You are on page 1of 50

Pendahuluan Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB).

Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi1. TB paru sebenarnya sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Dibuktikan dengan penemuan kerusakan tulang vertebra thorax yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan jaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 4000 SM. Robert Koch menemukan MTB pada tahun 1882, semacam bakteri berbentuk batang. Diagnosis secara mikrobiologis dimulai sejak tahun 1882, terlebih lagi setelah Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat pada tahun 1896 2. Pada permulaan abad 19, insidens penyakit TB di Eropa dan Amerika Serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Usaha-usaha untuk mengurangi angka kematian dilakukan seperti

perbaikkan lingkungan hidup, nutrisi, dll, tapi hasilnya masih kurang memuaskan2. Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan dengan penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama Streptomisin. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salisilik ( PAS ). Dilanjutkan dengan penemuan Isoniazid pada tahun 1952. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid pada tahun 1954 dan etambutol 1952, rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sampai saat ini2. Angka insidens kasus dan mortalitas TB menurun drastis sejak terdapat kemoterapi. Namun, dari tahun 1985 hingga 1992, kasus TB meningkat hingga 20 %. Lebih dari 80 % kasus baru TB yang dilaporkan adalah berusia lebih dari 25 tahun1. Kira kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB paru, 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi. Pada 5 % kasus akan berkembang menjadi penyakit klinis

di masa yang akan datang, sedangkan 95 % sisanya tidak. Sekitar 10 % individu yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB klinis seumur hidup mereka. Namun, risiko yang lebih besar adalah pada individu yang imunosupresif, khususnya pada mereka yang terinfeksi HIV. Berdasarkan data CDC tahun 1996, angka penyakit TB pada orang yang terinfeksi HIV dengan tes tuberkulin kulit positif adalah 200 hingga 800 kali lebih besar daripada angka untuk seluruh penduduk Amerika Serikat1. Epidemiologi Di Indonesia saat ini diperkirakan terdapat 450.000 penderita TB menular setiap tahunnya (atau suatu prevalensi sebesar 300/100.000) dengan angka insidens 225.000 kasus pertahunnya. Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Imunisasi BCG (antituberkulosis) tidak menjamin anak bebas dari penyakit tersebut. Kuman penyebab TBC yakni Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui percikan dahak. Jika terkena kuman terus-menerus dari orang-orang dewasa di dekatnya, terutama orangtua, maka anak tetap terkena. Di antara sesama anak kecil sendiri sangat kecil kemungkinan menularkan. Interaksi orangtua sangat dekat dan intens dengan anak, apalagi yang masih bayi, sehingga anak mendapat percikan dahak dari orangtua yang sakit TBC. Oleh karena itu, angka anak penderita TBC sangat terpengaruh jumlah orang dewasa yang dapat menularkan TBC. Tim External TB Monitoring Mission mencatat fakta umum, setiap tahun di Indonesia ditemukan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian akibat penyakit tersebut. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar yang bermasalah dengan TBC, setelah India dan China. Masalahnya orangtua sering kali malu mengakui dirinya terkena tuberkulosis atau enggan berobat. Sedangkan penggunaan masker tidak efektif untuk memutus rantai penyebaran TBC kepada anak. Yang terpenting orangtua menyadari jika mendapat gejala TBC segera memeriksakan diri serta menjalani pengobatan

Etiologi Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan 2. MTB memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi 2.

Gambar2. Mikroskopik MTB. (dikutip dari 4)

Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis 2.

Faktor resiko5-7 Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya TB dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko menjadi penyakit. Risiko infeksi TB Faktor risiko terjadinya infeksi TB yang utama adalah : anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif. Berarti, bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin dekat bayi tersebut dengan ibunya, makin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan droplet nuclei yang infeksius. Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak-anak akan lebih tinggi lagi jika orang dewasa tersebut selain mempunyai BTA sputum positif juga terdapat infiltrat yang luas pada lobus atas atau kavitas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Faktor risiko lainnya antara lain : daerah endemis, penggunaan obat-obatan intravena, kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat ( tempat penampungan atau panti perawatan ). Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya. Hal ini disebabkan karena kuman TB sangat jarang ditemukan dalam sekret endobronkial dan jarang terdapat batuk. Risiko penyakit TB Orang yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan menderita penyakit TB. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan progresi infeksi TB menjadi sakit TB antara lain : Usia. Anak usia < 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit Tb, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna ( imatur ). Namun, risiko sakit TB akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi usia < 1 tahun yang terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi sakit TB, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%. Pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata ( seperti TB milier dan TB meningitis ), dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas TB adalah pada dua tahun pertama setelah infeksi. Pada bayi, rentang waktu antara terjdinya infeksi dan timbulnya sakit TB sangat singkat dan biasanya timbul gejala yang akut.

Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberculin dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais ( misal infeksi HIV, keganasan, tranplantasi organ, pengobatan iminosupresi ), diabetes mellitus, gagal ginjal kronik dan silicosis. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna dibeberapa Negara. Status sosio ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat juga mempengaruhi timbulnya penyakit TB di negar berkembang. Di Negara maju, migrasi penduduk termasuk faktor risiko.

Tabel 1. Faktor resiko infeksi TB dan faktor resiko penyakit TB Faktor resiko infeksi TB  Anak-anak yang terekspose dengan orang dewasa resiko tinggi  Orang asing yang lahir di negara prevalensi tinggi  Orang-orang yang miskin dan kumuh, terutama di kota-kota besar  Orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal  Orang-orang pengguna obat-obatan suntik  Petugas kesehatan yang merawat pasien beresiko tinggi Faktor resiko penyakit TB  Bayi dan anak-anak usia 4 tahun, terutama usia < 2 tahun  Dewasa dan dewasa muda  Pasien dengan infeksi penyertanya HIV  Orang dengan tes kulit konversi 1 2 tahun yang lalu  Orang dengan imunokompromais, terutama kasus keganasan dan tranplantasi organ, pengobatan imunosupresif, diabetes melitus, gagal ginjal kronik, silikosis dan malnutrisi. ( Dikutip dari : Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. Philadelphia : saunders, 2004; 197 : 958-72 )

Cara penularan8 Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru. Saat Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC. Resiko terinfeksi akan menjadi lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai produksi sputum yang banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta faktor lingkungan yang kurang sehat dan sirkulasi udara yang tidak baik. Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun,

virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC. Anak-anak juga dapat tertular tuberkulosis dari susu atau daging sapi. Mycobacterium bovis menginfeksi sapi yang menghasilkan susu, kemudian susu tersebut diminum tanpa dimasak. M. bovis tersebut akan menginvasi mukosa usus atau kelenjar limfe di oropharing, terjadilah infeksi primer pada usus atau pada amandel. Pasien tuberkulosis anak jarang menularkan kuman pada anak-anak atau orang dewasa yang lain. Hal ini disebabkan karena basil-basil tuberkulosis hanya sedikit jumlahnya dalam sekret endobronkial dan jarang terdapat batuk. Patogenesis dan perjalanan alamiah8 Ketika M. tuberculosis mencapai paru-paru, kuman tersebut di makan oleh makrofag di dalam alveolus dan sebagian dari kuman akan mati atau tetap hidup dan bermultiplikasi. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4 8 minggu. Pada masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Koloni kuman di jaringan paru ini disebut fokus primer Ghon. Pada stadium ini belum ada gejala klinis yang muncul. Kemudian kuman TB menyebar melalui saluran kelenjar getah bening terdekat menuju ke kelenjar getah bening regional secara limfogen. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya limfangitis dan limfadenitis. Sehingga terbentuklah kompleks primer yang terdiri dari fokus primer Ghon, limfangitis, dan limfadenitis. Pada saat terbentuk kompleks primer ini ditandai oleh hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, sehingga timbul respon positif terhadap uji tuberkulin. Di daerah ini reaksi jaringan parenkim paru dan kelenjar getah bening sekitar akan menjadi semakin hebat dalam waktu kira-kira 2 12 minggu, selama kuman-kuman tersebut tumbuh semakin banyak dan hipersensitivitas jaringan terbentuk. Setelah kekebalan tubuh terbentuk, fokus primer akan sembuh dalam bentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.

Kelenjar getah bening regional juga mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tapi tidak akan sembuh sempurna. Kuman TB dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Pada anak 70% lesi dalam paru terdapat di subpleura, walaupun juga bisa terdapat di seluruh lapang kedua paru. Pembesaran kelenjar getah bening regional lebih banyak terjadi pada anak dibanding orang dewasa. Dan pada anak, biasanya penyembuhan lebih banyak ke arah kalsifikasi, sedangkan pada orang dewasa ke arah fibrosis. Penyebaran kuman TB dapat terjadi secara limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman melalui kelenjar getah bening membentuk kompleks primer. Pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke aliran sirkulasi darah dan menyebar keseluruh tubuh dan terjadi manifestasi extrapulmonal, seperti otak, ginjal, tulang, dan lain-lain. Proses infeksi TB tidak lansung memberikan gejala. Uji tuberculin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlansung singkat sehingga jarang terdeteksi. sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini. Tuberkulosis milier dapat terjadi pada setiap saat, tetapi biasanya berlansung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.

Diagnosis Konfirmasi pasti pada TB paru adalah dengan mengisolasi Mycobacterium tuberculosis dari sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau biopsi jaringan. Spesimen untuk kultur yang paling baik pada anak adalah cairan lambung pagi hari yang diambil sebelum anak bangun dari tidur. Akan tetapi semua hal diatas memang sulit untuk dilakukan pada anak, sehingga sebagian besar diagnosis berdasarkan gejala klinis, gambaran radiografi thorax, dan tuberkulin test. Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. Gejala sistemik/umum:
y

Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

y y

Penurunan nafsu makan dan berat badan. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan

untuk membuang keluar produk produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu minggu atau berbulan bulan sejak awal peradangan 2. Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif )

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus 2.
y y y

Perasaan tidak enak (malaise), lemah. Nafsu makan berkurang. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, dan tidak naik setelah penanganan gizi adekuat.

Diare kronik yang tidak ada perbaikan setelah ditangani.

Gejala khusus:
y

Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.

y y

Kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah. Petunjuk WHO untuk diagnosis TB pada anak: 1. Dicurigai TB ( suspected TB ) Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan BTA positif. Anak dengan : i. Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan

ii. Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernafasan iii. Pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit

2.

Mungkin TB ( probable TB ) anak yang dicurigai TB Uji tuberculin positif ( 10 mm atau lebih ) Foto roentgen paru sugestif TB

10

Pemeriksaan histopatologis biopsy sugestif TB Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT

3.

Pasti TB ( confirmed TB ) Ditemukan basil TB pada pemeriksaan langsung atau biakan.

Tabel 3 : Klasifikasi TBC (menurut The American Thoracic Society, 1981) Klasifikasi 0 Klasifikasi I Klasifikasi II Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC Tidak pernah terinfeksi,ada riwayat kontak,tidak menderita TBC Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif). Klasifikasi III Klasifikasi IV Klasifikasi V Sedang menderita TBC Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif Dicurigai TBC

11

Tabel 4 : SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK


Parameter Kontak TB 0 tidak jelas 1 Laporan keluarga BTA (-) Tidak tahu Uji Tuberkulin negatif 2 Kavitas (+) BTA tidak jelas

3 BTA (+)

Positif atau

( 5mm

10mm pada

keadaan imunosupresi)
Berat badan keadaan gizi / BB/TB <90% BB/U <80% Klinis gizi buruk BB/TB <70% BB/U <60% Demam tanpa sebab jelas Batuk Pembesaran KGB colli, axilla, inguinal 2 minggu 3 minggu 1 cm Jumlah >1 Tidak nyeri Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang Foto rontgen N / tidak jelas Ada pembengkakan

Infiltrat Pembesaran KGB Konsolidasi segmental/lobar atelektasis

Kalsifikasi+infiltra t Pembesaran KGB+infiltrat

Catatan: Didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal 14). Cut off point ini masih bersifat sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang dilaksanakan.

12

Tabel 5 : Sistem nilai diagnosis TB anak ( Stegen dkk ) Penemuan BTA positif/biakan M.tb positif Granuloma TB ( PA ) Uji tuberculin 10 mm atau lebih Gambaran R sugestif TB Pemeriksaan fisis sugestif TB Uji tuberculin 5 9 mm Konversi uji tuberculin dari [-] menjadi [+] Gambaran R tidak spesifik Pemeriksaan fisis sesuai TB Riwayat kontak dengan TB Granuloma non spesifik Umur kurang dari 2 tahun BCG dalam 2 athun terakhir Jumlah nilai : 1 2 sangat tidak mungkin TB 3 mungkin TB, perlu pemeriksaan lebih lanjut 5 6 sangat mungkin TB 7 praktis TB ( Dikutip dari rahajoe, N. Nastiti. Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Sari pediatric Vol3 No1, juni 2001 : 24 35 ) Nilai +3 +3 +3 +2 +2 +2 +2 +1 +1 +1 +1 +1 -1

13

Pemeriksaan penunjang Uji tuberkulin Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified Protein Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. Tabel 6 : Interpretasi hasil test Mantoux

1. Pembengkakan (Indurasi)

: 04mm,

uji

mantoux

negatif.

Arti klinis : tidak ada infeksi M. tuberculosis. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 39mm, uji mantoux meragukan.

Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan M. atipik atau setelah vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : 10mm, uji mantoux positif.

Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi M. tuberculosis. Pada reaksi uji tuberculin dapat terjadi reaksi local yang cukup kuat bagi individu tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa eritema, vesikel dan ulsera pada tempat suntikan. Limfangitis,

14

limfadenopati regional dan konjungtivitis fliktenularis yang dapat disertai panas, walaupun jarang terjadi. Pada anak, kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif dan BTA positif atau anak dengan immunokompromais misalnya gizi buruk, keganasan dan lain-lain, diameter indurasi 5 mm harus dicurigai telah terinfeksi TB. Pada anak tanpa resiko tetapi tinggal di daerah endemis TB, uji tuberculin perlu dilakukan pada umur 1 tahun, 4 6 tahun dan 11 16 tahun. Tetapi pada anak dengan resiko tinggi di daerah enemis TB, uji tuberculin perlu dilakukan setiap tahun. Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut : 1. Infeksi TB alamiah a. Infeksi TB tanpa sakit b. Infeksi TB dan sakit TB c. Pasca terapi TB 2. Imunisasi BCG ( infeksi TB buatan ) 3. Infeksi mikrobakterium atipik / M. leprae.

Uji tuberculin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut :    Tidak ada infeksi TB Dalam masa inkubasi infeksi TB Anergi

Anergi adalah keadaan penekanan system imun oleh berbagai keadaan sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan anergi adalah gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit campak, pertusis, varisela, influenza ( bukan batuk-pilek-panas biasa, yang biasanya disebabkan oleh rhinovirus ), TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Namun demikian, pada keadaan-keadaan di atas, uji tuberculin dapat positif sehingga pada pasienpasien dengan dugaan anergi tetap dilakukan uji tuberculin jika dicurigai TB. Uji tuberculin positif

15

palsu dapat juga ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah, demikian juga negative palsu, disamping penyimpanan tuberculin yang tidak baik sehingga potensinya menurun.

Tabel.7 Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa Indurasi 5 mm     Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan tranplantasi organ Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( 15 mg/24 jam prednison atau sejenisnya selama 1 bulan )

Indurasi 10 mm     Bayi dan anak-anak usia 4 tahun Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko ( penyakit ginjal, gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi, pengguna obat suntik ) Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB Lahir atau baru pindah ( 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB tinggi

Indurasi 15 mm  Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko

( Dikutip dari : Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. Philadelphia : saunders, 2004; 197 : 958-72 )

Tabel. 8 Penyebab hasil positif palsu dan negative palsu uji tuberculin mantouks.

16

Positif palsu o o o Penyuntikan salah Interpretasi tidak betul Reaksi silang dengan Mycobacterium atipik

Negatif palsu o o o o o o o o o o o o o o o o o Masa inkubasi Penyimpanan tuberculin tidak baik dan penyuntikan salah Interpretasi tidak betul Menderita tuberculosis luas atau berat Disertai infeksi virus ( campak, rubella, cacar air, influenza atau HIV ) Imunokompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid Kekurangan komplemen Demam Leukositosis Malnutrisi Sarkoidosis Psoriasis Jejunoileal by pass Terkena sinar ultraviolet ( matahari, solaria ) Defisiensi zinc Anemia perniosa Uremia

( Dikutip dari rahajoe, N. Nastiti. Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Sari pediatric Vol3 No1, juni 2001 : 24 35 )

17

Uji tuberculin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostic yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifisitas di atas 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU ( tuberculin unit ) buatan Statents Serum Institute Denmark dan PPD S 5TU. Radiologis Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan. Komplek primer lebih banyak ditemukan pada foto torax paru bayi dan anak kecil daripada dewasa. Gambaran rontgen paru pada TB tidak khas. Kelainan radiologis tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya foto rontgen paru yang normal (tidak terdeteksi) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Akan tetapi, pemeriksaan rontgen paru saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis tuberkulosis. Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut : y y y y y y y pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan / tanpa infiltrate konsolidasi segmental / lobar milier klasifikasi atelektasis kavitas efusi pleura

Foto rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral. Jika dijumpai tidak ketidaksesuaian antara gambaran klinis ( ringan ) dengan gambaran radiologis ( berat ) , harus dicurigai TB. Pada keadaan foto rontgen paru tidak jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan pencintraan lain seperti CT- scan toraks. Patologi Anatomik Pemeriksaan patologi anatomik dapat menunjukkan gambaran Granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya

18

adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langerhans). Diagnostik histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), selepiteloid, limfosit, dan sel datia Langerhans. Bakteriologis Dengan ditemukannya kuman Mycobacterium tuberculosis dari kultur merupakan diagnostik TBC yang positif. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari 2 macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis hapusan langsung untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan pemeriksaan biakan kuman M. Tuberculosis.

Terapi8 Isoniazid (INH) INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman. INH cukup murah dan sangat efektif untuk mencegah multiplikasi basil tuberkulosis. Terdapat dalam sediaan oral dan intramuskuler (i.m). Dalam sediaan oral, kadar obat dalam plasma, sputum dan cairan seresrospinal dapat dicapai dalam beberapa jam saja dan bertahan minimal 6 8 jam. INH diberikan secara oral, dosis harian yang biasa diberikan (5 15 mg/kgbb/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. Efek toksik:  Neuritis perifer, ini terjadi karena inhibisi kompetitif pada piridoksin. Pada orang-orang malnutrisi dan orang-orang dengan diit tidak adekuat perlu diberikan supplemen piridoksin. Dosis supplemen piridoksin adalah 25 50 mg/hari atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg INH. y Hepatotoksik, jarang terjadi pada anak-anak. Sebaiknya kita memantau kadar transaminase dari hepar (SGOT & SGPT). y Intoleransi traktus digestivus; ini akan menimbulkan rasa mual dan ingin muntah.

19

Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ektrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Obat ini diserap tubuh saat lambung kosong. Ekskresi yang utama lewat traktus biliaris. Pada kebanyakan pasien yang memakai rifampisin, air mata, ludah, urin, faeces akan menjadi berwarna merah. Ini disebabkan oleh metabolit dari rifampisin. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10 20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis pemberian satu kali perhari. Efek toksik: y y y Hepatitis Leukopenia Trombositopenia

Perlu diingat bahwa ketiga efek toksik rifampisin di atas sangat jarang terjadi. Jika menghendaki memberikan Rifampisin bersama dengan INH, maka salah satu dosis dari obat diatas harus dikurangi menjadi dosis agar tidak mengganggu fungsi hepar (hepatotoksik). Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, LCS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Obat ini juga resisten terhadap kuman Mycobacterioum bovis. Obat ini juga dapat mencapai cairan serebrospinal. Efek dari pirazinamid sudah dapat dilihat pada awal bulan ke 2 menjalani terapi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemakaian dosis tinggi tetapi jarang pada dosis normal. Pirazinamid juga dapat mengakibatkan meningkatnya asam urat serum. Pemberian secara oral denga dosis 15 30 mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Efek toksik: y y y Flushing Hipersensitivitas pada kulit Athralgia

20

y y Etambutol

Gout Iritasi saluran cerna

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Peran utama dari obat ini adalah untuk mencegah resistensi obat lain. Dengan dosis 15 20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1,25 gram/hari. Sifat etambutol adalah bakteriostatik dan bakterisidal. Toksisitas utama adalah neuritis optika berupa kebutaan terhadap warna merah-hijau ( red-green color blindness). Efek ini cukup sering dijumpai pada orang dewasa. Insidensi dari toksisitas optalmologika cukup rendah. Oleh karena pemeriksaan lapang pandang dan warna pada anak-anak cukup sulit dilakukan maka etambutol tidak direkomendasikan untuk terapi rutin pada anak-anak. Streptomisin Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada keadaan basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari. Obat ini dapat melewati selaput otak yang meradang, berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi melalui ginjal. Toksisitas utama dari streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa tinismus dan pusing.

Dosis Obat Antituberkulosis (OAT)

Obat

Dosis harian (mg/kgbb/hari)

Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 10-20 (maks. 600 mg)

Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 15-20 (maks. 600 mg)

INH Rifampisin

5-15 (maks 300 mg) 10-20 (maks. 600 mg)

21

Pirazinamid Etambutol Streptomisin

15-40 (maks. 2 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 15-40 (maks. 1 g)

50-70 (maks. 4 g) 50 (maks. 2,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

15-30 (maks. 3 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Tabel dosis OAT untuk anak Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH tidak melebihi 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal dua macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6 12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian panduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus: TB tidak berat INH Rifampisin : 5 mg/kgbb/hari : 10 mg/kgbb/hari

TB berat (milier dan meningitis TBC) INH Rifampisin Dosis prednison : 10 mg/kgbb/hari : 15 mg/kgbb/hari : 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)

22

Fixed Dose Combination (FDC) FDC adalah sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan. Untuk menjaga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Dosis kombinasi FDC TBC pada anak. Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150 mg) 59 10 19 20 32 1 tablet 2 tablet 4 tablet Tabel Dosis kombinasi FDC TBC Catatan:
y y y

4 bulan RH (5/50 mg) 1 tablet 2 tablet 4 tablet

Bila BB 33 kg dosis sesuai tabel yang sebelumnya. Bila BB < 5 kg sebaikna dirujuk ke RS. Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).

Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yang direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat.

23

Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari. Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan. Evaluasi hasil pengobatan

Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Pentingnya evaluasi pengobatan adalah karena diagnosis TB pada anak yang sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila respons pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badabm maka pengobatan dilanjutkan. Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik yaitu gejala masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka obat antituberkulosis tetap diberikan dengan tambahan merujuk kesarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten terhadap OAT. Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikan klinis seperti berat badan meningkat, nafsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan. Apabila pada saat diagnosis terdapat kelainan gambaran radiologis, maka dianjurkan pemeriksaan radiologist ulangan.

24

Evaluasi efek samping hasil pengobatan Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, obat-obat tuberculosis dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian INH dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. Efek samping ini jarang terjadi pada pemberian dosis INH yang tidak melebihi 10 mg/kg BB/hari dan dosis INH yang tidak melebihi 10 mg/kg BB/hari dan dosis rifampisin yang tidak lebih dari 15 mg/Kg BB/hari. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali normal (40 U/L), peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/kg BB/hari dan dosis rifampisin yang tidak lebih dari 15 mg/DL, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus. Sebenarnya masih banyak perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai pemantauan dan penatalaksanaan hepatotoksisitas pada anak. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit yang berat, seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang memerlukan dosis INH dan rifampisin lebih besar dari dosis yang dianjurkan. Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan. Oleh Karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering (misalnya setiap 2 minggu) selama 2 bulan pertama, dan selanjutnya dapat lebih jarang. Sedangkan pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada keadaan ini, hanya diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum pemberian terapi serta pemantauan terhadap gejala hepatotoksisitas. Penatalaksanaan hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yagn tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih dari 3 kali nilai normal memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Namun, mengingat pentingnya rifampisin dalam panduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan pengobatan dengan

25

INH dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat. Apabila peningkatan enzim tranaminase lebih dari 5 kali, semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim trasaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah kembali normal. Terapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan INH dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam panduan pengobatan. Pencegahan8 BCG Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu. BCG efektif terutama untuk mencegah milier, meningitis , dan spondilitis TB pada anak. BCG ulangan tidak dianjurkan, karena efektivitas kekebalan vaksin BCG hanya 20%, sekitar 70% TB berat mempunyai parut BCG. Kontraindikasi pemberian imunisasi BCG:
y y y

Defisiensi imun Infeksi berat Luka bakar

Kemoprofilaksis 1. Pencegahan (profilaksis) primer

Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+).INH ( 5 10 mg/kgbb/hari) minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-) Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.

26

2.

Pencegahan (profilaksis) sekunder

Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC. Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan. Tuberkulosis dengan keadaan khusus8,9 Insidens TB extrapulmonal meningkat pada anak berusia dibawah 4 tahun, terutama meningitis dan TB kelenjar. TB extrapulmonal biasanya sekunder terhadap penyakit TB paru, akibat penyebaran limfohematogen, tapi juga bisa penyebaran lesi primer.

A. Tuberkulosis milier

Tuberkolosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan merupakan 3 - 7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi ( dapat mencapai 25% pada bayi ). TB milier

merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat penyebaran kuman M. tuberkolosis dari komples primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2 6 bulan pertama setelah infeksi awal. TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia dibawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier dapat juga terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu kuman M. TB ( jumlah dan virulensi ), status imunologis penderita ( nonspesifik dan spesifik) dan lingkungan ( kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosio ekonomi ). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat menyebabkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, penggunaan kortikosteroid jangka lama.

27

Manifestasi klinis Manifestasi klinis TB milier dapat bermacam-macam, bergantung pada banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering dijumpai adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti anoreksia dan berat badan turun atau gagal tumbuh ( dengan demam ringan atau tanpa demam ), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak nafas. TB milier juga dapat diawali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering hilang timbul ( remittent ), pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi tanda dan gejala penyakit saluran napas belum ada. Pada lebih kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial dan hepatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi suhunya dan berlangsung terus menerus / kontinu, tanpa disertai gejala saluran nafas atau disertai gejala minimal dan rontgen paru biasanya masih normal. Beberapa minggu kemudian, pada hampir di semua organ, terbentuk tuberkel difus multipel, terutama di paru, limpa, hati dan sumsum tulang. Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak napas disertai ronkhi atau mengi. Pada kelainan paru yang berlanjut, timbul sindrom sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala distres pernafasan, hipoksia, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Dapat juga terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula nekrotik, nodul atau purpura. Jika ditemukan dini dapat merupakan tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier. Meningitis TB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20 - 40% pasien yang penyakitnya sudah berat. Sakit kepala kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah terjadinya meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan pungsi lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembekakan abdomen. Lesi milier dapat terlihat pada rontgen paru dalam waktu 2 - 3 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, berupa tuberkel halus ( millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hamper seragam ( 1-3 mm ). Lesi kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju dapat dilihat pada rongen paru.

28

Diagnosis Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positip ), gambaran radiologis yang khas, gambaran klinis, serta uji tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu diagnotis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin yang negatif belum tentu tidak ada infeksi atau penyakit TB atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif pada lebih dari 40% TB diseminata. Pemeriksaan sputum atau bilasan lambung dan kultur. M. tuberculosis tetap penting dilakukan. Pemeriksaan BTA akan menunjukan hasil positif pada 30-50% pasien. Namun, untuk diagnosis dini, pemeriksaan sputum atau bilasan lambung kurang sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan bakteriologik dan histologik dari biopsi hepar atau sumsum tulang. Untuk menentukan diagnosis meningitis TB, fungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada setiap pasien TB, milier walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran. Penatalaksanaan Penatalaksanaan medikamentosa TB milier adalah pemberian 4-5 macam OAT selama 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin selama 4-6 bulan sesuai dengan perkembangan klinis. Di RS Dr. Soetomo, dipakai kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan streptomisin atau etambutol pada 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin sampai 12 bulan. Dosis OAT dapat dilihat di Tabel 2. Kortikosteroid ( prednison ) diberikan pada TB milier, meningitis TB, perikarditis TB , efusi pleura, dan peritonitis TB . Prednison biasanya diberikan dengan dosis 1 - 2 mg / kg BB/hari selama 4 - 8 minggu kemudian diturunkan perlahan-lahan hingga 2 - 6 minggu kemudian. Dengan pengobatan yang tepat , perbaikan TB milier bisanya berjalan lambat. Respons keberhasilan terai antara lain adalah hilangnya demam setelah 2 - 3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kwalitas hidup sehari-hari dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada rongen dada berangsur-angsur menghilang dalam 5 - 10 minggu, tetapi mungkun juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan.

29

B. Tuberkulosis ekstrapulmonal

1. Tuberkulosis kelenjar Infeksi tuberkolosis pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula, merupakan bentuk TB ektrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, terbanyak pada kelenjar limfe leher. Menurut sejarah, skorfula biasanya terjadi akibat meminum susu sapi yang mengandung M.Bovis dan tidak dipasteurisasi. Kebanyakan kasus timbul 6 - 9 bulan setelah infeksi awal M.tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Kelenjar limfe tonsilar, servikal anterior, submandibula dan supraklavikula dapat terinfeksi secara sekunder akibat perluasan lesi primer pada paru bagian atas atau abdomen. Pembesaran kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila terjadi akibat limfadenitis regional yang disebabkan oleh tuberkulosis kulit atau sistem skeletal. Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan dibawah atau diatasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik didaerah dada dan leher bawah saling bersilangan. Seiring berlanjutnya penyakit, kelenjar yang terinfeksi semakin banyak sehingga terbentuk masa dari nodus yang saling berlekatan. Gejala dan tanda sistemik yang muncul biasanya hanya berupa demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Tes tuberkulin kulit biasanya menunjukkan hasil yang positif. Gambaran radiografi dada terlihat normal pada 70% kasus. Onset penyakit kadang-kadang berlangsung lebih akut, dengan pembesaran kelenjar limfe yang cepat, demam tinggi, nyeri tekan dan terdapat fluktuasi. Gejala awaldapat berupa massa fluktuasi dengan selulitis pada kulit diatasnya atau perubahan warna, tetapi hal ini jarang terjadi. Limfadenitis TB dapat menyembuhkan jika tidak diobati, tetapi lebih sering berkembang menjadi nekrosis dan perkijuan. Kapsul kelenjar dapat memecah, mengakibatkan penyebaran infeksi ke kelenjar disekitarnya. Pecahnya kelenjar biasanya menyebabkan timbulnya traktus sinus yang mengeluarkan cairan dan mungkin memerlukan terapi bedah. Limpadenitis TB bisanya memberikan respons yang baik terhadap pengobatan OAT. Namun, kelenjar limpe tidak mengecil kembali ke ukuran normal selama beberapa bulan bahkan tahun. Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologi dan bakteriologik yang diperoleh melalui biobsi, meskipun harus didiagnosis banding dengan mikobakteriom atipik. Kultur dari jaringan biopsi dapat membedakan, tetapi hanya positif pada 50% kasus. Pengobatan limfadenitis TB adalah dengan obat antituberkolosis 3 macam (rifampisin, INH, pirazinamid ). INH, rifampisin, dan

30

pirazinamid diberikan selama 2 bulan pertama sedangkan ripamfisia dan INH dilanjutkan sampai 6 bulan. Selain itu penanganan suportif seperti perbaikan gizi perlu diperhatikan. 2. Tuberkulosis pleura Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia adalah tuberkulosis. Efusi pleura TB bisa ditemui dalam 2 bentuk. Pertama dalam bentuk cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai. Bentuk kedua yang jauh lebih jarang adalah Empiyema TB. Bentuk kedua ini merupakan gagalnya efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi berlanjut ke proses supuratif kronik. Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB dalam rongga pleura. Antigen ini masuk kedalam rongga pleura akibat pecahnya fokus subpleura. Rangsangan pembentukan cairan oleh pleura yang terkait dengan infeksi kuman TB dapat terjadi melalui 2 mekanisme tersebut diatas. Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut disertai bentuk nonproduktif ( 94% ) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan lekosit darah tepi. Penurunan berat badan dan malaise biasa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unulateral ( 95% ), agak lebih sering disisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemitoraks. Jumlah maupun terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis. Dari gambaran radiologist biasa dijumpai kelainan parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi dilobus bawah maka efusi pleura terkait dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru di lobus atas, maka kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus lama. Efusi pleura hampir selalu terjadi disisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya. Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB dari cairan pleura positif pada sekitar 42% kasus dan dari biopsi positif sekitar 54%. Beberapa uji khusus seperti kadar adenosine deaminase ( ADA ) dalam cairan pleura, interferon dan konsentrasi lisosim telah diteliti pada diagnostik efusi pleura

TB namun belum digunakan secara rutin. Terapi pleuritis TB sama dengan terapi TB paru. Bila respon terhadap terapi baik, suhu turun dalam 2 minggu terapi, serta cairan pleura diserap dalam 6 minggu. Namun pada beberapa pasien demam dapat berlangsung hingga 2 bulan dan penyerapan cairan memerlukan waktu hingga 4 bulan. Steroid dapat memperpendek fase demam dan mempercepat penyerapan cairan serta mencegah perlekatan, walaupun rasio manfaat dan resiko penggunaannya belum diketahui pasti. Drainase cairan pleura

31

secara rutin tampaknya tidak mempengaruhi hasil akhir jangka panjang. Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus. 3. Tuberkulosis tulang/sendi

Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal yang menenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi berkisar 1 7 % dari seluruh TB. TB tulang belakang merupakan kejadian tertinggi diikuti seni panggul dan seni lutut pada TB tulang atau sendi. Umumnya TB tulang atau seni mengenai satu tulang atau sendi. TB pada tulang belakang dikenal sebagai spondilitis TB, TB pada panggul disebut koksitis TB, sedangkan pada sendi lutut disebut gonitis TB. Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas sehingga umumnya didiagnosis sudah dalam keadaan lanjut. Selain dijumpai gejala umum TB pada anak, dapat dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Tidak jarang hanya gejala pembekakan sendi saja yang dikeluhkan. Gejala atau tanda pada TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan pada tulang belakang disebut gibbus menampakkan gejala benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan dan menimbulkan abses dingin. Apabila dijumpai kelainan pada sendi panggul biasanya pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Kelainan pada sendi lutut dapat berupa pembekakan didaerah lutut. Anak sulit berdiri dan berjalan dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan penunjang untuk TB pada anak secara umum dan pemeriksaan foto pada lokasi yang dicurigai seperti tulang belakang, sendi panggul dan sendi lutut. Pada tahap awal biasanya menunjukkan gambaran osteoporosis regional periartikuler dan pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi. Sedangkan pada tahap lanjut, terdapat penyempitan celah sendi, destruksi tulang rawan sendi dan lesi osteolistik pada daerah epifisis. Untuk infeksi TB sendi gambaran yang khas adalah osteoporosis periartikuler, destruksi tulang rawan sekitar sendi dan penyempitan celah. Pada kelainan TB tulang belakang destruksi tulang terjadi pada daerah korpus, serta penyempitan diskus intervertebralis. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalan aspirasi cairan sendi dengan bantuan ultrasonografi. Gambaran yang terlihat berupa peningkatan sel, penurunan

32

glukosa dan penigkatan protein, atau bahkan dapat ditemukan BTA positif ( sekitar 15 - 20% kasus ). Pemeriksaan kultur M. tuberculosis dapat dilakukan, sedangkan pada pemeriksaan histopatologis dapat dijumpai gambaran perkijuan ( granuloma tuberkulosis ). Tata laksana TB tulang dan sendi adalah dengan obat anti tuberkulosis rifampisin, INH, PZA dan etambutol. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA dan etambutol selama 2 bulan pertama. Selain medikamentosa pemberian terapi suportif juga diperlukan. Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adanya kelainan neurologis atau tidak. Apabila ditemukan kelainan neurologis misalnya berupa kelumpuhan, neritis perifer, maka tindakan bedah segera dilakukan sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka tindakan bedah secara efektif. Indikasi tindakan bedah umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal dan tidak respons terhadap OAT. Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau tulangnya. Pada kelainan yang minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele ( cacat ) sehingga mengganggu mobilitas pasien. 4. Tuberkulosis sistem saraf pusat Tuberkulosis pada sistem saraf pusat ditemukan dalam 3 bentuk meningitis, tuberkuloma, araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB. Dengan kasus terbanyak berupa meningitis TB. Di Amerika Serikat yang bukan endemis TB, meningitis TB meliputi 1% dari semua kasus TB. Fokus tuberkel tersebar di otak atau selaput otak ( meningen ), terbentuk pada saat penyebaran hematogen selama masa inkubasi infeksi TB primer. Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar akan langsung menyebabkan penyakit TB primer seperti TB milier dan meningitis TB. Meningitis TB juga dapat merupakan reaktivasi fokus TB ( TB pasca primer ) bertahun setelah pembentukannya pada fase infeksi TB primer. Trauma kepala dapat menjadi pencetus reaktivasi tersebut. Tumpahan protein kuman TB ke ruang subaraknoid merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat, selanjutnya menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Secara patologi ada 3 keadaan yang terjadi pada meningitis TB. Pertama adalah araknoiditis proliferatif yang terutama terjadi di basal otak berupa pembentukan masa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan menembus pembuluh darah. Kedua berupa vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah

33

yang melintasi membrana basalis atau berada dalam parenkim otak. Kelainan inilah yang sering meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Kelainan ketiga adalah hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi likuor serebrospinal. Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 fase. Fase prodromal berlangsung 2 - 3 minggu, ditandai dengan malaise, sefalgia, demam tidak tinggi dan dapat dijumpai perubahan kepribadian. Fase meningitik sebagai fase berikutnya dengan tanda neurologis yang lebih nyata seperti meningismus, sefalgia hebat, muntah, kebingungan dan kelainan saraf kranialis dalam berbagai derajat. Fase paralitik merupakan fase percepatan penyakit, gejala kebingungan berlanjut ke stupor dan koma kejang, dan hemiparesis. Untuk keperluan terapi dan penentuan prognosis, perjalanan penyakit pasien dibagi dalam 3 tahapan klinis berdasarkan temuan klinis dan radiologis. Tahap 1 pasien relatif tenang, tidak ada tanda kelainan neurologik fokal dan tidak ada bukti hidrosefalus. Tahap 2, pasien kebingungan, tampak kelainan fokal dan tidak ada bukti seperti kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis. Tahap 3 penyakit dalam tahap lanjut pasien delirium, stupor, koma, atau hemiplegia. Diagnosis TB SSP tidak mudah. Kewaspadaan tinggi kearah kemungkinan TB pada kelainan neurologis dan pada kasus TB milier sangat penting untuk deteksi dini dan memulai terapi segera. Cairan serebrospinal memberi gambaran khas berupa peningkatan kadar protein dan penurunan kadar glukosa, serta pleositosis mononuklear dengan hitung sel antara 100 500 sel/uL. Pemeriksaan apusan langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari cairan serebrospinal sangat penting. Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan melakukan fungsi lumbal 3 hari berturut. Terapi dapat berlangsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan fungsi lumbal ke 2 dan ke 3. CT scan dengan kontras menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Pada pasien dengan gambaran klinis sesuai TB dengan hasil CT scan berupa kelainan basal dan hidrosefalus, apapun derajatnya sangat menunjang diagnosis meningitis TB. CT dan MRI kepala pada pasien meningitis TB gambarannya normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah penyangatan ( enhancement ) di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans disertai tanda-tanda edema otak atau iskemia lokal yang masih dini. Dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus.

34

Terapi segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis TB. Terapi TB sesuai dengan konsep baku yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4 obat, INH, rifampisin, dan PZA, serta etambutol. Dilanjutkan dengan 2 obat, INH dan rifampisin hingga 12 bulan. Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis TB sebagai terapi ajuvantivus. Steroid yang dipakai prednison dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari, 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu penurunan dosis bertahap ( tapering off ). Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien terdiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahap klinisnya semakin buruk prognoses. Adanya hidrosefalus disertai penyangatan ( enhancement ) daerah basal pada pemeriksaan CT scan menunjukkan tahap lanjut penyakit dengan prognosis yang buruk. 5. Tuberkulosis kulit Tuberkulosis kulit dapat terjadi melalui 2 mekanisme, pertama infeksi primer atau inokulasi langsung kuman TB di kulit dan yang kedua TB pasca primer salah satunya adalah limfadenitis TB yang pecah ke kulit. Contoh yang pertama antara lain tuberculous chancre. Sedangkan contoh kedua adalah skrofuloderma dan lupus vulgaris. Diantara berbagai TB kulit secara klinis, skrofuloderma merupakan yang paling khas dan merupakan manifestasi TB di kulit yang palimg sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar getah bening yang terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma adalah sama dengan gejala umum TB pada anak. Pembentukan Lesi kulitnya dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang soliter kemudian melibatkan kelenjar di sekitarnya ( multipel ). Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras ( firm ), berwarna merah kebiruan dan tidak menimbulkan keluhan ( asimtomatik ). Infiltrat kemudian meluas / membesar dan menjadi padat kenyal ( matted and doughy ). Lesi kemudian mengalami pencairan dan menjadi fluktuatif. Kemudian lesi pecah ( terbuka ke permukaan kulit ) dan membentuk ulkus berbentuk linier atau serpiginosa. Ulkus ini mempunyai dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung ( inverted ) dan berwarna kebiruan. Cairan ( discharge ) yang keluar dari lesi ini dapat bersifat cair, purulen, ataupun kaseosa. Dapat dijumpai fistula-fistula yang saling berhubungan dan membentuk kantung-kantung subkutan yang lunak dan berisi cairan ( discharge ). Selain kantung-kantung yang lunak ini terdapat juga nodul gummatosa yang sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut / sikatriks berupa pita / benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan diantara ulhus-ulkus

35

atau daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif. Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelompok kelenjar getah bening, misalnya di daerah parotis, submandibula, subpraklavikola, dan daerah lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang disebabkan oleh tuberkulosis tulang dan sendi. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sama seperti pemeriksaan untuk menentukan diagnosis TB secara umum. Pemeriksaan yang spesifik adalah biopsi kelenjar getah bening dengan cara aspirasi jarum halus ( FNAB, fine nedle aspiration biopsy ) ataupun secara biopsi terbuka ( open biopsy ). Pada pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberkulosis dengan cara kultur dan pemeriksaan histopatologis ringan. Hasil PA dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat sel datia Langhans, sel epiteloid dan limfosit serta basil tahan asam. Tata laksana skrofuloderma sama dengan tata laksana TB paru pada anak yaitu dengan pemberian OAT berupa rifampisin, INH, dan pirazinamid. Lama pemberian OAT pada skrofuloderma berbeda dengan TB paru yaitu pemberian rifampisin dan INH selama 6 bulan sedangkan pirazinamid tetap 2 bulan. Untuk tata laksana lokal / topikal tidak ada yang khusus, cukup dengan kompres atau higiene yang baik. 6. Tuberkulosis abdomen Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai yaitu sekitar 1 5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Patogenesis peritonitis TB didahului oleh infeksi M. tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar paru termasuk peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh dapat mengakibatkan terjadinya peritonitis TB. Cara lain adalah dengan penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus. Pada peritoneum terjadi tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu kesatuan ( konfluen ). Pada perkembangan selanjutnya dapat terjadi penggumpalan omentum di daerah epigastrium dan melekat pada organorgan abdomen yang pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi khusus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar yang menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.

36

Umumnya gejala klinis umum TB pada anak dapat timbul disamping gejala khusus peritonitis TB. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukanya massa intraabdomen, adanya asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur yaitu pada perabaan abdomen di dapatkan adanya massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus. Berdasarkan patogenesisnya manifestasi klinis tuberkulosis abdomen terbagi dua yaitu terdapatnya asites dan adanya gambaran papan catur. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah sama dengan pemeriksaan pada TB secara umum. Untuk mengetahui adanya peritonitis TB dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen yaitu dijumpai gambaran peritonitis, massa omentum dan asies. Apabila dijumpai asites maka diperlukan pemeriksaan analisis cairan asites yang umumnya didapatkan peningkatan jumlah sel dengan monosit dominant. Protein dan penurunan glukosa. Biopsi peritonium dapat dilakukan untuk mencari gambaran patologis. Kultur M. tuberculosis dapat dilakukan dengan bahan cairan asites ataupun biopsi peritonium. Tatalaksana medikamentosa peritonitis tuberkulosis sama dengan tata laksana TB ekstrafulmonal lain seperti skrofuloderma, spondilitis TB yaitu rifampisin, INH, dan pirazinamid. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1 - 2mg/kgBB selama 1 - 2 minggu pertama. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi. 7. Tuberkulosis Mata TB pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea sehingga sering disebut

keratokonjungtivitis fliktenularis. Keratokonjungtivitis fliktenularis ( KF ) adalah penyakit pada konjungtivitis dan kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi yang disebut flikten pada daerah limbus. Umumnya ditemukan pada anak usia 3 - 15 tahun dengan faktor resiko berupa kemiskinan, kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan keadaan malnutrisi. Penyebab KF dapat dibagi 2 kelompok besar yaitu M. tuberculosis dan non tuberkulosis. Pada kelompok kedua yang tersering adalah golongan stafilokokus dan askariasis. Patogenesis KF masih belum diketahui, tetapi diduga akibat respons alergik terhadap tuberkulosis yang sistemik. Hal ini dapat terjadi karena reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen. Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakmirasi dan fotofobia serta dapat mengeluarkan sekret mata. Gambaran khas KF adalah berupa nodul kecil berwarna putih / merah muda pada konjungtiva disertai hiperemis disekitarnya. Nodul tersebut dapat timbul berulang dan dapat menimbulkan sikatriks yang mengakibatkan

37

kebutaan. Apabila KF disebabkan TB, maka gambaran TB anak secara umum dapat terlihat seperti demam lama, berat badan tidak naik, dan sebagainya. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari penyebabnya seperti uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan feses. Yang perlu diperhatikan adalah pemeriksaan tuberkulin bila memungkinkan menggunakan tuberkulin dengan kekuatan ringan ( first strength ). Alasannya adalah karena diduga merupakan reaksi hipersensitivitas maka apabila diberikan dengan kekuatan sedang ( second strength ), maka dapat menimbulkan flare up pada konjungtiva maupun reaksi berlebihan pada lokasi penyuntikan tuberkulin. Untuk menyingkirkan penyebabkan stafilokokus perlu dilakukan usap konjungtiva. Tata laksana KF tidak terlepas dari tata laksana TB pada anak secara keseluruhan yaitu pemberian obat anti tuberkulosis seperti rifampisin, INH dan pirazinamid. Dosis dan lama pemberian OAT sama seperti pembuatan TB paru. Selain terapi diatas, pemberian kortikosteroid topikal mempunyai efek yang baik. Tindakan keratoplasti dilakukan apabila telah terjadi komplikasi parut kornea. Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus fasikuler, parut kornea dan perforasi kornea. Meskipun jarang, penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan glaukoma dan katarak. 8. Tuberkulosis hati Tuberkulosis hati merupakan salah satu tuberkulosis extrapulmonal yang jarang ditemukan. Terjadinya tuberkulosis hati melalui proses penyebaran hematogen dari infeksi primer di paru kemudian mencapai sistem hepatobilier melalui vena porta. Selain itu tuberkel di hati dapat terjadi melalui jalur limfatik yaitu rupturnya kelenjar limpe porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi tuberkulosis di hati dapat berupa granuloma milier kecil ( tuberkel ). Granuloma dimulai dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel sel epiteloid, sel datia Langhans ( makrofag yang bersatu ) dan limfosit T. Peningkatan aktifitas limfosit T ini terjadi akibat timbulnya hipersensitivitas tipe lambat yang memusnahkan makrofag setempat dan jaringan sekitarnya yang akhirnya membentuk perkijuan. Kejadian diatas akan merusak jaringan sehingga terjadi fibrosis. Manifestasi klinis tuberkulosis hati tidak terlepas dari gejala klinis umum TB anak seperti demam, berat badan yang tidak naik dan anoreksia. Gejala tambahan adalah hepatomegali, splenomegali, nyeri perut dan ikterus.

38

Pemeriksaan penunjang TB anak secara umum tetap dikerjakan disamping pemeriksaan tambahan untuk menentukan diagnosis tuberkulosis hati. Pemeriksaan tambahan untuk membantu diagnosis tuberkulosis hati adalah uji fungsi hati, USG hati dan biopsi hati. Pada pemeriksaan uji fungsi hati terjadi peningkatan enzim transaminase ( SGOT, SGPT, Gamma GT ). Pemeriksaan USG hati dapat memperlihatkan gambaran nodul multipel dan klasifikasi. Gambaran histopatologi hati pada tuberkulosis hati menunjukkan gambaran granuloma dengan perkijuan dan sel datia Langhans. Tata laksana tuberkulosis hati adalah pemberian obat anti tuberkulosis dengan 4 macam obat yaitu rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol. Dosis OAT sama seperti TB yang lainnya. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid dan etambutol diberikan 2 bulan pertama pengobatan. Mengingat bahwa OAT yang diberikan bersifat hepatotoksik sedangkan fungsi hatinya menurun maka pemantauan terhadap uji fungsi hati sangat diperlukan. Pemantauan ketat sebaiknya dilakukan pada 2 bulan pertama dengan perhatian khusus pada 2 minggu pertama pengobatan. 9. Tuberkulosis ginjal Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya bertahun-tahun. Kuman TB mencapai ginjal selama fase penyebaran hematogen. Mikroorganisme dapat ditemukan dalam urin dalam kasus TB milier dan pada beberapa kasus TB paru walaupun tidak ada penyakit parenkim ginjal. Pada TB ginjal sejati fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar terbentuk dekat dengan korteks ginjal yang mengeluarkan bakteri melalui fistula kedalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter, prostat atau epididimis. TB ginjal sering kali secara klinis tenang pada fase awal, hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopik. Disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit. Superinfeksi dengan bakteri lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut. Hal ini dapat memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Hidronefrosis atau striptur ureter dapat memperberat penyakitnya. Biakan TB dari urin positif pada 80 - 90% kasus dan BTA positif pada 50 -70% kasus bila diperiksa dari volume urin yang banyak. Uji tuberkulin non reaktif ( negatif palsu ) pada 20% pasien. Pielografi intravena sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter proksimal, filling defect kecil yang multipel dan hidronefrosis jika ada striktur ureter. Sebagian besar penyakit terjadi unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain yang dapat digunakan adalah USG dan CT-scan.

39

Pengobatan TB ginjal bersifat holistik yaitu selain pemberian obat antituberkulosis juga penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Sebagaimana terapi TB ekstrapulmonar lain maka pemberian OAT terdiri dari minimal 4 macam obat pada 2 bulan pertama dilanjutkan dengan 2 macam obat sampai 12 bulan. Apabila diperlukan tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian OAT 4 6 minggu. 10. Tuberkulosis jantung Perikarditis TB jarang, hanya 0,5 4 % dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi akibt invasi kuman secara langsung atau drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal. Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu dan berat badan turun, dan nyeri dada. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan perikard yangkhas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. BTA jarang ditemukan pada cairan perikard, tetapi kultur dapat positif pada 30 70 % kasus. Hasil kultur positif dari biopsy perikar tinggi dan adanya granuloma sering menyokong diagnosis. Pada pengobatan perikarditis TB, selain OAT diperlukan jika terjadi penyempitan perikard.

C. Tuberkulosis perinatal Infeksi TB pada neonatus terjadi secara kongental ( pranatal ), selama proses kelahiran ( natal ) maupun transmisi pascanatal oleh ibu pengidap TB aktif. Oleh karena itu transmisi pada neonatus ini disebut sebagai TB perinatal. Pada TB kongenital transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada TB natal transmisi dapat terjadi melalui proses persalinan sedangkan pascanatal terjadi akibat penularan secara droplet. M. tuberculosis tidak dapat melalui sawar plasenta sehingga bakteri akan menempel pada plasenta dan membentuk tuberkel. Apabila tuberkel pecah, maka terjadi penyebaran hernatogen dan menyebabkan infeksi pada cairan amnion melalui vena umbilikalis. Pada saat penyebaran hematogen M. tuberculosis menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan kelenjar getah bening periportal yang pada perkembangan selanjutnya akan menyebar ke paru. Selain cara di atas, penularan ke paru dapat terjadi melalui cairan amnion yang mengandung M. tuberculosis langsung ke paru dengan cara aspirasi. Sedangkan penularan pasca natal secara droplet yang patogenesisnya sama seperti TB pada anak umumnya.

40

Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir atau pada minggu ke 2 - 3 kehidupan. Gejala TB kongenital sulit dibedakan dengan sepsis neonatal sehingga sering terjadi keterlambatan dalarn mendiagnosis. Gejala yang sering timbul adalah distres pernapasan, hepatosplenomegali. dan demam. Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain prematuritas, berat lahir rendah, sulit minum, letargi dan kejang. Bisa didapatkan abortus /kematian bayi. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah perneriksaan M.tuberculosis rnelalui umbilikus dan plasenta. Pada plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan adanya granuloma kaseosa dan basil tahan asam, bila perlu kuretase endometrium untuk mencari endornetritis TB. Untuk menentukan TB kongenital adalah ditemukannya basil tahan asam atau ditemukannya M. tuberculosis pada kultur umbilikus maupun plasenta. Beitzke memberikan kriteria untuk TB kongenital yaltu ditemukannya M. tuberculosis dan memenuhi salah satu kriteria sebgai berikut: (1) lesi pada minggu pertama, (2) kornpleks primer hati atau granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB pada plasenta atau traktus genitalia, (4) kemungkinan transmisi pascanatal disingkirkan. Untuk menentukan TB natal dan pasca natal kriterianya sama dengan TB pada anak. Tatalaksana TB pada neonatus mempunyai ciri tersendiri yaitu rnelibatkan beberapa aspek seperti aspek ibu, bayi dan lingkungan. Ibu harus ditatalaksana dengan baik untuk menghindari penularan selanjutnya. Selain itu harus dicari sumber lain di lingkungannya serta memperbaiki kondisi liagkungan. Tatalaksana pada bayi adalah dengan memberikan OAT berupa rifampisin dan INH selama 9-12 bulan, sedangkan pirazinamid selama 2 bulan. ASI tetap diberikan dan tidak perlu kuatir akan kelebihan dosis OAT karena kandungan OAT dalam ASI sangat kecil. Apabila bayi tidak terkena TB kongenital ataupun TB perinatal tetapi ibu menderita TB dengan BTA positif maka perlu perlakuan khusus pada bayinya yaitu bayi tetap diberikan ASI, pemberian obat profilaksis INH 5-10 mg/kgBB/hari.

D. Tuberkulosis dengan HIV Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan insidens TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata (milier), TB ekstrapulmonal, serta multi-drug resistance. Fenomena ini dapat diamati pada daerah sub-Sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan ke-infeksi TB cukup tingi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan pengidap HIV positif,

41

terutama dengan meningkatnya pengguna narkoba, akan meningkatkan insidens TB dengan masalahmasalah tertentu yang terjadi pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV, saat irnunitas masih baik, tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa HIV. HIV menyebabkan imnunokompromais pada anak sehinggga diagnosis dan tata laksana TB pada anak menjadi lebib sulit karena faktor faktor berikut : 1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB banyak mernpunyai kemiripan gejala. 2. Interpretasi uji Tubrklin kurang dapat dipercaya. Anak yang menderita

imunokompromais rnungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya telah terinfeksi TB. 3. Anak yang kontak dengan orongtua pengidap HIV dengan sputum BTA positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB mnaupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat terjadi kesulitan dalam penatalaksanaan dan mempertahankan kepatuhan pengobatan.

Tanda atau gejala TB pada anak dengan HIV menjadi kurang spesifik sehingga tidak dapat dijadikan pedoman untuk mendiagnosis TB. Manifestasi klinis yang kurang spesifik itu antara lain adalah status gizi yang kurang/buruk, gejala infeksi kronis (demam, malaise), uji tuberkulin, gambaran radiologis, respons terhadap OAT. Penyakit oportunis pada HIV juga dapat menyerang paru sehingga menyerupai TB, misalnya pneumonia, lymphocytic interstitial pneumonitis (LIP), bronkiektasis, sarkoma Kaposi pulmonal, Pneumocytis carinii, ataupun pneumonia karena jamur Candida. Mengingat adanya kondisi imunokompromais, cut-off point uji tuberkulin pada pasien HIV diturunkan menjadi 5 mm, sehingga hasil indurasi 5 mm saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan positif. TB paru pada bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena itu, jika ibu mengidap HIV dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang tidak rnemberikan respons terhadap antibiotik standar. TB paru sukar dibedakan dengan LIP yang sering terjadi pada pasien dengan HIV berusia di atas 2 tahun. Gejala khas LIP antara lain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran kelenjar parotis dan jari tabuh. Pengobatan TB pada anak dengan HIV belum ditetapkan secara pasti sampai saat ini. Kebanyakan ahli berpendapat untuk memberikan paling sedikit 3 macam obat, misalnya rifampisin, INH dan

42

pirazinamid pada 2 bulan pertama, diikuti dengan pemberian rifampisin dan INH. Total lama pemberian OAT adalah 9 bulan. Obat keempat, yaitu etambutol atau streptomisin diberikan pada TB diseminata atau jika terdapat resistensi. Kebanyakan pedoman terapi saat ini merekomendasikan pemberian paduan OAT selama 6 bulan. Akan tetapi, ternyata ditemukan bukti bahwa pada pasien dengan HIV terdapat respons yang lebih rendah terhadap OAT dan angka relaps lebih tinggi. Respons klinis, radiologis dan mikrobiologis terhadap pengobatan sebaiknya dievaluasi sebelum pengobatan dihentikan pada akhir bulan ke-6. Jika respons klinis atau radiologis masih buruk, atau kultur M. tuberculosis positif setelah fase intensif pengobatan, pemberian OAT harus diteruskan sampai minimal 9 bulan. Selain itu, harus diselidiki penyebab kegagalan terapi, seperti ketidakteraturan berobat, absorpsi obat yang rendah dan resistensi. Efektivitas lama pengobatan 9 bulan dibandingkan dengan pengobatan 6 bulan saat ini masih dalam penelitian. Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan rnendapatkan pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antara obat-obat yang diberikan. lnteraksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas. Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan hal-hal berikut : y y apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral apakah pernberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT dimulai, atau y apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian antiretroviral dimulai. Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB pada saat sedang mendapatkan pengobatan antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap antiretroviral yang digunakan serta lamanya pengobatan TB dengan paduan OAT tanpa rifampisin.

43

Imunisasi BCG pada anak8

A. Vaksin BCG Vaksin Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG yang beredar di Indonesia merupakan produk PT Biofarma Bandung, Vaksin BCG dibenikan secara intradermal 0,1 ml untuk anak atau 0,05 ml untuk bayi baru lahir. Penyuntikan harus dilakukan perlahan-lahan ke arah permukaan (sangat superfisial) sehingga terbentuk suatu lepuh, dilarang menggunakan alkohol dan desinfektan lainnya. Vaksin BCG harus dibuat dengan cara seksama dalam mempersiapkannya, setelah leher ampul digergaji (jangan sampai patah) ampul lebih dulu dimasukkan kedalam kantong plastik untuk mencegah terhembusnya serbuk vaksin waktu ampul dipatahkan. Setelah itu ampul baru dipatahkan. Setelah kantong plastik dilepas, baru dimasukkan pelarut (NaCl fisiologis), goyangkan ampul hati-hati dan lakukan pengisapan dan penyuntikan 2-3 kali agar vaksin homogen. Sesudah vaksin dilarutkan harus segera dipakai dalam waktu 3 jam. Vaksin disimpan pads suhu < 5C dan harus terhindar dan sinar langsung matahari. Mengingat berisi bakteri yang dilemahkan, BCG tidak diberikan kepada pasien imunokompromais (leukemia atau pasien mendapat imunosupresan jangka panjang). Satgas Imunisasi IDAI merekomendasikan pemberian BCG pada bayi < 2 bulan. Bayi yang diduga mempunyai kontak erat dengan penderita TB aktif atau yang akan diimunisasi di atas usia 2 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG sebaiknya diberikan pada regio dengan kanan atas pada daerah insersio M. deltoideus kanan sehingga bila terjadi limfadenitis BCG lebih mudah terdeteksi. BCG bukan merupakan perangkat diagnostik menegakkan TB, namun bila terjadi reaksi cepat BCG (timbul reaksi bengkak dan merah dalain waktu seminggu setelah penyuntikan) maka hal ini dapat merupakan penanda kecurigaan adanya infeksi tuberkulosis pada bayi tersebut. Komplikasi/kejadian ikutan pasca imunisasi BCG tersering adalah limfadenitis. Pada bayi dan anak < 2 tahun, hal ini disebabkan suntikan terlalu dalam atau dosis terlalu tinggi dan abses karena suntikan terlalu dalam (subkutis). Pembahasan limfadenitis BCG dikemukakan pada pokok bahasan tersendiri.

44

Efektivitas BCG Pemberian vaksin BCG telah dilakukan sejak 1921 dan telah lebih dan 3 milyar dosis vaksin BCG diberikan di seluruh dunia. Meskipun demikian, perdebatan mengenal efektivitas BCG dalarn memproteksi bayi/anak dan penyakit tuberkulosis masih terus berlangsung. Sebuah metaanalisis mengemukakan bahwa efek proteksi atau efektivitas BCG bervariasi dan 0-80%. Temuan yang berbeda-beda dan penelitian-penelitian mengenai efektivitas BCG di berbagai negara disebabkan banyak faktor antara lain sebagai berikut: y y bias metodologi, yaitu perbedaan disain dan pelaksanaan studi; strain daa dosis vaksin, yaitu perbedaan jenis vaksin (Tice, Danish, Pasteur, Tokyo, Merieux), perbedaan cara penyuntikan (rnultipuncture/ intrakutan), bentuk vaksin (vaksin cair atau vaksin kering-beku); y y y y perbedaan dalam jadwal pemberian imunisasi; tinggi/rendahnya prevalensi bakteri lingkungan (M. atipik); virulensi strain TB; faktor lain: reinfeksi eksogen v.s infeksi endogeri, faktor genetik, faktor pejamu (status imun dan nutrisi), paparan, dll. Suatu metaanalisis lain terhadap 5 studi prospektif dan 11 studi kasus kontrol mendapatkan bahwa vaksinasi BCG pada bayi dapat menurunkan risiko penyakit tuberkulosis paru, meningitis tuberkulosis, tuberkulosis diseminata dan kematian akibat tuberkulosis. Di antara studi kasus kontrol proteksi terbesar BCG adalab terhadap kultur atau histologi (83%) dan kasus-kasus beret seperti TB diseminata (78%), meningitis TB (64%), dan kematian akibat TB (65%) dibandingkan proteksi terhadap kasus TB secara keseluruhan (52%). Sampai saat ini pemberian imunisasi BCG masih merupakan bagian dan strategi WHO dalam menanggulangi masalah TB terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sehingga BCG termasuk dalam Program Pengembangan imunisasi yang wajib diberikan. Kepada bayi di Indonesia, Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Canada, Australia dan beberapa negara Eropa tidak memasukkan BCG dalam program imunisasi nasional mereka. Belanda bahkan menghapus BCG dan jadwal imunisasi dan menyatakan BCG tidak perlu diberikan. CDC Atlanta (1988) menyatakan bahwa BCG diberikan pada bayi dan anak dengan uji tuberkulin negatif apabila:

45

y y y

terpapar TB aktif dan INH profilaksis tidak diberikan, terpapar TB resis ten INH dan Rifampisin, atau tinggal di daerah dengan Annual Rate of Tuberculosis Infection (ARTI) 1%.

Berdasarkan latar belakang kondisi negara kita, maka meskipun belum membuktikan efikasinya secara konsisten, BCG hingga saat ini masih merupakan vaksin yang efektif dan aman diberikan. Sebagai petugas kesehatan, dokter anak sebaiknya turut memastikan bahwa setiap anak dengan risiko tinggi telah diimunisasi BCG. Namun perlu diingat hahwa BCG hanya merupakan salah satu upaya saja dan keseluruhan upaya penanggulangan TB. Deteksi dini anak yang terinfeksi TB dan tata laksana yang adekuat bagi pasien TB anak merupakan upaya yang juga sangat diperlukan. Selain itu, saat ini juga sedang dikembangkan vaksin TB yang lebih baik daripada BCG. B. Linfadenitis BCG Bacille Calmette-Guerin (BCG) sebagai vaksinasi telah digunakan di dunia sejak tahun 1921. Lirnfadenitis BCG (dahulu disebut BCG-itis) merupakan efek samping yang sering dijumpai pada vaksinasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 vaksinasi. Penanganan limfadenitis BCG masih diperdebatkan. Di lapangan tidak jarang kelainan ini diberi obat antituberkulosis (Isoniasid, INH) meskipun hasilnya tidak memuaskan. Definisi Limfadenitis BCG didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar getah bening regional ipsilateral setelah vaksmasi BCC. Pembesaran kelenjar tersebut dapat hilang secara spontan atau tetap membesar bahkan dapat timbul pus (supuratif). Setelah dilakukan penyuntikan BCG terjadi multiplikasi secara cepat dan melalui transport sistem limfotik akari rnenuju kelenjar getah bening regional Reksi pada sisi yang sarna dengan vaksinasi dan kelenjar bersama-sama membentuk kompleks primer yang prosesnya sama dengan kompleks primer akibat infeksi TB secara alamiah. Kemudian akan diikuti reaksi patologis pada tempat suntikan dan pembesaran pada kelenjar getah bening regional yang tidak terlalu besar dan tidak menimbulkan penyakit (reberkulosis). Tidak ado patokan baku untuk menentukan pembesaran kelenjar itu normal atau abnormal. Beberapa ahli sepakat dikatakan abnormal apabila ukurannya besar dalam arti mudah untuk diraba dan orang tua mengeluh karena pembesaran tersebut. Kelenjar getah bening regional yang terlibat sebagian besar adalah kelenjar aksila ipsilateral (95%) diikuti kelenjar supraklavikular, servikal. Onset timbulnya umumnya setelah 2 minggu atau 2 bulan dan tidak lebih dan 12 bulan. Umumnyn kelenjar yang

46

membesar adalah soliter meskipun ada yang multipel.

Faktor Risiko Kejadian limfadenitis BCG berhubungan dengan tipe vaksin dan host. Faktor vaksin adalah sebagai berikut: 1. Virulensi substrain BCG. Beberapa strain BCG memang lebih reaktogenik, 2. Viabilitas (proporsi basil yang hidup dan yang mati) pada produk akhir, dan 3. Dosis vaksinasi. Sedangkan faktor yang berperan dari pihak host adalah sebagai berikut : 1. Usia vaksinasi; pemberian BCG pada neonatus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya limfadenitis BCG. 2. Respons imunologik terhadap vaksin; pasien imunokompromais mempunyai risiko yang lebih tinggi; peran infeksi sekunder karena bakteri tidak jelas. 3. Karakteristik resipien; termasuk di dalamnya salah penyuntikan (keahlian menyuntik).

Jenis Limfadenitis BCG Ada dua jenis limfadenitis BCG yaitu simple (non-supuratif) dan bentuk supuratif. Bentuk yang nonsupuratif biasanya muncul pada beberapa minggu setelah penyuntikan, dan menghilang dalam beberapa minggu tanpa ada sekuele yang berarti. Sedangkan pada jenis supuratif timbul dalam beberapa bulan kemudian. Pada limfadenitis BCG tipe supuratif pembesaran kelenjar dapat bersifat progresif, terdapat fluktuasi, kemerahan, edema, bahkan dapat terjadi bentuk sinus pada terdapat penyuntikan. Kadang-kadang memerlukan perawatan intensif terhadap luka yang timbul. Perlu beberapa bulan untuk dapat hilang secara spontan. Jenis supuratif ini terjadi pada 30-80% kasus limfadenitis BCG. Diagnosis Diagnosis limfadenitis BCG adalah secara klinis. Pada pemeriksaan fisis terdapat suatu pembesaran kelenjar aksila (kadang-kadang suprakiavikular dan servikal) ipsilateral tanpa disertai tandatanda

47

adenitis akut. Biasanya tidak disertai demam, dan rasa sakit pada tempat edema, serta tanda-tanda yang mendukung ke arah tuberkulosis. Pada keadaan ini gejala atau tanda penyakit tuberkulosis tidak dijumpai seperti penurunan berat badan, demam lama, dan nafsu rnakan yang kurang. Pemeriksaan laboratorium, uji tuberkulin, dan foto toraks kurang membantu. Uji tuberkulin biasanya akan menunjukkan hasil yang positif, Tindakan aspirasi jarum halus kadang - kadang justru membingungkan karena gambaran patologisnya sama dengan tuberkulosis. Pengobatan Pengobatan limfadenitis BCG masih kontroversi. Pada limfadenitis tipe non-supuratif biasanya tidak menjadi masalah karena dengan penjelasan yang baik orang tua akan dapat menerima. Namun, pada limfadenitis tipe supuratif, terdapat beberapa perbedaan dalam penanganannya. 1. Tatalaksana medikamentosa Pemberian antibiotik eritromisin dan obat antituberkulosis (isoniasid dan rifampisin) pernah dilaporkan penggunaanya, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Beberapa ahli menyatakan bahwa pengobatan obat antituherkulosis tidak dipenlukan karena tidak efektif. Obat - obat lain yang digunakan biasanya berhubungan denga komplikasi yang timbul seperti perawatan luka. UKK Pulmonologi sepakat tidak mernberikan obat antituberkulosis pada keadaan limfadenitis melainkan hanya dilakukan pemantauan saja. 2. Aspirasi jarum Komplikasi limfadeniis yang tersering adalah penyembuhan luka yang kurang baik (kurang estetik), sehingga yang terpenting adalah pencegahan terhadap pecahnya limfadenitis, Salah satu yang dianjurkan adalah dengan melakukan aspirasi pus, yang biasanya dilakukan hanya sekali saja. Dengan aspirasi pus, lamanya penyernbuhan dapat dipersingkat. 3. Eksisi Pada tipe lirnfadenitis non-supuratif, tindakan eksisi tidak dianjurkan, sedangkan pada tipe supuratif, eksisi dapat dianjurkan. Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak menunjukkan hasil yang baik, sudah terjadi bentuk sinus, atau kelenjarnya multipel. Selain itu tindakan eksisi lebih diindikasikan pada kosmetik yaitu rnencegah pecahnya kelenjar secara tidak beraturan. Pemberian obat antituberkulosis setelah eksisi tidak memberikan hasil yang lebih baik. Kalau eksisi dianjurkan, maka tindakan insisi pada limfadenitis BCG tidak dianjurkan. BCG,

48

Daftar pustaka 1. Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 85264. 2. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I , Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9. 3. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf 4. 4.Chandra P, Evelyn P. Tuberculosis. 22 Juli 2009. Available from http://

www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis 5. Nelson LJ, Schneider E, Wells CD, and Moore M.Nelson Textbook of Pediatrics. Chapter XVII Infection : Section III Bacterial Infection: Tuberculosis. 18th edition. Philadelphia: W.B.Saunders Company, 2007. 6. Rahajoe, Nastiti N., dkk, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI, Juni, 2005. 7. Tierney Jr., Lawrence M, Current Medical Diagnosis and Treatment. Chapter 9 Lung : Pulmonary Infections: Pulmonary Tuberculosis, Mc Graw Hill, 2008. 8. Nasti R, Darmawan B S, dkk. Tuberkulosis. Bab 4. Buku ajar respirologi anak, edisi pertama. IDAI 2008. 169-176. 9. Anne A G, Peter J, dkk. Tuberculosis.Chapter 39. Infectious diseases of children. Eleventh edition. Krugmans. 2004

49

50

You might also like