabkan perubahan-perubahan fisiologi. Perubahan fisiologi yang terjadi akibat kanker yang dapat menimbulkan nyeri yaitu, kerusakan pada tulang, obstruksi lumina, saraf perifer, tekanan kanker yang membesar, adanya iskemia, distensi dan inflamasi, infeksi atau nekrosis jaringan. Secara umum perjalanan terjadinya nyeri akut serta nyeri kronik dapat dijelaskan berdasarkan gambar di bawah ini :

Gambar

2.2

Proses

Serta

Alur

Terjadinya

Nyeri

Akut

Serta

Nyeri

Kronik

(http://xnet.kp.org/permanentejournal/fall05/pain3.html)

Ada 5 tahap utama yang terjadi dalam proses penghantaran nyeri antara lain :

10

1.Transduksi Proses ini diawali ketika ada rangsangan injuri seperti suhu, kimia, serta rangsangan mekanis yang menstimulasi ujung-ujung saraf sensoris. Oleh ujungujung saraf tersebut stimulus fisik tadi akan dirubah menjadi sinyal elektrik, dan bila proses perubahan dapat berlangsung dengan baik akan dapat memicu munculnya aksi potensial. 2.Konduksi Mekanisme konduksi ini merupakan penemuan yang baru, karena sebelumnya mekanisme nyeri hanya mencakup empat proses saja mulai dari transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Pada proses konduksi sinyal nyeri akan dihantarkan secara konduksi melalui aksi potensial di sepanjang neuron. Ion Natrium akan masuk melalui proses depolarisasi, kemudian ion Kalium akan meninggalkan sel sehingga menghasilkan potensial negatif. Jenis serabut saraf yang menghantarkan nyeri akan sangat menentukan kualitas nyeri yang dihantarkan. Serabut saraf A delta menghantarkan tipe nyeri yang tajam, dan dapat ditentukan lokasinya. Serabut saraf C membawa rangsangan nyeri berupa rasa terbakar serta rasa nyeri di sekitar injuri, akan tetapi karena serabut saraf C ini tidak termielinisasi, maka serabut saraf C mudah mengalami kerusakan. 3.Transmisi Transmisi merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensorik menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan melalui serat saraf A-delta dan C sebagai neuron I dari perifer ke medulla spinalis dan disini impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus sebagai traktus spinothalamikus sebagai neuron ke II. Dari thalamus, impuls kemudian disalurkan ke area somatosensorik di korteks serebri melalui neuron ke III dan disini impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri. Serat saraf A-delta merupakan serat saraf afferen yang sangat halus (diameter 14 mikron) dengan kecepatan transmisi yang relatif cepat (12-30 m/dtk) dan mentransmisikan impuls sensibel nyeri tajam dan terlokalisir. Sementara serat saraf C merupakan serat saraf dengan diameter yang paling kecil, 0,5-2,0 mikron, tidak memiliki selubung myelin, dengan kecepatan transmisi yang sangat lambat (2-3 m/dtk) dan ambang rangsangannya lebih tinggi dibandingkan

11

dengan serat A delta. Serat saraf C menstransmisikan serat saraf sensorik untuk rasa nyeri visceral yang sifat nyerinya tumpul dan tidak terlokalisir. 4. Modulasi Merupakan proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi enkefelin, endorphin serotonin dan noradrenalin yang mempunyai efek menakan impuls nyeri pada kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian kornu dorsalis medulla spinalis diibaratkan sebagai pintu gerbang yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses terbuka dan tertutupnya pintu nyeri diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut. Proses modulasi inilah yang menyebabkan nyeri bersifat sangat subyektif, yang dikenal sebagai persepsi nyeri. 5. Persepsi Merupakan hasil akhir dari proses interaksi yang komplek dan unik, yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif terhadap impuls nyeri yang disebut sebagai persepsi nyeri. 2.6 Diagnosis Nyeri Pada Penderita Kanker Payudara10 Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif, yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal-hal lainnya, karena itu mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit. Pengukuran kualitas nyeri menolong dalam hal terapi yang diberikan dan penilaian efektifitas pengobatan. Definisi nyeri yang jelas sangat diperlukan, karena nyeri memberikan gambaran kerusakan jaringan atau kerusakan organ atau reaksi emosional. Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama, yang dilakukan sebelum pengobatan dimulai, secara teratur pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral. Adapun beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam mendiagnosis suatu nyeri adalah : 1. Anamnesis yang teliti Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri, kita harus mengetahui bagaimana kualitas nyeri yang diderita, meliputi waktu muncul, lama dan

12

variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita, apakah diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu saja. Intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula tentang penyakitnya dan pemngobatan yang pernah dijalani serta alergi obat. 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti hipoksia, hiperkarbia,dan hipertensi. Pemeriksaan glasgow coma scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial. Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperestesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik. 3. Pemeriksaan psikologis Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang subyektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai. Tes yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa The Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam mengatahui permasalahan psikologis yang ada, maka akan memudahkan dalam pemulihan obat yang tepat untuk penanggulangan nyeri. 4. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan roentgen seperti foto polos thorax pada kanker payudara, CT scan, MRI, bone scan.

13

Ada beberapa macam metode yang umumnya dipakai untuk menilai intensitas nyeri antara lain: 1. Verbal Rating Scale Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan pasien. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali nyeri dirasakan sampai saat tahap penyambuhan. Penilaian dari nyeri berdasarkan metode ini adalah: Tidak nyeri (none) Nyeri ringan (mild) Nyeri sedang (severe) Nyeri berat (severe) Nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale Metode ini menggunakan angka-angka dengan bantuan kata-kata untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri yang dirasakan. Umumnya pasien menggambarkan nyeri dari 0-10, 0-20, atau dari 1-100. 0 menggambarkan tidak nyeri, sedangkan 10,20,100 menggambarkan nyeri yang hebat. Metode ini dapat diaplikasikan secara verbal maupun melalui tulisan, sangat mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan.

Gambar 2.3 Numerical Rating Scale 3. Visual Analogue Scale Metode ini yang paling sering digunakan untuk mengeahui intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis dengan panjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan.

14

Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, sangat mudah dikerjakan, mudah dimengerti dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun.

No Pain

The most intense pain imaginable

Gambar 2.4 Visual Analogue Scale (VASs). 4. McGill Poin Questionaire Metode ini menggunakan check list untuk mendeskripsikan gejal-gejala nyeri yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain dari sensorik afektif dan kognitif. Pasien memilih kata-kata yang menggambarkan nyeri yang dirasakan dan nyeri yang dirasakan dimasukkan kedalam indeks yang menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan. Intensitas nyeri digambarkan dengan merengkingnya dari 0 tidak ada nyeri sampai 3 nyeri hebat. 5. Behavioral Rating Scale Metode ini digunakan untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak tahun. 8

Gambar 2.5 Behavioral rating scale (BRS). 2.7 Aspek Psikis Pada Penderita Kanker Payudara11 Salah satu hal yang terkait dengan masalah nyeri pada penderita kanker adalah rasa khawatir atau ketakutan yang dimiliki oleh pasien tentang perasaan nyeri yang mereka alami. Dari sebuah artikel yang diterbitkan oleh International Association for The Study of Pain mencoba untuk mengungkapkan bagaimana hubungan antara kedua hal ini yaitu antara terjadinya nyeri kronik dengan timbulnya perasaan cemas (anxietas) tersebut.

15

Cemas dapat dideskripsikan sebagai suatu tingkat emosional yang ditandai oleh suatu perasaan yang tidak nyaman serta munculnya suatu perasaan bahwa akan muncul suatu tanda bahaya. Cemas ini memiliki dua komponen yaitu komponen fisiologik serta komponen psikologik. Komponen autonomik biasanya bercirikan peningkatan dari denyut jantung, dan frekuensi nafas, adanya tremor, berkeringat, otot yang menegang, serta perubahan dari sistem gastrointestinal. Kemudian dari komponen psikologis rasa cemas ini biasanya ditandai dengan hilangnya tenaga, kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri serta lingkungan yang lainnya. Bagi setiap pasien yang menderita kanker, hal tersebut akan membuat mereka menjadi sangat khawatir, cemas, ketakutan mengenai dampak dari pengobatan tersebut, ketakutan akan terjadinya kematian, adanya rasa bersalah. The Psychosocial Collaborative Oncology Group dalam penelitiannya menjelaskan prevalensi dari gangguan psikiatri pada pasien usia dewasa muda yang menderita penyakit kanker pada berbagai stadium dan didapatkan nilai sekitar 4%. Khususnya pada wanita yang menderita kanker payudara, angka kejadian mengalami gangguan psikiatri berkisar antara 14-38%. Khususnya untuk prevalensi kejadian Post Traumatic Stress Disorder pada penderita kanker payudara berkisar antara 3%-19%. Pada evaluasi dari dampak kecemasan ada empat komponen yang perlu kita perhatikan yaitu : 1. Menemukan riwayat adanya gangguan cemas sebelum pasien mengalami cemas. (apakah terdapat gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik, fobia, Post Traumatic Stress Disorder, obsesif kompulsif). 2. Menyingkirkan efek samping obat serta kondisi medis lain yang menyertai penyakit tersebut. 3. Mengobati nyeri secara adekuat. 4. Setelah nyerinya terkontrol, kemudian dilakukan penilaian kembali terhadap gangguan cemas tersebut. 2.8 Manajemen Perioperatif Pada Pasien Dengan Kanker Payudara10,11 Kedokteran perioperatif adalah tindakan kedokteran yang dilakukan untuk menata pasien yang memerlukan tindakan terapi bedah yang meliputi tindakan-

16

tindakan seperti : tatalaksana prabedah, pembedahan, dan tatalaksana perawatan dan terapi pasca bedah. Pada periode prabedah dilakukan evaluasi kondisi fisik dan kebugaran pasien, oleh karena pasien bedah di samping menderita penyakit bedah juga menderita penyakit lain yang merupakan penyulit untuk tindakan anestesinya maupun pembedahan yang akan dikerjakan. Kedokteran perioperatif ini juga mencakup pada saat tindakan operatifnya dilakukan di mana seluruh tim bedah telah siap untuk melakukan pembedahan yang didahului oleh tindakan anestesi dari tim anestesinya. Setelah selesai pembedahan kemudian dilanjutkan dengan terapi pasca bedahnya misalnya dalam menangani komplikasi yang terjadi kemudian menangani masalah-masalah lain yang menyertai penyakit dasarnya agar dapat ditangani secara menyeluruh. Khusus pada kasus kanker payudara ini di sini akan dibahas bagaimana penatalaksanaan perioperatif seperti penanganan nyeri serta penanganan dari komplikasi salah satunya adalah komplikasi psikis. Kesuksesan dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri kanker tergantung pada kemampuan klinisi untuk menilai problem dasarnya, mengidentifikasi dan mengevaluasi sindroma nyeri serta membuat rencana untuk memberikan perawatan kontinyu yang diperlukan penderita dan keluarganya. Pengelolaan nyeri kanker terutama ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita, agar penderita merasa lebih nyaman. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dipahami bahwa dalam usaha menanggulangi nyeri kanker, terdapat beberapa tahapan yang ingin dicapai, yaitu : 1. Nyeri berkurang/teratasi pada malam hari, sehingga penderita mendapat kesempatan untuk tidur. 2. Nyeri dapat diatasi pada siang hari, sehingga penderita dapat istirahat. 3. Nyeri dapat diatasi saat penderita bekerja atau melakukan aktifitas. Di samping itu, menanggulangi nyeri kanker membutuhkan pendekatan multi disiplin, diantaranya: 1. Usaha untuk mengatasi penyebabnya. Meliputi tindakan pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi. 2. Usaha untuk mengatasi nyeri yang terjadi.

17

Meliputi pemakaian obat-obatan (farmakoterapi), tindakan blok saraf, tindakan neurodistruksi. Tindakan pengobatan (pemakaian obat-obatan) dalam penanggulangan nyeri kanker, merupakan cara yang paling umum dalam pengelolaan nyeri. 3. Memperbaiki keadaan umum penderita. Penderita kanker stadium lanjut, mengalami katabolisme yang sangat tinggi, selera makan menurun serta malnutrisi berat. Topangan nutrisi secara artifisial (terutama parenteral) sangat diperlukan. 4. Usaha memulihkan semangat penderita. Karena penyakit yang tidak kunjung sembuh, derita nyeri yang tidak terputus, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran penting dalam keluarga akhirnya akan memunculkan problem psikologik. Penderita akan kehilangan semangat hidup. Dibutuhkan dukungan semangat oleh semua pihak di luar pemberian obat-obat anti depresan agar semangat hidup penderita pulih kembali. 5. Usaha fisioterapi. Tindakan fisioterapi sangat membantu memulihkan fungsi sistem organ tubuh penderita, membantu memulihkan kemampuan aktivitas penderita. 2.8.1. Prinsip Penanganan World Health Organization Analgesic Ladder 10 Prinsip dari farmakoterapi, oleh WHO, untuk nyeri kanker, yaitu: 1. By mouth. Sebisa mungkin, obat-obatan pasien diberikan melalui mulut (per oral). Akan tetapi, rute alternatif seperti per rektal, transdermal, sublingual, dan parenteral mungkin lebih baik pada pasien dengan disfagi, muntah yang tidak terkontrol, atau obstruksi gastrointestinal. 2. By the clock. Pasien dengan nyeri kontinyu harus meminum obat analgesik sesuai dengan waktu interval yang telah ditetapkan. 3. By the ladder. Tahap-tahap pemberian obat-obat anti nyeri disesuaikan dengan WHO analgesic ladder. 4. For the individual.

18

Tidak ada dosis standar opioid. Dosis yang benar adalah dosis dimana nyeri pasien dapat dihilangkan dengan efek samping yang minimal. Obat yang digunakan untuk nyeri ringan dan sedang memiliki dosis yang terbatas dalam penggunaanya oleh karena formulasi (misalnya kombinasi asam asetilsalisilat dengan asetaminofen, yang toksik pada dosis tinggi) atau karena peningkatan efek samping yang disproporsional pada dosis tinggi (misalnya codein). 5. With attention to detail. Dilakukan monitor secara hati-hati pada pasien yang mendapat regimen analgesia. Secara teratur harus di follow-up keluhan, efek obat dan efek sampingnya. Antisipasi efek samping yang diperlukan dan bila perlu beri profilaktik. World Health Organization merekomendasikan WHO Analgesic Ladder untuk penatalaksanaan nyeri kanker. Tahapan tersebut digunakan untuk mmengklasifikasikan jenis analgesia yang nantinya akan diberikan kepada pasien dengan nyeri kanker, sesuai dengan derajat nyerinya (gambar 2.6).

Gambar 2.6 Three Step Ladder WHO Analgesic. Pembagian terapi penatalaksanaan nyeri menurut WHO adalah sebagai berikut:

19

1. Tahap pertama, dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti aspirin, asetaminofen, atau NSAID lainnya dengan atau tanpa adjuvant. Tahap ini digunakan untuk nyeri ringan. 2. Tahap kedua, digunakan untuk nyeri sedang atau jika pasien masih mengeluh nyeri setelah langkah pertama. Pada tahap ini diberikan obat-obat golongan opioid lemah (misalnya codeine, hydrocodone). Obat-obatan ini dapat dikombinasi dengan non opioid dan dapat diberikan bersama-sama dengan analgesia adjuvant. 3. Tahap ketiga, digunakan untuk nyeri berat atau gagal mendapatkan perbaikan yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, dengan memberikan obat opioid kuat. Yang termasuk obat-obatan yaitu morfin, fentanil, hidromorfon, levorfanol, metadon, oksikodon, dan oksimorfon. 2.8.2 Intervensi Penanganan Nyeri Kanker 10,11 Teknik intervensi pada nyeri kanker hanya akan dilakukan jika manajemen dengan pengobatan (farmakoterapi) gagal dalam mengatasi nyeri. Kegagalan terapi terjadi ketika penyembuhan nyeri tidak adekuat (kembali kambuh) ataupun sama sekali nyeri tersebut tidak teratasi. Teknik intervensi ini ada dua kategori yaitu modalitas ablatif dan augmentatif. Modalitas ablatif Modalitas ini dilakukan dengan cara memblok transmisi nosiseptif dengan suntikan neurolitik atau bedah lesi (blokade saraf). Tujuannya adalah merusak lintasan nosiseptif menggunakan bahan kimia (misal: fenol, alkohol), rangsangan panas atau dingin, atau menggunakan skalpel, sehingga nyeri menghilang. Modalitas augmentatif Modalitas ini menggunakan cara stimulasi elektrik dan metode infus. Metode infus banyak digunakan untuk pengobatan nyeri kanker, sedangkan metode stimulasi elektrik lebih jarang. Metode infus merupakan hasil dari perkembangan teknologi untuk infus kontinyu melalui epidural, intratekal, atau intraserebroventrikular (ICV) kateter, yang dihubungkan dengan pompa infus eksternal, subcutaneous injection reservoirs atau implanted programmable infusion pumps.

20

2.8.3. Penanganan Permasalahan Psikis Pada Pasien Kanker Payudara 11 Pasien dengan kanker payudara dengan berbagai kompleksitas permasalahannya membutuhkan penanganan dari berbagai disiplin ilmu di mana salah satunya tidak melupakan penanganan aspek psikologisnya. Pasien dengan kanker payudara sering kali mengalami stress dalam berabagi tingkatnya, khususnya ditemukan pada pasien dengan usia muda. Pasien dengan tingkat stress ringan (memiliki mengisolasi keluarga. Pada aspek psikis ini secara umum juga dibagi dua penanganan yaitu dari aspek psikofarmakologi serta dari aspek psikoterapinya. Aspek Psikofarmakologi Benzodiazepine merupakan golongan obat anxiolitik dan aman digunakan untuk pengobatan pada pasien kanker. Walaupun juga terdapat efek anti-muntah, efek ketergantungan, gangguan psikomotor, gangguan memori tipe obat ini juga tetap digunakan tentunya juga dengan memperhatikan kondisi pasien seperti apakah ada penyakit bawaan lain, ada gangguan fungsi ginjal atau gangguan fungsi hati. Selain itu terdapat pula golongan obat lain yang juga sering digunakan seperti dari golongan Trisiklik Antidepresan dan dari golongan Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitors seperti duloxetine dan venlafaxine yang memiliki efek analgesik positif, kemudian juga memiliki efek anti cemas yang baik. Aspek Psikoterapi Karena penyakit kanker merupakan penyakit yang tidak kunjung sembuh, derita nyeri yang tidak terputus,, dan sering mengakibatkan pasien menajdi kehilangan pekerjaan, kehilangan peran penting dalam keluarga akhirnya akan memunculkan problem psikologis. Tujuan dari psikoterapi adalah untuk mengurangi tekanan emosional, meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri, mampu untuk mengendalikan diri, dan mampu untuk memecahkan masalah. Psikoterapi meliputi terapi kognitif, terapi perilaku, teknik relaksasi, dan hipnosis. kesulitan diri untuk mengeluarkan permasalahannya, cenderung penanganan dari masyarakat) biasanya membutuhkan

multidisiplin baik dari dokter, psikoterapis, dan tentunya dukungan dari

21

BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Status Agama Suku Bangsa Alamat Diagnosis Tindakan Tanggal Operasi Nomor Register Tanggal MRS 3.2 Anamnesis Pasien datang sadar dengan keluhan adanya benjolan pada payudara kanan sejak lebih kurang 10 bulan yang lalu. Benjolan dikatakan pertama kali muncul sebesar kacang tanah tepat di atas putting susu, dan dikatakan semakin lama semakin membesar. Pada saat pertama kali muncul dikatakan keluar gelembunggelembung dan keluar cairan bening dari puting pasien. Pada saat itu pasien tidak merasakan nyeri. Nyeri mulai dirasakan pasien pada saat benjolan semakin membesar hingga terbentuk luka pada payudaranya dan keluar cairan seperti nanah dan darah. Nyeri dirasakan terutama saat pinggiran luka tersebut menyentuh baju atau bantal atau sesuatu di samping pasien, hingga sekarang dengan diameter benjolan 15 cm dan membuat pasien semakin takut untuk bergerak. Sebelumnya pasien telah sempat berobat di Rumah Sakit di Jakarta, : Ketut Darmini : 27 tahun : Perempuan : Sekolah Dasar : Ibu Rumah Tangga : Menikah dengan memiliki 1 orang putra : Hindu : Bali :Dusun Tangkid Desa Tamblang Kubutambahan Kabupaten Buleleng : Locally Advanced Breast Cancer Dextra T4c N1 M0 : Modified Radical Mastectomy + Latisimus dorsi flap : 24 Mei 2011 : 01.47.64.11 : 14 Mei 2011

22

pertama kali di Rumah Sakit Tarakan Jakarta, dan telah mendapatkan 3 kali kemoterapi. Namun oleh karena dirasakan tidak adanya perubahan pasien akhirnya pindah ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, dan mendapatkan 2 kali kemoterapi kembali namun dikatakan benjolan semakin membesar, dan akhirnya pasien menghentikan pengobatannya dan pulang ke Bali. Pasien menjadi sangat takut, cemas, serta khawatir mengenai penyakitnya ini. Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan pasien. Riwayat penyakit lain seperti Hipertensi, jantung, operasi sebelumnya, alergi tidak ada. Riwayat penyakit yang sama di keluarga juga disangkal. 3.3 Pemeriksaan Fisik Berat Badan = 45 kg. Tinggi Badan = 145 cm. BMI = 25,4. VAS = 0-3. Suhu Badan = 370C. Susunan Saraf Pusat anemia -/Respirasi Wheezing -/-, Mallampati I. Kardiovaskular Gastrointestinal Urogenital Muskuloskeletal Gigi geligi molar II kanan atas. 3.4 Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan hematologi rutin dan homeostatis : Wbc = 19,18/RBC=3,61/HGB=9,9/HCT=31,4/PLT=457/BT=100 menit/CT=830 menit. - Pemeriksaan Kimia Darah ( 21Mei 2011) : Tekanan Darah 100/60 mm Hg, Nadi = : distensi (-), bising usus (+) normal. : buang air kecil (+) spontan. : fleksi/defleksi leher dalam batas normal, tumor : gigi goyang (-), gigi palsu (-), gigi ompong pada 84x/menit, Cor : S1S2 tunggal reguler murmur (-) : Frekuensi 16x/menit, Ves +/+, Ronchi -/-, : Compos Mentis (E4V5M6), mata : ikterus -/-,

berdiameter 15cm, jaringan nekrosis (+), rapuh (+), berdungkul-dungkul (+).

23

SGOT = 36/l / SGPT = 9,00 /l / Alb=2,60 /l / BUN = 4,00 mg/dl / Creatinin = 0,39 mg/dl / GDS = 62,00 mg/dl. - Analisis Gas darah ( 23 Mei 2011) pH = 7,53 / pCO2 = 43 mm Hg / p O2 = 89 mm Hg / HCT = 37% / HCO3- = 35,90 mmol/L / TCO2 = 37,20 mmol/L / BE = 11,90 mmol/L / SO2c = 98%, THbc = 11,30 g/dl - Homeostatis darah ( 24 Mei 2011) PT = 14,20 detik / INR = 1,20 / Kontrol PT = 10,90 / APTT = 39,00 detik / Kontrol APTT = 32,60 - Elektrolit Tgl Na+ K+ -USG 21/05/2011 Pk 08.28 136,00 2,31 23/05/2011 Pk 18.42 129,00 2,70 24/05/2011 Pk 00.36 130,60 3,136 24/05/2011 Pk 06.47 136,70 3,450

(30/04/2011) dilakukan USG mamae D dan axilla Kesimpulan : Didapatkan pembesaran KGB axilla kanan, serta axilla kiri dalam batas normal. USG Abdomen (25/04/2011) didapatkan kesimpulan hepar/gallblader/pankreas/lien/ginjal kanan kiri/buli/uterus/ serta para aorta tidak nampak kelainan. Tidak nampak metastase proses pada hepar dan paraaorta. - Foto Thorax PA ( 02/05/2011) Cor Pulmo tidak nampak. Sinus Pleura Diafragma kelainan. - Pemeriksaan Histopatologi ( 21/06/2010) Kesimpulan : Ca Mamae ductal invasif jenis solid tubuler grade III - EKG ( 23/05/2011) Sinus Takikardia, Hearth Rate = 121 x/menit, Axis Normal, Kompleks QRS Normal, ST-T Change (-), : Bagian Kanan sulit dievaluasi, bagian kiri tajam. : kanan dan kiri normal, tulang-tulang tidak nampak : Besar dan Bentuk Normal. : Tidak terdapat infiltrat/nodul, corakan bronkovaskular

24

- Kesimpulan Status Fisik : ASA 2 3.5. Persiapan Pra Anestesi 3.5.1.Persiapan di Ruang Perawatan (Hangsoka) Persiapan yang dilakukan di ruangan meliputi persiapan fisik serta persiapan psikis. Persiapan fisik diantaranya : 1. Melepaskan segala macam perhiasan dan aksesoris yang lain. 2. Puasa 8 jam sebelum operasi. 3. Menggunakan pasien khusus operasi. 4. Pasien dan keluarga telah menyetujui untuk dilakukan tindakan anestesia. Persiapan psikis yaitu dengan telah diberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai anestesi dan tindakan pembedahan yang akan dilakukan. 3.5.2. Persiapan di Ruang Instalasi Bedah Sentral 1. Memeriksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan tindakan medis. 2. Pemasangan IV Line di tangan. 3. Pemberian premedikasi pukul 08.30 WITA a. Midazolam 2 mg. b. Ranitidin 50 mg. c. Ondansentron 4 mg. 4. Menyiapkan lembar catatan medis anestesi. 3.5.3. Persiapan di kamar operasi 1. Persiapan mesin anestesi dan sistem aliran gas dan cadangan volatile agent. 2. Persiapan obat-obatan dan alat resusitasi. 3. Persiapan obat-obatan anestesi yang digunakan. 4. Setelah pasien masuk kamar operasi, dilakukan penyesuaian meja operasi, lampu standar infus, serta pemasangan alat pantau tekanan darah, EKG, dan pulse oksimeter pada pasien dengan posisi tidur. 5. Evaluasi ulang status present : a. Tekanan darah b. Nadi c. Frekuensi Nafas : 100/80 mm Hg. : 92 x/menit : 16 x/menit

25

3.5.4. Pengelolaan Anestesi Dan Reanimasi 1. Jenis Anestesi T2 dan T5. 2. Tehnik Anestesi Paravertebral blok Identifikasi T2 dan T5 Cari Ruang paravertebral, filtrasi jarum ke dalam ruang paravertebral. Fungsi darah (-), liquor (+) Injeksikan Bupivacain 0,5% 10 cc + Epinephrin 1:200.000 General Anestesi Induksi Pre Oksigenasi O2 100% 8 lpm selama 3-5 menit. Induksi dengan propofol 150 mg, di mana sebelumnya diberikan suplemen analgesia fentanyl 100 mcg. Fasilitas intubasi dengan atracurium 25 mg. Laringoskopi intubasi dengan PET no.7 cuff (+), kingking Maintenance dengan O2 (2 lpm) : N2O ( 2lpm) : Sevoflurance Respirasi = kendali Posisi = supinasi Infus = perifer tangan kiri Komplikasi selama pembedahan (-) 3.5.5.Kronologis Anestesia Pukul 08.00 WITA = Penderita berada di ruangan persiapan IBS. Pukul 08.30 WITA = Pemberian premedikasi. Pukul 08.50 WITA = Paravertebral Blok. Pukul 09.00 WITA = Induksi. Pukul 09.05 WITA = Intubasi. Pukul 09.25 WITA = Operasi mulai. Pukul 13.25 WITA = Operasi selesai. Pukul 13.30 WITA = Ekstubasi. Pukul 13.40 WITA = Penderita pindah ke ruang pemulihan. : : General Anestesi dengan Paravertebral blok pada

26

Pukul 14.20 WITA = Penderita pindah ke ruangan. Lama Pembedahan Lama Anestesi Keadaan Akhir : 4 jam. : 4 jam 30 menit. : Tekanan Darah = 118/80 mm Hg. Nadi SaO2 Rekapitulasi Cairan Berat Badan = 45 kg. Lama Puasa = 8 jam. Kebutuhan cairan basal = 75 cc/jam. Defisit cairan puasa = 600 cc. Sequester = 45x6 = 270 cc. Estimated Blood Volume = 2925 cc. Allowed Blood Loss = 585 cc. Kebutuhan Cairan Durante Operasi : Jam I = 300 + 75 + 270 = 645 cc. Jam II = 150 + 75 + 270 + 400 = 895 cc. Jam III = 150 + 75+ 270 + 400 = 895 cc. Jam IV = 270 + 75 + 400 = 745 cc. Jumlah cairan masuk= kristaloid 1500 cc, koloid =500 cc, total = 2000 cc Jumlah perdarahan = 400 cc. Jumlah medikasi = Fentanyl 100 mcg, Propofol = 150 mg, Atracurium 30 mg. 3.5.6.Pengelolaan Pasca Anestesi - Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan pukul 13.40 WITA. - Situasi di ruang pemulihan : - Kesadaran penderita diawasi sampai penderita sadar baik. - Respirasi stabil - Sirkulasi Pasien: Pukul 13.50 WITA = Tekanan darah 120/80 mm Hg, Nadi 100x/menit. Pukul 14.00 WITA = Tekanan darah 122/78 mm Hg, Nadi 96x/menit. Pukul 14.10 WITA = Tekanan darah 116/80 mm Hg, Nadi 90x/menit. - Mual dan muntah : tidak ada. = 102 x/menit. = 100%

27

- Aktivitas pasien : pasien mampu menggerakkan keempat ekstrimitasnya. - Warna kulit pasien : kemerahan. - Aldrete Score Pukul 13.30 WITA total skor : 10 Aktivitas : 2 Sirkulasi : 2 Kesadaran : 2 Respirasi : 2 Warna kulit : 2 Pukul 14.00 WITA total skor : 10 Aktivitas : 2 Sirkulasi : 2 Kesadaran : 2 Respirasi : 2 Warna kulit : 2 Instruksi di Ruangan Pemberian analgetika post operasi : parasetamol 4x500 mg, apabila tetap nyeri serta mual-muntah harap menghubungi tim APS (Acute Pain Service) Anestesi RSUP Sanglah. bedah. Makan dan minum bebas. Infus untuk pemeliharaan diberikan kristaloid 14 tetes/menit. Antibiotika dan obat-obatan lain sesuai dengan teman sejawat

3.6 Follow Up Pasien Post Operasi Tanggal 25/05/2011 S: nyeri luka post operasi, makan minum baik, BAK (+), tidur terganggu (baru bisa tidur setelah jam 3 pagi). O: Hemodinamik stabil, Status Lokalis pada Regio Mamae D didapatkan luka terawat post operasi dengan terpasang 2 drain, produksi drain I : 25cc, produksi drain II : 100cc. A: Post MRM + LD Flap hari I LABC Dextra P:

28

Diet Bebas Aminofusin : D5 : NaCl = 1:2:1 / 24 jam Ceftriaxone 2x1 gram Ketorolac 3x1 ampul Ranitidin 3x1 ampul. Ondansentron 3x1 ampul. Diet TKTP Vitamin C 2x2 KSR 1x1 Transfusi PRC s/d Hb 10 Transfusi Alb s/d Hb 2,5 Tanggal 26/05/2011 S: nyeri luka post operasi sudah mulai berkurang, makan minum baik, BAK (+), tidur terganggu O: Hemodinamik stabil, Status Lokalis pada Regio Mamae D didapatkan luka terawat post operasi dengan terpasang 2 drain, produksi drain I : 50 cc, produksi drain II : 5 cc. A: Post MRM + LD Flap hari II LABC Dextra Hasil pemeriksaan terakhir : Hb= 9,3 (sebelum dimasukkan 1 kolf lagi), Alb=(2,019 sebelum masuk flash Aminofosin yang ke III ). P: Diet Bebas Aminofusin : D5 : NaCl = 1:2:1 / 24 jam Ceftriaxone 2x1 gram Ketorolac 3x1 ampul Ranitidin 3x1 ampul. Ondansentron 3x1 ampul. Diet TKTP Vitamin C 2x2 KSR 1x1 Transfusi PRC s/d Hb 10 Transfusi Alb s/d Hb 2,5

29

Tanggal 27/05/2011 S: nyeri luka post operasi sudah mulai berkurang, makan minum baik, BAK (+),tidur terganggu (baru bisa tidur setelah jam 3 pagi). O: Hemodinamik stabil Status Lokalis pada Regio Mamae D didapatkan luka terawat post operasi dengan terpasang 2 drain, produksi drain I : 10 cc, produksi drain II : 5 cc. A: Post MRM + LD Flap hari III LABC Dextra P: Off drain Diet Bebas Aminofusin : D5 : NaCl = 1:2:1 / 24 jam Ceftriaxone 2x1 gram Ketorolac 3x1 ampul Ranitidin 3x1 ampul. Ondansentron 3x1 ampul. Diet TKTP Vitamin C 2x2 KSR 1x1 Transfusi PRC s/d Hb 10 Transfusi Alb s/d Hb 2,5 Tanggal 28/05/2011 S: nyeri luka post operasi sudah mulai berkurang, makan minum baik, BAK (+),tidur terganggu (baru bisa tidur setelah jam 3 pagi). O: Hemodinamik stabil Status Lokalis pada Regio Mamae D didapatkan luka terawat post operasi. A: Post MRM + LD Flap hari IV LABC Dextra P: Off drain Diet Bebas Aminofusin : D5 : NaCl = 1:2:1 / 24 jam Ceftriaxone 2x1 gram Ketorolac 3x1 ampul

30

Ranitidin 3x1 ampul. Ondansentron 3x1 ampul. Diet TKTP Vitamin C 2x2 KSR 1x1 Transfusi PRC s/d Hb 10 Transfusi Alb s/d Hb 2,5 Pk 12.00 tanggal 28/05/2011 pasien dipulangkan dari bagian Onkologi, planning untuk radioterapi 2 minggu post MRM ( 07 Juni 2011).

BAB IV PEMBAHASAN

31

Pasien perempuan usia 27 tahun dengan Locally Advanced Breast Cancer dextra T4c N1 M0. Permasalahan yang terjadi dan yang menjadi perhatian utama adalah rasa nyeri yang dirasakan pasien serta permasalahan psikologis yaitu rasa takut, cemas, dan was-was yang selalu dirasakan oleh pasien. Adanya kanker payudara pada pasien dapat dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan benjolan pada payudara kanan sejak 10 bulan yang lalu. Dikatakan sempat keluar gelembung-gelembung serta cairan bening dari puting susu pasien. Kemudian semakin lama dikatakan benjolannya semakin membesar dan sudah menimbulkan keluhan nyeri. Dari hasil pemeriksaan klinis serta penentuan staging berdasarkan sistem TNM didapatkan T4c N1 M0 di mana berdasaran teori pada penderita ini merupakan kanker payudara stadium 3B. T4c menunjukkan bahwa telah terjadinya ekstensi ke dinding dada dan telah terdapat edema, ulserasi, serta nodul satelit pada kulit salah satu payudara. Untuk t4c ini sesuai dengan yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan klinis yaitu benjolan pada payudara kanan sejak 10 bulan yang lalu. Dikatakan sempat keluar gelembung-gelembung serta cairan bening dari putting susu pasien. Kemudian semakin lama dikatakan benjolannya semakin membesar dan sudah menimbulkan keluhan nyeri. N1 menunjukkan telah terjadinya pembesaran pada kelenjar getah bening pada sisi ipsilateral atau searah dengan munculnya lesi. Pada hasil USG mamae kanan pasien didapatkan pembesaran kelenjar getah bening sesuai dengan tempat munculnya benjolan yaitu pada payudara kanan, M0 menunjukkan belum adanya metastasis ke organ yang lainnya, yang pada pasien dibuktikan pada hasil foto thorax serta dari hasil USG abdomennya. Foto thoraxnya menunjukkan gambaran cor serta pulmo yang normal, sedangkan dari USG abdomennya tidak didapatkan proses metastasis pada hepar serta kelenjar paraaorta. Stadium 3B ini mengindikasikan stadium lanjut di mana pada stadium lanjut permasalahan utama yang sering ditemui adalah nyeri yang sering membebani penderita, dan menimbulkan permasalahan psikologis. Selain dari hasil anamnesis, serta dari hasil pemeriksaan fisik juga dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan foto thorax, USG mamae, USG abdomen serta dengan

32

pemeriksaan histopatologis untuk menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan hasil menunjukkan gambaran karsinoma mamae tipe ductal invasif jenis solid tubuler grade III. Untuk diagnosis nyeri pada kanker payudara ini harus dilakukan secara teliti. Dalam kepustakaan dikatakan pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama, yang dilakukan sebelum pengobatan dimulai, secara teratur pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral. Dari anamnesis pada pasien mengeluh nyeri sejak 10 bulan yang lalu, di mana nyeri mulai dirasakan saat benjolan semakin membesar dan nyeri dirasakan pada pinggiran benolan tersebut, khususnya saat harus bersentuhan dengan baju. Nyeri tersebut merupakan nyeri kronik karena nyeri dirasakan lebih dari satu bulan, berkaitan dengan suatu proses kronik yang menjadi penyebab terjadinya nyeri tersebut. Derajat nyeri yang diderita pasien adalah derajat sedang, di mana nyeri yang dirasakan telah mengganggu tidur serta aktivitas sehari-hari pasien. Selain itu dari usia pasien yang masih muda yaitu 27 tahun dengan memiliki 1 orang putra namun sudah menderita penyakit kanker payudara tentunya dirasakan berat baik bagi pasien ataupun bagi keluarga. Berdasarkan teori yang didapatkan memang terdapat hubungan antara nyeri kronik ini dengan permasalahan psikisnya. The Psychosocial Collaborative Oncology Group dalam penelitiannya menjelaskan prevalensi dari gangguan psikiatri pada pasien usia dewasa muda yang menderita penyakit kanker pada berbagai stadium dan didapatkan nilai sekitar 4%. Khususnya pada wanita yang menderita kanker payudara, angka kejadian mengalami gangguan psikiatri berkisar antara 14-38%. Khususnya untuk prevalensi kejadian Post Traumatic Stress Disorder pada penderita kanker payudara berkisar antara 3%-19%. Pada kasus ditemukan pasien usia muda 27 tahun, kemudian dari anamnesisnya pasien selalu menunjukkan rasa takut, cemas, khawatir, karena dari pengobatan yang telah dilakukan tidak kunjung memberikan kesembuhan, kemudian pasien khawatir bahwa penyakit ini akan merenggut nyawanya, kemudian dia juga memikirkan bagaimana nantinya anaknya akan hidup sepeninggal dirinya. Pola tidur pasien

33

juga menjadi terganggu di mana biasanya pasien baru bisa tidur setelah pukul tiga pagi. Dengan berbagai permasalahan tersebut maka diperlukan penatalaksanaan yang baik serta dapat mencakup semua aspek dari penderita kanker tersebut. Sesuai dengan prinsip kedokteran perioperatif yaitu untuk dapat menangani pasien mulai dari tatalaksana prabedah, pembedahan, serta terapi pasca bedah maka dalam hal ini seorang dokter khususnya dar bagian anestesiologi harus memiliki kemampuan dalam melakukan penatalaksanaan yang menyeluruh tersebut. Kesuksesan dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri kanker tergantung pada kemampuan klinisi untuk menilai problem dasarnya, mengidentifikasi dan mengevaluasi sindroma nyeri serta membuat rencana untuk memberikan perawatan kontinyu yang diperlukan penderita dan keluarganya. Pengelolaan nyeri kanker terutama ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita, agar penderita merasa lebih nyaman. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dipahami bahwa dalam usaha menanggulangi nyeri kanker, terdapat beberapa tahapan yang ingin dicapai, yaitu : berkurangnya nyeri, usaha untuk mengatasi penyebabnya, memperbaiki keadaan umum penderita, memulihkan semangat penderita, dan tindakan fisioterapi. Pada pasien karena nyeri yang diderita pasien adalah nyeri sedang, maka berdasarkan World Health Organization Analgesic Ladder, obat yang digunakan untuk mengatasinya adalah obat golongan opioid lemah (kodein) yang dikombinasi dengan obat golongan non opiod (paracetamol). Namun pada pasien setelah operasi MRM analgesik yang diberikan adalah dari golongan paracetamol saja, dengan pertimbangan bahwa nyerinya telah dirasakan membaik, dan untuk mengurangi efek ketergantungan (withdrawal syndrome). Selain itu pada pasien direncanakan untuk diberikan radioterapi. Radioterapi tersebut juga merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan nyeri kanker yakni usaha untuk menangani penyebab nyeri dimana dalam hal ini adalah karsinoma mamae. Sesuai kepustakaan disebutkan juga pada pasien dengan kanker payudara pada stadium lanjut juga harus dilakukan penanganan untuk mengatasi

34

permasalahan psikologisnya salah satunya dengan pemberian obat obatan psikofarmakologi seperti benzodiazepin, dan juga dilakukan psikoterapi. Walaupun pada kasus belum dilakukan penanganan dari segi psikologisnya, ke depannya diharapkan penanganan pada penderita kanker juga tidak melupakan hal yang satu ini supaya dapat meningkatkan kualitas hidup pasiennya.

BAB V KESIMPULAN

35

Nyeri merupakan salah satu keluhan pada penderita kanker dan memiliki dampak pada fungsi fisiologis tubuh dan juga mempengaruhi kualitas hidup penderita. Pengelolaan nyeri yang tidak adekuat bukan saja akan meningkatkan nmorbiditas dan mortalitas, namun dipandang sebagai suatu hal yang tidak manusia. Oleh sebab itu, nyeri kanker harus ditangani dengan adekuat. Dalam manajemen perioperatif pada pasien-pasien yang mengalami kanker, khsusunya pada kanker payudara seharusnya dapat mencakup semua aspek dari perioperatif tersebut, jadi tidak hanya menangani nyeri saja khususnya di sini pada nyeri pasca pembedahannya, tetapi juga untuk melakukan penanganan dari berbagai komponen lainnya seperti manajemen terhadap aspek psikologis, sosial, dan spiritual sebagaimana manajemen komprehensif penanganan nyeri kanker.

DAFTAR PUSTAKA

36

1. Tasmuth T., Von Smitten K., Kalso E., Pain and Other Symptoms During First Year After Radical and Conservative Surgery for Breast Cancer. British Journal of Cancer (1996) 74, 2024-2031. 2. Green, Ester. Cancer-Related Pain Management : A Report EvidenceBased Recommendations to Guide Practice. Program in Evidence-Based Care (PEBC), Cancer Care Ontario. 2008.

3. Suardi DR. Pengelolaan Nyeri Kanker. IDSAI 2000: 89-94. 4. Thomas JR, Ferris FD, & Gunten CF. Approach to the Management of Cancer Pain. In: Benzon, Raja, Molloy, Liv, Fishman, editors. Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia; edisi ke-2, Philadelphia: Elsevier, 2005:525-541. 5. Nyeri. Dalam: Diktat Kumpulan Kuliah Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2002. 6. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta. PT Macan Jaya Cemerlang. 2010. hal 217-232. 7. Manuaba, IB Tjakra Wibawa, Prof.DR.dr.,M.P.H., Sp.B (K) Onk. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid PERABOI. CV Sagung Seto, Jakarta. 2010 8. Gordon, Debra B., Dahl, June L., Miaskowski, Christine., et al. American Pain Society Recommendations for Improving Quality of Acute and Cancer Pain Management. Arch Intern Med. Volume 165. Juli 2005. 9. Whitten CE. Donovan M, Cristobal K. Treating Chronic Pain: New Knowledge, More Choice. The Permanente Journal. 2005;9:9-18. Available at http://xnet.kp.org/permanentejournal/fall05/pain3.html 10. Benzon TH, Raja NS, et al. Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia. Second Edition. Elsevier. United States. 2005. p 1-442. 11. Ballantyne, Jane C., Cousins, Michael J., Giamberardino, Maria G., et al. The Cancer Pain with Anxiety and Chronic Pain. Volume XVII. Issue 4. September 2009.

37

You might also like