You are on page 1of 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

1. Pengertian ISPA ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik, bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau disertai dengan radang perenkim paru (Amin,dkk, 1989). Menurut Depkes RI 2002 dalam buku pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (P2 ISPA), pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) atau suatu sindroma yang disebabkan oleh bakteri dengan ditandai oleh gambaran klinik batuk dan disertai adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam nafas cepat. Terjadinya Pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronkhus yang disebut bronkopneumonia. Dalam pelaksanaan

Pemberantasan Penyakit ISPA semua bentuk Pneumonia (baik Pneumonia maupun bronkopneumonia) disebut Pneumonia saja. Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran

pernapasan Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah

organ mulai dari hidung, laring, fharing, bronkus hingga Alveoli beserta organ lain seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang ditandai dengan satu atau lebih gejala batuk pilek disertai dengan atau tanpa demam yang berlangsung bisa sampai 14 hari tanpa adanya penarikan dinding dada, (Depkes RI, 2002). Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat diketahui menurut : a. Lokasi Anatomik Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi

anatominya, yaitu : ISPA atas dan ISPA bawah. ISPA bagian atas adalah batuk pilek, Pharingitis, Tonsilitis, Otitis media, Flu, Sinusitis, sedangkan ISPA bagian bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian . b. Klasifikasi penyakit Menurut Dirjen PPM Depkes RI 2002, penyakit ISPA

diklasifikasikan berdasarkan golongan umur, yaitu : 1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas : pneumonia berat dan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast breathing), yaitu frekuensi

pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya

tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat. 2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas : pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila gejala klinis disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat, yaitu 40 kali permenit atau lebih.

2. Diagnosis Diagnosis ISPA pada balita didasarkan pada adanya gejala klinis batuk dan pilek disertai atau tanpa disertai demam bisa sampai 14 hari, dan tidak disertai nafas cepat. Batas napas cepat (fast breathing) cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak umur 2 bulan - < 1 tahun dan 40 kali per menit atau lebih pada anak umur 1 - <5 tahun (Depkes RI, 2002). Diagnosis pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan - < 5 tahun, pada kelompok umur < 2 bulan diagnosis Pneumonia berat

10

ditandai dengan adanya nafas cepat (fast breathing), yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.

3. Perjalanan Alamiah Penyakit Menurut Mausner dan Kramer (1985) perjalanan alamiah penyakit dibagi menjadi 5 tahap yaitu : tahap kerentanan, pada tahap ini terjadi interaksi antara bibit penyakit, penjamu dan lingkungan di luar tubuh namun bentuk penyakit belum terjadi dan beberapa

keadaan dapat merupakan faktor risiko terjadinya penyakit. Tahap presintomatik, telah terjadi interaksi dari berbagai faktor yang mengakibatkan perubahan-perubahan patogenik tetapi masih di bawah garis horizon klinik. Tahap penyakit klinis, telah muncul tandatanda atau gejala penyakit dan dapat diketahui dengan jelas yang disebabkan karena perubahan anatomic ataupun kelainan fungsi tubuh. Tahap penyakit klinis lanjut, tahap perjalanan penyakit akan berlanjut dan akan menjadi lebih berat kalau tidak mendapatkan perhatian. Tahap kecatatan, dengan upaya tindakan kesehatan atau secara spontan beberapa penyakit dapat disembuhkan namun masih meninggalkan gejala yang dapat berlangsung dalam jangka pendek maupun panjang. Selain itu masih memungkinkan terjadi gangguan bagi kesehatan penderita.

11

4. Etiologi ISPA Etiologi ISPA pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya imunologi sukar belum diperoleh. Sedangkan hasil prosedur pemeriksaan untuk

memberikan

yang

memuaskan

menentukan adanya bakteri sebagai penyebab ISPA. Hanya biakan dari aspirat paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu penetapan etiologi Pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab Pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian. Oleh karena alasan tersebut di atas maka penetapan etiologi ISPA di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian diberbagai negara menunjukkan bahwa di negara berkembang Streptokokus dan Hemofilus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa ini ISPA pada anak umumnya disebabkan oleh virus. (Depkes RI, 2002).

12

5. Kecenderungan terjadinya penyakit ISPA Bencana alam melanda berbagai daerah di Indonesia seperti: gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, semburan lahar panas, akibat aktivitas gunung berapi, semburan lumpur panas, bencana alam ini mengakibatkan terjadinya pengungsian secara besar besaran yang mengakibatkan peningkatan penyakit termasuk salah satunya ISPA. Selain itu pencemaran lingkungan karena asap seperti kebakaran hutan, gas buang sarana transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan terutama ISPA, maka salah satu upaya yang harus dilakukan adalah yang memperhatikan atau menanggulangi faktor resiko lingkungan. ( Daud A, 2000).

6. Strategi program pemberantasan ISPA Menemukan penderita Balita ISPA dan pengobatan yang tepat untuk mencegah berlanjutnya penyakit menjadi pneumonia berat yang dapat menyebabkan kematian, dan penemuan pneumonia berat serta penatalaksanaannya di tempat rujukan secara tepat untuk

menurunkan kematian. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara : 1) Imunisasi penyakit yang dapat mencegah timbulnya

ISPA adalah Campak, Difteria, Pertusis. 2) Usaha dibidang gizi untuk mengurangi malnutrisi dan

defisiensi vitamin A.

13

3)

Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi

dengan BBLR . 4) Program penyehatan lingkungan pemukiman PLP yang

menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah. (Depkes 1996).

B. Bawah Lima Tahun ( BALITA ) Balita yaitu anak yang berusia 1 sampai 5 tahun merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian, karena balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian bayi dan balita masih tinggi (Depkes RI, 2002). Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional,

mengingat angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang

sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan erat dengan faktor lingkungan (perumahan, kebersihan lingkungan dan polusi udara), kemiskinan, kurang gizi, penyakit infeksi dan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, infeksi saluran pernapasan akut masih tinggi karena adanya beberapa faktor

14

antara lain

kualitas udara dalam rumah yang berkaitan dengan

kegiatan penghuni di dalamnya seperti merokok, bakteri dan virus akibat komplikasi dengan penyakit campak dapat menimbulkan kematian (Yvonne, S.H, 1997). Beberapa faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu : 1. 2. 3. Diare. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Infeksi saluran pernapasan akut

Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua. Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang dapat mengganggu dalam proses tumbuh kembang balita adalah ISPA. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan

perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, pemberian imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Depkes RI, 2002).

C. Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan

15

dengan makanan yang dibuat manusia ataupun susu hewan matang (Soeharjo, 1992). ASI Eksklusif berarti hanya memberikan ASI saja sampai umur 6 bulan, tanpa tambahan makanan atau minuman. Anak sampai usia enam bulan pertama hanya membutuhkan ASI, isapan anak menentukan kebutuhannya, oleh karenanya diberikan kesempatan sepenuhnya ia untuk dapat menghisap sepuasnya (Roesli , 2000). Bayi yang baru lahir secara alamiah sudah mendapat imunoglobulin (zat kekebalan tubuh) dari ibunya lewat ari-arinya. Tubuh bayi dapat membuat sistem kekebalan tubuh sendiri waktu berusia sekitar 9-12 bulan. Sistem imun bawaan pada bayi menurun namun sistem imun yang dibentuk oleh bayi itu sendiri belum bisa mencukupi sehingga dapat mengakibatkan adanya kesenjangan zat kekebalan pada bayi dan hal ini akan hilang atau berkurang bila bayi diberi ASI. ASI eksklusif mengandung Kolostrum yaitu zat kekebalan 1017 kali lebih banyak dari susu hewani yang diolah. ASI juga menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi seperti diare, batuk, pilek, dan penyakit alergi. Bayi yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (Depkes RI, 2002).

16

D. Pemberian Imunisasi Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya (Achmad, 2006). Jenis-jenis Vaksin Imunisasi : 1) Vaksin BCG Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG mengandung kuman BCG yang masih hidup. Jenis kuman ini telah dilemahkan. 2) Vaksin DPT Manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria, pertusis (batuk rejan) dan tetanus. 3) Vaksin DT (Difteria, Tetanus) Vaksin ini dibuat untuk keperluan khusus yaitu bila anak sudah tidak diperbolehkan atau tidak lagi memerlukan imunisasi pertusis, tapi masih memerlukan imunisasi difteria dan tetanus.

17

4) Vaksin Tetanus Memberikan kekebalan terhadap penyakit tetanus, Vaksin yang digunakan adalah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Biasa diberikan pada wanita beranjak dewasa dan juga pada ibu ibu hamil. 5) Vaksin Poliomielitis Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Vaksin yang mengandung virus polio yang masih hidup tetapi telah dilemahkan, cara pemberiannya melalui mulut dalam bentuk cairan. 6) Vaksin Campak Imunisasi diberikan untuk mendapat kekebalan tehadap penyakit campak. 7) Vaksin Hepatitis B Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit Hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih dikenal sebagai penyakit lever. Hasil penelitian yang dilakukan Tupasi berhubungan dengan status imunisasi menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita pneumonia yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dan bermakna secara statistis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert pada tahun 1993 menyebutkan bahwa imunisasi yang

18

lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA. (Depkes RI, 2002). Tujuan mengurangi dari diberikannya penderita suatu suatu imunisasi penyakit adalah yang untuk sangat

angka

membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. ISPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah DPT dan Campak.

E. Kebiasaan Merokok Dalam Rumah Kebiasaan merokok dalam rumah dapat diartikan apabila ada anggota keluarga merokok dalam rumah dan merupakan salah satu kebiasaan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dimana-mana, mudah menemui orang merokok lelaki, wanita, anak remaja, orang tua renta, kaya dan miskin tidak ada terkecuali. Betapa merokok merupakan bagian hidup masyarakat. Dari segi kesehatan, tidak ada satu titik yang menyetujui atau melihat manfaat yang dikandungnya. Namun tidak mudah untuk menurunkan terlebih menghilangkannya. Karena itu gaya hidup ini menarik sebagai suatu masalah kesehatan, minimal dianggap sebagai faktor resiko dari berbagai macam penyakit, (Dachroni, 2002).

19

Rokok merupakan salah satu produksi industri dan komuditi internasional yang mengandung sekitar 3.000 bahan kimiawi. Unsurunsur yang penting antara lain : tar, nikotin, benzopyrin, metil-kloride, aseton, ammonia dan karbon monoksida. Di antara sekian banyak zat berbahaya ini, ada 3 yang paling penting, yaitu : a. Tar, mengandung ratusan zat kimia yang

kebanyakan bersifat karsinogenik atau zat yang merangsang pembentukan kanker. b. Nikotin, merangsang pelepasan catecholamine

yang bisa meningkatkan denyut jantung. c. Karbonmonoksida (CO), merupakan 1-5 % dari

asap rokok. Zat ini mengikat oxygen dalam darah (eritrosit) dan membentuk carboxyhaemoglobin . Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa

(Adningsih, 2003). Perokok pasif mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mendapatkan serangan kanker paru-paru, dari pada perokok aktif. Khusus bagi anak-anak dapat meningkat risiko untuk mendapat

20

serangan ISPA dan gangguan paru-paru di masa mendatang. Anakanak dan anggota keluarga dari perokok lebih mudah dan lebih sering menderita gangguan pernapasan dibanding anak-anak dan anggota keluarga yang bukan perokok. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat

penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2002). Khusus untuk melindungi bayi dan anak-anak yang terpapar asap perlu diusahakan untuk dijauhkan dari kepulan asap, atau anggota keluarga yang perokok diberikan waktu dan ruangan sendiri untuk menyalurkan kebiasaan merokok.

21

F. Berat Badan Lahir Rendah Istilah Prematuritas telah diganti dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) oleh WHO sejak tahun 1961. Hal ini dilakukan karena tidak semua bayi dengan berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur (Budjang, 1998). Bayi berat lahir rendah ialah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya kurang dari 2500 gram. Pembagian menurut berat badan ini sangat mudah tetapi tidak memuaskan. Ternyata morbiditas dan mortalitas neonatus tidak hanya bergantung pada berat badannya, tetapi juga pada maturitas bayi itu (Manuaba, 1991). Para Pakar Neonatal (bayi baru lahir) sepakat , penilaian atas Berat Badan Lahir (BBL) bayi harus merujuk pada empat acuan, Pertama: Makrosomia, yakni BBL diatas 4 kilogram (bayi dengan berat badan lahir lebih/BBLL). Kedua normal, yaitu BBL yang berkisar 2,5-4 kilogram. Ketiga: rendah yakni antara 1,5-2,5 kilogram (BBLR). Terakhir: sangat rendah, yaitu BBL yang hanya 1,5 kilogram ke bawah. Bayi yang lahir dengan bobot ini dinamakan BBLSR. (Anonim, diakses tanggal 24 Nopember 2004). Untuk keseragaman, pada kongres European Prenatal

Medicini kedua di London telah diusulkan defenisi sebagai berikut: 1. Bayi kurang bulan ialah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu (Preterm infant / Premature).

22

2. Bayi cukup bulan ialah bayi dengan masa kehamilan mulai 37-42 minggu (Aterm / mature). 3. Bayi lebih bulan ialah bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau lebih (Post term infant / Post mature). Dengan pengertian menjadi 2 golongan yaitu : 1. Prematuritas Murni seperti diatas, bayi BBLR dapat dibagi

Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu, atau Sesuai Untuk Masa

biasanya disebut neonatus Kurang Bulan Kehamilan (NKB-SMK). 2. Dismaturitas

Yaitu bayi dengan berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya untuk usia kehamilan , ini menunjukkan bayi mengalami retardasi pertumbuhan intra uterine,biasa disebut dengan bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK/SGA), Faktor penyebabnya adalah : a. Faktor janin, Kelainan kromosom, infeksi janin kronik,

disotomia familial, retardasi, kehamilan ganda, aplasia pancreas. b. Faktor Plasenta, Berat plasenta kurang, Plasenta

berongga, atau keduanya, luas permukaan berkurang,

23

plasentitis vilus, infark tumor (kario angioma plasenta yang lepas, sindrom transfusi. c. Faktor Ibu, Toksemia, hipertensi, penyakit ginjal,

hipoksemia (Penyakit jantung sionatik, penyakit paru), Malnutrisi anemia sel sabit, ketergantungan (obat

narkotika,alkohol,rokok). Gangguan pertumbuhan dapat terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, sehingga bayi lahir dengan berat badan rendah. Menurut Erwin (1991) bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang umur kehamilan. Terdapat 2 macam BBLR yaitu: 1. Bayi kurang bulan (pra term baby) ialah bayi yang dilahirkan dengan a. umur kehamilan 37 minggu, dibagi 2 macam:

BMK (Besar Masa Kehamilan) bila berat bayi lebih besar

dari pada erat menurut usia kehamilan. b. SKM (Sesuai Masa Kehamilan), bila berat bayi sesuai

dengan berat menurut usia kehamilan. 2. Bayi Kecil Untuk Masa Kehamilan ada 2 golongan penyebab bayi BBLR dengan KMK yang berlainan yaitu: a. Bayi kecil tubuhnya. Bayi-bayi ini ukuran tubuhnya kecil dan biasanya juga menderita kelainan

memang

kongenital. Bayi-bayi

demikian karena mempunyai jumlah

sel tubuh yang berkurang karena kerusakan pada fase

24

paertumbuhan janin misalnya karena obat-obatan atau ibunya Rubella. b. Bayi kurus. Bayi-bayi ini terdapat ukuran lingkar kepala

atau panjang badan hampir sama dengan bayi normal. Bayi tampak kurang gizi,kulit mengerut dan berlipat-lipat, sub kutan tipis dan bayi tampak lapar dan aktif. Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa getasi itu, artinya bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang Kecil Untuk Masa Kehamilan (KMK). Bayi dengan berat lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Bila ia mampu hidup mempunyai risiko untuk mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi (Setyowati, 1997). Bahkan menurut Shapiro, et all, bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai kemungkinan meninggal 40 kali lebih besar dari bayi yang lahir dengan BBLN (Husaini, 1994). Alat tubuh prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, ia mengalami banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurna

25

alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tingginya angka kematiannya (Budjang, 1999). Pada umumnya maturitas fisiologik bayi masa kehamilan sesuai dengan masa gestasinya sedikit dipengaruhi oleh gangguan

pertumbuhan dalam uterus. Dengan kata lain alat-alat dalam tubuhnya sudah tumbuh lebih baik dibandingkan dengan bayi prematur dengan berat yang sama. Walaupun demikian beberapa komplikasi yang sering diikuti prematurasi, hipoglikemia terutama bila pemberian

minum terlambat dan kelainan lain seperti cacat bawaan akibat kelainan kromoson (Budjang, 1999). Gambaran bayi berat badan rendah tergantung dari umur kehamilan sehingga dapat dikatakan bahwa makin kecil bayi atau masih muda kehamilan makin nyata. Sebagian gambaran umum dapat dikemukakan bahwa bayi berat lahir rendah mempunyai karakteristik : 1. Panjang badan kurang dari 45 cm 2. Berat badan < 2.500 gram 3. Lingkaran dada kurang dari 30 cm 4. Lingkaran kepala kurang dari 33 cm 5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu 6. Kepala relatif besar 7. Kulit : transparan, rambut lanugo banyak, lemak kulit kurang 8. Otot hipotonik lemah 9. Pernapasan tak teratur

26

10.Kepala tidak mampu tegak 11.Pernapasan sekitar 45-50 kali permenit 12. Frekuensi nadi 100 sampai 140 kali per menit (Manuaba, 1998) Dengan memperhatikan gambaran klinik dan berbagai

kemungkinan yang dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi berat lahir rendah maka perawatan dan pengawasan bayi prematuritas ditujukan pada :

1.

Pengaturan suhu badan bayi prematur/berat lahir rendah

Bayi prematuritas/BBLR dengan cepat akan kehilangan panas badan dan menjadi hipotermi karena pusat pengaturan panas badan belum berfungsi dengan baik, metabolisme rendah dan permukaan badan relatif luas, oleh karena itu bayi harus dimuat di dalam inkubator. 2. Makanan bayi prematur /BBLR

Alat pencernaan bayi prematur/BBLR masih belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3 sampai 5 gram/Kg berat badan dan kalori 110 kal/Kg BB sehingga pertumbuhan dapat meningkat. Pemberian minum bayi sekitar tiga jam setelah lahir dan didahului dengan mengisap cairan lambung, refleks mengisap masih lemah, sehingga minum sebaiknya sedikit demi sedikit tetapi dengan frekuensi yang lebih sering.

27

3.

Menghindari infeksi

Bayi prematuritas mudah sekali terkena infeksi, karena daya yahan tubuh yang masih lemah, oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pencegahan yang dimulai pada masa perinatal (Manuaba, 1998) Chase melaporkan bahwa bayi yang dilahirkan BBLR

mempunyai kemungkinan meninggal dunia sebelum 1 tahun 17 kali lebih besar dari bayi yang dilahirkan dengan Berat Badan Lahir Cukup (BBLC). Sedangkan menurut Mc. Cormick bayi BBLR mempunyai kemungkinan meninggal pada masa neonatal 40 kali lipat lebih besar dari bayi BBLC (Husaini, 1994) Bila bayi dengan berat lahir rendah ini selamat, sering dijumpai pula kerusakan pada syaraf dan akan terjadi gangguan bicara, IQ

rendah dan gangguan lainnya. Studi di Aberdeen berupa pengamatan ulang pada 282 anak berusia 10 tahun (143 anak merupakan BBLR dan 139 anak merupakan kontrol) membuktikan bahwa anak-anak dengan berat lahir rendah relatif mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah, kemajuan akademik rendah dan lebih banyak mengalami gangguan perilaku, berat badan lebih rendah, tinggi badan lebih pendek, lebih banyak mengalami kelainan syaraf, masalah

pendengaran dan lebih sering menderita sakit dibandingkan anak-anak yang dilahirkan dengan berat lahir cukup (Megadhana, 1996).

28

Dalam hal ini faktor faktor yang mempengaruhi BBLR dilihat dari karakteristik sosial ekonomi (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status ekonomi), biomedis ibu dan riwayat persalinan (umur ibu, urutan anak, keguguran/lahir mati) dan pelayanan antenatal (frekuensi periksa hamil, tenaga periksa hamil, umur kandungan saat memeriksakan kehamilannya). Kematian BBLR dipengaruhi secara bermakna oleh berat badan lahir dan umur kehamilan. Makin kecil umur kehamilan dan makin kecil berat badan lahir maka risiko kematiannya akan meningkat. Penelitian di rumah sakit Dokter Kariyadi, Semarang didapatkan bahwa sebesar 25,20 % BBLR yang meninggal dimana 87,10 % adalah bayi-bayi prematur dan 12,90 % dengan bayi-bayi berat badan kecil untuk masa kehamilan dengan angka kematian neonatal dini sebesar 81,80 %. Dari data-data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa berat badan lahir rendah merupakan faktor yang cukup berperan dalam kematian bayi pada tahun pertama kehidupannya. (Rochadi, 1997). Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah akan mudah terkena berbagai macam penyakit karena kondisi yang belum optimal sehingga daya tahan tubuhnya rendah dan sangat dipengaruhi oleh

lingkungannya. G. Kerangka Teori Penelitian

29

Kerangka teori penelitian ini sejenis dengan teori yang diberikan oleh HL. Bloom, yaitu ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan, yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor hereditas. Kerangka teori pada penelitian ini dapat terlihat pada gambar dibawah ini.

Lingkungan

Sampah Debu Kepadatan hunian

Kejadian ISPA

Merokok Imunisasi Perilaku Gizi / Asi Eksklsif BBLR

30

Gambar 1. Kerangka teori penelitian

You might also like